Bismillahirrahmanirrahim
Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia Provinsi DKI Jakarta dalam rapatnya yang berlangsung
pada hari Rabu, tanggal 18 Maret 2020 M/23 Rajab 1441 H. untuk membahas tentang Hukum
dan Pedoman Penanganan Jenazah (Tajhiz Al-Janazah) Terinfeksi COVID-19, setelah:
MEMBACA : Surat dari Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta nomor 3060/-1.772.1 perihal
Dukungan terhadap Penanganan COVID-19
MENIMBANG :
1. bahwa pandemi virus Covid-19 di pelbagai wilayah Indonesia semakin meluas dan
diperlukan perhatian pemerintah dan masyarakat; tersedianya alat bantu
kesehatan, pegaturan ruang publik yang aman, termasuk tempat ibadah yang
terhindar dari wabah virus Covid-19;
2. bahwa Pemerintah bersama masyarakat memiliki tanggung jawab bersama dalam
menangani pandemi virus Covid-19 sesuai dengan fungsi, wewenang, dan
kemampuan masing-masing;
3. bahwa virus Covid-19 merupakan virus berbahaya yang dapat menular kepada
orang di sekitarnya;
4. bahwa Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pertanggal 10 Maret 2020 memohon
agar pemerintah Indonesia melakukan langkah-langkah penanganan pandemi
Covid-19;
5. bahwa Pemerintah Indonesia telah menetapkan penyebaran virus Covid-19 sebagai
bencana nasional pada tanggal 14 Maret 2020;
6. bahwa Pemerintah melaporkan jumlah pasien positif Covid-19 di Indonesia, per
Kamis, 19 Maret 2020 sore sudah mencapai 227 orang, dan 19 (Sembilan belas)
orang di antaranya meninggal dunia.
7. bahwa Standar Operasional Prosedur (SOP) penanganan jenazah pasien terinfeksi
Covid-19 akan diurus oleh tim medis dari rumah sakit rujukan yang ditunjuk
pemerintah secara resmi.
8. bahwa Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia DKI Jakarta, memandang perlu
menetapkan Fatwa Hukum dan Pedoman Penanganan Jenazah (Tajhiz al-Janazah)
terinfeksi Covid 19 untuk dijadikan pedoman bagi tim medis dan masyarakat.
MENGINGAT:
1. Ayat-ayat al-Qur’an, antara lain:
a. QS. Al-Anbiya[21]:35
اْلَْي فْت نَة ۗ َوالَْي نَا تُْر َجعُ ْو َن ٍ ُك ُّل نَ ْف
ْ س ذَاۤ ِٕى َقةُ الْ َم ْوتۗ َونَْب لُ ْوُك ْم بالشَّر َو
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan
keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada
Kamilah kamu dikembalikan”
b. QS. Al-Baqarah[2]:155
َ ت الَّذ ْي تَفُّرْو َن مْنهُ فَانَّه ُم ٰلقْي ُك ْم ُثَّ تَُرُّد ْو َن ا ٰل َعال الْغَْيِ َوالش
َّه َادة فَيُنَبئُ ُك ْم ِبَا ُكنْتُ ْم تَ ْع َملُْو َن َ قُ ْل ا َّن الْ َم ْو
Katakanlah, “Sesungguhnya kematian yang kamu lari dari padanya, ia pasti menemui
kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib
dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”.
c. QS. Al-Isra[17]:70
ًْٰه ْم َع ٰل َكث ٍْي ِّ َّْن ََلَ ْقنَا تَ ْفَّي َّ َٰه ْم م َن الطَّي ٰبت َوف
ُ َّلْن ُ َولَ َق ْد َكَّرْمنَا بَن اٰ َد َم َو ََحَلْن
ُ ٰه ْم ف الْبَ ر َوالْبَ ْحر َوَرَزقْ ن
“Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di
darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna”
d. QS. Al-Baqarah[2]:195
g. Al-Ma`idah[5]:6
الشأْم -فَأ ْ
ََبَ َرهُ الوبَاءَ قَ ْد َوقَ َُ ب َّ
َن َغ بَلَغَهُ أ َّ
الشأْم ،فَلَ َّما َكا َن ب َس ْر َ َع ْن َعْبد اللَّه بْن َعام ٍر -أ َّ
َن عُ َمَر َََر َج إ َل َّ
صلَّ اهللُ َعلَيْه َو َسلَّ َم قَ َال« :إذَا ََس ْعتُ ْم به بأ َْر ٍ الر َْحن بن عو ٍ
ض فًََ تَ ْق َد ُموا َعلَْيه، ول اللَّه َ َن َر ُس َف :أ َّ َعْب ُد َّ َ ْ ُ َ ْ
َوإ َذا َوقَ َُ بأ َْر ٍ
ض َوأَنْتُ ْم َِا ،فًََ ََتُْر ُجوا فَرارا مْنهُ
Dari Abdullah bin Amir sesungguhnya Umar sedang dalam perjalanan menuju Syam,
saat sampai di wilyaah bernama Sargh. Saat itu Umar mendapat kabar adanya wabah
di wilayah Syam. Abdurrahman bin Auf kemudian mengatakan pada Umar jika Nabi
Muhammad saw pernah berkata, "Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka
janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka
"jangan tinggalkan tempat itu.
صلَ َحة
ْ الرعيَّة َمنُ ْوط بالْ َم
َّ َف ْاْل َمام َعل
ُ صُّر
َ َت
“Tindakan pemimpin [pemegang otoritas] terhadap rakyat harus mengikuti
kemaslahatan”
MEMPERHATIKAN:
Pendapat para Ulama, antara lain:
1. Syaikh Salim bin Abdullah Al-Hadrami, Sullamuttaufiq Hal. 36-38
ِ لذم تَ ْكف ْي ٍ
َ َوَو َج.ض ك َفايَة إ َذا َكا َن ُم ْسلما ُول َد َحيًّا ُ الص ًَةُ َعلَْيه َوَدفْ نُهُ فَ ْر
َّ َغ ْس ُل الْ َميت َوتَ ْكفْي نُهُ َو
ٍ ٍ
ِف ثيَابه
ْ ات ِْف قتَال الْ ُكفَّار ب َسبَبه ُكف َن َ َوَم ْن َم.صلَّ َعلَْيه َما َ َُوَدفْن َولس ْقط َميت َغ ْسل َوَك ْفن َوَدفْن َوَْلي
اسة َوتَ ْعمْي ُم ََجْيُ بَ َشره َ َوأَقَ ُّل الْغُ ْسل إ َزالَةُ الن.صلَّ َعلَْيه
َ َّج َ ُفَإ ْن َلْ تَ ْكفه زيْ َد َعلَْي َها َو ُدف َن َوَْليُ ْغ َس ُل َوَْلي
ِ ٍ ٍ َّ وأَقَ ُّل.َو ََ ْعره
ُ َويُ َس ُّن أَ ْن يُ َع َّم َق قَ ْد َر قَ َامة َوبَ ْسطَة َويَُو َّس ُُ َوَي.الدفْن َح ْفَرة تَ ْكتُ ُم َرائ َحتَهُ َوََْتر ُسهُ م َن السبَاع
.تَ ْوجْي ُههُ إ َل الْقْب لَة
“Memandikan jenazah, mengafani, menyolati dan menguburnya adalah Fardlu Kifayah.
Hal itu jika jenazah adalah seorang yang beragama islam dan lahir dalam keadaan
hidup. Sedangkan jenazah kafir dzimmy hanya wajib untuk dikafani dan dikubur, begitu
juga janin yang (belum mencapai umur 6 bulan dan lahir) dalam keadaan mati hanya
wajib untuk dimandikan, dikafani, dikuburkan dan keduanya tidak boleh disholati”
Paling sedikitnya memandikan jenazah adalah dengan menghilangkan najis dan
meratakan air yang menyucikan ke seluruh kulit dan rambutnya walaupun lebat. Paling
minimal menguburkan jenazah adalah galian/liang yang mampu menyembunyikan bau
jenazah dan menjaga tubuh jenazah dari binatang buas. Disunahkan memperdalam
liang kira-kira seukuran berdirinya orang yang mengangkat tangan. Selain
memperdalam disunahkan juga untuk memperluas liang. Dan wajib menghadapkan
jenazah ke arah kiblat”
2. Sayyid Abu Bakar Utsman bin Muhammad Syatho ad-Dimyathi, I'anah At-Tholibin juz II
halaman 126.
لو َرج منه بعد الغسل جنس ل ينقض الطهر بل َتِ إزالته فقط إن َرج قبل التكفي ْل بعده
“Jika mayyit mengeluarkan najis sesudah di mandikan maka wudlunya tidak batal tapi
cukup dihilangkan najisnya saja, ketika keluar sebelum di kafani, lain halnya ketika
sudah di kafani”
3. Imam Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Muhadzab juz 5
halaman 178
ِ وهذا التيمم واج، ل يُغَ َّسل بل يُيَ َّمم،إذا تعذر غسل امليت لفقد املاء أو احرتق حبيث لو غُسل لتَ َهَّرى
، فوجِ اْلنتقال فيه عند العجز عن املاء إل التيمم كغسل اْلنابة، ؛ ألنه تطهي ْل يتعلق بإزالة جناسة
ولو كان ملدوغا حبيث لو غُ َّسل لتَ َهَّرى أو َيف عل الغاسل ُُيم ملا ذكرناه
“Apabila jenazah tidak bisa dimandikan karena tidak ada air atau takut merusak jasad
maka dia tidak dimandikan melainkan ditayamumkan, dan tayamum tersebut wajib,
karena memandikan mayat itu pada hakekatnya adalah penyucian yang tidak terkait
dengan menghilangkan najis maka ketika sulit mendapatkan air dapat diganti dengan
tayamum seperti halnya mandi junub, seandainya jenazah tersebut dalam keadaan
terkena sengatan yang bila dimandikan akan mengalami kerusakan, atu ada kekuatiran
terhadap orang yang memandikan maka jenazah tersebut ditayamumkan seperti telah
kami sebutkan”
ولكن إذا. ث إقامة صًة اْلنازة عل قِبه بعد الدفن،يِ فعله ِف هذه احلالة هو دفن امليت بدون غسل
تواجد أَخاص مدربون و لديهم الوسائل الوقائية املناسبة للتعامل مُ جثمان املتوف ِف مثل تلك احلاْلت؛
ويِ عل القائمي عل اجملتمُ توفي.فإنه ْل يوز ترك الغسل ويِ عل هؤْلء املدربي أن يقوموا به
التدريِ لعدد كاف من األَخاص للقيام ِبثل تلك املهام
“Adapun terkait ketentuan penanganan jenazah (dengan penyakit berbahaya), maka
Kedaruratan membolehkan sesuatu yang terlarang, dan kedaruratan diukur dengan
kadarnya. Oleh karenanya kita bisa mengabaikan untuk memandikan jenazah yang
terkena penyakit SARS apabila terdapat bahaya bagi yang menadikannya. Maka dalam
kondisi seperti ini maka yang wajib dilakukan adalah memakamkannya tanpa
dimandikan, lalu dilakukan sholat jenazah di atas kuburanya setelah dimakamkan. Tetapi
apabila ada orang-orang terlatih dan memiliki berbagai piranti prefentif yang sesuai
untuk menangani jasad jenazah maka dalam kondisi seperti ini jenazah harus tetap
dimandikan oleh mereka. Pihak yang berwenang dalam hal ini harus memberikan
pelatihan bagi beberapa orang untuk dapat menjalankan tugas tersebut”
7. Fatwa MUI Pusat nomor 14 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah dalam situasi
terjadi Wabah COVID-19;
8. Hasil Mudzakarah Ulama DKI Jakarta pada hari Senin, 16 Maret 2020 di Ruang Rapat
Baznas (Bazis) Provinsi DKI Jakarta;
9. Rapat Bidang Fatwa MUI Provinsi DKI Jakarta pada hari Rabu, 18 Maret 2020 di
Sekretariat MUI Provinsi DKI Jakarta.
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN : FATWA HUKUM DAN PEDOMAN PENANGANAN JENAZAH (TAJHIZ
AL-JANAZAH) TERINFEKSI COVID 19
Pertama : Ketentuan Umum
1. Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan Covid-19 adalah nama
penyakit yang disebabkan oleh infeksi Coronavirus baru yang
dilaporkan pertama kali di akhir tahun 2019;
2. Jenazah adalah mayat, jasad, atau kadaver dalam istilah medis,
literal, dan legal; atau saat dimaksudkan dalam pembedahaan
adalah tubuh yang sudah tidak bernyawa.
Ketiga : Rekomendasi
1. Pemerintah wajib membantu dan mengawasi semua proses
penanganan jenazah covid-19;
2. Umat Islam agar mematuhi ketantuan agama dan pemerintah
dalam semua proses penanganan jenazah covid 19;
3. Fatwa ini berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika
di kemudian hari membutuhkan penyempurnaan, maka akan
disempurnakan sebagaimana mestinya.