Anda di halaman 1dari 13

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

PAPER FARMAKOKINETIK
DISTRIBUSI & METABOLISME OBAT

OLEH :

NAMA : ANDI SULFIKRI R


STAMBUK : 15020170014
KELAS : C9
DOSEN : apt. AULIA WATI, S.Farm., M.Sc.

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2020
a) Model kuantitatif ikatan protein plasma

Ikatan Protein Sebagian besar obat berikatan dengan protein plasma hingga

tingkat tertentu, terutama albumin, α1-acid glycoprotein, dan lipoprotein. Obat

yang bersifat asam utamanya berikatan dengan albumin, sedangkan obat yang

bersifat basa berikatan dengan α1-acid glycoprotein. Ikatan protein

mempengaruhi baik distribusi obat (karena hanya fraksi yang bebas atau tidak

berikatan yang bisa melewati membran sel) dan efek obat, yang kembali lagi

karena fraksi bebaslah yang menentukan konsentrasi obat yang berikatan pada

reseptor.

Tingkat ikatan protein sebanding dengan solubilitas obat terhadap lipid. Hal ini

karena obat yang hidrofobik lebih mudah berikatan dengan protein plasma dan

lipid lemak. Untuk obat anestesi intravena, yang cenderung cukup poten, jumlah

lokasi ikatan proteindi dalam plasma jauh melebihi jumlah lokasi yang benarbenar

berikatan. Sehingga fraksi yang berikatan tidak tergantung pada konsentrasi obat

anestesi dan hanya bergantung pada konsentrasi protein.

Ikatan obat dengan albumin plasma bersifat non selektif, dan obat dengan

karakteristik psikokemikal yang mirip, dapat berkompetisi satu sama lain dan

dengan zat endogen untuk berikatan dengan protein. Sebagai contoh, sulfonamid

bisa menggeser bilirubin yang tidak terkonjugasi dari ikatannya dengan albumin,

sehingga berisiko terjadi bilirubin ensefalopati pada neonatus.

Usia, penyakit hati, gagal ginjal, dan kehamilan menyebabkan penurunan

konsentrasi plasma protein. Perubaan pada ikatan protein penting pada obat yang

memiliki ikatan protein yang tinggi (>90%). Pada obat tersebut, fraksi bebas
berubah menjadi proporsi yang terbalik dengan perubahan pada konsentrasi

protein. Jika fraksi bebas pada keadaan normal 2%, maka pada pasien dengan

penurunan protein plasma sebanyak 50%, fraksi bebas akan meningkat sebanyak

100% menjadi 4%.

Secara teori, peningkatan fraksi bebas obat dapat meningkatkan efek

farmakologi obat, tetapi dalam prakteknya masih diragukan apakah terjadi

perubahan efek farmakologi. Alasannya adalah karena fraksi yang tidak berikatan

akan mengalami penyeimbangan di seluruh tubuh, termasuk pada reseptor.

Protein plasma hanya sebagian kecil dari total tempat berikatan obat di dalam

tubuh. Karena konsentrasi obat bebas di plasma dan jaringan menggambarkan

bagian dari seluruh binding sites, tidak hanya binding sites plasma, konsentrasi

obat bebas yang sesungguhnya yang mendorong atau menarik obat dari reseptor

berubah hanya sedikit dengan adanya perubahan pada konsentrasi protein

plasma.

b) Perhitungan sederhana ikatan protein plasma

Soal .

Obat A dan B masing masing dengan Vapp = 20 L dan 100 L, kedua obat

mempunyai Vp = 4 L dan Vt = 10 L, dan kedua obat berikatan dengan protein

plasma sebesar 60 %. Apakah fraksi pengikatan dari jaringan terhadap kedua

obat ? Dianggap Vp = 4 L dan Vt = 10 L.


Penyelesaian .

Obat A.

Pergunakan persamaan 22 )

Vapp = Vp + Vt [ fu / fut ]

Sebab obat A 60 % terikat , maka obat 40 % bebas, atau fu = 0,4.

20 = 4 + 10 ( 0,4 / fut )

fut = 4 / 16 = 0, 25.

Fraksi obat yang terikat pada jaringan adalah 1–0, 25 = 0,75 atau 75 %.

Obat B.

100 = 4 + 10 ( 0,4 / fut )

fut = 0,042

Fraksi obat yang terikat pada jaringan adalah 1-0,042 = 0,958 = 95,8 %

Persen obat bebas dalam cairan plasma untuk obat A adalah 25 % dan

untuk obat B adalah 4,2 %. Obat B lebih kuat berikatan dengan jaringan, yang

menyebabkan volume distribusi yang diamati lebih besar.

Pendekatan ini menganggap bahwa kumpulan jaringan dalam keadaan

utuh, sebab tidak mungkin mengidentifikasi kumpulan jaringan secara fisika pada

mana obat berikatan.

c) Metode penentuan Km dan Vm

Penentuan Km dan Vmaks


Km (konstanta Michaelis) dan Vm (kecepatan maksimum reaksi) merupakan dua

parameter kinetika enzim. Nilai Km tidak tergantung pada besarnya konsentrasi

enzim, sedangkan Vm besarnya dipengaruhi oleh besarnya konsentrasi enzim. Km

dapat diartikan sebagai ukuran afmitas enzim terhadap substrat. Penentuan Km

dan Vm . ini dilakukan pada m maks " pH dan suhu inkubasi optimum yang

diperoleh pada saat optimasi kerja enzim. Penentuan Km dan Vmaks dengan kurva

garis lurus ini dikenal sebagai metode Lineweaver-Burk.

Salah satu hal yang diperlukan agar reaksi enzimatis dapat berjalan efisien ialah

dengan memperkirakan jumlah substrat yang diperlukan. Unsur kunci di dalam

persamaan Michaelis- Menten adalah Km, yang bersifat khas bagi enzim tertentu,

dengan substrat spesifik pada kondisi pH dan suhu tertentu. Nilai Km (Konstanta

Michaelis- Menten) dapat digunakan untuk memperkirakan jumlah substrat.

Dengan mengetahui nilai Km dan Vmaks suatu enzim, maka dapat dilakukan

optimalisasi penggunaan enzim tersebut sebagai biokatalisator dalam reaksi

pemecahan substrat menjadi produk. Nilai Km dihitung dengan mengukur

kecepatan reaksi yang dikatalisis oleh lipase dalam berbagai konsentrasi minyak

dengan pH, temperatur, dan waktu inkubasi optimum (Anonim, 2011).

Metoda analisis ini dapat menentukan nilai laju maksimum enzim (Vmaks)

dan nilai Konstanta Michaelis Menten (Km) yang bekerja dalam menghidrolisis

kanji. Nilai laju maksimum (Vmaks) menunjukkan jumlah substrat kanji yang dapat

dihidrolisis dalam satuan waktu, sedangkan nilai kontanta Michaelis Menten dapat

menunjukkan afinitas enzim terhadap substrat, sehingga dapat diketahui seberapa

kuatnya pengikatan substrat kanji pada enzim.


Pengujian menggunakan metode Fisher and Stein (metode DNS) dengan

prinsip reduksioksidasi untuk mengetahui Km dan Vmax dari enzim amilase yang

diteliti. Pengujian ini akan dibatasi hanya dengan menggunakan pH netral yaitu pH

7 dan suhu kamar dengan tujuan agar industri mengetahui kinerja enzim pada

kondisi tersebut. Pada kondisi pH 7 dan suhu kamar, artinya dalam proses desizing

tersebut tidak memerlukan banyak zat tambahan dan meminimalkan energy yang

dipergunakan. Kinerja enzim akan lebih baik pada kondisi optimum enzim.

d) Reaksi Metabolis : Fase I dan II, induksi, Inhibisi, Hepatic clearance

Metabolisme mengubah obat larut lemak yang aktif secara farmakologis

menjadi larut air dan tidak aktif secara farmakologis. Namun hal ini tidak selalu

terjadi. Sebagai contoh, diazepam dan propanolol bisa dimetabolisme menjadi

senyawa aktif. Morphine-6-glucoronide, yang merupakan metabolit morfin,

merupakan opioid yang lebih poten dibandingkan morfin itu sendiri. Dalam

beberapa contoh, senyawa induk inaktif (prodrug) dimetabolisme menjadi obat aktif.

Hal ini terjadi pada kodein, yang merupakan opioid lemah. Kodein dimetabolisme

menjadi morfin, yang kemudian berperan dalam efek analgesik dari kodein.

Jalur Metabolisme Empat jalur dasar metabolisme adalah (a) oksidasi, (b)

reduksi, (c) hidrolisis, (d) konjugasi. Secara tradisional, metabolisme dibagi menjadi

reaksi fase I dan fase II. Reaksi fase I meliputi oksidasi, reduksi, dan hidrolisis, yang

meningkatkan polaritas obat dan menyiapkannya untuk reaksi fase II. Reaksi fase II

adalah konjugasi yang mengikatkan obat atau metabolitnya secara kovalen dengan

molekul polar (karbohidrat atau asam amino), yang menyebabkan konjugat tersebut

lebih laruh air untuk nantinya diekskresi. Enzim hepatik mikrosomal berperan dalam
hampir sebagian besar metabolisme obat. Lokasi metabolisme obat lain adalah plasma

(Hofmann elimination, hidrolisis ester), paru, ginjal, dan saluran gastrointestinal, serta

plasenta (esterase jaringan).

Enzim hepatik mikrosomal, yang berperan dalam sebagian besar metabolisme

obat, terletak di dalam smoothendoplasmic reticulum dari hati. Enzim ini juga terdapat

dalam ginjal, saluran penernaan, dan korteks adrenal. Mikrosom adalah struktur

sepertivesikel yang terbentuk dari potongan endoplasmik retikulum saat sel

terhomogenasi. Dan enzim mikrosomal adalah enzim yang terkonsentrasi pada struktur

tersebut.

 Enzim fase 1

Enzim Fase I Enzim yang berperan dalam reaksi fase I meliputi cytochrome

P450, noncytochrome P450, dan flavin-containing monooxygenase. Sistem enzim

cytochrome P450 (CYP) adalah gabungan besar dari protein membrane-bound yang

mengandung kofaktor heme yang mengkatalis metabolisme senyawa endogen. Enzim

P450 sebagian besar adalah enzim hepatik mikrozomal, walau terdapat beberapa

enzim P450 mitokondrial. Penamaan cytochrome P450 dikarenakan penyerapan oleh

senyawa ini memuncak pada 450 nm ketika dikombinasi dengan karbon monoksida.

Sistem cytochrome P450 juga merupakan fungsi campuran dari sistem oksidase karena

melibatkan tahap oksidasi dan reduksi. Reaksi yang paling umum dikatalis oleh enzim

cytochrome P450 adalah reaksi monooksigenase, sebagai contoh, pemasukan satu

atom oksigen ke dalam substrat organik sedangkan atom oksigen lain direduksi menjadi

air. Cytochrome P450 juga berfungsi sebagai oksidase akhir dalam rantai transpor

electron.
Enzim cytochrome P450 berkembang dari protein umum. Enzim cytochrome

P450 atau CYP, yang memiliki homologi hingga 40% pada sekuennya, dikelompokkan

dan dinamai berdasarkan angka (contoh CYP2), sedangkan yang memiliki 55%

homologi dikelompokkan lagi dan dinamani berdasarkan huruf (contoh CYP2A), dan

enzim CYP individual ditandai dengan nomor ketiga (contoh CYP2A6). Sepuluh isoform

dari cytochrome P450 bertanggung jawab terhadap metabolisme oksidatif dari sebagian

besar obat. Aktifitas CYP yang lebih besar untuk obat anestesi disebabkan oleh

CYP3A4, yang merupakan isoform yang paling banyak diekspresikan, sekitar 20%

hingga 60% dari total aktivitas P450. P450 3A4 memetabolisme lebih dari satu

setengah dari seluruh obat yang ada saat ini, termasuk opioid (alfentanil, sufentanil,

fentanyl), benzodiazepin, anestesi lokal (lidocaine, ropivacaine), imunosupresan

(siklosporin), dan antihistamin (terfenadine).

Obat bisa mempengaruhi aktivitas enzim ini melalui induksi dan inhibisi. Induksi

terjadi melalui peningkatan ekspresi dari enzim. Sebagai contoh, fenobarbital memicu

enzim mikrosomal sehingga menyebabkan obat kurang efektif akibat metabolisme

meningkat. Sebaliknya, obat lain bisa menghambat enzim. Salah satunya adalah jus

anggur yang menghambat CYP 3A4, sehingga dapat meningkatkan konsentrasi obat

anestesi dan obat lain.

Oksidasi Enzim cytochrome P450 sangat penting dalam reaksi oksidasi. Untuk

kerja tersebut enzim ini memerlukan donor elektron dalam bentuk reduced nicotinamide

adenine dinucleotide (NAD) dan oksigen molekular. Molekul oksigen terbagi, dimana

satu atom oksigen mengoksidasi tiap molekul obat dan atom oksigen lain tergabung

menjadi molekul air. Contoh metabolisme oksidatif dari obat yang dikatalis oleh enzim
cytochrome P450 meliputi hidroksilasi, deaminasi, desulfurasi, dealkilasi, dan

dehalogenasi. Demetilasi morfin menjadi normorfin merupakan contoh dealkilasi

oksidatif. Dehalogenasi meliputi oksidasi dari ikatan karbon-hidrogen untuk membentuk

metabolit sementara yang tidak stabil dan melepaskan atom halogen secara spontan.

Halogenated volatile anestethic berperan dalam dehalogenasi, dan menyebabkan

lepasnya ion bromida, klorida, dan fluorida. Oksidasi alifatik adalah oksidasi dari rantai

samping. Sebagai contoh, oksidasi rantai samping dari tiopental mengubah obat induk

yang laruh lemak menjadi turunan asam karboksilik yang lebih larut air. Tiopental juga

mengalami desulfurasi menjadi fenobarbital melalui tahap oksidatif. Epoksida dalam

metabolisme oksidatif obat berperan dalam ikatan kovalen dengan makromolekul dan

juga berperan dalam beberapa toksisitas organ akibat obat, seperti disfungsi hepatik.

Normalnya, bentuk yang sangat reaktif ini, hanya ada sementara dan tidak

menghasilkan aksi biologis. Ketika terjadi induksi enzim, intermediat yang reaktif ini

dihasilkan dalam jmlah besar, dan mengakibatkan kerusakan organ. Hal ini terutama

terjadi jika antioksidan glutathione, yang jumlahnya terbatas dalam hati, habis oleh

intermediat reaktif.

Reduksi

Enzim cytochrome P450 juga penting dalam reaksi reduksi. Dalam kondisi

tekanan parsial oksigen rendah, enzim cytochrome P450 menstransfer elektron

langsung ke substrat seperti halothane dibanding ke oksigen. Penambahan elektron ini

hanya terjadi jika jumlah oksigen kurang untuk berkompetisi dengan elektron.

Konjugasi
Konjugasi dengan asam glukuronik melibatkan enzim cytochrome P450. Asam

glukuronik disintesis dari gula dan ditambahkan ke obat larut lemak dan mengubahnya

menjadi larut air. Hasil ini kemudian diekskresikan di empedu dan urin. Pada bayi

prematur, penurunan aktivitas enzim mirkosomal menyebabkan gangguan dalam

konjugasi, sehingga terjadi hiperbilirubinemia neonatus dan risiko bilirubin ensefalopati.

Penurunan kemampuan konjugasi pada neonatus akan meningkatkan efek dan potensi

toksik obat yang normalnya dihambat melalui konjugasi oleh asam glukuronik.

Hidrolisis

Enzim yang berperan dalam hidrolisisobat, biasanya ikatan ester, tidak

melibatkan sistem enzim cytochrome P450. Hidrolisis biasanya terjadi diluar hati.

Seperti contoh, remifentanil, succinylcholine, esmolol, dan lokal anestesi ester,

dibersihkan di plasma dan jaringan melalui hidrolisis ester.

 Enzim Fase II

Enzim fase II meliputi glucuronosyltrasferase, glutathione-S-transferase, Nacetyl-

transferase, dan sulfo-transferase. Uridine diphospate glucuronosyltransferase

mengkatalis tambahan kovalen asam glukuronik menjadi senyawa endogen dan

eksogen, dan mengubahnya menjadi lebih larut air. Glukuronidasi adalah jalur

metabolik penting untuk beberapa obat anestesia, seperti propofol, morfin

(menghasilkan morphine-3-glucuronide dan morphine-6- glucuronide yang aktif secara

farmakologis), dan midazolam (menghasilkan 1- hydroxymidazolam yang aktif secara

farmakologis). Enzim glutathione-Stransferase (GST) utamanya adalah sistem

perlawanan untuk detoksifikasi dan perlindungan terhadap stres oksidatif. N-acetylation


dikatalis oleh N-acetyltransferase (NAT), dan merupakan reaksi fase II umum untuk

metabolisme heterocyclic aromatic amines (terutama serotonin) dan arylamines,

termasuk inaktivasi isoniazid.

 Hepatic Clearance

Hepatic Clearance Laju metabolisme untuk sebagian besar obat anestesi

sebanding dengan konsentrasi obat, yang menyebabkan clearance dari obat bersifat

konstan. Ini merupakan asumsi dasar untuk farmakokinetik obat anestesi. Menelusuri

asumsi ini akan memberikan gambaran tentang apa itu clearance sebenarnya dan

bagaimana hal tersebut berhubungan dengan metabolisme obat.

Walaupun kapasitas metabolik tubuh cukup besar, metabolisme tidak selalu

sebanding dengan konsentrasi obat karena hati memiliki kapasitas metabolik yang

terbatas. Dalam beberapa kondisi, tergantung kecepatan aliran obat ke hati, obat akan

dimetabolisme secepat mungkin selama enzim metabolik hati tersedia. Pada titik ini,

metabolisme tidak lagi sebanding dengan konsentrasi obat karena kapasitas metabolik

organ telah terlewati.

Pemahaman metabolisme dimulai dengan keseimbangan massa yang

sederhana: kecepatan dimana obat mengalir keluar dari hati haruslah pada kecepatan

dimana obat masuk ke hati, dikurangi kecepatan hati memetabolisme obat. Kecepatan

obat masuk ke hati adalah aliran darah hati, Q, dikali konsentrasi obat yang mengalir

masuk, Cinflow. Kecepatan aliran obat keluar dari hati, adalah aliran darah hati, Q,

dikali konsentrasi obat yang mengalir keluar, Qoutflow. Kecepatan metabolisme hepatik

oleh hati, R, adalah perbedaan antara konsentrasi obat yang masuk dan konsentrasi

obat yang keluar dari hati, dikali kecepatan aliran darah hati:
Kecepatan metabolisme obat = R = Q (Cinflow – Coutflow)

Biotransformasi suatu obat dapat dipercepat atau diperlambat berdasarkan

induksi atau inhibisi enzim yang ditimbulkan oleh komponen makanan. Akibat adanya

induksi enzim maka laju biotransformasi akan meningkat. Peningkatan laju

biotransformasi ini mengakibatkan jumlah metabolit inaktif yang dihasilkan meningkat

sehingga terjadi penurunan dalam kerja farmakologinya. Obat-obat yang mengalami

biotransformasi menjadi metabolitmetabolit reaktif, induksi enzim kemungkinan akan

memperbesar aktivitas dan toksisitas obat tersebut (Katzung, 2001).

Anda mungkin juga menyukai