Anda di halaman 1dari 74

BAB II

TINJAUAN TEORITIS MANAJEMEN KEPERAWATAN

A. RUMAH SAKIT
1. Pengertian
Berdasarkan UU Nomor 44 tahun 2009 tentang tumah sakit
menyebutkan adalah institusi pelayanan kesehatan perorangan secara
paripurna (meliputi promotif, preventive, kuratif dan rehabilitative) dengan
menyelenggarakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat.
Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehtan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehtan prorangan secara parnipurna yang menyediakan
pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat (Permenkes
tahun 2010 tentang klasifikasi rumah sakit)
2. Fungsi rumah sakit
Fungsi rumah sakit menurut UU Nomor 44 tahun 2009 yaitu :
a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai
dengan standar pelayanan rumah sakit.
b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan
kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan
medis.
c. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam
rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan.
d. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi
bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan
memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.
3. Jenis – Jenis Rumah Sakit
Jenis-jenis Rumah Sakit di Indonesia secara umum ada lima, yaitu
Rumah Sakit Umum, Rumah Sakit Khusus atau Spesialis, Rumah Sakit
Pendidikan dan Penelitian, Rumah Sakit Lembaga atau Perusahaan,

8
9

dan Klinik (Haliman & Wulandari, 2012). Berikut penjelasan dari lima
jenis Rumah Sakit tersebut :
a. Rumah Sakit Umum
Rumah Sakit Umum, biasanya Rumah Sakit Umum melayani
segala jenis penyakit umum, memiliki institusi perawatan darurat yang
siaga 24 jam (Ruang gawat darurat).
Untuk mengatasi bahaya dalam waktu secepat-cepatnya dan
memberikan pertolongan pertama. Di dalamnya juga terdapat layanan
rawat inap dan perawatan intensif, fasilitas bedah, ruang bersalin,
laboratorium dan sarana-prasarana lain.
Klasifikasi Rumah Sakit Umum beserta jumlah minimal tempat
tidur yang tersedia adalah:
1. Rumah Sakit umum kelas A - tempat tidur minimal 400 buah
2. Rumah Sakit umum kelas B - tempat tidur minimal 200 buah
3. Rumah Sakit umum kelas C - tempat tidur minimal 100 buah;
4. Rumah Sakit umum kelas D - tempat tidur minimal 50 buah.
b. Rumah Sakit Khusus atau Spesialis
Rumah Sakit Khusus atau Spesialis dari namanya sudah tergambar
bahwa Rumah Sakit Khusus atau Rumah Sakit Spesialis hanya
melakukan perawatan kesehatan untuk bidang-bidang tertentu, misalnya
Rumah Sakit untuk trauma (trauma center), Rumah Sakit untuk Ibu dan
Anak, Rumah Sakit Manula, Rumah Sakit Kanker, Rumah Sakit Jantung,
Rumah Sakit Gigi dan Mulut, Rumah Sakit Mata, Rumah Sakit Jiwa.
c. Rumah Sakit Bersalin dan lain-lain;
Rumah Sakit Pendidikan dan Penelitian, Rumah Sakit ini berupa
Rumah Sakit Umum yang terkait dengan kegiatan pendidikan dan
penelitian di Fakultas Kedokteran pada suatu Universitas atau
Lembaga Pendidikan Tinggi
10

d. Rumah Sakit Lembaga atau Perusahaan


Rumah sakit ini adalah Rumah Sakit yang didirikan oleh suatu
lembaga atau perusahaan untuk melayani pasien-pasien yang merupakan
anggota lembaga tersebut.
e. Klinik
Merupakan tempat pelayanan kesehatan yang hampir sama dengan
Rumah Sakit, tetapi fasilitas medisnya lebih.
a) Pemakai Jasa Rumah Sakit
Pemakai jasa rumah sakit khususnya di Indonesia dibedakan dalam tiga
kategori:
a. Full Purchases
Pada kategori ini pemerintah dan perusahaan-perusahaan swasta
merupakan pelanggan yang terbesar.
b. Semi Buyers
Pemakai jasa yang tidak atau belum dapat membayar penuh nota tagihan
rumah sakit.
c. Prodeo User
Pemakai jasa yang sama sekali tidak sanggup membayar biaya perawatan
rumah sakit. Kelompok itu terbagi ke dalam dua bagian, yaitu:
1) Kelompok yang secara material tidak sanggup membayar
sesenpun (disadvantage people).
2) Kelompok prodeo user “in optima forma” yang terdiri dari:
a) Pasien yang meninggalkan rumah sakit tanpa izin.
b) Pasien yang kurang puas dengan pelayanan rumah sakit.
c) Pasien yang mendapat previlege social (ditanggung oleh badan)
Selain itu pasien berdasarkan keadaannya dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Emergency Patien
Kehidupan pasien menghadapi situasi ancaman kematian sehingga
memerlukan pengobatan sesegera mungkin.
11

b. Urgent Patient
Pasien memerlukan pengobatan segera, bila ada penundaan yang
berkepanjangan dapat menimbulkan bahaya terhadap kehidupan
pasien
c. Elective Patient.
Keadaan pasien yang tidak membahayakan kehidupannya.
B. STANDAR AKREDITASI DAN MUTU PELAYANAN RUMAH SAKIT
Akreditasi rumah sakit ialah suatu pengakuan yang diberikan oleh
pemerintah pada rumah sakit karena telah memenuhi standar yang disyaratkan.
Akreditasi rumah sakit merupakan salah satu cara pemantauan bagi
pelaksanaan pengukuran indikator kinerja rumah sakit. Pengembangan
penilaian terhadap kinerja rumah sakit merupakan tugas dari pemerintah dalam
hal ini adalah Departemen Kesehatan. Di dalam buku ”Pedoman
Penyelenggaraan Rumah Sakit” disebutkan bahwa rumah sakit diharuskan
mempunyai program peningkatan mutu baik internal maupun eksternal, untuk
mengevaluasi seluruh kegiatan yang berkaitan dengan pelayanan bagi pasien.
Program peningkatan mutu internal dapat dilakukan dengan metode dan
teknik yang dipilih dan ditetapkan oleh rumah sakit. Program peningkatan
mutu eksternal dapat dilakukan melalui akreditasi, sertifikasi ISO dan lain-lain.
Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit atau yang kemudian disebut
SNARS merupakan standar akreditasi baru yang bersifat nasional dan
diberlakukan secara nasional di Indonesia. Standar dikelompokkan menurut
fungsi-fungsi yang terkait dengan penyediaan pelayanan bagi pasien; juga
dengan upaya menciptakan organisasi rumah sakit yang aman, efektif, dan
terkelola dengan baik. Fungsi-fungsi tersebut tidak hanya berlaku untuk rumah
sakit secara keseluruhan tetapi juga untuk setiap unit, departemen, atau layanan
yang ada dalam organisasi rumah sakit tersebut. Lewat proses survei
dikumpulkan informasi sejauh mana seluruh organisasi mentaati pedoman yang
ditentukan oleh standar. Keputusan pemberian akreditasinya didasarkan pada
tingkat kepatuhan terhadap standar di seluruh organisasi rumah sakit yang
bersangkutan. Pengelompokan SNARS Edisi 1 ialah SASARAN 1 :
12

Mengidentifikasi pasien dengan benar, SASARAN 2 : Meningkatkan


komunikasi yang efektif., SASARAN 3 : Meningkatkan keamanan obat-obatan
yang harus diwaspadai (High Alert Medications), SASARAN 4 : Memastikan
lokasi pembedahan yang benar, proseur yang benar, pembedahan pada pasien
yang benar, SASARAN 5 : Mengurangi risiko infeksi terkait pelayanan
kesehatan, SASARAN 6 : Mengurangi risiko cedera pasien akibat terjatuh.
1. Standar Pelayanan Berfokus Pasien
a. Akses ke Rumah Sakit dan Kontinuitas Pelayanan (ARK).
Rumah sakit seyogianya mempertimbangkan bahwa asuhan di rumah
sakit merupakan bagian dari suatu sistem pelayanan yang terintegrasi
dengan para profesional pemberi asuhan dan tingkat pelayanan yang akan
membangun suatu kontinuitas pelayanan.
Maksud dan tujuan adalah menyelaraskan kebutuhan asuhan pasien
dengan pelayanan yang sudah tersedia di rumah sakit, mengoordinasikan
pelayanan, kemudian merencanakan pemulangan dan tindakan
selanjutnya.. Sebagai hasilnya adalah meningkatkan mutu asuhan pasien
dan efisiensi penggunaan sumber daya yang tersedia di rumah sakit.
Perlu informasi penting untuk membuat keputusan yang benar tentang:
1) Kebutuhan pasien yang dapat dilayani oleh rumah sakit;
2) Pemberian pelayanan yang efisien kepada pasien;
3) Rujukan ke pelayanan lain baik di dalam maupun keluar rumah sakit;
4) Pemulangan pasien yang tepat dan aman ke rumah.
2. Hak Pasien dan Keluarga (HPK).
Pasien dan keluarganya adalah pribadi yang unik dengan sifat, sikap,
perilaku yang berbeda-beda, kebutuhan pribadi, agama, keyakinan, dan
nilai-nilai pribadi. Rumah sakit membangun kepercayaan dan komunikasi
terbuka dengan pasien untuk memahami dan melindungi nilai budaya,
psikososial, serta nilai spiritual setiap pasien.
Hasil pelayanan pada pasien akan meningkat bila pasien dan keluarga
yang tepat atau mereka yang berhak mengambil keputusan diikutsertakan
13

dalam pengambilan keputusan pelayanan dan proses yang sesuai dengan


harapan, nilai, serta budaya.
Untuk mengoptimalkan hak pasien dalam pemberian pelayanan yang
berfokus pada pasien dimulai dengan menetapkan hak tersebut, kemudian
melakukan edukasi pada pasien serta staf tentang hak dan kewajiban
tersebut. Para pasien diberi informasi tentang hak dan kewajiban mereka
dan bagaimana harus bersikap. Para staf dididik untuk mengerti dan
menghormati kepercayaan, nilai-nilai pasien, dan memberikan pelayanan
dengan penuh perhatian serta hormat guna menjaga martabat dan nilai diri
pasien.
Pada bab ini dikemukakan proses-proses untuk
a. melakukan identifikasi, melindungi, dan mengoptimalkan hak pasien;
b. memberitahu pasien tentang hak mereka;
c. melibatkan keluarga pasien bila kondisi memungkinkan dalam
pengambilan;
d. keputusan tentang pelayanan pasien;
e. mendapatkan persetujuan tindakan (informed consent);
f. mendidik staf tentang hak dan kewajiban pasien.
Bagaimana proses asuhan dilaksanakan di rumah sakit sesuai dengan
peraturan dan perundang-undangan, konvensi international, dan perjanjian
atau persetujuan tentang hak asasi manusia yang disahkan oleh pemerintah.
Proses ini berkaitan dengan bagaimana rumah sakit menyediakan pelayanan
kesehatan dengan cara yang wajar yang sesuai dengan kerangka pelayanan
kesehatan dan mekanisme pembiayaan pelayanan kesehatan yang berlaku.
Bab ini juga berisi hak dan kewajiban pasien dan keluarganya serta
berkaitan dengan penelitian klinis (clinical trial) dan donasi, juga
transplantasi organ serta jaringan tubuh.
3. Asessment Pasien (AP).
a. Pelayanan dan Asuhan Pasien (PAP).
b. Pelayanan Anestesi dan Bedah (PAB).
c. Pelayanan Kefarmasian dan Penggunaan Obat (PKPO).
14

d. Manajemen Komunikasi dan Edukasi (MKE).


4. Standar Manajemen Rumah Sakit
a. Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien (PMKP).
b. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI).
c. Tata Kelola Rumah Sakit (TKRS).
d. Manajemen Fasilitas dan Keselamatan (MFK).
e. Kompetensi dan Kewenangan Staf (KKS).
f. Manajemen Informasi dan Rekam Medis (MIRM)
5. Program Nasional
a. Menurunkan Angka Kematian Ibu dan Bayi.
b. Menurukan Angka Kesakitan HIV/AIDS.
c. Menurukan Angka Kesakitan TB.
d. Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA).
e. Pelayanan Geriatri.

C. PENGELOLAAN LIMBAH RUMAH SAKIT


Limbah rumah sakit adalah semua limbah yang dihasilkan dari
kegiatan rumah sakit dalam bentuk padat, cair dan gas.
Limbah padat rumah sakit adalah semua limbah rumah sakit yang
berbentuk padat sebagai akibat kegiatan rumah sakit yang terdiri dari limbah
medis padat dan non medis.
Limbah medis padat adalah limbah padat yang terdiri dari limbah
infeksius, limbah patologi, limbah benda tajam, limbah farmasi, limbah
Sitotoksis, limbah kimiawi, limbah radioaktif, limbah kontainer bertekanan,
dan limbah dengan kandungan logam berat yang tinggi.
Limbah padat non medis adalah limbah padat yang dihasilkan dari
kegiatan di rumah sakit di luar medis yang berasal dari dapur, perkantoran,
taman dan halaman yang dapat dimanfaatkan kembali apabila ada
teknologinya.
Limbah cair adalah semua air buangan termasuk tinja yang berasal dari
kegiatan rumah sakit yang kemungkinan mengandung mikroorganisme, bahan
kimia beracun dan radioaktif yang berbahaya bagi kesehatan.
15

Limbah gas adalah semua limbah yang berbentuk gas yang berasal dari
kegiatan pembakaran di rumah sakit seperti insinerator, dapur, perlengkapan
generator, anastesi dan pembuatan obat citotoksik.
Limbah infeksius adalah limbah yang terkontaminasi organisme patogen
yang tidak secara rutin ada di lingkungan dan organisme tersebut dalam jumlah
dan virulensi yang cukup untuk menularkan penyakit pada manusia rentan.
Limbah sangat infeksius adalah limbah berasal dari pembiakan
dan stock bahan sangat infeksius, otopsi, organ binatang percobaan dan bahan
lain yang telah diinokulasi, terinfeksi atau kontak dengan bahan yang sangat
infeksius.
Limbah sitotoksis adalah limbah dari bahan yang terkontaminasi dari
persiapan dan pemberian obat sitotoksik untuk kemoterapi kanker yang
mempunyai kemampuan untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan sel
hidup.
Minimisasi limbah adalah upaya yang dilakukan rumah sakit untuk
mengurangi jumlah limbah yang dihasilkan dengan cara mengurangi bahan
(reduce), menggunakan kembali limbah (reuse) dan daur ulang limbah
(recycle).
16

D. LAYANAN KEPERAWATAN
Kepmenkes RI Nomor 279/MENKES/SK/IV/2006 mendefinisikan
pelayanan keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang
merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada
ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-sosio-spiritual yang
komprehensif dan ditujukan kepada individu, keluarga dan masyarakat baik
sakit maupun sehat yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia.
Keperawatan adalah profesi yang berorientasi pada pelayanan yang
hakikatnya tindakan keperawatan bersifat membantu. Apabila perawat
melakukan tindakan keperawatan sesuai standar maka perawat dapat
melindungi diri sendiri pada bahaya tindakan legal dan yeng lebih penting
adalah melindungi klien/pasien pada risiko bahaya dan cedera. Asuhan
keperawatan yang diberikan kepada pasien harus memenuhi standar dan
kriteria profesi keperawatan, serta mampu memberikan pelayanan keperawatan
yang berkualitas sesuai harapan instansi pelayanan kesehatan untuk mencapai
17

tingkat kepuasan dan memenuhi harapan pasien (Yani, 2008). Beberapa aspek
yang dapat menjadi indikator penerapan sebuah layanan keperawatan pada
pasien menurut Marini (2010), diantaranya adalah:
1. Aspek Perhatian
Aspek perhatian merupakan sikap seorang perawat dalam memberikan
pelayanan keperawatan harus sabar, bersedia memberikan pertolongan
kepada pasien, perawat harus peka terhadap setiap perubahan pasien dan
keluhan pasien, memahami dan mengerti terhadap kecemasan dan ketakutan
pasien. Perawat memperlakukan pasien dengan baik dan tulus dalam
pemenuhan kebutuhannya (Wahyuni, 2012). Perhatian yang tulus seorang
perawat pada pasien harus selalu dipertahankan, seperti bersikap jujur dan
terbuka serta menunjukkan perilaku yang sesuai (Videbeck, 2008).
2. Aspek Penerimaan
Perawat harus menunjukkan rasa penerimaan yang baik terhadap pasien
dan keluarga pasien, menerima pasien tanpa membedakan agama, status
sosial ekonomi dan budaya, golongan dan pangkat, serta suku sehingga
perawat menerima pasien sebagai pribadi yang utuh. Perawat tidak kecewa
atau tidak berespon negatif terhadap amarah yang meluap-luap atau perilaku
buruk pasien menunjukkan penerimaan terhadap pasien (Videbeck, 2008).
3. Aspek Komunikasi
Perawat menggunakan komunikasi dari awal penerimaan pasien untuk
menyatu dengan pasien dan keluarga pasien. Komunikasi digunakan untuk
menentukan apa yang pasien inginkan berkaitan dengan cara melakukan
tindakan keperawatan. Perawat juga melakukan komunikasi dengan pasien
pada akhir pelayanan keperawatan untuk menilai kemajuan dan hasil akhir
dari pelayanan keperawatan yang telah diberikan.
4. Aspek Kerjasama
Perawat bekerja sama secara kolaborasi dengan pasien dan keluarga
dalam menganalisis situasi yang kemudian bersama-sama mengenali,
memperjelas dan menentukan masalah yang ada. Setelah masalah telah
diketahui, diambil keputusan bersama untuk menentukan jenis bantuan apa
18

yang dibutuhkan oleh pasien. Perawat juga bekerja sama secara kolaborasi
dengan ahli kesehatan lain sesuai kebutuhan pasien.
5. Aspek Tanggung Jawab
Perawat mempunyai tanggung jawab untuk memberikan pelayanan
keperawatan pada pasien selama 24 jam sehari, dari penerimaan sampai
pemulangan pasien (Swanburg, 2010). Perawat harus tahu bagaimana
menjaga keselamatan pasien, jalin dan pertahankan hubungan saling percaya
yang baik dengan pasien, pertahankan agar pasien dan keluarga tetap
mengetahui tentang diagnosis dan rencana tindakan, pencatatan semua
tindakan harus dilakukan dengan akurat untuk melindungi kesejahteraan
pasien (Priharjo, 2008).
E. MANAJEMEN SUMBER DAYA KEPERAWATAN
1. Unsur Manajemen dalam Konteks Layanan Keperawatan
Manajemen dibutuhkan setidaknya untuk mencapai tujuan, menjaga
keseimbangan di antara tujuan-tujuan yang saling bertentangan, dan untuk
mencapai efisiensi dan efektivitas. Manajemen terdiri dari berbagai unsur,
yakni man, money, method, machine, market, material dan information.
a. Man : Sumber daya manusia;
b. Money : Uang yang diperlukan untuk mencapai tujuan;
c. Method : Cara atau sistem untuk mencapai tujuan;
d. Machine : Mesin atau alat untuk berproduksi;
e. Material : Bahan-bahan yang diperlukan dalam kegiatan;
f. Marketing : Pasaran atau tempat untuk melemparkan hasil produksi;
g. Information : Hal-hal yang dapat membantu untuk mencapai tujuan.
2. Fungsi Manajemen dalam Konteks Layanan Keperawatan
Menurut Siagian (2008) dalam manajemen keperawatan (Asmuji
(2012), fungsi manajemen terdiri dari perencanaan, Pengorganisasian,
penggerakan, pengawasan dan penilaian
a. Perencanaan (planning) berisi philosophy, tujuan, sasaran, kebijakan,
prosedur: perawatan jangka panjang dan jangka pendek, kenyataan
pencapaian, rencana perubahan
19

b. Pengorganisasian (organizing) yaitu mempertahankan stuktur dan


rencana yang telah ditetapkan, mengorganisasikan pemberian rasa
nyaman pasien, aktivitas kelompok untuk mencapai tujuan unit, Type
perawatan yang tepat pada klien, Pengelompokan kegiatan unit mengacu
pada tujuan unit, Power dan otonomi yang dimiliki. Fungsi lain dari
struktur organisasi termasuk uraian tugas, kekuatan dan otoritas, didalam
unsur penggorganisasian terdapat unsur staffing yaitu rekrutmen,
interviewing, orientasi, membuat skedule, pengembangan staff,
pemberdayaan staf
c. Penggerakan (actuating), fungsi ini termasuk mempertahankan sumber
daya manusia, bertanggung jawab terhadap motivasi, managemen
konflik, delegasi, komunikasi, memfasilitasi kerjasama dan kolaborasi
d. Penilaian (evaluation/pengontrolan)
Merupakan pengendalian semua kegiatan dari proses perencanaan,
pengorganisasian dan pelaksanaan, apakah semua kegiatan tersebut
memberikan hasil yang efektif dan efisien serta bernilai guna dan
berhasil guna. fungsi ini termasuk mempertahankan kinerja staff, kuality
kontrol, pertanggungan jawab biaya atau keuangan, legal dan kontrol
etik, profesional dan kolegial kontrol. Pada fungsi ini diharapkan untuk
menilai pencapaian tujuan, menilai pelaksanaan asuhan keperawatan,
menilai kepuasan pasien, menilai kepuasan kerja perawat, serta menilai
performance apraisal atau kinerja.
F. TATA KELOLA KLINIS KEPERAWATAN
1. Manajemen Resiko dan Patient Safety
a. Pengertian Patien Safety (Keselamatan Pasien)
Patient Safety atau keselamatan pasien adalah suatu system yang
membuat asuhan pasien di rumah sakit menjadi lebih aman. Sistem ini
mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil.
20

Sistem tersebut meliputi : Assesment Risiko, Identifikasi dan


Pengelolaan Risiko (Laporan dan Analisa), Belajar dari Insiden
(Tindak Lanjut dan Implementasi Solusi).
b. Tujuan Patient Safety
1) Terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit
2) Meningkatnya akuntabilitas Rumah Sakit terhadap pasien dan
masyarakat
3) Menurunnya kejadian tidak diharapkan (KTD) di rumah sakit
4) Terlaksananya program-program pencegahansehingga tidak terjadi
pengulangan kejadian tidak diharapkan
5) Menciptakan lingkungan yang aman bagi karyawan dan pengunjung
rumah sakit
6) Mempertahankan reputasi rumah sakit
7) Memberikan pelayanan yang efektif dan efisien
c. Manfaat Patient Safety
1) Budaya safety meningkat dan berkembang
2) Komunikasi dengan pasien berkembang
3) Kejadian tidak diharapakn (KTD) menurun
4) Risiko klinis menurun
5) Keluhan berkurang
6) Mutu pelayan Rumah Sakit meningkat
7) Citra Rumah Sakit dan kepercayaan masyarakat meningkat, diikuti
dengan kepercayaan diri yang meningkat
d. Langkah Menuju Patient Safety
1) Membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien
2) Memimpin dan mendukung staf untuk komitmen dan focus pada
keselamatan pasien di Rumah Sakit
3) Integrasikan manajemen risiko
4) Sistem pelaporan di Rumah Sakit
5) Komunikasi terbuka dengan pasien
6) Belajar dan berbagi pengalaman keselamatan pasien
21

7) Cegah cedera melalui implementasi keselamatan pasien


e. Sembilan Solusi Live-Saving Keselamatan Pasien Rumah Sakit
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) mendorong RS-
RS di Indonesia untuk menerapkan Sembilan Solusi Life-Saving
Keselamatan Pasien Rumah Sakit, atau 9 Solusi, langsung atau bertahap,
sesuai dengan kemampuan dan kondisi RS masing-masing.
1) Perhatikan Nama Obat, Rupa dan Ucapan Mirip (Look-Alike,
Sound-Alike Medication Names)
Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip (NORUM),yang
membingungkan staf pelaksana adalah salah satu penyebab yang
paling sering dalam kesalahan obat (medication error).
Solusi :
- NORUM ditekankan pada penggunaan protokol untuk
pengurangan risiko
- Memastikan terbacanya resep, label, atau penggunaan perintah
yang dicetak lebih dulu
- Pembuatan resep secara elektronik.
2) Pastikan Identifikasi Pasien
Kegagalan mengidentifikasi pasien àkesalahan pengobatan, transfusi,
pemeriksaan, pelaksanaan prosedur yang keliru orang, penyerahan
bayi kepada bukan keluarganya, dsb
Rekomendasi :
- Verifikasi terhadap identitas pasien, termasuk keterlibatan pasien
dalam proses ini
- Standardisasi dalam metode identifikasi di semua rumah sakit
dalam suatu sistem layanan kesehatan
- Partisipasikan pasien dalam konfirmasi ini
- Penggunaan protokol untuk membedakan identifikasi pasien
dengan nama yang sama.
3) Komunikasi Secara Benar saat Serah Terima / Pengoperan Pasien.
22

Kesenjangan dalam komunikasi saat serah terima/ pengoperan pasien


antara unit-unit pelayanan, dan didalam serta antar tim
pelayananàterputusnya kesinambungan layanan, pengobatan yang
tidak tepat, dan potensial dapat mengakibatkan cedera terhadap
pasien.
Rekomendasi :
- Memperbaiki pola serah terima pasien termasuk penggunaan
protokol untuk mengkomunikasikan informasi yang bersifat kritis
- Memberikan kesempatan bagi para praktisi untuk bertanya dan
menyampaikan pertanyaan-pertanyaan pada saat serah terima
- Melibatkan para pasien serta keluarga dalam proses serah terima.
4) Pastikan Tindakan yang benar pada Sisi Tubuh yang benar.
Penyimpangan pada hal ini pelaksanaan prosedur yang keliru atau
pembedahan sisi tubuh yang salah. Sebagian besar adalah akibat dan
miskomunikasi dan tidak adanya informasi atau informasinya tidak
benar. Faktor yang paling banyak kontribusinya terhadap kesalahan-
kesalahan macam ini adalah tidak ada atau kurangnya proses pra-
bedah yang distandardisasi.
Rekomendasi :
- Mencegah jenis-jenis kekeliruan yang tergantung pada
pelaksanaan proses verifikasi prapembedahan
- Pemberian tanda pada sisi yang akan dibedah oleh petugas yang
akan melaksanakan prosedur
- Adanya tim yang terlibat dalam prosedur sesaat sebelum memulai
prosedur untuk mengkonfirmasikan identitas pasien, prosedur dan
sisi yang akan dibedah.
5) Kendalikan Cairan Elektrolit Pekat (concentrated)
Sementara semua obat-obatan, biologics, vaksin dan media kontras
memiliki profil risiko, cairan elektrolit pekat yang digunakan untuk
injeksi khususnya adalah berbahaya. Rekomendasi :
- Membuat standardisasi dari dosis, unit ukuran dan istilah
23

- Pencegahan atas campur aduk / bingung tentang cairan elektrolit


pekat yang spesifik.
6) Pastikan Akurasi Pemberian Obat pada Pengalihan Pelayanan.
Kesalahan medikasi terjadi paling sering pada saat transisi /
pengalihan. Rekonsiliasi (penuntasan perbedaan) medikasi adalah
suatu proses yang didesain untuk mencegah salah obat (medication
errors) pada titik-titik transisi pasien. Rekomendasi:
- Menciptakan suatu daftar yang paling lengkap dan akurat dan
seluruh medikasi yang sedang diterima pasien juga disebut
sebagai “home medication list”, sebagai perbandingan dengan
daftar saat admisi, penyerahan dan / atau perintah pemulangan
bilamana menuliskan perintah medikasi
- Komunikasikan daftar tsb kepada petugas layanan yang berikut
dimana pasien akan ditransfer atau dilepaskan.
7) Hindari Salah Kateter dan Salah Sambung Slang (Tube).
Slang, kateter, dan spuit (syringe) yang digunakan harus didesain
sedemikian rupa agar mencegah kemungkinan terjadinya KTD
(Kejadian Tidak Diharapkan) yang bisa menyebabkan cedera atas
pasien melalui penyambungan spuit dan slang yang salah, serta
memberikan medikasi atau cairan melalui jalur yang keliru.
Rekomendasi :
Menganjurkan perlunya perhatian atas medikasi secara detail / rinci
bila sedang mengerjakan pemberian medikasi serta pemberian
makan (misalnya slang yang benar), dan bilamana menyambung
alat-alat kepada pasien (misalnya menggunakan sambungan & slang
yang benar).
8) Gunakan Alat Injeksi Sekali Pakai.
Salah satu keprihatinan global terbesar adalah penyebaran HIV,
HBV, dan HCV yang diakibatkan oleh pakai ulang (reuse) dari
jarum suntik. Rekomendasi:
24

- Perlunya melarang pakai ulang jarum di fasilitas layanan


kesehatan
- Pelatihan periodik para petugas di lembaga-lembaga layanan
kesehatan khususnya tentang prinsip-pninsip pengendalian
infeksi,edukasi terhadap pasien dan keluarga mereka mengenai
penularan infeksi melalui darah.
- Praktek jarum sekali pakai yang aman.
9) Tingkatkan Kebersihan Tangan (Hand hygiene) untuk Pencegahan
lnfeksi Nosokomial.
Diperkirakan bahwa pada setiap saat lebih dari 1,4 juta orang di
seluruh dunia menderita infeksi yang diperoleh di rumah-rumah
sakit. Kebersihan Tangan yang efektif adalah ukuran preventif yang
pimer untuk menghindarkan masalah ini.
Rekomendasi:
- Mendorong implementasi penggunaan cairan “alcohol-based
hand-rubs” tersedia pada titik-titik pelayan tersedianya sumber air
pada semua kran
- Pendidikan staf mengenai teknik kebarsihan tangan yang benar
mengingatkan penggunaan tangan bersih ditempat kerja
f. Tujuh Standar Keselamatan Pasien
1) Hak Pasien
Pasien & keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan informasi
tentang rencana & hasil pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya
KTD (Kejadian Tidak Diharapkan). Kriteria:
- Harus ada dokter penanggung jawab pelayanan
- Dokter penanggung jawab pelayanan wajib membuat rencana
pelayanan
2) Mendidik Pasien Dan Keluarga
RS harus mendidik pasien & keluarganya tentang kewajiban &
tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien. Kriteria:Keselamatan
dalam pemberian pelayanan dapat ditingkatkan dgn keterlibatan
25

pasien adalah partner dalam proses pelayanan. Karena itu, di RS


harus ada system dan mekanisme mendidik pasien & keluarganya
tentang kewajiban & tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien.
Dengan pendidikan tersebut diharapkan pasien & keluarga dapat:
- Memberikan info yg benar, jelas, lengkap dan jujur
- Mengetahui kewajiban dan tanggung jawab
- Mengajukan pertanyaan untuk hal yg tdk dimengerti
- Memahami dan menerima konsekuensi pelayanan
- Mematuhi instruksi dan menghormati peraturan RS
- Memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa
- Memenuhi kewajiban finansial yang disepakati
3) Keselamatan Pasien Dan Kesinambungan Pelayanan
RS menjamin kesinambungan pelayanan dan menjamin koordinasi
antar tenaga dan antar unit pelayanan. Kriteria:
- Koordinasi pelayanan secara menyeluruh
- Koordinasi pelayanan disesuaikan kebutuhan pasien dan
kelayakan sumber daya
- Koordinasi pelayanan mencakup peningkatan komunikasi
- Komunikasi dan transfer informasi antar profesi kesehatan
4) Penggunaan Metode-Metode Peningkatan Kinerja Untuk Melakukan
Evaluasi Dan Program Peningkatan Keselamatan Pasien
RS harus mendesign proses baru atau memperbaiki proses yg ada,
memonitor & mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data,
menganalisis secara intensif KTD, & melakukan perubahan untuk
meningkatkan kinerja serta KP. Kriteria:
- Setiap rumah sakit harus melakukan proses perancangan (design)
yang baik, sesuai dengan ”Tujuh Langkah Menuju Keselamatan
Pasien Rumah Sakit”.
- Setiap rumah sakit harus melakukan pengumpulan data kinerja
- Setiap rumah sakit harus melakukan evaluasi intensif
26

5) Peran Kepemimpinan Dalam Meningkatkan Keselamatan Pasien


Standar:
- Pimpinan dorong & jamin implementasi progr KP melalui
penerapan “7 Langkah Menuju KP RS ”.
- Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif identifikasi
risiko KP & program mengurangi KTD.
- Pimpinan dorong & tumbuhkan komunikasi & koordinasi antar
unit & individu berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang
KP
- Pimpinan mengalokasikan sumber daya yg adekuat utk
mengukur, mengkaji, & meningkatkan kinerja RS serta
tingkatkan KP.
- Pimpinan mengukur & mengkaji efektifitas kontribusinyadalam
meningkatkan kinerja RS & KP.
Kriteria:
- Terdapat tim antar disiplin untuk mengelola program keselamatan
pasien.
- Tersedia program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan
dan program meminimalkan insiden,
- Tersedia mekanisme kerja untuk menjamin bahwa semua
komponen dari rumah sakit terintegrasi dan berpartisipasi
- Tersedia mekanisme untuk menangani berbagai jenis insiden
6) Mendidik Staf Tentang Keselamatan Pasien
Standar:
- RS memiliki proses pendidikan, pelatihan & orientasi untuk
setiap jabatan mencakup keterkaitan jabatan dengan KP secara
jelas.
- RS menyelenggarakan pendidikan & pelatihan yang berkelanjutan
untuk meningkatkan & memelihara kompetensi staf serta
mendukung pendekatan interdisiplin dalam pelayanan pasien.
27

Kriteria:
- Memiliki program diklat dan orientasi bagi staf baru yang
memuat topik keselamatan pasien
- Menyelenggarakan pelatihan tentang kerjasama kelompok
(teamwork) guna mendukung pendekatan interdisiplin dan
kolaboratif dalam rangka melayani pasien.
7) Komunikasi Merupakan Kunci Bagi Staf Untuk Mencapai
Keselamatan Pasien
Standar:
- RS merencanakan & mendesain proses manajemen informasi KP
untuk memenuhi kebutuhan informasi internal & eksternal.
- Transmisi data & informasi harus tepat waktu & akurat.
Kriteria:
- Disediakan anggaran untuk merencanakan dan mendesain proses
manajemen untuk memperoleh data dan informasi tentang hal-hal
terkait dengan keselamatan pasien.
- Tersedia mekanisme identifikasi masalah dan kendala komunikasi
untuk merevisi manajemen informasi yang ada
g. Langkah Langkah Kegiatan Pelaksanaan Patient Safety Adalah
1) Di Rumah Sakit
- Rumah sakit agar membentuk Tim Keselamatan Pasien Rumah
Sakit, dengan susunan organisasi sebagai berikut: Ketua: dokter,
Anggota: dokter, dokter gigi, perawat, tenaga kefarmasian dan
tenaga kesehatan lainnya.
- Rumah sakit agar mengembangkan sistem informasi pencatatan
dan pelaporan internal tentang insiden
- Rumah sakit agar melakukan pelaporan insiden ke Komite
Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) secara rahasia
- Rumah Sakit agar memenuhi standar keselamatan pasien rumah
sakit dan menerapkan tujuh langkah menuju keselamatan pasien
rumah sakit.
28

2) Di Provinsi/Kabupaten/Kota
- Melakukan advokasi program keselamatan pasien ke rumah sakit-
rumah sakit di wilayahnya
- Melakukan advokasi ke pemerintah daerah agar tersedianya
dukungan anggaran terkait dengan program keselamatan pasien
rumah sakit.
- Melakukan pembinaan pelaksanaan program keselamatan pasien
rumah sakit.
3) Di Pusat
- Membentuk komite keselamatan pasien Rumah Sakit dibawah
Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia
- Menyusun panduan nasional tentang Keselamatan Pasien Rumah
Sakit
- Melakukan sosialisasi dan advokasi program keselamatan pasien ke
Dinas Kesehatan Propinsi/Kabupaten/Kota, PERSI Daerah dan
rumah sakit pendidikan dengan jejaring pendidikan.
2. Sistem Informasi Klinis
a. Pengertian manajemen sistem informasi kesehatan
Sistem Informasi Kesehatan (SIK) adalah suatu sistem pengelolaan
data dan informasi kesehatan di semua tingkat pemerintahan secara
sistematis dan terintegrasi untuk mendukung manajemen kesehatan
dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan kepada masyarakat
Perturan perundang undangan yang menyebutkan sistem informasi
kesehatan adalah Kepmenkes Nomor 004/Menkes/SK/I/2003 tentang
kebijakan dan strategi desentralisasi bidang kesehatan dan Kepmenkes
Nomor 932/Menkes/SK/VIII/2002 tentang petunjuk pelaksanaan
pengembangan sistem laporan informasi kesehatan kabupaten/kota. Suatu
sistem informasi terdiri dari data, manusia dan proses serta kombinasi
perangkat keras, perangkat lunak dan teknologi komunikasi. Penggunaan
informasi terdiri dari 3 tahap yaitu pemasukan data, pemrosesan, dan
pengeluaran informasi.
29

b. Sistem Informasi Kesehatan di masa Depan


Dalam upaya mengatasi fragmentasi data, Pemerintah sedang
mengembangkan aplikasi yang disebut Sistem Aplikasi Daerah (Sikda)
Generik. Sistem Informasi Kesehatan berbasis Generik mempunyai ciri-
ciri sebagai berikut:
1) Input pencatatan dan pelaporan berbasis elektronik atau computerized.
2) Input data hanya dilakukan di tempat adanya pelayanan kesehatan
(fasilitas kesehatan).
3) Tidak ada duplikasi (hanya dilakukan 1 kali).
4) Akurat, tepat, hemat sember daya (efisien) dan transfaran. Tejadi
pengurangan beban kerja sehingga petugas memiliki waktu tambahan
untuk melayani pasien atau masyarakat.
5) Data yang dikirim (uploaded) ke pusat merupakan data individu yang
digital di kirim ke bank data nasional (data warehouse).
6) Laporan diambil dari bank data sehingga tidak membebani petugas
kesehatan di Unit pelayanan terdepan.
7) Puskesmas dan Dinas Kesehatan akan dilengkapi dengan peralatan
berbasis komputer.
8) Informasi Dinas Kesehatan dan Sistem Informasi Manajemen Rumah
Sakit.
c. Tujuan utama sistem informasi manajemen umumnya mencakup bidang
manajemen
1) Manajemen Sumber Daya Manusia (HRM = Human Resource
Management)
2) Manajemen Prod
3) Manajemen Keuangan.
d. Manfaat Sistem Informasi Kesehatan
Begitu banyak manfaat Sistem Informasi Kesehatan yang dapat
membantu para pengelola program kesehatan, pengambil kebijakan dan
keputusan pelaksanaan di semua jenjang administrasi (kabupaten atau
kota, propvinsi dan pusat) dan sistem dalam hal berikut :
30

1) Mendukung manajemen kesehatan


2) Mengidentifikasi masalah dan kebutuhan
3) Mengintervensi masalah kesehatan berdasarkan prioritas
4) Pembuatan keputusan dan pengambilan kebijakan kesehatan
berdasarkan bukti (evidence-based decision)
5) Mengalokasikan sumber daya secara optimal
e. Peranan system informasi kesehatan
Menurut WHO, sistem informasi kesehatan merupakan salah satu
dari 6 “building block” atau komponen utama dalam sistem kesehatan di
suatu Negara. Keenam komponen (building block) sistem kesehatan
tersebut adalah:
1) Service delivery (pelaksanaan pelayanan kesehatan)
2) Medical product, vaccine, and technologies (produk medis, vaksin,
dan teknologi kesehatan)
3) Health worksforce (tenaga medis)
4) Health system financing (system pembiayaan kesehatan)
5) Health information system (sistem informasi kesehatan)
6) Leadership and governance (kepemimpinan dan pemerintah)

Sedangkan di dalam tatanan Sistem Kesehatan Nasional, SIK


merupakan bagian dari sub sistem ke 6 yaitu pada sub sistem
manajemen, informasi dan regulasi kesehatan.
Sub sistem manajemen dan informasi kesehatan merupakan
subsistem yang mengelola fungsi-fungsi kebijakan kesehatan,
administrasi kesehatan, informasi kesehatan dan hokum kesehatan yang
memadai dan mampu menunjang penyelenggaraan upaya kesehatan
nasional agar berhasil guna, berdaya guna, dan mendukung
penyelenggaraan ke-6 subsistem lain didalam SKN sebagai satu kesatuan
yang terpadu. Adapun sub sistem dalam Sistem Kesehatan Nasional
Indonesia, yaitu:
31

1) Upaya kesehatan
2) Penelitian dan pengembangan kesehatan
3) Pembiayaan kesehatan
4) Sumber daya manusia (SDM) kesehatan
5) Sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan
6) Manajemen, informasi, dan regulasi kesehatan
7) Pemberdayaan masyarakat
Melalui hasil pengembangan sistem informasi ini maka diharapkan
dapat menghasilkan hal-hal sebagai berikut :
1) Perangkat lunak tersebut dikembangkan sesuai dengan sesuai dengan
standar yang ditentukan oleh pemerintah daerah.
2) Dengan menggunakan open system tersebut diharapkan jaringan akan
bersifat interoperable dengan jaringan lain.
3) Sistem informasi kesehatan terintegrasi ini akan mensosialisasikan
dan mendorong pengembangan dan penggunaan Local Area Network
di dalam kluster unit pelayanan kesehatan baik pemerintah dan swasta
sebagai komponen sistem di masa depan.
4) Sistem informasi kesehatan terintegrasi ini akan mengembangkan
kemampuan dalam teknologi informasi video, suara, dan data nirkabel
universal di dalam Wide Area Network yang efektif, homogen dan
efisien sebagai bagian dari jaringan sistem informasi pemerintah
daerah.
5) Sistem informasi kesehatan terintegrasi ini akan merencanakan,
mengembangkan dan memelihara pusat penyimpanan data dan
informasi yang menyimpan direktori materi teknologi informasi yang
komprehensif.
6) Sistem informasi kesehatan terintegrasi ini akan secara proaktif
mencari, menganalisis, memahami, menyebarluaskan dan
mempertukarkan secara elektronis data/informasi bagi seluruh
stakeholders.
32

7) Sistem informasi kesehatan terintegrasi ini akan memanfaatkan


website dan access point lain agar data kesehatan dan kedokteran
dapat dimanfaatkan secara luas dan bertanggung jawab dan dalam
rangka memperbaiki pelayanan kesehatan sehingga kepuasan
pengguna dapat dicapai sebaik-baiknya.
f. Ruang Lingkup Sistem Informasi Kesehatan
Ruang lingkup Aplikasi Sistem Informasi Kesehatan, mencakup
pengelolaan informasi dalam lingkup manajemen pasien (front office
management). Lingkup ini antara lain sebagai berikut:
1) Registrasi Pasien
Yang mencatat data/status pasien untuk memudahkan
pengidentifikasian maupun pembuatan statistik dari pasien masuk
sampai keluar. Modul ini meliputi pendaftaran pasien baru/lama,
pendaftaran rawat inap/jalan, dan info kamar rawat inap.
2) Rawat Jalan/Poliklinik yang tersedia di rumah sakit
Seperti: penyakit dalam, bedah, anak, obstetri dan ginekologi, KB,
syaraf, jiwa, THT, mata, gigi dan mulut, kardiologi, radiologi, bedah
orthopedi, paru-paru, umum, UGD, dan lain-lain sesuai kebutuhan.
Modul ini juga mencatat diagnose dan tindakan terhadap pasien agar
tersimpan di dalam laporan rekam medis pasien.
3) Rawat Inap.
Modul ini mencatat diganosa dan tindakan terhadap pasien, konsultasi
dokter, hubungan dengan poliklinik/penunjang medis.
4) Penunjang Medis/Laboratorium
Yang mencatat informasi pemeriksaan seperti: ECG, EEG, USG,
ECHO, TREADMIL, CT Scan, Endoscopy, dan lain-lain.
5) Penagihan dan Pembayaran
Meliputi penagihan dan pembayaran untuk rawat jalan, rawat inap dan
penunjang medis (laboratorium, radiologi, rehab medik), baik secara
langsung maupun melalui jaminan dari pihak
ketiga/asuransi/JPKM.Modul ini juga mencatat transaksi harian pasien
33

(laboratorium, obat, honor dokter), daftar piutang, manajemen deposit


dan lain-lain.
6) Apotik/Farmasi, yang meliputi pengelolaan informasi inventori dan
transaksi obat-obatan. Melalui lingkup manajemen pasien tersebut
dapat diperoleh laporanlaporan mengenai:
- Pendapatan rawat inap dan jalan secara periodik (harian, bulanan
dan tahunan)
- Penerimaan kasir secara periodik,
- Tagihan dan kwitansi pembayaran pasien
- Rekam medis pasien
- Data kegiatan rumah sakit dalam triwulan (RL1),
- Data morbiditas pasien rawat inap (RL2a),
- Data morbiditas pasien rawat jalan (RL2b),
- Manajemen ketersediaan obat pada bagian farmasi/apotik,
- Penerimaan kasir pada bagian farmasi/apotik,
- Data morbiditas penyakit khusus pasien rawat inap (RL2a1),
- Grafik yang menunjang dalam pengambilan keputusan.
- Data morbiditas penyakit khusus pasien rawat jalan (RL2b1),
3. Prakrek Kolaboratif Interdisiplin
a. Definisi
Interprofessional collaborative practice (IPCP) didefinisikan
sebagai suatu kemitraan antara tim profesional kesehatan dan klien
secara partisipatif, pendekatan kolaboratif dan terkoordinasi untuk
berbagi tujuan kesehatan dan sosial serta pengambilan keputusan
masalah (Orchard C, Curran V, & Kabene S., 2008). Definisi lain
lebih memandang pada bentuk aplikasinya yaitu model keperawatan
kolaboratif . Model perawatan kolaboratif didasarkan pada prinsip-
prinsip pengelolaan penyakit kronis yang meliputi pengiriman
perawatan berbasis bukti dalam kemitraan dengan pasien dan tim
multidisiplin (Steel J, Geller, A.D, Tsung A., et al , 2011; Gilbody S,
Bower P, Fletcher J, et al; 2008).
34

Adapun karakteristik dan keyakinan yang merupakan dasar


perawatan kesehatan kolaboratif meliputi:
1) Klien memiliki hak untuk
Menentukan sendiri
2) Klien dan profesional
kesehatan berinteraksi dalam hubungan yang timbal balik;
Ketergantungan klien dan dominasi profesional diminimalkan,
partisiplasi klien dalam proses perawatan kesehatan
dimaksimalkan.
3) Kesetaraan antara manusia
diharapkan dalam hubungan perawatan kesehatan
4) Tanggung jawab terhadap
kesehatan ada pada klien, bukan profesional kesehatan
5) Konsep kesehatan individu
penting dan logis untuk individu tersebut
6) Kolaborasi melibatkan
negosiasi dan pencapaian konsensus bukan mengajukan pertanyaan
dan memberi perintah.
Merujuk pada standar praktik kolaborasi keperawatan, standar
praktik keperawatan kolaboratif didasarkan pada Standar Praktik
Keperawatan Klinis ANA tentang Kolaborasi. Dalam Standar VI yaitu
standar kolaborasi: Perawat berkolaborasi dengan pasien,keluarga dan
pemberi perawatan kesehatan lain dalam memberikan perwatan pasien
dengan kriteria penilaian:
1) Perawat berkomunikasi dengan pasien, keluarga dan pemberi
perawatan kesehatan lain terkait dengan perwatan pasien dan
peran keperwatan dalam pemberian perawatan.
2) Perawat berkolaborasi dengan pasien, keluarga dan pemberi
kesehatan lain dalam merumuskan keseluruhan tujuan dan
rencana perawatan dan dalam keputusan yang terkait dengan
perwatan dan pemberi layanan.
35

3) Perawat berkonsultasi dengan pemberi perawatan lesehatan lain


tentang pearwatan pasien, jika diperlukan.
4) Perawat melakukan rujukan termasuk pemberi kontinuitas
pearwatan jika diperlukan
b) Tujuan Praktik Kolaboratif
Menurut Blais, K.K., Hayes S.J., Kozier B., Erb G. (2008) tujuan
dari praktik kolaboratif adalah perawatan klien yang berkualitas tinggi
dan kepuasan klien. Selain itu banyak profesional keperawatan
kesehatan meyakini bahwa kerangka kerja kolaboratif multidiciplin
dapat membatasi biaya serta meningkatkan kualitas. Model pkraktik
kolaboratif dinisiasikan untuk mencapai beberapa tujuan:
1) Memberikan perwatan yang berpusat pada klien dengan
menggunakan kerangka kerja multidisipliner yang terintegrasi dan
partisipatif
2) Meningkatkan kontinuitas selama perawatan, sejak
prehospitalisasi, kondisi akut, sampai pemulangan dan pemulihan.
3) Meningkatkan kepuasan klien dan keluarga terhadap perwatan
4) Memberikan perawatan yang berkualitas, hemat biaya dan
berbasis pada penelitian yang diarahkan pada hasil.
5) Meningkatkan rasa saling menghargai, komunikasi, dan
pemahaman antara klien dan anggota tim perawat kesehatan
6) Menciptakan sinergi antar klien dan pemberi pearawatan
7) Memberikan keesempatan untuk membahas dan memmecahkan
isu dan masalah yang berhubungan dengan sistem
8) Membina hubungan interdependen dan pemahaman dikalangan
pemberi perawatan dan klien.

Adapun Kompetensi Sebagai dasar kolaborasi meliputi:


Ketrampilan komunikasi, Saling menghargai dan rasa percaya,
Memberi dan menerima umpan balik, Pengambilan keputusan dan
Manajemen konflik. Peran perawat sebagai kolaborator terdiri dari:
36

1) Dengan klien
- Mengakui, medukung dan mendorong ketrlibaatan aktif pasien
dalam pengambilan keputusan kesehatan.
- Mendorong rasa otonomi klien dan kesetaraan posisi dengan
anggota tim kesehatan lain
- Membantu klien menetapkaen tujuan dan sasaran yang
disepakati untuk perawatan kesehatan
- Memberikan konsultasi pada pasien dengan cara kolaboratif.
2) Dengan rekan kerja
- Membagi keahlian personal dengan perawatan lain dan
mendapatkan ketrampilan orang lain untukmeningkatkan
kualitas pelayanan
- Membina hubungan rasa saling percaya
3) Dengan profesional Perawat Kesehatan lain
- Mengakui kontribusi yang diberikan oleh tiap anggota tim
antardisiplin karena keahlian mereka dan gambaran situasi
- Mendengarkan pandangan tiap individu
- Membagi tanggung jawab perawatan kesehatan
- Berpartisipasi dalam penelitian antardisiplin kolaboratif untuk
meningkatkan pengetahuan tentang maslah atau situasi klinik
4) Model Interdisciplinarry/Collaborative Care
a) Conceptual Model
Beberapa faktor yang berkaitan dengan konsep model.
Faktor-faktor pendukung interdiciplinarry care tersebut
meliputi: kejelasan peran yang menghasilkan pemahaman dari
peran-peran yang ada dan diasumsikan oleh masing-masing
anggota interdisipliner bahwa pengetahuan yang mereka
punyai adalah dibutuhkan untuk melakukan praktik
kolaboratif; Penilaian terhadap peran adalah penghormatan
yang ditunjukkan terhadap satu sama lain berdasarkan masing-
masing pengetahuan anggota dan kontribusi terhadap tim,
37

pengembangan hubungan saling percaya di mana setiap


anggota mempercayai pengetahuan, pengambilan keputusan,
kapasitas dan rasa etika masing-masing disiplin, dan
pembagian kekuasaan di mana ada keinginan untuk
memfasilitasi pembagian kekuasaan bersama dalam tim praktik
kolaboratif interdisplin. Selanjutnya pada gambar 2 Dijelaskan
beberapa proses kolaboratif yang terjadi dalam sebuah
siklus/proses.

Gambar 2. Change Process during team development (dikutip dari: Orchard C,


Curran V, & Kabene S., 2009).

b) Konsep model Cohesiveness in Interdiciplinary Model of


patient care
Kekompakan praktek kolaboratif antara perawat- dokter
tercermin dari sikap dan kecenderungan mereka untuk
berperilaku pada setiap komponen model. Kohesivitas ada
ketika mereka yang bekerja sama memiliki kecenderungan
untuk mampu menggunakan lebih dari berbagi keahlian dari
otonomi profesi mereka. Konsep ini menjelaskan bahwa ketika
melibatkan dokter dan perawat, praktek kolaboratif dapat
memberikan lebih besar kesempatan untuk mendidik dan
38

pasien berkonsultasi dengan tujuan mencegah penyakit,


meningkatkan kesehatan, dan meningkatkan kepatuhan
terhadap pengobatan. Upaya kolaboratif berhasil bila ada
pemahaman yang jelas tentang hubungan dan tujuan, dengan
memperhatikan co-wilayah / tanggung jawab tumpang tindih
atau bidang yang menjadi perhatian, saling percaya dan rasa
kesetaraan yang berkembang; dikembangkan bersama struktur
dan tanggung jawab bersama menciptakan kesadaran,
wewenang dan akuntabilitas diterima; dan saling memajukan
visi di mana setiap anggota melihat atau kepentingan
dirinya.Hal ini tercermin dalam konsep model penelitian yang
dilakukan oleh Susilaningsih S.F., Mukhlas M., Sunartini,
Utarini A, (2011), disebutkan dalam penelitian ini, budaya
kolaboratif dibuat melalui empat komponen model, yang
terdiri dari Care path, kerja sama tim pada perawatan pasien,
terpadu dokumentasi perawatan pasien dan interdisipliner
konferensi kasus. Untuk setiap komponen, kemampuan
kontrol, berbagi informasi, perhatian bersama pada wilayah
agar tidak terjadi tumpang tindih tanggung jawab atau bidang
yang menjadi perhatian, dan penataan intervensi adalah bahan
utama.
5) Faktor pendukung pelaksanaan interdisclipnarry atau
collaborative care
a) Klarifikasi peran
Fase ini disebut kejelasan peran yang didasarkan pada
pemahaman bahwa semua anggota kelompok disiplin berperan
melalui pengetahuan mereka dalam menjalankan peran
tersebut. Setiap disiplin profesional kesehatan perlu membahas
dan mendapatkan:
- Pemahaman yang jelas tentang peran mereka sendiri dan
keahlian
39

- Keyakinan pada kemampuan mereka sendiri,


- Pengakuan batas-batas disiplin mereka sendiri,
- komitmen terhadap nilai dan etika profesi mereka sendiri
- Pengetahuan tentang standar praktek disiplin mereka
sendiri.

Kegiatan untuk membuat kejelasan memerlukan diskusi


tentang bentuk peran dalam keyakinan tertentu dan nilai-nilai
yang mendasari batas-batas disiplin masing-masing disiplin.
Klarifikasi peran juga memerlukan pembahasan seputar
partisipasi pasien dalam perawatan kesehatan.
b) Menghargai peran
Menghargai peran diantara anggota profesional kesehatan
akan memfasilitasi berbagi ide, tanggung jawab, aspirasi, dan
ketidaksepakatan. Menilai kontribusi masing-masing
profesional kesehatan akan menciptakan iklim keterbukaan dan
rasa hormat dengan rasa aman tanpa ada kecurigaan atar
kelompok tim.
c) Pengembangan hubungan saling percaya
Nilai yang diyakini penting untuk kolaborasi kerja tim
adalah - saling menghormati, kepercayaan, dan sinergi. Saling
menghormati berarti anggota tim memiliki "komitmen
terhadap nilai-nilai dan etika mereka, profesi sendiri, mengakui
keahlian rekan-rekan dan saling ketergantungan dalam
praktek”. Membina hubungan saling percaya antara kelompok-
kelompok kolaboratif menciptakan sinergi dan toleransi,
komunikasi dapat ditingkatkan, kerjasama, dan berbagi
pengambilan keputusan sekitar koordinasi perawatan pasien.
Pembagian kekuasaan
Proses pengembangan dan perubahan kearah perawatan
pasien dengan tim kolaborative interdisplin dapat dicapai
40

melalui pembagian kekuasaan. Hal ini menunjukkan bahwa


kekuatan pengambilan keputusan perlu dibagi dengan anggota
lain dari tim.
6) Faktor Penghambat pelaksanaan Interdisciplinarry atau
Collaborative Care
Sumber konflik dalam tim praktik kolaboratif interdisiplin
didapatkan dari hasil ketidaktahuan dasar konseptual untuk
praktik disiplin lain, komunikasi yang buruk di antara anggota
berbagai disiplin ilmu, sikap chauvinistic, ketidakpercayaan, dan
kurangnya kepercayaan terhadap disiplin lainnya.
Tim kolaboratif akan bekerja dalam sebuah organisasi yang
memiliki aturan sendiri, prosedur dan harapan, oleh karena itu
budaya sebuah organisasi dapat menciptakan hambatan bagi
praktek kolaboratif interdisplin.
a) Struktur Organisasi
Strukturalisme Organisasi didefinisikan sebagai organisasi
secara administratif dan proses pengambilan keputusan yang
diadopsi dalam suatu lembaga untuk mencapai mandat yang
diberikan oleh tingkatan otoritas. Otoritas ini meliputi:
tindakan dan ketetapan yang dibuat oleh tingkat pusat dan
propinsi, regulator provinsi dan nasional tentang praktek
profesional, lembaga akreditasi kesehatan nasional, sistem
peradilan, dan operator asuransi. Semua otoritas ini
menempatkan persyaratan tentang bagaimana lembaga
kesehatan mengelola kegiatan dan mengontrol profesional
kesehatan yang berfungsi dalamnya.
b) Ketidakseimbangan kekuasaan
Kekuasaan menurut Forbes & Fitzsimons (1993) adalah
sebuah konsep demokrasi dengan partisipasi sebagai hak
dasar". Ketidakseimbangan kekuasaan dibagi menjadi dua
kategori: konflik peran dan konflik tujuan. Konflik peran
41

adalah hasil dari "tumpang tindih kompetensi dan tanggung


jawab, prasangka yang profesional keehatan terhadap peran
mereka sendiri, dan persepsi stereotype yang profesional
kesehatan pegang terhadapanggota disiplin lain".
Praktik kolaborasi antar displin di tatanan pelayanan
kesehatan didasarkan pada hubungan saling ketergantungan,
dibangun di atas rasa hormat, kepercayaan dan pemahaman
tentang perspektif yang unik dan saling melengkapi setiap
profesi. Hal tersebut tidak dapat terjadi tanpa resolusi dari
ketidakseimbangan kekuasaan ini. Selain itu, penerimaan
pandangan oleh pasien juga harus dihormati dalam praktik
kolaboratif ini.
c) Sosialisasi peran
Setiap disiplin profeional memiliki cara unik berpikir dan
bertindak, dan dengan budayanya sendiri. Budaya disiplin
yang didirikan pada asumsi yang berlaku tentang dasar
epistemologis, perilaku dan normatif yang tepat pada tindakan.
Dengan demikian, setiap anggota dari disiplin kesehatan
membawa satu set budaya yang berbeda dari nilai-nilai tentang
kerja tim berdasarkan sosialisasi profesional, pengalaman
pribadi dan keyakinan.
Setelah memasuki praktek kolaboratif, profesional
kesehatan harus belajar untuk menerima belum dipahaminya
praktek dan kepercayaan anggota disiplin lainnya dalam
berbagi proses perawatan pasien. Akibatnya, sosialisasi peran
harus diperluas untuk mencakup kolaborasi dengan rekan-
rekan profesional kesehatan lainnya.
7) Tahapan pelaksanaan Interdisciplinarry/Collaborative Care
Pembentukan model praktik kolaboratif interdisiplin akan
membutuhkan perubahan yang signifikan dari berbagai hal yang
meliputi bagaimana cara pendidikan pada profesionl kesehatan,
42

bagaimana sistem kesehatan dilaksanakan, dan bagaimana pasien


berpartisipasi dalam perawatan mereka.
Sebuah proses sensitisasi profesional kesehatan dengan
mengeksplorasi makna peran-peran mereka dan mengeksplorasi
proses pengambilan keputusan sehingga menciptakan kesadaran
praktek kolaboratif yang sedang dibangun. Proses perubahan ini
berlanjut keeksplorasi yang menyediakan sarana untuk
membangun model untuk hubungan kerja kolaboratif diseluruh
disiplin ilmu dan dengan pasien, kemudian intervensi mana
disepakati model praktek kolaboratif interdisplin diuji dengan
kelompok pasien, dan akhirnya evaluasi ketika hasil dari model
yang ditentukan dalam praktek kolaboratif interdisiplin. Berikut
tahapan dalam pelaksanaan praktek kolaboratif.
a) Sensitisasi
Fokusnya adalah pada menciptakan kesadaran untuk
kebutuhan untuk mengubah dari model praktek saat ini.
Selama proses sensitisasi tiga hambatan untuk membangun
IDCP, strukturalisme organisasi, ketidakseimbangan kekuatan,
dan sosialisasi profesional didiskusikan sebelumnya yang
diajukan oleh anggota kelompok.
b) Eksplorasi
Eksplorasi berfokus pada klarifikasi peran dan menilai
kontribusi masing-masing anggota tim menuju terwujudnya
proses kolaboratif interdisipliner. Anggota kemudian
mempertimbangkan keterampilan-ketrampilan yang tumpang
tindih di antara kelompok. Pasien kemudian berbagi peran
mereka dalam proses perawatan kolaboratif interdisipliner.
c) Intervensi
Pada saat praktik kolaboratif interdisplin ini diuji obakan
maka disarankan pengujian model harus berfokus pada
struktur, proses dan outcomes. Oleh karena itu, pelaksanaan
43

tim kolaboratif secara khusus berfokus pada menilai pola kerja


tim. Pola kerja tim tampaknya dibagi menjadi dua aspek yaitu
tugas (bagaimana tugas dicapai) dan pemeliharaan
(berhubungan dengan tim komunikasi antar kelompok).
d) Evaluasi
Evaluasi model praktek kolaboratif interdisiplin berfokus
pada menilai efektivitas tim. Empat fokus tersebut meliputi:
proses tim, kepuasan anggota tim dengan proses, hasil pasien,
dan kepusan pasien. Oleh karena itu, baik proses evaluasi
formatif dan sumatif harus diadopsi untuk mengukur seberapa
baik tim kesehatan interdisipliner bekerja. Variabel untuk
mengukur efektivitas tim yang disarankan meliputi:
perencanaan bersama , tujuan bersama , komunikasi terbuka ,
manajemen hambtan yang kreatif, strategi, pendelegasian tugas
dan evaluasi outcomes, kontribusi unik masing-masing
anggota, latar belakang pendidikan, bidang prestasi dan
keterbatasan , bukti penyelesaian tugas, kecukupan sumber
daya.
4. Patient Centered Care
a. Definisi
Patient Centered Care (PCC) adalah mengelola pasien dengan
merujuk dan menghargai individu pasien meliputi preferensi/pilihan,
keperluan, nilai – nilai, dan memastikan bahwa semua pengambilan
keputusan klinik telah mempertimbangkan dari semua nilai – nilai yang
diinginkan pasien (Frampton, 2008).
Institute Of Medicine (IOM) mendefinisikan PCC sebagai
asuhan yang menghormati dan responsif terhadap pilihan, kebutuhan dan
nilai – nilai pribadi pasien. Serta memastikan bahwa nilai – nilai pasien
menjadi panduan bagi semua keputusan klinis (Shaller, 2008).
Rumah sakit menetapkan staf medis, keperawatan dan staf lain yang
bertanggung jawab atas pelayanan pasien, bekerja sama dalam
44

menganalisis dan mengintegrasikan asesmen pasien. Pasien mungkin


menjalani banyak jenis pemeriksaan diluar dan didalam rumah sakit oleh
berbagai unit kerja dan berbagai pelayanan. Akibatnya, terdapat berbagai
informasi, hasil tes dan data lain di rekam medis pasien. Manfaatnya
akan besar bagi pasien, apabila staf yang bertanggung jawab atas pasien
bekerja sama menganalisis temuan pada asesmen dan
mengkombinasikan informasi dalam suatu gambaran komprehensif
dari kondisi pasien. Dari kerjasama ini, kebutuhan pasien di
identifikasi, ditetapkan urutan kepentingannya, dan dibuat keputusan
pelayanan (Conway, 2011).
PCC merupakan inisiatif untuk meningkatkan pelayanan yang
bervariasi, termasuk upaya untuk meningkatkan model pelayanan
penyakit kronis, kompetensi budaya dan keragaman di tempat kerja.
Faktanya komponen konsep PCC terintegrasi membentuk sebuah
pemikiran baru “ PCC untuk kelompok rentan”. Upaya tersebut terjadi
secara bersamaan dalam 4 level, yaitu :
1) Level organisasi, misalnya : struktur, proses, kepemimpinan,
pendanaan, teknologi informasi.
2) Level pasien, misalnya : navigasi, penterjemah, akses mudah, edukasi.
3) Level penyedia pelayanan, misalnya : pelatihan, tim
interdisipliner, keragaman, kompetensi budaya.
4) Level komunitas, misalnya : mencapai lebih dari target,
rekrutmen, dan kemitraan. (Silow, 2008).
b. Tujuan PCC
1) Perawatan diberikan secara tepat waktu, aman dan tepat sesuai
dengan standar profesi, persyaratan hukum dan perundang –
undangan.
2) Perawatan selama transisi akan mencerminkan tingkat
keterampilan staf.
3) Perawatan terkoordinasi untuk memastikan hasil yang terbaik
bagi pasien.
45

4) Tidak ada duplikasi perawatan pasien.


5) Suatu distribusi yang adil dari pekerjaan.
6) Sebuah pendekatan multidisiplin untuk pemberian perawatan.
7) Untuk memastikan pendekatan holistik dalam pelayanan
keperawatan yang mencerminkan praktek profesional saat ini.
8) Mengembangkan dan menerapkan “Model of Care”
- Komunikasi yang akurat dan tepat waktu dalam dokumentasi
- Profesional, ketrampilan, pendidikan, pemberi asuhan,
loyalitas, komitmen dan keunggulan
- Respek diri, budaya pasien dan organisasi
- Sikap positif
- Privasi
- Transisi pasien, sumber daya dan staf
c. Komponen PCC

Gambar Dimensions of PCC

Dalam pelaksanaannya, PCC terdiri dari 8 dimensi yaitu :


1) Menghormati nilai – nilai, pilihan dan kebutuhan yang diutarakan oleh
pasien
2) Koordinasi dan integrasi asuhan
3) Informasi, komunikasi dan edukasi
4) Kenyamanan fisik
5) Dukungan emosional dan penurunan rasa takut dan kecemasan
6) Keterlibatan keluarga dan teman
46

7) Asuhan yang berkelanjutan dan transisi yang lancar


8) Akses terhadap pelayanan (Bev Jhonson, 2008).
d. Penerapan PCC melalui Standar Akreditasi Rumah Sakit Versi 2012
1) Menghormati nilai – nilai, pilihan dan kebutuhan yang diutarakan
pasien.
2) Pelayanan berpusat dan bermitra dengan pasien
3) Pasien dan keluarga dilibatkan dan di-support untuk ikut serta dalam
perawatan dan pembuatan keputusan. Pasien bukan sebagai obyek
saja, tetapi sebagai center of care yang dilibatkan dalam perawatan
dan decision making.
4) Perawat bertanggung jawab untuk memberikanproses yang
mendukung hak pasien & keluarganya selama dalam pelayanan
Perawat menyampaikan hak pasien dan keluarga selama dirawat di
RS dan menghargai sebagai individu yang unik dengan berbagai
karakter. Setiap pasien dijelaskan tentang hak – hak & tanggung
jawab mereka dengan cara dan bahasa yang dapat mereka pahami.
5) Pelayanan dilaksanakan dengan penuh perhatian dan
menghormati nilai – nilai pribadi & kepercayaan pasien
6) Perawat mendengarkan dan menghormati pilihan pasien. Pengetahuan,
nilai – nilai yang dianut, dan background budaya pasien ikut berperan
penting selama perawatan pasien dan menentukan outcome pelayanan
kesehatan kepada pasien.
7) Perawat menghormati kebutuhan privasi pasien
Tiap pasien memiliki karakeristik yang unik sebagai individu, masing
– masing memiliki kebutuhan yang berbeda. Tiap individu memiliki
kebutuhan privasi yang berbeda dan harus dipenuhi oleh perawat.
Perawat dididik tentang peran mereka dalam mengidentifikasi nilai –
nilai & kepercayaan pasien serta melindungi hak dan privasi pasien.
(Silow, 2008).
e. Partisipasi keluarga dan teman dalam proses perawatan
47

1) RS mendukung keluarga dan teman untuk berpartisipasi dalam proses


pelayanan
Perawat mengajak keluarga dan teman pasien dalam membuat
perencanaan dan pengembangan program, implementasi dan evaluasi
program yang akan didapatkan oleh pasien. Keluarga berhak ikut serta
dalam pengambilan keputusan selama proses perawatan di RS,
misalnya menghormati keinginan & pilihan pasien atau keluarga
untuk suatu pelayanan atau membatalkan atau memberhentikan
pengobatan.
2) Dukungan emosional dan sosial
Peran teman dan keluarga dapat diberikan dalam bentuk dukungan
emosional dan sosial, misalnya menemani pasien saat di rumah sakit,
memberikan informasi berkaitan dengan dunia luar selama pasien
dirawat.
3) Informasi, Komunikasi, Edukasi
- Perawat memberikan edukasi untuk menunjang partisipasi
pasien & keluarga dalam pengambilan keputusan dan proses
pelayanan
Edukasi tentang proses perawatan penting untuk membantu
pasien dan keluarga dalam mengambil keputusan yang tepat
agar tidak merasa dirugikan. Perawat berusaha mengurangi kendala
fisik, bahasa dan budaya serta penghalang lainnya dalam
memberikan pelayanan
- Dilakukan asessment kebutuhan pendidikan masing – masing
pasien dan dicatat di rekam medis
Komunikasi dan edukasi kepada pasien & keluarga diberikan
dalam format dan bahasa yang dapat dimengerti. Penggunaan
bahasa dan istilah ketika berinteraksi dengan pasien menyesuaikan
dengan pendidikan dan latar belakang pasien. Hal ini bertujuan
agar pemberian informasi dan edukasi dapat dipahami dan diterima
dengan baik.
48

- Perawat menginformasikan kepada pasien & keluarga tentang


asuhan dan pelayanan, serta bagaimana cara mengakses/untuk
mendapatkan pelayanan tersebut. Penjelasan tentang fasilitas dan
cara untuk mengaksesnya perlu disampaikan saat pasien masuk,
dapat berupa booklet atau lembar balik dan bukan penjelasan
secara lisan saja.
- Perawat berkolaborasi dengan dokter memberitahu pasien &
keluarga, dengan cara dan bahasa yang dapat dimengerti tentang
proses bagaimana mereka akan diberitahu tentang kondisi medis
dan setiap diagnosis pasti, bagaimana mereka ingin dijelaskan
tentang rencana pelayanan & pengobatan, serta bagaimana mereka
dapat berpartisipasi dalam keputusan pelayanan bila diminta oleh
pasien dan keluarga.
- Pasien & keluarga diberi tahu tentang hasil asuhan dan
pengobatan termasuk kejadian yang tidak diharapkan (KTD).
Perawat memberitahu pasien & keluarganya tentang bagaimana
mereka akan dijelaskan tentang hasil pelayanan dan pengobatan,
termasuk hasil KTD dan siapa yang akan memberitahukan
- Pasien & keluarganya mendapat penjelasan tentang pelayanan yang
ditawarkan, hasil yang diharapkan dan perkiraan biaya pelayanan
- Berkolaborasi dengan tim lain dalam menjelaskan perkiraan
biaya pelayanan selama pasien dirawat.
- Perawat memberikan penjelasan kepada pasien & keluarganya
mengenai proses untuk menerima dan bertindak terhadap keluhan,
konflik dan perbedaan pendapat tentang pelayanan pasien serta hak
pasien untuk berpartisipasi dalam proses.
4) Asuhan yang berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan pasien dan
transisi yang lancar
a) Semua pasien yang dilayani perawat harus diidentifikasi
kebutuhannya.
49

Pelayanan direncanakan dan diberikan untuk memenuhi


kebutuhan pasien. Perawat memberikan pemahaman dan informasi
detail tentang pengobatan, penurunan kondisi fisik, kebutuhan diet
dan informasi lain terkait kebutuhan pasien.
b) Kebutuhan pelayanan medis dan keperawatan ditetapkan
berdasarkan asesmen awal
Pasien diterima berdasarkan pada kebutuhan pelayanan
kesehatan mereka. Perlu adanya koordinasi dan perencanaan terkait
pengobatan yang berjalan dan perawatan setelah pulang, serta
memastikan bahwa pasien dan keluarga sudah memahami
informasi tersebut.
c) Perawat menjelaskan pada pasien fasilitas yang tersedia di
rumah sakit, misalnya pelayanan anestesi, pelayanan laboratorium,
pelayanan radiologi dan pelayanan diagnostik lain untuk
memenuhi kebutuhan pasien.
d) Perawat memperhatikan kebutuhan klinis pasien pada waktu
menunggu atau penundaan untuk pelayanan diagnostik &
pengobatan
e) Perawat berespon terhadap permintaan pasien & keluarganya
untuk pelayanan rohani atau sejenisnya berkenaan dengan
agama dan kepercayaan pasien.
f) Pasien dirujuk ke RS lain berdasarkan atas kondisi dan
kebutuhan pelayanan lanjutan
Perawat menjelaskan tentang proses rujukan dan pemulangan
pasien rawat inap atau rawat jalan, termasuk perencanaan untuk
kebutuhan transportasi pasien.
5) Akses terhadap pelayanan
a) Memberikan informasi tentang akses lokasi rumah sakit
terdekat, klinik, perawat praktek mandiri dan dokter praktek Pasien
membutuhkan informasi cara yang mudah untuk mengakses
pelayanan kesehatan terdekat, terutama untuk pasien yang tinggal
50

di daerah yang jauh dari pelayanan kesehatan. Alternatif


pelayanan yang diperoleh di dokter praktik, praktik mandiri
perawat, klinik maupun polindes.
b) Memberikan informasi yang jelas tentang layanan khusus yang
dapat diakses oleh pasien. Pasien dengan diagnosa tertentuselain
dukungan dari teman dan keluarga juga membutuhkan dukungan
dari rekan sebaya. Layanan khusus dapat berupa kelompok
dukungan sebaya, misalnya pada pasien HIV/AIDS atau pasien
kusta.
6) Integrasi & Koordinasi
a) Staf medis, keperawatan dan staf lain yang bertanggung jawab atas
pelayanan pasien, bekerja sama dalam menganalisis dan
mengintegrasikan asesmen pasien
b) Ada prosedur untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan
asuhan yang diberikan kepada setiap pasien
c) Mendisain dan melaksanakan proses untuk memberikan
pelayanan asuhan pasien yang berkelanjutan di dalam RS dan
koordinasi antar para tenaga medis
d) Tenaga kesehatan profesional yang memberi pelayanan pasien
berkolaborasi dalam memberikan pendidikan
f.Faktor – faktor yang mempengaruhi PCC
1) Kepemimpinan
Faktor penting dalam PCC, baik di rumah sakit maupun rawat
jalan adalah komitmen dan keterlibatan pimpinan di tingkat CEO dan
dewan direksi. Transformasi organisasi yang dibutuhkan untuk
mencapai asuhan berkelanjutan dalam PCC tidak akan terjadi tanpa
dukungan dan partisipasi dari pimpinan. Pentingnya kepemimpinan
dalam Teori Edgar Schein mengidentifikasi hubungan erat antara
kepemimpinan dan budaya dalam suatu organisasi, yaitu :
a) Budaya organisasi yang diciptakan oleh pemimpin, salah satu yang
paling menentukan adalah fungsi kepemimpinan.
51

b) Jack Siversin, et all dokter ahli dalam budaya, telah


menerapkan konsep – konsep khusus untuk perawatan pasien
melalui model perubahan organisasi yang berfokus pada unsur
pimpinan, berbagi visi, budaya dan kekompakan antara manajemen
dan medis, serta pengawasan staf (D. Patient Centered Care, 2008).
2) Visi strategis
Kepemimpinan yang berkomitmen, dalam organisasi perlu
mengembangkan visi dan rencana strategis yang jelas untuk mengatur
bagaimana PCC akan masuk ke dalam prioritas dan proses secara
operasional sehari – hari. Pentingnya pernyataan visi dan misi yang
jelas, unsur – unsur sederhana yang dapat dengan mudah diulang dan
tertanam dalam kegiatan rutin bahwa semua anggota staf
melaksanakan tugasnya dengan baik. Menterjemahkan visi ke dalam
cara berperilaku yang merupakan kunci sukses dalam organisasi.
3) Keterlibatan pasien dan keluarga
Menurut konsep PCC, jika pasien harus benar – benar
terlibat, maka harus melibatkan keluarga mereka. Hal ini secara luas
dipahami sebagai teman dekat dan orang lain yang berpengaruh,
bukan hanya kerabat keluarga, yang dapat memberikan dukungan
penting dan informasi selam proses perawatan. Menurut Bevn
Johnson Presiden Institute for Patient and Family Centered Care,
pasien dan keluarga harus terlibat dalam perawatan di beberapa
tingkatan, sesuai dengan rekomendasi IOM.
Tingkat pertama adalah titik pemberian perawatan, dimana pasien
dan keluarga dapat memberikan kontribusi pada proses pengumpulan
informasi tentang persepsi perawatan dan membantu dalam
menganalisis dan menanggapi strategi pengobatan. Tingkat kedua
adalah mikrosistem klinis, dimana pasien dan penasihat keluarga
harus berpartisipasi sebagai anggota penuh dari peningkatan kualitas
dan tim desain ulang, berpartisipasi dari awal dalam perencanaan,
pelaksanaan dan mengevaluasi perubahan. Tingkat ketiga adalah
52

kepemimpinan organisasi, dimana perspektif dan suara pasien dan


keluarga sangat penting untuk peningkatan kualitas, perencanaan dan
kebijakan program pembangunan. Pasien dan keluarga harus
berpartisipasi dalam isu – isu seperti keselamatan pasien, desain
fasilitas, peningkatan kualitas, pendidikan pasien dan keluarga, etika
dan penelitian.
4) Memperhatikan lingkungan sebagai perawatan
Suatu organisasi yang berorientasi pada PCC harus membuat dan
memelihara suatu lingkungan dimana tenaga kerja merupakan aset
yang dihargai dan diperlakukan pada tingkat yang sama, martabat dan
rasa hormat bahwa organisasi mengharapkan staf untuk memberikan
pelayanan kepada pasien dan keluarga. Menekankan pentingnya
perekrutan, pelatihan, evaluasi, kompensasi dan mendukung staf
berkomitmen untuk menerapkan PCC.
5) Pengukuran sistematis dan tanggapan
Dalam peningkatan kualitas kesehatan, pedoman bahwa
organisasi tidak dapat mengelola apa yang tidak dapat mereka
ukur merupakan faktor utama yang berkontribusi terhadap PCC.
Kehadiran pelanggan mendengarkan secara kuat yang memungkinkan
organisasi untuk mengukur dan memantau kinerja secara sistematis.
Penting untuk mengalami proses dimana anggota staf memainkan
peran pasien dan mengalami layanan atau prosedur dengan cara yang
sama bahwa pasien dan keluarga memberikan umpan balik pada
pemberi pelayanan.
6) Kualitas lingkungan
Salah satu faktor terpenting yang berkontribusi pada PCC adalah
kualitas lingkungan fisik dimana perawatan disediakan. Sejak
didirikan pada tahun 1978, Planetree telah merintis pendekatan
baru untuk arsitektur dan desain yang mengenali hubungan penting
antara ruang fisik dan proses penyembuhan. Bentuk desain yang
ditawarkan, antara lain :
53

a) Ucapan selamat datang pada keluarga pasien dan rekan


b) Nilai manusia melalui teknologi
c) Mengajak pasien untuk sepenuhnya berpartisipasi sebagai mitra
dalam perawatan mereka
d) Memberikan fleksibilitas untuk perawatan setiap pasien secara
personal
e) Mendorong pemberi asuhan untuk bersikap responsif terhadap
pasien.
7) Dukungan teknologi
Faktor yang berkontribusi akhir menyerap hampir semua elemen
di atas adalah dukungan teknologi, khususnya teknologi informasi
kesehatan yang melibatkan pasien dan keluarga secara langsung dalam
proses perawatan dengan memfasilitasi komunikasi dengan pemberi
asuhan dan menyediakan akses yang memadai terhadap informasi
yang dibutuhkan. Aplikasi teknologi informasi kesehatan yang muncul
dalam beberapa tahun terakhir, dari yang sederhana email komunikasi
antara pasien dan dokter melalui Web.
g. Hambatan pelaksanaan Patient Centered Care
Walaupun sudah berhasil, organisasi tetap harus berkaca pada
hambatan – hambatan dalam mencapai PCC, antara lain :
1) Kesulitan dalam merekrut dan mempertahankan dokter
2) Kurangnya mendefinisikan batasan untuk mencapai keberhasilan
staf yang mungkin kewalahan untuk menentukan kesepakatan
dengan tenaga kesehatan lain, sosial, budaya dan faktor ekonomi
pasien.
3) Persyaratan perekrutan yang ketat dapat menimbulkan hambatan
untuk memperoleh tenaga kesehatan dari lingkungan sekitar.
4) Kurangnya alat untuk mengukur dan memberikan reward kinerja
PCC
5) Kendala finansial
54

6) Kebiasaan lama dari staf yang tidak mau merubah paradigma lama
sebagai penyedia layanan / hubungan atau relasi dengan pasien dan
budaya serta faktor sosial – ekonomi (Silow, 2008).
5. Sistem Penjaminan Mutu dan Clinical Audit
a. Penjaminan Mutu
Penjaminan mutu adalah proses penetapan dan pemenuhan standar
mutu pengelolaan secara konsisten dan berkelanjutan, sehingga
konsumen, produsen, dan pihak lain yang berkepentingan memperoleh
kepuasan. Khusus Pelayanan Kesehatan Penjaminan mutu pelayanan
kesehatan adalah proses penetapan dan pemenuhan standar mutu
pengelolaan pelayanan kesehatan secara konsisten dan berkelanjutan,
sehingga stakeholders memperoleh kepuasan. (Suryadi, 2009).
1) Peran Komite Keperawatan dalam Pengawasan Mutu
Komite keperawatan memiliki tujuan untuk mewujudkan
profesionalisme dalam pelayanan keperawatan, memberikan masukan
kepada pimpinan rumah sakit berkaitan dengan profesionalisme
perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan, menyelesaikan
masalah – masalah terkait dengan penerapan disiplin dan etik
keperawatan serta meningkatakan mutu pelayanan keperawatan. Peran
komite keperawatan dalam pengawasan mutu adalah sebagai berikut:
a) Memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan profesi
keperawatan melalui kegitan terorganisasi
b) Mempertahankan pelayanan keperawatan berkualitas dan aman
bagi pasien.
c) Menjamin tersedianya perawat yang kompeten, etis sesuai dengan
kewenangannya.
d) Menyelesaikan masalah keperawatan yang terkait dengan disiplin,
etik dan moral perawat.
e) Melakukan kajian berbagai aspek keperawatan untuk
meningkatkan kualitas pelayanan.
55

f) Menjamin diterapkannya standar praktik, asuhan dan prosedur


keperawatan.
g) Membangun dan membina hubungan kerja tim di dalam rumah
sakit.
h) Merancang, mengimplementasikan serta memantau dan menilai
ide – ide baru.
i) Mengkomunikasikan, mendidik, negosiasi dan
merekomendasikan hasil kinerja perawat untuk pengembangan
karir. (Ayun,2014)
2) Kualitas Pelayanan (TQM)
a) Definisi TQM
Total Quality Management adalah kualitas menjadi hal utama
yang menjadi titik fokus setiap perusahaan. Berbagai hal
dilakukan untuk meningkatkan kualitas yang diterapkan pada
produk, pelayanan dan manajemen perusahaan. Seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan, lahirlah suatu inovasi yang
dikenal dengan TQM. Menurut Tjiptono & Anastasia (2008)
TQM merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan usaha
yang mencoba untuk memaksimumkan daya saing organisasi
melalui perbaikan terus-menerus atas produk, jasa, manusia,
proses, dan lingkungannya.” Dalam kualitas pelayanan yang baik,
terdapat beberapa jenis kriteria pelayanan, antara lain adalah
sebagai berikut :
- Ketepatan waktu pelayanan, termasuk didalamnya waktu untuk
menunggu selama transaksi maupun proses pembayaran.
- Akurasi pelayanan, yaitu meminimalkan kesalahan dalam
pelayanan maupun transaksi.
- Sopan santun dan keramahan ketika memberikan pelayanan.
- Kemudahan mendapatkan pelayanan, yaitu seperti tersedianya
sumber daya manusia untuk membantu melayani konsumen,
56

serta fasilitas pendukung seperti komputer untuk mencari


ketersediaan suatu produk.
- Kenyaman konsumen, yaitu seperti lokasi, tempat parkir, ruang
tunggu yang nyaman, aspek kebersihan, ketersediaan
informasi, dan lain sebagainya
b) Dimensi Kualitas Pelayanan
- Tangibles
Tangibles adalah bukti konkret kemampuan suatu perusahaan
untuk menampilkan yang terbaik bagi pelanggan. Baik dari sisi
fisik tampilan bangunan, fasilitas, perlengkapan teknologi
pendukung, hingga penampilan karyawan.
- Reliability
Reliability adalah kemampuan perusahaan untuk memberikan
pelayanan yang sesuai dengan harapan konsumen terkait
kecepatan, ketepatan waktu, tidak ada kesalahan, sikap
simpatik, dan lain sebagainya.
- Responsiveness
Responsiveness adalah tanggap memberikan pelayanan yang
cepat atau responsif serta diiringi dengan cara penyampaian
yang jelas dan mudah dimengerti.
- Assurance
Assurance adalah jaminan dan kepastian yang diperoleh dari
sikap sopan santun karyawan, komunikasi yang baik, dan
pengetahuan yang dimiliki, sehingga mampu menumbuhkan
rasa percaya pelanggan.
- Empati
Empati adalah memberikan perhatian yang tulus dan bersifat
pribadi kepada pelanggan, hal ini dilakukan untuk mengetahui
keinginan konsumen secara akurat dan spesifik.
c) Prinsip - Prinsip TQM
57

Prinsip-prinsip dalam sistem TQM harus dibangun atas dasar


5 pilar sistem yaitu; Produk, Proses, Organisasi, Kepemimpinan,
dan Komitmen. Pendapat lain dikemukakan oleh Hensler dan
Brunnell yang dikutip oleh Drs. M.N. Nasution, M.S.c., A.P.U.
dalam bukkunya yang berjudul Manjemen Mutu Terpadu,
mengatakan bahwa TQM merupakan suatu konsep yang
berupaya, melaksanakan sistem manajemen kualitas kelas dunia.
Untuk itu, diperlukan perubahan besar dalam budaya dan sistem
nilai suatu organisasi. ada empat prinsip utama dalam TQM,
yaitu:
- Kepuasan Pelanggan
Dalam Total Quality Management, konsep mengenai
kualitas dan pelanggan diperluas. Kualitas tidak hanya
bermakna kesesuaian dengan spesifikasi tertentu, tetapi
kualitas tersebut ditentukan oleh pelanggan. Kebutuhan
pelanggan diusahakan untuk dipuaskan dalam segala aspek,
termasuk dalam harga, keamanan, dan ketepatan waktu.
- Respek terhadap setiap orang.
Dalam perusahaan berkualitas, setiap karyawan dipandang
sebagai individu yang memiliki talenta dan kreatifitas yang
khas. Dengan demikian, karyawan merupakan sumber daya
organisasi yang paling bernilai. Oleh karena itu, setiap orang
dalam organisasi diperlukan dengan baik dan diberikan
kesempatan untuk terlibat dan berpartisipasi dalam tim
pengambil keputusan.
- Manajemen berdasarkan fakta
Perusahaan kelas berkualitas berorientasi pada fakta,
maksudnya bahwa setiap keputusan selalu didasarkan pada
data, bukan sekedar pada perasaan. Ada dua konsep pokok
yang berkaitan dengan hal ini:
58

 Prioritas, yakni suatu konsep yang menyatakan bahwa


perbaikan tidak dapat dilakukan pada semua aspek pada
saat yang bersamaan, mengingat keterbatasan sumber daya
yang ada;
 Variasi atau variabilitas kinerja manusia, variasi/variabilitas
(keragaman) kinerja/kemampuan dari setiap anggota
merupakan bagian yang wajar dari setiap sistem organisasi.
Maksudnya, setiap perbedaan yang terjadi dikaji, kemudian
ditetapkan langkah/kebijakan yang paling sesuai untuk
diterapkan. Dengan demikian, manajemen dapat
memprediksikan hasil dari setiap keputusan dan tindakan
yang dilakukan.
- Perbaikan yang berkesinambungan
Agar dapat sukses, setiap perusahaan perlu melakukan
proses sistematis dalam melaksanakan perbaikan secara
berkesinambungan. Konsep yang berlaku disini adalah siklus
PDCAA (plan-do-check-act-analyze), yang terdiri dari
langkah-langkah perencanaan, dan melakukan tindakan koreksi
terhadap hasil yang diperoleh.
b. Audit Klinik
1) Definisi
Audit klinik merupakan hasil suatu proses yang bertujuan untuk
meningkatkan pelayanan pasien melalui tinjauan sistematis pelayanan
terhadap langkah-langkah eksplisit dan pelaksanaan perubahan dalam
praktek jika diperlukan (Dixon,2009). Hal ini dapat digunakan sebagai
alat untuk mengukur tingkat kepatuhan terhadap pedoman praktek
klinik berbasis bukti praktis, dan merupakan cara yang berguna bagi
tim rumah sakit untuk mengukur kinerja tim saat ini dan kemudian
mengidentifikasi kesenjangannya.
Menurut Institut Nasional untuk Kesehatan dan Clinical
Excellence (NICE ,2012), Audit klinik merupakan bagian integral dari
59

clinical governance adalah proses peningkatan kualitas yang


bertujuan untuk meningkatkan perawatan pasien dan hasil peninjauan
secara sistematis melalui perawatan terhadap kriteria eksplisit dan
pelaksanaan perubahan. Aspek struktur, proses, dan hasil pelayanan
yang dipilih dan sistematis dievaluasi terhadap kriteria eksplisit.
tempat, implementasi perubahan pada individu, tim, atau tingkat
pelayanan dan pemantauan digunakan untuk peningkatan pelay
mereka ternyata dibawah optimal. Pengertian klinik dalam konteks ini
meliputi kelompok medik dan keperawatan, dengan demikian audit
klinik dapat merupakan audit medik, audit keperawatan, atau
gabungan antara audit medik dan keperawatan.
2) Tujuan
Sebuah audit klinik bertujuan untuk memastikan kualitas bahwa kita
sedang melakukan hal-hal yang kita seharusnya dilakukan. Audit
klinik bertujuan untuk memfasilitasi
a) Secara proaktif mengukur efektivitas dan kinerja kesehatan
terhadap standar yang telah disepakati
b) Meningkatkan kualitas perawatan pasien dengan mengidentifikasi
tindakan untuk membuat praktek sesuai dengan standar-standar
yang ada
c) Memberikan jaminan kualitas pelayanan kepada pasien, dokter dan
sistem kesehatan.
d) Audit klinik adalah alat yang dapat digunakan untuk menemukan
seberapa baik perawatan klinis sedang tersedia dan untuk
mengetahui apakah ada peluang untuk perbaikan. Audit klinik
dapat digunakan untuk meningkatkan aspek perawatan dalam
berbagai topik. Ini juga dapat digunakan dalam kaitannya dengan
perubahan penyediaan pelayanan atau mengkonfirmasi bahwa
praktek saat memenuhi tingkat yang diharapkan dari kinerja.
3) Manfaat audit klinik:
60

a) Audit klinik menawarkan cara untuk menilai dan meningkatkan


perawatan pasien, untuk menegakkan standar profesional dan
melakukan hal yang benar.
b) Melalui audit klinik, staf kesehatan dapat mengidentifikasi dan
mengukur area risiko dalam layanan mereka.
c) Kegiatan audit yang teratur membantu untuk menciptakan budaya
perbaikan kualitas dalam pengaturan klinis.
d) Audit klinis merupakan pendidikan bagi peserta audit. Dengan
pendekatan evidence based practice yang terbaru
e) Menawarkan kesempatan untuk meningkatkan kepuasan kerja.
f) Hal ini semakin dianggap sebagai komponen penting dari praktek
profesional.
g) Hal ini dapat meningkatkan kualitas dan efektivitas kesehatan.

Audit klinik dapat dilakukan oleh setiap praktisi yang terlibat


dalam pelayanan pasien. Hal ini tidak terbatas pada hanya dokter.
Audit klinik terutama pada pengukuran praktek terhadap standar yang
telah disepakati dan menerapkan perubahan untuk memastikan bahwa
semua pasien menerima standar pelayanan yang sama.
Secara umum, auditor klinik melakukan berbagai jenis audit yang
biasanya mencakup: Audit dokumen penting (Files), audit sampel
yang dipilih oleh penyidik (termasuk dokumen penting tertentu),
Audit organisasi, laboratorium dan fasilitas khusus, sistem komputer
validasi audit, audit vendor perangkat lunak, audit database studi
laporan audit klinik, dan audit pengajuan peraturan. Jaminan kualitas
tidak harus bingung dengan kualitas kontrol (QC). Quality control
adalah tanggung jawab orang-orang yang melaksanakan pekerjaan,
seperti monitor, penyidik atau data manager. SOP disediakan untuk
memastikan bahwa QC dibangun ke dalam prosesyang baik, namun
audit dilakukan adalah untuk pemeriksaan apakah QC telah dilakukan
61

sesuai kebutuhan, dan apakah hasil dari sebuah proses benar, di mana
sampel dokumentasi / data diperiksa.
Pemilihan indikator yang terkait dengan area klinik yang penting
meliputi :
a) Asessment pasien
b) Pelayanan laboratorium
c) Pelayanan radiologi dan diagnostik imaging
d) Prosedur bedah
e) Penggunaan antibiotika dan obat lainnya
f) Kesalahan medikasi dan kejadian nyaris cedera
g) Penggunaan anestesi dan sedasi
h) Penggunaan darah dan produk darah
i) Ketersediaan, isi, dan penggunaan rekam medis pasien
j) Pencegahan dan pengendalian infeksi, surveilans dan pelaporan
k) Demografi pasien dan diagnosis klinik
l) Manajemen keuangan
m) Pencegahan dan pengendalian dari kejadian yang dapat
menimbulkan masalah bagi keselamatan pasien, keluarga pasien
dan staf.

Pada elemen penilaian, pimpinan klinik menetapkan indikator


kunci untuk setiap area klinik yang dipilih paling sedikit 5 dari 11
indikator dengan memperhatikan muatan "ilmu" (science) dan "bukti"
(evidence) untuk mendukung setiap indikator. Penilaian mencakup
struktur, proses dan hasil (outcome), demikian pula cakupan,
metodologi dan frekuensi ditetapkan untuk setiap indikator, kemudian
data penilaian klinik dikumpulkan dan digunakan untuk melakukan
evaluasi terhadap efektifitas dari peningkatan oleh petugas dengan
pengalaman, pengetahuan dan keterampilan yang memadai dalam
mengumpulkan dan menganalisis data secara sistemik
4) Tahapan Audit Klinik
62

Audit klinik adalah suatu siklus yang diuraikan dalam lima tahap:
a) Tahap 1 Perencanaan audit
Untuk membuat suatu audit klinik yang sukses dalam
mengindentifikasi bidang keunggulan atau untuk memperbaiki
suatu kekurangan diperlukan suatu perencanaan dan persiapan
yang efektif.
Perencanaan Audit dijelaskan dalam tiga langkah penting.
Melibatkan pemangku kepentingan. Semua pemangku kepentingan
terkait harus diberi kesempatan untuk berkontribusi pada audit
klinis. Para pemangku kepentingan harus terlibat dari awal siklus
audit klinik dari pemeriksaan sampai selesai.
- “Siapa yang terlibat dalam pemberian perawatan?”
Dukungan dari mereka yang terlibat dalam pemberian
perawatan dan komitmen mereka untuk berpartisipasi sangat
penting untuk setiap audit. Tanggung jawab spesifik dari semua
pihak yang terlibat harus diklarifikasi dan disetujui sebelum
audit dimulai yaitu setiap orang harus memahami tujuan dari
audit dan peran mereka di dalamnya.
- Siapa yang menerima, menggunakan atau mendapatkan manfaat
dari perawatan atau jasa?
Ketika merencanakan setiap audit klinik, tim audit harus
mempertimbangkan manfaat yang mungkin diterima oleh
pengguna jasa dalam proses audit. Sebagai contoh, apakah itu
akan bermanfaat bagi pengguna pelayanan dengan
mempertimbangkan pengalaman mereka menerima perawatan
klinis? Sekali lagi NHS Clinical Governance Support Team
(2009) merekomendasikan bahwa 10% dari semua audit harus
memiliki keterlibatan dengan pengguna layanan yang aktif.
Metode yang digunaka untuk melibatkan pengguna jasa di
proses audit klinik
63

1) Mengumpulkan layanan umpan balik pengguna, untuk surat


keluhan.
2) Analisis komentar yang dibuat di forum pengguna layanan.
3) Wawancara dengan pengguna jasa.
4) Survei pengguna layanan.
5) Kelompok fokus.
6) Expert user group.
7) Pemeriksa insiden kritis.
- Siapa yang memiliki wewenang untuk mendukung pelaksanaan
perubahan yang telah diidentifikasi?
Tahapan untuk keterlibatan stakeholder Berbagai kelompok
pemangku kepentingan mungkin memiliki peran yang berbeda
dan terlibat dalam tahapan yang berbeda dari audit klinik.
Mereka dapat:
1) Berkontribusi dalam membuat keputusan mengenai topik dan
tujuan dari audit klinik.
2) Berkontribusi dan atau mengomentari metodologi audit
klinik, termasuk
3) Mengusulkan kriteria audit klinik.
4) Membantu penyusunan dan meninjau rencana proyek.
5) Bertindak sebagai sumber data.
6) Mengumpulkan data.
7) Kasus Ulasan yang tidak mencapai tingkat yang diharapkan
dari kinerja (ketika pemangku kepentingan adalah seorang
ahli).
8) Berkontribusi dalam analisis hasil audit, termasuk analisis
masalah yang diidentifikasi.
9) Membantu dalam identifikasi tindakan untuk wilayah alamat
yang memerlukan perbaikan.
10) Memantau pelaksanaan tindakan yang telah disepakati.
11) Berkontribusi analisis temuan pengukuran ulang.
64

12) Menentukan topik Audit


Subyek untuk audit klinik harus dipilih dengan maksud
untuk meningkatkan kualitas atau keselamatan perawatan
atau penyediaan layanan.
Klasifikasi system struktur, proses dan hasil dapat
digunakan untuk fokus pada topik area praktik yang dapat
dipilih:
- Struktur : sumber daya yang dibutuhkan untuk
memberikan perawatan, lingkungan perawatan; Fasilitas
yang tersedia, peralatan yang tersedia (misalnya
peralatan resusitasi); dokumentasi kebijakan, prosedur,
protokol
- Proses : prosedur dan praktek yang diterapkan oleh staf,
pengiriman dan evaluasi perawatan, spesifik untuk
proses atau layanan klinis/proses administrasi.
- Output : efek perawatan yang diterima oleh pengguna
jasa sebagai akibat dari penyediaan layanan kesehatan
dan biaya untuk melayani menyediakan perawatan yaitu
hasil intervensi klinis.
5) Penilaian Kinerja Perawat
Penilaian kinerja disebut juga sebagai performance appraisal,
performance evaluation, development review, performance review
and development. Penilaian kinerja merupakan kegiatan untuk
menilai keberhasilan atau kegagalan seorang pegawai dalam
melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu, penilaian kinerja harus
berpedoman pada ukuran–ukuran yang telah disepakati bersama
dalam standar kerja (Usman,2011)
Penilaian kinerja perawat merupakan mengevaluasi kinerja
perawat sesuai dengan standar praktik professional dan peraturan
yang berlaku. Proses penilaian kinerja dapat digunakan secara efektif
dalam mengarahkan perilaku pegawai, dalam rangka menghasilkan
65

jasa keperawatan dalam kualitas dan volume yang tinggi. Perawat


manajer dapat menggunakan proses operasional kinerja untuk
mengatur arah kerja dalam memilih, melatih, membimbing
perencanaan karier serta memberi penghargaan kepada perawat yang
berkompeten (Nursalam,2008). Menurut Nursalam (2008) manfaat
dari penilaian kerja yaitu:
a) Meningkatkan prestasi kerja staf secara individu atau kelompok
dengan memberikan kesempatan pada mereka untuk memenuhi
kebutuhan aktualisasi diri dalam kerangka pencapaian tujuan
pelayanan di rumah sakit.
b) Peningkatan yang terjadi pada prestasi staf secara perorangan
pada gilirannya akan mempengaruhi atau mendorong sumber
daya manusia secara keseluruhannya.
c) Merangsang minat dalam pengembangan pribadi dengan tujuan
meningkatkan hasil karya dan prestasi dengan cara memberikan
umpan balik kepada mereka tentang prestasinya.
d) Membantu rumah sakit untuk dapat menyusun program
pengembangan dan pelatihan staf yang lebih tepat guna, sehingga
rumah sakit akan mempunyai tenaga yang cakap dan trampil
untuk pengembangan pelayanan keperawatan dimasa depan.
e) Menyediakan alat dan sarana untuk membandingkan prestasi
kerja dengan meningkatkan gajinya atau sistem imbalan yang
baik.
f) Memberikan kesempatan kepada pegawai atau staf untuk
mengeluarkan perasaannya tentang pekerjaannya atau hal lain
yang ada kaitannya melalui jalur komunikasi dan dialog, sehingga
dapat mempererat hubungan antara atasan dan bawahan.

Nursalam, (2008) standar pelayanan keperawatan adalah


pernyataan deskriptif mengenai kualitas pelayanan yang diinginkan
untuk menilai pelayanan keperawatan yang telah diberikan pada
66

pasien. Tujuan standar keperawatan adalah meningkatkan kualitas


asuhan keperawatan, mengurangi biaya asuhan keperawatan, dan
melindungi perawat dari kelalaian dalam melaksanakan tugas dan
melindungi pasien dari tindakan yang tidak terapeutik. Standar
praktek keperawatan telah di jabarkan oleh PPNI (Persatuan Perawat
Nasional Indonesi) yang mengacu dalam tahapan proses
keperawatan yang meliputi: (1) Pengkajian; (2) Diagnosa
keperawatan; (3) Perencanaan; (4) Implementasi; (5) Evaluasi.
6) Pengelolaan Staffing (Ketenagaan)
Hakekat ketenagakerjaan pada intinya adalah pengaturan, mobilisasi
potensi, proses motivasi dan pengembangan sumber daya manusia dalam
memenuhi kepuasan melalui karyanya. Hal ini berguna untuk tercapainya
tujuan individu, organisasi, ataupun komunitas dimana ia berkarya.
a) Tujuan Ketenagaan:
- Memenuhi kebutuhan harian unit
- Mencapai tujuan organisasi
- Mencegah terjadinya burnout
- Mencegah terjadinya turn over yang tinggi
- Memberikan perawatan berkualitas
- Evaluasi secara periodik pelaksanaan penempatan perawat
- Merekrutpersonelperawat yang berkualitas
- Mendayagunakan semaksimal mungkin bakat dan ketrampilan
setiap tingkatan perawat melalui metode penugasan yang
digunakan
- Memberikan periode orientasi yang memadai pada personel baru
- Menciptakan kondisi kerja yang dipaham ipersonel
- Mengembangkan kebijasanaan personalia yang menarik bagi
personel dan mampu mendapatkan personel yang dapat bekerja
secara efektif
- Menciptakan rencana induk penempatan personel dalam rangka
pengalokasian jumlah personel
67

b) Permasalahan dalam Ketenagaan:


- Keterbatasan anggaran
- Kurangnya pemahaman pihak administrasi RS tentang kebutuhan
tenaga dan tujuan
- Turn over
- Cuti
- Perekrutan dan seleksi perawat yang buruk
- Pendayagunaan personel perawat yang belum tepat
c) Perencanaan Ketenagaan Keperawatan Di Ruangan:
- Perhitungan Ketenagaan menurut Gillies 1994
A : rata – rata jumlah jam perawatan/ klien/ hari
B : rata – rata jumlah klien per hari
C : jumlah hari/ tahun
D : hari liburmasing – masingperawat
E : jumlah jam kerjamasing – masingperawat
F : jumlah jam perawatan yang dibutuhkan/ tahun
G : jumlah jam perawatan yang diberikan/ tahun
H : jumlah perawat yang dibutuhkan unit tersebut
- Ratna Sitorus
Perawatan minimal : pagi 17% ,siang 14% ,malam 10%
Perawatan partial : pagi 27% ,siang 15% ,malam 7%
Perawatan total : pagi 30% ,siang 30% ,malam 20%
- Jumlah Kebutuhan Tiap shif menurut Warstell
Dinas pagi 47% ,Dinas Sore 35% ,dinas malam 17%
a. Jumlah Kebutuhan tiap Shift Swansburg
Pagi 47% ,Siang 36% ,malam 14%
Komposisi berdasarkan kualifikasi
Perawatutama 56%
Perawatpelaksana 26%
Perawatpembantu 16%
b. Metode Gillies ( melihat bentuk pelayanan )
68

Self care1/2 x 4 jam = 2 jam


Partial care 3/4 x 4 jam = 3 jam
Total care 1 – 11/2x 4 jam = 4 – 6 jam
Intensive Care 2 x 4 jam = 8 jam
Perawatan tidak langsung 60 menit/ klien
Pendkes 15 menit/ hari/ klien
Untuk ketenagaan sebagai antisipasi terdapa tkoreksi cadangan
20 %.

Metode Perhitungan Ketenagaan


a. Metode Ratio

b. Direktorat pelayanan keperawatan Dirjen Depkes RI


Rata – rata jam perawatan :
Penyakit dalam 3,5 jam/ hari/klien
Bedah 4 jam/ hari/klien
Gawat 10 jam/hari/klien
Anak
Kebidanan
Hitung jumlah jam perawatan hari :
Jumlah Klien x rata – rata jam perawatan
Hitung jumlah tenaga
Jumlah Jam Perawatan/ jam kerja efektif + faktor koreksi
Faktor Koreksi = loss day + non nursing job
*Faktor Koreksi
69

Jumlah Hari Minggu/ tahun + Hari Besar x Jumlah Perawat


Jumlah hari kerja Efektif
*Non Nursing Job
( Jumlah Tenaga Keperawatan + Loss day ) x 2
100
7) Pengembangan Karir Professional
a) Pengertian
Jenjang karir profesional merupakan sistem untuk meningkatkan
kinerja dan profesionalisme, sesuai dengan bidang pekerjaan melalui
peningkatan kompetensi. Jenjang karir merupakan jalur mobilitas
vertikal yang ditempuh melalui peningkatan kompetensi, dimana
kompetensi tersebut diperoleh dari pendidikan formal berjenjang,
pendidikan informal yang sesuai/relevan maupun pengalaman praktik
klinis yang diakui. Dengan arti lain, jenjang karir merupakan jalur
untuk peningkatan peran perawat profesional di sebuah institusi.
Dalam penerapannya, jenjang karir memiliki kerangka waktu untuk
pergerakan dari satu level ke level lain yang lebih tinggi dan
dievaluasi berdasarkan penilaian kinerja.
Pengembangan sistem jenjang karir profesional bagi perawat
dapat dibedakan antara tugas pekerjaan (job) dan karir (career).
Pekerjaan sebagai perawat diartikan sebagai suatu posisi atau jabatan
yang diberikan/ditugaskan, serta ada keterikatan hubungan
pertanggung jawaban dan kewenangan antara atasan dan bawahan,
dan mendapatkan imbalan penghargaan berupa uang. Karir sebagai
perawat diartikan sebagai suatu bidang kerja yang dipilih dan ditekuni
oleh individu untuk dapat memenuhi kepuasan kerja individu melalui
suatu sistem dan mekanisme peringkat, dan bertujuan untuk
meningkatkan keberhasilan pekerjaan (kinerja) sehingga pada
akhirnya akan memberikan kontribusi terhadap bidang profesi yang
dipilihnya. Pemilihan karir dan meningkatkannya secara bertahap
akan menjamin individu perawat dalam mempraktikkan bidang
70

profesinya, karena karir merupakan investasi jangka panjang yang


menghasilkan pengakuan dan penghargaan baik materi maupun non
materi sesuai level karir perawat yang disandangnya. Komitmen
terhadap karir, dapat dilihat dari sikap dan perilaku individu perawat
terhadap profesinya serta motivasi untuk bekerja sesuai dengan karir
yang telah dipilihnya. Dalam sistem jenjang karir profesional terdapat
beberapa aspek yang saling berhubungan yaitu kinerja, orientasi
profesional dan kepribadian perawat, serta kompetensi yang
menghasilkan kinerja profesional.
Pengembangan karir profesional perawat mendorong perawat
menjadi perawat profesional atau Ners teregister (RN). Perawat
profesional diharapkan mampu berpikir rasional, mengakomodasi
kondisi lingkungan, mengenal diri sendiri, belajar dari pengalaman
dan mempunyai aktualisasi diri sehingga dapat meningkatkan jenjang
karir profesinya. Jenjang karir profesional perawat dapat dicapai
melalui pendidikan formal dan pendidikan berkelanjutan berbasis
kompetensi serta pengalaman kerja dan kegiatan keprofesionalan di
fasilitas pelayanan kesehatan.
Pengembangan sistem jenjang karir profesional perawat pada
pedoman ini ditujukan bagi perawat klinis yang melakukan praktik
sebagai pemberi asuhan keperawatan di fasilitas pelayanan kesehatan.
Secara utuh jenjang karir profesional di Indonesia terdiri dari 4
bidang, meliputi Perawat Klinis (PK), Perawat Manajer (PM),Perawat
Pendidik (PP) dan Perawat Peneliti/Riset (PR).
Setiap bidang memiliki 5 (lima) level, dimulai level generalis,
dasar kekhususan, lanjut kekhususan, spesialis, subspesialis/
konsultan. Untuk menjadi perawat manajer level I dipersyaratkan
memiliki kompetensi perawat klinis level II. Untuk menjadi perawat
pendidik level I dipersyaratkan memiliki kompetensi perawat klinis
level III. Untuk menjadi perawat peneliti level I dipersyaratkan
memilliki kompetensi perawat klinis level IV.
71

(1) Level Karir dan Kompetensi


(a) Level Karir dan Kompetensi Perawat di Rumah Sakit
Kompetensi perawat klinis di Rumah Sakit dideskripsikan
sesuai level jenjang karir perawat klinis (PK I – PK V).
Kompetensi sesuai level pada perawat klinis yaitu :
- Perawat Klinis I
Perawat klinis I adalah jenjang perawat klinis dengan
kemampuan melakukan asuhan keperawatan dasar dengan
penekanan pada keterampilan teknis keperawatan dibawah
bimbingan. Kompetensi perawat klinis I yaitu:
 Melakukan asuhan keperawatan (pengkajian,
menetapkan diagnosis keperawatan, menetapkan
intervensi dan melaksanakan tindakan keperawatan serta
evaluasi) dengan lingkup keterampilan tehnik dasar.
 Menerapkan prinsip etik, legal, dan peka budaya dalam
asuhan keperawatan.
 Melakukan komunikasi terapeutik di dalam asuhan
keperawatan.
 Menerapkan caring dalam keperawatan.
 Menerapkan prinsip keselamatan klien.
 Menerapkan prinsip Pengendalian dan Pencegahan
Infeksi.
 Melakukan kerjasama tim dalam asuhan keperawatan.
 Menerapkan prinsip mutu dalam tindakan keperawatan.
 Melakukan proses edukasi kesehatan pada klien terkait
dengan kebutuhan dasar.
 Mengumpulkan data kuantitatif untuk kegiatan
pembuatan laporan kasus klien.
 Mengumpulkan data riset sebagai anggota tim penelitian.
72

 Menunjukkan sikap memperlakukan klien tanpa


membedakan suku, agama, ras dan antar golongan.
 Menunjukkan sikap pengharapan dan keyakinan terhadap
pasien.
 Menunjukkan hubungan saling percaya dengan klien dan
keluarga.
 Menunjukkan sikap asertif.
 Menunjukkan sikap empati.
 Menunjukkan sikap etik.
 Menunjukkan kepatuhan terhadap penerapan standar dan
pedoman keperawatan.
 Menunjukkan tanggung jawab terhadap penerapan
asuhan keperawatan sesuai kewenangannya.
 Menunjukkan sikap kerja yang efektif dan efisien dalam
pengelolaan klien.
 Menunjukkan sikap saling percaya dan menghargai
antara anggota tim dalam pengelolaan asuhan
keperawatan.
- Perawat Klinis II
Perawat klinis II adalah jenjang perawat klinis dengan
kemampuan melakukan asuhan keperawatan holistik pada
klien secara mandiri dan mengelola klien/sekelompok klien
secara tim serta memperoleh bimbingan untuk penanganan
masalah lanjut/kompleks. Kompetensi perawat klinis II
yaitu:
 Melakukan asuhan keperawatan dengan tahapan dan
pendekatan proses keperawatan pada klien dengan
tingkat ketergantungan partial dan total care.
 Menerapkan prinsip kepemimpinan dalam melaksanakan
asuhan keperawatan.
73

 Menerapkan konsep pengelolaan asuhan keperawatan


pada sekelompok klien.
 Mengidentifikasi tingkat ketergantungan klien untuk
menentukan intervensi keperawatan.
 Menetapkan jenis intervensi keperawatan sesuai tingkat
ketergantugan klien.
 Menerapkan prinsip etik, legal, dan peka budaya dalam
pemberian asuhan keperawatan.
 Menggunakan komunikasi terapeutik yang sesuai dengan
karakteristik dan masalah klien.
 Menerapkan caring yang sesuai dengan karakteristik dan
masalah klien.
 Melakukan kajian insiden keselamatan klien dan
manajemen risiko klinis.
 Melakukan kajian terhadap kejadian dan risiko infeksi
pada klien.
 Melakukan kerjasama antar tim.
 Menerapkan pengendalian mutu dengan satu metoda
tertentu sesuai kebijakan rumah sakit setempat.
 Mengimplementasikan pengendalian mutu asuhan
keperawatan.
 Merumuskan kebutuhan belajar klien dan keluarga
secara holistik sesuai dengan masalah kesehatan klien.
 Menyusun rancangan pembelajaran sesuai dengan
kebutuhan belajar klien dan keluarga.
 Melakukan proses edukasi kesehatan pada klien dan
keluarga.
 Mengevaluasi ketercapaian edukasi kesehatan dan
rencana tindak lanjut.
74

 Melaksanakan preceptorsip pada tenaga perawat di


bawah bimbingannya dan praktikan.
 Melakukan diskusi refleksi kasus untuk meningkatkan
kualitas pemberian asuhan keperawatan.
 Menggunakan hasil penelitian dalam pemberian asuhan
keperawatan.
 Membantu pelaksanaan riset keperawatan deskriptif.
 Melakukan survey keperawatan.
- Perawat Klinis III
Perawat Klinis III adalah jenjang perawat klinis dengan
kemampuan melakukan asuhan keperawatan komprehensif
pada area spesifik dan mengembangkan pelayanan
keperawatan berdasarkan bukti ilmiah dan melaksanakan
pembelajaran klinis. Kompetensi perawat klinis III yaitu:
 Melakukan pemberian asuhan keperawatan pada klien
dengan tingkat ketergantung partial dan total dengan
masalah kompleks di area keperawatan spesifik.
 Menerapkan filosofi dasar keperawatan pada area
keperawatan spesifik.
 Menerapkan penyelesaian dan pengambilan keputusan
masalah etik, legal dalam asuhan keperawatan di unit
keperawatan.
 Menetapkan jenis intervensi keperawatan sesuai tingkat
ketergantungan klien pada lingkup area spesifik.
 Menerapkan prinsip kepemimpinan dalam melaksanakan
asuhan keperawatan.
 Menerapkan konsep pengelolaan asuhan keperawatan
pada unit ruang rawat.
 Menggunakan metode penugasan yang sesuai dalam
pengelolaan asuhan keperawatan di unit ruang rawat.
75

 Menetapkan masalah mutu asuhan keperawatan


berdasarkan kajian standar dan kebijakan mutu.
 Melaksanakan analisis akar masalah (RCA) dan
membuat grading risiko terhadap masalah klinis.
 Mengidentifikasi kebutuhan belajar klien dan keluarga
secara holistik sesuai dengan masalah kesehatan klien di
area spesifik.
 Mengidentifikasi dan memilih sumber-sumber yang
tersedia untuk edukasi kesehatan pada area spesifik.
 Mengevaluasi ketercapaian edukasi kesehatan pada area
spesifik dan rencana tindak lanjut.
 Melaksanakan preceptorship dan mentorship pada area
spesifik.
 Menunjukkan sikap etik.
 Menunjukkan sikap empati.
 Menunjukkan kepatuhan terhadap penerapan standar dan
pedoman keperawatan.
 Menunjukkan tanggung jawab terhadap penerapan
asuhan keperawatan sesuai kewenangannya.
 Menunjukkan sikap kerja yang efektif dan efisien dalam
pengelolaan klien.
 Menunjukkan sikap saling percaya dan menghargai
antara anggota tim dalam pengelolaan asuhan
keperawatan.
- Perawat Klinis IV
Perawat klinis IV adalah jenjang perawat klinis dengan
kemampuan melakukan asuhan keperawatan pada masalah
klien yang kompleks di area spesialistik dengan pendekatan
tata kelola klinis secara interdisiplin, multidisiplin,
melakukan riset untuk mengembangkan praktek
76

keperawatan serta mengembangkan pembelajaran klinis.


Kompetensi perawat klinis IV yaitu:
 Melakukan pemberian asuhan keperawatan pada klien
dengan tingkat ketergantung total dengan masalah
kompleks di area spesialistik.
 Menetapkan jenis intervensi keperawatan pada lingkup
masalah klien yang kompleks di area spesialistik.
 Menerapkan tata kelola klinis dalam pelayanan
keperawatan.
 Melakukan evaluasi efektifitas metode penugasan yang
sesuai dalam pengelolaan asuhan keperawatan di unit.
 Merumuskan indikator keberhasilan intervensi
keperawatan.
 Menetapkan pengelolaan asuhan klien dengan masalah
kompleks pada area spesialistik.
 Menetapkan upaya perbaikan mutu.
 Melakukan tahapan penyelesaian masalah etik, legal
dalam asuhan keperawatan dalam berbagai lingkup
pelayanan keperawatan.
 Menggunakan komunikasi terapeutik yang sesuai dengan
karakteristik klien dengan masalah kompleks di area
spesialistik.
 Menerapkan prinsip caring yang sesuai dengan
karakteristik dan masalah klien dengan kasus spesialistik.
 Melaksanakan risiko klinis menggunakan pendekatan
Healthcare Failure Mode & Effect Analysis atau Analisis
Efek & Mode Kegagalan di Pelayanan
Kesehatan(HFMEA).
 Menerapkan prinsip kerjasama secara
interdisiplin/interprofesional.
77

 Melakukan upaya perbaikan mutu asuhan keperawatan


dengan memberdayakan sumber terkait.
 Menunjukkan sikap asertif.
 Menunjukkan sikap empati.
 Menunjukkan sikap etik.
 Menunjukkan kepatuhan terhadap penerapan standar dan
pedoman keperawatan.
 Menunjukkan tanggung jawab terhadap penerapan
asuhan keperawatan sesuai kewenangannya.
 Menunjukkan sikap kerja yang efektif dan efisien dalam
pengelolaan klien.
 Menunjukkan sikap saling percaya dan menghargai
antara anggota tim dalam pengelolaan asuhan
keperawatan.
- Perawat Klinis V
Perawat klinis V adalah jenjang perawat klinis dengan
kemampuan memberikan konsultasi klinis keperawatan
pada area spesialistik, melakukan tata kelola klinis secara
transdisiplin, melakukan riset klinis untuk pengembangan
praktik, profesi dan kependidikan keperawatan. Kompetensi
perawat klinis V yaitu:
 Menerapkan prinsip caring yang sesuai dengan
karakteristik dan masalah klien yang kompleks di area
spesialistik.
 Merumuskan strategi penanganan akar masalah dan
risiko klinis secara lintas disiplin.
 Menganalisis potensi risiko klinis dari intervensi
keperawatan.
78

 Menerapkan prinsip dan model kerjasama secara


interdisplin/interprofesional dalam pelayanan kesehatan,
transdisiplin.
 Menerapkan tata kelola klinis dalam pelayanan
kesehatan.
 Mengembangkan metode penugasan berdasarkan bukti
ilmiah.
 Merumuskan indikator kinerja kunci pengelolaan
asuhan klien dengan masalah kompleks pada area
spesialistik sebagai acuan penilaian.
(2) Persyaratan Sistem Jenjang Karir Profesional Perawat Klinis
Peningkatan ke jenjang karir profesional yang lebih tinggi,
perawat klinis harus melalui pengembangan profesional
berkelanjutan dan pengakuan terhadap kemampuan yang
didasarkan kepada pengalaman kerja dan kinerja praktik
keperawatan, serta memenuhi persyaratan tingkat pendidikan,
pengalaman kerja klinis keperawatan sesuai area kekhususan serta
persyaratan kompetensi yang telah ditentukan.
Peningkatan jenjang karir profesional melalui pengembangan
profesional berkelanjutan yang berdasarkan pendidikan dapat
dilakukan melalui dua (2) cara yaitu pendidikan formal dan
pendidikan berkelanjutan berbasis kompetensi (sertifikasi) antara
lain:
(a) Pendidikan Formal
Perawat Klinis I (PK I)
Perawat Klinis I (Novice) memiliki latar belakang
pendidikan D-III Keperawatan dengan pengalaman kerja ≥ 1
tahun dan menjalani masa klinis level I selama 3 - 6 tahun
atau Ners dengan pengalaman kerja ≥ 1 tahun dan menjalani
masa klinis level I selama 2 -4 tahun. Perawat Klinis I harus
mempunyai sertifikat pra klinis.
79

Perawat Klinis II
Perawat klinis II (Advance Beginner) memiliki latar
belakang pendidikan D-III Keperawatan dengan pengalaman
kerja ≥ 4 tahun dan menjalani masa klinis level II selama 6 -
9 tahun atau Ners dengan pengalaman kerja ≥ 3 tahun dan
dan menjalani masa klinis level II selama 4 - 7 tahun.
Perawat Klinis II harus mempunyai sertifikat PK I.
Perawat Klinis III
Perawat klinis III (competent) memiliki latar belakang
pendidikan D-III Keperawatan dengan pengalaman kerja ≥ 10
tahun dan menjalani masa klinis level III selama 9 - 12 tahun
atau Ners dengan pengalaman kerja ≥ 7 tahun dan menjalani
masa klinis level III selama 6 - 9 tahun atau Ners Spesialis I
dengan pengalaman kerja 0 tahun dan menjalani masa klinis
level III selama selama 2 - 4 tahun. Perawat klinis III lulusan
D-III Keperawatan dan Ners harus mempunyai sertifikat PK
II.
Perawat Klinis IV
Perawat klinis IV (Proficient) memiliki latar belakang
pendidikan Ners dengan pengalaman kerja ≥ 13 tahun dan
menjalani masa klinis level IV selama 9 – 12 tahun atau Ners
Spesialis I dengan pengalaman kerja ≥ 2 tahun dan dan
menjalani masa klinis level IV selama 6 – 9 tahun. Perawat
Klinis IV harus mempunyai sertifikat PK III.
Perawat Klinis V
Perawat klinis V (Expert) memiliki latar belakang
pendidikan Ners Spesialis I dengan pengalaman kerja ≥ 4
tahun dan mempunyai sertifikat PK IV atau Ners Spesialis II
(Konsultan) dengan pengalaman kerja 0 tahun. Perawat klinis
V menjalani masa klinis level 5 sampai memasuki usia
pensiun.
80

(b) Pendidikan Berkelanjutan Berbasis Kompetensi (Sertifikasi)


Perawat Klinis I (PK I)
Perawat Klinis I (Novice) memiliki latar belakang D-III
Keperawatan dengan pengalaman kerja ≥ 1 tahun dan
menjalani masa klinis level I selama 3 - 6 tahun atau Ners
dengan pengalaman kerja ≥ 1 tahun dan menjalani masa
klinis level I selama 2 -4 tahun. Perawat klinis harus
mempunyai sertifikat pra klinis.
Perawat Klinis II
Perawat klinis II (Advance Beginner) memiliki latar
belakang D-III Keperawatan dengan pengalaman kerja ≥ 4
tahun dan menjalani masa klinis level II selama 6 - 9 tahun
atau Ners dengan pengalaman kerja ≥ 3 tahun dan menjalani
masa klinis level II selama 4 - 7 tahun. Perawat klinis II harus
mempunyai sertifikat PK I.
Perawat Klinis III
Perawat klinis III (competent) memiliki latar belakang
D-III Keperawatan dengan pengalaman kerja ≥ 10 tahun dan
menjalani masa klinis level III selama 9 - 12 tahun atau Ners
dengan pengalaman kerja ≥ 7 tahun dan menjalani masa
klinis level III selama 6 - 9 tahun. Perawat klinis III harus
mempunyai sertifikat PK II dan sertifikasi teknikal.
Perawat Klinis IV
Perawat klinis IV (Proficient) memiliki latar belakang D-
III Keperawatan dengan pengalaman kerja ≥ 19 tahun dan
menjalani masa klinis level IV sampai memasuki masa
pensiun atau Ners dengan pengalaman kerja ≥ 13 tahun dan
dan menjalani masa klinis level IV selama 9 – 12 tahun.
Perawat klinis IV harus mempunyai sertifikat PK III serta
sertifikasi teknikal II.
81

Perawat Klinis V
Perawat klinis V (Expert) memiliki latar belakang Ners
dengan pengalaman kerja ≥ 22 tahun dan menjalani masa
klinis level V sampai memasuki usia pensiun. Perawat klinis
V harus mempunyai sertifikat PK IV serta sertifikasi teknikal
II.

Anda mungkin juga menyukai