Program penelitian ini bermaksud memanfaatkan limbah padat industri sawit berupa Tandan
Kosong Kelapa Sawit (TKKS) sebagai bahan baku pembuatan bioenergi etanol generasi 2.
Pusat Penelitian Kimia-LIPI bekerjasama dengan KOICA (2010-2012) sedang
mengembangkan produksi bioetanol berbasis limbah lignoselulosa skala Pilot Plant dengan
kapasitas 10 L/hari konsentrasi 99,5%. Intergrasi dengan pengembangan pilot plan,
penelitian ini merupakan peningkatan produktivitas hasil litbang melalui sinergi pemenuhan
kebutuhan teknologi di masyarakat dan daerah khususnya di daerah koridor ekonomi 1
Sumatera Selatan Fokus kelapa sawit. Secara umum, industri kelapa sawit menghasilkan 1,1-
1,5 ton TKKS untuk setiap ton crude palm oil (CPO) yang dihasilkan. Sampai saat ini
kapasitas penanganan limbah tersebut masih sangat kecil dibandingkan dengan limbah yang
terbentuk, padahal kandungan selulosa pada limbah TKKS cukup tinggi (41.3 – 46.5%)
sangat prospektif untuk dikonversi menjadi bioetanol. Pada usulan penelitian ini akan
dilakukan proses konversi TKKS menjadi bioetanol melalui proses satu tahap dengan metoda
Simultaneous Saccharification and Fermentation (SSF) menggunakan mikroba
Saccharomyces cerevisiae isolat Indonesia yang toleran terhadap panas, toleran terhadap
etanol, dan bersifat ramah lingkungan. Penelitian ini direncanakan dua tahun, akan
dilaksanakan di PP Kimia-LIPI, kawasan Puspiptek Serpong dan di Kota Banyuasin Provinsi
Sumatera Selatan. Pada tahun pertama akan dilakukan transfer teknologi berupa pelatihan
teknologi produksi bioethanol berbasis TKKS, pelatihan akan diberikan kepada peserta yang
ditunjuk oleh Dinas Perkebunan dan terbuka bagi instansi lain terkait penanganan kelapa
sawit di Provinsi Sumatera Selatan. Materi pelatihan terdiri dari teori dan praketk meliputi 1)
metoda pengolahan awal bahan baku (pretreatment) dengan tujuan untuk menghilangkan
lignin dan memperluas permukaan, 2) metoda sakarifiksi selulosa menjadi gula C5 dan C6, 3)
metoda fermentasi alcohol, 4) metoda distilasi dan karakterisasi ethanol. Tahun kedua akan
dilakukan perancangan alat produksi bioethanol-lignoselulosa kapasitas 1000L/hari. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan SDM terlatih dan produksi bioethanol berbahan
baku limbah sawit untuk bahan bakar terbarukan serta mendukung program pemerintah
dalam perwujudan sistem inovasi daerah (SIDa), sistem inovasi nasional (SINas) dan
pelaksanaan MP3EI.
Output
1. Metode-Rekomendasi Kebijakan
2. Pelatihan-Pemberdayaan Masyarakat
Semua daerah harus segera bersiap-siap menutup Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah
sistem terbuka (open dumping) pada 2013 sesuai amanat undang-undang persampahan. Tidak
ada alternatif lain kecuali meningkatkan pengelolaan sistemnya.
Pilihan terbaik adalah membangun TPA sanitary landfill. Namun jika pemerintah daerah
tidak mampu membangun TPA sanitary landfill, sistem controlled landfill bisa menjadi
pilihan. Hanya saja, sistem ini bersifat sementara sampai sistem sanitary landfill bisa
diwujudkan.
Di mana perbedaan sistem-sistem tersebut? Pada sistem terbuka (open dumping), sampah
dibuang begitu saja dalam sebuah tempat pembuangan akhir tanpa ada perlakuan apapun.
Tidak ada penutupan tanah. Tak heran bila sistem ini dinilai sangat mengganggu lingkungan.
Sistem controlled landfill merupakan peningkatan dari open dumping. Untuk mengurangi
potensi gangguan lingkungan yang ditimbulkan, sampah ditimbun dengan lapisan tanah
setiap tujuh hari. Dalam operasionalnya, untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan lahan
dan kestabilan permukan TPA, maka dilakukan juga perataan dan pemadatan sampah.
Di Indonesia, metode controlled landfill dianjurkan untuk diterapkan di kota sedang dan
kecil. Untuk bisa melaksanakan metode ini, diperlukan penyediaan beberapa fasilitas, di
antaranya :
Di Indonesia, metode sanitary landfilled dianjurkan untuk diterapkan di kota besar dan
metropolitan. Untuk dapat melaksanakan metode ini diperlukan penyediaan beberapa
fasilitas, sama seperti fasilitas dalam sistem controlled landfill. Tentu dengan kebutuhan
jumlah dan spesifikasi yang berbeda.
Untuk lebih jelasnya, Anda bisa membuka menu PPSP di situs ini dan kemudian membuka
sub menu Rujukan dan SSK. Kemudian silakan download Buku Referensi Opsi Sistem dan
Teknologi Sanitasi. MJ
Tahap pengolahan primer limbah cair sebagian besar adalah berupa proses pengolahan
secara fisika.
A. Penyaringa (Screening)
Pertama, limbah yang mengalir melalui saluran pembuangan disaring menggunakan
jeruji saring. Metode ini disebut penyaringan. Metode penyaringan merupakan cara yang
efisien dan murah untuk menyisihkan bahan-bahan padat berukuran besar dari air limbah.
Kedua, limbah yang telah disaring kemudian disalurkan kesuatu tangki atau bak
yang berfungsi untuk memisahkan pasir dan partikel padat teruspensi lain yang berukuran
relatif besar. Tangki ini dalam bahasa inggris disebut grit chamber dan cara kerjanya adalah
dengan memperlambat aliran limbah sehingga partikel – partikel pasir jatuh ke dasar tangki
sementara air limbah terus dialirkan untuk proses selanjutnya.
C. Pengendapan
Setelah melalui tahap pengolahan awal, limbah cair akan dialirkan ke tangki atau bak
pengendapan. Metode pengendapan adalah metode pengolahan utama dan yang paling
banyak digunakan pada proses pengolahan primer limbah cair. Di tangki pengendapan,
limbah cair didiamkan agar partikel – partikel padat yang tersuspensi dalam air limbah dapat
mengendap ke dasar tangki. Enadapn partikel tersebut akan membentuk lumpur yang
kemudian akan dipisahkan dari air limbah ke saluran lain untuk diolah lebih lanjut. Selain
metode pengendapan, dikenal juga metode pengapungan (Floation).
Metode ini efektif digunakan untuk menyingkirkan polutan berupa minyak atau lemak.
Proses pengapungan dilakukan dengan menggunakan alat yang dapat menghasilkan
gelembung- gelembung udara berukuran kecil (± 30 – 120 mikron). Gelembung udara
tersebut akan membawa partikel –partikel minyak dan lemak ke permukaan air limbah
sehingga kemudian dapat disingkirkan.
Bila limbah cair hanya mengandung polutan yang telah dapat disingkirkan melalui
proses pengolahan primer, maka limbah cair yang telah mengalami proses pengolahan
primer tersebut dapat langsung dibuang kelingkungan (perairan). Namun, bila limbah
tersebut juga mengandung polutan yang lain yang sulit dihilangkan melalui proses tersebut,
misalnya agen penyebab penyakit atau senyawa organik dan anorganik terlarut, maka
limbah tersebut perlu disalurkan ke proses pengolahan selanjutnya.
Terdapat tiga metode pengolahan secara biologis yang umum digunakan yaitu metode
penyaringan dengan tetesan (trickling filter), metode lumpur aktif (activated sludge), dan
metode kolam perlakuan (treatment ponds / lagoons) .
Pada metode activated sludge atau lumpur aktif, limbah cair disalurkan ke sebuah tangki
dan didalamnya limbah dicampur dengan lumpur yang kaya akan bakteri aerob. Proses
degradasi berlangsung didalam tangki tersebut selama beberapa jam, dibantu dengan
pemberian gelembung udara aerasi (pemberian oksigen). Aerasi dapat mempercepat kerja
bakteri dalam mendegradasi limbah. Selanjutnya, limbah disalurkan ke tangki pengendapan
untuk mengalami proses pengendapan, sementara lumpur yang mengandung bakteri
disalurkan kembali ke tangki aerasi. Seperti pada metode trickling filter, limbah yang telah
melalui proses ini dapat dibuang ke lingkungan atau diproses lebih lanjut jika masih
dperlukan.
Metode treatment ponds/lagoons atau kolam perlakuan merupakan metode yang murah
namun prosesnya berlangsung relatif lambat. Pada metode ini, limbah cair ditempatkan
dalam kolam-kolam terbuka. Algae yang tumbuh dipermukaan kolam akan berfotosintesis
menghasilkan oksigen. Oksigen tersebut kemudian digunakan oleh bakteri aero untuk
proses penguraian/degradasi bahan organik dalam limbah. Pada metode ini, terkadang
kolam juga diaerasi. Selama proses degradasi di kolam, limbah juga akan mengalami
proses pengendapan. Setelah limbah terdegradasi dan terbentuk endapan didasar kolam,
air limbah dapat disalurka untuk dibuang ke lingkungan atau diolah lebih lanjut.
Pengolahan tersier dilakukan jika setelah pengolahan primer dan sekunder masih
terdapat zat tertentu dalam limbah cair yang dapat berbahaya bagi lingkungan atau
masyarakat. Pengolahan tersier bersifat khusus, artinya pengolahan ini disesuaikan dengan
kandungan zat yang tersisa dalam limbah cair / air limbah. Umunya zat yang tidak dapat
dihilangkan sepenuhnya melalui proses pengolahan primer maupun sekunder adalah zat-zat
anorganik terlarut, seperti nitrat, fosfat, dan garam- garaman.
Metode pengolahan tersier jarang diaplikasikan pada fasilitas pengolahan limbah. Hal ini
disebabkan biaya yang diperlukan untuk melakukan proses pengolahan tersier cenderung
tinggi sehingga tidak ekonomis.
Contoh mekanisme desinfeksi pada limbah cair adalah penambahan klorin (klorinasi),
penyinaran dengan ultraviolet(UV), atau dengan ozon (Oз).
Proses desinfeksi pada limbah cair biasanya dilakukan setelah proses pengolahan
limbah selesai, yaitu setelah pengolahan primer, sekunder atau tersier, sebelum limbah
dibuang ke lingkungan.
Setiap tahap pengolahan limbah cair, baik primer, sekunder, maupun tersier, akan
menghasilkan endapan polutan berupa lumpur. Lumpur tersebut tidak dapat dibuang secara
langsung, melainkan pelu diolah lebih lanjut. Endapan lumpur hasil pengolahan limbah
biasanya akan diolah dengan cara diurai/dicerna secara aerob (anaerob digestion),
kemudian disalurkan ke beberapa alternatif, yaitu dibuang ke laut atau ke lahan
pembuangan (landfill), dijadikan pupuk kompos, atau dibakar (incinerated).
Terdapat dua cara penimbunan sampah yang umum dikenal, yaitu metode
penimbunan terbuka (open dumping) dan metode sanitary landfill. Pada metode
penimbunan terbuka, . Di lahan penimbunan terbuka, berbagai hama dan kuman penyebab
penyakit dapat berkembang biak. Gas metan yang dihasilkan oleh pembusukan sampah
organik dapat menyebar ke udara sekitar dan menimbulkan bau busuk serta mudah
terbakar. Cairan yang tercampur dengansampah dapat merembes ke tanah dan mencemari
tanah serta air.
Pada metode sanitary landfill, sampah ditimbun dalam lubang yang dialasi iapisan
lempung dan lembaran plastik untuk mencegah perembesan limbah ke tanah. Pada landfill
yang lebih modern lagi, biasanya dibuat sistem Iapisan ganda (plastik – lempung – plastik –
lempung) dan pipa-pipa saluran untuk mengumpulkan cairan serta gas metan yang
terbentuk dari proses pembusukan sampah. Gas tersebut kemudian dapat digunakan untuk
menghasilkan listrik.
3. insinerasi
metode ini adalah dengan mengolah sampah organic seperti sayuran, daun-daun kering,
kotoran hewan melalui proses penguraian oleh mikroorganisme tertentu. Pembuatan
kompos adalah salah satu cara terbaik dalam penanganan sampah organic. Berdasarkan
bentuknya kompos ada yang berbentuk padat dan cair. Pembuatannya dapat dilakukan
dengan menggunakan kultur mikroorganisme, yakni menggunakan kompos yang sudah jadi
dan bisa didapatkan di pasaran seperti EMA efectif microorganism 4.EMA merupakan kultur
campuran mikroorganisme yang dapat meningkatkan degaradasi limbah atau sampah
organic.
Daur ulang adalah proses untuk menjadikan suatu bahan bekas menjadi bahan baru
dengan tujuan mencegah adanya sampah yang sebenarnya dapat menjadi sesuatu yang
berguna, mengurangi penggunaan bahan baku yang baru, mengurangi penggunaan energi,
mengurangi polusi, kerusakan lahan, dan emisi gas rumah kaca jika dibandingkan dengan
proses pembuatan barang baru. Daur ulang adalah salah satu strategi pengelolaan sampah
padat yang terdiri atas kegiatan pemilahan, pengumpulan, pemrosesan, pendistribusian dan
pembuatan produk / material bekas pakai, dan komponen utama dalam manajemen sampah
modern dan bagian ketiga adalam proses hierarki sampah 3R (Reuse, Reduce, and
Recycle).
Bahan bangunan
Material bangunan bekas yang telah dikumpulkan dihancurkan dengan mesin penghancur,
kadang-kadang bersamaan dengan aspal, batu bata, tanah, dan batu. Hasil yang lebih
kasar bisa dipakai menjadi pelapis jalan semacam aspal dan hasil yang lebih halus bisa
dipakai untuk membuat bahan bangunan baru semacam bata.
Baterai
Banyaknya variasi dan ukuran baterai membuat proses daur ulang bahan ini relatif sulit.
Mereka harus disortir terlebih dahulu, dan tiap jenis memiliki perhatian khusus dalam
pemrosesannya. Misalnya, baterai jenis lama masih mengandung merkuri dan kadmium,
harus ditangani secara lebih serius demi mencegah kerusakan lingkungan dan kesehatan
manusia. Baterai mobil umumnya jauh lebih mudah dan lebih murah untuk didaur ulang.
Barang Elektronik
Barang elektronik yang populer seperti komputer dan handphone umumnya tidak didaur
ulang karena belum jelas perhitungan manfaat ekonominya. Material yang dapat didaur
ulang dari barang elektronik misalnya adalah logam yang terdapat pada barang elektronik
tersebut (emas, besi, baja, silikon, dll) ataupun bagian-bagian yang masih dapat dipakai
(microchip, processor, kabel, resistor, plastik, dll). Namun tujuan utama dari proses daur
ulang, yaitu kelestarian lingkungan, sudah jelas dapat menjadi tujuan diterapkannya proses
daur ulang pada bahan ini meski manfaat ekonominya masih belum jelas.
Logam
Besi dan baja adalah jenis logam yang paling banyak didaur ulang di dunia. Termasuk salah
satu yang termudah karena mereka dapat dipisahkan dari sampah lainnya dengan magnet.
Daur ulang meliputi proses logam pada umumnya; peleburan dan pencetakan kembali. Hasil
yang didapat tidak mengurangi kualitas logam tersebut.
Contoh lainnya adalah alumunium, yang merupakan bahan daur ulang paling efisien di
dunia. Namun pada umumnya, semua jenis logam dapat didaur ulang tanpa mengurangi
kualitas logam tersebut, menjadikan logam sebagai bahan yang dapat didaur ulang dengan
tidak terbatas.
Bahan Lainnya
Kaca dapat juga didaur ulang. Kaca yang didapat dari botol dan lain sebagainya dibersihkan
dair bahan kontaminan, lalu dilelehkan bersama-sama dengan material kaca baru. Dapat
juga dipakai sebagai bahan bangunan dan jalan. Sudah ada Glassphalt, yaitu bahan pelapis
jalan dengan menggunakan 30% material kaca daur ulang.
Kertas juga dapat didaur ulang dengan mencampurkan kertas bekas yang telah dijadikan
pulp dengan material kertas baru. Namun kertas akan selalu mengalami penurunan kualitas
jika terus didaur ulang. Hal ini menjadikan kertas harus didaur ulang dengan
mencampurkannya dengan material baru, atau mendaur ulangnya menjadi bahan yang
berkualitas lebih rendah.
Plastik dapat didaur ulang sama halnya seperti mendaur ulang logam. Hanya saja, terdapat
berbagai jenis plastik di dunia ini. Saat ini di berbagai produk plastik terdapat kode mengenai
jenis plastik yang membentuk material tersebut sehingga mempermudah untuk mendaur
ulang. Suatu kode di kemasan yang berbentuk segitiga 3R dengan kode angka di tengah-
tengahnya adalah contohnya. Suatu angka tertentu menunjukkan jenis plastik tertentu, dan
kadang-kadang diikuti dengan singkatan, misalnya LDPE untuk Low Density Poly Etilene,
PS untuk Polistirena, dan lain-lain, sehingga mempermudah proses daur ulang.
· Mekanisme kerja filter basah ini akan dibahas lebih lanjut pada pembahasan berikutnya,
yaitu mengenai metode menghilangkan materi partikulat, karena filter basah juga digunakan
untuk menghilangkan materi partikulat.
· Gas nitrogen oksida dapat dikurangi dari hasil pembakaran kendaraan bermotor dengan
cara menurunkan suhu pembakaran. Produksi gas karbon monoksida dan hidrokarbon dari
hasil pembakaran kendaraan bermotor dapat dikurangi dengan cara memasang alat
pengubah katalitik (catalytic converter) untuk menyempurnakan pembakaran.
· Selain cara-cara yang disebutkan diatas, emisi gas buang jugadapat dikurangi kegiatan
pembakaran bahan bakar atau mulai menggunakan sumber bahan bakar alternatif yang
lebih sedikit menghasilkan gas buang yang merupakan polutan.
Filter udara dimaksudkan untuk yang ikut keluar pada cerobong atau stack, agar
tidak ikut terlepas ke lingkungan sehingga hanya udara bersih yang saja yang keluar dari
cerobong. Filter udara yang dipasang ini harus secara tetap diamati (dikontrol), kalau sudah
jenuh (sudah penuh dengan abu/ debu) harus segera diganti dengan yang baru.
Jenis filter udara yang digunakan tergantung pada sifat gas buangan yang keluar
dari proses industri, apakah berdebu banyak, apakah bersifat asam, atau bersifat alkalis dan
lain sebagainya
Pengendap Siklon atau Cyclone Separators adalah pengedap debu / abu yang ikut
dalam gas buangan atau udara dalam ruang pabrik yang berdebu. Prinsip kerja pengendap
siklon adalah pemanfaatan gaya sentrifugal dari udara / gas buangan yang sengaja
dihembuskan melalui tepi dinding tabung siklon sehingga partikel yang relatif “berat” akan
jatuh ke bawah.
Ukuran partikel / debu / abu yang bisa diendapkan oleh siklon adalah antara 5 u – 40 u.
Makin besar ukuran debu makin cepat partikel tersebut diendapkan. Bentuk skematis
sebuah pengendap siklon dilihat pada gambar berikut ini.
Gambar 12. Pengendap Siklon
Nama lain dari filter basah adalah Scrubbers atau Wet Collectors. Prinsip kerja filter
basah adalah membersihkan udara yang kotor dengan cara menyemprotkan air dari bagian
atas alt, sedangkan udara yang kotor dari bagian bawah alat. Pada saat udara yang
berdebu kontak dengan air, maka debu akan ikut semprotkan air turun ke bawah.
Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dapat juga prinsip kerja pengendap siklon dan
filter basah digabungkan menjadi satu. Penggabungan kedua macam prinsip kerja tersebut
menghasilkan suatu alat penangkap debu yang dinamakan. Pengendap Siklon Filter Basah
seperti tampak pada gambar di bawah ini:
Gambar 13. Pengendap Siklon Filter Basah
Alat pengendap ini hanya digunakan untuk membersihkan udara kotor yang ukuran
partikelnya relatif cukup besar, sekitar 50 u atau lebih. Cara kerja alat ini sederhana sekali,
yaitu dengan mengalirkan udara yang kotor ke dalam alat yang dibuat sedemikian rupa
sehingga pada waktu terjadi perubahan kecepatan secara tiba-tiba (speed drop), zarah akan
jatuh terkumpul di bawah akibat gaya beratnya sendiri (gravitasi). Kecepatan pengendapan
tergantung pada dimensi alatnya. Skema alat pengendap sistem gravitasi tersebut dapat
dilihat pada Gambar 14. di bawah ini.
Alat pengendap elektrostatik ini menggunakan arus searah (DC) yang mempunyai
tegangan antara 25 – 100 kv. Alat pengendap ini berupa tabung silinder di mana dindingnya
diberi muatan positif, sedangkan di tengah ada sebuah kawat yang merupakan pusat
silinder, sejajar dinding tabung, diberi muatan negatif. Adanya perbedaan tegangan yang
cukup besar akan menimbulkan corona discharga di daerah sekitar pusat silinder. Hal ini
menyebabkan udara kotor seolah – olah mengalami ionisasi. Kotoran udara menjadi ion
negatif sedangkan udara bersih menjadi ion positif dan masing-masing akan menuju ke
elektroda yang sesuai. Kotoran yang menjadi ion negatif akan ditarik oleh dinding tabung
sedangkan udara bersih akan berada di tengah-tengah silinder dan kemudian terhembus
keluar.
PENANGANAN LIMBAH B3
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) tidak dapat begitu saja ditimbun,
dibakar atau dibuang ke lingkungan , karena mengandung bahan yang dapat
membahayakan manusia dan makhluk hidup lain. Limbah ini memerlukan cara penanganan
yang lebih khusus dibanding limbah yang bukan B3. Limbah B3 perlu diolah, baik secara
fisik, biologi, maupun kimia sehingga menjadi tidak berbahaya atau berkurang daya
racunnya. Setelah diolah limbah B3 masih memerlukan metode pembuangan yang khusus
untuk mencegah resiko terjadi pencemaran. Beberapa metode penanganan limbah B3 yang
umumnya diterapkan adalah sebagai berikut.
Proses pengolahan limbah B3 dapat dilakukan secara kimia, fisik, atau biologi. Proses
pengolahan limbah B3 secara kimia atau fisik yang umumnya dilakukan adalah stabilisasi/
solidifikasi . stabilisasi/solidifikasi adalah proses pengubahan bentuk fisik dan sifat kimia
dengan menambahkan bahan peningkat atau senyawa pereaksi tertentu untuk memperkecil
atau membatasi pelarutan, pergerakan, atau penyebaran daya racun limbah, sebelum
dibuang. Contoh bahan yang dapat digunakan untuk proses stabilisasi/solidifikasi adalah
semen, kapur (CaOH2), dan bahan termoplastik.
Proses pengolahan limbah B3 secara biologi yang telah cukup berkembang saat ini
dikenal dengan istilah bioremediasi dan viktoremediasi. Bioremediasi adalah penggunaan
bakteri dan mikroorganisme lain untuk mendegradasi/ mengurai limbah B3, sedangkan
Vitoremediasi adalah penggunaan tumbuhan untuk mengabsorbsi dan mengakumulasi
bahan-bahan beracun dari tanah. Kedua proses ini sangat bermanfaat dalam mengatasi
pencemaran oleh limbah B3 dan biaya yang diperlukan lebih muran dibandingkan dengan
metode Kimia atau Fisik. Namun, proses ini juga masih memiliki kelemahan. Proses
Bioremediasi dan Vitoremediasi merupakan proses alami sehingga membutuhkan waktu
yang relatif lama untuk membersihkan limbah B3, terutama dalam skala besar. Selain itu,
karena menggunakan makhluk hidup, proses ini dikhawatirkan dapat membawa senyawa-
senyawa beracun ke dalam rantai makanan di ekosistem.
Salah satu cara membuang limbah B3 agar tidak membahayakan manusia adalah
dengan cara memompakan limbah tersebut melalui pipa kelapisan batuan yang dalam, di
bawah lapisan-lapisan air tanah dangkal maupun air tanah dalam. Secara teori, limbah B3
ini akan terperangkap dilapisan itu sehingga tidak akan mencemari tanah maupun air.
Namun, sebenarnya tetap ada kemungkinan terjadinya kebocoran atau korosi pipa atau
pecahnya lapisan batuan akibat gempa sehingga limbah merembes kelapisan tanah.
limbah B3 dapat ditimbun pada landfill, namun harus pengamanan tinggi. Pada
metode pembuangan secure landfills, limbah B3 ditempatkan dalam drum atau tong-tong,
kemudian dikubur dalam landfill yang didesain khusus untuk mencegah pencemaran limbah
B3. Landffill ini harus dilengkapi peralatan moditoring yang lengkap untuk mengontrol
kondisi limbah B3 dan harus selalu dipantau. Metode ini jika diterapkan dengan benar dapat
menjadi cara penanganan limbah B3 yang efektif. Namun, metode secure landfill merupakan
metode yang memliki biaya operasi tinggi, masih ada kemungkinan terjadi kebocoran, dan
tidak memberikan solusi jangka panjang karena limbah akan semakin menumpuk.
Labels: Artikel
No comments:
Post a Comment
Newer Post Home
Search
Search
Teman Seperjuangan
Blog Archive
▼ 2012 (21)
o ► July (2)
o ► June (6)
o ► May (3)
o ▼ March (10)
Woongjin Coway CF Teaser - 2PM
Apa Itu Tomcat ?
Avril Lavigne - Wish You Were Here
Craig David - Unbelievable Lyrics
Mencintaimu Karena Allah
Tuhan Masih Menyayangiku
Ini Cinta
Film Parodi 2PM
Lirik Lagu Avril Lavigne - I'm With you
PENAGANAN LIMBAH PADAT, CAIR DAN GAS dan B3
This is me in my world
Wita K Fitrian
Wikaws
Wikaws @dinanyf @tiaraekaw masuknya jam berapa gitu? 7 days ago · reply · retweet ·
favorite
Wikaws @zOellula pada mau bubar di luar zul.. gimana? 7 days ago · reply · retweet ·
favorite
Facebook
Wita Karwilla Fitrian
About Me
Wita K Fitrian
Pengolahan Limbah B3
Juni 25, 2010 pada 2:14 pm (Uncategorized)
Tags: pengolahan limbah b3
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) mengandung bahan yang dapat membahayakan
manusia dan makhluk hidup lain. Limbah B3 perlu diolah, baik secara fisik, biologi, maupun
kimia sehingga menjadi tidak berbahaya atau berkurang daya racunnya. Setelah diolah,
limbah B3 masih memerlukan metode pembuangan yang khusus untuk mencegah resiko
terjadi pencemaran.
Proses pengolahan limbah B3 secara kimia atau fisik yang umum adalah
stabilisasi/solidifikasi. Stabilisasi atau solidifikasi adalah proses pengubahan bentuk fisik dan
atau sifat kimia dengan menambahkan bahan pengikat atau senyawa pereaksi tertentu untuk
memperkecil/membatasi kelarutan, pergerakan, atau penyebaran daya racun limbah, sebelum
dibuang. Teknologi solidification/stabilization juga dapat diterapkan untuk mengolah limbah
B3. Secara umum stabilisasi dapat didefinisikan sebagai proses pencapuran limbah dengan
bahan tambahan (aditif) dengan tujuan menurunkan laju migrasi bahan pencemar dari limbah
serta untuk mengurangi toksisitas limbah tersebut. Sedangkan solidifikasi didefinisikan
sebagai proses pemadatan suatu bahan berbahaya dengan penambahan aditif. Kedua proses
tersebut seringkali terkait sehingga sering dianggap mempunyai arti yang sama. Proses
solidifikasi/stabilisasi berdasarkan mekanismenya dapat dibagi menjadi 6 golongan, yaitu:
1. Macroencapsulation, yaitu proses dimana bahan berbahaya dalam limbah dibungkus dalam
matriks struktur yang besar
2. Microencapsulation, yaitu proses yang mirip macroencapsulation tetapi bahan pencemar
terbungkus secara fisik dalam struktur kristal pada tingkat mikroskopik
3. Precipitation
4. Adsorpsi, yaitu proses dimana bahan pencemar diikat secara elektrokimia pada bahan
pemadat melalui mekanisme adsorpsi.
5. Absorbsi, yaitu proses solidifikasi bahan pencemar dengan menyerapkannya ke bahan padat
6. Detoxification, yaitu proses mengubah suatu senyawa beracun menjadi senyawa lain yang
tingkat toksisitasnya lebih rendah atau bahkan hilang sama sekali
Proses pengolahan limbah B3 secara biologi yang telah berkembang yaitu bioremedasi dan
fitoremedasi.
1. Bioremediasi
Bioremedasi adalah penggunan bakteri dan mikroorganisme lain untuk
mendegradasi/mengurai limbah B3. Bioremediasi juga merupakan proses pembersihan
pencemaran tanah dengan menggunakan mikroorganisme (jamur, bakteri). Bioremediasi
bertujuan untuk memecah atau mendegradasi zat pencemar menjadi bahan yang kurang
beracun atau tidak beracun (karbon dioksida dan air).
1. stimulasi aktivitas mikroorganisme asli (di lokasi tercemar) dengan penambahan nutrien,
pengaturan kondisi redoks, optimasi pH, dsb
2. inokulasi (penanaman) mikroorganisme di lokasi tercemar, yaitu mikroorganisme yang
memiliki kemampuan biotransformasi khusus
3. penerapan immobilized enzymes
4. penggunaan tanaman (phytoremediation) untuk menghilangkan atau mengubah pencemar.
Sejak tahun 1900an, orang-orang sudah menggunakan mikroorganisme untuk mengolah air
pada saluran air. Saat ini, bioremediasi telah berkembang pada perawatan limbah buangan
yang berbahaya (senyawa-senyawa kimia yang sulit untuk didegradasi), yang biasanya
dihubungkan dengan kegiatan industri. Yang termasuk dalam polutan-polutan ini antara lain
logam-logam berat, petroleum hidrokarbon, dan senyawa-senyawa organik terhalogenasi
seperti pestisida, herbisida, dan lain-lain. Banyak aplikasi-aplikasi baru menggunakan
mikroorganisme untuk mengurangi polutan yang sedang diujicobakan. Bidang bioremediasi
saat ini telah didukung oleh pengetahuan yang lebih baik mengenai bagaimana polutan dapat
didegradasi oleh mikroorganisme, identifikasi jenis-jenis mikroba yang baru dan bermanfaat,
dan kemampuan untuk meningkatkan bioremediasi melalui teknologi genetik. Teknologi
genetik molekular sangat penting untuk mengidentifikasi gen-gen yang mengkode enzim
yang terkait pada bioremediasi. Karakterisasi dari gen-gen yang bersangkutan dapat
meningkatkan pemahaman kita tentang bagaimana mikroba-mikroba memodifikasi polutan
beracun menjadi tidak berbahaya.
Strain atau jenis mikroba rekombinan yang diciptakan di laboratorium dapat lebih efisien
dalam mengurangi polutan. Mikroorganisme rekombinan yang diciptakan dan pertama kali
dipatenkan adalah bakteri “pemakan minyak”. Bakteri ini dapat mengoksidasi senyawa
hidrokarbon yang umumnya ditemukan pada minyak bumi. Bakteri tersebut tumbuh lebih
cepat jika dibandingkan bakteri-bakteri jenis lain yang alami atau bukan yang diciptakan di
laboratorium yang telah diujicobakan. Akan tetapi, penemuan tersebut belum berhasil
dikomersialkan karena strain rekombinan ini hanya dapat mengurai komponen berbahaya
dengan jumlah yang terbatas. Strain inipun belum mampu untuk mendegradasi komponen-
komponen molekular yang lebih berat yang cenderung bertahan di lingkungan.
Jenis-jenis bioremediasi
Jenis-jenis bioremediasi adalah sebagai berikut:
Biostimulasi
Nutrien dan oksigen, dalam bentuk cair atau gas, ditambahkan ke dalam air atau tanah yang
tercemar untuk memperkuat pertumbuhan dan aktivitas bakteri remediasi yang telah ada di
dalam air atau tanah tersebut.
Bioaugmentasi
Bioremediasi Intrinsik
Bioremediasi jenis ini terjadi secara alami di dalam air atau tanah yang tercemar.
Di masa yang akan datang, mikroorganisme rekombinan dapat menyediakan cara yang efektif
untuk mengurangi senyawa-senyawa kimiawi yang berbahaya di lingkungan kita.
Bagaimanapun, pendekatan itu membutuhkan penelitian yang hati-hati berkaitan dengan
mikroorganisme rekombinan tersebut, apakah efektif dalam mengurangi polutan, dan apakah
aman saat mikroorganisme itu dilepaskan ke lingkungan.
2. Fitoremediasi
Istilah fitoremediasi berasal dari kata Inggris phytoremediation; kata ini sendiri tersusun atas
dua bagian kata, yaitu phyto yang berasal dari kata Yunani phyton (= “tumbuhan”) dan
remediation yang berasal dari kata Latin remedium ( =”menyembuhkan”, dalam hal ini
berarti juga “menyelesaikan masalah dengan cara memperbaiki kesalahan atau kekurangan”)
(Anonimous, 1999). Dengan demikian fitoremediasi dapat didefinisikan sebagai: penggunaan
tumbuhan untuk menghilangkan, memindahkan, menstabilkan, atau menghancurkan bahan
pencemar baik itu senyawa organik maupun anorganik Fitoremedasi juga merupakan
penggunan tumbuhan untuk mengabsorbsi dan mengakumulasi bahan-bahan beracun dari
tanah.
Metoda ini pertama kali dipacu oleh kebocoran reaktor nuklir di Chernobyl – Rusia pada
tahun 1986, beberapa peneliti Amerika dan Ukraina telah melakukan penelitian terhadap
kemampuan tanaman jenis Indian mustard untuk meminimalkan kandungan unsur cesium dan
stronsium dalam tanah yang telah terpapar oleh senyawa radioaktif. Sedangkan di Iowa – AS,
para peneliti mencoba pohon poplar untuk menurunkan kandungan senyawa pestisida jenis
atrazine yang terpapar di dalam tanah dan air tanah.
Keuntungan paling besar dalam penggunaan fitoremediasi adalah biaya operasi lebih murah
bila dibandingkan pengolahan konvensional lain seperti insinerasi, pencucian tanah
berdasarkan sistem kimia dan energi yang dibutuhkan. Prinsip dasar dari teknologi
fitoremediasi ini adalah memulihkan tanah terkontaminasi, memperbaiki sludge, sedimen dan
air bawah tanah melalui proses pemindahan, degradasi atau stabilisasi suatu kontaminan.
Proses dalam teknologi fitoremediasi ini berjalan secara alami dengan enam tahapan proses
secara serial yang dilakukan tumbuhan terhadap zat kontaminan / pencemar disekitarnya.
Rhizofiltration (rhizo=akar), adalah proses adsorpsi atau pengendapan zat kontaminan oleh
akar untuk menempel pada akar. Proses ini telah dibuktikan dengan menanam bunga
matahari pada kolam yang mengandung zat radioaktif. Di dalam sistem hidroponik, sistem
perakaran telah secara nyata dapat dipergunakan untuk menjelaskan metode rhizofiltrasi.
Kontaminan di dalam air, setelah kontak dengan akar akan diabsorpsi dan kemudian
tumbuhan dipanen akarnya hingga menjadi jenuh terhadap kontaminan. Akar tumbuhan
mengadsorpsi atau presipitasi pada zone akar atau mengabsorpsi larutan polutan sekitar akar
ke dalam akar. Spesies tumbuhan yang fungsional adalah rumput air seperti Cattail dan eceng
gondok .
Phytostabilization, yaitu penempelan zat-zat kontaminan tertentu pada akar yang tidak
mungkin terserap ke dalam batang tumbuhan. Zat-zat tersebut menempel erat (stabil) pada
akar sehingga tidak akan terbawa oleh aliran air dalam media. Proses ini akan mengurangi
mobilisasi kontaminan dan mencegah berpindahnya ke air tanah atau udara. Teknik ini dapat
digunakan untuk meningkatkan penutupan tajuk oleh tumbuhan yang toleran terhadap jenis
kontaminan di lokasi tersebut. Menurut Cunningham et al.,(1995), ada tiga kemungkinan
mekanisme yang umum terjadi pada proses fitostabilisasi;
(3) pengikatan bahan–bahan organik ke dalam bagian lignin tanaman. Proses ini secara
tipikal digunakan untuk dekontaminasi zat-zat anorganik. Spesies tumbuhan yang biasa
digunakan adalah berbagai jenis rumput, bunga matahari, dan kedelai.
Rhizodegradetion, yaitu penguraian zat-zat kontaminan oleh aktivitas mikroba yang berada
disekitar tumbuhan. Misalnya ragi, fungi atau bakteri
Mikroorganisme (ragi, fungi dan atau bakteria) mengkonsumsi dan menguraikan atau
mengubah bahan organik untuk dipergunakan sebagai bahan nutrient. Beberapa jenis
mikroorganisme dapat menguraikan bahan organik seperti minyak atau larutan yang
berbahaya bagi manusia dan sebagai eco-receptors dan mengubah bahan-bahan berbahaya
tersebut menjadi bahan kurang berbahaya melalui proses degradasi. Senyawa-senyawa alami
yang dilepaskan oleh akar tumbuhan seperti zat gula, alkohol dan asam yang mengandung
karbon organik berfungsi sebagai sumber nutrient bagi mikrobia tanah dan penambahan
nutrient akan memacu aktivitas mikrobia tersebut.
Phytodegradation, yaitu proses yang dilakukan tumbuhan untuk menguraikan zat kontaminan
yang memiliki molekul menjadi bahan yang tidak berbahaya dengan susunan molekul yang
lebih sederhana, yang dapat bergunan bagi pertumbuhan tumbuhan itu sendiri. Proses ini
dapat berlangsung pada batang, daun, akar atau diluar sekitar tanaman dengan bantuan enzym
yang dikeluarkan oleh tumbuhan itu sendiri. Beberapa tumbuhan mengeluarkan enzym
berupa bahan kimia yang mempercepat proses degaradasi.
Phytovolatization, yaitu proses menarik dan transpirsi zat kontaminan oleh tumbuhan dalam
bentuk yang telah menjadi larutan terurai sebagai bahan ynag tidak bebahaya lagi untuk
selanjutnya diupakan ke atmosfir. Beberapa tumbuhan dapat menguapkan air dengan jumlah
200 sampai dengan 1000 liter air perhari tiap batangnya. Kontaminan bisa mengalami
transformasi sebelum lepas ke atmosfer. Kontaminan zat-zat organic adalah tepat
menggunakan proses ini. Kontaminan dapat keluar melalui daun dan hasil volatilisasi masuk
ke dalam atmosfer pada konsentrasi yang rendah. Beberapa senyawa organik dapat
ditranspirasikan oleh tumbuhan merupakan subjek photodegradasi.
1. Kemampuan daya akumulasi berbagai jenis tanaman untuk berbagai jenis polutan dan
konsentrasi, sifat kimia dan fisika, dan sifat fisiologi tanaman.
d)Merupakan cara remediasi yang paling aman bagi lingkungan karena memanfaatkan
tumbuhan.
2. Metode Pembuangan Limbah B3 dengan cara Sumur Dalam/ Sumur Injeksi (Deep
Weel Injection)
Metoda ini yaitu dengan cara memompakan limbah tersebut melalui pipa ke lapisan yang
dalam, di bawah lapisan-lapisan ait tanah dangkal maupun air tanah dalam. Secara teoritis,
limbah B3 ini akan terperangkap di lapisan itu sehingga tidak akan mencemari tanah maupun
air. Sebenarnya tetap ada kemungkinan terjadi kebocoran atau korosi pipa, atau pecahnya
lapisan batuan sehingga limbah merembes ke lapisan tanah.
Pembuangan limbah B3 melalui metode ini masih mejadi kontroversi dan masih diperlukan
pengkajian yang komprehensif terhadap efek yang mungkin ditimbulkan. Data menunjukkan
bahwa pembuatan sumur injeksi di Amerika Serikat paling banyak dilakukan pada tahun
1965-1974 dan hampir tidak ada sumur baru yang dibangun setelah tahun 1980.
Sumur injeksi atau sumur dalam (deep well injection) digunakan di Amerika Serikat sebagai
salah satu tempat pembuangan limbah B3 cair (liquid hazardous wastes). Pembuangan
limbah ke sumur dalam merupakan suatu usaha membuang limbah B3 ke dalam formasi
geologi yang berada jauh di bawah permukaan bumi yang memiliki kemampuan mengikat
limbah, sama halnya formasi tersebut memiliki kemampuan menyimpan cadangan minyak
dan gas bumi. Hal yang penting untuk diperhatikan dalam pemilihan tempat ialah strktur dan
kestabilan geologi serta hidrogeologi wilayah setempat.
Limbah B3 diinjeksikan se dalam suatu formasi berpori yang berada jauh di bawah lapisan
yang mengandung air tanah. Di antara lapisan tersebut harus terdapat lapisan impermeable
seperti shale atau tanah liat yang cukup tebal sehingga cairan limbah tidak dapat bermigrasi.
Kedalaman sumur ini sekitar 0,5 hingga 2 mil dari permukaan tanah.
Tidak semua jenis limbah B3 dapat dibuang dalam sumur injeksi karena beberapa jenis
limbah dapat mengakibatkan gangguan dan kerusakan pada sumur dan formasi penerima
limbah. Hal tersebut dapat dihindari dengan tidak memasukkan limbah yang dapat
mengalami presipitasi, memiliki partikel padatan, dapat membentuk emulsi, bersifat asam
kuat atau basa kuat, bersifat aktif secara kimia, dan memiliki densitas dan viskositas yang
lebih rendah daripada cairan alami dalam formasi geologi.
Hingga saat ini di Indonesia belum ada ketentuan mengenai pembuangan limbah B3 ke
sumur dalam (deep injection well). Ketentuan yang ada mengenai hal ini ditetapkan oleh
Amerika Serikat dan dalam ketentuan itu disebutkah bahwa:
Dalam kurun waktu 10.000 tahun, limbah B3 tidak boleh bermigrasi secara vertikal keluar
dari zona injeksi atau secara lateral ke titik temu dengan sumber air tanah.. Sebelum limbah
yang diinjeksikan bermigrasi dalam arah seperti disebutkan di atas, limbah telah mengalami
perubahan higga tidak lagi bersifat berbahaya dan beracun.
Like this:
Suka
Tinggalkan Balasan
guest
Sistem open dumping, yakni pembuangan sampah di lahan tanah lapang tanpa ada
pengolahan lebih lanjut. Seperti dikutip dari data KLH, sebagian besar TPA di Indonesia saat ini masih
menggunakan sistem open dumping, padahal sistem ini sangat tidak ramah lingkungan dan tidak
efektif menangani volume sampah yang terus menggunung dari hari ke hari.
Resistensi sosial terhadap keberadaan TPA jenis ini juga terus mengalir dari berbagai tempat,
penduduk sekitar TPA umumnya tidak setuju ada TPA open dumping di dekat rumah mereka, karena
bau serta penyakit dari gunung-gunung sampah itu sangatlah mengganggu. Open dumping
merupakan jenis pembuangan sampah akhir yang tidak saniter karena pada sampah basah dapat
menjadi media yang baik untuk lalat dan tikus dan dapat menimbulkan bau yang tidak sedap serta
tidak menimbulkan pemandangan yang tidak sedap. Jenis pembuangan sampah akhir dengan open
dumping dapat menjadi media penularan penyakit sehingga tidak dianjurkan untuk digunakan. Oleh
karena itu penanganan sampah yang tidak baik atau tidak memenuhi syarat kesehatan seperti open
dumping akan meningkatkan populasi lalat sehingga kemungkinan penyakit diare akan meningkat.
Open dumping bukan merupakan cara pemusnahan yang baik. Walaupun secara teknis
pelaksanaan mudah namun kemungkinan dampak lingkungan serta tidak dapat digunakannya
kembali lahan dalam waktu yang lama menyebabkan metode ini diabaikan untuk diterapkan.
Controlled landfill merupakan perbaikan atau peningkatan dari system open dumping.
Perbaikan atau peningkatan ini meliputi adanya kegiatan penutupan sampah dengan lapisan tanah,
fasilitas drainase serta fasilitas pengumpulan dan pengolahan leachete. Penutupan sampah dengan
tanah yaitu: tanah penutup antara ( pada periode-periode tertentu) serta tanah penutp akhir
(setelah kapasitas TPA penuh). Dengan aplikasi system contolled landfill diharapkan agar dampak
negative terhadap lingkungan dapat diperkecil dibandingkan dengan dampak dari system open
dumping. Namun demikian, untuk lebih menjamin sanitasi lingkungan, dikembangkan metode lahan
urug sanitaser. kontrol landfiil hanya bisa menangkap gas saja namun tidak bisa diolah menjadi
energi listrik
Metode ini dilakukan dengan cara menimbun kemudian diratakan, dipadatkan kemudian
diberi cover tanah pada atasnya sebagai laipsan penutup. Hal ini dilakukan sacara berlapis-lapis
sesuai dengan perencanaannya. Pelapisan sampah dengan menggunakan tanah setiap hari pada
akhir operasi.
Tempat pembuangan akhir (TPA) yang direkomendasikan oleh para ahli dengan
menggunakan sistem sanitary landfill dapat dilengkapi dengan sarana pengomposan dan
pemanfaatan sampah menjadi bahan baku daur ulang. Sisa sampah yang tidak dapat didaur ulang
ataupun dibuat menjadi kompos kemudian dibakar dan disimpan dalam kolam sanitary landfill.
Proses ini dapat dinamakan Instalasi pengolahan sampah terpadu (IPST). Proses daur ulang, produksi
kompos dan pembakaran tersebut bertujuan untuk memperkecil volume sampah yang dihasilkan,
sehingga pembuangan sampah pada kolam sanitary landfill dapat diperkecil dan akhirnya dapat
menghemat penggunaan lahan TPA.
Perbedaan sanitary dan kontrol landfill terletak pada pemanfaatan gas yang
dihasilkan.Sistem sanitary landfill lebih lengkap karena selain mendapat manfaat gas juga bisa diolah
menjadi tenaga listrik. Sehingga hasilnya bisa dinikmati oleh masyarakat.
Limbah radioaktif adalah jenis limbah yang mengandung atau terkontaminasi radionuklida pada
konsentrasi atau aktivitas yang melebihi batas yang diijinkan (Clearance level) yang ditetapkan oleh
Badan Pengawas Tenaga Nuklir. Definisi tersebut digunakan didalam peraturan perundang-
undangan. Pengertian limbah radioaktif yang lain mendefinisikan sebagai zat radioaktif yang sudah
tidak dapat digunakan lagi, dan/atau bahan serta peralatan yang terkena zat radioaktif atau menjadi
radioaktif dan sudah tidak dapat difungsikan/dimanfaatkan. Bahan atau peralatan tersebut terkena
atau menjadi radioaktif kemungkinan karena pengoperasian instalasi nuklir atau instalasi yang
memanfaatkan radiasi pengion
Kegiatan pemanfaatan, pengembangan dan penguasaan iptek nuklir di Indonesia diawasi oleh
Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten). Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang No.10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran Pasal 14 ayat 2 dilaksanakan melalui
peraturan, perizinan dan inspeksi. Peraturan dan perizinan yang diberikan oleh Bapeten juga
memperhatikan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Undang Undang No.1 Tahun 1970 tentang
Keselamatan Kerja dan Undang-Undang lainnya yang terkait beserta produk hukum dibawahnya.
Izin pembangunan diberikan bila dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal)
yang disampaikan oleh pemrakarsa disetujui oleh komisi Amdal. Hal ini dilakukan untuk memenuhi
Undang Undang No. 23/1997 Pasal 15. Dalam dokumen Analisis Dampak Lingkungan (Amdal)
dilakukan studi yang menyeluruh antara komponen-komponen lingkungan hidup terhadap berbagai
jenis kegiatan pembangunan yang dimulai dari tahap pembebasan dan penyiapan lahan sampai
tahap dekomisioning. Hasil studi Amdal adalah informasi mengenai berbagai kegiatan yang
menimbulkan dampak positif dan negatif serta komponen lingkungan hidup yang terkena dampak
Limbah radioaktif umumnya ditimbulkan dari kegiatan pengoperasian reaktor riset,
pemanfaatan sumber radiasi dan bahan radioaktif dalam bidang industri, pertanian, kedokteran dan
penelitian serta dari berbagai proses indusrti yang menggunakan bahan yang mengandung
radionuklida alam (Naturally Occurring Radioactive Material, NORM). Sedangkan di negara-negara
maju, limbah radioaktif juga ditimbulkan dari pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN)
dan kegiatan daur-ulang bahan bakar nuklir (BBN) bekas dan dekomisioning instalasi/ fasilitas nuklir.
Pengelolaan limbah radioaktif dilaksanakan untuk mencegah timbulnya bahaya radiasi terhadap
pekerja, anggota masyarakat dan lingkungan hidup. Pengelolaan limbah radioaktif adalah
pengumpulan, pengelompokan, pengolahan, pengangkutan, penyimpanan sementara dan
penyimpanan lestari dan pembuangan limbah (disposal).
Dalam pemanfaatan iptek nuklir minimisasi limbah diterapkan mulai dari perencanaan,
pemanfaatan (selama operasi) dan setelah masa operasi (pasca operasi). Pada tahap
awal/perencanaan pemanfaatan iptek nuklir diterapkan azas justifikasi, yaitu "tidak dibenarkan
memanfaatkan suatu iptek nuklir yang menyebabkan perorangan atau anggota masyarakat
menerima paparan radiasi bila tidak menghasilkan suatu manfaat yang nyata". Dengan menerapkan
azas justifikasi berarti telah memimisasi potensi paparan radiasi dan kontaminasi serta membatasi
limbah/dampak lainnya yang akan ditimbulkan pada sumbernya. Setelah penerapan azas justifikasi
atas suatu pemanfaatan iptek nuklir, pemanfaatan iptek nuklir tersebut harus lebih besar
manfaatnya dibandingkan kerugian yang akan ditimbulkannya, dan dalam pembangunan dan
pengoperasiannya harus mendapat izin lokasi, pembangunan, dan pengoperasian dari Badan
Pengawas, seperti telah diuraikan sebelumnya.
Gambar 1. Skema pengelolaan limbah radioaktif dalam pemanfaatan Iptek Nuklir.
Limbah radioaktif yang ditimbulkan dari pemanfaatan iptek nuklir umumnya dikelompokkan
ke dalam limbah tingkat rendah (LTR), tingkat sedang (LTS) dan tingkat tinggi (LTT). Pengelompokan
ini didasarkan kebutuhan isolasi limbah untuk jangka waktu yang panjang dalam upaya melindungi
pekerja radiasi, lingkungan hidup, masyarakat dan generasi yang akan datang. Pengelompokan ini
merupakan strategi awal dalam pengelolaan limbah radioaktif. Sistem pengelompokan limbah di tiap
negara umumnya berbeda-beda sesuai dengan tuntutan keselamatan/peraturan yang berlaku di
masing-masing negara. Di Indonesia, sesuai Pasal 22 ayat 2, U.U. No. 10/1997, limbah
radioaktif berdasarkan aktivitasnya diklasifikasikan dalam jenis limbah radioaktif tingkat rendah
(LTR), tingkat sedang (LTS) dan tingkat tinggi (LTT). Di P2PLR, berdasarkan bentuknya limbah
radioaktif dikelompokkan ke dalam limbah cair (organik, anorganik), limbah padat
(terkompaksi/tidak terkompaksi, terbakar/tidak terbakar) dan limbah semi cair (resin). Berdasarkan
aktivitasnya dikelompokkan menjadi limbah aktivitas rendah (10-6Ci/m3 < LTR < 10-3Ci/m3), limbah
aktivitas sedang (10-3Ci/m3 < LTS < 104Ci/m3) dan limbah aktivitas tinggi (LTT > 104Ci/m3).
Penimbul limbah radioaktif baik dari kegiatan Batan dan diluar Batan (Industri, Rumah Sakit,
industri, dll.) wajib melakukan pemilahan dan pengumpulan limbah sesuai dengan jenis dan tingkat
aktivitasnya. Limbah radioaktif ini selanjutnya dapat diolah di Pusat Penelitian Tenaga Nuklir (PPTN)
Serpong untuk pengolahan lebih lanjut.
Teknologi Pengolahan Limbah
Tujuan utama pengolahan limbah adalah mereduksi volume dan kondisioning limbah, agar
dalam penanganan selanjutnya pekerja radiasi, anggota masyarakat dan lingkungan hidup aman dari
paparan radiasi dan kontaminasi. Teknologi pengolahan yang umum digunakan antara lain adalah
teknologi alih-tempat (dekontaminasi, filtrasi, dll.), teknologi pemekatan (evaporasi, destilasi, dll.),
teknologi transformasi (insinerasi, kalsinasi) dan teknologi kondisioning (integrasi dengan wadah,
imobilisasi, adsorpsi/absorpsi). Limbah yang telah mengalami reduksi volume selanjutnya
dikondisioning dalam matrik beton, aspal, gelas, keramik, sindrok, dan matrik lainnya, agar zat
radioaktif yang terkandung terikat dalam matrik sehingga tidak mudah terlindi dalam kurun waktu
yang relatif lama (ratusan/ribuan tahun) bila limbah tersebut disimpan secara lestari/di disposal ke
lingkungan. Pengolahan limbah ini bertujuan agar setelah ratusan/ribuan tahun sistem disposal
ditutup (closure), hanya sebagian kecil radionuklida waktu-paro (T1/2) panjang yang sampai ke
lingkungan hidup (biosphere), sehingga dampak radiologi yang ditimbulkannya minimal dan jauh di
bawah NBD yang ditolerir untuk anggota masyarakat.
Teknologi pengolahan dan disposal limbah tingkat rendah (LTR) dan tingkat sedang (LTS) telah
mapan dan diimplementasikan secara komersial di negara-negara industri nuklir. Penelitian dan
pengembangan (litbang) yang berkaitan dengan pengolahan dan disposal limbah ini sudah sangat
terbatas. Negara-negara berkembang dapat mempelajari dan mengadopsi teknologi pengolahan dan
disposal dari negara-negara industri nuklir. Teknologi pengolahan dan disposal yang dipilih haruslah
disesuaikan dengan strategi pengelolaan yang ditetapkan. Dalam upaya meningkatkan kepercayaan
masyarakat, beberapa negara-negara industri nuklir saat ini cenderung langsung mendisposal LTR
dan LTS dari pada menyimpannya di tempat penyimpanan sementara (strategi wait and see).
Penerapan disposal secara langsung selain akan memeperkecil dampak radiologi terhadap pekerja,
juga diharapkan akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemanfaatan iptek nuklir.
P2PLR dalam pengelolaan LTR dan LTS telah mengadopsi teknologi yang telah mapan dan
umum digunakan di negara-negara industri nuklir. Limbah hasil olahan disimpan di fasilitas IS-1,
sehingga limbah tersebut aman dan terkendali serta kemungkinan limbah tersebut tercecer atau
tidak bertuan dapat dihindarkan.
BATAN dalam pengelolaan LTT saat ini memilih daur tertutup. Limbah BBN bekas dan LTT dari
hasil uji fabrikasi BBN saat ini disimpan di Interim Storage for Spent Fuel Element (ISSFE) yang ada di
PPTN Serpong. Kapasitas ISSFE mampu untuk menyimpan BBN bekas untuk selama umur operasi
reaktor G.A. Siwabessy. LTT dan Bahan Bakar Nuklir (BBN) bekas yang dihasilkan dari pengoperasian
reaktor Triga Mark II di Bandung dan reaktor Kartini di Yogyakarta disimpan di kolam pendingin
reaktor. Dalam pengoperasian reaktor G.A.Siwabessy, reaktor Triga Mark II dan reaktor Kartini, BBN
bekas ataupun LTT tidak ada yang keluar dari kawasan nuklir tersebut, seluruhnya tersimpan dengan
aman di kawasan nuklir tersebut.
Strategi pembuangan limbah radioaktif umumnya dibagi kedalam 2 konsep pendekatan, yaitu
konsep "Encerkan dan Sebarkan" (EDS) atau "Pekatkan dan Tahan" (PDT). Kedua strategi ini
umumnya diterapkan dalam pemanfaatan iptek nuklir di negara industri nuklir, sehingga tidak dapat
dihindarkan menggugurkan strategi zero release.
Dalam pengoperasian instalasi nuklir tidak dapat dihindarkan terjadinya pembuangan efluen
ke atmosfer dan ke badan-air. Efluen gas/partikulat yang dibuang langsung ke atmosfer berasal dari
sistem ventilasi. Udara sistem ventilasi di tiap instalasi nuklir sebelum dibuang ke atmosfer melalui
cerobong, dibersihkan kandungan gas/ partikulat radioaktif yang terkandung di dalamnya dengan
sistem pembersih udara yang mempunyai efisiensi 99,9 %. Efluen cair yang dapat dibuang langsung
ke badan-air hanya berasal sistem ventilasi dan dari unit pengolahan limbah cair radioaktif. Tiap jenis
radionuklida yang terdapat dalam efluen yang di buang ke lingkungan harus mempunyai konsentrasi
di bawah BME.
BME tiap jenis radioanuklida yang diperkenankan terdapat dalam efluen radioaktif yang
dibuang ke lingkungan untuk tiap instalasi nuklir di PPTN Serpong telah dihitung dengan metode
faktor konsentrasi (concentration factor method) dan telah diterapkan semenjak reaktor G.A.
Siwabessy dioperasikan pada bulan Agusutus 1987 Pembuangan efluent gas/partikulat dan efluen
cair ke lingkungan di PPTN Serpong telah sesuai dengan rekomendasi yang diberikan baik secara
nasional maupun internasional.
Pemilihan lokasi untuk pembangunan fasilitas disposal mengacu pada proses seleksi yang
direkomendasikan oleh International Atomic Energy Agency (IAEA). Faktor-faktor teknis yang
dipertimbangkan diantaranya faktor geologi, hidrogeologi, geokimia, tektonik dan kegempaan,
berbagai kegiatan yang ada di sekitar calon lokasi, meteorologi, transportasi limbah, tata-guna lahan,
distribusi penduduk dan perlindungan lingkungan hidup. Faktor lainnya yang sangat penting adalah
penerimaan oleh masyarakat.
P2PLR telah melakukan berbagai penelitian dan pengkajian kemungkinan kawasan nuklir
PPTN Serpong dan calon lokasi PLTN di S. Lemahabang dapat digunakan sebagai lokasi untuk
disposal LTR, LTS dan LTT. Hasil pengkajian dan penelitian ini sementara menyimpulkan bahwa
kawasan PPTN Serpong dikarenakan kondisi lingkungan setempat (pola aliran air tanah, demographi,
dll) hanya memungkinkan untuk pembangunan sistem disposal eksperimental, sedangkan di calon
lokasi PLTN telah dapat diidentifikasi daerah yang mempunyai kesesuaian yang tinggi untuk
pembangungan sistem disposal near-surface dan deep disposal.
Rancang-bangun
Fasilitas disposal dibangun tergantung pada kondisi geologi, persyaratan-persyaratan khusus dan
pemenuhan regulasi. Fasilitas disposal yang dibangun haruslah efektif menahan radionuklida untuk
tidak migrasi ke lingkungan hidup selama periode potensi bahaya (hazard) maksimal, sehingga
paparan radiasi terhadap pekerja dan anggota masyarakat selama operasi dan pasca-operasi
minimal. Tujuan ini dapat dicapai melalui rancang-bangun komponen-komponen teknis seperti paket
limbah, struktur teknis fasilitas, lokasi itu sendiri dan kombinasi dari berbagai faktor-faktor teknis
tersebut.
Saat ini beberapa jenis fasilitas disposal telah dibangun dan beroperasi di negara-negara
industri nuklir, 62 % dibangun dekat permukaan tanah (engineered near-surface), 18 % di
permukaan tanah, 7 % dalam gua bekas tambang dan sisanya dalam formasi geologi (deep disposal).
Kemampuan untuk melakukan pengkajian keselamatan ini perlu dukungan infrastruktur
(organisasi, peralatan, dll.) dan sumberdaya manusia yang handal serta disiapkan secara
berkesinambungan. Di P2PLR saat ini terdapat Bidang Kelompok Penyimpanan Lestari dan Bidang
Keselamatan dan Lingkungan, telah membuat group-group untuk pengkajian skenario, mendapatkan
besaran-besaran fisika-kima untuk pengkajian dan pengembangan perangkat lunak untuk pengkajian
unjuk kerja fasilitas disposal (performance assessment), diharapkan dalam jangka panjang dapat
dibangun capacity building dan confidence building dalam keselamatan disposal limbah radioaktif.
REFERENSI
Artikel yang dimuat pada 'Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah' Volume 6 No. 2 Desember 2003
(ISSN:1410-9565). Penulis : Erwansyah Lubis (Ahli Peneliti Utama, Bidang Radioekologi Kelautan
PTLR - BATAN)
http://www.blueenvironmental.com/landfill.html
http://www.kotabogor.go.id/index.php?Itemid=101&id=4343&option=com_content&task=view
1 komentar:
1.
yoman kacruthhhh..
BalasHapus
Pengikut
Arsip Blog
▼ 2011 (26)
o ► Juli (15)
o ▼ Juni (11)
HUKUM GERAKAN PLANET KEPPLER
METODELOGI PENGELOLAAN SAMPAH DAN SAMPAH NUKLIR DI...
pencemaran
mortalitas
morfologi karst
pelapukan
geomorfologi
air di karangsambung
sempadan sungai
wawasan nusantara dan geo politik
hak anak untuk mendapatkan pendidikan
Mengenai Saya
eka