Anda di halaman 1dari 43

Metode Pembuangan Limbah B3

Published by rizky-mainichi.blogspot.com - On Sabtu, Juli 07, 2012 - This post haved 0


komentar
digg
A.     Sumur dalam/sumur injeksi (deep wall injection)
Salah satu cara membuang limbah B3 agar tidak membahayakan manusia adalah dengan
memompakan limbah tersebut melalui pipa ke lapisan batuan yang dalam, di bawah lapisan-
lapisan air tanah dangkal maupun air tanah dalam. Secara teori, limbah B3 ini akan
terperangkap di lapisan itu sehingga tidak akan mencemari tanah maupun air. Namun
sebenarnya, tetap ada kemungkinan terjadinya kebocoran atau korosi pipa, atau pecahnya
lapisan batuan akibat gempa sehingga limbah merembes ke lapisan tanah.

B.      Kolam penyimpanan (Surface impoundments)


        Limbah B3 cair dapat ditampung pada kolam-kolam yang memang dibuat untuk limbah
B3. Kolam-kolam ini dilapisi lapisan pelindung yang dapat mencegah perembesan limbah.
Ketika air limbah menguap, senyawa B3 akan terkonsentrasi dan mengendap di dasar.
Kelemahan metode ini adalah memakan lahan karena limbah akan semakin tertimbun dalam
kolam, ada kemungkinan kebocoran lapisan pelindung, dan ikut menguapnya senyawa B3
bersama air limbah sehingga mencemari udara.

C.      Landfill untuk limbah B3 (Secure landfills)


        Limbah dapat ditimbun pada landfill, namun harus pada pengamanan tinggi. Pada
metode pembuangan secure landfill, limbah B3 ditempatkan pada drum atau tong-tong,
kemudian dikubur dalam landfill yang didesain khusus untuk mencegah penemaran limbah
B3. Landfill ini harus dilengkapi perlengkapan monitoring yang lengkap untuk mengontrol
kondisi limbah B3 dan harus selalu dipantau. Metode ini jika diterapkan dengan benar dapat
menjadi cara penanganan limbah B3 yang efektif. Namun, metode secure landfill merupakan
metode yang memiliki biaya operasi tinggi, masih ada kemungkinan terjadi kebocoran, dan
tidak memberikan solusi jangka panjang karena limbah akan semakin menumpuk
Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa (PKPP) menekankan aspek pemanfaatan
hasil litbangyasa dalam rangka mendukung perwujudan sistem inovasi daerah (SIDa), sistem
inovasi nasional (SINas), pelaksanaan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3EI)... Baca Selengkapnya>>

IMPLEMENTASI METODE PENGOLAHAN LIMBAH PADAT INDUSTRI SAWIT


UNTUK PRODUKSI BIOETANOL GENERASI 2 (KEGIATAN BARU)
LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (Unit Kerja)
KORIDOR - 1
>> KELAPA SAWIT
I.129

Program penelitian ini bermaksud memanfaatkan limbah padat industri sawit berupa Tandan
Kosong Kelapa Sawit (TKKS) sebagai bahan baku pembuatan bioenergi etanol generasi 2. 
Pusat Penelitian Kimia-LIPI bekerjasama dengan KOICA (2010-2012) sedang
mengembangkan produksi bioetanol berbasis limbah lignoselulosa skala Pilot Plant dengan
kapasitas 10 L/hari konsentrasi 99,5%.  Intergrasi dengan pengembangan pilot plan,
penelitian ini merupakan peningkatan produktivitas hasil litbang melalui sinergi pemenuhan
kebutuhan teknologi di masyarakat dan daerah khususnya di daerah koridor ekonomi 1
Sumatera Selatan Fokus kelapa sawit.  Secara umum, industri kelapa sawit menghasilkan 1,1-
1,5 ton TKKS untuk setiap ton crude palm oil (CPO) yang dihasilkan. Sampai saat ini
kapasitas penanganan limbah tersebut masih sangat kecil dibandingkan dengan limbah yang
terbentuk, padahal kandungan selulosa pada limbah TKKS cukup tinggi (41.3 – 46.5%)
sangat prospektif untuk dikonversi menjadi  bioetanol.  Pada usulan penelitian ini akan
dilakukan proses konversi TKKS menjadi bioetanol melalui proses satu tahap dengan metoda
Simultaneous Saccharification and Fermentation (SSF) menggunakan mikroba
Saccharomyces cerevisiae isolat Indonesia yang toleran terhadap panas, toleran terhadap
etanol, dan bersifat ramah lingkungan.  Penelitian ini direncanakan dua tahun, akan
dilaksanakan di PP Kimia-LIPI, kawasan Puspiptek Serpong dan di Kota Banyuasin Provinsi
Sumatera Selatan.  Pada tahun pertama akan dilakukan transfer teknologi berupa pelatihan
teknologi produksi bioethanol berbasis TKKS, pelatihan akan diberikan kepada peserta yang
ditunjuk oleh Dinas Perkebunan dan terbuka bagi instansi lain terkait penanganan kelapa
sawit di Provinsi Sumatera Selatan.  Materi pelatihan terdiri dari teori dan praketk meliputi 1)
metoda pengolahan awal bahan baku (pretreatment) dengan tujuan untuk menghilangkan
lignin dan memperluas permukaan, 2) metoda sakarifiksi selulosa menjadi gula C5 dan C6, 3)
metoda fermentasi alcohol, 4) metoda distilasi dan karakterisasi ethanol. Tahun kedua akan
dilakukan perancangan alat produksi bioethanol-lignoselulosa kapasitas 1000L/hari.  Hasil
penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan SDM terlatih dan produksi bioethanol berbahan
baku limbah sawit untuk bahan bakar terbarukan serta mendukung program pemerintah
dalam perwujudan sistem inovasi daerah (SIDa), sistem inovasi nasional (SINas) dan
pelaksanaan MP3EI.

Lokus : Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan


Mitra Kerja

 1. Lembaga Swadaya-Kelompok Masyarakat


 2. Industri Daerah

Output
 1. Metode-Rekomendasi Kebijakan
 2. Pelatihan-Pemberdayaan Masyarakat

Dari Open Dumping ke Controlled Landfill lalu Sanitary


Landfill
Thursday, 01 July 2010 15:39

Semua daerah harus segera bersiap-siap menutup Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah
sistem terbuka (open dumping) pada 2013 sesuai amanat undang-undang persampahan. Tidak
ada alternatif lain kecuali meningkatkan pengelolaan sistemnya.

Pilihan terbaik adalah membangun TPA sanitary landfill. Namun jika pemerintah daerah
tidak mampu membangun TPA sanitary landfill, sistem controlled landfill bisa menjadi
pilihan. Hanya saja, sistem ini bersifat sementara sampai sistem sanitary landfill bisa
diwujudkan.

Di mana perbedaan sistem-sistem tersebut? Pada sistem terbuka (open dumping), sampah
dibuang begitu saja dalam sebuah tempat pembuangan akhir tanpa ada perlakuan apapun.
Tidak ada penutupan tanah. Tak heran bila sistem ini dinilai sangat mengganggu lingkungan.

Sistem controlled landfill merupakan peningkatan dari open dumping. Untuk  mengurangi
potensi gangguan lingkungan yang ditimbulkan, sampah ditimbun dengan lapisan tanah
setiap tujuh hari. Dalam operasionalnya, untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan lahan
dan kestabilan permukan TPA, maka dilakukan juga perataan dan pemadatan sampah.

Di Indonesia, metode controlled landfill dianjurkan untuk diterapkan di kota sedang dan
kecil. Untuk bisa melaksanakan metode ini, diperlukan penyediaan beberapa fasilitas, di
antaranya :

 Saluran drainase untuk mengendalikan aliran air hujan.


 Saluran pengumpul air lindi (leachate) dan instalasi pengolahannya.
 Pos pengendalian operasional.
 Fasilitas pengendalian gas metan
 Alat berat

Sedangkan sistem sanitary landfill merupakan sarana pengurugan sampah ke lingkungan


yang disiapkan dan dioperasikan secara sistematis. Ada proses penyebaran dan pemadatan
sampah pada area pengurugan dan penutupan sampah setiap hari. Penutupan sel sampah
dengan tanah penutup juga dilakukan setiap hari.
Metode ini merupakan metode standar yang dipakai secara internasional. Untuk
meminimalkan potensi gangguan timbul, maka penutupan sampah dilakukan setiap hari.
Namun, untuk menerapkannya diperlukan penyediaan prasarana dan sarana yang cukup
mahal.

Di Indonesia, metode sanitary landfilled dianjurkan untuk diterapkan di kota besar dan
metropolitan. Untuk dapat melaksanakan metode ini diperlukan penyediaan beberapa
fasilitas, sama seperti fasilitas dalam sistem controlled landfill. Tentu dengan kebutuhan
jumlah dan spesifikasi yang berbeda.

Untuk lebih jelasnya, Anda bisa membuka menu PPSP di situs ini dan kemudian membuka
sub menu Rujukan dan SSK. Kemudian silakan download Buku Referensi Opsi Sistem dan
Teknologi Sanitasi. MJ

PENANGAN LIMBAH CAIR


Metode dan tahapan proses pengolahan limbah cair yang telah dikembangkan sangat
beragam. Limbah cair dengan kandungan polutan yang berbeda kemungkinan akan
membutuhkan proses pengolahan yang berbeda pula. Proses- proses pengolahan tersebut
dapat diaplikasikan secara keseluruhan, berupa kombinasi beberapa proses atau hanya
salah satu. Proses pengolahan tersebut juga dapat dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan
atau faktor finansial.

1. Pengolahan Primer (Primary Treatment)

Tahap pengolahan primer limbah cair sebagian besar adalah berupa proses pengolahan
secara fisika.
A.      Penyaringa (Screening)
Pertama, limbah yang mengalir melalui saluran pembuangan disaring menggunakan
jeruji saring. Metode ini disebut penyaringan.  Metode penyaringan merupakan cara yang
efisien dan murah untuk menyisihkan bahan-bahan padat berukuran besar dari air limbah.

B.      Pengolahan Awal  (Pretreatment)

Kedua, limbah yang telah disaring kemudian disalurkan kesuatu tangki atau bak
yang berfungsi untuk memisahkan pasir dan partikel padat teruspensi lain yang berukuran
relatif besar. Tangki ini dalam bahasa inggris disebut grit chamber dan cara kerjanya adalah
dengan memperlambat aliran limbah sehingga partikel – partikel pasir jatuh ke dasar tangki
sementara air limbah terus dialirkan untuk proses selanjutnya.

C.      Pengendapan

Setelah melalui tahap pengolahan awal, limbah cair akan dialirkan ke tangki atau bak
pengendapan. Metode pengendapan adalah metode pengolahan utama dan yang paling
banyak digunakan pada proses pengolahan primer limbah cair. Di    tangki pengendapan,
limbah cair didiamkan agar partikel – partikel padat yang tersuspensi dalam air limbah dapat
mengendap ke dasar tangki. Enadapn partikel tersebut akan membentuk lumpur yang
kemudian akan dipisahkan dari air limbah ke saluran lain untuk diolah lebih lanjut. Selain
metode pengendapan, dikenal juga metode pengapungan (Floation).

D.      Pengapungan (Floation)

Metode ini efektif digunakan untuk menyingkirkan polutan berupa minyak atau lemak.
Proses pengapungan dilakukan dengan menggunakan alat yang dapat menghasilkan
gelembung- gelembung udara berukuran kecil (± 30 – 120 mikron). Gelembung udara
tersebut akan membawa partikel –partikel minyak dan lemak ke permukaan air limbah
sehingga kemudian dapat disingkirkan.  

Bila limbah cair hanya mengandung polutan yang telah dapat disingkirkan melalui
proses pengolahan primer, maka limbah cair yang telah mengalami proses pengolahan
primer tersebut dapat langsung dibuang kelingkungan (perairan). Namun, bila limbah
tersebut juga mengandung polutan yang lain yang sulit dihilangkan melalui proses tersebut,
misalnya agen penyebab penyakit atau senyawa organik dan anorganik terlarut, maka
limbah tersebut perlu disalurkan ke proses pengolahan selanjutnya.

2.       Pengolahan Sekunder (Secondary  Treatment)

Tahap pengolahan sekunder merupakan proses pengolahan secara biologis, yaitu


dengan melibatkan mikroorganisme yang dapat mengurai/ mendegradasi bahan organik.
Mikroorganisme yang digunakan umumnya adalah bakteri aerob.

Terdapat tiga metode pengolahan secara biologis yang umum digunakan yaitu metode
penyaringan dengan tetesan (trickling filter), metode lumpur aktif (activated sludge), dan
metode kolam perlakuan (treatment ponds / lagoons) .

a.       Metode Trickling Filter


Pada metode ini, bakteri aerob yang digunakan untuk mendegradasi bahan organik
melekat dan tumbuh pada suatu lapisan media kasar, biasanya berupa serpihan batu atau
plastik, dengan dengan ketebalan  ± 1 – 3 m. limbah cair kemudian disemprotkan ke
permukaan media dan dibiarkan merembes melewati media tersebut. Selama proses
perembesan, bahan organik yang terkandung dalam limbah akan didegradasi oleh bakteri
aerob. Setelah merembes sampai ke dasar lapisan media, limbah akan menetes ke suatu
wadah penampung dan kemudian disalurkan ke tangki pengendapan.

Dalam tangki pengendapan, limbah kembali mengalami proses pengendapan untuk


memisahkan partikel padat tersuspensi dan mikroorganisme dari air limbah. Endapan yang
terbentuk akan mengalami proses pengolahan limbah lebih lanjut, sedangkan air limbah
akan dibuang ke lingkungan atau disalurkan ke proses pengolahan selanjutnya jika masih
diperlukan

b.      Metode Activated Sludge

Pada metode activated sludge atau lumpur aktif, limbah cair disalurkan ke sebuah tangki
dan didalamnya limbah dicampur dengan lumpur yang kaya akan bakteri aerob. Proses
degradasi berlangsung didalam tangki tersebut selama beberapa jam, dibantu dengan
pemberian gelembung udara aerasi (pemberian oksigen). Aerasi dapat mempercepat kerja
bakteri dalam mendegradasi limbah. Selanjutnya, limbah disalurkan ke tangki pengendapan
untuk mengalami proses pengendapan, sementara lumpur yang mengandung bakteri
disalurkan kembali ke tangki aerasi. Seperti pada metode trickling filter, limbah yang telah
melalui proses ini dapat dibuang ke lingkungan atau diproses lebih lanjut jika masih
dperlukan.

c.        Metode Treatment ponds/ Lagoons

Metode treatment ponds/lagoons atau kolam perlakuan merupakan metode yang murah
namun prosesnya berlangsung relatif lambat. Pada metode ini, limbah cair ditempatkan
dalam kolam-kolam terbuka. Algae yang tumbuh dipermukaan kolam akan berfotosintesis
menghasilkan oksigen. Oksigen tersebut kemudian digunakan oleh bakteri aero untuk
proses penguraian/degradasi bahan organik dalam limbah. Pada metode ini, terkadang
kolam juga diaerasi. Selama proses degradasi di kolam, limbah juga akan mengalami
proses pengendapan. Setelah limbah terdegradasi dan terbentuk endapan didasar kolam,
air limbah dapat disalurka untuk dibuang ke lingkungan atau diolah lebih lanjut. 

3.       . Pengolahan Tersier (Tertiary Treatment)

Pengolahan tersier dilakukan jika setelah pengolahan primer dan sekunder masih
terdapat zat tertentu dalam limbah cair yang dapat berbahaya bagi lingkungan atau
masyarakat. Pengolahan tersier bersifat khusus, artinya pengolahan ini disesuaikan dengan
kandungan zat yang tersisa dalam limbah cair / air limbah. Umunya zat yang tidak dapat
dihilangkan sepenuhnya melalui proses pengolahan primer maupun sekunder adalah zat-zat
anorganik terlarut, seperti nitrat, fosfat, dan garam- garaman. 

Pengolahan tersier sering disebut juga pengolahan lanjutan (advanced treatment).


Pengolahan ini meliputi berbagai rangkaian proses kimia dan fisika. Contoh metode
pengolahan tersier yang dapat digunakan adalah metode saringan pasir, saringan
multimedia, precoal filter, microstaining, vacum filter, penyerapan dengan karbon aktif,
pengurangan besi dan mangan, dan osmosis bolak-balik.

Metode pengolahan tersier jarang diaplikasikan pada fasilitas pengolahan limbah. Hal ini
disebabkan biaya yang diperlukan untuk melakukan proses pengolahan tersier cenderung
tinggi sehingga tidak ekonomis.  

4.       Desinfeksi (Desinfection)

Desinfeksi atau pembunuhan kuman bertujuan untuk membunuh atau mengurangi


mikroorganisme patogen yang ada dalam limbah cair. Meknisme desinfeksi dapat secara
kimia, yaitu dengan menambahkan senyawa/zat tertentu, atau dengan perlakuan fisik.
Dalam menentukan senyawa untuk membunuh mikroorganisme, terdapat beberapa hal
yang perlu diperhatikan, yaitu :

•          Daya racun zat

•          Waktu kontak yang diperlukan

•          Efektivitas zat

•          Kadar dosis yang digunakan

•          Tidak boleh bersifat toksik terhadap manusia dan hewan

•          Tahan terhadap air

•          Biayanya murah

Contoh mekanisme desinfeksi pada limbah cair adalah penambahan klorin (klorinasi),
penyinaran dengan ultraviolet(UV), atau dengan ozon (Oз).

Proses desinfeksi pada limbah cair biasanya dilakukan setelah proses pengolahan
limbah selesai, yaitu setelah pengolahan primer, sekunder atau tersier, sebelum limbah
dibuang ke lingkungan.

5.       Pengolahan Lumpur (Slude Treatment)

Setiap tahap pengolahan limbah cair, baik primer, sekunder, maupun tersier, akan
menghasilkan endapan polutan berupa lumpur. Lumpur tersebut tidak dapat dibuang secara
langsung, melainkan pelu diolah lebih lanjut. Endapan lumpur hasil pengolahan limbah
biasanya akan diolah dengan cara diurai/dicerna secara aerob (anaerob digestion),
kemudian disalurkan ke beberapa alternatif, yaitu dibuang ke laut atau ke lahan
pembuangan (landfill), dijadikan pupuk kompos, atau dibakar (incinerated).
                                                                                                                                                    
     

PENANGANAN LIMBAH PADAT


1.        Penimbunan Terbuka

Terdapat dua cara penimbunan sampah yang umum dikenal, yaitu metode
penimbunan terbuka (open dumping) dan metode sanitary landfill. Pada metode
penimbunan terbuka, .  Di lahan penimbunan terbuka, berbagai hama dan kuman penyebab
penyakit dapat berkembang biak. Gas metan yang dihasilkan oleh pembusukan sampah
organik dapat menyebar ke udara sekitar dan menimbulkan bau busuk serta mudah
terbakar. Cairan yang tercampur dengansampah dapat merembes ke tanah dan mencemari
tanah serta air.

2.       Sanitary Landfill

Pada metode sanitary landfill, sampah ditimbun dalam lubang yang dialasi iapisan
lempung dan lembaran plastik untuk mencegah perembesan limbah ke tanah. Pada landfill
yang lebih modern lagi, biasanya dibuat sistem Iapisan ganda (plastik – lempung – plastik –
lempung) dan pipa-pipa saluran untuk mengumpulkan cairan serta gas metan yang
terbentuk dari proses pembusukan sampah. Gas tersebut kemudian dapat digunakan untuk
menghasilkan listrik.

3.       insinerasi

Insinerasi adalah pembakaran sampah/limbah padat menggunakan suatu alat yang


disebut insinerator. Kelebihan dari proses insinerasi adalah volume sampah berkurang
sangat banyak (bisa mencapai 90 %). Selain itu, proses insinerasi menghasilkan panas
yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan listrik atau untuk pemanas ruangan.

4.       Pembuatan kompos padat dan cair

metode ini adalah dengan mengolah sampah organic seperti sayuran, daun-daun kering,
kotoran hewan melalui proses penguraian oleh mikroorganisme tertentu. Pembuatan
kompos adalah salah satu cara terbaik dalam penanganan sampah organic.  Berdasarkan
bentuknya kompos ada yang berbentuk padat dan cair.  Pembuatannya dapat dilakukan
dengan menggunakan kultur mikroorganisme, yakni menggunakan kompos yang sudah jadi
dan bisa didapatkan di pasaran seperti EMA efectif microorganism 4.EMA merupakan kultur
campuran mikroorganisme yang dapat meningkatkan degaradasi limbah atau sampah
organic.

5.       Daur Ulang

Daur ulang adalah proses untuk menjadikan suatu bahan bekas menjadi bahan baru
dengan tujuan mencegah adanya sampah yang sebenarnya dapat menjadi sesuatu yang
berguna, mengurangi penggunaan bahan baku yang baru, mengurangi penggunaan energi,
mengurangi polusi, kerusakan lahan, dan emisi gas rumah kaca jika dibandingkan dengan
proses pembuatan barang baru. Daur ulang adalah salah satu strategi pengelolaan sampah
padat yang terdiri atas kegiatan pemilahan, pengumpulan, pemrosesan, pendistribusian dan
pembuatan produk / material bekas pakai, dan komponen utama dalam manajemen sampah
modern dan bagian ketiga adalam proses hierarki sampah 3R (Reuse, Reduce, and
Recycle).

Material-material yang dapat didaur ulang dan prosesnya diantaranya adalah:

Bahan bangunan 

Material bangunan bekas yang telah dikumpulkan dihancurkan dengan mesin penghancur,
kadang-kadang bersamaan dengan aspal, batu bata, tanah, dan batu. Hasil yang lebih
kasar bisa dipakai menjadi pelapis jalan semacam aspal dan hasil yang lebih halus bisa
dipakai untuk membuat bahan bangunan baru semacam bata.
Baterai 

Banyaknya variasi dan ukuran baterai membuat proses daur ulang bahan ini relatif sulit.
Mereka harus disortir terlebih dahulu, dan tiap jenis memiliki perhatian khusus dalam
pemrosesannya. Misalnya, baterai jenis lama masih mengandung merkuri dan kadmium,
harus ditangani secara lebih serius demi mencegah kerusakan lingkungan dan kesehatan
manusia. Baterai mobil umumnya jauh lebih mudah dan lebih murah untuk didaur ulang.
Barang Elektronik 
Barang elektronik yang populer seperti komputer dan handphone umumnya tidak didaur
ulang karena belum jelas perhitungan manfaat ekonominya. Material yang dapat didaur
ulang dari barang elektronik misalnya adalah logam yang terdapat pada barang elektronik
tersebut (emas, besi, baja, silikon, dll) ataupun bagian-bagian yang masih dapat dipakai
(microchip, processor, kabel, resistor, plastik, dll). Namun tujuan utama dari proses daur
ulang, yaitu kelestarian lingkungan, sudah jelas dapat menjadi tujuan diterapkannya proses
daur ulang pada bahan ini meski manfaat ekonominya masih belum jelas.
Logam 

Besi dan baja adalah jenis logam yang paling banyak didaur ulang di dunia. Termasuk salah
satu yang termudah karena mereka dapat dipisahkan dari sampah lainnya dengan magnet.
Daur ulang meliputi proses logam pada umumnya; peleburan dan pencetakan kembali. Hasil
yang didapat tidak mengurangi kualitas logam tersebut.
Contoh lainnya adalah alumunium, yang merupakan bahan daur ulang paling efisien di
dunia. Namun pada umumnya, semua jenis logam dapat didaur ulang tanpa mengurangi
kualitas logam tersebut, menjadikan logam sebagai bahan yang dapat didaur ulang dengan
tidak terbatas.

Bahan Lainnya 

Kaca dapat juga didaur ulang. Kaca yang didapat dari botol dan lain sebagainya dibersihkan
dair bahan kontaminan, lalu dilelehkan bersama-sama dengan material kaca baru. Dapat
juga dipakai sebagai bahan bangunan dan jalan. Sudah ada Glassphalt, yaitu bahan pelapis
jalan dengan menggunakan 30% material kaca daur ulang.
Kertas juga dapat didaur ulang dengan mencampurkan kertas bekas yang telah dijadikan
pulp dengan material kertas baru. Namun kertas akan selalu mengalami penurunan kualitas
jika terus didaur ulang. Hal ini menjadikan kertas harus didaur ulang dengan
mencampurkannya dengan material baru, atau mendaur ulangnya menjadi bahan yang
berkualitas lebih rendah.
Plastik dapat didaur ulang sama halnya seperti mendaur ulang logam. Hanya saja, terdapat
berbagai jenis plastik di dunia ini. Saat ini di berbagai produk plastik terdapat kode mengenai
jenis plastik yang membentuk material tersebut sehingga mempermudah untuk mendaur
ulang. Suatu kode di kemasan yang berbentuk segitiga 3R dengan kode angka di tengah-
tengahnya adalah contohnya. Suatu angka tertentu menunjukkan jenis plastik tertentu, dan
kadang-kadang diikuti dengan singkatan, misalnya LDPE untuk Low Density Poly Etilene,
PS untuk Polistirena, dan lain-lain, sehingga mempermudah proses daur ulang.

PENANGANAN LIMBAH GAS


                Pengolah limbah gas secara teknis dilakukan dengan menambahkan alat bantu
yang dapat mengurangi pencemaran udara. Pencemaran udara sebenarnya dapat berasal
dari limbah berupa gas atau materi partikulat yang terbawah bersama gas tersebut. Berikut
akan dijelaskan beberapa cara menangani pencemaran udara oleh limbah gas dan materi
partikulat yang terbawah bersamanya.

1.       Mengontrol Emisi Gas Buang


·         Gas-gas buang seperti sulfur oksida, nitrogen oksida, karbon monoksida, dan hidrokarbon
dapat dikontrol pengeluarannya melalui beberapa metode. Gas sulfur oksida dapat
dihilangkan dari udara hasil pembakaran bahan bakar dengan cara desulfurisasi
menggunakan filter basah (wet scrubber).

·         Mekanisme kerja filter basah ini akan dibahas lebih lanjut pada pembahasan berikutnya,
yaitu mengenai metode menghilangkan materi partikulat, karena filter basah juga digunakan
untuk menghilangkan materi partikulat.

·         Gas nitrogen oksida dapat dikurangi dari hasil pembakaran kendaraan bermotor dengan
cara menurunkan suhu pembakaran. Produksi gas karbon monoksida dan hidrokarbon dari
hasil pembakaran kendaraan bermotor dapat dikurangi dengan cara memasang alat
pengubah katalitik (catalytic converter) untuk menyempurnakan pembakaran.

·         Selain cara-cara yang disebutkan diatas, emisi gas buang jugadapat dikurangi kegiatan
pembakaran bahan bakar atau mulai menggunakan sumber bahan bakar alternatif yang
lebih sedikit menghasilkan gas buang yang merupakan polutan.

2.       Menghilangkan Materi Partikulat Dari Udara Pembuangan

a.       Filter Udara

Filter udara dimaksudkan untuk yang ikut keluar pada cerobong atau stack, agar
tidak ikut terlepas ke lingkungan sehingga hanya udara bersih yang saja yang keluar dari
cerobong. Filter udara yang dipasang ini harus secara tetap diamati (dikontrol), kalau sudah
jenuh  (sudah penuh dengan abu/ debu) harus segera diganti dengan yang baru.

Jenis filter udara yang digunakan tergantung pada sifat gas buangan yang keluar
dari proses industri, apakah berdebu banyak, apakah bersifat asam, atau bersifat alkalis dan
lain sebagainya

b.      Pengendap Siklon

Pengendap Siklon atau Cyclone Separators adalah pengedap debu / abu yang ikut
dalam gas buangan atau udara dalam ruang pabrik yang berdebu. Prinsip kerja pengendap
siklon adalah pemanfaatan gaya sentrifugal dari udara / gas buangan yang sengaja
dihembuskan melalui tepi dinding tabung siklon sehingga partikel yang relatif   “berat” akan
jatuh ke bawah.

Ukuran partikel / debu / abu yang bisa diendapkan oleh siklon adalah antara 5 u – 40 u.
Makin besar ukuran debu makin cepat partikel tersebut diendapkan. Bentuk skematis
sebuah pengendap siklon  dilihat pada gambar berikut ini.                                                                                
Gambar 12. Pengendap Siklon

c.       Filter Basah

Nama lain dari filter basah adalah Scrubbers atau Wet Collectors. Prinsip kerja filter
basah adalah membersihkan udara yang kotor dengan cara menyemprotkan air dari bagian
atas alt, sedangkan udara yang kotor dari bagian bawah alat. Pada saat udara yang
berdebu kontak dengan air, maka debu akan ikut semprotkan air turun ke bawah.

Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dapat juga prinsip kerja pengendap siklon dan
filter basah digabungkan menjadi satu. Penggabungan kedua macam prinsip kerja tersebut
menghasilkan suatu alat penangkap debu yang dinamakan. Pengendap Siklon Filter Basah
seperti tampak pada gambar di bawah ini:
Gambar 13. Pengendap Siklon Filter Basah

d.      Pegendap Sistem Gravitasi

Alat pengendap ini hanya digunakan untuk membersihkan udara kotor yang ukuran
partikelnya relatif cukup besar, sekitar 50 u atau lebih. Cara kerja alat ini sederhana sekali,
yaitu dengan mengalirkan udara yang kotor ke dalam alat yang dibuat sedemikian rupa
sehingga pada waktu terjadi perubahan kecepatan secara tiba-tiba (speed drop), zarah akan
jatuh terkumpul di bawah akibat gaya beratnya sendiri (gravitasi). Kecepatan pengendapan
tergantung pada dimensi alatnya. Skema alat pengendap sistem gravitasi tersebut dapat
dilihat pada Gambar 14. di bawah ini.

                       

Gambar 14. Alat Pengendap Sistem  Gravitasi

e.      Pengendap Elektrostatik

Alat pengendap elektrostatik digunakan untuk membersihkan udara yang kotor


dalam jumlah (volume) yang relatif besar dan pengotor udaranya adalah aerosol atau uap
air. Alat ini dapat membersihkan udara secara cepat dan udara yang keluar dari alat ini
sudah relatif bersih.

Alat pengendap elektrostatik ini menggunakan arus searah (DC) yang mempunyai
tegangan antara 25 – 100 kv. Alat pengendap ini berupa tabung silinder di mana dindingnya
diberi muatan positif, sedangkan di tengah ada sebuah kawat yang merupakan pusat
silinder, sejajar dinding tabung, diberi muatan negatif. Adanya perbedaan tegangan yang
cukup besar akan menimbulkan corona discharga di daerah sekitar pusat silinder. Hal ini
menyebabkan udara kotor seolah – olah mengalami ionisasi. Kotoran udara menjadi ion
negatif sedangkan udara bersih menjadi ion positif dan masing-masing akan menuju ke
elektroda yang sesuai. Kotoran yang menjadi ion negatif akan ditarik oleh dinding tabung
sedangkan udara bersih akan berada di tengah-tengah silinder dan kemudian terhembus
keluar.

Gambar 15.  Alat Pengendap Elektrostatik 

PENANGANAN LIMBAH B3
                Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) tidak dapat begitu saja ditimbun,
dibakar atau dibuang ke lingkungan , karena mengandung bahan yang dapat
membahayakan manusia dan makhluk hidup lain. Limbah ini memerlukan cara penanganan
yang lebih khusus dibanding limbah yang bukan B3. Limbah B3 perlu diolah, baik secara
fisik, biologi, maupun kimia sehingga menjadi tidak berbahaya atau berkurang daya
racunnya. Setelah diolah limbah B3 masih memerlukan metode pembuangan yang khusus
untuk mencegah resiko terjadi pencemaran. Beberapa metode penanganan limbah B3 yang
umumnya diterapkan adalah sebagai berikut.

1.       Metode pengolahan secara kimia, fisik dan biologi

Proses pengolahan limbah B3  dapat dilakukan secara kimia, fisik, atau biologi. Proses
pengolahan limbah B3 secara kimia atau fisik yang umumnya dilakukan adalah stabilisasi/
solidifikasi . stabilisasi/solidifikasi adalah proses pengubahan bentuk fisik dan sifat kimia
dengan menambahkan bahan peningkat atau senyawa pereaksi tertentu untuk memperkecil
atau membatasi pelarutan, pergerakan, atau penyebaran daya racun limbah, sebelum
dibuang. Contoh bahan yang dapat digunakan untuk proses stabilisasi/solidifikasi adalah
semen, kapur (CaOH2), dan bahan termoplastik.

Metode insinerasi (pembakaran) dapat diterapkan untuk memperkecil volume B3 namun


saat melakukan pembakaran perlu dilakukan pengontrolan ketat agar gas beracun hasil
pembakaran tidak mencemari udara.

Proses pengolahan limbah B3 secara biologi yang telah cukup berkembang saat ini
dikenal dengan istilah bioremediasi dan viktoremediasi. Bioremediasi adalah penggunaan
bakteri dan mikroorganisme lain untuk mendegradasi/ mengurai limbah B3, sedangkan
Vitoremediasi adalah penggunaan tumbuhan untuk mengabsorbsi dan mengakumulasi
bahan-bahan beracun dari tanah. Kedua proses ini sangat bermanfaat dalam mengatasi
pencemaran oleh limbah B3 dan biaya yang diperlukan lebih muran dibandingkan dengan
metode Kimia atau Fisik. Namun, proses ini juga masih memiliki kelemahan. Proses
Bioremediasi dan Vitoremediasi merupakan proses alami sehingga membutuhkan waktu
yang relatif lama untuk membersihkan limbah B3, terutama dalam skala besar. Selain itu,
karena menggunakan makhluk hidup, proses ini dikhawatirkan dapat membawa senyawa-
senyawa beracun ke dalam rantai makanan di ekosistem.

2.       Metode Pembuangan Limbah B3

a.       Sumur dalam/ Sumur Injeksi (deep well injection)

                Salah satu cara membuang limbah B3 agar tidak membahayakan manusia adalah
dengan cara memompakan limbah tersebut melalui pipa kelapisan batuan yang dalam, di
bawah lapisan-lapisan air tanah dangkal maupun air tanah dalam. Secara teori, limbah B3
ini akan terperangkap dilapisan itu sehingga tidak akan mencemari tanah maupun air.
Namun, sebenarnya tetap ada kemungkinan terjadinya kebocoran atau korosi pipa atau
pecahnya lapisan batuan akibat gempa sehingga limbah merembes kelapisan tanah.

b.      Kolam penyimpanan (surface impoundments)


limbah B3 cair dapat ditampung pada kolam-kolam yang memang dibuat untuk limbah
B3. Kolam-kolam ini dilapisi lapisan pelindung yang dapat mencegah perembesan limbah.
Ketika air limbah menguap, senyawa B3 akan terkosentrasi dan mengendap di dasar.
Kelemahan metode ini adalah memakan lahan karena limbah akan semakin tertimbun
dalam kolam, ada kemungkinan kebocoran lapisan pelindung, dan ikut menguapnya
senyawa B3 bersama  air limbah sehingga mencemari udara.

c.       Landfill untuk limbah B3 (secure landfils)

                limbah B3 dapat ditimbun pada landfill, namun harus pengamanan tinggi. Pada
metode pembuangan secure landfills, limbah B3 ditempatkan dalam drum atau tong-tong,
kemudian dikubur dalam landfill yang didesain khusus untuk mencegah pencemaran limbah
B3. Landffill ini harus dilengkapi peralatan moditoring yang lengkap untuk mengontrol
kondisi limbah B3 dan harus selalu dipantau. Metode ini jika diterapkan dengan benar dapat
menjadi cara penanganan limbah B3 yang efektif. Namun, metode secure landfill merupakan
metode yang memliki biaya operasi tinggi, masih ada kemungkinan terjadi kebocoran, dan
tidak memberikan solusi jangka panjang karena limbah akan semakin menumpuk.        

Posted by Wita K Fitrian at 8:27 AM

Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to Facebook

Labels: Artikel

No comments:

Post a Comment
Newer Post Home

Subscribe to: Post Comments (Atom)

Search
Search
Teman Seperjuangan

Blog Archive
 ▼  2012 (21)
o ►  July (2)
o ►  June (6)
o ►  May (3)
o ▼  March (10)
 Woongjin Coway CF Teaser - 2PM
 Apa Itu Tomcat ?
 Avril Lavigne - Wish You Were Here
 Craig David - Unbelievable Lyrics
 Mencintaimu Karena Allah
 Tuhan Masih Menyayangiku
 Ini Cinta
 Film Parodi 2PM
 Lirik Lagu Avril Lavigne - I'm With you
 PENAGANAN LIMBAH PADAT, CAIR DAN GAS dan B3

This is me in my world

Wita K Fitrian

Wikaws

Wikaws 7 people followed me and one person unfollowed me // automatically checked by


fllwrs.com 5 days ago · reply · retweet · favorite

Wikaws @dinanyf @tiaraekaw masuknya jam berapa gitu? 7 days ago · reply · retweet ·
favorite
Wikaws @zOellula pada mau bubar di luar zul.. gimana? 7 days ago · reply · retweet ·
favorite

Wikaws @dinanyf @zOellula @tiaraekaw @IkayruS @ratnanaS @astriemon @NendenAF


insyaalloh deh ya 7 days ago · reply · retweet · favorite

Join the conversation

Facebook
Wita Karwilla Fitrian

Buat Lencana Anda

About Me

Wita K Fitrian

ordinary people who want to be a writer. I wish .

View my complete profile


Wita Karwila. Awesome

Pengolahan Limbah B3
Juni 25, 2010 pada 2:14 pm (Uncategorized)
Tags: pengolahan limbah b3

Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) mengandung bahan yang dapat membahayakan
manusia dan makhluk hidup lain. Limbah B3 perlu diolah, baik secara fisik, biologi, maupun
kimia sehingga menjadi tidak berbahaya atau berkurang daya racunnya. Setelah diolah,
limbah B3 masih memerlukan metode pembuangan yang khusus untuk mencegah resiko
terjadi pencemaran.

1. Metode Pengolahan secara Kimia, Fisik, dan Biologi

Proses pengolahan limbah B3 secara kimia atau fisik yang umum adalah
stabilisasi/solidifikasi. Stabilisasi atau solidifikasi adalah proses pengubahan bentuk fisik dan
atau sifat kimia dengan menambahkan bahan pengikat atau senyawa pereaksi tertentu untuk
memperkecil/membatasi kelarutan, pergerakan, atau penyebaran daya racun limbah, sebelum
dibuang. Teknologi solidification/stabilization juga dapat diterapkan untuk mengolah limbah
B3. Secara umum stabilisasi dapat didefinisikan sebagai proses pencapuran limbah dengan
bahan tambahan (aditif) dengan tujuan menurunkan laju migrasi bahan pencemar dari limbah
serta untuk mengurangi toksisitas limbah tersebut. Sedangkan solidifikasi didefinisikan
sebagai proses pemadatan suatu bahan berbahaya dengan penambahan aditif. Kedua proses
tersebut seringkali terkait sehingga sering dianggap mempunyai arti yang sama. Proses
solidifikasi/stabilisasi berdasarkan mekanismenya dapat dibagi menjadi 6 golongan, yaitu:

1. Macroencapsulation, yaitu proses dimana bahan berbahaya dalam limbah dibungkus dalam
matriks struktur yang besar
2. Microencapsulation, yaitu proses yang mirip macroencapsulation tetapi bahan pencemar
terbungkus secara fisik dalam struktur kristal pada tingkat mikroskopik
3. Precipitation
4. Adsorpsi, yaitu proses dimana bahan pencemar diikat secara elektrokimia pada bahan
pemadat melalui mekanisme adsorpsi.
5. Absorbsi, yaitu proses solidifikasi bahan pencemar dengan menyerapkannya ke bahan padat
6. Detoxification, yaitu proses mengubah suatu senyawa beracun menjadi senyawa lain yang
tingkat toksisitasnya lebih rendah atau bahkan hilang sama sekali

Teknologi solidikasi/stabilisasi umumnya menggunakan semen, kapur (CaOH2), dan bahan


termoplastik. Metoda yang diterapkan di lapangan ialah metoda in-drum mixing, in-situ
mixing, dan plant mixing

Proses pengolahan limbah B3 secara biologi yang telah berkembang yaitu bioremedasi dan
fitoremedasi.

1.  Bioremediasi
Bioremedasi adalah penggunan bakteri dan mikroorganisme lain untuk
mendegradasi/mengurai limbah B3. Bioremediasi juga merupakan proses pembersihan
pencemaran tanah dengan menggunakan mikroorganisme (jamur, bakteri). Bioremediasi
bertujuan untuk memecah atau mendegradasi zat pencemar menjadi bahan yang kurang
beracun atau tidak beracun (karbon dioksida dan air).

Ada 4 teknik dasar yang biasa digunakan dalam bioremediasi :

1. stimulasi aktivitas mikroorganisme asli (di lokasi tercemar) dengan penambahan nutrien,
pengaturan kondisi redoks, optimasi pH, dsb
2. inokulasi (penanaman) mikroorganisme di lokasi tercemar, yaitu mikroorganisme yang
memiliki kemampuan biotransformasi khusus
3. penerapan immobilized enzymes
4. penggunaan tanaman (phytoremediation) untuk menghilangkan atau mengubah pencemar.

Bioremediasi juga merupakan penggunaan mikroorganisme untuk mengurangi polutan di


lingkungan. Saat bioremediasi terjadi, enzim-enzim yang diproduksi oleh mikroorganisme
memodifikasi polutan beracun dengan mengubah struktur kimia polutan tersebut, sebuah
peristiwa yang disebut biotransformasi. Pada banyak kasus, biotransformasi berujung pada
biodegradasi, dimana polutan beracun terdegradasi, strukturnya menjadi tidak kompleks, dan
akhirnya menjadi metabolit yang tidak berbahaya dan tidak beracun.

Sejak tahun 1900an, orang-orang sudah menggunakan mikroorganisme untuk mengolah air
pada saluran air. Saat ini, bioremediasi telah berkembang pada perawatan limbah buangan
yang berbahaya (senyawa-senyawa kimia yang sulit untuk didegradasi), yang biasanya
dihubungkan dengan kegiatan industri. Yang termasuk dalam polutan-polutan ini antara lain
logam-logam berat, petroleum hidrokarbon, dan senyawa-senyawa organik terhalogenasi
seperti pestisida, herbisida, dan lain-lain. Banyak aplikasi-aplikasi baru menggunakan
mikroorganisme untuk mengurangi polutan yang sedang diujicobakan. Bidang bioremediasi
saat ini telah didukung oleh pengetahuan yang lebih baik mengenai bagaimana polutan dapat
didegradasi oleh mikroorganisme, identifikasi jenis-jenis mikroba yang baru dan bermanfaat,
dan kemampuan untuk meningkatkan bioremediasi melalui teknologi genetik. Teknologi
genetik molekular sangat penting untuk mengidentifikasi gen-gen yang mengkode enzim
yang terkait pada bioremediasi. Karakterisasi dari gen-gen yang bersangkutan dapat
meningkatkan pemahaman kita tentang bagaimana mikroba-mikroba memodifikasi polutan
beracun menjadi tidak berbahaya.

Strain atau jenis mikroba rekombinan yang diciptakan di laboratorium dapat lebih efisien
dalam mengurangi polutan. Mikroorganisme rekombinan yang diciptakan dan pertama kali
dipatenkan adalah bakteri “pemakan minyak”. Bakteri ini dapat mengoksidasi senyawa
hidrokarbon yang umumnya ditemukan pada minyak bumi. Bakteri tersebut tumbuh lebih
cepat jika dibandingkan bakteri-bakteri jenis lain yang alami atau bukan yang diciptakan di
laboratorium yang telah diujicobakan. Akan tetapi, penemuan tersebut belum berhasil
dikomersialkan karena strain rekombinan ini hanya dapat mengurai komponen berbahaya
dengan jumlah yang terbatas. Strain inipun belum mampu untuk mendegradasi komponen-
komponen molekular yang lebih berat yang cenderung bertahan di lingkungan.

Jenis-jenis bioremediasi
Jenis-jenis bioremediasi adalah sebagai berikut:
 Biostimulasi

Nutrien dan oksigen, dalam bentuk cair atau gas, ditambahkan ke dalam air atau tanah yang
tercemar untuk memperkuat pertumbuhan dan aktivitas bakteri remediasi yang telah ada di
dalam air atau tanah tersebut.

 Bioaugmentasi

Mikroorganisme yang dapat membantu membersihkan kontaminan tertentu ditambahkan ke


dalam air atau tanah yang tercemar. Cara ini yang paling sering digunakan dalam
menghilangkan kontaminasi di suatu tempat. Namun ada beberapa hambatan yang ditemui
ketika cara ini digunakan. Sangat sulit untuk mengontrol kondisi situs yang tercemar agar
mikroorganisme dapat berkembang dengan optimal. Para ilmuwan belum sepenuhnya
mengerti seluruh mekanisme yang terkait dalam bioremediasi, dan mikroorganisme yang
dilepaskan ke lingkungan yang asing kemungkinan sulit untuk beradaptasi.

 Bioremediasi Intrinsik

Bioremediasi jenis ini terjadi secara alami di dalam air atau tanah yang tercemar.
Di masa yang akan datang, mikroorganisme rekombinan dapat menyediakan cara yang efektif
untuk mengurangi senyawa-senyawa kimiawi yang berbahaya di lingkungan kita.
Bagaimanapun, pendekatan itu membutuhkan penelitian yang hati-hati berkaitan dengan
mikroorganisme rekombinan tersebut, apakah efektif dalam mengurangi polutan, dan apakah
aman saat mikroorganisme itu dilepaskan ke lingkungan.

2. Fitoremediasi

Istilah fitoremediasi berasal dari kata Inggris phytoremediation; kata ini sendiri tersusun atas
dua bagian kata, yaitu phyto yang berasal dari kata Yunani phyton (= “tumbuhan”) dan
remediation yang berasal dari kata Latin remedium ( =”menyembuhkan”, dalam hal ini
berarti juga “menyelesaikan masalah dengan cara memperbaiki kesalahan atau kekurangan”)
(Anonimous, 1999). Dengan demikian fitoremediasi dapat didefinisikan sebagai: penggunaan
tumbuhan untuk menghilangkan, memindahkan, menstabilkan, atau menghancurkan bahan
pencemar baik itu senyawa organik maupun anorganik Fitoremedasi juga merupakan
penggunan tumbuhan untuk mengabsorbsi dan mengakumulasi bahan-bahan beracun dari
tanah.

Metoda ini pertama kali dipacu oleh kebocoran reaktor nuklir di Chernobyl – Rusia pada
tahun 1986, beberapa peneliti Amerika dan Ukraina telah melakukan penelitian terhadap
kemampuan tanaman jenis Indian mustard untuk meminimalkan kandungan unsur cesium dan
stronsium dalam tanah yang telah terpapar oleh senyawa radioaktif. Sedangkan di Iowa – AS,
para peneliti mencoba pohon poplar untuk menurunkan kandungan senyawa pestisida jenis
atrazine yang terpapar di dalam tanah dan air tanah.

Keuntungan paling besar dalam penggunaan fitoremediasi adalah biaya operasi lebih murah
bila dibandingkan pengolahan konvensional lain seperti insinerasi, pencucian tanah
berdasarkan sistem kimia dan energi yang dibutuhkan. Prinsip dasar dari teknologi
fitoremediasi ini adalah memulihkan tanah terkontaminasi, memperbaiki sludge, sedimen dan
air bawah tanah melalui proses pemindahan, degradasi atau stabilisasi suatu  kontaminan.
Proses dalam teknologi fitoremediasi ini berjalan secara alami dengan enam tahapan proses
secara serial yang dilakukan tumbuhan terhadap zat kontaminan / pencemar disekitarnya.

Phytoacumulation (phytoextraction), yaitu tumbuhan menarik zat kontaminan dari media


sehingga berakumulasi disekitar akar tumbuhan, proses ini disebut juga Hyperacumulation.
Akar tumbuhan menyerap polutan dan selanjutnya ditranslokasi ke dalam organ tumbuhan.
Proses ini adalah cocok digunakan untuk dekontaminasi zat-zat anorganik. Spesies tumbuhan
yang dipakai adalah sejenis hiperakumulator misalnya pakis, bunga matahari dan jagung.

Rhizofiltration (rhizo=akar), adalah proses adsorpsi atau pengendapan zat kontaminan oleh
akar untuk menempel pada akar. Proses ini telah dibuktikan dengan menanam bunga
matahari pada kolam yang mengandung zat radioaktif. Di dalam sistem hidroponik, sistem
perakaran telah secara nyata dapat dipergunakan untuk menjelaskan metode rhizofiltrasi.
Kontaminan di dalam air, setelah kontak dengan akar akan diabsorpsi dan kemudian
tumbuhan dipanen akarnya hingga menjadi jenuh terhadap kontaminan. Akar tumbuhan
mengadsorpsi atau presipitasi pada zone akar atau mengabsorpsi larutan polutan sekitar akar
ke dalam akar. Spesies tumbuhan yang fungsional adalah rumput air seperti Cattail dan eceng
gondok .

Phytostabilization, yaitu penempelan zat-zat kontaminan tertentu pada akar yang tidak
mungkin terserap ke dalam batang tumbuhan. Zat-zat tersebut menempel erat (stabil) pada
akar sehingga tidak akan terbawa oleh aliran air dalam media. Proses ini akan mengurangi
mobilisasi kontaminan dan mencegah berpindahnya ke air tanah atau udara. Teknik ini dapat
digunakan untuk meningkatkan penutupan tajuk oleh tumbuhan yang toleran terhadap jenis
kontaminan di lokasi tersebut. Menurut Cunningham et al.,(1995), ada tiga kemungkinan
mekanisme yang umum terjadi pada proses fitostabilisasi;

(1) reaksi redoks;

(2) presipitasi kontaminan menjadi bentuk endapan; dan

(3) pengikatan bahan–bahan organik ke dalam bagian lignin tanaman. Proses ini secara
tipikal digunakan untuk dekontaminasi zat-zat anorganik. Spesies tumbuhan yang biasa
digunakan adalah berbagai jenis rumput, bunga matahari, dan kedelai.

Rhizodegradetion, yaitu penguraian zat-zat kontaminan oleh aktivitas mikroba yang berada
disekitar tumbuhan. Misalnya ragi, fungi atau bakteri

Mikroorganisme (ragi, fungi dan atau bakteria) mengkonsumsi dan menguraikan atau
mengubah bahan organik untuk dipergunakan sebagai bahan nutrient. Beberapa jenis
mikroorganisme dapat menguraikan bahan organik seperti minyak atau larutan yang
berbahaya bagi manusia dan sebagai eco-receptors dan mengubah bahan-bahan berbahaya
tersebut menjadi bahan kurang berbahaya melalui proses degradasi. Senyawa-senyawa alami
yang dilepaskan oleh akar tumbuhan seperti zat gula, alkohol dan asam yang mengandung
karbon organik berfungsi sebagai sumber nutrient bagi mikrobia tanah dan penambahan
nutrient akan memacu aktivitas mikrobia tersebut.

Mekanisme rhizodegradasi yaitu dengan cara tumbuhan mengeluarkan dan


mentransportasikan oksigen dan air ke dalam tanah. Tumbuhan juga menstimulasi
biodegradasi melalui mekanisme lain seperti penyetopan metabolisme lain dan
mentransportasikan oksigen atmosfer ke dalam daerah akar. Polutan diuraikan oleh mikroba
dalam tanah, yang diperkuat/sinergis oleh ragi, fungi, dan zat-zat keluaran akar tumbuhan
(eksudat) yaitu gula, alcohol, asam. Eksudat itu merupakan makanan mikroba yang
menguraikan polutan maupun biota tanah lainnya. Proses ini adalah tepat untuk
dekontaminasi zat organik. Spesies tumbuhan yang bisa digunakan adalah berbagai jenis
rumput.

Phytodegradation, yaitu proses yang dilakukan tumbuhan untuk menguraikan zat kontaminan
yang memiliki molekul menjadi bahan yang tidak berbahaya dengan susunan molekul yang
lebih sederhana, yang dapat bergunan bagi pertumbuhan tumbuhan itu sendiri. Proses ini
dapat berlangsung pada batang, daun, akar atau diluar sekitar tanaman dengan bantuan enzym
yang dikeluarkan oleh tumbuhan itu sendiri. Beberapa tumbuhan mengeluarkan enzym
berupa bahan kimia yang mempercepat proses degaradasi.

Phytovolatization, yaitu proses menarik dan transpirsi zat kontaminan oleh tumbuhan dalam
bentuk yang telah menjadi larutan terurai sebagai bahan ynag tidak bebahaya lagi untuk
selanjutnya diupakan ke atmosfir. Beberapa tumbuhan dapat menguapkan air dengan jumlah
200 sampai dengan 1000 liter air perhari tiap batangnya. Kontaminan bisa mengalami
transformasi sebelum lepas ke atmosfer. Kontaminan zat-zat organic adalah tepat
menggunakan proses ini. Kontaminan dapat keluar melalui daun dan hasil volatilisasi masuk
ke dalam atmosfer pada konsentrasi yang rendah. Beberapa senyawa organik dapat
ditranspirasikan oleh tumbuhan merupakan subjek photodegradasi.

Ada 4 faktor yang mempengaruhi fitoremediasi yaitu :

1. Kemampuan daya akumulasi berbagai jenis tanaman untuk berbagai jenis polutan dan  
konsentrasi, sifat kimia dan fisika, dan sifat fisiologi tanaman.

2. Jumlah zat kimia berbahaya

3. Mekanisme akumulasi dan hiperakumulasi ditinjau secara fisiologi, biokimia, dan


molecular.

4. Kesesuaian sistem biologi dan evolusi pada akumulasi polutan.

Fitoremediasi juga memiliki beberapa keunggulan jika dibandingkan dengan metode


konvensional lain untuk menanggulangi masalah pencemaran, yaitu :

a) Biaya operasional relatif murah

b)  Tanaman bisa dengan mudah dikontrol pertumbuhannya.

c)Kemungkinan penggunaan kembali polutan yang bernilai seperti emas (Phytomining).

d)Merupakan cara remediasi yang paling aman bagi lingkungan karena memanfaatkan     
tumbuhan.

e) Memelihara keadaan alami lingkungan


Walaupun memiliki beberapa kelebihan, ternyata fitoremediasi juga memiliki beberapa
kelemahan. Salah satu kelemahannya adalah kemungkinan akibat yang timbul bila tanaman
yang telah menyerap polutan tersebut dikonsumsi oleh hewan dan serangga. Dampak negatif
yang dikhawatirkan adalah terjadinya keracunan bahkan kematian pada hewan dan serangga
tau terjadinya akumulasi logam pada predator-predator jika mengosumsi tanaman yang telah
digunakan dalam proses fitoremediasi. Selain itu, membutuhkan waktu yang relatif lama
untuk membersihkan limbah B3, terutama dalam skala besar dan dikhawatirkan membawa
senyawa-senyawa beracun ke dalam rantai makanan di ekosistem

Beberapa penelitian telah membuktikan keberhasilan penggunaan tumbuhan untuk remediasi


air tercemar. Muramoto dan Oki dalam Sudibyo (1989) menjelaskan, bahwa enceng gondok
dapat digunakan untuk menghilangkan polutan, karena fungsinya sebagai sistem filtrasi
biologis, menghilangkan nutrien mineral, untuk menghilangkan logam berat seperti cuprum,
aurum, cobalt, strontium, merkuri, timah, kadmium dan nikel

2. Metode Pembuangan Limbah B3 dengan cara Sumur Dalam/ Sumur Injeksi (Deep
Weel Injection)

Metoda ini yaitu dengan cara memompakan limbah tersebut melalui pipa ke lapisan yang
dalam, di bawah lapisan-lapisan ait tanah dangkal maupun air tanah dalam. Secara teoritis,
limbah B3 ini akan terperangkap di lapisan itu sehingga tidak akan mencemari tanah maupun
air. Sebenarnya tetap ada kemungkinan terjadi kebocoran atau korosi pipa, atau pecahnya
lapisan batuan sehingga limbah merembes ke lapisan tanah.

Pembuangan limbah B3 melalui metode ini masih mejadi kontroversi dan masih diperlukan
pengkajian yang komprehensif terhadap efek yang mungkin ditimbulkan. Data menunjukkan
bahwa pembuatan sumur injeksi di Amerika Serikat paling banyak dilakukan pada tahun
1965-1974 dan hampir tidak ada sumur baru yang dibangun setelah tahun 1980.

Sumur injeksi atau sumur dalam (deep well injection) digunakan di Amerika Serikat sebagai
salah satu tempat pembuangan limbah B3 cair (liquid hazardous wastes). Pembuangan
limbah ke sumur dalam merupakan suatu usaha membuang limbah B3 ke dalam formasi
geologi yang berada jauh di bawah permukaan bumi yang memiliki kemampuan mengikat
limbah, sama halnya formasi tersebut memiliki kemampuan menyimpan cadangan minyak
dan gas bumi. Hal yang penting untuk diperhatikan dalam pemilihan tempat ialah strktur dan
kestabilan geologi serta hidrogeologi wilayah setempat.

Limbah B3 diinjeksikan se dalam suatu formasi berpori yang berada jauh di bawah lapisan
yang mengandung air tanah. Di antara lapisan tersebut harus terdapat lapisan impermeable
seperti shale atau tanah liat yang cukup tebal sehingga cairan limbah tidak dapat bermigrasi.
Kedalaman sumur ini sekitar 0,5 hingga 2 mil dari permukaan tanah.

Tidak semua jenis limbah B3 dapat dibuang dalam sumur injeksi karena beberapa jenis
limbah dapat mengakibatkan gangguan dan kerusakan pada sumur dan formasi penerima
limbah. Hal tersebut dapat dihindari dengan tidak memasukkan limbah yang dapat
mengalami presipitasi, memiliki partikel padatan, dapat membentuk emulsi, bersifat asam
kuat atau basa kuat, bersifat aktif secara kimia, dan memiliki densitas dan viskositas yang
lebih rendah daripada cairan alami dalam formasi geologi.
Hingga saat ini di Indonesia belum ada ketentuan mengenai pembuangan limbah B3 ke
sumur dalam (deep injection well). Ketentuan yang ada mengenai hal ini ditetapkan oleh
Amerika Serikat dan dalam ketentuan itu disebutkah bahwa:

Dalam kurun waktu 10.000 tahun, limbah B3 tidak boleh bermigrasi secara vertikal keluar
dari zona injeksi atau secara lateral ke titik temu dengan sumber air tanah.. Sebelum limbah
yang diinjeksikan bermigrasi dalam arah seperti disebutkan di atas, limbah telah mengalami
perubahan higga tidak lagi bersifat berbahaya dan beracun.

Like this:
Suka

Be the first to like this.

Tinggalkan Balasan
guest

Enter your comment here...

METODELOGI PENGELOLAAN SAMPAH DAN SAMPAH NUKLIR DI INDONESIA

A. BEBERAPA METODELOGI PENGELOLAAN SAMPAH KOMUNAL

1. METODE OPEN DUMPING (LAHAN URUG TERBUKA)

Sistem open dumping, yakni pembuangan sampah di lahan tanah lapang tanpa ada
pengolahan lebih lanjut. Seperti dikutip dari data KLH, sebagian besar TPA di Indonesia saat ini masih
menggunakan sistem open dumping, padahal sistem ini sangat tidak ramah lingkungan dan tidak
efektif menangani volume sampah yang terus menggunung dari hari ke hari.

Resistensi sosial terhadap keberadaan TPA jenis ini juga terus mengalir dari berbagai tempat,
penduduk sekitar TPA umumnya tidak setuju ada TPA open dumping di dekat rumah mereka, karena
bau serta penyakit dari gunung-gunung sampah itu sangatlah mengganggu. Open dumping
merupakan jenis pembuangan sampah akhir yang tidak saniter karena pada sampah basah dapat
menjadi media yang baik untuk lalat dan tikus dan dapat menimbulkan bau yang tidak sedap serta
tidak menimbulkan pemandangan yang tidak sedap. Jenis pembuangan sampah akhir dengan open
dumping dapat menjadi media penularan penyakit sehingga tidak dianjurkan untuk digunakan. Oleh
karena itu penanganan sampah yang tidak baik atau tidak memenuhi syarat kesehatan seperti open
dumping akan meningkatkan populasi lalat sehingga kemungkinan penyakit diare akan meningkat.

Open dumping bukan merupakan cara pemusnahan yang baik. Walaupun secara teknis
pelaksanaan mudah namun kemungkinan dampak lingkungan serta tidak dapat digunakannya
kembali lahan dalam waktu yang lama menyebabkan metode ini diabaikan untuk diterapkan.

2. METODE CONTROLLED LANDFILL (LAHAN URUG TERKENDALI)

Controlled landfill merupakan perbaikan atau peningkatan dari system open dumping.
Perbaikan atau peningkatan ini meliputi adanya kegiatan penutupan sampah dengan lapisan tanah,
fasilitas drainase serta fasilitas pengumpulan dan pengolahan leachete. Penutupan sampah dengan
tanah yaitu: tanah penutup antara ( pada periode-periode tertentu) serta tanah penutp akhir
(setelah kapasitas TPA penuh). Dengan aplikasi system contolled landfill diharapkan agar dampak
negative terhadap lingkungan dapat diperkecil dibandingkan dengan dampak dari system open
dumping. Namun demikian, untuk lebih menjamin sanitasi lingkungan, dikembangkan metode lahan
urug sanitaser. kontrol landfiil hanya bisa menangkap gas saja namun tidak bisa diolah menjadi
energi listrik

3. METODE SANITARY LANDFILL

Metode ini dilakukan dengan cara menimbun kemudian diratakan, dipadatkan kemudian
diberi cover tanah pada atasnya sebagai laipsan penutup. Hal ini dilakukan sacara berlapis-lapis
sesuai dengan perencanaannya. Pelapisan sampah dengan menggunakan tanah setiap hari pada
akhir operasi.

Para ahli lingkungan merekomendasikan agar pengelolaan TPA menggunakan sistem


sanitary landfill, namun demikian dari sekian banyak TPA yang ada, umumnya menggunakan sistem
open dumping atau controlled dumping. Baru sedikit kota yang telah menerapkan sistem sanitary
landfill.

Tempat pembuangan akhir (TPA) yang direkomendasikan oleh para ahli dengan
menggunakan sistem sanitary landfill dapat dilengkapi dengan sarana pengomposan dan
pemanfaatan sampah menjadi bahan baku daur ulang. Sisa sampah yang tidak dapat didaur ulang
ataupun dibuat menjadi kompos kemudian dibakar dan disimpan dalam kolam sanitary landfill.
Proses ini dapat dinamakan Instalasi pengolahan sampah terpadu (IPST). Proses daur ulang, produksi
kompos dan pembakaran tersebut bertujuan untuk memperkecil volume sampah yang dihasilkan,
sehingga pembuangan sampah pada kolam sanitary landfill dapat diperkecil dan akhirnya dapat
menghemat penggunaan lahan TPA.

Perbedaan sanitary dan kontrol landfill terletak pada pemanfaatan gas yang
dihasilkan.Sistem sanitary landfill lebih lengkap karena selain mendapat manfaat gas juga bisa diolah
menjadi tenaga listrik. Sehingga hasilnya bisa dinikmati oleh masyarakat.

Tabel  Sistem Pembuangan Akhir di Indonesia

No Kota Sistem Pengolahan Jenis Kota

1 Medan Open dumping Metropolitan

2 Palembang Open dumping Metropolitan

3 Jakarta Controlled landfill Metropolitan

4 Bandung Controlled landfill Metropolitan

5 Semarang Controlled landfill Metropolitan

6 Surabaya Controlled landfill Metropolitan

7 Ujung Pandang Open dumping Metropolitan

8 Padang Controlled landfill Besar

9 Bandar Lampung Open dumping Besar


10 Bogor Open dumping Besar

11 Surakarta Open dumping Besar

12  Malang Controlled landfill Besar

13 Langsa Controlled landfill Sedang

14 Pematang Siantar Open dumping Sedang

15 Tebing Tinggi Open dumping Sedang

16 Jambi Open dumping Sedang

17 Batam Open dumping Sedang

18 Pangkal Pinang Open dumping Sedang

19 Purwakarta Open dumping Sedang

20 Cianjur Open dumping Sedang

21 Garut Open dumping Sedang

22 Magelang Sanitary landfill Sedang

23 Yogyakarta Controlled landfill Sedang

24 Madiun Open dumping Sedang

25 Banyuwangi Open dumping Sedang

26 Palangkaraya Open dumping Sedang

27 Pontianak Controlled landfill Sedang

28 Balikpapan Controlled landfill Sedang

29 Banjarmasin Controlled landfill Sedang

30 Pare-pare Open dumping Sedang

31 Bitung Open dumping Sedang

32 Palu Open dumping Sedang

33 Denpasar Controlled landfill Sedang

34 Ambon Open dumping Sedang

35 Kupang Open dumping Sedang

36 Mataram Open dumping Sedang

37 Batu Sangkar Open dumping Kecil


38 Bandar Jaya Open dumping Kecil

39 Pendeglang Open dumping Kecil

40 Sukoharjo Open dumping Kecil

41 Pacitan Controlled landfill Kecil

42 Kandangan Open dumping Kecil

43 Bantaeng Open dumping Kecil

44 Watansoppeng Open dumping Kecil

45 Singaraja Open dumping Kecil

46 Manokwari Open dumping Kecil

B. SAMPAH NUKLIR                          RADIO AKTIF DI


INDONESIA

Limbah radioaktif adalah jenis limbah yang mengandung atau terkontaminasi radionuklida pada
konsentrasi atau aktivitas yang melebihi batas yang diijinkan (Clearance level) yang ditetapkan oleh
Badan Pengawas Tenaga Nuklir. Definisi tersebut digunakan didalam peraturan perundang-
undangan. Pengertian limbah radioaktif yang lain mendefinisikan sebagai zat radioaktif yang sudah
tidak dapat digunakan lagi, dan/atau bahan serta peralatan yang terkena zat radioaktif atau menjadi
radioaktif dan sudah tidak dapat difungsikan/dimanfaatkan. Bahan atau peralatan tersebut terkena
atau menjadi radioaktif kemungkinan karena pengoperasian instalasi nuklir atau instalasi yang
memanfaatkan radiasi pengion

1)    PENGAWASAN PEMANFAATAN IPTEK NUKLIR

            Kegiatan pemanfaatan, pengembangan dan penguasaan iptek nuklir di Indonesia diawasi oleh
Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten). Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang No.10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran Pasal 14 ayat 2 dilaksanakan melalui
peraturan, perizinan dan inspeksi. Peraturan dan perizinan yang diberikan oleh Bapeten juga
memperhatikan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Undang Undang No.1 Tahun 1970 tentang
Keselamatan Kerja dan Undang-Undang lainnya yang terkait beserta produk hukum dibawahnya.

            Izin pembangunan diberikan bila dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal)
yang disampaikan oleh pemrakarsa disetujui oleh komisi Amdal. Hal ini dilakukan untuk memenuhi
Undang Undang No. 23/1997 Pasal 15. Dalam dokumen Analisis Dampak Lingkungan (Amdal)
dilakukan studi yang menyeluruh antara komponen-komponen lingkungan hidup terhadap berbagai
jenis kegiatan pembangunan yang dimulai dari tahap pembebasan dan penyiapan lahan sampai
tahap dekomisioning. Hasil studi Amdal adalah informasi mengenai berbagai kegiatan yang
menimbulkan dampak positif dan negatif serta komponen lingkungan hidup yang terkena dampak

2)    PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF

            Limbah radioaktif umumnya ditimbulkan dari kegiatan pengoperasian reaktor riset,
pemanfaatan sumber radiasi dan bahan radioaktif dalam bidang industri, pertanian, kedokteran dan
penelitian serta dari berbagai proses indusrti yang menggunakan bahan yang mengandung
radionuklida alam (Naturally Occurring Radioactive Material, NORM). Sedangkan di negara-negara
maju, limbah radioaktif juga ditimbulkan dari pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN)
dan kegiatan daur-ulang bahan bakar nuklir (BBN) bekas dan dekomisioning instalasi/ fasilitas nuklir.
Pengelolaan limbah radioaktif dilaksanakan untuk mencegah timbulnya bahaya radiasi terhadap
pekerja, anggota masyarakat dan lingkungan hidup. Pengelolaan limbah radioaktif adalah
pengumpulan, pengelompokan, pengolahan, pengangkutan, penyimpanan sementara dan
penyimpanan lestari dan pembuangan limbah (disposal).

       Minimisasi Limbah

            Dalam pemanfaatan iptek nuklir minimisasi limbah diterapkan mulai dari perencanaan,
pemanfaatan (selama operasi) dan setelah masa operasi (pasca operasi). Pada tahap
awal/perencanaan pemanfaatan iptek nuklir diterapkan azas justifikasi, yaitu "tidak dibenarkan
memanfaatkan suatu iptek nuklir yang menyebabkan perorangan atau anggota masyarakat
menerima paparan radiasi bila tidak menghasilkan suatu manfaat yang nyata". Dengan menerapkan
azas justifikasi berarti telah memimisasi potensi paparan radiasi dan kontaminasi serta membatasi
limbah/dampak lainnya yang akan ditimbulkan pada sumbernya. Setelah penerapan azas justifikasi
atas suatu pemanfaatan iptek nuklir, pemanfaatan iptek nuklir tersebut harus lebih besar
manfaatnya dibandingkan kerugian yang akan ditimbulkannya, dan dalam pembangunan dan
pengoperasiannya harus mendapat izin lokasi, pembangunan, dan pengoperasian dari Badan
Pengawas, seperti telah diuraikan sebelumnya.
Gambar 1. Skema pengelolaan limbah radioaktif dalam pemanfaatan Iptek Nuklir.

       Pengelompokan Limbah Radioaktif

            Limbah radioaktif yang ditimbulkan dari pemanfaatan iptek nuklir umumnya dikelompokkan
ke dalam limbah tingkat rendah (LTR), tingkat sedang (LTS) dan tingkat tinggi (LTT). Pengelompokan
ini didasarkan kebutuhan isolasi limbah untuk jangka waktu yang panjang dalam upaya melindungi
pekerja radiasi, lingkungan hidup, masyarakat dan generasi yang akan datang. Pengelompokan ini
merupakan strategi awal dalam pengelolaan limbah radioaktif. Sistem pengelompokan limbah di tiap
negara umumnya berbeda-beda sesuai dengan tuntutan keselamatan/peraturan yang berlaku di
masing-masing negara.                         Di Indonesia, sesuai Pasal 22 ayat 2, U.U. No. 10/1997, limbah
radioaktif berdasarkan aktivitasnya diklasifikasikan dalam jenis limbah radioaktif tingkat rendah
(LTR), tingkat sedang (LTS) dan tingkat tinggi (LTT). Di P2PLR, berdasarkan bentuknya limbah
radioaktif dikelompokkan ke dalam limbah cair (organik, anorganik), limbah padat
(terkompaksi/tidak terkompaksi, terbakar/tidak terbakar) dan limbah semi cair (resin). Berdasarkan
aktivitasnya dikelompokkan menjadi limbah aktivitas rendah (10-6Ci/m3 < LTR < 10-3Ci/m3), limbah
aktivitas sedang (10-3Ci/m3 < LTS < 104Ci/m3) dan limbah aktivitas tinggi (LTT > 104Ci/m3). 

            Penimbul limbah radioaktif baik dari kegiatan Batan dan diluar Batan (Industri, Rumah Sakit,
industri, dll.) wajib melakukan pemilahan dan pengumpulan limbah sesuai dengan jenis dan tingkat
aktivitasnya. Limbah radioaktif ini selanjutnya dapat diolah di Pusat Penelitian Tenaga Nuklir (PPTN)
Serpong untuk pengolahan lebih lanjut.
      Teknologi Pengolahan Limbah

            Tujuan utama pengolahan limbah adalah mereduksi volume dan kondisioning limbah, agar
dalam penanganan selanjutnya pekerja radiasi, anggota masyarakat dan lingkungan hidup aman dari
paparan radiasi dan kontaminasi. Teknologi pengolahan yang umum digunakan antara lain adalah
teknologi alih-tempat (dekontaminasi, filtrasi, dll.), teknologi pemekatan (evaporasi, destilasi, dll.),
teknologi transformasi (insinerasi, kalsinasi) dan teknologi kondisioning (integrasi dengan wadah,
imobilisasi, adsorpsi/absorpsi). Limbah yang telah mengalami reduksi volume selanjutnya
dikondisioning dalam matrik beton, aspal, gelas, keramik, sindrok, dan matrik lainnya, agar zat
radioaktif yang terkandung terikat dalam matrik sehingga tidak mudah terlindi dalam kurun waktu
yang relatif lama (ratusan/ribuan tahun) bila limbah tersebut disimpan secara lestari/di disposal ke
lingkungan. Pengolahan limbah ini bertujuan agar setelah ratusan/ribuan tahun sistem disposal
ditutup (closure), hanya sebagian kecil radionuklida waktu-paro (T1/2) panjang yang sampai ke
lingkungan hidup (biosphere), sehingga dampak radiologi yang ditimbulkannya minimal dan jauh di
bawah NBD yang ditolerir untuk anggota masyarakat.

      Limbah radioaktif tingkat rendah dan sedang

            Teknologi pengolahan dan disposal limbah tingkat rendah (LTR) dan tingkat sedang (LTS) telah
mapan dan diimplementasikan secara komersial di negara-negara industri nuklir. Penelitian dan
pengembangan (litbang) yang berkaitan dengan pengolahan dan disposal limbah ini sudah sangat
terbatas. Negara-negara berkembang dapat mempelajari dan mengadopsi teknologi pengolahan dan
disposal dari negara-negara industri nuklir. Teknologi pengolahan dan disposal yang dipilih haruslah
disesuaikan dengan strategi pengelolaan yang ditetapkan. Dalam upaya meningkatkan kepercayaan
masyarakat, beberapa negara-negara industri nuklir saat ini cenderung langsung mendisposal LTR
dan LTS dari pada menyimpannya di tempat penyimpanan sementara (strategi wait and see).
Penerapan disposal secara langsung selain akan memeperkecil dampak radiologi terhadap pekerja,
juga diharapkan akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemanfaatan iptek nuklir.

            P2PLR dalam pengelolaan LTR dan LTS telah mengadopsi teknologi yang telah mapan dan
umum digunakan di negara-negara industri nuklir. Limbah hasil olahan disimpan di fasilitas IS-1,
sehingga limbah tersebut aman dan terkendali serta kemungkinan limbah tersebut tercecer atau
tidak bertuan dapat dihindarkan.

      Limbah tingkat tinggi


            Kebijakan pengelolaan limbah radioaktif tingkat tinggi (LTT) dan bahan bakar nuklir (BBN)
bekas di tiap negara industri nuklir selain berbeda juga masih berubah-ubah. Beberapa negara
melakukan pilihan olah-ulang (daur-tertutup) untuk pemanfaatan material fisil dan fertil yang masih
terkandung dan sekaligus mereduksi volumenya. Sebagian negara lain melihat LTT sebagai limbah
(daur-terbuka), dan berencana untuk mendisposalnya dalam formasi geologi tanah dalam (deep
repository).

            BATAN dalam pengelolaan LTT saat ini memilih daur tertutup. Limbah BBN bekas dan LTT dari
hasil uji fabrikasi BBN saat ini disimpan di Interim Storage for Spent Fuel Element (ISSFE) yang ada di
PPTN Serpong. Kapasitas ISSFE mampu untuk menyimpan BBN bekas untuk selama umur operasi
reaktor G.A. Siwabessy. LTT dan Bahan Bakar Nuklir (BBN) bekas yang dihasilkan dari pengoperasian
reaktor Triga Mark II di Bandung dan reaktor Kartini di Yogyakarta disimpan di kolam pendingin
reaktor. Dalam pengoperasian reaktor G.A.Siwabessy, reaktor Triga Mark II dan reaktor Kartini, BBN
bekas ataupun LTT tidak ada yang keluar dari kawasan nuklir tersebut, seluruhnya tersimpan dengan
aman di kawasan nuklir tersebut.

      Pembuangan Limbah Radioaktif

            Strategi pembuangan limbah radioaktif umumnya dibagi kedalam 2 konsep pendekatan, yaitu
konsep "Encerkan dan Sebarkan" (EDS) atau "Pekatkan dan Tahan" (PDT). Kedua strategi ini
umumnya diterapkan dalam pemanfaatan iptek nuklir di negara industri nuklir, sehingga tidak dapat
dihindarkan menggugurkan strategi zero release.

      Pembuangan efluen

            Dalam pengoperasian instalasi nuklir tidak dapat dihindarkan terjadinya pembuangan efluen
ke atmosfer dan ke badan-air. Efluen gas/partikulat yang dibuang langsung ke atmosfer berasal dari
sistem ventilasi. Udara sistem ventilasi di tiap instalasi nuklir sebelum dibuang ke atmosfer melalui
cerobong, dibersihkan kandungan gas/ partikulat radioaktif yang terkandung di dalamnya dengan
sistem pembersih udara yang mempunyai efisiensi 99,9 %. Efluen cair yang dapat dibuang langsung
ke badan-air hanya berasal sistem ventilasi dan dari unit pengolahan limbah cair radioaktif. Tiap jenis
radionuklida yang terdapat dalam efluen yang di buang ke lingkungan harus mempunyai konsentrasi
di bawah BME.

            BME tiap jenis radioanuklida yang diperkenankan terdapat dalam efluen radioaktif yang
dibuang ke lingkungan untuk tiap instalasi nuklir di PPTN Serpong telah dihitung dengan metode
faktor konsentrasi (concentration factor method) dan telah diterapkan semenjak reaktor G.A.
Siwabessy dioperasikan pada bulan Agusutus 1987 Pembuangan efluent gas/partikulat dan efluen
cair ke lingkungan di PPTN Serpong telah sesuai dengan rekomendasi yang diberikan baik secara
nasional maupun internasional.

      Disposal limbah

            Penyimpanan lestari/disposal limbah radioaktif hasil-olahan merupakan penerapan strategi


PDT. Strategi ini mempunyai potensi meningkatkan peneriman dosis terhadap anggota masyarakat,
dosis maksimal yang diakibatkannya tidak boleh melebihi dosis pembatas yang diperkenankan.
Pengoperasian fasilitas disposal ini harus mendapat izin lokasi, konstruksi dan operasi dari Badan
Pengawas.

      Lokasi disposal

            Pemilihan lokasi untuk pembangunan fasilitas disposal mengacu pada proses seleksi yang
direkomendasikan oleh International Atomic Energy Agency (IAEA). Faktor-faktor teknis yang
dipertimbangkan diantaranya faktor geologi, hidrogeologi, geokimia, tektonik dan kegempaan,
berbagai kegiatan yang ada di sekitar calon lokasi, meteorologi, transportasi limbah, tata-guna lahan,
distribusi penduduk dan perlindungan lingkungan hidup. Faktor lainnya yang sangat penting adalah
penerimaan oleh masyarakat.

            P2PLR telah melakukan berbagai penelitian dan pengkajian kemungkinan kawasan nuklir
PPTN Serpong dan calon lokasi PLTN di S. Lemahabang dapat digunakan sebagai lokasi untuk
disposal LTR, LTS dan LTT. Hasil pengkajian dan penelitian ini sementara menyimpulkan bahwa
kawasan PPTN Serpong dikarenakan kondisi lingkungan setempat (pola aliran air tanah, demographi,
dll) hanya memungkinkan untuk pembangunan sistem disposal eksperimental, sedangkan di calon
lokasi PLTN telah dapat diidentifikasi daerah yang mempunyai kesesuaian yang tinggi untuk
pembangungan sistem disposal near-surface dan deep disposal.

      Rancang-bangun

Fasilitas disposal dibangun tergantung pada kondisi geologi, persyaratan-persyaratan khusus dan
pemenuhan regulasi. Fasilitas disposal yang dibangun haruslah efektif menahan radionuklida untuk
tidak migrasi ke lingkungan hidup selama periode potensi bahaya (hazard) maksimal, sehingga
paparan radiasi terhadap pekerja dan anggota masyarakat selama operasi dan pasca-operasi
minimal. Tujuan ini dapat dicapai melalui rancang-bangun komponen-komponen teknis seperti paket
limbah, struktur teknis fasilitas, lokasi itu sendiri dan kombinasi dari berbagai faktor-faktor teknis
tersebut.
            Saat ini beberapa jenis fasilitas disposal telah dibangun dan beroperasi di negara-negara
industri nuklir, 62 % dibangun dekat permukaan tanah (engineered near-surface), 18 % di
permukaan tanah, 7 % dalam gua bekas tambang dan sisanya dalam formasi geologi (deep disposal).

      Pengkajian keselamatan

            Pengkajian keselamatan pembuangan/disposal limbah radioaktif bertujuan mengevaluasi


unjuk-kerja dari sistem disposal baik untuk kondisi saat ini maupun untuk kondisi yang akan datang,
diantisipasi juga mengenai kejadian-kejadian yang sangat jarang terjadi. Berbagai faktor, seperti
model dan parameter, periode waktu yang lama, perilaku manusia dan perubahan iklim harus
dievaluasi secara konsisten, walaupun data kuantitatif yang diperlukan tidak/ belum tersedia. Hal ini
dapat diperoleh melalui formulasi dan analisis dari berbagai skenario yang mungkin terjadi. Skenario
adalah deskripsi berbagai alternatif yang mungkin terjadi secara konsisten mengenai evolusi dan
kondisi dimasa yang akan datang. Proses pengkajian keselamatan umumnya dilakukan melalui
beberapa tahapan proses, seperti kontek perlunya pengkajian dilakukan (memilih lokasi, perizinan,
kriteria yang digunakan, dan waktu pengoperasian), rincian rancang-bangun, pengembangan dan
menenetapkan skenario, memformulasikan dan penerapkan model. Melakukan analisis dan
menginterpretasikan hasil dengan membandingkan terhadap kriteria yang direkomendasikan.

            Kemampuan untuk melakukan pengkajian keselamatan ini perlu dukungan infrastruktur
(organisasi, peralatan, dll.) dan sumberdaya manusia yang handal serta disiapkan secara
berkesinambungan. Di P2PLR saat ini terdapat Bidang Kelompok Penyimpanan Lestari dan Bidang
Keselamatan dan Lingkungan, telah membuat group-group untuk pengkajian skenario, mendapatkan
besaran-besaran fisika-kima untuk pengkajian dan pengembangan perangkat lunak untuk pengkajian
unjuk kerja fasilitas disposal (performance assessment), diharapkan dalam jangka panjang dapat
dibangun capacity building dan confidence building dalam keselamatan disposal limbah radioaktif.
REFERENSI

Artikel yang dimuat pada 'Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah' Volume 6 No. 2 Desember 2003
(ISSN:1410-9565). Penulis : Erwansyah Lubis (Ahli Peneliti Utama, Bidang Radioekologi Kelautan
PTLR - BATAN)

Sampah ternyata bukan sampah. Penulis : Samadi, S.Pd, M.Si

http://www.blueenvironmental.com/landfill.html

http://www.kotabogor.go.id/index.php?Itemid=101&id=4343&option=com_content&task=view

Diposkan oleh eka di 08:16

Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook

1 komentar:

1.

Cahya Priyanto14 Mei 2012 02:24

yoman kacruthhhh..

BalasHapus

Muat yang lain...

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Langganan: Poskan Komentar (Atom)

Pengikut
Arsip Blog
 ▼  2011 (26)
o ►  Juli (15)
o ▼  Juni (11)
 HUKUM GERAKAN PLANET KEPPLER
 METODELOGI PENGELOLAAN SAMPAH DAN SAMPAH NUKLIR DI...
 pencemaran
 mortalitas
 morfologi karst
 pelapukan
 geomorfologi
 air di karangsambung
 sempadan sungai
 wawasan nusantara dan geo politik
 hak anak untuk mendapatkan pendidikan

Mengenai Saya

eka

Just odinary people in extraodinary world

Lihat profil lengkapku

Cari Blog Ini


Cari

Share Tampilan slide


it
Template Watermark. Diberdayakan oleh

Anda mungkin juga menyukai