Anda di halaman 1dari 45

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

DAFTAR GAMBAR.............................................................................................vi

DAFTAR TABEL................................................................................................vii

BAB I.......................................................................................................................1

PENDAHULUAN...................................................................................................1

1.1 Latar Belakang..........................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................2

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian..................................................................4

BAB II.....................................................................................................................5

TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................5

2.1 Lemak dan Minyak....................................................................................5

2.2 Jenis Bahan Pangan yang Digoreng..........................................................8

2.3 Minyak Goreng Bekas...............................................................................9

2.3.1 Dampak atau Bahaya Minyak Goreng Bekas..................................10

2.3.2 Kandungan Minyak Goreng Bekas..................................................11

2.3.3 Pemurnian Minyak Goreng Bekas...................................................12

2.3.4 Bahan Penunjang Proses Pemurnian Minyak Goreng Bekas...........14

iii
2.3.5 Penentuan Sifat Minyak dan Lemak................................................14

2.4 Lidah Buaya (Aloe Vera (L.) Webb.).......................................................15

2.4 Saponifikasi.............................................................................................17

2.5.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Saponifikasi............................17

2.5.2 Reaksi Saponifikasi..........................................................................19

2.5.3 Bahan- Bahan Penunjang Proses Saponifikasi.................................20

2.5 Sabun.......................................................................................................22

2.5.1 Jenis-Jenis Sabun.............................................................................23

2.5.2 Sifat-Sifat Sabun..............................................................................24

2.5.3 Sabun Mandi Padat..........................................................................25

2.5.4 Standar Mutu Sabun Mandi Padat...................................................26

2.6 Penentuan Karakteristik atau Mutu Sabun Mandi Padat.........................27

2.7.1 Kadar Alkalinitas.............................................................................27

2.7.2 Derajat Keasamaan (pH)..................................................................28

2.7 Metode Analisa Uji Krakteristik Sabun Mandi Padat.............................28

2.8.1 Metode Titrimetri untuk Penentuan Kadar Alkalinitas....................28

BAB III..................................................................................................................30

METODOLOGI PENELITIAN.........................................................................30

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian.................................................................30

3.2 Rancangan Penelitian..............................................................................30

iv
3.3 Alat dan Bahan........................................................................................31

3.4 Prosedur Penelitian..................................................................................33

3.4.1 Diagram Alir Penelitian...................................................................33

3.4.2 Prosedur Penelitian..........................................................................34

DAFTAR RUJUKAN..........................................................................................39

v
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1 Lidah Buaya......................................................................................16

Gambar 2. 2 Reaksi saponifikasi dan struktur dasar senyawa sabun.....................19

YGambar 3. 1 Diagram alir penelitian....................................................................34

vi
DAFTAR TABEL

YTabel 2. 1 Kandungan minyak goreng bekas.......................................................12

Tabel 2. 2 Syarat mutu sabun mandi......................................................................26

vii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Banyaknya pengusaha kerupuk, amplang, dan keripik singkong di daerah

Kecamatan Palaran merupakan penghasil minyak goreng bekas yang paling

banyak. Dari hasil survei diketahui bahwa setiap usaha dari 17 pengusaha yang

ada di Kecamatan Palaran akan menghasilkan 9,5 liter minyak dalam satu harinya.

Maka diperkirakan jumlah minyak goreng bekas dari 17 pengusaha di Kecamtan

Palaran yaitu 161,5 liter per tahun atau setara dengan 50,64985 ton per tahunnya.

Selama ini minyak goreng bekas yang digunakan berulang-ulang dijadikan

bahan pengolah hingga berwarna cokelat tua ataupun kehitaman, dan berbau

tengik barulah dibuang ke lingkungan sekitar dan belum ada masyarakat

Kecamatan Palaran yang mengolah minyak goreng bekas tersebut. Menurut Dinas

Lingkungan Hidup hal ini dapat mengakibatkan pencemaran terhadap lingkungan.

Dimana akan menyebabkan kerusakan ekosistem perairan jika dibuang ke

perairan karena meningkatnya kadar COD (Chemical Oxygen Demand ) dan BOD

(Biological Oxygen Demand) yang disebabkan tertutupnya permukaan air oleh

lapisan minyak sehingga sinar matahari tidak dapat masuk ke perairan, sehingga

akan mengganggu kehidupan ekosistem. Dan minyak goreng bekas jika

dikonsumsi kembali akan mengganggu kesehatan seperti infeksi bakteri,

meningkatkan resiko kanker, dan dapat membuat kelebihan berat badan atau

obesitas.
Minyak goreng bekas memiliki karakteristik atau komposisi yang terkandung

didalamnya yaitu asam palmitat 21,47%, asam stearat 13%, asam oleat 28,64%,

asam linoleat 13,58%, asam linolenat 1,59%, asam miristat 3,21%, asam laurat

1,1%, dan kandungan lainnya seperti asam lemak bebas yaitu 9,34% (Adhari et.al,

2016). Dengan kandungan asam lemak yang dimiliki minyak goreng bekas dapat

diolah menjadi suatu produk yang memiliki nilai ekonomi lebih yaitu sabun

mandi padat. Melalui proses saponifikasi asam lemak yang terkandung dalam

minyak goreng bekas akan mengalami reaksi hidrolisis oleh adanya basa

membentuk sabun dan gliserol (Prihanto & Irawan, 2018).

Kegunaan sabun ialah kemampuannya mengemulsi kotoran berminyak

sehingga dapat dibuang dengan pembilasan dan tubuhpun kembali bersih

(Fessenden & Fessenden, 1999). Sabun mandi dengan teksturnya yang padat

memiliki kelebihan yaitu lebih melembakan kulit dengan membentuk busa yang

cukup, sehingga membersihkan kulit dengan efektif tanpa merusak kulit

(Holyoake, 1859).

1.2 Rumusan Masalah

Saat ini sudah banyak penelitian yang mengolah minyak goreng bekas ini

menjadi produk yang nilai ekonominya meningkat dibanding minyak goreng

bekas. Salah satunya dengan mengolahnya menjadi sabun mandi padat. Penelitian

pertama yang mengevaluasi mutu sabun padat dari minyak goreng bekas dengan

penambahan SLS (Sodium Lauryl Sulfate) dan sukrosa, melakukan penelitian


dengan memvariasikan konsentrasi SLS dan konsentrasi sukrosa pada proses

saponifikasi (Hardian, Ali, & Yusmarini, 2014). Dengan hasil terbaik yang

diperoleh pada variasi SLS 1,5% ; sukrosa 15,5% dengan karakteristik kadar air

4,46%, pH 9,8 yang sudah memenuhi standar. Dan peneliti kedua yang

memanfaatkan minyak goreng bekas menjadi sabun mandi padat, melakukan

penelitian dengan memvariasikan konsentrasi NaOH dan Suhu proses saponifikasi

(Prihanto & Irawan, 2018). Dengan hasil terbaik yang diperoleh yaitu pada variasi

NaOH 25% dengan berbagai variasi suhu proses yaitu kadar alkalinitas 0,0272%

yang sudah memenuhi standar.

Dari kedua penelitian tersebut masih memiliki kekurangan atau kelemahan.

Dengan nilai pH rata-rata sebesar 11,3 pada peneliti pertama dan kadar alkalinitas

pada variasi NaOH 45% pada peneliti pertama yang diperoleh belum memenuhi

standar SNI 3532 : 2016.

Penelitian ini dilakukan untuk memperbaiki kelemahan dari peneliti pertama

dan peneliti kedua. Perbaikan dilakukan dengan cara memvariasikan waktu reaksi

akan membuat interaksi antar molekul minyak dan alkali basa berupa NaOH

semakin sering terjadi sehingga dapat memeperbesar kecepatan reaksi maka reaksi

akan mendekati kesetimbangan sehingga kadar alkali bebas pada sabun akan

berkurang. Waktu reaksi juga mempengaruhi pH karena semakin lama waktu

raksi maka semakin banyak pula minyak yang tersabunkan atau bereaksi dengan

alkali basa, sehingga pH cenderung akan menurun (Hasibuan et al., 2019).

Dilakukan pula penambahan bahan alam berupa lidah buaya (Aloe Vera (L.)

Webb.). Lidah buaya dengan kandungan ligninnya berguna untuk menjaga


kelembaban kulit, dan tidak terjadinya penguapan berlebih yang menyebabkan

kulit kering sehingga dapat mengurangi iritasi pada kulit (Gusviputri et al, 2013).

Dimana tingkat iritasi kulit dapat dilihat dari tingginya kadar alkalinitas dan nilai

pH (Putra et al, 2019).

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh

penambahan lidah buaya (Aloe Vera (L.) Webb.) dan variasi waktu reaksi pada

proses saponifikasi terhadap kadar alkalinitas dan nilai pH sabun mandi padat,

sehingga kualitas produk yang dihasilkan dapat memenuhi standar SNI 3532:

2106.

Manfaat penelitian ini yaitu untuk mengatasi masalah minyak goreng bekas

yang dibuang begitu saja kelingkungan tanpa diolah terlebih dahulu, yang bisa

mengakibatkan rusaknya ekosistem. Dengan adanya penelitian ini maka bisa

mengurangi masalah minyak goreng yang ada.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lemak dan Minyak

Lemak dan minyak adalah trigliserida atau triasilgliserol, kedua istilah

ini berarti triester dari gliserol. Asam karboksilat yang diperoleh dari

hidrolisis suatu lemak atau minyak, yang disebut asam lemak yang

mempunyai rantai hidrokarbon yang panjang dan tidak bercabang

(Fessenden & Fessenden, 1994).

Lemak dan minyak adalah salah satu kelompok yang termasuk pada

golongan lipid yaitu senyawa organik yang terdapat di alam serta tidak

larut dalam air, tetapi larut dalam pelarut organik non-polar misalnya

kloroform (CHCl3), benzena dan hidrokarbon lainnya, lemak dan minyak

dapat larut dalam pelarut yang disebutkan di atas karena lemak dan

minyak mempunyai polaritas yang sama dengan pelarut tersebut (Ketaren,

1986).

Berdasarkan ikatan kimianya, lemak dalam minyak goreng dibagi dua

yaitu lemak jenuh dan lemak tidak jenuh. Pembagian jenuh dan tidak

jenuh ini punya arti penting karena akan berpengaruh terhadap efek

peningkatkan kolesterol darah (Djatmiko & A.P, 1973)


Lemak dan minyak dapat dibedakan berdasarkan kejenuhannya (ikatan

rangkap), yaitu:

1. Asam Lemak Jenuh

Contohnya :

a. Asam butirat (CH3(CH2)2CO2H), bersumber dari lemak susu

b. Asam palmitat (CH3(CH2)14CO2H), bersumber dari lemak hewani dan

nabati

c. Asam stearat (CH3(CH2)16CO2H), bersumber dari lemak hewani dan

nabati.

2. Asam Lemak tidak jenuh

Contohnya :

a. Asam palmitoleat (CH3(CH2)5CH=CH(CH2)7CO2H), bersumber dari lemak

hewani dan nabati

b. Asam oleat (CH3(CH2)7CH=CH(CH2)7CO2H), bersumber dari lemak

hewani dan nabati

c. Asam linoleat (CH3(CH2)4CH=CHCH2CH=CH(CH2)7CO2H, bersumber

dari lemak hewani dan nabati.

d. Asam linolenat (CH3CH2CH=CHCH2CH=CHCH2=CH(CH2)7CO2H),

bersumber dari minyak biji rami.

Asam lemak jenuh merupakan asam lemak yang mengandung ikatan tunggal

pada rantai hidrokarbonnya, mempunyai rantai zig - zag yang dapat cocok satu

sama lain sehingga gaya tarik vanderwalls tinggi dan biasanya berwujud padat.
Sedangkan asam lemak tidak jenuh merupakan asam lemak yang mengandung

satu ikatan rangkap pada rantai hidrokarbonnya. Asam lemak dengan lebih dari

satu ikatan atau dua tidak lazim, terutama terdapat pada minyak nabati, minyak ini

disebut poliunsaturat (trigliserida tidak jenuh ganda) cenderung berbentuk minyak

(Fessenden & Fessenden, 1994)

Minyak goreng mengandung asam lemak jenuh dan tidak jenuh. Asam lemak

jenuh yang ada pada minyak goreng umumnya terdiri dari asam miristat, asam

palmitat, asam laurat, dan asam kaprat. Asam lemak tidak jenuh dalam minyak

goreng mengandung asam oleat dan asam linoleat (Soderma, 1985)

Jika menemukan istilah omega-3, omega-6, dan omega-9 pada kemasan atau

iklan minyak goreng, maka tak lain dan tak bukan adalah contoh dari lemak

takjenuh. Berbeda dengan lemak jenuh yang dapat meningkatkan kadar kolesterol,

lemak tidak jenuh justru diyakini bisa menurunkan kolesterol

Lemak tidak jenuh banyak dijumpai di dalam minyak goreng yang berasal dari

biji zaitun, kacang, jagung, wijen, bunga matahari dan kedelai. Adapun minyak

sawit yang merupakan bahan dasar utama minyak goreng yang saat ini banyak

beredar mengandung lemak tidak jenuh hampir sama dengan kandungan lemak

jenuhnya, dengan kata lain bukan termasuk minyak goreng tak sehat seperti yang

diyakini sebagian orang (Soderma, 1985)

Sayangnya, manfaat lemak tidak jenuh sebagai penurun kolesterol akan

berkurang meskipun tidak seluruhnya jika digunakan untuk menggoreng (suhu


pada saat menggoreng umumnya sekitar 180oC). Ini terjadi karena panas pada

proses penggorengan dapat merusak struktur kimia ikatan tak jenuhnya.

Minyak goreng merupakan salah satu bahan penting yang dibutuhkan

masyarakat sehari-hari. Meskipun bahan dasar minyak goreng beragam, secara

kimia tidak jauh berbeda, yaitu terdiri dari asam lemak jenuh dan asam lemak

tidak jenuh. Sterol terdapat dalam jumlah kecil, asam lemak bebas, pigmen larut

lemak dan hidrokarbon. Hal yang membedakan minyak goreng satu dengan yang

lainnya adalah komposisi zat gizinya (Hardian et al., 2014).

Lemak dan minyak yang umum digunakan dalam pembuatan sabun adalah

trigliserida dengan tiga buah asam lemak yang tidak beraturan diesterifikasi

dengan gliserol. Aasam lemak tidak jenuh seperti asam oleat, asam linoleat, dan

asam linolenat terdapat dalam minyak goreng bekas merupakan trigliserida yang

dapat digunakan sebagai bahan baku alternatif pembuatan sabun mandi padat

menggantikan asam lemak bebas jenuh yang merupakan produk samping proses

pengolahan minyak goreng (Ketaren, 1986).

Masing-masing lemak mengandung sejumlah molekul asam lemak dengan

rantai karbon panjang antara C12 (asam laurat) hingga C18 (asam stearat) yang

mengandung lemak jenuh dan begitu juga dengan lemak tak jenuh. Campuran

trigliserida diolah menjadi sabun melalui proses saponifikasi dengan larutan

natrium hidroksida membebaskan gliserol (Ketaren, 1986).


2.2 Jenis Bahan Pangan yang Digoreng

Seringkali pedagang gorengan di pinggir jalan menggunakan minyak goreng

berulang kali, hingga warna minyak menjadi cokelat tua atau hitam. Minyak

goreng bekas merupakan minyak yang telah rusak, dimana penurunan kualitas

minyak disebabkan frekuensi penggunaan dan suhu penggorengan. Bila ditinjau

dari komposisi kimianya, minyak jelantah mengandung senyawa-senyawa yang

bersifat karsinogenik yang terbentuk selama proses penggorengan (Hardian et al.,

2014).

Penggunaan minyak goreng yang berulang-ulang akan menimbulkan

kerusakan, karena adanya proses hidrolisis, oksidasi. Kerusakan minyak goreng

dapat dilihat dari aroma minyak yang menjadi kurang enak (tengik), serta warna

minyak goreng yang berubah menjadi gelap. Minyak goreng bekas dapat

mengakibatkan keracunan dalam tubuh dan dapat mengakibatkan berbagai macam

penyakit. Minyak goreng bekas dapat mengendapkan lemak dalam pembuluh

darah, dan kanker hati. Minyak goreng bekas adalah minyak goreng yang telah

rusak sehingga tidak layak untuk dikonsumsi. Minyak goreng bekas ini dapat kita

katagorikan sebagai limbah dari proses penggorengan.(Prihanto & Irawan, 2018).

2.3 Minyak Goreng Bekas

Minyak goreng bekas atau yang biasa disebut dengan minyak jelantah adalah

minyak limbah yang bisa berasal dari jenis-jenis minyak goreng seperti halnya

minyak jagung, minyak sayur, minyak samin dan sebagainya, minyak ini
merupakan minyak bekas pemakaian kebutuhan rumah tangga umumnya.

Sehubungan dengan banyaknya minyak goreng bekas dari sisa industri maupun

rumah tangga dalam jumlah tinggi dan menyadari adanya bahaya konsumsi

minyak goreng bekas, maka perlu dilakukan upaya-upaya untuk memanfaatkan

minyak goreng bekas tersebut agar tidak terbuang dan mencemari lingkungan.

Pemanfaatan minyak goreng bekas ini dapat dilakukan pemurnian agar dapat

digunakan kembali sebagai media penggorengan atau digunakan sebagai bahan

baku produk berbasis minyak seperti sabun (Naomi et al., 2013).

2.3.1 Dampak atau Bahaya Minyak Goreng Bekas

Selama penggorengan, minyak goreng akan mengalami pemanasan pada suhu

tinggi 170 oC - 180 oC dalam waktu yang cukup lama. Hal ini akan menyebabkan

terjadinya proses oksidasi, hidrolisis dan polimerisasi yang menghasilkan

senyawa- senyawa hasil degradasi minyak seperti keton, aldehid dan polimer yang

merugikan kesehatan manusia. Proses-proses tersebut menyebabkan minyak

mengalami kerusakan. Kerusakan utama adalah timbulnya bau dan rasa tengik,

sedangkan kerusakan lain meliputi peningkatan kadar asam lemak bebas (FFA),

bilangan iodin (IV ), timbulnya kekentalan minyak, terbentuknya busa, adanya

kotoran dari bumbu yang digunakan dan bahan yang digoreng (Ketaren, 1986)

Penggunaan minyak berkali-kali dengan suhu penggorengan yang cukup

tinggi akan mengakibatkan minyak menjadi cepat berasap atau berbusa dan

meningkatkan warna coklat serta flaour yang tidak disukai pada bahan makanan
yang digoreng. Kerusakan minyak goreng yang berlangsung selama

penggorengan akan menurunkan nilai gizi dan mutu bahan yang digoreng. Namun

jika minyak goreng bekas tersebut dibuang selain tidak ekonomis juga akan

mencemari lingkungan (Ketaren, 1986)

Kerusakan minyak akan mempengaruhi mutu dan nilai gizi bahan pangan

yang digoreng. Minyak yang rusak akibat proses oksidasi dan polimerisasi akan

menghasilkan bahan dengan rupa yang kurang menarik dan cita rasa yang tidak

enak, serta kerusakan sebagian vitamin dan asam lemak esensial yang terdapat

dalam minyak. Oksidasi minyak akan menghasilkan senyawa aldehida, keton,

hidrokarbon, alkohol, lakton serta senyawa aromatis yang mempunyai bau tengik

dan rasa getir. Pembentukan senyawa polimer selama proses menggoreng terjadi

karena reaksi polimerisasi, adisi dari asam lemak tidakjenuh. Hal ini terbukti

dengan terbentuknya bahan menyerupai gum (gelembong) yang mengendap di

dasar tempat penggorengan (Ketaren, 1986).

Menurut Dinas Lingkungan Hidup hal ini dapat mengakibatkan pencemaran

terhadap lingkungan. Dimana akan menyebabkan kerusakan ekosistem perairan

jika dibuang ke perairan karena meningkatnya kadar COD (Chemical Oxygen

Demand ) dan BOD (Biological Oxygen Demand) yang disebabkan tertutupnya

permukaan air oleh lapisan minyak sehingga sinar matahari tidak dapat masuk ke

perairan, sehingga akan mengganggu kehidupan ekosistem. Dan minyak goreng

bekas jika dikonsumsi kembali akan mengganggu kesehatan seperti infeksi

bakteri, meningkatkan resiko kanker, dan dapat membuat kelebihan berat badan

atau obesitas.
2.3.2 Kandungan Minyak Goreng Bekas

Dengan kandungan asam lemak yang dimiliki minyak goreng bekas dapat

diolah menjadi suatu produk yang memiliki nilai ekonomi lebih yaitu sabun

mandi padat. Melalui proses saponifikasi asam lemak yang terkandung dalam

minyak goreng bekas akan mengalami reaksi hidrolisis oleh adanya basa

membentuk sabun dan gliserol (Prihanto & Irawan, 2018)

Tabel 2. Kandungan minyak goreng bekas

Asam lemak Jumlah (%)


Asam palmitat 21,47
Asam stearat 13
Asam oleat 28,64
Asam linoleat 13,58
Asam linolenat 1,59
Asam miristat 3,21
Asam laurat 1,1
Lain-lain 9,34
Sumber: Adhari et al., 2016

2.3.3 Pemurnian Minyak Goreng Bekas

Pemurnian merupakan tahap pertama dari proses pemanfaatan minyak goreng

bekas, yang hasilnya dapat digunakan sebagai minyak goreng kembali atau

sebagai bahan baku produk untuk pembuatan sabun mandi padat. Tujuan utama

pemurnian minyak goreng ini adalah menghilangkan rasa serta bau yang tidak

enak, warna yang kurang menarik dan memperpanjang daya simpan sebelum

digunakan kembali (Naomi et al., 2013).


a. Penghilangan bumbu (despicing)

Penghilangan bumbu (despicing) merupakan proses pengendapan dan

pemisahan kotoran akibat bumbu dan kotoran dari bahan pangan yang bertujuan

menghilangkan partikel halus tersuspensi atau berbentuk koloid seperti protein,

karbohidrat, garam, gula, dan bumbu rempah-rempah yang digunakan

menggoreng bahan pangan. Alat yang digunakan untuk proses penghilangan

bumbu (despicing) pada percobaan ini adalah kertas saring (Ketaren, 2008)

b. Netralisasi

Netralisasi merupakan proses untuk menurunkan nilai asam lemak bebas

(FFA) dari minyak goreng bekas dengan mereaksikan asam lemak bebas (FFA)

tersebut dengan larutan basa. Sabun yang terbentuk pada awal proses netralisasi

tidak dapat larut dalam minyak dan dapat dipisahkan dengan cara sentrifusi.

Selain itu proses netralisasi juga untuk menghilangkan bahan penyebab warna

gelap, sehingga minyak menjadi lebih jernih. Bahan yang digunakan untuk proses

penetralisasian pada percobaan ini adalah Natrium Hidroksida (NaOH) (Naomi et

al., 2013).

c. Pemucatan (Bleaching)

Pemucatan (bleaching) adalah usaha untuk menghilangkan zat warna alami

dan zat warna lain yang merupakan degradasi zat alamiah, pengaruh logam dan

warna akibat oksidasi (Hardian et al., 2014).


2.3.4 Bahan Penunjang Proses Pemurnian Minyak Goreng Bekas

Dalam proses pemurnian minyak goreng bekas pada peniletian ini bahan yang

digunakan adalah :

a. Bentonit

Salah satu metode yang dianggap sederhana, ekonomis dan mudah untuk

perbaikan kualitas minyak goreng adalah dengan cara adsorpsi. Ada yang

menggunakan karbon aktif untuk mengadsorpsi material organik terlarut.

Tingginya harga adsorben karbon aktif serta sulitnya diregenerasi, menjadi

gagasan untuk mencari material lain sebagai penggantinya. Diantara jenis

adsorben yang ada bentonit bisa menjadi alternatif pengganti karbon dalam proses

adsorpsi karena bentonit mempunyai struktur berlapis dengan kemampuan

mengembang (Dewi & Hidajati, 2012).

Bentonit termasuk mineral lempung yang memiliki sifat mudah mengembang,

memiliki kation-kation yang dapat dipertukarkan dan luas permukaan yang cukup

besar. Sifat-sifatnya tersebut menjadikan bentonit cocok dimanfaatkan sebagai

adsorben. (Dewi & Hidajati, 2012).

2.3.5 Penentuan Sifat Minyak dan Lemak

a. Penentuan Kadar Asam Lemak Bebas (FFA)

Angka asam dinyatakan sebagai jumlah miligram NaOH yang diperlukan


untuk menetralkan asam lemak bebas yang terdapat dalam satu gram minyak atau

lebih. Angka asam yang besar menujukkan asam lemak bebas yang besar yang

berasal dari hidrolisa minyak atau karena proses pengolahan yang kurang baik,

semakin tinggi angka asam semakin rendah kualitasnya Tingginya asam lemak

bebas pada sabun akan mengurangi daya pembersih.(Kamilah et al., 2014)

Kadar asam lemak bebas sabun dapat dipengaruhi oleh kadar asam lemak

minyak yang digunakan dan jumlah basa yang digunakan (Hardian et al., 2014).

b. Penentuan Kadar Air

Kadar air merupakan banyaknya air yang terdapat didalam bahan yang

dinyatakan dalam persen. Rata-rata kadar air sabun dapat dipengaruhi oleh kadar

air minyak yang digunakan dalam pembuatn sabun (Hardian et al., 2014).

Prinsip kadar air adalah menguap air, selisih penimbangan gram berair dengan

garam yang telah dikeringkan adalah kandungan air (berat air) dalam garam.

Permukaan yang luar dari sampel dapat mempercepat penguapan air (Kamilah et

al., 2014).

2.4 Lidah Buaya (Aloe Vera (L.) Webb.)

Lidah buaya dikenal sebagai tanaman hias dan banyak digunakan sebagai

bahan dasar obat-obatan dan kosmetik. Lidah buaya sering dikenal dengan

Aloe vera disajikan secara visual pada Gambar 2.1. Selain berfungsi sebagai

antiseptik, lidah buaya juga dapat menghaluskan dan melembabkan kulit. Hal

ini disebabkan karena lidah buaya mengandung lignin yang mampu


menembus dan meresap ke dalam kulit serta menahan hilangnya cairan tubuh

dari permukaan kulityang menyebabkan kulit tidak cepat kering sehingga

mengurangi iritasi pada kulit dan terjaga kelembabannya (Gusviputri et al.,

2013).

Dalam lidah buaya terdapat komponen aktif yaitu saponin yang

mempunyai kemampuan untuk membunuh mikroorganisme. Saponin larut

dalam air dan etanol, tetapi tidak larut dalam eter. Saponin dalam lidah buaya

akan menghasilkan busa apabila bercampur dengan air. Zat ini berfungsi

sebagai antiseptik. Saponin berfungsi sebagai pembersih dan memiliki sifat-

sifat antiseptik. Saponin memiliki karakteristik berupa buih. Sehingga ketika

direaksikan dengan air dan dikocok, maka akan terbentuk buih yang dapat

bertahan lama. Kadar saponin dalam lidah buaya sekitar 5,651% per 100 gram

(Gusviputri et al., 2013)

Sumber : Gusviputri et al., 2013

Gambar 2. Lidah Buaya

Lidah buaya yang baru dipetik harus langsung diolah agar tidak terjadi
reaksi browning. Reaksi browning merupakan proses pembentukan pigmen

berwarna kuning yangakan segera menjadi coklat gelap. Reaksi ini terjadi

karena adanya oksigen dan cahaya yang menyebabkan terjadinya reaksi

oksidasi terhadap senyawa-senyawa anthraquinone. Reaksi browning akan

semakin reaktif dengan adanya cahaya. Pembentukan warna coklat gelap

tersebut akan semakin cepat pada temperatur di atas 45 oC. Cara yang dapat

dilakukan untuk menghambat reaksi browning adalah dengan menambahkan

asam sitrat (Gusviputri et al., 2013).

2.4 Saponifikasi

Proses pembuatan sabun dikenal dengan istilah saponifikasi. Saponifikasi

merupakan hidrolisis asam lemak oleh adanya basa (NaOH). Sabun mengandung

C12 dan C16, selain itu juga mengandung asam karboksilat. Saponifikasi juga

merupakan reaksi antara asam lemak dengan basanya yang menghasilkan sabun

dan gliserol yang merupakan produk samping. Saponifikasi dipengaruhi oleh suhu

operasi, konsentrasi, dan pengadukan (Husnah et al,, 2019).

2.5.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Saponifikasi

Dalam pembuatan sabun, ada beberapa faktor yang harus diperhatikan.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi proses saponifikasi adalah : (Hasibuan

et al., 2019).
a. Konsentrasi Larutan Alkali

Konsentrasi alkali yang digunakan dihitung berdasarkan stoikiometri reaksi,

dimana penambahan minyak harus sedikit berlebih agar sabun yang terbentuk

tidak memiliki nilai alkali bebas berlebih. Alkali terlalu pekat akan menyebabkan

terpecahnya emulsi pada larutan sehingga fasenya tidak homogen, sedangkan jika

alkali yang digunakan terlalu encer, maka reaksi akan membutuhkan waktu yang

lebih lama (Hasibuan et al., 2019).

b. Suhu

Ditinjau dari segi termodinamika, kenaikan suhu akan menurunkan rendemen

sabun, hal ini dapat dilihat dari persamaan (1) berikut :

d ln K ΔH
= … … … … ..(1)
dT RT

Karena reaksi penyabunan merupakan reaksi eksotermis (𝝙H negatif), maka

dengan kenaikan suhu akan dapat memperkecil harga K (konstanta

keseimbangan), tetapi jika ditinjau dari segi kinetika, kenaikan suhu akan

menaikan kecepatan reaksi (Hasibuan et al., 2019).

c. Pengadukan

Pengadukan dilakukan untuk memperbesar probobalitas interaksi molekul-

molekul reaktan yang bereaksi. Jika interaksi antar molekul reaktan semakin

besar, maka kemungkinan terjadinya reaksi semakin besar pula. Hal ini sesuai

dengan persamaan arhenius dimana konstanta reaksi k akan semakin besar dengan
semakin sering terjadinya interaksi yang disimbolkan dengan konstanta A

(Hasibuan et al., 2019).

d. Waktu

Semakin lama waktu reaksi menyebabkan semakin banyak pula minyak yang

dapat tersabunkan, berarti hasil yang didapat juga semakin tinggi, tetapi jika

reaksi telah mencapai kondisi setimbangnya, penambahan waktu tidak akan

meningkatkan jumlah minyak yang tersabunkan (Hasibuan et al., 2019).

2.5.2 Reaksi Saponifikasi

Reaksi saponifikasi dan struktur dasar senyawa sabun yang dihasilkan dapat

dilihat pada gambar di bawah ini :

Sumber : Fessenden & Fessenden, 1999

Gambar 2. Reaksi saponifikasi dan struktur dasar senyawa sabun


Lemak atau minyak dipanaskan dengan alkali sedikit berlebih. Bila

penyabunan selesai, garam ditambahkan untuk mengendapkan sabun sebagai

padatan. Lapisan air yang mengandung garam, gliserol, dan kelebihan alkali

dipisahkan, dan gliserol dipulihkan lewat penyulingan. Mula-mula reaksi

penyabunan berjalan lambat karena minyak dan larutan alkali merupakan

larutan yang tidak saling larut (immiscible). Setelah terbentuk sabun, maka

kecepatan reaksi akan meningkat, di mana pada akhirnya kecepatan reaksi

akan menurun lagi karena jumlah minyak yang sudah berkurang. Reaksi

penyabunan merupakan reaksi eksotermis, sehingga harus diperhatikan pada

saat penambahan minyak dan alkali agar tidak terjadi panas yang berlebihan.

Pada proses penyabunan, penambahan larutan alkali dilakukan sedikit demi

sedikit sambil diaduk dan dipanasi untuk menghasilkan sabun. Untuk

membuat proses yang lebih sempurna dan merata, maka pengadukan harus

dilakukan dengan lebih baik (Gusviputri et al., 2013).

2.5.3 Bahan- Bahan Penunjang Proses Saponifikasi

a. NaOH

Larutan alkali yang digunakan dalam pembuatan sabun bergantung pada jenis

sabun tersebut. Larutan alkali yang biasa digunakan pada sabun padat adalah

Natrium Hidroksida (NaOH). NaOH adalah salah satu jenis basa kuat. NaOH

berbentuk butiran padat berwarna putih,bersifat higroskopis, masa hablur kering,

sangat alkalis, mudah larut dalam air dan etanol (95%). Ion-ion yang berasal dari
NaOH akan bereaksi dengan asam lemak, sehingga dapat membentuk sabun

Konsentrasi alkali yang digunakan dihitung berdasarkan stoikiometri reaksi,

dimana penambahan minyak harus sedikit berlebih agar sabun yang terbentuk

tidak memiliki nilai alkali bebas berlebih. Alkali terlalu pekat akan menyebabkan

terpecahnya emulsi pada larutan sehingga fasenya tidak homogen, sedangkan jika

alkali yang digunakan terlalu encer, maka reaksi akan membutuhkan waktu yang

lebih lama (Hasibuan et al., 2019).

b. Asam Stearat

Asam stearat merupakan monokarboksilat berantai panjang (C18) yang

bersifat jenuh karena tidak memiliki ikatan rangkap diantara atom karbonnya.

Asam stearat dapat berbentuk cairan atau padatan . pada proses pembuatan sabun,

asam stearat berfungsi untuk mengeraskan dan menstabilkan busa (Hardian et al.,

2014).

c. Etanol

Etanol (etil alkohol) berbentuk cair, jernih dan tidak berwarna, merupakan

senyawa organik dengan rumus kimia C2H5OH. Etanol pada proses pembuatan

sabun digunakan sebagai pelarut karena sifatnya yang mudah larut dalam air dan

lemak Penggabungan etanol dengan asam lemak akan menghasilkan sabun dengan

kelarutan yang tinggi (Hardian et al., 2014).

d. Glukosa
Glukosa merupakan monosakarida yang banyak ditemukan di alam sebagai

produk dari fotosintesis. Glukosa memiliki rumus kimia C6H12O6 dengan berat

molekul 180,18. Berbentuk hablur tidak berwarna, tidak berbau, berasa manis,

mudah larut dalam air, sangat mudah larut dalam air mendidih, larut dalam etanol

mendidih dan sukar larut dalam etanol. Glukosa dapat juga diperoleh melalui

hidrolisis polisakarida atau disakarida baik dengan menggunakan asam maupun

dengan menggunakan enzim. Glukosa mengandung gugus aldehid dan tersusun

atas 6 karbon. Dalam pembuatan sabun transparan, glukosa sering digunakan

sebagai transparent agent yang membuat sabun lebih tampak menarik (Depkes RI,

1995).

e. Gliserin

Gliserin adalah produk samping dari reaksi hidrolisis antara minyak nabati

dengan air untuk menghasilkan asam lemak. Gliserin merupakan humektan

sehingga dapat berfungsi sebagai pelembab pada kulit. Pada kondisi atmosfer

sedang ataupun pada kondisi kelembaban tinggi, gliserin dapat melembabkan kulit

dan mudah dibilas. Gliserin berbentuk cairan jernih, tidak berbau, an memiliki

rasa manis (Hardian et al., 2014).

2.5 Sabun

Sabun adalah garam logam alkali (biasanya garam natrium) dari asam-asam

lemak. Sabun mengandung terutama garam C16 dan C18, namun dapat juga

mengandung beberapa karboksilat dengan bobot atom lebih rendah.


Kemungkinan sabun ditemukan oleh orang Mesir kuno beberapa ribu tahun

yang lalu oleh suku bangsa-suku bangsa Jerman dilpaorkan oleh Julius Caesar.

Kegunaan sabun ialah kemapuannya mengemulasi kotoran berminyak sehingga

dapat dibuang dengan pembilasan. Sabun termasuk dalam kelas umum senyawa

yang disebut surfaktan, yakni senyawa yang dapat menurunkan tengangan

permukaan air (Fessenden & Fessenden, 1999).

2.5.1 Jenis-Jenis Sabun

Sabun ada yang berwujud cair dan ada yang berwujud padat . selain itu, sabun

mempunyai jenis yang beraneka ragam, misalnya sabun mandi, subun cuci, sabun

tangan, dan sabun muka. Berikut pembahasan singkatnya : (Lutfi, 2006)

a. Sabun Mandi

Sabun mandi adalah bahan pembersih yang sangan=t populer dan biasa

digunakan setiap hari. Sabun mandi ada yang berbentuk padat dan ada yang

berbentuk cair. Sabun ini digunakan untuk membersihkan sebu atau kotoran

berupa lemak dan minyak yang menempel pada kulit tubuh (Lutfi, 2006)

b. Sabun Cuci

Sabun cuci dapat digunakan untuk mencuci piring, gelas, sendok, dan

peralatan dapur. Sabun cuci yang ada berbentuk cair dan ada yang berbentuk

krim. Sabun cuci berbentuk krim biasanya merupakan sabun serbaguna yang

dapat juga digunakan untuk mencuci pakaian (Lutfi, 2006).


c. Sabun Tangan

Sabun tangan biasanya berwujud cair. Gunanya untuk membersihkan tangan

dari kotoran (Lutfi, 2006)

d. Sabun Muka

Sabun muka berfungsi untuk mengikat kotoran berupa debu, minyak, dan

keringat yang menempel pada kulit muka (Lutfi, 2006).

2.5.2 Sifat-Sifat Sabun

Sifat – sifat sabun yaitu : (Naomi et al., 2013)

a. Sabun bersifat basa. Sabun adalah garam alkali dari asam lemak suku tinggi

sehingga akan dihidrolisis parsial oleh air. Karena itu larutan sabun dalam air

bersifat basa. CH3(CH2)16COONa+ H2O → CH3(CH2)16COOH +

NaOH

b. Sabun menghasilkan buih atau busa. Jika larutan sabun dalam air diaduk maka

akan menghasilkan buih, peristiwa ini tidak akan terjadi pada air sadah. Dalam

hal ini sabun dapat menghasilkan buih setelah garam- garam Mg atau Ca

dalam air mengendap. CH3(CH2)16COONa + CaSO4 →Na2SO4

+Ca(CH3(CH2)16COO)2

c. Sabun mempunyai sifat membersihkan. Sifat ini disebabkan proses kimia

koloid, sabun (garam natrium dari asam lemak) digunakan untuk mencuci

kotoran yang bersifat polar maupun non polar, karena sabun mempunyai

gugus polar dan non polar. Molekul sabun mempunyai rantai hidrogen
CH3(CH2)16 yang bertindak sebagai ekor yang bersifat hidrofobik (tidak suka

air) dan larut dalam zat organic sedangkan COONa+ sebagai kepala yang

bersifat hidrofilik (suka air) dan larut dalam air.

2.5.3 Sabun Mandi Padat

Sabun merupakan garam logam alkali (biasanya garam natrium) dari asam -

asam lemak, terutama mengandung garam C16 (asam palmitat) dan C18 (asam

stearat) namun dapat juga mengandung beberapa karboksilat dengan bobot atom

lebih rendah (Fessenden & Fessenden, 1994).

Sabun dihasilkan dari proses saponifikasi, yaitu hidrolisis lemak menjadi asam

lemak dan gliserol dalam NaOH (minyak dipanaskan dengan NaOH) sampai

terhidrolisis sempurna. Asam lemak yang berikatan dengan natrium ini dinamakan

sabun. Hasil lain dari reaksi saponifikasi ialah gliserol, selain C disusun oleh

gugus asam karboksilat (Ketaren, 1986).

Sifat-sifat sabun yang dihasilkan ditentukan oleh jumlah dan komposisi dari

komponen asam-asam lemak yang digunakan yang sesuai dalam pembuatan sabun

dibatasi panjang rantai dan tingkat kejenuhan. Pada umumnya, panjang rantai

yang kurang dari 12 atom karbon dihindari penggunaanya karena dapat membuat

iritasi pada kulit, sebaliknya panjang rantai yang lebih dari 18 atom karbon

membentuk sabun yang sangat sukar larut dan sulit menimbulkan busa.

Sabun termasuk salah satu jenis surfaktan yang terbuat dari minyak atau

lemak. Surfaktan mempunyai struktur bipolar, bagian kepala bersifat hidrofilik


dan bagian ekor bersifat hidrofobik. Karena sifat inilah sabun mampu mengangkat

kotoran (biasanya lemak) dari badan dan pakaian (Lehninger, 1998).

Setiap molekul sabun memiliki gugus hidrofil dan hidrofob ditulis sebagai

RCOONa+ . Bagian yang berperan aktif dalam sifat deterjennya (busa) ialah

RCOO-. Fungsi dari sabun ialah sebagai pembersih untuk menghilangkan kotoran

dari kulit (Parasuram, 1995).

2.5.4 Standar Mutu Sabun Mandi Padat

Syarat mutu sabun mandi yang ditetapkan SNI 06 - 3532 - 2016 dapat di lihat

pada tabel di bawah ini:

Tabel 2. Syarat mutu sabun mandi

No Kriteria Uji /parameter Satuan Mutu


1 Kadar air % fraksi massa Maks. 15,0
2 Total lemak % fraksi massa Min. 65,0
3 Bahan tak larut dalam etanol % fraksi massa Maks. 5,0
4 Alkali bebas (dihitung sebagai % fraksi massa Maks. 0,1

NaOH)
5 Asam lemak bebas (dihitung % fraksi massa Maks. 2,5

sebgai asam oleat)


6 Kadar klorida % fraksi massa Maks. 1,0
7 Lemak tidak tersabunkan % fraksi massa Maks. 0,5
CATATAN : alkali bebas atau asam lemak bebas merupakan pilihan bergantung

pada sifatnya asam atau basa


Sumber : SNI 06 - 3532 – 2016

Keterangan Tabel 2.2 :


 Tipe I (sabun padat) dengan menggunakan NaOH

 Tipe II (sabun cair) dengan menggunakan KOH

pH merupakan salah satu parameter yang penting dalam penentuan mutu

sabun padat, karena nilai pH menentukan kelayakan sabun untuk digunakan

sebagai sabun mandi. Menurut SNI pH sabun padat berkisar antara 9 – 11

(Hasibuan et al., 2019).

2.6 Penentuan Karakteristik atau Mutu Sabun Mandi Padat

2.7.1 Kadar Alkalinitas

Peningkatan jumlah NaOH akan meningkatkan alkali bebas dari sabun yang

terbentuk pada proses pembuatan sabun, terutama setelah titik kesetaraannya telah

terlewati. Setelah titik kesetaraan terlewati, peningkatan konsentrasi NaOH akan

meningkatkan alkali bebas sabun (Prihanto & Irawan, 2018).

Alkali bebas merupakan jumlah alkali atau basa yang tidak tersabunkan atau

sisa alkali yang tidak dapt bereaksi dengan minyak. Pemberian basa yang terlalu

banyak menyebabkan sabun yang berbentuk sangat keras, berwarna putih, dan

terasa gatal dikulit, sedangkan pemberian basa yang kurnag akan menyebakan

masih adanya minyak pada sabun diperoleh (Kamilah et al., 2014).


2.7.2 Derajat Keasamaan (pH)
Nilai pH merupakan karakteristik yang sangat penting dalam menentukan

mutu sabun. Sabun yang baik memiliki pH yang tidak jauh dari kulit (5,5-6,5).

Nilai pH yang terlalu tinggi dapat menyebabkan iritasi dan dehidrasi kulit. pH

kulit manusia bersifat asam. Nilai pH tersebut merupakan asam pelindung bagi

kulit dan batas pH pada sabun tidak boleh terlalu basa karena dapt menyebabkan

kulit menjadi kering serta akan membunuh mikroorganisme yang dapat menjaga

permukaan kulit. pH sabun yang terlalu basa yaitu 10-12 dianggap sebagai

penyebab iritasi. Nilai pH dapat dikontrol dengan penambahan asam sitrat, asam

karboksilat, dan asam klorida yang menurunkan pH sabun (Hardian et al., 2014).

2.7 Metode Analisa Uji Krakteristik Sabun Mandi Padat

2.8.1 Metode Titrimetri untuk Penentuan Kadar Alkalinitas

Metode titrimetri yang dikenal sebagai metode volumetri merupakan analisa

kuantitatif yang didasarkan pada prinsip stoikiometri reaksi kimia. Analisis

volumetri juga dikenal sebagai titrimetri, dimana zat yang akan dianalisis

dibiarkan bereaksi dengan zat lain yang konsentrasinya diketahui dan dialirkan

dari buret dalam bnetuk larutan. Konsentrasi larutan yang tidak diketahui (analit)

kemudian dihitung. Syaratnya adalah reaksi harus berlangsung secara cepat, reaksi

berlangsung kuantitatif dan tidak ada reaksi samping. Selain itu reagen penitrasi

yang berlebih, maka harus dapat diketahui dengan suatu indikator (Khopkar,

2010).
Suatu titrasi adlaah cara yang sangat berguna untuk menentukan konsentrasi

dari larutan asam-asam dan basa-basa asala saja titik ekuivalennya dapat

ditentukan. Titik ekuivalen terjadi apabila jumlah yang sama dari ekuivalen asam

dan basa dicampur pH suatu larutan berubah sewaktu titrasi asam basa

berlangsung dan berapa pHnya pada titik ekuivalen. Dalam titrai asam basa

dimana salah satu zat kuat dan lainnya lemah pada titik ekuivalennya, larutan

netral karena salah satu ion dari garm yang terbentuk dapat berfungsi sebagai

garam asam atau basa (Brady, 2002).


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian Pengaruh Waktu Reaksi Proses Saponifikasi Terhadap Kadar

Alkalinitas dan pH pada pembuatan Sabun Mandi Padat dari Minyak Goreng

Bekas akan dilakukan selama ± 6 bulan dari bulan Februari hingga bulan Juli

2020. Pelaksaan penelitian dan proses analisa kualitas produk uji kadar alkalinitas

dengan metode titrimetri dan uji pH dengan alat pH meter dilakukan juga di

Laboratorium Riset Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Samarinda.Bahan

baku yang digunakan diambil dipengusaha kerupuk yang dimiliki oleh Bapak

Suyadi di Kelurahan Bukuan, Kecamatan Palaran, Kota Samarinda.

3.2 Rancangan Penelitian

A. Variabel Berubah

1. Waktu reaksi : 45 menit, 60 menit, 75 menit, 90 menit, 105 menit, 120

menit

2. Volume Lidah buaya : 4 ml, 8 ml, 12 ml, 16 ml, 20 ml, 24 ml

B. Variabel Tetap

1. Konsentrasi NaOH : NaOH 30%

2. Suhu reaksi : 700C


C. Variabel Respon

1. Analisa kualitas minyak

a. Analisa asam lemak bebas (SNI 01-3555-1996)

b. Kadar air (SNI 01-3555-1996)

2. Analisa kualitas sabun mandi padat

a. Kadar alkalinitas (ASTM D 460-91 2014)

b. pH sabun mandi padat (ASTM D 1172-95)

3.3 Alat dan Bahan

a. Alat

1. Neraca analitis

2. Hotplate

3. Baeker glass 500 ml

4. Baeker glass50 ml

5. Pipet tetes

6. Pipet ukur 25 ml

7. Buret 50 ml

8. Magnetik stirer

9. Klem

10. Statif

11. Erlenmeyer bertututp 250 ml

12. Kertas saring whatman no 41

13. Alumunium foil


14. Cawan porselen

15. Oven

16. Desikator

17. Stirer

18. Cetakan sabun

19. pH meter

b. Bahan

1. Minyak goreng bekas

2. Lidah buaya

3. Bentonit

4. Alkohol netral

5. Indikator Fenolftalein (PP)

6. NaOH 0,1 N

7. NaOH 30%

8. Asam stearat

9. Gliserin

10. Etanol 96%

11. Sukrosa

12. Pewangi perasam lemon

13. HCL 0,1 N

14. Asam sitrat


3.4 Prosedur Penelitian

3.4.1 Diagram Alir Penelitian

Minyak Goreng Bekas

Penghilangan kotoran minyak goreng bekas dengan penyaringan

Pemucatan (bleaching) minyak dengan pemanasan pada suhu 700C

Pemurnian minyak dengan bentonit selama 60 menit pada suhu 700C

Analisa bahan baku minyak setelah pemurnian


Uji asam lemak bebas (SNI 01-3555-1996)
Kadar air (SNI 01-3555-1996)

Preparasi lidah buaya


Pemisahan daging dan gel lidah buaya dari kulit lidah buaya

Sterilisasi gel lidah buaya dengan pemanasan hingga suhu 450C

Pendinginan gel lidah buaya

Stabilisasi gel lidah buaya dengan penambahan asam sitrat

Proses saponifikasi
Pencampuran minyak yang telah dianalisa dengan asam stearat
Pemanasan pada suhu 700C

Penambahan NaOH 30% kedalam campuran sambil diaduk perlahan

Penambahan glukosa dan gliserin kedalam campuran

Penambahan gel lidah buaya sambil dilakukan pengadukan

Pengadukan campuran dengan variasi waktu (45 menit, 60 menit, 75


menit, 90 menit, 105 menit, dan 120 menit) pada suhu 700C

Peletakan sabun pada cetakan sabun dan pemadatan selama 1 minggu

Analisa kualitas sabun mandi padat


Uji kadar alkalinitas (ASTM D 460-91)
Uji pH sabun mandi padat (ASTM D 1172-95)

Gambar 3. Diagram alir penelitian


3.4.2 Prosedur Penelitian

a. Preparasi Bahan Baku

1. Penghilangan Kotoran

a. Menyaring minyak goreng bekas menggunakan kertas saring whatman

no 41

2. Pemucatan (bleaching)

a. Memanaskan pada suhu 700C menggunakan hotplate.


b. Kemudian memasukkan bentonit 35 gram pada masing -masing 100

ml minyak goreng bekas hasil penghilangan kotoran kedalam

erlenmeyer 250 ml.

c. Mengaduknya dengan stirer selama 60 menit dengan suhu 700C

d. Selanjutnya menyaring minyak dengan menggunakan kertas saring

whatman no 41

b. Analisa Bahan Baku

1. Uji KadarAsam Lemak Bebas

a. Menimbang minyak dengan neraca analitis sebanyak 28,2 ± 0,2 gram

dan memasukkannya kedalam erlenmeyer 250 ml

b. Menambahkan 50 ml alkohol netral panas dan 2 ml indikator PP

kedalam sampel.

c. Kemudian menitrasinya menggunakan NaOH 0,1 N sampai terjadi

perubahan warna dari tidak berwarna menjadi merah jambu yang tidak

hilang selama 30 detik.

2. Kadar Air

a. Memanaskan cawan porselen yang bersih dalam oven suhu 105 0C

selama 30 menit.

b. Kemudian mendinginkannya dalam desikator.

c. Menimbang cawan dengan neraca analitis hingga diperoleh bobot

konstan cawan kosong-kering.

d. Menimbang sampel minyak sebanyak 2 gram dalam cawan tersebut


e. Kemudian memanaskannya dalam oven dengan suhu 1050C selama 4

jam

f. Mendinginkan sampel dalam desikator selama kurang lebih 15 menit

dan menimbangnya kembali

g. Melakukan pengisian hingga sampai diperoleh bobot konstan

c. Preparasi Lidah Buaya

1. Memisahkan daging dan gel lidah buaya dari kulit lidah buaya dan

menghancurkannya dengan menggunakan belender.

2. Menstrerilisasi lidah buaya dengan memanaskannya hingga suhu 450C

menggunakan hotplate

3. Lalu mendinginkan gel lidah buaya

4. Menambahkan asam sitrat untuk menstabilisasi gel lidah buaya

d. Proses Saponifikasi

1. Mencampurkan minyak 200 ml dan asam stearat 13,75 gram kedalam

Baeker glass 500 ml

2. Memanaskan campuran dengan menggunakan hotplate pada suhu 700C.

3. Menambahkan NaOH 30% sebanyak 60 ml secara perlahan-lahan kedalam

campuran tersebut, kemudian mengaduknya menggunakan stirer.

4. Menambahkan 16 gram glukosa dan 22 ml gliserin kedalam campuran

tersebut sambil tetap mengaduk dan memanaskannya.

5. Menambahkan 22 ml etanol 96% kedalam campuran tersebut sambil tetap

mengaduk dan memanaskannya.


6. Menambahkan gel lidah buaya dengan variasi penambahan 4 ml, 8 ml, 12

ml, 16 ml, 20 ml, 24 ml.

7. Mengaduk campuran tetap pada suhu 700C dengan variasi waktu reaksi 45

menit, 60 menit, 75 menit, 90 menit, 105 menit, dan 120 menit.

8. Setelah selesai proses saponifikasi, kemiduan memasukkan campuran

kedalam cetakan sabun, dan membiarkan sabun hingga memadat.

e. Analisa Produk

1. Analisa Kadar Alkalinitas

a. Menimbang 5 gram sabun dengan neraca analitis dan memasukkan

kedalam erlenmeyer 250 ml.

b. Menambahkan alkohol netral sebanyak 25 ml kedalam erlenmeyer 250

ml dan mengadukkanya hingga homogen.

c. Menambahkan 3 tetes indikator phenolfthalein kedalam larutan.

d. Menitrasi larutan dengan HCl 0,1 N menggunakan buret 50 ml hingga

warna merah jambu hilang.

e. Menghitung kadar alkalinitas

2. Pengukuran Derajat Keasaman (pH)

a. Menimbang 10 gram sabun dengan menggunakan neraca analitis.

b. Melarutkan sabun dengan 100 ml aquadest dalam erlenmeyer 250 ml.

c. Mencelupkan pH meter yang telah dikalibrasi atau dinetralkan dalam

larutan sabun.

d. Melihat hasil pada pH meter, kemudian mencatatnya.


DAFTAR RUJUKAN

Adhari, H. ;, Yusnimar;, & Utami, S. P. (2016). Pemanfaatan Minyak Jelantah

Menjadi Biodiesel Dengan Katalis Zno Presipitan Zinc Karbonat : Pengaruh

Waktu Reaksi Dan Jumlah Katalis. Jom FTEKNIK, 3(2), 1–7.

Brady, J. E. (2002). Kimia Universitas Asas dan Struktur Jilid 1. Jakarta:

Binapura Aksara.

Depkes RI. (1995). Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen

Kesehatan RI.

Dewi, M. T. I., & Hidajati, N. (2012). Peningkatan Mutu Minyak Goreng Curah

Menggunakan Adsorben Bentonit Teraktivasi. UNESA Journal of Chemistry,

1(2), 47–53.

Djatmiko, D., & A.P, W. (1973). Minyak dan Lemak. Bogor: Departemen THP

IPB.

Fessenden, R. ., & Fessenden, J. . (1994). Kimia Organik Edisi Ketiga (3rd ed.).

Jakarta: Erlangga.

Fessenden, R. ., & Fessenden, J. . (1999). Kimia Organik Edisi ketiga Jilid 2.

Jakarta: Erlangga.

Gusviputri, A., Meliana, N., Aylianamawati, & Indraswati, N. (2013). Pembuatan

Sabun dengan Lidah Buaya (Aloe Vera) sebagai Antiseptik Alami. Widya

Teknik, 12(1), 11–21.


Hardian, K., Ali, A., & Yusmarini. (2014). Evaluasi Mutu Sabun Padat

Transparan dari Minyak Goreng Bekas dengan Penambahan SLS (Sodium

Lauryl Sulfate) dan Sukrosa. Jom Faperta, 1(2), 5.

Hasibuan, R., Adventi, F., & Rtg, R. . (2019). Pengaruh Suhu Reaksi, Kecepatan

Pengadukan dan Waktu Reaksi pada Pembuatan sabun Padat dari Minyak

Kelapa(Cocos nucifera L.). Jurnal Teknik Kimia USU, 8(1), 11–17.

https://doi.org/10.32734/jtk.v8i1.1601

Holyoake, G. . (1859). The skin, baths, Bathing & Soap. London: Francis Pears.

Husnah, Effendi, T., & Ompusunggu, F. (2019). Pengaruh Penamabahan Ekstrak

Daun Kelor terhadap Warna, Aroma, Tekstur, Daya Buih, pH pada

Pembuatan Sabun Mandi Padat. Jurnal Teknik Kimia, 4(1), 44–51.

Kamilah, A., Kurnia, A., Seruni, M., & Ananda, T. U. (2014). Analisis dan

Pembuatan Sbun Transparan Antiseptik dari Minyak VCO dan Ekstrak Daun

Sirih Merah. Jurnal SMAKPA, 06(02), 1–54.

Ketaren, S. (1986). Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI Press.

Ketaren, S. (2008). Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI

Press.

Khopkar, S. . (2010). Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI Press.

Lehninger, A. . (1998). Dasar-Dasar Biokimia Jilid 1. Jakarta: Erlangga.


Lutfi. (2006). IPA Kimia SMP dan MTs Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Naomi, P., Gaol, A. M. L., & Toha, M. Y. (2013). Pembuatan Sabun Lunak dari

Minyak Goreng Bekas Ditinjau dari Kinetika Reaksi Kimia. Jurnal Teknik

Kimia, 19(2), 42–48.

Parasuram, K. . (1995). Soap and Detergents. London: Mc. Graw Hill Book

Company.

Prihanto, A., & Irawan, B. (2018). Pemanfaatan Minyak Goreng Bekas Menjadi

Sabun Mandi. Metana, 14(2), 55–59.

https://doi.org/10.14710/metana.v14i2.11341

Putra, E. P. D., Ismanto, S. D., & Silvy, D. (2019). Pengaruh Penggunaan Gel

Lidah Buaya (Aloe Vera) Pada Pembuatan Sabun Cair Dengan Pewangi

Minyak Nilam (Patchouli Oil). Teknologi Pertanian Andalas, 23(1), 10–18.

Soderma, P. (1985). Ilmu Gizi. Jakarta: Dian Rakyat.

Anda mungkin juga menyukai