Anda di halaman 1dari 11

GEOPOLITIK INDONESIA ERA GLOBAL

Prof. Dr. Wasino, M.Hum.


Guru Besar Sejarah Universitas Negeri Semarang

A. Alam Indonesia; Ambang Persimpangan Konstruksi/Destruksi Bangsa


Indonesia adalah sebutan lain untuk merepresentasikan segala bentuk
keajaiban yang diciptakan oleh Tuhan sebagai bukti kekayaan-Nya. Segala
sesuatu yang mendiami wilayah Indonesia sejak dulu kala hingga saat ini
merupakan sumber daya yang memiliki potensi konstruktif maupun destruktif
dalam paradigma pembangunan. Alam merupakan sumber daya
penyedia/supplier segala kebutuhan penghuninya (manusia, hewan, tumbuhan,
dll.). Masing-masing penghuni memiliki karakteristik tersendiri dalam
pengelolaan, penggunaan, atau pemanfaatan sesuai dengan taraf keunggulan.
Manusia merupakan anasir dengan kelebihan paling unggul di antara
penghuni lainnya. Bekal akal yang menjadi pembeda memiliki potensi
konstruktif/destruktif terhadap anasir lain dengan status sebagai sesama
penghuni bumi pertiwi Nusantara. Perjalanan sejarah telah membuktikan bahwa
peradaban yang dibangun oleh manusia telah mampu mengubah wajah zaman
dari waktu ke waktu. Dinamika pembangunan yang dilakukan oleh manusia
digencarkan dengan berbagai macam cara, diantaranya adalah dengan
mengonstruksi melalui jalan mendestruksi suatu keadaan tertentu.
Proses destruksi dalam hal ini dapat dilihat melalui beberapa sudut
pandang. Untuk melakukan suatu pembangunan, manusia melakukan
modifikasi/rekayasa situasi baik dari segi kondisi alam maupun kondisi sosial.
Misalnya, untuk membangun suatu gedung/sarana umum manusia harus
mendestruksi material-material tertentu dari alam. Di satu sisi hal demikian
berguna bagi manusia, namun di sisi lain tidak jarang manusia melalaikan upaya
pelestarian alam. Demikian halnya pendestruksian terhadap alam, kondisi sosial
pun seringkali mengalami hal serupa. Untuk mencapai taraf/derajat tertentu
adakalanya manusia baik secara individual maupun kelompok mendestruksi
struktur yang sudah ada tanpa menghiraukan keberlangsungan kehidupan
harmonis di masa depan.

1
Kondisi Indonesia dengan segala perwujudannya membutuhkan
perlakuan/treatment tersendiri mengingat coraknya yang tidak homogen.
Sumber daya alam dan sumber daya manusia Indonesia merupakan keragaman
berganda yang menjadi tulang punggung tegaknya pembangunan. Kedudukan
manusia dengan keunggulan akalnya perlu mendapatkan prioritas tersendiri
mengingat perannya sebagai penggerak peradaban. Pembangunan manusia
merupakan kunci gerbang utama untuk mewujudkan Indonesia harmonis.
Manusia dalam hal ini memiliki multi-tugas tidak ringan, yakni membangun
harmonisasi dengan dirinya serta dengan alam sekitar di antaranya. Melalui cara
pandang yang benar terhadap lingkungannya, manusia Indonesia diharapkan
dapat melakukan tugas mulia itu dengan sebaik-baiknya.
B. Geomorfologi dan Geopolitik Indonesia
1. Konsep Geomorfologi dan Geopolitik
Pembahasan negara dari perspektif geomorfologi (stuktur luar topografi
bumi) merupakan hal penting sebelum menuju pembahasan seputar
geopolitik. Hal demikian karena kondisi fisik suatu negara memengaruhi
segala bentuk kebijakan yang akan ditempuh dalam penyelenggaraan suatu
negara. Setelah abad XIX, perkembangan geopolitik dipengaruhi oleh
orentasi manusia pada konstelasi wilayah. Pada masa lalu sebelum abad XIX,
pengertian negara identik dengan tanah sehingga banyak bangsa menamakan
negaranya dengan unsur tanah, misalnya England, Holland, Poland, atau
Thailand.
Negara berdasarkan bentuk geografinya dapat dibedakan dalam dua
yaitu, pertama dikelilingi daratan (land lock country); dan yang kedua
berbatasan dengan laut, yang kemudian dapat dibedakan menjadi: (1) negara
pulau (oceanic archipelago), (2) Negara pantai (coastal archipelago), (3) negara
kepulauan (archipelago). Secara morfologis, Indonesia merupakan negara yang
didominasi oleh wilayah perairan dengan taburan pulau kurang lebih
sebanyak 17.500 dengan berbagai ukuran. Kondisi demikian menjadikan
Indonesia secara morfologis sebagai negara dengan azas kepulauan. Adapun
pengertian Azas Kepulauan berdasarkan UNCLOS 1982 adalah Kepulauan

2
sebagai suatu kesatuan utuh wilayah yang batas-batasannya ditentukan oleh laut,
dalam lingkungan terdapat pulau-pulau dan gugusan pulau-pulau. Selain itu,
kepulauan dapat diartikan: gugusan pulau-palau dengan perairan diantaranya
dan angkasa di atasnya sebagai kesatuan utuh, dengan unsur air sebagai
penghubung. Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa laut
yang terdapat di Indonesia bukan merupakan pemisah, melainkan laut
merupakan pemersatu antara satu pulau dengan pulau yang lainnya.
Kondisi fisik suatu negara memengaruhi segala bentuk kebijakan yang
akan ditempuh dalam penyelenggaraannya. Kebijakan suatu negara yang
diambil berdasarkan kondisi fisik itulah yang disebut sebagaik geopolitik.
Geopolitik (geo berasal dari Bahasa Yunani, yang berarti bumi) adalah politik
yang tidak lepas dari pengaruh letak dan kondisi geografis bumi yang
menjadi wilayah hidup. Dalam hal tersebut manusia tentu saja memiliki
peranan dalam setiap dinamika/perubahan yang ada di bumi tersebut.
2. Perkembangan Konsep Geopolitik
Pada abad ke-19 Friederich Ratzel (1897) mengemukakan geopolitik
sebagai pelengkap ilmu bumi politik. Dalam ilmu bumi politik yang
dilaksanakan pada waktu yang lalu, pengertian geopolitik itu diarahkan pada
pengertian ekspansi (perluasan) wilayah (lebensraum). Inti politik adalah
kekuatan, terdapat dua macam yang dikenal sejauh ini yaitu kekuatan
jasmaniah (fisik) dan kekuatan mental (agama, ideology, ilmu).
Teori yang dikemukakan Ratzel dalam konsepsinya dipengaruhi oleh
ahli biologi Charles Darwin. Ia menyamakan negara sebagai makhluk hidup
yang makin sempurna serta membutuhkan ruang hidup yang makin meluas
karena kebutuhan. Dalam teorinya, bahwa bangsa yang berbudaya tinggi
akan membutuhkan sumber daya yang tinggi dan akhirnya mendesak
wilayah bangsa yang “primitif”. Pendapat ini dipertegas Rudolf Kjellen (1864-
1922) dengan teori kekuatan, yang pada pokoknya menyatakan bahwa negara
adalah satuan politik yang menyeluruh serta sebagai satuan biologis yang
memiliki intelektual. Dengan kekuatannya, ia mampu mengeksploitasi

3
negara “primitif” agar negaranya dapat swasembada. Beberapa pemikir
sering menyebutnya sebagai Darwinisme social.
Karl Haushofer selanjutnya meneruskan teori Ratzel dan Kjellen. Ia
menjadikan geopolitik sebagai ajaran politik yang meliputi ajaran-ajaran
ekspansionisme dengan bentuk ajaran politik geografi, menitikberatkan pada
soal-soal strategi perbatasan, ruang hidup bangsa, dan tekanan-tekanan
rasial, ekonomi, dan sosial sebagai faktor-faktor yang mengharuskan
pembagian baru dan kekayaan alam dunia.
Gagasan tentang geopolitik tidak terlepas dari konsep-konsep kekuatan.
Suatu negara dapat dikatakan berkedudukan atas suatu wilayah apabila
mampu menguasai sektor-sektor ruang tertentu. Para ahli
mengemukakannya sebagai berikut:
a. Konsep kekuatan di darat (wawasan benua) yang dikemukakan oleh Sir
Halford Mackinder dan Karl Haushofer. Menurut pendapat mereka,
negara yang menguasai daerah jantung (Erasia) akan menguasai pulau
dunia dan yang dapat menguasai pulau dunia akan menguasai dunia.
b. Konsep kekuatan di lautan (wawasan bahari) yang dikemukakan oleh Sir
Walter Raleigh dan Alfred Thayer Mahan. Menurut pendapat mereka,
negara yang menguasai lautan akan menguasai perdagangan. Menguasai
perdagangan pasti menguasai dunia.
c. Konsep kekuatan di udara (wawasan dirgantara). Gagasan itu dicetuskan
oleh Mitchell, A. Savensky, Guilio Douchet, dan J. F. Charles Fuller.
Menurut konsep ini kekuatan di udara merupakan daya tangkis yang
ampuh terhadap segala ancaman.
d. Teori daerah batas (rimland) dari Nicholas Spykman merupakan wawasan
gabungan yang banyak diikuti oleh ahli geopolitik dan negarawan dalam
menyusun kekuatan negara dewasa ini.
3. Wawasan Nusantara sebagai Geopolitik Indonesia
Alam Indonesia selayaknya mampu memberi inspirasi besar dalam
penyeleneggaran kehidupan berbangsa dan bernegara tidak terkecuali pada
penentuan sikap geopolitik. Pembukaan UUD 1945 pada alinea IV secara jelas

4
menegaskan bahwa Indonesia memiliki misi untuk mewujudkan perdamaian
dunia dan keadilan sosial. Konsep penguasaan atas wilayah lain dengan
menggunakan kekuatan-kekuatan yang merugikan dalam hal ini jelas
bertentangan dengan amanat pembukaan UUD 45.
Pertanyaan mengenai rumusan tepat geopolitik bangsa Indonesia
kemudian mengemuka, wawasan apakah yang paling tepat untuk
diterapkan? Indonesia merupakan negara kepuluan lengkap dengan
hamparan potensi kekayaan yang ada di darat, laut, dan udara. Dalam hal ini
Indonesia memilih wawasan nusantara sebagai geopolitiknya. Wawasan
nusantara sebagai geopolitik dalam hal ini adalah kebijaksanaan dalam
rangka mencapai tujuan nasional dengan memanfaatkan keuntungan letak
geografis negara berdasarkan pengetahuan ilmiah tentang kondisi geografis
tersebut. Implementasi wawasan nusantara tidak boleh terlepas dari haluan
ideologi bangsa/negara yang dalam hal ini adalah Pancasila.
Latif (2011: 2-4) menyatakan Pancasila adalah warisan jenius nusantara.
Sesuai dengan karakteristik lingkungan alamnya, sebagai negeri lautan yang
ditaburi pulau-pulau, jenius Nusantara juga merefleksikan sifat lautan. Sifat
lautan adalah menyerap dan membersihkan, menyerap tanpa mengotori
lingkungannya. Sifat lautan juga dalam keluasannya mampu menampung
segala keragaman jenis dan ukuran. Selain itu, jenius Nusantara juga
merefleksikan sifat tanahnya yang subur. Tanah yang subur memudahkan
segala hal yang ditanam, sejauh sesuai dengan sifat tanahnya, untuk tumbuh.
Seturut dengan itu, jenius Nusantara adalah kesanggupannya untuk
menerima dan menumbuhkan. Di Indonesia, apapun budaya yang masuk
sejauh dapat dicerna oleh sistem sosial dan tata nilai setempat, dapat
berkembang secara berkelanjutan.
Etos masyarakat Nusantara berisfat religius dan gotong royong. Dalam
rangka meringankan pekerjaan satu sama lain, maka dilakukan secara
bersama-sama. Sifat religius dan sensitivitas kekeluargaan juga memijarkan
daya-daya etis dan estetis yang kuat. Maka, jadilah Nusantara sebagai pusat
persemaian dan penyerbukan silang budaya, yang mengembangkan pelabagi

5
corak kebudayaan yang lebih banyak dibandingkan dengan kawasan Asia
manapun (Oppenheimer dalam Latif, 2011: 3).
Keragaman merupakan keniscayaan/takdir yang tidak dapat ditolak
oleh bangsa Indonesia. Penentangan terhadap kemajemukan merupakan
upaya destruktif yang berkonsekuensi logis merapuhkan simpul-simpul
persatuan. Dengan demikian wawasan nusantara merupakan hal yang perlu
disematkan dalam benak setiap manusia Indonesia. Pengetahuan dan
pemahaman yang benar terhadap keberagaman akan bermuara pada cara
pandang tepat bahwa kemajemukan adalah takdir yang harus dijalankan
dengan penuh hikmat/kebijaksanaan.
C. Merawat Kemajemukan di Era Global-Digital
1. Transformasi Paradigma Citizen ke Netizen
Sejarawan Pierre Chaunu menganggap ledakan teknonolgi informasi dan
komunikasi (TIK) baru pada paruh kedua abad XX menunjukkan revolusi
manusia yang paling kuat sejak zaman Neolithikum. Manusia membutuhkan
waku tiga ribu tahun untuk menyempurnakan tulisan, namun cukup empat
puluh tahun saja untuk meluncurkan revolusi informatika. Giddens (dalam
Chaubet, 2015: 30) menyatakan bahwa modernitas memindahkan orang tidak
hanya secara harfiah, namun juga dalam arti secara tidak langsung
kehadirannya yang jauh dari tempat kita ketika media membuat kita dapat
mengakses dan memersepsikan seisi dunia.
Pada level internasional, globalisasi adalah berkah tetapi juga bisa
menjadi bencana karena setiap detik peluang untuk kontak antar bangsa
semakin terbuka lebar. Pengaruh dan memengaruhi menjadi menu
kehidupan sehari-hari. Negara menjadi semakin ditinggalkan dan batas-batas
kedaulatan telah mati. Terjadi perubahan status kewarganegaraan dari
berupa warga tradisional/citizen berpindah menuju warga negara global
(global village)/netizen. Netizen merupakan metamorfosa yang dilahirkan dari
proses transformasi yang sangat cepat namun bersifat alamiah. Hal tersebut
merupakan peristiwa sejarah yang tidak pernah diduga sebelumnya.
Teknologi internet mampu menciptakan dunia baru yang disebut sebagai

6
galactic network. Konsekuensi logis dari adanya perubahan tersebut adalah
timbulnya cultural shock (gegar budaya) yang tiba-tiba, lahirnya counter culture
(budaya tanding), cultural homogenization (keseragaman budaya), serta
menimbulkan gerakan-gerakan lain yang lebih ekstrem seperti puritanisme
agama, nasionalisme yang makin chauvimistik, meningkatnya holiganisme-
nihilisme, menguatnya ideologi gender, konflik kepentingan, dan
kesalahpahaman antar budaya.
Sebagian aspek dalam kehidupan telah terjamah dengan sistem baru
yang berbasis online, yakni sistem yang memanfaatkan perangkat lunak
berbasis jaringan internet yang dapat terhubungan dengan berbagai sumber
dari manapun. Setiap institusi dan netizen cenderung meningkatkan kinerja
dan prestasi melalui sistem cyberspace. Terjadi perubahan paradigma ekonomi
sebagai akibat dari perkembangan teknologi informasi komunikasi dengan
kemunculan fenomena yang disebut capitalnet. Kapitalnet adalah bentuk
eksploitasi gaya baru dengan menggunakan standarisasi baru berbasis online
yang tidak saja untuk mencari keuntungan berlimpah namun juga melakukan
dominasi gaya untuk kepentingan mereka.
Kecepatan ICT mencampuradukkan peradaban pra-sejarah dan kekinian
terjadi dalam hitungan detik. Kedaulatan ICT telah menandai perubahan
status warga masyarakat dari warga kampug menjadi warga jaringan. Efek
ICT yang terjadi adalah semangat kederajatan dan hilangnya control atau
sensor atas keseragaman. Dengan demikian, manusia telah dikendalikan oleh
sistem nilai dan norma yang melingkunginya (Luhan dan Durkheim dalam
Purwasito, 2015: 11).
ICT telah mampu merekayasa pesan menjadi kekuatan. Setiap orang
atau kelompok orang mempunyai peluang yang besar untuk mempengaruhi
pikiran dan tindakan orang lain apabila berhasil merekayasa pesan melalui
ICT. Orang membangun citra identitas positifnya dengan rekayasa pesan,
tanpa membutuhkan legitimasi, konfirmasi, dan seperangkat bukti-bukti.
Terjadi perubahan paradigma dengan bergulirnya era citizen ke netizen.
Paradigma lama meyakini adanya kekuasaan terpusat dan dikendalikan oleh

7
raja (the power controlled by the King). Paradigma lama mengemukakan bahwa
raja adalah pusat yang mampu mengendalikan segala informasi. Saat ini
pandangan demikian sudah tidak memiliki relevansi signifikan karena
monopoli informasi tidak lagi dimiliki oleh penguasa. Informasi dalam era
netizen dapat menjadi milik siapa saja (anybody control information) dan siapa
saja dapat menjadi sumbernya. Siapa saja dapat melakukan klaim atas
kebenaran tanpa harus menunjukkan bukti serta tanpa membutuhkan
standar moral. Kemerdekaan dan kebebasan informasi kini telah menjadi
kenyataan zaman (Purwasito, 2015: 13).
2. Cyberculture; Tantangan Kebhinnekaan dan Titik Balik Kebangkitan Persatuan
Perkembangan teknologi di bidang informasi dan komunikasi telah
mampu mengubah pola interaksi manusia, baik individu maupun kelompok.
Wujud interaksi yang terjadi dewasa ini tidak terhalang oleh dimensi ruang
dan waktu yang sebelumnya menjadi penyekat. Manusia dengan
mudahkanya menjalin komunikasi dengan siapapun, kapanpun, dan
dimanapun oleh karena keberadaan perangkat komunikasi/gadget yang saat
ini tidak sulit didapatkan. Perkembangan gawai telah memunculkan
paradigma baru dalam komunikasi yakni mendekatkan yang jauh,
memudahkan yang sulit. Di sisi lain terdapat juga permasalahan yang
muncul sebagai bentuk paradoks yakni menjauhkan yang dekat, menyulitkan
yang mudah.
Interaksi manusia saat ini tidak hanya terdapat pada dimensi nyata di
mana proses tersebut tidak tersekat oleh ruang dan waktu, namun itu juga
terjadi pada spektrum ruang maya yang pada saat ini khalayak lebih mudah
memahaminya sebagai „media sosial‟. Nasrullah (2016: 11) mengemukakan
media sosial adalah medium di internet yang memungkinkan pengguna
merepresentasikan dirinya maupun berinteraksi, bekerjasama, berbagi,
berkomunikasi dengan pengguna lain, dan membentuk ikatan sosial secara
virtual. Berdasarkan keragaman bentuknya, terdapat enam kategori besar
sosial media yang ada hingga saat ini, yaitu: 1) media jejaring sosial (social
networking), 2) jurnal online (blog), 3) jurnal online sederhana atau microblog

8
(micro-blogging), 4) media berbagi (media sharing), 5) penanda sosial (social
bookmarking), 6) media konten bersama (wiki). (Nasrullah, 2016: 39).
Distribusi informasi dewasa ini memiliki kecepatan yang sangat tinggi
serta memiliki daya pengaruh yang luas. Hal demikian karena transformasi
warga negara yang awalnya mereka teridentifikasi sebagai citizen namun saat
ini mereka menjelma menjadi netizen. Secara sederhana netizen dapat
dikatakan sebagai warga negara jejaring dengan jangkauan yang hampir
tidak terbatas. Mereka adalah kelompok sosial abad millenial yang
menjalankan suatu mekanisme budaya hibrida baru yang disebut dengan
cyberculture.
Nasrullah (2016: 78) mengemukakan bahwa budaya siber (cyberculture)
adalah praktik sosial maupun nilai-nilai dari komunikasi dan interaksi
antarpengguna yang muncul di ruang siber dari hubungan antara manusia
dan teknologi maupun antarmanusia dengan perantara teknologi. Budaya itu
diproduksi, didistribusikan, dan dikonsumi melalui jaringan internet dan
jaringan yang terbentuk antar pengguna.
Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi situs jejaring
berbasis internet menimbulkan konsekuensi logis secara positif dan negatif.
Secara positif, teknologi tersebut telah membantu manusia dalam banyak hal
dalam berbagai macam aspek. Hal tersebut nampaknya tidak perlu
membutuhkan penjelasan mendalam untuk diuraikan. Ibarat pisau yang
memiliki fungsi ganda, internet dewasa ini telah menjadi medium interaksi
manusia dengan segala ancaman dampak negatifnya.
Terkait dengan dampak negative, O‟Keeffe (2011) mengungkapkan
terdapat beberapa risiko yang dapat terjadi pada pengguna media sosial
terhadap pengguna/user nya di antaranya adalah: (1) Cyberbullying, (2)
Sexting, (3) Facebook Depression. Cyberbullying mengacu pada aktivitas
penyampaian informasi yang salah, mempermalukan, dan penyebaran
informasi yang mengandung unsur permusuhan yang ditujukan pada orang
lain melalui media sosial virtual. Hal itu sering terjadi dalam jaringan
pertemanan dunia maya. Sexting adalah pengiriman, penerimaan, atau

9
meneruskan pesan dan gambar yang mengandung muatan seksual melalui
telepon pintar, kumputer, atau piranti digital lainnya. Survey menunjukkan
bahwa 20% pengguna media sosial internet telah memposting gambar
dan/atau video telanjang atau semi semi-telanjang diri mereka. Facebook
Depression merupakan istilah baru yang digunakan untuk merepresentasikan
tingginya intensitas yang digunakan oleh pengguna/user untuk
menghabiskan waktu mereka di media sosial internet. Menjelajahi media
sosial di internet bagi anak-anak dan remaja dapat dijadikan sebagai wahana
pelarian mereka yang mengalami depresi di dunia nyata.
Netizen dewasa ini memiliki kebutuhan pokok non-nutritif berupa
sesuatu hal yang tidak mungkin untuk tidak dikonsumsi dalam keseharian
yakni informasi. Pada segmentasi tertentu, informasi tersebut diciptakan
dengan tujuan untuk mencitptakan situasi tidak kondusif sesuai dengan misi
utama produsen informasi. Saluran yang sangat efektif dan efisien sejauh ini
adalah media jejaring sosial (social networking) berupa Facebook, Twitter,
Instagram, Path, WhatsApp, dll. Tidak jarang pesan yang disebarkan
mengandung muatan yang memicu tindakan-tindakan individu/kelompok
yang memicu keresahan masyarakat yang bermuara pada instabilitas
kemanan/kenyamanan citizen maupun netizen itu sendiri. Hal demikian
tentunya bisa berujung pada kondisi yang sangat tidak diinginkan yakni
terjadi konflik yang satu paket dengan potensi terjadinya disintegrasi bangsa.
Pesan-pesan tersebut pada umumnya dikemas dalam berbagai
bentuk/format. Diantaranya adalah artikel/gambar-gambar yang secara
instrinsik terdapat muatan-muatan provokatif yang secara ekstrinsik
didukung dengan visualisasi sarat makna. Kecepatan peredaran pesan-pesan
tersebut begitu dahsyat karena daya jejaring netizen begitu kuat mengingat
bentuk interaksi mereka yang tidak hanya terjadi secara individu tetapi juga
kelompok (group).
Hal demikian tentunya patut menjadi kewaspadaan bersama mengingat
pontesi sosial media yang juga memiliki sisi negatif oleh karena perilaku
penggunanya/user. Indonesia merupakan negara dengan karakteristik

10
kemajemukan baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Semua
itu memiliki potensi untuk terwujudnya persatuan dan kemakmuran, namun
di sisi lain juga terdapat potensi perpecahan dan kesengsaraan warga
negaranya. Globalisasi yang ditandai dengan kemajuan teknologi informasi
dan komunikasi seharusnya dapat dijadikan sebagai momentum untuk
mewujudkan Indonesia yang berkeadilan. Indonesia yang adil secara
langsung akan menciptakan kondisi yang kondusif pada berbagai sektor, baik
itu keamanan, politik, pemerintahan, ekonomi, hukum, dan lain sebagainya.

Daftar Pustaka

Chaubet, Francois. 2015. Globalisasi Budaya. Yogyakarta: Jalasutra.


Latif, Yudi. 2011. Negara Paripurna (Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila).
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Maarif, Ahmad Syafii. 2005. Menerobos Kemelut (Refleksi Cendekiawan Muslim).
Jakarta: Grafindo.
Nasrullah, Rulli. 2016. Media Sosial: Perspektif Komunikasi, Budaya, dan Sosioteknologi,
Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Purwasito, Andrik. 2015. Netizenship Civilization: Mutation of Citizen to Netizen on
Galactic Network. Surakarta: Soft Power Diplomacy Laboratory.
Purwasiyo, Andrik. 2015. Komunikasi Multikultural. Yogyakarta: Pusaka Pelajar.
O‟Keeffe, G. S. & Clarke-Pearson, K. 2011. The Impact of Social Media on Children,
Adolescents, and Families. Clinical Report: American Academi of Pediatrics.
Soegito, AT. 2016. Pendidikan Pancasila. Semarang: Unnes Press.
Sunarto, dkk. 2016. Pendidikan Kewarganegaraan. Semarang: Unnes Press.
Toffler, Heidi & Alvin. 2002. Menciptakan Peradaban Baru (Politik Gelombang Kegita).
Yogyakarta: Ikon Teralitera.

11

Anda mungkin juga menyukai