1
DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR...............................................................................................................................2
BAB I..........................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN......................................................................................................................................3
1.1 LATAR BELAKANG............................................................................................................3
1.2 RUMUSAN MASALAH........................................................................................................3
1.3 TUJUAN PENULIS...............................................................................................................4
BAB II........................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................5
2.1 PERSALINAN LAMA..........................................................................................................5
2.2 PERDARAHAN PASCA PERSALINAN PRIMER DAN SEKUNDER.........................11
2.3 SEPSIS PUEPERPERALIS................................................................................................19
2.4 ASFIKSIA NEONATORUM..............................................................................................24
2.5. SYOK OBSTETRI...............................................................................................................30
2.6. DISTOSIA BAHU................................................................................................................33
BAB III.....................................................................................................................................................37
PENUTUP............................................................................................................................................37
3.1 KESIMPULAN....................................................................................................................37
3.2. SARAN.................................................................................................................................37
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................38
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha kuasa karena telah memberikan kesempatan
pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah penulis
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ”PRINSIP DASAR KEGAWATDARURATAN
OBSTETRIK PADA MASA KEHAMILAN” tepat waktu.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.
Kelompok I
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
5. Bagaimana kegawatdaruratan obstetrik pada masa kehamilan, persalinan, dan nifas
dengan kasus asphyksia neonatorum?
6. Bagaimana kegawatdaruratan obstetrik pada masa kehamilan, persalinan, dan nifas
dengan kasus syok obstetri?
7. Bagaimana kegawatdaruratan obstetrik pada masa kehamilan, persalinan, dan nifas
dengan kasus distocia bahu?
5
BAB II
PEMBAHASAN
1. Kelainan gaya dorong (ekspulsi) baik akibat gaya uterus yang kurang kuat atau
kurangnya koordinasi untuk melakukan pendaratan dan dilatasi serviks (disfungsi uterus),
maupun kurangnya upaya otot volunteer selama persalinan kala II.
2. Kelainan tulang panggul ibu, yaitu panggul sempit.
3. Kelainan presentasi, posisi, atau perkembangan janin.
4. Kelainan jaringan lunak saluran reproduksi yang membentuk halangan bagi turunnya
janin.
Antonym bahasa Yunani untuk eutosia, atau persalinan normal adalah distosia yang
menandakan persalinan abnormal atau sulit. Distosia dapat terjadi akibat beberapa kelainan
tertentu yang melibatkan serviks, uterus, janin, tulang panggul ibu atau obstruksi lain di
jalan lahir. Kelainan-kelainan ini telah secara mekanitis disederhanakan oleh American
Collage Of Obstetricians and Gynecologists (1995) menjadi tiga kategori :
2.1.1 DISTOSI
6
A. DEFINISI DISTOSI
Kombinasi dari abnormalitas ini, sering berinteraksi untuk menyebabkan
persalinan disfungsional. Saat ini ungkapan seperti disproporsi sefalopelvik dan
kegagalan kemajuan sering digunakan untuk menggambarkan persalinan yang
tidak efektif :
Tanda klinis umum pada wanita dengan persalinan yang tidak efektif :
7
B. MEKANISME DISTOSIA
Pada akhir kehamilan, kepala janin untuk melewati jalan lahir harus
memasuki uterus bagian bawah yang relative lebih tebal dan serviks yang tidak
berdilatasi. Otot fundus uteri kurang berkembang dan tenaganya yang kurang.
Kontraksi uterus, resistensi serviks, dan tekanan ke depan yang dihasilkan akibat
majunya bagian janin merupakan factor yang mempengaruhi kemajuan persalinan
kala I.
Malfungsi otot uterus dapat disesbabkan akibat uterus yang terlalu distensi
atau persalinan yang terhambat dan mungkin keduanya.
a. Diagnosis
Distosia pada kala I fase aktif: Abnormalitas persalinan secara klinis
berupa kemajuan janin lebih lambat dari normal atau berhentinya kemajuan
komplit. Handa dan Laros (1903) mendiagnosis penghentian fase aktif yang
diartikan sebagai tidak adanya dilatasi selama 2 jam atau lebih. WHO
menyarankan penggunaan patograf penatalaksanaan kehamilan. Dalam
patograf, pertambahan diartikan dilatasi serviks kurang dari 1 cm/jam
selama paling sedikit 4 jam. Jika lebih dari 4 jam dapat disimpulkan bahwa
persalinan fase aktif telah gagal.
Fase ekspulsi (kala II) memanjang: tidak ada kemajuan penurunan bagian
terendah janin pada persalinan kala II. Dengan batasan waktu:
Maksimal 2 jam untuk nulipara dan 1 jam untuk multipara
Maksimal 3 jam untuk nulipara dan 2 jam untuk multipara
8
Terapi di Terapi di Rumah
Pola Persalinan Nulipara Multipara Puskesmas Sakit
Kelainan
pembukaan
serviks
•Kemajuan
pembukaan <1,5 •Dukungan dan
(dilatasi) serviks <1,2 cm/jam cm/jam terapi ekspektatif
•Kegagalan
penurunan bagian
terendah
Tidak ada Tidak ada
penurunan pada penurunan
9
fase deselerasi
atau pada fase
deselerasi
Kala II atau kala II
C. Faktor predisposisi
1) Bayi :
Kepala janin yang besar
Hidrosefalus
Presentasi wajah, bahu, alis
Malposisi persisten
Kembar yang terkunci (terkunci pada daerah leher)
Kembar siam
2) Jalan lahir :
Panggul kecil karena malnutrisi
Deformitas panggul karena trauma atau polio
Tumpor daerah panggul
Infeksi virus di perut atau uterus
Jaringan parut (dari sirkumsisi wanita)
C. TATALAKSANA
1. Tatalaksana Umum
Segera rujuk ibu ke rumah sakit yang memiliki pelayanan seksio sesarea.
2. Tatalaksana Khusus
a. Tentukan penyebab persalinan lama.
Power : His tidak adekuat (his dengan frekuensi <3x/10 menit dan durasi
setiap kontraksinya <40 detik)
Passenger : malpresentasi, malposisi, janin besar
Passage : panggul sempit, kelainan serviks atau vagina, tumor jalan lahir
Gabungan dari faktor-faktor di atas Sesuaikan tatalaksana dengan
penyebab dan situasi.
10
b. Sesuaikan tatalaksana dengan penyebab dan situasi.
Prinsip umum:
Pembentukan fistula
Hubungan abnormal antara dua tempat yang berepitel. Lubang fistula
tersebut dapat mengeluarkan nanah ataupun kotoran saat BAB.
11
dasar panggul yang terdistensi menyebabkan perubahan fungsional dan
anatomisa pada otot, saraf, dan jaringan ikat.
Komplikasi perinatal
Serupa dengan ibu, insiden sepsis peripartum pada janin meningkat pada
persalinan yang lama. Cedera mekanis lebih sering terjadi karena cedera lebih
bersifat operatif dan traumatic.
Penilaian risiko pada saat antenatal tidak dapat memperkirakan akan terjadinya
perdarahan pascapersalinan. Penanganan aktif kala tiga sebaiknya dilakukaan pada semua
wanita yang bersalin karena hal ini dapat menurunkan insidens perdarahan pascapersalinan
akibat atonia uteri. Semua ibu pasca persalinan harus dipantau dengan ketat untuk
mendiagnosis perdarahan
1. pasca persalinan
Perdarahan pasca persalinan diklasifikasikan menjadi 2, yaitu :
12
a. Perdarahan pasca persalinan primer (early postpartum homorrhage, atau perdarahan
pasca persalinan segera):Perdarahan pasca persalinan primer terjadi dalam 24 jam
pertama.
b. Perdarahan pasca persalinan sekunder (late postpartum haemorrhage, atau perdarahan
masa nifas, atau perdarahan pasca persalinan lambat) :
Perdarahan pasca persalinan terjadi lebih dari 24 jam pertama setelah bayi lahir.
1). Atonia uteri
Gejala yang selalu ada adalah uterus tidak berontaksi dan lembek dan juga
perdarahan segera setelah anak lahir. Atonia uteri dapat terjadi karena proses
persalinan yang lama, pembesaran rahim yang berlebihan pada waktu hamil seperti
pada hamil kembar atau janin besar, persalinan yang sering (multiparitas) atau anastesi
yang dalam. Atonia uteri juga dapat terjadibila ada usaha mengeluarkan plasenta dan
mendorong rahim kebawah sementara plasenta belum lepas dari rahim.
Perdarahan yang banyak dalam waktu yang pendek dapat segera diketahui. Dan
apabila ada perdarahan sedikit dalam waktu yang lama tanpa disadari penderita telah
kehilangan banyak darah sebelum tampak pucat dan gejala lainnya.
Pada perdarahan yang timbul setelah janin lahir dilakukan upaya penghentian
perdarahan secepat mungkin dan mengatasi akibat perdarahan. Pada perdarahan yang
disebabkan atonia uteri dilakukan massase rahimdan suntikan ergometrin kedalam
pembuluh balik. Bila tidak memberi hasil yang diharapkan dalam waktu singkat
dilakukan kompresi bimanual rahim, bila perlu dilakukan temponade utero vaginal,
yaitu dimasukkan tampon kasa ke dalam rahim sampai rongga rahim terisi penuh.
Pada perdarahanpostpartum ada kemungkinan dilakukan pengikatan pembuluh nadi
yang mensuplai darah kerahim atau pengangkatan rahim.
Adapun faktor predisposisi terjadinya atonia uteri : umur, paritas, partus lama, dan
partus terlantar, obstetric operatif dan narkosa, uterus terlalu renggang dan besar
misalnya pada gemelli, hidramnion atau janin besar, kelainan pada uterus seperti
mioma uteri, uterus cauvelair pada solusio plasenta.
a) Penatalaksanaan :
Kenali dan tegakkan diagnosis kerja atonia uteri.
Sementara dilakukan pemasangan infus dan pemberian uterotonika, lakukan
kompresi bimanual.
13
Pastikan plasenta lahir lengkap (bila ada indikasi sebagian plasenta masih
tertinggal, lakukan evakuasi sisa plasenta) dan tak ada laserasi jalan lahir.
Berikan transfusi darah bila sangat diperlukan.
Lakukan uji beku darah (lihat solusio plasenta) untuk konfirmasi sistem
pembekuan darah.
Bila semua tindakan diatas telah dilakukan tetapi masih terjadi perdarahan lakukan
tindakan spesifik sebagai berikut :
14
Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga atau
melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir. Hampir sebagian besar gangguan
pelepasan plsenta, disebabkan oleh gangguan kontraksi uterus.
Jenis retensio plasenta :
Separasi/akreta Plasenta
Gejala parsial inkarsereta Plasenta akreta
Konsistensi
uterus Kenyal Keras Cukup
2 jari bawah
Tinggi fundus Sepusat pusat sepusat
Sedikit/tidak
Perdarahan Sedang-banyak Sedang ada
Separasi Melekat
plasenta Lepas sebagian Sudah lepas seluruhnya
15
kecuali akibat
inversio oleh
tarikan kuat
pada tali pusat
3).Plasenta akreta
Tanda penting untuk diagnosis pada pemeriksaan luar adalah ikutnya
fundus/korpus apabila tali pusat ditarik. Pada pemeriksaan dalam, sulit ditentukan tepi
plasenta karena implantasi yang dalam. Apabila yang dapat dilakukan pada fasilitas
pelayanan kesehatan dasar adalah menentukan diagnosis, stabilisasi pasien dan rujuk
ke rumah sakit rujukan karna kasus ini memerlukan tindakan operatif.
Penanganan
Apabila plasenta belum lahir dalam setengah sampai 1 jam setelah bayi
lahir, apalagi bila terjadi perdarahan, maka harus segera dikeluarkan. Tindakan
yang dapat dikerjakan adalah :
Coba 1-2 kali dengan prasat crede
Keluarkan plasenta dengan tangan (manual plasenta)
Pasang infus cairan dekstrosa 5%, ibu dalam posisi litotomi, dengan narkosa
dan segala sesuatunya dalam keadaan suci hama.
Teknik : tangan kiri diletakkan difundus uteri, tangan kanan dimasukkan
dalam rongga rahim dengan menyusuri tali pusat sebagai penuntun. Tepi plasenta
dilepas-disisihkan dengan tepi jari-jari tangan – bila sudahlepas ditarikkeluar.
Lakukan eksplorasi apakah ada luka – luka atau sisa-sisa plasenta dan bersihkan.
Manual plasenta berbahaya karena dapat terjadi robekan jalan lahir (uterus)
dan membawa infeksi.
16
4). Robekan Jalan Lahir
Biasanya terjadi pada persalinan dengan trauma.
a. Etiologi
Tindakan episiotomi
Robekan spontan perineum
Trauma forseps atau vakum ekstrasi
b. Robekan yang dapat terjadi
Robekan ringan (lecet, laserasi)
Luka episiotomy
Robekan perineum spontan dengan derajat ringan sampai ruptur perinei
totalis (sfingter ani terputus),
Robekan pada dinding vagina, fornix uteri, servix, daerah sekitar klitoris dan
uretra
Ruptur uteri
c. Penatalaksanaan :
1) Lakukan eksplporasi untuk mengidentifikasi lokasi laserasi dan sumber
perdarahan.
2) Jepit dengan ujung klem sumber pendarahan kemudian ikat dengan benang
yang dapat diserap.
3) Lakukan penjahitan luka mulai dari bagian yang paling distal dari operator
4) Penjahitan perineum komplit.
5) Berikan antibiotik profilaksis (ampisilin 2gr dan metronidazol 1gr peroral).
Terapi penuh antibiotika hanya diberikan apabila luka tampak kotor atau
dibubuhi ramuan tradisional atau terdapat tanda-tanda infeksi yang jelas.
5).Sisa plasenta
Tertinggalnya plasenta atau selaput janin yang menghalangi kontraksi uterus
sehingga masih ada pembuluh darah yang tetap terbuka dan menimbulkan perdarahan
a. Etiologi
1. Pengeluaran plasenta yang tidak hati-hati
2. Abnormalitas plasenta
b. Gejala
17
1. Perdarahan terus menerus
2. Uterus berkontraksi tetapi tinggi fundus tidak berkurang
3. Plasenta tidak lengkap/utuh saat dilahirkan
4. Adanya tanda-tanda syok.
c. Penatalaksanaan
1. Berikan 20-40 unit oksitosin dalam 1000 ml larutan NaCl 0,9%/Ringer Laktat
dengan kecepatan 60 tetes/menit dan 10 unit Lanjutkan infus oksitosin 20 unit
dalam 1000 ml larutan NaCl 0,9%/ Ringer Laktat dengan kecepatan 40
tetes/menit hingga perdarahan berhenti.
2. Lakukan eksplorasi digital (bila serviks terbuka) dan keluarkan bekuan darah
dan jaringan. Bila serviks hanya dapat dilalui oleh instrumen, lakukan evakuasi
sisa plasenta dengan aspirasi vakum manual atau dilatasi dan kuretase
3. Berikan antibiotika profilaksis dosis tunggal (ampisillin 2 g IV DAN
metronidazole 500 mg).
4. Jika perdarahan berlanjut, tatalaksana seperti kasus atonia uteri.
6).Inversio Uteri
Keadaan dimana lapisan dalam uterus (endometrium) turun dan keluar dari
ostium uteri eksternum yang dapat bersifat inkomplit sampai komplit.
Inversio uteri komplit adalah fundus uteri terdapat dalam vagina dengan
selaput lendirnya sebelah luar. Inversio uteri inkomplit adalah fundus menekuk
kedalam dan tidak keluar ostium uteri. Inversio prolaps adalah uterus berputar balik
keluar dari vulva.
a. Etiologi
1. Melemahnya tonus otot rahim.
2. Terdapat tekanan atau tarikan fundus (tarikan pada tali pusat).
3. Kanalis cervikalis longgar.
b. Gejala
1. Tidak terabanya fundus
2. Fundus
18
3. Kadang diluar vulva tampak seperti tumor yaitu fundus yang tebalik.
c. Penaatalaksanaan
1. Reposisi uterus, jika reposisi tampak sulit dan telah terjadi cukup lama,
bersiaplah untuk merujuk ibu.
2. Jika ibu sangat kesakitan, berikan petidin 1 mg/kgBB (jangan melebihi 100 mg)
IM atau IV secara perlahan atau berikan morfin 0,1 mg/kgBB IM.
3. Reposisi gagal, lakukan laparotomi.
4. Laparotomi gagal, lakukan histerektomi.
7). Gangguan Pembekuan Darah
a. Etiologi
1. Solusio plasenta
2. IUFD (kematian janin dalam rahim)
3. Eklamsia
4. Emboli cairan ketuban
b. Pencegahan :
1. Persiapan sebelum hamil untuk memperbaiki keadaan dan mengatasi setiap
penyakit kronis, anemia dan lain-lain.
2. Mengenal faktor predisposisi PPP seperti multiparitas, anak besar, hamil
kembar, hidramnion, bekas seksio dan ada riwayat PPP sebelumnya.
3. Persalinan harus selesai dalam waktu 24 jam dan pencegahan partus lama.
4. Kehamilan dengan resiko tinggi agar dapat melahirkan di Rumah Sakit rujukan
5. Kehamilan risiko rendah agar melahirkan ditenaga kesehatan terlatih dan
menghindari persalinan didukun.
6. Menguasai langkah-langkah pertolongan pertama menghadapi PPP dan
mengadakan rujukan sebagaimana mestinya.
c. Penatalaksanaan
1. Pada banyak kasus kehilangan darah yang akut, koagulopati dapat dicegah jika
volume darah dipulihkan segera dengan menangani kemungkinan penyebabnya
seperti solusio plasenta dan eklamsi.
2. Jika tersedia berikan darah lengkap segar untuk menggantikan faktor
pembekuan dan sel darah merah.
19
3. Jika darah lengkap segar tidak tersedia, pilih salah satu di bawah ini:
Plasma beku
Sel darah merah (packed red cells) untuk penggantian sel darah merah.
Kriopresipitat untuk menggantikan fibrinogen.
Konsentrasi trombosit (perdarahan berlanjut dan trombosit < 20.000).
Golongan darah O untuk keselamatan jiwa.
2.3 SEPSIS PUEPERPERALIS
2.3.1 Definisi Sepsis Pueperperalis
Sepsis pueperalis adalah infeksi pada traktus genetalia yang dapat terjadi setiap
saat antara awitan pecah ketuban (rupture membran) atau persalinan dan 42 hari
setelah persalinan atau abortus dimana terdapat dua atau lebih dari hal-hal berikut ini:
Nyeri pelvik
Deman 38,5ºC atau lebih yang diukur melalui oral kapan saja
Rabas-vagina yang abnormal
Rabas-vagina berbau busuk
Keterlambatan dalam kecepatan
Beberapa bakteri Penyebab Sepsis Pueperalis yang paling umum adalah
Streptokokus
Stafilokokus
Escherichia coli (E.Coli)
Clostridium tetani
Clostridium welchi
Chlamidia dan gonokokus (bakteri penyebab penyakit menular seksual).
Infeksi yang paling sering ditemukan adalah infeksi gabungan antara beberapa
macam bakteri. Bakteri tersebut bisa endogen atau oksigen.
1. Bakteri Endogen
20
Bakteri ini secara normal hidup di vagina dan rektum tanpa menimbuklan
bahaya (mis, beberapa jenis streptokokus dan stafilokokus, E.Coli, Clostridium
welchii).
Bahkan jika teknik steril sudah digunakan untuk persalinan, infeksi masih
dapat terjadi akibat bakteri endogen.
Bakteri endogen juga dapat membahayakan dan menyebabkan infeksi jika:
Bakteri ini masuk kedalam uterus melalui jari pemeriksa atau melalui
instrumen pemeriksaan pelvik
Bakteri terdapat dalam jaringan yang memar, robek/laserasi, atau jaringan yang
mati (mis, setelah persalinan traumatic atau setelah persalinan macet)
Bakteri masuk sampai ke dalam uterus jika terjadi pecah ketuban yang lama.
2. Bakteri Eksogen
Bakteri ini masuk kedalam vagina dari luar (streptokokus, clostridium
tetani, dsb).
Melalui tangan yang tidak bersih dan instrumen yang tidak steril.
Melalui substansi/benda asing yang masuk kedalam vagina (mis,
ramuan/jamu ,minyak, kain).
Melalui aktivitas seksual.
21
Ada beberapa ibu yang lebih mudah terkena sepsis pueperalis, misalnya ibu yang
mengalami anemia atau kekurangan gizi atau ibu yang mengalami persalinan lama.
Sesi 2 membahas tentang factor-faktor risiko dan cara pencegahannya.
Adapun factor-faktor lainnya sebagai berikut:
Hygiene yang buruk
Teknik aseptic yang buruk
Manipulasi yang sangat banyak pada jalan lahir
Adanya jaringan mati pada jalan lahir (akibat kematian janin intrauterine,
fragmen atau membran plasenta yang tertahan, pelepasan jaringan mati dari
dinding vagina setelah persalinan macet)
Insersi tangan, instrumen, atau pembalut (tampon) yang tidak steril.
Anemia dan malnutrisi yang diderita
Persalinan macet/lama
Pecah ketuban yang lama
Pemeriksaan vagina yang sering
Pelahiran melalui seksio sesaria dan tindakan operatif lainnya
Laserasi vagina atau laserasi serviks yang tidak diperbaiki
Penyakit menular seksual yang diderita
Hemoragi postpartum
Tidak diimunisasi terhadap tetanus
Diabetes
22
Faktor-faktor cultural yang memperlambat pencarian perawatan kesehatan,
status wanita yang rendah
Kurangnya pengetahuan tentang tanda-tanda dan gejala sepsis puerperalis
2. Faktor-Faktor Risiko Dipelayanan kesehatan
Hal ini meliputi:
Pemantauan suhu badan yang tidak adekuat pada persalinan lama dan setelah
pelahiran
Tidak adanya asepsis selama persalinan
Pemeriksaan bakteriologis yang tidak adekuat pada ibu yang mengalami
sepsis puerperalis
Kehabisan persediaan darah untuk transfuse
Penatalaksanaan yang tidak adekuat dengan antibiotic
Yang tepat atau intervensi operatif selanjutnya
Ketidaktersediaan antibiotik yang tepat
23
1. Sisi perlekatan plasenta merupakan tempat yang besar, hangat, gelap, dan basah.
Ini memungkinkan bakteri untuk tumbuh dengan cepat. Tempat seperti ini
merupakan suatu media yang ideal untuk pembiakan bakteri. Di laboratorium,
kondisi-kondisi yang hangat, gelap, dan basah sengaja dibuat untuk membantu
bakteri tumbuh dan berbiak.
2. Sisi plasenta memiliki persediaan darah yang kaya, dengan pembuluh-pembuluh
darah besar yang langsung menuju sirkulasi vena utama. Hal ini memungkinkan
bakteri disisi plasenta untuk bergerak dengan sangat cepat kedalam aliran darah.
ini disebut septikemia. Septikemia dapat menyebabkan kematian dengan sangat
cepat.
3. Sisi plasenta tidak jauh dari bagian luar tubuh ibu. Hanya panjang vagina (9-
10cm) yang memisahkan jalan masuk ke uterus dari lingkungan luar. Ini berarti
bahwa bakteri yang biasanya hidup di rectum (seperti E. coli) dapat dengan
mudah pindah kedalam vagina dan kemudian menuju uterus. Disini bakteri
menjadi berbahaya atau “patogenik” karena menyebabkan infeksi pasa sisi
plasenta.
4. Selama pelahiran, area serviks ibu, vagina, atau area perineumnya mungkin robek
atau diepisiotomi
24
Kombinasi ketiga peristiwa tersebut menyebabkan kerusakan sel dan lingkungan
biokimia yang tidak cocok dengan kehidupan (Sondakh, 2013) dan (Ari, 2010) .
Perinasia(2006), dalam Maryunani (2013) Patofisiologis asfiksia
neonatorum dapat dijelaskan dalam dua tahap yaitu dengan mengetahui cara bayi
memperoleh oksigen sebelum dan setelah lahir, yang dijelaskan sebagai berikut:
a. Sebelum lahir
Paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen atau jalan untuk
mengeluarkan karbondioksida. Pembuluh arteriol yang ada di dalam paru janin
dalam keadaan konstruksi sehingga tekanan oksigen parsial rendah. Hampir
seluruh darah dialirkan dari jantung kanan tidak dapat melalui paru karena
kontraksi pembuluh darah janin, dan darah di alirkan melalui pembuluh darah
yang bertekanan rendah yaitu duktus arteriosus kemudian masuk ke aorta.
b. Setelah lahir
Bayi akan segera bergantung pada paru-paru sebagai sumber oksigen
utama. Cairan yangt mengisi alveoli akan diserap ke dalam jaringan paru, dan
alveoli akan berisi udara. Pengisian alveoli oleh udara akan memungkinkan
oksigen mengalir kedalam pembuluh darah di sekitar alveoli. Arteri dan vena
umbilikalis akan menutup sehingga akan menurunkan tahanan pada sirkulasi
plasenta dan meningkatkan tekanan darah sistemik. Akibat tekanan udara dan
peningkatan kadar oksigen dan alveoli, pembuluh darah paru akan mengalami
relaksasi sehingga tahanan terhadap aliran darah berkurang
Pada akhir masa transisi normal, bayi menghirup udara dan menggunakan paru-paru
nya untuk mendapatkan oksigen. Tangisan pertama dan tarikan nafas yang dalam akan
mendorong cairan dari jalan nafasnya. Oksigen dan pengembangan paru-paru
merupakan rangsangan utama relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat oksigen
masuk adekuat dalam pembuluh darah, warna kulit bayi akan berubah dari abu-
abu/biru menjadi kemerahan.
2.4.2 Etilogi
25
Asfiksia neonatorum dapat terjadi selama masa kehamilan, pada proses
persalinan dan melahirkan atau periode segera setelah lahir. Janin sangat bergantung
pada pertukaran plasenta untuk oksigen, asupan nutrisi dan pembuangan produksi sisa
sehingga pada gangguan aliran darah umbilikalis maupun plasenta hampir selalu akan
menyebabkan asfiksia (Puspita, 2013).
Hipoksia bayi dalam uterus ditujukan dengan gawat janin yang berlanjut
menjadi asfiksia pada sesaat bayi baru lahir. Beberapa faktor yang diketahui dapat
menyebabkan terjadinya asfiksia pada bayi baru lahir, diantaranya adalah sebagai
berikut:
1. Faktor Ibu
Preeklamsi dan eklamsia
Pendarahan abnormal (plasenta previa atau solusio plasenta)
Partus lama atau partus macet
Demam pada saat persalinan
Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV)
Kehamilan postmatur (setelah usia kehamilan 42 minggu)
2. Faktor Tali Pusat
Faktor yang dapat menyebabkan penurunan sirkulasi utero plasenter yang dapat
mengakibatkan menurunnya pasokan oksigen ke bayi sehingga dapat menyebabkan
asfiksia pada bayi batu lahir.
Lilitan tali pusat
Tali pusat pendek
Simpul tali pusat
3. Faktor bayi
Asfiksia dapat terjadi didahului dengan tanda dan gejala gawat janin. Hal ini
dapat disebabkan oleh faktor berikut ini:
Bayi premature (sebelum 37 minggu kehamilan)
Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia bahu, ekstraksi
vakum, ekstraksi forsep)
Kelainan kongenital dan air ketuban bercampur mekonium
26
Dalam garis besar perubahan-perubahan yang terjadi pada asfiksia adalah:
27
Adanya retraksi iga
Bayi merintih (grunting)
Adanya pernapasan cuping hidung
Bayi kurang aktivitas
Dari pemeriksaan auskultasi diperoleh hasil ronchi, rales, dan wheezing positif
APGAR score
Merupakan suatu metode yang digunakan untuk mengkaji kesehatan neonatus dalam
menit pertama setelah lahir-5 menit setelah lahir, serta dapat diulang pada menit ke 10-
15.
28
Bila apnu selama 30 menit dapat menyebabkan cidera otak dan bila selama 2 jam
dapat menyebabkan kerusakan cranial. Penurunan frekuensi jantung dan tekanan
darah dan bayibtidak kunjung bernafas, maka bayi akan mengalami kematian
(Nanny, 2014)
A. Diagnosa
Cara menegakkan diagnosa asfiksia yang dapat dipahami:
Trauma
Asfiksia janin
Syok
29
Langkah-langkah:
30
Jika kehamilan tidak cukup bulan, atau air ketuban bercampur mekonium,
atau bayi megap-megap, atau tonus otot bayi tidak baik, lihat bagan berikut untuk
melihat langkah-langkah resusitasi pada bayi baru lahir.
Gagal jantung
Trauma
Infeksi berat (abortus septik, karioamnionitis, metritis)
Perdarahan pada kehamilan muda
Perdarahan pada kehamilan lanjut
Perdarahan pada saat persalinan
Perdarahan pasca persalinan
3. Tatalaksana
Mencari bantuan tenaga kesehatan lain
Pastikan kondisi jalan napas bebas
Berikan oksigen
31
Posisikan tubuh agar miring ke kiri
Tubuh dihangatkan
Pasang infuse intravena dengan ukuran jarum terbesar
Berikan cairan NaCl 0,9% atau Ringer Laktat dengan cepat (15-20 menit) sebanyak 1
liter
Pantau jumlah urin yang keluar dengan memasang kateter
Lanjutkan pemberian cairan sampai 2 liter dalam 1 jam pertama, atau hingga 3 liter
dalam 2-3 jam (pantau kondisi ibu dan tanda vital).
Pertimbangkan merujuk ibu ke rumah sakit atau fasilitas kesehatan yang lebih lengkap
RESPON TERHADAP
TYPE SYOK PENYEBAB PEMBERIAN CAIRAN
– Perdarahan
– Muntah
Hipovolemik – Diare
– Dehidrasi Berespon
Kardiogenik – Penyakit jantung iskemik Tidak berespon atau kondisi
memburuk
– Gangguan irama jantung
berat
32
– Kelainan katup jantung
– Syok sepsis
– Tamponade jantung
Dapat berespon atau tidak
Obstruktif – Pneumotoraks tension berespon
2.6. DISTOSIA BAHU
1. Defenisi
Distosia bahu ialah kelahiran kepala janin dengan bahu anterior macet diatas sacral
promontory.
Pada persalinan dengan presentasi kepala, setelah kepala lahir bahu tidak dapat
dilahirkan dengan cara pertolongan biasa dan tidak didapatkan sebab lain dari kesulitan
tersebut. Insiden distosia bahu sebesar 0,2-0,3 % dari keseluruhan persalinan vaginal
presentasi kepala. Apabila distosia bahu didefinisikan sebagai jarak waktu antara lahirnya
kepala dengan lahirnya badan bayi lebih dari 60 detik,maka insidensinya menjadi 11 %.
33
tidak dapat melakukan putar paksi luar, dan tertahan akibat adanya tarikan yang terjadi
antara bahu posterior dengan kepala (turtle sign)
2. Komplikasi
Komplikasi distosia bahu pada janin adalah fraktur tulang (klavikula dan
humerus) cedera pleksus brakhialis, dan hipoksia yang dapat menyebabkan kerusakan
permanen di otak. Dislokasi tulang servikalis yang fatal juga dapat terjadi akibat
melakukan tarikan dan putaran pada kepala dan leher. Faktur tulang pada umumnya
dapat sembuh sempurna tanpa sekuele, apabila didiagnosis dan diterapi dengan
memadai. Cedera pleksus brakhialis dapat membaik dengan terjadi adalah perdarahan
akibat laserasi jalan lahir, episiotomy, ataupun atonia uteri.
3. Faktor Risiko dan Pencegahan
Bayi cukup bulan pada umumnya memiliki ukuran bahu yang lebih lebar dari
kepalanya,sehingga mempunya resiko terjadinya distosia bahu yang lebih lebar dari
kepalanya. Risiko akan meningkatkan dengan bertambahnya perbedaan antara ukuran
badan dan bahu dengan ukuran kepalanya. Pada bayi makrosomia, perbedaan ukuran
tersebut lebih besar dibanding bayi tanpa makrosomia,sehingga bayi makrosomia lebih
berisiko.
Faktor-faktor
1. Ibu dengan diabetes, 7 % insiden distosia bahu terjadi pada ibu dengan diabetes
gestasional (Keller, dkk)
2. Janin besar (macrossomia), distosia bahu lebih sering terjadi pada bayi dengan
berat lahir yang lebih besar, meski demikian hampir separuh dari kelahiran
doistosia bahu memiliki berat kurang dari 4000 g.
3. Riwayat obstetri/persalinan dengan bayi besar
4. Ibu dengan obesitas
5. Multiparitas
6. Kehamilan posterm, dapat menyebabkan distosia bahu karena janin terus tumbuh
setelah usia 42 mingu.
34
7. Riwayat obstetri dengan persalinan lama/persalinan sulit atau riwayat distosia
bahu, terdapat kasus distosia bahu rekuren pada 5 (12%) di antara 42 wanita
(Smith dkk., 1994)
8. Cephalopelvic disproportion
Upaya pencegahan distosia bahu dan dan cedera yang dapat ditimbulkannya dapat
dilakukan dengan cara:
1. Tawarkan untuk dilakukan bedah sesar pada persalinan vaginal berisiko tinggi:
janin luar biasa besar ( > 5 kg ), janin sangat besar ( > 4,5 kg ) dengan ibu diabetes,
janin memanjang dengan janin besar.
2. Identifikasi dan obati diabetes pada
3. Selalu bersiap bila sewaktu-waktu terjadi
4. Kenali adanya distosia seawal mungkin. Upaya mengejan, menekan suprapubis atau
fundur , dan traksi berpotensi meningkatkan risiko cedera pada janin.
5. Perhatikan waktu dan segara minta pertolongan begitu distosia diketahui. Bantuan
diperlukan untuk membuat posisi McRoberts, pertolongan persalinan,resusitas bayi,
dan tindakan anesthesia (bila perlu)
Penanganan
1. Mengubah ukuran dan posisi (ibu) panggul
Hal ini dapat dilakukan dengan mendorong ibu untuk bergerak dan
mengubah posisi. Anda dapat meminta atau membantu ibu untuk mengubah
pinggulnya dengan:
Mengangkat kaki dapat disertai dengan menggoyang ke belakang dan ke depan
dari pelvis.
McRoberts adalah mudah jika ibu sudah berbaring. caranya adalah:
1). Dengan posisi ibu berbaring, minta ibu untuk menarik kedua lututnya
sejauh mungkin ke arah dadanya, minta dua asisten (boleh suami atau
anggota keluarganya) untuk membantu ibu.
2). Tekan kepala bayi secara mantap dan terus-menerus ke arah bawah (kearah
anus ibu) untuk menggerakkan bahu anterior di bawah symphisis pubis.
35
Hindari tekanan yang berlebihan pada bagian kepala bayi karena mungkin
akan melukainya.
3).Secara bersamaan minta salah satu asisten untuk memberikan sedikit
tekanan supra pubis ke arah bawah dengan lembut. Jangan lakukan
dorongan pada pubis, karena akan mempengaruhi bahu lebih jauh dan bisa
menyebabkan ruptur uteri.
2. Mengubah ukuran dan posisi (bayi) bahu
Tindakan ini akan membuat diameter bahu bayi lebih kecil. Memutar bahu
ke diameter oblique dari panggul akan tersedia ruang ekstra.
Beberapa maneuver yang dilakukan untuk memperkecil diameter bahu
bayi antara lain dengan:
Manuver Rubin (1964)
Pertama dengan menggoyang-goyang kedua bahu janin dari satu sisi ke
sisi lain dengan memberikan tekanan pada abdomen.
Bila tidak berhasil, tangan yang berada di panggul meraih bahu yang
paling mudah di akses, kemudian mendorongnya ke permukaan anterior
bahu. Hal ini biasanya akan menyebabkan abduksi kedua bahu kemudian
akan menghasilkan diameter antar-bahu dan pergeseran bahu depan dari
belakang simfisis pubis
Manuver Corkscrew Woods (1943)
Masukkan satu tangan ke dalam vagina dan lakukan penekanan pada bahu
anterior, ke arah sternum bayi, untuk memutar bahu bayi dan mengurangi
diameter bahu
ika perlu, lakukan penekanan pada bahu posterior ke arah sternum.
Teknik Pelahiran Bahu Belakang
Masukkan satu tangan ke dalam vagina dan pegang tulang lengan atas
berada pada posisi posterior
Fleksikan lengan bayi di bagian siku dan letakkan lengan tersebut melintang
di dada bayi
Manuver Zavanelli (Sandberg, 1985)
Mengembalikan kepala ke posisi oksiput anterior atau posterior bila kepala
janin telah berputar dari posisi tersebut
Memfleksikan kepala dan secara perlahan mendorongnya masuk kembali
ke vagina yang diikuti dengan pelahiran secara sesar.
36
Memberikan terbutaline 250 mg subkutan untuk menghasilkan relaksasi
uterus
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Pada masa kehamilan dan persalinan erdapat kegawatdaruratan pada ibu
meliputi partus lama/macet, perdarahan post partum primer, perdarahan post partum
sekunder, sepsis puerpuralis, asphyksia neonatorum, syok obstetri, dan distocia bahu.
Partus lama adalah persalinan yang sulit dan ditandai oleh terlau lambarnya kemajuan
persalinan. Perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan pervaginam yang melebihi
500 ml setelah bersalin. Sepsis pueperalis adalah infeksi pada traktus genetalia yang
dapat terjadi setiap saat antara awitan pecah ketuban (rupture membran) atau
persalinan dan 42 hari setelah persalinan atau abortus. Distosia bahu ialah kelahiran
kepala janin dengan bahu anterior macet diatas sacral promontory. Syok adalah suatu
kondisi dimana jantung tidak dapat memompa darah, pada sistem sirkulasi perfusi
terjadi kegagalan yang memadai ke organ-organ vital. Asfiksia adalah suatu keadaan
dimana bayi baru lahir tidak dapat bernapas secara spontan dan teratur yang ditandai
dengan hipoksemia dan asidosis.
Semua penyulit dalam kegawatdaruratan dalam kehamilan, persalinan dan
nifas tersebut meimiliki gejala, peyebab serta penatalaksanaan yang berbeda-beda.
Untuk itu penguasaan pengetahuan dan keterampilan sangat dibutuhkan dalam
menangani berbagai kasus penyulit kehamilan dan persalian ini.
37
3.2. SARAN
Sebagai tenaga kesehatan khususnya seorang bidan kita harus memiliki
pengetahuan dan keterampilan dalam mengatasi semua kondisi kegawatdaruratan
dalam kehamilan dengan cepat, tepat serta benar agar ibu dan bayi dapat selamat.
DAFTAR PUSTAKA
Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan
38
Saifudin, Abdul Bari. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal.( Jakarta. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo: 2002)
Mochtar, Rustam. Sinopsis Obstetri. (Jakarta. Buku Kedokteran EGC:1998)
Mochtar, Rustam. Sinopsis Obstetri. (Jakarta. Buku Kedokteran EGC:1998)
Sarwono Prawihardjo, Ilmu Kebidanan, (Jakarta : PT Bina Pusaka, 2013), hal 526
Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan hal. 106
Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Hal 107
Sarwono Prawihardjo, Ilmu Kebidanan, (Jakarta : PT Bina Pusaka, 2013), hal 527
Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Hal 105
Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Hal 108
Maryunani,aniek. Modul Sepsis Puerperalis. (Jakarta. Buku Kedokteran EDC:1996)
Novi, Karlina, dkk. Keterampilan Dasar Kebidanan 2. (Bogor. In Media : 2014)
Chandranita, Ida Ayu, dkk. Buku Ajar Patologi Obstetri. (Jakarta. Buku Kedokteran
ECG: 2006)
Novi, Karlina, dkk. Keterampilan Dasar Kebidanan 2. (Bogor. In Media : 2014)
Novi, Karlina, dkk. Keterampilan Dasar Kebidanan 2. (Bogor. In Media : 2014)
Prawirohardjo, Sarwono. ILMU KEBIDANAN. (Jakarta. Yayasan Bina Pustaka: 2002)
Novi, Karlina, dkk. Keterampilan Dasar Kebidanan 2. (Bogor. In Media : 2014)
Novi, Karlina, dkk. Keterampilan Dasar Kebidanan 2. (Bogor. In Media : 2014)
Prawirohardjo, Sarwono. ILMU KEBIDANAN. (Jakarta. Yayasan Bina Pustaka: 2002)
Novi, Karlina, dkk. Keterampilan Dasar Kebidanan 2. (Bogor. In Media : 2014)
Saifudin, Abdul Bari . Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. (Jakarta. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo:2002)
Winkjosastro, H. Ilmu Kebidanan. (Jakarta. Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo:1999)
Cunningham, F. Gary. Obstetri Williams Ed. 21 Vol. 1. (Jakarta. EGC:2005)
Saifudin, Abdul Bari. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. (Jakarta. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo: 2002)
39