Anda di halaman 1dari 6

Berdirinya PSII

Bulan terang itu membayang di langit Luwu, memecah warna hitam nan begitu gelap bagaikan
pemantul cahaya yang menusuk mata. Suasana terasa hening, hanya suara binatang malam yang
saling bersahutan, seolah menunjukkan bahwa mata mereka tetap terbuka menembus gelapnya
malam. Angin malam menyapu bersih dedaunan kering yang menaburi permukaan tanah. Malam
ini menunjukkan pukul delapan malam tepat, dimana anak anak baru saja menyelesaikan kegiatan
mengaji mereka di Masjid Jami’ , Masjid terbesar di Kerajaan. Sebagian besar penduduk desa
sekitar Kerajaan Luwu beragama islam. Jadi tak heran jika mengaji adalah kegiatan rutin mereka
setiap malam. Dengan berombongan, mereka melalui jalan setapak yang terletak dipinggir Sungai
Noling sambil menikmati dinginnya udara malam. Setiap melewati jalan setapak itu, setiap warga
pasti menyempatkan diri untuk memandang ke arah barat daya sungai, untuk melihat bangunan
bernuansa Eropa yang konon katanya memiliki 88 tiang besar di dalamnya, bangunan yang
dimaksud adalah Istana Kerajaan Luwu. Kerajaan Luwu merupakan kerajaan tertua, terbesar, dan
terlaus di Sulawesi Selatan yang wilayahnya mencakup Tanah Toraja, Kolaka, Poso dan Luwu.
Penduduk wilayah Luwu diberkati oleh Tuhan dengan kemakmuran karena menjadi wilayah
pertanian dengan hasil panen jagung yang melimpah ruah setiap tahunnya.

Musim hujan telah berlalu dan musim kemarau datang menjelang . Dimana musim kemarau adalah
musim yang dinanti-nanti penduduk desa sekitar Kerajaan Luwu. Karena dimusim kemarau
tanaman unggulan di wilayah tersebut akan berkembang dengan baik. Sebagian besar penduduk
desa di sekitar Kerajaan Luwu menjadi petani jagung, sementara para perempuan membantu
suaminya dengan menjual hasil bumi di pasar. Mereka biasanya menyimpan hasil panen di sebuah
bangunan kayu yang dibangun di bawah tiang-tiang tinggi untuk menjaga hasil panen dari
serangan tikus. Kebanyakan dari mereka memakai pakaian panjang untuk melindungi mereka dari
pasir dan debu disiang hari yang panas. Setiap tahun, Raja Luwu atau yang biasa disebut dengan
Datu Luwu, selalu mengadakan perayaan besar sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas
hasil panen yang melimpah ruah. Seperti yang terjadi saat ini, para penduduk sedang sibuk
menyiapkan pakaian yang akan mereka kenakan pada perayaan tersebut yang akan diselenggarakan
malam ini. Perayaan ini adalah perayaan yang sangat istimewa sehingga mereka. juga harus
memakai pakaian yang istimewa pula

Disisi lain, tepatnya di taman istana Kerajaan Luwu, terdapat sesosok wanita paruh baya merenung
di bawah bayangan pohon rindang. Wanita yang selalu memakai tudung yang ditlangkupkan di
kepalanya guna menutupi sebagian rambutnya, salah satu ciri penampilan wanita muslim saat itu.
Wanita itu adalah Famajjah, seorang bangsawan terhormat putri dari Muhammad Abdullah To
Barengseng yang lahir di tahun 1880. Wanita yang bernama lain Opu Daeng Risadju itu terlihat
kesepian karena sang suami, Haji Muhammad Daud sedang disibukkan dengan berbagai tugas
kerajaan, di dalam istana pun semua orang sibuk untuk mempersiapkan perayaan besar yang akan
diselenggarakan malam ini.

Para abdi wanita bertugas mengolah bahan makanan menjadi sajian lezat yang akan dihidangkan
kepada para bangsawan, dan sebagian di bagikan kepada perduduk sekitar kerajaan. Sementara itu,
para abdi pria menyiapkan tempat, meja-meja, dan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk perayaan
besar karena keberhasilan panen di wilayah Luwu. Hiruk pikuk pesta ini menjadi tradisi turun
temurun yang ditunggu-tunggu oleh seluruh penduduk. Mereka berbondong bondong sekeluarga
untuk meramaikan pesta tersebut. Mereka semua akan memakan hidangan melimpah, diiringi
nyanyian nyanyian ceria yang membuat hati gembira. Ketika senja hampir tiba, seluruh hidangan
telah siap di atas meja besar di lapangan sekitar kerajaan Luwu. Penduduk dengan sigap mencicipi
hidangan dan bersuka ria. Api unggun dinyalakan untuk menghangatkan hawa dingin malam itu.
Anak anak berlarian dengan gembira mengelilingi bara api. Para pemain telah siap memainkan
musik ceria untuk mengiringi tarian dan nyanyian penduduk desa. Mereka semua tertawa lepas
layaknya beban yang dipikul dimasa lampau hilang entah kemana.

Ditengah-tengah pesta berlangsung Opu Daeng Risadju sibuk mencari keberadaan sang suami yang
tak kunjung datang menghampirinya. Matanya menyapu ke sekeliling hiruk pikuk pesta, mencoba
menembus kumpulan orang-orang yang asyik menari dengan iringan musik dari kelompok
penyanyi dan pemain musik yang memainkan lagu-lagu riang. Ketika tidak menemukan apa yang
dicarinya, matanya menyasar kearah sekelompok manusia yang duduk mengelilingi api unggun
dengan percakapan riuh memenuhi udara malam. Tetapi dia tidak bisa menemukan sosok
suaminya.

Dimana suaminya?

Tiupan angin malam membuat kerudung merah yang menutupi rambutnya meliuk-liuk mengikuti
arah angin. Beliau memejamkan mata sejenak menenangkan pikirannya sambil berpikir di tempat
mana yang sekiranya beliau dapat menemukan suaminya yang tiba-tiba menghilang dari
pandangannya. Setelah mengelilingi berbagai tempat, akhirnya Opu daeng Risadju menemukan
dua sosok lelaki di bawah pohon rindang, yang salah satu dari sosok tersebut adalah suaminya.
Dengan langkah agak tergesa-gesa, opu Daeng Risandu menghampiri mereka.

Haji Muhammad Daud tersenyum simpul melihat sang istri datang menghampirinya, seolah
memberi isyarat kepada Opu Daeng Risadju untuk bergabung dengan pembicaraan politik mereka.
Opu daeng Risadju segera menyesuaikan diri dengan pembicaraan kedua lelaki bangsawan itu. Ia
sudah biasa mendengarkan hal-hal yang berbau politik sehingga beliau sangat mengerti dalam
aspek tersebut Opu Daeng Risadju memang pada mulanya seorang buta huruf, kecuali aksara
bugis. Namun karena semangatnya dalam mencari tahu tentang ilmu politik dan berkat
ketekunannya hal tersebut dapat ditangani dengan mudah. Semua ini juga berkat Haji Muhammad
Daud yang dengan sabar mengajarkan ilmu kepada istri tercintanya. Selain agamanya kuat, Haji
Muhammad Daud juga ingin istrinya memiliki pengetahuan yang luas sama seperti dirinya.

Opu Daeng Risadju mendongakkan kepalanya menatap keatas langit dan menemukan bulan yang
bersinar terang benderang, yang membuat suasana pesta tampak cerah walaupun waktu sudah larut
malam. Merasa badannya sudah lelah, mengingat usia mereka sudah tidak muda lagi, Opu Daeng
Risadju mengajak suaminya agar segera kembali ke istana untuk mngistirahatkan diri.

Setelah selesai mengikuti pesta tersebut, Opu Daeng Risadju menyempatkan diri untuk mengaji.
Seperti kebanyakan orang islam disana, masa remaja Opu Daeng Risadju dulu hanya belajar
mengaji Al-Quran tanpa sekolah formal.
Haji Muhammad Daud meneguk minumannya dalam satu tegukan, lalu meletakkan gelasnya yang
telah kosong itu di atas nakas kecil bagian pojok biliknya, nampaknya beliau sangat kelelahan
karena sepanjang perayaan beliau menjamu banyak tamu dari kerajaan tetangga.

“Famajjah “

Mendengar suara lembut sang suami, Opu Daeng Risadju seketika menoleh kearah sang suami
sambil melipat mukenanya.

“Besok kita akan mengadakan jamuan makan sederhana di istana utama, aku memiliki janji dengan
rekanku yang baru saja datang dari Jawa. Kau masih ingat orang yang baru saja kita temui di
perayaan tadi ?” setelah melihat Famajjah mengangguk, Beliau meneruskan kalimatnya,

“itulah orangnya, saudagar kaya dari Jawa.”

“Baik Datu, dengan senang hati saya akan menemani Datu” ucapnya dengan senyuman lembut
sebelum akhirnya mereka terlelap menuju alam bawah sadarnya.

Keesokan harinya , tepatnya pukul delapan petang, Opu Daeng Risadju mempercepat langkah
kakinya menyesuaikan langkah Haji Muhammad Daud yang baru saja kedatangan tamu yaitu Haji
Muhammad Yahya. Seorang pedagang sukses dari Jawa yang akan bekerjasama dengan Haji
Muhammad Daud. Tangannya terulur untuk menggenggam tangan halus sang istri dan segera
melanjutkan langkah kakinya menyusuri tangga istana.

“Maaf, saya sedikit terlambat datang menemui anda, Haji” ucap Haji muhammad Daud dengan
perasaan sedikit tidak enak karena keterlambatannya padahal rekannya itu sudah menunggu sedari
tadi. Mendengar permintaan maaf dari sang Datu, membuat Haji Muhammad Yahya merasa sangat
terhormat. Bagaimana tidak, Haji Muhammad Daud dikenal sebagai bangsawan yang sangat
dihormati oleh kalangan bangsawan dan pemuka agama di Sulawesi.

Mereka menyantap hidangan mewah yang telah dibawakan oleh abdi wanita kerajaan. Sepanjang
pertemuan mereka malam itu, Haji Muhammad Yahya dan Haji Muhammad Daud hanya
membicarakan masalah politik dan perdagangan antarkerajaan. Namun ada satu pembicaraan yang
menarik perhatian Opu Daeng Risadju yaitu tentang organisasi yang diikuti oleh rekan suaminya,
PSII atau Partai Syarikat Islam Indonesia. Saat Opu Daeng Risadju hendak bertanya kepada Haji
Muhammad Yahya mengenai organisasi tersebut untuk menjawab rasa menasarannya, sayangnya,
tak lama kemudian Haji Muhammad Yahya izin pamit kepada mereka untuk pulang karena ada
acara mendadak. Opu Daeng hanya bisa memakluminya dan mengurungkan niatnya walau rasa
ingin tahu itu mengganjal di hatinya.

“Wahai Famajjah kenapa wajahmu sangat masam?” ucap Haji Muhammad Daud saat melihat binar
mata istrinya semakin meredup setelah menghadiri pertemuan dengan rekannya.

Dengan sedikit terkejut mendengar pertanyaan sang suami, Opu Daeng Risadju segera menjawab,
“tidak ada apapun Datu, aku hanya sedikit tertarik dengan organisasi islam yang tadi kita
bicarakan.” Haji Muhammad Daud mulai mengerti arah pembicaraan mereka. Tentu saja beliau
mengetahui bahwa istrinya sangat menyukai hal-hal yang berbau politik dan ideologi islam.
Mengingat organisasi PSII, pastilah Opu Daeng Risadju sangat tertarik karena organisasi tersebut
memiliki dua hal yang sangat disukai sang istri.

Sambil tersenyum lembut Haji Muhammad Daud berkata “apakah Famajjahku ini ingin kita
mendirikan PSII di Palopo, aku pikir organisasi itu sangat baik untuk menampung gagasan-gagasan
penduduk sekaligus sebagai wadah silaturahmi antar sesama umat islam” .

Opu Daeng Risadju senang bukan main mendengar sang suami mengijinkannya ikut berpartisipasi
dalam organisasi islam tersebut. Saking senangnya Opu Daeng Risadju tidak dapat mengucapkan
satu katapun selain memperlihatkan senyuman bahagianya. Senyum Opu daeng Risandju menular
ke bibir sang suami. Beliau sudah merencanakan apa saja yang harus Beliau lakukan dalam
membangun PSII dengan baik.

Setelah bertemu beberapa kali dengan Haji Muhammad Yahya, Opu Daeng Risadju dan suaminya
semakin mantap untuk mendirikan organisasi PSII di Palopo setelah mendapat izin dari keluarga
dan para bagsawan kerajaan Luwu. Mereka juga berinisiatif untuk menggandeng beberapa pemuka
agama di Luwu .

Tepatnya pada 14 Januari 1930 Partai Syarikat Islam Indonesia resmi dibuka di Palopo, Sulawesi
Selatan. Banyak penduduk yang antusias mengikuti organisasi ini. Khususnya para pemuda palopo
dengan semangat yang berkobar mengikuti PSII sebagai wadah aspirasi pemuda dan rakyat-rakyat
Palopo.

Namun, Opu Daeng Risadju masih bingung dengan susunan pengurus organisasinya itu. Beliau
benar benar memilah mana saja orang yang cocok untuk mendapatkan posisi yang dibutuhkan agar
PSII dapat berjalan dengan baik bahkan dapat bermanfaat bagi Palopo dan sekitarnya. Ada satu
nama di kepalanya yang menurut beliau sangat cocok untuk menjadi salah satu pengurus PSII.
Beliau akan membicarakannya kepada Haji Muhammad Daud ketika sampai di istana.

Sesampainya di istana, Opu Daeng Risadju segera mengatakan usulannya kepada sang Datu.
Mendengar usulan istrinya, Haji Muhammad Daud menolaknya dengan mantap. Sebenarnya beliau
setuju dengan usulan mengenai calon pengurus PSII yang dipilih istrinya. Namun mendengar
istrinya akan menemui sendiri sang calon pengurus tersebut yang tidak disetujuinya. Teluk Bone
bisa dikatakan sangat jauh dari Luwu, medan menuju Teluk Bone pun sangat curam. Bagaimana
mungkin beliau mengijinkan sang istri kesana sendirian?

Walaupun Haji Muhammad Daud sempat melarang, Opu Daeng Risadju tetap menuju Teluk Bone
dengan kuda hitam kesayangannya untuk menemui Mudehang, yang tak lain adalah saudaranya.
Maksud dan tujuan beliau menemui saudaranya yaitu untuk meminta Mudehang agar bersedia
menjabat sebagai sekretaris dalam PSII. Mengingat Mudehang adalah tamatan sekolah dasar lima
tahun yang bisa membaca dan menulis karena sangat sulit menemukan orang yang bisa membaca
dan menulis di Palopo.

Tanpa sepengetahuan Opu Daeng Risadju, Abdul Kadir Daud mengikuti sang Ibu dari belakang. Ia
sangat khawatir bila ibunya bertemu dengan perompak di tengah hutan dan terjadi hal hal yang
tidak diinginkan. Perompak di sekitar hutan Teluk Bone sangat ganas bila menjarah, bahkan
mereka tidak segan-segan untuk menghabisi mangsanya. Secara diam-diam Abdul Kadir Daud
mengamati setiap gerak-gerik di sekitarnya dengan hati hati.

Opu Daeng Risadju berdiri diam di bawah bayang-bayang pepohonan saat hari menjelang senja,
perjalanan yang harus ditempuh dari Palopo menuju ke Teluk Bone membutuhkan waktu yang
lama dan tenaga yang ekstra. Tersadar bahwa kini usianya tak lagi semuda dulu, tulang-tulangnya
kini sudah mulai rapuh, ia butuh istirahat yang cukup untuk mengembalikan staminanya agar
sesegera mungkin sampai ke Teluk Bone. Setelah merasa cukup segar kembali, beliau melanjutkan
perjalanannya.

Mata coklat gelap Opu Daeng Risadju bertumpuk pada satu bangunan besar nan megah yang
berada di lokasi paling ujung dari jalan setapak yang dilaluinya. Beliau terus melangakah
menghampiri bangunan itu yang tak lain adalah rumah Mudehang dengan langkah pelan.

“Assalamualaikum Mudehang” ucapnya setengah teriak sambil mengetuk pintu berharap sang tuan
rumah segera datang menghampirinya.

Sepersekian detik kemudian ada gerakan membuka knop pintu dari dalam bangunan. Begitu
mendongak ke atas untuk melihat sang pelaku, ternyata itu bukanlah Mudehang.

“selamat datang Opu Daeng Risadju, ada apa gerangan tiba-tiba Opu datang kemari?” ucap seorang
abdi kepercayaan Mudehang.

“Dimana Mudehang? Aku ingin bertemu dengannya?”

“Tuan Mudehang sedang mengaji di dalam Opu, silakan masuk” ucap Kahar, sambil membuka
pintu lebar –lebar sebagai tanda mempersilakan masuk tamu.

Matanya berkelana, memindai seluruh isi ruang pertama yang langsung menyambutnya.
Ruangannya sangat besar dan terdapat banyak kaligrafi indah yang berjejeran di dinding.tak lama
kemudian Beliau melihat saudara kesayangannya yang baru saja keluar dari satu bilik kecil yang
terletak di ujung kiri ruang pertama. Tak kuasa menahan rindu mereka saling berpelukan.

“Mengapa saudariku tercinta ini jauh-jauh kemari sendirian, jikalau ada perlu, biarkan aku saja
yang menemuimu di Luwu, Famajjah” ucap Mudehang sambil mempersilakan duduk Opu Daeng
Risadju.

“Tidak apa, lagi pula aku sudah lama tidak berkunjung kemari, Mudehang. Aku hanya ingin
memintamu untuk menjadi sekretaris organisasi islam yang baru saja aku dan suamiku dirikan.”
Opu daeng Risadju menjelaskan organisasi Islam itu secara detil kepada Mudehang.

Tanpa pikir panjang Mudehang menyetujui pemintaan saudarinya itu. Suatu kebanggaan bagi
dirinya dapat menjabat sebagai sekretaris di PSII yang menurutnya organisasi tersebut sangat
berdampak baik bagi penduduk Palopo.
“Kita akan bangun sama-sama PSII, agar berguna bagi rakyat Palopo” ucap Mudehang meyakinkan
tekad saudarinya.

Anda mungkin juga menyukai