MASYARAKAT INDONESIA
MAJALAH ILMU-ILMU SOSIAL INDONESIA
DAFTAR ISI
RINGKASAN DISERTASI
BRIDGING PEOPLE, SEIZING THE FUTURE: INDONESIAN MIGRANT ENTREPRENEURS
IN TAIWAN AND RETURN MIGRANT ENTREPRENEURSHIP IN MALANG, EAST JAVA
Paulus Rudolf Yuniarto........................................................................................................................... 113-123
i
RINGKASAN DISERTASI
PENGUASA, PENGUSAHA, DAN PETANI: KAPITALISME PERKEBUNAN SAWIT, DISTORSI
SOSIAL EKONOMI, DAN PERLAWANAN PETANI DI INDRAGIRI HULU, RIAU, 1978–2010
Zaiyardam Zubir .................................................................................................................................... 125-141
TINJAUAN BUKU
MENGHIJAUKAN SEKTOR SAWIT MELALUI PETANI, LESSON-LEARNED HIVOS UNTUK ISU
SAWIT BERKELANJUTAN
Nia Kurniawati Hidayat ......................................................................................................................... 143-149
MASYARAKAT INDONESIA
MAJALAH ILMU-ILMU SOSIAL INDONESIA
DDC: 307.1
Erwiza Erman
DI BALIK KEBERLANJUTAN SAWIT: AKTOR, ALIANSI DALAM EKONOMI
POLITIK SERTIFIKASI UNI EROPA
Masyarakat Indonesia, Vol. 43 (1) Juni 2017: 1–13
ABSTRAK
Keberlanjutan lingkungan dan keadilan sosial adalah dua prinsip utama dalam sertifikasi sawit global (RSPO)
yang harus dipatuhi oleh negara eksportir minyak kelapa sawit ke Uni Eropa. Oleh karena itu, sukses atau tidaknya
perdagangan sawit dari Indonesia dan Malaysia ke Uni Eropa bergantung pada pemenuhan kriteria tersebut.
Dalam kenyataannya, persoalan pemenuhan kriteria tersebut menjadi “pintu masuk” bagi gerakan masyarakat sipil
internasional untuk melakukan kampanye hitam di Uni Eropa. Tulisan ini mencoba menjelaskan peran aktor dan
aliansi di negara produsen sawit, Indonesia dan Malaysia, dalam merespons pelaksanaan RSPO dan kampanye
hitam di Eropa. Dengan menggabungkan studi kepustakaan dan wawancara mendalam, studi ini memperlihatkan
bahwa aktor-aktor dari negara produsen minyak sawit memiliki peranan yang kuat dalam proses tawar-menawar
dalam pelaksanaan RSPO. Mereka memberikan kritik yang tajam terhadap kelemahan-kelemahan RSPO dan secara
aktif membentuk sertifikat tandingan, di Indonesia disebut ISPO, sedangkan di Malaysia MSPO. Di balik persoalan
ketidakberlanjutan dan ketidakadilan sosial yang menjadi prinsip dasar sertifikasi global, terdapat persaingan dagang
antara negara produsen minyak nabati sawit dan negara-negara di Uni Eropa yang memproduksi minyak nabati
seperti dari bunga matahari dan rapeseed.
Kata kunci: sertifikat, aktor, sawit, perdagangan, Uni Eropa
DDC: 307.1
Risa Bhinekawati
TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN, MODAL SOSIAL DAN
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN: PEMBELAJARAN DARI PERUSAHAAN
KELAPA SAWIT INDONESIA
Masyarakat Indonesia, Vol. 43 (1) Juni 2017: 15–32
ABSTRAK
Tulisan ini menunjukkan bahwa program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dari suatu perusahaan kelapa
sawit dapat membangun modal sosial yang berkontribusi pada pencapaian sasaran pembangunan berkelanjutan
(SDGs). Dengan menggunakan metode riset kualitatif dan studi kasus eksploratif, penelitian ini menyelidiki
mengapa dan bagaimana suatu perusahaan memperbaiki kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup melalui
pemberdayaan petani kecil dan pembangunan modal sosial bagi masyarakat di sekitar perkebunan kelapa sawit
sejak 1992 hingga 2011. Sebuah perusahaan kelapa sawit besar dipilih sebagai studi kasus berdasarkan pada kriteria
iii
exemplary case study. Penelitian ini membangun model teori berdasarkan pada analisis data primer dan sekunder
yang didapat dari dokumen perusahaan, catatan media, wawancara dan observasi. Program CSR yang dilakukan
perusahaan didorong oleh tujuan strategis untuk memenuhi kebutuhan bisnisnya dengan memecahkan masalah
sosial dan lingkungan hidup di sekitar perkebunan. Melalui program pemberdayaan petani kecil, perusahaan
membangun modal sosial melalui peningkatan hubungan baik, peningkatan kemampuan manajemen dan teknis,
serta pemberian akses keuangan dan pasar bagi petani. Dengan demikian, petani dan perusahaan dapat bekerja
sama untuk mencapai tujuan ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup. Tulisan ini membangun model teori dengan
menghubungkan konsep CSR, modal sosial, kesinambungan perusahaan, dan SDGs yang terhubung di penelitian
sebelumnya.
Kata kunci: Indonesia, modal sosial, perkebunan kelapa sawit, petani kelapa sawit, pembangunan berkelanjutan,
tanggung jawab sosial perusahaan
DDC: 305.4
Rini Hanifa dan Eusebius Pantja Pramudya
PERSPEKTIF GENDER DALAM KEBERLANJUTAN SAWIT
Masyarakat Indonesia, Vol. 43 (1) Juni 2017: 33–46
ABSTRAK
Berbagai inisiatif untuk meningkatkan keberlanjutan (sustainability) sektor sawit yang belakangan muncul,
seperti RSPO dan ISPO, mulai ikut memberikan perhatian terhadap aspek gender. Studi ini mencoba menganalisis
bagaimana inisiatif-inisiatif sawit berkelanjutan berusaha menjawab isu gender. Analisis dilakukan dengan
berdasarkan pada studi pustaka dan informasi lapangan dari Riau, Jambi, Sumatra Utara, dan Kalimantan Timur.
Temuan dari penelitian ini menunjukkan upaya membangun kesetaraan gender dalam sawit berkelanjutan belum
terjadi sepenuhnya karena keterbatasan dalam mengoperasionalkan perspektif gender dalam standar sustainability.
Isu gender yang dicakup masih sebatas upaya perlindungan perempuan terhadap risiko pekerjaan dalam sektor
sawit, yang masih sebatas paradigma women in development. Pengembangan yang seharusnya dilakukan adalah
mengaplikasikan paradigma gender and development untuk mencapai relasi yang setara antara laki-laki dan
perempuan serta mengatasi berbagai hambatan struktural yang memengaruhinya.
Kata Kunci: perspektif gender, keberlanjutan sawit, RSPO, ISPO
DDC: 306.3
Sakti Hutabarat
TANTANGAN KEBERLANJUTAN PEKEBUN KELAPA SAWIT RAKYAT
DI KABUPATEN PELALAWAN, RIAU DALAM PERUBAHAN
PERDAGANGAN GLOBAL
Masyarakat Indonesia, Vol. 43 (1) Juni 2017: 47–64
ABSTRAK
Pekebun kelapa sawit merupakan aktor yang berpotensi menjadi bagian penting dari perdagangan minyak
sawit global. Luas perkebunan kelapa sawit rakyat mencapai 41,4% dari seluruh area perkebunan sawit Indonesia
dengan produksi 36,6% dari total produksi minyak sawit Indonesia pada 2015. Jumlah pekebun kelapa sawit rakyat
mencapai 2,3 juta; ini merupakan jumlah yang cukup signifikan sebagai penggerak perekonomian di pedesaan.
Namun, pekebun kelapa sawit rakyat sangat rentan terhadap berbagai isu (lingkungan, sosial, dan legalitas) yang
dapat menghambat akses pasar di rantai suplai internasional. Studi ini bertujuan menganalisis posisi dan kapasitas
pekebun kelapa sawit rakyat dalam menghadapi perubahan global perdagangan internasional. Populasi penelitian
ini adalah pekebun kelapa sawit rakyat di Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau, yaitu pekebun
kelapa sawit swadaya bersertifikat RSPO, pekebun kelapa sawit swadaya non-RSPO, dan pekebun kelapa sawit
plasma bersertifikat RSPO. Jumlah sampel ditentukan sebesar 220 pekebun dan dipilih secara acak untuk setiap
grup (80, 80, dan 80 pekebun). Studi ini memperlihatkan sebagian besar pekebun masih menjalankan bisnis
kelapa sawit secara tradisional. Praktik pertanian yang dilakukan masih jauh dari praktik pertanian yang terbaik
(good agricultural practices) ataupun dari standar sertifikasi yang ada. Perjuangan pekebun kelapa sawit swadaya
DDC: 307.1
Ermanto Fahamsyah dan Eusebius Pantja Pramudya
SISTEM ISPO UNTUK MENJAWAB TANTANGAN DALAM PEMBANGUNAN
KELAPA SAWIT INDONESIA YANG BERKELANJUTAN
Masyarakat Indonesia, Vol. 43 (1) Juni 2017: 65–79
ABSTRAK
Penyelenggaraan sistem sertifikasi ISPO yang berjalan sejak 2011, di samping telah mengalami berbagai
pencapaian dan perkembangan, menemui berbagai hambatan, masalah, tantangan, dan tuntutan. Penelitian ini
bertujuan untuk melihat adalah aspek-aspek apa saja yang harus dirumuskan dalam rangka penguatan sistem
ISPO? Untuk menganalisis dan menjawab rumusan masalah tersebut, digunakan kerangka berpikir tentang teori
sistem hukum atau legal system theory yang dikembangkan oleh Lawrence M. Friedman. Metode penelitian
yang digunakan dalam kajian ini lebih dititikberatkan pada penelitian hukum normatif. Berdasarkan pada analisis
yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek yang harus dirumuskan dalam rangka penguatan sistem
ISPO meliputi: pertama, terkait dengan aspek substansi hukum, pengaturan sistem ISPO harus ditingkatkan dari
tingkat peraturan menteri pertanian menjadi tingkat peraturan presiden. Peraturan presiden ini diharapkan dapat
menjadi payung hukum yang lebih kuat dalam penyelenggaraan sistem ISPO. Kedua, terkait dengan aspek aparatur
hukumnya, mekanisme kelembagaan penyelenggaraan sertifikasi ISPO harus disempurnakan dan dikuatkan. Ketiga,
dari aspek budaya hukum, harus ada persamaan pemahaman mengenai definisi dan konsep sustainability dalam
pengelolaan dan pengembangan kelapa sawit Indonesia.
Kata kunci: ISPO, Pembangunan, Kelapa Sawit, Berkelanjutan, Indonesia
DDC: 307.1
Abstrak | v
industri minyak berperan dalam pembangunan pedesaan, pengurangan kemiskinan, pemerataan pembangunan
ekonomi, serta memperbaiki ketimpangan pendapatan dan pembangunan. Dalam aspek ekologi, perkebunan sawit
menyumbang pada pembangunan berkelanjutan melalui peranannya dalam menyerap CO2 dan menghasilkan O2
serta meningkatkan biomassa lahan. Perkebunan kelapa sawit juga mengurangi emisi gas rumah kaca.
Kata kunci: multifungsi pertanian, berkelanjutan, ekonomi, sosial, ekologi
DDC: 306.3
Ngadi dan Mita Noveria
KEBERLANJUTAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI INDONESIA DAN
PROSPEK PENGEMBANGAN DI KAWASAN PERBATASAN
Masyarakat Indonesia, Vol. 43 (1) Juni 2017: 95–111
ABSTRAK
Perkebunan kelapa sawit telah memberikan peran positif terhadap penciptaan kesempatan kerja dan kesejahteraan
masyarakat. Meskipun demikian, komoditas ini masih menghadapi permasalahan keberlanjutan usaha. Paper ini
bertujuan mengkaji keberlanjutan perkebunan kelapa sawit dari aspek sosial ekonomi dan prospek pengembangannya
di wilayah perbatasan. Data yang analisis adalah hasil penelitian peneliti-peneliti Pusat Penelitian Kependudukan
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Kedeputian Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan
LIPI di Provinsi Sumatra Selatan serta beberapa daerah di kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan
Barat dan Utara. Hasil penelitian menunjukkan, pada 2014, perkebunan kelapa sawit telah menciptakan 5,3 juta
kesempatan kerja di Indonesia. Di wilayah perbatasan, pengembangan kelapa sawit juga menciptakan kesempatan
kerja bagi para TKI yang sebelumnya bekerja di Malaysia ataupun calon TKI yang akan bekerja di Malaysia.
Namun, banyak perkebunan kelapa sawit yang belum dikelola secara berkelanjutan, sisi kelembagaan dan akses
terhadap lahan. Kelembagaan yang lemah di perkebunan kelapa sawit menyebabkan sebagian koperasi (KUD) tidak
mampu beroperasi. Di sisi lain, rendahnya akses terhadap lahan berdampak banyaknya konflik lahan yang terjadi
perkebunan kelapa sawit. Keadaan tersebut berakibat rendahnya pendapatan tenaga kerja di perkebunan kelapa
sawit. Perkebunan kelapa sawit berkelanjutan di Indonesia hanya dapat diciptakan melalui perbaikan kelembagaan
petani, akses terhadap lahan dan produktivitas lahan.
Kata kunci: Kelapa sawit berkelanjutan, tenaga kerja perkebunan, Sumatra Selatan, kawasan perbatasan
Zaiyardam Zubir
RINGKASAN DISERTASI
PENGUASA, PENGUSAHA, DAN PETANI: KAPITALISME PERKEBUNAN SAWIT,
DISTORSI SOSIAL EKONOMI, DAN PERLAWANAN PETANI DI INDRAGIRI
HULU, RIAU, 1978–2010
Masyarakat Indonesia, Vol. 43 (1) Juni 2017: 125–141
ABSTRAK
Permasalahan pokok penelitian ini adalah tentang perlawanan petani perkebunan sawit di Indragiri Hulu, Riau.
Perlawanan petani ini tidak terlepas dari kebijakan nasional yang mendukung ekspansi industri non-migas. Usaha
nonmigas yang dikembangkan pemerintah pusat adalah pembukaan perkebunan besar. Pembukaan perkebunan besar
membutuhkan tanah yang luas sehingga investor mengembangkan usahanya sampai ke pelosok-pelosok seperti di
Indragiri Hulu. Pengembangan perkebunan sawit itu membawa persoalan dalam masyarakat dan perlawanan petani.
Studi ini mengkaji praktik kapitalisme perkebunan dan perlawanan masyarakat, khususnya petani di Indragiri Hulu.
Penulisan ini menggunakan metode sejarah dengan menggabungkan antara sumber tertulis dan sumber lisan, baik
primer maupun sekunder. Ekspansi kapitalisme perkebunan di Indragiri Hulu menimbulkan berbagai persoalan,
terutama masalah tanah, seperti ganti rugi yang rendah dan perampasan tanah. Penguasa dan pengusaha juga
mengabaikan nilai-nilai lokal menyangkut kepemilikan tanah, seperti tanah ulayat, hutan adat, dan hutan larangan.
Hal ini menyebabkan munculnya dua bentuk perlawanan petani, yaitu tertutup dan terbuka. Kesimpulan yang dapat
diambil dari penelitian ini adalah praktik kapitalis perkebunan yang didasarkan pada sistem ekonomi tradisional
menimbulkan berbagai anomali dalam masyarakat, khususnya di kalangan petani. Anomali itu di antaranya,
pertama, melemahnya hak atas kepemilikan tanah dari penduduk lokal (asli). Kedua, berlangsungnya pelanggaran
terhadap hukum adat, terutama menyangkut tanah oleh pemilik modal. Ketiga, munculnya broker-broker yang
merugikan petani. Keempat, terjadinya unbalanced relationships atau relasi yang tidak seimbang antara penguasa,
pengusaha, dan petani. Kelima, perlawanan petani terhadap praktik kapitalisme di Indragiri Hulu. Keenam, adanya
efek samping berupa kemunculan sub-sub-urban di pinggiran perkebunan besar.
Kata kunci: penguasa, pengusaha, petani, perlawanan, perkebunan, sawit
TINJAUAN BUKU
MENGHIJAUKAN SEKTOR SAWIT MELALUI PETANI, LESSON-LEARNED
HIVOS UNTUK ISU SAWIT BERKELANJUTAN
Eusebius Pantja Pramudya, Agung Prawoto, Rini Hanifa. (2015). Jakarta: Renebook. P. 252
Masyarakat Indonesia, Vol. 43 (1) Juni 2017: 143–149
vii
viii | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017
NO. AKREDITASI: 640/AU3/P2MI-LIPI/07/2015 ISSN 0125-9989
MASYARAKAT INDONESIA
MAJALAH ILMU-ILMU SOSIAL INDONESIA
DDC: 307.1
Erwiza Erman
BEHIND SUSTAINABILITY OF PALM OIL: ACTORS, ALLIANCES IN THE
POLITICAL ECONOMY CERTIFICATION OF EUROPEAN UNION
Masyarakat Indonesia, Vol. 43 (1) Juni 2017: 1–13
ABSTRACT
Environmental sustainability and social justice are the two key principles of global oil palm certification
(RSPO) that the country of export of palm oil to the European Union (EU) must adhere to. Therefore, the success
or failure of palm oil trade from Indonesia and Malaysia to the EU depends on the fulfillment of these criteria. In
reality, the issue of fulfilling these criteria has become an ‘entrance’ for international civil society movements to
launch a black campaign in the European Union. This article tries to explain the role of actors and their alliances
in palm oil producing countries, Indonesia and Malaysia in response to the implementation of the RSPO and black
campaigns in Europe. Combining literary studies and in-depth interviews, this study shows that actors from palm
oil producing countries have a strong role in the bargaining process to get the RSPO certificate. They are very
active in giving criticism to the RSPO’s weaknesses, and even establish counter-certificates, in Indonesia called
ISPO and in Malaysia with MSPO. Behind the issue of unsustainability and social injustice as principal elements
of global certification, there is trade competition between palm oil producing countries and countries in European
Union that produce vegetable oils such as sunflower and rapeseed oils.
DDC: 307.1
Risa Bhinekawati
CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY, SOCIAL CAPITAL AND SUSTAINABLE
DEVELOPMENT: LESSONS FROM AN INDONESIAN PALM OIL COMPANY
Masyarakat Indonesia, Vol. 43 (1) Juni 2017: 15–32
ABSTRACT
This paper reveals that corporate social responsibility (CSR) programs of a large palm oil company can
actually build social capital that contribute to sustainable development goals (SDGs). Using an exploratory
qualitative case study, this study investigates why and how a company improves social, economic, and social
conditions of communities surrounding its palm oil plantations through smallholder farmers empowerment and
social capital development, from 1992 to 2011. A case study of a sustainable palm oil company in Indonesia was
chosen as an exemplary case study for theoretical or purposive sampling. Primary and secondary data from
company documents, media records, interviews and observations were analysed to develop a theoretical model.
The study finds that the CSR program is driven by company’s strategic intention to fulfill their business needs by
ix
solving the social and environmental issues surrounding its palm oil plantations. Through smallholder farmers’
development program, the company builds social capital that improves social relationship, farmers’ capabilities,
and farmers’ access to finance and market; so they are capable to act collectively with the company to achieve
economic, social, and environmental performance for both the farmers and the company. This research has created
linkages for previously disparate areas of academic enquiry by showing the actual interrelationships between CSR,
social capital, corporate sustainability and SDGs.
Keywords: Indonesia, Corporate social responsibility, Palm oil plantations, Smallholder farmers, Social capital,
Sustainable Development Goals
DDC: 305.4
Rini Hanifa dan Eusebius Pantja Pramudya
GENDER PERSPECTIVE IN SUSTAINABILITY OF PALM OIL
Masyarakat Indonesia, Vol. 43 (1) Juni 2017: 33–46
ABSTRACT
The emerging initiatives to improve sustainability of the palm oil sector, i.e. RSPO and ISPO, have started
paying attention to gender aspect. This study analyzes the ways the sustainable palm oil initiatives have addressed
gender issues. The analysis is based on literature study and field information from Riau, Jambi, North Sumatra,
and East Kalimantan. The findings of this study indicate that several initiatives to achieve gender equality in
sustainable palm oil have not successfully reach its objective because of the limitations in operationalizing gender
perspectives into sustainability standards. Gender issue in the standards is still limited to women’s protection from
the occupational risks of working in the palm oil sector, which is still within the scope of Women in Development
paradigm. Further development is needed by applying Gender and Development paradigm to achieve equitable
gender relations between men and women and addressing structural barriers that influence them is still limited.
Keyword: sustainable palm oil, RSPO, ISPO, gender perspective
DDC: 306.3
Sakti Hutabarat
THE CHALLENGES OF PALM OIL FARMERS CONTINUITY IN PELALAWAN
DISTRICT, RIAU PROVINCE IN GLOBAL TRADE CHANGE
Masyarakat Indonesia, Vol. 43 (1) Juni 2017: 47–64
ABSTRACT
Oil palm smallholders are potential actors to be included in the global palm oil market. Smallholder plantations
account for 41.4% of total oil palm plantation areas and represents 36.6% of total CPO produced in Indonesia
in 2015. The number of farmers involves in oil palm plantation encompass 2.3 million farmers which have been
an important driver for economic growth in rural areas. However, oil palm smallholders are vulnerable from
issues related to unsustainable production including environmental, social and legal issues which might lower
access and exclude smallholder access to global market. The objective of this study is to analyze position and
capacity of oil palm smallholders in facing global change in international market. Population of this study is oil
palm smallholder farmers in Ukui Subdistrict, Pelalawan District, Riau Province which consist of RSPO-certified
independent smallholders, Non-certified independent smallholders, and RSPO-certified scheme smallholders.
The sample size were 220 farmers and chosen randomly from each group (80, 60 and 80 farmers for each group
respectively). The study found that majority of the farmers still apply traditional practices in their plantations and
far below the standard of good agricultural practices and certification standards. The challenges faced by the
Amanah Association to obtain RSPO certificate is not easy to follow by other smallholders. Therefore, external
supports from government and private actors are needed to improve farmers’ capacity to meet and comply with
certification and to include small-scale farmers in the palm oil global supply chain.
Keywords: Independent smallholders, scheme smallholders, oil palm, certification, global market
DDC: 307.1
Jan Horas V. Purba danTungkot Sipayung
INDONESIAN PALM OIL PLANTATION IN THE PERSPECTIVE OF SUSTAINABLE
DEVELOPMENT
Masyarakat Indonesia, Vol. 43 (1) Juni 2017: 81–94
ABSTRACT
The purpose of this study is to analyze (1) whether oil palm plantations are the main drivers of deforestation
in Indonesia; and (2) how does the Indonesian palm oil industry contribute to sustainable development both
economically, socially and ecologically. Oil palm plantations are Indonesia’s strategic industries. Since 2000, the
Indonesian palm oil industry has grown rapidly and has influenced the dynamics of competition among vegetable
oils including the form of black campaigns and accusations as drivers of deforestation in Indonesia. The research
methodology is empirical descriptive research, which are: (1) to analyze the history of deforestation in logging era
in Indonesia and related to the development of oil palm plantation and (2) to analyze the linkage of Indonesian oil
palm plantation development with economic, social and ecological aspect. In the period 1950-2013, conversion of
forests into non-forests is quite high ie 98.8 million hectares. However, the area of oil palm plantation Indonesia
only increased from 0.1 million hectares (1950) to 10.4 million hectares (2013). Based on satellite data (Gunarso,
et al., 2012) revealed that the origins of Indonesian oil palm plantations are mostly from degraded land, and
only 3.4 percent are converted from primary forest. This proves that oil palm plantations as the main drivers of
deforestation in Indonesia are not true. In the economic aspect, the palm oil industry contributes in generating
foreign exchange, regional development and successfully creating farmers into middle income. In the social aspect,
the oil industry plays a role in rural development and poverty reduction and equitable economic development,
and improves income and development inequalities. In the ecological aspect, oil palm plantations contribute to
sustainable development through its role in absorbing CO2 and generating O2, and increasing land biomass. Oil
palm plantations also reduce greenhouse gas emissions.
Keywords: multifunctional agriculture, sustainable, economic, social, ecological
Abstrak | xi
DDC: 306.3
Ngadi dan Mita Noveria
SUSTAINABILITY OF PALM OIL PLANTATION AND IT’S DEVELOPMENT
PROSPECT IN BORDER AREAS
Masyarakat Indonesia, Vol. 43 (1) Juni 2017: 95–111
ABSTRACT
Palm oil plantation has a significant role in creation of job opportunity and welfare of society. However, there
are still many problems challenged in maintaining sustainability of palm oil plantation. This paper aims to assess
sustainability of palm oil plantation from social and economy aspects and also the prospect of development of
palm oil plantation in border areas. This paper analyses the data of some research conducted by researchers of the
Research Centre for Population and the Deputy of Social Sciences and Humanities, Indonesian Institute of Sciences
in the province of South Sumatra and Indonesia-Malaysia border areas in West, East, and North Kalimantan. The
research shows that in 2014 palm oil plantation has created 5.2 millions job opportunity in Indonesia. In border
areas, particularly, development of palm oil plantation has generated job opportunities for Indonesian workers who
previously worked in Malaysia and those who intend to work in the neighbouring country. Nevertheless, many palm
oil plantation have not been sustainably managed in term of institution and access to land. Weak institutionality
in oil palm plantations caused some institutional farmers (KUD) to be unable to operate. On the other hand, low
access to land created many cases of land conflicts in palm oil plantations. The situation has brought about the
low income of labor in palm oil plantations. Sustainable palm oil plantations in Indonesia can only be created
through improvements to farmer institutions, access to land and land productivity.
Keywords: Sustainable palm oil, plantation labor, South Sumatra, Border areas
xiii
xiv | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017
DI BALIK KEBERLANJUTAN SAWIT: AKTOR, ALIANSI
DALAM EKONOMI POLITIK SERTIFIKASI UNI EROPA*
ERWIZA ERMAN
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
E-mail: erwiza_e@yahoo.com
ABSTRACT
Environmental sustainability and social justice are the two key principles of global oil palm certification
(RSPO) that the country of export of palm oil to the European Union (EU) must adhere to. Therefore, the success
or failure of palm oil trade from Indonesia and Malaysia to the EU depends on the fulfillment of these criteria. In
reality, the issue of fulfilling these criteria has become an ‘entrance’ for international civil society movements to
launch a black campaign in the European Union. This article tries to explain the role of actors and their alliances
in palm oil producing countries, Indonesia and Malaysia in response to the implementation of the RSPO and black
campaigns in Europe. Combining literary studies and in-depth interviews, this study shows that actors from palm
oil producing countries have a strong role in the bargaining process to get the RSPO certificate. They are very
active in giving criticism to the RSPO’s weaknesses, and even establish counter-certificates, in Indonesia called
ISPO and in Malaysia with MSPO. Behind the issue of unsustainability and social injustice as principal elements
of global certification, there is trade competition between palm oil producing countries and countries in European
Union that produce vegetable oils such as sunflower and rapeseed oils.
ABSTRAK
Keberlanjutan lingkungan dan keadilan sosial adalah dua prinsip utama dalam sertifikasi sawit global (RSPO)
yang harus dipatuhi oleh negara eksportir minyak kelapa sawit ke Uni Eropa. Oleh karena itu, sukses atau tidaknya
perdagangan sawit dari Indonesia dan Malaysia ke Uni Eropa bergantung pada pemenuhan kriteria tersebut.
Dalam kenyataannya, persoalan pemenuhan kriteria tersebut menjadi “pintu masuk” bagi gerakan masyarakat sipil
internasional untuk melakukan kampanye hitam di Uni Eropa. Tulisan ini mencoba menjelaskan peran aktor dan
aliansi di negara produsen sawit, Indonesia dan Malaysia, dalam merespons pelaksanaan RSPO dan kampanye
hitam di Eropa. Dengan menggabungkan studi kepustakaan dan wawancara mendalam, studi ini memperlihatkan
bahwa aktor-aktor dari negara produsen minyak sawit memiliki peranan yang kuat dalam proses tawar-menawar
dalam pelaksanaan RSPO. Mereka memberikan kritik yang tajam terhadap kelemahan-kelemahan RSPO dan secara
aktif membentuk sertifikat tandingan, di Indonesia disebut ISPO, sedangkan di Malaysia MSPO. Di balik persoalan
ketidakberlanjutan dan ketidakadilan sosial yang menjadi prinsip dasar sertifikasi global, terdapat persaingan dagang
antara negara produsen minyak nabati sawit dan negara-negara di Uni Eropa yang memproduksi minyak nabati
seperti dari bunga matahari dan rapeseed.
PENDAHULUAN
Pada April 2017, pemerintah Indonesia dikejut mulai dari para pejabat yang berkepentingan da
kan oleh resolusi Parlemen Uni Eropa untuk lam kaitan dengan perkebunan dan p erdagangan
tidak membeli minyak sawit untuk biodiesel sawit internasional sampai ke Presiden dan Wakil
pada 2020 karena dinilai tidak diproduksi secara Presiden. Sampai Oktober 2017, respons dari para
berkelanjutan dan memicu deforestasi. Resolusi aktor negara menghubungkan resolusi itu dengan
ini mendapat respons dari negara produsen sawit politik diskriminatif Uni Eropa, kampanye hitam,
terbesar, seperti Indonesia dan Malaysia. Di Indo- dan mempertanyakan persoalan keberlanjutan
nesia, respons datang dari berbagai aktor negara,
*Artikel ini telah dipresentasikan dalam Academic Forum on Sustainability I, yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Sumber
Daya Regional (P2SDR) LIPI, Yayasan Inspirasi Indonesia (YII), dan Centre for Inclusive and Sustainable Development
(CISDEV) Universitas Prasetiya Mulya, di Jakarta 31 Januari 2017.
1
dan deforestasi perkebunan sawit yang menyalahi faktor-faktor yang memberi sumbangan penting
prinsip-prinsip yang tertera dalam sertifikasi sawit terhadap kesuksesan ISPO, sedangkan Hia dan
global atau yang dikenal dengan Roundtable Kusumawardani (2016) membuktikan adanya
Sustainable Palm Oil (RSPO). efek positif dari pemenuhan kriteria keberlanjutan
Persoalan keberlanjutan lingkungan dan dalam prinsip-prinsip ISPO terhadap permintaan
keadilan sosial adalah prinsip utama yang harus ekspor minyak sawit Indonesia ke Uni Eropa
dipatuhi negara produsen sawit, seperti Indonesia. untuk periode 2009–2014. Meskipun ada efek
Walaupun demikian, persoalan keberlanjutan dan positif pemenuhan kriteria keberlanjutan dalam
keadilan sosial ini pula yang menjadi kendala prinsip-prinsip ISPO terhadap perdagangan mi
dalam perdagangan sawit dari negara produsen nyak sawit Indonesia ke Uni Eropa, muncul pula
ke negara konsumen, seperti Uni Eropa. Sebelum persoalan-persoalan kontroversi terhadap keber-
dan setelah pembentukan RSPO pada 2004 sampai lanjutan lingkungan dan keadilan sosial, antara
sekarang, persoalan keberlanjutan lingkungan lain masalah deforestasi, musnahnya keragaman
dan keadilan sosial merupakan kampanye yang hayati, konflik tanah, dan masyarakat adat di
terus-menerus dilakukan lembaga swadaya sekitar perkebunan sawit.
masyarakat (LSM) di tingkat lokal, nasional, Studi-studi di atas telah memberikan sum
internasional, dan transnasional serta aliansinya, bangan penting dalam melihat trayektori per
baik di negara produsen sawit maupun di negara kembangan dan debat-debat dalam persoalan
konsumen di Uni Eropa. Persoalan perdagangan keberlanjutan lingkungan dan keadilan sosial
sawit ke Uni Eropa ternyata mudah, yakni hanya menurut skema sertifikasi persawitan. Skema-
dengan memiliki sertifikasi RSPO. Persoalannya skema sertifikasi itu bisa dikatakan sebagai
terletak pada proses yang rumit, memerlukan desain kebijakan yang paling inovatif pada abad
biaya, penilaian-penilaian yang tidak “fair”, serta ini. Walaupun demikian, persoalan keefektifan
cara-cara perusahaan perkebunan dan petani sawit skema-skema sertifikasi dan praktiknya, menurut
memperoleh sertifikasi RSPO sebagai “pintu ma- McCarthy (2010), sangat terbatas karena persoal
suk” memuluskan ekspor minyak sawit Indonesia an-persoalan lingkungan dan keadilan sosial dari
ke Uni Eropa. Artikel ini ingin melihat peran aktor mata rantai perdagangan global seperti sawit
dari negara produsen sawit Indonesia dan Malaysia digerakkan terutama oleh sebuah koalisi-koalisi
dalam menanggapi isu-isu ketidakberlanjutan strategis yang “embedded” di tingkat lokal dan
tersebut dan alasan di balik isu-isu itu. merefleksikan kepentingan-kepentingan rezim,
Isu-isu sosial yang menyertai ekspansi per kapasitas negara, dan agenda-agenda bisnis.
kebunan sawit dan perdagangan minyak sawit Artikel ini ingin melihat peranan aktor dan
telah mendapat perhatian ilmuwan sosial, dari aliansinya dari negara produsen sawit, Indonesia
konflik sosial, konflik tanah, marginalisasi masya dan Malaysia, dalam merespons sertifikasi sawit
rakat adat dan mata pencarian mereka, konflik global serta kampanye ketidakberlanjutan sawit
dalam hubungan kerja, perdagangan, sampai dan ketidakadilan sosial.
hilangnya keberagaman hayati (Marti, 2008; Koh, Pertanyaannya kemudian, bagaimana aktor-
2008). Studi Varkkey (2016) menitikberatkan aktor negara produsen sawit mempertahankan
hubungan ekspansi perkebunan sawit dengan kepentingan bisnisnya dari gerakan masyarakat
politik patronasi pemerintah. Politik patronasi sipil lokal, nasional, dan internasional, bahkan
ini telah memunculkan sikap pemerintah yang resolusi sawit Parlemen Uni Eropa, yang mem-
abai dalam menangani persoalan keberlanjutan permasalahkan soal keberlanjutan lingkungan dan
lingkungan dan keadilan sosial seperti dibuktikan keadilan sosial tersebut? Langkah-langkah apa
oleh Oliver Pye (2010). Persoalan keberlanjutan yang ditempuh aktor-aktor dari negara produsen,
lingkungan dan keadilan sosial diperkuat dengan terutama Indonesia dan Malaysia, dalam meng-
sertifikasi global (RSPO) pada 2004, sehingga hadapi serangan tersebut? Apakah negara-negara
studi-studi tentang sertifikasi global (RSPO) dan produsen sawit seperti Indonesia dan Malaysia,
nasional (ISPO dan MSPO) bermunculan pula. sebagai negara berkembang, terkooptasi dengan
Harsono, Chozin, dan Fauzi (2016) melihat
ABSTRAK
Tulisan ini menunjukkan bahwa program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dari suatu perusahaan
kelapa sawit dapat membangun modal sosial yang berkontribusi pada pencapaian sasaran pembangunan
berkelanjutan (SDGs). Dengan menggunakan metode riset kualitatif dan studi kasus eksploratif, penelitian ini
menyelidiki mengapa dan bagaimana suatu perusahaan memperbaiki kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup
melalui pemberdayaan petani kecil dan pembangunan modal sosial bagi masyarakat di sekitar perkebunan kelapa
sawit sejak 1992 hingga 2011. Sebuah perusahaan kelapa sawit besar dipilih sebagai studi kasus berdasarkan pada
kriteria “exemplary case study”. Penelitian ini membangun model teori berdasarkan pada analisis data primer dan
sekunder yang didapat dari dokumen perusahaan, catatan media, wawancara dan observasi. Program CSR yang
dilakukan perusahaan didorong oleh tujuan strategis untuk memenuhi kebutuhan bisnisnya dengan memecahkan
masalah sosial dan lingkungan hidup di sekitar perkebunan. Melalui program pemberdayaan petani kecil,
perusahaan membangun modal sosial melalui peningkatan hubungan baik, peningkatan kemampuan manajemen
dan teknis, serta pemberian akses keuangan dan pasar bagi petani. Dengan demikian, petani dan perusahaan
dapat bekerja sama untuk mencapai tujuan ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup. Tulisan ini membangun model
teori dengan menghubungkan konsep CSR, modal sosial, kesinambungan perusahaan, dan SDGs yang terhubung
di penelitian sebelumnya.
Kata kunci: Indonesia, modal sosial, perkebunan kelapa sawit, petani kelapa sawit, pembangunan berkelanjutan,
tanggung jawab sosial perusahaan
ABSTRACT
This paper reveals that corporate social responsibility (CSR) programs of a large palm oil company can actually
build social capital that contribute to sustainable development goals (SDGs). Using an exploratory qualitative
case study, this study investigates why and how a company improves social, economic, and social conditions of
communities surrounding its palm oil plantations through smallholder farmers empowerment and social capital
development, from 1992 to 2011. A case study of a sustainable palm oil company in Indonesia was chosen as an
exemplary case study for theoretical or purposive sampling. Primary and secondary data from company documents,
media records, interviews and observations were analysed to develop a theoretical model. The study finds that the
CSR program is driven by company’s strategic intention to fulfill their business needs by solving the social and
environmental issues surrounding its palm oil plantations. Through smallholder farmers’ development program,
the company builds social capital that improves social relationship, farmers’ capabilities, and farmers’ access to
finance and market; so they are capable to act collectively with the company to achieve economic, social, and
environmental performance for both the farmers and the company. This research has created linkages for previously
disparate areas of academic enquiry by showing the actual interrelationships between CSR, social capital, corporate
sustainability and SDGs.
Keywords: Indonesia, Corporate social responsibility, Palm oil plantations, Smallholder farmers, Social capital,
Sustainable Development Goals
*This paper has been presented at the Academic Forum Sustainability I, organised by the Research Center for Regional Resources
LIPI, the Foundation for Indonesian Inspiration, and Centre for Inclusive and Sustainable Development (CISDEV) Prasetiya
Mulya University, Jakarta, January 31, 2017.
15
INTRODUCTION tion companies, and worsening infrastructure
Indonesia is a large developing country with (Gillespie, 2012, 263; McCarthy, et al., 2012,
255.2 million people (BPS, 2015) living in the 555). Furthermore, Gillespie (2012) posits that, in
archipelago. Her land is well suited for palm oil conditions where government oversight is weak,
plantations, which have generated opportunities, good corporate governance practices become
but also challenges, for poverty eradication in essential for companies to affect local commu-
the country (Paoli et al., 2013). As at 2010, the nities positively. Indeed, Indonesia needs large
Indonesian palm oil sector employed 3.06 million plantation companies to farm palm oil sustainably
workers, with 2.7 million of them being involved to build the prosperity of local people, and to
directly in the plantations. Smallholders owned preserve the environment and contribute to the
3.2 million hectares, or 46% of all plantations overall economy of the country.
(Infosawit, 2011). Thus, the palm oil industry The above discussions call for a thorough
has become an engine for poverty reduction in study about the actual roles of large palm oil
Indonesia (Infosawit, 2011). Moreover, compared companies in Indonesia and the process under
to other vegetable oils such as sunflower, soy which CSR programs build social capital that
or canola oil, palm oil is considered the most contributes to corporate sustainability and pros-
environmentally friendly, because palm oil plan- perity of people in the countries in which they
tations absorb more carbon dioxide (CO2) due operate. Hence, this paper aims to investigate
to the trees’ life span of 25–30 years, their large the actual role of a company in contributing to
canopy, and their perennial leaves (Handadhari, sustainable development of Indonesia. Besides,
2010, 23). this paper explore the interrelations between CSR
However, despite its contributions to the programs, social capital, corporate sustainability
Indonesian economy, the palm oil industry has and sustainable development, which are not clear
also generated a range of environmental and in the current literature, as shown in the literature
social issues, such as environmental pollution, review below.
social tensions, the breakdown of local social
structures (Gillespie, 2011, 2012; McCarthy, THEORY AND METHOD
2010; McCarthy, Gillespie & Zen, 2012). The
poor conditions of smallholder farmers create a. Theoretical framework
potential failure for the sustainable supply chain A review of literature on the roles of roles of
of palm oil (McCarthy et al., 2012, 555). Unsus- companies in contributing to sustainable develop-
tainable practices of palm oil plantations cause ment goals of developing countries has found four
severe impacts on environmental degradations concepts which are overlapping and that need to
and loss of biodiversity (Edwards, 2005) as well be clarified. The four concepts are 1) sustainable
as an anticipated future poverty for local com- development; 2) corporate social responsibility
munities and smallholders of (CAO, 2009, 21). (CSR); 3) social capital, and 4) corporate sustain-
Gillespie (2012) further argues that CSR ability, which are defined as follows.
programs in the Indonesian palm oil industry
have been merely cosmetic, as many companies b. The Concept of CSR and Its
do not practice good corporate governance, es- Relevance to Sustainable Development
pecially in the vacuum of government oversights of Developing Countries
in enforcing regulation (Gillespie, 2012, 263).
Definitions of CSR have evolved over time. This
Results of recent academic studies on CSR and
research uses Carroll’s definition, which was
corporate governance on palm oil plantations are
developed in 1979 based on his comprehensive
concerning. The presence of large-scale palm oil
literature review of CSR concepts published from
companies has created social and environmental
the 1930s to the 1970s. From his review, Carroll
issues, such as conflicts over land ownership (1979) suggests this overarching definition: ‘the
agreements, indebted smallholders to planta-
between sustainable development, CSR, social Finally, PALMOIL has conducted CSR program
capital and corporate sustainability. Accordingly, to develop the smallholder farmers of palm oil
this research is designed as a single qualitative plantations (the smallholders program) since 1992
case study (Yin, 2009; Eisenhardt, 1989), with which provides longitudinal data to analyse why
an exemplary company as the case study. The and how the concepts of sustainable develop-
adoption of a case study approach is consistent ment, CSR programs, social capital and corporate
with other empirical studies of CSR in other sustainability evolve over time. Secondary data
developing economies conducted by other re- were gathered by conducting desk research of
searchers like Bradly (2015), Idemudia (2011), company documents and archival records to trace
Jamali (2007), Prieto-Carron (2006), and Yu the development of the company’s smallholders
(2008). Based on Patton’s (1990) criteria, a large program for over 20 years. The primary data were
palm oil company (deidentified as PALMOIL) is derived from in-depth interviews with corporate
chosen as a case study for several reasons. Firstly, players and CSR program beneficiaries about
on the contrary to the findings of many case stud- the company’s motivation and the process under
ies on the impact of palm oil plantations (e.g. which the CSR program built social capital that
Gillespie, 2012), PALMOIL has been selected contributed to poverty eradication. A total of 31
as one of 25 responsible and sustainable public- informants were interviewed individually or as
listed companies in 5 consecutive years (2009 a group with duration between 15 minutes to 2
to 2014) (Kehati, 2015). Secondly, PALMOIL hours per interview. Respondents consisted of 16
manages large palm oil plantations, employing palm oil farmers; management of parent company
more than 60,000 employees with a total of more (7 respondents); management and field officers
than 200,000 hectares of palm oil plantations of the company (8 respondents).
in Indonesia, consisting of company-owned The steps of data analysis being implemented
‘nucleus’ estates, and smallholder estates through in this study include: analytical chronology,
various cooperation programs with the company within-case analysis; pattern matching, and ex-
(PALMOIL, 2012). In other words, around 20% planation building (Eisenhardt, 1989, 540). After
of the company’s plantations are conducted in within-case analysis was done, the empirical
partnership with local communities which pro- findings were compared with the theoretical
vide fertile data to answer the research questions. framework through ‘pattern matching’ (Yin, 2009,
Universitas Indonesia
rini.hanifa@gmail.com
**)
Yayasan Inspirasi Indonesia, Institut Riset Sosial dan Ekonomi, & Public Administration and Policy Group,
Wageningen University and Research
ppramudya@gmail.com
ABSTRACT
The emerging initiatives to improve sustainability of the palm oil sector, i.e. RSPO and ISPO, have started
paying attention to gender aspect. This study analyzes the ways the sustainable palm oil initiatives have addressed
gender issues. The analysis is based on literature study and field information from Riau, Jambi, North Sumatra,
and East Kalimantan. The findings of this study indicate that several initiatives to achieve gender equality in
sustainable palm oil have not successfully reach its objective because of the limitations in operationalizing gender
perspectives into sustainability standards. Gender issue in the standards is still limited to women’s protection from
the occupational risks of working in the palm oil sector, which is still within the scope of Women in Development
paradigm. Further development is needed by applying Gender and Development paradigm to achieve equitable
gender relations between men and women and addressing structural barriers that influence them is still limited.
ABSTRAK
Berbagai inisiatif untuk meningkatkan keberlanjutan (sustainability) sektor sawit yang belakangan muncul,
seperti RSPO dan ISPO, mulai ikut memberikan perhatian terhadap aspek gender. Studi ini mencoba menganalisis
bagaimana inisiatif-inisiatif sawit berkelanjutan berusaha menjawab isu gender. Analisis dilakukan dengan
berdasarkan pada studi pustaka dan informasi lapangan dari Riau, Jambi, Sumatra Utara, dan Kalimantan Timur.
Temuan dari penelitian ini menunjukkan upaya membangun kesetaraan gender dalam sawit berkelanjutan belum
terjadi sepenuhnya karena keterbatasan dalam mengoperasionalkan perspektif gender dalam standar sustainability.
Isu gender yang dicakup masih sebatas upaya perlindungan perempuan terhadap risiko pekerjaan dalam sektor
sawit, yang masih sebatas paradigma women in development. Pengembangan yang seharusnya dilakukan adalah
mengaplikasikan paradigma gender and development untuk mencapai relasi yang setara antara laki-laki dan
perempuan serta mengatasi berbagai hambatan struktural yang memengaruhinya.
*Artikel ini telah dipresentasikan dalam Academic Forum on Sustainability I, yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Sumber
Daya Regional (P2SDR) LIPI, Yayasan Inspirasi Indonesia (YII), dan Centre for Inclusive and Sustainable Development
(CISDEV) Universitas Prasetiya Mulya, di Jakarta 31 Januari 2017.
33
untuk memperbaiki nasib perempuan adalah individual. Dalam kondisi demikian, diperlukan
ruang perempuan untuk berbicara dan didengar studi-studi lebih lanjut dari aspek perburuhan.
(Phillips, 2015). Penelitian-penelitian yang sudah ada, seperti
Villamor, Desrianti, Akiefnawati, Amaruza- telah disebutkan di atas, lebih banyak berfokus
man, dan Noordwijk (2014) mengungkapkan pada kondisi perempuan di daerah-daerah yang
bahwa perempuan, baik di desa dataran tinggi belum mengalami konversi lahan menjadi kebun
maupun rendah, menggunakan lahan secara lebih sawit. Belum ada penelitian spesifik untuk upaya-
dinamis daripada para laki-laki. Dengan kondisi upaya yang sudah dilakukan dalam mengupa
tersebut, mereka bereaksi secara lebih positif ter- yakan kesetaraan gender dalam inisiatif-inisiatif
hadap para pemodal yang menawarkan konversi sawit berkelanjutan yang tengah berkembang
lahan menjadi kebun kelapa sawit. Hal ini berten- saat ini. Oleh karena itu, tulisan ini mencoba
tangan dengan stereotipe mengenai konversi lahan menjawab pertanyaan sebagai berikut: 1) Upaya
sawit selama ini, bahwa konversi lahan menjadi apa saja yang sudah dilakukan untuk memastikan
perkebunan sawit lebih didorong oleh laki-laki. adanya kesetaraan gender dalam berbagai inisiatif
Villamor dan van Noordwijk (2016) berpendapat sawit berkelanjutan, dan 2) Apakah upaya yang
bahwa keterlibatan perempuan merupakan bagian sudah dilakukan memungkinkan terjadinya
dari sistem sosiokultural masyarakat tersebut dan perubahan gender transformatif dalam rantai
memengaruhi penggunaan tanah, yakni produk- komoditas sawit? Pertanyaan ini akan dijawab
tivitas tanah dan tenaga kerja lebih ditentukan dengan terlebih dahulu menganalisis berbagai
oleh dinamika populasi daripada kecenderungan kajian mengenai gender dalam rantai komoditas
tanah itu sendiri. Dengan demikian, perempuan sawit, kemudian dilanjutkan dengan identifikasi
mempunyai peran penting dalam menentukan mengenai berbagai upaya dalam memastikan
penggunaan tanah apakah lebih menjadi sustain- adanya kesetaraan gender. Upaya untuk memas-
able dan mampu beradaptasi terhadap dinamika tikan adanya kesetaraan gender dimulai dengan
global seperti perubahan iklim. standar-standar yang dikembangkan untuk
Julia dan White (2012) menemukan bahwa keberlanjutan sektor sawit. Dalam makalah ini,
kehadiran perkebunan kelapa sawit mendorong kami akan melihat upaya yang sudah dilakukan
perkembangan perekonomian berbasis uang untuk memastikan adanya kesetaraan gender pada
tunai disertai dengan formalisasi pekerjaan, inisiatif keberlanjutan yang dikembangkan oleh
yang keduanya kemudian disertai proses Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan
maskulinisasi. Peran perempuan berkurang Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO).
dalam diskusi-diskusi komunitas dan negosiasi
dengan perusahaan perkebunan sawit. Di sisi lain, KERANGKA TEORI
masalah-masalah sosial, seperti kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT), prostitusi, dan penyakit Framework women in development (WID) adalah
menular seksual, meningkat. Namun, perempuan salah satu acuan yang paling banyak digunakan
yang bekerja serabutan juga di beberapa tempat dalam proyek-proyek pembangunan yang ber-
mulai terlibat dalam protes-protes secara terbuka. tujuan meningkatkan kesejahteraan perempuan.
Lebih lanjut, Morgan (2013) mengamati adanya WID merupakan buah dari pemikiran feminis
ekspansi perkebunan sawit memotivasi para liberal yang muncul pada awal 1970-an. Secara
perempuan terlibat dalam protes, walaupun tidak historis, elemen utama argumen feminis liberal
cukup untuk menggulirkan aksi politis. Dari sisi adalah klaim agar terwujudnya kesetaraan gender
kondisi pekerjaan, Li (2015) mengulas tentang (Ritzer, 2014), yaitu adanya kesempatan dan hak
hak-hak perempuan adat (Dayak), terutama yang sama bagi setiap individu (Fakih, 1996).
mengenai kondisi rentan mereka sebagai pekerja Dalam implementasinya, berbagai program
tenaga kontrak/tenaga lepas pabrik, ancaman pembangunan berupaya mengatasi berbagai
ketahanan pangan karena kondisi landless/tanah hambatan yang dihadapi perempuan, termasuk
mereka dirampas, dan hak atas tanah perempuan dalam sektor pertanian, sektor yang diskriminatif
diakui, baik secara komunal maupun kepemilikan
Tabel 1. Komponen Gender dalam Prinsip dan Kriteria RSPO dan ISPO
Prinsip Kriteria
RSPO
Prinsip 6. Bertanggung Jawab Kriteria 6.8. Segala bentuk diskriminasi berdasarkan pada ras, kasta,
kepada pekerja, individu, dan kebangsaan, agama, cacat, gender, orientasi seksual, keanggotaan serikat,
komunitas dari kebun dan pabrik. afiliasi politik, atau umur dilarang.
Kriteria 6.9. Kebijakan untuk mencegah pelecehan seksual dan berbagai
bentuk kekerasan terhadap perempuan dan untuk melindungi hak re-
produksinya disusun dan diaplikasikan.
ISPO
Prinsip 5. Bertanggung jawab 5.3 Penggunaan pekerja anak dan diskriminasi pekerja (suku, ras, gender,
terhadap pekerja dan agama).
Perusahaan perkebunan dilarang mempekerjakan anak di bawah umur dan
melakukan diskriminasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sumber: ISPO (2010); Permentan (2015)
2
Wageningen University, Wageningen, The Netherlands
E-mail: shutmail@yahoo.com
ABSTRACT
Oil palm smallholders are potential actors to be included in the global palm oil market. Smallholder plantations
account for 41.4% of total oil palm plantation areas and represents 36.6% of total CPO produced in Indonesia
in 2015. The number of farmers involves in oil palm plantation encompass 2.3 million farmers which have been
an important driver for economic growth in rural areas. However, oil palm smallholders are vulnerable from
issues related to unsustainable production including environmental, social and legal issues which might lower
access and exclude smallholder access to global market. The objective of this study is to analyze position and
capacity of oil palm smallholders in facing global change in international market. Population of this study is oil
palm smallholder farmers in Ukui Subdistrict, Pelalawan District, Riau Province which consist of RSPO-certified
independent smallholders, Non-certified independent smallholders, and RSPO-certified scheme smallholders.
The sample size were 220 farmers and chosen randomly from each group (80, 60 and 80 farmers for each group
respectively). The study found that majority of the farmers still apply traditional practices in their plantations and
far below the standard of good agricultural practices and certification standards. The challenges faced by the
Amanah Association to obtain RSPO certificate is not easy to follow by other smallholders. Therefore, external
supports from government and private actors are needed to improve farmers’ capacity to meet and comply with
certification and to include small-scale farmers in the palm oil global supply chain.
Keywords: Independent smallholders, scheme smallholders, oil palm, certification, global market
ABSTRAK
Pekebun kelapa sawit merupakan aktor yang berpotensi menjadi bagian penting dari perdagangan minyak
sawit global. Luas perkebunan kelapa sawit rakyat mencapai 41,4% dari seluruh area perkebunan sawit Indonesia
dengan produksi 36,6% dari total produksi minyak sawit Indonesia pada 2015. Jumlah pekebun kelapa sawit rakyat
mencapai 2,3 juta; ini merupakan jumlah yang cukup signifikan sebagai penggerak perekonomian di pedesaan.
Namun, pekebun kelapa sawit rakyat sangat rentan terhadap berbagai isu (lingkungan, sosial, dan legalitas) yang
dapat menghambat akses pasar di rantai suplai internasional. Studi ini bertujuan menganalisis posisi dan kapasitas
pekebun kelapa sawit rakyat dalam menghadapi perubahan global perdagangan internasional. Populasi penelitian
ini adalah pekebun kelapa sawit rakyat di Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau, yaitu pekebun
kelapa sawit swadaya bersertifikat RSPO, pekebun kelapa sawit swadaya non-RSPO, dan pekebun kelapa sawit
plasma bersertifikat RSPO. Jumlah sampel ditentukan sebesar 220 pekebun dan dipilih secara acak untuk setiap
grup (80, 80, dan 80 pekebun). Studi ini memperlihatkan sebagian besar pekebun masih menjalankan bisnis
kelapa sawit secara tradisional. Praktik pertanian yang dilakukan masih jauh dari praktik pertanian yang terbaik
(good agricultural practices) ataupun dari standar sertifikasi yang ada. Perjuangan pekebun kelapa sawit swadaya
Amanah di Kecamatan Ukui untuk memperoleh sertifikasi RSPO memperlihatkan bahwa tantangan tak mudah
dicapai pekebun swadaya lain. Campur tangan pemerintah dan aktor lain sangat dibutuhkan pekebun kelapa sawit
swadaya untuk dapat disertifikasi dan menjadi bagian dari rantai suplai kelapa sawit internasional.
Kata kunci: Pekebun kelapa sawit rakyat, pekebun swadaya, pekebun plasma, kelapa sawit, sertifikasi, perdagangan
global
*Penelitian ini merupakan bagian dari Program INREF (the Interdisciplinary Research and Education Fund) “Towards Envi-
ronmentally Sustainable and Equitable Palm Oil: promoting sustainable pathways by exploring connections between flows,
networks and systems at multiple levels”, Wageningen University, The Netherlands.
Artikel ini juga telah dipresentasikan dalam Academic Forum on Sustainability I, yang diselenggarakan oleh Pusat
Penelitian Sumber Daya Regional (P2SDR) LIPI, Yayasan Inspirasi Indonesia (YII), dan Centre for Inclusive and Sustainable
Development (CISDEV) Universitas Prasetiya Mulya, di Jakarta 31 Januari 2017.
47
PENDAHULUAN Tabel 1. Luas Area Perkebunan Sawit di Indonesia
Tahun 1980–2015 (hektare)
Kelapa sawit merupakan komoditas perkebunan
yang perkembangannya sangat pesat dibandingkan Tahun PR PBN PBS Total
tanaman perkebunan lain (Food and Agricultural 1970 84.640 46.658 131.298
Organization (FAO), 2010b; World Bank & IFC, 1980 6.175 199.538 88.847 294.560
2011b). Minyak sawit atau crude palm oil (CPO) 1990 291.338 372.246 463.093 1.126.677
adalah bahan baku penting bagi berbagai produk 2000 1.166.758 588.125 2.403.194 4.158.077
industri, seperti produk makanan, produk bukan 2010 3.387.258 658.492 4.503.078 8.548.828
pangan, dan biodiesel (May-Tobin dkk., 2012). 2015 4.739.986 769.357 5.935.465 11.444.808
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan (2014)
Minyak sawit sangat disukai sebagai bahan baku
Keterangan: PR (Perkebunan Rakyat), PBN (Perkebunan Besar
industri karena tersedia dalam jumlah yang besar Negara), PBS (Perkebunan Besar Swasta)
dan harga yang lebih murah dibandingkan minyak
nabati lain, seperti minyak kedelai, minyak bunga (Tabel 1). Pada 1970-an, belum terdapat catatan
matahari, dan minyak jagung (Manggabarani, mengenai luas Perkebunan Rakyat (PR).
2009a; Teoh, 2012). Pemerintah Indonesia menyadari bahwa
Tanaman kelapa sawit pertama kali ditanam kelapa sawit merupakan sektor ekonomi yang
di Indonesia di Buitenzorg Botanic Garden (Ke- sangat potensial untuk dikembangkan. Pertama,
bun Raya Bogor) pada 1848 (Buana, Kurniawan, penggunaan lahan yang efisien. Kelapa sawit
& Siahaan, 2004; Corley & Tinker, 2003). Dua hanya membutuhkan 6% lahan pertanian untuk
bibit berasal dari “Bourbon atau Mauritius” dan menghasilkan lebih dari 40% minyak nabati
dua lainnya berasal dari Amsterdam Botanic dunia (Darmawan, 2015). Rumondang (2017)
Garden (Gerritsma & Wessel, 1997; Hartley, mengklaim bahwa minyak nabati yang dihasilkan
1988). Tanaman kelapa sawit pada mulanya di- oleh 1 ha tanaman kelapa sawit setara dengan
perkenalkan sebagai tanaman hias atau dekoratif minyak nabati yang dihasilkan oleh 4–10 ha
(Pamin, 1998). Sejak 1911, tanaman kelapa sawit tanaman lain. Kedua, luas perkebunan kelapa
mulai dibudidayakan untuk perkebunan komer- sawit rakyat mencapai 41% dari luas keselu-
sial di Pulau Raja, Asahan, Sumatra Utara, dan ruhan kebun kelapa sawit di Indonesia dengan
di Sungai Liput, Aceh (Buana dkk., 2004; Corley jumlah pekebun yang terlibat mencapai 2,2
& Tinker, 2003). Perkebunan dan industri kelapa juta (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2014).
sawit tidak mengalami banyak perkembangan Ketiga, sektor kelapa sawit merupakan penyedia
pada periode peralihan kekuasaan menjelang dan lapangan kerja untuk lebih dari 5,7 juta pekebun
setelah kemerdekaan Indonesia karena stabilitas kecil dan pekerja perkebunan, sementara 16 juta
politik tidak mendukung investasi di bidang keluarga dihidupi sektor kelapa sawit secara tidak
perkebunan kelapa sawit (Pahan, 2012). langsung (Nediasari, 2017). Keempat, kegiatan
Pembangunan perkebunan kelapa sawit baru perkebunan kelapa sawit menyumbang lebih
dimulai kembali ketika pemerintah Indonesia dari 15% pada pertumbuhan produk domestik
membentuk Perusahaan Negara Perkebunan bruto Indonesia (BPS-Statistics Indonesia, 2015).
(PNP)/Perseroan Terbatas Perkebunan (PTP) Kelima, pendapatan negara dari ekspor minyak
kelapa sawit pada 1969 (Badrun, 2010a; Mang- sawit dan produk-produk turunannya menempati
gabarani, 2009b; Pahan, 2012). Investasi untuk posisi penting. Nilai ekspor sektor kelapa sawit
membangun PNP didanai oleh Bank Dunia (The mencapai sekitar US$19 miliar pada 2013 (Ru-
World Bank) dan Bank Pembangunan Asia (The mondang, 2017).
Asian Development Bank). Pada 1971, luas Pada 2015, luas perkebunan sawit mencapai
perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 11,4 juta ha (Tabel 1). Posisi perkebunan rakyat
131.298 hektare (ha) dengan perincian 84.640 menjadi sangat penting karena mencapai 41%,
ha perkebunan kelapa sawit yang dikelola oleh terutama perkebunan sawit swadaya. Perluasan
Perkebunan Besar Negara (PBN/PNP) dan 46.658 perkebunan kelapa sawit pada umumnya tidak
ha dikelola oleh Perkebunan Besar Swasta (PBS) dilengkapi dokumen kepemilikan lahan dan
registrasi usaha serta tidak memperhatikan faktor-
ABSTRACT
The implementation of ISPO certification system which has been running since 2011 in addition to having
experienced various achievements and developments also encountered various obstacles, problems, challenges
and demands. The formulation of the problems analyzed and answered in this study are: what aspects should be
formulated in order to strengthen ISPO system? To analyze and answer the problem formulation is used framework
thinking about legal system theory or Legal System Theory developed by Lawrence M. Friedman. The research
method used in this study is more focused on normative legal research. Based on the analysis, it can be concluded
that the aspects that must be formulated in order to strengthen ISPO system include: First, related to the aspect of
law substance, ISPO system arrangement must be increased from the level of Minister of Agriculture Regulation
to the level of Presidential Regulation. Through this Presidential Regulation is expected to become a stronger
legal umbrella in the implementation of ISPO system. Second, in relation to aspects of its legal apparatus, the
institutional mechanisms of ISPO certification shall be enhanced and strengthened. Third, from the legal culture
aspect, there must be a common understanding about the definition and concept of sustainability in the management
and development of oil palm Indonesia.
Keywords: ISPO, Development, Palm Oil, Sustainable, Indonesia
ABSTRAK
Penyelenggaraan sistem sertifikasi ISPO yang berjalan sejak 2011, di samping telah mengalami berbagai
pencapaian dan perkembangan, menemui berbagai hambatan, masalah, tantangan, dan tuntutan. Penelitian ini
bertujuan untuk melihat aspek-aspek apa saja yang harus dirumuskan dalam rangka penguatan sistem ISPO? Untuk
menganalisis dan menjawab rumusan masalah tersebut, digunakan kerangka berpikir tentang teori sistem hukum
atau legal system theory yang dikembangkan oleh Lawrence M. Friedman. Metode penelitian yang digunakan
dalam kajian ini lebih dititikberatkan pada penelitian hukum normatif. Berdasarkan pada analisis yang dilakukan,
dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek yang harus dirumuskan dalam rangka penguatan sistem ISPO meliputi:
pertama, terkait dengan aspek substansi hukum, pengaturan sistem ISPO harus ditingkatkan dari tingkat peraturan
menteri pertanian menjadi tingkat peraturan presiden. Peraturan presiden ini diharapkan dapat menjadi payung
hukum yang lebih kuat dalam penyelenggaraan sistem ISPO. Kedua, terkait dengan aspek aparatur hukumnya,
mekanisme kelembagaan penyelenggaraan sertifikasi ISPO harus disempurnakan dan dikuatkan. Ketiga, dari aspek
budaya hukum, harus ada persamaan pemahaman mengenai definisi dan konsep sustainability dalam pengelolaan
dan pengembangan kelapa sawit Indonesia.
Kata kunci: ISPO, Pembangunan, Kelapa Sawit, Berkelanjutan, Indonesia
*Artikel ini telah dipresentasikan dalam Academic Forum on Sustainability I, yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Sumber
Daya Regional (P2SDR) LIPI, Yayasan Inspirasi Indonesia (YII), dan Centre for Inclusive and Sustainable Development
(CISDEV) Universitas Prasetiya Mulya, di Jakarta 31 Januari 2017.
65
merupakan tuntutan pasar, sejatinya telah menjadi tata kelola perizinan, pengawasan, inkonsistensi
amanat Konstitusi Negara Republik Indonesia, kebijakan, minimnya transparansi, dan lemahnya
yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik penegakan hukum yang terus terjadi. Keempat,
Indonesia Tahun 1945—selanjutnya disebut UUD legalitas dan pembiayaan sistem sertifikasi ISPO.
1945—dan dijabarkan lebih lanjut dalam berba Penyelenggaraan sistem sertifikasi ISPO selama
gai peraturan perundang-undangan. Pemerintah ini dinilai kurang berjalan maksimal karena
Indonesia telah menetapkan dan memberlakukan beberapa faktor, antara lain mengenai pemenu-
standar pembangunan perkebunan kelapa sawit han aspek legalitas dan masalah pembiayaan.
Indonesia berkelanjutan sejak 2011 melalui Kelima, keberterimaan sistem sertifikasi ISPO di
sistem sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan pasar global (Policy Brief Rancangan Peraturan
Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil/ Presiden tentang Penguatan ISPO, 25 Oktober
ISPO)—selanjutnya disebut sistem sertifikasi 2016, 2–3). Untuk menjawab beberapa hambatan,
ISPO. masalah, tantangan, dan tuntutan krusial dalam
Penyelenggaraan sistem sertifikasi ISPO kaitan dengan sistem sertifikasi ISPO di atas,
yang berjalan sejak 2011, di samping telah meng akhir-akhir ini muncul adanya proses penguatan
alami berbagai pencapaian dan perkembangan, sistem ISPO. Berdasarkan pada uraian latar be-
menemui berbagai hambatan, masalah, tantangan, lakang di atas, rumusan masalah yang dianalisis
dan tuntutan. Merujuk pada hasil kajian dan refe dan dijawab adalah: aspek-aspek apa saja yang
rensi dari berbagai pihak, meskipun Indonesia harus dirumuskan dalam rangka penguatan sistem
telah memberlakukan sistem sertifikasi ISPO, ISPO?
kelapa sawit Indonesia tidak serta-merta terlepas
dari adanya tuntutan sustainable palm oil, baik PENGUATAN SISTEM ISPO
yang datang dari pembeli, konsumen, maupun Dalam perkembangannya, terutama sejak pelun-
industri produk berbahan baku minyak sawit. curan ISPO dan terbitnya berbagai peraturan
Adapun yang paling keras bersuara adalah lem- terkait dengan keberlanjutan pembangunan perke-
baga swadaya masyarakat (LSM), baik di tingkat bunan serta diundangkannya Undang-Undang
nasional, regional, maupun internasional. Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, yang
Hambatan, masalah, tantangan, dan t untutan harus diadopsi oleh persyaratan ISPO, permintaan
krusial terkait dengan sistem sertifikasi ISPO pasar terhadap minyak yang bersertifikat ISPO
antara lain, pertama, terkait dengan pemahaman yang mulai bermunculan mengharuskan perlu-
nya merevisi persyaratan ISPO. Penyempurnaan
dan kebijakan tentang definisi dan konsep dasar
ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri
sustainability (keberlanjutan) di Indonesia. Per
Pertanian Nomor 19/Permentan/OT.140/3/2011
soalan sangat mendasar yang belum pernah
tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit
dibahas secara tuntas dalam konteks Indonesia
Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable
adalah pemahaman bersama tentang definisi dan
Palm Oil/ISPO), bertujuan memberikan petunjuk
konsep dasar sustainability dalam pengelolaan yang lebih jelas bagi pelaku usaha perkebunan
dan pengembangan kelapa sawit. Kedua, dan para auditor. Akhirnya, pada 2015, telah
meka
n isme kelembagaan penyelenggaraan terbit Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11/Per-
sertifikasi ISPO. Persoalan mendasar dalam me- mentan/OT.140/3/2015 tentang Sistem Sertifikasi
kanisme kelembagaan ISPO terletak pada me- Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia. Perkebun
kanisme penyelenggaraan proses sertifikasi ISPO an Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indo-
yang dinilai sebagian pihak tidak independen, nesian Sustainable Palm Oil/ISPO)—selanjutnya
transparan, akuntabel, dan kredibel. Ketiga, disebut ISPO—adalah sistem usaha di bidang
substansi prinsip, kriteria, dan indikator dari perkebunan kelapa sawit yang layak ekonomi,
sistem sertifikasi ISPO. ISPO diklaim sebagian layak sosial, dan ramah lingkungan didasarkan
pihak lebih mencerminkan kepentingan nasional. pada peraturan perundangan yang berlaku di
Prinsip, kriteria, dan indikator yang dibuat belum Indonesia (Peraturan Menteri Pertanian Nomor
mampu menjawab permasalahan dan kelemahan 11/Permentan/OT.140/3/2015).
Ermanto Fahamsyah dan ... | Sistem ISPO untuk Menjawab Tantangan ... | 67
interpretasi yang berbeda. Hal lain yang cukup dalam suatu sistem. Substansi juga mengandung
berbeda adalah RSPO mencakup free and prior pengertian produk atau keputusan dari pembuat
informed consent dalam prinsip dan kriterianya peraturan perundang-undangan. Budaya hukum
sehubungan dengan kepedulian terhadap komu- mengandung pengertian sikap perilaku masyara-
nitas dan akuisisi lahan. Dalam standar ISPO, kat terhadap hukum dan sistem hukum. Hal ini
aspek-aspek ini dianggap normatif, sedangkan mencakup bagaimana kepercayaan, nilai, ide,
informasi yang lebih detail juga terbatas. dan pengharapan mereka terhadap hukum. Ide
Merupakan tantangan untuk memperkuat pemikiran inilah yang membuat hukum dapat
sistem ISPO berdasarkan pada kesadaran terha- berjalan sebagaimana semestinya (Friedman,
dap kelebihan dan kekurangan ini. Apalagi, kalau 1984, 5–6).
dipandang dari tujuannya, bahwa ISPO—seperti Melalui analisis dengan teori sistem hukum
halnya RSPO—bertujuan meningkatkan keber- tersebut, diharapkan dapat dirumuskan suatu
lanjutan dari produksi kelapa sawit (Gillespie & konsep penguatan sistem ISPO sebagai instru-
Harjanthi, 2012). Sebagai standar sertifikasi yang men yang dapat menjawab segala hambatan,
berbasis pada legalitas, penguatan ISPO dilak- masalah, tantangan, dan tuntutan krusial terkait
sanakan berdasarkan pada kerangka berpikir ilmu dengan penyelenggaraan sustainable palm oil
hukum seperti dijelaskan pada bagian berikut. di Indonesia. Penguatan sistem ISPO dimulai
pada aspek substansi hukumnya, selanjutnya
KERANGKA TEORETIS dari aspek aparatur hukumnya, yaitu pelaksana/
kelembagaannya, serta terakhir aspek budaya hu-
Pembangunan perkebunan kelapa sawit berke kum yang menyangkut persepsi para pemangku
lanjutan atau sustainable palm oil merupakan kepentingan terhadap sistem ISPO itu sendiri.
kewajiban yang diterapkan pemerintah Indonesia
dalam upaya memelihara lingkungan, meningkat-
kan kegiatan ekonomi dan sosial, serta menegak- METODE PENELITIAN
kan peraturan perundangan Indonesia di bidang Metode penelitian yang digunakan dalam kajian
perkelapasawitan. Penerapan kewajiban kebun ini lebih dititikberatkan pada penelitian hukum
sawit yang berkelanjutan ini dilakukan sejak normatif (Sidharta, 2000, 218; Soekanto, 2006,
peluncuran Perkebunan Kelapa Sawit Berkelan- 51; Soekanto & Mahmudji, 2001, 13–14). Pene-
jutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm litian norma hukum ialah penelitian hukum yang
Oil/ISPO) di Medan pada Maret 2011. mengacu pada peraturan perundang-undangan,
Untuk menganalisis dan menjawab rumusan keputusan pengadilan, dan norma yang berlaku
masalah di atas, digunakan kerangka berpikir di masyarakat (Filstead, 1978, 38). Dengan
tentang teori sistem hukum atau legal system demikian, objek yang dianalisis dalam peneli-
theory yang dikembangkan oleh Lawrence M. tian ini adalah norma hukum berupa peraturan
Friedman (2001, 6–8). Dia menyatakan, suatu perundang-undangan yang berkaitan langsung
sistem hukum atau legal system terdiri atas tiga dengan pembangunan kelapa sawit Indonesia
unsur, yaitu unsur struktur hukum, substansi hu- yang berkelanjutan.
kum, dan budaya hukum. Struktur mengandung Data yang digali dan ditelaah dalam pene-
pengertian kerangka yang memberikan perlin litian ini terdiri atas data sekunder (Marzuki,
dungan menyeluruh bagi suatu sistem hukum. 2005, 164–166). Data sekunder terdiri atas bahan
Struktur ini terdiri atas elemen-elemen jumlah hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan
dan besar badan peradilan, bagaimana peraturan hukum tersier (Soekanto & Mahmudji, 2001,
perundang-undangannya, serta prosedur apa 13–14). Bahan hukum primer dalam penelitian
yang harus dilaksanakan para penegak hukum. ini adalah peraturan perundang-undangan yang
Struktur bersifat sebagai pembatas gerakan. mengatur dan/atau terkait dengan pembangunan
Substansi dari suatu sistem hukum mengandung kelapa sawit Indonesia yang berkelanjutan.
pengertian peraturan yang sesungguhnya, norma, Adapun bahan hukum sekunder yang digunakan
dan tatanan pergaulan masyarakat yang berlaku adalah bahan yang memberikan penjelasan
Ermanto Fahamsyah dan ... | Sistem ISPO untuk Menjawab Tantangan ... | 69
hidup bertujuan mewujudkan pembangunan untuk mempercepat pembangunan industri.
berkelanjutan (Pasal 3 huruf i Undang-Undang Antara lain, perusahaan industri kecil dan in-
No. 32 Tahun 2009). Pasal 15 ayat (1) me- dustri menengah yang memanfaatkan sumber
nyebutkan, pemerintah dan pemerintah daerah daya alam secara efisien, ramah lingkungan, dan
wajib membuat kajian lingkungan hidup strategis berkelanjutan, serta yang melaksanakan upaya
(KLHS) untuk memastikan prinsip pembangunan untuk mewujudkan industri hijau (Pasal 110 ayat
berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi (1) juncto Pasal 110 ayat (2) huruf h dan huruf i
dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau Undang-Undang No. 3 Tahun 2014).
kebijakan, rencana, dan/atau program (Pasal 15 Kelima, Pasal 62 Undang-Undang Nomor
ayat (1) Undang-Undang No. 32 Tahun 2009). 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan menyatakan
Penjelasan Umum angka 1 mengatur bahwa UUD bahwa pengembangan perkebunan diselenggara-
1945 menyatakan lingkungan hidup yang baik dan kan secara berkelanjutan dengan memperhatikan
sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional aspek ekonomi, sosial-budaya, dan ekologi.
bagi setiap warga negara Indonesia. Oleh karena Pengembangan perkebunan berkelanjutan seba
itu, negara, pemerintah, dan semua pemangku gaimana dimaksud harus memenuhi prinsip dan
kepentingan berkewajiban melindungi dan kriteria pembangunan perkebunan berkelanjutan.
mengelola lingkungan hidup dalam pelaksanaan Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan
pembangunan berkelanjutan agar lingkungan perkebunan berkelanjutan diatur dalam peraturan
hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber pemerintah (Undang-Undang No. 39 Tahun 2014,
dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta LN No. 308 Tahun 2014, TLN No. 5613, Pasal
makhluk hidup lain (Penjelasan Umum angka 1 62). Khusus pada perkebunan kelapa sawit, telah
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009). Berikutnya, diterbitkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor
Penjelasan Umum angka 3 menyebutkan peng- 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman
gunaan sumber daya alam harus selaras, serasi, Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indo-
dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. nesia (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO),
Sebagai konsekuensinya, kebijakan, rencana, dan/ kemudian diganti dengan Peraturan Menteri
atau program pembangunan harus dijiwai oleh Pertanian Nomor 11/Permentan/OT.140/3/2015
kewajiban melakukan pelestarian lingkungan tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelan-
hidup dan mewujudkan tujuan pembangunan jutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm
berkelanjutan (Penjelasan Umum angka 3 Oil Certification System) (Peraturan Menteri
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009). Pertanian Nomor 11/Permentan/OT.140/3/2015;
Keempat, Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Berita Negara No. 432 Tahun 2015).
Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian Meskipun konsep pembangunan keberlanjut
menentukan bahwa industri hijau adalah industri an, khususnya dalam pembangunan kelapa sawit
yang dalam proses produksinya mengutamakan berkelanjutan Indonesia, sudah diatur dalam
upaya efisiensi dan efektivitas penggunaan sum- be
berapa peraturan perundang-undangan di
ber daya secara berkelanjutan sehingga mampu Indonesia, dari tingkat undang-undang dasar
menyelaraskan pembangunan Industri dengan sampai peraturan menteri, baik secara tersurat
kelestarian fungsi lingkungan hidup serta dapat maupun tersirat, masih terdapat persoalan sangat
memberikan manfaat bagi masyarakat (Undang- mendasar yang belum pernah dibahas secara
Undang No. 3 Tahun 2014, LN. No. 4 Tahun tuntas dalam konteks Indonesia. Salah satunya
2014, TLN No. 5492, Pasal 1 angka 3). Pasal 30 pemahaman bersama tentang definisi dan konsep
ayat (1) memuat ketentuan bahwa sumber daya dasar sustainability dalam pengelolaan dan
alam diolah serta dimanfaatkan secara efisien, pengembangan kelapa sawit di Indonesia.
ramah lingkungan, dan berkelanjutan (Pasal 30 Sebagian pihak, antara lain dari unsur
ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 2014). pemerintah dan pelaku usaha, memahami serta
Pasal 110 ayat (1) juncto Pasal 110 ayat (2) huruf memaknai bahwa definisi dan konsep dasar sus-
h dan huruf i menentukan bahwa pemerintah dan tainability dalam pengelolaan dan pengembangan
pemerintah daerah dapat memberikan fasilitas kelapa sawit di Indonesia diukur pada tingkat
Ermanto Fahamsyah dan ... | Sistem ISPO untuk Menjawab Tantangan ... | 71
perizinan usaha perkebunan; e) unit sertifika- b) Perusahaan perkebunan yang melaku-
si kelompok (grup) perusahaan perkebunan, kan usaha budi daya perkebunan, yaitu:
yaitu beberapa perusahaan perkebunan yang 1) legalitas lahan perkebunan; 2) mana-
dikelola dengan menerapkan manajemen jemen perkebunan; 3) perlindungan ter-
yang sama. Tiap perusahaan perkebunan hadap pemanfaatan hutan alam primer
yang di bawah kelompok masing-masing dan lahan gambut; 4) pengelolaan dan
harus mendapatkan sertifikat ISPO terlebih pemantauan lingkungan; 5) tanggung
dahulu sebelum kelompoknya disertifikasi. jawab terhadap pekerja; 6) tanggung
Setiap perusahaan perkebunan harus mem- jawab sosial dan pemberdayaan eko-
punyai minimal dua orang auditor internal, nomi masyarakat; dan 7) peningkatan
sedangkan grup perusahaan memiliki mini- usaha secara berkelanjutan.
mal lima orang yang telah lulus pelatihan c) Perusahaan perkebunan yang melaku-
teknis auditor ISPO. kan usaha pengolahan hasil perkebunan,
3) Pengambilan contoh kebun. Perusahaan yaitu: 1) legalitas lahan perkebunan; 2)
perkebunan yang disertifikasi dinilai ber- manajemen perkebunan; 3) pengelolaan
dasarkan pada jumlah contoh kebun. Unit dan pemantauan lingkungan; 4) tang-
kebun dari suatu perusahaan perkebunan gung jawab terhadap pekerja; 5) tang-
yang dinilai berdasarkan pada prinsip dan gung jawab sosial dan pemberdayaan
kriteria ISPO minimum berjumlah 0,8Öy ekonomi masyarakat; dan 6) peningkat
pembulatan ke atas; dengan y adalah jumlah an usaha secara berkelanjutan.
kebun dari perusahaan perkebunan kelapa d) Perusahaan perkebunan yang melaku-
sawit. Ukuran sampel untuk penilaian harus kan usaha produksi minyak kelapa sawit
berdasarkan pada penilaian risiko pada unit untuk energi terbarukan wajib menghi-
kebun—yang berisiko tinggi memerlukan tung emisi gas rumah kaca (GRK) yang
ukuran sampel yang lebih banyak. Ukuran pedoman perhitungannya diatur secara
sampel harus ditetapkan dengan formula terpisah.
(0,8Öy) x (z), dengan z merupakan perkalian
5) Syarat permohonan sertifikasi. Perusahaan
yang ditetapkan dengan penilaian risiko
perkebunan yang hendak mengajukan permo-
(risiko rendah = pengali 1; risiko menengah
honan sertifikasi harus melengkapi dokumen
= pengali 2; risiko tinggi = pengali 3). Usaha
sebagai berikut: (a) Izin usaha perkebunan,
pengolahan kelapa sawit secara keseluruhan
seperti izin usaha perkebunan (IUP), izin
dinilai berdasarkan pada prinsip dan kriteria
usaha perkebunan budi daya (IUP-B); izin
ISPO. usaha perkebunan pengolahan (IUP-P), surat
4) Prinsip dan kriteria ISPO untuk perusahaan pendaftaran usaha perkebunan (SPUP), izin
perkebunan, terdiri atas: tetap usaha budi daya perkebunan (ITUBP),
a) Perusahaan perkebunan yang melaku- izin usaha tetap usaha industri perkebunan
kan usaha budi daya perkebunan dan (ITUIP), izin/persetujuan prinsip menteri
terintegrasi dengan usaha pengolahan pertanian, dan izin usaha perkebunan yang
hasil perkebunan, yaitu: 1) legalitas diterbitkan oleh Kepala BKPM atas nama
usaha perkebunan; 2) manajemen perke- Menteri Pertanian. (b) Hak atas tanah sesuai
bunan; 3) perlindungan terhadap peman dengan peraturan di bidang pertanahan; (c)
faatan hutan alam primer dan lahan Izin lingkungan; dan (d) Penetapan usaha
gambut; 4) pengelolaan dan pemantauan perkebunan Kelas I, Kelas II, atau Kelas III
lingkungan; 5) tanggung jawab terhadap dari bupati/wali kota, gubernur atau Direk-
pekerja; 6) tanggung jawab sosial dan tur Jenderal sesuai dengan kewenangan.
pemberdayaan ekonomi masyarakat; 6) Proses pengakuan sertifikasi ISPO perusa-
dan 7) peningkatan usaha secara berke haan perkebunan.
lanjutan.
Ermanto Fahamsyah dan ... | Sistem ISPO untuk Menjawab Tantangan ... | 73
minggu sejak tanggal penerimaan oleh usaha pengolahan, perlu dilakukan audit
lembaga sertifikasi. Jika terjadi keter- terhadap penambahan dimaksud untuk
lambatan dalam penyampaian laporan memperoleh perluasan sertifikat.
audit, lembaga sertifikasi harus dapat 7) Surveillance. Untuk memastikan perusahaan
menyampaikan alasannya secara tertulis. perkebunan menerapkan prinsip dan kriteria
j) Selanjutnya, laporan audit diteruskan ISPO secara konsisten, dilakukan surveil-
ke Tim Penilai ISPO untuk mendapat lance setiap tahun oleh lembaga sertifikasi
penilaian. penerbit sertifikat ISPO. Surveillance pertama
k) Tim Penilai ISPO melakukan penilaian dilakukan paling kurang 12 bulan terhitung
paling lama dua bulan sejak diterimanya pengakuan sertifikat oleh Komisi ISPO.
laporan audit dari Sekretariat Komisi 8) Kewajiban penerima sertifikat ISPO. Setelah
ISPO. Dalam melakukan penilaian mendapatkan pengakuan dari Komisi ISPO,
laporan audit, Tim Penilai ISPO dapat perusahaan perkebunan wajib:
mengumpulkan informasi dari berbagai a) Memelihara dan mempertahankan
sumber, antara lain beberapa pemangku penerapan prinsip dan kriteria ISPO
kepentingan yang terkait, seperti ma- secara konsisten dan konsekuen.
syarakat adat, asosiasi, pejabat pemerin
b) Melakukan audit internal minimal satu
tah setempat, LSM setempat, dan
kali dalam setahun oleh auditor internal
karyawan perusahaan yang diaudit.
yang telah lulus pelatihan auditor ISPO.
l) Tim Penilai memberikan rekomen-
c) Bersedia dilakukan surveillance setiap
dasi terhadap perusahaan perkebunan tahun.
kepada Komisi ISPO untuk diberikan
pengakuan (approval). Perusahaan d) Melaporkan apabila ada perubahan yang
Perkebunan yang tidak memenuhi mendasar berkaitan dengan persyaratan
persyaratan ISPO ditolak dan diminta ISPO.
melakukan tindakan perbaikan serta e) Tidak melakukan kegiatan peremajaan di
mengajukan permohonan kembali. lahan sempadan sungai dan sekitar mata
air serta melakukan penanaman pohon
m) Komisi ISPO memberikan pengakuan
sesuai dengan peraturan perundang-
kepada perusahaan perkebunan yang
undangan di bidang Kehutanan.
memenuhi persyaratan ISPO dan diu-
mumkan kepada publik. 9) Masa berlaku sertifikat ISPO. Sertifikat
ISPO berlaku selama lima tahun. Perusahaan
n) Lembaga sertifikasi menerbitkan
perkebunan pemegang sertifikat ISPO harus
sertifikat ISPO atas nama perusahaan
mengajukan permohonan perpanjangan serti-
perkebunan bersangkutan paling lama
fikat kepada Komisi ISPO satu tahun sebe-
10 hari kerja sejak mendapatkan pe
lum masa berlaku sertifikat ISPO berakhir.
ngakuan Komisi ISPO.
Sementara itu, tata cara sertifikasi ISPO
o) Sertifikat ISPO ditandatangani pimpinan
untuk usaha kebun plasma dan usaha kebun
lembaga sertifikasi yang bersangkutan swadaya secara umum hampir sama dengan yang
dan diakui (approved) oleh Direktur berlaku untuk perusahaan perkebunan. Perbedaan
Jenderal selaku Ketua Komisi ISPO. mendasar terletak pada Prinsip dan Kriteria ISPO
Apabila terdapat penambahan luas yang diberlakukan. Untuk usaha kebun plasma
area tanaman menghasilkan (perluasan terdiri atas (a) Legalitas Usaha Kebun Plasma; (b)
kebun milik sendiri), penambahan Manajemen Usaha Kebun Plasma; (c) Pengelo-
pasokan bahan baku dari kebun lain laan dan Pemantauan Lingkungan; (d) Tanggung
(usaha kebun swadaya dan usaha kebun Jawab terhadap Kesehatan dan Keselamatan
plasma yang telah memiliki sertifikat Kerja (K3) Petani; (e) Tanggung Jawab Sosial dan
ISPO), dan/atau peningkatan kapasitas Pemberdayaan Masyarakat; serta (f) Peningkatan
Ermanto Fahamsyah dan ... | Sistem ISPO untuk Menjawab Tantangan ... | 75
pemantauan lingkungan; (5) tanggung pengelolaan dan pemantauan lingkungan; serta
jawab terhadap pekerja; (6) tanggung (d) peningkatan usaha secara berkelanjutan (Per-
jawab sosial dan pemberdayaan eko- aturan Menteri Pertanian Nomor 11/Permentan/
nomi masyarakat; serta (7) peningkatan OT.140/3/2015, lampiran I, , hlm. 25).
usaha secara berkelanjutan. ISPO dinilai sebagian pihak lebih mencer-
b) Perusahaan perkebunan yang melakukan minkan kepentingan nasional dan terlihat sangat
usaha budi daya perkebunan, yaitu (1) normatif sehingga rentan disalahgunakan. Di
legalitas lahan perkebunan; (2) manaje- lain pihak, ISPO tidak memiliki kekuatan untuk
men perkebunan; (3) perlindungan ter- memengaruhi pasar dan konsumennya karena
hadap pemanfaatan hutan alam primer dianggap sebagai kebijakan lokal dan memiliki
dan lahan gambut; (4) pengelolaan dan kelemahan dalam prinsip dan kriterianya. Prinsip
pemantauan lingkungan; (5) tanggung dan kriteria yang dibuat dinilai belum mampu
jawab terhadap pekerja; (6) tanggung menjawab secara tuntas berbagai isu dan persoal
jawab sosial dan pemberdayaan ekonomi an ekonomi, sosial-budaya, serta legalitas dalam
masyarakat; serta (7) peningkatan usaha pengelolaan dan pengembangan perkebunan ke-
secara berkelanjutan. lapa sawit di Indonesia (Policy Brief Rancangan
Peraturan Presiden tentang Penguatan ISPO, 25
c) Perusahaan perkebunan yang melakukan
Oktober 2016, , hlm. 2).
usaha pengolahan hasil perkebunan,
yaitu (1) legalitas lahan perkebunan; (2) Sebagai solusi untuk menjawab permasalahan
manajemen perkebunan; (3) pengelo tersebut, perlu dilakukan penyempurnaan terha
laan dan pemantauan lingkungan; (4) dap substansi prinsip, kriteria, dan indikator serti-
tanggung jawab terhadap pekerja; (5) fikasi ISPO. Melalui penyempurnaan tersebut,
tanggung jawab sosial dan pemberda diharapkan prinsip, kriteria, dan indikator tidak
yaan ekonomi masyarakat; serta (6) hanya memenuhi standar nasional Indonesia,
peningkatan usaha secara berkelanjutan. tetapi juga standar yang berlaku secara internasi-
onal. Dengan demikian, kepatuhan dan penerapan
d) Perusahaan perkebunan yang melaku- berbagai aspek ekonomi, sosial-budaya, dan
kan usaha produksi minyak kelapa ekologi, serta kepatuhan terhadap peraturan
sawit untuk energi terbarukan wajib perundang-undangan dapat terpenuhi. Misalnya,
menghitung emisi GRK yang pedoman penerapan konsep nilai konservasi tinggi (NKT)
perhitungannya diatur secara terpisah dan penerapan ketentuan free prior inform
(Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11/ concern (FPIC). Prinsip dan Kriteria ISPO se-
Permentan/OT.140/3/2015, lampiran I, layaknya sudah mengadopsi konsep FPIC untuk
hlm.16–18). memungkinkan penyelesaian terhadap konflik di
Sementara itu, Prinsip dan Kriteria ISPO masyarakat/lapangan. Dalam menerapkan konsep
yang berlaku untuk usaha kebun plasma terdiri FPIC, perlu dipastikan adanya penyusunan prose-
atas (a) legalitas usaha kebun plasma; (b) manaje- dur komunikasi dan konsultasi dengan para pihak
men usaha kebun plasma; (c) pengelolaan dan beserta penunjukan petugas yang bertanggung
pemantauan lingkungan; (d) tanggung jawab ter- jawab untuk melakukan konsultasi dan komuni-
hadap kesehatan dan keselamatan kerja (k3) pe kasi dengan para pihak. Termasuk penggunaan
tani; (e) tanggung jawab sosial dan pemberdayaan bentuk dan bahasa yang tepat untuk informasi
masyarakat; serta (f) peningkatan usaha secara yang relevan, termasuk analisis dampak, pemba-
berkelanjutan (peraturan menteri pertanian nomor gian keuntungan yang diajukan, dan pengaturan
11/permentan/ot.140/3/2015, lampiran i, 21–22). secara hukum. Selanjutnya, kebijakan tentang
adapun prinsip dan kriteria ispo yang diberlaku- penggunaan api, yang masih diper bolehkan
kan untuk usaha kebun swadaya terdiri atas (a) sepanjang dinilai sebagai cara yang efektif dengan
legalitas usaha kebun swadaya; (b) organisasi pe- tingkat kerusakan lingkungan yang paling sedikit
kebun dan pengelolaan usaha kebun swadaya; (c) untuk meminimalkan risiko serangan hama dan
Ermanto Fahamsyah dan ... | Sistem ISPO untuk Menjawab Tantangan ... | 77
dimaksudkan adalah pelaksanaan sertifikasi ISPO dengan penyelenggaraan sustainable palm oil
seharusnya melibatkan masyarakat dan/atau tim di Indonesia. Konsep tersebut juga diharapkan
pemantau independen yang bertugas turut serta dapat menjadi instrumen untuk meningkatkan
memantau dan/atau mengawasi proses sertifikasi transparansi, akuntabilitas, responsibilitas,
ISPO. Sementara independen yang dimaksudkan independensi, kredibilitas, dan akseptabilitas
adalah proses sertifikasi seharusnya dilakukan dari sistem ISPO sebagai standar kelapa sawit
secara penuh oleh lembaga sertifikasi dengan nasional, baik di tingkat nasional, regional,
mengikuti skema yang telah ditetapkan dan/atau maupun internasional, yang dicerminkan dengan
diatur Komite Akreditasi Nasional. peningkatan keberterimaan produk sistem ISPO,
Untuk meningkatkan keberterimaan sertifi khususnya di pasar internasional. Yang tidak
kasi ISPO di pasar global, perlu dilakukan kalah penting, instrumen untuk memperbaiki
penyem purnaan, antara lain pengaturannya, tata kelola (good governance) dalam pengelo-
mek anism e kelembagaan penyelenggaraan laan dan pengembangan kelapa sawit Indonesia
sertifikasi ISPO, serta substansi prinsip, kriteria, yang ditandai dengan peningkatan kepatuhan
dan indikator, seperti tertulis dalam Policy Brief dan penerapan terhadap semua aspek ekonomi,
Rancangan Peraturan Presiden tentang Penguatan sosial-budaya, dan ekologi, serta legalitas.
ISPO yang disusun oleh Kementerian K oordinator
Perekonomian (Policy Brief Rancangan Peraturan PUSTAKA ACUAN
Presiden tentang Penguatan ISPO, 25 Oktober Filstead, W. J. (1978). Qualitative method: A needed
2016, 3). Yang tidak kalah penting, pemerintah perspective in evaluation research. Dalam
Indonesia bersama-sama pemangku kepentingan Thomas D. Cook & Charles S. Reichard
lainnya harus melakukan promosi dan upaya (ed.), Qualitative and Quantitative Research
in Evaluation Research, 38. London: Sage
untuk meningkatkan keberterimaan sertifikasi
Publications.
ISPO di pasar global.
Friedman, L. M. (1984). American law. United States
of America: W.W. Norton & Company.
SIMPULAN Friedman, L. M. (2001). Hukum Amerika: Sebuah
Berdasarkan pada pembahasan di atas, dapat pengantar (American Law: An Introduction, 2nd
Edition). Diterjemahkan oleh Wishnu Basuki.
disimpulkan bahwa ada tiga aspek yang harus di- Jakarta: Tatanusa.
rumuskan dalam rangka penguatan sistem ISPO.
Gillespie, P. & Harjanthi, R. S. (2 November 2012).
Pertama, aspek substansi hukum. Pengaturan ISPO, RSPO: Two sides of the same coin? The
sistem ISPO harus ditingkatkan dari peraturan Jakarta Post.
menteri pertanian menjadi peraturan presiden. Hidayat & Samekto. (2007). Kajian Kritis Penegakan
Peraturan presiden ini diharapkan dapat menjadi Hukum Lingkungan di Era Otonomi Daerah.
payung hukum yang lebih kuat dalam penyeleng- Cet. I. Semarang: Badan Penerbitan Universitas
garaan sistem ISPO. Kedua, aspek aparatur Diponegoro.
hukum. Mekanisme kelembagaan penyelengga- Kospa, H. S. D. (Desember 2016). Konsep Perkebunan
raan sertifikasi ISPO harus disempurnakan dan Kelapa Sawit Berkelanjutan. Jurnal Tekno
Global, 5(1), 1–10.
dikuatkan. Ketiga, aspek budaya hukum. Harus
Kementerian Pertanian Republik Indonesia. (2015).
ada persamaan pemahaman terkait dengan definisi
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11/Per-
dan konsep sustainability dalam pengelolaan dan mentan/OT.140/3/2015 tentang Sistem Serti-
pengembangan kelapa sawit Indonesia. fikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia
Penguatan sistem ISPO melalui perumusan (Indonesian Sustainable Palm Oil Certification
konsep yang berangkat dari ketiga aspek tersebut System/ISPO). Berita Negara No. 432 Tahun
2015. Jakarta: Kementerian Pertanian.
diharapkan dapat melahirkan suatu konsep
Kementerian Koordinator Perekonomian Republik
yang nantinya dapat dijadikan instrumen yang
Indonesia. (2016, 25 Oktober). Policy brief ran-
dapat menjawab segala hambatan, masalah, cangan peraturan presiden tentangpenguatan
tantangan, dan tuntutan krusial dalam kaitan ISPO. Jakarta: Kementerian K oordinator
Perekonomian.
Ermanto Fahamsyah dan ... | Sistem ISPO untuk Menjawab Tantangan ... | 79
80 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017
PERKEBUNAN KELAPA SAWIT INDONESIA DALAM
PERSPEKTIF PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN*
Jan Horas V. Purba**) Tungkot Sipayung*)
*)
Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI)
**)
STIE Kesatuan Bogor
paspi2014@yahoo.com, janhorasvpurba@gmail.com
ABSTRACT
The purpose of this study is to analyze (1) whether oil palm plantations are the main drivers of deforestation
in Indonesia; and (2) how does the Indonesian palm oil industry contribute to sustainable development both
economically, socially and ecologically. Oil palm plantations are Indonesia’s strategic industries. Since 2000, the
Indonesian palm oil industry has grown rapidly and has influenced the dynamics of competition among vegetable
oils including the form of black campaigns and accusations as drivers of deforestation in Indonesia. The research
methodology is empirical descriptive research, which are: (1) to analyze the history of deforestation in logging era
in Indonesia and related to the development of oil palm plantation and (2) to analyze the linkage of Indonesian oil
palm plantation development with economic, social and ecological aspect. In the period 1950-2013, conversion of
forests into non-forests is quite high ie 98.8 million hectares. However, the area of oil palm plantation Indonesia
only increased from 0.1 million hectares (1950) to 10.4 million hectares (2013). Based on satellite data (Gunarso,
et al., 2012) revealed that the origins of Indonesian oil palm plantations are mostly from degraded land, and
only 3.4 percent are converted from primary forest. This proves that oil palm plantations as the main drivers of
deforestation in Indonesia are not true. In the economic aspect, the palm oil industry contributes in generating
foreign exchange, regional development and successfully creating farmers into middle income. In the social aspect,
the oil industry plays a role in rural development and poverty reduction and equitable economic development,
and improves income and development inequalities. In the ecological aspect, oil palm plantations contribute to
sustainable development through its role in absorbing CO2 and generating O2, and increasing land biomass. Oil
palm plantations also reduce greenhouse gas emissions.
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis (1) apakah perkebunan kelapa sawit merupakan pemicu utama
deforestasi di Indonesia; dan (2) bagaimanakah kontribusi industri minyak sawit Indonesia terhadap pembangunan
berkelanjutan, baik secara ekonomi, sosial, maupun ekologi. Perkebunan kelapa sawit merupakan industri strategis
Indonesia. Sejak 2000, industri minyak sawit Indonesia berkembang pesat dan memengaruhi dinamika persaingan
antar minyak nabati termasuk bentuk kampanye hitam dan tuduhan sebagai pemicu deforestasi di Indonesia.
Metodologi penelitian adalah penelitian deskriptif empiris, yakni : (1) untuk menganalisis sejarah deforestasi pada
era logging di Indonesia dan dikaitkan dengan perkembangan perkebunan kelapa sawit; serta (2) menganalisis
keterkaitan pembangunan perkebunan kelapa sawit Indonesia dengan aspek ekonomi, sosial, dan ekologi. Pada
1950–2013, konversi hutan menjadi nonhutan cukup tinggi, yakni 98,8 juta hektare. Namun, luas perkebunan
kelapa sawit Indonesia hanya meningkat dari 0,1 juta ha (1950) menjadi 10,4 juta ha (2013). Citra satelit (Gunarso
dkk., 2012) mengungkapkan bahwa asal-usul lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia sebagian besar berasal dari
lahan telantar (degraded land), konversi lahan pertanian, dan hanya 3,4% yang dikonversi dari hutan primer. Hal
ini membuktikan anggapan bahwa perkebunan kelapa sawit sebagai pemicu utama deforestasi di Indonesia tidak
benar. Dalam aspek ekonomi, industri minyak sawit berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan, menghasilkan
devisa, pembangunan daerah, dan berhasil menciptakan petani ke berpendapatan menengah. Perkembangan
industri minyak sawit juga bersifat inklusif dan menarik perkembangan sektor-sektor lain. Dalam aspek sosial,
industri minyak berperan dalam pembangunan pedesaan, pengurangan kemiskinan, pemerataan pembangunan
ekonomi, serta memperbaiki ketimpangan pendapatan dan pembangunan. Dalam aspek ekologi, perkebunan sawit
menyumbang pada pembangunan berkelanjutan melalui peranannya dalam menyerap CO2 dan menghasilkan O2
serta meningkatkan biomassa lahan. Perkebunan kelapa sawit juga mengurangi emisi gas rumah kaca.
81
PENDAHULUAN termasuk bentuk kampanye negatif/hitam terha-
Dalam perekonomian makroekonomi Indonesia, dap minyak sawit. Selain itu, aspek keberlanjutan
industri minyak sawit memiliki peran strategis, (sustainability) perkebunan kelapa sawit mendapat
antara lain penghasil devisa terbesar, lokomotif sorotan. Pembangunan perkebunan kelapa sawit
perekonomian nasional, kedaulatan energi, pendo- di Indonesia dipersepsikan tidak berkelanjutan
rong sektor ekonomi kerakyatan, dan penyerapan (unsustainable) serta dituduh sebagai penyebab
tenaga kerja. Perkebunan kelapa sawit Indonesia utama deforestasi dan hilangnya habitat satwa liar.
berkembang cepat serta mencerminkan adanya Deforestasi merupakan hal yang normal
revolusi perkebunan sawit. Perkebunan kelapa dalam sejarah pembangunan sejumlah negara
sawit Indonesia berkembang di 22 provinsi dari besar di dunia, baik Amerika Serikat maupun
33 provinsi di Indonesia. Dua pulau utama sentra Eropa. Namun, isu deforestasi digunakan untuk
perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah Su- menekan pertumbuhan perkebunan kelapa sawit
matra dan Kalimantan. Sekitar 90% perkebunan Indonesia. Di samping itu, pembangunan perke-
kelapa sawit di Indonesia berada di kedua pulau bunan kelapa sawit di Indonesia dipersepsikan
sawit tersebut, dan kedua pulau itu menghasilkan tidak berkelanjutan (unsustainable) serta ekspansi
95% produksi minyak sawit mentah (crude palm perkebunan kelapa sawit dinilai menjadi pemicu
oil/CPO) Indonesia. Dalam kurun 1990–2015, utama (driver) deforestasi dan kerusakan hutan
terjadi revolusi pengusahaan perkebunan kelapa di Indonesia. Terkait dengan hal tersebut, dapat
sawit di Indonesia, yang ditandai dengan tumbuh dirumuskan pertanyaan riset (research question):
dan berkembangnya perkebunan rakyat dengan (1) benarkah perkebunan kelapa sawit merupa
cepat, yakni 24% per tahun selama 1990–2015. kan pemicu utama (driver) deforestasi di
Pada 2015, luas perkebunan sawit Indonesia Indonesia?; serta (2) apakah perkebunan kelapa
adalah 11,3 juta ha (Kementerian Pertanian, sawit Indonesia berkelanjutan dilihat dari aspek
2015), dan pada 2017 mencapai 16 juta ha. Saat ekonomi, sosial, dan ekologi? Terkait dengan itu,
ini, proporsi terbesar adalah perkebunan rakyat tulisan ini ingin menganalisis perkebunan kelapa
sebesar 53%, diikuti perkebunan swasta 42%, dan sawit Indonesia dalam perspektif pembangunan
perkebunan negara 5%. Pada 2017, produksi CPO berkelanjutan (sustainability).
Indonesia diprediksi mencapai 42 juta ton.
Perkembangan industri minyak sawit In- SUSTAINABILITY DAN
donesia yang berkembang cepat tersebut telah MULTIFUNGSI PERTANIAN
menarik perhatian masyarakat dunia, khususnya
Pertanian berkelanjutan (sustainable agricul-
produsen minyak nabati utama dunia. Indonesia
ture), menurut definisi Organisasi Pangan dan
menjadi negara produsen minyak sawit terbesar
Agrikultur (FAO, 1996) ialah “The management
dunia sejak 2006. Pada 2016, Indonesia berhasil
and conservation of the natural resource base,
mengungguli Malaysia. Share produksi CPO In-
and orientation of technological and institutional
donesia telah mencapai 53,4% dari total CPO du-
change in such a manner as to ensure the at-
nia, sedangkan Malaysia memiliki pangsa sebesar
tainment and continued satisfaction of human
32%. Demikian halnya dalam pasar minyak nabati
needs for present and future generation. Such
global, minyak sawit juga berhasil mengungguli
development (in agriculture, forestry, and fishing)
minyak kedelai (soybean oil) sejak 2004. Pada
conserves land, water, plant, and animal genet-
2004, total produksi CPO mencapai 33,6 juta ton,
ics resources is environmentally non-degrading,
sedangkan minyak kedelai adalah 32,4 juta ton. technical appropriate, economically viable, and
Pada 2016, share produksi CPO dunia mencapai social acceptable”. Hal ini memberi makna
40% dari total nabati utama dunia, sedangkan bahwa pertanian berkelanjutan merupakan sebuah
minyak kedelai memiliki pangsa sebesar 33,18% pengelolaan dan konservasi sumber daya alam
(United States Department of Agriculture, 2016). yang bertujuan menjamin keberlanjutan sumber
Peningkatan cepat pangsa minyak sawit daya lahan, air, serta sumber genetik tanaman dan
dalam pasar minyak nabati dunia telah meme hewan yang dilakukan dengan baik dan layak
ngaruhi dinamika persaingan antarminyak nabati, secara ekonomi dan sosial.
Jan Horas V. Purba dan ... | Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia ... | 83
listrik, sedangkan sisanya, yakni 60%, digunakan sistem global. Makin luas dan makin menyebar
untuk bahan pangan, bahan kosmetik, dan toilet- perkebunan kelapa sawit, makin menyebar pula
ries (Europe Economics, 2014). penyerapan karbon dioksida, produksi biomassa,
Fungsi sosial-budaya dari industri minyak dan produksi oksigen dari perkebunan kelapa
sawit juga telah terbukti secara empiris, antara lain sawit.
perannya dalam pembangunan pedesaan (mem- Manfaat jasa lingkungan tersebut bersifat
perbaiki kualitas kehidupan) dan pengurangan inklusif dan dinikmati tanpa membayar (non-
kemiskinan (Sumarto & Suryahadi, 2004; Susila, rivalrous) dalam ekosistem global sehingga dapat
2004; Goenadi, 2008; World Growth, 2009, dikategorikan sebagai barang publik global. Seba
2011; Joni, 2012; Rofiq, 2013; PASPI, 2014). gai satu ekosistem planet bumi, jasa lingkungan
Selain itu, sumber daya manusia yang terlibat tersebut dinikmati secara gratis oleh masyarakat
dalam perkebunan kelapa sawit di setiap daerah dunia, baik mereka yang mengonsumsi produk-
merupakan suatu persekutuan keragaman antar- produk minyak sawit maupun mereka yang tidak
etnis di Indonesia. Pelibatan multietnis dalam mengonsumsinya.
kegiatan ekonomi berarti juga perkebunan kelapa Adanya global public goods yang dihasilkan
sawit merupakan salah satu wadah pelestarian perkebunan kelapa sawit, yang merupakan joint
keragaman interaksi sosial antar etnis/budaya. product dengan private goods, menandakan harga
Kelembagaan kerja sama perkebunan inti rakyat produk-produk oleopangan dan oleokimia yang
(PIR) merupakan perpaduan antara nilai budaya dibayar masyarakat dunia tidak mencerminkan
lokal (local wisdom) dan manajemen modern harga keekonomiannya. Artinya, masyarakat
yang dirancang (institution engineering) agar dunia yang mengonsumsi produk-produk oleo-
petani kecil/lokal ikut di dalam perkebunan kelapa pangan dan oleokimia membayar di bawah harga
sawit di Indonesia merupakan bagian fungsi sosial keekonomiannya (memperoleh subsidi dari perke-
dari perkebunan kelapa sawit (PASPI, 2014). bunan kelapa sawit). Sementara itu, masyarakat
Berbagai penelitian juga membuktikan bahwa dunia yang tidak mengonsumsi produk-produk
fungsi ekologis dari perkebunan sawit mencakup oleopangan dan oleokimia memperoleh manfaat
pelestarian daur karbon dioksida dan oksigen global public goods dari perkebunan kelapa sawit
(proses fotosintesis, yakni menyerap karbon secara gratis (free rider).
dioksida dari atmosfer bumi dan menghasilkan Multifungsi dari sektor pertanian (dalam
oksigen ke atmosfer bumi), restorasi degraded arti luas) telah diadopsi di negara-negara maju,
land konservasi tanah dan air, peningkatan bio- khususnya Uni Eropa, Amerika Serikat, dan
massa, serta karbon stok lahan (Henson, 1999; Jepang. Di negara-negara tersebut (Aldington,
Harahap, Pangaribuan, Siregar, & Listia, 2005; 1998; Dobbs & Pretty, 2001; OECD, 2001; Moyer
Fairhurst & Hardter, 2004; Chan, 2002). Bahkan, & Josling, 2002; Harwood, 2003; Jongeneel &
mengurangi emisi gas rumah kaca/restorasi lahan Slangen, 2004, Huylenbroeck dkk., 2007; Moon,
gambut (Murayama & Baker, 1996; Melling dkk. 2012) multifungsi pertanian telah dijadikan dasar/
2005, 2007; Sabiham, 2013). argumen kebijakan publik (menyubsidi pertanian
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa secara besar-besaran) dan kebijakan perdagangan
industri minyak sawit menghasilkan komoditas/ internasional (memproteksi secara ketat). Logika
produk (private goods) dan nonkomoditas (public di balik kebijakan pertanian negara-negara maju
goods) secara bersamaan. Komoditas yang di- yang melindungi dan memberi subsidi besar-
maksudkan adalah minyak sawit mentah (crude besaran sektor pertaniannya adalah adanya
palm oil/CPO) dan produk turunannya (oleokimia, eksternalitas positif/public goods (jasa ekologis
oleofood, biodiesel). Sementara itu, nonkomoditas dan jasa sosial) yang dihasilkan sektor pertanian.
yang dihasilkan berupa jasa lingkungan, seperti Artinya, dalam mengonsumsi komoditas perta-
kelestarian siklus oksigen, kelestarian daur hi- nian, konsumen pada dasarnya sekaligus mengon-
drologi, dan kelestarian siklus karbon dioksida, sumsi barang publik tersebut. Namun, harga yang
yang merupakan bagian penting dari fungsi eko- dibayar konsumen hanyalah harga komoditas yang
Jan Horas V. Purba dan ... | Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia ... | 85
Studi ini menggunakan metode studi pustaka PEMBAHASAN
(review literature), yakni (1) menganalisis sejarah
deforestasi dan era logging di Indonesia serta di- a. Analisis Deforestasi di Indonesia
kaitkan dengan perkembangan perkebunan kelapa Peradaban dan proses pembangunan di planet
sawit; serta (2) menghimpun hasil-hasil penelitian bumi ini berevolusi dari masa ekonomi berburu
(empirical evidence) terkait dengan aspek eko- ke ekonomi perladangan berpindah, kemudian ke
nomi, sosial, dan ekologi industri minyak sawit. ekonomi pertanian tetap dan modernisasi perta-
Kerangka konseptual penelitian disajikan pada nian. Setelah itu, memasuki ekonomi industri/jasa
Gambar 1 berikut ini. seperti sekarang ini.
Pendekatan
(Multifunctionality of
Agriculture, Green Growth
Model)
Jan Horas V. Purba dan ... | Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia ... | 87
tuk menghentikan deforestasi. Di negara-negara Deforestasi terluas terjadi pada 1950–1985,
Eropa dan Amerika Utara, titik berhentinya tidak yang mencapai 42,6 juta ha. Hal ini disebabkan
ada pada masa pembangunannya di masa lalu oleh proses pembangunan yang mulai berkem-
sehingga hampir semua hutan asli (virgin forest) bang di Indonesia. Kemudian, pada periode
dan penghuninya di kawasan Eropa dan Amerika 1985–2000, mencapai 16,3 juta ha. Sementara
Utara sudah lama punah (Soemarwoto, 1992). pada 2000–2013 mencapai 14,3 juta ha. Tiga
Bagi Indonesia, Undang-Undang Nomor 41 pulau yang mengalami deforestasi terbesar adalah
Tahun 1999 tentang Kehutanan telah membuat Kalimantan, yakni seluas 25,5 juta ha, disusul
titik untuk berhenti deforestasi, yakni sampai Sumatra 24,5 juta ha dan Irian Jaya 8,5 juta ha.
luas hutan minimal 30% dari luas daratan. Saat Penyebab deforestasi ini adalah kegiatan pene-
ini, luas kawasan hutan menurut Kementerian bangan hutan pada era logging, seiring dengan
Kehutanan (2013) masih 47%. pesatnya perkembangan hak pengelolaan hutan
(HPH), terutama di ketiga pulau tersebut.
Sama seperti yang terjadi di hampir setiap
negara, deforestasi juga terjadi di Indonesia. Dalam kurun 1950–2013, luas perkebunan
Menurut data Peta Vegetasi Indonesia tahun kelapa sawit Indonesia memang meningkat. Luas
1950 (Tabel 1), luas hutan di Indonesia pada kebun sawit Indonesia pada 1950 masih sekitar
1950 masih 162,3 juta ha. Kemudian, pada 1985, 105 ribu ha, meningkat menjadi 1,1 juta ha pada
luas hutan menjadi 119,7 ha, hingga pada 2013 1990, lalu bertambah menjadi 3,8 juta ha pada
menjadi 89,1 juta ha. Dengan demikian, sejak 2000, dan menjadi 10,4 juta ha pada 2013.
1950 hingga 2013, deforestasi yang terjadi di Berikut ini luas deforestasi di Indonesia pada
Indonesia seluas 73,2 juta ha. setiap periode. Pada periode 1950–1985, luas de-
Jan Horas V. Purba dan ... | Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia ... | 89
kelapa sawit Indonesia, perkebunan kelapa sawit karbon stok yang lebih rendah dibandingkan
ternyata berperan memperbaiki ketimpangan kebun sawit. Dengan demikian, konversi lahan
pendapatan dan pembangunan (Syahza, 2007). pertanian semak belukar/lahan telantar, termasuk
lahan hutan tanaman industri, menjadi kebun
c. Aspek Ekologi sawit dikategorikan sebagai peningkatan karbon
stok lahan atau reforestasi. Dengan menggunakan
Dalam aspek ekologi, perkebunan sawit menyum- data Citra Landsat TM 4, TM 5, dan ETM 7 tahun
bang pada pembangunan berkelanjutan melalui perekaman 1990, 2000, 2005, dan 2010 (www.
peranannya dalam menyerap karbon dioksida dan glovis.usgs.gov), dilakukan penelusuran asal-usul
menghasilkan oksigen (Henson, 1999; Harahap lahan kebun sawit Indonesia.
dkk., 2005; Fairhurst & Hardter, 2004). Selain
Studi Gunarso tersebut mengungkapkan
itu, perkebunan kelapa sawit dengan sistem
kesimpulan yang berbeda dengan tuduhan Koh
perakaran yang membentuk biopori alamiah
dan Wilcove (2008). Kebun sawit Indonesia yang
merupakan bagian penting dari konservasi tanah
ditanam sampai 2010, yakni 8,1 juta ha, ternyata
dan air (Harahap, 1999, 2007). Perkebunan kelapa
5,5 juta ha di antaranya bersumber dari konversi
sawit juga meningkatkan biomassa lahan (Chan,
lahan pertanian dan lahan telantar (reforestasi).
2002). Bahkan, perkebunan kelapa sawit di lahan
Sementara sisanya, yakni 2,5 juta ha, bersumber
gambut mengurangi emisi gas rumah kaca/karbon
dari konversi hutan produksi (deforestasi).
dioksida (Murayama & Baker, 1996; Melling,
Goh, & Hatanto, 2005, 2007; Sabiham, 2013). Karena luas deforestasi untuk kebun sawit
Penggunaan biodiesel sawit (FAME) sebagai jauh lebih sedikit dibandingkan luas reforestasi
substitusi solar fosil mampu menurunkan emisi untuk kebun sawit, secara neto, ekspansi kebun
karbon mesin diesel sebesar 62% (European Com- sawit Indonesia hingga mencapai 10,4 juta ha
mission, 2013). pada 2013 merupakan bentuk reforestasi dan
bukan deforestasi. Artinya, ekspansi kebun sawit
Indonesia menjadi 10,4 juta ha pada 2013 secara
EKSPANSI SAWIT: DEFORESTASI
neto adalah meningkatkan karbon stok lahan
ATAU REFORESTASI?
(reforestasi). Melalui proses fotosintesis kebun
Sebagaimana data yang disajikan pada Tabel 2, sawit, karbon dioksida dari atmosfer bumi diserap
menarik untuk dianalisis apakah asal-usul kebun dan disimpan dalam bentuk biomassa sawit se-
sawit yang meningkat seluas 10,3 juta ha, secara hingga menambah karbon stok lahan.
langsung diperoleh dengan mengonversi hutan?
Dengan demikian, pandangan selama ini,
Hal ini perlu dibuktikan karena banyak tuduhan
yang menyatakan ekspansi kebun sawit merupa
bahwa 67% kebun sawit diperoleh dari konversi
kan pemicu (driver) deforestasi di Indonesia, t idak
hutan (Koh & Wilcove, 2008). Gunarso, Hartoyo,
didukung fakta. Bahkan sebaliknya, ekspansi
Nugroho, Ristiana, & Maharani (2012) menggu-
kebun sawit justru merupakan suatu land use
nakan data kelas penutupan lahan sesuai dengan
change yang meningkatkan karbon stok lahan/
urutan kandungan karbon (carbon stock) yang
reforestasi yang secara ekologis dikehendaki.
diterbitkan Badan Planologi Kehutanan pada tahun
2011. Karbon stok hutan alam/produksi baik yang
belum terganggu (undisturbed forest) ataupun SUSTAINABILITY PERKEBUNAN
yang terganggu (disturbed forest) mengandung SAWIT INDONESIA
karbon stok yang lebih tinggi daripada karbon Peningkatan produksi minyak sawit di daerah
stok kebun sawit. Dengan demikian, jika ada kon- sentra perkebunan kelapa sawit mendorong
versi hutan produksi menjadi kebun sawit, akan peningkatan produk domestik regional bruto
terjadi suatu penurunan karbon stok lahan atau (PDRB) kabupaten sentra sawit yang signifikan
deforestasi. Sementara itu, hutan tanaman industri (PASPI, 2015), yang kemudian berdampak pada
(timber plantation), lahan pertanian (mixed tree pengem bangan perekonomian daerah yang
crops, dry cultivation land), dan semak belukar/ ber sangkutan. Pertumbuhan ekonomi yang
lahan telantar (schrub) memiliki kandungan dihela oleh peningkatan produksi minyak sawit
Jan Horas V. Purba dan ... | Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia ... | 91
oleh kebun sawit hanya 10,4 juta ha atau 14%. PUSTAKA ACUAN
Berdasarkan pada analisis Citra Landsat, dari 10,4 Aldington, T. J. (1998). Multifunctional agriculture:
juta ha kebun sawit Indonesia pada 2013, sekitar A brief review from developed and developing
7,9 juta ha berasal dari reforestasi (konversi lahan country perspectives. Unknown status. FAO
pertanian, lahan telantar/semak belukar, dan HTI), Agriculture Department, Internal Document
2. Roma: FAO.
dan 2,5 juta ha berasal dari deforestasi (konversi
hutan produksi). Oleh karena itu, secara neto, Amzul, R. (2011). The role palm oil industry in Indonesia
economy and its export competitiveness (Disertasi
kebun sawit Indonesia merupakan reforestasi.
Ph.D.). University of Tokyo, Jepang.
Pandangan selama ini yang menyatakan bahwa
Cato, Scott M. (2009). Green Economics. London Earth-
ekspansi kebun sawit merupakan pemicu (driver) scan. pp. 1–13.
deforestasi di Indonesia tidak didukung fakta. Chan, K. W. (2002). Oil palm carbon sequestration
Bahkan, sebaliknya, ekspansi kebun sawit justru and carbon accounting: Our global strength.
merupakan suatu land use change yang mening- Kuala Lumpur: Malaysian Palm Oil Associa-
katkan karbon stok lahan/reforestasi yang secara tion.
ekologis. Dobbs, T. L., & Pretty, J. N. (2001). The United
Perkebunan kelapa sawit secara built-in me- Kingdom’s experience with agri-environmental
stewardship schemes: Lessons and issues for
miliki multifungsi, yakni fungsi ekonomi, sosial, the United States and Europe. South Dakota
dan lingkungan yang tidak dimiliki sektor-sektor State University; University of Essex. Diakses
lain di luar pertanian. Dengan multifungsi tersebut, pada 2 Mei 2007 dari https://ageconsearch.
perkebunan kelapa sawit memberikan kontribusi, umn.edu/bitstream/32014/1/sp01-01.pdf.
baik secara ekonomi, sosial, maupun lingkungan, Europe Economics. (2014). The economic impact of
bagi pencapaian SDGs tersebut. Secara empiris, palm oil imports in the EU. London: Europe
kontribusi industri minyak sawit dalam ekonomi economics, Chancery House, 53–64 Chancery
Lane.
antara lain mendorong pertumbuhan ekonomi (na-
European Commission. (2013). The impact of EU
sional dan daerah), sumber devisa, dan pendapatan
consumption on deforestation: Identification
negara, sedangkan dalam aspek sosial antara lain of critical areas where community policies
dalam pembangunan pedesaan dan pengurangan and legislation could be review. Final Report.
kemiskinan. Peranan ekologis dari perkebunan Brussels: European Commisions.
sawit mencakup pelestarian daur karbon dioksida Fairhurst. T., & Hardter, R. (2004). Oil palm: Man-
dan oksigen, restorasi degraded land konservasi agement for large and sustainable yields.
tanah dan air, peningkatan biomassa dan karbon Singapura: Oxford Graphic Printers, Pte Ltd.
stok lahan, serta mengurangi emisi gas rumah FAO. (1996). Environment, sustainability, and trade.
kaca/restorasi lahan gambut. Dengan paradigma Linkages for Basic Food Stuff Rome. Roma:
FAO.
yang komprehensif tersebut, industri minyak
sawit Indonesia terus tumbuh dalam perspektif _____. (2013). FAO statistical yearbook 2013. Roma:
FAO.
berkelanjutan.
_____. (2012). World agricultural: Towards
Implikasi teoretis dari hasil penelitian ini 2030/2050: The 2012 Revision. Roma: FAO.
adalah Indonesia memerlukan sebuah kebijakan Feher, I., & Beke, J. (2013). The rationale of sustain-
sawit nasional yang utuh dan komprehensif. able agriculture. Iustum Aequum Salutare,
Kebijakan sawit nasional tersebut tidak sekadar IX:2013(3), 73–87.
bertujuan menjawab tekanan internasional Goenadi. (2008). Perspective on Indonesian palm
dalam perang minyak nabati di pasar global, te oil production. Makalah dipresentasikan pada
tapi juga memperkuat posisi Indonesia sebagai International Food and Agriculture Policy
Council. Spring 2008 Meeting. Bogor.
negara produsen utama CPO dunia, dengan tetap
Greig-Gran, M. 2008: The Cost Avoiding Defores-
mengakomodasi masukan positif dari LSM serta
tration Update of The Report Prepared For
membuat desain pengembangan sawit Indonesia Stern-Review Economic of Climate Change.
pada 2050 atau perspektif jangka panjang. International Institute For Environment And
Development.
Jan Horas V. Purba dan ... | Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia ... | 93
Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian, 23(3), United States Department of Agriculture (USDA).
107–114. (2016). Indeks mundi, agricultural statistic.
Syahza, A. (2007). Kelapa sawit dan dampaknya Washington D.C.: USDA.
terhadap percepatan ekonomi pedesaan di World Growth. (2009). Conversion the immutable link
Riau. (Disertasi). Universitas Riau. between forestry and development. Arlington:
Tomich, T.P and Mawardi, M. S. 1995: Evolution of World Growth.
Palm Oil Trade Policy in Indonesia 1978-1991. _____. (2011). The economic benefit of palm oil to
Elaeis 7(1): P 87-102. Indonesia. Arlington: World Growth
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang World Bank. (2012). Inclusive green growth: The
Perkebunan. pathway to sustainable development. Wash-
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang ington, D.C.: World Bank.
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan.
ABSTRACT
Palm oil plantation has a significant role in creation of job opportunity and welfare of society. However, there
are still many problems challenged in maintaining sustainability of palm oil plantation. This paper aims to assess
sustainability of palm oil plantation from social and economy aspects and also the prospect of development of
palm oil plantation in border areas. This paper analyses the data of some research conducted by researchers of the
Research Centre for Population and the Deputy of Social Sciences and Humanities, Indonesian Institute of Sciences
in the province of South Sumatra and Indonesia-Malaysia border areas in West, East, and North Kalimantan. The
research shows that in 2014 palm oil plantation has created 5.2 millions job opportunity in Indonesia. In border
areas, particularly, development of palm oil plantation has generated job opportunities for Indonesian workers who
previously worked in Malaysia and those who intend to work in the neighbouring country. Nevertheless, many palm
oil plantation have not been sustainably managed in term of institution and access to land. Weak institutionality
in oil palm plantations caused some institutional farmers (KUD) to be unable to operate. On the other hand, low
access to land created many cases of land conflicts in palm oil plantations. The situation has brought about the
low income of labor in palm oil plantations. Sustainable palm oil plantations in Indonesia can only be created
through improvements to farmer institutions, access to land and land productivity.
Keywords: Sustainable palm oil, plantation labor, South Sumatra, Border areas
ABSTRAK
Perkebunan kelapa sawit telah memberikan peran positif terhadap penciptaan kesempatan kerja dan kesejahteraan
masyarakat. Meskipun demikian, komoditas ini masih menghadapi permasalahan keberlanjutan usaha. Paper ini
bertujuan mengkaji keberlanjutan perkebunan kelapa sawit dari aspek sosial ekonomi dan prospek pengembangannya
di wilayah perbatasan. Data yang analisis adalah hasil penelitian peneliti-peneliti Pusat Penelitian Kependudukan
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Kedeputian Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan
LIPI di Provinsi Sumatra Selatan serta beberapa daerah di kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan
Barat dan Utara. Hasil penelitian menunjukkan, pada 2014, perkebunan kelapa sawit telah menciptakan 5,3 juta
kesempatan kerja di Indonesia. Di wilayah perbatasan, pengembangan kelapa sawit juga menciptakan kesempatan
kerja bagi para TKI yang sebelumnya bekerja di Malaysia ataupun calon TKI yang akan bekerja di Malaysia.
Namun, banyak perkebunan kelapa sawit yang belum dikelola secara berkelanjutan, sisi kelembagaan dan akses
terhadap lahan. Kelembagaan yang lemah di perkebunan kelapa sawit menyebabkan sebagian koperasi (KUD) tidak
mampu beroperasi. Di sisi lain, rendahnya akses terhadap lahan berdampak banyaknya konflik lahan yang terjadi
perkebunan kelapa sawit. Keadaan tersebut berakibat rendahnya pendapatan tenaga kerja di perkebunan kelapa
sawit. Perkebunan kelapa sawit berkelanjutan di Indonesia hanya dapat diciptakan melalui perbaikan kelembagaan
petani, akses terhadap lahan dan produktivitas lahan.
Kata kunci: Kelapa sawit berkelanjutan, tenaga kerja perkebunan, Sumatra Selatan, kawasan perbatasan.
*Artikel ini telah dipresentasikan dalam Academic Forum on Sustainability I, yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Sumber
Daya Regional (P2SDR) LIPI, Yayasan Inspirasi Indonesia (YII), dan Centre for Inclusive and Sustainable Development
(CISDEV) Universitas Prasetiya Mulya, di Jakarta 31 Januari 2017.
95
Usaha bisnis perkebunan kelapa sawit masih di berbagai daerah. Bencana asap sebagai
berlanjut setelah kemerdekaan Indonesia, dampak kebakaran lahan di area perkebunan
meskipun telah terjadi beberapa kali pergantian kelapa sawit, penggunaan pekerja anak, konflik
pemerintahan. Terus berkembangnya perkebunan lahan, dan rendahnya kesejahteraan tenaga kerja
kelapa sawit telah menjadikan Indonesia sebagai merupakan implikasi dari perkebunan yang tidak
negara dengan luas lahan dan produksi kelapa berkelanjutan (Shalahuddin, Muchtar, & Musla,
sawit terbesar di dunia sejak 2006. Perkembangan 2011; Ngadi, 2015).
yang pesat tersebut menempatkan kelapa sawit Di tengah kontroversi yang muncul di
sebagai komoditas strategis yang berkontribusi masyarakat, perkebunan kelapa sawit masih
langsung terhadap penciptaan kesempatan kerja terus berkembang di Indonesia. Pada 2016, di-
dan pendapatan negara. perkirakan luas lahan kelapa sawit di Indonesia
Kebun kelapa sawit yang berlokasi di Indo- mencapai 11,67 juta ha, yang terdiri atas perke-
nesia terdiri atas beberapa jenis berdasarkan pada bunan rakyat (41%), perkebunan negara (7%),
luas lahan. Perusahaan dengan luas lahan kurang dan perkebunan besar swasta (42%) (Direktorat
dari 25 hektare (ha) dimiliki oleh masyarakat dan Jenderal Perkebunan, 2015, 3). Pesatnya perkem-
dikenal dengan istilah smallholder. Ada pula per bangan lahan sawit di tengah kontroversi yang
usahaan dengan skala menengah dan skala besar muncul menunjukkan bahwa perkebunan kelapa
(Colchester, dkk., 2006, 46–47). Perusahaan sawit berperan penting dalam perekonomian di
skala menengah dan besar biasanya milik ne Indonesia dan menjadi tumpuan hidup bagi se-
gara dan swasta, baik nasional maupun asing. bagian rakyat. Perkembangan pesat kelapa sawit
Dalam praktiknya, kebanyakan perusahaan yang didukung oleh berbagai faktor, seperti kebijakan
beroperasi tergolong perusahaan swasta dengan pemerintah yang menjadikan perkebunan kelapa
skala besar. Sebagai contoh, selama 2004–2011, sawit sebagai salah satu sektor prioritas nasional
di antara 23 perkebunan kelapa sawit yang ber (“Prospek dan Permasalahan,” 2016). Selain itu,
lokasi di Provinsi Kalimantan Barat, hanya 3 pemerintah mengeluarkan kebijakan penggunaan
perusahaan yang dibangun melalui kemitraan bahan bakar nabati (BBN) yang mendorong
dengan masyarakat. Sisanya merupakan perke- semakin berkembangnya industri kelapa sawit.1
bunan besar, baik milik negara maupun swasta
Pengembangan industri kelapa sawit me-
nasional dan asing (Bappeda Kabupaten Sambas,
nyebar ke daerah-daerah potensial, termasuk
2012, dalam Supriadi, t.t.,11–12).
daerah perbatasan Kalimantan. Sebagai daerah
Meskipun memiliki peran yang strategis bagi yang potensial untuk pengembangan perkebunan
perekonomian nasional, perkebunan kelapa sawit kelapa sawit, Pemerintah Provinsi Kalimantan
juga berdampak negatif terhadap masyarakat, Timur pada 2012 meluncurkan Program Sawit
terutama kerusakan lingkungan dan konflik sosial. Sejuta Hektare, dengan tujuan menambah luas
Dampak negatif tersebut memunculkan penolakan perkebunan sawit sebanyak satu juta hektare
berbagai kalangan terhadap pengembangannya di (“Program Sejuta Hektare,” 2013). Program
Indonesia. Berbagai pihak menuntut agar perke- tersebut kemudian diikuti dengan upaya mem-
bunan kelapa sawit dikembangkan secara sustain- perluas kebun sawit menjadi 2dua juta hektare
able (berkelanjutan) sehingga tidak menimbulkan a(“Kaltim Lanjutkan Program,” 2016). Pada
dampak negatif bagi masyarakat. Perkebunan 2015, pemerintah pusat juga merencanakan pem-
kelapa sawit berkelanjutan merupakan penerapan bukaan kebun sawit seluas satu hektare di sepan-
dari konsep pertanian berkelanjutan, yaitu sistem jang perbatasan Indonesia-Malaysia di Pulau
pertanian yang berorientasi pada keseimbangan Kalimantan (“Prospek Pengembangan Kelapa,”
ekonomi, sosial, dan ekologi. Tuntutan tersebut 2015). Sebelumnya, pada masa pemerintahan
direspons melalui penerapan standar ISPO dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pengem-
RSPO dalam perkebunan kelapa sawit. Namun,
1 Industri ini mencakup semua lini; mulai dari hulu,
sejauh ini masih banyak perkebunan yang
yaitu adalah persiapan lahan untuk kebun, penanaman,
belum berkelanjutan sehingga dampak negatif sampai panen; dan di hilir, yaitu pengolahannya menjadi
dari perkebunan kelapa sawit masih dirasakan berbagai jenis produk.
Ngadi dan Mita Noveria | Keberlanjutan Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia ... | 97
mengidentifikasi tiga pandangan “berkelanjut pangan, tempat tinggal, keamanan, keadilan,
an” yang berbeda. Pandangan pertama adalah kebebasan, pendidikan, pekerjaan, dan rekreasi.
“berkelanjutan sebagai kecukupan pangan”, yang Zhen &dan Routray (2003) membuat in-
mengkaji untuk memaksimalkan produksi pangan dikator operasional untuk mengukur pertanian
dalam kendala-kendala keuntungan. Pandangan berkelanjutan, di antaranya produktivitas lahan,
kedua adalah “berkelanjutan sebagai pekerjaan pendapatan dari sektor pertanian, akses terhadap
mengurus (stewardship)”, yang diartikan dalam sumber daya, pengetahuan dan kepedulian
istilah mengendalikan kerusakan lingkungan. petani terhadap konservasi lahan, kandungan
Adapun pandangan ketiga adalah “berkelanjutan unsur hara, serta kualitas air permukaan. Pada
sebagai kependudukan”, yang diartikan dalam 2007, Commission on Sustainable Development
istilah pemeliharaan dan rekonstruksi sistem (CSD) menambah indikator kelembagaan dalam
perdesaan yang dapat berlangsung secara eko- kerangka pembangunan keberlanjutan untuk
nomi dan sosial. mendukung tercapainya Millennium Develop-
FAO (1993) memberikan lima pilar dasar ment Goals (MDGs) di berbagai negara di dunia
pengelolaan lahan berkelanjutan, yaitu (1) produk- (United Nations, 2007). Dimensi kelembagaan
tivitas dalam arti perolehan dari p engelolaan lahan merupakan pengembangan dari dimensi sosial
berkelanjutan dapat melebihi hasil material dari yang mencakup berbagai aspek, seperti struktur
penggunaan untuk pertanian dan non-pertanian, kelembagaan, kerja sama ekonomi global, kapa-
yang mencakup juga keuntungan protektif dan sitas kelembagaan pemerintah dan masyarakat,
estetik dari penggunaan lahan; (2) keamanan, arti- sumber daya manusia kelembagaan, serta koor-
nya metode-metode pengelolaan mengutamakan dinasi kebijakan.
keseimbangan antara penggunaan lahan dan
kondisi lingkungan, mengurangi risiko produksi;
b. Kesempatan Kerja di Perkebunan
berlawanan dengan metode-metode yang me
ngurangi kemantapan dan meningkatkan risiko; Kelapa Sawit
(3) perlindungan, artinya kualitas dan kuantitas Perkembangan dan keberlanjutan perkebunan
sumber daya tanah dan air harus terlindungi, kelapa sawit di Indonesia tidak terlepas dari
dalam keadilan bagi generasi yang akan datang peran tenaga kerja yang menjadi salah satu faktor
dan secara lokal, harus ada prioritas konservasi produksi perkebunan. Di sisi lain, perkebunan ke-
seperti kebutuhan untuk memelihara keragaman lapa sawit diharapkan dapat menciptakan lapang
hayati atau pelestarian spesies tanaman atau an kerja dan mengatasi masalah pengangguran di
hewan tertentu; (4) viabilitas, artinya penggunaan Indonesia yang pada Agustus 2016 mencapai 7,03
lahan dipertimbangkan tidak berlangsung terus- juta orang (BPS, 2016). Kesempatan kerja yang
menerus (viable); serta (5) penerimaan, artinya tercipta di perkebunan kelapa sawit berkorelasi
metode-metode penggunaan lahan dikatakan positif terhadap luas lahan yang mencapai 10,21
gagal jika akibat sosialnya tidak dapat diterima juta ha pada 2014. Luas lahan tersebut terdiri
masyarakat. atas 4,98 juta ha lahan perkebunan perusahaan
Yunlong dan Smith (1994) juga m
embedakan swasta, 0,69 juta ha lahan perkebunan perusahaan
sustainability menjadi tiga persepsi utama. Per- negara, dan 4,54 juta ha lahan perkebunan rakyat.
tama, definisi ekologis tentang berkelanjutan, Potensi untuk menciptakan kesempatan kerja
yang berfokus pada proses-proses biofisik dan meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja di
dan produktivitas terus-menerus dari fungsi perkebunan kelapa sawit masih besar, terutama
ekosistem. Kedua, definisi ekonomis dari ber pada produk hilir, karena selama ini sebagian
ke
lanjutan, terutama yang menitikberatkan besar produk kelapa sawit Indonesia masih dijual
pada pemeliharaan jangka panjang kelebihan dalam bentuk bahan mentah (CPO).
dari usaha tani terhadap pengelolanya. Ketiga, Data empiris menunjukkan sebagian besar
definisi sosial yang ditujukan pada pemenuhan kesempatan kerja di perkebunan kelapa sawit
yang terus-menerus bagi kebutuhan dasar untuk di Indonesia masih tersedia pada kegiatan hulu.
Oleh sebab itu, penyerapan dan kesejahteraan
Tabel 1. Tenaga Kerja Perkebunan Kelapa Sawit di 8 Provinsi Terbesar di Indonesia Menurut Pengelola, Tahun
2013–2014
2013 2014
No. Provinsi Petani Petani
Negara Swasta Negara Swasta
(KK) (KK)
1 Riau 526.350 41.835 230.902 524.561 42.795 423.668
2 Sumatra Utara 173.478 157.416 326.922 173.728 157.508 332.352
3 Kalimantan Tengah 57.970 350 483.969 60.899 350 487.166
4 Sumatra Selatan 308.505 26.854 144.253 197.912 23.838 233.215
5 Kalimantan Barat 101.565 28.567 164.474 102.883 28.103 270.171
6 Kalimantan Timur 88.162 28.874 260.690 100.302 28.875 219.349
7 Jambi 188.756 13.091 68.026 207.005 11.812 116.657
8 Kalimantan Selatan 36.856 8.443 89.612 41.005 8.443 208.163
Indonesia 2.130.282 336.884 2.701.770 2.052.050 364.527 2.801.746
3.038.654 3.166.273
Sumber: BPS (2015)
Ngadi dan Mita Noveria | Keberlanjutan Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia ... | 99
Rencana pemerintah mengembangkan perke ditanami komoditas perkebunan tersebut juga
bunan kelapa sawit di perbatasan diperkirakan lebih luas dibandingkan jenis-jenis tanaman
akan menyerap 240.000 tenaga kerja baru (Gapki perkebunan lain. Peningkatan peran perkebunan
“Dukung Pemerintah”, 2015). Data memperlihat- kelapa sawit dalam menyerap tenaga kerja ini
kan bahwa jumlah tenaga kerja yang terserap di sejalan dengan peningkatan luas lahannya (“Pro-
perkebunan kelapa sawit di Provinsi Kalimantan gram Sejuta Hektare,” 2013).
Timur saja bahkan telah melampaui angka per Jika diperhatikan lebih rinci, penyerapan te
kiraan tersebut (Tabel 2). Berdasarkan pada naga kerja yang besar di perkebunan kelapa sawit
kenyataan ini, tidak berlebihan jika perkebunan ditemukan di kabupaten-kabupaten yang terletak
kelapa sawit menjadi tumpuan sumber mata di kawasan perbatasan. Di Kabupaten Nunukan,
pencaharian bagi masyarakat yang tinggal di misalnya, pada 2012, perkebunan kelapa sawit
sepanjang perbatasan negara. Di Desa Srinanti di yang ada mampu menyerap tidak kurang dari
Kecamatan Sei Menggaris, Kabupaten Nunukan, 40 ribu tenaga kerja. Meskipun tidak sebesar di
Kalimantan Timur—untuk menyebut salah satu- kabupaten yang bukan perbatasan, seperti Kutai
nya—mayoritas penduduk bekerja di perkebunan Kertanegara, yang pada 2012 mampu menyerap
kelapa sawit, baik sebagai petani maupun buruh lebih dari 90 ribu tenaga kerja, perkebunan
(“Kelapa Sawit Adalah” 2016). Selanjutnya, di kelapa sawit di kabupaten perbatasan telah
salah satu perkebunan yang terdapat di Kecamatan memberikan kontribusi dalam mengurangi angka
Sei Menggaris, yaitu PT Nunukan Jaya Lestari pengangguran (Tabel 3).
(NJL), terdapat sekitar 1.300 orang pekerja yang
menggantungkan hidup mereka dan keluarganya. Kemampuan perkebunan kelapa sawit dalam
Selain itu, terdapat sejumlah petani sawit yang menyerap tenaga kerja secara langsung ataupun
secara ekonomi bergantung pada perusahaan tidak langsung dapat memberikan kesejahteraan
tersebut karena kelapa sawit hasil kebun mereka bagi mereka, terutama karena penghasilan yang
dijual kepada PT NJL. diperoleh. Sebagai contoh, pada salah satu per
usahaan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten
Data pada Tabel 2 memperlihatkan bahwa Kutai Timur, seorang petani plasma yang menye
selama periode lima tahun (2008–2012), perke- rahkan lahannya untuk ditanami kelapa sawit bisa
bunan kelapa sawit di Provinsi Kalimantan mendapatkan penghasilan sekitar Rp7 juta setiap
Timur menyerap tenaga kerja terbanyak di antara bulan (“Penghasilan Petani Sawit,” 2015).
berbagai jenis tanaman perkebunan yang lain.
Dalam perspektif mikro, hasil survei menun-
Bersama dengan perkebunan karet, jumlah tenaga
jukkan terdapat variasi jenis pekerjaan di kawasan
kerja di perkebunan kelapa sawit meningkat
pengembangan perkebunan kelapa sawit plasma
sepanjang tahun. Kondisi sebaliknya terjadi pada
PT Hindoli dan PTPN VII. Perbedaan ini lebih
perkebunan kelapa dalam, kakao, lada, dan kopi,
disebabkan oleh perbedaan produktivitas lahan
yang mengalami penurunan jumlah tenaga kerja
perkebunan yang secara langsung berimplikasi
dalam periode yang sama. Paling banyaknya
terhadap tingkat kesejahteraan petani. Produk-
penyerapan tenaga kerja di perkebunan kelapa
tivitas lahan yang tinggi dari perkebunan kelapa
sawit mudah dimaklumi, mengingat lahan yang
Tabel 2. Jumlah Tenaga Kerja Menurut Jenis Tanaman Perkebunan, Provinsi Kalimantan Timur, 2008–2012
Karet Kelapa dalam Kelapa sawit Kakao Lada Kopi
Tahun
(orang) (orang) (orang) (orang) (orang) (orang)
2012 55.930 26.331 333.216 18.651 8.993 12.349
2011 53.346 25.944 317.647 26.590 9.989 15.179
2010 51.687 30.469 294.297 28.195 10.267 15.179
2009 51.249 38.758 174.525 29.768 14.400 24.924
2008 49.556 40.089 148.021 32.448 15.400 26.535
Sumber: Program Sejuta Hektare (2013)
sawit plasma PT Hindoli menyebabkan sebagian Tabel 4. Distribusi ART petani tani plasma PT Hindoli
besar masyarakat bekerja pada pekerjaan yang dan PTPN menurut pekerjaan utama tahun 2016
berhubungan dengan perkebunan kelapa sawit. Plasma PT Plasma PTPN
Sebesar 70,6% tenaga kerja di Desa Srimulyo Jenis pekerjaan Hindoli VII
No
bekerja sebagai petani, buruh harian lepas, sopir, utama Jum- Persen- Jum- Persen-
dan pengurus KUD. Sebagian anggota rumah lah tase lah tase
1 Petani kelapa 160 65.3 100 50.5
tangga petani juga mengembangkan perkebunan
sawit plasma
karet untuk menunjang perekonomian mereka. 2 Petani karet 21 8.6 1 0.5
Keadaan berbeda terjadi pada petani plasma 3 Karyawan KUD 2 0.8 0 0.0
PTPN VII. Produktivitas lahan perkebunan petani 4 Jasa-jasa (sopir, 3 1.2 9 4.5
plasma PTPN VII lebih rendah daripada plasma tukang urut, PRT)
PT Hindoli, sehingga hanya ada 53% tenaga kerja 5 Pedagang 24 9.8 3 1.5
yang bekerja di pekerjaan yang berhubungan 6 Bengkel 2 .8 1 0.5
dengan kelapa sawit (Tabel 4). 7 BHL perkebunan 11 4.5 5 2.5
sawit
Perbedaan produktivitas perkebunan di 8 BHL perkebunan 9 3.7 12 6.1
kedua kawasan juga berdampak terhadap keter karet
sediaan kesempatan kerja di luar sektor pertanian. 9 Guru karyawan 13 5.3 52 26.3
Produktivitas kelapa sawit yang rendah di 10 Home industry/ 0 0.0 5 2.5
kawasan petani plasma PTPN VII menyebabkan wiraswasta
banyak anggota rumah tangga yang mencari 11 Petani tanaman 0 0.0 10 5.1
pangan
pekerjaan di luar sektor pertanian, terutama guru
Total 245 100.0 198 100.0
dan karyawan (26,3%). Persentase ini lebih besar
dibandingkan proporsi tenaga kerja dalam sektor
yang sama kawasan plasma PT Hindoli (5,3%). bagai usaha di sektor perdagangan, seperti toko
Selain disebabkan oleh produktivitas lahan yang penyedia barang kebutuhan pokok, pedagang
rendah, banyak tenaga kerja yang bekerja sebagai makanan, toko alat tulis, dan bahan bangunan.
guru/karyawan di desa kawasan plasma PTPN
berhubungan dengan lokasi geografis yang dekat KEBERLANJUTAN PERKEBUNAN
dengan pusat kabupaten dan Kecamatan Betung. KELAPA SAWIT
Perkembangan positif perekonomian di tingkat
Meskipun berperan penting dalam penciptaan
desa dan wilayah sekitar juga memunculkan ber-
kesempatan kerja, perkebunan kelapa sawit juga
bagai kesempatan kerja lain, seperti perdagangan
memiliki risiko yang tinggi terhadap kerusakan
dan jasa perbengkelan. Banyaknya penduduk
lingkungan dan keberlangsungan usaha. Dampak
yang memiliki sepeda motor dan mobil telah
lingkungan dari perkebunan kelapa sawit yang su-
mendorong pendirian usaha bengkel motor/
dah terjadi adalah bencana asap dan menurunnya
mobil dan jasa cuci kendaraan. Sebagai respons
keanekaragaman hayati di daerah sentra perke-
terhadap kebutuhan harian penduduk yang tidak
bunan kelapa sawit. Perkebunan kelapa sawit
dapat diproduksi di daerah setempat, muncul ber-
Ngadi dan Mita Noveria | Keberlanjutan Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia ... | 101
juga menghadapi risiko penurunan produktivitas juga lebih besar daripada p endapatan minimum
setelah umur tanaman lebih dari 26 tahun. Oleh Provinsi Sumatra Selatan tahun 2016 sebesar
sebab itu, petani harus meremajakan tanaman Rp2.206.000 dengan standar tujuh jam kerja
untuk menjaga keberlanjutan pendapatan. Untuk per hari atau 40 jam kerja per minggu (Pemprov
menjaga keberlanjutan usaha dan kelestarian Sumsel, 2016). Pendapatan tersebut juga lebih
lingkungan, pengembangan perkebunan kelapa tinggi daripada upah sektoral di sektor pertanian
sawit harus dilakukan secara berkelanjutan. pada 2015, yang sebesar Rp2.250.000 per bulan
Keberlanjutan pada dasarnya mencakup (Pemprov Sumsel, 2016). Keadaan ini menunjuk-
tiga aspek utama, yaitu ekonomi, sosial, dan kan bahwa rumah tangga petani plasma di kedua
lingkungan. Uraian dalam artikel ini difokuskan kawasan memiliki pendapatan yang cukup tinggi
pada keberlanjutan ekonomi dan sosial, yaitu dan layak secara ekonomi (Tabel 5).
pendapatan petani, kelembagaan, dan akses ter- Tingginya pendapatan rumah tangga di kedua
hadap lahan. Dalam uraian ini, keberlanjutan kawasan petani plasma belum menggambarkan
perkebunan kelapa sawit didasarkan pada kelapa keberlanjutan ekonomi perkebunan kelapa sawit.
sawit plasma PT Hindoli dan plasma PTPN VII Keberlanjutan ekonomi kelapa sawit di kedua
di Kabupaten Musi Banyuasin. Berbagai indika- kawasan dapat dilihat dari besarnya pendapatan
tor keberlanjutan sosial ekonomi menunjukkan rumah tangga dari kelapa sawit. Hasil penelitian
bahwa perkebunan sawit plasma PT Hindoli menunjukkan sebagian besar pendapatan rumah
merupakan perkebunan yang berkelanjutan, tangga plasma PT Hindoli berasal dari perkebun
sedangkan plasma PTPN VII merupakan perke- an kelapa sawit, yaitu Rp3,15 juta atau 75,6%
bunan yang tidak berkelanjutan. Sementara itu, dari total pendapatan rumah tangga. Besarnya
perkebunan kelapa sawit di kawasan perbatasan pendapatan rumah tangga plasma PT Hindoli yang
masih dalam proses awal pengembangan sehingga berasal dari kelapa sawit menunjukkan tingginya
indikator pendapatan dan kelembagaan belum sustainability perkebunan di kawasan tersebut.
dapat disajikan dalam tulisan ini. Pada saat penelitian ini dilakukan, petani
sedang mengalami musim trek2. Dalam kondisi
a. Pendapatan Petani musim panen yang baik, pendapatan petani
plasma di daerah tersebut bisa mencapai Rp10
Pendapatan petani yang mencerminkan keberlan-
juta per kaveling. Keadaan tersebut menunjukkan
jutan ekonomi perkebunan kelapa sawit dalam tu-
bahwa dalam aspek ekonomi perkebunan kelapa
lisan ini adalah pendapatan rumah tangga dan per
sawit plasma PT Hindoli merupakan perkebunan
kapita. Pendapatan rumah tangga adalah akumu-
yang berkelanjutan. Keberlanjutan ekonomi
lasi dari keseluruhan pendapatan anggota rumah
yang tinggi pada perkebunan kelapa sawit juga
tangga yang bekerja, baik dari pekerjaan utama
ditemukan di daerah lain di Indonesia, seperti
maupun pekerjaan tambahan. Pendapatan per
Kabupaten Kampar (Wigena, Siregar, Sudrajat,
kapita rumah tangga dihitung melalui pembagian
& Sitorus, 2009), Kabupaten Langkat (Widodo,
antara total pendapatan rumah tangga dan jumlah
Soewartoyo, Daliyo, Ngadi, & Hargiono, 2005),
anggota rumah tangga. Hasil penelitian menun-
dan Kabupaten Siak (Tjiptoherijanto, 2004).
jukkan rata-rata pendapatan rumah tangga petani
kelapa sawit plasma PT Hindoli adalah Rp4,1 Pendapatan rumah tangga dari kelapa sawit
juta, sedangkan pendapatan per kapita sebesar petani plasma PTPN VII di Kecamatan Lais dan
Rp1,18 juta. Pendapatan ini lebih tinggi daripada Babat Supat, Musi Banyuasin, relatif rendah.
pendapatan rumah tangga dan per kapita petani Keadaan ini menyebabkan sebagian besar petani
plasma PTPN VII, yang masing-masing sebesar berusaha memperoleh pendapatan dari luar sektor
Rp3,04 juta dan Rp698 ribu. Secara umum, pertanian, sehingga kontribusi pendapatan dari
pendapatan rumah tangga petani plasma di kedua kelapa sawit terhadap pendapatan rumah tangga
lokasi lebih besar daripada garis kemiskinan Ka-
bupaten Musi Banyuasin tahun 2014 sebesar Rp 2 Musim trek ialah musim paceklik, artinya produktivitas
357.567 (BPS, 2015). Pendapatan rumah tangga perkebunan kelapa sawit lebih rendah daripada produk-
tivitas rata-rata bulanan dalam satu tahun.
Ngadi dan Mita Noveria | Keberlanjutan Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia ... | 103
prestasi telah dicapai. Prestasi-prestasi tersebut unit usaha produktif yang dikelolanya (terdapat
antara lain (a) piagam program kemitraan PIR- 8 unit usaha), besarnya pangsa modal sendiri dan
Trans kelapa sawit dari PT Hindoli pada 2003; sisa hasil usaha terhadap total modal. Selain itu,
(b) koperasi berprestasi tingkat Provinsi Sumatra lembaga ini menerima banyak penghargaan seba
Selatan pada 2003; (c) koperasi berprestasi ter- gai lembaga ekonomi dengan kinerja yang baik.
baik Kabupaten Musi Banyuasin pada 2005; (d) Sampai 2000, jenis penghargaan yang diterima
koperasi produsen berprestasi Provinsi Sumatra antara lain (1) KUD terbaik tingkat Kabupaten
Selatan pada 2005; (e) juara I Koperasi Aneka Musi Banyuasin, terbaik tingkat Provinsi Sumatra
Jasa Kabupaten Musi Banyuasin pada 2007; (f) Selatan dan tingkat Nasional; (2) KUD Mandiri
koperasi berprestasi tingkat Sumatra Selatan pada teladan tingkat Nasional; (3) pemegang GPKS
2007; (g) juara I Koperasi Produsen di Provinsi tingkat Kabupaten Musi Banyuasin; serta (4)
Sumatra Selatan pada 2007 ; (h) koperasi ber- mitra usaha berprestasi tingkat nasional pada
prestasi nasional pada 2008; serta (i) lulus sertifi- 1997 dari Menteri Pertanian. Akan tetapi, prestasi
kasi Roundtable On Sustainable Palm Oil (RSPO) tersebut tidak dapat bertahan dan saat ini KUD
pada 2010. Selain itu, masih banyak prestasi lain Trijaya menjadi koperasi yang tidak beroperasi
yang dicapai KUD Bersama Makmur. lagi.
Keberlanjutan yang rendah terjadi pada Perbedaan keberlanjutan kelembagaan di
kelembagaan petani plasma PTPN VII (KUD kedua kawasan pengembangan perkebunan ke-
Trijaya) yang sudah tidak beroperasi. Kelem- lapa sawit berdampak nyata terhadap perbedaan
bagaan petani plasma PTPN VII di Kabupaten tingkat kesejahteraan petani. Kelapa sawit petani
Musi Banyuasin tidak berkelanjutan sehingga plasma PT Hindoli mempunyai produktivitas
berdampak rendahnya produktivitas lahan dan ke- yang tinggi karena didukung lembaga koperasi
sejahteraan petani. Semua kegiatan pengelolaan yang sehat dan berkelanjutan. Produktivitas yang
lahan perkebunan dilakukan sendiri oleh petani tinggi ini berkorelasi positif terhadap tingginya
plasma tanpa terikat peraturan dari perusahaan pendapatan dan kesejahteraan petani plasma. Di
inti. Pendirian koperasi yang terpusat dalam sisi lain, perkebunan kelapa sawit petani plasma
satu unit (KUD Tri Jaya) untuk mengelola 4.000 PTPN VII termasuk rendah karena lemahnya
petani menjadi penyebab semakin rentannya kelembagaan koperasi. Hal ini berdampak ter
koperasi di daerah ini. Petani plasma di beberapa hadap rendahnya tingkat pendapatan dan kese
desa berusaha membentuk kelompok usaha ber- jahteraan petani plasma.
sama dengan harapan dapat berkembang menjadi
koperasi mandiri, tetapi sampai saat ini belum
berhasil. Berbagai persoalan lain di plasma PTPN b. Akses terhadap Lahan
VII muncul sebagai dampak dari koperasi yang Akses terhadap lahan merupakan indikator keber-
tidak berkelanjutan, terutama ketidakmampuan lanjutan sosial dari perkebunan kelapa sawit. Data
petani melakukan peremajaan tanaman meskipun penelitian terhadap petani plasma PT Hindoli
saat ini umur tanaman sudah lebih dari 30 tahun. dan PTPN VII di Sumatra Selatan menunjukkan
Meskipun sudah tidak beroperasi, KUD bahwa akses terhadap lahan berkorelasi positif
Trijaya pernah menjadi koperasi yang sehat terhadap pendapatan dan kelembagaan petani.
dan mendapatkan berbagai penghargaan. KUD Petani plasma PT Hindoli mempunyai akses yang
Trijaya didirikan pada 1986/1987 dengan cukup baik terhadap lahan sehingga sampai saat
wilayah kerja mencakup Proyek PIR IV Talang ini semua petani plasma telah memiliki sertifikat
Sawit dengan PTP Nusantara VII Talang Sawit lahan. Pendapatan petani yang cukup besar telah
sebagai inti. Sampai akhir 2000, terdapat 20 berdampak pada kemampuan petani untuk mem-
kampung sawit yang dikelola oleh 3.766 rumah perluas lahan pertanian dengan membeli lahan
tangga petani sebagai anggota KUD dan 234 di kawasan desa maupun di luar desa. Lahan
rumah tangga petani sebagai calon anggota. tersebut sebagian digunakan untuk penanaman
Sampai 2000, KUD Trijaya masih mempunyai kelapa sawit secara mandiri atau menanam karet.
kinerja yang baik; hal itu tecermin dari jumlah Pada 2016, semua rumah tangga petani plasma
Ngadi dan Mita Noveria | Keberlanjutan Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia ... | 105
misalnya, pengalihan hak penguasaan lahan ke- kredit bank dengan bunga subsidi dari pemerintah
pada perusahaan perkebunan kelapa sawit dikenal (“Transmigran di Perbatasan,” 2015).
dengan istilah “simpak beliung” (“Lahan Kelapa
Sawit,” 2013). Dengan cara ini, perusahaan yang PROSPEK PENGEMBANGAN
akan membuka perkebunan kelapa sawit mem- KELAPA SAWIT DI WILAYAH
berikan uang tali asih kepada masyarakat pemilik
PERBATASAN KALIMANTAN
lahan. Uang tali asih sebesar Rp250.000/ha lahan
untuk digunakan selama waktu satu siklus tanam, Dengan tetap harus memperhatikan berbagai per-
yaitu 25–30 tahun. Selama satu siklus tersebut, masalahan yang timbul dalam usaha perkebunan
masyarakat tidak memiliki akses untuk meman- kelapa sawit, perkebunan ini tetap memiliki
faatkan lahannya karena sudah dialihkan hak prospek untuk dikembangkan. Perkebunan kelapa
penguasaannya kepada perusahaan perkebunan sawit menciptakan kesejahteraan bagi petani, ter
kelapa sawit. Namun, setelah satu siklus selesai, utama yang menjadi mitra perusahaan-perusahaan
penguasaan lahan dikembalikan kepada masyara- kelapa sawit, sebagaimana telah dikemukakan
kat yang memilikinya. Cara tersebut ditempuh pada bagian sebelumnya. Selain itu, perkebunan
oleh mereka yang tidak berkeinginan menjadi kelapa sawit berhasil membuka kesempatan kerja
petani kelapa sawit. bagi mereka yang bukan pemilik lahan sehingga
dapat mengurangi angka pengangguran.
Sebaliknya, mereka yang berminat ikut
melakukan aktivitas perkebunan sawit masih Pengembangan perkebunan kelapa sawit
memiliki akses terhadap lahan yang dimiliki. wilayah perbatasan dimungkinkan karena ada
Caranya adalah memindahkan hak penguasaan nya dukungan dari tenaga kerja yang berasal
lahan kebun kepada perusahaan, tetapi masih bisa dari beberapa daerah di Indonesia, bukan hanya
mengusahakan sebagian lahan. Dengan sistem penduduk daerah setempat. Tenaga kerja terse-
ini, pemilik lahan menjadi mitra perkebunan but didatangkan dari berbagai daerah dengan
kelapa sawit. Pemindahan hak penguasaan lahan beberapa cara. Pertama, melalui cara mandiri,
dilakukan dengan perbandingan 80: 20, dalam dalam arti perusahaan mempekerjakan mereka
arti perusahaan menguasai 80% lahan dan ma- yang melamar untuk bekerja di perusahaan.
syarakat sebanyak 20%. Selanjutnya, 20% lahan Kedua, melalui rekrutmen menggunakan skema
yang dikuasai petani dijadikan kebun plasma Akad Kerja Antar-Daerah (AKAD) yang dilaksa
yang pembuatannya ditanggung perusahaan. nakan dengan melibatkan pemerintah pusat
Dengan sistem ini, masyarakat juga memperoleh (melalui Kementerian Tenaga Kerja), perusahaan
uang tali asih sebesar Rp250.000/ha untuk satu perkebunan kelapa sawit, serta pemerintah daerah
siklus perkebunan kelapa sawit. Masyarakat yang pengirim tenaga kerja. Provinsi Nusa Tenggara
terlibat dalam pemilikan lahan plasma harus Barat (NTB), umpamanya, rata-rata memberang-
membayar kredit sebesar Rp70–40 juta selama katkan sekitar 200 tenaga kerja melalui skema
satu siklus perkebunan sawit. AKAD ke berbagai daerah, termasuk mereka
Kelompok masyarakat lain yang juga memi- yang akan dipekerjakan di perusahaan kelapa
liki akses terhadap lahan perkebunan kelapa sawit sawit di daerah Kalimantan Barat dan Kaliman-
adalah peserta transmigrasi dengan pola PIR yang tan Timur (“Pelepasan Tenaga Kerja AKAD,”
ditempatkan di sekitar lokasi perkebunan. Secara 2013). Ketiga, penempatan melalui program
keseluruhan, mereka memperoleh lahan seluas 2 transmigrasi.
ha, dengan pembagian seluas 1,25 ha untuk lahan Data memperlihatkan, secara keseluruhan,
kebun plasma dan 0,75 ha untuk rumah dan peka- tenaga kerja yang ditempatkan di perkebunan
rangan. Data terbaru menunjukkan transmigran di kelapa sawit melalui skema AKAD pada 2015
daerah perbatasan akan memperoleh lahan bagi sebanyak 23.489 orang (“Laporan Penempatan
setiap keluarga seluas 0,25 ha sebagai pekarangan Tenaga,” 2015). Dari jumlah tersebut, hanya
hibah dari pemerintah. Sementara lahan usaha 1.115 orang yang ditempatkan di perkebunan
kebun seluas 3 ha yang bisa diperoleh melalui kelapa sawit di luar Pulau Kalimantan, yaitu di
Kabupaten Nabire (Provinsi Papua) sebanyak
Tabel 6. Tenaga Kerja AKAD Perkebunan Kelapa Sawit di Tiga Provinsi Perbatasan Menurut Daerah Asal, 2015
Daerah tujuan (provinsi)
Daerah asal (provinsi) Jumlah
Kalimantan Utara* Kalimantan Barat** Kalimantan Timur***
Banten 500 150 100 750
Jawa Barat 500 150 100 750
DI Yogyakarta 500 375 150 1.025
Jawa Tengah 500 600 300 1.400
Jawa Timur 500 375 200 1.075
Nusa Tenggara Barat 1.000 375 100 1.475
Nusa Tenggara Timur 1.000 - 1.700 2.700
Sulawesi Tengah 250 - 200 450
Sulawesi Selatan 250 225 150 625
Jumlah 5.000 2.250 3.000 10.250
Sumber: Laporan penempatan tenaga (2015)
Catatan: * Kabupaten Nunukan dan Tarakan
** Kabupaten Kapuas Hulu
*** Kabupaten Kutai Barat
Ngadi dan Mita Noveria | Keberlanjutan Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia ... | 107
lakukan melalui skema AKAD sesungguhnya tenaga kerja yang masih menganggur. Selain itu,
merupakan salah satu strategi untuk “menahan” pemerintah daerah kabupaten tersebut berupaya
tenaga kerja Indonesia yang akan bekerja di “membujuk” mereka yang akan bekerja ke Ma-
perkebunan-perkebunan kelapa sawit Malaysia laysia untuk mengisi kesempatan kerja di wilayah
yang sebagian berlokasi di perbatasan kedua perbatasan. Hal tersebut terlihat dalam kutipan
negara. Menurut salah seorang narasumber dari wawancara berikut ini.
Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi di
… Saya sering katakan kalau kerja di kebun
Kabupaten Lombok Tengah, penempatan tenaga
kelapa sawit di (perbatasan) Kalimantan itu
kerja di perkebunan kelapa sawit di perbatasan tidak jelek. Kerja di sana lebih baik daripada
Kalimantan dan Malaysia merupakan salah di Malaysia, kita kerja di negara sendiri, tidak
satu alternatif untuk mengurangi penganggur takut dikejar-kejar polisi. Kalau rindu keluarga
di kabupaten tersebut. Selain itu, skema terse- juga lebih mudah pulang. Sekarang kan gaji harus
but menjadi salah satu upaya menghindarkan sesuai upah minimum. Selain itu, biaya keberang-
katan ditanggung perusahaan, dapat perumahan,
tenaga kerja Indonesia dari tindakan eksploitasi
malah boleh membawa keluarga kalau ada yang
akibat penempatan tenaga kerja ke luar negeri mau begitu. Jadi buat apa lagi ramai-ramai cari
yang tidak sesuai dengan prosedur.3 Tenaga kerja ke Malaysia … (Bapak At, seorang pejabat
kerja AKAD diikat dengan perjanjian kontrak di Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi
selama dua tahun dengan gaji sesuai dengan upah Kabupaten Lombok Utara).
minimum provinsi (UMP). Biaya keberangkatan
… Bulan lalu saya baru mengantar anak-anak kita
mereka ke lokasi pekerjaan ditanggung perusa- yang akan bekerja ke Kalimantan Barat. … Sejak
haan pemberi kerja. Selain itu, pekerja diberi ada yang kerja ke Kalimantan itu, para perekrut
fasilitas perumahan, konsumsi harian, dan uang tenaga kerja ke Malaysia makin gencar mencari
lembur, serta insentif lain yang memungkinkan calon tenaga kerja. Seperti ada persaingan lah, kan
mereka bisa memperoleh penghasilan yang cukup dia juga dapat uang kalau bisa merekrut tenaga
untuk membawa serta keluarga ke lokasi tempat kerja untuk dikirim ke Malaysia. … (Bapak At,
seorang pejabat di Dinas Sosial, Tenaga Kerja,
kerja (“Perusahaan kelapa sawit,” 2017). Dengan dan Transmigrasi Kabupaten Lombok Utara).
demikian, mereka bisa bekerja tanpa hidup ter-
pisah dengan keluarga. Penempatan tenaga kerja di perkebunan ke-
Dampak positif keberadaan perkebunan lapa sawit di wilayah perbatasan yang dilakukan
kelapa sawit di perbatasan Kalimantan-Malaysia dengan proses transmigrasi antara lain ditemukan
terhadap penurunan minat untuk bermigrasi ke di Kabupaten Nunukan, khususnya di Kecamatan
Malaysia mulai dirasakan di Lombok Utara, salah Sei Manggaris. Pada 2002, ketika terjadi deportasi
satu kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Barat. tenaga kerja Indonesia dari Malaysia ke Nunukan
Hal ini terutama terjadi sejak adanya tawaran ke- secara besar-besaran yang melibatkan sekitar
sempatan kerja melalui skema AKAD. Meskipun 130.000 orang, mereka yang tidak berkeinginan
gaji yang diterima tidak sebesar yang diperoleh kembali ke daerah asal diberi pilihan untuk tetap
di Malaysia, keamanan dan kenyamanan tinggal tinggal di Sei Manggaris dengan status sebagai
di negeri sendiri tanpa berbagai ancaman yang transmigran perkebunan inti rakyat (PIR) kelapa
mungkin akan timbul menyebabkan bekerja sawit. Kesempatan tersebut diambil oleh sekitar
di perkebunan kelapa sawit di wilayah perba- 40 persen dari mereka yang dideportasi. Dengan
tasan menjadi alternatif pilihan bagi sebagian status tersebut, mereka memperoleh lahan kebun,
pekarangan, dan rumah dengan ukuran yang sama
3 Penempatan tenaga kerja Indonesia tanpa melalui prose- dengan transmigran PIR sawit di daerah lain.
dur resmi di Malaysia pada umumnya dan perkebunan
Mereka berstatus petani plasma dari PT PEL,
kelapa sawit khususnya merupakan fenomena yang tidak
asing lagi. Tidak jarang ditemukan pekerja di perkebunan yang merupakan investor perkebunan kelapa
kelapa sawit di negara tetangga tersebut adalah mereka sawit di daerah tersebut (Noveria, 2017, 221).
yang tidak tercatat—untuk tidak menggunakan istilah Berkembangnya usaha perkebunan kelapa sawit
ilegal—sehingga sangat rentan terhadap berbagai bentuk
eksploitasi dan pengurangan hak-hak mereka, termasuk di Kecamatan Sei Manggaris telah mengundang
upah (lihat Haba, 2017, 244). tenaga kerja yang lain untuk melakukan kegiatan
Ngadi dan Mita Noveria | Keberlanjutan Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia ... | 109
Colchester, M., Jiwan, N., Andiko, Sirait, M., Firdaus, Sanggau dan Kabupaten Sambas. Dilaporkan
A.Y., Surambo, A., & Pane, H. (2006). kepada Save the Children (EXCEED Project),
Tanah yang dijanjikan. Minyak sawit dan Yogyakarta.
pembebasan tanah di Indonesia: Implikasi Sinaga, H. (2013). Employment and income of workers
terhadap masyarakat lokal dan masyarakat on Indonesian oil palm plantations: Food crisis
adat. Jakarta: Forest Peoples Programme, at the micro level. Future of Food: Journal
Perkumpulan Sawit Watch, HuMa, dan the on Food, Agriculture and Society, 1(2), 64–78.
World Agriforestry Centre.
Smith, C. S., & Mc Donald, G. T. (1998). Assessing
Direktorat Jenderal Perkebunan. (2014). Statistik the sustainability of agriculture at the planning
perkebunan Indonesia 2013–2015 kelapa sawit stage. Journal of Environmental Management,
(Tree Crop Estate Statistics of Indonesia 2014- 52, 15–37.
2016 Palm Oil). Jakarta: Direktorat Jenderal
Tjiptoherijanto, P. (Ed.). (2004). Dinamika dan pros-
Perkebunan.
pek penyerapan tenaga kerja di perkebunan
Direktorat Jenderal Perkebunan. (2015). Statistik kelapa sawit, Kabupaten Siak, Provinsi Riau.
perkebunan Indonesia 2014–2016 kelapa Jakarta: LIPI Press.
sawit (Tree crop estate statistics of Indonesia
UPP Sekayu. (2012). Laporan sosialisasi perema-
2014–2016 palm oil). Jakarta: Direktorat
jaan tanaman PIR IV talang sawit program
Jenderal Perkebunan.
revitalisasi perkebunan. Unit Pelayanan
Douglass, G. K. (1984). The meanings of agricultural Pengembangan-Sekayu Dinas Perkebunan
sustainability. Dalam G. K. Douglass (Ed.), Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatra Selatan.
Agricultural sustainability in a changing world
United Nations. (2007). Indicators of Sustainable
order, 3–30. Boulder, Colorado: Westview
Development: Guidelines and Methodologies
Press.
Third Edition. New York.
Food and Agriculture Organization of the United
Widodo, Y. B., Soewartoyo, Daliyo, Ngadi, &
Nations (FAO). (1993). FESLM: An interna-
Hargiono, S. (2005). Perkembangan kelapa
tional framework for evaluating sustainable
sawit dan penyerapan tenaga kerja: Dinamika
land management. Roma: FAO.
kesejahteraan petani di Kabupaten Langkat,
Haba, J. (2017). Isu kedaulatan, nasionalisme, dan Sumatra Utara. Jakarta: LIPI Press.
relasi sosial warga perbatasan. Dalam Mita
Wigena, I. G. P., Siregar, H., Sudrajat, & Sitorus, S. R.
Noveria (Ed.), Kedaulatan Indonesia di
P. (2009). Design of sustainability management
Wilayah Perbatasan: Perspektif Multidimensi.
model of nucleus smallholders oil palm based
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
on dynamic system approach (A case study of
Ngadi. (2015). Kesejahteraan petani sawit di tengah PTP nusantara V nucleus smallholder oil palm
persaingan pasar global di Kabupaten Musi at Sei Pagar, Kampar Regency, Riau Province.
Banyuasin. Jurnal Transmigrasi. Departemen Jurnal Agro Ekonomi, 27(1), 81–108.
Transmigrasi, 32(2), 123–133.
Yunlong, C., & Smith, B. (1994). Sustainability in
Noveria, M. (2017). Kedaulatan dan kesejahteraan agriculture: A general review. Agriculture,
masyarakat perbatasan: Potret pendidikan, Ecosystems and Environment, 49, 299–307.
kesehatan, dan kesempatan kerja. Dalam
Zhen, L., & Routray, J. K. (2003) Operational indica-
Mita Noveria (Ed.), Kedaulatan Indonesia di
tors for measuring agricultural sustainability in
wilayah perbatasan: Perspektif multidimensi.
developing countries. Environmental Manage-
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
ment, 32(1), 34–46.
Pemprov Sumsel. (2016). Keputusan Gubernur
Sumatra Selatan, Nomor: 838/KPTS/Disnaker-
trans/2015, tentang Upah minimum Provinsi Media online
Sumatra Selatan Tahun 2016. BPS. (2014). Rata-rata Pendapatan Rumah Tangga
Rahayu, S., Nagib, L., Sumono, & Asiati, D. (2004). Pertanian menurut Wilayah dan Sumber Pen
Perkembangan perkebunan kelapa sawit dan dapatan/Penerimaan Selama Setahun yang Lalu
penyerapan tenaga kerja di Kabupaten Pasir, (000 Rp). Diakses pada 9 Februari 2017 dari
Kalimantan Timur. Jakarta: LIPI Press. https://st2013.bps.go.id/dev2/index.php/site/
tabel?tid=72&wid=0.
Shalahuddin, O., Muchtar, F., & Muria, F. (2011).
Laporan mengenai studi anak di perkebunan BPS Kabupaten Musi Banyuasin. (2015). Garis
kelapa sawit di Dua Kabupaten (Kabupaten kemiskinan, jumlah dan persentase penduduk
miskin di Kabupaten Musi Banyuasin Tahun
2004–2014. Diakses 21 April 2017 dari https://
Ngadi dan Mita Noveria | Keberlanjutan Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia ... | 111
112 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017
BRIDGING PEOPLE, SEIZING THE FUTURE:
INDONESIAN MIGRANT ENTREPRENEURS IN TAIWAN
AND RETURN MIGRANT ENTREPRENEURSHIP IN
MALANG, EAST JAVA
Summary of Disertation, Anthropology Departement, Tokyo Metropolitan University, Tokyo.
Japan, 223 p.
ABSTRAK
Tesis ini mengkaji kegiatan ekonomi migran Indonesia di Taiwan dan mantan tenaga kerja asal Taiwan
di Malang serta melihat sejauh mana fungsi sosial kegiatan ekonomi yang menyertainya. Hasil penelitian
memperlihatkan kegiatan wirausaha pengusaha migran Indonesia di Taiwan memiliki sifat yang sosialis dalam
praktik bisnis mereka. Mereka melakukan aksi kegiatan sosial-keagamaan yang terkait dengan komunitas pekerja
migran. Kerja sama/hubungan antara pengusaha dan pekerja migran ini menciptakan rasa solidaritas kelompok
dan membangun rasa kebersamaan di antara mereka. Ada tiga faktor penting pembentuk kondisi ini: posisi
marginal sebagai migran, nilai agama, dan rasa keprihatinan sosial. Sementara itu, studi kasus kewirausahaan
mantan tenaga kerja Indonesia di Malang memperlihatkan bahwa pengalaman migrasi mendorong mobilitas sosial-
ekonomi dan mengembangkan kegiatan sosial-ekonomi ketika kembali pulang. Pengalaman migrasi dan kegiatan
usaha menjadi sumber penting mata pencaharian yang berkelanjutan, sebagai rantai produksi usaha (kegiatan
ekonomi), transformasi diri, sekaligus sebagai bagian proses reintegrasi ekonomi setelah kembali pulang. Semua
ini menciptakan kehidupan baru bagi mantan tenaga kerja luar negeri setelah sekian lama bekerja di luar negeri.
Secara praktis dan teoretis, cara bagaimana migran dan mantan pekerja migran menjalankan kegiatan ekonomi
dan penyesuaian diri di negara tujuan dan di kampung halaman menunjukkan kemampuan memperbaiki kondisi
sosial-ekonomi, menaikkan status di masyarakat, dan sebagai alat untuk mencegah keterisolasian akibat posisi
marginal, baik secara ekonomi maupun sosial.
ABSTRACT
This thesis explores and examines the role and socio-economic functions of Indonesian entrepreneurs in Taiwan
and return migrant entrepreneurs from Taiwan in Malang, East Java, and the implications of their entrepreneurial
activities on the community. In the case of Taiwan, Indonesian migrant entrepreneurs’ active in social activities; they
are linked strongly to the petty conditions of co-migrants. In various cases, entrepreneurs play the role of friends in
need, acting as third-party resources, to co-migrants, who turn to the former for help and self-actualization. Their
activities contribute to bridging the relations between the larger community and Indonesian migrants living as a
minority and as marginal foreign newcomers in Taiwan. Meanwhile, the case study of Indonesian return migrant
entrepreneurship at the home village of Malang found that migration and returning home experiences increase
socio-economic mobility and develop socio-economic activities at home villages. The migrants’ experiences and
enterprise activities have emerged as a critical source of sustainable livelihoods, migration knowledge of production
application, self-transformation, and the economic reintegration process for return migrants in their home villages,
all of which can create a new life for returnees after migration. Practically and theoretically speaking, the manner
in which migrant and return migrant entrepreneurs perform economic adaptation or social adjustment, both at their
destinations and in their home countries, indicates that the socio-economic function, comprising valuable ties that
cut across classes, can prevent the social and economic isolation of disadvantaged entrepreneurs, co-migrants,
and return migrants in the community.
113
BACKGROUND AND SCOPE OF apply in the Indonesian migrant entrepreneur
STUDY in Taiwan and return migrant entrepreneurship
In the development of entrepreneurial activities— activities in home country village (Malang, East
particularly in the migrant and return-migrant Java). First, I consider the societal functions of
business operations that occur in places (coun- entrepreneurship, such as creating stability and
tries) characterized by problematic co-market or change, and the societal role of the entrepreneur,
living conditions—the business pattern tend to such as being a leader or a broker/middleman.
operate in two dimensions: social and economic. The second idea concerns the entrepreneurial
Anthropologist Fredrik Barth (1963, 3) regards mechanism, that is, entrepreneurship as a strategy
entrepreneurship, both socially and practically, as for making an economic profit and a living. How-
being closely associated with general leadership ever, the scope of this study is not to examine
entrepreneurship as a process of developing
and the social structures of communities. He
social stability and acting as a change agent in
portrays entrepreneurship practices as frequently
a society’s formation. Instead, I wish to explore
involving the relationships of persons and institu-
the roles of entrepreneurs and entrepreneurship in
tions in one society with those in another, more
migrant and return-migrant group, as individuals
economically advanced, society, in which the
who set up a business or businesses, and who
entrepreneur essentially becomes a broker in
manage entrepreneurship while performing their
the context of culture contacts. In the activities
social roles/functions. Doing so involves seeing
of the entrepreneur and entrepreneurship, we
a migrant and a return-migrant entrepreneur as
may recognize processes that are fundamental
someone who carries out a task with a certain
to questions of social stability and change—or
degree of autonomy in a specific market; some-
that create change in normative orders, such as
one who organizes, manages, and assumes the
those noted by Alex Stewart (1991, 73)—that are
risks of a business; someone who is transformed
one of concern to anyone wishing to pursue a
from worker to business person, someone who
dynamic study of society. From this perspective,
builds an economic institution through his/her
the profit-seeking aspect has been generalised in
social activities; and whose enterprise activities
a model of social organisation based on transac- are connected to the local society and social situ-
tional relations, while the entrepreneurial aspect ation in a number of ways.
has been promoted to the status of explaining
social behaviour (or change). Behaviour and Therefore, based on the description above,
change can be perceived as a social function of this study specifically addresses two fundamental
entrepreneurship/entrepreneurs. questions regarding Indonesian migrant entrepre-
neurship in Taiwan:
On the economic side, Peter Drucker (1985,
28) suggests in a study on innovation and entre- 1) How do Indonesian entrepreneurs in Taiwan
preneurship that entrepreneurs are not necessarily adapt to structural opportunities, and practice
agents of change themselves, but rather that they cultural-structural strategies in response to
are canny and committed exploiters of change migrant market conditions?
(and opportunity). According to Drucker, ‘the en- 2) How does the interaction between Indonesian
trepreneur always searches for change, responds co-migrants and entrepreneurs and migrant
to it, and exploits it as an opportunity’, a premise worker conditions shape the roles and social
observed up by academicians who study migrant functions that Indonesian entrepreneurs play
entrepreneurship and identify structure and in Taiwan? How does their social-cultural
cultural opportunities—and focus on individual entrepreneurial activity affect migrant
(entrepreneur) intentionality, agency, and wilful (worker) society conditions?
goal-seeking and strategic behaviour—as study In the other part, as observed cases of
concerns. return-migrant entrepreneurship in Indone-
In this study, I discussed on some ideas from sia. In my research location, two villages
these practical concepts of entrepreneurship, to in Malang Regency, an East Java province,
Paulus Rudolf Yuniarto | Bridging People, Seizing The Future ... | 115
socio-economic conditions of entrepreneurship As method, this study involved several
(e.g. structural opportunities, livelihood strate- stages. In the first stage, the appropriate research
gies, and migrant conditions), the role of entre- method and concept was identified. Furthermore,
preneurs (e.g. patrons, brokers, and social activ- it was determined that the study would use a
ists), and the entrepreneurs’ conditions (e.g. social keyword driven framework comprising social
networks, knowledge, and experiences) interact relations, culture, structure, self-adjustment,
within entrepreneurs’ living conditions in Taiwan knowledge production, and socio-economic
or in the Indonesian villages. By examining the reintegration as the most general substantive idea.
relational activities of entrepreneurship and the Data were gathered by conducting a literature
extension of migrant entrepreneurs’ roles, one can review on migrant entrepreneurship, the social
hope to gain a better understanding of the social and cultural backgrounds of Indonesian migrant
aspects and functions of migrant entrepreneurs/ workers, and other data from various documents
entrepreneurship in societies. related to the study topic. In the second stage,
The matrix above describes the general inter- which was related to the research technique, the
relation of the elements of entrepreneurship. In the observation method was used because the domain
study in Taiwan, the social role of the entrepreneur of this research was the socio-individual situation
is created by the elements of entrepreneurship, in the entrepreneur’s migration life and entrepre-
such as structural conditions and personal experi- neurship process. In order to understand the types
ence. Entrepreneurs’ conditions (both individual of social networking prevalent in the entrepreneur
and social beings), e.g. their experiences as poor community and changes in the migrants’ socio-
foreign immigrants and close relationship with economic life, the researcher stayed at the loca-
their counterparts, e.g. Taiwanese/Indonesian tion to observe, get involved in, and participate in
friends, family, spouses, and community, shape the day-to-day life of migrants. Another method
their entrepreneurial behaviour. In a simple way, used in field research is to interview a person
the nature and function of entrepreneurship, the regarding his or her life stories. The personal
profile of entrepreneurs, and basic market social experiences of migrants collected from migra-
conditions can create socio-economic adjustment tion interviews were applied to records about
Indonesian migrant-entrepreneurs in Taiwan. This events, decisions, and processes. In addition, an
framework will be used to elaborate on the vari- interview was conducted on other informants,
ous social elements, such as motivation, social such as migrant leaders, academic experts, civil
networking, and a model of Indonesian migrant society groups, and office staff. Most of the data
in the context social interactions in Taiwan. on which this study is based were collected from
Meanwhile, in the case of return-migrant June to December 2014 in Taiwan and August to
entrepreneurship in Indonesia, the most important September 2015 in Malang, East Java.
problems in developing entrepreneurial activities
are village economic adjustment and constraints in FINDINGS AND DISCUSSIONS
developing a business, which become constraints
for sustaining a livelihood (structural condition)
upon the migrant’s return to the village. Other- a. Indonesian entrepreneurs and
wise, acquiring knowledge and forming a strategy entrepreneurship in Taiwan
are the ways for return-migrant entrepreneurs to
The first part of thesis discuss the Indonesian
cope with home difficulties and entrepreneurship
entrepreneur in Taiwan. This part focuses on two
(individual condition). If a return migrant is to
analyses: first, the development of Indonesian
establish an entrepreneurship in the home village,
migrant entrepreneurship, profiles and strategies
the relationship between the structural and indi-
vidual conditions can develops socio-economic of entrepreneurs, and pattern of entrepreneurship
adjustment and economic reintegration. networks and, second, the behavioural aspect
(social role) of migrant entrepreneurs in their
relations with their Indonesian migrant worker
counterparts.
Paulus Rudolf Yuniarto | Bridging People, Seizing The Future ... | 117
The role and functions of entrepreneurs between immigrants and the larger society, and
As entrepreneurs have social mobility irrespec- the middlemen in the minority group.
tive of the conditions of migrants and can connect By performing these roles, Indonesian en-
directly with Indonesian migrant workers living trepreneurs and social entrepreneurial activities
in Taiwan, they have the opportunity to under- become one of the important actors aiming the
stand better the dynamics of the social lives of the improvement of migrant conditions and promot-
Indonesian migrants. These entrepreneurs engage ing social adjustment processes in the Taiwanese
socially in business relationships with their fellow migration situation. Therefore, the practice and
immigrants; however, this is not the full extent of pattern of entrepreneurship followed by the In-
their interactions. They play the role of friends, donesians has developed a conceptual practice of
acting as third-party resources to co-migrants and migrant entrepreneurship in Taiwan; they have
as patrons and brokers to those in need, as well. become the faces of social entrepreneurs, who
On the other hand, some Indonesian entrepre- function as patrons and brokers, disseminators
neurs introduce religion and altruism into their of information, primary donors, and contributors
entrepreneurship practices, thereby connecting and finally become leaders and middlemen within
with the migrant life conditions that determine their migrant societies. In addition, entrepreneurs
entrepreneurial behaviour. Typically, social provide social services and perform social trans-
activism, patronage, brokerage, and religious actions for co-ethnic migrants, such as spaces
and altruistic entrepreneurships are the activities for religious worship, education, entertainment,
performed by entrepreneurs to improve the social administrative help, and dedicated spaces for
conditions of Indonesian workers who continue counselling and other facilities.
to face difficult situations as part of working
In summary, the Indonesian entrepreneurs
and living in Taiwan. Indonesian entrepreneurs
and entrepreneurship conditions in Taiwan serve
combine these activities, which then become the
as the bases for the analyses performed to support
foundation of an emergent bond of solidarity that
this study’s framework that entrepreneurs have
promotes humanistic values throughout the Indo-
both social and functional roles. On the one hand,
nesian migrant community. This in-group feeling
they are economic agents having the knowledge
(‘we’-ness) has the potential for exploring how
and experience required to identify opportunities
migrant networks and, in this case, Indonesian
(structural elements) and risk-taking situations
migrant communities and entrepreneurs’ social
(individual elements) in the pursuit of profit; on
relationships come into existence.
the other, they are social agents who significantly
As described above, the roles and social affect the community in which they are active.
activities of entrepreneurs demonstrate their
function (pattern) of connecting people; the
Bridging the migrant community
entrepreneurs perform the crucial task of being
a ‘cultural broker’ or an ‘invisible agent’ who Indonesian migrant entrepreneurship is a by-
bridges the gap between the discrimination and product of the interplay of opportunity structures
marginalization of ‘inferior’ Indonesian migrants (structural entrepreneurship), social solidarity
and the outside world in order to accommodate (cultural entrepreneurship), and sociocultural
and promote the migrant public.1 This study inclination (strategies for adapting to the business
finding reveals that Indonesian entrepreneurs in and social environment). As a result, the interplay
Taiwan function as an economic presence that of each entrepreneurship element discussed above
connects people, someone who bridges the gap shows us how immigrant businesses, their social
activities, and their relations (optionally) lead the
Indonesian marginal migrant worker to adapt to
1 Since entrepreneurs perform this function, some studies
refer to them using some specific terms, for instance, and assimilate into the host society—making
middlemen minorities in the ethnic migrant community migrant stability situation in simple manner—
(Bonacich, 1973), skilled cultural navigators in the urban characterized by a group’s social cohesion or
migrant society (Ballard, 1994), or enclave entrepreneurs
in the migrant-bounded society (Zhou, 2004).
solidarity (kesetiakawanan sosial) practices. The
Paulus Rudolf Yuniarto | Bridging People, Seizing The Future ... | 119
This study identified the structural and individual activity can be organized through the help and
attributes that affected the entrepreneurship of support of third parties, such as local govern-
return migrants and strategic adjustments they ments, university academia, and migrant NGOs,
made to sustain themselves in their home vil- in both Taiwan and Indonesia. Such stakeholders
lages, which are self-awareness, the production impart the skill to manage the remittances of
and dissemination of knowledge, and economic migrant workers so that the workers can reach
adjustment in villages (kampung’s). Through their desired goals according to their knowledge,
various combinations of these attributes, return whether they are farmers, traders, printing office
migrants were able to adjust and build entrepre- owners, or service entrepreneurs.
neurial relationships suited to local conditions, The study includes return migrant entre-
enabling them to settle, develop adjacent lands, preneurs who have learnt something from their
and farm in their home villages. experiences in Taiwan and saved sufficient money
A high level of self-awareness is known to for opening a new business at home. However,
contribute to household, economic, and career such a package of achieved resources does not
success, and this is a significant contributor to seem sufficiently organized to be termed as an
the success of the return migrant society. Initially, entrepreneurial profession; in fact, it appears to
home entrepreneurship schemes suffer from a be an unorganized assemblage of some useful
low level of self-awareness since the migrant resources. Some successful return migrants who
workers are working abroad. In the beginning of return to their home countries develop social con-
migration, the individual and his or her family nections and create return migrant cooperatives.
are dependent on the migration income. For long Those who successfully build cooperatives can
periods, this income is used to support and fulfill share their gained (transferred) knowledge with
individual or family needs, rather than being used their communities and invest in the education
as start-up capital to create a business at home. In of their villages of origin, as well as stimulating
the opinion of a migrant, business risks and the other former migrants to boost their economic
fear of failure are the reasons why migrant work- productivity.
ers do not choose entrepreneurship to escape the
In order to engage in entrepreneurial activi-
economic difficulties. However, after some period
ties, return migrants need to consider the kam-
of migration, those who possess self-awareness
pung conditions connected with their personal
and confidence start considering the profits they
and work lives. In order for return migrants to
can make and manner in which they can improve
be accepted economically, they must readjust
their lives by becoming entrepreneurs, and they
themselves to the kampung economic and cultural
begin to see entrepreneurship as an investment
patterns of their community of origin. This study
opportunity, rather than a risk. This motivates
found that return migrants can adjust themselves
them to achieve improved economic performance
to kampung conditions in primarily three ways:
and gain greater work satisfaction.
first, they can adapt to others’ expectations by
The development of self-critical reflexivity spending their savings on household investments
(self-awareness), which is the crucial factor that and consumption (building houses or buying
shapes an entrepreneurship, is a long process. furniture) instead of investing in children’s
The results of this study show that the changes education or home businesses; second, they can
made to remittance investment management for adjust to home conditions by coping with family
entrepreneurship were based on the knowledge traditions and utilizing the job market in their
reproduced by individuals before becoming, while village to the maximum; and, third, they can
working as, and after becoming migrant workers. make economic adjustments that are related to
This Indonesian migrant worker entrepreneurship the sociocultural traditions of their home village.
skill is developed through training and peer group Often, the entrepreneurship activities in villages
socialization. Workers are able to reproduce their are hampered by structural constraints, such as
knowledge after the completion of training. This inflation and mark-up. Therefore, such activities
Paulus Rudolf Yuniarto | Bridging People, Seizing The Future ... | 121
career choice and, in this manner, seize the future migrants are the actors because they provide the
by establishing a business in their home village. remittances of working abroad. Besides sending
In initiating their economic future at home money, they remit new patterns of values, behav-
villages, return migrants have to face tremendous iours, and practices from their overseas experi-
challenges. In fact, without support, such as finan- ences. They have the competency and capacity
cial assistance, infrastructure development, and to perceive how international labour migration
improved knowledge in entrepreneurial activities, may affect other people, viewing it from a wider
it is impossible for their skills and entrepreneur- context other than merely its contribution to
ship activities to improve and develop. Therefore, the national economy. Within this international
in terms of capacity building, they need help from migration sequential process, small enterprises
local governments, NGOs, universities/academia, have emerged as critical sources of livelihood
friends, and family to empower the economic for return migrants in home villages, compared
and social activities in the home village. In this to other job opportunities. Hence, a returnee
study, we clarify that successful return migrant can literally experience rebirth. By taking into
entrepreneurs can sustain their economic liveli- account the situation before departure, overseas
hoods and develop their careers by maximizing experiences, return, and post-return conditions,
their individual/group resources networks. the three Rs of migration are shown as a dynamic
social process comprising the individual develop-
According to Barth (1963) and Stewart ment of migrants, their significant role in bringing
(1991), entrepreneurship gives rise to positive ef- about social and economic changes, and their
fects (changes) through entrepreneurial activities. successful reintegration into society.
In the context of return migrant entrepreneurship,
such as developing migrant cooperation, social
relationships between return migrants and their CONCLUSION
families, and local people or migrant associations. As we can observed that Indonesian migrant
These effects (changes) demonstrate the role of entrepreneurship in Taiwan has developed via
return migrants in developing self-employment structural opportunities in migrant communities
opportunities, empowering entrepreneurship (Bonacich, 1973). These opportunities include the
in ex-migrant communities, broadening the sale of typical migrant products such as food (i.e.
social basis for access to loans, and establishing national foods) and other products (i.e. second-
new links for the transfer of information. The hand or specialized commodities). Aside from
combined social and economic activities devel- structural opportunities, social embeddedness has
oped by return migrants have enabled them to also contributed to the development of Indonesian
be considered as heroes by their families and migrant entrepreneurship (Barth, 1963; Stewart,
neighbours. The formation of social solidarity in 1991; Zhou, 2004) this is evident from the shared
migrant communities is a very positive result, as social and economic activities (linkages) of en-
well. Moreover, a long-term consequence of suc- trepreneurs and their fellow migrants. In Taiwan,
Indonesian migrant niches and entrepreneurial
cessful return migrant entrepreneurship at home
activities are microcosms of migrant life and
is the reduction of remigration, since migrants
conditions abroad, where Indonesian people from
who are unemployed after returning home are
different backgrounds share their interests, and
more likely to consider migrating again.
co-ethnic migrant workers can engage in social
Finally, this part summarizes the return activities and collaboration, to mutual advan-
migration, entrepreneurship, and socio-economic tage. I saw two interesting phenomena among
activities of Indonesian former migrants in their Indonesian migrants and entrepreneurship in
home villages by using three patterns—the three Taiwan. First, regarding the sociocultural aspect,
Rs, return, remittance, and rebirth—as crucial migrant entrepreneurship and the entrepreneur
elements in the process of understanding how are seemingly adaptive, making cultural and
Indonesian migrant mobility creates economic social adjustments to immigrant social life (or the
sustainability in home villages. In this case, return co-ethnic migrant market)—i.e. communication,
Paulus Rudolf Yuniarto | Bridging People, Seizing The Future ... | 123
124 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017
PENGUASA, PENGUSAHA, DAN PETANI:
Kapitalisme Perkebunan Sawit, Distorsi Sosial Ekonomi, dan
Perlawanan Petani di Indragiri Hulu, Riau, 1978–2010
Zaiyardam Zubir
Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Padang
E-mail: zaiyardam_zubir@yahoo.com
Disertasi dalam bidang Ilmu Sejarah Program Studi Ilmu-ilmu Humaniora Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Gadjah Mada. Telah dipertahankan di hadapan sidang terbuka pada hari
Sabtu, 30 Juli 2016 di Kampus Bulak Sumur, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
ABSTRACT
The main subject of this research is about the practice of modern capitalism in form of large scale of oil palm
plantation and the peasant resistance in the Indragiri Hulu, Riau. It started from the government policy to expand
non-oil and gas industry. The local government in Riau responded the policy by allowing big entrepreneurs to invest
their capital in plantation economy, and the palm oil plantation was the main form. The main question raised in this
study is why the peasant society in Indragiri Hulu resisted the practice of plantation economy in this area. This study
employs historical method by using primary and secondary sources. The primary sources mainly derived through
oral historical method and secondary source colleted from various libraries in Pekanbaru, Rengat, Yogyakarta,
and Jakarta. The important finding of this research is that the expansion of plantation capitalism in Indragiri Hulu
created various problems, especially land issues, as low compensation and land grabbing. The authority and the
businessmen also ignored local tradition related to land ownership like ulayat land, traditional arable forest and
protected forest. This caused two form of resistant, closed and opened resistance. This research concludes that the
practice of modern plantation based on traditional social and economic system triggered various anomalies They
are includes: first, the weakening local community’s rights of land. Second, the violation of customry law by the
capital owners especially those related to land. Third, the appearance of brokers that disadvantaged the peasant.
Fourth, unbalanced relationships between the authority, the businessmen and peasant. Fifth, the emergence of
peasant resistance against capitalism practice. Sixth, the rise of new sub-urban around the plantation.
ABSTRAK
Permasalahan pokok penelitian ini adalah tentang perlawanan petani perkebunan sawit di Indragiri Hulu, Riau.
Perlawanan petani ini tidak terlepas dari kebijakan nasional yang mendukung ekspansi industri non-migas. Usaha
nonmigas yang dikembangkan pemerintah pusat adalah pembukaan perkebunan besar. Pembukaan perkebunan besar
membutuhkan tanah yang luas sehingga investor mengembangkan usahanya sampai ke pelosok-pelosok seperti di
Indragiri Hulu. Pengembangan perkebunan sawit itu membawa persoalan dalam masyarakat dan perlawanan petani.
Studi ini mengkaji praktik kapitalisme perkebunan dan perlawanan masyarakat, khususnya petani di Indragiri Hulu.
Penulisan ini menggunakan metode sejarah dengan menggabungkan antara sumber tertulis dan sumber lisan, baik
primer maupun sekunder. Ekspansi kapitalisme perkebunan di Indragiri Hulu menimbulkan berbagai persoalan,
terutama masalah tanah, seperti ganti rugi yang rendah dan perampasan tanah. Penguasa dan pengusaha juga
mengabaikan nilai-nilai lokal menyangkut kepemilikan tanah, seperti tanah ulayat, hutan adat, dan hutan larangan.
125
Hal ini menyebabkan munculnya dua bentuk perlawanan petani, yaitu tertutup dan terbuka. Kesimpulan yang dapat
diambil dari penelitian ini adalah praktik kapitalis perkebunan yang didasarkan pada sistem ekonomi tradisional
menimbulkan berbagai anomali dalam masyarakat, khususnya di kalangan petani. Anomali itu di antaranya,
pertama, melemahnya hak atas kepemilikan tanah dari penduduk lokal (asli). Kedua, berlangsungnya pelanggaran
terhadap hukum adat, terutama menyangkut tanah oleh pemilik modal. Ketiga, munculnya broker-broker yang
merugikan petani. Keempat, terjadinya unbalanced relationships atau relasi yang tidak seimbang antara penguasa,
pengusaha, dan petani. Kelima, perlawanan petani terhadap praktik kapitalisme di Indragiri Hulu. Keenam, adanya
efek samping berupa kemunculan sub-sub-urban di pinggiran perkebunan besar.
PENGANTAR
Kebijakan pemerintah Indonesia pada masa pe modal asing yang dominan di antaranya minyak
merintahan Presiden Soeharto menempatkan pem dan manufaktur. Pada 1967–1985, sekitar 70%
bangunan menjadi kunci untuk semua program. investasi industri manufaktur direalisasi (Hill,
Obsesi besar yang dijalankan Presiden Soeharto 1990, 130–131).
untuk memajukan Indonesia adalah melaksanakan Salah satu kebijakan pemerintah pusat untuk
program pembangunan secara terencana dan pengembangan modal asing adalah membentuk
terukur, yang dirancang setiap lima tahun sekali kerja sama regional. Kerja sama regional yang
atau Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Semua berhasil dijalankan adalah kerja sama antara
program yang dijalankan harus sesuai dengan Singapura, Malaysia, dan Indonesia, yang ke-
rencana yang telah dibuat p emerintah pusat. Pola mudian dikenal sebagai Singapura Johor dan
kebijakan seperti ini menjadikan negara sebagai Riau (Sijori) (Salam, 1993, 135–141). Melalui
aktor utama dari setiap program pembangunan program Triangle Growth Sijori itu, Indonesia
tanpa memperhatikan dampaknya terhadap menempatkan Riau sebagai wilayah kerja sama
kehidupan masyarakat (Fakih, 2001, 20–50; tersebut. Dalam konteks ini, pemerintah Indonesia
Zakaria, 2000, 143). Pelaksanaan pembangunan menjadikan Pulau Batam sebagai pusat industri
menempatkan negara sebagai kekuasaan t unggal itu (Pangestu, 1991, 77–83)
sehingga oposisi dihilangkan (Romli, 2006, Pembukaan kerja sama Sijori turut berpenga
53–83). ruh terhadap sektor perkebunan di Riau. Sebelum
Dalam skala makro, pembangunan membawa nya, sejak 1980-an, perusahaan perkebunan telah
perubahan besar dalam berbagai bidang, seperti mulai melakukan ekspansi besar-besaran di Riau.
ekonomi, di pelosok Tanah Air. Proyek-proyek Hal ini semakin menggurita sejak munculnya
itu dikerjakan, baik dengan modal pemerintah kerja sama Sijori. Ekspansi kapital dibangun di
maupun modal asing, yang dijadikan indikator atas dasar sistem ekonomi tradisional dan aset-
pembangunan. Pembangunan yang dilaksanakan aset ekonomi petani yang terbatas dan lemah
seperti sebuah “mukjizat” (Kian Wie, 2004, 214 sehingga menjadi persoalan bagi petani (Halim,
dan 257) dan “keajaiban” (Muhaimin, 1990, 272) 2001, 268–272).
bagi bangsa Indonesia. Keberhasilan pembangun Penelitian ini membahas dampak ekspansi
an itu tidak terlepas dari pola pembangunan kapitalisme perkebunan sawit dan terjadinya
sebagai hasil dari struktur politik yang sangat perlawanan petani di Indragiri Hulu. Salah satu
otoriter dan represif dengan otoritas pembuat sektor yang berkembang adalah perkebunan
kebijakan pemerintah terpusat. Sebuah kebijakan kelapa sawit. Memasuki 1980-an, terjadi per-
yang didasarkan pada prinsip-prinsip liberal yang mintaan dunia yang tinggi terhadap kelapa sawit.
dibuat para teknokrat, terutama untuk k epentingan Karena perkembangan perkebunan kelapa sawit
penanaman modal swasta, baik penanaman itu, terjadi berbagai persoalan sosial ekonomi di
modal asing (PMA) maupun penanaman modal Indragiri Hulu.
dalam negeri (PMDN). Investasi penanaman
Gambar 1. Peta Penyebaran Penduduk Berdasarkan pada Etnik di Kabupaten Indragiri Hulu Riau
Gambar 2. Lokasi Perampasan Tanah Petani dan Ulayat oleh Perkebunan Besar di Indragiri Hulu Riau
1979–2010
Pada 1991–1995, terjadi peningkatan peram- trak 20–25 tahun, setelah itu terjadi perpanjangan
pasan tanah yang mencolok. Hal ini sebenarnya kontrak, tanah ulayat seperti menjadi tanah negara
tidak terlepas dari ekspansi Salim Group ke karena kontrak itu dilakukan dengan negara.
wilayah Riau, yang tidak hanya mengembangkan
sayap bisnisnya di perkebunan sawit, tetapi juga PERLAWANAN PETANI DI
pabrik kertas (“Masyarakat bersiap meminjam,” PERKEBUNAN SAWIT MASA ORDE
2003). Untuk wilayah Indragiri Hulu, ekspansi
BARU
Salim Group juga di perkebunan kelapa sawit
serta hutan tanaman industri Riau Pulp di Keca- Perampasan tanah yang dilakukan kaum ka
matan Benai dan Kecamatan Pangian. pitalis menjadi cikal-bakal perlawanan kaum tani
di Indragiri Hulu. Cara-cara yang ditempuh untuk
Di Kecamatan Siberida, beberapa perusahaan
memperluas perkebunan itu dilakukan dengan
mulai melakukan investasi, seperti PT Kencana
jalan yang tidak fair sehingga m enimbulkan
Amal Tani di Siberida; PT Rigunas Agri Utama
perlawanan di kalangan petani. Perlawanan yang
Asian Agri di Desa Talang Perigi, Desa Talang
mereka lakukan bisa dalam bentuk individu dan
Durian Cacar, Desa Talang Selantai, Kecamatan
kolektif (Hobsbawm, 1974, 13–50).
Rakit Kulim; PT Inecda di Desa Pasir Bongkar,
Kecamatan Lirik; PT Tesso di Taman Nasional Mengacu pada kasus petani di Indragiri
Tesso; PT Riau Bara Harum Kecamatan Siberida; Hulu, perlawanan petani tidak bisa dilepaskan
serta PT Artelindo di Desa Persajian dan Desa dari kondisi politik nasional pada zaman Orde
Serangge. Konsep awalnya adalah dalam bentuk Baru. Ciri khas perlawanan petani di negara-
konsesi tanah dengan pemerintah dan masa kon- negara otoriter, seperti Indonesia pada masa
Orde Baru, adalah perlawanan secara tertutup. Di beberapa tempat, ada juga perlawanan
Perlawanan tertutup ini menjadi penting agar terbuka yang dilakukan petani, seperti di Lubuk
mereka dapat menyembunyikan identitas diri Batu Tinggal, terhadap investor seperti PTPN
dari kekuatan negara. Perlawanan mereka V. Perkebunan milik negara yang beroperasi di
lebih bersifat perseorangan sehingga sulit dilacak. Indragiri Hulu adalah PTPN V. Sebagai sebuah
Menurut Scott, kekuatan pola perlawanan seperti perusahaan yang bersifat komersial, tujuan utama
ini adalah: PTPN V adalah mendapatkan keuntungan yang
sebesar-besarnya. Hal ini dapat dilihat dari sepak
Sebagaimana jutaan binatang kecil di laut, mau
terjang PTPN V di Indragiri Hulu, Riau, sehingga
tidak mau menciptakan batu karang. Demikian
juga ribuan aksi perlawanan individu menciptakan menimbulkan hubungan yang tidak harmonis
tembok karang politik dan ekonomi. Namun, antara masyarakat dan PTPN V.
jarang sekali orang yang melakukan tindakan- Aktor utama dalam konflik yang terdapat
tindakan kecil itu berusaha menarik perhatian
di Indragiri Hulu adalah negara, yang ditandai
orang kepada dirinya, sebab keamanan mereka
justru terletak pada anonimitas mereka (Scott, dengan ekspansi negara melalui PTPN V. Sampai
2000, 49). 1991, luas tanah yang dikuasai perkebunan
nasional atau PTPN V di Riau adalah 67.097
Perlawanan tertutup biasanya dilakukan se-
ha (Mubyarto, 1992, 152). Persoalannya adalah
cara sembunyi-sembunyi, seperti memperlambat
tanah yang dikuasai itu tidaklah sepenuhnya me-
pekerjaan, bersifat pura-pura, pelarian diri,
lalui prosedur yang patut sehingga menimbulkan
pura-pura memenuhi permohonan, pencurian,
konflik dengan masyarakat. Sebagai contoh,
pura-pura tidak tahu, menjatuhkan nama baik
orang, melakukan sabotase, dan pembakaran tanah masyarakat Lubuk Batu Tinggal yang sudah
(Scott, 2000, 49). Perlawanan terbuka petani dicaplok PTPN V. Masyarakat Desa Lubuk Batu
mengadakan aliansi dengan kekuatan sosial po Tinggal itu sebenarnya sejak 1978 telah melawan
litik di luar wilayah mereka yang juga diperlaku- dengan berbagai cara untuk mengembalikan hak
kan tidak adil (Kartodirdjo, 1994, 431). Dalam atas tanah mereka, seperti demonstrasi, boikot,
perlawanan tertutup, petani yang lemah dan serta mengadu ke Dewan Perwakilan Rakyat
tidak memiliki kekuatan pendukung membuat Daerah dan bupati. Namun, mereka tidak mem-
perlawanan mereka juga bersifat tersembunyi. peroleh hasil yang sesuai dengan yang mereka
Tidaklah mengherankan, ketika tanah mereka inginkan sehingga gelombang perlawanan terus
diambil alih investor, mereka pasrah begitu saja. terjadi.
143
lingkungan karena penggunaan bahan kimia yang ekonomi dan keuangan jangka panjang; (4)
tidak terkendali, dan menimbulkan konflik sosial penggunaan praktik-praktik terbaik yang tepat
seperti konflik kepemilikan lahan. oleh perkebunan dan pabrik pengolahan; (5)
Rival dan Levang (2014) dan Pramudya, tanggung jawab lingkungan dan konservasi
Prawoto, & Hanifa (2015) mengemukakan bahwa sumber daya alam dan keanekaragaman hayati;
peningkatan standar hidup masyarakat dunia me (6) bertanggung jawab terhadap para karyawan,
nyebabkan peningkatan konsumsi minyak yang individu, dan masyarakat yang terkena dampak
bersumber dari kelapa sawit tidak dapat dihindar- perkebunan dan pabrik pengolahan; (7) perluasan
kan. Hal tersebut terjadi karena komoditas m
inyak penanaman baru yang bertanggung jawab; dan
sawit jauh lebih produktif, yaitu 10 kali lebih serta (8) komitmen terhadap perbaikan secara
tinggi dibandingkan produksi minyak kedelai per terus-menerus pada area-area utama program
ha (PASPI, 2016). Di samping itu, biaya produksi yang dilakukan.
minyak sawit 20% lebih rendah daripada minyak ISCC merupakan inisiatif untuk mendukung
kedelai. Sifat minyak sawit, yang konsisten pada EU renewable energy directive (RED 2009/28/
suhu ruang, juga lebih diminati sebagian besar EC) dalam mengurangi emisi gas rumah kaca
industri dibandingkan komoditas minyak nabati di Eropa. Sertifikasi ISCC berfokus pada kelapa
lain, seperti minyak kedelai, minyak rapeseed, sawit yang digunakan untuk biofuel dan biomassa.
dan minyak bunga matahari. Prospek ekonomi Pramudya dkk. (2015, 32) merangkum kriteria
yang semakin baik pada komoditas kelapa sawit, utama keberlanjutan dalam ISCC, meliputi ke-
yang terlihat dari semakin tingginya harga m inyak berlanjutan biomassa dengan kelapa sawit yang
sawit dunia, menstimulasi tumbuh pesatnya diproduksi tidak berasal dari wilayah yang tidak
investasi di perkebunan sawit. Melonjaknya diperbolehkan (seperti wilayah yang mengandung
konsumsi dan produksi kelapa sawit berimpli nilai konservasi tinggi), keberlanjutan produksi
kasi pada penurunan kualitas lingkungan dan dan operasi, serta keberlanjutan sosial. Di samp-
meningkatkan kesenjangan sosial jika ekspansi ing itu, sertifikasi ISCC menargetkan biofuel dan
dan produksi kelapa sawit tidak dikelola secara biomassa yang dihasilkan dapat berkontribusi
berkelanjutan. Kesadaran untuk mengurangi terhadap pengurangan emisi paling sedikit 35
dampak negatif dari produksi kelapa sawit mela persen dan harus dapat menjamin keteracakan
tarbelakangi munculnya berbagai inisiatif, baik dari produk yang dihasilkan.
yang datang dari aktor non-pemerintah (misalnya RSPO dan sertifikasi private lainnya secara
Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan umum bersifat sukarela sehingga dinilai lambat
International Sustainability and Carbon Certifica- dalam mewujudkan transformasi produksi kelapa
tion (ISCC)) maupun dari pemerintah (misalnya sawit yang lebih berkelanjutan. Merujuk pada
ISPO). Inisiatif-inisiatif tersebut menentukan Suharto (2010), Pramudya dkk. (2015) melihat
standar produksi kelapa sawit masing-masing pemerintah merasa perlu membentuk suatu standar
yang disetujui serta kemudian digunakan sebagai yang didasarkan pada kumpulan peraturan terkait
definisi, aturan, dan pedoman produksi kelapa dengan kelapa sawit di Indonesia dan mengini-
sawit yang berkelanjutan. siasi sistem sertifikasi yang berbasis pemerintah
RSPO merupakan salah satu sistem tata ke (ISPO), dalam rangka untuk mempercepat terwu-
lola kelapa sawit berkelanjutan yang diinisiasi judnya sektor sawit yang berkelanjutan dengan
oleh berbagai pemangku kepentingan dan biaya sertifikasi yang lebih murah sehingga tidak
diadopsi di Indonesia. Dalam RSPO, terdapat membebani produsen kelapa sawit. Berbeda
delapan prinsip yang harus dipenuhi untuk dapat dengan RSPO, ISPO adalah mandatory bagi per
dikatakan bahwa produksi kelapa sawit telah usahaan sawit yang beroperasi di Indonesia dan
dilakukan secara berkelanjutan (Pramudya dkk., kemudian petani. Dari sisi ISPO yang mengacu
2015), yakni (1) komitmen terhadap transparansi; pada Peraturan Kementerian Pertanian Nomor 11
(2) kepatuhan terhadap peraturan perundangan Tahun 2015, terdapat tujuh prinsip yang harus di-
yang berlaku; (3) komitmen terhadap kelayakan penuhi untuk dapat mengatakan bahwa produksi