Anda di halaman 1dari 164

NO.

AKREDITASI: 640/AU3/P2MI-LIPI/07/2015 ISSN 0125-9989

MASYARAKAT INDONESIA
MAJALAH ILMU-ILMU SOSIAL INDONESIA

VOLUME 43 NOMOR 1, JUNI 2017

DAFTAR ISI

DI BALIK KEBERLANJUTAN SAWIT: AKTOR, ALIANSI DALAM EKONOMI POLITIK


SERTIFIKASI UNI EROPA
Erwiza Erman.......................................................................................................................................... 1-13

CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY, SOCIAL CAPITAL AND SUSTAINABLE DEVELOPMENT:


LESSONS FROM AN INDONESIAN PALM OIL COMPANY
Risa Bhinekawati..................................................................................................................................... 15-32

PERSPEKTIF GENDER DALAM KEBERLANJUTAN SAWIT


Rini Hanifa dan Eusebius Pantja Pramudya ....................................................................................... 33-46

TANTANGAN KEBERLANJUTAN PEKEBUN KELAPA SAWIT RAKYAT DI KABUPATEN


PELALAWAN, RIAU DALAM PERUBAHAN PERDAGANGAN GLOBAL
Sakti Hutabarat........................................................................................................................................ 47-64

SISTEM ISPO UNTUK MENJAWAB TANTANGAN DALAM PEMBANGUNAN KELAPA SAWIT


INDONESIA YANG BERKELANJUTAN
Ermanto Fahamsyah dan Eusebius Pantja Pramudya........................................................................ 65-79

PERKEBUNAN KELAPA SAWIT INDONESIA DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN


BERKELANJUTAN
Jan Horas V. Purba dan Tungkot Sipayung.......................................................................................... 81-94

KEBERLANJUTAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI INDONESIA DAN PROSPEK


PENGEMBANGAN DI KAWASAN PERBATASAN
Ngadi dan Mita Noveria.......................................................................................................................... 95-111

RINGKASAN DISERTASI
BRIDGING PEOPLE, SEIZING THE FUTURE: INDONESIAN MIGRANT ENTREPRENEURS
IN TAIWAN AND RETURN MIGRANT ENTREPRENEURSHIP IN MALANG, EAST JAVA
Paulus Rudolf Yuniarto........................................................................................................................... 113-123

i 
RINGKASAN DISERTASI
PENGUASA, PENGUSAHA, DAN PETANI: KAPITALISME PERKEBUNAN SAWIT, DISTORSI
SOSIAL EKONOMI, DAN PERLAWANAN PETANI DI INDRAGIRI HULU, RIAU, 1978–2010
Zaiyardam Zubir .................................................................................................................................... 125-141

TINJAUAN BUKU
MENGHIJAUKAN SEKTOR SAWIT MELALUI PETANI, LESSON-LEARNED HIVOS UNTUK ISU
SAWIT BERKELANJUTAN
Nia Kurniawati Hidayat ......................................................................................................................... 143-149

ii | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017


NO. AKREDITASI: 640/AU3/P2MI-LIPI/07/2015 ISSN 0125-9989

MASYARAKAT INDONESIA
MAJALAH ILMU-ILMU SOSIAL INDONESIA

VOLUME 43 NOMOR 1, JUNI 2017

DDC: 307.1
Erwiza Erman
DI BALIK KEBERLANJUTAN SAWIT: AKTOR, ALIANSI DALAM EKONOMI
POLITIK SERTIFIKASI UNI EROPA
Masyarakat Indonesia, Vol. 43 (1) Juni 2017: 1–13
ABSTRAK
Keberlanjutan lingkungan dan keadilan sosial adalah dua prinsip utama dalam sertifikasi sawit global (RSPO)
yang harus dipatuhi oleh negara eksportir minyak kelapa sawit ke Uni Eropa. Oleh karena itu, sukses atau tidaknya
perdagangan sawit dari Indonesia dan Malaysia ke Uni Eropa bergantung pada pemenuhan kriteria tersebut.
Dalam kenyataannya, persoalan pemenuhan kriteria tersebut menjadi “pintu masuk” bagi gerakan masyarakat sipil
internasional untuk melakukan kampanye hitam di Uni Eropa. Tulisan ini mencoba menjelaskan peran aktor dan
aliansi di negara produsen sawit, Indonesia dan Malaysia, dalam merespons pelaksanaan RSPO dan kampanye
hitam di Eropa. Dengan menggabungkan studi kepustakaan dan wawancara mendalam, studi ini memperlihatkan
bahwa aktor-aktor dari negara produsen minyak sawit memiliki peranan yang kuat dalam proses tawar-menawar
dalam pelaksanaan RSPO. Mereka memberikan kritik yang tajam terhadap kelemahan-kelemahan RSPO dan secara
aktif membentuk sertifikat tandingan, di Indonesia disebut ISPO, sedangkan di Malaysia MSPO. Di balik persoalan
ketidakberlanjutan dan ketidakadilan sosial yang menjadi prinsip dasar sertifikasi global, terdapat persaingan dagang
antara negara produsen minyak nabati sawit dan negara-negara di Uni Eropa yang memproduksi minyak nabati
seperti dari bunga matahari dan rapeseed.
Kata kunci: sertifikat, aktor, sawit, perdagangan, Uni Eropa

DDC: 307.1
Risa Bhinekawati
TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN, MODAL SOSIAL DAN
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN: PEMBELAJARAN DARI PERUSAHAAN
KELAPA SAWIT INDONESIA
Masyarakat Indonesia, Vol. 43 (1) Juni 2017: 15–32
ABSTRAK
Tulisan ini menunjukkan bahwa program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dari suatu perusahaan kelapa
sawit dapat membangun modal sosial yang berkontribusi pada pencapaian sasaran pembangunan berkelanjutan
(SDGs). Dengan menggunakan metode riset kualitatif dan studi kasus eksploratif, penelitian ini menyelidiki
mengapa dan bagaimana suatu perusahaan memperbaiki kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup melalui
pemberdayaan petani kecil dan pembangunan modal sosial bagi masyarakat di sekitar perkebunan kelapa sawit
sejak 1992 hingga 2011. Sebuah perusahaan kelapa sawit besar dipilih sebagai studi kasus berdasarkan pada kriteria

iii 
exemplary case study. Penelitian ini membangun model teori berdasarkan pada analisis data primer dan sekunder
yang didapat dari dokumen perusahaan, catatan media, wawancara dan observasi. Program CSR yang dilakukan
perusahaan didorong oleh tujuan strategis untuk memenuhi kebutuhan bisnisnya dengan memecahkan masalah
sosial dan lingkungan hidup di sekitar perkebunan. Melalui program pemberdayaan petani kecil, perusahaan
membangun modal sosial melalui peningkatan hubungan baik, peningkatan kemampuan manajemen dan teknis,
serta pemberian akses keuangan dan pasar bagi petani. Dengan demikian, petani dan perusahaan dapat bekerja
sama untuk mencapai tujuan ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup. Tulisan ini membangun model teori dengan
menghubungkan konsep CSR, modal sosial, kesinambungan perusahaan, dan SDGs yang terhubung di penelitian
sebelumnya.
Kata kunci: Indonesia, modal sosial, perkebunan kelapa sawit, petani kelapa sawit, pembangunan berkelanjutan,
tanggung jawab sosial perusahaan

DDC: 305.4
Rini Hanifa dan Eusebius Pantja Pramudya
PERSPEKTIF GENDER DALAM KEBERLANJUTAN SAWIT
Masyarakat Indonesia, Vol. 43 (1) Juni 2017: 33–46
ABSTRAK
Berbagai inisiatif untuk meningkatkan keberlanjutan (sustainability) sektor sawit yang belakangan muncul,
seperti RSPO dan ISPO, mulai ikut memberikan perhatian terhadap aspek gender. Studi ini mencoba menganalisis
bagaimana inisiatif-inisiatif sawit berkelanjutan berusaha menjawab isu gender. Analisis dilakukan dengan
berdasarkan pada studi pustaka dan informasi lapangan dari Riau, Jambi, Sumatra Utara, dan Kalimantan Timur.
Temuan dari penelitian ini menunjukkan upaya membangun kesetaraan gender dalam sawit berkelanjutan belum
terjadi sepenuhnya karena keterbatasan dalam mengoperasionalkan perspektif gender dalam standar sustainability.
Isu gender yang dicakup masih sebatas upaya perlindungan perempuan terhadap risiko pekerjaan dalam sektor
sawit, yang masih sebatas paradigma women in development. Pengembangan yang seharusnya dilakukan adalah
mengaplikasikan paradigma gender and development untuk mencapai relasi yang setara antara laki-laki dan
perempuan serta mengatasi berbagai hambatan struktural yang memengaruhinya.
Kata Kunci: perspektif gender, keberlanjutan sawit, RSPO, ISPO

DDC: 306.3
Sakti Hutabarat
TANTANGAN KEBERLANJUTAN PEKEBUN KELAPA SAWIT RAKYAT
DI KABUPATEN PELALAWAN, RIAU DALAM PERUBAHAN
PERDAGANGAN GLOBAL
Masyarakat Indonesia, Vol. 43 (1) Juni 2017: 47–64
ABSTRAK
Pekebun kelapa sawit merupakan aktor yang berpotensi menjadi bagian penting dari perdagangan minyak
sawit global. Luas perkebunan kelapa sawit rakyat mencapai 41,4% dari seluruh area perkebunan sawit Indonesia
dengan produksi 36,6% dari total produksi minyak sawit Indonesia pada 2015. Jumlah pekebun kelapa sawit rakyat
mencapai 2,3 juta; ini merupakan jumlah yang cukup signifikan sebagai penggerak perekonomian di pedesaan.
Namun, pekebun kelapa sawit rakyat sangat rentan terhadap berbagai isu (lingkungan, sosial, dan legalitas) yang
dapat menghambat akses pasar di rantai suplai internasional. Studi ini bertujuan menganalisis posisi dan kapasitas
pekebun kelapa sawit rakyat dalam menghadapi perubahan global perdagangan internasional. Populasi penelitian
ini adalah pekebun kelapa sawit rakyat di Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau, yaitu pekebun
kelapa sawit swadaya bersertifikat RSPO, pekebun kelapa sawit swadaya non-RSPO, dan pekebun kelapa sawit
plasma bersertifikat RSPO. Jumlah sampel ditentukan sebesar 220 pekebun dan dipilih secara acak untuk setiap
grup (80, 80, dan 80 pekebun). Studi ini memperlihatkan sebagian besar pekebun masih menjalankan bisnis
kelapa sawit secara tradisional. Praktik pertanian yang dilakukan masih jauh dari praktik pertanian yang terbaik
(good agricultural practices) ataupun dari standar sertifikasi yang ada. Perjuangan pekebun kelapa sawit swadaya

iv | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


Amanah di Kecamatan Ukui untuk memperoleh sertifikasi RSPO memperlihatkan bahwa tantangan tak mudah
dicapai pekebun swadaya lain. Campur tangan pemerintah dan aktor lain sangat dibutuhkan pekebun kelapa sawit
swadaya untuk dapat disertifikasi dan menjadi bagian dari rantai suplai kelapa sawit internasional.
Kata kunci: Pekebun kelapa sawit rakyat, pekebun swadaya, pekebun plasma, kelapa sawit, sertifikasi, perdagang­
an global

DDC: 307.1
Ermanto Fahamsyah dan Eusebius Pantja Pramudya
SISTEM ISPO UNTUK MENJAWAB TANTANGAN DALAM PEMBANGUNAN
KELAPA SAWIT INDONESIA YANG BERKELANJUTAN
Masyarakat Indonesia, Vol. 43 (1) Juni 2017: 65–79
ABSTRAK
Penyelenggaraan sistem sertifikasi ISPO yang berjalan sejak 2011, di samping telah mengalami berbagai
pencapaian dan perkembangan, menemui berbagai hambatan, masalah, tantangan, dan tuntutan. Penelitian ini
bertujuan untuk melihat adalah aspek-aspek apa saja yang harus dirumuskan dalam rangka penguatan sistem
ISPO? Untuk menganalisis dan menjawab rumusan masalah tersebut, digunakan kerangka berpikir tentang teori
sistem hukum atau legal system theory yang dikembangkan oleh Lawrence M. Friedman. Metode penelitian
yang digunakan dalam kajian ini lebih dititikberatkan pada penelitian hukum normatif. Berdasarkan pada analisis
yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek yang harus dirumuskan dalam rangka penguatan sistem
ISPO meliputi: pertama, terkait dengan aspek substansi hukum, pengaturan sistem ISPO harus ditingkatkan dari
tingkat peraturan menteri pertanian menjadi tingkat peraturan presiden. Peraturan presiden ini diharapkan dapat
menjadi payung hukum yang lebih kuat dalam penyelenggaraan sistem ISPO. Kedua, terkait dengan aspek aparatur
hukumnya, mekanisme kelembagaan penyelenggaraan sertifikasi ISPO harus disempurnakan dan dikuatkan. Ketiga,
dari aspek budaya hukum, harus ada persamaan pemahaman mengenai definisi dan konsep sustainability dalam
pengelolaan dan pengembangan kelapa sawit Indonesia.
Kata kunci: ISPO, Pembangunan, Kelapa Sawit, Berkelanjutan, Indonesia

DDC: 307.1

Jan Horas V. Purba dan Tungkot Sipayung


PERKEBUNAN KELAPA SAWIT INDONESIA DALAM PERSPEKTIF
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Masyarakat Indonesia, Vol. 43 (1) Juni 2017: 81–94
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis (1) apakah perkebunan kelapa sawit merupakan pemicu utama
deforestasi di Indonesia; dan (2) bagaimanakah kontribusi industri minyak sawit Indonesia terhadap pembangunan
berkelanjutan, baik secara ekonomi, sosial, maupun ekologi. Perkebunan kelapa sawit merupakan industri strategis
Indonesia. Sejak 2000, industri minyak sawit Indonesia berkembang pesat dan memengaruhi dinamika persaingan
antar minyak nabati termasuk bentuk kampanye hitam dan tuduhan sebagai pemicu deforestasi di Indonesia.
Metodologi penelitian adalah penelitian deskriptif empiris, yakni : (1) untuk menganalisis sejarah deforestasi pada
era logging di Indonesia dan dikaitkan dengan perkembangan perkebunan kelapa sawit; serta (2) menganalisis
keterkaitan pembangunan perkebunan kelapa sawit Indonesia dengan aspek ekonomi, sosial, dan ekologi. Pada
1950–2013, konversi hutan menjadi nonhutan cukup tinggi, yakni 98,8 juta hektare. Namun, luas perkebunan
kelapa sawit Indonesia hanya meningkat dari 0,1 juta ha (1950) menjadi 10,4 juta ha (2013). Citra satelit (Gunarso
dkk., 2012) mengungkapkan bahwa asal-usul lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia sebagian besar berasal dari
lahan telantar (degraded land), konversi lahan pertanian, dan hanya 3,4% yang dikonversi dari hutan primer. Hal
ini membuktikan anggapan bahwa perkebunan kelapa sawit sebagai pemicu utama deforestasi di Indonesia tidak
benar. Dalam aspek ekonomi, industri minyak sawit berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan, menghasilkan
devisa, pembangunan daerah, dan berhasil menciptakan petani ke berpendapatan menengah. Perkembangan
industri minyak sawit juga bersifat inklusif dan menarik perkembangan sektor-sektor lain. Dalam aspek sosial,

Abstrak | v
industri minyak berperan dalam pembangunan pedesaan, pengurangan kemiskinan, pemerataan pembangunan
ekonomi, serta memperbaiki ketimpangan pendapatan dan pembangunan. Dalam aspek ekologi, perkebunan sawit
menyumbang pada pembangunan berkelanjutan melalui peranannya dalam menyerap CO2 dan menghasilkan O2
serta meningkatkan biomassa lahan. Perkebunan kelapa sawit juga mengurangi emisi gas rumah kaca.
Kata kunci: multifungsi pertanian, berkelanjutan, ekonomi, sosial, ekologi

DDC: 306.3
Ngadi dan Mita Noveria
KEBERLANJUTAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI INDONESIA DAN
PROSPEK PENGEMBANGAN DI KAWASAN PERBATASAN
Masyarakat Indonesia, Vol. 43 (1) Juni 2017: 95–111
ABSTRAK
Perkebunan kelapa sawit telah memberikan peran positif terhadap penciptaan kesempatan kerja dan kesejahteraan
masyarakat. Meskipun demikian, komoditas ini masih menghadapi permasalahan keberlanjutan usaha. Paper ini
bertujuan mengkaji keberlanjutan perkebunan kelapa sawit dari aspek sosial ekonomi dan prospek pengembangannya
di wilayah perbatasan. Data yang analisis adalah hasil penelitian peneliti-peneliti Pusat Penelitian Kependudukan
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Kedeputian Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan
LIPI di Provinsi Sumatra Selatan serta beberapa daerah di kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan
Barat dan Utara. Hasil penelitian menunjukkan, pada 2014, perkebunan kelapa sawit telah menciptakan 5,3 juta
kesempatan kerja di Indonesia. Di wilayah perbatasan, pengembangan kelapa sawit juga menciptakan kesempatan
kerja bagi para TKI yang sebelumnya bekerja di Malaysia ataupun calon TKI yang akan bekerja di Malaysia.
Namun, banyak perkebunan kelapa sawit yang belum dikelola secara berkelanjutan, sisi kelembagaan dan akses
terhadap lahan. Kelembagaan yang lemah di perkebunan kelapa sawit menyebabkan sebagian koperasi (KUD) tidak
mampu beroperasi. Di sisi lain, rendahnya akses terhadap lahan berdampak banyaknya konflik lahan yang terjadi
perkebunan kelapa sawit. Keadaan tersebut berakibat rendahnya pendapatan tenaga kerja di perkebunan kelapa
sawit. Perkebunan kelapa sawit berkelanjutan di Indonesia hanya dapat diciptakan melalui perbaikan kelembagaan
petani, akses terhadap lahan dan produktivitas lahan.
Kata kunci: Kelapa sawit berkelanjutan, tenaga kerja perkebunan, Sumatra Selatan, kawasan perbatasan

Paulus Rudolf Yuniarto


RINGKASAN DISERTASI
MENJEMBATANI MASYARAKAT, MERENGKUH MASA DEPAN:
WIRAUSAHAWAN MIGRAN INDONESIA DI TAIWAN DAN KEWIRAUSAHAAN
BAGI MIGRAN YANG TELAH KEMBALI DI MALANG, JAWA TIMUR
Masyarakat Indonesia, Vol. 43 (1) Juni 2017: 113–123
ABSTRAK
Tesis ini mengkaji kegiatan ekonomi migran Indonesia di Taiwan dan mantan tenaga kerja asal Taiwan di Malang
serta melihat sejauh mana fungsi sosial kegiatan ekonomi yang menyertainya. Hasil penelitian memperlihatkan
kegiatan wirausaha pengusaha migran Indonesia di Taiwan memiliki sifat yang sosialis dalam praktik bisnis mereka.
Mereka melakukan aksi kegiatan sosial-keagamaan yang terkait dengan komunitas pekerja migran. Kerja sama/
hubungan antara pengusaha dan pekerja migran ini menciptakan rasa solidaritas kelompok dan membangun rasa
kebersamaan di antara mereka. Ada tiga faktor penting pembentuk kondisi ini: posisi marginal sebagai migran,
nilai agama, dan rasa keprihatinan sosial. Sementara itu, studi kasus kewirausahaan mantan tenaga kerja Indonesia
di Malang memperlihatkan bahwa pengalaman migrasi mendorong mobilitas sosial-ekonomi dan mengembangkan
kegiatan sosial-ekonomi ketika kembali pulang. Pengalaman migrasi dan kegiatan usaha menjadi sumber penting
mata pencaharian yang berkelanjutan, sebagai rantai produksi usaha (kegiatan ekonomi), transformasi diri, sekaligus
sebagai bagian proses reintegrasi ekonomi setelah kembali pulang. Semua ini menciptakan kehidupan baru bagi
mantan tenaga kerja luar negeri setelah sekian lama bekerja di luar negeri. Secara praktis dan teoretis, cara bagaimana

vi | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


migran dan mantan pekerja migran menjalankan kegiatan ekonomi dan penyesuaian diri di negara tujuan dan di
kampung halaman menunjukkan kemampuan memperbaiki kondisi sosial-ekonomi, menaikkan status di masyarakat,
dan sebagai alat untuk mencegah keterisolasian akibat posisi marginal, baik secara ekonomi maupun sosial.
Kata kunci: entrepreneurship (kewirausahaan), aktivitas sosial, reintegrasi

Zaiyardam Zubir
RINGKASAN DISERTASI
PENGUASA, PENGUSAHA, DAN PETANI: KAPITALISME PERKEBUNAN SAWIT,
DISTORSI SOSIAL EKONOMI, DAN PERLAWANAN PETANI DI INDRAGIRI
HULU, RIAU, 1978–2010
Masyarakat Indonesia, Vol. 43 (1) Juni 2017: 125–141
ABSTRAK
Permasalahan pokok penelitian ini adalah tentang perlawanan petani perkebunan sawit di Indragiri Hulu, Riau.
Perlawanan petani ini tidak terlepas dari kebijakan nasional yang mendukung ekspansi industri non-migas. Usaha
nonmigas yang dikembangkan pemerintah pusat adalah pembukaan perkebunan besar. Pembukaan perkebunan besar
membutuhkan tanah yang luas sehingga investor mengembangkan usahanya sampai ke pelosok-pelosok seperti di
Indragiri Hulu. Pengembangan perkebunan sawit itu membawa persoalan dalam masyarakat dan perlawanan petani.
Studi ini mengkaji praktik kapitalisme perkebunan dan perlawanan masyarakat, khususnya petani di Indragiri Hulu.
Penulisan ini menggunakan metode sejarah dengan menggabungkan antara sumber tertulis dan sumber lisan, baik
primer maupun sekunder. Ekspansi kapitalisme perkebunan di Indragiri Hulu menimbulkan berbagai persoalan,
terutama masalah tanah, seperti ganti rugi yang rendah dan perampasan tanah. Penguasa dan pengusaha juga
mengabaikan nilai-nilai lokal menyangkut kepemilikan tanah, seperti tanah ulayat, hutan adat, dan hutan larangan.
Hal ini menyebabkan munculnya dua bentuk perlawanan petani, yaitu tertutup dan terbuka. Kesimpulan yang dapat
diambil dari penelitian ini adalah praktik kapitalis perkebunan yang didasarkan pada sistem ekonomi tradisional
menimbulkan berbagai anomali dalam masyarakat, khususnya di kalangan petani. Anomali itu di antaranya,
pertama, melemahnya hak atas kepemilikan tanah dari penduduk lokal (asli). Kedua, berlangsungnya pelanggaran
terhadap hukum adat, terutama menyangkut tanah oleh pemilik modal. Ketiga, munculnya broker-broker yang
merugikan petani. Keempat, terjadinya unbalanced relationships atau relasi yang tidak seimbang antara penguasa,
pengusaha, dan petani. Kelima, perlawanan petani terhadap praktik kapitalisme di Indragiri Hulu. Keenam, adanya
efek samping berupa kemunculan sub-sub-urban di pinggiran perkebunan besar.
Kata kunci: penguasa, pengusaha, petani, perlawanan, perkebunan, sawit

Nia Kurniawati Hidayat

TINJAUAN BUKU
MENGHIJAUKAN SEKTOR SAWIT MELALUI PETANI, LESSON-LEARNED
HIVOS UNTUK ISU SAWIT BERKELANJUTAN
Eusebius Pantja Pramudya, Agung Prawoto, Rini Hanifa. (2015). Jakarta: Renebook. P. 252
Masyarakat Indonesia, Vol. 43 (1) Juni 2017: 143–149

vii 
viii | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 
NO. AKREDITASI: 640/AU3/P2MI-LIPI/07/2015 ISSN 0125-9989

MASYARAKAT INDONESIA
MAJALAH ILMU-ILMU SOSIAL INDONESIA

VOLUME 43 NOMOR 1, JUNI 2017

DDC: 307.1
Erwiza Erman
BEHIND SUSTAINABILITY OF PALM OIL: ACTORS, ALLIANCES IN THE
POLITICAL ECONOMY CERTIFICATION OF EUROPEAN UNION
Masyarakat Indonesia, Vol. 43 (1) Juni 2017: 1–13
ABSTRACT
Environmental sustainability and social justice are the two key principles of global oil palm certification
(RSPO) that the country of export of palm oil to the European Union (EU) must adhere to. Therefore, the success
or failure of palm oil trade from Indonesia and Malaysia to the EU depends on the fulfillment of these criteria. In
reality, the issue of fulfilling these criteria has become an ‘entrance’ for international civil society movements to
launch a black campaign in the European Union. This article tries to explain the role of actors and their alliances
in palm oil producing countries, Indonesia and Malaysia in response to the implementation of the RSPO and black
campaigns in Europe. Combining literary studies and in-depth interviews, this study shows that actors from palm
oil producing countries have a strong role in the bargaining process to get the RSPO certificate. They are very
active in giving criticism to the RSPO’s weaknesses, and even establish counter-certificates, in Indonesia called
ISPO and in Malaysia with MSPO. Behind the issue of unsustainability and social injustice as principal elements
of global certification, there is trade competition between palm oil producing countries and countries in European
Union that produce vegetable oils such as sunflower and rapeseed oils.

Keywords: certificates, actors, alliances, trade, palm oil, European Union.

DDC: 307.1
Risa Bhinekawati
CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY, SOCIAL CAPITAL AND SUSTAINABLE
DEVELOPMENT: LESSONS FROM AN INDONESIAN PALM OIL COMPANY
Masyarakat Indonesia, Vol. 43 (1) Juni 2017: 15–32
ABSTRACT
This paper reveals that corporate social responsibility (CSR) programs of a large palm oil company can
actually build social capital that contribute to sustainable development goals (SDGs). Using an exploratory
qualitative case study, this study investigates why and how a company improves social, economic, and social
conditions of communities surrounding its palm oil plantations through smallholder farmers empowerment and
social capital development, from 1992 to 2011. A case study of a sustainable palm oil company in Indonesia was
chosen as an exemplary case study for theoretical or purposive sampling. Primary and secondary data from
company documents, media records, interviews and observations were analysed to develop a theoretical model.
The study finds that the CSR program is driven by company’s strategic intention to fulfill their business needs by

ix 
solving the social and environmental issues surrounding its palm oil plantations. Through smallholder farmers’
development program, the company builds social capital that improves social relationship, farmers’ capabilities,
and farmers’ access to finance and market; so they are capable to act collectively with the company to achieve
economic, social, and environmental performance for both the farmers and the company. This research has created
linkages for previously disparate areas of academic enquiry by showing the actual interrelationships between CSR,
social capital, corporate sustainability and SDGs.

Keywords: Indonesia, Corporate social responsibility, Palm oil plantations, Smallholder farmers, Social capital,
Sustainable Development Goals

DDC: 305.4
Rini Hanifa dan Eusebius Pantja Pramudya
GENDER PERSPECTIVE IN SUSTAINABILITY OF PALM OIL
Masyarakat Indonesia, Vol. 43 (1) Juni 2017: 33–46
ABSTRACT
The emerging initiatives to improve sustainability of the palm oil sector, i.e. RSPO and ISPO, have started
paying attention to gender aspect. This study analyzes the ways the sustainable palm oil initiatives have addressed
gender issues. The analysis is based on literature study and field information from Riau, Jambi, North Sumatra,
and East Kalimantan. The findings of this study indicate that several initiatives to achieve gender equality in
sustainable palm oil have not successfully reach its objective because of the limitations in operationalizing gender
perspectives into sustainability standards. Gender issue in the standards is still limited to women’s protection from
the occupational risks of working in the palm oil sector, which is still within the scope of Women in Development
paradigm. Further development is needed by applying Gender and Development paradigm to achieve equitable
gender relations between men and women and addressing structural barriers that influence them is still limited.
Keyword: sustainable palm oil, RSPO, ISPO, gender perspective

DDC: 306.3

Sakti Hutabarat
THE CHALLENGES OF PALM OIL FARMERS CONTINUITY IN PELALAWAN
DISTRICT, RIAU PROVINCE IN GLOBAL TRADE CHANGE
Masyarakat Indonesia, Vol. 43 (1) Juni 2017: 47–64
ABSTRACT
Oil palm smallholders are potential actors to be included in the global palm oil market. Smallholder plantations
account for 41.4% of total oil palm plantation areas and represents 36.6% of total CPO produced in Indonesia
in 2015. The number of farmers involves in oil palm plantation encompass 2.3 million farmers which have been
an important driver for economic growth in rural areas. However, oil palm smallholders are vulnerable from
issues related to unsustainable production including environmental, social and legal issues which might lower
access and exclude smallholder access to global market. The objective of this study is to analyze position and
capacity of oil palm smallholders in facing global change in international market. Population of this study is oil
palm smallholder farmers in Ukui Subdistrict, Pelalawan District, Riau Province which consist of RSPO-certified
independent smallholders, Non-certified independent smallholders, and RSPO-certified scheme smallholders.
The sample size were 220 farmers and chosen randomly from each group (80, 60 and 80 farmers for each group
respectively). The study found that majority of the farmers still apply traditional practices in their plantations and
far below the standard of good agricultural practices and certification standards. The challenges faced by the
Amanah Association to obtain RSPO certificate is not easy to follow by other smallholders. Therefore, external
supports from government and private actors are needed to improve farmers’ capacity to meet and comply with
certification and to include small-scale farmers in the palm oil global supply chain.
Keywords: Independent smallholders, scheme smallholders, oil palm, certification, global market

x | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


DDC: 307.1
Ermanto Fahamsyah dan Eusebius Pantja Pramudya
ISPO SYSTEM AS A RESPONSE TO THE CHALLENGES OF SUSTAINABLE
DEVELOPMENT OF INDONESIAN PALM OIL
Masyarakat Indonesia, Vol. 43 (1) Juni 2017: 65–79
ABSTRACT
The implementation of ISPO certification system which has been running since 2011 in addition to having
experienced various achievements and developments also encountered various obstacles, problems, challenges
and demands. The formulation of the problems analyzed and answered in this study are: what aspects should be
formulated in order to strengthen ISPO system? To analyze and answer the problem formulation is used framework
thinking about legal system theory or Legal System Theory developed by Lawrence M. Friedman. The research
method used in this study is more focused on normative legal research. Based on the analysis, it can be concluded
that the aspects that must be formulated in order to strengthen ISPO system include: First, related to the aspect of
law substance, ISPO system arrangement must be increased from the level of Minister of Agriculture Regulation
to the level of Presidential Regulation. Through this Presidential Regulation is expected to become a stronger
legal umbrella in the implementation of ISPO system. Second, in relation to aspects of its legal apparatus, the
institutional mechanisms of ISPO certification shall be enhanced and strengthened. Third, from the legal culture
aspect, there must be a common understanding about the definition and concept of sustainability in the management
and development of oil palm Indonesia.
Keywords: ISPO, Development, Palm Oil, Sustainable, Indonesia

DDC: 307.1
Jan Horas V. Purba danTungkot Sipayung
INDONESIAN PALM OIL PLANTATION IN THE PERSPECTIVE OF SUSTAINABLE
DEVELOPMENT
Masyarakat Indonesia, Vol. 43 (1) Juni 2017: 81–94
ABSTRACT
The purpose of this study is to analyze (1) whether oil palm plantations are the main drivers of deforestation
in Indonesia; and (2) how does the Indonesian palm oil industry contribute to sustainable development both
economically, socially and ecologically. Oil palm plantations are Indonesia’s strategic industries. Since 2000, the
Indonesian palm oil industry has grown rapidly and has influenced the dynamics of competition among vegetable
oils including the form of black campaigns and accusations as drivers of deforestation in Indonesia. The research
methodology is empirical descriptive research, which are: (1) to analyze the history of deforestation in logging era
in Indonesia and related to the development of oil palm plantation and (2) to analyze the linkage of Indonesian oil
palm plantation development with economic, social and ecological aspect. In the period 1950-2013, conversion of
forests into non-forests is quite high ie 98.8 million hectares. However, the area of ​​oil palm plantation Indonesia
only increased from 0.1 million hectares (1950) to 10.4 million hectares (2013). Based on satellite data (Gunarso,
et al., 2012) revealed that the origins of Indonesian oil palm plantations are mostly from degraded land, and
only 3.4 percent are converted from primary forest. This proves that oil palm plantations as the main drivers of
deforestation in Indonesia are not true. In the economic aspect, the palm oil industry contributes in generating
foreign exchange, regional development and successfully creating farmers into middle income. In the social aspect,
the oil industry plays a role in rural development and poverty reduction and equitable economic development,
and improves income and development inequalities. In the ecological aspect, oil palm plantations contribute to
sustainable development through its role in absorbing CO2 and generating O2, and increasing land biomass. Oil
palm plantations also reduce greenhouse gas emissions.
Keywords: multifunctional agriculture, sustainable, economic, social, ecological

Abstrak | xi
DDC: 306.3
Ngadi dan Mita Noveria
SUSTAINABILITY OF PALM OIL PLANTATION AND IT’S DEVELOPMENT
PROSPECT IN BORDER AREAS
Masyarakat Indonesia, Vol. 43 (1) Juni 2017: 95–111
ABSTRACT
Palm oil plantation has a significant role in creation of job opportunity and welfare of society. However, there
are still many problems challenged in maintaining sustainability of palm oil plantation. This paper aims to assess
sustainability of palm oil plantation from social and economy aspects and also the prospect of development of
palm oil plantation in border areas. This paper analyses the data of some research conducted by researchers of the
Research Centre for Population and the Deputy of Social Sciences and Humanities, Indonesian Institute of Sciences
in the province of South Sumatra and Indonesia-Malaysia border areas in West, East, and North Kalimantan. The
research shows that in 2014 palm oil plantation has created 5.2 millions job opportunity in Indonesia. In border
areas, particularly, development of palm oil plantation has generated job opportunities for Indonesian workers who
previously worked in Malaysia and those who intend to work in the neighbouring country. Nevertheless, many palm
oil plantation have not been sustainably managed in term of institution and access to land. Weak institutionality
in oil palm plantations caused some institutional farmers (KUD) to be unable to operate. On the other hand, low
access to land created many cases of land conflicts in palm oil plantations. The situation has brought about the
low income of labor in palm oil plantations. Sustainable palm oil plantations in Indonesia can only be created
through improvements to farmer institutions, access to land and land productivity.
Keywords: Sustainable palm oil, plantation labor, South Sumatra, Border areas

Paulus Rudolf Yuniarto


SUMMARY OF DISSERTATION
BRIDGING PEOPLE, SEIZING THE FUTURE: INDONESIAN MIGRANT
ENTREPRENEURS IN TAIWAN AND RETURN MIGRANT ENTREPRENEURSHIP
IN MALANG, EAST JAVA
Masyarakat Indonesia, Vol. 43 (1) Juni 2017: 113–123
ABSTRACT
This thesis explores and examines the role and socio-economic functions of Indonesian entrepreneurs in Taiwan
and return migrant entrepreneurs from Taiwan in Malang, East Java, and the implications of their entrepreneurial
activities on the community. In the case of Taiwan, Indonesian migrant entrepreneurs’ active in social activities; they
are linked strongly to the petty conditions of co-migrants. In various cases, entrepreneurs play the role of friends in
need, acting as third-party resources, to co-migrants, who turn to the former for help and self-actualization. Their
activities contribute to bridging the relations between the larger community and Indonesian migrants living as a
minority and as marginal foreign newcomers in Taiwan. Meanwhile, the case study of Indonesian return migrant
entrepreneurship at the home village of Malang found that migration and returning home experiences increase
socio-economic mobility and develop socio-economic activities at home villages. The migrants’ experiences and
enterprise activities have emerged as a critical source of sustainable livelihoods, migration knowledge of production
application, self-transformation, and the economic reintegration process for return migrants in their home villages,
all of which can create a new life for returnees after migration. Practically and theoretically speaking, the manner
in which migrant and return migrant entrepreneurs perform economic adaptation or social adjustment, both at
their destinations and in their home countries, indicates that the socio-economic function, comprising valuable
ties that cut across classes, can prevent the social and economic isolation of disadvantaged entrepreneurs, co-
migrants, and return migrants in the community.
Keyword: entrepreneurship, social activism, reintegration.

xii | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


Zaiyardam Zubir
SUMMARY OF DISSERTATION
AUTHORITY, ENTREPRENEURS, AND PEASANTS: PALM OIL PLANTATIONS
CAPITALISM, SOCIO-ECONOMIC INEQUALITY AND PEASANT RESISTANCE IN
INDRAGIRI HULU, RIAU, 1978–2010
Masyarakat Indonesia, Vol. 43 (1) Juni 2017: 125–141
ABTRACT
The main subject of this research is about the practice of modern capitalism in form of large scale of oil palm
plantation and the peasant resistance in the Indragiri Hulu, Riau. It started from the government policy to expand
non-oil and gas industry. The local government in Riau responded the policy by allowing big entrepreneurs to
invest their capital in plantation economy, and the palm oil plantation was the main form.
The main question raised in this study is why the peasant society in Indragiri Hulu resisted the practice of
plantation economy in this area. This study employs historical method by using primary and secondary sources.
The primary sources mainly derived through oral historical method and secondary source colleted from various
libraries in Pekanbaru, Rengat, Yogyakarta, and Jakarta. The important finding of this research is that the expansion
of plantation capitalism in Indragiri Hulu created various problems, especially land issues, as low compensation
and land grabbing. The authority and the businessmen also ignored local tradition related to land ownership
like ulayat land, traditional arable forest and protected forest. This caused two form of resistant, closed and
opened resistance. This research concludes that the practice of modern plantation based on traditional social and
economic system triggered various anomalies They are includes: first, the weakening local community’s rights
of land. Second, the violation of customry law by the capital owners especially those related to land. Third, the
appearance of brokers that disadvantaged the peasant. Fourth, unbalanced relationships between the authority,
the businessmen and peasant. Fifth, the emergence of peasant resistance against capitalism practice. Sixth, the
rise of new sub-urban around the plantation.
Keywords: authority, entrepreneur, peasant, resistance, plantation, palm oil

Nia Kurniawati Hidayat


BOOK REVIEW
GREENING THE PALM OIL SECTOR THROUGH SMALLHOLDERS, LESSON-
LEARNED HIVOS FOR SUSTAINABLE PALM OIL
Eusebius Pantja Pramudya, Agung Prawoto, Rini Hanifa. (2015). Jakarta: Renebook. P. 252
Masyarakat Indonesia, Vol. 43 (1) Juni 2017: 143–149

xiii 
xiv | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 
DI BALIK KEBERLANJUTAN SAWIT: AKTOR, ALIANSI
DALAM EKONOMI POLITIK SERTIFIKASI UNI EROPA*
ERWIZA ERMAN
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
E-mail: erwiza_e@yahoo.com

ABSTRACT
Environmental sustainability and social justice are the two key principles of global oil palm certification
(RSPO) that the country of export of palm oil to the European Union (EU) must adhere to. Therefore, the success
or failure of palm oil trade from Indonesia and Malaysia to the EU depends on the fulfillment of these criteria. In
reality, the issue of fulfilling these criteria has become an ‘entrance’ for international civil society movements to
launch a black campaign in the European Union. This article tries to explain the role of actors and their alliances
in palm oil producing countries, Indonesia and Malaysia in response to the implementation of the RSPO and black
campaigns in Europe. Combining literary studies and in-depth interviews, this study shows that actors from palm
oil producing countries have a strong role in the bargaining process to get the RSPO certificate. They are very
active in giving criticism to the RSPO’s weaknesses, and even establish counter-certificates, in Indonesia called
ISPO and in Malaysia with MSPO. Behind the issue of unsustainability and social injustice as principal elements
of global certification, there is trade competition between palm oil producing countries and countries in European
Union that produce vegetable oils such as sunflower and rapeseed oils.

Keywords: certificates, actors, alliances, trade, palm oil, European Union

ABSTRAK
Keberlanjutan lingkungan dan keadilan sosial adalah dua prinsip utama dalam sertifikasi sawit global (RSPO)
yang harus dipatuhi oleh negara eksportir minyak kelapa sawit ke Uni Eropa. Oleh karena itu, sukses atau tidaknya
perdagangan sawit dari Indonesia dan Malaysia ke Uni Eropa bergantung pada pemenuhan kriteria tersebut.
Dalam kenyataannya, persoalan pemenuhan kriteria tersebut menjadi “pintu masuk” bagi gerakan masyarakat sipil
internasional untuk melakukan kampanye hitam di Uni Eropa. Tulisan ini mencoba menjelaskan peran aktor dan
aliansi di negara produsen sawit, Indonesia dan Malaysia, dalam merespons pelaksanaan RSPO dan kampanye
hitam di Eropa. Dengan menggabungkan studi kepustakaan dan wawancara mendalam, studi ini memperlihatkan
bahwa aktor-aktor dari negara produsen minyak sawit memiliki peranan yang kuat dalam proses tawar-menawar
dalam pelaksanaan RSPO. Mereka memberikan kritik yang tajam terhadap kelemahan-kelemahan RSPO dan secara
aktif membentuk sertifikat tandingan, di Indonesia disebut ISPO, sedangkan di Malaysia MSPO. Di balik persoalan
ketidakberlanjutan dan ketidakadilan sosial yang menjadi prinsip dasar sertifikasi global, terdapat persaingan dagang
antara negara produsen minyak nabati sawit dan negara-negara di Uni Eropa yang memproduksi minyak nabati
seperti dari bunga matahari dan rapeseed.

Kata kunci: sertifikat, aktor, sawit, perdagangan, Uni Eropa

PENDAHULUAN
Pada April 2017, pemerintah Indonesia dikejut­ mulai dari para pejabat yang berkepentingan da­
kan oleh resolusi Parlemen Uni Eropa untuk lam kaitan dengan perkebunan dan p­ erdagangan
ti­dak membeli minyak sawit untuk biodiesel sawit internasional sampai ke Presiden dan Wakil
pada 2020 karena dinilai tidak diproduksi secara Presiden. Sampai Oktober 2017, respons dari para
berkelanjutan dan memicu deforestasi. Resolusi aktor negara menghubungkan resolusi itu dengan
ini mendapat respons dari negara produsen sawit politik diskriminatif Uni Eropa, kampanye hitam,
terbesar, seperti Indonesia dan Malaysia. Di Indo- dan mempertanyakan persoalan keberlanjutan
nesia, respons datang dari berbagai aktor negara,
*Artikel ini telah dipresentasikan dalam Academic Forum on Sustainability I, yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Sumber
Daya Regional (P2SDR) LIPI, Yayasan Inspirasi Indonesia (YII), dan Centre for Inclusive and Sustainable Development
(CISDEV) Universitas Prasetiya Mulya, di Jakarta 31 Januari 2017.

1 
dan deforestasi perkebunan sawit yang menyalahi faktor-faktor yang memberi sumbangan penting
prinsip-prinsip yang tertera dalam sertifikasi sawit terhadap kesuksesan ISPO, sedangkan Hia dan
global atau yang dikenal dengan Roundtable Kusumawardani (2016) membuktikan adanya
Sustainable Palm Oil (RSPO). efek positif dari pemenuhan kriteria keberlanjutan
Persoalan keberlanjutan lingkungan dan dalam prinsip-prinsip ISPO terhadap permintaan
ke­adilan sosial adalah prinsip utama yang harus ekspor minyak sawit Indonesia ke Uni Eropa
dipatuhi negara produsen sawit, seperti Indonesia. untuk periode 2009–2014. Meskipun ada efek
Walaupun demikian, persoalan keberlanjutan dan positif pemenuhan kriteria keberlanjutan dalam
keadilan sosial ini pula yang menjadi kendala prinsip-prinsip ISPO terhadap perdagangan mi­
dalam perdagangan sawit dari negara produsen nyak sawit Indonesia ke Uni Eropa, muncul pula
ke negara konsumen, seperti Uni Eropa. Sebelum persoalan-persoalan kontroversi terhadap keber-
dan setelah pembentukan RSPO pada 2004 sampai lanjutan lingkungan dan keadilan sosial, antara
sekarang, persoalan keberlanjutan lingkungan lain masalah deforestasi, musnahnya keragaman
dan keadilan sosial merupakan kampanye yang hayati, konflik tanah, dan masyarakat adat di
terus-menerus dilakukan lembaga swadaya sekitar perkebunan sawit.
mas­ya­rakat (LSM) di tingkat lokal, nasional, Studi-studi di atas telah memberikan sum­
inter­nasional, dan transnasional serta aliansinya, bangan penting dalam melihat trayektori per­
baik di negara produsen sawit maupun di negara kem­bangan dan debat-debat dalam persoalan
konsumen di Uni Eropa. Persoalan perdagangan keberlanjutan lingkungan dan keadilan sosial
sawit ke Uni Eropa ternyata mudah, yakni hanya me­nurut skema sertifikasi persawitan. Skema-
dengan memiliki sertifikasi RSPO. Persoalannya skema sertifikasi itu bisa dikatakan sebagai
terletak pada proses yang rumit, memerlukan desain kebijakan yang paling inovatif pada abad
biaya, penilaian-penilaian yang tidak “fair”, serta ini. Walaupun demikian, persoalan keefektifan
cara-cara perusahaan perkebunan dan petani sawit skema-skema sertifikasi dan praktiknya, menurut
memperoleh sertifikasi RSPO sebagai “pintu ma- McCarthy (2010), sangat terbatas karena persoal­
suk” memuluskan ekspor minyak sawit Indonesia an-persoalan lingkungan dan keadilan sosial dari
ke Uni Eropa. Artikel ini ingin melihat peran aktor mata rantai perdagangan global seperti sawit
dari negara produsen sawit Indonesia dan Malaysia digerakkan terutama oleh sebuah koalisi-koalisi
dalam menanggapi isu-isu ketidakberlanjutan strategis yang “embedded” di tingkat lokal dan
tersebut dan alasan di balik isu-isu itu. merefleksikan kepentingan-kepentingan rezim,
Isu-isu sosial yang menyertai ekspansi per­ kapasitas negara, dan agenda-agenda bisnis.
kebunan sawit dan perdagangan minyak sawit Artikel ini ingin melihat peranan aktor dan
telah mendapat perhatian ilmuwan sosial, dari aliansinya dari negara produsen sawit, Indonesia
konflik sosial, konflik tanah, marginalisasi masya­ dan Malaysia, dalam merespons sertifikasi sawit
rakat adat dan mata pencarian mereka, konflik global serta kampanye ketidakberlanjutan sawit
dalam hubungan kerja, perdagangan, sampai dan ketidakadilan sosial.
hi­langnya keberagaman hayati (Marti, 2008; Koh, Pertanyaannya kemudian, bagaimana aktor-
2008). Studi Varkkey (2016) menitikberatkan aktor negara produsen sawit mempertahankan
­hu­bungan ekspansi perkebunan sawit dengan kepentingan bisnisnya dari gerakan masyarakat
politik pat­ro­nasi pemerintah. Politik patronasi sipil lokal, nasional, dan internasional, bahkan
ini telah me­mun­culkan sikap pemerintah yang resolusi sawit Parlemen Uni Eropa, yang mem-
abai dalam menangani persoalan keberlanjutan permasalahkan soal keberlanjutan lingkungan dan
lingkungan dan keadilan sosial seperti dibuktikan keadilan sosial tersebut? Langkah-langkah apa
oleh Oliver Pye (2010). Persoalan keberlanjutan yang ditempuh aktor-aktor dari negara produsen,
lingkungan dan keadilan sosial diperkuat dengan terutama Indonesia dan Malaysia, dalam meng-
sertifikasi global (RSPO) pada 2004, sehingga hadapi serangan tersebut? Apakah negara-negara
studi-studi tentang sertifikasi global (RSPO) dan produsen sawit seperti Indonesia dan Malaysia,
nasional (ISPO dan MSPO) bermunculan pula. sebagai negara berkembang, terkooptasi dengan
Harsono, Chozin, dan Fauzi (2016) melihat

2 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


skema sertifikasi yang ditawarkan RSPO Uni lebih minyak sawit. Sementara itu, China, sebagai
Eropa? Apa motif di balik kampanye dan kemu- negara pengimpor minyak sawit kedua setelah
dian resolusi Parlemen Eropa tentang ketidakber- India, baru memperlihatkan grafik yang menaik
lanjutan lingkungan dan keadilan sosial? Inilah sejak 2002 meski terjadi beberapa kali kontraksi
serangkaian pertanyaan yang hendak dijawab pada 2007, 2011, 2014, dan 2015, dengan jumlah
dalam artikel ini. impor minyak sawit hampir men­capai 4 juta ton.
Pada 2015, Pakistan juga meningkatkan impor
PERDAGANGAN MINYAK SAWIT minyak sawit lebih dari 2 juta ton. Sementara
DAN POLITIK SERTIFIKASI RSPO itu, Belanda mengimpor lebih dari 1 juta ton
pada 2015. Ini belum termasuk negara-negara
Indonesia dan Malaysia adalah dua negara peng­ lain yang tergabung dalam Uni Eropa, yang
hasil minyak sawit terbesar di dunia. Kedua mengonsumsi 4,4 juta ton pada 2016, meningkat
negara ini menyumbang 85% kebutuhan minyak 3 persen dari 4,2 juta ton pada 2015. Konsumsi
sawit dunia (“Pentingnya ISPO bagi,” 2011). minyak sawit Eropa diperkirakan dua kali lipat
Indonesia sendiri pada 2016, sebagai negara pada 2015 (GAPKI, 2017). Uni Eropa merupakan
pe­nyedia pasokan sawit dunia, menyumbangkan negara pengimpor ketiga setelah India dan Cina
52% dengan luas area 11,4 juta hektare dan (Widyaningtyas & Widodo, 2016, 139). Di ka-
produksinya mencapai 23,633 juta ton per tahun langan negara-negara yang tergabung dalam Uni
(“Pasar Sawit India,” 2016). Sekitar 45% dari Eropa yang mengimpor minyak sawit berturut-
produksi sawit di Indonesia berasal dari perke- turut ke Belanda, Jerman, Italia, dan Spanyol.
bunan kecil rakyat yang dikelola petani sawit Belanda dan Jerman adalah dua negara anggota
dengan rata-rata produksi 12–14 ton per hektare Uni Eropa yang banyak mengimpor minyak sawit
per tahun. dari Indonesia.
Dilihat negara tujuan ekspor untuk periode
Peningkatan ekspor minyak sawit Indonesia
2000–2015, India dan Cina merupakan negara
berjalan sejajar dengan peningkatan luas perke­
pengimpor terbesar minyak sawit. Ekspor minyak
bunan sawit. Pada 1999, luas lahan sawit Indo-
sawit Indonesia ke India cenderung meningkat,
nesia adalah 3,9 juta hektare (ha), dan pada 2004
yakni kurang dari 2 juta ton pada 2000 menjadi
meningkat menjadi 5,4 juta ha. Peningkatan luas
mendekati 3 juta ton pada 2004. Meskipun ekspor
lahan sawit semakin intensif pada tahun-tahun
minyak sawit turun sedikit pada 2006, pada
berikutnya, yakni pada 2014 sudah mencapai 10,9
2009–2015 India sudah mengimpor 5 juta ton

Gambar 1. Grafik Ekspor Minyak Sawit Indonesia ke negara-negara konsumen (2000–2015)

Erwiza Erman | Di Balik Keberlanjutan Sawit: Aktor, Aliansi ... | 3


juta ha. Lalu, pada 2016, luasnya sudah mencapai pada dasarnya awal pembentukan RSPO ini
11,67 juta ha (BPS, 2016). Dari 11,67 juta ha, bersumber dari usaha gerakan penyelamatan ling-
6,15 juta ha milik perkebunan swasta, 4,76 ha kungan yang diinisiasi oleh NGO internasional,
perkebunan rakyat, dan hanya 756 ribu ha milik antara lain The World Wildlife Fund for Nature
perkebunan negara. Minyak sawit digunakan (WWF) pada 2003 di Kuala Lumpur. Persoalan
untuk berbagai tujuan, seperti untuk campuran penyelamatan lingkungan dan keragaman hayati
makanan, komestik, dan energi (biofuel). ini merupakan bagian dari program gerakan
Peningkatan dalam pertumbuhan kelapa sawit masyarakat sipil inter­nasional yang muncul di
di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari tiga faktor tengah derasnya eks­­pansi lahan dan eksploitasi
utama. Pertama, dari perspektif ekonomi, kelapa sumber daya alam. Tidak semua anggota memiliki
sawit memberikan kontribusi signifikan terhadap hak voting di dalam RSPO, kecuali produsen dan
pendapatan negara, yakni menyediakan lapangan distributor besar. Anggota di luar produsen dan
kerja dan mata pencarian bagi petani-petani kecil. distributor, seperti akademisi, LSM lingkungan,
Kedua, di level institusi negara, adanya fasilitas dan anggota masyarakat, tidak memiliki hak
berupa izin tanah-tanah hutan atau hutan produksi ­voting (RSPO, tt.). Indonesia dan Malaysia,
yang dapat dialihfungsikan oleh pemerintah, se­bagai negara pro­dusen terbesar kelapa sawit,
baik di tingkat nasional, provinsi, maupun kabu- masuk ­working group di RSPO (Wawancara
paten, kepada para investor untuk menanamkan dengan Otto Hospes, Mei 2014). Working group
modalnya di sektor perkebunan. Ketiga, secara di Indonesia atau ­Indonesian National Interpre-
politik, ada insentif bagi pejabat-pejabat publik tation Working Group (INA NIWG) dipimpin
dan sektor swasta untuk mengalihfungsikan oleh Daud Dharsono dari Gabungan Pengusaha
hutan untuk sektor perkebunan sawit yang lebih Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) dari PT
menguntungkan dari segi ekonomi. Dengan kata SMART. Kelompok ini beranggotakan para
lain, pejabat publik menjadi rentseekers untuk pe­mang­ku kepentingan industri minyak sawit
pemberian izin usaha tersebut. di Indonesia, yang terdiri atas perusahaan sawit,
institusi keuangan (perbankan), berbagai instansi
Ekspansi perkebunan sawit ini telah mencip-
pemerintah, dan Asosiasi Petani Kelapa Sawit
takan berbagai dampak lingkungan, seperti de-
Indonesia.1
forestasi, hilangnya keberagaman hayati, konflik
tanah, konflik perburuhan, serta konflik-konflik Pada November 2005, RSPO menetapkan
sosial di sekitar perkebunan yang mencuat dalam Prinsip dan Kriteria Produksi Minyak Sawit
dua dasawarsa terakhir. Di satu pihak, kerusakan Berkelanjutan (RSPO P&C), yang terdiri atas
lingkungan dan ketidakadilan sosial inilah yang 8 prinsip dan 39 kriteria. Setelah diuji coba,
menjadi salah satu alasan yang mendorong pem- pada November 2007, RSPO memulai proses
bentukan sertifikasi sawit global, Roundtable on sertifikasi dengan berpedoman pada 8 prinsip,
Sustainable Palm Oil (RSPO) (Geibler, 2010). yakni komitmen terhadap transparansi; kelayakan
Di lain pihak, pembentukan sertifikasi sawit glo­ ekonomi dan keuangan jangka panjang; hukum
bal ini juga tidak bisa dipisahkan dari gerakan dan peraturan yang berlaku; praktik terbaik
penyelamatan lingkungan dalam skala global oleh dan tepat oleh perkebunan dan pabrik; serta
NGO internasional. RSPO dibentuk pada 2004 bertanggung jawab terhadap lingkungan, konser-
di Kuala Lumpur, bertujuan mempromosikan vasi kekayaan alam, dan keanekaragaman hayati;
peng­gunaan sawit berkelanjutan melalui standar 1 Secara rinci komposisi terdiri atas GAPKI (PT SMART,
global yang kredibel dan melibatkan berbagai PT Lonsum, PT Astra Argo, PT Asianagri, PPKS, PT
Makin, dan PTPN); instansi pemerintah (Kementerian
stakeholders (RSPO, tt.). Anggotanya terdiri
Pertanian, Kementerian Perindustrian, Kementerian
atas para pemilik industri hilir (38%), pedagang Perdagangan, Badan Pertanahan Nasional, Kementerian
dan pemilik manufaktur yang memproses produk Lingkungan Hidup, Kementerian Tenaga Kerja dan
turunan minyak sawit (36%), produsen hanya Transmigrasi, Kantor Menko Perekonomian; NGO
Lingkungan, WWF Indonesia dan The Nature Conser-
15%, peretail sebesar 6%, serta NGO lingkungan vancy (TNG), Bank Mandiri, Bank Permata, Bank SCB,
3%. Meskipun komposisinya tidak seimbang, Bank Mega, Apkasindo (Asosiasi Petani Kelapa Sawit
Indonesia).

4 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


bertanggung jawab atas karyawan, individu, dan sosial masyarakat. Ada sejumlah investigasi yang
komunitas yang terkena dampak perkebunan dan dilakukan oleh NGO lingkungan. Greenpeace,
pabrik; serta berkomitmen terhadap perbaikan misalnya, terus menurunkan laporan tentang
berkelanjutan pada wilayah-wilayah aktivitas. kasus-kasus kebakaran hutan di berbagai daerah
Dari prinsip-prinsip yang dikemukakan oleh perkebunan sawit milik perusahaan besar antara
RSPO di atas, dapat disimpulkan bahwa RSPO 2006 dan 2007, dan kemudian kasus kebakaran
sebenarnya mengintegrasikan sisi keuntungan, hutan pada tahun-tahun berikutnya. Dari sejum-
keberlanjutan lingkungan, dan keadilan bagi lah laporan itu, terlihat bahwa kebakaran hutan
manusia atau dikenal dengan 3P (people, planet, tidak semata-mata dituduhkan kepada masyarakat
and profit). peladang, tetapi juga pada usaha-usaha itu, yang
Dalam praktiknya, proses untuk memperoleh diciptakan melalui kompromi-kompromi tak
sertifikasi RSPO dengan memenuhi 8 prinsip tertulis dengan pemerintah.
di atas ternyata tidak mudah. Ada beberapa Pada dasarnya, pihak perusahaan m
­ enyangkal
kelemahan. Misalnya, adanya celah bagi per­ tindakan-tindakan pembakaran hutan dan ­justru
usahaan untuk melakukan pelanggaran terhadap menimpakan kesalahannya kepada petani di
masalah tanah, seperti ditemukan pada kasus se­­­­kitarnya. Padahal, sebagai pihak yang netral,
perkebunan Bumitama yang menjual produknya pemerintah seharusnya menyelesaikan konflik
ke perusahaan Wilmar, audit yang tidak seragam ­antara NGO dan perusahaan ini. Namun, hal
dan tidak independen, prosedur pengaduan ter­sebut tidak terjadi karena adanya politik pa­
yang birokratis, serta ketidakmampuan RSPO t­ronasi yang sangat tinggi dari pemerintah ter­­
menangani kasus-kasus pengaduan dari lapangan hadap perkebunan sawit (Varkkey, 2016). Da­lam
(Voge & Hutz-Adam, 2014, 17–20). Beberapa konteks ini, Varkkey membuktikan peran peme­
kelemahan lain yang ditemukan dari studi yang rintah Indonesia­sebagai “patron” ­melin­dungi
dilakukan oleh German Development Institute “kliennya”, yaitu perusahaan p­ erkebunan. Dalam
(2012) di Indonesia adalah tingginya biaya yang konteks ini, perusahaan perkebunan telah memak-
harus dikeluarkan petani sawit untuk memperoleh simalkan keuntungan dalam bisnis persawitan
sertifikat RSPO. Biaya pengurusan sertifikasi serta mengabaikan persoalan lingkungan dan
pada 2012 berkisar dari US$ 7,75 sampai US$ ke­adilan sosial.
9,25 per ton sebagaimana tercantum dalam The Bagaimana peran dan respons negara-
Green Palm Trading Platform. Sampai Maret negara produsen seperti Indonesia dan Malaysia
2012, baru 100 perusahaan sawit Indonesia, menghadapi sertifikasi perdagangan global
swasta dan negara, yang memiliki sertifikat kelapa sawit melalui prinsip-prinsip dan kriteria
RSPO. Luas wilayah area produksi yang memiliki RSPO? Apakah aktor-aktor dari negara produ-
sertifikat RSPO mencapai 1.130.969 ha, dengan sen utama sawit, Indonesia dan Malaysia, dari
produksi minyak sawit mentah 5.573.202 ton negara berkembang terkooptasi dengan skema
dan palm kernel sebesar 1.296.488 ton (Hanya sertifikasi yang ditawarkan oleh RSPO Uni Eropa
19 Perusahaan, 2013). Capaian ini masih kecil, atau justru membuat sertifikasi sendiri? Uraian
yakni 11% dari jumlah keseluruhan perusahaan berikut ini akan memperlihatkan peran aktor-
sawit Indonesia. Sementara itu, untuk petani aktor negara produsen dan kepentingan mereka
plasma, baru 113,673 petani plasma sawit sam- dalam menghadapi tantangan dalam perdagangan
pai Juni 2016 yang mendapat sertifikasi RSPO minyak sawit ke Uni Eropa.
dengan luas lahan garapan 263,371 ha (Wilmar
International Limited, 2016).
AKTOR, ALIANSI, DAN POLITIK
Pada saat berlangsung pembicaraan tentang SERTIFIKASI TANDINGAN
kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam
prosedur untuk memperoleh sertifikasi RSPO, Sertifikasi bukan sebuah mekanisme yang
pelanggaran-pelanggaran terhadap persoalan bebas dari kepentingan (Fuady, Widyatmoko,
kerusakan lingkungan dan keberlanjutan sosial Mulyasari, & Erman, 2014). Standar sosial dan
terus-menerus dikampanyekan berbagai lembaga lingkungan yang hadir dalam sebuah sertifikasi

Erwiza Erman | Di Balik Keberlanjutan Sawit: Aktor, Aliansi ... | 5


sering kali sangat kental dengan kepentingan lahan sawit di Indonesia (“Produksi Sawit Malay-
politik ekonomi sebuah negara, tidak terkecuali sia,” 2012). Bahkan, kini pemodal ­Malaysia justru
sertifikasi global (RSPO) untuk minyak nabati ditarik pemerintah Indonesia untuk menanamkan
sawit. Selain menghindari proses produksi sawit modalnya, terutama dalam industri pengolahan
yang tidak berkelanjutan dan segi lingkungan dan sawit yang lebih maju daripada di Indonesia
sosial, di balik sertifikasi tersebut terdapat kepen­ “BKPM Dorong Malaysia”, 29 April 2016.
ting­an ekonomi dari negara-negara ­produsen Seba­liknya, keberhasilan bisnis sawit Malaysia
mi­nyak nabati, seperti minyak bunga mata­hari, juga bergantung pada suplai tenaga kerja dari
rapeseed, dan canola, yang kalah bersaing ­dengan Indonesia yang masuk secara legal atau ilegal
minyak sawit. Sertifikasi yang mengatur tata ke- ke Malaysia. Misalnya, pada 2014, sekitar 80%
lola industri biofuel juga sering dianggap sebagai tenaga kerja perkebunan kelapa sawit Malaysia
non-tariff barrier yang dipakai beberapa negara berasal dari Indonesia (“Upah Tinggi Bukan,”
untuk menjamin produksi biomassa di negara 2014). Bagi Indonesia, kehadiran pengusaha sawit
yang bersangkutan, menghindarkannya dari Malaysia jelas memberi sumbangan terha­dap
serbuan impor dari negara ketiga (Fuadi dkk., pendapatan negara. Sementara rekrutmen tenaga
2014, 2). kerja Indonesia di perkebunan Malaysia akan
Sertifikasi global yang dikeluarkan Uni memecahkan tingkat pengangguran di ­Indonesia.
Eropa untuk perdagangan minyak sawit justru Saling ketergantungan ini d­ iungkapkan Wakil
menimbulkan respons dari aktor-aktor dari negara Perdana Menteri Malaysia Najib Razak pada saat
produsen utama, Indonesia dan Malaysia. Peran penandatanganan MoU tersebut sebagai berikut:
apakah yang dimainkan aktor-aktor negara dari “Indonesia dan Malaysia melakukan kesepakatan
negara-negara produsen terbesar, Indonesia dan dalam bentuk penetapan jumlah output yang akan
Malaysia, untuk menjaga kepentingan perdagang­ diproduksi karena Indonesia di sini merasa kha-
an minyak sawit ke Eropa? Apakah Indonesia watir jika Malaysia mencabut investasinya, yang
dan Malaysia sebagai negara dunia ketiga akan pada akhirnya akan mengurangi volume produksi
langsung mengikuti proses pesertifikasian global kelapa sawit yang dihasilkan dan akan menye-
babkan menurunnya keuntungan Indonesia. Hal
itu? Bagian ini akan melihat peranan aktor negara ini juga berlaku untuk Malaysia, karena Malaysia
produsen dan aliansinya dalam menghadapi serti- juga memiliki kendala dalam keterbatasan lahan
fikasi sawit global, kampanye hitam, dan resolusi dan keterbatasan tenaga kerja. Kita telah sepakat
sawit yang dikeluarkan Parlemen Eropa pada untuk meningkatkan produksi dan pemasaran
April 2017. CPO dengan membentuk aliansi strategi.”
(Pidato Najib pada saat penandatanganan MoU,
Dalam menghadapi tantangan tersebut, ke­ 25 Mei 2006).
dua negara produsen, Indonesia dan Malaysia,
Terbentuknya kesepakatan formal kedua
bersatu menghadapi ancaman kampanye hitam
negara produsen ini menjadi jalan masuk untuk
yang dilancarkan oleh jaringan kerja sama NGO
me­rancang berbagai kegiatan yang bertujuan
lokal, nasional, dan transnasional di Eropa. Kerja
meng­hadapi tantangan perdagangan minyak sa­
sama itu diformalkan dalam bentuk kesepakatan
wit ke Eropa. Kesepakatan itu telah melahirkan
bersama, memorandum of understanding (MoU)
Indonesia-Malaysia Palm Oil Group (IMPOG),
antara pemerintah Indonesia dan Malaysia yang
yang merupakan wadah/forum antar-produsen
bertujuan untuk posisi menjamin usaha bersama
kelapa sawit Indonesia dan Malaysia untuk
dan posisi antarnegara produsen sawit. MoU
me­nyusun program kerja sama, research and
di­tandatangani pada 2006 dan terus berulang
development (R&D), komunikasi, dan strategi
sam­pai 2013. Kerja sama antara Indonesia dan
agar mempunyai persepsi yang sama dalam upaya
Malaysia ini lahir karena saling ketergantungan
meng­hadapi tekanan asing atas kedua negara
dalam masalah modal (investasi) dan tenaga k­ er­ja.
produsen sawit utama.  IMPOG beranggotakan
Dari sudut modal, Malaysia memiliki ­kepen­ting­an
enam asosiasi, yaitu Gabungan Pengusaha K
­ elapa
menjaga investasi terbesar kedua dalam perke­
Sawit Indonesia (GAPKI), Asosiasi Petani Ke-
bunan sawit di Indonesia atau mengua­sai 26%

6 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


lapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Malaysian Menteri Pertanian berperan penting dalam
Palm Oil Association (MPOA), Asosiasi Pemilik pembuatan sertfikasi tandingan itu. Sementara
Perkebunan Minyak Sawit Serawak (SOPPOA), Ketua Komisi ISPO Rosdiana Suharto adalah
Federal Land Development Authority (FELDA), aktor yang vokal dan gigih memperjuangkan
dan Asosiasi Investor Perkebunan Malaysia di sertifikasi ISPO dalam berbagai forum pertemuan,
Indonesia (APMI). Pertemuan kedua negara baik di Indonesia maupun dengan negara-negara
tersebut berlangsung di Kuching, Malaysia, pada konsumen Uni Eropa. Menurut Rosdiana, ISPO
2010. menjadi kekuatan tawar-menawar yang cukup
Kesepakatan bersama antara Indonesia dan besar bagi Indonesia karena dapat menghasilkan
Malaysia telah melahirkan sikap yang sama sekali industri sawit berkelanjutan. India dan Cina,
tidak bergantung pada negara konsumen Uni sebagai negara konsumen terbesar pertama
Eropa. Sikap ini tecermin dari usaha-usaha, per- dan kedua, justru telah memberikan dukungan
tama, pembentukan sertifikasi tandingan sebagai terhadap keberadaan ISPO, sementara negara-
respons terhadap sertifikasi sawit global (RSPO) negara Eropa awalnya justru memandang rendah
Uni Eropa. Pembentukan badan ­sertifikasi oleh keberadaan ISPO. Sikap itu kemudian berubah
kedua negara ini merupakan bukti peranan lantaran beberapa negara di Eropa justru men-
negara-negara berkembang, yang selama ini di­ dukung ISPO.
anggap lemah dan bergantung pada negara maju, ISPO merupakan standar harmonis untuk
ternyata cukup kuat dalam bernegosiasi dengan Indonesia karena sertifikasi melibatkan banyak
negara-negara maju seperti Uni Eropa. Kedua, peraturan di berbagai kementerian, antara lain
negara produsen ini membentuk kekuatan yang Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian,
lebih besar dengan menarik negara-negara pro- Kementerian Lingkungan Hidup, serta Kemen­
dusen sawit lain menghadapi negara konsumen terian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah,
Uni Eropa. Ketiga, aktor-aktor di kedua negara juga Badan Pertanahan Nasional (BPN).
melakukan diplomasi dagang tingkat tinggi Prinsip-prinsip keberlanjutan dan keadilan
­dengan Uni Eropa. sosial yang terdapat dalam RSPO juga ditemukan
Pertama, pembentukan sertifikat tandingan dalam ISPO. Dalam ISPO, ada instruksi atau
di Indonesia terjadi pada 2009, disebut Indonesian pro­­­sedur teknis pembukaan lahan baru yang
Sustainable Palm Oil (ISPO), diturunkan dalam ti­­dak boleh dilakukan dengan membakar, harus
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 19 Tahun mem­perhatikan konservasi lahan, lahan adat
2011. Sertifikasi ISPO ini bertujuan mendorong si­­tus sejarah, sumber air, lahan gambut, serta
usaha perkebunan kelapa sawit memenuhi ke- pe­laku usaha wajib melakukan studi kelayakan
wajibannya sesuai dengan peraturan perundang- dan analisis mengenai dampak lingkungan
undangan serta melindungi dan mempromosikan (­amdal). Pemerintah mewajibkan semua pemilik
usaha perkebunan kelapa sawit berkelanjutan perkebun­an sampai akhir 2014 memiliki ­sertifikat
sesuai dengan tuntutan pasar. Dilihat dari tujuan ISPO. Perbedaannya dengan RSPO adalah, per­
ini, terbukti ada nuansa politik, yakni bersaing tama, ISPO bersifat mandatory, memiliki sanksi,
dengan produsen minyak nabati lainnya di pasar sedangkan RSPO bersifat sukarela. Kontrol
internasional. Ada tujuh persyaratan perkebunan pe­me­rintah terhadap perusahaan sawit yang me­
kelapa sawit yang berkelanjutan versi ISPO, yaitu lang­gar persyaratan sertifikasi ISPO dilakukan
1) sistem perizinan dan manajemen kebun, 2) pe­ dengan memberikan sanksi, seperti penurunan
doman teknis budi daya dan pengolahan kelapa status perusahaan ke level yang lebih rendah dari
sawit, 3) pengelolaan dan pemantauan lingkungan, pada status sebelumnya. (Septiadi & Amri, 2014).
4) tanggung jawab terhadap ­pekerja, 5) tanggung Ketua Komisi Indonesia Sustainability Palm
jawab sosial dan komunitas, 6) pem­berdayaan Oil (ISPO) Rosdiana Suharto mengungkapkan
ekonomi masyarakat, serta 7) pening­katan usaha 153 perusahaan kebun mengajukan permohonan
secara berkelanjutan (Harsono, Chozin, & Fauzi, disertifikasi ISPO dan 40 di antaranya sudah
2012, 3). memi­liki sertifikat itu pada 2014. (“Baru 40

Erwiza Erman | Di Balik Keberlanjutan Sawit: Aktor, Aliansi ... | 7


­Pe­ru­­­sa­ha­an”, 2014). Pemerintah mem­berikan independen. Walaupun demikian, dengan status-
sanksi kepada perusahaan yang m ­ e­lang­gar keten- nya yang mandatory itu, sifatnya lebih mengikat.
tuan dalam sertifikasi dengan cara menurun­kan Sertifikasi tandingan ini juga dibuat oleh
level perusahaan dan bahkan akan melarang Malaysia—dikenal dengan Malaysian Sustain-
ekspor. (“Tahun depan CPO,” 2013) Sampai able Palm Oil (MSPO). Pembentukan sertifikasi
Agustus 2017, ada 306 sertifikat ISPO yang dise­ tandingan Malaysia ini diprakarsai oleh Menteri
rahkan kepada 304 perusahaan sawit, 1 kepada Industri Perkebunan dan Komoditas Malaysia,
asosiasi petani plasma, dan 1 kepada koperasi tani Datuk Amar Dourglas Unggah Embas, pada 2014
swadaya. Dilihat dari luas wilayah sawit Indo- (“Tangani cabaran beri,” 2016). Pembentukan
nesia, terdapat 16,7% dari 11,9 juta ha. Artinya, MSPO ini telah didahului berbagai penelitian dan
selama delapan tahun sejak pembentukan ISPO, uji coba di lapangan untuk kemudian menyusun
target sertifikasinya masih kecil (Nursyifani, prinsip-prinsip dan kriteria yang kemudian
2017). masuk MSPO. Sertifikasi “Green” untuk sawit
Pembentukan ISPO dapat dikatakan seba­ dari Malaysia ini diluncurkan pada 2015. Sam-
gai reaksi terhadap hambatan dan tekanan pai September 2017, 1.040 petani sawit sudah
memiliki sertifikasi MSPO. Pemerintah Malaysia
atas ekspor yang diterapkan RSPO. GAPKI
memberi target 2019 semua petani sawit (40%)
memberikan reaksi keras terhadap hambatan-
dan perusahaan sawit wajib memproses sertifikasi
hambatan tersebut, sekaligus menantang negara
MSPO (“Nineteenth Palmoil Clusters,” 2017).
konsumer. Reaksi keras itu terbukti dari adanya
rencana untuk menghentikan ekspor ke Eropa, Pembentukan ISPO dan MSPO oleh tiap
sebagaimana disuarakan oleh GAPKI Wilayah pemerintahan, baik oleh Menteri Pertanian Indo-
Sumatra. Misalnya, tekanan dua perusahaan nesia maupun oleh Menteri Industri Perkebunan
Eropa, Unilever dan Nestle yang tidak ingin dan Komoditas Malaysia, mempunyai status yang
meng­gunakan minyak sawit dari Indonesia berbeda dengan RSPO. Keduanya adalah bentuk­
untuk produk mereka. Sebagai negara penghasil an pemerintah yang memiliki legalitas/hukum
minyak sawit terbesar dunia, Indonesia masih dibanding dengan posisi sertifikasi perdagangan
memiliki pangsa pasar terbesar, seperti India dan melalui RSPO yang bukan bentukan pemerintah.
Cina serta negara-negara konsumer lain, seperti Sejumlah studi membuktikan berbagai kelemahan
Timur Tengah. Karenanya boleh dikatakan pe­ dan tidak efektifnya sertifikasi RSPO. Misalnya,
ranan Kementerian Pertanian mengeluarkan ISPO ada beberapa perusahaan di Kalimantan Tengah
adalah sebagai ‘tandingan’ RSPO dan merupakan yang telah memiliki sertifikat melanggar kriteria-
semangat nasionalisme di tengah persaingan da­ kriteria dalam sertifikasi RSPO. Dari kenyataan
gang internasional yang begitu kuat. ini, terbukti ada kesenjangan yang besar antara
pemantauan terhadap kepatuhan pada standar dan
Sebagai badan sertifikasi, ISPO tidak hanya tidak adanya mekanisme sanksi yang efektif.
memberikan sertifikasi, tetapi juga berperan se­
bagai ruang dialog di antara berbagai stakeholder, Kedua, selain membentuk sertifikasi tan­
antara pemerintah, perkebunan sawit, dan pihak ding­an, aktor-aktor di kedua negara produsen
terkait lain. Misalnya ruang dialog yang terjadi ini memperkuat diri serta memperluas aliansinya
pada Maret 2014, perusahaan pemegang sertifikat dengan menarik negara-negara produksi sawit
ISPO memfokuskan emisi gas rumah kaca ­se­bagai lainnya untuk bergabung menghadapi tuntutan-
salah satu bahasan utama dalam ­perkebunan tuntutan negara konsumen, Uni Eropa. Oleh
kelapa sawit yang berkelanjutan. Persoalan karena itu, aktor-aktor negara dari Indonesia dan
emisi gas rumah kaca adalah satu kritik yang Malaysia membentuk Dewan Penghasil Sawit
di­lontarkan TNGO terhadap perkebunan kelapa pada 2015. Pembentukan Dewan Penghasil Sawit
sawit Indonesia (“Upaya Industri CPO,” 2014). ini telah memperkuat kekuatan negosiasi negara-
Berbeda halnya dengan RSPO. Kementerian negara produsen, dengan Thailand, Vietnam,
Per­tanian membentuk ISPO ini tidak melibatkan Papua, Ghana, Nigeria, Brazil, dan Kolombia
lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan auditor menjadi anggotanya dan merupakan kelompok
negara produsen.

8 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


Ketiga, diplomasi tingkat tinggi antara Usaha-usaha untuk memperkuat aliansi dan
aktor-aktor negara dari Indonesia dan ­Malaysia posisi tawar-menawar dari negara produsen itu
dengan Parlemen Uni Eropa. Dalam rangka kemudian dilanjutkan pula dalam pertemuan-
menghadapi kampanye hitam yang dilancarkan pertemuan berikutnya di Indonesia. Pertemuan
oleh NGO internasional pada September 2012, ter­ s ebut semakin bertambah kuat, karena
Menteri Pertanian Indonesia Anton Apriyantono aktor-aktor baru yang berkepentingan dalam
serta Menteri Industri Perladangan dan Komoditi bidang perdagangan luar negeri, pertanian dan
Malaysia Datuk Peter Chin Fah Kui beserta de­ lingkungan, serta wakil Indonesia di luar negeri
legasi masing-masing berkunjung dan bertemu di (Duta Besar) untuk Belgia, Luksemburg, dan
Kedutaan Besar Republik Indonesia di Brussels, Uni Eropa, serta untuk Rusia. Selain aktor-
Belgia, 10 September 2012, guna menentukan aktor negara, aktor dari organisasi gabungan
langkah bersama menghadapi Uni Eropa dalam pengusaha sawit Malaysia dan Indonesia hadir,
isu kelapa sawit. Nadjib Riphat Kesoema, Duta yaitu Deputy Director General of Malaysian
Besar RI untuk Belgia, Luksemburg, dan Uni Palm Oil Board (MPOB), dan Direktur Eksekutif
Eropa, bertindak sebagai tuan rumah pertemuan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia
tingkat menteri ini, yang juga dihadiri oleh Duta (GAPKI). Pertemuan diadakan pada Oktober
Besar Malaysia Untuk Uni Eropa Datuk Hussein 2014. Aktor-aktor negara dan asosiasi yang
Hanif dan rombongan delegasi Malaysia lainnya. ­ha­dir merembuk­kan dan mempertemukan ide-ide
Pertemuan segitiga dengan sebagian anggota Par- mengenai be­berapa hal, antara lain mengenai
lemen Eropa di Brussels. Dari pihak Uni Eropa, kondisi persawitan di hulu, kepentingan negara,
pertemuan itu dihadiri oleh Milosvac Ouzky masyarakat petani, strategi, serta diplomasi per­
(Ketua), Eija Rita Korhola (Komite Lingkungan dagangan sawit oleh perwakilan Indonesia dan
dari Finland), Britta Thomsen (Partai Sosialis Malaysia di Eropa dan Rusia. Pertemuan tingkat
Denmark, anggota komisi Industri dan Energi tinggi itu menghasilkan tujuh rumusan penting.
sekaligus pelapor Kebijakan Energi Eropa), Dari perspektif ekonomi, kelapa sawit memberi-
serta Pierre Prebisch (Partai Sosialis Prancis) dan kan sumbangan penting untuk pemba­ngunan
Csaba Sogor (Partai Sosialis Rumania), keduanya ekonomi dan pengentasan masyarakat dari ke­
anggota komisi UE-ASEAN.
miskinan. Tantangan-tantangan yang dihadapi
Pada akhir pertemuan ini, aktor-aktor dari sawit dalam soal ketidakberlanjutan lingkungan
Indonesia dan Malaysia terbukti memiliki posisi dan sosial direspons dengan menerapkan skema
tawar-menawar yang kuat. Mereka mendesak ISPO dan MSPO untuk sawit Indonesia dan
Parlemen Uni Eropa bersikap terbuka dan Malaysia. Untuk ­mengurangi tantangan tersebut,
menerima masukan dari negara produsen. Di pemerin­ tah Indonesia mengajak stakeholder
satu sisi, pemerintah Indonesia dan Malaysia ­untuk memadukan persepsi positif serta menjalin
bersedia membuat studi bersama secara ilmiah komunikasi dan komitmen bersama melakukan
mengenai isu kelapa sawit dan dampak negatif advokasi minyak sawit di pasar global. Dalam hal
yang ditimbulkannya. Di lain sisi, Parlemen Uni ini, peranan Kementerian Perdagangan p­ enting
Eropa berjanji meneruskan pandangan itu ke menyiapkan dokumen nasional menghadapi
pemerintah dan menyatakan bahwa Uni Eropa isu-isu negatif sawit, sementara Kementerian
harus dapat membuat keputusan yang cerdas dan Pertanian bersama stakeholder terkait berusaha
objektif. Indonesia dan Malaysia mengeluarkan memperbaiki pengembangan industri sawit nasio­
Komunike Bersama, yang antara lain berisi sang- nal yang diterima di pasar internasional. Dalam
gahan terhadap kampanye negatif soal kelapa kaitan ini, pemerintah melakukan sosialisasi,
sawit hanya berdasarkan pada data sekunder komu­nikasi, dan kampanye positif di dalam dan
dan tidak berdasarkan pada studi lapangan. Oleh luar negeri serta menunjukkan kepada semua
karena itu, menurut negara produsen, Directives pi­hak tentang keberpihakan Indonesia dalam
on Renewable Energy tidak seharusnya menjadi keberlanjutan lingkungan dan sosial. Kehadiran
hambatan nontarif yang baru tanpa berdasarkan pihak Uni Eropa di industri sawit Indonesia
pada studi ilmiah. di­ha­ rapkan dapat memberi bukti komitmen
pemerintah Indonesia.

Erwiza Erman | Di Balik Keberlanjutan Sawit: Aktor, Aliansi ... | 9


Dilihat dari hasil pertemuan itu, Indonesia yang membiarkan deforestasi dan melanggar hak
dan Malaysia sebagai negara produsen merespons asasi manusia (Amri, 2017).
advokasi negatif melalui pembentukan sertifi- Sebagaimana pada tahun-tahun sebelumnya,
kasi sendiri (ISPO dan MSPO), ada usaha untuk terdapat respons bersama dari Indonesia dan
memadukan perspektif positif serta komitmen Malaysia dalam menghadapi resolusi sawit Parle-
bersama antara negara produsen dan konsumen. men Eropa ini. Resolusi tersebut pada gilirannya
Tampaknya pertemuan tingkat tinggi RSPO di
telah menimbulkan respons dari Indonesia dan
Jakarta ini terlihat saling membutuhkan antara
Malaysia. Kedua menteri perdagangan langsung
konsumen Eropa dan produsen. Apalagi posisi
membahas dan berkoordinasi soal isu-isu terse-
produsen semakin kuat karena ada tren pertumbu-
but, membentuk misi bersama untuk diplomasi
han permintaan minyak sawit di Rusia. Pada poin
dagang ke World Trade Center (WTC) di Eropa
terakhir, tampak Indonesia menantang pembeli
serta ke Uni Eropa melalui Council of Palm Oil
Eropa untuk menyaksikan sendiri kondisi dan
Producing Countries (CPOPC), yaitu dewan
industri minyak sawit Indonesia.
negara-negara penghasil sawit yang digagas oleh
Keempat, selain kedua negara produsen Malaysia dan Indonesia. Usaha-usaha itu untuk
melakukan strategi diplomasi dagang dengan menggalang kekuatan dengan negara produsen
pihak Uni Eropa, tiap negara produsen utama, lain, seperti Thailand dan Kolombia.
yakni Indonesia dan Malaysia, mencari berbagai
Di Indonesia, keluarnya resolusi sawit Parle-
cara untuk memuluskan perdagangan sawit yang
men Eropa itu telah menuai berbagai kritik dari
dihambat oleh kampanye hitam masyarakat sipil
aktor-aktor negara. Bukan hanya dari aktor-aktor
internasional di Uni Eropa. Indonesia, melalui
negara yang berkepentingan mengurusi sawit,
kedutaan besar di Brussels dan Den Haag,
seperti Menteri Pertanian, Menteri Perdagangan,
melakukan serangan balik dengan cara menyam-
paikan informasi yang berimbang tentang perke- dan Menteri Lingkungan Hidup, protes terhadap
bunan sawit Indonesia melalui pembuatan film, resolusi tersebut juga datang dari Presiden dan
pertemuan-pertemuan tentang sawit di Eropa dan Wakil Presiden. Pendapat yang mengemuka dari
mendekati lembaga swadaya masyarakat, seperti respons para aktor dari April sampai September
Friend of the Earth di Eropa, WWF, dan LSM lain 2017 adalah bahwa resolusi itu merupakan ben-
yang keras menyuarakan kampanye hitam sawit di tuk kampanye hitam dan politik diskriminatif
Eropa (Wawancara dengan Duta Besar RI di Brus- terhadap minyak nabati. Sebab, resolusi itu akan
sels dan staf ekonomi Kedutaan Besar Belanda, mendorong Uni Eropa menghilangkan peng-
2015). Pendekatan merangkul LSM merupakan gunaan minyak sawit dan secara terselubung
strategi aktor-aktor negara setelah usaha-usaha menghambat perdagangan sawit Indonesia dan
awal mereka tidak berhasil untuk “menjinakkan” Malaysia ke Eropa.
mereka. Sikap aktor-aktor negara mulai berubah, Pertemuan tingkat Menteri antara Malaysia
terlihat dari keluarnya kebijakan pemerintah dan Indonesia pada Mei 2017, yang dipimpin
menghentikan (moratorium) izin pembukaan Menteri Koordinator Perekonomian Darmin
perkebunan sawit baru kepada investor. Nasution serta Menteri Industri Perkebunan
Sampai April 2017, persoalan kampanye dan Komoditas Malaysia Datuk Sri Mah Siew
hitam di Eropa mulai tenang untuk sementara Keong bersama anggota negara produsen sawit,
waktu. Akan tetapi, kemudian Parlemen Eropa mempertegas sikap perlawanan negara produsen
memutuskan untuk persoalan keberlangsungan terhadap resolusi Parlemen Uni Eropa. Pertemuan
lingkungan dan keadilan sosial kembali men- berikutnya, 11 Agustus 2017, antara Menteri Luar
cuat ketika Parlemen Uni Eropa mengeluarkan Negeri Retno Marsudi dan Menteri Luar Negeri
resolusi sawit pada April 2017. Resolusi ini Malaysia Dato’ Sri Anifah Aman, di Jakarta,
sebenarnya mempertegas bentuk protes kedua
merupakan ancaman bagi perdagangan sawit
negara produsen utama biodiesel pada 2020.
Indonesia dan Malaysia karena Uni Eropa tidak
(Pertemuan Menlu Indonesia dan Malaysia,
akan membeli minyak sawit dari negara produsen
11 Agustus 2017). Aliansi Indonesia dan Ma-

10 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


laysia dalam pertemuan ini semakin diperkuat ton per ha per tahun, sementara minyak rapeseed
tidak hanya dalam bentuk menentukan langkah hanya 0,60 ton per ha per tahun, minyak bunga
yang sama menghadapi resolusi itu, tetapi juga matahari 0,52 ton per ha per tahun, dan minyak
membuat kerja sama baru (Joint Commission kedelai hanya memproduksi 0,45 ton per ha per
for Bilateral Cooperation/JCBC) dalam bidang tahun (“Prospek Industri Sawit,” 2018). Oleh
perdagangan dan investasi kelapa sawit. Kerja sebab itu, harga minyak nabati yang dihasilkan
sama di bidang perdagangan minyak sawit ini di Eropa kalah bersaing dengan minyak nabati
tentu akan memperkuat kekuatan tawar-menawar dari sawit. Mengenai seberapa jauh argumentasi
kedua negara produsen, Indonesia dan Malaysia, bantahan dari kedua negara, Indonesia dan Ma-
untuk mencari pasar minyak sawit baru. laysia, ini berhasil menegosiasi Parlemen Uni
Sejumlah alasan diberikan oleh aktor-aktor Eropa dan bagaimana dampak sertifikasi tunggal
negara produsen dalam membantah resolusi yang akan diterapkan Uni Eropa pada 2020 pada
Parlemen Uni Eropa tersebut. Menurut Menteri ekspor minyak sawit Indonesia dan Malaysia
Luar Negeri Indonesia, masalah deforestasi dan merupakan persoalan yang akan muncul pada
peningkatan emisi karbon yang disebutkan dalam masa mendatang.
resolusi itu sebenarnya tidak berdasar. Bahkan,
dari kajian Komisi Eropa tahun 2013, dari total SIMPULAN
239 juta ha lahan yang mengalami deforestasi
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa
secara global dalam kurun waktu 20 tahun, 58
keberlanjutan lingkungan dan keadilan sosial
juta ha terdeforestasi akibat sektor peternakan
merupakan prinsip utama dalam sertifikasi sawit
(livestock grazing), 13 juta ha dari kedelai, 8
global (RSPO). Lancar atau tidaknya ekspor
juta ha dari jagung, dan 6 juta ha dari minyak
minyak sawit dari negara eksportir utama, In-
sawit. Dengan kata lain, total minyak sawit dunia
donesia dan Malaysia, ke Uni Eropa ditentukan
hanya berkontribusi kurang-lebih 2,5% terhadap
oleh pemenuhan prinsip utama itu. Walaupun
deforestasi global (Pertemuan Menlu Indonesia
demikian, cara-cara perolehan sertifikasi RSPO,
dan Malaysia, 11 Agustus 2017). Resolusi Par-
selain hanya voluntary, masih mengandung ba­
lemen Eropa menggunakan data dan informasi
nyak kelemahan dan merugikan produsen sawit.
yang tidak akurat mengenai perkembangan mi­
Oleh karena itu, aktor-aktor negara produsen
nyak kelapa sawit dan manajemen kehutanan di
utama sawit yang terbukti tidak terkooptasi
negara-negara produsen minyak sawit, termasuk
Indonesia. Skema sertifikasi tunggal yang diusul- dengan RSPO membuat sertifikasi tandingan,
kan dalam Resolusi Parlemen Eropa berpotensi yakni ISPO di Indonesia dan MSPO di Malaysia.
meningkatkan unnecessary barriers to trade dan Kedua sertifikat tandingan ini bersifat manda-
kontraproduktif terhadap upaya peningkatan tory, memiliki sanksi hukum, dan, seperti RSPO,
kualitas sustainability minyak sawit. Indonesia mengutamakan prinsip keberlanjutan lingkungan
memiliki Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan keadilan sosial. Walaupun demikian, persoal­
yang bersifat mandatory dengan berfokus pada an ketidakberlanjutan lingkungan dan keadilan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Oleh sosial merupakan bahan kampanye gerakan
karena itu, rekomendasi Parlemen Uni Eropa mas­yarakat sipil di Eropa. Bahkan, pada April
untuk mengurangi penggunaan minyak sawit 2017, Parlemen Uni Eropa sendiri mengeluarkan
secara bertahap dalam resolusi itu sebenarnya resolusi sawit.
merupakan usaha memproteksi minyak nabati Aktor-aktor dari Indonesia dan Malaysia
yang mereka hasilkan. memperkuat aliansi dengan menyatukan langkah
bersama dengan negara-negara produsen sawit
Di balik resolusi Parlemen Uni Eropa,
lain dan memprotes resolusi sawit Parlemen Uni
terdapat politik proteksi minyak nabati yang
Eropa. Di balik ancaman Parlemen Uni Eropa
dihasilkan negara-negara di Uni Eropa. Produksi
tidak akan membeli sawit yang tidak memperhati-
minyak sawit jauh lebih tinggi dibandingkan
kan keberlanjutan lingkungan dan keadilan sosial,
minyak bunga matahari, minyak rapeseed, dan
terdapat politik proteksi dan persaingan dagang di
minyak kedelai. Minyak sawit memproduksi 4,27

Erwiza Erman | Di Balik Keberlanjutan Sawit: Aktor, Aliansi ... | 11


antara sesama minyak nabati lain yang diproduksi Hanya 19 perusahaan yang kantongi sertifikat sawit
negara-negara di Eropa. Aktor bersama aliansi lestari ala Indonesia. (2013). Diakses pada
dari negara produsen sawit lainnya menyatukan 6 Juli, 2017 dari https://finance.detik.com/
industri/d-2367636/hanya-19-perusahaan-
persepsi, membentuk kekuatan menghadapi yang-kantongi-sertifikat-sawit-lestari-ala-
politik diskriminatif Parlemen Uni Eropa. indonesia.
Harsono, D., Chozin, M. A., & Fauzi, A. M. (2012).
PUSTAKA ACUAN Analysis on Indonesian sustainable palm oil
(ISPO): A qualitative assessment on the success
Amri, Q. (2017, 7 April). Parlemen Uni Eropa keluar-
factors for ISPO. Manajemen dan Agribisnis,
kan resolusi pelarangan minyak sawit. Diakses
9(2), 39–48. Edisi Khusus. Juni 2012.
dari https://sawitindonesia.com/rubrikasi-
majalah/berita-terbaru/parlemen-uni-eropa- Hia, A.V., & Kusumawardani, N. (2016). Indonesian
keluarkan-resolusi-pelarangan-minyak-sawit/. sustainable palm oil (ISPO), a way to reach
the European union renewable energy directive
Badan Pusat Statistik (BPS). (2016). Statistik kelapa
(EU RED) 2009 and boosting indonesian palm
sawit Indonesia 2005 dan 2016. Jakarta.
oil market to european union (EU) 2009–2014.
Baru 40 Perusahaan Sawit Bersertifikat ISPO. (2014). AEGIS: Journal of International Relations,
Diakses dari https://bisnis.tempo.co/read/ 1(1), 1–21.
554146/baru-40-perusahaan-sawit-bersertifi-
Indonesian Sustainable Palm Oil Commission. (2012).
kat-ispo.
Indonesian palm oil in numbers. Ministry of
BKPM dorong Malaysia investasi di Industri Pengo- Agriculture of Republic Indonesia. Jakarta.
lahan sawit. (2016, 29 April). Diakses pada 20
Koh, L.P. (2008). Can oil palm plantations be made
Agustus 2017 dari https://economy.okezone.
more hospitable for forest butterflies and birds?
com/read/2016/04/29/320/1376568/bkpm-
J. Appl. Ecol, 45, 1002–1009.
dorong-malaysia-masuk-industri-pengolahan-
perkebunan. Marcus, C. (2006). Promised land: Palm oil and land
acquisition in Indonesia: Implication for local
Erixon, F. (2012). The rising trend of green protec-
communities and indigenous peoples. forest
tionism: Biofuels and European Union. ECIPE
peoples programmers. Perkumpulan Sawit
Occacional Paper No. 2. Brussels.
Watch, Forest Peoples Programme Huma, dan
Fuady, H.A., Widyatmoko, B., Mulyasari, P.N., & The World Agroforestry Centre.
Erman, E. (2014). Sertifikasi biofuel dan kelapa
Marti, S. (2008). Losing ground: The human rights
sawit Indonesia. Policy Brief, 5/2014. P2SDR-
impacts of oil palm plantation expansion
LIPI. Jakarta: LIPI Press.
in Indonesia. Friends of the Earth. London,
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia LifeMosaic, Edinburgh, UK, and Sawit Watch,
(GAPKI). (2017). Refleksi industri sawit 2016 Bogor, Indonesia.
dan prospek 2017. Diakses pada 25 Desember
McCarthy, J. (2010). Processes of inclusion and
2017 dari https://gapki.id/news/1848/refleksi-
adverse incorporation: Oil palm and a­ grarian
industri-kelapa-sawit-2016-prospek-2017.
change in Sumatra, Indonesia. Journal of
Geibler, J. von. (2010). Non-governmental standard ­Peasant Studies, 37(4):821–50.
development and certification for palm oil:
Nineteen palm oil clusters get MSPO certifica-
Ecosystem services and local administrators
tion. (2017, 5 Oktober). Diakses dari
in the cases of the roundtable on sustainable
https://www.thestar.com.my/business/business-
palm oil (RSPO). Diakses pada 1 November
news/2017/10/05/nineteen-palm-oil-clusters-
2014 dari http://img.teebweb.org/wp-content/
get-mspo-certification/#hTaS0IoiaoaZU6eV.99
uploads/2013/01/Palm-Oil-Certification-
Indonesia.pdf. Nineteenth Palmoil Clusters Get MSPO Certification.
(2017, 5 Oktober). The Star online.
German, L., & Schoneveld, G. (2011). Social sustain-
ability of EU–Approved voluntary schemes for Nursyifani, B.C. A (ed). (2017, 29 Agustus).
biofuels: Implications for rural livelihoods. Sertifikasi ISPO baru 16,7% dari total kebun
Bogor: Cifor. sawit. Diakses dari http://industri.bisnis.com/
read/20170829/99/685150/sertifikasi-ispo-
German Development Institute. (2012). Sustainability
baru-167-dari-total-kebun-sawit.
Standards and certificate–towards sustainable
palm oil in Indonesia. Briefing paper 9/2012. Pasar sawit India masih sangat menjanjikan. (2016,
11 Oktober). Investor Daily.

12 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


Pentingnya ISPO bagi standar sawit nasional. (2011, Tangani cabaran beri kesan kepada industri minyak
13 April). Investor Daily. sawit-Uggah. (2016, 2 Februari). Diakses dari
Pertemuan menlu Indonesia dan Malaysia bahas isu https://www.bharian.com.my/node/120534.
kelapa sawit. (2017). Diakses pada 3 September Tangani cabaran beri kesan kepada industri minyak
2017 dari https://www.tempo. co/read/ news, sawit–Uggah. (2016, 2 Februari). Bisnis
/2017/08/11/118899223/. Ha­rian.
Produksi sawit Malaysia salip Indonesia di 2020. Upah tinggi bukan alasan utama TKI cari kerja di
(2012, 20 Februari). Investor Daily. Malaysia. (2014, 28 April). Liputan 6.
Prospek Industri Sawit 2018 semakin berkilau. Upaya industri CPO kurangi gas rumah kaca. (2014,
(2018). Diakses pada 21 Desember 2017 dari 24 Maret). MetroTV News.
https//gapki.id//news/3945/prospek-industri Varkkey, H. (2016). The haze problem in southeast
sawit2018-semakin berkibar. asia: Palm oil and patronage. New York,
Pye, O. (2010). An analysis of transnational environ- London: Routledge.
mental campaigning around palm oil. Journal Voge, Ann-Kathrin, & Hutz-Adam, F. (2014). Analisa
of Peasant Studies, 37(4). minyak kelapa sawit berkelanjutan-tuntutan
Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). (tt). atau realitas?; Potensi dan keterbatasan
Di­akses pada 3 April 2014 dari https://www. RSPO. Berlin: Bread for the World, Protestant
sustainablepalmoil.org/certification-schemes/ Development Service, 17–20.
the-roundtable-on-sustainable-palm-oil-rspo/. Widyaningtyas, D., & Widodo, T. (2016). Analisis
Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). (tt). pangsa pasar dan daya saing CPO Indonesia
Types of Membership-Roundtable on Sustain- Uni Eropa. Jurnal Ekonomi dan Manajemen
able Palm Oil. “How to Apply-Roundtable on Sumber Daya, 18(2), 139.
Sustainable Palm Oil. Diakses pada April 2014 Wilmar International Limited. (2016). Kelompok
dari http://www.rspo.org. petani kelapa sawit swadaya terbesar di dunia
Septiadi, A. & Amri, Q. (2014). ISPO mengatur tata mendapat sertifikat RSPO. Diakses pada 10
kelola sawit berkelanjutan. Sawit Indonesia, Juli 2017 dari http://www.wilmar-international.
3(33): 14–27. com/wp-content/uploads/2016/08/Largest-
Tahun depan CPO illegal terlarang diekspor. (2013, Independent-Group-Certification-BAHASA-
15 November). Kompas. FINAL.pdf

Erwiza Erman | Di Balik Keberlanjutan Sawit: Aktor, Aliansi ... | 13


14 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 
CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY, SOCIAL CAPITAL
AND SUSTAINABLE DEVELOPMENT: LESSONS FROM AN
INDONESIAN PALM OIL COMPANY*
Risa Bhinekawati
Lecturer of Entrepreneurship Program, Universitas Agung Podomoro

ABSTRAK
Tulisan ini menunjukkan bahwa program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dari suatu perusahaan
kelapa sawit dapat membangun modal sosial yang berkontribusi pada pencapaian sasaran pembangunan
berkelanjutan (SDGs). Dengan menggunakan metode riset kualitatif dan studi kasus eksploratif, penelitian ini
menyelidiki mengapa dan bagaimana suatu perusahaan memperbaiki kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup
melalui pemberdayaan petani kecil dan pembangunan modal sosial bagi masyarakat di sekitar perkebunan kelapa
sawit sejak 1992 hingga 2011. Sebuah perusahaan kelapa sawit besar dipilih sebagai studi kasus berdasarkan pada
kriteria “exemplary case study”. Penelitian ini membangun model teori berdasarkan pada analisis data primer dan
sekunder yang didapat dari dokumen perusahaan, catatan media, wawancara dan observasi. Program CSR yang
dilakukan perusahaan didorong oleh tujuan strategis untuk memenuhi kebutuhan bisnisnya dengan memecahkan
masalah sosial dan lingkungan hidup di sekitar perkebunan. Melalui program pemberdayaan petani kecil,
perusahaan membangun modal sosial melalui peningkatan hubungan baik, peningkatan kemampuan manajemen
dan teknis, serta pemberian akses keuangan dan pasar bagi petani. Dengan demikian, petani dan perusahaan
dapat bekerja sama untuk mencapai tujuan ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup. Tulisan ini membangun model
teori dengan menghubungkan konsep CSR, modal sosial, kesinambungan perusahaan, dan SDGs yang terhubung
di penelitian sebelumnya.

Kata kunci: Indonesia, modal sosial, perkebunan kelapa sawit, petani kelapa sawit, pembangunan berkelanjutan,
tanggung jawab sosial perusahaan

ABSTRACT
This paper reveals that corporate social responsibility (CSR) programs of a large palm oil company can actually
build social capital that contribute to sustainable development goals (SDGs). Using an exploratory qualitative
case study, this study investigates why and how a company improves social, economic, and social conditions of
communities surrounding its palm oil plantations through smallholder farmers empowerment and social capital
development, from 1992 to 2011. A case study of a sustainable palm oil company in Indonesia was chosen as an
exemplary case study for theoretical or purposive sampling. Primary and secondary data from company documents,
media records, interviews and observations were analysed to develop a theoretical model. The study finds that the
CSR program is driven by company’s strategic intention to fulfill their business needs by solving the social and
environmental issues surrounding its palm oil plantations. Through smallholder farmers’ development program,
the company builds social capital that improves social relationship, farmers’ capabilities, and farmers’ access to
finance and market; so they are capable to act collectively with the company to achieve economic, social, and
environmental performance for both the farmers and the company. This research has created linkages for previously
disparate areas of academic enquiry by showing the actual interrelationships between CSR, social capital, corporate
sustainability and SDGs.

Keywords: Indonesia, Corporate social responsibility, Palm oil plantations, Smallholder farmers, Social capital,
Sustainable Development Goals

*This paper has been presented at the Academic Forum Sustainability I, organised by the Research Center for Regional Resources
LIPI, the Foundation for Indonesian Inspiration, and Centre for Inclusive and Sustainable Development (CISDEV) Prasetiya
Mulya University, Jakarta, January 31, 2017.

15 
INTRODUCTION tion companies, and worsening infrastructure
Indonesia is a large developing country with (­Gillespie, 2012, 263; McCarthy, et al., 2012,
255.2 million people (BPS, 2015) living in the 555). Furthermore, Gillespie (2012) posits that, in
archipelago. Her land is well suited for palm oil conditions where government oversight is weak,
plantations, which have generated opportunities, good corporate governance practices become
but also challenges, for poverty eradication in essential for companies to affect local commu-
the country (Paoli et al., 2013). As at 2010, the nities positively. Indeed, Indonesia needs large
Indonesian palm oil sector employed 3.06 million plantation companies to farm palm oil sustainably
workers, with 2.7 million of them being involved to build the prosperity of local people, and to
directly in the plantations. Smallholders owned preserve the environment and contribute to the
3.2  million hectares, or 46% of all plantations overall economy of the country.
(Infosawit, 2011). Thus, the palm oil industry The above discussions call for a thorough
has become an engine for poverty reduction in study about the actual roles of large palm oil
Indonesia (Infosawit, 2011). Moreover, compared companies in Indonesia and the process under
to other vegetable oils such as sunflower, soy which CSR programs build social capital that
or canola oil, palm oil is considered the most contributes to corporate sustainability and pros-
environmentally friendly, because palm oil plan- perity of people in the countries in which they
tations absorb more carbon dioxide (CO2) due operate. Hence, this paper aims to investigate
to the trees’ life span of 25–30 years, their large the actual role of a company in contributing to
canopy, and their perennial leaves (Handadhari, sustainable development of Indonesia. Besides,
2010, 23). this paper explore the interrelations between CSR
However, despite its contributions to the programs, social capital, corporate sustainability
Indonesian economy, the palm oil industry has and sustainable development, which are not clear
also generated a range of environmental and in the current literature, as shown in the literature
social issues, such as environmental pollution, review below.
social tensions, the breakdown of local social
structures (Gillespie, 2011, 2012; McCarthy, THEORY AND METHOD
2010; McCarthy, Gillespie & Zen, 2012). The
poor conditions of smallholder farmers create a. Theoretical framework
potential failure for the sustainable supply chain A review of literature on the roles of roles of
of palm oil (McCarthy et al., 2012, 555). Unsus- companies in contributing to sustainable develop-
tainable practices of palm oil plantations cause ment goals of developing countries has found four
severe impacts on environmental degradations concepts which are overlapping and that need to
and loss of biodiversity (Edwards, 2005) as well be clarified. The four concepts are 1) sustainable
as an anticipated future poverty for local com- development; 2) corporate social responsibility
munities and smallholders of (CAO, 2009, 21). (CSR); 3) social capital, and 4) corporate sustain-
Gillespie (2012) further argues that CSR ability, which are defined as follows.
programs in the Indonesian palm oil industry
have been merely cosmetic, as many companies b. The Concept of CSR and Its
do not practice good corporate governance, es- Relevance to Sustainable Development
pecially in the vacuum of government oversights of Developing Countries
in enforcing regulation (Gillespie, 2012, 263).
Definitions of CSR have evolved over time. This
Results of recent academic studies on CSR and
research uses Carroll’s definition, which was
corporate governance on palm oil plantations are
developed in 1979 based on his comprehensive
concerning. The presence of large-scale palm oil
literature review of CSR concepts published from
companies has created social and environmental
the 1930s to the 1970s. From his review, Carroll
issues, such as conflicts over land ownership (1979) suggests this overarching definition: ‘the
agreements, indebted smallholders to planta-

16 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


Table 1. Operational Definitions of Sustainable Development, CSR Programs, Social Capital and Corporate Sus-
tainability
Concepts under study Operational definitions
Sustainable development ‘development which meets the needs of the present without compromising the
ability of future generations to meet their own needs’ (Brundtland, 1987, p.8) or
‘simultaneous pursuit of economic prosperity, environmental quality and social
CSR equity’ (Elkington, 1997, p. 397).
‘the social responsibility of business encompasses the economic, legal, ethical,
and discretionary expectations that society has of organisations at a given point
in time’ such responsibilities should be integrated into corporate actions (Car-
roll, 1979, p.500).
Social capital The resources or capabilities that are generated through a ‘durable network or
relationships of mutual recognition’ (Bourdieu, 1986) that facilitate cooperation
and collective action (Coleman, 1990; Putnam, 1995), which generate positive
outcomes (Uphoff, 2000). It consists of bonding, bridging (Szreter & Woolcock,
2004, pp. 654– 655) and resources embedded in network ties (Lin, 1999a, . 33)
Corporate sustainability ‘Simultaneous achievement of economic, social and environmental performanc-
es of the company so-called a “triple bottom line”’ (Elkington, 1997, p. 397)’.

social responsibility of business encompasses responsibilities (Visser, 2009, 11). Economic


the economic, legal, ethical, and discretionary contributions are the most important for develop-
expectations that society has of organisations at a ing countries because such countries still suffer
given point in time’ (Carroll, 1979, 500). Overall, from high unemployment and widespread poverty
authors argue that CSR is contextual. Aguinis (Visser, 2009, 11). Philanthropic contributions
and Glavas (2012) developed a new definition come second because society would expect
of CSR that relates to sustainable development companies to provide voluntary contributions
and corporate sustainability as ‘context specific to society, and sometimes, contributions are
organisational actions and policies that take into also considered norms of ‘the right thing to do’.
account stakeholder’s expectations and the triple Legal responsibilities are difficult to implement
bottom line of economic, social, and environmen- because the legal infrastructures in developing
tal performance’ (Aguinis & Glavas, 2012, 2). countries are still underdeveloped, with lack of
Their definition has also been used by Aguinis enforcement by the government (Visser, 2009,
(2011), Rupp (2011), and Rupp, Williams and 11). Lastly, ethical responsibilities are the most
Aguilera (2010). In the context of developing difficult to achieve for companies operating in
countries, the CSR definition which is commonly developing countries, which still suffer from
used was developed by Visser (2009) who defines high levels of corruption and bad governance
CSR as ‘the formal and informal ways in which (Visser, 2009, 11). Most developing countries
business makes a contribution to improving the have very poor performance in Transparency
governance, social, ethical, labour, and environ- International’s corruption index (Visser, 2009,
mental conditions of the developing countries in 11). Visser (2009) suggests improvements in
which they operate, while remaining sensitive ethical and legal responsibilities in developing
to prevailing religious, historical and cultural countries because good governance in both public
contexts’ (Visser, 2009, 1). In developing coun- and private sectors will become the foundation of
tries, Carroll’s 1979 CSR pyramid model is still an enabling environment for responsible business
relevant. Visser (2006, 2009) uses the model to in developing countries (Visser, 2009, 12). The
analyse the priorities of corporate responsibility above review leads to the increasing demand
in the context of a developing country, especially for large companies to operate responsibly and
in South Africa. Visser (2009) finds that economic contribute to sustainable development of develop-
responsibility becomes the most important prior- ing countries. To do so, London and Hart (2004)
ity, followed by philanthropic, legal, and ethical suggest that companies investing in low-income

Risa Bhinekawati | Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, ... | 17


markets should focus on building connections To analyse the extent of social capital, Lin
between ‘formal and non-formal economies that (1999a) suggests that researchers should focus
involve leveraging the existing social capital in on the amount of network resources such as
the countries where they operate (London & Hart, wealth, power, and status of others which can be
352). The following section discusses the concept accessed by individuals in the network; contact
of social capital in more detail. statuses, like contacts’ positions and authority;
network bridges; and the strength of network
c. The Concept of Social Capital ties (Lin, 1999a, 37). However, because of the
large amount of investment required to build
Social capital theorists in general see social and maintain social capital, investment in social
capital as the resources or capabilities that capital may be considered risky by organisations
are generated through a durable network or (Adler & Kwon, 2002, 30). Potential risks of
relationships of mutual recognition (Bourdieu, social capital are the exclusion of people outside
1986) that facilitate cooperation and collective the network to capture the resources, the ‘free
action (Coleman, 1990; Putnam, 1995; Uphoff, riders’ who get the resources in the network
2000) towards positive outcomes (Uphoff, 2000). without having to do anything (Portes, 1998,
Besides the ‘structure of the ties’, the source of 18), and ‘over dependency on focal actors’ (Uzzi,
social capital comes from the ‘content of the 1997, 59). Therefore, actors should consider the
ties’ (Adler & Kwon, 2002, p. 23), such as trust, relative cost and benefits of social investment,
shared norms and beliefs (e.g., Fukuyama, 1995; ­including understanding the complexity of the
Uphoff, 2000). The structure and content of the social structure in which the social capital is
network ties generate social actions (e.g., Adler ­embedded (Nahapiet & Ghoshal, 1998). The
& Kwon, 2002; Coleman, 1990; Fukuyama, following section discussess social capital as one
1995; Putnam, 1995). Lin (1999a) argues that of five capitals in corporate sustainability.
that social capital consists of three components.
The first component is the resources embedded
in a social structure; second, the accessibility of d. The Concept of Corporate
the resources to individuals; and third, the use Sustainability and Its Relevance to
or mobilisation of individuals in the network for Sustainable Development
purposive actions (Lin, 1999a, 39). Individuals Corporate sustainability is ‘the simultaneous
in the network should make investment to build achievement of the company’s economic, social
their social capital (Lin, 1999a, 35) because the and environmental performance’ (Elkington,
amount of social capital they possess depends 1997, 397). Furthermore, Hart, Milstein and
on the size of network ties they can mobilise Caggiano (2003) define a sustainable enterprise
and the volume of resources they can access as an enterprise that ‘contributes to sustainable
from themselves and from others in the network development by delivering simultaneously eco-
(Bourdieu, 1986, 249). Players with a ‘well- nomic, social, and environmental benefits—the
structured network’ will obtain higher benefits so-called triple bottom line’ (Hart et al., 2003,
from that network (Burt, 1992, 60). Social capital 56). Furthermore, Porrit (1997, 183) argues that
is both a collective and individual good, and the for companies to be sustainable, they should
‘institutionalized social relations with embedded ­ba­lance the accumulation of the total stock of
resources’ which consists of economic, political, five capitals, which include financial capital, hu-
cultural and social connections of members in the man capital, social capital, environmental capital,
network are expected to benefit individuals and and manufactured capital. Therefore, corporate
the individuals in the collective (Lin, 1999a, 33). sustainability can be achieved if the company
Lin (1999a) further conceptualises social capital simultaneously delivers its economic, social,
as embedded resources and that network locations and environmental performance (Elkington,
are assets that can be captured by individuals in 1997, 297) or maintains the total stock of five
the network (Lin, 1999a, 37). capitals (Porritt, 2007). By achieving corporate

18 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


sustainability performance consistently, a com- Lockett, Moon & Visser, 2006; Mahoney, et al.,
pany contributes to sustainable development 2009), as well as on CSR frameworks or models
as it ensures that the corporate activities do not that are applicable for developing countries
jeopardize the ability of future generations to (Visser, 2009). There is also a need for multiple
meet their needs (Brundtland, 1987; Elkington, levels of analysis of the roles of corporate leaders
1997). from CEO to field managers in implementing
CSR (Waldman, Siegel, Javidan, 2006) that are
e. Research Objectives, Research Gaps contextualised to address the needs of the poor
and Research Questions (Prieto-Carron, Lund-Thomsen, Chan, Muro,
& Bhushan, 2006). The first research question
From the literature review, the following research generated from the first research gap is: Why do
objectives and gaps are identified that require companies decide to play a role in contributing to
further research. This research has two broad ob- sustainable development in developing countries
jectives. Firstly, this research aims to investigate
through their CSR programs?
the actual role of a company in contributing to
sustainable development in a developing country. Secondly, there is a gap in the research that
Secondly, this research aspires to explore why shows the process by which CSR as an input
and how the concepts of sustainable development, generates corporate sustainability performance
CSR programs, social capital, and corporate sus- as an expected outcome (Aguinis & Glavas,
2012). Although research has been conducted on
tainability are interrelated and evolve over time.
the ‘business case’ for CSR, trying to show the
The research objectives can be achieved by linkage between CSR investment and corporate
filling the four search gaps and answers the sub- sustainability (Elkington, 1997; Hart, et al., 2003;
sequent research questions. Firstly, CSR in devel- Porritt, 2007; Porter & Kramer, 2006; WBCSD,
oping countries is under-researched, particularly 1999), the results have been inconclusive. For
regarding the roles of companies in contributing example, there have been tensions between the
to sustainable development (Fukukawa, 2014; international codes of conduct and CSR guide-
Valente & Crane, 2009; Visser, 2009). This is lines such as ISO 14000, GRI, and SA8000 and
especially the case in regard to companies playing their implementation in developing countries
extended roles in building the capabilities of low- (Lund-Thomsen & Lindgreen, 2014; Millington,
income people along their supply chain (Ansari, 2009). Despite certifications obtained by an
Munir & Gregg, 2012; Scherer & Palazzo, 2011; MNC and its local suppliers, communities still
Scherer, et al., 2009), so that the company and suffer from social and environmental impacts,
the community can co-create value to achieve such as pollution from the tanning industry in
the economic, social and environmental goals of Pakistan (Lund-Thomsen, 2004), tax avoidance
the company while also improving the livelihood in Africa (Idemudia, 2011), unwillingness of
of the community (Ansari, et al., 2012; Kirch- MNCs more broadly to share the cost for their
georg & Winn, 2006; London & Hart, 2004). suppliers’ compliance in China (Yu, 2008), and
In addition, companies in developing countries banana plantations in Nicaragua (Prieto-Carron,
have to operate in an environment where govern- 2006). Further empirical research is needed to
ments have a lack of accountability and social fill the research gap. The research question that
responsibility. Such situations generate questions arises from the second research gap is: How
about the extent to which companies should play does a company formulate and implement CSR
political roles in such a challenging environment programs to address social issues strategically?
(Visser, 2009; De Oliviera, 2006). Such gaps Thirdly, in the area of social capital devel-
generate the need for empirical research on the opment, there is a need for qualitative research
corporate motivations, structure and governance that may inform us about how business creates
that enables companies to generate sustainable social capital for poor communities that generates
value for themselves and prosperity for society capability transfer (Ansari, et al., 2012). Ansari et
(Ansari, et al., 2012; Scherer & Palazzo, 2011; al. (2012, 836) also call for research that can pro-

Risa Bhinekawati | Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, ... | 19


vide more knowledge about ­complementarities To conclude, the above discussion of re-
between bonding and bridging social capital in search gaps and the research questions call for
improving the livelihood of poor communities. a thorough study of the linkages between CSR
Actually, Russo and Perrini (2010) have used the programs, social capital, corporate sustainability,
social capital concept to explain CSR programs of and sustainable development. The literature re-
SMEs and stakeholder theory to explain the CSR view has also situated the need for research that
programs of large companies. However, there is can explore the process by which CSR programs
still a need for further research that integrates build social capital that contribute to corporate
stakeholder theory and social capital theory to sustainability, thereby improving the livelihood
help managers develop sustainable strategies in of society in a developing country.
both SMEs and large companies (Russo and Per-
rini, 2010, 207). There is a demand for research on f. Research methodology
the strategic benefit of stakeholder management
for large public listed firms (Laplume, Sonpar, & Based on the literature review, the linkages be-
Litz, 2008), as well as into how social capital is tween the concepts of sustainable development,
developed to expand family firms (Zahra, 2010). CSR, social capital and corporate sustainability
The overarching research question to answer the can be developed. It can be argued that the driv-
third research gap is: How do a company’s CSR ing force behind the company’s CSR program
programs develop social capital? is the company’s aspiration in contributing to
sustainable development by solving social issues
Finally, there are research gaps on the link-
while fulfilling its business needs and achieving
ages between social capital development and the
its corporate aim. Such a driving force triggers the
improvement in the livelihood of poor people.
company to conduct CSR programs strategically,
Granovetter (2005) suggests that the linkages
by embedding CSR into its corporate strategy
between the economy and non-economic side of
and operations. During the implementation of
social life remain unclear. He argues that social
CSR programs, social capital with internal and
capital can explain this linkage, and he calls
external stakeholders is developed. Eventually,
for research to show the linkages (Granovetter,
social capital is thought to contribute to corpo-
2005, 47). Such research is needed by the private
rate sustainability. In return, the simultaneous
sectors and SMEs in promoting social actions
achievements of a company’s economic, social
that contribute to poverty reduction (Fox, 2004),
and environmental performance will loop back
as companies are still struggling to justify social
to sustainable development. The theoretical
initiatives with economic logic (Margolis &
linkages can be amalgamated into the theoretical
Walsh, 2003). There is a need for research that
framework in Figure 1.
can explain the co-evolution between social
capital and social structure, particularly about the The theoretical model in Figure 1 needs to be
creation of opportunity, motivation, and abilities compared with empirical evidence to explain the
for focal actors and for others (Adler & Kwon, linkages between CSR programs, social capital,
2002), and the interrelations between actions and corporate sustainability and poverty eradication
development of social structures (Portes, 1998). (sustainable development) in the palm oil com-
For example, in the case of micro credit in devel- pany. As discussed in previous section, the four
oping countries, there are still questions on how research questions based on the research gaps
social connections, trust and culture between poor four research questions have been developed to
people and the institutions that provide the credit investigate the linkages and achieve research
schemes evolve over time (Van Bastaelaer, 2000). objectives.
The research question that can be generated from Using Patton’s (1990) criteria of theoretical
the fourth research gap is: How does the social or purposive sampling, an ‘extreme or deviant
capital developed by a company’s CSR programs case’ can be chosen as a single case study as long
contribute to its corporate sustainability? as it has the ‘intensity’ of the phenomena under
study (Patton, 1990, 171), that is, the linkages

20 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


Source: Bhinekawati (2017, 48)
Figure 1. Theoretical Framework: The Interrelationships between Sustainable Development, CSR Programs, Social
Capital and Corporate Sustainability

between sustainable development, CSR, social Finally, PALMOIL has conducted CSR program
capital and corporate sustainability. Accordingly, to develop the smallholder farmers of palm oil
this research is designed as a single qualitative plantations (the smallholders program) since 1992
case study (Yin, 2009; Eisenhardt, 1989), with which provides longitudinal data to analyse why
an exemplary company as the case study. The and how the concepts of sustainable develop-
adoption of a case study approach is consistent ment, CSR programs, social capital and corporate
with other empirical studies of CSR in other sustainability evolve over time. Secondary data
developing economies conducted by other re- were gathered by conducting desk research of
searchers like Bradly (2015), Idemudia (2011), company documents and archival records to trace
Jamali (2007), Prieto-Carron (2006), and Yu the development of the company’s smallholders
(2008). Based on Patton’s (1990) criteria, a large program for over 20 years. The primary data were
palm oil company (deidentified as PALMOIL) is derived from in-depth interviews with corporate
chosen as a case study for several reasons. Firstly, players and CSR program beneficiaries about
on the contrary to the findings of many case stud- the company’s motivation and the process under
ies on the impact of palm oil plantations (e.g. which the CSR program built social capital that
Gillespie, 2012), PALMOIL has been selected contributed to poverty eradication. A total of 31
as one of 25 responsible and sustainable public- informants were interviewed individually or as
listed companies in 5 consecutive years (2009 a group with duration between 15 minutes to 2
to 2014) (Kehati, 2015). Secondly, PALMOIL hours per interview. Respondents consisted of 16
manages large palm oil plantations, employing palm oil farmers; management of parent company
more than 60,000 employees with a total of more (7 respondents); management and field officers
than 200,000 hectares of palm oil plantations of the company (8 respondents).
in Indonesia, consisting of company-owned The steps of data analysis being ­implemented
‘nucleus’ estates, and smallholder estates through in this study include: analytical chronology,
various cooperation programs with the company within-case analysis; pattern matching, and ex-
(PALMOIL, 2012). In other words, around 20% planation building (Eisenhardt, 1989, 540). After
of the company’s plantations are conducted in within-case analysis was done, the empirical
partnership with local communities which pro- findings were compared with the theoretical
vide fertile data to answer the research questions. framework through ‘pattern matching’ (Yin, 2009,

Risa Bhinekawati | Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, ... | 21


Source: Bhinekawati, based on data analysis of the case study

Note: SHP: Smallholder Program; MFI: Micro Finance Institutions


Figure 2. Historical Summary of the Linkages between Driving Forces, CSR Programs, Social Capital, and Cor-
porate Sustainability of the Smallholders Program

22 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


136). This is known as analytical generalisation issues such as poverty and income disparity sur-
(Meyer, 2001, 347) where a previously developed rounding palm oil plantations. PALMOIL leaders
theoretical framework is used as a template with realise that the plantations cannot survive in the
which to compare the empirical results of the case long term if its operations do not bring prosper-
study (Yin, 2009). ity to local communities and do not preserve the
By providing an understanding of the pro- earth for palm oil to grow, as stated by Director
cesses under which CSR programs lead to social of the company:
capital development that contributes to poverty
What you should understand … the nuance of CSR
eradication over time, this research provides
in PALMOIL is a bit different with the nuance
new connections among the concepts (Corley & of CSR in other subsidiary companies … Why,
Gioia, 2011) of sustainable development, CSR first, because PALMOIL exists in the middle of
programs, social capital and corporate sustain- communities which are directly impacted by our
ability which are lacking in the extant literature, business operations … We and the communities
thereby filling the research need regarding the are impacting each other. And secondly, our
plantations are there for a very long period of
roles of large companies in alleviating poverty
time, forever. So, this is what differentiates us. We
in developing countries (Ansari, et al., 2012; touch people’s lives directly. And the third, this
Scherer & Palazzo, 2011). is also important: PALMOIL’s plantations do not
only employ the people, but also provide places,
facilities, etc. The facilities include housing,
FINDINGS electricity, water … all kinds of infrastructure...
From the start of the program in 1992, the his- (PALMOIL, 2011, line 63–83)
tory PALMOIL’s CSR program can be divided
into four episodes: 1) Regulatory compliance to As such, when PALMOIL decided to run
develop plasma farmers (1992–2002); 2) CSR a palm oil plantation business, the leaders have
program without a link to the company’s supply decided that PALMOIL should care for the en-
chain (2002–2004); 3) CSR program linked with vironment as well as to provide social goods and
supply chain (2004–2008); and 4) comprehensive infrastructure in the absence of public facilities
local economic development (2008 onwards). from government, such as housing, schools and
The results of data analysis from the smallhold- health facilities for employees and communities.
ers program of PALMOIL from 1992 to 2011 PALMOIL was the first to implement parent
(which is forecasted to 2020, the year when company’s guidelines to make sure that its op-
PALMOIL’s parent company aspires to be an erations are conducted in a sustainable way. The
integrated sustainable company in Indonesia) can triple bottom line visions of parent company are
be summarised as Figure 2. translated into PALMOIL’s vision and mission
Figure 2 explains how the concepts of to be the world’s most productive and innovative
sustainable development, CSR programs, social agro-based industry and to contribute signifi-
capital and corporate sustainability evolve over cantly to Indonesia’s development and prosperity.
time in the case study. Because of the clear alignment between corpo-
rate aim, philosophy, vision, and mission, it is
then possible for the company to invest in the
a. Sustainable development and CSR smallholders programs as a strategic, long-term
program investment to solve common challenges facing
As shown in Figure 2, desk research and inter- the palm oil companies in Indonesia.
views with the management of PALMOIL and its
parent company confirmed that the smallholders b. CSR program formulation and
program was inspired by the corporate aim to be implementation
sustainable with Indonesia. The research finds
that the corporate aim drove PALMOIL leaders Figure 2 reveals that the smallholders program has
to sustainably solve the sustainable development evolved from an adherence to regulatory compli-
ance in 1992 into a comprehensive local economic

Risa Bhinekawati | Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, ... | 23


development program for smallholder farmers in Furthermore, PALMOIL ensures that the
2008 and beyond. Undertaking the smallholders smallholders program is aligned with its busi-
program is the embodiment of PALMOIL’s ac- ness needs, competence, and supply chain. CSR
tions and policies to achieve a sustainable supply as part of the supply chain comes in the form
chain, while facilitating social change in improv- of partnerships with local farmers, contractors,
ing prosperity and preserving the environment local suppliers and local workers. PALMOIL has
in remote areas of Indonesia. For the company, learned from its experience that CSR programs
community development is defined as can be sustainable if they are designed around
All efforts to improve communities’ living the plantation; the plantation is the centre of its
conditions by mobilizing their own initiatives CSR. Otherwise, it would be difficult for CSR
insofar as possible … Community development to be sustainable. As of 2011, the smallholders
is conducted with communities participating as program has been implemented in 67 villages,
the subject and the focus of all activities. The covering 7,297 families of farmers which are
company provides counselling and technical ser-
vices to encourage communities to be self-reliant
organised into 378 farmers groups (PALMOIL,
by making full use of all available local potential. 2010a; 2011).
(PALMOIL, 2010b, 21) In sum, in formulating and implementing
For PALMOIL, the CSR program is a long- CSR programs, PALMOIL institutionalised the
term investment to find win-win benefits for the smallholder program into its company policy,
company and its stakeholders, with the principles structure, and way of working to reach win-
of participation, partnerships and an attitude of win solutions with stakeholders. By doing so,
self-reliance. Such principles are important to PALMOIL has been able to overcome various
ensure the sense of belonging and sustainability challenges within its CSR implementation.
of the program as they become capable and reli-
able partners for the company. When PALMOIL c. CSR and social capital development
decided to develop local palm oil farmers, it did Figure 2 shows the linkages between the small-
so with a long-term vision to grow together with holders program and social capital. Firstly, the
society and to contribute to the country. implementation of the smallholders program
Data analysis shows that he CSR programs have strengthened the social relationships in the
of PALMOIL are coordinated by the Community form of bonding (strong ties) and bridging (weak
Development Program (CD) Division, which is ties) among and between PALMOIL, palm oil
in charge of integrating the smallholders program farmers and other stakeholders involved in the
into the corporate planning cycle; connecting smallholders programs. Secondly, PALMOIL
the program with corporate operations and has made its resources available for internal and
procedures; and applying indicators and measure- external stakeholders involved in the program.
ments for CSR programs called the ‘community Finally, the enhanced social relationships and
development index (CD Index). In designing its resources dedicated by PALMOIL into the CSR
community development programs, PALMOIL program have made it possible for the company
gathers inputs through regular community devel- to build collective actions in achieving the com-
opment surveys. The surveys capture people’s mon objectives of both PALMOIL and farmers
perceptions on four areas: company image in such as in meeting factory schedules, building
infrastructure, and in running Micro Finance
the eyes of community; whether contributions
Institutions (MFIs).
of the company are well accepted by commu-
nity; whether social relationships between the
company employees and the community have d. Development of Social Relations
been established; and whether the community is Figure 2 reveals that the development of social
committed if the company has problems. Accord- relationships in terms of bonding and bridging
ingly, PALMOIL makes yearly and three-yearly have evolved over time, and influenced farmers’
plans based on community inputs.

24 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


capabilities in managing group dynamics and and the individuals in the collectives’ (Lin, 1999a,
problem solving. The bonding among farmers 33). Figure 2 shows that the company makes its
within the same farmers’ group is facilitated resources available to the farmers, which include
through the groupings of farmers into farmers’ management and technical competence in palm oil
groups. In each group, around 20 members plantation; plantation materials and infrastructure
are assigned to one group based on geographi- development; market for palm oil farmers, and
cal locations so they can share and retain the financing for smallholders program beneficiaries
knowledge transferred from the company. Mem- and local communities through MFIs.
bers meet every month in an arisan (revolving Along the way, access to PALMOIL’s man-
savings fund session), where a representative agement and technical competence in palm oil
from PALMOIL comes to share good plantation plantation is provided through informal training,
practices the bonding has also been enhanced by through dialogue and field coaching as farmers
group coaching and group dynamics exercises by are not used to classroom teaching methods. In
consensus building training and by field problem doing so the company needs to really understand
solving. The farmers confirmed that the farm- the statistics, the locations, and the dynamics of
ers group meetings have been very effective in farmers’ groups to ensure that the transfer of
strengthening their bonding. For instance, they knowledge will facilitate productivity and respon-
have monthly dues and regular monthly meet- sibility of farmers. In addition, PALMOIL teaches
ings to share ideas. They also have mechanisms and coaches farmers about group dynamics and
for penalties for members who break the rules. motivation, besides regularly teaching them about
Due to the bonding among the farmers through planting and harvesting technology. Because of
solving problems together, there have been a lot this good transfer of knowledge in management
of improvements in their plantations. The small- and plantation technology, farmers understand
holders program also bridges farmers of different PALMOIL’s standards of quality, and the kind of
farmers’ groups by organising monthly meetings fruits that can be accepted by PALMOIL’s fac-
among the heads of farmers groups called WKAK tories, so there will be no argument if their fruit
(Communication forum among farmers groups). is not accepted for quality reasons. The transfers
By being a member of WKAK, heads of farmers’ of management and technical competence have
groups can learn from the successes and failures also improved farmers’ professional standards or
of other groups. PALMOIL also organises a norms. Farmers confirmed that they have received
competition for the best performing plantation, consistent coaching and training from PALMOIL
where the winners are given a prize and are rec- that they could meet the assessment criteria for
ognised as the role model for other plantations. palm oil plantations stipulated by the company
As a result, the farmers’ groups of the company as shown in Table 3.
have been recognised as effective, well organised,
In terms of access to finance, at the beginning
and well developed.
of the smallholders program, PALMOIL needed
In sum, the smallholders program has built to provide loans without interest for high-quality
social relationship and capabilities of farmers, palm oil seeds. The loans were designed in such
but it requires patience, professionalism, perse- a way that the repayment mechanisms are not
verance and passions from managers and field burdensome for farmers. The company trained
officers of PALMOIL. the farmers on how to plant, nurture and harvest
their plantations, so that their plantations could
e. Resources Dedicated to Smallholders be productive and generate income to repay their
loans. Farmers need to set aside 30% for loan
One of important components of social capital
repayments and 70% for their net income; with
is the ‘embedded resources in the network’ or
such an arrangement the farmers can settle the
‘valued resources (such as economic, political,
loan within five years at the latest, and after that
cultural, or social, as in social connections)’ that
keep 100% of their income.
are ‘expected to be beneficial to both the collective

Risa Bhinekawati | Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, ... | 25


PALMOIL sets up a mechanism that makes prepares the materials based on schedule, to
it possible for farmers to repay their debt without fertilise every six months, and to spread herbicide
having difficulties in managing their cash flow every three months; with the materials directly
for their family and for financing their planta- distributed to the farmers’ plantations through
tions. As members of a Micro Finance Institution their farmers groups. The payment mechanisms
(MFI), farmers are given the opportunities for are agreed in loans and payments that are afford-
farmers to work together in planning and getting able for farmers. Similarly, if farmers need to
plantation materials. The farmers are requested improve infrastructure, such as roads and gutters
by the MFI manager to prepare definitive plan for in their plantation, they have their infrastructure
group’s needs, containing the group’s forecast of savings in the MFI. Farmers’ groups can also
herbicides, fertiliser, and all materials that will propose to the MFI to rent heavy equipment with
be needed by the farmers group. The MFI then the expertise from PALMOIL.

Table 3. Smallholder Farmers Development Program–Assessment Aspect, Component, and Criteria

Source: PALMOIL (2010b, 32)

26 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


In terms of market access, PALMOIL opens work; contact status like positions and a­ uthority;
and guarantees the market access for the farmers’ as well as bridging and bonding. It can then be
harvest, as long as the quality of farmers’ palm oil concluded that the smallholders program has
fruit quality can match the company standards. improved the total social capital for PALMOIL
This gives more certainty to local farmers, as they and its stakeholders.
do not have to worry about the market for their
harvest. g. Social capital, corporate sustainability
performance and sustainable
f. Collective actions for common goals development goals
Figure 2 shows there have been synergies among Figure 2 shows that the enhanced social capital
farmers and between farmers and the company of smallholder program has contributed to social,
in meeting the factory schedules, building in- environmental, and economic performances of
frastructures, and running the MFIs. Collective the company.
actions among farmers within the same farmers’
group occur when they manage their group’s
h. Social performance
plantation. Each farmers group has its own office
bearers who are in charge of producing reports to In terms of social performance, the smallholder
the company, recording the harvest to be sold to program contributes to poverty eradication in sev-
the company, and getting the payment from the eral ways. Firstly, all farmers confirmed that the
company to be distributed among farmers. partnership with PALMOIL has improved their
The collective actions between PALMOIL lives. They earn approximately IDR 3 to 5 million
and farmers have also improved in matching the (USD 306 to USD 510) per plot (2 hectares of
harvest schedules and factory schedules. This plantation) per month if their plantations are in
happens because of regular communications full production. Most importantly, as long as they
between the company and farmers through its work hard according to PALMOIL’s guidance,
dedicated CDO and foreman, to ensure that their incomes are steady because of their indi-
the schedules for planting and harvesting are vidual and collective work as a farmers’ group,
mutually agreed upon between the company and financing from MFIs, guaranteed market from
the farmers groups. With continuous assistance, the company, and continuous management and
farmers feel secure and motivated to improve technical coaching from the company.
the performance of their plantations and meet Secondly, in terms of access to credit, MFIs
the factory demand of the company. become solutions for farmers as the financing
Moreover, the collective action between mechanisms through MFIs are designed to match
PALMOIL and the farmers is shown in improve- the affordability, informality and small scale of
ments in infrastructure. The infrastructure savings farmers. MFIs provide assistance for farmers
mechanisms organised by MFIs have made it to get the necessary materials for nurturing and
possible for farmers to be self-reliant in improv- harvesting their plantations so they can yield
ing the roads and infrastructure surrounding maximum benefits. Prior to the establishment
their plantations. Even in building a mosque, the of MFIs, farmers had experienced difficulties
farmers can do it independently with the income in getting working capital for their plantations.
from palm oil. Since their establishment, the two MFIs have
grown and flourished with their communities.
The above discussion shows the evolution of For example, the number of members has grown
linkages between CSR program and social capital from 490 people in 2008 to 1,758 members in
development. According to Lin (1999a, 37), the 2001. Accordingly, the total financing from the
volume of social capital of an organisation or MFIs to the members have also increased from
individual is equal to the amount of network IDR 144.1 million (USD14,704) in 2008 to IDR
status such as wealth, power and status of others 6,356.8 million (USD 684,571) in 2011 (MFI
which can be accessed by individuals in the net- Manager 1, 2013; MFI Manager 2, 2013).

Risa Bhinekawati | Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, ... | 27


Thirdly, overall smallholders program has the company because farmers’ livelihoods are
improved local economic conditions. For ex- intertwined with the company. Prior to the small-
ample, the total transactions of the company’s holders program, the plantations had experienced
partnerships with local suppliers and farmers riots in the surrounding areas, including stoning
have been increasing. In 2011, it reached IDR of factories and thieves attacking the plantations.
4.6 trillion (USD 520 million), an increase of Gradually, after the smallholders program became
52% compared with 2010 (PALMOIL, 2011, p. successful, the vandalism towards the factories
99). Such economic transaction with the local and plantations diminished, because more of the
community has distributed prosperity to remote community had good plantations. Furthermore,
regions of Indonesia. Moreover, the spill over of more capable farmers have also contributed to
prosperous plantations has also improved other the company’s performance through good quality
industries, such as blacksmiths, in the area. The harvest and increase in factory efficiency. Finally,
blacksmith who was assisted by PALMOIL could the smallholders program has also improved
earn up to IDR 9 million (USD 918) from previ- employee satisfaction, as they have a fulfilling
ously less than IDR 500 thousand (USD 51) per
job with a responsible company.
month. Moreover, the smallholders program has
also generated better infrastructure, such as better The above discussion has shown that social
roads, as the community become self- reliant in capital generated from the smallholders program
improving the roads surrounding their plantations. has contributed to the eradication of poverty as
the company’s social performance, its environ-
Finally, the program has also created local
mental performance, as well as its economic
jobs, as the company prioritises local people to
performance. Overall, the sustainability perfor-
fill local vacancies. Farmers’ plantations also need
mance of the company contributes to sustainable
more labourers to help with harvesting. Even the
development goals of Indonesia.
blacksmith could employ more people to produce
harvesting knives. There is full employment
in the communities surrounding the company CONCLUSION
plantations, as only very old people remain un- This research shows that in the context of a de-
employed. Because of improvements in the local veloping country, a company plays both ­public
economy, there have also been improvements on and private roles in contributing to poverty
the level of education of farmers’ elementary and eradication in the absence of government services
primary education. and oversight. This study supports Sen’s (1992,
1999) assertion that poverty can be alleviated by
i. Environmental performance building the capability of the poor.
Wirth regards to environmental performance, the The case study confirms the theoretical frame-
farmers are now capable of implementing envi- work about the interlinkages between sustainable
ronmentally friendly plantation principles such as development, CSR program, social capital, and
using organic fertilisers by using empty bunches poverty eradication as one of corporate sustain-
and midribs of palm oil trees. Overall, farmers feel ability performances. Such interlinkages are not
secure that PALMOIL can guide them towards clear under current literature. This study finds
sustainable plantation practices, as they are always that sustainable development issues become the
trained to follow environmental regulations. driving force and the destination of the company
in conducting CSR programs. PALMOIL decides
to play a role in contributing to sustainable de-
j. Economic performance
velopment because it sees poverty, inequality and
Figure 2 also shows that there has been economic social jealousy are risky for business. The CSR
performance for PALMOIL through social capital program is being formulated and implemented to
development of the smallholders program. The address social issues through the integration of
poverty reduction surrounding palm oil planta- the program into corporate policy, organisation
tion has granted the ‘licence to operate’ for structure, resource allocation, management cycle,

28 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


relationships with internal and external stakehold- Secondly, the findings explain how social capital
ers, company competence, and supply chain. is developed and evolved over time in improving
The interactions between the company social structure and the welfare of poor people
and its internal and external stakeholders dur- which is still debatable lacking in the literature
ing the implementation of CSR program have (Granovetter, 2005, p. 47; Lin, 1999b, 483).
strengthened social relationships in the form of For the practice of management in develop-
bonding (strong ties) and bridging (weak ties) ing countries, this research address the gap in s
among stakeholders involved in the program. justifications for companies playing their ‘politi-
The company has also made its resources avail- cal roles’ in mitigating social issues while achiev-
able to CSR program beneficiaries in terms of ing their sustainability objectives in developing
transfer of technical and management knowledge, countries, particularly in relation to the roles of
access to finance, and guarantee of markets for companies in building the capabilities of low-
farmers’ harvest. As a result, farmers’ capabili- income people along their supply chain (Ansari,
ties are improved to participate in the company’s et al., 2012; Fukukawa, 2014; Scherer & Palazzo,
value chain that brings economic benefits to the 2011; Visser, 2009) so that the company and the
company and the farmers. community can co-create value to achieve the
company’s triple bottom line while improving the
In this case, the prosperity of smallholders
livelihood of the community. This is especially
or eradication of poverty surrounding palm oil
the case in environments where governments have
plantations becomes one of the most important
a lack of accountability and social responsibility
social performances of the company. In devel-
(Ansari, et al., 2012; Kirchgeorg & Winn, 2006).
oping countries, companies can contribute to
The findings show that a palm oil company can
sustainable development through their corporate
contribute directly to the United Nations’ sustain-
sustainability performance (Hart, et al., 2003,
able development goal on poverty reduction.
56). The more sustainable the company, the more
contributions the company can give to sustainable In terms of contributions to policy, Indonesia
development through CSR programs. has made CSR mandatory for companies operat-
ing in the country, but there are no mechanisms
The case study of the smallholders program
for government oversights to evaluate and moni-
of PALMOIL has filled in the research gaps in
tor how the companies implement CSR programs
Indonesia and other developing countries. It is (Waagstein, 2011). Taking the lessons from a
expected that this research can contribute to the sustainable palm oil company which has under-
theory and practice in management and well as taken CSR program for more than 20 years, this
public policies. The findings from the case study research is expected to help the government as
of the smallholders program of the company has well as companies in Indonesia to develop poli-
confirmed the theoretical model discussed in the cies for social inclusions through CSR programs,
research approach. thereby benefiting the country, the business, and
This research contributes to existing theory the society in the long run.
by providing evidence on the linkages between This research has identified strong linkages
the concepts of sustainable development, CSR, between CSR programs, social capital, corporate
social capital, and corporate which is still lacking sustainability and sustainable development goals.
in current literature. This research illuminates the This research is not without limitations. The
process under which CSR as an input generates model is constructed based on empirical findings
corporate sustainability performance as an ex- from a large palm oil company in Indonesia.
pected outcome which has been unclear (Aguinis Therefore, the lessons can be applied to other
& Glavas, 2012). In the area of social capital, corporations in developing countries, but further
this research contributes to existing knowledge research is needed to test its application to other
in two ways. Firstly, the research findings ex- contexts.
plain complementarities between bonding and
bridging social ties in improving the livelihood
of poor communities (Ansari, et al., 2012, 836).

Risa Bhinekawati | Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, ... | 29


REFERENCES De Oliveira, J. A. P. (2006). Corporate citizenship in
Latin America: New challenges to business.
Adler, P. S. & Kwon, S. W. (2002). Social capital:
Journal of Corporate Citizenship, 21, Spring,
Prospects for a new concept. The Academy of
17−20.
Management Review, 27(1), 17–40.
Director. (2011). Interview with Director of the Com-
Aguinis, H. (2011). Organisational responsibility:
pany, 5 December.
Doing good and doing well. In S. Zedeck (Ed.),
APA handbook of industrial and organisational Edwards, M. (2005). Getting to the roots of the
psychology (Vol. 3), pp. 855–879. Washington problems. Available at: http://wwf.panda.org/
DC: American Psycohological Association. who_we_are/wwf_offices/indonesia/environ-
mental_problems_indonesia/, (accessed 10
Aguinis, H. & Glavas, A. (2012). What we know and
March 2015).
don’t know about corporate social responsibil-
ity: A review and research agenda. Journal of Eisenhardt, K. (1989). Building theories from case
Management, 38(4), 932–968. study research. Academy of Management
Review, 14(4), 532–550.
Ansari, S., Munir, K. & Gregg, T. (2012). Impact at
the ‘bottom of the pyramid’: The role of social Elkington, J. (1997). Cannibals with Forks: The triple
capital in capability development and com- bottom line of 21st century business. Mankato,
munity empowerment. Journal of Management MN: Capstone.
Studies, 49(4), 813–842. Fox, T. (2004). Corporate social responsibility and
Bhinekawati, R. (2017). Corporate social responsibil- development: In the quest of an agenda. Devel-
ity and sustainable development: Social capital opment, 47(3), 29−36.
and corporate development in developing Fukukawa, K. (2014). Introduction: The multiplici-
economies. Oxon, UK: Routledge. ties of CSR. In Fukukawa, K (Ed), Corporate
BPS. (2015). Population of Indonesia. Jakarta: Biro social responsibility and local community in
Pusat Statistik. Asia, pp. 1–14, London: Routledge.
Bradly, A. (2015). The business case for commu- Fukuyama, F. (1995). Trust: The social virtues and the
nity investment: evidence from Fiji’s tourism creation of prosperity. New York: Free Press.
industry. Social Responsibility Journal, 11(2), Gillespie, P. (2011). How does legislation affect oil
242–257. palm smallholders in the Sanggau District of
Bourdieu, P. (1986). The forms of capital. In J. Kalimantan, Indonesia?. Australasian Journal
Richardson (Ed.), Handbook of theory and of Natural Resources Law and Policy, 14(1),
research for the sociology of education. New 1−37.
York: Greenwood Press, 241–258. Gillespie, P. (2012). The challenges of corporate
Brundtland, G. H. (1987). Our common future. Oxford: governance in Indonesian oil palm: Opportuni-
Oxford University Press. ties to move beyond legalism?. Asian Studies
Review, 36, 247–269.
Burt, R. S. (1992). Structural holes: The social struc-
ture of competition. Cambridge, MA: Harvard Granovetter, M. (1973). The strengths of weak ties.
University Press. American Journal of Sociology, 78, 1360−80.
CAO. (2009). The compliance advisor ­ombudsman Granovetter, M. (2005). The impact of social structure
audit of IFC investment in Wilmar trading. Office on economic outcomes. The Journal of Eco-
of the Compliance Advisor/Ombudsman (CAO) nomic Perspectives, 19(1), 33−50.
available at: http://www.cao-ombudsman.org/ Handadhari, T. (2010). The shine of palm oil. Jakarta:
uploads/case_documents/Combined%20 Green Network Indonesia.
Document%201_2_3_4_5_6_7.pdf (accessed Hart, S. L., Milstein, M. B. & Caggiano, J. (2003).
9 March 2015). Creating sustainable value [and Executive
Carroll, A. B. (1979). A three-dimensional conceptual Commentary]. The Academy of Management
model of corporate performance. The Academy Executive, 17(2), 56–69.
of Management Review, 4(4), 497–505. Idemudia, U. (2011). Corporate social responsibility
Coleman, J. (1990). Foundations of social theory. and developing countries: Moving the critical
Cambridge, MA: Harvard University Press. CSR research agenda in Africa forward. Prog-
Corley, K. G. & Gioia, D. A. (2011). Building theory ress in Development Studies, 11(1), 1–8.
about theory building: What constitues a theo- Infosawit. (2011). Membangun Indonesia dengan
retical contribution? Academy of Management kelapa sawit. Jakarta: Association of Indone-
Review, 36 (1), 12–32. sian Palm Oil Entrepreneurs.

30 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


Jamali, D. (2007). The case for strategic corporate MFI Manager 2. (2013). Progress report LKM [archi-
social responsibility in developing countries. val records of PALMOIL]
Business and Society Review, 112(1), 1–27. Millington, A. (2009). Responsibility in the supply
Kehati (2015). Kehati sustainability index. Available at chain. In A. Crane, A. McWilliams, D. Mat-
http://www.kehati.or.id/en/indeks-sri-kehati-2. ten, J. Moon, & D.S. Siegel (Eds). (2014). The
html (accessed 9 March 2015). Oxford handbook of corporate social respon-
Kirchgeorg, M. & Winn, M. (2006). Sustainability sibility, online publication, 1−19, New York:
marketing for the poorest of the poor. Business Oxford University Press, retrieved 10 October
Strategy and the Environment, 15, 171–184. 2014 from www.oxfordhandbooks.com.
Laplume, A. O., Sonpar, K., & Litz, R.A. (2008). Nahapiet, J. & Ghoshal, S. (1998). Social capital,
Stakeholder theory: Reviewing a theory intellectual capital, and the organisational
that moves us. Journal of Management, 34, advantage. Academy of Management Review,
1152−1189. 23(2), 242–266.
Lin, N. (1999a). Building a network theory of social PALMOIL. (2010a). Annual Report 2010, PALMOIL,
capital. Connections, 22(1), 28−51. Jakarta
Lin, N. (1999b). Social networks and status attainment. PALMOIL. (2010b). Sustainability Report 2010,
Annual Review of Sociology, 25, 467−487. Jakarta: PALMOIL.
London, T. & Hart, S.L. (2004). Reinventing strategies PALMOIL. (2011). Sustainability Report 2011,
for emerging markets: Beyond the transnational Jakarta: PALMOIL.
model. Journal of International Business Stud- PALMOIL. (2012). Annual Report 2012, Jakarta:
ies, 35(5), 350−70. PALMOIL.
Lund-Thomsen, P. (2004). Towards a critical frame- Paoli, G. D., Gillespie, P., Wells, P. L., Hovani, L.,
work on corporate social and environmental Sileuw, A., Franklin, N. & Schweithelm, J.
responsibility in the South: The case of Paki- (2013). Oil palm in Indonesia: Governance,
stan. Development, 47(3), 106−113. decision making, and implications for sustain-
Lund-Thomsen, P. & Lindgreen, A. (2014). Corporate able development, The Nature Conservancy,
social responsibility in global value chains: Jakarta.
Where are we now and where are we going?. Patton, M. (1990). Qualitative evaluation and research
Journal of Business Ethics, 123, 11−22. methods. Beverly Hills, CA: Sage.
Mahoney, J.T., McGahan, A.M., &Pitelis, C.N. (2009). Porritt, J. (2007). Capitalism as if the world matters.
Perspective: The interdependence of private London: Earthscan.
and public interests. Organisation Science Porter, M. & Kramer, M. (2006). Strategy and society:
20(6), 10341052. The link between competitive advantage and
Margolis, J.D. & Walsh, J.P. (2003). Misery loves corporate social responsibility. Harvard Busi-
companies: rethinking social initiatives by ness Review (Reprint R0612D), 1–17.
business. Administrative Science Quarterly, Portes, A. (1998). Social capital: Its origins and appli-
48, 268−305. cations in modern sociology. Annual Review of
McCarthy, J. (2010). Oil palm and agricultural policy: Sociology, 24, 1–24.
Boom or ruin for Indonesian farmers?. East Prieto-Carron, M., Lund-Thomsen, P., Chan, A., Muro,
Asia Forum: Economics, Politics and Public A., & Bhushan, C. (2006). Critical perspectives
Policy in East Asia and the Pacific, available on CSR and development: What we know, what
at http://www.eastasiaforum.org/2010/11/13/ we don’t know, and what we need to know.
oil-palm-and-agricultural-policy-boom-or- International Affairs, 82(5), 977–987
ruin-for-indonesian-farmers/ (accessed 12
Prieto-Carron, M. (2006). Corporate social responsibil-
December 2014).
ity in Latin America: Chiquita, women banana
McCarthy, J.F., Gillespie, P. & Zen, Z. (2012). Swim- workers, and structural inequalities. Journal of
ming upstream: Local Indonesian production Corporate Citizenship, 21 Spring, 85−94.
networks in ‘globalized’palm oil production.
Putnam, R. D. (1995). Bowling alone: America’s
World Development, 40(3), 555−569.
declining social capital. Journal of Democracy,
Meyer, C.B. (2001). A case in case study methodology. 6(1), 65–78.
Field Methods, 13(4), 329−352.
Rupp, D.E., Williams, C.A., & Aguilera, R. V. (2010).
MFI Manager 1 (2013). Kinerja LKM 2008–2011 Increasing corporate social responsiblity
[archival records of PALMOIL] through stakeholder value internatilazation
(and the catalyzing effect of new governance):

Risa Bhinekawati | Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, ... | 31


An application of organisational justice, self- Valente, M. & Crane, A. (2009). Private, but public:
determination, and ocial influence theories. Companies in emerging markets often have
In M. Schminke (Ed.), Managerial Ethics: to take on services usually provided by the
Managing the psychology of morality, pp. government. It isn’t always easy. The Wall
6988. New York: Routlege. Street Journal, 23, R6. Retrieved 7 October
Rupp, D.E. (2011). An employee-centered model of 2014 from http://online.wsj.com/articles/
organisational justice and social responsibility. SB123739493828172921.
Organisational Psychology Review, 1, 7294. Van Bastelaer, T. (2000). Does social capital facilitate
Russo, A. &Perrini, F. (2010). Investigating ­stakeholder the poor’s access to credit? A review of the
theory and social capital: CSR in large firms microeconomic literature. Working paper No.
and SMEs. Journal of Business Ethics, 91(2), 8. Washington, DC: The World Bank.
207–221. Visser, W. (2006). Revisiting Carrol’s CSR Pyramid:
Scherer, A. G., Palazzo, G. and Matten, D. (2009). An African Perspective. In Pedersen and
Introduction to the special issue: globalization Huniche (Eds). Corporate Citizenships in
as a challenge for business responsibilities. Developing Countries – New Partnership Per-
Business Ethics Quarterly, 19, 32747. spectives, 2958, Koge: Copenhagen ­Business
School Press. Retrieved from http://www.
Scherer, A. G. & Palazzo, G. (2011). The new politi-
waynevisser.com/wp-content/uploads/2012/04/
cal role of business in a globalized world: A
chapter_wvisser_africa_csr_pyramid.pdf.
review of a new perspective on CSR and its
implications for the firm, governance, and Visser, W. (2009). Corporate social responsibility in
democracy. Journal of Management Studies, developing countries. In A. Crane, A. McWil-
48(4), 900–931. liams, D. Matten, J. Moon, & D.S. Siegel (Eds),
The Oxford handbook of corporate social
Sen, A. (1992). Inequality reexamined. Cambridge,
responsibility, Oxford University Press, New
MA: Harvard University Press.
York, NY, available at: www.oxfordhandbooks.
Sen, A. (1999). Development as Freedom. Oxford: com (accessed 10 October 2014).
Oxford University Press.
Waagstein, P. R. (2011). The mandatory corporate
Szreter, S. & Woolcock, M. (2004). Health by asso- social responsibility in Indonesia: Problems
ciation? Social capital, social theory, and the and implications. Jounal of Business Ethics,
political economy of public health. Interna- 98, 455−466.
tional Journal of Epidemiology, 33, 650–667.
Waldman, D. A., Siegel, D. S., & Javidan, M. (2006).
Uphoff, N. (2000). Understanding social capital: Components of CEO transformational leader-
Learning from the analysis and experience of ship and corporate social responsibility. Journal
participation. Washington DC: World Bank. of Management Studies, 43(8), 1704−1725.
UN. (2015). Transforming our world: the 2030 agenda WBCSD. (1999). Corporate social responsibility:
for sustainable development. New York, NY, Meeting the changing expectations. London:
available at: http://www.un.org/ga/search/ WBCSD.
view_doc.asp?symbol=A/RES/70/1&Lang=E
Yin, R. K. (2009). Case study research: Design and
(accessed 15 June 2016).
methods (4th ed.). London: Sage.
UNDP. (2014). Human development report 2014:
Yu, X. (2008). Impacts of corporate code of conduct
Sustaining human progress, reducing vulner-
of labor standards: a case study of Reebok’s
abilities and building resilience. New York:
athletic footwear supplier factory in China.
The United Nations Development Programme.
Journal of Business Ethics, 81, 513−29.
UNDP. (2015). Human development report 2105:
Zahra, S. (2010). Harvesting family firms–organisa-
Work for human development. New York: The
tional social capital: A relational perspective.
United Nations Development Programme.
Journal of Management Studies, 47, 345−66.
Uzzi, B. (1997). Social structure and competition in
interfirm networks: The paradox of embedded-
ness. Administrative Science Quarterly, 42(1),
35–67.

32 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


PERSPEKTIF GENDER DALAM KEBERLANJUTAN SAWIT*
Rini Hanifa*) dan Eusebius Pantja Pramudya**)
Institut Riset Sosial dan Ekonomi dan Program Manajemen Pembangunan Sosial,
*)

Universitas Indonesia
rini.hanifa@gmail.com
**)
Yayasan Inspirasi Indonesia, Institut Riset Sosial dan Ekonomi, & Public Administration and Policy Group,
Wageningen University and Research
ppramudya@gmail.com

ABSTRACT
The emerging initiatives to improve sustainability of the palm oil sector, i.e. RSPO and ISPO, have started
paying attention to gender aspect. This study analyzes the ways the sustainable palm oil initiatives have addressed
gender issues. The analysis is based on literature study and field information from Riau, Jambi, North Sumatra,
and East Kalimantan. The findings of this study indicate that several initiatives to achieve gender equality in
sustainable palm oil have not successfully reach its objective because of the limitations in operationalizing gender
perspectives into sustainability standards. Gender issue in the standards is still limited to women’s protection from
the occupational risks of working in the palm oil sector, which is still within the scope of Women in Development
paradigm. Further development is needed by applying Gender and Development paradigm to achieve equitable
gender relations between men and women and addressing structural barriers that influence them is still limited.

Keyword: sustainable palm oil, RSPO, ISPO, gender perspective

ABSTRAK
Berbagai inisiatif untuk meningkatkan keberlanjutan (sustainability) sektor sawit yang belakangan muncul,
seperti RSPO dan ISPO, mulai ikut memberikan perhatian terhadap aspek gender. Studi ini mencoba menganalisis
bagaimana inisiatif-inisiatif sawit berkelanjutan berusaha menjawab isu gender. Analisis dilakukan dengan
berdasarkan pada studi pustaka dan informasi lapangan dari Riau, Jambi, Sumatra Utara, dan Kalimantan Timur.
Temuan dari penelitian ini menunjukkan upaya membangun kesetaraan gender dalam sawit berkelanjutan belum
terjadi sepenuhnya karena keterbatasan dalam mengoperasionalkan perspektif gender dalam standar sustainability.
Isu gender yang dicakup masih sebatas upaya perlindungan perempuan terhadap risiko pekerjaan dalam sektor
sawit, yang masih sebatas paradigma women in development. Pengembangan yang seharusnya dilakukan adalah
mengaplikasikan paradigma gender and development untuk mencapai relasi yang setara antara laki-laki dan
perempuan serta mengatasi berbagai hambatan struktural yang memengaruhinya.

Kata Kunci: perspektif gender, keberlanjutan sawit, RSPO, ISPO

PENDAHULUAN 2010; Darto, 2015); hingga berbagai hambatan


Berbagai inisiatif untuk meningkatkan keberlan- yang dihadapi perempuan dalam mengakses
jutan (sustainability) sektor sawit mulai mem- sumber daya, misalnya kesulitan petani sawit
berikan perhatian kepada aspek gender. Masalah perempuan dalam mengakses permodalan. Par-
ketidakadilan gender yang dialami perempuan tisipasi perempuan dalam rantai komoditas sawit,
dalam sektor sawit menjadi topik yang banyak yang juga bertanggung jawab terhadap dampak
diteliti, dari pelanggaran hak asasi manusia, sosial dan lingkungan yang diakibatkannya,
yaitu ketika sawit dikaitkan dengan buruh murah kurang diperhatikan pada penelitian-penelitian
perempuan; rendahnya standar keamanan dan ke- yang sudah ada. Penelitian-penelitian sebelumnya
selamatan bagi perempuan; gangguan kesehatan mengenai gender pada mata rantai komoditas
(karena terekspos pestisida secara terus-menerus); sawit banyak mengungkap ketidakadilan gender
­pelecehan seksual (Milasari, 2008; Surambo, dkk. yang dialami perempuan. Salah satu anggapan

*Artikel ini telah dipresentasikan dalam Academic Forum on Sustainability I, yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Sumber
Daya Regional (P2SDR) LIPI, Yayasan Inspirasi Indonesia (YII), dan Centre for Inclusive and Sustainable Development
(CISDEV) Universitas Prasetiya Mulya, di Jakarta 31 Januari 2017.

33 
untuk memperbaiki nasib perempuan adalah individual. Dalam kondisi demikian, diperlukan
ruang perempuan untuk berbicara dan didengar studi-studi lebih lanjut dari aspek perburuhan.
(Phillips, 2015). Penelitian-penelitian yang sudah ada, seperti
Villamor, Desrianti, Akiefnawati, Amaruza- telah disebutkan di atas, lebih banyak berfokus
man, dan Noordwijk (2014) mengungkapkan pada kondisi perempuan di daerah-daerah yang
bahwa perempuan, baik di desa dataran tinggi belum mengalami konversi lahan menjadi kebun
maupun rendah, menggunakan lahan secara lebih sawit. Belum ada penelitian spesifik untuk upaya-
dinamis daripada para laki-laki. Dengan kondisi upaya yang sudah dilakukan dalam mengupa­
tersebut, mereka bereaksi secara lebih positif ter- yakan kesetaraan gender dalam inisiatif-inisiatif
hadap para pemodal yang menawarkan konversi sawit berkelanjutan yang tengah berkembang
lahan menjadi kebun kelapa sawit. Hal ini berten- saat ini. Oleh karena itu, tulisan ini mencoba
tangan dengan stereotipe mengenai konversi lahan menjawab pertanyaan sebagai berikut: 1) Upaya
sawit selama ini, bahwa konversi lahan menjadi apa saja yang sudah dilakukan untuk memastikan
perkebunan sawit lebih didorong oleh laki-laki. adanya kesetaraan gender dalam berbagai inisiatif
Villamor dan van Noordwijk (2016) berpendapat sawit berkelanjutan, dan 2) Apakah upaya yang
bahwa keterlibatan perempuan merupakan bagian sudah dilakukan memungkinkan terjadinya
dari sistem sosiokultural masyarakat tersebut dan perubahan gender transformatif dalam rantai
memengaruhi penggunaan tanah, yakni produk- komoditas sawit? Pertanyaan ini akan dijawab
tivitas tanah dan tenaga kerja lebih ditentukan dengan terlebih dahulu menganalisis berbagai
oleh dinamika populasi daripada kecenderungan kajian mengenai gender dalam rantai komoditas
tanah itu sendiri. Dengan demikian, perempuan sawit, kemudian dilanjutkan dengan identifikasi
mempunyai peran penting dalam menentukan mengenai berbagai upaya dalam memastikan
penggunaan tanah apakah lebih menjadi sustain- adanya kesetaraan gender. Upaya untuk memas-
able dan mampu beradaptasi terhadap dinamika tikan adanya kesetaraan gender dimulai dengan
global seperti perubahan iklim. standar-standar yang dikembangkan untuk
Julia dan White (2012) menemukan bahwa keberlanjutan sektor sawit. Dalam makalah ini,
kehadiran perkebunan kelapa sawit mendorong kami akan melihat upaya yang sudah dilakukan
perkembangan perekonomian berbasis uang untuk memastikan adanya kesetaraan gender pada
tunai disertai dengan formalisasi pekerjaan, inisiatif keberlanjutan yang dikembangkan oleh
yang keduanya kemudian disertai proses Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan
maskulinisasi. Peran perempuan berkurang Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO).
dalam diskusi-diskusi komunitas dan negosiasi
dengan perusahaan perkebunan sawit. Di sisi lain, KERANGKA TEORI
masalah-masalah sosial, seperti kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT), prostitusi, dan penyakit Framework women in development (WID) adalah
menular seksual, meningkat. Namun, perempuan salah satu acuan yang paling banyak digunakan
yang bekerja serabutan juga di beberapa tempat dalam proyek-proyek pembangunan yang ber-
mulai terlibat dalam protes-protes secara terbuka. tujuan meningkatkan kesejahteraan perempuan.
Lebih lanjut, Morgan (2013) mengamati adanya WID merupakan buah dari pemikiran feminis
ekspansi perkebunan sawit memotivasi para liberal yang muncul pada awal 1970-an. Secara
perempuan terlibat dalam protes, walaupun tidak historis, elemen utama argumen feminis liberal
cukup untuk menggulirkan aksi politis. Dari sisi adalah klaim agar terwujudnya kesetaraan gender
kondisi pekerjaan, Li (2015) mengulas tentang (Ritzer, 2014), yaitu adanya kesempatan dan hak
hak-hak perempuan adat (Dayak), terutama yang sama bagi setiap individu (Fakih, 1996).
mengenai kondisi rentan mereka sebagai pekerja Dalam implementasinya, berbagai program
tenaga kontrak/tenaga lepas pabrik, ancaman pembangunan berupaya mengatasi berbagai
ketahanan pangan karena kondisi landless/tanah hambatan yang dihadapi perempuan, termasuk
mereka dirampas, dan hak atas tanah perempuan dalam sektor pertanian, sektor yang diskriminatif
diakui, baik secara komunal maupun kepemilikan

34 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


terhadap perempuan, tetapi perempuan banyak bisa juga sebagai saudara. Laki-laki bisa menjadi
terlibat di dalamnya. sebagai penindas yang ditakuti, tetapi juga bisa
Dalam perjalanannya, pada pertengahan menjadi sosok rentan yang dikasihi.
1980-an, gender and development (GAD) muncul Telah terjadi perubahan sikap pada laki-laki,
untuk menggantikan WID. Penggunaan kata “gen- yaitu laki-laki bersedia terlibat dalam program-
der” dalam GAD dinilai lebih baik daripada kata program untuk mewujudkan kesetaraan gender,
“perempuan” dalam WID karena gender berfokus hal yang dulu dianggap tabu dan “tidak laki-laki”
pada relasi sosial yang dibangun antara laki-laki (Barker & Schulte, 2010). Pendekatan GAD,
dan perempuan (Kabeer, 2000). Upaya mewujud- yang memahami kompleksitas gender sebagai
kan kesetaraan gender yang tidak memperhatikan konstruksi sosial, memberikan perhatian terha-
relasi sosial laki-laki dan perempuan tidak akan dap relasi gender. Distribusi sumber daya antara
mampu menghasilkan transformasi gender laki-laki dan perempuan disebut juga sebagai
sebagaimana yang diharapkan atau, d­ engan ba- pendekatan gender transformatif. Pendekatan
hasa lain, paradigma WID haruslah ditinggalkan. gender transformatif menekankan pentingnya
Sebagaimana yang diserukan Cornwall (1997), partisipasi laki-laki dalam mencapai kesetaraan
praktik dan prosedur pembangunan dalam upaya gender (Risman & Martin dalam Cole, Kantor,
mencapai kesetaraan gender harus diubah, yaitu Sarapura, Rajaratnam, 2015).
dengan tidak hanya berfokus pada perempuan,
Dari paparan di atas, jelaslah untuk mewujud-
tetapi juga memperhatikan laki-laki.
kan perubahan transformatif harus menggunakan
Alasan pentingnya laki-laki terlibat dalam pendekatan gender transformatif. Namun, upaya
upaya mewujudkan kesetaraan gender dapat membangun kesetaraan gender dalam berbagai
dikelompokkan ke dalam dua argumen utama. program pembangunan masih sangat berfokus
Pertama, karena laki-laki sebagai penindas/ pada perempuan (Cornwall, 2000). Program-
penyebab dari ketidakadilan; dan kedua, laki-laki program pembangunan yang memberikan perha-
juga menjadi korban dari struktur gender yang tian terhadap isu gender masih saja menggunakan
tidak setara. Melibatkan laki-laki sebagai penin- paradigma WID, yaitu membangun kapasitas
das berarti menuntut laki-laki ikut bertanggung perempuan dengan memberikan pelatihan, seperti
jawab atas ketidaksetaraan gender yang terjadi. budi daya, pengolahan, pemasaran, menyediakan
Maka, sebagaimana perempuan ikut berusaha layanan kredit mikro yang bisa diakses perem-
mengubah paradigma ketidaksetaraan gender, puan, membangun kesadaran gender perempuan,
melibatkan laki-laki sebagai korban berarti laki- dan upaya sejenis lainnya (Leach & Sitaram,
laki juga perlu diperhatikan sama halnya dengan 2002; Haugh & Talwar, 2014). Studi Phillips
perempuan. Hal ini seperti dikatakan Ertürk (2015) menemukan bahwa meningkatkan akses
(2004), yakni sebagian laki-laki merupakan perempuan terhadap pinjaman saja tidak cukup
subordinat dari laki-laki lain yang lebih dominan jika hambatan sosial budaya dan politik juga tidak
dan berkuasa. diatasi. Hal yang sama berlaku untuk berbagai
Lebih lanjut, masih tentang pentingnya laki- intervensi gender lain, yaitu semua upaya tersebut
laki penting dilibatkan dalam upaya mewujudkan tidak cukup jika struktur yang menghambat tidak
kesetaraan gender, sebagaimana yang dikatakan diintervensi.
Cornwall dan Lindisfarne, yang dikutip dari Perhatian terhadap isu gender dalam inisiatif
Cornwall (1997), dalam kehidupan sehari-hari, apa pun haruslah mulai menggunakan pendekatan
identitas sebagai laki-laki ataupun perempuan gender transformatif. Dari penjelasan yang sudah
tidaklah absolut, tetapi beragam dan bisa berubah. diuraikan sebelumnya, berikut ini beberapa hal
Artinya, ketika berbicara tentang laki-laki, hal yang bisa dijadikan pertimbangan dalam men-
ini berarti laki-laki tersebut tidak hanya satu jalankan program. Pertama, mempertimbangkan
jenis, tetapi bisa saja bekerja sebagai petani bahwa laki-laki dan perempuan adalah satu
sawit, manajer perkebunan, manajer perusahaan kesatuan, maka upaya mewujudkan kesetaraan
pengolahan sawit multinasional, sebagai ayah, gender tidak bisa hanya melibatkan perempuan,
sebagai suami, sebagai anak, sebagai teman, dan tetapi laki-laki juga harus dilibatkan. Meski laki-

Rini Hanifa dan ... | Perspektif Gender Dalam Keberlanjutan Sawit | 35


laki harus dilibatkan, bukan berarti intervensi Indonesia yang berhasil memperoleh sertifi-
khusus untuk perempuan tidak lagi dibutuhkan. kasi RSPO, yaitu Asosiasi Amanah di Riau dan
Intervensi khusus perempuan untuk memenuhi Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Tanjung
kebutuhan praktis dan strategis perempuan masih Sehati di Jambi. Sementara ini, kelompok tani
tetap harus menjadi prioritas. Kedua, dengan di Sumatra Utara dan Kalimantan Barat sudah
meyakini bahwa laki-laki juga bisa bertindak mulai menerapkan prinsip sawit berkelanjutan
sebagai agen perubahan (agent of change) untuk dengan mengacu pada pedoman good agricultural
kesetaraan gender. Menurut Giddens (2010), practices (GAP) dan standar yang dikembangkan
agen bukanlah sosok yang pasif karena mereka oleh RSPO ataupun ISPO. Selain dengan petani,
terus berpikir serta mengamati tindakan sosial kami melakukan wawancara dengan lembaga
dan segala macam kejadian di sekeliling me­ swadaya masyarakat (LSM) yang mendampingi
reka. Artinya, laki-laki berpikir dan mengamati dan membantu petani sawit dalam menerapkan
lingkungan di sekeliling mereka. Karena ada prinsip dan kriteria sawit berkelanjutan, seperti
proses berpikir, kesadaran laki-laki mengenai Yayasan Setara Jambi dan Serikat Petani Kelapa
adanya struktur yang menghambat, terutama yang Sawit (SPKS). Data dikumpulkan pada Agustus
menghambat perempuan, sangat mungkin untuk dan September 2014 dan Januari 2017. Total jum-
dibangun. Ketiga, dengan menyadari bahwa lah informan, yang merupakan gabungan petani
laki-laki mengakui peran perempuan—tanpa sawit dan pengurus organisasi petani, adalah 13
perempuan, mereka tidak mungkin bisa menca- orang di Labura, 12 orang di Sekadau, 10 orang
pai apa yang mereka miliki saat ini—kesadaran di Ukui, dan 8 orang di Jambi.
laki-laki ini merupakan awal untuk mendorong
Peneliti mengumpulkan data dengan mempe-
tingkat kesadaran yang lebih tinggi, yang juga
lajari dokumen, wawancara mendalam, FGD, dan
akan mendorong terjadinya perubahan sikap dan
observasi perilaku laki-laki dengan perempuan di
tindakan. Namun, pengakuan laki-laki ini tidak
rumah dan kebun. Selama di lapangan, peneliti
lahir dengan sendirinya, tetapi muncul karena
juga membuat reflexive journal, yaitu berupa
melihat perempuan memiliki kemampuan yang
catatan lapangan. Dokumen yang dikaji adalah
terus meningkat. Hal ini melahirkan kesadaran
laporan internal lembaga; laporan ke lembaga
laki-laki untuk lebih memberikan dukungan
donor; laporan hasil audit; dokumen-dokumen
kepada perempuan, mempertanyakan ulang
resmi dari kedua standar sustainability utama,
mengenai status quo mereka, dan membangun
yaitu RSPO dan ISPO; peraturan-peraturan
relasi gender yang lebih adil.
pemerintah terkait; situs web; artikel jurnal aka-
demis; buku; laporan dan publikasi dari organisasi
METODOLOGI nonpemerintah; serta dokumen relevan lainnya.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, Mengacu pada Creswell (2007), data dianalisis
yaitu metode untuk mengeksplorasi dan mema- menggunakan tiga tahapan: 1) mereduksi data,
hami makna masalah sosial, sebagaimana yang 2) menyajikan data, dan 3) menarik kesimpulan.
disampaikan Cresswell (2009, 5):
“Qualitative research is a means for exploring KEBERLANJUTAN (SUSTAINABILITY)
and understanding the meaning individuals or SEKTOR SAWIT
groups ascribe to a social or human problem.”
Dalam satu dekade terakhir ini, luas perkebunan
Data primer dikumpulkan melalui wawan- sawit bertambah secara pesat di semua wilayah
cara mendalam dan focus group discussion (FGD) di seluruh Indonesia, yang bahkan mengantarkan
dengan petani sawit laki-laki dan perempuan di ­Indonesia menjadi produsen sawit terbesar di
Provinsi Jambi, Riau, Sumatra Utara; dan Kali- du­nia. Sejalan dengan perkembangan ini, terjadi
mantan Barat. Keempat provinsi ini merupakan ekspansi kebun sawit yang memengaruhi berbagai
sentra perkebunan sawit di Indonesia. Provinsi aspek dalam kehidupan masyarakat dan kondisi
Riau dan Jambi dipilih karena merupakan tempat lingkungan di Indonesia. Dampak ekspansi perke-
dari dua kelompok tani swadaya pertama di bunan sawit ini secara garis besar (Pramudya,

36 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


Prawoto, & Hanifa, 2015) meliputi konversi hutan perusahaan maupun dari kebun rakyat, juga terus
dan agroforestri, kehilangan ­keanekaragaman bertambah (Paoli dkk., 2010). Berdasarkan pada
hayati, konflik tanah, dan perubahan iklim, baik Annual Communications of Progress 2013/2014,
yang terjadi di tingkat lokal maupun global, sampai Juli 2014 tercatat sudah ada 855 anggota
ter­utama karena pembukaan lahan dengan pem- yang terdiri atas 107 perusahaan perkebunan dan
bakaran. asosiasi pekebun, 288 pemroses dan pedagang,
Meningkatnya luas kebun sawit Indonesia 323 produsen consumer goods, 45 pengecer, 11
dan Malaysia menimbulkan kekhawatiran banyak bank dan investor, 25 LSM lingkung­an, 11 LSM
pihak akan hilangnya hutan hujan tropis dan ke- sosial-kemasyarakatan, 92 affiliates, serta 70
anekaragaman hayati di muka bumi. Hal ini tentu associates (RSPO, 2014 dalam Pramudya dkk.,
saja merugikan masyarakat, terutama masyarakat 2015, 27). P & K RSPO hadir untuk mening­
suku asli yang menggantungkan hidup dari hasil katkan produktivitas, ­meningkatkan pendapatan
hutan. Berkurangnya keanekaragaman hayati perusahaan dan petani, serta mengurangi risiko
meng­akibatkan berkurangnya sumber makanan dari penggunaan pestisida berbahaya. Pada awal
mereka, yang dapat menimbulkan kelaparan. kehadirannya, RSPO dianggap sebagai jawaban
Namun, di sisi lain, kelapa sawit merupakan akan kebutuhan untuk memiliki seperangkat kri-
komoditas strategis yang menghasilkan devisa, teria kredibel dalam memproduksi minyak sawit
menciptakan lapangan kerja, mempercepat secara berkelanjutan. Perusahaan produsen sawit
pertumbuhan di daerah-daerah terbelakang, dan dan pemerintah Indonesia menganggap RSPO
memenuhi kebutuhan minyak goreng dalam bisa menjadi solusi untuk memulihkan pasar
negeri (Paoli, Yaap, Wells, & Sileuw, 2013). sawit mereka. Namun, seiring dengan perjalanan-
Minyak kelapa sawit juga berhasil mengalahkan nya, banyak pihak yang kecewa. RSPO dianggap
pesaingnya, minyak kedelai (Othman, Jani, & terlalu kaku dan tidak memberikan banyak ruang
Alias 1998). Selain itu, kelapa sawit menjadi bis- untuk negosiasi. Di atas 2007, RSPO tidak lagi
nis yang menguntungkan yang terus tumbuh dan memperbolehkan membuka kebun baru di hutan
sulit dihentikan (Pramudya, Hospes, & ­Termeer, primer dan lahan gambut dan produsen sawit
2016). Untuk memastikan sawit diproduksi se­ wa­jib melindungi kawasan yang diidentifikasi
cara berkelanjutan serta mencegah kerusakan me­miliki keanekaragaman hayati yang tinggi
hutan dan musnahnya keanekaragaman hayati,
atau spesifik, atau yang biasa disebut sebagai
maka dikembangkan sejumlah standar.
high conservation value (HCV).
Pengembangan standar yang mengharuskan
Produsen sawit Indonesia menghadapi ber­
pemenuhan prinsip dan kriteria (P&K) menjadi
bagai masalah, dari tudingan LSM bahwa per­
acuan dalam memproduksi sawit berkelanjutan
usahaan sawit telah merampas tanah ­masyarakat
telah menjadi agenda RSPO sejak pertemuan
lokal, sawit telah merusak lingkungan dan
pertama RSPO (RT1) pada 2003. Pada November
me­nye­ babkan kekeringan, sampai menjadi
2005, Prinsip dan Kriteria RSPO (P & K) mulai
peng­­hambat produk sawit Indonesia masuk ke
diadopsi dan diuji coba melalui sebuah proyek
pasar Uni Eropa. Persyaratan produksi biodiesel
percontohan (pilot project) selama dua tahun.
Pada tahun 2007, P & K tersebut ditinjau ulang dari European Union-Reducing Emissions from
untuk melihat apakah perbaikan indikator dan Deforestation and Forest Degradation (EU-
bim­bingan masih dibutuhkan. Selama dua tahun REDD), yaitu Kebijakan Uni Eropa dalam upaya
uji coba P & K, interpretasi nasional terhadap P mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi
& K RSPO juga dilakukan. Pada 2007, RSPO hutan, menuntut perubahan serius dari produksi
menye­tujui P & K yang sudah direvisi. Lalu, kelapa sawit. Bergabungnya para produsen mi­
tak lama setelah itu, P & K untuk petani juga nyak sawit di Indonesia ke RSPO tidak meredakan
di­kembang­kan berdasarkan pada P & K yang kampanye hitam (sawit menyebabkan kebakaran
di­­­setujui sebelumnya. hutan, meminggirkan masyarakat suku asli, dan
mengeksploitasi tenaga kerja) yang melanda
Keanggotaan RSPO terus bertambah, jumlah
sek­tor sawit (Dradjat, 2013).
sawit bersertifikat RSPO, baik yang dihasilkan oleh

Rini Hanifa dan ... | Perspektif Gender Dalam Keberlanjutan Sawit | 37


Dalam perkembangannya, RSPO akhirnya menanam di lahan gambut setelah 16 November
bukan merupakan tata kelola dominan. Muncul 2015; 3) tidak melakukan pembakaran dengan
institusi-proto (yang merupakan i­nstitusionalisasi menunjukkan rencana dan prosedur pencegahan,
ataupun adopsi dari peraturan, praktik, ataupun monitoring, serta penanganan api pada daerah
pendekatan di luar batas kolaborasi antarorgani­ kebun dan sekitar kebun; 4) mengurangi emisi
sasi tertentu) dan sebagai rival (yang merupakan gas rumah kaca (menunjukkan langkah-langkah
kolaborasi antar-organisasi yang muncul dari para untuk memonitor, menangani, dan mengurangi
aktor yang merasa tersingkirkan dari adanya suatu emisi gas rumah kaca); 5) menghargai para petani
inisiatif) (Hospes, 2014). Institusi-proto dapat kecil dan buruh; serta 6) mencegah penggunaan
dijumpai dari inisiatif yang digalang berdasarkan paraquat dan mengaplikasikan lacak balak untuk
pada embrio relasi dan diskusi dalam pertemuan- meningkatkan transparansi dan traceability.
pertemuan RSPO, baik di antara para anggota
Bila dilihat lebih lanjut, dalam inisiatif-
dalam RSPO maupun melibatkan organisasi-
inisiatif ini, pembahasan kesetaraan gender masih
organisasi bukan anggota RSPO. Contoh dari
terbatas. Perspektif gender sudah dianggap cukup
institusi-proto ialah Palm Oil Innovative Group
dibahas dengan adanya perhatian terhadap keadil­
(POIG) dan RSPO Next.
an sosial secara umum. Tidak ada hal-hal spesifik
POID didorong oleh World Wildlife Fund terkait dengan peran perempuan pada rantai sawit,
for Nature (WWF) sejak November 2013. WWF apalagi pada transformasi supaya para perempuan
juga merupakan salah satu inisiator RSPO. bisa dilindungi hak-haknya. RSPO terus mem-
WWF bekerja sama dengan LSM internasional, perbaiki diri dalam mengarusutamakan praktik
seperti Rainforest Action Network (RAN) dan ramah lingkungan dan tanggung jawab sosial di
Greenpeace, serta para produsen makanan, semua rantai pasokan sawit (Paoli dkk., 2010),
seperti Ferrero, Tesco, Edeka, Rewe Group, dan termasuk dalam hal gender. Pembahasan keseta-
Stephenson, untuk mengembangkan skema baru. raan gender pun dalam P & K sawit berkelanjutan
Skema baru ini diharapkan memberikan ruang masih terbatas pada aspek legalitas dan teknis
untuk melakukan pendekatan-pendekatan inovatif yang masih belum komprehensif dan belum
pada saat mengimplementasikan standar sawit menggunakan kerangka transformasi gender.
berkelanjutan.
Pemerintah Indonesia memiliki komitmen
RSPO Next merupakan inisiatif dari dalam untuk memproduksi sawit berkelanjutan dan me­
RSPO yang lahir pada Agustus 2015. RSPO ningkatkan nilai daya saing sawit Indonesia di
Next merupakan program berbasis kesukare- pasar global. Untuk itu, Indonesia juga mengem-
laan untuk mengembangkan kriteria tingkat bangkan standar keberlanjutan yang diberi nama
lanjut dari produksi minyak sawit berkelanjutan. Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Standar
Kriteria tingkat lanjut ini lebih ketat terhadap tersebut diperkenalkan pertama kali pada 2009.
deforestasi, emisi gas rumah kaca, dan komit- ISPO mulai diterapkan pada Maret 2012 setelah
men untuk menghormati hak-hak asasi manusia. serangkaian sosialisasi yang dilakukan pada
Verifikasi terhadap kriteria tingkat lanjut ini berbagai pihak, terutama produsen sawit. ISPO
akan dilakukan oleh lembaga sertifikasi pada mengembangkan standar dengan mengacu pada
saat mereka melakukan verifikasi P & K RSPO. kerangka hukum dengan memberikan tiga tahun
Produsen minyak sawit harus mampu menunjuk- masa tenggang untuk menerapkannya. P ­ emerintah
kan bahwa kebun mereka paling tidak 60% sudah memiliki tanggung jawab untuk melatih dan
memenuhi kriteria inti P & K RSPO. Kebun mem­bimbing perusahaan perkebunan mematuhi
yang disertifikasi harus mampu menunjukkan standar tersebut. Berbeda dengan standar RSPO
komitmen mereka untuk 1) tidak deforestasi yang bersifat sukarela, standar ISPO bersifat
dengan bukti bahwa kebun mereka dibangun di mengikat, dalam artian wajib, yakni tidak ada
daerah-daerah dengan stok karbon yang rendah alasan untuk perusahaan untuk tidak memenuhi
dan tak ada konversi dari kawasan hutan; 2) tidak prinsip dan kriteria keberlanjutan dalam ISPO.

38 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


Sebelumnya, sudah dijelaskan bahwa ke­ sawit, 24 jenis dikerjakan perempuan. Empat
ten­tuan dalam RSPO dianggap lebih ketat di­ jenis pekerjaan yang tidak dilakukan perempuan
ban­­ding­kan ISPO dalam mencegah deforestasi adalah jenis pekerjaan yang membutuhkan kerja
(Hospes, 2015). Tuntutan pemenuhan peraturan otot atau kerja fisik yang berat, seperti mene-
yang berlaku secara nasional sudah dicakup bang pohon pada saat pembukaan lahan kebun.
pada prinsip kedua RSPO, sehingga hampir Perempuan, seperti halnya laki-laki, terlibat dari
se­mua perusahaan yang sudah mendapatkan proses awal tanam, merawat, memanen hingga
serti­fikat RSPO tidak mengalami kesulitan dalam penjualan. Perempuan banyak terlibat di kebun
memenuhi standar ISPO. Meski masih ada pihak ketika sawit masih kecil, yaitu hingga usia 4-5
yang mengatakan bahwa P & K pada ISPO jauh tahun, seperti membersihkan lahan, melakukan
lebih longgar, pada faktanya masih banyak per­ pembibitan sawit, menanam bibit, memupuk,
usahaan yang gagal mendapatkan sertifikat ISPO menyemprot, dan lain sebagainya. Namun ketika
karena masih belum memenuhi peraturan yang sawit mulai berbuah, perempuan lebih jarang
berlaku secara sepenuhnya. Selain itu, ISPO dini- terlibat di kebun dibandingkan laki-laki. Meski
lai hanya melibatkan konsultasi pada segelintir demikian, perempuan memegang dan mengelola
pihak, tidak partisipasipatif sebagaimana halnya uang hasil penjualan sawit.
RSPO (Hospes, 2015). Ditambah, ISPO terkesan RSPO memiliki delapan prinsip dan kriteria
menjadi panggung kolaborasi dari berbagai pihak (P & K RSPO), dengan komponen gender berada
yang tidak memperoleh suara pada pembahasan pada Prinsip 6, yaitu bertanggung jawab terhadap
RSPO (Sahide, Burns, Wibowo, Nurrochmat, para karyawan, individu, serta masyarakat yang
& Giessen, 2015). Hal-hal ini mengundang kri­ terkena dampak perkebunan dan pabrik pengolah­
tik bahwa ISPO dianggap lebih memfasilitasi an. Sementara itu, ISPO memiliki tujuh P & K,
perusahaan, bukannya mengatur mereka untuk dengan komponen gender terdapat pada Prinsip 4,
memenuhi ketentuan/standar yang kredibel serta yaitu bertanggung jawab terhadap pekerja. Uraian
meningkatkan tanggung jawab sosial dan ling- lebih lanjut mengenai komponen gender dalam
kungan mereka. P & K RSPO dan ISPO bisa dilihat pada tabel
di bawah ini.
ASPEK GENDER PADA KEBERLANJUTAN Standar-standar yang dikembangkan meng­
(SUSTAINABILITY) SEKTOR SAWIT ang­gap aspek gender masih dianggap c­ukup
Dalam sebuah assessment yang dilakukan oleh ter­wakili dengan membahas aspek keadilan
Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), teridentifi- sosial secara umum. Untuk RSPO, kurangnya
kasi bahwa dari 28 jenis pekerjaan pada kebun pembahasan aspek gender sudah mulai disentuh

Tabel 1. Komponen Gender dalam Prinsip dan Kriteria RSPO dan ISPO

Prinsip Kriteria

RSPO  
Prinsip 6. Bertanggung Jawab Kriteria 6.8. Segala bentuk diskriminasi berdasarkan pada ras, kasta,
kepada pekerja, individu, dan kebangsaan, agama, cacat, gender, orientasi seksual, keanggotaan serikat,
komunitas dari kebun dan pabrik. afiliasi politik, atau umur dilarang.
  Kriteria 6.9. Kebijakan untuk mencegah pelecehan seksual dan berbagai
bentuk kekerasan terhadap perempuan dan untuk melindungi hak re-
produksinya disusun dan diaplikasikan.
ISPO  
Prinsip 5. Bertanggung jawab 5.3 Penggunaan pekerja anak dan diskriminasi pekerja (suku, ras, gender,
terhadap pekerja dan agama).
  Perusahaan perkebunan dilarang mempekerjakan anak di bawah umur dan
melakukan diskriminasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sumber: ISPO (2010); Permentan (2015)

Rini Hanifa dan ... | Perspektif Gender Dalam Keberlanjutan Sawit | 39


sejak 2008/2009 (RSPO, 2009). Baru pada 2014, bagai praktik diskriminasi terhadap perempuan,
roundtable RSPO membahas lebih spesifik bahkan mereka sendiri sebagai pelaku. Misalnya,
dan mendalam mengenai aspek gender. Dalam laki-laki tidak melibatkan perempuan dalam
roundtable RSPO di Kuala Lumpur pada 2014, organisasi kelompok petani sawit karena rapat-
salah satu pembahasan penting adalah menge- rapat sering diadakan di malam hari, dan keluar
nai bagaimana audit gender dalam prinsip dan rumah di malam hari tidak aman bagi perempuan.
kriteria harus ditingkatkan melalui audit sosial Maka, dengan maksud melindungi perempuan,
(RSPO, 2014). Sehubungan dengan keterbatasan perempuan diminta untuk tinggal di rumah.
ini, beberapa hal bisa diamati dari pelaksanaan
Di samping itu, di kalangan para petani
sertifikasi RSPO di lapangan. Pengamatan di-
sa­wit, masih banyak anggapan bahwa budi
lakukan terhadap dua kelompok petani mandiri
daya sawit, yang merupakan penopang hidup
yang sudah menerima sertifikasi RSPO, yaitu
utama bagi keluarga, merupakan tanggung ja­
di Kabupaten Pelalawan, Riau, dan Kabupaten
wab laki-laki sebagai kepala keluarga. Bila para
Merangin, Jambi.
perempuan sampai terlibat mengerjakan kebun,
Salah satu hal penting dalam penerapan P & hal itu menjadi aib bagi para suaminya karena
K RSPO adalah adanya internal control system menunjukkan mereka tidak mampu menyediakan
(ICS), yang merupakan sistem untuk menjamin taraf hidup yang layak bagi keluarganya. Namun,
semua ketentuan/P & K RSPO berjalan dan ter- dalam latar belakang budaya yang mempunyai
dokumentasi dengan baik. Dokumentasi tersebut hubungan yang lebih seimbang antara laki-laki
memungkinkan lembaga sertifikasi mengaudit dan perempuan, pengerjaan kebun dilakukan
kelompok tani untuk melihat apakah petani sudah ber­sama oleh para laki-laki dan perempuan.
menjalankan semua (delapan) standar yang sudah
Kepengurusan kelompok tani yang bertang-
ditetapkan. Salah satu tantangan terbesar dari
gung jawab dalam memenuhi P & K RSPO
pengurus ICS/kelompok tani adalah pendoku-
tersebut juga masih didominasi laki-laki. Dalam
mentasian atau pencatatan atas semua ketentuan
kepengurusan asosiasi amanah di Riau atau
yang sudah mereka patuhi. Tingkat pendidikan
Gapoktan Tanjung Sehati di Jambi, tidak ada
yang rendah dan kapasitas yang kurang menjadi
perempuan yang menjadi pengurus atau berada
kendala petani dalam pencatatan dan pendoku- pada posisi strategis yang bisa membuat kepu-
mentasian yang menjadi salah satu kunci penting tusan dan memengaruhi kebijakan organisasi.
dalam sertifikasi. Bukan hanya petani yang hidup dan dibesarkan
Untuk dapat memenuhi delapan P & K berikut dengan nilai-nilai patriarki, auditor, atau ­anggota
semua indikatornya, petani sawit terlebih dahulu staf lembaga sertifikasi, yang melakukan audit ter-
dilatih dan dibina, yang membutuhkan proses hadap kelompok tani juga memiliki p­ emahaman
panjang dan biaya yang tidak sedikit. Di sinilah terbatas mengenai P & K dan indikator gender
lembaga pendamping, LSM, berperan. Namun, sehingga mereka tidak bisa memberikan m ­ asukan
tidak mudah bagi petani memahami dan mener- dan arahan untuk petani. Banyak auditor tidak
jemahkan indikator yang ada dalam P & K RSPO, terlalu mementingkan indikator tersebut, mereka
termasuk indikator dalam Prinsip 6, seperti pada lebih berfokus pada P & K lainnya, seperti Prinsip
Kriteria 6.8, yakni “Segala bentuk diskriminasi 1, yaitu “Komitmen terhadap transparansi,” dan
berdasarkan pada ras, kasta, kebangsaan, agama, prinsip lain yang lebih mudah mereka pahami.
cacat, gender, orientasi seksual, keanggotaan Belakangan, beberapa organisasi menggenjot
serikat, afiliasi politik, atau umur dilarang,” serta pe­­ngem­bangan kerangka pemikiran untuk men­­
Kriteria 6.9, yaitu “Kebijakan untuk mencegah dorong kesetaraan gender. Beberapa ­organisasi
pelecehan seksual dan berbagai bentuk kekerasan nonpemerintah membawa kerangka kerja trans­
terhadap perempuan dan untuk melindungi hak formasi gender. Transformasi institusi yang
reproduksinya disusun dan diaplikasikan.” men­ jadi prasyarat dalam menciptakan relasi
Karena budaya patriarki sudah tertanam kuat, gender yang setara harus mentransformasi semua
banyak petani laki-laki tidak menyadari ada ber- stakeholder dalam rantai komoditas sawit tanpa

40 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


terkecuali. Transformasi tidak hanya diharapkan lanjutan (sustainability), yang mendorong praktik
dari organisasi petani sawit, tetapi juga dari per­ bisnis yang bertanggung jawab. Dengan mendu-
usahaan produsen sawit dan perusahaan sertifikasi. kung kerja beberapa organisasi masyarakat sipil
Para perempuan biasanya hanya terlibat di lapangan, Oxfam berupaya mengumpulkan
dalam kegiatan-kegiatan sosiokultural yang ada informasi mengenai pentingnya aspek gender.
di pedesaan, misalnya pengajian dan arisan. Hal Paradigma transformasi gender ini sudah
ini juga diamati di Kabupaten Merangin dan dicoba diimplementasikan melalui program-
Kabupaten Pelalawan. Dalam kegiatan-kegiatan program di lapangan. Khususnya di Indonesia,
tersebut, diskusi mengenai isu gender relatif tidak program di lapangan yang sudah mencoba
terjadi karena wacana tersebut belum sampai ke- meng­angkatnya adalah di Sumatra Utara dan Ka-
pada kelompok yang didominasi para perempuan. limantan Barat. Adapun beberapa fakta mengenai
Perempuan terlibat pertanian terbatas pada kebun perempuan di lokasi tersebut adalah, pertama, di
di sekitar rumah untuk membantu pemenuhan semua lokasi penelitian, dalam 3–4 tahun pertama
kebutuhan sehari-hari. Di kebun tersebut, para tanaman sawit, perempuan terlibat aktif bekerja
perempuan bertanam sayur atau tanaman obat di kebun hingga tanaman sawit berbuah. Namun,
keluarga. ketika sawit mulai berbuah, mereka mulai jarang
terlibat, karena sawit tidak lagi membutuhkan
Namun, sebenarnya perempuan juga terlibat
perawatan yang intensif sehingga perempuan me-
cukup aktif dalam pengelolaan kebun sebagai
milih melakukan aktivitas lain, seperti berkebun
buruh tani. Para buruh tani ini biasanya bekerja
sayur, berjualan, atau hanya tinggal di rumah.
pada kebun milik perusahaan, tetapi pada kebun
Kedua, pekerjaan rumah tangga pada umumnya
petani swadaya pun para buruh tani perempuan
dikerjakan oleh istri, dan keterlibatan laki-laki/
banyak ditemukan. Biasanya, para buruh tani
suami dalam pekerjaan rumah tangga sangat
perempuan ini merupakan pendatang dari ­daerah
rendah. Meski istri ikut membantu suami bekerja
lain dengan kesempatan penghidupan yang terba-
di kebun, jarang suami yang membantu istri
tas, misalnya Pulau Nias, Nusa Tenggara Barat,
mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Selain itu,
Nusa ­Tenggara Timur, dan beberapa daerah di
apresiasi suami terhadap pekerjaan rumah tangga
Jawa. Dalam kondisinya sebagai pendatang,
atau kebun yang dilakukan istri rendah. Ketiga,
mereka cenderung tidak tertarik untuk ikut aktif
waktu rata-rata yang dihabiskan oleh perempuan
dalam berbagai ke­giatan sosial kemasyarakatan
ketika bekerja di kebun sawit adalah 2–3 jam, dan
di tingkat lokal. Bagi mereka, bekerja dan mem-
itu pun tidak setiap hari. Adapun pekerjaan yang
peroleh tempat tinggal sementara selama bekerja
umum dilakukan perempuan di kebun adalah
pun sudah cukup.
membersihkan piringan dan memupuk. Keem-
Salah satu organisasi yang cukup aktif dalam pat, perempuan jarang dilibatkan dalam rapat,
mengampanyekan pentingnya mengangkat lebih pelatihan, atau kegiatan lain yang berhubungan
lanjut isu kesetaraan gender dalam isu sawit dengan sawit. Hal ini terjadi karena adanya ang-
ber­kelanjutan adalah Oxfam. Oxfam, bekerja gapan bahwa tugas perempuan adalah mengurus
sama dengan beberapa organisasi masyarakat rumah, sedangkan mengurus kebun merupakan
sipil di Indonesia, mendorong perusahaan tidak tugas suami. Karena jarang dilibatkan, perhatian
hanya mencari keuntungan, tetapi juga memenuhi dan wawasan perempuan mengenai kebun sawit
tanggung jawab lingkungan dan sosial mereka. menjadi terbatas.
Agar perusahaan menerapkan praktik bisnis
Perempuan menunjukkan minat untuk ter­
ber­kelanjutan dan investasi di bidang pertanian
libat lebih jauh terkait dengan kebun. Mereka
yang juga menguntungkan petani. Selain itu, ingin terlibat dan berperan untuk meningkatkan
me­lalui investasi, mereka mendorong terciptanya produktivitas kebun. Namun, struktur yang ada
relasi gender yang adil dan mendorong terjadinya menjadi hambatan bagi mereka. Sebagai perem-
perubahan transformatif. Salah satu cara untuk puan, mereka dituntut tetap berada di rumah,
mencapai hal tersebut adalah melalui perubahan menyiapkan makanan untuk suami, mengasuh
adopsi kebijakan, termasuk dalam standar keber- anak, dan menjalankan peran gender tradisional

Rini Hanifa dan ... | Perspektif Gender Dalam Keberlanjutan Sawit | 41


lainnya. Akses dan kesempatan untuk berpartisi- menganggap isu-isu hubungan industrial belum
pasi dalam kegiatan di luar rumah hampir tidak memperoleh perhatian yang cukup, sementara
ada karena pelatihan dan rapat hanya diperun- energi dicurahkan untuk isu tentang ekspansi
tukkan bagi laki-laki. Pemikiran perempuan di perkebunan beserta dampak lingkungan dan
anggap tidak penting. Bahkan, di beberapa desa sosialnya.
di Sekadau, masih ada anggapan bahwa tempat Dalam pelaksanaannya, agenda transformasi
perempuan adalah di belakang. menemui berbagai tantangan, seperti membong-
Namun, upaya menyentuh para buruh kar relasi-relasi struktural di tingkat masyarakat,
perempuan yang merupakan buruh yang datang keterbatasan lingkup program yang masih
dari daerah lain cukup kurang. Misalnya, di Su- berfokus pada penerapan standar keberlanjutan
matra Utara, wilayah dengan banyak perkebunan (sustainability), kurangnya kapasitas para pelak-
yang mempekerjakan buruh perempuan dari sana program untuk mengintegrasikan kesetaraan
Pulau Nias, para aktivis lembaga tingkat lokal gender, keterbatasan bentuk dan ekspektasi dari
mengalami kesulitan untuk menjangkau mereka. kerja sama masyarakat sipil dengan pemerintah,
Mereka tidak terlalu berminat untuk terlibat lebih keterbatasan sumber daya dalam pelaksanaan
dalam pada kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan program yang multi agenda, serta hubungan
lembaga di tingkat lokal. Sementara itu, kondisi hierarki pelaksanaan program antara masyarakat
mereka yang tidak menetap juga membuat or- dan lembaga pendamping.
ganisasi di tingkat lokal kesulitan merangkul dan
mengorganisasi mereka.
MENUJU TRANSFORMASI GENDER
Sehubungan dengan keterbatasan ini, praktik PADA ISU KEBERLANJUTAN SAWIT
diskriminasi terhadap buruh perempuan juga
Berdasarkan pada pembahasan di atas, dapat
men­jadi tidak tersentuh. Contohnya, masalah
dilihat bahwa upaya memasukkan isu gender
mendasar pada kaum buruh perempuan, yaitu
dalam skema keberlanjutan (sustainability) yang
upah yang diterima lebih rendah dan dipekerjakan
ada masih berfokus pada perempuan. Padahal,
pada tugas-tugas yang cukup berbahaya, misalnya
penyemprotan hama. Secara prinsipil, sebenarnya berbicara tentang keadilan gender berarti berbi-
lembaga di tingkat lokal menyadari bahwa cara tentang relasi antara laki-laki dan perem-
praktik-praktik ini merupakan pengejawantahan puan. Laki-laki, di empat wilayah penelitian,
dari diskriminasi terhadap perempuan. Namun, masih memegang peran penting dalam pembuat
karena para buruh perempuan ini bekerja sebagai keputusan. Maka, jika kesadaran gender mereka
buruh harian lepas yang tak terjangkau kegiatan- dibangun dan mereka dilibatkan dalam melaku-
kegiatan pengorganisasian dan pendampingan, kan perubahan gender transformatif dari skema/
akhirnya isu-isu seperti ini tak tertangani. inisiatif sustainability yang ada, hasilnya akan
lebih berdampak dibandingkan hanya berfokus
Selain itu, buruh perempuan di pabrik kelapa
pada perempuan.
sawit, dari pengumpulan informasi di lapangan,
terlihat belum terlalu disentuh oleh berbagai Pendekatan yang berhubungan dengan
kegiatan pendampingan dan advokasi dari lem- upaya kesetaraan gender dalam rantai komoditas
baga di tingkat lokal. Kegiatan pendampingan sawit tidaklah cukup hanya dengan mendorong
dan advokasi di bidang sawit lebih banyak keterlibatan perempuan dalam kerja-kerja sawit
dilakukan lembaga-lembaga yang mempunyai atau mendorong representasi perempuan dalam
latar belakang di bidang advokasi lingkungan. forum multi-stakeholder. Pendekatan untuk
Isu hubungan industrial merupakan isu yang mengangkat kesetaraan gender harus diarahkan
dipahami, tetapi biasanya diposisikan di luar lebih pada memungkinkan terjadinya perubahan
lingkup pekerjaan lembaga-lembaga lingkungan. gender transformatif. Untuk mewujudkan sebuah
Keterbatasan lingkup ini ditambah lagi dengan perubahan gender transformatif, kesadaran gen-
kurangnya dukungan dari lembaga pendanaan der laki-laki dari semua aktor yang terlibat juga
terhadap lembaga-lembaga lingkungan ini, yang harus dibangun.

42 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


Masalah lain yang belum cukup dibahas aset. Menurut dia, hampir semua perempuan
adalah mengenai karakteristik pekerja. Ketika di desanya bekerja keras dan memiliki sumber
membahas sektor pekerja, hal itu belum men- pendapatan sendiri dari berjualan atau usaha lain-
cakup realitas di lapangan, yakni sebagian besar nya. Namun, ketika membeli aset, semua dibuat
pekerja di sektor sawit adalah pekerja harian atas nama suami (NS, 33 tahun, wawancara
atau borongan yang tidak terikat kontrak yang pribadi, 17 Februari 2017).
cukup kuat untuk menjamin pelaksanaan upaya Adapun di masyarakat Labura, dominasi
peningkatan keberlanjutan (sustainability). Ban- laki-laki dalam membuat keputusan ­menyebabkan
yak perempuan buruh di kebun sawit, seperti di perempuan menyiasati dengan menjaga harta
Labura, Sumatra Utara, yang berasal dari luar warisan dan mencegah balik nama menjadi nama
daerah, salah satunya Nias. Buruh perempuan suami. Sementara itu, perempuan masyarakat
tinggal bersama suami yang juga bekerja sebagai transmigran di Sekadau tidak mempermasalahkan
buruh di kebun kelapa sawit atau mengerjakan sertifikat atas nama suami karena sertifikat lahan
pekerjaan serabut lain, sementara anak mereka dan aset mereka lainnya disimpan oleh perem-
ditinggal di kampung di Nias. Sebagai pekerja puan. Perempuan juga dilibatkan dalam membuat
migran, tidak memiliki lahan, tidak memiliki keputusan sehubungan dengan penggunaan lahan.
rumah, dan jauh dari perlindungan keluarga besar, Namun, bagaimanapun, ketika terjadi gangguan
perempuan berada pada posisi rentan dan rawan dalam rumah tangga, seperti perselingkuhan
kekerasan. suami yang berakhir pada perceraian, perempuan
Aspek-aspek struktural seperti kepemilikan berada dalam posisi yang lemah. Responden
tanah belum dibahas secara terintegrasi dalam tersebut mengatakan bahwa perceraiannya
upaya mengangkat kesetaraan gender pada isu dengan suami pertama mengajarinya untuk
keberlanjutan sektor sawit. Di Labura atau di tidak lagi menyerahkan lahan dan aset lainnya,
Sekadau, Kalimantan Barat, kepemilikan tanah terutama yang merupakan hasil jerih payahnya
dan aset lainnya adalah atas nama laki-laki. Hal sendiri, atas nama suami. Dia mengaku merasa
ini terjadi karena ada anggapan bahwa laki-laki beruntung karena suami keduanya ternyata tidak
sebagai kepala keluarga dan sebagai pemimpin mempermasalahkan jika tanah dan aset lain
keluarga diterima oleh masyarakat dan menjadi dimiliki dengan namanya.
kebenaran umum. Dalam pembagian harta waris, Untuk mencapai perubahan gender transfor-
laki-laki memperoleh bagian yang lebih besar matif dalam keberlanjutan (sustainability) sawit,
daripada perempuan. pelibatan laki-laki juga perlu dipertimbangkan
Karena tanah atas nama laki-laki, pada ma- serta bisa dimasukkan ke prinsip dan kriteria
syarakat Labura terdapat kecenderungan bahwa yang berkaitan dengan gender. Meski dalam
keputusan pemanfaatan tanah ditentukan oleh banyak hal laki-laki menunjukkan superioritas
laki-laki sebagai kepala keluarga dan sebagai dan menegaskan posisi sebagai kepala rumah
pemilik sah atas tanah yang didukung oleh surat- tangga yang lebih berkuasa daripada perempuan,
surat tanah atas nama mereka. Hal ini membuat menariknya, semua petani sawit laki-laki, baik
negosiasi perempuan atas tanah menjadi lemah. di Merangin, Jambi; Labura, Sumatra Utara;
Hal yang sama berlaku di Sekadau; di sana tanah Sekadau, Kalimantan Barat; maupun Ukui,
dan aset berharga lainnya adalah atas nama laki- Riau, menyatakan terdapat superioritas istri
laki. Salah seorang responden yang diwawancarai dalam mengelola keuangan, baik rumah tangga
di Sekadau mengatakan, sebelum menikah, maupun usaha kebun. Dalam hal ini, hampir
ia memiliki kebun yang ia beli dari hasil jerih semua petani sawit laki-laki menyerahkan uang
payahnya. Namun, ketika sudah menikah, surat hasil penjualan sawit kepada istri. Setelah itu,
tanah atas kebun dan sertifikat lahan dibuat atas sang istri mengeluarkan biaya kebutuhan mereka,
nama suami. Ia melakukan hal tersebut karena seperti bensin, rokok, dan pulsa telepon. Istri juga
sudah menjadi kebiasaan. Dia memercayakan terlibat dalam menentukan upah tenaga kerja,
suami sebagai kepala keluarga untuk mengelola bahkan melakukan pembayaran upah.

Rini Hanifa dan ... | Perspektif Gender Dalam Keberlanjutan Sawit | 43


Meski hampir semua laki-laki menyetujui untuk bisa mendapatkan sertifikat RSPO, mereka
bahwa perempuan lebih baik dalam mengelola akan memperkuat kelembagaan mereka.
keuangan daripada oleh kalangan mereka, para Buruh perempuan juga diuntungkan karena
laki-laki tetap menunjukkan kekhawatiran bahwa mereka dibayar sama dengan buruh laki-laki.
perempuan juga mudah tergoda untuk berperilaku Selain itu, dalam hal standar keselamatan bekerja,
konsumtif. Dengan demikian, menurut mereka, seperti ketika menyemprotkan pestisida, faktor
untuk mendorong keberlangsungan usaha sawit, keselamatan mereka diperhatikan. Dengan ba­
kapasitas perempuan, terutama dalam mengelola nyaknya manfaat yang diterima dari kelompok
keuangan, harus ditingkatkan, dan hal tersebut tani yang sudah menerapkan inisiatif berkelan-
dapat dilakukan melalui pelatihan. Pengurus jutan, bisa dikatakan jika standar gender lebih
Gapoktan Tanjung Sehati mengatakan, banyak diperkuat, hal tersebut juga akan berdampak
cara dapat dilakukan untuk meningkatkan keter- dalam rumah tangga serta keseharian petani sawit
libatan perempuan dalam sektor sawit berkelan- laki-laki dan perempuan.
jutan. Sebagian besar perempuan tidak terlalu
tertarik pada rapat-rapat kelompok tentang pene­ Namun, penerapan yang luas untuk pendekat­
rapan P & K RSPO. Namun, untuk meningkat­kan an gender transformatif terhadap para perempuan
kapasitas, perempuan bisa masuk dari pintu lain. yang berpartisipasi pada rantai komoditas sawit
Dalam hal ini, penguatan kapasitas perempuan juga masih terhambat oleh keterbatasan kemam-
bisa dilakukan dengan memfasilitasi kegiatan puan dan lingkup lembaga pendamping di tingkat
yang disenangi dan dibutuhkan perempuan, salah lokal. Hal ini menjadi tantangan ketika menerap­
satunya mengenai manajemen pengelolaan uang. kan P & K sawit berkelanjutan karena, selain ke­
terbatasan informasi dari lapangan, sumber daya
Pada petani sawit yang sudah mendapat ser­ manusia yang kapabel masih langka. Tidak ada
ti­fikat RSPO, baik di Merangin maupun Ukui, pilihan lain bagi standar-standar ­sustainability
untuk setiap pembayaran dari buah sawit yang di- sawit untuk menyadari bahwa ekspansi sawit
jual, mereka mendapatkan slip pembayaran yang terjadi dalam ranah sosial dan ekologis serta
berisi jumlah total uang yang diterima serta perin- mengupayakan pengurangan dampak negatif
cian pemotongan biaya jika ada. Seperti halnya termasuk pada perempuan memerlukan bekerja
slip pembayaran gaji, petani menerimanya setiap dalam jejaring masyarakat sipil. P & K merupa­
bulan, dan slip tersebut disimpan istri mere­ka kan pintu masuk dan arena untuk melakukan
sehingga sang istri mengetahui pendapatan yang pembelajaran sehingga berbagai refleksi dari
diterima dari kebun sawit. pengalaman-pengalaman sektor lain bisa diangkat
Petani sawit perempuan di Ukui dan di dan dipelajari.
Merangin mengatakan, meski tidak terlibat secara
langsung dalam penerapan P & K RSPO, mereka SIMPULAN
merasakan manfaatnya. Mereka mengatakan, har-
ga beli sawit meningkat semenjak suami mereka Perempuan mempunyai keterlibatan yang cukup
terlibat aktif dalam ICS dan menerapkan praktik banyak dalam produksi kelapa sawit. Oleh karena
sawit berkelanjutan. Sebelumnya, harga jual itu, kesetaraan gender merupakan bagian yang
ren­dah dan fluktuatif karena harga dipermainkan tidak bisa diabaikan dalam isu sawit berkelan-
tengkulak dan harga beli sawit juga rendah karena jutan. Kesetaraan gender adalah bagian yang
kualitasnya rendah. Namun, setelah mendapatkan tak terpisahkan dari aspek keadilan sosial yang
sertifikat, harga menjadi lebih baik dan petani hendak dicapai dalam isu sawit berkelanjutan.
bisa mengelola penjualan sendiri secara langsung Sektor sawit mengakui adanya diskriminasi
ke perusahaan sehingga tidak bergantung lagi gender, yaitu berbagai bentuk ketidakadilan yang
pada tengkulak. Salah satu prasyarat bagi petani dihadapi perempuan. Melalui inisiatif sawit ber­
untuk bisa mendapatkan sertifikat RSPO adalah kelanjutan, berbagai upaya telah dilakukan untuk
harus memiliki kelembagaan yang kuat. Dengan memastikan adanya kesetaraan gender pada sektor
demikian, ketika kelompok tani mengupayakan sawit, yaitu dengan memasukkan klausa gender

44 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


pada prinsip dan kriteria sawit berkelanjutan, to address inequalities in food, nutrition and
yaitu Prinsip 6: “Bertanggung jawab terhadap economic outcomes in aquatic agricultural
pekerja, individu, dan komunitas dari kebun dan systems. Paper. WorldFish.
pabrik,” serta Prinsip 5, “Bertanggung jawab Cornwall, A. (1997). Men, masculinity and ‘gender in
development’.  Gender & Development,  5(2),
terhadap pekerja.” Namun, upaya membangun
8–13.
kesetaraan gender dalam isu sawit berkelanjutan
Cornwall, A. (2000). Missing men? Reflections on
belum terjadi sepenuhnya karena keterbatasan men, masculinities and gender in GAD. IDS
dalam mengoperasionalkan perspektif gender Bulletin, 31(2), 18–27.
ke dalam standar keberlanjutan (sustainability). Creswell, J.W. (2007). Qualitative inquiry and research
Kesetaraan gender yang dicakup masih sebatas design: Choosing among five approaches (2nd
upaya perlindungan kaum perempuan terhadap ed.). Thousand Oaks, CA: Sage.
risiko pekerjaan dalam sektor sawit dan hanya Creswell, J. (2009). Research design: Qualitative,
mencakup paradigma women in development. quantitative, and mixed methods approaches.
Cakupan yang sebatas paradigma women in Los Angeles, CA: Sage.
development menjadikan perhatian terhadap Darto. (2015). Memahami situasi gender di perkebunan
ke­setaraan gender terbatas karena belum mem- kelapa sawit. Diakses pada 22 November 2016
dari http://www.spks.or.id/berita-memahami-
perhatikan relasi gender laki-laki dan perempuan situasi-gender-di-perkebunan-kelapa-sawit.
serta hambatan struktural yang memengaruhinya. html.
Belakangan, memang ada prakarsa untuk Dradjat, B. (2013). Upaya mengatasi black campaign
mem­bawa paradigma transformasi gender untuk kelapa sawit dan langkah strategis ke depan.
lebih meningkatkan perhatian terhadap kesetaraan Diakses pada 6 Februari 2017 dari http://
pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/
gender. Namun, dalam pelaksanaannya, masih
Pros_2012_05B_MP_Bambang.pdf.
ditemukan hambatan struktural dalam masyarakat,
Ertürk, Y. (2004). Considering the role of men in
dan intervensi untuk mentransformasi struktur gender agenda setting: Conceptual and policy
tersebut masih kurang. Terdapat gap yang lebar issues. Feminist Review, (78), 3–21. Diakses
dalam memandang keseimbangan antara peran pada 11 Oktober 2016 dari http://www.jstor.
laki-laki dan perempuan, yakni kesetaraan gender org/stable/3874403.
masih belum bisa diulas secara komprehensif Fakih, M. (1996). Analisis gender. Yogyakarta:
apabila intervensi masih mengambil titik berat Pustaka Pelajar.
pada perempuan. Giddens, A. (2010). Teori strukturasi: Dasar-dasar
pembentukan struktur sosial masyarakat.
Untuk lebih mengangkat kesetaraan gender, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
semua pemangku kepentingan sawit, terutama Haugh, H. M. & Talwar, A. (2016). Linking social
yang memiliki kekuatan untuk “memaksakan” entrepreneurship and social change: The
sebuah perubahan, haruslah mengupayakan ke­ mediating role of empowerment. Journal of
rangka pemikiran gender transformatif dalam Business Ethics, 133(4), 643–658.
institusi, kebijakan, dan program dalam semua Hospes, O. (2015). Marking the success or end of
kegiatan yang mereka lakukan. Dalam mewujud­ global multi-stakeholder governance? The rise
kan gender transformatif dalam keberlanjutan of national sustainability standards in Indonesia
and Brazil for palm oil and soy. Agric Hum
sawit juga perlu melibatkan laki-laki dan tidak
Values, 31, 425–437.
hanya berfokus pada perempuan.
Jena, P. R., Stellmacher, T., & Grote, U. (2015). Can
coffee certification schemes increase incomes
PUSTAKA ACUAN of smallholder farmers? Evidence from Jino-
tega, Nicaragua. Environment, Development
Barker, G. & Schulte, J. (2010). Engaging men as
and Sustainability, 1–22.
allies in women’s economic empowerment:
Strategies and recommendations for CARE Julia & White, B. (2012). Gendered experiences of
Country Offices. Norwegia: CARE Norway. dispossession: oil palm expansion in a Dayak
Hibun community in West Kalimantan. Journal
Cole, S. M., Kantor, P., Sarapura, S., & Rajaratnam,
of Peasant Studies, 39(3–4), 995–1016.
S. (2015). Gender-transformative approaches

Rini Hanifa dan ... | Perspektif Gender Dalam Keberlanjutan Sawit | 45


Kabeer, N. (2000). Resources, agency, achievements: Pramudya, E. P., Hospes, O., & Termeer, C. J. A. M.
Reflections on the measurement of women’s (2016). Governing the palm oil sector through
empowerment. New Jersey: Blackwell. finance: the changing roles of the Indonesian
Leach, F. & Sitaram, S. (2002). Microfinance and state. Bulletin of Indonesian Economic Studies,
women’s empowerment: A lesson from 1–22. https://doi.org/10.1080/00074918.2016.
India. Development in Practice,12(5), 575–588. 1228829.
Diakses pada 15 Desember 2016 dari http:// Rist, L., Feintrenie, L., & Levang, P. (2010). The
www.jstor.org/stable/4029403. livelihood impacts of oil palm: smallholders
Li, T. M. (2015). Social impacts of oil palm in in Indonesia. Biodiversity and Conservation,
Indonesia: A gendered perspective from West 19(4), 1009–1024. https://doi.org/10.1007/
Kalimantan (Vol. 124). Bogor: CIFOR. s10531-010-9815-z
Milasari, A. C. K. (2008). Perlawanan perempuan Ritzer, G. (2014). Teori Sosiologi Modern. Jakarta:
di konflik perkebunan sawit skala besar di Kencana.
Sumsel dan Kalbar. Makalah dipresentasikan RSPO. (2014). Roundtable meeting on sustainable
pada Konferensi Warisan Otoritarianisme: palm oil improving social auditing in the RSPO
Demokrasi Indonesia dan Tirani Modal, Depok. Certification System. Diakses pada 10 Oktober
Morgan, M. (2013). Women, gender, and protest 2016 dari http://www.rt12.rspo.org/ckfinder/
emergence: Contesting oil palm plantation userfiles/files/Daryll Delgado Final.pdf
expansion in Sambas district, Indonesia. LDPI RSPO. (2009). RSPO annual communication of
Working Paper 43. The Land Deal Politics progress from aawit watch.
Initiative, The Hague. Sahide, M. A. K., Burns, S., Wibowo, A., Nurrochmat,
Othman, J., Jani, M. F. M., & Alias, M. H. (1998). D. R., & Giessen, L. (2015). Toward state
World palm oil market under Freer trade: hegemony over agricultural certification: From
Implications for Malaysia. ASEAN Economic voluntary private to mandatory state regimes
Bulletin, 15(2), 168–183. Diakses pada 2 on palm oil in Indonesia. Jurnal Manajemen
November 2016 dari http://www.jstor.org/ Hutan Tropika, 21(3), 162–71.
stable/25773523. Surambo, A., Susanti, E., Herdianti, E., Hasibuan, F.,
Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Fatinaware, I., Safira, M, Dewy, P., & Winarni,
Nomor 11/Permentan/Ot.140/3/2015 tentang R. R. (2010). Sistem perkebunan kelapa sawit
Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan memperlemah posisi perempuan. Diakses pada
Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil 8 Oktober 2016 dari http://database.sawitwatch.
Certification System /ISPO). Jakarta. or.id/Publikasi SW/Data BUKU/Sawit Watch
Paoli, G. D., Yaap, B., Wells, P. L., & Sileuw, A. Buku_ind/Sistem perkebunan1.pdf.
(2010). CSR, oil palm and the RSPO: Translat- Villamor, G. B. & van Noordwijk, M. (2016). Gender
ing boardroom philosophy into conservation specific land-use decisions and implications for
action on the ground. Tropical Conserva- ecosystem services in semi-matrilineal Suma-
tion Science, 3(4), 438–446. https://doi. tra. Global Environmental Change, 39, 69–80.
org/10.1177/194008291000300408. Villamor, G. B., Desrianti, F., Akiefnawati, R., Ama-
Phillips, R. (2015). How “empowerment” may miss its ruzaman, S., & van Noordwijk, M. (2014).
mark: Gender equality policies and how they Gender influences decisions to change land
are understood in women’s NGOs. VOLUN- use practices in the tropical forest margins of
TAS: International Journal of Voluntary and Jambi, Indonesia. Mitigation and Adaptation
Nonprofit Organizations, 26(4), 1122–1142. Strategies for Global Change, 19(6), 733–755.
https://doi.org/10.1007/s11266-015-9586-y.
Pramudya, P., Prawoto, A., & Hanifa, R. (2015).
Menghijaukan sektor sawit melalui petani:
Lesson-learned hivos untuk isu sawit berkelan-
jutan. Jakarta: ReneBook & Hivos Southeast
Asia.

46 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


TANTANGAN KEBERLANJUTAN PEKEBUN KELAPA SAWIT
RAKYAT DI KABUPATEN PELALAWAN, RIAU DALAM
PERUBAHAN PERDAGANGAN GLOBAL*
Sakti Hutabarat1,2
University of Riau, Pekanbaru, Indonesia
1

2
Wageningen University, Wageningen, The Netherlands
E-mail: shutmail@yahoo.com

ABSTRACT
Oil palm smallholders are potential actors to be included in the global palm oil market. Smallholder plantations
account for 41.4% of total oil palm plantation areas and represents 36.6% of total CPO produced in Indonesia
in 2015. The number of farmers involves in oil palm plantation encompass 2.3 million farmers which have been
an important driver for economic growth in rural areas. However, oil palm smallholders are vulnerable from
issues related to unsustainable production including environmental, social and legal issues which might lower
access and exclude smallholder access to global market. The objective of this study is to analyze position and
capacity of oil palm smallholders in facing global change in international market. Population of this study is oil
palm smallholder farmers in Ukui Subdistrict, Pelalawan District, Riau Province which consist of RSPO-certified
independent smallholders, Non-certified independent smallholders, and RSPO-certified scheme smallholders.
The sample size were 220 farmers and chosen randomly from each group (80, 60 and 80 farmers for each group
respectively). The study found that majority of the farmers still apply traditional practices in their plantations and
far below the standard of good agricultural practices and certification standards. The challenges faced by the
Amanah Association to obtain RSPO certificate is not easy to follow by other smallholders. Therefore, external
supports from government and private actors are needed to improve farmers’ capacity to meet and comply with
certification and to include small-scale farmers in the palm oil global supply chain.

Keywords: Independent smallholders, scheme smallholders, oil palm, certification, global market

ABSTRAK
Pekebun kelapa sawit merupakan aktor yang berpotensi menjadi bagian penting dari perdagangan minyak
sawit global. Luas perkebunan kelapa sawit rakyat mencapai 41,4% dari seluruh area perkebunan sawit Indonesia
dengan produksi 36,6% dari total produksi minyak sawit Indonesia pada 2015. Jumlah pekebun kelapa sawit rakyat
mencapai 2,3 juta; ini merupakan jumlah yang cukup signifikan sebagai penggerak perekonomian di pedesaan.
Namun, pekebun kelapa sawit rakyat sangat rentan terhadap berbagai isu (lingkungan, sosial, dan legalitas) yang
dapat menghambat akses pasar di rantai suplai internasional. Studi ini bertujuan menganalisis posisi dan kapasitas
pekebun kelapa sawit rakyat dalam menghadapi perubahan global perdagangan internasional. Populasi penelitian
ini adalah pekebun kelapa sawit rakyat di Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau, yaitu pekebun
kelapa sawit swadaya bersertifikat RSPO, pekebun kelapa sawit swadaya non-RSPO, dan pekebun kelapa sawit
plasma bersertifikat RSPO. Jumlah sampel ditentukan sebesar 220 pekebun dan dipilih secara acak untuk setiap
grup (80, 80, dan 80 pekebun). Studi ini memperlihatkan sebagian besar pekebun masih menjalankan bisnis
kelapa sawit secara tradisional. Praktik pertanian yang dilakukan masih jauh dari praktik pertanian yang terbaik
(good agricultural practices) ataupun dari standar sertifikasi yang ada. Perjuangan pekebun kelapa sawit swadaya
Amanah di Kecamatan Ukui untuk memperoleh sertifikasi RSPO memperlihatkan bahwa tantangan tak mudah
dicapai pekebun swadaya lain. Campur tangan pemerintah dan aktor lain sangat dibutuhkan pekebun kelapa sawit
swadaya untuk dapat disertifikasi dan menjadi bagian dari rantai suplai kelapa sawit internasional.

Kata kunci: Pekebun kelapa sawit rakyat, pekebun swadaya, pekebun plasma, kelapa sawit, sertifikasi, ­perdagangan
global

*Penelitian ini merupakan bagian dari Program INREF (the Interdisciplinary Research and Education Fund) “Towards Envi-
ronmentally Sustainable and Equitable Palm Oil: promoting sustainable pathways by exploring connections between flows,
networks and systems at multiple levels”, Wageningen University, The Netherlands.
­ Artikel ini juga telah dipresentasikan dalam Academic Forum on Sustainability I, yang diselenggarakan oleh Pusat
Penelitian Sumber Daya Regional (P2SDR) LIPI, Yayasan Inspirasi Indonesia (YII), dan Centre for Inclusive and Sustainable
Development (CISDEV) Universitas Prasetiya Mulya, di Jakarta 31 Januari 2017.

47 
PENDAHULUAN Tabel 1. Luas Area Perkebunan Sawit di Indonesia
Tahun 1980–2015 (hektare)
Kelapa sawit merupakan komoditas perkebunan
yang perkembangannya sangat pesat dibandingkan Tahun PR PBN PBS Total
tanaman perkebunan lain (Food and Agricultural 1970 84.640 46.658 131.298
Organization (FAO), 2010b; World Bank & IFC, 1980 6.175 199.538 88.847 294.560
2011b). Minyak sawit atau crude palm oil (CPO) 1990 291.338 372.246 463.093 1.126.677
adalah bahan baku penting bagi berbagai produk 2000 1.166.758 588.125 2.403.194 4.158.077
industri, seperti produk makanan, produk bukan 2010 3.387.258 658.492 4.503.078 8.548.828
pangan, dan biodiesel (May-Tobin dkk., 2012). 2015 4.739.986 769.357 5.935.465 11.444.808
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan (2014)
Minyak sawit sangat disukai sebagai bahan baku
Keterangan: PR (Perkebunan Rakyat), PBN (Perkebunan Besar
industri karena tersedia dalam jumlah yang besar Negara), PBS (Perkebunan Besar Swasta)
dan harga yang lebih murah dibandingkan minyak
nabati lain, seperti minyak kedelai, minyak bunga (Tabel 1). Pada 1970-an, belum terdapat catatan
matahari, dan minyak jagung (Manggabarani, mengenai luas Perkebunan Rakyat (PR).
2009a; Teoh, 2012). Pemerintah Indonesia menyadari bahwa
Tanaman kelapa sawit pertama kali ditanam kelapa sawit merupakan sektor ekonomi yang
di Indonesia di Buitenzorg Botanic Garden (Ke- sangat potensial untuk dikembangkan. Pertama,
bun Raya Bogor) pada 1848 (Buana, Kurniawan, penggunaan lahan yang efisien. Kelapa sawit
& Siahaan, 2004; Corley & Tinker, 2003). Dua hanya membutuhkan 6% lahan pertanian untuk
bibit berasal dari “Bourbon atau Mauritius” dan menghasilkan lebih dari 40% minyak nabati
dua lainnya berasal dari Amsterdam Botanic dunia (Darmawan, 2015). Rumondang (2017)
Garden (Gerritsma & Wessel, 1997; Hartley, mengklaim bahwa minyak nabati yang dihasilkan
1988). Tanaman kelapa sawit pada mulanya di- oleh 1 ha tanaman kelapa sawit setara dengan
perkenalkan sebagai tanaman hias atau dekoratif minyak nabati yang dihasilkan oleh 4–10 ha
(Pamin, 1998). Sejak 1911, tanaman kelapa sawit tanaman lain. Kedua, luas perkebunan kelapa
mulai dibudidayakan untuk perkebunan komer- sawit rakyat mencapai 41% dari luas keselu-
sial di Pulau Raja, Asahan, Sumatra Utara, dan ruhan kebun kelapa sawit di Indonesia dengan
di Sungai Liput, Aceh (Buana dkk., 2004; Corley jumlah pekebun yang terlibat mencapai 2,2
& Tinker, 2003). Perkebunan dan industri kelapa juta (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2014).
sawit tidak mengalami banyak perkembangan Ketiga, sektor kelapa sawit merupakan penyedia
pada periode peralihan kekuasaan menjelang dan lapangan kerja untuk lebih dari 5,7 juta pekebun
setelah kemerdekaan Indonesia karena stabilitas kecil dan pekerja perkebunan, sementara 16 juta
politik tidak mendukung investasi di bidang keluarga dihidupi sektor kelapa sawit secara tidak
perkebunan kelapa sawit (Pahan, 2012). langsung (Nediasari, 2017). Keempat, kegiatan
Pembangunan perkebunan kelapa sawit baru perkebunan kelapa sawit menyumbang lebih
dimulai kembali ketika pemerintah Indonesia dari 15% pada pertumbuhan produk domestik
membentuk Perusahaan Negara Perkebunan bruto Indonesia (BPS-Statistics Indonesia, 2015).
(PNP)/Perseroan Terbatas Perkebunan (PTP) Kelima, pendapatan negara dari ekspor minyak
kelapa sawit pada 1969 (Badrun, 2010a; Mang- sawit dan produk-produk turunannya menempati
gabarani, 2009b; Pahan, 2012). Investasi untuk posisi penting. Nilai ekspor sektor kelapa sawit
membangun PNP didanai oleh Bank Dunia (The mencapai sekitar US$19 miliar pada 2013 (Ru-
World Bank) dan Bank Pembangunan Asia (The mondang, 2017).
Asian Development Bank). Pada 1971, luas Pada 2015, luas perkebunan sawit mencapai
perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 11,4 juta ha (Tabel 1). Posisi perkebunan rakyat
131.298 hektare (ha) dengan perincian 84.640 menjadi sangat penting karena mencapai 41%,
ha perkebunan kelapa sawit yang dikelola oleh terutama perkebunan sawit swadaya. Perluasan
Perkebunan Besar Negara (PBN/PNP) dan 46.658 perkebunan kelapa sawit pada umumnya tidak
ha dikelola oleh Perkebunan Besar Swasta (PBS) dilengkapi dokumen kepemilikan lahan dan
registrasi usaha serta tidak memperhatikan faktor-

48 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


faktor penunjang keberlanjutan. Akibatnya, per- Smith, 2011), dan tanaman hortikultura (Asfaw,
luasan perkebunan kelapa sawit yang sangat pesat 2011; Graffham dkk., 2007; Mausch & Mithöfer,
ini menjadi begitu liar dan tidak terkontrol oleh 2011). Studi yang berkaitan dengan kelapa sawit
pemerintah. Kondisi ini diperparah oleh praktik di Indonesia di antaranya berkaitan dengan ma-
budi daya tradisional yang diklaim oleh ma- salah lingkungan, seperti deforestasi (McCarthy
syarakat konsumen dunia dan lembaga swadaya & Cramb, 2009), kebakaran lahan dan hutan
masyarakat (LSM) sebagai penyebab terjadinya (Simorangkir, 2007), hilangnya keanekaragaman
deforestasi (Angelsen, 1995; Ansari, Bhartata, hayati (Foster dkk., 2011; Nantha & Tisdell,
Hudata, Kurniawan, & Rianda, 2007; Carlson 2009), lahan gambut (Saharjo, Wasis, & Mulyana,
dkk., 2012; Casson, 2000), degradasi lahan 2011), degradasi lahan (Fairhurst & McLaughlin,
(Fairhurst & McLaughlin, 2009; von Uexkull & 2009), dan emisi gas karbon (Austin, Kasibhatla,
Mutert, 1994; World Resources Institute (WRI), Urban, Stolle, & Vincent 2015; Carlson, dkk.,
2010), hilangnya keragaman-hayati (Edwards 2013), masalah sosial seperti konflik lahan (Bu-
dkk., 2014; Fitzherbert dkk., 2008; Koh & didarsono, Rahmanulloh, & Sofiyuddin, 2013;
Ghazoul, 2008; Swarna Nantha & Tisdell, 2009), Colchester, 2010), ketahanan pangan (Haugen,
emisi gas karbon (Carlson dkk., 2013; Smith dkk., 2009) dan kesehatan, masalah ekonomi (Budihar-
2007), konversi lahan (Anggraini & Grundmann, sono dkk., 2012; Dewi, Belcher, & Puntodewo,
2013; Susanti & Burgers, 2013), kebakaran lahan/ 2005; Narno, 2017; Zen dkk., 2006), serta biofuel
hutan (Lima dkk., 2012; Priadjati, 2002; Rowell (Fortin, 2011; Lee, Rist, Obidzinski, Ghazoul,
& Moore, 2000; Suyanto, 2007), ketahanan pa­ & Koh, 2011). Berbagai studi tentang pekebun
ngan (Ewing & Msangi, 2009; Koczberski, Curry, rakyat lebih banyak berkaitan dengan isu-isu
& Anjen, 2012; Nesadurai, 2013; World Growth, produksi, lingkungan, dan konflik penggunaan
2010), konflik lahan (Colchester, 2006; Kohne, lahan (Molenaar, Persch-Orth, Lord, Taylor, &
2014; Marti, 2008; Tauli-Corpuz & Tamang, Harms., 2010; Molenaar dkk., 2013; Rist dkk.,
2007), serta kerusakan lingkungan lain. 2010). Beberapa studi yang berfokus pada isu
pasar global berkaitan dengan sertifikasi perke-
Untuk mengurangi atau menghentikan bunan (Hidayat, Glasbergen, & Offemans, 2015;
dampak negatif dari pembangunan perkebunan Kuit & Waarts, 2014; Markne, 2015; Ponte, 2015;
kelapa sawit, berbagai usaha dan tindakan telah Vermeulen & Goad, 2006; Vermeulen dkk., 2008;
dilakukan berbagai pihak, baik di dalam negeri World Bank & IFC, 2011a). Studi yang berkaitan
maupun di tingkat internasional (Maulud & Saidi, tentang dampak perubahan pasar global, terutama
2012; ProForest, 2003; UNDP, 2012; WWF sertifikasi untuk pekebun kelapa sawit rakyat,
Malaysia, 2003). Sejumlah LSM dan perusahaan masih belum banyak dilakukan. Grup ­sertifikasi
swasta internasional telah membentuk forum atau pekebun kelapa sawit swadaya yang ­pertama di
lembaga untuk menghadapi perluasan perkebunan Indonesia mendapatkan sertifikasi pada perte­
kelapa sawit yang semakin sulit dikendalikan, ngah­an 2013. Selama lima tahun terakhir, baru
seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil empat grup pekebun kelapa sawit swadaya
(RSPO), International Sustainable and Carbon yang telah mendapatkan sertifikasi RSPO di
Certificate (ISCC), UTZ Certified, Global GAP, Indonesia. Berbagai tantangan dihadapi pekebun
dan Rainforest Alliance (RA). kelapa sawit swadaya, dari akses informasi dan
Berbagai studi telah dilakukan untuk meng­ teknologi, akses input, akses finansial, sampai
ungkap dampak perubahan pasar global dan akses pasar, sehingga menghambat akses menuju
sertifikasi bagi pekebun kecil, seperti fairtrade sertifikasi dan pasar global. Kondisi perkebunan
pada tanaman kopi (Arnould, Plastina, & Ball, kelapa sawit swadaya tersebut mendorong dilak-
2009; Bacon, Mendez, Gomez, Stuart, & Flores, sanakannya studi ini.
2008; Barham, Callenes, Gitter, Lewis, & Weber, Tulisan ini membahas: 1) kondisi usaha
2011), tanaman cokelat (Moreno Echeverri, 2011; perkebunan kelapa sawit rakyat saat ini, 2) faktor-
Nelson, Opoku, Martin, & Posthumus, 2013), faktor pembatas yang dapat menghambat ter-
kapas (Ferrigno & Monday, 2013; Nelson & penuhinya standar dan kriteria untuk memperoleh

Sakti Hutabarat | Tantangan Keberlanjutan Pekebun Kelapa Sawit ... | 49


sertifikasi kebun kelapa sawit rakyat, serta 3) sawit (Molenaar dkk., 2010). Variabel eksternal
strategi dan tindakan yang dapat direkomenda- dapat berupa aktor atau institusi yang mengenda-
sikan untuk meningkatkan kondisi perkebunan likan akses informasi, input, pasar, dan finansial.
kelapa sawit rakyat menjadi lebih baik, lestari, Sistem rantai pasok yang dapat dikoordi-
dan berkelanjutan. Tujuan penelitian ini adalah nasikan dengan cara efektif dan efisien akan
menganalisis posisi dan kapasitas pekebun kelapa meningkatkan profit secara adil kepada semua
sawit rakyat, mengidentifikasi faktor-faktor yang aktor yang bekerja dalam sistem rantai pasok
menghambat pekebun untuk memenuhi kriteria kelapa sawit. Produk kelapa sawit yang dipasar-
dan standar sertifikasi kebun kelapa sawit, serta kan secara internasional akan dipengaruhi oleh
mengevaluasi strategi dan tindakan yang dapat perubahan-perubahan dalam sistem perdagangan
mendukung pekebun dalam memperoleh sertifi-
internasional, seperti sertifikasi produk yang men-
kasi kebun kelapa sawit.
syaratkan produk ramah lingkungan dan ramah
Dasar teoretis yang digunakan untuk mem- sosial (González & Nigh, 2005; Manggabarani,
bahas masalah penelitian ini dapat dijelaskan 2009b; Vermeulen dkk., 2008).
sebagai berikut. Menurut teori ekonomi mikro
Sertifikasi produk merupakan salah satu cara
(Henderson & Quandt, 1980), pekebun kelapa
untuk memberikan jaminan kepada konsumen
sawit adalah individu yang mengelola berbagai
bahwa produk-produk kelapa sawit yang dipasar-
faktor produksi (seperti bibit kelapa sawit, pupuk,
kan diproduksi dengan cara-cara yang lestari dan
dan herbisida) menjadi suatu produk, yaitu buah
berkelanjutan. Sertifikasi merupakan serangkaian
kelapa sawit atau TBS. Pekebun sebagai penge-
standar dan kriteria yang harus dipenuhi setiap
lola pada prinsipnya mencari kombinasi b­ erbagai
aktor yang terkait dalam rantai pasok suatu
faktor produksi yang dapat menghasilkan
produk yang diperdagangkan, baik di level
produksi yang paling optimal (Colman & Young,
nasional maupun internasional. Sertifikasi yang
1989). Namun, produksi yang optimal bukanlah
terkait dengan produk-produk kelapa sawit antara
tujuan utama dari suatu usaha, melainkan profit
yang maksimal, yaitu selisih terbesar antara nilai lain RSPO, Indonesian Sustainable Palm Oil
penjualan dan biaya produksi (Chambers, 1988). (ISPO), International Sustainability and Carbon
Certification (ISCC), Forest Alliance (FA), dan
Nilai penjualan bergantung pada berat TBS Good Agricultural Practices (GAP). RSPO ialah
(kg) dan harga TBS (rupiah per kg). ­Namun, harga sertifikat untuk produk-produk minyak sawit
TBS tidak hanya dipengaruhi oleh variabel “berat yang digunakan untuk produk-produk makanan
TBS”, tetapi juga “kualitas TBS” (­rendemen CPO dan non-makanan yang ditujukan ke pasar Eropa.
dan PKO) (Kementerian Pertanian ­Republik
Sementara itu, ISPO ialah sertifikat yang wajib
­Indonesia, 2005, 2013). Pekebun sebagai pro­
dimiliki setiap produsen minyak sawit dan produk
dusen dalam rantai pasok TBS tidak dapat
turunannya yang beroperasi di wilayah Indonesia.
me­me­ngaruhi harga TBS (price taker) sehingga
Sertifikat ISCC digunakan untuk ekspor minyak
nilai penjualan hanya dapat ditingkatkan apabila
sawit yang diekspor ke Eropa untuk produksi
pekebun mampu menghasilkan TBS yang lebih
biodiesel.
banyak dengan rendemen CPO dan PKO yang
lebih tinggi.
METODE PENELITIAN
Pada sisi biaya, pekebun juga tidak dapat
me­mengaruhi harga-harga input. Oleh karena Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Ukui,
itu, pekebun harus mencari kombinasi input yang Kabupaten Pelalawan. Populasi penelitian ada­
paling murah, tetapi menghasilkan produksi yang lah pekebun kelapa sawit rakyat yang terdiri
paling banyak. Dalam sistem produksi pertanian, atas pekebun swadaya yang telah mendapatkan
faktor pembatas bukan hanya dari variabel inter- ser­ti­fikat RSPO, pekebun swadaya yang belum
nal, seperti kondisi lahan, tenaga kerja, kapasitas mendapatkan sertifikat RSPO, dan pekebun
pekebun, dan organisasi pekebun, melainkan juga plasma bersertifikat RSPO yang memiliki kontrak
variabel eksternal yang dikendalikan oleh aktor- kerja sama dengan PT Inti Indosawit Subur (PT
aktor lain di dalam sistem rantai pasok kelapa IIS). Jumlah sampel ditentukan berdasarkan pada

50 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


tingkat kepercayaan 90% yang dianggap telah pengumpul TBS, dan pedagang perantara TBS.
mewakili populasi dengan pertimbangan hampir Data sekunder, seperti harga input, produksi TBS,
semua pekebun adalah mantan pekebun trans- jumlah penduduk, harga TBS, dan dokumen
migran yang memiliki karakteristik dan kondisi pendukung lainnya, diperoleh dari stakeholder
perkebunan yang relatif homogen. Pekebun atau lembaga yang relevan, seperti Badan Pusat
sampel dipilih secara acak dari tiap subpopulasi Statistik (BPS), KUD, Asosiasi Petani Ke-
sehingga diperoleh 80 pekebun swadaya yang lapa Sawit Swadaya Amanah, kantor desa, dinas
bersertifikat RSPO, 80 pekebun swadaya yang perkebunan, dan perusahaan perkebunan.
belum mendapat sertifikat, dan 80 pekebun Data yang diperoleh dianalisis secara
plasma nonsertifikat. deskriptif dan kuantitatif, antara lain menggu-
Data yang dibutuhkan terdiri atas profil nakan analisis perbandingan antara biaya dan
pekebun dan data-data yang berkaitan dengan benefit. Analisis terhadap praktik-praktik budi
proses produksi kelapa sawit mulai material daya dan tata kelola perkebunan sawit oleh pe-
(bibit, pupuk, herbisida, dan pestisida), peme- kebun kelapa sawit swadaya dilakukan dengan
liharaan tanaman (pemupukan, pembersihan menggunakan catatan budi daya pekebun dan
piringan, pembersihan blok tanaman/gawangan, kuesioner prinsip, kriteria, dan indikator standar
pengendalian hama dan penyakit tanaman, RSPO. Analisis terhadap penerapan standar RSPO
pengelolaan tajuk, serta pemeliharaan infrastruk- menggunakan skala Guttman yang dimodifikasi.
tur), pemanenan (panen, timbang, dan angkut), Dalam skala Guttman, responden yang memilih
serta pemasaran (pedagang pengumpul, agen, jawaban dengan bobot yang lebih tinggi berarti
dan pabrik kelapa sawit/PKS). Data sertifikasi memiliki kesenjangan yang lebih kecil dibanding-
mengacu pada standar RSPO yang terdiri atas kan jawaban yang memiliki bobot lebih rendah.
8 prinsip, 35 kriteria, dan 78 indikator (RSPO, Penerapan standar RSPO pekebun kelapa sawit
2012). Prinsip RSPO yang dijadikan acuan dikelompokkan menjadi lima kategori, yaitu
adalah (1) Komitmen terhadap transparansi, (2) sangat baik, baik, cukup baik, kurang baik, dan
Mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku, tidak baik. Jawaban dari setiap pertanyaan yang
(3) Komitmen terhadap kelayakan ekonomi diajukan diberi skor 1–5. Jumlah pertanyaan
dan keuangan jangka panjang, (4) Penerapan disesuaikan dengan jumlah kriteria yang diukur
praktik-praktik budi daya terbaik, (5) Tanggung untuk pekebun rakyat, yaitu 35 kriteria dengan
jawab lingkungan serta konservasi sumber daya skor tertinggi 5 dan skor terendah 1 (Nazir, 2014).
alam dan keanekaragaman hayati, (6) Tanggung Setiap kriteria capaian diukur dengan meng-
jawab terhadap pekerja, individu-individu, dan gunakan skala interval dengan skor tertinggi (h)
komunitas dari pekebun kemitraan dan swadaya, = 5, skor terendah (l) = 1, dan jumlah kelas (s) =
(7) Pengembangan perkebunan baru secara ber- 5. Skala interval = ((h-l)/n)-1). Rata-rata sampel
tanggung jawab, serta (8) Komitmen terhadap untuk setiap kriteria:
perbaikan terus-menerus (RSPO, 2010). Faktor-
faktor pembatas yang diduga memengaruhi ∑ ns =1 X ks (1)
∑k =
kapasitas pekebun untuk memperoleh sertifikasi n
antara lain akses informasi, akses teknologi, akses ∑ ns =1 X ks
∑ k == skor rata-rata sampel untuk kriteria ke-k.
faktor produksi (input), akses finansial, dan akses n
X ks = skor setiap sampel (s) untuk kriteria ke-k,
pasar (Molenaar dkk., 2010).
dan
Pengumpulan data dilakukan melalui wawa-
ncara langsung kepada pekebun sampel terpilih. n = jumlah sampel.
Studi ini juga mengumpulkan data melalui wawa-
ncara dengan stakeholder yang terkait, seperti Capaian dari kriteria dalam setiap prinsip
manajer asosiasi, internal control system (ICS), diukur dengan skala interval dengan skor tertinggi
pengurus Koperasi Unit Desa (KUD), kepala (p × h), skor terendah (p × l), dan jumlah kelas (s)
desa, staf pabrik kelapa sawit (PKS), staf Dinas = 5. Skala interval = ((p(h-l))/n)-0,01). Rata-rata
Perkebunan Kabupaten Pelalawan, pedagang sampel untuk setiap prinsip:

Sakti Hutabarat | Tantangan Keberlanjutan Pekebun Kelapa Sawit ... | 51


 ∑n X  50 ha. Indonesia belum memiliki kriteria yang
∑ p = ∑ rk =1  s =1 ks  (2) tegas tentang luas maksimum perkebunan rakyat.
 n  Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang
 ∑ s =1 X ks 
n
Perkebunan menyebutkan dua kategori pelaku
∑ rk =1 rata-rata
∑ p == skor 
sampel untuk kriteria dalam
 n  usaha perkebunan, yaitu pekebun dan perusahaan
prinsip ke-p,
perkebunan yang mengelola usaha perkebunan.
Xks = skor setiap sampel (s) untuk kriteria (k1...r) Undang-undang perkebunan tidak menyebutkan
dalam prinsip ke-p, secara tegas mengenai “luas lahan” pekebun
r = jumlah kriteria dalam suatu prinsip, rakyat dan hanya menyebutkan “skala tertentu”
dan didefinisikan sebagai skala usaha perkebunan
n = jumlah sampel. yang didasarkan pada luasan lahan usaha, jenis
tanaman, teknologi, tenaga kerja, modal, dan/
atau kapasitas pabrik yang diwajibkan memiliki
Capaian untuk keseluruhan kriteria dalam izin usaha (Presiden Republik Indonesia, 2014).
keseluruhan prinsip (35 kriteria) menggunakan Namun, dalam Peraturan Menteri Pertanian No-
skala interval dengan skor tertinggi (h) = 35 × 5 mor 33 Tahun 2006 tentang Program Revitalisasi
= 175 dan skor terendah (l) = 35 × 1, dan jumlah Perkebunan disebutkan, suatu perkebunan masuk
kelas (s) = 5. Skala interval = ((h-l)/n)-0,01). kategori perkebunan rakyat apabila luasannya
Rata-rata sampel untuk semua kriteria dalam kurang dari 25 ha (Kementerian Pertanian Re-
seluruh prinsip: publik Indonesia, 2006). Saat ini, dikenal bebe­
 ∑n X  rapa istilah pekebun kelapa sawit rakyat, seperti
X = ∑ rk =1  s =1 ks  (3)
 n  pekebun plasma dan pekebun swadaya (Badrun,
2010b; Manggabarani, 2009a).
 ∑ ns =1 X ks 
= ∑ rk =1 rata-rata
X = skor sampel
 untuk semua kriteria Pekebun plasma merupakan pekebun peserta
 n 
(k), program Perusahaan Inti Rakyat (PIR) atau dike-
Xks = skor setiap sampel (s) untuk semua kriteria nal dengan Pola PIR. Pola PIR merupakan pola
(k), pengembangan perkebunan dengan menggunakan
r = jumlah keseluruhan kriteria, perusahaan perkebunan besar sebagai inti yang
membina dan membantu perkebunan rakyat yang
n = jumlah sampel.
merupakan kebun plasma (Kementerian Pertanian
Republik Indonesia, 1983, 1985). Program PIR
SIAPAKAH PEKEBUN KELAPA yang mulai diluncurkan pada 1978 bertujuan
SAWIT? membantu masyarakat pekebun dalam mengelola
Pekebun kelapa sawit swadaya ialah pekebun kebun kelapa sawitnya, meningkatkan produksi,
rakyat yang segala aktivitas perkebunannya dan memasarkan TBS (Manggabarani, 2009b).
dilakukan secara mandiri, sedangkan, pekebun Pekebun PIR pada mulanya masyarakat
plasma ialah pekebun rakyat yang bekerja sama di sekitar kebun inti milik PBN/PNP/PTP.
atau memiliki kontrak usaha dengan perusahaan Pekebun yang berpartisipasi dalam program ini
atau pabrik kelapa sawit. Adapun pekebun kelapa mendapatkan lahan perkebunan seluas 2 ha dan
sawit rakyat ialah pekebun yang menanam kelapa lahan pekarangan seluas 0,5 ha (Molenaar dkk.,
sawit, baik secara monokultur maupun tumpang 2010). Pekebun peserta memiliki kontrak kerja
sari dengan tanaman lain dan/atau peternakan sama dengan perusahaan inti. Dalam kontrak
dan perikanan yang dikategorikan sebagai usaha kerja sama diatur antara lain: (1) perusahaan
kecil. Usaha perkebunan rakyat biasanya tidak melakukan pembukaan lahan, penanaman, dan
berbadan hukum; dikelola oleh pekebun sendiri penanaman sebelum dikonversi atau diserahkan
dengan menggunakan tenaga kerja dalam keluarga pengelolaannya kepada pekebun peserta, (2)
dan tenaga ternak. Luas perkebunan rakyat masih pekebun bertanggung jawab memelihara tanaman
menjadi perdebatan. Menurut RSPO (2009), setelah kebun dikonversi menurut standar yang
ukuran lahan perkebunan rakyat adalah di bawah telah ditetapkan perusahaan, (3) pekebun wajib

52 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


menjual TBS dari kebun plasma selama masa yang disalurkan oleh perbankan nasional di dalam
kontrak dan/atau sebelum pelunasan pinjaman negeri. Namun, sejak dikeluarkannya Pakjan
pembangunan kebun plasma, (4) pengembalian 1990, dukungan pendanaan dialihkan kepada
kredit pinjaman dilakukan melalui pemotongan Koperasi Kredit Primer Anggota yang bersumber
hasil penjualan TBS pada setiap kali panen atau pada kredit likuiditas Bank Indonesia. Pada 1999,
per bulan yang dikoordinasi oleh KUD tempat dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor
pekebun menjadi anggotanya. 23 Tahun 1999, Bank Indonesia tidak lagi berke-
Pembangunan perkebunan rakyat didasari wajiban menyediakan Kredit Likuiditas Bank
oleh Keputusan Menteri Pertanian (Kepmentan) Indonesia (KLBI) sehingga penyediaan pinjaman
Nomor 695 Tahun 1979, Kepmentan Nomor 310 lunak dialihkan kepada PT Permodalan Nasional
Tahun 1981, Kepmentan Nomor 182 Tahun 1983, Madani (PNM).
dan Kepmentan Nomor 668 Tahun 1985. Pem- Permintaan dan harga TBS yang terus me­
bangunan perkebunan rakyat pola PIR didukung ning­kat kemudian direspons oleh masyarakat
pendanaan dari Bank Dunia (Badrun, 2010b). dengan membangun kebun-kebun kelapa sawit
Sistem kontrak kerja sama PIR memberikan ak- yang baru. Tingkat pendapatan pekebun dari
ses yang luas kepada pekebun plasma. Pekebun tanaman kelapa sawit plasma yang cukup tinggi
mendapatkan lahan yang telah bersertifikat hak dibandingkan tanaman perkebunan lainnya telah
milik, pengelolaan lingkungan dilakukan secara mendapatkan perhatian yang serius dari masyara-
terintegrasi dengan kebun inti, dan pendaftaran kat di sekitar kebun plasma. M­ asyarakat lokal
usaha dilakukan dengan mendapatkan bantuan dari mulai menanam kelapa sawit di lahan mereka
perusahaan inti. Pekebun juga wajib menerapkan sendiri. Perkebunan kelapa sawit rakyat ini ke-
praktik budi daya terbaik yang menjadi standar mudian dikenal dengan nama “­perkebunan kelapa
kebun inti sehingga kualitas pekerjaan, proses sawit swadaya” (Rahadian, 2013). Kegiatan usaha
produksi, dan kualitas TBS sangat terjamin (Bad- perkebunan yang dilakukan secara individual dan
run, 2010b). Sistem ini menjamin ketersediaan mandiri tanpa bantuan dan koordinasi dengan
faktor-faktor produksi yang difasilitasi oleh pekebun lain atau pihak lain menyebabkan
kebun inti dan KUD. Akses pasar sangat terbuka kondisi perkebunan kelapa sawit swadaya sangat
karena semua hasil TBS dari kebun plasma wajib bervariasi antara satu dan yang lain. Luas lahan
dibeli oleh PKS dari kebun inti. Hal inilah yang pekebun kelapa sawit swadaya sangat beragam,
menjadi dasar mengapa kebun plasma pada saat ini mulai kurang dari 1 hektare hingga puluhan
disertifikasi secara terintegrasi dengan kebun inti. hektare. Lokasi kebun pekebun swadaya tersebar
Pola PIR kemudian berkembang dengan luas dengan jarak yang berbeda-beda antar-kebun
berbagai pola baru, seperti PIR Khusus, PIR Lo- pekebun serta antara kebun pekebun dan pabrik
kal, PIR-TRANS, dan PIR KKPA. PIR-TRANS kelapa sawit. Pekebun juga menggunakan faktor
diluncurkan berdasarkan pada Instruksi Presiden produksi yang sangat bervariasi, baik bibit tana-
Nomor 1 Tahun 1986 serta ditindaklanjuti oleh man, pupuk, maupun tenaga kerja (Hutabarat,
11 peraturan menteri dan lembaga pemerintah. Slingerland, & Dries, 2017).
Namun, sejak Paket Januari (Pakjan) dikeluarkan TBS yang dihasilkan pekebun swadaya pada
pada 1990, yang menghentikan program pinja- mulanya ditampung oleh PKS, yang kapasitas
man lunak, PIR-TRANS kemudian dimodifikasi produksinya belum terpenuhi dari produksi kebun
menjadi PIR-KKPA, yang didukung oleh Surat inti dan kebun plasma. Seiring dengan permin-
Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pertanian taan minyak sawit dunia yang meningkat pesat,
serta Menteri Koperasi dan UKM Nomor 73/ investasi untuk pendirian PKS juga meningkat
Kpts/OT.210/2/1998 dan 01/SKB/M/II/98 tajam. Jumlah PKS dengan kapasitas yang sema-
(Manggabarani, 2009b). Semua pola PIR me- kin besar membutuhkan bahan baku TBS yang
miliki sistem kontrak kerja sama yang hampir tidak sedikit. Permintaan TBS yang meningkat
sama. Perbedaan terletak pada sistem pendanaan. dan harga TBS yang semakin membaik mendo-
PIR-Trans yang dibina oleh perusahaan swasta rong masyarakat memperluas kebun kelapa sawit
nasional semula didanai dari pinjaman lunak swadaya. Perluasan perkebunan kelapa sawit

Sakti Hutabarat | Tantangan Keberlanjutan Pekebun Kelapa Sawit ... | 53


merupakan pilihan sederhana karena masyarakat kebun sawit pekebun swadaya dan jenis bibit
memiliki informasi dan pengetahuan yang terba- yang digunakan juga sangat bervariasi (Tabel 1).
tas tentang budi daya kelapa sawit. Optimalisasi Pekebun plasma adalah pekebun yang diorgan-
penggunaan faktor produksi dan keberlanjutan isasikan oleh kebun inti dalam bentuk KUD atau
dalam produksi kelapa sawit belum mendapatkan Koperasi Sawit (Kopsa).
perhatian serius bagi masyarakat lokal. Kondisi Usia pekebun plasma rata-rata lebih tua dari-
inilah yang mendorong perlunya sertifikasi kebun pada pekebun swadaya Amanah (tersertifikasi)
untuk menjamin agar produksi kelapa sawit dan pekebun swadaya tidak tersertifikasi (Tabel
dilakukan secara lestari dan berkelanjutan. 2). Kebun plasma merupakan perkebunan kelapa
Pekebun swadaya bersertifikat adalah peke- sawit yang pertama sekali dibangun di Indonesia
bun swadaya yang tergabung dalam suatu grup, sehingga saat ini mulai dilakukan replanting.
organisasi, atau asosiasi yang telah mendapatkan Pekebun swadaya (bersertifikat ataupun non-
sertifikat dari lembaga sertifikasi produk kelapa sertifikat) adalah pekebun yang datang kemudian
sawit, seperti RSPO, ISPO, dan ISCC. Sertifikat tanpa ada koordinasi atau menjadi bagian dari
produk TBS kelapa sawit diperoleh melalui suatu organisasi pekebun.
serangkaian proses hingga dinyatakan telah
memenuhi semua standar yang disyaratkan oleh b. Praktik Budi Daya Kelapa Sawit
lembaga sertifikasi.
Pekebun swadaya pada umumnya bersifat tradi­
sional dengan cara-cara produksi yang tradisional.
a. Profil Pekebun Sampel Bibit diperoleh dari kebun plasma atau dari kebun
Pekebun yang tergabung dalam Asosiasi Ama- pekebun swadaya lain sehingga variasinya sangat
nah adalah pekebun plasma yang melakukan besar (Tabel 2). Bibit yang berasal dari pohon
perluasan lahan kebun sawit di luar area kebun kelapa sawit yang bibitnya berasal dari PPKS
plasma dan para pendatang yang membuka lahan Marihat ini sering disebut dengan “Mariles”
perkebunan sawit di sekitar kebun plasma. Para (singkatan dari Marihat lelesan). Pekebun juga
pekebun membeli lahan dan membuka kebun membeli bibit kelapa sawit dari penangkar yang
sawit dengan mencontoh model yang dilakukan tidak resmi atau tidak memiliki sertifikat penang-
di kebun plasma. Dengan demikian, pekebun kar. Pemeliharaan tanaman dilakukan seadanya
Asosiasi Amanah merupakan pekebun swadaya. sehingga kurang menciptakan kondisi yang
Asosiasi Amanah mendapatkan sertifikat RSPO optimal bagi tanaman untuk menyerap pupuk
pada Juli 2013 dan sertifikat ISPO pada 2016. dan saat pemanenan. Gulma yang tumbuh liar
Pekebun swadaya yang belum disertifikasi pada merupakan kompetitor pohon kelapa sawit dalam
umumnya bekerja secara individu dan tersebar mendapatkan nutrisi. Gulma juga menyulitkan
luas dengan jarak yang berbeda-beda, baik an- tenaga panen dalam pekerjaan memanen dan
tarkebun maupun dari kebun ke PKS. Luas lahan memungut brondolan yang berakibat rendahnya

Tabel 2. Profil Pekebun dan Kebun Sampel


Pekebun Swadaya Pekebun Swadaya Pekebun Plasma
Bersertifikat Belum Disertifikasi Belum Disertifikasi
(n = 80) (n = 80) (n = 80)
Usia (tahun) 43 ± 9,0 43 ± 8,3 48,7 ± 10,8
Lama pendidikan (tahun) 7,4 ± 2,7 7,7 ± 2,6 8,1 ± 3,5
Luas lahan (ha) 2,2 ± 0,4 2,5 ± 1,2 2,0 ± 0,0
Produksi TBS (t/ha) 20,3 ± 4,7 15,5 ± 5,2 13,6 ± 6,1
Profit kebun sawit (juta Rp/ha/th) 18.5 ± 6,1 14.9 ± 6,6 12,6 ± 7,7
Bibit yang digunakan Bervariasi Sangat Bervariasi Bibit Unggul
Penggunaan pupuk Rekomendasi Bervariasi Rekomendasi

54 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


kuantitas dan kualitas buah sawit. Kondisi ini TBS, sehingga menyulitkannya memilih kombi-
berbeda dengan pekebun plasma, yang pengelo­ nasi input yang paling optimal untuk menghasilkan
laannya didukung oleh kebun inti dengan meng- produksi yang maksimal. Input produksi seperti
gunakan bibit unggul dan teknik budi daya yang bibit unggul dan pupuk sangat sulit diperoleh dan
setara dengan kebun inti. Kebun swadaya yang harganya cukup mahal. Pekebun mulai menanam
sudah disertifikasi pada umumnya memiliki tata kelapa sawit pada 1990-an, ketika produsen bibit
kelola perkebunan dan teknik budi daya yang kelapa sawit unggul satu-satunya di Indonesia
lebih baik dibandingkan kebun swadaya yang hanyalah PPKS Marihat, yang secara eksklusif
belum disertifikasi. hanya melayani perkebunan-perkebunan besar
negara dan/atau perkebunan besar swasta. Akses
c. Produktivitas Kebun Kelapa Sawit untuk mendapatkan bibit unggul hampir tidak ada
sama sekali. Perusahaan-perusahaan penghasil
Dengan menggunakan bibit yang kualitasnya bibit unggul baru mulai muncul pada 2004, se­
tidak jelas dan tidak unggul serta praktik budi perti PT Socfindo, PT London Sumatra Indonesia,
daya yang tidak baik, produksi kebun swadaya PT Bina Sawit Makmur (Selapan Jaya Group), PT
rata-rata di bawah produksi kebun plasma atau- Tunggal Yunus Estate, PT Tania Selatan, PT Sa-
pun kebun inti. Pekebun swadaya nonsertifikasi saran Ehsan Mekar Sari, PT Dami Mas ­Sejahtera
rata-rata menghasilkan 15,5 ton TBS/ha/tahun, (SMART), PT Bakti Tani Nusantara, dan OPSG
pekebun swadaya bersertifikat RSPO menghasil- (Asian Agri) (Fauzi, 2012). Pekebun juga memi­
kan 20,3 ton TBS/ha/tahun, dan pekebun plasma liki akses yang terbatas untuk mendapatkan
bersertifikat RSPO menghasilkan 13,5 ton TBS/ pupuk. Rantai pasok pupuk yang pada umumnya
ha/tahun (Tabel 2). Produktivitas kebun plasma tertutup hanya diperoleh melalui saluran-saluran
yang lebih rendah disebabkan oleh usia tanaman tertentu, seperti perusahaan perkebunan, koperasi,
yang telah mencapai lebih dari 25 tahun. Menurut dan agen-agen yang terbatas. Ketersediaan pupuk
Molenaar dkk. (2010), produktivitas pekebun di yang terbatas menyebabkan pembelian pupuk
Indonesia berkisar antar 9–24 ton TBS/ha/tahun, dalam jumlah besar harus terdaftar dalam rantai
sedangkan di Malaysia 14–19 ton TBS/ha/tahun. pasok pengadaan dan penyaluran pupuk.
Hasil penelitian Lee (2013) di beberapa wilayah
Kemampuan finansial pekebun yang
di Sumatra menunjukkan produksi perkebunan
rata-rata cukup rendah menyebabkan pengadaan
kelapa sawit pekebun swadaya umur 5–9 tahun
faktor-faktor produksi tidak dapat dipenuhi sesuai
rata-rata 14,82 ton TBS/ha/tahun, sedangkan
dengan standar yang seharusnya. Lembaga-
produktivitas pekebun plasma 17,8 ton TBS/ha/
lembaga keuangan pada umumnya tidak berani
tahun. Untuk tanaman usia 9–17 tahun, produkti-
memberikan pinjaman dana karena risiko yang
vitas pekebun swadaya hanya 15,9 ton TBS/ha/ta-
dianggap cukup besar. Pekebun swadaya pada
hun, sedangkan pekebun plasma 22,1 ton TBS/ha/
tahun. Pengetahuan pekebun yang rendah tentang umumnya hanya mampu berproduksi untuk
tanaman kelapa sawit menyebabkan perkebunan me­me­nuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari se-
kelapa sawit dikelola dengan praktik-praktik budi hingga tidak ada kelebihan pendapatan yang bisa
daya yang kurang baik. Namun, terbatasnya akses dialihkan untuk pembayaran cicilan dan bunga
pekebun swadaya pada berbagai sumber daya, pinjaman.
seperti akses informasi, input, finansial, dan
pasar, dapat juga memengaruhi kinerja usaha e. Akses Pasar dan Penetapan Harga TBS
pekebun kelapa sawit pola swadaya (Molenaar
Kondisi pekebun swadaya yang sangat bervariasi
dkk., 2010).
antar-pekebun, seperti kualitas bibit, kesuburan
tanah, jarak kebun dengan pabrik, dan kondisi
d. Akses pada Sumber Daya Produksi jalan, menyebabkan produktivitas dan kualitas
Pekebun swadaya pada umumnya tidak memiliki produksi kelapa sawitnya sangat bervariasi
akses informasi yang memadai tentang teknologi, dan sulit mendapatkan harga yang tinggi. Pada
jenis dan kualitas input, harga input, serta harga mulanya, pekebun swadaya dapat menjual TBS

Sakti Hutabarat | Tantangan Keberlanjutan Pekebun Kelapa Sawit ... | 55


melalui koperasi atau pedagang perantara yang Statistik, 2014). Namun, data jumlah pekebun
memiliki akses ke PKS yang belum mencapai kelapa sawit rakyat, khususnya pekebun swadaya,
kapasitas produksi, baik dari kebun inti maupun belum tersedia dengan lengkap dan akurat. Seba-
kebun plasma. Namun, seiring dengan pening­ gian besar dari pekebun swadaya belum memiliki
katan hasil kebun inti dan plasma, PKS tidak lagi surat tanda daftar usaha perkebunan (STD-B), se-
bergantung pada suplai buah dari kebun swadaya. hingga luas area dan produksi kelapa sawit rakyat
Pekebun masih banyak yang belum belum terdokumentasi dengan baik. Kondisi
menyadari bahwa harga TBS ditentukan dari ini menyebabkan tidak adanya informasi yang
rendemen, bukan dari berat tandan saja. Sejak akurat mengenai produksi TBS pekebun rakyat.
2005, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Akibatnya, ketidakseimbangan antara permintaan
Menteri Pertanian Nomor 395 Tahun 2005 ten- TBS oleh PKS dan penawaran TBS oleh pekebun
tang Pedoman Penetapan Harga Pembelian TBS tidak dapat diantisipasi dengan baik dan fluktuasi
Kelapa Sawit Produksi Pekebun, yang kemudian harga tidak bisa diprediksi dengan tepat.
diperbarui dengan Peraturan Menteri Pertanian Harga TBS di tingkat pekebun juga dipenga-
Nomor 14 Tahun 2013. Dalam peraturan tersebut, ruhi oleh jarak antara kebun pekebun dan PKS.
penetapan harga TBS sangat dipengaruhi oleh Semakin jauh lokasi kebun dari lokasi PKS, biaya
tingkat rendemen CPO dan PKO, harga CPO transportasi akan semakin tinggi, yang menye-
dan PKO, serta biaya produksi CPO dari tiap babkan potongan harga semakin besar. Biaya
PKS. Penetapan harga ini sebenarnya ditujukan transportasi ini juga dipengaruhi oleh kondisi
untuk pekebun plasma, yang umur tanamannya jalan. Misalnya, pada musim hujan, jalan menuju
dapat diketahui dengan pasti, sedangkan peke- kebun sulit dilalui truk pengangkut. Bahkan, tidak
bun swadaya pada umumnya memiliki umur jarang buah sawit tidak bisa diangkut ke PKS dan
tanaman yang sangat bervariasi sehingga sulit dibiarkan membusuk di pinggir jalan.
menggunakan harga yang ditetapkan pemerintah
daerah. Perusahaan pada umumnya menetapkan
f. Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit
harga yang lebih rendah untuk TBS dari kebun
Swadaya
swadaya.
Secara umum, fluktuasi harga TBS juga Sertifikasi perkebunan kelapa sawit merupakan
dipengaruhi oleh faktor iklim (Corley & Tinker, respons dari masyarakat dunia, terutama kon-
sumen dari berbagai produk yang berbahan baku
2003; Pahan, 2012). Pada musim kering, produksi
kelapa sawit, terhadap proses produksi kelapa
TBS biasanya rendah sehingga suplai ke PKS
sawit yang tidak lestari dan berkelanjutan. Pe-
juga menurun dan mendorong harga menjadi
kebun kelapa sawit rakyat termasuk yang menjadi
lebih tinggi. Pada musim hujan, produksi ber-
target sertifikasi, mengingat luasnya mencapai
limpah menyebabkan harga menjadi lebih rendah.
lebih dari 41,4% dari total area produksi sawit In-
Fluktuasi produksi yang merupakan respons
donesia (Direktorat Jendaral Perkebunan, 2014).
tanaman kelapa sawit terhadap pengaruh iklim
Kondisi pekebun yang berpendidikan rendah,
belum banyak diketahui oleh pekebun sebagai
akses pada sumber daya produksi yang terbatas,
salah satu faktor yang menyebabkan variasi harga
dan penerapan peraturan yang kurang tegas me-
sepanjang tahun.
nyebabkan perluasan perkebunan kelapa sawit
Perbandingan antara kapasitas PKS yang tidak dapat dikelola dan dikendalikan pemerintah
tersedia dan jumlah TBS yang dihasilkan di suatu serta memiliki daya rusak yang cukup tinggi.
lokasi tertentu akan memengaruhi keseimbangan Ekspansi perkebunan kelapa sawit yang tidak
permintaan dan penawaran TBS serta selanjutnya bertanggung jawab atas kelestarian sumber daya
tingkat harga TBS. Saat ini informasi mengenai alam harus segera dihentikan dengan cara-cara
jumlah perusahaan dan PKS serta kapasitas produksi yang lebih memperhatikan kelestarian
produksinya dapat diperoleh di Direktorat Jender- lingkungan dan tanggung jawab sosial yang lebih
al Perkebunan (Direktorat Jenderal Perkebunan, tinggi.
2014) atau Badan Pusat Statistik (Badan Pusat

56 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


Sertifikasi merupakan instrumen yang dinilai inter­nasional dengan menetapkan standar dan
cukup ampuh untuk menjamin bahwa produksi kriteria tertentu untuk produk-produk tertentu
kelapa sawit dilaksanakan sesuai dengan standar agar dapat memasuki pasar tertentu. Salah satu
serta kriteria yang ramah lingkungan dan sosial. tujuannya adalah menjamin produk-produk yang
Sertifikasi untuk produk-produk kelapa sawit dipasarkan diproduksi secara lestari dan berkelan-
di Indonesia meliputi RSPO, ISPO, dan ISCC. jutan. Sebagian besar produk minyak sawit
RSPO merupakan standar yang harus dipenuhi Indonesia (>65%) dijual di pasar ­internasional
apabila produk TBS dan produk turunannya (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2014; Teoh,
ditujukan untuk pasar internasional (sampai saat 2012). Saat ini, Indonesia masih dapat meng­
ini masih terfokus di Uni Eropa) untuk produk ekspor minyak sawit ke negara-negara yang
makanan. ISCC juga standar yang ditetapkan belum menerapkan sertifikasi, seperti China
untuk minyak sawit agar dapat memasuki pasar dan India. Namun, di masa mendatang, kecen-
Uni Eropa sebagai bahan baku industri biodiesel. derungan untuk menerapkan sertifikasi akan
Namun, saat ini RSPO juga mulai diterapkan berkembang ke negara-negara non-Uni Eropa.
untuk produk biodiesel, demikian juga ISCC Akses bagi produk TBS dari kebun swadaya
diterapkan untuk produk-produk makanan. akan semakin kecil pada perusahaan atau pabrik
Pemerintah Indonesia pada 2011 menetapkan yang menjual produk minyak sawitnya ke pasar
standar baku industri kelapa sawit, yaitu ISPO, internasional. Sementara itu, di dalam negeri,
yang wajib dipenuhi oleh semua industri atau sertifikasi ISPO akan mempersempit akses pasar
operator perkebunan kelapa sawit yang berada pada PKS mana pun yang beroperasi di Indonesia
di wilayah Indonesia. Peraturan mengenai ISPO jika kebun kelapa sawit pekebun tidak memiliki
ini kemudian diperbarui dengan diterbitkannya sertifikat ISPO.
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11 Tahun Sertifikasi menjadi sebuah dilema bagi
2015 tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit pekebun kelapa sawit swadaya. Sertifikasi
Berkelanjutan Indonesia. Sampai saat ini, ISPO merupakan suatu keharusan bagi pekebun kelapa
hanya diberlakukan bagi perusahaan besar dan sawit swadaya agar mendapatkan akses pasar.
pabrik kelapa sawit, sedangkan untuk pekebun Namun, untuk mendapatkan sertifikat, cukup
plasma dan swadaya penerapannya masih bersifat banyak perubahan yang harus dilakukan pekebun
sukarela, tetapi prinsip dan kriteria ISPO telah rakyat. Misalnya, harus membentuk organisasi/
dicantumkan pada penjelasan Permentan Nomor kelompok dan menjadi anggota kelompok peke-
11 Tahun 2015. Penetapan prinsip, kriteria, bun. Calon pekebun yang akan menjadi anggota
dan indikator pada kebun plasma dan swadaya grup sertifikasi harus memiliki sertifikat lahan
berbeda-beda, baik pada RSPO maupun ISPO kebun yang legal, memiliki surat tanda daftar
(Tabel 3). usaha perkebunan untuk budi daya (STD-B), dan
memiliki surat pernyataan pengelolaan lingkung­
Tabel 3. Prinsip, Kriteria, dan Indikator RSPO dan
an (SPPL). Pekebun harus mendokumentasikan
ISPO
dan mencatat kegiatan perkebunan kelapa sawit.
RSPO ISPO Pekebun juga harus melakukan pemeliharaan dan
Pekebun Plasma Swadaya Plasma Swadaya pemupukan sesuai dengan dosis dan cara yang
direkomendasikan oleh ICS sesuai dengan stan-
Prinsip 8 8 6 4
dar RSPO. Semua kegiatan operasional pekebun
Kriteria 39 35 22 18 akan diawasi oleh internal control system (ICS)
Indikator 90 78 69 45 sebelum diaudit lembaga auditor.
Sebagian besar dari perubahan tersebut
g. Sertifikasi dan Konsekuensi bagi membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Pekebun
Pekebun Swadaya sebenarnya sangat senang bila dapat menjual
produksi TBS dengan lancar dan mendapatkan
Sertifikasi merupakan instrumen yang ­diciptakan harga yang cukup baik. Namun, apakah biaya
oleh organisasi/lembaga nasional dan/atau tambahan yang dikeluarkan untuk mendapatkan

Sakti Hutabarat | Tantangan Keberlanjutan Pekebun Kelapa Sawit ... | 57


dan mempertahankan sertifikasi akan dapat ditu- tidak mudah diperoleh karena sistem tataniaga
tupi dari peningkatan nilai penjualan setelah serti- produk-produk input seperti pupuk yang ­sangat
fikasi. Hasil penelitian terhadap pekebun swadaya tertutup dan kurang fleksibel. Pengadaan doku­
yang telah memperoleh sertifikat RSPO (Asosiasi men-dokumen yang wajib dipenuhi pekebun
Amanah) menunjukkan bahwa pekebun masih swa­daya untuk memperoleh sertifikasi, seperti
menghasilkan keuntungan, tetapi persentase sertifikat tanah (Presiden Republik Indonesia,
keuntungan pekebun pada tahun pertama setelah 1960), surat tanda daftar usaha perkebunan
sertifikasi lebih kecil dibandingkan sebelum (STD-B) (Kementerian Pertanian Republik Indo-
adanya sertifikasi (Hutabarat, Slingerland, Riet- nesia, 2007), dan surat pernyataan ­kesanggupan
berg, & Dries, 2017). Mekanisme harga premium mengelola lingkungan (SPPL) (Menteri Negara
yang diperoleh melalui GreenPalm masih belum Lingkungan Hidup, 2010), bukan perkara yang
diketahui hasilnya karena sistem off market deal mudah. Perluasan kebun kelapa sawit rakyat
(OMD) yang tertutup. Sistem OMD merupakan swadaya tidak jarang merupakan konversi ­lahan
prosedur negosiasi antara kelompok pekebun hutan atau lahan (Susanti & Burgers, 2012)
sawit yang telah mendapatkan sertifikat RSPO (yang dianggap tak bertuan) sehingga tidak
dengan pihak ketiga atau pembeli (perusahaan memiliki kelengkapan surat keterangan tanah
retail, manufaktur, atau organisasi lain) yang yang legal. Di lain pihak, konflik lahan yang
difasilitasi oleh GreenPalm. GreenPalm meru- berkepanjangan tidak memungkinkan pekebun
pakan lembaga yang bekerja sama dengan RSPO memperoleh legalitas dengan mudah atas lahan
dalam membantu memasarkan sertifikat RSPO yang diusahakannya. Pengurusan STD-B, yang
di pasar internasional. Sampai saat ini, harga mempersyaratkan adanya surat keterangan tanah
premium merupakan satu-satunya insentif yang yang legal, semakin menambah sulitnya proses
menjadi harapan pekebun untuk mendapatkan menuju sertifikasi. Beberapa perkebunan kelapa
nilai tambah dari sertifikasi. sawit rakyat diduga berada di kawasan hutan
Pekebun anggota Asosiasi Amanah menda­ konservasi atau HCV yang tinggi. Kondisi ini
pat­k an kesempatan memperoleh sertifikat tentu akan menyulitkan pekebun mendapatkan
RSPO dengan dukungan dana dan teknis dari SPPL.
berbagai lembaga, seperti Carrefour Foundation, Sampai saat studi dilakukan, hanya empat
Asian Agri, dan World Wildlife Fund (WWF). grup pekebun yang mendapatkan sertifikat
Bagaimana dengan pekebun kelapa sawit swa- RSPO, yaitu Asosiasi Pekebun Kelapa Sawit
daya lainnya? Hasil penelitian memperlihatkan Swadaya Amanah di Provinsi Riau, Gabungan
cukup banyak faktor penghambat yang sulit Kelompok Tani (Gapoktan) Tanjung Sehati dan
diatasi oleh pekebun swadaya. Pertama, hampir Forum Petani Swadaya Merlung Renah di Jambi,
semua lembaga sertifikasi menghendaki agar pe- serta Yayasan Sapta Tunggal Mandiri di Sumatra
kebun swadaya terhimpun dalam suatu organisasi Selatan. Beberapa kelompok lainnya masih dalam
atau group certification (Kementerian Pertanian proses sertifikasi, seperti Asosiasi Mandiri dan
Republik Indonesia, 2011; RSPO, 2012). Pe- Gapoktan Kopau Jaya di Provinsi Riau. Jumlah
kebun swadaya secara individual tidak dapat pekebun yang telah mendapatkan sertifikat
­disertifikasi. Pembentukan grup dari individu- RSPO hanya sekitar 3.500 pekebun, sangat jauh
individu yang karakteristiknya sangat ­bervariasi jika dibandingkan jumlah pekebun kelapa sawit,
tidaklah mudah. Perbedaan jenis bibit, umur yang mencapai 2,2 juta pekebun. Demikian
tanaman, luas lahan, jarak lokasi ke PKS, dan pula sertifikasi ISPO yang baru diterapkan pada
karakter sosial lainnya menyebabkan produksi sebagian pekebun plasma, untuk sementara hanya
yang ditangani akan berbeda-beda produktivitas satu kelompok atau grup pekebun swadaya yang
dan kualitasnya. Penerapan good agricultural mendapatkan sertifikat ISPO, yaitu Asosiasi Pe-
practices (GAP) membutuhkan bimbingan dari kebun Kelapa Sawit Swadaya Amanah, yang juga
lembaga-lembaga seperti penyuluh perkebunan telah mendapatkan sertifikat RSPO. Tantangan
atau teknisi ­perusahaan perkebunan. Sementara utama yang dihadapi pekebun adalah legalitas
input yang dibutuhkan untuk melaksanakan GAP kebun yang terdiri atas dokumen kepemilikan

58 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


lahan atau sertifikat lahan, dokumen registrasi upaya persiapan dan dukungan terhadap pekebun
usaha perkebunan atau surat tanda daftar usaha swadaya mendapatkan sertifikat perlu didukung
perkebunan untuk budi daya (STD-B), dan surat semua pemangku kepentingan, termasuk pemer-
pernyataan pengelolaan lingkungan (SPPL). intah.
Peng­urusan dokumen tersebut tidak hanya mem-
butuhkan biaya yang mahal, tetapi juga waktu SIMPULAN
yang lama. Dinas terkait sering tidak memahami
dasar hukum penerbitan dokumen tersebut, bah- Posisi pekebun kelapa sawit swadaya sangat
kan tidak tahu sama sekali. Tantangan lainnya lemah dalam menghadapi perubahan di pasar
antara lain akses informasi, akses input, akses internasional. Berbagai tantangan dan keter-
finansial, dan akses pasar. Dari hasil studi, diper- batasan yang dihadapi pekebun menyebabkan
oleh informasi bahwa kesenjangan antara praktik rendahnya akses pekebun sawit untuk menjadi
perkebunan pekebun saat ini dibandingkan standar bagian dari rantai pasok pasar global. Studi ini
RSPO menunjukkan tingkat ketercapaian 28% memperlihatkan karakter, kemampuan, sumber
untuk pekebun swadaya dan 47% untuk pekebun daya, dan akses pada sumber daya produksi
plasma. Kemitraan antara pekebun plasma dan pekebun swadaya sangat bervariasi. Kondisi ini
perusahaan inti memberikan nilai tambah pada menyulitkan untuk mengoordinasikan pekebun
kebun plasma, baik dari segi informasi, teknologi, dalam suatu grup yang terintegrasi dengan sistem
sarana dan prasarana, maupun pemasaran. produksi dan manajemen yang baik. Proses
menuju sertifikasi sangat berat dan kapasitas
Adanya tekanan dari pasar internasional pekebun secara individual tidak memungkinkan
atas penerapan sertifikat RSPO menyebabkan mengatasi berbagai kendala yang dihadapi tanpa
perusahaan-perusahaan kelapa sawit harus ulur tangan dari berbagai pihak yang terkait.
mendapatkan bahan baku dari kebun-kebun yang Pemerintah, sebagai lembaga yang memiliki
telah bersertifikat RSPO. Beberapa di anta- otoritas yang sangat luas dan tinggi, memegang
ranya kebijakan labeling atas minyak nabati di peranan yang penting dalam menggiring pekebun
Prancis pada 2015, kesepakatan Inggris dan swadaya menuju sistem produksi kelapa sawit
Belanda untuk hanya membeli minyak sawit yang lestari dan berkelanjutan. Pemerintah dapat
tersertifikasi, pernyataan Belgia yang tidak akan menciptakan kondisi yang kondusif melalui
membeli minyak sawit dari Indonesia, serta peraturan perundangan-undangan untuk mem-
media masa yang bernada negatif di Prancis dan fasilitasi semua aktor-aktor dalam rantai pasok
Rusia (Darmawan, 2015). Penerapan sertifikasi kelapa sawit untuk bersinergi mengoordinasikan
secara penuh pada produk-produk kelapa sawit pasar yang efektif dan efisien agar produk-
pada 2020, yang tertuang dalam laporan kepada produk kelapa sawit Indonesia tetap kompetitif
Parlemen Eropa, “Report on palm oil and de- dan diterima di pasar internasional. Dinas atau
forestation of rainforest” tanggal 17 Maret 2017 lembaga pemerintah di tingkat lokal hendaknya
merupakan ancaman serius pada industri kelapa dapat memahami, menjelaskan, dan mengopera-
sawit di Indonesia (European Parliament, 2017). sionalkan peraturan perundangan pada kondisi
Komitmen negara-negara pengimpor utama nyata di lapangan, terutama yang terkait dengan
mi­nyak sawit yang hendak menerapkan syarat dokumen legalitas kebun kelapa sawit.
sertifikasi akan mengurangi akses minyak sawit
Indonesia di pasar internasional. Perusahaan dan
pabrik kelapa sawit tidak berani membeli buah
PUSTAKA ACUAN
sawit pekebun swadaya yang tidak bersertifikat. Angelsen, A. (1995). Shifting cultivation and “defor-
estation”: A study from Indonesia. World
Kondisi ini menjadikan posisi pekebun kelapa
Development, 23(10), 1713–1729.
sawit swadaya semakin terjepit dan memburuk.
Anggraini, E., & Grundmann, P. (2013). Transactions
Untuk mengikutsertakan pekebun kelapa sawit in the supply chain of oil palm fruits and their
rakyat dalam rantai pasok kelapa sawit, tidak ada relevance for land conversion in smallhold-
jalan lain kecuali mengikuti standar sertifikasi ings in Indonesia. The Journal of Environ-
yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, upaya- ment & Development, 22(4), 391–410. doi:
10.1177/1070496513506225.

Sakti Hutabarat | Tantangan Keberlanjutan Pekebun Kelapa Sawit ... | 59


Ansari, F., Bhartata, A., Hudata, A., Kurniawan, P. tions for migration, settlement/resettlement, and
M., & Rianda, E. (2007). Indonesian tropical local economic development. Dalam Z. Fang
deforestation. APRIL and APP case studies. (Ed.), Biofuel-Economy, Environment, and
Rotterdam: Erasmus Universiteit Rotterdam. Sustainability. In Tech, Rijeka, pp. 173–192.
Arnould, E. J., Plastina, A., & Ball, D. (2009). Does Budiharsono, S., Rahmanulloh, A., & Sofiyuddin,
fair trade deliver on its core value proposition? M. (2012). Economic assessment of palm oil
Effects on income, educational attainment and production. Technical Brief No. 26. Palm Oil
health in three countries. Marketing Depart- Series. Bogor: World Agroforestry Centre-
ment Faculty Publications. Paper 12. Univer- ICRAF, SEA Regional Office.
sity of Nebraska, Lincoln. Available at: http:// Carlson, K., Curran, L., Ratnasari, D., Pittman, A.,
digitalcommons.unl.edu/marketingfacpub/12. Soares, B. S., Asner, G. P., Trigg, S., et al.
Retrieved 20 October 2012. (2012). Committed carbon emissions, defor-
Asfaw, S. (2011). The Impact of food safety standards estation, and community land conversion
on rural household welfare. Dalam D. Mithofer from oil palm plantation expansion in West
& H. Walbel (Eds.), Vegetable Production Kalimantan, Indonesia. Proc. Natl. Acad. Sci.
and Marketing in Africa. Oxfordshire: CABI U. S. A., 109(19): 7559-7564. doi: 10.1073/
International. pnas.1200452109
Austin, K., Kasibhatla, P. S., Urban, D. L., Stolle, Carlson, K. M., Curran, L. M., Asner, G. P., Pittman, A.
F., & Vincent, J. (2015). Reconciling oil palm M., Trigg, S. N., & Adeney, J. (2013). Carbon
expansion and climate change mitigation in emissions from forest conversion by Kaliman-
Kalimantan, Indonesia. PLoS One, 10(5). doi: tan oil palm plantations. Nat. Clim. Chang.,
10.1371/journal.pone.0127963. 3(3), 283-287. doi: 10.1038/nclimate1702
Bacon, C. M., Méndez, V. E., Gómez, M. E. F., Casson, A. (2000). The hesitant boom: Indonesia’s oil
Stuart, D., & Flores, S. R. D. (2008). Are palm sub-sector in an era of economic crisis
sustainable coffee certifications enough to and political change. Occasional paper, Bogor,
secure farmers livelihoods? The millenium Indonesia: CIFOR.
development goals and Nicaragua’s fair trade Chambers, R. G. (1988). Applied production analysis.
cooperatives. Globalizations, 5(2): 259-274. Cambridge: Cambridge University Press.
doi: 10.1080/14747730802057688
Colchester, M. (2006). Lahan yang dijanjikan:
Badan Pusat Statistik. (2014). Direktori perusahaan Minyak sawit dan pembebasan tanah di Indo-
perkebunan kelapa sawit. Jakarta: Badan Pusat nesia-implikasi terhadap masyarakat lokal
Statistik. dan masyarakat adat. Jakarta: Forest People
Badrun, M. (2010a). Lintasan 30 tahun pengemban- Programme, Perkumpulan Sawit Watch, Huma
gan kelapa sawit. Jakarta: Direktorat Jenderal and the World Agroforestry Centre.
Perkebunan, Kementerian Pertanian Republik Colchester, M. (2010). Palm oil and indigenous
Indonesia dan Gapki. peoples in South East Asia. Retrieved from
Badrun, M. (2010b). Tonggak perubahan: Melalui www.forestpeoples.org website. Date accessed
PIR kelapa sawit membangun negeri. Jakarta: 12 September 2012.
Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Colman, D., & Young, T. (1989). Principles of Agri-
Pertanian Republik Indonesia. cultural Economics. Cambridge: Cambridge
Barham, B. L., Callenes, M., Gitter, S., Lewis, J., & university Press.
Weber, J. (2011). Fair trade/organic coffee, Corley, R. H. V., & Tinker, P. B. H. (2003). The oil
rural livelihoods, and the “agrarian question”: palm. New Jersey: Blackwell.
Southern mexican coffee families in transition. Darmawan, D. H. A. (2015). Update of Palm Oil
World Development, 39(1), 134–145. Industry in Indonesia. Presentation on ISPO
BPS-Statistics Indonesia. (2015). Statistik Indonesia Promotion, 12 October 2015. Indonesian Palm
(Statistical year book of Indonesia) 2015. Oil Board (IPOB), The Hague, Netherlands.
Jakarta: BPS-Statistics Indonesia. Darmawan, D. H. A. (2015, 12 Oktober). Update of
Buana, L., Kurniawan, A., & Siahaan, D. (2004). Profil palm oil industry in Indonesia.
industri kelapa sawit Indonesia. Dalam A. Departemen Pertanian Republik Indonesia. (1983). Kepu­
Kurniawan (Ed.), Tinjauan Ekonomi Industri tusan Menteri Pertanian No. 182 Tahun 1983 ten-
Kelapa Sawit. Medan: Pusat Penelitian Kelapa tang Pembentukan Tim Khusus Proyek Perkebunan
Sawit. (NES projects dan Loan PMU). Jakarta.
Budidarsono, S., Susanti, A., & Zoomers, A. (2013). Departemen Pertanian Republik Indonesia. (1985).
Oil palm plantations in Indonesia: the implica- Keputusan Menteri Pertanian No. 668 Tahun

60 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


1985 tentang Ketentuan Umum Pelaksanaan Fitzherbert, E. B., Struebig, M. J., Morel, A.,
Proyek Perkebunan Pola PIR. Jakarta. ­Danielsen, F., Bruhl, C. A., Donald, P. F., &
Dewi, S., Belcher, B., & Puntodewo, A. (2005). Village Phalan, B. (2008). How will oil palm expansion
economic opportunity, forest dependence, and affect biodiversity? Trends Ecol. Evol., 23(10),
rural livelihoods in East Kalimantan, Indonesia. 538–545.
[Livelihoods, forests, and conservation]. World Food and Agricultural Organization (FAO). (2010b).
Development, 33(9), 1419–1434. doi: http:// FAOSTAT. Rome: Food and Agricultural
dx.doi.org/10.1016/j.worlddev.2004.10.006. Organi­zation.
Direktorat Jenderal Perkebunan. (2014). Statistik Fortin, J. C. (2011). The biofuel boom and Indonesia’s
perkebunan Indonesia 2013–2015: Kelapa oil palm industry: The twin processes of peas-
Sawit. Jakarta: Direktorat Jenderal Perkebunan, ant dispossession and adverse incorporation in
Kementerian Pertanian RI. west Kalimantan. Halifax, Nova Scotia: Master
Direktorat Jenderal Perkebunan. (2014). Kelapa sawit. of Art. Saint Mary’s University.
Statistik Perkebunan Indonesia Tahun 2013- Foster, W., Snaddon, J., Turner, E. C., Fayle, T. M.,
2014. Jakarta: Kementerian Pertanian Republik Cockerill, T., Ellwood, M., Broad, G., et al.
Indonesia. (2011). Establishing the evidence base for
Edwards, F. A., Edwards, D. P., Larsen, T. H., Hsu, W. maintaining biodiversity and ecosystem function
W., Benedick, S., Chung, A., Khen, C. V., et al. in the oil palm landscapes of South East Asia.
(2014). Does logging and forest conversion to Philos. Trans. R. Soc. B-Biol. Sci., 366(1582),
oil palm agriculture alter functional diversity in 3277–3291. doi: 10.1098/rstb.2011.0041.
a biodiversity hotspot? Anim. Conserv., 17(2), Gerritsma, W., & Wessel, M. (1997). Oil palm:
163–173. doi: 10.1111/acv.12074. Domestication achieved? Netherlands Journal
European Parliament. (2017). Report on palm oil and of Agricultural Science, 45(4), 463–475.
deforestation of rainforests. Brussels: Com- González, A. A., & Nigh, R. (2005). Smallholder
mittee on the Environment, Public Health and participation and certification of organic
Food Safety. farm products in Mexico. [Certifying Rural
Ewing, M., & Msangi, S. (2009). Biofuels production Spaces: Quality-Certified Products and Rural
in developing countries: assessing tradeoffs Governance]. Journal of Rural Studies, 21(4),
in welfare and food security. [Special Issue: 449–460.
Food Security and Environmental Change Food Graffham, A., dkk. (2007). Impact of EurepGAP on
Security and Environmental Change: Linking smallscale vegetable growers in Kenya. Fresh
Science, Development and Policy for Adapta- Insights Number 6. London: IIED.
tion]. Environmental Science & Policy, Hartley, C. W. S. (1988). The oil palm. (3rd ed.).
12(4), 520–528. Longman, London: Blackwell.
Fairhurst, T., & McLaughlin, D. (2009). Sustainable Haugen, H. M. (2009). Energy security vs. food
oil palm development on degraded land in Kali- security-comparing Brazil, Indonesia, and
mantan. World Wildlife Fund, Washington, DC Tanzania. 3/126. Retfaerd Argang, 32, 3–23.
USA. Available at: http://www.worldwildlife.
Henderson, J. M., & Quandt, R. E. (1980). Micro-
org/what/globalmarkets/agriculture/WWFBi-
economic theory: A mathematical approach.
naryitem16231.pdf. Retrieved 22 September
(Third edition ed.). Auckland: McGraw-Hill
2012.
International Book Company.
Fauzi, Y. (2012). Kelapa sawit, budidaya pemanfaatan
Hidayat, N. K., Glasbergen, P., & Offemans, A. (2015).
hasil dan limbah analisis usaha dan pemasa-
Sustainability certification and palm oil smallhold-
ran. Jakarta: Penebar Swadaya.
ers’ livelihood: A comparison between scheme
Ferrigno, S., & Monday, P. (2013). The economic smallholders and independent smallholders in
impact of sustainability standards in the cotton Indonesia. International Food and Agribusiness
sector in Africa report. Study commissioned by Management Review, 18(3), 25–48.
GIZ (Deutsche Gesellschaft für International Hutabarat, S., Slingerland, M., & Dries, L. (2017).
Zusammenarbeit), on behalf of the German The prospects and challenges of certification
Federal Ministry for Economic Cooperation for different types of oil palm smallholders.
and Development (BMZ) through its Trade Inpress.
Policy and Trade Promotion Fund. Available
Hutabarat, S., Slingerland, M., Rietberg, P., & Dries,
at: https://www.researchgate.net/publica-
L. (2017). Costs and benefits of RSPO certifica-
tion/293827822_The_economic_impact_of_
tion of independent smallholders. Inpress.
sustainability_standards_in_the_cotton_sec-
tor_in_Africa. Retrieved 18 October 2015.

Sakti Hutabarat | Tantangan Keberlanjutan Pekebun Kelapa Sawit ... | 61


Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. from the smallholder sector. Ph.D. Thesis. ETH
(2010). Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Zürich University, Switzerland. Accessed: 18
No. 13 Tahun 2010 tentang UKL, UPL, dan September 2015.
SPPL. Jakarta: Kementerian Lingkungan Lee, J. S. H., Rist, L., Obidzinski, K., Ghazoul, J.,
Hidup. & Koh, L. P. (2011). No farmer left behind
Kementerian Pertanian Republik Indonesia. (2005). in sustainable biofuel production. Biological
Peraturan Menteri Pertanian No. 395 Tahun Conservation, 144(10), 2512–2516.
2005 tentang Pedoman Penetapan Harga Lima, A., Silva, T. S. F., Aragão, L. E. O. e. C. d.,
Pembelian Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Feitas, R. M. d., Adami, M., Formaggio, A.
Sawit Produksi Pekebun. Jakarta: Kementerian R., & Shimabukuro, Y. E. (2012). Land use
Pertanian. and land cover changes determine the spatial
_____. (2006). Peraturan Menteri Pertanian No. 33 relationship between fire and deforestation in
Tahun 2006 tentang Pembangunan Perkebunan the Brazilian Amazon. Applied Geography,
Melalui Program Revitalisasi Perkebunan. 34(2012), 239–246.
Jakarta: Kementerian Pertanian. Manggabarani, A. (2009a). Memaknai sebuah
_____. (2007). Peraturan Menteri Pertanian No. 19 anugerah: Sumbangsih kelapa sawit Indonesia
Tahun 2011 tentang Pedoman Perkebunan bagi dunia. Jakarta: Ideals Agro Akbar.
Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO). Manggabarani, A. (2009b). Palm oil: A golden gift from
Jakarta: Kementerian Pertanian. Indonesia to the world. Jakarta: D ­ irectorate
_____. (2011). Peraturan Menteri Pertanian No. 19 General of Estate Crops in Collaboration with
Tahun 2011 tentang Pedoman Perkebunan Sinar Mas.
Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indo- Markne, M. (2015). Certifying sustainability inde-
nesian Sustainable Palm Oil/ISPO). Jakarta. pendent oil palm smallholders’ experiences
Diakses dari http://ditjenbun.deptan.go.id/ of the RSPO certification process in the Riau
Pascapanen/download.php?file=lampispo.pdf. Province, Indonesia. (MSc Thesis). Uppsala
_____. (2013). Peraturan Menteri Pertanian No. 14 University, Swedia.
Tahun 2013 tentang Pedoman Penetapan Har- Marti, S. (2008). Losing ground: The human rights
ga Pembelian TBSW Kelapa Sawit Produksi impacts of oil palm plantation expansion in
Pekebun. Jakarta: Kementerian Pertanian. Indonesia. Friends of the Earth, London, UK;
Koczberski, G., Curry, G., & Anjen, J. (2012). Chang- LifeMosaic, Edinburgh, UK; and Sawit Watch,
ing land tenure and informal land markets Bogor, Indonesia.
in the oil palm frontier regions of Papua Maulud, A. L., & Saidi, H. (2012). The Malaysian
New Guinea: the challenge for land reform. fifth fuel policy: Re-strategising the Malaysian
Australian Geographer, 43(2), 181–196. doi: renewable energy initiatives. [Special Section:
10.1080/00049182.2012.682295. Frontiers of Sustainability]. Energy Policy,
Koh, L. P., & Ghazoul, J. (2008). Biofuels, biodiversity, 48(0), 88–92. doi: http://dx.doi.org/10.1016/j.
and people: Understanding the conflicts and enpol.2012.06.023.
finding opportunities. Biological Conservation, Mausch, K., & Mithöfer, D. (2011). The impact of
141, 2450–2460. compliance with GlobalGap standards on small
Kohne, M. (2014). Multi-stakeholder initiative and large Kenyan export vegetable-producing
governance as assemblage: Roundtable on farms. Dalam D. Mithöfer & H. Waibel (Eds.),
Sustainable Palm Oil as a political resource in Vegetable Production and Marketing in Africa-
land conflicts related to oil palm plantations. Socio Economic Research. CABI International,
Agric. Human Values, 31(3), 469–480. doi: Oxfordshire, UK. Diakses pada 12 September
10.1007/s10460-014-9507-5. 2013 dari http://www.cabi.org/cabebooks/
Kuit, M., & Waarts, Y. (2014). Small-scale farmers, cer- FullTextPDF/2011/20113221528.pdf.
tification schemes, and private standards: Is there May-Tobin, C., Boucher, D., Decker, E., Hurowitz,
a business? Costs and benefits of certification and G., Martin, J., Mulik, K., Roquemore, S., et
verification systems for small-scale producers in al. (2012). Recipes for success. Solutions for
cocoa, coffee, cotton, fruit and vegetable sectors. Deforestation-Free Vegetable Oils. Massachu-
Wageningen: Technical Centre for Agricultural setts: Union of Concerned Scientists.
and Rural Cooperation ACP-EU (CTA). Avail- McCarthy, J. F., & Cramb, R. A. (2009). Policy nar-
able at: http://publications.cta.int. Retrieved 12 ratives, landholder engagement, and oil palm
May 2015. expansion on the Malaysian and Indonesian
Lee, J. S. H. (2013). Oil palm expansion in Indonesia- frontiers. Geographical Journal, 175, 112–123.
Assessing livelihood and environmental impacts doi: DOI 10.1111/j.1475-4959.2009.00322.x.

62 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


Molenaar, J. W., Orth, M., Lord, S., Meekers, P., Tay- today and the future’, Indonesian Oil Palm
lor, C., Hanu, M. D. A., Elson, D., et al. (2010). Research Institute, Medan, Indonesia.
Analysis of the agronomic and institutional Ponte, C. (2015). Borrowing from local institutions
constraints to smallholder yield improvement in the configuration of a private certification
in Indonesia. Amsterdam: Aidenvironment. scheme. The case of the Amanah Association
Molenaar, J. W., Persch-Orth, M., Lord, S., Taylor, for independent oil palm smallholder farmers
C., & Harms, J. (2013). Diagnostic study on (MSc Thesis). Wageningen University.
Indonesia oil palm smallholders: Developing a Presiden Republik Indonesia. (1960). Undang-Undang
better understanding of their performance and No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
potential. Jakarta: International Finance Cor- Pokok-pokok Agraria (UUPA). Sekretariat
poration. Diakses pada 18 February 2015 dari Negara RI, Jakarta.
http://www.rspo.org/file/Diagnostic_Study_
Presiden Republik Indonesia. (2014). Undang-undang
on_Indonesian_Palm_Oil_Smallholders.pdf.
No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Sek-
Moreno Echeverri, I. (2011). Certified cocoa produc- retariat Negara Republik Indonesia, Jakarta.
tion in Nyinahini, Ashanti region, Ghana. Farm
Priadjati, A. (2002). Dipterocarpaceae: Forest fires
characterization, farmers’ perceptions and
and forest recovery. Proefschrift Wageningen
scenario assessment. MSc Thesis. Wageningen
Met lit. opg. - Met samenvatting in het Engels,
University, the Netherlands.
Nederlands en Indonesisch. Tropenbos Inter-
Nantha, H., & Tisdell, C. (2009). The orangutan-oil national, Wageningen. Diakses 14 November
palm conflict: economic constraints and oppor- 2012 dari http://edepot.wur.nl/121355.
tunities for conservation. Biodivers. Conserv.,
ProForest. (2003). Defining sustainability in oil palm
18(2), 487–502. doi: 10.1007/s10531-008-
production: An analysis of existing sustainable
9512-3.
agriculture and oil palm Initiatives. Makalah
Narno. (2017). Asosiasi petani sawit swadaya amanah. dipresentasikan pada Roundtable on Sustain-
Makalah dipresentasikan pada the Seminar Satu able Oil Palm, 25 Juli 2003. Proforest, 1–48.
Hari Lebih Dekat dengan RSPO, 17 Januari
Rahadian, D. (2013). Delivering the independent
2017. RSPO, Pekanbaru.
palm oil smallholder into sustainable: The first
Nazir, M. (2014). Metode penelitian. Bogor: Penerbit RSPO certified for Indonesia independent palm
Ghalia Indonesia. oil smallholders. WWF, Jakarta.
Nediasari, D. (2017). Konsumen Indonesia & industri Rist, L., Feintrenie, L., & Levang, P. (2010). The
kelapa sawit. Makalah dipresentasikan pada livelihood impacts of oil palm: Smallhold-
RSPO General Lecture UNRI, 18 Agustus ers in Indonesia. Biodivers. Conserv., 19(4),
2017. RSPO, Pekanbaru. 1009–1024. doi: 10.1007/s10531-010-9815-z.
Nelson, V., Opoku, K., Martin, A., J., B., & Posthumus, Rowell, A., & Moore, P. F. (2000). Global review of
H. (2013). Assessing the poverty impact of forest fires. Gland: WWF International & The
sustainability standards: fairtrade in Ghanaian World Conservation Union (IUCN).
cocoa. Kent: NRI.
RSPO. (2009). Prinsip & kriteria RSPO untuk produksi
Nelson, V., & Smith, S. (2011). Fairtrade cotton: minyak sawit berkelanjutan: P ­ edoman petani
Assessing impact in Mali, Senegal, Cameroon plasma. 2 Juli 2009. Gugus Kerja Petani,
and India (Report). Kent: NRI and IDS. RSPO.
Nesadurai, H. (2013). Food security, the palm oil-land RSPO. (2010). Prinsip & kriteria RSPO untuk produksi
conflict nexus, and sustainability: a governance minyak sawit berkelanjutan: Pedoman petani
role for a private multi-stakeholder regime like independen. 19 Juni 2010. Task Force untuk
the RSPO? Pac. Rev., 26(5), 505–529. doi: Petani, RSPO.
10.1080/09512748.2013.842311.
RSPO. (2012). Buku panduan penerapan prinsip
Pahan, I. (2012). Panduan lengkap kelapa sawit: dan kriteria RSPO untuk petani kelapa sawit.
Manajemen agribisnis dari hulu hingga hilir Jakarta: RSPO Indonesia Liaison Office
(A complete guide on oil palm: Agribusiness (RILO).
management from upstream to downstream).
Rumondang, T. (2017). Transforming the market to
Jakarta: Penerbit Swadaya.
make sustainable palm oil the norm. Paper
Pamin, K. (1998). A hundred and fifty years of oil presented at the RSPO General Lecture UNRI,
palm development in Indonesia: from Bogor 18 Januari 2017. Pekanbaru: RSPO.
Botanical Garden to the Industry. Makalah
Saharjo, B. H., Wasis, B., & Mulyana, D. (2011).
dipresentasikan pada 1998 International Oil
Canal blocking of burnt peat swamp forest
Palm Conference ‘Commodity of the past,
and it’s future. Makalah dipresentasikan pada

Sakti Hutabarat | Tantangan Keberlanjutan Pekebun Kelapa Sawit ... | 63


5th International Wildland Fire Conference, UNDP. (2012). Indonesia sustainable palm oil initia-
Wildfire, South Africa. http://www.infopunt- tive. United Nations Development Program,
veiligheid.nl/Infopuntdocumenten/Dossier%20 Green Commodities Facility.
Natuurbranden/Wildfire%20Conference%20 Vermeulen, S., & Goad, N. (2006). Towards better
Zuid-Afrika%202011/62%20Bambang%20 practice in smallholder palm oil production.
Hero%20Saharjo.pdf. Natural Resources Issues Series 5. London:
Simorangkir, D. (2007). Fire use: Is it really the International Institute for Environment and
cheaper land preparation method for large- Development (IIED).
scale plantations? Mitigation and Adaptation Vermeulen, S., dkk. (2008). Chain-wide learning
Strategies for Global Change, 12(1), 147–164. for inclusive agrifood market development:
Smith, P. D., Martino, D., Cai, Z., Gwary, D., Janzen, a guide to multi-stakeholder processes for
H., Kumar, P., McCarl, B., et al. (2007). Agri- linking small-scale producers with modern
culture. In: Climate Change 2007: Mitigation, makets. Wageningen: International Institute
Contribution of Working Group III to the for Environment and Development, London,
Fourth Assessment Report of the Intergovern- UK, and Wageningen University and Research
mental Panel on Climate Change, 497–540. Centre.
Cambridge, United Kingdom, and New York: von Uexkull, H. R., & Mutert, E. W. (1994). Reha-
Cambridge University Press. bilitation and lasting improvement of degraded
Susanti, A., & Burgers, P. (2012). Oil palm expansion: land in Indonesia. Makalah dipresentasikan
Competing claim of lands for food, biofuels, pada Giessener Beitrge zur Entwicklungs-
and conservation. Dalam M. Behnassi, O. forschung Reihe1 (Symposien) Band 21,
Pollmann & G. Kissinger (Eds.), Sustainable Wissenschaftliches Zentrum Tropeninstitute
Food Security in the Era of Local and Global Giessen, 47–65.
Environmental Change, 301–320. Dordrecht: World Bank, & IFC. (2011a). The World Bank Group
Springer, In press. and IFC strategy for enggagement in the palm
Susanti, A., & Burgers, P. (2013). Oil palm expansion: oil sector. Washington: World Bank & IFC.
competing claim of lands for food, biofuels, World Bank & IFC. (2011b). The World Bank
and conservation. Dalam M. Behnassi, O. Group Framework and IFC strategy for
Pollmann & G. Kissinger (Eds.), Sustainable engagement in the palm oil sector: Draft
Food Security in the Era of Local and Global for consultations. Washington: IFC and The
Environmental Change. Dordrecht, Springer, World Bank. Diakses dari http://www.ifc.
pp. 301–320. org/ifcext/agriconsultation.nsf/Attachments-
Suyanto, S. (2007). Underlying cause of fire: different ByTitle/Jan6_Draft+Framework/$FILE/
form of land tenure conflicts in Sumatra. Mitig WBG+Framework+and+IFC+Strategy_
Adapt Strat GLob Change, 12, 67–74. draft+for+consultations.pdf.
Swarna Nantha, H., & Tisdell, C. (2009). The orang- World Growth. (2010). Palm oil and food security:
utan-oil palm conflict: economic constraints The impediment of land supply. World Growth.
and opportunities for conservation. Biodiver- Diakses 18 June 2012 dari http://www.
sity and Conservation, 18(2), 487–502. doi: worldgrowth.org/assets/files/WG_Food_Secu-
10.1007/s10531-008-9512-3. rity_Report_12_10(1).pdf.
Tauli-Corpuz, V., & Tamang, P. (2007). Oil palm World Resources Institute (WRI). (2010). Degraded
and other commercial tree plantations, mono- land, sustainable palm oil, and Indonesia’s
cropping: Impacts on indigenous people’s land Future. Diakses 14 September 2010 dari http://
tenure and resource management systems and www.wri.org/stories/2010/07/degraded-land-
livelihoods. UN Permanent Forum on Indig- sustainable-palm-oil-and-indonesias-future.
enous Issues Working Paper, E/C.19/2007/ WWF-Malaysia. (2003). Forest conversion initiative.
CRP.6, para.33 (hereinafter “UNPFII Work- Foreign Exchange or a Sustainable Future for
ing Paper”). Diakses 22 November 2012 Malaysian Forests. WWF-Malaysia. Diakses
dari http://www.un.org/esa/socdev/unpfii/en/ 20 September 2012 dari http://www.wwf.org.
session_sixth.html. my/about_wwf/what_we_do/forests_main/
Teoh, C. H. (2012). Key sustainability issues in the restore/project_forest_conversion_initiative/.
palm oil sector. A Discussion Paper for Multi- Zen, Z., dkk. (2006). Oil palm in Indonesian socio-
Stakeholders Consultations (Commissioned by economic improvement: a review of options.
the World Bank Group). International Finance Industry Economic Journal, 6, 18–29.
Corporation, The World Bank., Washington
DC.

64 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


SISTEM ISPO UNTUK MENJAWAB TANTANGAN
DALAM PEMBANGUNAN KELAPA SAWIT INDONESIA
YANG BERKELANJUTAN*
Ermanto Fahamsyah*) dan Eusebius Pantja Pramudya**)
* Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember dan Sekretaris Jenderal
)

Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan (FP2SB)


ermanto_fahamsyah@yahoo.co.id.
**)
Yayasan Inspirasi Indonesia dan Kandidat Ph.D. dari Universitas Wageningen
ppramudya@gmail.com

ABSTRACT
The implementation of ISPO certification system which has been running since 2011 in addition to having
experienced various achievements and developments also encountered various obstacles, problems, challenges
and demands. The formulation of the problems analyzed and answered in this study are: what aspects should be
formulated in order to strengthen ISPO system? To analyze and answer the problem formulation is used framework
thinking about legal system theory or Legal System Theory developed by Lawrence M. Friedman. The research
method used in this study is more focused on normative legal research. Based on the analysis, it can be concluded
that the aspects that must be formulated in order to strengthen ISPO system include: First, related to the aspect of
law substance, ISPO system arrangement must be increased from the level of Minister of Agriculture Regulation
to the level of Presidential Regulation. Through this Presidential Regulation is expected to become a stronger
legal umbrella in the implementation of ISPO system. Second, in relation to aspects of its legal apparatus, the
institutional mechanisms of ISPO certification shall be enhanced and strengthened. Third, from the legal culture
aspect, there must be a common understanding about the definition and concept of sustainability in the management
and development of oil palm Indonesia.
Keywords: ISPO, Development, Palm Oil, Sustainable, Indonesia

ABSTRAK
Penyelenggaraan sistem sertifikasi ISPO yang berjalan sejak 2011, di samping telah mengalami berbagai
pencapaian dan perkembangan, menemui berbagai hambatan, masalah, tantangan, dan tuntutan. Penelitian ini
bertujuan untuk melihat aspek-aspek apa saja yang harus dirumuskan dalam rangka penguatan sistem ISPO? Untuk
menganalisis dan menjawab rumusan masalah tersebut, digunakan kerangka berpikir tentang teori sistem hukum
atau legal system theory yang dikembangkan oleh Lawrence M. Friedman. Metode penelitian yang digunakan
dalam kajian ini lebih dititikberatkan pada penelitian hukum normatif. Berdasarkan pada analisis yang dilakukan,
dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek yang harus dirumuskan dalam rangka penguatan sistem ISPO meliputi:
pertama, terkait dengan aspek substansi hukum, pengaturan sistem ISPO harus ditingkatkan dari tingkat peraturan
menteri pertanian menjadi tingkat peraturan presiden. Peraturan presiden ini diharapkan dapat menjadi payung
hukum yang lebih kuat dalam penyelenggaraan sistem ISPO. Kedua, terkait dengan aspek aparatur hukumnya,
mekanisme kelembagaan penyelenggaraan sertifikasi ISPO harus disempurnakan dan dikuatkan. Ketiga, dari aspek
budaya hukum, harus ada persamaan pemahaman mengenai definisi dan konsep sustainability dalam pengelolaan
dan pengembangan kelapa sawit Indonesia.
Kata kunci: ISPO, Pembangunan, Kelapa Sawit, Berkelanjutan, Indonesia

PENDAHULUAN daya alam—termasuk perkebunan kelapa sawit,


“Pembangunan berkelanjutan” akhir-akhir ini baik di tingkat nasional, regional, maupun inter­
menjadi isu penting/strategis dan menjadi t­ untutan nasional (Hidayat & Samekto, 2007). Dalam
dalam berbagai bidang pembangunan, terutama konteks Indonesia, pembangunan perkebunan
dalam pembangunan yang terkait d­ engan sumber ke­lapa sawit yang berkelanjutan, di samping

*Artikel ini telah dipresentasikan dalam Academic Forum on Sustainability I, yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Sumber
Daya Regional (P2SDR) LIPI, Yayasan Inspirasi Indonesia (YII), dan Centre for Inclusive and Sustainable Development
(CISDEV) Universitas Prasetiya Mulya, di Jakarta 31 Januari 2017.

65 
meru­pakan tuntutan pasar, sejatinya telah menjadi tata kelola perizinan, pengawasan, inkonsistensi
amanat Konstitusi Negara Republik Indonesia, kebijakan, minimnya transparansi, dan lemahnya
yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik penegakan hukum yang terus terjadi. Keempat,
Indonesia Tahun 1945—selanjutnya disebut UUD legalitas dan pembiayaan sistem sertifikasi ISPO.
1945—dan dijabarkan lebih lanjut dalam berba­ Penyelenggaraan sistem sertifikasi ISPO selama
gai peraturan perundang-undangan. Pemerintah ini dinilai kurang berjalan maksimal karena
Indonesia telah menetapkan dan memberlakukan beberapa faktor, antara lain mengenai pemenu-
standar pembangunan perkebunan kelapa sawit han aspek legalitas dan masalah pembiayaan.
Indonesia berkelanjutan sejak 2011 melalui Kelima, keberterimaan sistem sertifikasi ISPO di
sistem sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan pasar global (Policy Brief Rancangan Peraturan
Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil/ Presiden tentang Penguatan ISPO, 25 Oktober
ISPO)—selanjutnya disebut sistem sertifikasi 2016, 2–3). Untuk menjawab beberapa hambatan,
ISPO. masalah, tantangan, dan tuntutan krusial dalam
Penyelenggaraan sistem sertifikasi ISPO kaitan dengan sistem sertifikasi ISPO di atas,
yang berjalan sejak 2011, di samping telah meng­ akhir-akhir ini muncul adanya proses penguatan
alami berbagai pencapaian dan perkembangan, sistem ISPO. Berdasarkan pada uraian latar be-
menemui berbagai hambatan, masalah, tantangan, lakang di atas, rumusan masalah yang dianalisis
dan tuntutan. Merujuk pada hasil kajian dan refe­ dan dijawab adalah: aspek-aspek apa saja yang
rensi dari berbagai pihak, meskipun Indonesia harus dirumuskan dalam rangka penguatan sistem
telah memberlakukan sistem sertifikasi ISPO, ISPO?
kelapa sawit Indonesia tidak serta-merta terlepas
dari adanya tuntutan sustainable palm oil, baik PENGUATAN SISTEM ISPO
yang datang dari pembeli, konsumen, maupun Dalam perkembangannya, terutama sejak pelun-
industri produk berbahan baku minyak sawit. curan ISPO dan terbitnya berbagai peraturan
Adapun yang paling keras bersuara adalah lem- terkait dengan keberlanjutan pembangunan perke-
baga swadaya masyarakat (LSM), baik di tingkat bunan serta diundangkannya Undang-Undang
nasional, regional, maupun internasional. Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, yang
Hambatan, masalah, tantangan, dan t­ untutan harus diadopsi oleh persyaratan ISPO, permintaan
krusial terkait dengan sistem ­sertifikasi ISPO pasar terhadap minyak yang bersertifikat ISPO
antara lain, pertama, terkait dengan ­pemahaman yang mulai bermunculan mengharuskan perlu-
nya merevisi persyaratan ISPO. Penyempurnaan
dan kebijakan tentang definisi dan konsep dasar
ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri
sustainability (keberlanjutan) di ­Indonesia. Per­­
Pertanian Nomor 19/Permentan/OT.140/3/2011
soalan sangat mendasar yang ­ belum pernah
tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit
dibahas secara tuntas dalam konteks I­ndo­nesia­
Berkelanjutan Indonesia (Indonesian ­Sustainable
adalah pemahaman bersama tentang ­defi­nisi dan
Palm Oil/ISPO), bertujuan memberikan petunjuk
konsep dasar sustainability dalam ­pengelolaan yang lebih jelas bagi pelaku usaha perkebunan
dan pengembangan kelapa sawit. Kedua, dan para auditor. Akhirnya, pada 2015, telah
meka­
­
n isme kelembagaan penyelenggaraan terbit Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11/Per-
serti­fikasi ISPO. Persoalan mendasar dalam me- mentan/OT.140/3/2015 tentang Sistem Sertifikasi
kanisme kelembagaan ISPO terletak pada me- Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia. Perkebun­
kanisme penyelenggaraan proses sertifikasi ISPO an Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indo-
yang dinilai sebagian pihak tidak i­ndependen, nesian Sustainable Palm Oil/ISPO)—selanjutnya
transparan, akuntabel, dan kredibel. Ketiga, disebut ISPO—adalah sistem usaha di bidang
substansi prinsip, kriteria, dan indikator dari perkebunan kelapa sawit yang layak ekonomi,
sistem sertifikasi ISPO. ISPO diklaim sebagian layak sosial, dan ramah lingkungan didasarkan
pihak lebih mencerminkan kepentingan nasional. pada peraturan perundangan yang berlaku di
Prinsip, kriteria, dan indikator yang dibuat belum Indonesia (Peraturan Menteri Pertanian Nomor
mampu menjawab permasalahan dan kelemahan 11/Permentan/OT.140/3/2015).

66 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


ISPO merupakan acuan penerapan konsep 155 pekebun kelapa sawit, sementara ada 462
kelapa sawit berkelanjutan yang dikembangkan buyer dan 633 consumer goods manufacturer
berdasarkan pada hukum dan peraturan yang (RSPO, 2016b).
ada di Indonesia. Dengan adanya ISPO, konsep Sebagai suatu standar keberlanjutan, ISPO
kelapa sawit berkelanjutan akan menjadi bagian memiliki kelebihan dan kekurangan sendiri.
integral dari agenda pembangunan secara nasio­ Menu­rut Wijaya dan Glasbergen (2016), kalau
nal (Kospa, 2016). dibandingkan RSPO, ISPO meruapkan sistem
Kemunculan ISPO sering dianggap sebagai yang lebih kuat karena berlandaskan pada le-
tandingan dari inisiatif peningkatan k­ eberlanjutan galitas. Aspek legalitas ini dalam RSPO hanya
dari sektor kelapa sawit yang digagas oleh Round- merupakan salah satu dari delapan prinsip yang
table on Sustainable Palm Oil (RSPO), ter­utama dijadikan acuan, yaitu pada prinsip kedua tentang
sebagai upaya negara menegakkan kedau­latan “Compliance with Applicable Laws And Regula-
menghadapi tekanan dari inisiatif pening­­katan tions” (RSPO, 2013). Lebih lanjut, Wijaya dan
governansi lingkungan di tingkat global (­ Sahide, Glasbergen (2016) berpendapat, sebagai sistem
Burns, Wibowo, Nurrochmat & Giessen, 2015). yang berasaskan kesukarelaan (voluntary),
Kalangan LSM kadang m ­ emersepsikan kemun­ RSPO tidak mempunyai landasan apa pun untuk
culan ISPO sebagai reaksi dari pemerintah Indo- penegakan bagi pelanggaran legalitas. Hal ini
nesia untuk melawan kampanye negatif ter­ha­dap berbeda dengan ISPO, yang mempunyai kekuatan
perkebunan kelapa sawit (Wijaya & Glasbergen, hukum yang mengikat dan pelanggaran hukum
2016). Sebelumnya, pemerintah Indonesia akan berhadapan dengan otoritas di Indonesia,
sebenarnya telah berusaha aktif dalam diskusi- walaupun dengan pengecualian untuk para pe­
diskusi di RSPO, terutama untuk mengem­bangkan tani swadaya yang baru memulai kebun mereka.
interpretasi nasional t­ erhadap standar RSPO serta Pelanggaran hukum dapat berdampak pada pem-
sertifikasi bagi petani. Namun, keterlibatan dalam batalan izin kebun.
RSPO ini dipandang tidak cukup untuk mereda-
kan kampanye negatif yang intensif. Terhadap Selanjutnya, Wijaya dan Glasbergen (2016)
pandangan ini, harus diakui pula bahwa dalam menyoroti bahwa RSPO dan ISPO sama-sama
RSPO memang ada aspek yang mempersulit menggunakan pendekatan sertifikasi yang dilaku­
po­sisi Indonesia, yang muncul dari ketimpangan kan pihak ketiga. Namun, untuk ISPO, prosedur
dalam struktur organisasi dan peng­ambilan kepu- sertifikasi pihak ketiganya lebih rumit, dengan
tusannya (Schouten & ­Glasbergen, 2012). Dalam verifikasi tahap pertama dilakukan auditor
pembahasan-pembahasan di RSPO, prosesnya ­independen, tetapi pada tahap berikutnya Komisi
sendiri dapat dikatakan tidak sepenuhnya inklusif ISPO melakukan penilaian sebelum dapat menye­
dengan keterlibatan aktor lokal seperti para pro- tujui sertifikat diterbitkan lembaga sertifikasi
dusen (terutama petani) yang tidak sepenuhnya independen tersebut.
terwakili (Marin-Burgos, Clancy, & Lovett, Wijaya dan Glasbergen (2016) juga menyo­
2015). Komposisi dari struktur executive board roti tentang perbandingan aspek lingkungan dan
dari RSPO terdiri atas pekebun kelapa sawit (4 sosial dari RSPO dan ISPO, yang sekilas terlihat
kursi yang mewakili Indonesia, Malaysia, “rest of tidak ada perbedaan mencolok. Namun, secara
the world”, dan petani), peng­olah minyak sawit mendetail, ada perbedaan mendasar dari aspek-
(2 kursi), perusahaan penghasil consumer goods aspek yang dibahas, misalnya mengenai konsep
(2 kursi), retailers (2 kursi), bank dan investor high conservation values (HCV), yang mencakup
(2 kursi), LSM lingkungan (2 kursi), serta LSM kumpulan dari nilai-nilai biologis, ekologis, so-
bidang sosial (2 kursi) (RSPO, 2016a). Dari kom­ sial, dan budaya yang dianggap punya peranan
posisi ini, terlihat bahwa perwakilan dari produsen penting, baik pada tingkat nasional, regional,
hanya satu dari berbagai aktor dalam tata kelola. maupun global. Sementara itu, untuk ISPO, me-
Sementara sebagai skema private governance, mang disebutkan mengenai HCV, tetapi tidak ada
negara tidak terlibat langsung. Seca­ra jumlah pun, tuntunan atau informasi lebih terperinci mengenai
dari total 1.373 anggota per Juni 2016, hanya ada hal tersebut sehingga menimbulkan ruang untuk

Ermanto Fahamsyah dan ... | Sistem ISPO untuk Menjawab Tantangan ... | 67
interpretasi yang berbeda. Hal lain yang cukup dalam suatu sistem. Substansi juga mengandung
berbeda adalah RSPO mencakup free and prior pengertian produk atau keputusan dari pembuat
informed consent dalam prinsip dan kriterianya peraturan perundang-undangan. Budaya hukum
sehubungan dengan kepedulian terhadap komu- mengandung pengertian sikap perilaku masyara-
nitas dan akuisisi lahan. Dalam standar ISPO, kat terhadap hukum dan sistem hukum. Hal ini
aspek-aspek ini dianggap normatif, sedangkan mencakup bagaimana kepercayaan, nilai, ide,
informasi yang lebih detail juga terbatas. dan pengharapan mereka terhadap hukum. Ide
Merupakan tantangan untuk memperkuat pemikiran inilah yang membuat hukum dapat
sistem ISPO berdasarkan pada kesadaran terha- berjalan sebagaimana semestinya (Friedman,
dap kelebihan dan kekurangan ini. Apalagi, kalau 1984, 5–6).
dipandang dari tujuannya, bahwa ISPO—seperti Melalui analisis dengan teori sistem hukum
halnya RSPO—bertujuan meningkatkan keber- tersebut, diharapkan dapat dirumuskan suatu
lanjutan dari produksi kelapa sawit (Gillespie & konsep penguatan sistem ISPO sebagai instru-
Harjanthi, 2012). Sebagai standar sertifikasi yang men yang dapat menjawab segala hambatan,
berbasis pada legalitas, penguatan ISPO dilak- masalah, tantangan, dan tuntutan krusial terkait
sanakan berdasarkan pada kerangka berpikir ilmu dengan penyelenggaraan sustainable palm oil
hukum seperti dijelaskan pada bagian berikut. di Indonesia. Penguatan sistem ISPO dimulai
pada aspek substansi hukumnya, selanjutnya
KERANGKA TEORETIS dari aspek aparatur hukumnya, yaitu pelaksana/
kelembagaannya, serta terakhir aspek budaya hu-
Pembangunan perkebunan kelapa sawit berke­ kum yang menyangkut persepsi para pemangku
lanjutan atau sustainable palm oil merupakan kepentingan terhadap sistem ISPO itu sendiri.
kewajiban yang diterapkan pemerintah Indonesia
dalam upaya memelihara lingkungan, meningkat-
kan kegiatan ekonomi dan sosial, serta menegak- METODE PENELITIAN
kan peraturan perundangan Indonesia di bidang Metode penelitian yang digunakan dalam kajian
perkelapasawitan. Penerapan kewajiban kebun ini lebih dititikberatkan pada penelitian hukum
sawit yang berkelanjutan ini dilakukan sejak normatif (Sidharta, 2000, 218; Soekanto, 2006,
peluncuran Perkebunan Kelapa Sawit Berkelan- 51; Soekanto & Mahmudji, 2001, 13–14). Pene-
jutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm litian norma hukum ialah penelitian hukum yang
Oil/ISPO) di Medan pada Maret 2011. mengacu pada peraturan perundang-undangan,
Untuk menganalisis dan menjawab rumusan keputusan pengadilan, dan norma yang berlaku
masalah di atas, digunakan kerangka berpikir di masyarakat (Filstead, 1978, 38). Dengan
tentang teori sistem hukum atau legal system demikian, objek yang dianalisis dalam peneli-
theory yang dikembangkan oleh Lawrence M. tian ini adalah norma hukum berupa peraturan
Friedman (2001, 6–8). Dia menyatakan, suatu perundang-undangan yang berkaitan langsung
sistem hukum atau legal system terdiri atas tiga dengan pembangunan kelapa sawit Indonesia
unsur, yaitu unsur struktur hukum, substansi hu- yang berkelanjutan.
kum, dan budaya hukum. Struktur mengandung Data yang digali dan ditelaah dalam pene-
pengertian kerangka yang memberikan perlin­ litian ini terdiri atas data sekunder (Marzuki,
dungan menyeluruh bagi suatu sistem hukum. 2005, 164–166). Data sekunder terdiri atas bahan
Struktur ini terdiri atas elemen-elemen jumlah hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan
dan besar badan peradilan, bagaimana peraturan hukum tersier (Soekanto & Mahmudji, 2001,
perundang-undangannya, serta prosedur apa 13–14). Bahan hukum primer dalam penelitian
yang harus dilaksanakan para penegak hukum. ini adalah peraturan perundang-undangan yang
Struktur bersifat sebagai pembatas gerakan. mengatur dan/atau terkait dengan pembangunan
Substansi dari suatu sistem hukum mengandung kelapa sawit Indonesia yang berkelanjutan.
pengertian peraturan yang sesungguhnya, norma, Ada­pun bahan hukum sekunder yang ­digunakan
dan tatanan pergaulan masyarakat yang berlaku adalah bahan yang memberikan penjelasan

68 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


me­ngenai bahan hukum primer, seperti naskah de­ngan menjaga keseimbangan kemajuan dan
akademik rancangan undang-undang, hasil-hasil kesatuan ekonomi nasional.” Dalam perubahan
penelitian, dan hasil karya dari ahli hukum yang kedua UUD 1945, pada Pasal 28H ayat (1),
berkaitan dengan pembangunan kelapa sawit dinyatakan bahwa, “Setiap orang berhak hidup
Indonesia yang berkelanjutan. Penelitian ini juga sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
menggunakan bahan hukum tersier, yaitu bahan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat
yang memberikan petunjuk ataupun penjelasan serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”
terhadap bahan hukum primer dan sekunder, (Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 33 ayat (4)
contohnya kamus, ensiklopedi, indeks kumulatif, & Pasal 28H ayat (1)).
dan sebagainya (Soekanto, 2006, 52). Kedua, Undang-Undang Nomor 25 Tahun
Di samping sumber-sumber penelitian yang 2007 tentang Penanaman Modal, pada bagian
berupa bahan-bahan hukum, penulis mengguna­ Menimbang huruf a, menyebutkan, “untuk me­wu­
kan bahan-bahan nonhukum yang mempunyai judkan masyarakat adil dan makmur berdasar­kan
relevansi dengan topik penelitian, misalnya pada Pancasila dan UUD 1945, perlu dilaksana­
buku, hasil penelitian, dan jurnal-jurnal m
­ engenai kan pembangunan ekonomi ­ nasional yang
pembangunan kelapa sawit Indonesia yang ber­ke­­lan­jutan dengan b­ erlandaskan demokrasi
berkelanjutan. Penggunaan bahan-bahan non- ekonomi untuk mencapai tujuan bernegara”
hukum ini dimaksudkan untuk memperkaya (Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, LN
dan memperluas wawasan penulis tentang pola No. 67 Tahun 2007, TLN No. 4724, bagian
perusahaan inti rakyat perkebunan (Marzuki, ­Menimbang huruf a) Pasal 3 ayat (1) ­menentukan
2005, 143, 163–164). Pengumpulan data dalam bahwa pena­naman modal ­diselenggarakan ber-
penelitian ini menggunakan teknik penelitian dasarkan pada beberapa asas, antara lain asas
kepustakaan. Penelitian kepustakaan dilakukan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan
dengan menelusuri beberapa literatur, baik (Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, Pasal
yang ada dalam buku, artikel, jurnal, maupun 3 ayat (1)). Selanjutnya, Pasal 3 ayat (2) memuat
peraturan perundang-undangan. Penelusuran salah satu tujuan penyelenggaraan penanaman
tersebut dilakukan untuk menemukan data yang modal adalah meningkatkan pemba­ngunan
dapat digunakan untuk menganalisis dan men- ekonomi berkelanjutan (Undang-Undang No. 25
jawab rumusan masalah (Policy Brief Rancangan Tahun 2007, Pasal 3 ayat (2)).
Peraturan Presiden tentang Penguatan ISPO, 25 Ketiga, Undang-Undang Nomor 32 Tahun
Oktober 2016, 2–3). 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Ling­kungan Hidup, pada bagian Menimbang
HASIL DAN PEMBAHASAN huruf b, menentukan bahwa pembangunan
eko­nomi nasional, sebagaimana diamanatkan
Pertama, terkait dengan pemahaman dan kebi-
oleh UUD 1945, diselenggarakan berdasarkan
jakan tentang konsep pembangunan berkelanjutan
pada prinsip pembangunan berkelanjutan dan
(sustainable development) di Indonesia.
berwawasan lingkungan (Undang-Undang No.
Pembangunan perkebunan kelapa sawit yang 32 Tahun 2009, LN. No. 140 Tahun 2009, TLN
berkelanjutan di Indonesia, di samping telah No. 5059, bagian menimbang huruf b). Pasal
diamanatkan oleh Konstitusi Negara Republik 1 angka 3 menentukan bahwa, “Pembangunan
Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar Negara berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana
Republik Indonesia Tahun 1945, dijabarkan le­bih yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial,
lanjut dalam berbagai peraturan perundang- dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan
undangan. Pertama, UUD 1945, pada perubahan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup
keempat, khususnya Pasal 33 ayat (4), menyatakan serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan,
bahwa, “Perekonomian nasional diselenggarakan dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi
berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip masa depan” (Pasal 1 angka 3 Undang-Undang
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, No. 32 Tahun 2009). Pasal 3 huruf i menyatakan
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan

Ermanto Fahamsyah dan ... | Sistem ISPO untuk Menjawab Tantangan ... | 69
hidup bertujuan mewujudkan pembangunan untuk mempercepat pembangunan industri.
berkelanjutan (Pasal 3 huruf i Undang-Undang Antara lain, perusahaan industri kecil dan in-
No. 32 Tahun 2009). Pasal 15 ayat (1) me- dustri menengah yang memanfaatkan sumber
nyebutkan, pemerintah dan pemerintah daerah daya alam secara efisien, ramah lingkungan, dan
wajib membuat kajian lingkungan hidup strategis berkelanjutan, serta yang melaksanakan upaya
(KLHS) untuk memastikan prinsip ­pembangunan untuk mewujudkan industri hijau (Pasal 110 ayat
berkelanjutan telah menjadi dasar dan ­terintegrasi (1) juncto Pasal 110 ayat (2) huruf h dan huruf i
dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau Undang-Undang No. 3 Tahun 2014).
kebijakan, rencana, dan/atau program (Pasal 15 Kelima, Pasal 62 Undang-Undang Nomor
ayat (1) Undang-Undang No. 32 Tahun 2009). 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan menyatakan
Penjelasan Umum angka 1 mengatur bahwa UUD bahwa pengembangan perkebunan diselenggara-
1945 menyatakan lingkungan hidup yang baik dan kan secara berkelanjutan dengan memperhatikan
sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional aspek ekonomi, sosial-budaya, dan ekologi.
bagi setiap warga negara Indonesia. Oleh karena Pengembangan perkebunan berkelanjutan seba­
itu, negara, pemerintah, dan semua pemangku gaimana dimaksud harus memenuhi prinsip dan
kepentingan berkewajiban melindungi dan kriteria pembangunan perkebunan berkelanjutan.
mengelola lingkungan hidup dalam pelaksanaan Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan
pembangunan berkelanjutan agar lingkungan perkebunan berkelanjutan diatur dalam peraturan
hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber pemerintah (Undang-Undang No. 39 Tahun 2014,
dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta LN No. 308 Tahun 2014, TLN No. 5613, Pasal
makhluk hidup lain (Penjelasan Umum angka 1 62). Khusus pada perkebunan kelapa sawit, telah
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009). ­Berikutnya, diterbitkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor
Penjelasan Umum angka 3 menyebutkan peng- 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman
gunaan sumber daya alam harus selaras, serasi, Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indo-
dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. nesia (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO),
Sebagai konsekuensinya, kebijakan, rencana, dan/ kemudian diganti dengan Peraturan Menteri
atau program ­pembangunan harus dijiwai oleh Pertanian Nomor 11/Permentan/OT.140/3/2015
kewajiban melakukan pelestari­an lingkungan tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelan-
hidup dan mewujudkan tujuan pembangunan jutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm
berkelanjutan (Penjelasan Umum angka 3 Oil Certification System) (Peraturan Menteri
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009). Pertanian Nomor 11/Permentan/OT.140/3/2015;
Keempat, Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Berita Negara No. 432 Tahun 2015).
Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian Meskipun konsep pembangunan keberlanjut­
menentukan bahwa industri hijau adalah industri an, khususnya dalam pembangunan kelapa sawit
yang dalam proses produksinya mengutamakan berkelanjutan Indonesia, sudah diatur dalam
upaya efisiensi dan efektivitas penggunaan sum- be­
berapa peraturan perundang-undangan di
ber daya secara berkelanjutan sehingga mampu Indonesia, dari tingkat undang-undang dasar
menyelaraskan pembangunan Industri dengan sampai peraturan menteri, baik secara tersurat
kelestarian fungsi lingkungan hidup serta dapat maupun tersirat, masih terdapat persoalan sangat
memberikan manfaat bagi masyarakat (Undang- mendasar yang belum pernah dibahas secara
Undang No. 3 Tahun 2014, LN. No. 4 Tahun tun­tas dalam konteks Indonesia. Salah satunya
2014, TLN No. 5492, Pasal 1 angka 3). Pasal 30 pemahaman bersama tentang definisi dan ­konsep
ayat (1) memuat ketentuan bahwa sumber daya dasar sustainability dalam pengelolaan dan
alam diolah serta dimanfaatkan secara efisien, pengem­bangan kelapa sawit di Indonesia.
ramah lingkungan, dan berkelanjutan (Pasal 30 Sebagian pihak, antara lain dari unsur
ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 2014). pemerintah dan pelaku usaha, memahami serta
Pasal 110 ayat (1) juncto Pasal 110 ayat (2) huruf memaknai bahwa definisi dan konsep dasar sus-
h dan huruf i menentukan bahwa pemerintah dan tainability dalam pengelolaan dan pengembangan
pemerintah daerah dapat memberikan fasilitas kelapa sawit di Indonesia diukur pada tingkat

70 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


kepatuhan atau penerapan semua peraturan surat pendaftaran usaha perkebunan (SPUP),
perundang-undangan yang berlaku oleh para izin tetap usaha budi daya perkebunan
pelaku usaha perkebunan kelapa sawit. Sementara (ITUBP), dan izin usaha tetap usaha industri
itu, pihak lain, di antaranya akademisi dan/atau perkebunan (ITUIP) dinilai oleh pemerintah
peneliti, berpendapat apabila hanya diukur dari provinsi/kabupaten/kota atau pusat ber-
tingkat kepatuhan atau penerapan terhadap semua dasarkan pada Peraturan Menteri Pertanian
peraturan perundang-undangan yang berlaku, menge­nai Pedoman Penilaian Usaha Perke-
hal tersebut baru terbatas pada kepatuhan atau bunan. Hasil penilaian dikelompokkan men-
penerapan terhadap aspek legalitas, belum sampai jadi 2 (dua), yaitu a) Kelas A (baik sekali),
pada tahap kepatuhan atau penerapan terhadap Kelas B (baik), Kelas C (sedang), Kelas D
aspek-aspek yang terkandung dalam sustainabil- (kurang), dan Kelas E (kurang sekali) untuk
ity, yaitu ekonomi, sosial-budaya, dan ekologi. kebun dalam tahap pembangunan; serta b)
Pemahaman dan kebijakan mengenai definisi Kelas I (baik sekali), Kelas II (baik), Kelas
dan konsep dasar sustainability (keberlanjutan) III (sedang), Kelas IV (kurang), dan Kelas
dalam pengelolaan dan pengembangan perke- V (kurang sekali) untuk kebun dalam tahap
bunan kelapa sawit di Indonesia seharusnya operasional. Perusahaan yang mendapat
dimaknai secara utuh sebagai sistem pengelolaan penilaian kebun Kelas I, Kelas II, dan Kelas
dan pengembangan perkebunan kelapa sawit III berhak mengajukan permohonan untuk
yang mematuhi dan menerapkan semua aspek memperoleh penilaian audit sertifikasi ISPO.
ekonomi, sosial-budaya, dan ekologi, serta semua 2) Penilaian oleh lembaga sertifikasi. Penilaian
peraturan perundang-undangan yang berlaku. sertifikasi dilakukan terhadap pemenuhan
Dengan demikian, kepatuhan dan penerapan prinsip dan kriteria ISPO kelapa sawit
semua aspek ekonomi, sosial-budaya, dan berkelanjutan oleh pihak ketiga yang tidak
ekologi, serta legalitas akan menjadi ukuran berpihak, yaitu lembaga sertifikasi yang telah
dalam penyelenggaraan sistem sertifikasi ISPO. mendapat pengakuan dari Komisi ISPO.
Pemahaman dan kebijakan yang demikian tentu Objek penilaian sertifikasi dilakukan terha­
lebih sesuai dengan amanat UUD 1945 dan per- dap: a) unit perusahaan perkebunan yang
aturan perundang-undangan lain. melakukan usaha budi daya perkebunan
Kedua, terkait dengan mekanisme kelem- yang terintegrasi dengan usaha pengolahan
bagaan penyelenggaraan sertifikasi ISPO. dalam 1 (satu) unit usaha (profit entity);
Berdasarkan pada Peraturan Menteri Per- b) unit perusahaan perkebunan yang melaku­
tanian Nomor 11/Permentan/OT.140/3/2015, kan usaha budi daya perkebunan yang ter­
sertifikasi ISPO dilakukan terhadap perusahaan integrasi dengan usaha pengolahan dalam
perkebunan kelapa sawit, usaha kebun plasma, satu unit usaha (profit entity) dapat juga
usaha kebun swadaya, dan minyak kelapa sawit disertifikasi untuk energi terbarukan apabila
untuk energi terbarukan (Peraturan Menteri dibutuhkan, c) unit perusahaan perkebunan
Pertanian Nomor 11/Permentan/OT.140/3/2015 yang hanya melakukan usaha budi daya
lampiran I, 13). perkebunan agar tandan buah segar (TBS)
Tata cara sertifikasi ISPO untuk perusahaan yang dihasilkan sesuai dengan prinsip dan
perkebunan dapat diuraikan sebagai berikut (Per- kriteria ISPO, perusahaan wajib memasok
aturan Menteri Pertanian Nomor 11/Permentan/ TBS-nya kepada usaha pengolahan yang
OT.140/3/2015 lampiran I, pp. 14–21). telah bersertifikat ISPO; d) unit perusahaan
perkebunan yang hanya melakukan usaha
1) Penilaian oleh pemerintah. Setiap perusa- pengolahan yang pasokan bahan bakunya
haan perkebunan yang memiliki izin usaha dari kebun masyarakat atau kebun mitra lain-
perkebunan (izin usaha perkebunan (IUP), nya untuk menjamin pemenuhan kapasitas
izin usaha perkebunan budi daya (IUP-B); dari usaha pengolahan berdasarkan pada
izin usaha perkebunan pengolahan (IUP-P), perjanjian sesuai dengan peraturan di bidang

Ermanto Fahamsyah dan ... | Sistem ISPO untuk Menjawab Tantangan ... | 71
perizinan usaha perkebunan; e) unit sertifika- b) Perusahaan perkebunan yang melaku-
si kelompok (grup) perusahaan perkebunan, kan usaha budi daya perkebunan, yaitu:
yaitu beberapa perusahaan perkebunan yang 1) legalitas lahan perkebunan; 2) mana-
dikelola dengan menerapkan manajemen jemen perkebunan; 3) perlindungan ter-
yang sama. Tiap perusahaan perkebunan hadap pemanfaatan hutan alam primer
yang di bawah kelompok masing-masing dan lahan gambut; 4) pengelolaan dan
harus mendapatkan sertifikat ISPO terlebih pemantauan lingkungan; 5) tanggung
dahulu sebelum kelompoknya disertifikasi. jawab terhadap pekerja; 6) tanggung
Setiap perusahaan perkebunan harus mem- jawab sosial dan pemberdayaan eko-
punyai minimal dua orang auditor internal, nomi masyarakat; dan 7) peningkatan
sedangkan grup perusahaan memiliki mini- usaha secara berkelanjutan.
mal lima orang yang telah lulus pelatihan c) Perusahaan perkebunan yang melaku-
teknis auditor ISPO. kan usaha pengolahan hasil perkebunan,
3) Pengambilan contoh kebun. Perusahaan yaitu: 1) legalitas lahan perkebunan; 2)
perkebunan yang disertifikasi dinilai ber- manajemen perkebunan; 3) ­pengelolaan
dasarkan pada jumlah contoh kebun. Unit dan pemantauan lingkungan; 4) tang-
kebun dari suatu perusahaan perkebunan gung jawab terhadap pekerja; 5) tang-
yang dinilai berdasarkan pada prinsip dan gung jawab sosial dan pemberdayaan
kriteria ISPO minimum berjumlah 0,8Öy ekonomi masyarakat; dan 6) peningkat­
pembulatan ke atas; dengan y adalah jumlah an usaha secara berkelanjutan.
kebun dari perusahaan perkebunan kelapa d) Perusahaan perkebunan yang melaku-
sawit. Ukuran sampel untuk penilaian harus kan usaha produksi minyak kelapa sawit
berdasarkan pada penilaian risiko pada unit untuk energi terbarukan wajib menghi-
kebun—yang berisiko tinggi memerlukan tung emisi gas rumah kaca (GRK) yang
ukuran sampel yang lebih banyak. Ukuran pedoman perhitungannya diatur secara
sampel harus ditetapkan dengan formula terpisah.
(0,8Öy) x (z), dengan z merupakan perkalian
5) Syarat permohonan sertifikasi. Perusahaan
yang ditetapkan dengan penilaian risiko
perkebunan yang hendak mengajukan permo-
(risiko rendah = pengali 1; risiko menengah
honan sertifikasi harus melengkapi dokumen
= pengali 2; risiko tinggi = pengali 3). Usaha
sebagai berikut: (a) Izin usaha perkebunan,
pengolahan kelapa sawit secara keseluruhan
seperti izin usaha perkebunan (IUP), izin
dinilai berdasarkan pada prinsip dan kriteria
usaha perkebunan budi daya (IUP-B); izin
ISPO. usaha perkebunan pengolahan (IUP-P), surat
4) Prinsip dan kriteria ISPO untuk perusahaan pendaftaran usaha perkebunan (SPUP), izin
perkebunan, terdiri atas: tetap usaha budi daya perkebunan (ITUBP),
a) Perusahaan perkebunan yang melaku- izin usaha tetap usaha industri perkebunan
kan usaha budi daya perkebunan dan (ITUIP), izin/persetujuan prinsip menteri
terintegrasi dengan usaha pengolahan pertanian, dan izin usaha perkebunan yang
hasil perkebunan, yaitu: 1) legalitas diterbitkan oleh Kepala BKPM atas nama
usaha perkebunan; 2) manajemen perke- Menteri Pertanian. (b) Hak atas tanah sesuai
bunan; 3) perlindungan terhadap peman­ dengan peraturan di bidang pertanahan; (c)
faatan hutan alam primer dan lahan Izin lingkungan; dan (d) Penetapan usaha
gambut; 4) pengelolaan dan pemantauan perkebunan Kelas I, Kelas II, atau Kelas III
lingkungan; 5) tanggung jawab terhadap dari bupati/wali kota, gubernur atau Direk-
pekerja; 6) tanggung jawab sosial dan tur Jenderal sesuai dengan kewenangan.
pemberdayaan ekonomi masyarakat; 6) Proses pengakuan sertifikasi ISPO perusa-
dan 7) peningkatan usaha secara berke­ haan perkebunan.
lanjutan.

72 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


a) Perusahaan Perkebunan yang telah dan kebun dengan kemiringan tertentu;
memenuhi persyaratan angka 5 di atas serta pihak/pemangku kepentingan
mengajukan permohonan sertifikasi yang dipilih sebagai narasumber. Hasil
ISPO kepada salah satu lembaga sertifi- penilaian tahap I yang tidak memenuhi
kasi yang telah mendapatkan pengakuan persyaratan terkait dengan legalitas
dari Komisi ISPO. dan waktu penyelesaiannya (lebih dari
b) Lembaga sertifikasi, setelah menerima enam bulan) tidak dapat diprediksi
permohonan sertifikasi dari perusahaan harus dilaporkan kepada Komisi ISPO.
Sebelum melaksanakan audit tahap II
perkebunan, melakukan penelitian atas
(on site audit), lembaga sertifikasi wajib
kelengkapan dan kebenaran dokumen
menyampaikan pengumuman publik
(document review).
melalui Sekretariat Komisi ISPO p­ aling
c) Apabila dianggap belum lengkap, doku- kurang 30 hari sebelum pelaksanaan
men dikembalikan kepada perusahaan audit; b) tahap II meliputi penilaian ter-
perkebunan untuk dilengkapi. hadap semua dokumen yang digunakan
d) Apabila dokumen lengkap dan benar, perusahaan perkebunan; penerapan
perusahaan perkebunan membuat kon- prinsip dan kriteria di kebun dan usaha
trak kerja dengan lembaga sertifikasi pengolahan; kompetensi dari petugas
meliputi audit tahap I, audit tahap II, perusahaan perkebunan yang terlibat di
dan survailen. kebun dan usaha pengolahan; serta kon-
firmasi terhadap penerapan prinsip dan
e) Setelah perusahaan perkebunan mem-
kriteria dengan pemangku kepentingan.
buat kontrak kerja dengan l­ embaga ser­
tifikasi, lembaga sertifikasi melakukan f) Mengingat ISPO bersifat wajib (man-
hal-hal sebagai berikut: (1) verifikasi datory), temuan yang tidak memenuhi
terhadap kelengkapan dokumen. Dalam persyaratan (non-compliance/NC) tidak
waktu tujuh hari kerja, dokumen yang dapat ditoleransi sampai diperbaiki
tidak lengkap atau memenuhi syarat paling lama enam bulan sejak disepa­
akan dikembalikan untuk diperbaiki kati­nya hasil audit tahap II oleh kedua
dan dilengkapi; (2) apabila semua belah pihak.
doku­men telah lengkap dan memenuhi g) Apabila NC tidak dapat diselesaikan
persyaratan, ­ s elanjutnya dilakukan da­lam waktu enam bulan, audit lengkap
pe­nyu­sunan rencana audit serta dilaku­ wajib dilakukan lagi dan harus menggu­
kan audit tahap I dan tahap II; (3) nakan lembaga sertifikasi yang sama.
pelaksanaan audit tahap I diperlukan h) Hasil penilaian/laporan audit tahap II
paling kurang dua hari kerja dengan lembaga sertifikasi terhadap ­perusahaan
tiga orang auditor, sedangkan audit perkebunan yang telah memenuhi
tahap II dapat dilaksanakan paling persyaratan ISPO disampaikan k­ epada
kurang tiga hari kerja dengan empat Komisi ISPO melalui Sekretariat
orang auditor, tidak termasuk perjalanan Komisi ISPO paling lama dua bulan
auditor ke lokasi; (4) pelaksanaan audit se­jak penutupan audit (closing audit).
dilakukan sebagai berikut: a) tahap I (on
i) Sekretariat Komisi ISPO memverifikasi
site audit) meliputi penilaian terhadap
laporan audit yang disampaikan lembaga
ke­lengkapan dan kebenaran dokumen
sertifikasi dalam waktu dua bulan sejak
legalitas; sampel kebun dan usaha peng­
tanggal diterima surat permohonan se­
olahan yang akan dinilai pada tahap II;
suai dengan stempel pos. Apabila masih
titik kritis dari kebun dan usaha peng­
terdapat kekurangan, hasil verifikasi
olahan, seperti kebun dengan kawasan
disampaikan kepada lembaga sertifi-
lindung, tempat penyimpanan limbah
kasi untuk dilengkapi paling lama dua
bahan berbahaya dan beracun (B3),

Ermanto Fahamsyah dan ... | Sistem ISPO untuk Menjawab Tantangan ... | 73
minggu sejak tanggal penerimaan oleh usaha pengolahan, perlu dilakukan audit
lembaga sertifikasi. Jika terjadi keter- terhadap penambahan dimaksud untuk
lambatan dalam penyampaian laporan memperoleh perluasan sertifikat.
audit, lembaga sertifikasi harus dapat 7) Surveillance. Untuk memastikan perusahaan
menyampaikan alasannya secara tertulis. perkebunan menerapkan prinsip dan kriteria
j) Selanjutnya, laporan audit diteruskan ISPO secara konsisten, dilakukan surveil-
ke Tim Penilai ISPO untuk mendapat lance setiap tahun oleh lembaga sertifikasi
penilaian. penerbit sertifikat ISPO. Surveillance pertama
k) Tim Penilai ISPO melakukan penilaian dilakukan paling kurang 12 bulan terhitung
paling lama dua bulan sejak diterimanya pengakuan sertifikat oleh Komisi ISPO.
laporan audit dari Sekretariat Komisi 8) Kewajiban penerima sertifikat ISPO. Setelah
ISPO. Dalam melakukan penilaian mendapatkan pengakuan dari Komisi ISPO,
laporan audit, Tim Penilai ISPO dapat perusahaan perkebunan wajib:
mengumpulkan informasi dari berbagai a) Memelihara dan mempertahankan
sumber, antara lain beberapa pemangku penerapan prinsip dan kriteria ISPO
kepentingan yang terkait, seperti ma- secara konsisten dan konsekuen.
syarakat adat, asosiasi, pejabat pemerin­
b) Melakukan audit internal minimal satu
tah setempat, LSM setempat, dan
kali dalam setahun oleh auditor internal
karyawan perusahaan yang diaudit.
yang telah lulus pelatihan auditor ISPO.
l) Tim Penilai memberikan rekomen-
c) Bersedia dilakukan surveillance setiap
dasi terhadap perusahaan perkebunan tahun.
kepada Komisi ISPO untuk diberikan
pengakuan (approval). Perusahaan d) Melaporkan apabila ada perubahan yang
Perkebunan yang tidak memenuhi mendasar berkaitan dengan persyaratan
persyaratan ISPO ditolak dan diminta ISPO.
melakukan tindakan perbaikan serta e) Tidak melakukan kegiatan peremajaan di
mengajukan permohonan kembali. lahan sempadan sungai dan sekitar mata
air serta melakukan penanaman pohon
m) Komisi ISPO memberikan pengakuan
sesuai dengan peraturan perundang-
kepada perusahaan perkebunan yang
undangan di bidang Kehutanan.
memenuhi persyaratan ISPO dan diu-
mumkan kepada publik. 9) Masa berlaku sertifikat ISPO. Sertifikat
ISPO berlaku selama lima tahun. Perusahaan
n) Lembaga sertifikasi menerbitkan
perkebunan pemegang sertifikat ISPO harus
sertifikat ISPO atas nama perusahaan
mengajukan permohonan perpanjangan serti-
perkebunan bersangkutan paling lama
fikat kepada Komisi ISPO satu tahun sebe-
10 hari kerja sejak mendapatkan pe­
lum masa berlaku sertifikat ISPO berakhir.
ngakuan Komisi ISPO.
Sementara itu, tata cara sertifikasi ISPO
o) Sertifikat ISPO ditandatangani pimpinan
untuk usaha kebun plasma dan usaha kebun
lembaga sertifikasi yang bersangkutan swadaya secara umum hampir sama dengan yang
dan diakui (approved) oleh Direktur berlaku untuk perusahaan perkebunan. Perbedaan
Jenderal selaku Ketua Komisi ISPO. mendasar terletak pada Prinsip dan Kriteria ISPO
Apabila terdapat penambahan luas yang diberlakukan. Untuk usaha kebun plasma
area tanaman menghasilkan (perluasan terdiri atas (a) Legalitas Usaha Kebun Plasma; (b)
kebun milik sendiri), penambahan Manajemen Usaha Kebun Plasma; (c) Pengelo-
pasokan bahan baku dari kebun lain laan dan Pemantauan Lingkungan; (d) Tanggung
(usaha kebun swadaya dan usaha kebun Jawab terhadap Kesehatan dan Keselamatan
plasma yang telah memiliki sertifikat Kerja (K3) Petani; (e) Tanggung Jawab Sosial dan
ISPO), dan/atau peningkatan kapasitas Pemberdayaan Masyarakat; serta (f) Peningkatan

74 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


Usaha Secara Berkelanjutan. Sementara Prinsip Terakhir, lembaga sertifikasi menerbitkan serti-
dan Kriteria ISPO yang diberlakukan untuk usaha fikat ISPO.
kebun swadaya lebih sedikit apabila dibanding Sebagaimana dikemukakan pada para-
dengan perusahaan perkebunan dan usaha kebun graf sebelumnya, persoalan mendasar dalam
plasma, yaitu (a) Legalitas Usaha Kebun Swa- mekanisme kelembagaan ISPO terletak pada
daya; (b) Organisasi pekebun dan pengelolaan
mekanisme penyelenggaraan proses sertifikasi
usaha kebun swadaya; (c) Pengelolaan dan
ISPO yang dinilai sebagian pihak tidak indepen-
Pemantauan Lingkungan; serta (d) Peningkatan
den, transparan, akuntabel, dan kredibel. Selain
Usaha Secara Berkelanjutan (Peraturan Menteri
itu, tidak ada tanggung-gugat dari pelaksana
Pertanian Nomor 11/Permentan/OT.140/3/2015
audit dan penilaian akhir serta waktu yang lama
lampiran I. Hlm. 21–28).
dalam penentuan keputusan pemberian sertifikasi
Penyelenggaraan sertifikasi ISPO di Indo- ISPO. Adanya peran besar yang diberikan kepada
nesia selama ini dilakukan melalui Komisi ISPO Komisi ISPO dalam proses sertifikasi ISPO,
yang berkedudukan di bawah menteri pertanian yakni melalui sekretariat ISPO yang berada
dan bertanggung jawab kepadanya. Komisi ISPO dalam naungan Kementerian Pertanian, juga
dipimpin oleh seorang Direktur Jenderal Perkebu- dinilai sebagian pihak menjadi hambatan praktis
nan Kementerian Pertanian. Untuk menjalankan bagi pelaku dan lembaga sertifikasi ISPO yang
tugasnya, Komisi ISPO dibantu Tim Penilai seharusnya bersifat independen (Policy Brief
dan Sekretariat. Keanggotaan Komisi ISPO Rancangan Peraturan Presiden tentang Penguatan
terdiri atas pejabat setingkat eselon I dari Instansi
ISPO, 25 Oktober 2016, 2).
teknis dan pemangku kepentingan lainnya yang
terkait dengan pembangunan perkebunan kelapa Oleh karena itu, harus ada penyempurnaan
sawit di Indonesia. Tugas dan susunan keang- pada mekanisme kelembagaan dalam penyeleng-
gotaan Komisi ISPO ditetapkan dalam Keputusan garaan sertifikasi ISPO. Berdasarkan pada hasil
Menteri Pertanian. Sementara itu, Tim Penilai kajian yang dilakukan Kementerian Koordina-
dipimpin seorang pejabat setingkat eselon II di tor Perekonomian, terdapat usul penguatan
bidang perkebunan selaku ketua tim penilai dan skema kelembagaan ISPO. Perubahan mendasar
berkedudukan di bawah Ketua Komisi ISPO serta dalam usul skema tersebut adalah pelaksanaan
bertanggung jawab kepadanya. Keanggotaan Tim sertifikasi ISPO akan dilakukan sepenuhnya dan
Penilai terdiri atas pejabat setingkat eselon II dari secara independen oleh lembaga sertifikasi ISPO
instansi pemerintah dan pemangku kepentingan sesuai dengan skema yang telah diatur dan/atau
lainnya yang terkait dengan perkebunan kelapa ditetapkan Komite Akreditasi Nasional. Selain
sawit berkelanjutan. Tugas dan susunan keang- itu, terdapat pemantau independen yang bertugas
gotaan Tim Penilai ditetapkan dalam Keputusan memantau pelaksanaan sertifikasi ISPO.
Direktur Jenderal Perkebunan sebagai Ketua Ketiga, substansi prinsip, kriteria, dan indi-
Komisi ISPO (Peraturan Menteri Pertanian No- kator dari sistem sertifikasi ISPO.
mor 11/Permentan/OT.140/3/2015 lampiran I,
Hlm. 29). Menurut Peraturan Menteri Pertanian No-
mor 11/Permentan/OT.140/3/2015, Prinsip dan
Apabila memperhatikan mekanisme Kriteria ISPO untuk perusahaan perkebunan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri terdiri atas:
Pertanian Nomor 11/Permentan/OT.140/3/2015,
tahapan proses sertifikasi ISPO dimulai dengan a) Perusahaan Perkebunan yang melaku-
audit yang dilakukan lembaga sertifikasi. Hasil kan usaha budi daya perkebunan dan
audit dari lembaga sertifikasi diverifikasi kem- terintegrasi dengan usaha pengolahan
bali oleh Sekretariat Komisi ISPO. Setelah itu, hasil Perkebunan, yaitu (1) legalitas
dilakukan penilaian di tingkat Tim Penilai ISPO. usaha perkebunan; (2) manajemen
Setelah Tim Penilai memberikan rekomendasi, perkebunan; (3) perlindungan terhadap
selanjutnya dilakukan pembahasan di tingkat pemanfaatan hutan alam primer dan
Komisi ISPO untuk mendapatkan pengakuan. lahan gambut; (4) pengelolaan dan

Ermanto Fahamsyah dan ... | Sistem ISPO untuk Menjawab Tantangan ... | 75
pemantauan lingkungan; (5) tanggung pengelolaan dan pemantauan lingkungan; serta
jawab terhadap pekerja; (6) tanggung (d) peningkatan usaha secara berkelanjutan (Per-
jawab sosial dan pemberdayaan eko- aturan Menteri Pertanian Nomor 11/­Permentan/
nomi masyarakat; serta (7) peningkatan OT.140/3/2015, lampiran I, , hlm. 25).
usaha secara berkelanjutan. ISPO dinilai sebagian pihak lebih mencer-
b) Perusahaan perkebunan yang ­melakukan minkan kepentingan nasional dan terlihat sangat
usaha budi daya perkebunan, yaitu (1) normatif sehingga rentan disalahgunakan. Di
legalitas lahan perkebunan; (2) manaje- lain pihak, ISPO tidak memiliki kekuatan untuk
men perkebunan; (3) perlindungan ter- memengaruhi pasar dan konsumennya karena
hadap pemanfaatan hutan alam primer dianggap sebagai kebijakan lokal dan memiliki
dan lahan gambut; (4) pengelolaan dan kelemahan dalam prinsip dan kriterianya. Prinsip
pemantauan lingkungan; (5) tanggung dan kriteria yang dibuat dinilai belum mampu
jawab terhadap pekerja; (6) tanggung menjawab secara tuntas berbagai isu dan persoal­
jawab sosial dan pemberdayaan ­ekonomi an ekonomi, sosial-budaya, serta legalitas dalam
masyarakat; serta (7) peningkatan usaha pengelolaan dan pengembangan perkebunan ke-
secara berkelanjutan. lapa sawit di Indonesia (Policy Brief Rancangan
Peraturan Presiden tentang Penguatan ISPO, 25
c) Perusahaan perkebunan yang ­melakukan
Oktober 2016, , hlm. 2).
usaha pengolahan hasil perkebunan,
yaitu (1) legalitas lahan perkebunan; (2) Sebagai solusi untuk menjawab ­permasalahan
manajemen perkebunan; (3) pengelo­ tersebut, perlu dilakukan penyempurnaan terha­
laan dan pemantauan lingkungan; (4) dap substansi prinsip, kriteria, dan indikator serti-
tanggung jawab terhadap pekerja; (5) fikasi ISPO. Melalui penyempurnaan tersebut,
tanggung jawab sosial dan pemberda­ diharapkan prinsip, kriteria, dan i­ndikator tidak
yaan ekonomi masyarakat; serta (6) hanya memenuhi standar nasional ­Indonesia,
peningkatan usaha secara berkelanjutan. tetapi juga standar yang berlaku secara internasi-
onal. Dengan demikian, kepatuhan dan penerapan
d) Perusahaan perkebunan yang melaku- berbagai aspek ekonomi, sosial-budaya, dan
kan usaha produksi minyak kelapa ekologi, serta kepatuhan terhadap peraturan
sawit untuk energi terbarukan wajib perundang-undangan dapat terpenuhi. Misalnya,
menghitung emisi GRK yang pedoman penerapan konsep nilai konservasi tinggi (NKT)
perhitungannya diatur secara terpisah dan penerapan ketentuan free prior inform
(Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11/ concern (FPIC). Prinsip dan Kriteria ISPO se-
Permentan/OT.140/3/2015, lampiran I, layaknya sudah mengadopsi konsep FPIC untuk
hlm.16–18). memungkinkan penyelesaian terhadap konflik di
Sementara itu, Prinsip dan Kriteria ISPO masyarakat/lapangan. Dalam menerapkan konsep
yang berlaku untuk usaha kebun plasma terdiri FPIC, perlu dipastikan adanya ­penyusunan prose-
atas (a) legalitas usaha kebun plasma; (b) manaje- dur komunikasi dan konsultasi dengan para pihak
men usaha kebun plasma; (c) pengelolaan dan beserta penunjukan petugas yang bertanggung
pemantauan lingkungan; (d) tanggung jawab ter- jawab untuk melakukan konsultasi dan komuni-
hadap kesehatan dan keselamatan kerja (k3) pe­ kasi dengan para pihak. Termasuk penggunaan
tani; (e) tanggung jawab sosial dan ­pemberdayaan bentuk dan bahasa yang tepat ­untuk informasi
masyarakat; serta (f) peningkatan usaha secara yang relevan, termasuk analisis dam­pak, pemba-
berkelanjutan (peraturan menteri pertanian nomor gian keuntungan yang diajukan, dan pengaturan
11/permentan/ot.140/3/2015, lampiran i, 21–22). secara hukum. Selanjutnya, kebi­jakan tentang
adapun prinsip dan kriteria ispo yang diberlaku- peng­gunaan api, yang masih diper­ bolehkan
kan untuk usaha kebun swadaya terdiri atas (a) sepan­jang dinilai sebagai cara yang efektif dengan
legalitas usaha kebun swadaya; (b) organisasi pe- tingkat kerusakan lingkungan yang paling sedikit
kebun dan pengelolaan usaha kebun swadaya; (c) untuk meminimalkan risiko serangan hama dan

76 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


penyebaran penyakit. Hal ini harus mempertim- pendirian koperasi atau kelompok usaha kebun
bangkan Peraturan P­ emerintah Nomor 4 Tahun swadaya; daftar anggota kelompok/koperasi;
2001, Peraturan Menteri ­Pertanian Nomor 98 serta surat kepemilikan tanah, yang antara lain
Tahun 2013, dan Peraturan Menteri Lingkungan berupa SHM, girik/letter C, akta jual-beli, dan
Hidup Nomor 10 Tahun 2010. Terakhir, kebijakan surat kepemilikan tanah yang sah lainnya untuk
untuk menghormati hak asasi manusia yang setiap anggota sesuai dengan peraturan di bidang
diko­munikasikan ke semua tingkatan pekerja pertanahan (Peraturan Menteri Pertanian Nomor
dan tingkatan operasi (Policy Brief Rancangan 11/Permentan/OT.140/3/2015, lampiran I, hlm.
Peraturan Presiden tentang Penguatan ISPO, 25 26).
Oktober 2016, hlm. 5). Namun, kenyataan di lapangan menunjuk-
Keempat, legalitas dan pembiayaan sertifikasi kan bahwa pelaku usaha terkadang tidak dapat
ISPO. Penyelenggaraan sistem sertifikasi ISPO se- memenuhi dokumen-dokumen legalitas yang
lama ini dinilai kurang berjalan maksimal karena dipersyaratkan. Misalnya, sebagian pelaku usaha
beberapa faktor, antara lain mengenai pemenuhan tidak mempunyai izin usaha dan/atau sertifikat
aspek legalitas dan masalah pembiayaan (Policy hak atas tanah atau izin usaha dan/atau sertifikat
Brief Rancangan Peraturan Presiden tentang hak atas tanah yang dimiliki tidak sesuai antara
Penguatan ISPO, 25 Oktober 2016, hlm. 3). yang tertuang dalam dokumen legalitas dan objek
yang ada.
Pelaku usaha perkebunan kelapa sawit
yang akan mengajukan permohonan sertifikasi Pelaku usaha perkebunan yang akan
ISPO harus melengkapi beberapa dokumen guna mengajukan sertifikasi ISPO, di samping harus
memenuhi aspek legalitas. Dokumen yang harus menyiapkan beberapa dokumen legalitas, mesti
di­leng­kapi perusahaan perkebunan adalah: (a) izin menyiapkan sejumlah biaya sertifikasi. Biaya
usaha perkebunan, seperti izin usaha perkebunan tersebut selama ini ditanggung sendiri oleh
(IUP), izin usaha perkebunan budi daya (IUP-B), pelaku usaha. Bahkan, sebagian pelaku usaha
izin usaha perkebunan pengolahan (IUP-P), surat mengeluhkan tingginya biaya sertifikasi ISPO.
pendaftaran usaha perkebunan (SPUP), izin tetap Pada akhirnya, aspek legalitas dan pem-
usaha budi daya perkebunan (ITUBP), izin usaha biayaan tersebut juga menjadi faktor yang
tetap usaha industri perkebunan (ITUIP), izin/per- menghambat dan/atau memperlambat berjalannya
setujuan prinsip menteri pertanian, serta izin usaha sertifikasi ISPO di Indonesia. Oleh karena itu,
perkebunan yang diterbitkan oleh Kepala BKPM harus segera dicarikan jalan keluarnya. Untuk
atas nama Menteri Pertanian; (b) hak atas tanah masalah aspek legalitas, pemerintah Indonesia
sesuai dengan peraturan di bidang ­pertanahan; dan para pemangku kepentingan lainnya harus
(c) izin lingkungan; serta (d) penetapan usaha lebih bekerja keras mencari pokok permasalahan
perkebunan Kelas I, Kelas II, atau Kelas III dari dan solusi terkait dengan lambatnya atau tidak
bupati/wali kota, gubernur, atau Direktur Jenderal dipenuhinya persyaratan dokumen legalitas oleh
sesuai dengan kewenangan (Peraturan Menteri pelaku usaha perkebunan. Untuk masalah pem-
Pertanian Nomor 11/Permentan/OT.140/3/2015, biayaan, pemerintah harus dapat merumuskan
lampiran I, hlm. 17). Untuk usaha kebun plasma, standar harga dan mencari alternatif pembiayaan
dokumen yang harus dilengkapi adalah dokumen untuk sertifikasi ISPO, terutama bagi pekebun
pembentukan atau pendirian usaha kebun plasma; plasma dan/atau pekebun swadaya.
salinan sertifikat ISPO kebun inti; daftar anggota Kelima, keberterimaan sertifikasi ISPO di
kelompok atau koperasi usaha kebun plasma; pasar global.
serta hak atas tanah berupa sertifikat hak milik
(SHM) untuk setiap anggota sesuai peraturan di Sertifikasi ISPO yang dilaksanakan sejak
bidang pertanahan (Peraturan Menteri Pertanian 2011 masih kurang diterima di pasar global. Hal
Nomor 11/Permentan/OT.140/3/2015, lampiran ini terjadi karena sertifikasi ISPO dinilai belum
I, hlm. 22). Selanjutnya, usaha kebun swa- menerapkan prinsip tata kelola yang baik, yang
daya harus melengkapi dokumen pembentukan/ meliputi transparansi, akuntabilitas, dan inde-
pendensi. Transparansi dan akuntabilitas yang

Ermanto Fahamsyah dan ... | Sistem ISPO untuk Menjawab Tantangan ... | 77
dimaksudkan adalah pelaksanaan sertifikasi ISPO dengan penyelenggaraan sustainable palm oil
seharusnya melibatkan masyarakat dan/atau tim di Indonesia. Konsep tersebut juga diharapkan
pemantau independen yang bertugas turut serta dapat menjadi instrumen untuk meningkatkan
memantau dan/atau mengawasi proses sertifikasi transparansi, akuntabilitas, responsibilitas,
ISPO. Sementara independen yang dimaksudkan independensi, kredibilitas, dan akseptabilitas
adalah proses sertifikasi seharusnya dilakukan dari sistem ISPO sebagai standar kelapa sawit
se­cara penuh oleh lembaga sertifikasi dengan nasional, baik di tingkat nasional, regional,
mengikuti skema yang telah ditetapkan dan/atau maupun ­internasional, yang dicerminkan dengan
diatur Komite Akreditasi Nasional. peningkatan keberterima­an produk sistem ISPO,
Untuk meningkatkan keberterimaan sertifi­ khususnya di pasar internasional. Yang tidak
kasi ISPO di pasar global, perlu dilakukan kalah penting, instrumen untuk memperbaiki
penyem­ purnaan, antara lain pengaturannya, tata kelola (good governance) dalam pengelo-
me­k anis­m e kelembagaan penyelenggaraan laan dan pengembangan kelapa sawit Indonesia
serti­­fikasi ISPO, serta substansi prinsip, kriteria, yang ditandai dengan peningkatan kepatuhan
dan indikator, seperti tertulis dalam Policy Brief dan penerapan terhadap semua aspek ekonomi,
Rancangan Peraturan Presiden tentang Penguatan sosial-budaya, dan ekologi, serta legalitas.
ISPO yang disusun oleh Kementerian K ­ oordinator
Perekono­mian (Policy Brief Rancangan Peraturan PUSTAKA ACUAN
Presiden tentang Penguatan ISPO, 25 Oktober Filstead, W. J. (1978). Qualitative method: A needed
2016, 3). Yang tidak kalah penting, pemerintah perspective in evaluation research. Dalam
Indonesia bersama-sama pemangku kepentingan Thomas D. Cook & Charles S. Reichard
lainnya harus melakukan promosi dan upaya (ed.), Qualitative and Quantitative Research
in Evaluation Research, 38. London: Sage
untuk me­ning­katkan keberterimaan sertifikasi
Publications.
ISPO di pasar global.
Friedman, L. M. (1984). American law. United States
of America: W.W. Norton & Company.
SIMPULAN Friedman, L. M. (2001). Hukum Amerika: Sebuah
Berdasarkan pada pembahasan di atas, dapat pengantar (American Law: An Introduction, 2nd
Edition). Diterjemahkan oleh Wishnu Basuki.
disimpulkan bahwa ada tiga aspek yang harus di- Jakarta: Tatanusa.
rumuskan dalam rangka penguatan sistem ISPO.
Gillespie, P. & Harjanthi, R. S. (2 November 2012).
Pertama, aspek substansi hukum. Pengaturan ISPO, RSPO: Two sides of the same coin? The
sistem ISPO harus ditingkatkan dari peraturan Jakarta Post.
menteri pertanian menjadi peraturan presiden. Hidayat & Samekto. (2007). Kajian Kritis Penegakan
Peraturan presiden ini diharapkan dapat menjadi Hukum Lingkungan di Era Otonomi Daerah.
payung hukum yang lebih kuat dalam penyeleng- Cet. I. Semarang: Badan Penerbitan Universitas
garaan sistem ISPO. Kedua, aspek aparatur Diponegoro.
hukum. Mekanisme kelembagaan penyelengga- Kospa, H. S. D. (Desember 2016). Konsep Perkebunan
raan sertifikasi ISPO harus disempurnakan dan Kelapa Sawit Berkelanjutan. Jurnal Tekno
Global, 5(1), 1–10.
dikuatkan. Ketiga, aspek budaya hukum. Harus
Kementerian Pertanian Republik Indonesia. (2015).
ada persamaan pemahaman terkait dengan definisi
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11/Per-
dan konsep sustainability dalam pengelolaan dan mentan/OT.140/3/2015 tentang Sistem Serti-
pengembangan kelapa sawit Indonesia. fikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia
Penguatan sistem ISPO melalui perumusan (Indonesian Sustainable Palm Oil Certification
konsep yang berangkat dari ketiga aspek ­tersebut System/ISPO). Berita Negara No. 432 Tahun
2015. Jakarta: Kementerian Pertanian.
diharapkan dapat melahirkan suatu konsep
Kementerian Koordinator Perekonomian Republik
yang nantinya dapat dijadikan instrumen yang
Indonesia. (2016, 25 Oktober). Policy brief ran-
dapat menjawab segala hambatan, masalah, cangan peraturan presiden tentang­penguat­an
tan­tangan, dan tuntutan krusial dalam kaitan ISPO. Jakarta: Kementerian K ­ oordinator
Perekonomian.

78 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


Marin-Burgos, V., Clancy, J. S., & Lovett, J. C. (2015). Sahide, M. A. K., Burns, S., Wibowo, A., Nurroch-
Contesting legitimacy of voluntary sustainabil- mat, D. R., & Giessen, L. (December 2015).
ity certification schemes: Valuation languages Towards state hegemony over agricultural cer-
and power asymmetries in the Roundtable on tification: From voluntary private to mandatory
Sustainable Palm Oil in Colombia. Ecological state regimes on palm oil in Indonesia. Jurnal
Economics. 117, 303–313. Manajemen Hutan Tropis, 21(3), 162–171.
Marzuki, P. M. (2005). Penelitian hukum. Jakarta: Schouten, G. & Glasbergen, P. (2012). Private multi-
Kencana. stakeholder governance in the agricultural
Republik Indonesia. (1945). Undang-Undang Dasar market place: An analysis of legitimization
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. processes of the roundtables on sustainable
palm oil and responsible soy. International
_____. (2007). Undang-Undang No. 25 Tahun 2007
Food and Agribusiness Management Review,
tentang Penanaman Modal, LN No. 67 Tahun
15, Special Issue B.
2007, TLN No. 4724.
Sidharta, B. A. (2000). Refleksi tentang struktur ilmu
_____. (2014). Undang-Undang No. 3 Tahun 2014
hukum. Cet. II. Bandung: Mandar Maju.
tentang Perindustrian, LN. No. 4 Tahun 2014,
TLN No. 5492. Soekanto, S. & Mahmudji, S. (2001). Penelitian
hukum normatif suatu tinjauan singkat. Jakarta:
_____. (2014) Undang-Undang No. 39 Tahun 2014
PT Raja Grafindo Persada.
tentang Perkebunan, LN No. 308 Tahun 2014,
TLN No. 5613. Soekanto, S. (2006). Pengantar penelitian hukum.
Jakarta: UI-Press.
RSPO. (2013). Principles and criteria for the produc-
tion of sustainable palm oil. Wijaya, A. & Glasbergen, P. (2016). Toward a new
scenario in agricultural sustainability certifica-
_____. (2016a). RSPO Factsheet.
tion? The response of the Indonesian national
_____. (2016b) RSPO Impact Report 2016. government to private certification. Journal of
Environment & Development, 25(2), 219–246.

Ermanto Fahamsyah dan ... | Sistem ISPO untuk Menjawab Tantangan ... | 79
80 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 
PERKEBUNAN KELAPA SAWIT INDONESIA DALAM
PERSPEKTIF PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN*
Jan Horas V. Purba**) Tungkot Sipayung*)
*)
Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI)
**)
STIE Kesatuan Bogor
paspi2014@yahoo.com, janhorasvpurba@gmail.com

ABSTRACT
The purpose of this study is to analyze (1) whether oil palm plantations are the main drivers of deforestation
in Indonesia; and (2) how does the Indonesian palm oil industry contribute to sustainable development both
economically, socially and ecologically. Oil palm plantations are Indonesia’s strategic industries. Since 2000, the
Indonesian palm oil industry has grown rapidly and has influenced the dynamics of competition among vegetable
oils including the form of black campaigns and accusations as drivers of deforestation in Indonesia. The research
methodology is empirical descriptive research, which are: (1) to analyze the history of deforestation in logging era
in Indonesia and related to the development of oil palm plantation and (2) to analyze the linkage of Indonesian oil
palm plantation development with economic, social and ecological aspect. In the period 1950-2013, conversion of
forests into non-forests is quite high ie 98.8 million hectares. However, the area of ​​oil palm plantation Indonesia
only increased from 0.1 million hectares (1950) to 10.4 million hectares (2013). Based on satellite data (Gunarso,
et al., 2012) revealed that the origins of Indonesian oil palm plantations are mostly from degraded land, and
only 3.4 percent are converted from primary forest. This proves that oil palm plantations as the main drivers of
deforestation in Indonesia are not true. In the economic aspect, the palm oil industry contributes in generating
foreign exchange, regional development and successfully creating farmers into middle income. In the social aspect,
the oil industry plays a role in rural development and poverty reduction and equitable economic development,
and improves income and development inequalities. In the ecological aspect, oil palm plantations contribute to
sustainable development through its role in absorbing CO2 and generating O2, and increasing land biomass. Oil
palm plantations also reduce greenhouse gas emissions.

Keywords: multifunctional agriculture, sustainable, economic, social, ecological

ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis (1) apakah perkebunan kelapa sawit merupakan pemicu utama
deforestasi di Indonesia; dan (2) bagaimanakah kontribusi industri minyak sawit Indonesia terhadap pembangunan
berkelanjutan, baik secara ekonomi, sosial, maupun ekologi. Perkebunan kelapa sawit merupakan industri strategis
Indonesia. Sejak 2000, industri minyak sawit Indonesia berkembang pesat dan memengaruhi dinamika persaingan
antar minyak nabati termasuk bentuk kampanye hitam dan tuduhan sebagai pemicu deforestasi di Indonesia.
Metodologi penelitian adalah penelitian deskriptif empiris, yakni : (1) untuk menganalisis sejarah deforestasi pada
era logging di Indonesia dan dikaitkan dengan perkembangan perkebunan kelapa sawit; serta (2) menganalisis
keterkaitan pembangunan perkebunan kelapa sawit Indonesia dengan aspek ekonomi, sosial, dan ekologi. Pada
1950–2013, konversi hutan menjadi nonhutan cukup tinggi, yakni 98,8 juta hektare. Namun, luas perkebunan
kelapa sawit Indonesia hanya meningkat dari 0,1 juta ha (1950) menjadi 10,4 juta ha (2013). Citra satelit (Gunarso
dkk., 2012) mengungkapkan bahwa asal-usul lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia sebagian besar berasal dari
lahan telantar (degraded land), konversi lahan pertanian, dan hanya 3,4% yang dikonversi dari hutan primer. Hal
ini membuktikan anggapan bahwa perkebunan kelapa sawit sebagai pemicu utama deforestasi di Indonesia tidak
benar. Dalam aspek ekonomi, industri minyak sawit berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan, menghasilkan
devisa, pembangunan daerah, dan berhasil menciptakan petani ke berpendapatan menengah. Perkembangan
industri minyak sawit juga bersifat inklusif dan menarik perkembangan sektor-sektor lain. Dalam aspek sosial,
industri minyak berperan dalam pembangunan pedesaan, pengurangan kemiskinan, pemerataan pembangunan
ekonomi, serta memperbaiki ketimpangan pendapatan dan pembangunan. Dalam aspek ekologi, perkebunan sawit
menyumbang pada pembangunan berkelanjutan melalui peranannya dalam menyerap CO2 dan menghasilkan O2
serta meningkatkan biomassa lahan. Perkebunan kelapa sawit juga mengurangi emisi gas rumah kaca.

Kata kunci: multifungsi pertanian, berkelanjutan, ekonomi, sosial, ekologi


*Artikel ini telah dipresentasikan dalam Academic Forum on Sustainability I, yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Sumber
Daya Regional (P2SDR) LIPI, Yayasan Inspirasi Indonesia (YII), dan Centre for Inclusive and Sustainable Development
(CISDEV) Universitas Prasetiya Mulya, di Jakarta 31 Januari 2017.

81 
PENDAHULUAN termasuk bentuk kampanye negatif/hitam terha-
Dalam perekonomian makroekonomi Indonesia, dap minyak sawit. Selain itu, aspek keberlanjutan
industri minyak sawit memiliki peran strategis, (sustainability) perkebunan kelapa sawit mendapat
antara lain penghasil devisa terbesar, lokomotif sorotan. Pembangunan perkebunan kelapa sawit
perekonomian nasional, kedaulatan energi, pendo- di Indonesia dipersepsikan tidak berkelanjutan
rong sektor ekonomi kerakyatan, dan penyerapan (unsustainable) serta dituduh sebagai penyebab
tenaga kerja. Perkebunan kelapa sawit Indonesia utama deforestasi dan hilangnya habitat satwa liar.
berkembang cepat serta mencerminkan adanya Deforestasi merupakan hal yang normal
revolusi perkebunan sawit. Perkebunan kelapa dalam sejarah pembangunan sejumlah negara
sawit Indonesia berkembang di 22 provinsi dari besar di dunia, baik Amerika Serikat maupun
33 provinsi di Indonesia. Dua pulau utama sentra Eropa. Namun, isu deforestasi digunakan untuk
perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah Su- menekan pertumbuhan perkebunan kelapa sawit
matra dan Kalimantan. Sekitar 90% perkebunan Indonesia. Di samping itu, pembangunan perke-
kelapa sawit di Indonesia berada di kedua pulau bunan kelapa sawit di Indonesia dipersepsikan
sawit tersebut, dan kedua pulau itu menghasilkan tidak berkelanjutan (unsustainable) serta ekspansi
95% produksi minyak sawit mentah (crude palm perkebunan kelapa sawit dinilai menjadi pemicu
oil/CPO) Indonesia. Dalam kurun 1990–2015, utama (driver) deforestasi dan kerusakan hutan
terjadi revolusi pengusahaan perkebunan kelapa di Indonesia. Terkait dengan hal tersebut, dapat
sawit di Indonesia, yang ditandai dengan tumbuh dirumuskan pertanyaan riset (research ­question):
dan berkembangnya perkebunan rakyat dengan (1) benarkah perkebunan kelapa sawit merupa­
cepat, yakni 24% per tahun selama 1990–2015. kan pemicu utama (driver) deforestasi di
Pada 2015, luas perkebunan sawit Indonesia Indonesia?; serta (2) apakah perkebunan kelapa
adalah 11,3 juta ha (Kementerian Pertanian, sawit Indonesia berkelanjutan dilihat dari aspek
2015), dan pada 2017 mencapai 16 juta ha. Saat ekonomi, sosial, dan ekologi? Terkait dengan itu,
ini, proporsi terbesar adalah perkebunan rakyat tulisan ini ingin menganalisis perkebunan kelapa
sebesar 53%, diikuti perkebunan swasta 42%, dan sawit Indonesia dalam perspektif pembangunan
perkebunan negara 5%. Pada 2017, produksi CPO berkelanjutan (sustainability).
Indonesia diprediksi mencapai 42 juta ton.
Perkembangan industri minyak sawit In- SUSTAINABILITY DAN
donesia yang berkembang cepat tersebut telah MULTIFUNGSI PERTANIAN
menarik perhatian masyarakat dunia, khususnya
Pertanian berkelanjutan (sustainable agricul-
produsen minyak nabati utama dunia. Indonesia
ture), menurut definisi Organisasi Pangan dan
menjadi negara produsen minyak sawit terbesar
Agrikultur (FAO, 1996) ialah “The management
dunia sejak 2006. Pada 2016, Indonesia berhasil
and conservation of the natural resource base,
mengungguli Malaysia. Share produksi CPO In-
and orientation of technological and institutional
donesia telah mencapai 53,4% dari total CPO du-
change in such a manner as to ensure the at-
nia, sedangkan Malaysia memiliki pangsa sebesar
tainment and continued satisfaction of human
32%. Demikian halnya dalam pasar minyak nabati
needs for present and future generation. Such
global, minyak sawit juga berhasil mengungguli
development (in agriculture, forestry, and fishing)
minyak kedelai (soybean oil) sejak 2004. Pada
conserves land, water, plant, and animal genet-
2004, total produksi CPO mencapai 33,6 juta ton,
ics resources is environmentally non-degrading,
sedangkan minyak kedelai adalah 32,4 juta ton. technical appropriate, economically viable, and
Pada 2016, share produksi CPO dunia mencapai social acceptable”. Hal ini memberi makna
40% dari total nabati utama dunia, sedangkan bahwa pertanian berkelanjutan merupakan sebuah
minyak kedelai memiliki pangsa sebesar 33,18% pengelolaan dan konservasi sumber daya alam
(United States Department of Agriculture, 2016). yang bertujuan menjamin keberlanjutan sumber
Peningkatan cepat pangsa minyak sawit daya lahan, air, serta sumber genetik tanaman dan
dalam pasar minyak nabati dunia telah meme­ hewan yang dilakukan dengan baik dan layak
ngaruhi dinamika persaingan antarminyak nabati, secara ekonomi dan sosial.

82 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


Perspektif sustainability di atas berlandaskan melekat pada perkebunan kelapa sawit tersebut
pada teori multifungsi pertanian, yang mencakup secara lintas generasi. Melalui pembudidayaan
empat fungsi, yakni green function, blue services, tanaman kelapa sawit (perkebunan kelapa sawit),
yellow services, dan white function (Aldington, fungsi ekonomi, fungsi sosial, dan fungsi ekologis
1998; Dobbs & Pretty, 2001; Moyer & Josling, tersebut tidak hanya dinikmati oleh generasi
2002; Harwood, 2003; Jongeneel & Slangen, sekarang, tetapi juga oleh generasi yang akan
2004, Huylenbroeck, Vandermulen, Mette, & datang. Bahkan, pelestarian biodiversity melalui
Verspecht, 2007). pembudidayaan merupakan cara yang efektif dan
Fungsi hijau (green functions) terdiri atas berdaya guna.
penge­lolaan dan pemeliharaan fasilitas bentang Kelestarian multifungsi perkebunan kelapa
alam, pengelolaan satwa liar, penciptaan habitat sawit Indonesia juga dinikmati masyarakat ­dunia,
satwa liar, serta kesejahteraan hewan, pemelihara- baik yang terlibat langsung maupun tidak lang-
an keanekaragaman hayati, perbaikan daur ulang sung. Hampir semua negara di seluruh dunia
hara, dan pembatasan penyerap karbon. Manfaat me­nik­mati manfaat ekonomi/konsumsi produk
publik lainnya yang diciptakan pertanian adalah oleopangan dan oleokimia melalui perdagangan
layanan biru (blue services) serta mengandung internasional. Sebagai satu ekosistem global,
pengelolaan air, peningkatan kualitas air, pengen­ masya­rakat internasional juga menikmati jasa
dalian banjir, pemanenan air, dan penciptaan kelestarian siklus karbon dioksida, oksigen, dan
­energi (angin). Jenis ketiga disebut layanan kuning air yang dihasilkan dari perkebunan kelapa sawit.
(yellow services) yang melihat keterpaduan dan Secara empiris fungsi ekonomi dari industri mi­
vitalitas pedesaan, pemanfaatan warisan budaya nyak sawit telah banyak dibuktikan berbagai ahli,
dan sejarah, menciptakan identitas regional, dan antara lain sumber devisa dan pendapatan negara,
agrowisata. Adapun yang terakhir adalah fungsi pembangunan ekonomi daerah, serta peningkatan
putih pertanian (white function), yakni dalam hal pendapatan petani (Tomic & Mawardi, 1995;
ketahanan dan keamanan pangan. Sato, 1997; Susila, 2004; Sumarto & Suryahadi,
Pembangunan berkelanjutan memiliki tiga 2004; Joni, 2012; Sipayung & Purba, 2015; Rofiq,
pilar, yakni aspek ekonomi, sosial, dan ekologis, 2013; World Growth, 2009, 2011; PASPI, 2014).
yang sering disebut 3P (profit, people, planet) Manfaat ekonomi dari industri minyak sawit
(Cato, 2009; World Bank, 2012). Dalam ­perspektif juga dinikmati masyarakat Uni Eropa. Penelitian
3P, keempat fungsi pertanian/perkebunan tersebut yang dilakukan Europe Economics berjudul
dapat disinergikan, yakni profit (white function), “Economic Impact of Palm Oil Import in the
people (yellow service), dan planet (green function EU” pada 2014 mengungkap bahwa penggunaan
and blue service). minyak sawit di Uni Eropa (EU) menciptakan
“kue” ekonomi yang lumayan besar bagi EU
Multifungsi perkebunan di Indonesia juga
setiap tahun, yakni menciptakan kesempatan
dicakup dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor
kerja bagi 117 ribu orang. Penggunaan minyak
18 Tahun 2004 (telah diubah menjadi Undang-
sawit pada 16 negara anggota EU menciptakan
Undang No. 39/2014) bahwa perkebunan mem-
pendapatan 5,8 miliar euro setiap tahun dalam
punyai tiga fungsi, yaitu (1) fungsi ekonomi
produk domestik bruto, penerimaan pajak 2,6
(peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan
miliar euro. Lima negara EU terbesar menikmati
rakyat serta penguatan struktur ekonomi wilayah
“kue” ekonomi tersebut adalah Italia, Spanyol,
dan nasional); (2) fungsi ekologi (peningkatan
Jerman, Prancis, Belanda, dan Finlandia. Kelima
konservasi tanah dan air, penyerapan karbon, pe-
negara terbesar ini memiliki industri hilir yang
nyedia oksigen, dan penyangga kawasan lindung;
menggunakan minyak sawit, seperti industri
serta (3) fungsi sosial-budaya (sebagai perekat
oleokimia, industri oleopangan, dan industri
dan pemersatu bangsa).
biodiesel. Setiap tahun, EU mengimpor 6,4 juta
Dengan demikian, perkebunan kelapa sawit ton minyak sawit dari Indonesia dan Malaysia.
(industri hilirnya) merupakan bentuk dan cara Sekitar 40% yang diimpor tersebut digunakan
pemanfaatan serta pelestarian multifungsi yang untuk energi, baik biodiesel maupun pembangkit

Jan Horas V. Purba dan ... | Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia ... | 83
listrik, sedangkan sisanya, yakni 60%, digunakan sistem global. Makin luas dan makin menyebar
untuk bahan pangan, bahan kosmetik, dan toilet- perkebunan kelapa sawit, makin menyebar pula
ries (Europe Economics, 2014). penyerapan karbon dioksida, produksi biomassa,
Fungsi sosial-budaya dari industri minyak dan produksi oksigen dari perkebunan kelapa
sawit juga telah terbukti secara empiris, antara lain sawit.
perannya dalam pembangunan pedesaan (mem- Manfaat jasa lingkungan tersebut bersifat
perbaiki kualitas kehidupan) dan pengurangan inklusif dan dinikmati tanpa membayar (non-
kemiskinan (Sumarto & Suryahadi, 2004; Susila, rivalrous) dalam ekosistem global sehingga dapat
2004; Goenadi, 2008; World Growth, 2009, dikategorikan sebagai barang publik global. Seba­
2011; Joni, 2012; Rofiq, 2013; PASPI, 2014). gai satu ekosistem planet bumi, jasa lingkungan
Selain itu, sumber daya manusia yang terlibat tersebut dinikmati secara gratis oleh masyarakat
dalam perkebunan kelapa sawit di setiap daerah dunia, baik mereka yang mengonsumsi produk-
merupakan suatu persekutuan keragaman antar- produk minyak sawit maupun mereka yang tidak
etnis di Indonesia. Pelibatan multietnis dalam mengonsumsinya.
kegiatan ekonomi berarti juga perkebunan kelapa Adanya global public goods yang dihasilkan
sawit merupakan salah satu wadah pelestarian perkebunan kelapa sawit, yang merupakan joint
keragaman interaksi sosial antar etnis/budaya. product dengan private goods, menandakan harga
Kelembagaan kerja sama perkebunan inti rakyat produk-produk oleopangan dan oleokimia yang
(PIR) merupakan perpaduan antara nilai budaya dibayar masyarakat dunia tidak mencerminkan
lokal (local wisdom) dan manajemen modern harga keekonomiannya. Artinya, masyarakat
yang dirancang (institution engineering) agar dunia yang mengonsumsi produk-produk oleo-
petani kecil/lokal ikut di dalam perkebunan kelapa pangan dan oleokimia membayar di bawah harga
sawit di Indonesia merupakan bagian fungsi sosial keekonomiannya (memperoleh subsidi dari perke-
dari perkebunan kelapa sawit (PASPI, 2014). bunan kelapa sawit). Sementara itu, masyarakat
Berbagai penelitian juga membuktikan bahwa dunia yang tidak mengonsumsi produk-produk
fungsi ekologis dari perkebunan sawit mencakup oleopangan dan oleokimia memperoleh manfaat
pelestarian daur karbon dioksida dan oksigen global public goods dari perkebunan kelapa sawit
(proses fotosintesis, yakni menyerap karbon secara gratis (free rider).
dioksida dari atmosfer bumi dan menghasilkan Multifungsi dari sektor pertanian (dalam
oksigen ke atmosfer bumi), restorasi degraded arti luas) telah diadopsi di negara-negara maju,
land konservasi tanah dan air, peningkatan bio- khususnya Uni Eropa, Amerika Serikat, dan
massa, serta karbon stok lahan (Henson, 1999; Jepang. Di negara-negara tersebut (Aldington,
Harahap, Pangaribuan, Siregar, & Listia, 2005; 1998; Dobbs & Pretty, 2001; OECD, 2001; Moyer
Fairhurst & Hardter, 2004; Chan, 2002). Bahkan, & Josling, 2002; Harwood, 2003; Jongeneel &
mengurangi emisi gas rumah kaca/restorasi lahan Slangen, 2004, Huylenbroeck dkk., 2007; Moon,
gambut (Murayama & Baker, 1996; Melling dkk. 2012) multifungsi pertanian telah dijadikan dasar/
2005, 2007; Sabiham, 2013). argumen kebijakan publik (menyubsidi pertanian
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa secara besar-besaran) dan kebijakan perdagangan
industri minyak sawit menghasilkan komoditas/ internasional (memproteksi secara ketat). Logika
produk (private goods) dan nonkomoditas (public di balik kebijakan pertanian negara-negara maju
goods) secara bersamaan. Komoditas yang di- yang melindungi dan memberi subsidi besar-
maksudkan adalah minyak sawit mentah (crude besaran sektor pertaniannya adalah adanya
palm oil/CPO) dan produk turunannya (oleokimia, eksternalitas positif/public goods (jasa ekologis
oleofood, biodiesel). Sementara itu, nonkomoditas dan jasa sosial) yang dihasilkan sektor pertanian.
yang dihasilkan berupa jasa lingkungan, seperti Artinya, dalam mengonsumsi komoditas perta-
kelestarian siklus oksigen, kelestarian daur hi- nian, konsumen pada dasarnya sekaligus mengon-
drologi, dan kelestarian siklus karbon dioksida, sumsi barang publik tersebut. Namun, harga yang
yang merupakan bagian penting dari fungsi eko- dibayar konsumen hanyalah harga komoditas yang

84 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


dikonsumsi, sedangkan jasa lingkungan dan jasa merupakan P ke-4 setelah 3-P dari sustainability.
sosial yang dikonsumsi tidak ikut dibayar kon- Kebijakan pemerintah (Panayotou, 1993; Farkasne
sumen yang bersangkutan (gratis). Oleh karena dkk., 2004) sangat diperlukan untuk mengoreksi
itu, pemerintah harus membayar jasa lingkungan kegagalan pasar yang sering terjadi pada berbagai
dan jasa sosial dari sektor pertanian tersebut aspek dari sustainability. Bahkan, dalam banyak
dalam bentuk pembebasan pajak, subsidi, dan kasus, juga terjadi kegagalan kebijakan (policy
wajib diproteksi dari serangan produk pertanian failure) sehingga kombinasi kegagalan pasar
negara lain. Pengakuan negara-negara maju atas dan kegagalan kebijakan menyebabkan kondisi
multifungsi (ekonomi, sosial, dan ekologis) dari yang tidak berkelanjutan (unsustainability) pada
sektor pertanian tersebut mencerminkan adanya level perusahaan. Pada akhirnya, sustainability
pengakuan bahwa sektor pertanian merupakan menuntut suatu perbaikan terus-menerus (contin-
sektor yang sustainable. ues improvement) pada berbagai aspek sehingga
Di Indonesia, menurut Undang-Undang menghasilkan suatu perbaikan (pareto improve-
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan ment). Perbaikan yang berkesinambungan pada
Pengelolaan Lingkungan Hidup, pembangunan perkebunan kelapa sawit, kapasitas multifungsi
berkelanjutan didefinisikan sebagai berikut: (ekonomi, sosial, lingkungan) dari perkebunan
“Pembangunan berkelanjutan adalah upaya kelapa sawit dapat memenuhi kebutuhan yang
sadar dan terencana yang memadukan aspek meningkat pada generasi yang akan datang.
lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam
strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan
Deforestasi
lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, Deforestasi merupakan fenomena normal dalam
kesejahteraan, serta mutu hidup generasi masa proses pembangunan di setiap negara di dunia.
kini dan generasi masa depan.” Sementara itu, Deforestasi yang diartikan sebagai konversi lahan
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 19/Permen- hutan menjadi lahan nonhutan yang berlangsung
tan/OT.140/3/2011 mengartikan pembangunan di setiap negara, khususnya pada awal pem­
berkelanjutan sebagai “sistem usaha di bidang bangunannya, untuk memenuhi kebutuhan lahan,
perkebunan kelapa sawit yang layak ekonomi, baik untuk pembangunan sektor-sektor maupun
layak sosial, dan ramah lingkungan didasarkan untuk kebutuhan permukiman penduduk yang
pada peraturan perundang-undangan yang ber- terus meningkat.
laku di Indonesia.” Waktu terjadinya deforestasi di setiap negara
Mengacu pada pengertian tersebut, sustain- bergantung pada periode proses pembangunan
ability pada dasarnya tidak berbeda dengan berlangsung. Di daratan Eropa, deforestasi terjadi
multifungsi yang dimiliki pertanian, termasuk sejak awal peradaban manusia dan diperkirakan
perkebunan. Artinya, perkebunan/pertanian berakhir pada abad ke-13, sedangkan di Amerika
secara built-in lebih sustainable dibandingkan Serikat, dimulai sejak abad ke-16 sampai abad
sektor-sektor lain. Oleh karena itu, perkebunan ke-19. Deforestasi di belahan dunia lain diper-
kelapa sawit tidak relevan lagi mempertanyakan kirakan mulai terjadi setelah Perang Dunia II
apakah unsustainable atau telah sustainable, berakhir, seiring dengan dimulainya kegiatan
melainkan masalah degree of sustainability. Prin- ­pembangunan. Pada 1990–2008, luas deforestasi
sip dan indikator yang relevan digunakan untuk global mencapai 239 juta hektare (European
mengukur sustainability perkebunan kelapa sawit Commission, 2013). Sekitar 33% terjadi di
adalah variabel-variabel degree of sustainability Amerika Selatan, Afrika 31%, dan Asia Tenggara,
dengan memberi bobot yang besar pada prinsip termasuk Indonesia, sekitar 11%. Sebagaimana
dan indikator yang bersifat pareto improvement. terjadi di berbagai negara, deforestasi di I­ ndonesia
dimulai sejak masa kolonial. Deforestasi yang
Selain itu, perlu dibedakan antara sustain-
makin masif terjadi sejak kemerdekaan, khusus-
ability yang menjadi ranah pemerintah dan ranah
nya pada masa Orde Baru berkuasa, yakni ketika
perusahaan. Sebagaimana dikemukakan Feher
masa pembangunan di segala sektor berlangsung
dan Beke (2013), kebijakan pemerintah (politics)
lebih cepat.

Jan Horas V. Purba dan ... | Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia ... | 85
Studi ini menggunakan metode studi pustaka PEMBAHASAN
(review literature), yakni (1) menganalisis sejarah
deforestasi dan era logging di Indonesia serta di- a. Analisis Deforestasi di Indonesia
kaitkan dengan perkembangan perkebunan kelapa Peradaban dan proses pembangunan di planet
sawit; serta (2) menghimpun hasil-hasil penelitian bumi ini berevolusi dari masa ekonomi berburu
(empirical evidence) terkait dengan aspek eko- ke ekonomi perladangan berpindah, kemudian ke
nomi, sosial, dan ekologi industri minyak sawit. ekonomi pertanian tetap dan modernisasi perta-
Kerangka konseptual penelitian disajikan pada nian. Setelah itu, memasuki ekonomi industri/jasa
Gambar 1 berikut ini. seperti sekarang ini.

Pendekatan
(Multifunctionality of
Agriculture, Green Growth
Model)

Green Growth Model Multifunctionality Agriculture


Q = q (A, K, L, E) Model
Q = produksi (Q , Q , Q ) = q (A, K, L)
1 2 3
A = teknologi Q = manfaat ekonomi
1
K = capital Q = manfaat sosial
2
L = Tenaga kerja Q = manfaat ekologi
3
E = natural capital

Inclusive Green Growth Model


Q , Q , Q = q (A, K, L, E)
1 2 3

Natural Capital Output/Manfaat Inklusif:


Asal-Usul Lahan Kebun Sawit • Sosial
• Deforestasi? • Ekonomi
• Driver deforestasi? • Ekologi
• Reforestasi?

Oil Palm Sustainability

Sumber: Sipayung dan Purba (2015)


Gambar 1. Kerangka Konseptual Penelitian

86 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


Tabel 1. Perubahan Luas Hutan, Deforestasi, dan Kebun Sawit Indonesia 1950–2013
Bali/Nusa
Sumatra Kalimantan Sulawesi Maluku Irian Jaya Jawa Indonesia
Tenggara
Luas Daratan 46.449.971 53.262.378 19.375.055 7.972.597 42.877.146 13.008.125 7.365.736 190.311.008
Luas Hutan (ha)
19501 37.370.000 51.400.000 17.050.000 7.300.000 40.700.000 5.070.000 3.400.000 162.290.000
19852 23.323.500 39.986.000 11.269.400 6.348.000 34.958.300 1.345.900 2.469.400 119.700.500
20002 15.516.959 32.856.107 10.707.186 5.015.207 34.767.891 2.281.184 2.184.833 103.329.367
20132 12.856.700 25.910.400 9.188.900 5.121.600 32.137.900 2.227.300 1.610.200 89.053.000
% daratan 27,68 48,65 47,43 64,24 74,95 17,12 21,86 46,79
Deforestasi (ha)
1950–1985 14.046.500 11.414.000 5.780.600 952.000 5.741.700 3.724.100 930.600 42.589.500
1985–2000 7.806.541 7.129.893 562.214 1.332.793 190.409 935.284 284.567 16.371.133
2000–2013 2.660.259 6.945.707 1.518.286 106.393 2.629.991 53.884 574.633 14.276.367
1950–2013 24.513.300 25.489.600 7.861.100 2.178.400 8.562.100 2.842.700 1.789.800 73.237.000
Luas kebun sawit 3

1950 105.000 - - - - - 105.000


1985 550.056 42.006 - - - - 597.352
1990 984.267 71.314 15.718 - 29.000 4.000 1.126.677
2000 2.743.779 844.389 107.927 - 52.392 21.122 3.769.609
2010 4.743.000 2.897.000 293.000 - 84.000 58.000 8.075.000
2013 6.682.228 3.306.523 318.880 33.981 89.696 33.712 10.465.020
Sumber:
1. Dari L. W. Hannibal. 1950. Peta Vegetasi Indonesia. Bagian Perencanaan, Dinas Kehutanan, Jakarta. Dalam International Institute for Envi-
ronment and Development & Government of Indonesia. 1985. Forest Policies in Indonesia. The Sustainable Development of Forest Lands.
Jakarta, 30 November, Volume III, Bab 4.
2. Statistik Kehutanan
3. Statistik Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia
*) Deforestasi dalam Tabel 1 adalah konversi hutan menjadi nonhutan

Negara-negara Eropa masa ekonomi berburu negara-negara subtropis (seperti negara-negara


sampai ke masa pertanian tetap berlangsung se- Eropa, Amerika Utara) telah melakukan de-
belum abad ke-13, sedangkan Amerika Serikat forestasi sekitar 653 juta ha hutan subtropis.
melalui masa berburu sampai ke masa pertanian Sementara pada periode yang sama, negara-
tetap sampai awal abad ke-19. Evolusi pemba­ negara tropis baru melakukan deforestasi seluas
ng­unan dari awal ekonomi peladang berpindah 48 juta ha karena pada masa tersebut masih baru
sampai memasuki era ekonomi pertanian tetap memulai pembangunan.
merupakan masa ketika deforestasi berlangsung Deforestasi merupakan fenomena yang nor-
intensif. Kebutuhan lahan untuk pertanian, mal terjadi dalam poses pembangunan di setiap
permukiman, dan lain-lain yang disertai dengan negara, sekalipun di Eropa ataupun di Amerika
pertambahan jumlah penduduk menyebabkan Serikat. Deforestasi juga merupakan pilihan
konversi hutan dilakukan (Matthew, 1983). rasional untuk meningkatkan kesejahteraan
Evolusi pembangunan ekonomi dan de- rakyat di setiap negara. Jika ditelusuri ke sejarah
forestasi tersebut terkonfirmasi dengan hasil studi masa lalu setiap negara, semua kota, kawasan
Profesor Matthew (1983), yang ­menganalisis industri/bisnis, permukiman, lahan pertanian/
perubahan vegetasi dan land use change global. perkebunan di seluruh dunia merupakan hasil
Pada periode era pra-pertanian sampai 1980-an, deforestasi. Tentu saja seharusnya ada titik un-

Jan Horas V. Purba dan ... | Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia ... | 87
tuk menghentikan deforestasi. Di negara-negara Deforestasi terluas terjadi pada 1950–1985,
Eropa dan Amerika Utara, titik berhentinya tidak yang mencapai 42,6 juta ha. Hal ini disebabkan
ada pada masa pembangunannya di masa lalu oleh proses pembangunan yang mulai berkem-
sehingga hampir semua hutan asli (virgin forest) bang di Indonesia. Kemudian, pada periode
dan penghuninya di kawasan Eropa dan Amerika 1985–2000, mencapai 16,3 juta ha. Sementara
Utara sudah lama punah (Soemarwoto, 1992). pada 2000–2013 mencapai 14,3 juta ha. Tiga
Bagi Indonesia, Undang-Undang Nomor 41 pulau yang mengalami deforestasi terbesar adalah
Tahun 1999 tentang Kehutanan telah membuat Kalimantan, yakni seluas 25,5 juta ha, disusul
titik untuk berhenti deforestasi, yakni sampai Sumatra 24,5 juta ha dan Irian Jaya 8,5 juta ha.
luas hutan minimal 30% dari luas daratan. Saat Penyebab deforestasi ini adalah kegiatan pene-
ini, luas kawasan hutan menurut Kementerian bangan hutan pada era logging, seiring dengan
Kehutanan (2013) masih 47%. pesatnya perkembangan hak pengelolaan hutan
(HPH), terutama di ketiga pulau tersebut.
Sama seperti yang terjadi di hampir setiap
negara, deforestasi juga terjadi di Indonesia. Dalam kurun 1950–2013, luas perkebunan
Menurut data Peta Vegetasi Indonesia tahun kelapa sawit Indonesia memang meningkat. Luas
1950 (Tabel 1), luas hutan di Indonesia pada kebun sawit Indonesia pada 1950 masih sekitar
1950 masih 162,3 juta ha. Kemudian, pada 1985, 105 ribu ha, meningkat menjadi 1,1 juta ha pada
luas hutan menjadi 119,7 ha, hingga pada 2013 1990, lalu bertambah menjadi 3,8 juta ha pada
menjadi 89,1 juta ha. Dengan demikian, sejak 2000, dan menjadi 10,4 juta ha pada 2013.
1950 hingga 2013, deforestasi yang terjadi di Berikut ini luas deforestasi di Indonesia pada
Indonesia seluas 73,2 juta ha. setiap periode. Pada periode 1950–1985, luas de-

Tabel 2. Asal-usul Lahan Kebun Sawit Indonesia


Kaliman-
Sumatra Sulawesi Maluku Irian Jaya Jawa Indonesia
tan
Sumber lahan sawit Deforestasi 2, 4
s.d. 2000 674.000 330.326 31.000 - 17.735 2.520 1.055.581
2001–2005 295.282 98.062 3.128 - 3.142 2.870 402.484
2006–2010 254.000 795.428 37.003 - 11.437 - 1.097.868
2011–2013 - - - - - - -
Subtotal 1.223.282 1.223.816 71.131 - 32.314 5.390 2.555.933
Sumber lahan sawit Reforestasi 2, 5

s.d 2000 1.510.000 280.930 66.000 1.505 530 1.858.965


2001-2005 1.011.459 256.460 33.260 16.595 37.070 1.354.844
2006-2010 1.940.820 982.670 74.000 2.448 9.110 3.009.048
2011-2013 1, 3
996.667 562.647 74.489 33.981 36.834 (18.388) 1.686.230
Sub total 5.458.946 2.082.707 247.749 33.981 57.382 28.322 7.909.087
Total 6.682.228 3.306.523 318.880 33.981 89.696 33.712 10.465.020
Neto reforestasi 4.235.664 858.891 176.618 33.981 25.068 22.932 5.353.154
Sumber:
1
Statistik Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia
2
Gunarso (2012)
3
Sejak terbitnya Moratorium (Inpres No. 10/2011, Inpres No. 6/2013, Inpres No. 8/2015) tidak ada lagi konversi hutan menjadi kebun sawit
yang baru
4
Deforestasi (konversi Hutan Produksi menjadi Kebun Sawit),
5
Reforestasi (konversi Lahan Pertanian/Lahan Telantar menjadi Kebun Sawit)

88 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


forestasi mencapai 42,6 juta ha, sedangkan pada berkualitas. Paradigma pembangunan ini telah di-
periode yang sama, luas kebun sawit Indonesia jadikan oleh PBB (United Nation, 2014) sebagai
hanya meningkat sebesar 492 ribu ha atau me- platform pembangunan global 2015–2030, yang
ningkat dari 105 ribu ha menjadi 597 ribu ha. Hal dikenal sebagai Sustainable Development Goals
ini menunjukkan bahwa pada periode tersebut, 2030 (SDGs 2030). Sebagai platform pembangu-
ketika terjadi deforestasi terbesar di Indonesia, nan global setiap negara, sektor, daerah, industri
pemicunya (driver) bukanlah akibat ekspansi diharapkan mengadopsi dan berkontribusi pada
kebun kelapa sawit. pembangunan berkelanjutan.
Pada 1985–2013, luas deforestasi yang Pembangunan berkelanjutan tidak hanya cu-
ter­jadi di Indonesia adalah 30,6 juta ha. Pada kup atau eksklusif menghasilkan manfaat-manfaat
periode yang sama, luas kebun sawit Indonesia ekonomi, tetapi juga memberikan manfaat sosial
meningkat sebesar 9,8 juta ha. Dengan kata lain, dan manfaat ekologis secara lintas generasi.
pada 1950–2013, laju deforestasi di Indonesia Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu hal
mencapai 73,2 juta ha, sedangkan luas kebun yang relatif dan bersifat spesifik negara, baik sek-
sawit Indonesia meningkat sebesar 10,4 juta ha. tor maupun industri (Moon, 2012; Feher & Beke,
Asal-usul lahan kebun sawit Indonesia disajikan 2013). Terkait dengan dimensi p­ embangunan
pada Tabel 2 berikut ini, yang menggambarkan berkelanjutan tersebut, perkembangan perke­
perkembangan perkebunan sawit di Indonesia bunan kelapa sawit Indonesia mencakup tiga
berdasarkan pada pulau. pilar penting, yakni keberlanjutan dalam dimensi
ekonomi, sosial, dan ekologis.
Pada 2011–2013, pemerintah memberlaku­
kan moratorium izin baru konversi hutan
melalui Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun a. Aspek Ekonomi
2011, Inpres No. 6/2013, dan Inpres No. 8/2015. Dalam aspek ekonomi, industri minyak sawit
Dengan demikian, secara keseluruhan, luas kebun berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan
sawit Indonesia adalah 10,4 juta ha pada 2013, dalam bentuk sumber devisa dan pendapatan
dengan 7,9 juta ha di antaranya berasal dari negara, pembangunan ekonomi daerah, dan pe­
reforestasi dan hanya 2,5 juta ha yang berasal ningkatan pendapatan petani (Tomic & Mawardi,
dari deforestasi. Luas deforestasi untuk lahan 1995; Sato, 1997; Susila, 2004; Sumarto &
kelapa sawit tersebut hanyalah 3,4% dari total Suryahadi, 2004; Joni, 2012; World Growth,
deforestasi yang terjadi di Indonesia dalam 2009, 2011; PASPI, 2014). Perkembangan industri
periode 1950–2013. Penulis sependapat dengan minyak sawit juga bersifat inklusif, yakni menarik
kebijakan moratorium tersebut, yakni pembukaan perkembangan sektor-sektor lain (Amzul, 2011;
area perkebunan sawit tidak dilakukan dengan PASPI, 2014). Bahkan, manfaat ekonomi sawit
menebang hutan (deforestasi) sehingga sangat juga dinikmati masyarakat negara-negara pengim-
logis bila dikatakan area sawit tidak mungkin por, seperti Uni Eropa, yakni memberi manfaat
dari konversi hutan, melainkan dapat terjadi besar terhadap GDP, penerimaan pemerintah
dari lahan pertanian (kawasan budi daya) atau ataupun kesempatan kerja Uni Eropa (Europe
area penggunaan lainnya (APL). Di samping itu, Economics, 2014).
pembangunan perkebunan sawit Indonesia di
masa mendatang tidak mengedepankan ekspansi b. Aspek Sosial
area (ekstensifikasi), tetapi langkah yang paling
bijaksana adalah dengan perbaikan tata kelola dan Dalam aspek sosial, industri minyak sawit juga
peningkatan produktivitas (intensifikasi). telah terbukti secara empiris, antara lain peranan-
nya dalam pembangunan pedesaan dan pengu-
rangan kemiskinan (Sumarto & Suryahadi, 2004;
ANALISIS KEBERLANJUTAN DARI SISI Susila, 2004; Goenadi, 2008; World Growth,
EKONOMI, SOSIAL, DAN EKOLOGI 2009, 2011; Joni, 2012; PASPI, 2014) dan
Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu pemerataan pembangunan ekonomi. Di Provinsi
proses pembangunan yang lebih inklusif dan Riau, yang merupakan sentra utama perkebunan

Jan Horas V. Purba dan ... | Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia ... | 89
kelapa sawit Indonesia, perkebunan kelapa sawit karbon stok yang lebih rendah dibandingkan
ternyata berperan memperbaiki ketimpangan kebun sawit. Dengan demikian, konversi lahan
pendapatan dan pembangunan (Syahza, 2007). pertanian semak belukar/lahan telantar, termasuk
lahan hutan tanaman industri, menjadi kebun
c. Aspek Ekologi sawit dikategorikan sebagai peningkatan karbon
stok lahan atau reforestasi. Dengan menggunakan
Dalam aspek ekologi, perkebunan sawit menyum- data Citra Landsat TM 4, TM 5, dan ETM 7 tahun
bang pada pembangunan berkelanjutan melalui perekaman 1990, 2000, 2005, dan 2010 (www.
peranannya dalam menyerap karbon dioksida dan glovis.usgs.gov), dilakukan penelusuran asal-usul
menghasilkan oksigen (Henson, 1999; Harahap lahan kebun sawit Indonesia.
dkk., 2005; Fairhurst & Hardter, 2004). Selain
Studi Gunarso tersebut mengungkapkan
itu, perkebunan kelapa sawit dengan sistem
kesimpulan yang berbeda dengan tuduhan Koh
perakaran yang membentuk biopori alamiah
dan Wilcove (2008). Kebun sawit Indonesia yang
merupakan bagian penting dari konservasi tanah
ditanam sampai 2010, yakni 8,1 juta ha, ternyata
dan air (Harahap, 1999, 2007). Perkebunan kelapa
5,5 juta ha di antaranya bersumber dari konversi
sawit juga meningkatkan biomassa lahan (Chan,
lahan pertanian dan lahan telantar (reforestasi).
2002). Bahkan, perkebunan kelapa sawit di lahan
Sementara sisanya, yakni 2,5 juta ha, bersumber
gambut mengurangi emisi gas rumah kaca/karbon
dari konversi hutan produksi (deforestasi).
dioksida (Murayama & Baker, 1996; Melling,
Goh, & Hatanto, 2005, 2007; Sabiham, 2013). Karena luas deforestasi untuk kebun sawit
Penggunaan biodiesel sawit (FAME) sebagai jauh lebih sedikit dibandingkan luas reforestasi
substitusi solar fosil mampu menurunkan emisi untuk kebun sawit, secara neto, ekspansi kebun
karbon mesin diesel sebesar 62% (European Com- sawit Indonesia hingga mencapai 10,4 juta ha
mission, 2013). pada 2013 merupakan bentuk reforestasi dan
bukan deforestasi. Artinya, ekspansi kebun sawit
Indonesia menjadi 10,4 juta ha pada 2013 secara
EKSPANSI SAWIT: DEFORESTASI
neto adalah meningkatkan karbon stok lahan
ATAU REFORESTASI?
(reforestasi). Melalui proses fotosintesis kebun
Sebagaimana data yang disajikan pada Tabel 2, sawit, karbon dioksida dari atmosfer bumi diserap
menarik untuk dianalisis apakah asal-usul kebun dan disimpan dalam bentuk biomassa sawit se-
sawit yang meningkat seluas 10,3 juta ha, secara hingga menambah karbon stok lahan.
langsung diperoleh dengan mengonversi hutan?
Dengan demikian, pandangan selama ini,
Hal ini perlu dibuktikan karena banyak tuduhan
yang menyatakan ekspansi kebun sawit merupa­
bahwa 67% kebun sawit diperoleh dari konversi
kan pemicu (driver) deforestasi di Indonesia, t­ idak
hutan (Koh & Wilcove, 2008). Gunarso, Hartoyo,
didukung fakta. Bahkan sebaliknya, ekspansi
Nugroho, Ristiana, & Maharani (2012) menggu-
kebun sawit justru merupakan suatu land use
nakan data kelas penutupan lahan sesuai dengan
change yang meningkatkan karbon stok lahan/
urutan kandungan karbon (carbon stock) yang
reforestasi yang secara ekologis dikehendaki.
diterbitkan Badan Planologi Kehutanan pada tahun
2011. Karbon stok hutan alam/produksi baik yang
belum terganggu (undisturbed forest) ataupun SUSTAINABILITY PERKEBUNAN
yang terganggu (disturbed forest) mengan­dung SAWIT INDONESIA
karbon stok yang lebih tinggi daripada karbon Peningkatan produksi minyak sawit di daerah
stok kebun sawit. Dengan demikian, jika ada kon- sentra perkebunan kelapa sawit mendorong
versi hutan produksi menjadi kebun sawit, akan pe­­ning­katan produk domestik regional bruto
terjadi suatu penurunan karbon stok lahan atau (PDRB) kabupaten sentra sawit yang signifikan
deforestasi. Sementara itu, hutan ­tanaman industri (PASPI, 2015), yang kemudian berdampak pada
(timber plantation), lahan pertanian (mixed tree pengem­ bangan perekonomian daerah yang
crops, dry cultivation land), dan semak belukar/ ber­ sangkutan. Pertumbuhan ekonomi yang
lahan telantar (schrub) memiliki kandungan dihela oleh peningkatan produksi minyak sawit

90 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


tidak hanya dinikmati oleh mereka yang terlibat serta pengurangan emisi gas rumah kaca/restorasi
dalam perkebunan kelapa sawit, tetapi juga oleh lahan gambut. Setiap hektare perkebunan kelapa
masyarakat yang tidak terlibat secara langsung sawit menyerap karbon dioksida dari atmosfer
dalam proses produksi perkebunan kelapa sawit bumi sebesar 161 ton/ha dan menghasilkan ok-
(Amzul, 2011). Peningkatan pendapatan petani sigen 18,7 ton/ha (Henson, 1999; Harahap dkk.,
sawit ternyata lebih tinggi dibandingkan petani 2005; Fairhurst & Hardter, 2004). Perkebunan
komoditas yang lain (Greig-Gran, 2008; World kelapa sawit juga meningkatkan biomassa (bahan
Growth 2011; PASPI, 2014). Bahkan, manfaat organik) lahan yang makin meningkat dengan ma-
ekonomi sawit dinikmati masyarakat Uni Eropa. kin tua tanaman (Chan, 2002). Perkebunan kelapa
Impor CPO yang dilakukan memberi manfaat sawit di lahan gambut juga menurunkan emisi gas
besar terhadap GDP, penerimaan pemerintah, rumah kaca (Murayama & Baker, 1996; Melling
ataupun kesempatan kerja Uni Eropa (Europe dkk. 2005, 2007; Sabiham, 2013). Dari segi per-
Economics, 2014). anan tata air, berbagai indikator hidrologis, seperti
Dalam aspek sosial, pembukaan perkebunan evapotranspirasi, cadangan air tanah, penerusan
kelapa sawit dapat dinyatakan sebagai sektor curah hujan ke permukaan tanah, laju infiltrasi
­pionir yang membuka akses ke daerah pelosok. Di lapisan solum, dan kelembapan udara (Hanson,
samping itu, perkebunan kelapa sawit meningkat­ 1999; Harahap dkk., 2005) antara perkebunan
kan ketersediaan infrastruktur pedesaan serta kelapa sawit dan hutan adalah relatif sama.
meningkatkan ketersediaan fasilitas pendidikan Jasa lingkungan yang dihasilkan perkebunan
dan kesehatan (PASPI, 2014). Secara agregat, kelapa sawit tersebut, seperti kelestarian siklus
peningkatan produksi minyak sawit nasional oksigen, kelestarian daur hidrologi, dan kelestari­
menurunkan kemiskinan pedesaan (Susila, 2004; an siklus karbon dioksida, merupakan bagian
Joni, 2012) di daerah sentra perkebunan kelapa penting dari fungsi ekosistem global. Karbon
sawit, seperti Sumatra Utara, Riau, Sumatra Se- dioksida yang dikeluarkan masyarakat global
latan, dan Kalimantan Tengah, sangat signifikan dan kegiatannya yang mengonsumsi bahan
menurunkan kemiskinan (PASPI, 2015). Perkem- bakar minyak fosil, seperti industri, transportasi,
bangan lebih lanjut menunjukkan bahwa perke- dan perumahan, oleh perkebunan kelapa sawit
bunan kelapa sawit telah menciptakan daerah- diserap kemudian disimpan dalam bentuk bio-
daerah pertumbuhan ekonomi baru di kawasan massa dan oksigen dihasilkan untuk kehidupan
pedesaan. Pada 2013, Kementerian Transmigrasi manusia di planet bumi. Semakin luas dan me-
dan Tenaga Kerja (2014) telah meresmikan 50 nyebar perkebunan kelapa sawit, semakin besar
kawasan pertumbuhan baru di pedesaan berbasis dan menyebar pula penyerapan karbon dioksida,
ekonomi minyak sawit, antara lain Sungai Bahar produksi biomassa, dan produksi oksigen dari
(Jambi), Pematang Panggang dan Peninjauan (Su- perkebunan kelapa sawit.
matra Selatan), Arga Makmur (Bengkulu), Sungai
Dengan demikian, industri minyak sawit
Pasar dan Lipat Kain (Riau), serta Paranggean
memiliki kontribusi dalam pencapaian SDGs
(Kalimantan Tengah). Di sisi lain, sejumlah
2030 Indonesia mencakup aspek ekonomi, sosial,
lembaga swadaya masyarakat (LSM)secara kritis
ataupun lingkungan hidup. Perkebunan kelapa
mengoreksi kegiatan pembangunan perkebunan
sawit yang ekspansif tersebut karena berdampak sawit Indonesia, yang saat ini berkembang di
pada biodiversitas, khususnya terganggunya 190 kabupaten di pelosok tanah air, akan berkon-
habitat hewan yang saat ini dilindungi dan hampir tribusi secara signifikan dalam pencapaian SDGs
punah, antara lain isu yang mengemuka sangat 2030, khususnya kabupaten/provinsi sentra sawit
tajam adalah gajah di Sumatra dan orang utan di di Indonesia.
Kalimantan.
Peranan ekologis perkebunan sawit mencak- SIMPULAN
up pelestarian daur karbon dioksida dan oksigen, Deforestasi di Indonesia pada 1950–2013
restorasi degraded land konservasi tanah dan air, mencapai 73,2 juta ha. Dari luas tersebut, yang
peningkatan biomassa dan karbon stok lahan, dimanfaatkan secara langsung dan tidak langsung

Jan Horas V. Purba dan ... | Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia ... | 91
oleh kebun sawit hanya 10,4 juta ha atau 14%. PUSTAKA ACUAN
Berdasarkan pada analisis Citra Landsat, dari 10,4 Aldington, T. J. (1998). Multifunctional agriculture:
juta ha kebun sawit Indonesia pada 2013, sekitar A brief review from developed and developing
7,9 juta ha berasal dari reforestasi (konversi lahan country perspectives. Unknown status. FAO
pertanian, lahan telantar/semak belukar, dan HTI), Agriculture Department, Internal Document
2. Roma: FAO.
dan 2,5 juta ha berasal dari deforestasi (konversi
hutan produksi). Oleh karena itu, secara neto, Amzul, R. (2011). The role palm oil industry in Indonesia
economy and its export competitiveness (Disertasi
kebun sawit Indonesia merupakan reforestasi.
Ph.D.). University of Tokyo, Jepang.
Pandangan selama ini yang menyatakan bahwa
Cato, Scott M. (2009). Green Economics. London Earth-
ekspansi kebun sawit merupakan pemicu (driver) scan.  pp. 1–13.
deforestasi di Indonesia tidak didukung fakta. Chan, K. W. (2002). Oil palm carbon sequestration
Bahkan, sebaliknya, ekspansi kebun sawit justru and carbon accounting: Our global strength.
merupakan suatu land use change yang mening- Kuala Lumpur: Malaysian Palm Oil Associa-
katkan karbon stok lahan/reforestasi yang secara tion.
ekologis. Dobbs, T. L., & Pretty, J. N. (2001). The United
Perkebunan kelapa sawit secara built-in me- Kingdom’s experience with agri-environmental
stewardship schemes: Lessons and issues for
miliki multifungsi, yakni fungsi ekonomi, sosial, the United States and Europe. South Dakota
dan lingkungan yang tidak dimiliki sektor-sektor State University; University of Essex. Diakses
lain di luar pertanian. Dengan multifungsi tersebut, pada 2 Mei 2007 dari https://ageconsearch.
perkebunan kelapa sawit memberikan kontribusi, umn.edu/bitstream/32014/1/sp01-01.pdf.
baik secara ekonomi, sosial, maupun lingkungan, Europe Economics. (2014). The economic impact of
bagi pencapaian SDGs tersebut. Secara empiris, palm oil imports in the EU. London: Europe
kontribusi industri minyak sawit dalam ekonomi economics, Chancery House, 53–64 Chancery
Lane.
antara lain mendorong pertumbuhan ekonomi (na-
European Commission. (2013). The impact of EU
sional dan daerah), sumber devisa, dan pendapatan
consumption on deforestation: Identification
negara, sedangkan dalam aspek sosial antara lain of critical areas where community policies
dalam pembangunan pedesaan dan pengurangan and legislation could be review. Final Report.
kemiskinan. Peranan ekologis dari perkebunan Brussels: European Commisions.
sawit mencakup pelestarian daur karbon dioksida Fairhurst. T., & Hardter, R. (2004). Oil palm: Man-
dan oksigen, restorasi degraded land konservasi agement for large and sustainable yields.
tanah dan air, peningkatan biomassa dan karbon Singapura: Oxford Graphic Printers, Pte Ltd.
stok lahan, serta mengurangi emisi gas rumah FAO. (1996). Environment, sustainability, and trade.
kaca/restorasi lahan gambut. Dengan paradigma Linkages for Basic Food Stuff Rome. Roma:
FAO.
yang komprehensif tersebut, industri minyak
sawit Indonesia terus tumbuh dalam perspektif _____. (2013). FAO statistical yearbook 2013. Roma:
FAO.
berkelanjutan.
_____. (2012). World agricultural: Towards
Implikasi teoretis dari hasil penelitian ini 2030/2050: The 2012 Revision. Roma: FAO.
adalah Indonesia memerlukan sebuah kebijakan Feher, I., & Beke, J. (2013). The rationale of sustain-
sawit nasional yang utuh dan komprehensif. able agriculture. Iustum Aequum Salutare,
Kebi­jakan sawit nasional tersebut tidak sekadar IX:2013(3), 73–87.
bertujuan menjawab tekanan internasional Goenadi. (2008). Perspective on Indonesian palm
da­­lam perang minyak nabati di pasar global, te­ oil production. Makalah dipresentasikan pada
tapi juga memperkuat posisi Indonesia sebagai International Food and Agriculture Policy
Council. Spring 2008 Meeting. Bogor.
negara produsen utama CPO dunia, dengan tetap
Greig-Gran, M. 2008: The Cost Avoiding Defores-
mengakomodasi masukan positif dari LSM serta
tration Update of The Report Prepared For
membuat desain pengembangan sawit Indonesia Stern-Review Economic of Climate Change.
pada 2050 atau perspektif jangka panjang. International Institute For Environment And
Development.

92 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


Gunarso, P, Hartoyo, M. E., Nugroho, Y., Ristiana, N. and oil palm plantation on tropical peat land
I., & Maharani, R. S. (2013). Analisis penutupan of Sarawak Malaysia. Makalah dipresentasikan
lahan dan perubahannya menjadi kebun kelapa pada International Conference on Oil Palm and
sawit di Indonesia (Studi Kasus di 5 Pulau Besar Environment, Bali. Indonesia.
di Indonesia periode 1990–2010). Jurnal Green Moon, W. (2012). Conceptualizing multifunctional
Growth dan Manajemen Lingkungan, 1(2), agriculture from a global perspective. Illinois:
10–19. Department Agribusiness Economics Southern
Harahap, I. Y., Pangaribuan, Y., Siregar, H. H., & Listia, Illinois University.
E. (2005). Lingkungan fisik perkebunan kelapa Moyer, W., & Josling, T. (2002). Agricultural policy
sawit. Medan: Pusat Penelitian Kelapa Sawit. reform: Politics and process in the EU and
Harwood, R. R. (2003). Sustainable agriculture on a US in the 1990s. Global Environmental Gov-
populous industrialized lands-cape: Building ernance Series. Aldershot: Burlington, VT
ecosystems’ vitality and productivity. Dalam (Ashgate).
R. Lal, D. Hansen, N. Uphoff, S. Slack, & Murayama, S., & Baker, Z. A. (1996). Decomposition
F. L. Boca Raton (Eds.), Food security and of tropical peat soils. Decomposition Kinetic of
environmental quality in the developing world. Organic Matter of Peat Soils. Japan Agricul-
Florida: Lewis Publishers/CRC Press. tural Research Quarterly, 30, 145–151.
Henson, I. (1999). Comparative ecophysiology of Panayotou, T. (1993). Green markets: The economic of
oil palm and tropical rainforest. Oil Palm and sustainable development. San Francisco: ICS Press.
Environment A Malaysian Perspective. Kuala
Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PAS-
Lumpur: Malaysian Oil Palm Brower Council.
PI). (2014). Industri minyak sawit indonesia
Huylenbroeck, G. V., Vandermulen, V., Mette, E., berkelanjutan: Peranan industri minyak kelapa
& Verspecht, A. (2007). Multifunctionality sawit dalam pertumbuhan ekonomi, pembangu-
of agriculture: A review definition, evidence nan pedesaan, pengurangan kemiskinan, dan
and instruments. Living Review in Landscape pelestarian lingkungan. Bogor: PASPI.
Research, 1(2007), 3.
_____. ( 2015). Multifungsi perkebunan kelapa sawit
Jongeneel, R. A., & Slangen, L. H. G. (2004). Multi- dan isu sustainability, 1(1), 1–10. Bogor:
functionality in agriculture and the contestable PASPI.
public domain: theory and evidence about on-
Pinkoh L. Wilcove, D. 2008: Is Palm Oil Agriculture
farm and off-farm activities in the Netherlands.
Really Destroying Tropical Agriculture? Con-
Dalam F. Brouwer (Ed.), Sustaining Agricul-
servation Latter I: 60–64.
ture and the Rural Environment: Governance,
Policy, and Multifunctionality. Advances in Rofiq, H. N. (2013). Economic analysis of oil palm plan-
Ecological Economics, 183–203. Cheltenham: tation and oil palm productivity in effect on per
Edward Elgar. capita income in Indonesia. International Institute
of Social Studies. The Netherlands: The Huge.
Joni, R. (2012). Dampak pengembangan biodiesel dari
Sabiham, S. (2013). Sawit dan lahan gambut dalam
kelapa sawit terhadap kemiskinan, pengang-
pembangunan kebun kelapa sawit di Indonesia.
guran, dan pertumbuhan ekonomi Indonesia
Bogor: Himpunan Gambut Indonesia.
(Disertasi). Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat.
Sato Y. (1997). The palm oil industry in Indonesia: Its
Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. (2013).
structural changes and competitiveness. Dalam
Statistik kementerian kehutanan 2013. Jakarta:
M. E. Pangestu & Y. Sato (Eds.), Waves of
Kementerian Kehutanan.
change in Indonesia’s manufacturing industry.
Kementerian Pertanian Republik Indonesia. (2015). Tokyo: Institute of Developing Economics.
Statistik perkebunan kelapa sawit Indonesia
Sipayung. T., & Purba, J. H. V. (2015). Ekonomi
2013–2015. Jakarta: Kementerian Pertanian.
agribisnis minyak sawit. Bogor: Palm Oil
Matthew, E. (1983). Global vegetation and land use: Agribusiness Strategic Policy Institute.
New high resolution data based for climate Soemarwoto, O. (1992). Indonesia dalam kancah
study. Journal of Climate and Applied Meteo- isu lingkungan global. Jakarta: PT Gramedia
rology, 22, 474–487. Pusaka Utama.
Melling, L. Hatano, R. and Goh, K. J. 2005. Soil Sumarto, S., & Suryahadi, A. (2004). Trade, growth,
CO2 Flux From Ecosystem in Tropical Peat and poverty in Indonesia. Bogor: National Con-
Land of Serawak. Malaysia. Tell us. 57: 1–11. ference of the University Outreach Network.
Melling, L., Goh, K. J., & Hatanto, R. (2007). Com- Susila, W. R. (2004). Contribution of palm oil industry
parison study between GHG fluxes from forest to economic growth and poverty alleviation in

Jan Horas V. Purba dan ... | Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia ... | 93
Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian, 23(3), United States Department of Agriculture (USDA).
107–114. (2016). Indeks mundi, agricultural statistic.
Syahza, A. (2007). Kelapa sawit dan dampaknya Washington D.C.: USDA.
terhadap percepatan ekonomi pedesaan di World Growth. (2009). Conversion the immutable link
Riau. (Disertasi). Universitas Riau. between forestry and development. Arlington:
Tomich, T.P and Mawardi, M. S. 1995: Evolution of World Growth.
Palm Oil Trade Policy in Indonesia 1978-1991. _____. (2011). The economic benefit of palm oil to
Elaeis 7(1): P 87-102. Indonesia. Arlington: World Growth
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang World Bank. (2012). Inclusive green growth: The
Perkebunan. pathway to sustainable development. Wash-
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang ington, D.C.: World Bank.
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan.

94 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


KEBERLANJUTAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI
INDONESIA DAN PROSPEK PENGEMBANGAN
DI KAWASAN PERBATASAN*
Ngadi dan Mita Noveria
Peneliti pada Pusat Penelitian Kependudukan
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
e-mail: ngadi@lipi.go.id; mita_noveria@yahoo.com

ABSTRACT
Palm oil plantation has a significant role in creation of job opportunity and welfare of society. However, there
are still many problems challenged in maintaining sustainability of palm oil plantation. This paper aims to assess
sustainability of palm oil plantation from social and economy aspects and also the prospect of development of
palm oil plantation in border areas. This paper analyses the data of some research conducted by researchers of the
Research Centre for Population and the Deputy of Social Sciences and Humanities, Indonesian Institute of Sciences
in the province of South Sumatra and Indonesia-Malaysia border areas in West, East, and North Kalimantan. The
research shows that in 2014 palm oil plantation has created 5.2 millions job opportunity in Indonesia. In border
areas, particularly, development of palm oil plantation has generated job opportunities for Indonesian workers who
previously worked in Malaysia and those who intend to work in the neighbouring country. Nevertheless, many palm
oil plantation have not been sustainably managed in term of institution and access to land. Weak institutionality
in oil palm plantations caused some institutional farmers (KUD) to be unable to operate. On the other hand, low
access to land created many cases of land conflicts in palm oil plantations. The situation has brought about the
low income of labor in palm oil plantations. Sustainable palm oil plantations in Indonesia can only be created
through improvements to farmer institutions, access to land and land productivity.

Keywords: Sustainable palm oil, plantation labor, South Sumatra, Border areas

ABSTRAK
Perkebunan kelapa sawit telah memberikan peran positif terhadap penciptaan kesempatan kerja dan kesejahteraan
masyarakat. Meskipun demikian, komoditas ini masih menghadapi permasalahan keberlanjutan usaha. Paper ini
bertujuan mengkaji keberlanjutan perkebunan kelapa sawit dari aspek sosial ekonomi dan prospek pengembangannya
di wilayah perbatasan. Data yang analisis adalah hasil penelitian peneliti-peneliti Pusat Penelitian Kependudukan
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Kedeputian Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan
LIPI di Provinsi Sumatra Selatan serta beberapa daerah di kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan
Barat dan Utara. Hasil penelitian menunjukkan, pada 2014, perkebunan kelapa sawit telah menciptakan 5,3 juta
kesempatan kerja di Indonesia. Di wilayah perbatasan, pengembangan kelapa sawit juga menciptakan kesempatan
kerja bagi para TKI yang sebelumnya bekerja di Malaysia ataupun calon TKI yang akan bekerja di Malaysia.
Namun, banyak perkebunan kelapa sawit yang belum dikelola secara berkelanjutan, sisi kelembagaan dan akses
terhadap lahan. Kelembagaan yang lemah di perkebunan kelapa sawit menyebabkan sebagian koperasi (KUD) tidak
mampu beroperasi. Di sisi lain, rendahnya akses terhadap lahan berdampak banyaknya konflik lahan yang terjadi
perkebunan kelapa sawit. Keadaan tersebut berakibat rendahnya pendapatan tenaga kerja di perkebunan kelapa
sawit. Perkebunan kelapa sawit berkelanjutan di Indonesia hanya dapat diciptakan melalui perbaikan kelembagaan
petani, akses terhadap lahan dan produktivitas lahan.

Kata kunci: Kelapa sawit berkelanjutan, tenaga kerja perkebunan, Sumatra Selatan, kawasan perbatasan.

PENDAHULUAN Belanda, dengan bibit yang berasal dari Afrika


Perkebunan kelapa sawit mempunyai sejarah Barat. Selanjutnya, sejak 1911, perkebunan ke-
yang panjang di Indonesia. Usaha penanaman lapa sawit dikembangkan untuk kepentingan
kelapa sawit telah dimulai pada masa kolonial bisnis (“sejarah perkembangan kelapa,” t.t.).

*Artikel ini telah dipresentasikan dalam Academic Forum on Sustainability I, yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Sumber
Daya Regional (P2SDR) LIPI, Yayasan Inspirasi Indonesia (YII), dan Centre for Inclusive and Sustainable Development
(CISDEV) Universitas Prasetiya Mulya, di Jakarta 31 Januari 2017.

95 
Usaha bisnis perkebunan kelapa sawit masih di berbagai daerah. Bencana asap sebagai
berlanjut setelah kemerdekaan Indonesia, dampak kebakaran lahan di area perkebunan
meskipun telah terjadi beberapa kali pergantian kelapa sawit, penggunaan pekerja anak, konflik
pemerintahan. Terus berkembangnya perkebunan lahan, dan rendahnya kesejahteraan tenaga kerja
kelapa sawit telah menjadikan Indonesia sebagai merupakan implikasi dari perkebunan yang tidak
negara dengan luas lahan dan produksi kelapa berkelanjutan (Shalahuddin, Muchtar, & Musla,
sawit terbesar di dunia sejak 2006. Perkembangan 2011; Ngadi, 2015).
yang pesat tersebut menempatkan kelapa sawit Di tengah kontroversi yang muncul di
sebagai komoditas strategis yang berkontribusi mas­ya­rakat, perkebunan kelapa sawit masih
langsung terhadap penciptaan kesempatan kerja terus berkembang di Indonesia. Pada 2016, di-
dan pendapatan negara. perkirakan luas lahan kelapa sawit di Indonesia
Kebun kelapa sawit yang berlokasi di Indo- mencapai 11,67 juta ha, yang terdiri atas perke-
nesia terdiri atas beberapa jenis berdasarkan pada bunan rakyat (41%), perkebunan negara (7%),
luas lahan. Perusahaan dengan luas lahan kurang dan perkebunan besar swasta (42%) (Direktorat
dari 25 hektare (ha) dimiliki oleh masyarakat dan Jenderal Perkebunan, 2015, 3). Pesatnya perkem-
dikenal dengan istilah smallholder. Ada pula per­ bangan lahan sawit di tengah kontroversi yang
usahaan dengan skala menengah dan skala besar muncul menunjukkan bahwa perkebunan kelapa
(Colchester, dkk., 2006, 46–47). ­Perusahaan sawit berperan penting dalam perekonomian di
skala menengah dan besar biasanya milik ne­ Indonesia dan menjadi tumpuan hidup bagi se-
gara dan swasta, baik nasional maupun asing. bagian rakyat. Perkembangan pesat kelapa sawit
Dalam ­praktiknya, kebanyakan perusahaan yang didukung oleh berbagai faktor, seperti kebijakan
beroperasi tergolong perusahaan swasta dengan pemerintah yang menjadikan perkebunan kelapa
skala besar. Sebagai contoh, selama 2004–2011, sawit sebagai salah satu sektor prioritas nasional
di antara 23 perkebunan kelapa sawit yang ber­ (“Prospek dan Permasalahan,” 2016). Selain itu,
lokasi di Provinsi Kalimantan Barat, hanya 3 pemerintah mengeluarkan kebijakan penggunaan
perusahaan yang dibangun melalui kemitraan bahan bakar nabati (BBN) yang mendorong
dengan masyarakat. Sisanya merupakan perke- semakin berkembangnya industri kelapa sawit.1
bunan besar, baik milik negara maupun swasta
Pengembangan industri kelapa sawit me-
nasional dan asing (Bappeda Kabupaten Sambas,
nyebar ke daerah-daerah potensial, termasuk
2012, dalam Supriadi, t.t.,11–12).
daerah perbatasan Kalimantan. Sebagai daerah
Meskipun memiliki peran yang strategis bagi yang potensial untuk pengembangan perkebunan
perekonomian nasional, perkebunan kelapa sawit kelapa sawit, Pemerintah Provinsi Kalimantan
juga berdampak negatif terhadap masyarakat, Timur pada 2012 meluncurkan Program Sawit
terutama kerusakan lingkungan dan konflik sosial. Sejuta Hektare, dengan tujuan menambah luas
Dampak negatif tersebut memunculkan penolakan perkebunan sawit sebanyak satu juta hektare
berbagai kalangan terhadap pengembangannya di (“Program Sejuta Hektare,” 2013). Program
Indonesia. Berbagai pihak menuntut agar perke- tersebut kemudian diikuti dengan upaya mem-
bunan kelapa sawit dikembangkan secara sustain- perluas kebun sawit menjadi 2dua juta hektare
able (berkelanjutan) sehingga tidak menimbulkan a(“Kaltim Lanjutkan Program,” 2016). Pada
dampak negatif bagi masyarakat. Perkebunan 2015, pemerintah pusat juga merencanakan pem-
kelapa sawit berkelanjutan merupakan penerapan bukaan kebun sawit seluas satu hektare di sepan-
dari konsep pertanian berkelanjutan, yaitu sistem jang perbatasan Indonesia-Malaysia di Pulau
pertanian yang berorientasi pada keseimbangan Kalimantan (“Prospek Pengembangan Kelapa,”
ekonomi, sosial, dan ekologi. Tuntutan tersebut 2015). Sebelumnya, pada masa ­pemerintahan
direspons melalui penerapan standar ISPO dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pengem-
RSPO dalam perkebunan kelapa sawit. Namun,
1 Industri ini mencakup semua lini; mulai dari hulu,
sejauh ini masih banyak perkebunan yang
yaitu adalah persiapan lahan untuk kebun, penanaman,
belum berkelanjutan sehingga dampak negatif sampai panen; dan di hilir, yaitu pengolahannya menjadi
dari perkebunan kelapa sawit masih dirasakan berbagai jenis produk.

96 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


bangan perkebunan kelapa sawit di wilayah menjadi salah satu daerah pengirim tenaga kerja
perbatasan ini juga sudah direncanakan. Selain perkebunan kelapa sawit di kawasan perbatasan.
untuk meningkatkan produksi sawit, upaya ini Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara
bertujuan mengembangkan wilayah perbatasan dengan narasumber-narasumber di berbagai
yang akan diciptakan sebagai beranda depan tingkat, dari provinsi, kabupaten/kota, sampai
negara (“Kebijakan Kebun Sawit,” t.t.). desa. Data penelitian dianalisis dengan analisis
Bersamaan dengan perkembangan yang pesat deskriptif.
tersebut, perkebunan kelapa sawit tetap harus di-
jalankan secara berkelanjutan. Dengan demikian, PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
perkebunan kelapa sawit tidak menimbulkan BERKELANJUTAN DAN
dampak negatif bagi kehidupan sosial-ekonomi PENYERAPAN TENAGA KERJA
masyarakat. Artikel ini bertujuan mengkaji ke-
berlanjutan perkebunan kelapa sawit dari aspek a. Kelapa Sawit Berkelanjutan
sosial dan ekonomi serta prospek pengembangan- Pertanian berkelanjutan merupakan antitesis dari
nya di wilayah perbatasan. Analisis dilakukan di pertanian konvensional, yaitu pertanian berbasis
tingkat makro (nasional) dan mikro (perusahaan bahan kimia dan rekayasa genetika yang mencapai
dan petani sawit). puncaknya pada 1970-an. Pertanian berkelanjutan
Data yang digunakan berasal dari berbagai (sustainable agriculture) ialah pertanian yang
penelitian yang dilakukan peneliti-peneliti Pusat bermanfaat dalam jangka panjang, keberadaannya
Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Penge- berkesinambungan, dan tidak menimbulkan ben-
tahuan Indonesia (LIPI) serta Kedeputian Bidang cana. Pertanian berkelanjutan mulai digunakan
Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan LIPI. pada awal 1980-an oleh pakar pertanian Food
Untuk analisis keberlanjutan perkebunan kelapa Agriculture Organization (FAO) sebagai padanan
sawit dari aspek sosial-ekonomi, digunakan data dari agroekosistem. Ekosistem alamiah dimodifi-
hasil penelitian tahun 2015 di Provinsi Sumatra kasi manusia untuk menghasilkan bahan pangan,
Selatan, khususnya di Kabupaten Banyuasin. serat, dan kayu guna memenuhi kebutuhan dan
Dua kawasan petani plasma yang menjadi lokasi kesejahteraan manusia.
penelitian adalah petani plasma PT Perkebunan Pertanian yang mengandalkan bahan kimia
Nusantara (PTPN) VII dan PT Hindoli. Kelapa dan rekayasa genetik berkembang pesat I­ ndonesia
sawit plasma PTPN VII merupakan perkebunan pada 1970-an melalui revolusi hijau yang di-
yang telah melampaui satu siklus hidup tanaman implementasikan dalam kebijakan pancausaha
(umur >26 tahun) dan merupakan lokasi program tani. Program revolusi hijau telah mengantarkan
Perkebunan Inti Rakyat Khusus (PIR-Sus) yang Indonesia mencapai swasembada pangan pada
pertama kali dilaksanakan di Indonesia. Kelapa 1984. Akan tetapi, swasembada pangan tersebut
sawit plasma PT Hindoli merupakan kawasan ternyata tidak berkesinambungan karena revolusi
perkebunan yang masih dalam usia produktif dan hijau menimbulkan dampak terhadap kerusakan
bermitra dengan perusahaan asing. Pengumpulan lingkungan. Oleh sebab itu, muncul gerakan
data dilakukan dengan teknik survei, wawancara pertanian berkelanjutan di Indonesia, yang ber-
terbuka, observasi, dan studi kepustakaan. Re- orientasi pada keseimbangan ekonomi, sosial,
sponden untuk survei adalah 138 rumah tangga dan lingkungan. Tuntutan untuk melakukan
petani plasma PT Hindoli dan 80 rumah tangga praktik pertanian berkelanjutan juga terjadi pada
petani plasma PTPN VII. Selanjutnya, analisis subsektor perkebunan, khususnya kelapa sawit.
prospek pengembangan perkebunan kelapa sawit Munculnya berbagai persoalan sosial, ekonomi,
di wilayah perbatasan dilakukan menggunakan dan lingkungan sebagai dampak pengembangan
data yang bersumber dari hasil penelitian di perkebunan kelapa sawit membuat ­tuntutan
tiga provinsi di wilayah perbatasan Indonesia- pe­ngembangan perkebunan kelapa sawit berke­
Malaysia pada 2013 dan 2014, yaitu Kalimantan lan­jutan semakin besar.
Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan
Dalam perkembangannya, terdapat berbagai
Utara, serta Provinsi Nusa Tenggara Barat, yang
konsep pertanian berkelanjutan. Douglass (1984)

Ngadi dan Mita Noveria | Keberlanjutan Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia ... | 97
mengidentifikasi tiga pandangan “berkelanjut­ pangan, tempat tinggal, keamanan, keadilan,
an” yang berbeda. Pandangan pertama adalah ke­bebasan, pendidikan, pekerjaan, dan rekreasi.
“berkelanjutan sebagai kecukupan pangan”, yang Zhen &dan Routray (2003) membuat in-
mengkaji untuk memaksimalkan produksi pangan dikator operasional untuk mengukur pertanian
dalam kendala-kendala keuntungan. Pandangan berkelanjutan, di antaranya produktivitas lahan,
kedua adalah “berkelanjutan sebagai pekerjaan pendapatan dari sektor pertanian, akses terhadap
mengurus (stewardship)”, yang diartikan dalam sumber daya, pengetahuan dan kepedulian
istilah mengendalikan kerusakan lingkungan. petani terhadap konservasi lahan, kandungan
Adapun pandangan ketiga adalah “berkelanjutan unsur hara, serta kualitas air permukaan. Pada
sebagai kependudukan”, yang diartikan dalam 2007, Commission on Sustainable Development
istilah pemeliharaan dan rekonstruksi sistem (CSD) menambah indikator kelembagaan dalam
perdesaan yang dapat berlangsung secara eko- kerangka pembangunan keberlanjutan untuk
nomi dan sosial. mendukung tercapainya Millennium Develop-
FAO (1993) memberikan lima pilar dasar ment Goals (MDGs) di berbagai negara di dunia
pengelolaan lahan berkelanjutan, yaitu (1) produk- (United Nations, 2007). Dimensi kelembagaan
tivitas dalam arti perolehan dari p­ engelolaan lahan merupakan pengembangan dari dimensi sosial
berkelanjutan dapat melebihi hasil material dari yang mencakup berbagai aspek, seperti struktur
penggunaan untuk pertanian dan non-pertanian, kelembagaan, kerja sama ekonomi global, kapa-
yang mencakup juga keuntungan protektif dan sitas kelembagaan pemerintah dan masyarakat,
estetik dari penggunaan lahan; (2) keamanan, arti- sumber daya manusia kelembagaan, serta koor-
nya metode-metode pengelolaan mengutamakan dinasi kebijakan.
keseimbangan antara penggunaan lahan dan
kondisi lingkungan, mengurangi risiko produksi;
b. Kesempatan Kerja di Perkebunan
berlawanan dengan metode-metode yang me­
ngurangi kemantapan dan meningkatkan risiko; Kelapa Sawit
(3) perlindungan, artinya kualitas dan kuantitas Perkembangan dan keberlanjutan perkebunan
sumber daya tanah dan air harus terlindungi, kelapa sawit di Indonesia tidak terlepas dari
dalam keadilan bagi generasi yang akan datang peran tenaga kerja yang menjadi salah satu faktor
dan secara lokal, harus ada prioritas konservasi produksi perkebunan. Di sisi lain, perkebunan ke-
seperti kebutuhan untuk memelihara keragaman lapa sawit diharapkan dapat menciptakan lapang­
hayati atau pelestarian spesies tanaman atau an kerja dan mengatasi masalah pengangguran di
hewan tertentu; (4) viabilitas, artinya penggunaan Indonesia yang pada Agustus 2016 mencapai 7,03
lahan dipertimbangkan tidak berlangsung terus- juta orang (BPS, 2016). Kesempatan kerja yang
menerus (viable); serta (5) penerimaan, artinya tercipta di perkebunan kelapa sawit berkorelasi
metode-metode penggunaan lahan dikatakan positif terhadap luas lahan yang mencapai 10,21
gagal jika akibat sosialnya tidak dapat diterima juta ha pada 2014. Luas lahan tersebut terdiri
masyarakat. atas 4,98 juta ha lahan perkebunan perusahaan
Yunlong dan Smith (1994) juga m
­ embedakan swasta, 0,69 juta ha lahan perkebunan perusahaan
sustainability menjadi tiga persepsi utama. Per- negara, dan 4,54 juta ha lahan perkebunan rakyat.
tama, definisi ekologis tentang ­berkelanjutan, Potensi untuk menciptakan kesempatan kerja
yang berfokus pada proses-proses biofisik dan mening­katkan kesejahteraan tenaga kerja di
dan produktivitas terus-menerus dari fungsi perkebunan kelapa sawit masih besar, terutama
eko­sistem. Kedua, definisi ekonomis dari ber­ pada produk hilir, karena selama ini sebagian
ke­
lanjutan, terutama yang menitikberatkan besar produk kelapa sawit Indonesia masih dijual
pada pemeliharaan jangka panjang kelebihan dalam bentuk bahan mentah (CPO).
dari usaha tani terhadap pengelolanya. Ketiga, Data empiris menunjukkan sebagian besar
definisi sosial yang ditujukan pada pemenuhan kesempatan kerja di perkebunan kelapa sawit
yang terus-menerus bagi kebutuhan dasar untuk di Indonesia masih tersedia pada kegiatan hulu.
Oleh sebab itu, penyerapan dan kesejahteraan

98 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


tenaga kerja di perkebunan kelapa sawit ­banyak Riau tidak terlepas dari tingkat kesejahteraan
ditentukan oleh luas lahan, teknologi, dan pro­ petani kelapa sawit yang cukup baik, sehingga
duktivitas lahan. Pada 2013, kelapa sawit dapat mendorong petani lain mengusahakan kelapa
menyerap tenaga kerja sekitar 5,17 juta jiwa, sawit.
terdiri atas 2,13 juta orang yang bekerja sebagai Jumlah petani kelapa sawit terbesar kedua
petani dan 3,04 juta jiwa sebagai tenaga kerja terdapat di Sumatra Selatan, yaitu 308.505 rumah
di perkebunan, baik sebagai tenaga harian lepas, tangga. Jumlah tersebut kemudian menurun men-
karyawan kontrak, maupun karyawan tetap (Tabel jadi 197.912 tangga pada 2014. Penurunan jumlah
1). Pada 2014, jumlah tenaga yang terserap ini rumah tangga petani kelapa sawit terjadi karena
kemudian meningkat menjadi 5,22 juta, terdiri sebagian petani beralih ke pekerjaan lain di luar
atas 2,05 juta petani dan 3,17 juta tenaga kerja sektor pertanian atau beralih menjadi petani jenis
di perkebunan besar. Peningkatan jumlah tenaga tanaman lain. Selain itu, penurunan jumlah petani
kerja di perkebunan swasta dan negara diikuti kelapa sawit bisa disebabkan oleh peralihan dari
dengan peningkatan luas lahan dari 5,35 juta ha petani pemilik menjadi buruh tani di perkebunan.
pada 2013 menjadi 5,6 juta ha pada 2014. Di Peralihan tenaga kerja dari petani pemilik lahan
sisi lain, terjadi penurunan jumlah petani kelapa
menjadi buruh tani dapat terjadi karena pada
sawit, terutama terjadi di Sumatra Selatan, yang
2013–2014 terjadi peningkatan jumlah tenaga
menurun hampir 100 ribu keluarga.
kerja di perkebunan swasta di Sumatra Selatan
Provinsi yang memiliki jumlah petani kelapa dari 144.253 orang menjadi 233.215 orang.
sawit terbesar adalah Provinsi Riau (526.350
Perkembangan jumlah tenaga kerja di perke­
rumah tangga). Besarnya jumlah petani di
bunan besar swasta dan negara dalam dua tahun
Provinsi Riau menunjukkan bahwa sebagian
terakhir meningkat dari 3,04 juta pada 2013 men-
lahan perkebunan sawit merupakan ­perkebunan
jadi 3,17 juta pada 2014. Provinsi yang memiliki
rakyat. Luas lahan yang dikelola petani di
jumlah tenaga kerja terbesar pada 2013 dan 2014
Provinsi Riau pada 2013 adalah 1,35 juta ha,
adalah Provinsi Kalimantan Tengah, yang sebagi­
sedangkan lahan yang dikelola perusahaan negara
an besar merupakan pekerja ­perusahaan swasta
dan swasta seluas 1,01 juta ha dengan penyerapan
nasional. Dominasi perusahaan swasta terhadap
tenaga kerja sebesar 272.737 orang. Luas lahan
kepemilikan lahan perkebunan kelapa sawit
tersebut menempatkan Riau sebagai provinsi
begitu besar karena pada saat yang bersamaan
yang memiliki luas lahan terluas di Indonesia.
hanya terdapat 60.899 rumah tangga pekebun
Besarnya jumlah petani kelapa sawit di Provinsi
sawit di daerah ini.

Tabel 1. Tenaga Kerja Perkebunan Kelapa Sawit di 8 Provinsi Terbesar di Indonesia Menurut Pengelola, Tahun
2013–2014
2013 2014
No. Provinsi Petani Petani
Negara Swasta Negara Swasta
(KK) (KK)
1 Riau 526.350 41.835 230.902 524.561 42.795 423.668
2 Sumatra Utara 173.478 157.416 326.922 173.728 157.508 332.352
3 Kalimantan Tengah 57.970 350 483.969 60.899 350 487.166
4 Sumatra Selatan 308.505 26.854 144.253 197.912 23.838 233.215
5 Kalimantan Barat 101.565 28.567 164.474 102.883 28.103 270.171
6 Kalimantan Timur 88.162 28.874 260.690 100.302 28.875 219.349
7 Jambi 188.756 13.091 68.026 207.005 11.812 116.657
8 Kalimantan Selatan 36.856 8.443 89.612 41.005 8.443 208.163
Indonesia 2.130.282 336.884 2.701.770 2.052.050 364.527 2.801.746
3.038.654 3.166.273
Sumber: BPS (2015)

Ngadi dan Mita Noveria | Keberlanjutan Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia ... | 99
Rencana pemerintah mengembangkan perke­ ditanami komoditas perkebunan tersebut juga
bunan kelapa sawit di perbatasan diperkira­kan lebih luas dibandingkan jenis-jenis tanaman
akan menyerap 240.000 tenaga kerja baru (Gapki perkebunan lain. Peningkatan peran perkebunan
“Dukung Pemerintah”, 2015). Data memperlihat- kelapa sawit dalam menyerap tenaga kerja ini
kan bahwa jumlah tenaga kerja yang terserap di sejalan dengan peningkatan luas lahannya (“Pro-
perkebunan kelapa sawit di Provinsi Kalimantan­ gram Sejuta Hektare,” 2013).
Timur saja bahkan telah melampaui angka per­ Jika diperhatikan lebih rinci, penyerapan te­
kiraan tersebut (Tabel 2). Berdasarkan pada naga kerja yang besar di perkebunan kelapa sawit
ke­nyataan ini, tidak berlebihan jika perkebunan ditemukan di kabupaten-kabupaten yang terletak
kelapa sawit menjadi tumpuan sumber mata di kawasan perbatasan. Di Kabupaten Nunukan,
pencaharian bagi masyarakat yang tinggal di misalnya, pada 2012, perkebunan kelapa sawit
sepanjang perbatasan negara. Di Desa Srinanti di yang ada mampu menyerap tidak kurang dari
Kecamatan Sei Menggaris, Kabupaten Nunukan, 40 ribu tenaga kerja. Meskipun tidak sebesar di
Kalimantan Timur—untuk menyebut salah satu- kabupaten yang bukan perbatasan, seperti Kutai
nya—mayoritas penduduk bekerja di perkebunan Kertanegara, yang pada 2012 mampu menyerap
kelapa sawit, baik sebagai petani maupun buruh lebih dari 90 ribu tenaga kerja, perkebunan
(“Kelapa Sawit Adalah” 2016). Selanjutnya, di kelapa sawit di kabupaten perbatasan telah
salah satu perkebunan yang terdapat di Kecamatan mem­berikan kontribusi dalam mengurangi angka
Sei Menggaris, yaitu PT Nunukan Jaya Lestari ­pengangguran (Tabel 3).
(NJL), terdapat sekitar 1.300 orang pekerja yang
menggantungkan hidup mereka dan keluarganya. Kemampuan perkebunan kelapa sawit dalam
Selain itu, terdapat sejumlah petani sawit yang menyerap tenaga kerja secara langsung ataupun
secara ekonomi bergantung pada perusahaan tidak langsung dapat memberikan kesejahteraan
tersebut karena kelapa sawit hasil kebun mereka bagi mereka, terutama karena penghasilan yang
dijual kepada PT NJL. diperoleh. Sebagai contoh, pada salah satu per­
usahaan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten
Data pada Tabel 2 memperlihatkan bahwa Kutai Timur, seorang petani plasma yang menye­
selama periode lima tahun (2008–2012), perke- rahkan lahannya untuk ditanami kelapa sawit bisa
bunan kelapa sawit di Provinsi Kalimantan mendapatkan penghasilan sekitar Rp7 juta setiap
Timur menyerap tenaga kerja terbanyak di antara bulan (“Penghasilan Petani Sawit,” 2015).
berbagai jenis tanaman perkebunan yang lain.
Dalam perspektif mikro, hasil survei menun-
Bersama dengan perkebunan karet, jumlah tenaga
jukkan terdapat variasi jenis pekerjaan di kawasan
kerja di perkebunan kelapa sawit meningkat
pengembangan perkebunan kelapa sawit plasma
sepanjang tahun. Kondisi sebaliknya terjadi pada
PT Hindoli dan PTPN VII. Perbedaan ini lebih
perkebunan kelapa dalam, kakao, lada, dan kopi,
disebabkan oleh perbedaan produktivitas lahan
yang mengalami penurunan jumlah tenaga kerja
perkebunan yang secara langsung berimplikasi
dalam periode yang sama. Paling banyaknya
terhadap tingkat kesejahteraan petani. Produk-
penyerapan tenaga kerja di perkebunan kelapa
tivitas lahan yang tinggi dari perkebunan kelapa
sawit mudah dimaklumi, mengingat lahan yang

Tabel 2. Jumlah Tenaga Kerja Menurut Jenis Tanaman Perkebunan, Provinsi Kalimantan Timur, 2008–2012
Karet Kelapa dalam Kelapa sawit Kakao Lada Kopi
Tahun
(orang) (orang) (orang) (orang) (orang) (orang)
2012 55.930 26.331 333.216 18.651 8.993 12.349
2011 53.346 25.944 317.647 26.590 9.989 15.179
2010 51.687 30.469 294.297 28.195 10.267 15.179
2009 51.249 38.758 174.525 29.768 14.400 24.924
2008 49.556 40.089 148.021 32.448 15.400 26.535
Sumber: Program Sejuta Hektare (2013)

100 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


Tabel 3. Jumlah Tenaga Kerja Perkebunan di Kabupaten Perbatasan di Provinsi Kalimantan Timur
Menurut Jenis Tanaman, 2012
Karet Kelapa dalam Kelapa sawit Kakao Lada Kopi
Kabupaten
(orang) (orang) (orang) (orang) (orang) (orang)
Kutai Barat 24.837 Td 28.848 569 91 1.649
Malinau 837 Td 976 5.211 3 1.672
Nunukan* 90 Td 43.454 2.907 96 499
Sumber: diolah dari “Program Sejuta Hektare” (2013)
*) Nunukan masih termasuk wilayah Provinsi Kalimantan Timur
Td = tidak ada data

sawit plasma PT Hindoli menyebabkan sebagian Tabel 4. Distribusi ART petani tani plasma PT Hindoli
besar masyarakat bekerja pada pekerjaan yang dan PTPN menurut pekerjaan utama tahun 2016
berhubungan dengan perkebunan kelapa sawit. Plasma PT Plasma PTPN
Sebesar 70,6% tenaga kerja di Desa Srimulyo Jenis pekerjaan Hindoli VII
No
bekerja sebagai petani, buruh harian lepas, sopir, utama Jum- Persen- Jum- Persen-
dan pengurus KUD. Sebagian anggota rumah lah tase lah tase
1 Petani kelapa 160 65.3 100 50.5
tangga petani juga mengembangkan perkebunan
sawit plasma
karet untuk menunjang perekonomian mereka. 2 Petani karet 21 8.6 1 0.5
Keadaan berbeda terjadi pada petani plasma 3 Karyawan KUD 2 0.8 0 0.0
PTPN VII. Produktivitas lahan perkebunan petani 4 Jasa-jasa (sopir, 3 1.2 9 4.5
plasma PTPN VII lebih rendah daripada plasma tukang urut, PRT)
PT Hindoli, sehingga hanya ada 53% tenaga kerja 5 Pedagang 24 9.8 3 1.5
yang bekerja di pekerjaan yang berhubungan 6 Bengkel 2 .8 1 0.5
dengan kelapa sawit (Tabel 4). 7 BHL perkebunan 11 4.5 5 2.5
sawit
Perbedaan produktivitas perkebunan di 8 BHL perkebunan 9 3.7 12 6.1
ke­­dua kawasan juga berdampak terhadap keter­ karet
se­diaan kesempatan kerja di luar sektor ­pertani­an. 9 Guru karyawan 13 5.3 52 26.3
Produktivitas kelapa sawit yang rendah di 10 Home industry/ 0 0.0 5 2.5
­ka­wasan petani plasma PTPN VII menyebabkan wiraswasta
banyak anggota rumah tangga yang mencari 11 Petani tanaman 0 0.0 10 5.1
pangan
pekerjaan di luar sektor pertanian, terutama guru
Total 245 100.0 198 100.0
dan karyawan (26,3%). Persentase ini lebih besar
dibandingkan proporsi tenaga kerja dalam sektor
yang sama kawasan plasma PT Hindoli (5,3%). bagai usaha di sektor perdagangan, seperti toko
Selain disebabkan oleh produktivitas lahan yang penyedia barang kebutuhan pokok, pedagang
rendah, banyak tenaga kerja yang bekerja sebagai makanan, toko alat tulis, dan bahan bangunan.
guru/karyawan di desa kawasan plasma PTPN
berhubungan dengan lokasi geografis yang dekat KEBERLANJUTAN PERKEBUNAN
dengan pusat kabupaten dan Kecamatan Betung. KELAPA SAWIT
Perkembangan positif perekonomian di tingkat
Meskipun berperan penting dalam penciptaan
desa dan wilayah sekitar juga memuncul­kan ber-
kesempatan kerja, perkebunan kelapa sawit juga
bagai kesempatan kerja lain, seperti perdagangan
memiliki risiko yang tinggi terhadap kerusakan
dan jasa perbengkelan. Banyaknya penduduk
lingkungan dan keberlangsungan usaha. Dampak
yang memiliki sepeda motor dan mobil telah
lingkungan dari perkebunan kelapa sawit yang su-
mendorong pendirian usaha bengkel motor/
dah terjadi adalah bencana asap dan menurunnya
mobil dan jasa cuci kendaraan. Sebagai respons
keanekaragaman hayati di daerah sentra perke-
terhadap kebutuhan harian penduduk yang tidak
bunan kelapa sawit. Perkebunan kelapa sawit
dapat diproduksi di daerah setempat, muncul ber-

Ngadi dan Mita Noveria | Keberlanjutan Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia ... | 101
juga menghadapi risiko penurunan produktivitas juga lebih besar daripada p­ endapatan minimum
setelah umur tanaman lebih dari 26 tahun. Oleh Provinsi Sumatra Selatan tahun 2016 sebesar
sebab itu, petani harus meremajakan tanaman Rp2.206.000 dengan standar tujuh jam kerja
untuk menjaga keberlanjutan pendapatan. Untuk per hari atau 40 jam kerja per minggu (Pemprov
menjaga keberlanjutan usaha dan kelestarian Sumsel, 2016). Pendapatan tersebut juga lebih
lingkungan, pengembangan perkebunan kelapa tinggi daripada upah sektoral di sektor pertanian
sawit harus dilakukan secara berkelanjutan. pada 2015, yang sebesar Rp2.250.000 per bulan
Keberlanjutan pada dasarnya mencakup (Pemprov Sumsel, 2016). Keadaan ini menunjuk-
tiga aspek utama, yaitu ekonomi, sosial, dan kan bahwa rumah tangga petani plasma di kedua
­lingkungan. Uraian dalam artikel ini difokuskan kawasan memiliki pendapatan yang cukup tinggi
pada keberlanjutan ekonomi dan sosial, yaitu dan layak secara ekonomi (Tabel 5).
pendapatan petani, kelembagaan, dan akses ter- Tingginya pendapatan rumah tangga di kedua
hadap lahan. Dalam uraian ini, keberlanjutan kawasan petani plasma belum menggambarkan
perkebunan kelapa sawit didasarkan pada kelapa keberlanjutan ekonomi perkebunan kelapa sawit.
sawit plasma PT Hindoli dan plasma PTPN VII Keberlanjutan ekonomi kelapa sawit di kedua
di Kabupaten Musi Banyuasin. Berbagai indika- kawasan dapat dilihat dari besarnya pendapatan
tor keberlanjutan sosial ekonomi menunjukkan rumah tangga dari kelapa sawit. Hasil penelitian
bahwa perkebunan sawit plasma PT Hindoli menunjukkan sebagian besar pendapatan rumah
merupakan perkebunan yang berkelanjutan, tangga plasma PT Hindoli berasal dari perkebun­
sedangkan plasma PTPN VII merupakan perke- an kelapa sawit, yaitu Rp3,15 juta atau 75,6%
bunan yang tidak berkelanjutan. Sementara itu, dari total pendapatan rumah tangga. Besarnya
perkebunan kelapa sawit di kawasan perbatasan pendapatan rumah tangga plasma PT Hindoli yang
masih dalam proses awal pengembangan sehingga berasal dari kelapa sawit menunjukkan tingginya
indikator pendapatan dan kelembagaan belum sustainability perkebunan di kawasan tersebut.
dapat disajikan dalam tulisan ini. Pada saat penelitian ini dilakukan, petani
sedang mengalami musim trek2. Dalam kondisi
a. Pendapatan Petani musim panen yang baik, pendapatan petani
plasma di daerah tersebut bisa mencapai Rp10
Pendapatan petani yang mencerminkan keberlan-
juta per kaveling. Keadaan tersebut menunjukkan
jutan ekonomi perkebunan kelapa sawit dalam tu-
bahwa dalam aspek ekonomi perkebunan kelapa
lisan ini adalah pendapatan rumah tangga dan per
sawit plasma PT Hindoli merupakan perkebunan
kapita. Pendapatan rumah tangga adalah akumu-
yang berkelanjutan. Keberlanjutan ekonomi
lasi dari keseluruhan pendapatan anggota rumah
yang tinggi pada perkebunan kelapa sawit juga
tangga yang bekerja, baik dari pekerjaan utama
ditemukan di daerah lain di Indonesia, seperti
maupun pekerjaan tambahan. Pendapatan per
Kabupaten Kampar (Wigena, Siregar, Sudrajat,
kapita rumah tangga dihitung melalui pembagian
& Sitorus, 2009), Kabupaten Langkat (Widodo,
antara total pendapatan rumah tangga dan jumlah
Soewartoyo, Daliyo, Ngadi, & Hargiono, 2005),
anggota rumah tangga. Hasil penelitian menun-
dan Kabupaten Siak (Tjiptoherijanto, 2004).
jukkan rata-rata pendapatan rumah tangga petani
kelapa sawit plasma PT Hindoli adalah Rp4,1 Pendapatan rumah tangga dari kelapa sawit
juta, sedangkan pendapatan per kapita sebesar petani plasma PTPN VII di Kecamatan Lais dan
Rp1,18 juta. Pendapatan ini lebih tinggi daripada Babat Supat, Musi Banyuasin, relatif rendah.
pendapatan rumah tangga dan per kapita petani Keadaan ini menyebabkan sebagian besar petani
plasma PTPN VII, yang masing-masing sebesar berusaha memperoleh pendapatan dari luar ­sektor
Rp3,04 juta dan Rp698 ribu. Secara umum, pertanian, sehingga kontribusi pendapatan dari
pendapatan rumah tangga petani plasma di kedua kelapa sawit terhadap pendapatan rumah tangga
lokasi lebih besar daripada garis kemiskinan Ka-
bupaten Musi Banyuasin tahun 2014 sebesar Rp 2 Musim trek ialah musim paceklik, artinya produktivitas
357.567 (BPS, 2015). Pendapatan rumah tangga perkebunan kelapa sawit lebih rendah daripada produk-
tivitas rata-rata bulanan dalam satu tahun.

102 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


Tabel 5. Pendapatan Rumah Tangga Petani Plasma PT VII. Pendapatan petani dan pekerja kelapa sawit
Hindoli dan PTPN VII di Kabupaten Musi Banyuasin yang rendah juga ditemukan di b­ erbagai daerah
tahun 2016 di Indonesia, seperti di Riau (Sinaga, 2013) dan
Petani Petani Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur (Rahayu,
No Keterangan plasma plasma Nagib, Sumono, & Asiati, 2004). Rendahnya
PT Hindoli PTPN VII pendapatan petani kelapa sawit tersebut tidak
1 Pendapatan rumah terlepas dari buruknya pengelolaan kelapa sawit,
4,163,985 3,038,322
tangga
baik petani plasma maupun petani swadaya.
2 Pendapatan per
1,307,786 698,010
kapita
3 Rata-rata pendapat­ a. Kelembagaan
3,151,303 1,013,911
an dari sawit Sebagai indikator keberlanjutan perkebunan ke-
4 Rata-rata pendapat­ lapa sawit, kelembagaan merupakan aspek yang
1,016,845 2,024,411
an dari nonsawit berpengaruh langsung terhadap produktivitas
3 Share pendapatan lahan. Hasil penelitian menunjukkan adanya per-
75.60 33.37
dari sawit bedaan keberlanjutan kelembagaan petani pada
4 Share pendapatan plasma PT Hindoli dan PTPN VII di Kabupaten
24.40 66.63
dari nonsawit
Musi Banyuasin. Kelembagaan petani plasma PT
Hindoli merupakan koperasi yang sehat dan eksis
di kawasan ini rendah. Sebagian rumah tangga hingga saat ini, sedangkan koperasi petani plasma
plasma di daerah ini bahkan sudah tidak bertani PTPN VII sudah tidak beroperasi. Keadaan ini
kelapa sawit karena biaya operasional bisa le­ menunjukkan, dari sisi kelembagaan, perkebunan
bih besar dari pendapatannya. Data penelitian kelapa sawit plasma PT Hindoli merupakan perke-
menunjukkan rata-rata pendapatan petani plasma bunan yang berkelanjutan, sedangkan perkebunan
dari perkebunan kelapa sawit sebesar Rp1,01 kelapa sawit petani plasma PTPN VII merupakan
juta/bulan atau 33,4% dari total pendapatan perkebunan yang tidak berkelanjutan.
rumah tangga. Rendahnya pendapatan dari kelapa Keberlanjutan yang tinggi pada petani
sawit di daerah ini terjadi karena umur tanaman plasma PT Hindoli terlihat pada Koperasi Unit
yang sudah tidak produktif (27–34 tahun). Di Desa (KUD) Bersama Makmur yang berdiri pada
sisi lain, petani plasma kelapa sawit sudah tidak 2000. Sebagai koperasi yang berkelanjutan, KUD
mendapatkan pendampingan dari perusahaan Bersama Makmur memiliki perkembangan yang
inti sehingga mereka tidak dapat memelihara cukup baik dengan total aset yang terus bertam­
tanaman dengan baik. Petani juga tidak memiliki bah setiap tahun, yang pada 2015 mencapai
tabungan replanting sehingga mereka kesulitan Rp18,32 miliar. Aktivitas utama KUD Bersama
meremajakan tanaman. Keadaan ini berdampak Makmur adalah mengelola perkebunan sawit
langsung terhadap rendahnya produktivitas lahan plasma sehingga memiliki produktivitas yang
dan tingginya biaya produksi. tinggi yang pada gilirannya akan meningkatkan
Dalam kondisi produktivitas lahan kelapa pendapatan dan kesejahteraan petani plasma.
sawit yang rendah, rumah tangga petani plasma Pengelolaan kebun plasma ini mencakup semua
berusaha mencari sumber pendapatan dari non- aktivitas kebun, dari pemeliharaan, panen, hingga
kelapa sawit sehingga pangsa pendapatan rumah pemasaran tandan buah segar (TBS). KUD Ber-
tangga dari kelapa sawit relatif rendah (33,4%). sama Makmur juga mengoordinasi dana tabungan
Persentase ini lebih rendah dari pangsa pendapat­ untuk persiapan peremajaan kebun plasma (Iuran
an petani dari sektor pertanian di Sumatra Selatan Dana Asuransi Perkebunan/Idapertabun) melalui
pada 2013 sebesar 79,30%, sedangkan tingkat na- kerja sama dengan Asuransi Jiwa Bumiputera
sional sebesar 53,59% (BPS, 2014). Keadaan ini 1912 di Palembang.
menunjukkan rendahnya keberlanjutan ekonomi Tingkat keberlanjutan yang tinggi pada KUD
dari perkebunan kelapa sawit petani plasma PTPN Bersama Makmur dapat dilihat dari berbagai

Ngadi dan Mita Noveria | Keberlanjutan Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia ... | 103
prestasi telah dicapai. Prestasi-prestasi tersebut unit usaha produktif yang dikelolanya (terdapat
antara lain (a) piagam program kemitraan PIR- 8 unit usaha), besarnya pangsa modal sendiri dan
Trans kelapa sawit dari PT Hindoli pada 2003; sisa hasil usaha terhadap total modal. Selain itu,
(b) koperasi berprestasi tingkat Provinsi Sumatra lembaga ini menerima banyak penghargaan seba­
Selatan pada 2003; (c) koperasi berprestasi ter- gai lembaga ekonomi dengan kinerja yang baik.
baik Kabupaten Musi Banyuasin pada 2005; (d) Sampai 2000, jenis penghargaan yang diterima
koperasi produsen berprestasi Provinsi Sumatra antara lain (1) KUD terbaik tingkat Kabupaten
Selatan pada 2005; (e) juara I Koperasi Aneka Musi Banyuasin, terbaik tingkat Provinsi Sumatra
Jasa Kabupaten Musi Banyuasin pada 2007; (f) Selatan dan tingkat Nasional; (2) KUD Mandiri
koperasi berprestasi tingkat Sumatra Selatan pada teladan tingkat Nasional; (3) pemegang GPKS
2007; (g) juara I Koperasi Produsen di Provinsi tingkat Kabupaten Musi Banyuasin; serta (4)
Sumatra Selatan pada 2007 ; (h) koperasi ber- mitra usaha berprestasi tingkat nasional pada
prestasi nasional pada 2008; serta (i) lulus sertifi- 1997 dari Menteri Pertanian. Akan tetapi, prestasi
kasi Roundtable On Sustainable Palm Oil (RSPO) tersebut tidak dapat bertahan dan saat ini KUD
pada 2010. Selain itu, masih banyak prestasi lain Trijaya menjadi koperasi yang tidak beroperasi
yang dicapai KUD Bersama Makmur. lagi.
Keberlanjutan yang rendah terjadi pada Perbedaan keberlanjutan kelembagaan di
kelembagaan petani plasma PTPN VII (KUD kedua kawasan pengembangan perkebunan ke-
Trijaya) yang sudah tidak beroperasi. Kelem- lapa sawit berdampak nyata terhadap perbedaan
bagaan petani plasma PTPN VII di Kabupaten tingkat kesejahteraan petani. Kelapa sawit petani
Musi Banyuasin tidak berkelanjutan sehingga plasma PT Hindoli mempunyai produktivitas
berdampak rendahnya produktivitas lahan dan ke- yang tinggi karena didukung lembaga koperasi
sejahteraan petani. Semua kegiatan pengelolaan yang sehat dan berkelanjutan. Produktivitas yang
lahan perkebunan dilakukan sendiri oleh petani tinggi ini berkorelasi positif terhadap tingginya
plasma tanpa terikat peraturan dari perusahaan pendapatan dan kesejahteraan petani plasma. Di
inti. Pendirian koperasi yang terpusat dalam sisi lain, perkebunan kelapa sawit petani plasma
satu unit (KUD Tri Jaya) untuk mengelola 4.000 PTPN VII termasuk rendah karena lemahnya
petani menjadi penyebab semakin rentannya kelem­bagaan koperasi. Hal ini berdampak ter­
koperasi di daerah ini. Petani plasma di beberapa hadap rendahnya tingkat pendapatan dan kese­
desa berusaha membentuk kelompok usaha ber- jahteraan petani plasma.
sama dengan harapan dapat berkembang menjadi
koperasi mandiri, tetapi sampai saat ini belum
berhasil. Berbagai persoalan lain di plasma PTPN b. Akses terhadap Lahan
VII muncul sebagai dampak dari koperasi yang Akses terhadap lahan merupakan indikator keber-
tidak berkelanjutan, terutama ketidakmampuan lanjutan sosial dari perkebunan kelapa sawit. Data
petani melakukan peremajaan tanaman meskipun penelitian terhadap petani plasma PT Hindoli
saat ini umur tanaman sudah lebih dari 30 tahun. dan PTPN VII di Sumatra Selatan menunjukkan
Meskipun sudah tidak beroperasi, KUD bahwa akses terhadap lahan berkorelasi positif
Trijaya pernah menjadi koperasi yang sehat terhadap pendapatan dan kelembagaan petani.
dan mendapatkan berbagai penghargaan. KUD Petani plasma PT Hindoli mempunyai akses yang
Trijaya didirikan pada 1986/1987 dengan cukup baik terhadap lahan sehingga sampai saat
wilayah kerja mencakup Proyek PIR IV Talang ini semua petani plasma telah memiliki sertifikat
Sawit dengan PTP Nusantara VII Talang Sawit lahan. Pendapatan petani yang cukup besar telah
sebagai inti. Sampai akhir 2000, terdapat 20 berdampak pada kemampuan petani untuk mem-
kampung sawit yang dikelola oleh 3.766 rumah perluas lahan pertanian dengan membeli lahan
tangga petani sebagai anggota KUD dan 234 di kawasan desa maupun di luar desa. Lahan
rumah tangga petani sebagai calon anggota. tersebut sebagian digunakan untuk penanaman
Sampai 2000, KUD Trijaya masih mempunyai kelapa sawit secara mandiri atau menanam karet.
kinerja yang baik; hal itu tecermin dari jumlah Pada 2016, semua rumah tangga petani plasma

104 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


memiliki lahan pertanian lebih dari 2 ha. Sekitar Perbedaan akses terhadap lahan pada ke­
38,4% rumah tangga petani bahkan memiliki la- dua kawasan petani plasma tersebut ­membawa
han lebih dari 4 ha. Kepemilikan lahan yang besar konsekuensi terhadap kesejahteraan dan keber­
ini terjadi karena petani plasma di Desa Srimulyo lan­jutan perkebunan kelapa sawit. Saat ini,
merupakan transmigran yang sejak awal telah pro­gram peremajaan tanaman kelapa sawit
diberi lahan seluas 2 ha sebagai lahan perkebunan plasma PTPN VII masih terhambat sehingga
kelapa sawit. Perluasan lahan merupakan strategi belum bisa dilaksanakan meskipun sebagian
petani untuk meningkatkan pendapatan dan tanaman sudah berumur lebih dari 34 tahun.
menjadi alternatif sumber pendapatan selain dari Sebaliknya, peremajaan kelapa sawit petani
perkebunan plasma. Sebagian rumah tangga yang plasma PT Hindoli dapat dilakukan tepat waktu.
tidak berinvestasi di sektor pertanian umumnya Petani diuntungkan dengan peremajaan ini karena
berinvestasi di sektor lain, seperti peternakan, bibit yang ditanam merupakan bibit unggul yang
usaha rumah tangga, dan jasa-jasa. lebih produktif. Para petani juga sudah siap untuk
Berbeda dengan petani plasma PT Hindoli, peremajaan karena mereka telah memiliki dana
akses terhadap lahan petani plasma PTPN VII tabungan peremajaan tanaman, memiliki sumber
termasuk rendah. Keadaan ini ditunjukkan oleh penghasilan dari luar kelapa sawit, dan dapat
banyaknya petani yang sampai saat ini belum me- bertanam tanaman semusim di area perkebunan
miliki sertifikat lahan. Berdasarkan pada data dari yang sedang diremajakan.
Dinas Perkebunan Kabupaten Musi Banyuasin Akses masyarakat terhadap lahan di daerah
terdapat 293 persil sertifikat yang belum terbit, per­batasan Kalimantan berhubungan dengan
58 persil sertifikat yang masih di BPN, 385 cara-cara penyediaan lahan bagi perkebunan
persil sertifikat yang belum konversi, dan 747 kelapa sawit. Untuk perkebunan (swasta) dengan
persil sertifikat yang masih di BRI karena kredit skala besar, khususnya, (persoalan) penyediaan
belum lunas Unit Pelayanan Pengembangan tanah menjadi semakin pelik karena melibatkan
(UPP) Sekayu, 2012. Persoalan akses terhadap lahan dalam jumlah yang luas yang diperoleh
lahan pada plasma PTPN VII menjadi hambatan melalui beberapa cara. Untuk memperoleh
tersendiri untuk melakukan peremajaan tanaman lahan, beberapa perusahaan perkebunan ke­lapa
karena salah satu syarat untuk mendapatkan sawit membeli dari masyarakat yang secara
pem­biayaan dari bank ataupun dana bantuan tradisional merupakan pemilik lahan. Sebagian
BPDP KS adalah sertifikat lahan. Banyaknya lainnya memperoleh hak penguasaan lahan dari
lahan yang belum dibayar lunas juga menunjuk- masyarakat sesuai dengan kesepakatan pihak-
kan bahwa petani plasma dan KUD sudah lama pihak yang terlibat. Selain itu, ada yang mem-
memiliki persoalan pengelolaan lahan. Berbagai peroleh lahan dengan membangun kemitraan
prestasi yang diterima oleh KUD Tri Jaya bersama masyarakat pemilik lahan. Cara-cara
seolah menunjukkan bahwa penilaian terhadap penyediaan lahan tersebut memengaruhi akses
kinerja KUD selama ini tidak mencerminkan masyarakat terhadap lahan yang digunakan untuk
keadaan yang sesungguhnya. Jika perkebunan perkebunan. Jika perusahaan perkebunan kelapa
plasma PTPN dan koperasi yang mengelolanya sawit memperoleh lahan dengan cara membelinya
berkinerja baik, semestinya semua kredit petani kepada masyarakat, masyarakat akan kehilangan
sudah lunas empat tahun setelah konversi. Sesuai hak atas lahan yang dijual. Dengan cara tersebut,
dengan data, penanaman kelapa sawit plasma mereka tidak lagi memiliki akses terhadap lahan
PTPN VII berakhir pada 1990, sehingga konversi selamanya.
lahan terjadi pada 1994 dan angsuran akan lunas Cara penguasaan lahan dengan pemindahan
pada 1998. Terlambatnya pelunasan kredit petani hak penguasaan (dari masyarakat kepada per­
menunjukkan pengelolaan perkebunan plasma usahaan perkebunan) untuk waktu tertentu sama
PTPN VII sudah tidak memuaskan sejak awal sekali tidak menghilangkan akses masyarakat
penanamannya. terhadap lahan. Di kalangan salah satu suku
Dayak yang tinggal di Provinsi Kalimantan Barat,

Ngadi dan Mita Noveria | Keberlanjutan Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia ... | 105
misalnya, pengalihan hak penguasaan lahan ke- kredit bank dengan bunga subsidi dari pemerintah
pada perusahaan perkebunan kelapa sawit dikenal (“Transmigran di Perbatasan,” 2015).
dengan istilah “simpak beliung” (“Lahan Kelapa
Sawit,” 2013). Dengan cara ini, perusahaan yang PROSPEK PENGEMBANGAN
akan membuka perkebunan kelapa sawit mem- KELAPA SAWIT DI WILAYAH
berikan uang tali asih kepada masyarakat pemilik
PERBATASAN KALIMANTAN
lahan. Uang tali asih sebesar Rp250.000/ha lahan
untuk digunakan selama waktu satu siklus tanam, Dengan tetap harus memperhatikan berbagai per-
yaitu 25–30 tahun. Selama satu siklus tersebut, masalahan yang timbul dalam usaha ­perkebunan
masyarakat tidak memiliki akses untuk meman- kelapa sawit, perkebunan ini tetap memiliki
faatkan lahannya karena sudah dialihkan hak prospek untuk dikembangkan. Perkebunan kelapa
penguasaannya kepada perusahaan perkebunan sawit menciptakan kesejahteraan bagi petani, ter­
kelapa sawit. Namun, setelah satu siklus selesai, utama yang menjadi mitra perusahaan-perusahaan
penguasaan lahan dikembalikan kepada masyara- kelapa sawit, sebagaimana telah dikemukakan
kat yang memilikinya. Cara tersebut ditempuh pada bagian sebelumnya. Selain itu, perkebunan
oleh mereka yang tidak berkeinginan menjadi kelapa sawit berhasil membuka kesempatan kerja
petani kelapa sawit. bagi mereka yang bukan pemilik lahan sehingga
dapat mengurangi angka pengangguran.
Sebaliknya, mereka yang berminat ikut
melakukan aktivitas perkebunan sawit masih Pengembangan perkebunan kelapa sawit
memiliki akses terhadap lahan yang dimiliki. wilayah perbatasan dimungkinkan karena ada­
Caranya adalah memindahkan hak penguasaan nya dukungan dari tenaga kerja yang berasal
lahan kebun kepada perusahaan, tetapi masih bisa dari beberapa daerah di Indonesia, bukan hanya
mengusahakan sebagian lahan. Dengan sistem penduduk daerah setempat. Tenaga kerja terse-
ini, pemilik lahan menjadi mitra perkebunan but didatangkan dari berbagai daerah dengan
kelapa sawit. Pemindahan hak penguasaan lahan ­beberapa cara. Pertama, melalui cara mandiri,
dilakukan dengan perbandingan 80: 20, dalam dalam arti perusahaan mempekerjakan mereka
arti perusahaan menguasai 80% lahan dan ma- yang melamar untuk bekerja di perusahaan.
syarakat sebanyak 20%. Selanjutnya, 20% lahan Kedua, melalui rekrutmen menggunakan skema
yang dikuasai petani dijadikan kebun plasma Akad Kerja Antar-Daerah (AKAD) yang dilaksa­
yang pembuatannya ditanggung perusahaan. na­kan d­engan melibatkan pemerintah pusat
Dengan sistem ini, masyarakat juga memperoleh (melalui Kementerian Tenaga Kerja), perusahaan
uang tali asih sebesar Rp250.000/ha untuk satu perkebunan kelapa sawit, serta pemerintah daerah
siklus perkebunan kelapa sawit. Masyarakat yang pengirim tenaga kerja. Provinsi Nusa Tenggara
terlibat dalam pemilikan lahan plasma harus Barat (NTB), umpamanya, rata-rata memberang-
membayar kredit sebesar Rp70–40 juta selama katkan sekitar 200 tenaga kerja melalui skema
satu siklus perkebunan sawit. AKAD ke berbagai daerah, termasuk mereka
Kelompok masyarakat lain yang juga memi- yang akan dipekerjakan di perusahaan kelapa
liki akses terhadap lahan perkebunan kelapa sawit sawit di daerah Kalimantan Barat dan Kaliman-
adalah peserta transmigrasi dengan pola PIR yang tan Timur (“Pelepasan Tenaga Kerja AKAD,”
ditempatkan di sekitar lokasi perkebunan. Secara 2013). Ketiga, penempatan melalui program
keseluruhan, mereka memperoleh lahan seluas 2 transmigrasi.
ha, dengan pembagian seluas 1,25 ha untuk lahan Data memperlihatkan, secara keseluruhan,
kebun plasma dan 0,75 ha untuk rumah dan peka- tenaga kerja yang ditempatkan di perkebunan
rangan. Data terbaru menunjukkan transmigran di kelapa sawit melalui skema AKAD pada 2015
daerah perbatasan akan memperoleh lahan bagi sebanyak 23.489 orang (“Laporan Penempatan
setiap keluarga seluas 0,25 ha sebagai pekarangan Tenaga,” 2015). Dari jumlah tersebut, hanya
hibah dari pemerintah. Sementara lahan usaha 1.115 orang yang ditempatkan di perkebunan
kebun seluas 3 ha yang bisa diperoleh melalui kelapa sawit di luar Pulau Kalimantan, yaitu di
Kabupaten Nabire (Provinsi Papua) sebanyak

106 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


1.000 orang dan Kabupaten Manokwari (Provinsi Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi
Papua Barat) 115 orang. Sisanya, mereka yang Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan,
dipekerjakan di berbagai perkebunan kelapa sawit dan Maluku (“Laporan Penempatan Tenaga,”
di Pulau Kalimantan (Provinsi Kalimantan Barat, 2015). Khusus di berbagai perkebunan kelapa
Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur, sawit di wilayah perbatasan, tenaga kerja AKAD
yang kemudian dimekarkan menjadi Kaliman- berasal dari sembilan provinsi, sebagaimana
tan Utara). Jika diperhatikan berdasarkan pada terlihat pada Tabel 6.
wilayah geografis perkebunan-perkebunan kelapa Meskipun data pada Tabel 6 tidak menyaji­
sawit yang mempekerjakan tenaga kerja melalui kan distribusi tenaga kerja menurut umur dan
skema AKAD tersebut, sekitar 43% di antaranya jenis kelamin, secara umum mereka berada pada
berlokasi di wilayah perbatasan. Di Kalimantan kisaran umur 18–40 tahun, terdiri atas laki-laki
Barat, misalnya, 2.250 tenaga kerja ditempatkan dan perempuan. Proporsi tenaga kerja laki-laki
di Kabupaten Kapuas Hulu, salah satu kabupaten dan perempuan yang ditempatkan di Provinsi
perbatasan di provinsi ini. Lebih lanjut, di Kali- Kalimantan Utara dan Kalimantan Barat adalah
mantan Utara (Nunukan dan Tarakan), jumlah sama, masing-masing 50%. Namun, di Provinsi
pekerja perkebunan kelapa sawit melalui sistem Kalimantan Timur, proporsi laki-laki lebih ­banyak
penempatan yang sama sebanyak 5.000 orang. daripada perempuan, dengan perbandingan 70:
Sementara itu, tenaga kerja yang direkrut untuk 30. Pengirim tenaga kerja untuk perkebunan
perkebunan kelapa sawit di wilayah perbatasan kelapa sawit melalui skema AKAD dengan tujuan
Provinsi Kalimantan Timur (Kabupaten Kutai tiga provinsi di wilayah perbatasan terbanyak
Barat) berjumlah 3.000 orang pada tahun yang adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur, diikuti
sama. Nusa Tenggara Barat. Hal ini tidak mengheran­
Seperti halnya tenaga kerja mandiri, mereka kan, mengingat dua provinsi tersebut merupa­
yang ditempatkan melalui skema AKAD juga kan pengirim tenaga kerja yang dominan ke
berasal dari berbagai wilayah di Indonesia. Pada perkebunan-perkebunan kelapa sawit di Malaysia
2015, mereka berasal dari 16 provinsi, yaitu yang berlokasi di wilayah perbatasan Indonesia
Sumatra Utara, Riau, Lampung, Jambi, Sumatra dan Malaysia.
Selatan, Banten, Jawa Barat, Daerah Istimewa Penempatan tenaga kerja di perkebunan
Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa ke­lapa sawit di wilayah perbatasan yang di-

Tabel 6. Tenaga Kerja AKAD Perkebunan Kelapa Sawit di Tiga Provinsi Perbatasan Menurut Daerah Asal, 2015
Daerah tujuan (provinsi)
Daerah asal (provinsi) Jumlah
Kalimantan Utara* Kalimantan Barat** Kalimantan Timur***
Banten 500 150 100 750
Jawa Barat 500 150 100 750
DI Yogyakarta 500 375 150 1.025
Jawa Tengah 500 600 300 1.400
Jawa Timur 500 375 200 1.075
Nusa Tenggara Barat 1.000 375 100 1.475
Nusa Tenggara Timur 1.000 - 1.700 2.700
Sulawesi Tengah 250 - 200 450
Sulawesi Selatan 250 225 150 625
Jumlah 5.000 2.250 3.000 10.250
Sumber: Laporan penempatan tenaga (2015)
Catatan: * Kabupaten Nunukan dan Tarakan
** Kabupaten Kapuas Hulu
*** Kabupaten Kutai Barat

Ngadi dan Mita Noveria | Keberlanjutan Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia ... | 107
lakukan melalui skema AKAD sesungguhnya tenaga kerja yang masih menganggur. Selain itu,
merupakan salah satu strategi untuk “menahan” pemerintah daerah kabupaten tersebut berupaya
tenaga kerja Indonesia yang akan bekerja di “membujuk” mereka yang akan bekerja ke Ma-
perkebunan-perkebunan kelapa sawit Malaysia laysia untuk mengisi kesempatan kerja di wilayah
yang sebagian berlokasi di perbatasan kedua perbatasan. Hal tersebut terlihat dalam kutipan
negara. Menurut salah seorang narasumber dari wawancara berikut ini.
Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi di
… Saya sering katakan kalau kerja di kebun
Kabupaten Lombok Tengah, penempatan tenaga
kelapa sawit di (perbatasan) Kalimantan itu
kerja di perkebunan kelapa sawit di perbatasan tidak jelek. Kerja di sana lebih baik daripada
Kalimantan dan Malaysia merupakan salah di Malaysia, kita kerja di negara sendiri, tidak
satu alternatif untuk mengurangi penganggur takut dikejar-kejar polisi. Kalau rindu keluarga
di kabupaten tersebut. Selain itu, skema terse- juga lebih mudah pulang. Sekarang kan gaji harus
but menjadi salah satu upaya menghindarkan sesuai upah minimum. Selain itu, biaya keberang-
katan ditanggung perusahaan, dapat perumahan,
tenaga kerja Indonesia dari tindakan eksploitasi
malah boleh membawa keluarga kalau ada yang
akibat penempatan tenaga kerja ke luar negeri mau begitu. Jadi buat apa lagi ramai-ramai cari
yang tidak sesuai dengan prosedur.3 Tenaga kerja ke Malaysia … (Bapak At, seorang pejabat
kerja AKAD diikat dengan perjanjian kontrak di Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi
selama dua tahun dengan gaji sesuai dengan upah Kabupaten Lombok Utara).
minimum provinsi (UMP). Biaya keberangkatan
… Bulan lalu saya baru mengantar anak-anak kita
mereka ke lokasi pekerjaan ditanggung perusa- yang akan bekerja ke Kalimantan Barat. … Sejak
haan pemberi kerja. Selain itu, pekerja diberi ada yang kerja ke Kalimantan itu, para perekrut
fasilitas perumahan, konsumsi harian, dan uang tenaga kerja ke Malaysia makin gencar mencari
lembur, serta insentif lain yang memungkinkan calon tenaga kerja. Seperti ada persaingan lah, kan
mereka bisa memperoleh penghasilan yang cukup dia juga dapat uang kalau bisa merekrut tenaga
untuk membawa serta keluarga ke lokasi tempat kerja untuk dikirim ke Malaysia. … (Bapak At,
seorang pejabat di Dinas Sosial, Tenaga Kerja,
kerja (“Perusahaan kelapa sawit,” 2017). Dengan dan Transmigrasi Kabupaten Lombok Utara).
demikian, mereka bisa bekerja tanpa hidup ter-
pisah dengan keluarga. Penempatan tenaga kerja di perkebunan ke-
Dampak positif keberadaan perkebunan lapa sawit di wilayah perbatasan yang dilakukan
kelapa sawit di perbatasan Kalimantan-Malaysia dengan proses transmigrasi antara lain ditemukan
terhadap penurunan minat untuk bermigrasi ke di Kabupaten Nunukan, khususnya di Kecamatan
Malaysia mulai dirasakan di Lombok Utara, salah Sei Manggaris. Pada 2002, ketika terjadi deportasi
satu kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Barat. tenaga kerja Indonesia dari Malaysia ke Nunukan
Hal ini terutama terjadi sejak adanya tawaran ke- secara besar-besaran yang melibatkan sekitar
sempatan kerja melalui skema AKAD. Meskipun 130.000 orang, mereka yang tidak berkeinginan
gaji yang diterima tidak sebesar yang diperoleh kembali ke daerah asal diberi pilihan untuk tetap
di Malaysia, keamanan dan kenyamanan tinggal tinggal di Sei Manggaris dengan status sebagai
di negeri sendiri tanpa berbagai ancaman yang transmigran perkebunan inti rakyat (PIR) kelapa
mungkin akan timbul menyebabkan bekerja sawit. Kesempatan tersebut diambil oleh sekitar
di perkebunan kelapa sawit di wilayah perba- 40 persen dari mereka yang dideportasi. Dengan
tasan menjadi alternatif pilihan bagi sebagian status tersebut, mereka memperoleh lahan kebun,
pekarangan, dan rumah dengan ukuran yang sama
3 Penempatan tenaga kerja Indonesia tanpa melalui prose- dengan transmigran PIR sawit di daerah lain.
dur resmi di Malaysia pada umumnya dan perkebunan
Mereka berstatus petani plasma dari PT PEL,
kelapa sawit khususnya merupakan fenomena yang tidak
asing lagi. Tidak jarang ditemukan pekerja di perkebunan yang merupakan investor perkebunan kelapa
kelapa sawit di negara tetangga tersebut adalah mereka sawit di daerah tersebut (Noveria, 2017, 221).
yang tidak tercatat—untuk tidak menggunakan istilah Berkembangnya usaha perkebunan kelapa sawit
ilegal—sehingga sangat rentan terhadap berbagai bentuk
eksploitasi dan pengurangan hak-hak mereka, termasuk di Kecamatan Sei Manggaris telah mengundang
upah (lihat Haba, 2017, 244). tenaga kerja yang lain untuk melakukan kegiatan

108 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


ekonomi yang sama, terutama yang bekerja 20 persen dari luas lahan kebun inti perlu ditinjau
sebagai buruh di kebun sawit. Mereka pada ulang, termasuk perusahaan milik negara.
umumnya sebelumnya bekerja di ladang-ladang Untuk mengatasi persoalan keberlanjutan
sawit milik perseorangan di Malaysia. Selain itu, per­kebunan, seperti produktivitas lahan yang
berdatangan pemilik modal perorangan untuk ren­dah dan kredit macet, banyak perusahaan
mengusahakan kegiatan perkebunan kelapa sawit yang mengusulkan pengembangan perkebunan
dengan membeli lahan pada penduduk setempat. dengan sistem satu management. Secara prinsip,
Hal ini menyediakan kesempatan kerja yang dapat sistem ini mengusulkan agar petani ­menyerahkan
menyerap tenaga kerja, baik penduduk setempat lahannya selama 20–25 tahun untuk dikelola
maupun mereka yang berasal dari daerah lain. perusahaan, dan petani akan menerima bagi hasil
produksi perkebunan. Usulan satu manajemen
SIMPULAN semestinya tidak diterima karena akan menghi­
Pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indo- langkan kewajiban perusahaan membina dan
nesia telah memberikan dampak positif dan nega- mem­besarkan petani. Sistem ini hanya akan
tif bagi masyarakat. Dari aspek ketenagakerjaan, meng­­untungkan perusahaan selaku ­pengelola
pengembangan kelapa sawit telah menciptakan karena petani tidak tahu persis produktivitas
5,3 juta kesempatan kerja pada 2014. Di daerah- ­lahan yang mereka miliki. Para petani juga harus
daerah sentra pengembangan perkebunan kelapa ­menanggung beban utang jika perkebunan yang
sawit, seperti Riau dan Sumatra Selatan, peran mereka serahkan kepada kebun perusahaan inti
perkebunan kelapa sawit dalam menciptakan ke­ memiliki produktivitas rendah.
sempatan kerja semakin besar. Khusus di wilayah Kelembagaan masih menjadi persoalan yang
perbatasan, pengembangan kelapa sawit telah dihadapi oleh sebagian besar kelompok tani di
menciptakan kesempatan kerja bagi tenaga kerja Indonesia dan menjadi hambatan untuk men-
Indonesia yang sebelumnya bekerja di Malaysia. jalankan perkebunan yang berkelanjutan. Banyak
Kelapa sawit di perbatasan telah menurunkan koperasi yang tidak sehat dan menjadi awal dari
minat untuk bermigrasi ke Malaysia. Mereka buruknya praktik pengelolaan perkebunan kelapa
memilih bekerja di perkebunan kelapa sawit sawit yang bermuara pada rendahnya produktivi-
di Indonesia. Pengembangan kelapa sawit di tas lahan dan kemiskinan petani. Oleh sebab itu,
perbatasan juga dapat meningkatkan pertahanan penguatan kelembagaan petani (koperasi) meru-
keamanan negara di wilayah tersebut. pakan langkah awal untuk dapat meningkatkan
Di sisi lain, pengembangan kelapa sawit di pendapatan petani kelapa sawit. Koperasi yang
beberapa kawasan justru berdampak negatif bagi sehat juga dihadapkan pada keterbatasan pengem-
kehidupan masyarakat di Indonesia karena tidak bangan karena mereka hanya terlibat dapat
dilakukan secara berkelanjutan. Berbagai dampak kegiatan produksi tanaman. Lembaga koperasi
sosial-ekonomi yang ditimbulkan oleh praktik semestinya diberi peran yang lebih besar agar
perkebunan kelapa sawit yang tidak berkelanjutan dapat berperan dalam pengembangan kegiatan
adalah rendahnya kesejahteraan tenaga kerja, hingga pengolahan TBS ataupun produk hilir
terjadinya konflik lahan, dan rendahnya akses kelapa sawit. Dengan peran ini, petani dapat me-
terhadap lahan garapan sebagaimana terjadi pada ningkatkan pendapatan mereka melalui kegiatan
petani plasma PTPN VII. Praktik perkebunan off farm sehingga mereka tidak perlu memperluas
yang tidak berkelanjutan juga dapat menimbulkan lahan kelapa sawit. Perluasan perkebunan yang
besarnya beban utang petani. Oleh sebab itu, berlebihan akan berdampak terhadap kerusakan
pengembangan perkebunan di daerah perbatasan ekologi karena ketidakseimbangan ekosistem.
dan daerah lain di Indonesia harus dilakukan
secara berkelanjutan. Penegakan hukum perlu PUSTAKA ACUAN
dilakukan untuk mendukung perkebunan kelapa BPS Kabupaten Musi Banyuasin. (2016). Statistik
sawit berkelanjutan. Perusahaan yang sudah tidak daerah Kecamatan Tungkal Jaya tahun 2016.
memenuhi kewajiban membina petani minimal Musi Banyuasin: BPS Kab. Musi Banyuasin.

Ngadi dan Mita Noveria | Keberlanjutan Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia ... | 109
Colchester, M., Jiwan, N., Andiko, Sirait, M., Firdaus, Sanggau dan Kabupaten Sambas. Dilaporkan
A.Y., Surambo, A., & Pane, H. (2006). kepada Save the Children (EXCEED Project),
Tanah yang dijanjikan. Minyak sawit dan Yogyakarta.
pembebasan tanah di Indonesia: Implikasi Sinaga, H. (2013). Employment and income of workers
terhadap masyarakat lokal dan masyarakat on Indonesian oil palm plantations: Food crisis
adat. Jakarta: Forest Peoples Programme, at the micro level. Future of Food: Journal
Perkumpulan Sawit Watch, HuMa, dan the on Food, Agriculture and Society, 1(2), 64–78.
World Agriforestry Centre.
Smith, C. S., & Mc Donald, G. T. (1998). Assessing
Direktorat Jenderal Perkebunan. (2014). Statistik the sustainability of agriculture at the planning
perkebunan Indonesia 2013–2015 kelapa sawit stage. Journal of Environmental Management,
(Tree Crop Estate Statistics of Indonesia 2014- 52, 15–37.
2016 Palm Oil). Jakarta: Direktorat Jenderal
Tjiptoherijanto, P. (Ed.). (2004). Dinamika dan pros-
Perkebunan.
pek penyerapan tenaga kerja di perkebunan
Direktorat Jenderal Perkebunan. (2015). Statistik kelapa sawit, Kabupaten Siak, Provinsi Riau.
perkebunan Indonesia 2014–2016 kelapa Jakarta: LIPI Press.
sawit (Tree crop estate statistics of Indonesia
UPP Sekayu. (2012). Laporan sosialisasi perema-
2014–2016 palm oil). Jakarta: Direktorat
jaan tanaman PIR IV talang sawit program
Jenderal Perkebunan.
revitalisasi perkebunan. Unit Pelayanan
Douglass, G. K. (1984). The meanings of agricultural Pengembangan-Sekayu Dinas Perkebunan
sustainability. Dalam G. K. Douglass (Ed.), Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatra Selatan.
Agricultural sustainability in a changing world
United Nations. (2007). Indicators of Sustainable
order, 3–30. Boulder, Colorado: Westview
Development: Guidelines and Methodologies
Press.
Third Edition. New York.
Food and Agriculture Organization of the United
Widodo, Y. B., Soewartoyo, Daliyo, Ngadi, &
Nations (FAO). (1993). FESLM: An interna-
Hargiono, S. (2005). Perkembangan kelapa
tional framework for evaluating sustainable
sawit dan penyerapan tenaga kerja: Dinamika
land management. Roma: FAO.
kesejahteraan petani di Kabupaten Langkat,
Haba, J. (2017). Isu kedaulatan, nasionalisme, dan Sumatra Utara. Jakarta: LIPI Press.
relasi sosial warga perbatasan. Dalam Mita
Wigena, I. G. P., Siregar, H., Sudrajat, & Sitorus, S. R.
Noveria (Ed.), Kedaulatan Indonesia di
P. (2009). Design of sustainability management
Wilayah Perbatasan: Perspektif Multidimensi.
model of nucleus smallholders oil palm based
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
on dynamic system approach (A case study of
Ngadi. (2015). Kesejahteraan petani sawit di tengah PTP nusantara V nucleus smallholder oil palm
persaingan pasar global di Kabupaten Musi at Sei Pagar, Kampar Regency, Riau Province.
Banyuasin. Jurnal Transmigrasi. Departemen Jurnal Agro Ekonomi, 27(1), 81–108.
Transmigrasi, 32(2), 123–133.
Yunlong, C., & Smith, B. (1994). Sustainability in
Noveria, M. (2017). Kedaulatan dan kesejahteraan agriculture: A general review. Agriculture,
masyarakat perbatasan: Potret pendidikan, Ecosystems and Environment, 49, 299–307.
kesehatan, dan kesempatan kerja. Dalam
Zhen, L., & Routray, J. K. (2003) Operational indica-
Mita Noveria (Ed.), Kedaulatan Indonesia di
tors for measuring agricultural sustainability in
wilayah perbatasan: Perspektif multidimensi.
developing countries. Environmental Manage-
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
ment, 32(1), 34–46.
Pemprov Sumsel. (2016). Keputusan Gubernur
Sumatra Selatan, Nomor: 838/KPTS/Disnaker-
trans/2015, tentang Upah minimum Provinsi Media online
Sumatra Selatan Tahun 2016. BPS. (2014). Rata-rata Pendapatan Rumah Tangga
Rahayu, S., Nagib, L., Sumono, & Asiati, D. (2004). Pertanian menurut Wilayah dan Sumber Pen­
Perkembangan perkebunan kelapa sawit dan dapatan/Penerimaan Selama Setahun yang Lalu
penyerapan tenaga kerja di Kabupaten Pasir, (000 Rp). Diakses pada 9 Februari 2017 dari
Kalimantan Timur. Jakarta: LIPI Press. https://st2013.bps.go.id/dev2/index.php/site/
tabel?tid=72&wid=0.
Shalahuddin, O., Muchtar, F., & Muria, F. (2011).
Laporan mengenai studi anak di perkebunan BPS Kabupaten Musi Banyuasin. (2015). Garis
kelapa sawit di Dua Kabupaten (Kabupaten kemiskinan, jumlah dan persentase penduduk
miskin di Kabupaten Musi Banyuasin Tahun
2004–2014. Diakses 21 April 2017 dari https://

110 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


musibanyuasinkab.bps.go.id/LinkTabelStatis/ dari http://www.batasnegeri.com/lahan-kelapa-
view/id/12. sawit-di-kalbar-dikuasai-investor-malaysia./.
Fauzi, Y. (2016). BPS: Jumlah pengangguran di Laporan penempatan tenaga kerja AKAD 2015.
Indonesia menciut 530 ribu orang. CNN (2015). Kelapa Sawit, 1 Maret 2015. Diakses
Indonesia. Diakses pada 20 Januari 2017 pada 14 Januari 2017 dari binapenta.kemena-
dari http://www.cnnindonesia.com/ekono- ker.go.id.
mi/20161107152144-92-170923/bps-jumlah- Pelepasan tenaga kerja AKAD. (2011). Diakses
pengangguran-di-indonesia-menciut-530-ribu- pada 14 Januari 2017 dari http://nakerloteng.
orang/. blogspot.co.id/2013/05/pelepasan-tenaga-
Gapki dukung pemerintah kembangkan sawit kerja-akad.html.
di perbatasan. (2015). Diakses pada 14 Penghasilan petani sawit saingi gaji asisten
Januari 2017 dari http://industri.bisnis.com/ manajer. (2015). Diakses pada 14
read/20150408/99/420746/gapki-dukung- Januari 2017 dari https://m.tempo.co/read/
pemerintah-kembangkan-sawit-di-perbatasan. news/2015/06/08/092672963/penghasilan-
Perusahaan kelapa sawit Kalimantan Barat sasar tenaga petani-sawit-saingi-gaji-asisten-manajer.
kerja asal Lombok Utara. (2017). Diakses pada Program sejuta hektare kaltim terwujud. (2013).
14 Januari 2017 dari http://ntbterkini.com/ Diakses pada 14 Januari 2017 dari http://www.
perusahaan-kelapa-sawit-kalimantan-barat- kaltimprov.go.id/web/berita/program-sejuta-
sasar-tenaga-kerja-asal-lombok-utara/. hektare-sawit-kaltim-terwujud.
Kaltim lanjutkan program sawit sejuta hektare tahap Prospek dan permasalahan industri sawit. (2016).
kedua. (2016). Diakses pada 14 Januari Diakses pada 14 Januari 2017 dari http://
2017 dari http://www.kaltimprov.go.id/web/ kemenperin.go.id/artikel/494/Prospek-Dan-
berita/kaltim-lanjutkan-program-sawit-sejuta- Permasalahan-Industri-Sawit.
hektare-tahap-kedua-.
Prospek pengembangan kelapa sawit di perbatasan.
Kebijakan kebun sawit di Kalimantan disalahartikan. (2015). Diakses pada 14 Januari 2017 dari http://
tt. Diakses pada 14 Januari 2017 dari http:// gapki-kalbar.or.id/blog.php?page=isi&id=110.
kpbptpn.co.id/news-899-0-kebijakan-kebun-
Sejarah perkembangan kelapa sawit di Indonesia.
sawit-di-kalimantan-disalahartikan.html.
(t.t.). Diakses pada 14 Januari 2017 dari kelapa-
Kelapa sawit adalah sumber kehidupan masyarakat sawit-di-indonesia-2.
Sei Menggaris. (2016). Diakses pada 14 Januari
Supriadi, W. (t.t.). Perkebunan kelapa sawit dan
2017 dari http://srinanti.desa.id/2016/03/01/
kesejahteraan masyarakat di Kabupaten
kelapa-sawit-adalah-sumber-kehidupan-
Sambas. Diakses pada 4 Maret 2017 dari
masyarakat-sei-menggaris/.
http://download.portalgaruda.org/article.
Lahan kelapa sawit di Kalbar dikuasai investor php?article=112718&val=2319.
Malaysia. (2013). Diakses pada 28 Maret 2017
Transmigran di perbatasan akan garap kebun sawit
pola inti-plasma. (2015). Diakses pada 15
Maret 2017 dari http://www.borneonews.co.id/
berita/16604-transmigran-di-perbatasan-akan-
garap-kebun-sawit-pola-inti-plasma.

Ngadi dan Mita Noveria | Keberlanjutan Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia ... | 111
112 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 
BRIDGING PEOPLE, SEIZING THE FUTURE:
INDONESIAN MIGRANT ENTREPRENEURS IN TAIWAN
AND RETURN MIGRANT ENTREPRENEURSHIP IN
MALANG, EAST JAVA
Summary of Disertation, Anthropology Departement, Tokyo Metropolitan University, Tokyo.
Japan, 223 p.

Paulus Rudolf Yuniarto


Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Email: rudolfyuniarto@gmail.com

ABSTRAK
Tesis ini mengkaji kegiatan ekonomi migran Indonesia di Taiwan dan mantan tenaga kerja asal Taiwan
di Malang serta melihat sejauh mana fungsi sosial kegiatan ekonomi yang menyertainya. Hasil penelitian
memperlihatkan kegiatan wirausaha pengusaha migran Indonesia di Taiwan memiliki sifat yang sosialis dalam
praktik bisnis mereka. Mereka melakukan aksi kegiatan sosial-keagamaan yang terkait dengan komunitas pekerja
migran. Kerja sama/hubungan antara pengusaha dan pekerja migran ini menciptakan rasa solidaritas kelompok
dan membangun rasa kebersamaan di antara mereka. Ada tiga faktor penting pembentuk kondisi ini: posisi
marginal sebagai migran, nilai agama, dan rasa keprihatinan sosial. Sementara itu, studi kasus kewirausahaan
mantan tenaga kerja Indonesia di Malang memperlihatkan bahwa pengalaman migrasi mendorong mobilitas sosial-
ekonomi dan mengembangkan kegiatan sosial-ekonomi ketika kembali pulang. Pengalaman migrasi dan kegiatan
usaha menjadi sumber penting mata pencaharian yang berkelanjutan, sebagai rantai produksi usaha (kegiatan
ekonomi), transformasi diri, sekaligus sebagai bagian proses reintegrasi ekonomi setelah kembali pulang. Semua
ini menciptakan kehidupan baru bagi mantan tenaga kerja luar negeri setelah sekian lama bekerja di luar negeri.
Secara praktis dan teoretis, cara bagaimana migran dan mantan pekerja migran menjalankan kegiatan ekonomi
dan penyesuaian diri di negara tujuan dan di kampung halaman menunjukkan kemampuan memperbaiki kondisi
sosial-ekonomi, menaikkan status di masyarakat, dan sebagai alat untuk mencegah keterisolasian akibat posisi
marginal, baik secara ekonomi maupun sosial.

Kata kunci: entrepreneurship (kewirausahaan), aktivitas sosial, reintegrasi

ABSTRACT
This thesis explores and examines the role and socio-economic functions of Indonesian entrepreneurs in Taiwan
and return migrant entrepreneurs from Taiwan in Malang, East Java, and the implications of their entrepreneurial
activities on the community. In the case of Taiwan, Indonesian migrant entrepreneurs’ active in social activities; they
are linked strongly to the petty conditions of co-migrants. In various cases, entrepreneurs play the role of friends in
need, acting as third-party resources, to co-migrants, who turn to the former for help and self-actualization. Their
activities contribute to bridging the relations between the larger community and Indonesian migrants living as a
minority and as marginal foreign newcomers in Taiwan. Meanwhile, the case study of Indonesian return migrant
entrepreneurship at the home village of Malang found that migration and returning home experiences increase
socio-economic mobility and develop socio-economic activities at home villages. The migrants’ experiences and
enterprise activities have emerged as a critical source of sustainable livelihoods, migration knowledge of production
application, self-transformation, and the economic reintegration process for return migrants in their home villages,
all of which can create a new life for returnees after migration. Practically and theoretically speaking, the manner
in which migrant and return migrant entrepreneurs perform economic adaptation or social adjustment, both at their
destinations and in their home countries, indicates that the socio-economic function, comprising valuable ties that
cut across classes, can prevent the social and economic isolation of disadvantaged entrepreneurs, co-migrants,
and return migrants in the community.

Keyword: entrepreneurship, social activism, reintegration

113 
BACKGROUND AND SCOPE OF apply in the Indonesian migrant entrepreneur
STUDY in Taiwan and return migrant entrepreneurship
In the development of entrepreneurial activities— activities in home country village (Malang, East
particularly in the migrant and return-migrant Java). First, I consider the societal functions of
business operations that occur in places (coun- entrepreneurship, such as creating stability and
tries) characterized by problematic co-market or change, and the societal role of the entrepreneur,
living conditions—the business pattern tend to such as being a leader or a broker/middleman.
operate in two dimensions: social and economic. The second idea concerns the entrepreneurial
Anthropologist Fredrik Barth (1963, 3) regards mechanism, that is, entrepreneurship as a strategy
entrepreneurship, both socially and practically, as for making an economic profit and a living. How-
being closely associated with general leadership ever, the scope of this study is not to examine
entrepreneurship as a process of developing
and the social structures of communities. He
social stability and acting as a change agent in
portrays entrepreneurship practices as frequently
a society’s formation. Instead, I wish to explore
involving the relationships of persons and institu-
the roles of entrepreneurs and entrepreneurship in
tions in one society with those in another, more
migrant and return-migrant group, as individuals
economically advanced, society, in which the
who set up a business or businesses, and who
entrepreneur essentially becomes a broker in
manage entrepreneurship while performing their
the context of culture contacts. In the activities
social roles/functions. Doing so involves seeing
of the entrepreneur and entrepreneurship, we
a migrant and a return-migrant entrepreneur as
may recognize processes that are fundamental
someone who carries out a task with a certain
to questions of social stability and change—or
degree of autonomy in a specific market; some-
that create change in normative orders, such as
one who organizes, manages, and assumes the
those noted by Alex Stewart (1991, 73)—that are
risks of a business; someone who is transformed
one of concern to anyone wishing to pursue a
from worker to business person, someone who
dynamic study of society. From this perspective,
builds an economic institution through his/her
the profit-seeking aspect has been generalised in
social activities; and whose enterprise activities
a model of social organisation based on transac- are connected to the local society and social situ-
tional relations, while the entrepreneurial aspect ation in a number of ways.
has been promoted to the status of explaining
social behaviour (or change). Behaviour and Therefore, based on the description above,
change can be perceived as a social function of this study specifically addresses two fundamental
entrepreneurship/entrepreneurs. questions regarding Indonesian migrant entrepre-
neurship in Taiwan:
On the economic side, Peter Drucker (1985,
28) suggests in a study on innovation and entre- 1) How do Indonesian entrepreneurs in Taiwan
preneurship that entrepreneurs are not necessarily adapt to structural opportunities, and practice
agents of change themselves, but rather that they cultural-structural strategies in response to
are canny and committed exploiters of change migrant market conditions?
(and opportunity). According to Drucker, ‘the en- 2) How does the interaction between Indonesian
trepreneur always searches for change, responds co-migrants and entrepreneurs and migrant
to it, and exploits it as an opportunity’, a premise worker conditions shape the roles and social
observed up by academicians who study migrant functions that Indonesian entrepreneurs play
entrepreneurship and identify structure and in Taiwan? How does their social-cultural
cultural opportunities—and focus on individual entrepreneurial activity affect migrant
(entrepreneur) intentionality, agency, and wilful (worker) society conditions?
goal-seeking and strategic behaviour—as study In the other part, as observed cases of
concerns. return-migrant entrepreneurship in Indone-
In this study, I discussed on some ideas from sia. In my research location, two villages
these practical concepts of entrepreneurship, to in Malang Regency, an East Java province,

114 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


recently, migrant economic empowerment FRAMEWORK AND RESEARCH
(entrepreneurship) has been encouraged. I METHOD
found that return-migrant entrepreneurship This study on Indonesian migrant entrepreneur-
influences the villages’ economic and social ship in Taiwan and return-migrant entrepreneur-
activities. It can lead to job opportunities and ship in Indonesia deals with the relationships
empower the migrant household economy, between entrepreneurs’ social environment, their
as well as establish former migrant coopera- socioeconomic adjustments, the circumstances
tives that financially support return migrants of individual entrepreneurship, and the role/
while they develop their businesses. To some social functions of entrepreneur(ship). On the
extent, return-migrant entrepreneurs become one hand, they are products of socio-economic
role models for co-migrant candidates, as opportunity; on the other hand, they have the po-
former successful migrant businesspersons. tential to make a significant impact on individual
By focusing on Indonesian return- economic improvements, social status elevation,
migrant entrepreneurship activities in their and social embeddedness through their economic
home villages, this study will answer the behaviours. The simple graphic below depicts the
third question. framework underpinning the reasoning process
3) How do return migrants adjust to village for this thesis, which combines entrepreneurship
conditions and apply the knowledge and activities in Taiwan (host) with those in Indo-
experience they acquired as migrants to nesia (home). In this framework, the elements
entrepreneurial activities in their home of migrant and return-migrant entrepreneurship
villages? What structural and individual are interconnected. I define their interconnection
conditions affect entrepreneurship? How as being the social organisations that comprise
does the entrepreneur and entrepreneurial Indonesian migrant and return-migrant entre-
activity affect a community and their eco- preneurships. This approach examines how the
nomic reintegration at home?

Socio-economic adjustment and embeddedness


(stability/change) of Indonesian migrant in Taiwan

Social organizations of migrant and


return-migrant entrepreneurship

Socio-economic (structure) Entrepreneur condition:


condition: 1. Background
The role/status of
1. Structure opportunity 2. Experience
entrepreneurs and
2. Livelihood strategies 3. Social network
entrepreneurship
3. Culture of migration 4. Self-awareness
patterns
4. Host and home conditions, 5. Knowledge, etc.
etc.

Socio-economic adjustment and reintegration


(change) of return migrants in Indonesia

Figure 1. Framework of the Reasoning Process

Paulus Rudolf Yuniarto | Bridging People, Seizing The Future ... | 115
socio-economic conditions of entrepreneurship As method, this study involved several
(e.g. structural opportunities, livelihood strate- stages. In the first stage, the appropriate research
gies, and migrant conditions), the role of entre- method and concept was identified. Furthermore,
preneurs (e.g. patrons, brokers, and social activ- it was determined that the study would use a
ists), and the entrepreneurs’ conditions (e.g. social keyword driven framework comprising social
networks, knowledge, and experiences) interact relations, culture, structure, self-adjustment,
within entrepreneurs’ living conditions in Taiwan knowledge production, and socio-economic
or in the Indonesian villages. By examining the reintegration as the most general substantive idea.
relational activities of entrepreneurship and the Data were gathered by conducting a literature
extension of migrant entrepreneurs’ roles, one can review on migrant entrepreneurship, the social
hope to gain a better understanding of the social and cultural backgrounds of Indonesian migrant
aspects and functions of migrant entrepreneurs/ workers, and other data from various documents
entrepreneurship in societies. related to the study topic. In the second stage,
The matrix above describes the general inter- which was related to the research technique, the
relation of the elements of entrepreneurship. In the observation method was used because the domain
study in Taiwan, the social role of the entrepreneur of this research was the socio-individual situation
is created by the elements of entrepreneurship, in the entrepreneur’s migration life and entrepre-
such as structural conditions and personal experi- neurship process. In order to understand the types
ence. Entrepreneurs’ conditions (both individual of social networking prevalent in the entrepreneur
and social beings), e.g. their experiences as poor community and changes in the migrants’ socio-
foreign immigrants and close relationship with economic life, the researcher stayed at the loca-
their counterparts, e.g. Taiwanese/Indonesian tion to observe, get involved in, and participate in
friends, family, spouses, and community, shape the day-to-day life of migrants. Another method
their entrepreneurial behaviour. In a simple way, used in field research is to interview a person
the nature and function of entrepreneurship, the regarding his or her life stories. The personal
profile of entrepreneurs, and basic market social experiences of migrants collected from migra-
conditions can create socio-economic adjustment tion interviews were applied to records about
Indonesian migrant-entrepreneurs in Taiwan. This events, decisions, and processes. In addition, an
framework will be used to elaborate on the vari- interview was conducted on other informants,
ous social elements, such as motivation, social such as migrant leaders, academic experts, civil
networking, and a model of Indonesian migrant society groups, and office staff. Most of the data
in the context social interactions in Taiwan. on which this study is based were collected from
Meanwhile, in the case of return-migrant June to December 2014 in Taiwan and August to
entrepreneurship in Indonesia, the most important September 2015 in Malang, East Java.
problems in developing entrepreneurial activities
are village economic adjustment and constraints in FINDINGS AND DISCUSSIONS
developing a business, which become constraints
for sustaining a livelihood (structural condition)
upon the migrant’s return to the village. Other- a. Indonesian entrepreneurs and
wise, acquiring knowledge and forming a strategy entrepreneurship in Taiwan
are the ways for return-migrant entrepreneurs to
The first part of thesis discuss the Indonesian
cope with home difficulties and entrepreneurship
entrepreneur in Taiwan. This part focuses on two
(individual condition). If a return migrant is to
analyses: first, the development of Indonesian
establish an entrepreneurship in the home village,
migrant entrepreneurship, profiles and strategies
the relationship between the structural and indi-
vidual conditions can develops socio-economic of entrepreneurs, and pattern of entrepreneurship
adjustment and economic reintegration. networks and, second, the behavioural aspect
(social role) of migrant entrepreneurs in their
relations with their Indonesian migrant worker
counterparts.

116 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


Practice and pattern captivity, and an unconditional living space. Re-
The trend of entrepreneurship as a popular ligious activities are related to the support shown
career choice among Indonesian migrants has by entrepreneurs to ritual activities, including
been spreading through the cities of Taiwan, Muslim organizations or associations, both in-
especially since 2010. Most of the Indonesian side and outside the business location. Usually,
migrant businesses in Taiwan are small and a group activity is associated with the relation-
medium-sized enterprises. They are based on ship between firms and the migrant community
co-ethnic networks and dominating sectors, such in terms of sociocultural activities. In a group
as the beginning of immigrant business activities activity, support is shown in the form of money,
in the food sector and the facilitation of the basic donations, facilities, food, goods or supplies, and
needs of immigrants. As summarized in Indone- connections to migrants in need. Finally, national
sian entrepreneurial practices, business patterns activities involve a migrant workers’ event or an
based on the growth of consumer acceptance of Indonesian national holiday, held by Taiwanese
a local product and effective demand for foreign or Indonesian governments in cooperation with
products (home romanticism) and their economic skilled and established entrepreneurs who work
activities apply migrant cultural norms; this is the as event organizers to disseminate information
initial step to migrant self-employment (entrepre- and promote wide support.
neurship). The following factors, among others,
must be emphasized in the migrant environment In order to increase their business products
and opportunity conditions: 1) the increasing and partners, entrepreneurs develop social
number of Indonesian migrant workers in Taiwan, networks. Indonesian migrant entrepreneurs are
2) entrepreneurs’ assets (networking, business no exception. They have their own methods of
skills, education, language, and marriage status), obtaining information, capital, and employees.
3) the living and working conditions of Indone- This study indicated that such networks can
sian migrant workers in Taiwan, 4) the growth of be relatively personal, comprising one’s fam-
Indonesian migrant associations and promotion ily, relatives (people from the same hometown/
of religious events and activities, 5) the ease of ethnic group), and colleagues or classmates, or
finding jobs in trading/service companies, and extensive, including other networks of people
6) the ease of establishing foreign businesses in with whom the entrepreneur interacts directly or
Taiwan. Indonesians entering entrepreneurship indirectly, such as Taiwanese spouses, friends,
and targeting individual motivation consider partners, company distributors, and migrant group
entrepreneurship activity as a means of escaping associations. In some cases, we should consider
from the challenges posed by the labour market. the relationship between Indonesian entrepre-
Indonesian migrant entrepreneurs utilize the op- neurs and the host community in Taiwan, as well,
portunity to make profits, and it seems possible since the socio-economic success of the former is
that entrepreneurship can fulfil their expectations. the result of their interactions with the Taiwanese
Rather than being employees under local super- people. In practice, the levels of such networks
vision, they prefer to enter the entrepreneurship often overlap. For instance, social and business
world to obtain better opportunities and earn networking, based on vertical business partners
higher incomes. or company-to-company relationships, involves
Indonesian migrants turn to entrepreneurship horizontal connections with Taiwanese partners,
because of their individual motivation and the op- friends, or spouses, as well, which provide finan-
portunity structure; furthermore, entrepreneurship cial resources, networks, and information that are
is followed by sociocultural adjustments to the valuable to the development of entrepreneurial
business strategy. This practice can be categorized businesses. The above aspects are representative
into four types of activities: social, religious, of an Indonesian migrant entrepreneur’s strategy
group, and national activities. Social activity is network. An Indonesian entrepreneur is an actor
related to migrant workplace conditions, such as who maintains a particular type of relationship
the absence of work-related holidays, migrant with the intent of benefitting from it.

Paulus Rudolf Yuniarto | Bridging People, Seizing The Future ... | 117
The role and functions of entrepreneurs between immigrants and the larger society, and
As entrepreneurs have social mobility irrespec- the middlemen in the minority group.
tive of the conditions of migrants and can connect By performing these roles, Indonesian en-
directly with Indonesian migrant workers living trepreneurs and social entrepreneurial activities
in Taiwan, they have the opportunity to under- become one of the important actors aiming the
stand better the dynamics of the social lives of the improvement of migrant conditions and promot-
Indonesian migrants. These entrepreneurs engage ing social adjustment processes in the Taiwanese
socially in business relationships with their fellow migration situation. Therefore, the practice and
immigrants; however, this is not the full extent of pattern of entrepreneurship followed by the In-
their interactions. They play the role of friends, donesians has developed a conceptual practice of
acting as third-party resources to co-migrants and migrant entrepreneurship in Taiwan; they have
as patrons and brokers to those in need, as well. become the faces of social entrepreneurs, who
On the other hand, some Indonesian entrepre- function as patrons and brokers, disseminators
neurs introduce religion and altruism into their of information, primary donors, and contributors
entrepreneurship practices, thereby connecting and finally become leaders and middlemen within
with the migrant life conditions that determine their migrant societies. In addition, entrepreneurs
entrepreneurial behaviour. Typically, social provide social services and perform social trans-
activism, patronage, brokerage, and religious actions for co-ethnic migrants, such as spaces
and altruistic entrepreneurships are the activities for religious worship, education, entertainment,
performed by entrepreneurs to improve the social administrative help, and dedicated spaces for
conditions of Indonesian workers who continue counselling and other facilities.
to face difficult situations as part of working
In summary, the Indonesian entrepreneurs
and living in Taiwan. Indonesian entrepreneurs
and entrepreneurship conditions in Taiwan serve
combine these activities, which then become the
as the bases for the analyses performed to support
foundation of an emergent bond of solidarity that
this study’s framework that entrepreneurs have
promotes humanistic values throughout the Indo-
both social and functional roles. On the one hand,
nesian migrant community. This in-group feeling
they are economic agents having the knowledge
(‘we’-ness) has the potential for exploring how
and experience required to identify opportunities
migrant networks and, in this case, Indonesian
(structural elements) and risk-taking situations
migrant communities and entrepreneurs’ social
(individual elements) in the pursuit of profit; on
relationships come into existence.
the other, they are social agents who significantly
As described above, the roles and social affect the community in which they are active.
activities of entrepreneurs demonstrate their
function (pattern) of connecting people; the
Bridging the migrant community
entrepreneurs perform the crucial task of being
a ‘cultural broker’ or an ‘invisible agent’ who Indonesian migrant entrepreneurship is a by-
bridges the gap between the discrimination and product of the interplay of opportunity structures
marginalization of ‘inferior’ Indonesian migrants (structural entrepreneurship), social solidarity
and the outside world in order to accommodate (cultural entrepreneurship), and sociocultural
and promote the migrant public.1 This study inclination (strategies for adapting to the business
finding reveals that Indonesian entrepreneurs in and social environment). As a result, the interplay
Taiwan function as an economic presence that of each entrepreneurship element discussed above
connects people, someone who bridges the gap shows us how immigrant businesses, their social
activities, and their relations (optionally) lead the
Indonesian marginal migrant worker to adapt to
1 Since entrepreneurs perform this function, some studies
refer to them using some specific terms, for instance, and assimilate into the host society—making
middlemen minorities in the ethnic migrant community migrant stability situation in simple manner—
(Bonacich, 1973), skilled cultural navigators in the urban characterized by a group’s social cohesion or
migrant society (Ballard, 1994), or enclave entrepreneurs
in the migrant-bounded society (Zhou, 2004).
solidarity (kesetiakawanan sosial) practices. The

118 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


Indonesian migrant entrepreneurship in Taiwan Social embeddedness involvement enables
has been shown to be an efficient means of socio- Indonesian entrepreneurs to determine the needs
economic integration of the migrants themselves of the migrant community in the migrant niche
and an effective response to their marginalisation and serve those needs. Indonesian migrant en-
as foreign workers. According to Barth’s (1963) trepreneurship and social embeddedness have a
conception of the entrepreneur/entrepreneurship strong relationship with the four social conditions
social function and social stability, here Indo- that are common to co-migrant minorities, that is,
nesian migrant entrepreneurs act as a bridge to nostalgic feelings about home, identity, marginal-
stabilize the living conditions of co-migrants in ity, and solidarity. The practice of migrant entre-
the migration industry of Taiwan. preneurship and social embeddedness increases
The group adaptation and integration of the pattern level of entrepreneurial practices, such
Indonesian migrant workers in Taiwan can be as individual or social activities. Entrepreneurial
realized through the facilitation efforts of entre- social activities and social embeddedness mediate
preneurs who provide social activities that are variables in the relationship between both the
related to both the contexts of migrants’ needs structural and relational conditions of migrants
(need for local products, socialization, and life within the broader Taiwanese society and the
expression, i.e. the bridge function) and migrants’ Indonesian community itself. Entrepreneurs can
problems (workplace difficulties, marginalization, achieve this through social activities and by act-
societal non-acceptance, and discrimination, i.e. ing as patrons or brokers, as well as religious and
the condition in a migration capitalist model). altruistic leaders, in their entrepreneurial efforts.
As shown by the practice of Indonesian migrant
entrepreneurship in Taiwan, Indonesian workers b. Indonesian return migrant
often face difficulties and even discrimination in entrepreneurship
their everyday lives. In this sense, social activities
and networks facilitated by entrepreneurs promote The second part of this thesis discusses the
the adaptation and integration of migrant workers return migrant (from Taiwan) entrepreneur-
and entrepreneurs. For those migrants (workers ship in home villages. In order to alleviate
and entrepreneurs) arriving at a country for the the economic problems that arise following
specific purposes of working and leading sustain- their return, return migrant workers maximize
able lives, these social entrepreneurial activities revenues, save money, and use their money and
play a role in the migrant adaptation process. social remittances for entrepreneurship associated
This condition is a stepping stone for the social with self-transformation and changes in their
adaptation, and to some extent, for integration of home villages. This part explains, Indonesian
Indonesian migrants into the Taiwanese society, return migrants undergo ‘rebirth’ by acquiring
at the group/individual level. new knowledge and following new occupations,
utilizing their economic experiences and mobility,
Furthermore, the functions of entrepreneur- and reintegrating themselves into the society both
ship and relations of entrepreneurs shape the socially and economically.
social embeddedness of entrepreneurs within
the Indonesian migrant communities in Taiwan.2
From entrepreneurship to reintegration
2 Granovetter (1995) distinguishes two types of social Return migrants utilize entrepreneurship to ensure
embeddedness: relational and structural. While relational
embeddedness refers to economic actors and involves sustainable livelihoods by activating the social
their personal relations with each other, structural em- remittance that they have gained through migra-
beddedness is related to the broader network to which tion. In my opinion, they prefer entrepreneurship
these actors belong and seems to be more direct than the
former in terms of personal relations. In the context of
to wage employment since their limited qualifica-
migrant entrepreneurship, entrepreneurs (as economic tions prevent them from obtaining a proper job
actors) are embedded not only in a (relatively) concrete in their hometown or village. A lack of skills,
network of social and economic relations with custom- limited networks, and poor education force them
ers and the business society but also in the community
through their interactions. to find alternative methods of survival at home.

Paulus Rudolf Yuniarto | Bridging People, Seizing The Future ... | 119
This study identified the structural and individual activity can be organized through the help and
attributes that affected the entrepreneurship of support of third parties, such as local govern-
return migrants and strategic adjustments they ments, university academia, and migrant NGOs,
made to sustain themselves in their home vil- in both Taiwan and Indonesia. Such stakeholders
lages, which are self-awareness, the production impart the skill to manage the remittances of
and dissemination of knowledge, and economic migrant workers so that the workers can reach
adjustment in villages (kampung’s). Through their desired goals according to their knowledge,
various combinations of these attributes, return whether they are farmers, traders, printing office
migrants were able to adjust and build entrepre- owners, or service entrepreneurs.
neurial relationships suited to local conditions, The study includes return migrant entre-
enabling them to settle, develop adjacent lands, preneurs who have learnt something from their
and farm in their home villages. experiences in Taiwan and saved sufficient money
A high level of self-awareness is known to for opening a new business at home. However,
contribute to household, economic, and career such a package of achieved resources does not
success, and this is a significant contributor to seem sufficiently organized to be termed as an
the success of the return migrant society. Initially, entrepreneurial profession; in fact, it appears to
home entrepreneurship schemes suffer from a be an unorganized assemblage of some useful
low level of self-awareness since the migrant resources. Some successful return migrants who
workers are working abroad. In the beginning of return to their home countries develop social con-
migration, the individual and his or her family nections and create return migrant cooperatives.
are dependent on the migration income. For long Those who successfully build cooperatives can
periods, this income is used to support and fulfill share their gained (transferred) knowledge with
individual or family needs, rather than being used their communities and invest in the education
as start-up capital to create a business at home. In of their villages of origin, as well as stimulating
the opinion of a migrant, business risks and the other former migrants to boost their economic
fear of failure are the reasons why migrant work- productivity.
ers do not choose entrepreneurship to escape the
In order to engage in entrepreneurial activi-
economic difficulties. However, after some period
ties, return migrants need to consider the kam-
of migration, those who possess self-awareness
pung conditions connected with their personal
and confidence start considering the profits they
and work lives. In order for return migrants to
can make and manner in which they can improve
be accepted economically, they must readjust
their lives by becoming entrepreneurs, and they
themselves to the kampung economic and cultural
begin to see entrepreneurship as an investment
patterns of their community of origin. This study
opportunity, rather than a risk. This motivates
found that return migrants can adjust themselves
them to achieve improved economic performance
to kampung conditions in primarily three ways:
and gain greater work satisfaction.
first, they can adapt to others’ expectations by
The development of self-critical reflexivity spending their savings on household investments
(self-awareness), which is the crucial factor that and consumption (building houses or buying
shapes an entrepreneurship, is a long process. furniture) instead of investing in children’s
The results of this study show that the changes education or home businesses; second, they can
made to remittance investment management for adjust to home conditions by coping with family
entrepreneurship were based on the knowledge traditions and utilizing the job market in their
reproduced by individuals before becoming, while village to the maximum; and, third, they can
working as, and after becoming migrant workers. make economic adjustments that are related to
This Indonesian migrant worker entrepreneurship the sociocultural traditions of their home village.
skill is developed through training and peer group Often, the entrepreneurship activities in villages
socialization. Workers are able to reproduce their are hampered by structural constraints, such as
knowledge after the completion of training. This inflation and mark-up. Therefore, such activities

120 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


must face many challenges, and some return mi- they bring home different forms of capital with
grants who fail to establish or maintain businesses them, the migrants can participate in the labour
at home consider migrating again. market by resorting to either self-employment
The successful development of entrepreneur- or entrepreneurship. From self-employment/
ial activities by return migrants has three implica- entrepreneurial activities, their businesses can
tions. They are as follows: self-transformation, potentially grow to ­generate further employment.
economic change, and the shift in profession from In this manner, the return migrant entrepreneurial
migrant worker to entrepreneur through self- activity may be understood as a response, method
empowered business activities that both bring of adjustment, or strategy aimed at overcoming
economic benefits to their lives and facilitate their an inequitable economic relationship by creating
economic reintegration into their home villages. jobs inside (or outside) the home village.
Entrepreneurship (self-employment) be-
There is evidence of positive interlinking be-
comes a rational response to the opportunities
tween successful migration and entrepreneurship,
discovered by migrants during migration and
such as the positive outcome of return migrants
upon their return to the home country. On return-
becoming village entrepreneurs. Return migrant
ing to their home villages, return migrants face
entrepreneurship has an economic stimulation
the occupational choice of becoming either an
effect on the community, evidencing positive
entrepreneur or a formal wage worker. Entre-
benefits such as the transfer of business expertise,
preneurs are more likely to have a prosperous
social activism, the exchange of information
household income than informal wage workers
through the development of local cooperatives,
or farm workers. Moreover, since formal jobs
and the exchange of knowledge and experi-
may require a certification of skills or language
ence at migrant community events. Migration,
proficiency or exploit different forms of capital,
entrepreneurship, and return migrant activities
entering wage employment or the formal labour
are the sources or parts of self-transformation,
market can be more competitive than becoming
facilitating the exchange of information and
an entrepreneur.
learning tools; hence, individual- or family-level
economic improvement, which occurs as a part The potential for participating in wage
of the above-mentioned transfer experiences, employment have not been comprehensively re-
can increase in return migrant societies. Finally, corded; therefore, entrepreneurship is considered
similar with Bachtiar & Prasetyo (2014) research ‘as one solution and strategy’ for creating a sus-
conclusion on return migrant reintegration pro- tainable livelihood for return migrants; generating
cess, the successful economic (entrepreneurial) employment; providing new and better jobs; and,
and migration experiences abroad become to some extent, reducing migration. Hence, it is
incentives for fast and efficient socio-economic vital that return migrants are able to consider
reintegration in home villages. entrepreneurial activities as an option since the
labour market and corporate sector provide only a
very limited number of jobs for those who are ap-
A career choice for seizing the future
propriately qualified for their needs. In this study,
Return migrant entrepreneurship is a strategy I argue that entrepreneurship is one employment
followed by migrants to return to their homelands solution for return migrants since we know
and resettle both economically and socially. It is that there is only limited possibility for them
recognized as a method by which economically to ‘seize the future’ as someone other than an
disadvantaged return migrants can sustain their entrepreneur. This is because the local economy
livelihoods at home. These migrants develop or labour market is underdeveloped. The labour
sustainable livelihoods at home by becoming market in Indonesia cannot accommodate the
entrepreneurs by maximizing their human re- abundance of return migrants searching for wage
sources, such as money remittance, migration employment. Therefore, these migrants, based on
experience and self-awareness, knowledge their experience and knowledge, can identify new
production, and strategic adjustment. Since opportunities by following entrepreneurship as a

Paulus Rudolf Yuniarto | Bridging People, Seizing The Future ... | 121
career choice and, in this manner, seize the future migrants are the actors because they provide the
by establishing a business in their home village. remittances of working abroad. Besides sending
In initiating their economic future at home money, they remit new patterns of values, behav-
villages, return migrants have to face tremendous iours, and practices from their overseas experi-
challenges. In fact, without support, such as finan- ences. They have the competency and capacity
cial assistance, infrastructure development, and to perceive how international labour migration
improved knowledge in entrepreneurial activities, may affect other people, viewing it from a wider
it is impossible for their skills and entrepreneur- context other than merely its contribution to
ship activities to improve and develop. Therefore, the national economy. Within this international
in terms of capacity building, they need help from migration sequential process, small enterprises
local governments, NGOs, universities/academia, have emerged as critical sources of livelihood
friends, and family to empower the economic for return migrants in home villages, compared
and social activities in the home village. In this to other job opportunities. Hence, a returnee
study, we clarify that successful return migrant can literally experience rebirth. By taking into
entrepreneurs can sustain their economic liveli- account the situation before departure, overseas
hoods and develop their careers by maximizing experiences, return, and post-return conditions,
their individual/group resources networks. the three Rs of migration are shown as a dynamic
social process comprising the individual develop-
According to Barth (1963) and Stewart ment of migrants, their significant role in bringing
(1991), entrepreneurship gives rise to positive ef- about social and economic changes, and their
fects (changes) through entrepreneurial activities. successful reintegration into society.
In the context of return migrant entrepreneurship,
such as developing migrant cooperation, social
relationships between return migrants and their CONCLUSION
families, and local people or migrant associations. As we can observed that Indonesian migrant
These effects (changes) demonstrate the role of entrepreneurship in Taiwan has developed via
return migrants in developing self-employment structural opportunities in migrant communities
opportunities, empowering entrepreneurship (Bonacich, 1973). These opportunities include the
in ex-migrant communities, broadening the sale of typical migrant products such as food (i.e.
social basis for access to loans, and establishing national foods) and other products (i.e. second-
new links for the transfer of information. The hand or specialized commodities). Aside from
combined social and economic activities devel- structural opportunities, social embeddedness has
oped by return migrants have enabled them to also contributed to the development of Indonesian
be considered as heroes by their families and migrant entrepreneurship (Barth, 1963; Stewart,
neighbours. The formation of social solidarity in 1991; Zhou, 2004) this is evident from the shared
migrant communities is a very positive result, as social and economic activities (linkages) of en-
well. Moreover, a long-term consequence of suc- trepreneurs and their fellow migrants. In Taiwan,
Indonesian migrant niches and entrepreneurial
cessful return migrant entrepreneurship at home
activities are microcosms of migrant life and
is the reduction of remigration, since migrants
conditions abroad, where Indonesian people from
who are unemployed after returning home are
different backgrounds share their interests, and
more likely to consider migrating again.
co-ethnic migrant workers can engage in social
Finally, this part summarizes the return activities and collaboration, to mutual advan-
migration, entrepreneurship, and socio-economic tage. I saw two interesting phenomena among
activities of Indonesian former migrants in their Indonesian migrants and entrepreneurship in
home villages by using three patterns—the three Taiwan. First, regarding the sociocultural aspect,
Rs, return, remittance, and rebirth—as crucial migrant entrepreneurship and the entrepreneur
elements in the process of understanding how are seemingly adaptive, making cultural and
Indonesian migrant mobility creates economic social adjustments to immigrant social life (or the
sustainability in home villages. In this case, return co-ethnic migrant market)—i.e. communication,

122 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


socialization, and organisation. Second, regarding REFERENCE
the socioeconomic aspect, the economic aspect of Barth, F. (1963). The role of the entrepreneur in social
Indonesian migrant entrepreneurship is no longer change in northern norway. Bergen: Norwegian
considered to be on the ‘sidelines’, transitional, Universities Press.
or traditional in the context of economic op- Bachtiar, P. P., & Prasetyo, D. D. (2014). Return
portunities; rather, in practice, it is centred on migration and the importance of reintegration
cultural engagement, solidarity formation, and policies. SMERU Policy Brief. Jakarta: The
SMERU Research Institute.
social relationships in the Indonesian migrant
Ballard, R. (1994) The emergence of desh pardesh. In
community.
Ballard (ed.). Desh pardesh: The South Asian
In the other part, as observed cases of return- presence in Britain, pp. 1–34. London: Hurst
migrant entrepreneurship in Indonesia. In my re- & Co
search location, two villages in Malang Regency, Bonacich, E. (1973). A theory of middleman minori-
an East Java province, recently, migrant economic ties.  American Sociological Review,  38(5),
empowerment (entrepreneurship) has been en- 583–594. 
couraged. I found that return-migrant entrepre- Drucker, P. F. (1985). Innovation and entrepreneur-
neurship influences the villages’ economic and ship: Practice and principles. New York:
Harper & Row.
social activities. It can lead to job opportunities
Granovetter, M. (1995). The economic sociology
and empower the migrant household economy,
of firms and entrepreneurs. In Portes (ed.).
as well as establish former migrant cooperatives Economic sociology of immigration: Essays in
that financially support return migrants while network, ethnicity, and entrepreneurship, pp.
they develop their businesses. To some extent, 128–165. New York: Russell Sage Foundation.
return-migrant entrepreneurs become role models Kloosterman, R. & Rath, J. (eds.). (2003). Immigrant
for co-migrant candidates, as former successful entrepreneurs: Venturing abroad in the age of
migrant businesspersons (Bachtiar & Prasetyo, globalisation. New York: New York University
Press, and Oxford: Berg Publishing, pp. 61–78.
2014).
Dana, L. (eds.). (2004). Handbook of research on
Furthermore, this thesis follows the style of international entrepreneurship. Cheltenham,
an ethnographic study that depicts in detail the UK: Edward Elgar,
background and living circumstances of Indo- Stewart, A. (1991). A prospectus on the anthropology
nesian migrants, contain descriptions at a micro of entrepreneurship. Entrepreneurship Theory
level based on specific cases. However, there is and Practice, 16(2), 71–91.
insufficient study made of the macro political Zhou, M. (2004). Revisiting ethnic entrepreneurship:
and economic relationships between Indonesia Convergences, controversies, and concep-
and Taiwan on the side sending migrants and the tual advancements. International Migration
Review, 38(3), 1040–1074.
side receiving them. Consequently, insight is not
provided into the context of how Taiwan became
a work destination for individuals from Malang,
East Java, which is discussed in the latter half of
this thesis.

Paulus Rudolf Yuniarto | Bridging People, Seizing The Future ... | 123
124 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 
PENGUASA, PENGUSAHA, DAN PETANI:
Kapitalisme Perkebunan Sawit, Distorsi Sosial Ekonomi, dan
Perlawanan Petani di Indragiri Hulu, Riau, 1978–2010
Zaiyardam Zubir
Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Padang
E-mail: zaiyardam_zubir@yahoo.com

Disertasi dalam bidang Ilmu Sejarah Program Studi Ilmu-ilmu Humaniora Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Gadjah Mada. Telah dipertahankan di hadapan sidang terbuka pada hari
Sabtu, 30 Juli 2016 di Kampus Bulak Sumur, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Perampasan tanah di wilayah adat kami


melalui perizinan pemerintah kepada investor
mengakibatkan pemiskinan kehidupan kami
dan keterancaman budaya kami.
Wilayah adat kami telah berubah menjadi
perkebunan sawit, pertambangan, dan perkebunan akasia.
(Patih dan Batin Talang Mamak)

ABSTRACT
The main subject of this research is about the practice of modern capitalism in form of large scale of oil palm
plantation and the peasant resistance in the Indragiri Hulu, Riau. It started from the government policy to expand
non-oil and gas industry. The local government in Riau responded the policy by allowing big entrepreneurs to invest
their capital in plantation economy, and the palm oil plantation was the main form. The main question raised in this
study is why the peasant society in Indragiri Hulu resisted the practice of plantation economy in this area. This study
employs historical method by using primary and secondary sources. The primary sources mainly derived through
oral historical method and secondary source colleted from various libraries in Pekanbaru, Rengat, Yogyakarta,
and Jakarta. The important finding of this research is that the expansion of plantation capitalism in Indragiri Hulu
created various problems, especially land issues, as low compensation and land grabbing. The authority and the
businessmen also ignored local tradition related to land ownership like ulayat land, traditional arable forest and
protected forest. This caused two form of resistant, closed and opened resistance. This research concludes that the
practice of modern plantation based on traditional social and economic system triggered various anomalies They
are includes: first, the weakening local community’s rights of land. Second, the violation of customry law by the
capital owners especially those related to land. Third, the appearance of brokers that disadvantaged the peasant.
Fourth, unbalanced relationships between the authority, the businessmen and peasant. Fifth, the emergence of
peasant resistance against capitalism practice. Sixth, the rise of new sub-urban around the plantation.

Keywords: authority, entrepreneur, peasant, resistance, plantation, palm oil

ABSTRAK
Permasalahan pokok penelitian ini adalah tentang perlawanan petani perkebunan sawit di Indragiri Hulu, Riau.
Perlawanan petani ini tidak terlepas dari kebijakan nasional yang mendukung ekspansi industri non-migas. Usaha
nonmigas yang dikembangkan pemerintah pusat adalah pembukaan perkebunan besar. Pembukaan perkebunan besar
membutuhkan tanah yang luas sehingga investor mengembangkan usahanya sampai ke pelosok-pelosok seperti di
Indragiri Hulu. Pengembangan perkebunan sawit itu membawa persoalan dalam masyarakat dan perlawanan petani.
Studi ini mengkaji praktik kapitalisme perkebunan dan perlawanan masyarakat, khususnya petani di Indragiri Hulu.
Penulisan ini menggunakan metode sejarah dengan menggabungkan antara sumber tertulis dan sumber lisan, baik
primer maupun sekunder. Ekspansi kapitalisme perkebunan di Indragiri Hulu menimbulkan berbagai persoalan,
terutama masalah tanah, seperti ganti rugi yang rendah dan perampasan tanah. Penguasa dan pengusaha juga
mengabaikan nilai-nilai lokal menyangkut kepemilikan tanah, seperti tanah ulayat, hutan adat, dan hutan larangan.

125 
Hal ini menyebabkan munculnya dua bentuk perlawanan petani, yaitu tertutup dan terbuka. Kesimpulan yang dapat
diambil dari penelitian ini adalah praktik kapitalis perkebunan yang didasarkan pada sistem ekonomi tradisional
menimbulkan berbagai anomali dalam masyarakat, khususnya di kalangan petani. Anomali itu di antaranya,
pertama, melemahnya hak atas kepemilikan tanah dari penduduk lokal (asli). Kedua, berlangsungnya pelanggaran
terhadap hukum adat, terutama menyangkut tanah oleh pemilik modal. Ketiga, munculnya broker-broker yang
merugikan petani. Keempat, terjadinya unbalanced relationships atau relasi yang tidak seimbang antara penguasa,
pengusaha, dan petani. Kelima, perlawanan petani terhadap praktik kapitalisme di Indragiri Hulu. Keenam, adanya
efek samping berupa kemunculan sub-sub-urban di pinggiran perkebunan besar.

Kata kunci: penguasa, pengusaha, petani, perlawanan, perkebunan, sawit

PENGANTAR
Kebijakan pemerintah Indonesia pada masa pe­ modal asing yang dominan di antaranya minyak
merintahan Presiden Soeharto menempatkan pem­ dan manufaktur. Pada 1967–1985, sekitar 70%
bangunan menjadi kunci untuk semua program. investasi industri manufaktur direalisasi (Hill,
Obsesi besar yang dijalankan Presiden Soeharto 1990, 130–131).
untuk memajukan Indonesia adalah me­laksanakan Salah satu kebijakan pemerintah pusat untuk
program pembangunan secara teren­cana dan pengembangan modal asing adalah membentuk
terukur, yang dirancang setiap lima tahun sekali kerja sama regional. Kerja sama regional yang
atau Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Semua berhasil dijalankan adalah kerja sama antara
program yang dijalankan harus sesuai dengan ­Singapura, Malaysia, dan Indonesia, yang ke-
rencana yang telah dibuat p­ emerin­tah pusat. Pola mudian dikenal sebagai Singapura Johor dan
kebijakan seperti ini menjadikan negara sebagai Riau (Sijori) (Salam, 1993, 135–141). Melalui
aktor utama dari setiap program pembangunan program Triangle Growth Sijori itu, Indonesia
tanpa memperhatikan d­ampaknya terhadap menempatkan Riau sebagai wilayah kerja sama
kehidupan masyarakat (Fakih, 2001, 20–50; tersebut. Dalam konteks ini, pemerintah Indonesia
Zakaria, 2000, 143). Pelaksanaan pem­bangun­an menjadikan Pulau Batam sebagai pusat industri
menempatkan negara sebagai kekuasaan t­ unggal itu (Pangestu, 1991, 77–83)
sehingga oposisi dihilangkan (Romli, 2006, Pembukaan kerja sama Sijori turut berpenga­
53–83). ruh terhadap sektor perkebunan di Riau. Sebelum­
Dalam skala makro, pembangunan membawa nya, sejak 1980-an, perusahaan perkebunan telah
perubahan besar dalam berbagai bidang, seperti mulai melakukan ekspansi besar-besaran di Riau.
ekonomi, di pelosok Tanah Air. Proyek-proyek Hal ini semakin menggurita sejak munculnya
itu dikerjakan, baik dengan modal pemerintah kerja sama Sijori. Ekspansi kapital dibangun di
maupun modal asing, yang dijadikan indikator atas dasar sistem ekonomi tradisional dan aset-
pembangunan. Pembangunan yang dilaksanakan aset ekonomi petani yang terbatas dan lemah
seperti sebuah “mukjizat” (Kian Wie, 2004, 214 sehingga menjadi persoalan bagi petani (Halim,
dan 257) dan “keajaiban” (Muhaimin, 1990, 272) 2001, 268–272).
bagi bangsa Indonesia. Keberhasilan pembangun­ Penelitian ini membahas dampak ekspansi
an itu tidak terlepas dari pola pembangunan kapitalisme perkebunan sawit dan terjadinya
sebagai hasil dari struktur politik yang sangat perlawanan petani di Indragiri Hulu. Salah satu
otoriter dan represif dengan otoritas pembuat sektor yang berkembang adalah perkebunan
kebijakan pemerintah terpusat. Sebuah kebijakan kelapa sawit. Memasuki 1980-an, terjadi per-
yang didasarkan pada prinsip-prinsip liberal yang mintaan dunia yang tinggi terhadap kelapa sawit.
dibuat para teknokrat, terutama untuk k­ epentingan Karena perkembangan perkebunan kelapa sawit
penanaman modal swasta, baik penanaman itu, terjadi berbagai persoalan sosial ekonomi di
modal asing (PMA) maupun penanaman modal Indragiri Hulu.
dalam negeri (PMDN). Investasi penanaman

126 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


INDRAGIRI HULU SEBELUM Walaupun memiliki ketergantungan pada
EKSPANSI KAPITALIS PERKEBUNAN alam, mereka didukung oleh ketersediaan lahan
Sebelum masuknya modal besar, denyut utama yang sangat luas. Gambaran seperti ini oleh
kehidupan masyarakat berada di sepanjang aliran Boeke (1983, 26–27) disebut bentuk corak pede-
Batang Kuantan, Batang Gansal, dan Batang saan prakapitalisme. Kabupaten Indragiri Hulu
Cinaku. Batang Kuantan memiliki tiga nama memiliki kesamaan dengan corak pedesaan yang
berbeda, yaitu Batang Ombilin, Batang K ­ uantan, digambarkan oleh Boeke, seperti usaha untuk
dan Batang Indragiri. Bagian yang berhulu di memenuhi kebutuhan sehari-hari, masyarakat
Danau Singkarak, Sumatra Barat, namanya yang komunal, dan interaksi dengan masyarakat
Batang Ombilin. Memasuki perbatasan Riau luar, terutama pedagang. Dalam masyarakat
sampai Cerenti namanya berganti jadi Batang prakapitalisme yang terdapat di Kabupaten Indra-
Kuantan. Memasuki wilayah Kecamatan Peranap giri Hulu, kehidupan tidaklah terlalu susah karena
sampai ke pantai timur Sumatra, sebagai muara alam menyediakan semuanya. Selain itu, dalam
dari sungai itu, masyarakat menyebutnya Sungai keseharian, mereka bertani, berladang, menang-
Indragiri. Penyebutan nama ini bisa dilihat dari kap ikan, dan beternak (Darmawan, 2008). Dalam
batasan geografis yang berbeda, yaitu Batang pola kehidupan ini, menurut Mubyarto (1992, 5),
Ombilin di Sumatra Barat dan Batang Kuantan di ada tiga strata ekonomi, yaitu masyarakat eko-
Riau. Penamaan ini bisa dilihat berdasarkan pada nomi modern, ekonomi tradisional, dan terasing.
batasan budaya, yaitu Batang Kuantan (mengacu Pada masa perkebunan rakyat, petani sebagai
pada Minangkabau) untuk wilayah Kuantan dan pekerja atas tanahnya sendiri. Tanaman utama
Indragiri (mengacu pada kebudayaan Melayu) pada awalnya adalah karet rakyat. Tanah-tanah
(Yusuf, 2010, 9). yang digarap penduduk untuk dijadikan lahan

Hijau : Etnis Minangkabau


Kuning : Etnis Melayu
Merah : Etnis Talang Mamak
Sumber: Diolah dari berbagai sumber, seperti Indragiri Hulu dalam Angka 1980, Rengat: BPS Indragiri Hulu, 1981; Tsuyoshi Kato, “The
Localization of Kuantan in Indonesian from Minangkabau Frontier to a Riau Administrative District”, dalam jurnal BKI KITLV, Leiden, No.
4, 1997; Ahmad Darmawi dkk., Bulean, Suku Talang Mamak Indragiri Hulu Riau, Pekanbaru: Dinas Kebudayaan, Kesenian dan Pariwisata
Provinsi Riau, 2008.

Gambar 1. Peta Penyebaran Penduduk Berdasarkan pada Etnik di Kabupaten Indragiri Hulu Riau

Zaiyardam Zubir | Penguasa, Pengusaha, Dan Petani: ... | 127


perkebunan rakyat, terutama tanaman karet, ter- Arus investasi yang berlangsung menghen-
letak pada 1–20 kilometer dari pinggiran sungai. daki ada sebagian yang diuntungkan dan seba-
Lebih dari itu, masyarakat biasa menggarap tanah gian lain harus dipinggirkan. Orang Riau pada
dan hutan-hutan dan mengambil hasilnya, yang umumnya dan Indragiri Hulu khususnya sejak
berupa buah-buahan, damar, rotan, dan kayu 1980-an sudah merasakan pahit-getirnya kondisi
(Chaniago, 2003, 2). Dalam hukum adat etnis akibat arus penanaman modal. Setiap investasi
Melayu Riau, setiap jengkal tanah yang sudah yang dilakukan mau tidak mau membutuhkan
digarap dan dijadikan ladang berpindah adalah sarana dan prasarana. Investasi perkebunan besar
tanah milik mereka (Kang, 2005, 7). membutuhkan tanah sangat luas. Sayangnya, cara
mendapatkannya tidak berjalan sebagaimana
PERAMPASAN TANAH ULAYAT DAN mestinya, seperti menyogok dan merampas,
PETANI sehingga menjadi sumber konflik.
Pada bagian sampul depan sebuah jurnal budaya Pengalaman warga etnis Talang Mamak
Teraju, yang terbit di Pekanbaru, terdapat tulisan: Indragiri Hulu memperlihatkan bahwa komer-
sialisasi pertanian, khususnya perkebunan kelapa
Kita berada di tepian Indonesia. Sudah pasti be-
sawit, berakibat kemiskinan bagi penduduk asli.
rada di posisi marginal dari ke-Indonesia-an. Itu
bukan hanya dilihat secara geografis, tetapi juga Dengan berbagai cara, terjadi perampasan tanah
tentang bagaimana perlakuan Indonesia terhadap oleh investor, seperti yang dialami warga etnis
Riau dalam rentang waktu 64 tahun merdeka. Tapi Talang Mamak. Perampasan tanah itu juga dilaku-
sudahlah (Manan, 2009, 4–5). kan perusahaan negara. Batin Irisan, kepala suku
Sementara itu, sebuah maklumat yang Talang Mamak di Kuala Cinaku, menyatakan,
dikeluarkan oleh Batin Etnik Talang Mamak “Mereka masuk begitu saja ke kampung dan
menyatakan: hutan kami. Apalagi yang dilakukan PT Perke-
bunan Negara (PTPN) V. Mereka begitu leluasa
Kami tidak lagi dapat masuk dan mengambil mengambil tanah kami. Seakan-akan kami ini
manfaat dari wilayah hutan adat kami. Kehadiran
bukan manusia yang menghuni tanah-tanah di
investasi tersebut berakibat hilangnya kesatuan
kami sebagai masyarakat adat Talang Mamak. dalamnya” (wawancara dengan Irisan Batin, 13
Tidak hanya itu, kehadiran investasi telah me- Maret 2013 di Kuala Cinaku).
nyebabkan kerusakan lingkungan di wilayah adat Dalam pembebasan tanah, koperasi memi­
Talang Mamak, yang terbukti dari mengecilnya
liki peranan penting. Posisi koperasi seperti
debit air di wilayah adat Talang Mamak dan
semakin seringnya peristiwa banjir (Patih & Batin menjadi agensi, broker, ataupun calo bagi pemilik
Talang Mamak, 2013.) modal. Pihak pemilik modal sering menggunakan
­ko­perasi sebagai perpanjangan tangan untuk
­me­nguasai lahan petani. Contohnya adalah kasus
Dua kutipan di atas memperlihatkan bahwa
yang dialami masyarakat dengan PT Alam Sari
ekspansi modal besar membawa berbagai per-
Lestari (ASL). PT ASL menggunakan koperasi,
soalan baru di Indragiri Hulu. Di banyak tempat,
yang ia bentuk sendiri, untuk menjadi penghu­
siklus kehidupan masyarakat juga berubah total.
bung dengan masyarakat. Setelah menyerahkan
Orang Melayu, Rantau Kuantan, dan orang Talang
tanah seluas 1.000 hektrea melalui Koperasi
Mamak tidak bisa lagi melakukan aktivitas ladang
Prima Sehati, PT ASL menjanjikan masyarakat
berpindah. Orang Talang Mamak kehilang­an
mendapatkan plasma. Mereka tidak tahu letak mi-
hutan pusaka, sementara orang-orang Rantau
lik mereka sehingga plasma itu hanya ada dalam
Kuantan ribut dan mengadakan perlawanan
bayangan. Setelah panen kelapa sawit pada 2005,
terus-menerus karena pencaplokan tanah ulayat
masyarakat mendapatkan penghasilan Rp30.000/
mereka. Namun, mereka tidak bisa bertindak dan
bulan (“Merasa Terus Dibohongi,” 2013).
melawan secara frontal serta terbuka karena pada
waktu itu kekuatan negara, dibantu polisi, tentara, Persoalan penggunaan jasa koperasi untuk
dan preman, secara keras menindak mereka mendapatkan tanah petani ini sering kali berujung
sehingga mereka kalah. di pengadilan. Kasus yang menimpa Damajanti

128 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


Safriyanto berhadapan dengan Koperasi Unit 2008, 72). Permintaan pihak perkebunan menjadi
Desa (KUD) Tani Bahagia, yang beralamat di lo- tidak masuk akal karena selama berabad-abad
kasi PIR Trans PT Asian Agri Ukui, Desa Kulim kepemilikan tanah mereka bukan berdasarkan
Jaya, Kecamatan Lubuk Batu Jaya, Kabupaten pada hukum positif, melainkan hukum adat yang
Indragiri Hulu, Provinsi Riau, memperlihatkan berlaku dalam masyarakat.
bahwa PT Asian Agri menggunakan jasa Koperasi Modal itu tidak hanya dari pihak ­pemerintah
Unit KUD Tani Bahagia untuk menguasai lahan saja, tetapi juga dari perusahaan swasta nasional
petani. Setelah melewati sidang, Damajanti Safri- dan modal asing (“Laporan Tahunan LSM”, 2008).
yanto memenangi perkara itu sehingga, tanahnya, Di beberapa tempat, PTPN V mengembangkan
yang seluas 1 kaveling (2 ha), didapatkannya perkebunan kelapa sawit. Di Sungai Parit, Sei
kembali (Keputusan Pengadilan Negeri Rengat Lala, Buni, Batu Rijal, dan Ceranti, mereka mem-
No. 05/pdt.g/2013/pn.rgt). buat berbagai konflik tanah. Petani tidak berdaya
Kepala desa juga memiliki peranan penting. dan hanya bisa menonton ketika tanah mereka
Dengan menggunakan koperasi dan akal-akalan yang diambil alih untuk dijadikan perkebunan
aparat desa dengan Bank Pembangunan Daerah sawit. Dalam kemelaratan karena tanah mereka
(BPD), Ketua Koperasi Tani Karya memalsukan dirampas, mereka pun akhirnya hanya berusaha
Surat Keputusan (SK) Bupati Indragiri Hulu sekadar bertahan hidup. Hak-hak mereka atas
untuk menjual lahan Plasma milik masyarakat. ­tanah seperti hilang begitu saja. Cara ini dilaku-
Setidaknya, 60 kaveling yang diperuntukkan bagi kan oleh negara dan investor perkebunan sawit
warga eks transmigrasi dijual sehingga mereka untuk merampas tanah milik petani (wawancara
kehilangan haknya (“Soal dugaan pemalsu,” dengan Indra Sakti Lubis, 23 Oktober 2014, di
2004, 7). Serikat Petani Indonesia Pusat Jakarta).
Kaus lain terjadi di Batu Tinggal Jaya. Pada Usaha perkebunan sawit membutuhkan tanah
1979, PTPN V membuka perkebunan sawit. Dalam yang luas dan tanah petani menjadi sasaran untuk
pembebasan tanah masyarakat seluas 2.863 ha, dijadikan lahan perkebunan besar itu. Namun,
tidak jelas ganti ruginya. Di Desa Talang Sei Parit hasil yang dikembalikan untuk petani tidak
dan Desa Talang Sei Limau, PTPN V mewariskan sebanding dengan tanah yang hilang. Hal yang
persoalan tanah seluas 1.700 ha (“Konflik Lahan terjadi adalah petani tidak lebih menjadi sapi
Masyarakat,” 2002). Selain perusahaan nasional, perah oleh orang-orang besar di Jakarta (Rab,
perusahaan swasta, seperti PT Duta Palma, PT 2002, 73). Bahkan, cara aneh, yaitu salah ketik
KAT, dan PT Perkasa Tunggal Plantation (PTT), luas tanah, juga dilakukan PT Duta Palma. Hal itu
menjadi wilayah konflik yang berkepanjangan terjadi pada 2010. Ketika itu, SK Bupati Indragiri
dengan masyarakat. Perusahaan internasional Hulu menerangkan bahwa izin lokasi yang diberi-
seperti PT Inecda Plantation berkonflik dengan kan kepada PT Palma Satu adalah seluas 10.000
masyarakat Desa Talang Sungai Limau dan Desa ha. Sementara itu, pada SK yang diketik, luas
Talang Sungai Parit karena dirampasnya tanah area yang diberikan kepada PT Palma menjadi
rakyat seluas 10.900 ha (“PT Inecda diduga,” 14.000 ha, sehingga terdapat perbedaan 4.000 ha
2003). (“Pemerintah Kabupaten Indragiri,” Maret 2015)
Setiap kali terjadi proses hukum, rakyat (lihat Gambar 2).
sering mengalami kekalahan. Rakyat tidak Sebuah laporan resmi yang dibuat pemerin-
berdaya karena kebodohan dan ketidaktahuan tah memperlihatkan bahwa masalah pencaplokan
mereka menyangkut hukum negara. Dengan tanah ataupun masalah lahan masyarakat dengan
menggunakan pendekatan hukum positif (hukum perkebunan besar tidak ditemukan sama sekali.
yang berlaku dalam negara), pihak perkebunan Namun, yang terjadi di lapangan adalah setiap
yang berkonflik dengan masyarakat selalu me- investasi yang masuk ke Indragiri Hulu justru
minta bukti kepemilikan tanah berdasarkan pada menunjukkan bahwa masyarakat tidak mendapat-
akta tanah yang sah menurut hukum yang diakui kan hasil apa pun dari modal besar yang mema-
negara (Tap MPR No. IX/MPR/2001, Pasal 4 suki wilayah mereka (Rab, 2003).
ayat J; Wibowo, Woro, Runggandini, & Subarudi,

Zaiyardam Zubir | Penguasa, Pengusaha, Dan Petani: ... | 129


Sumber: Diolah dari berbagai sumber, seperti Riau Pos, Riau Mandiri, Haluan, Scale, Jikalahari 2007, Jikalahari 2008, dan WWF: Menelusuri
TBS Sawit Ilegal di Riau, Sumatra (Pekanbaru: WWF, 2013).

Gambar 2. Lokasi Perampasan Tanah Petani dan Ulayat oleh Perkebunan Besar di Indragiri Hulu Riau
1979–2010

Pada 1991–1995, terjadi peningkatan peram- trak 20–25 tahun, setelah itu terjadi perpanjangan
pasan tanah yang mencolok. Hal ini sebenarnya kontrak, tanah ulayat seperti menjadi tanah negara
tidak terlepas dari ekspansi Salim Group ke karena kontrak itu dilakukan dengan negara.
wilayah Riau, yang tidak hanya mengembangkan
sayap bisnisnya di perkebunan sawit, tetapi juga PERLAWANAN PETANI DI
pabrik kertas (“Masyarakat bersiap meminjam,” PERKEBUNAN SAWIT MASA ORDE
2003). Untuk wilayah Indragiri Hulu, ekspansi
BARU
Salim Group juga di perkebunan kelapa sawit
serta hutan tanaman industri Riau Pulp di Keca- Perampasan tanah yang dilakukan kaum ka­
matan Benai dan Kecamatan Pangian. pitalis menjadi cikal-bakal perlawanan kaum tani
di Indragiri Hulu. Cara-cara yang ditempuh untuk
Di Kecamatan Siberida, beberapa perusahaan
memperluas perkebunan itu dilakukan ­dengan
mulai melakukan investasi, seperti PT Kencana
jalan yang tidak fair sehingga m ­ enimbulkan
Amal Tani di Siberida; PT Rigunas Agri Utama
per­­lawanan di kalangan petani. Perlawanan yang
Asian Agri di Desa Talang Perigi, Desa Talang
mereka lakukan bisa dalam bentuk individu dan
Durian Cacar, Desa Talang Selantai, Kecamatan
kolektif (Hobsbawm, 1974, 13–50).
Rakit Kulim; PT Inecda di Desa Pasir Bongkar,
Kecamatan Lirik; PT Tesso di Taman Nasional Mengacu pada kasus petani di Indragiri
Tesso; PT Riau Bara Harum Kecamatan Siberida; Hulu, perlawanan petani tidak bisa dilepaskan
serta PT Artelindo di Desa Persajian dan Desa dari kondisi politik nasional pada zaman Orde
Serangge. Konsep awalnya adalah dalam bentuk Baru. Ciri khas perlawanan petani di negara-
konsesi tanah dengan pemerintah dan masa kon- negara otoriter, seperti Indonesia pada masa

130 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


Sumber: Diolah dari berbagai sumber, seperti Riau Pos, Riau Mandiri, Jikalahari 2008, dan Scale Riau 2007–2008.
Gambar 3. Grafik Perampasan Tanah Petani/ulayat oleh Penguasa dan Pengusaha 1975–2010

Orde Baru, adalah perlawanan secara tertutup. Di beberapa tempat, ada juga perlawanan
Perlawanan tertutup ini menjadi penting agar terbuka yang dilakukan petani, seperti di Lubuk
mereka dapat menyembunyikan identitas diri Batu Tinggal, terhadap investor seperti PTPN
dari kekuatan negara. Perlawanan mereka V. Perkebunan milik negara yang beroperasi di
lebih bersifat perseorangan sehingga sulit dilacak. Indragiri Hulu adalah PTPN V. Sebagai sebuah
Menurut Scott, kekuatan pola perlawanan seperti perusahaan yang bersifat komersial, tujuan utama
ini adalah: PTPN V adalah mendapatkan keuntungan yang
sebesar-besarnya. Hal ini dapat dilihat dari sepak
Sebagaimana jutaan binatang kecil di laut, mau
terjang PTPN V di Indragiri Hulu, Riau, sehingga
tidak mau menciptakan batu karang. Demikian
juga ribuan aksi perlawanan individu menciptakan menimbulkan hubungan yang tidak harmonis
tembok karang politik dan ekonomi. Namun, antara masyarakat dan PTPN V.
jarang sekali orang yang melakukan tindakan- Aktor utama dalam konflik yang terdapat
tindakan kecil itu berusaha menarik perhatian
di Indragiri Hulu adalah negara, yang ditandai
orang kepada dirinya, sebab keamanan mereka
justru terletak pada anonimitas mereka (Scott, dengan ekspansi negara melalui PTPN V. ­Sampai
2000, 49). 1991, luas tanah yang dikuasai perkebunan
nasional atau PTPN V di Riau adalah 67.097
Perlawanan tertutup biasanya dilakukan se-
ha (Mubyarto, 1992, 152). Persoalannya adalah
cara sembunyi-sembunyi, seperti ­memperlambat
tanah yang dikuasai itu tidaklah sepenuhnya me-
pekerjaan, bersifat pura-pura, pelarian diri,
lalui prosedur yang patut sehingga menimbulkan
pura-pura memenuhi permohonan, pencurian,
konflik dengan masyarakat. Sebagai contoh,
pura-pura tidak tahu, menjatuhkan nama baik
orang, melakukan sabotase, dan pembakaran tanah masyarakat Lubuk Batu Tinggal yang sudah
(Scott, 2000, 49). Perlawanan terbuka petani dicaplok PTPN V. Masyarakat Desa Lubuk Batu
­meng­adakan aliansi dengan kekuatan sosial po­ Tinggal itu sebenarnya sejak 1978 telah melawan
litik di luar wilayah mereka yang juga diperlaku- dengan berbagai cara untuk mengembalikan hak
kan tidak adil (Kartodirdjo, 1994, 431). Dalam atas tanah mereka, seperti demonstrasi, boikot,
perlawanan tertutup, petani yang lemah dan serta mengadu ke Dewan Perwakilan Rakyat
ti­dak memiliki kekuatan pendukung membuat Daerah dan bupati. Namun, mereka tidak mem-
perlawan­an mereka juga bersifat tersembunyi. peroleh hasil yang sesuai dengan yang mereka
Tidaklah mengherankan, ketika tanah mereka inginkan sehingga gelombang perlawanan terus
diambil alih investor, mereka pasrah begitu saja. terjadi.

Zaiyardam Zubir | Penguasa, Pengusaha, Dan Petani: ... | 131


Pada tahun-tahun awal berdirinya perke- belum diserahkan. Akan tetapi, masyarakat tidak
bunan, petani Desa Lubuk Batu Tinggal sudah pernah menerima pernyataan yang disampaikan
terlibat dalam berbagai bentuk perlawanan PTPN V, kemudian mereka menuding PTPN V
terbuka. Namun, kekuatan negara yang otoriter telah berbohong (Stoler, 2005, 8–9; lihat juga
pada masa itu membuat masyarakat kalah. Sejak “Warga Pandan Wangi,” 2003. dan “Iktikad PTPN
era reformasi, mereka kembali melakukan perla- V,” 2003) Sertifikat tanah sebagai ­kekayaan me­
wanan panjang, tapi tidak memperlihatkan hasil reka ditahan PTPN V sehingga bisa saja mereka
yang positif. Begitu juga petani di Sungai Lalak, diusir dari ­kampungnya. Kebohongan PTPN V
Kecamatan Pasir Penyu. Mereka menuntut PTPN ­memperlihatkan bahwa perusahaan negara ini
V mengembalikan tanah mereka yang dirampas diragukan memiliki niat baik untuk membantu
seluas 2.000 ha. Namun, PTPN V enggan meng- masyarakat.
ganti dengan alasan hak guna usaha (HGU)
berlaku sampai 2020 (“Masyarakat tetap tuntut,” PERLAWANAN PETANI DI
2002, 21). PERKEBUNAN SAWIT PADA ERA
Masalah tanah yang lebih luas dan menim­ REFORMASI
bulkan perlawanan petani terhadap PTPN V Runtuhnya rezim otoriter Soeharto pada 1998
juga terjadi di Kecamatan Pasir Penyu, yaitu mem­bawa perubahan dari perlawanan petani.
Desa Lubuk Batu Tinggal. Penyerobotan lahan Di­dukung oleh berbagai elemen masyarakat,
mencapai 2.863 ha. Tanah masyarakat ini juga seperti aktivis mahasiswa, lembaga ­swadaya
telah dirampas sejak 1985-an. Mulanya PTPN masyarakat, dan kaum intelektual, mereka men­
V hanya mendapatkan HGU seluas 650 ha, dampingi petani yang memiliki kasus-kasus tanah
tetapi sedikit demi sedikit dilipatnya (wawancara yang bermunculan. Sejak saat itu, perlawanan
dengan Denny, 11 Juni 2012, di Pekanbaru; dan mulai dilakukan secara terbuka untuk menuntut
lihat Pranoto, 2001, 8). Gelombang perlawanan pengembalian hak atas tanah mereka. Bentuk-
masyarakat Batu Tunggal ini seperti menghadapi bentuk perlawanan terbuka yang dilakukan petani
tembok tebal. Sejak awal berdirinya hingga 2011, Indragiri Hulu beraneka ragam, seperti demon-
mereka telah berulang kali melakukan berbagai strasi, mogok kerja, serta mengadu ke DPRD,
demonstrasi serta mengadu ke bupati dan DPRD, bupati, dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
tetapi tidak mendapat hasil yang memuaskan. Tujuan utama dari setiap gerakan petani itu adalah
Tanah mereka tidak dikembalikan. Peristiwa pengembalian hak atas tanah mereka yang diganti
itu memunculkan perumpamaan: “karena tidak rugi dengan tidak wajar atau rendah sampai den-
memiliki peluru dari emas, masyarakat tidak bisa gan perampasan tanah milik rakyat dan ulayat.
menembus tembok-tembok birokrasi, yang justru
Titik-titik konflik yang disemai oleh ­penguasa
dikuasai oleh pemilik modal.” Sementara itu,
dan pengusaha perkebunan sawit bertebaran di
tembok birokrasi justru dikuasai pemilik modal
banyak tempat sepanjang periode Orde Baru. Hal
karena keberanian mereka untuk menyogok para
birokrat yang korup itu. itu kemudian meledak pada masa era reformasi.
Gelombang perlawanan petani itu menyebar di
Persoalan PTPN V ini juga terjadi di Keca- berbagai tempat, terutama di wilayah tanah petani
matan Peranap. Selama ini, sertifikat tanah ma- yang bermasalah dengan perusahaan perkebunan.
syarakat dipegang oleh PTPN V, terutama untuk Di satu sisi, hamparan hijau perkebunan sawit
perkebunan yang beroperasi di Bukit Selasih
yang tampak dari luar sesungguhnya di dalamnya
dan Binio, Kecamatan Peranap. Menurut direksi
sedang membara dan siap meledak kapan saja.
PTPN V, di Bukit Selasih, masyarakat memiliki
Hal itu disebabkan oleh benih-benih konflik yang
1.850 sertifikat tanah, di Binio 1.250 sertifikat,
disemai selama rezim Orde Baru berkuasa. Salah
dan di Pandan Wangi 1.684 sertifikat. Raja
satu titik api utama dalam berbagai kasus penye­
Nasution, anggota direksi PTPN V, menyatakan
robotan lahan ini adalah Indragiri Hulu, sebagai
bahwa sertifikat tanah telah dikembalikan kepada
wilayah perkebunan kelapa sawit. Berdasarkan
masyarakat dan hanya tinggal 260 sertifikat yang
pada laporan tahun 2008 yang dirilis oleh Scale

132 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


Up, setidaknya tujuh perusahaan kelapa sawit Pesikaian. Untuk membebaskan pegawai yang
terlibat konflik. Adapun kelompok perusahaan disandera masyarakat itu, polisi sampai turun
besar yang terbanyak terlibat konflik adalah tangan (“Diduga buka lahan,” 2007, 3).
PTPN V, PT APRIL, PT Torganda, PT Sinar Mas, Daerah lain yang menjadi silang ­sengketa
PT Inecda, PT KAT, dan PT Duta Palma (secara dengan PTPN V adalah tanah etnis Talang
keseluruhan, lahan sengketa di Indragiri Hulu ­Mamak. Pada awal berdiri, lahan milik etnis Ta-
mencapai 300.000 ha). lang Mamak ini merupakan ladang garapan yang
PTPN V adalah perusahaan sawit yang menjadi makanan empuk pihak PTPN V. Tanah
dilawan oleh petani. Perlawanan dilakukan masyarakat suku ini dengan mudah dirampas
sejak berdirinya PTPN V pada 1978, tetapi tidak oleh PTPN V dan masyarakat Talang Mamak
berhasil. Perlawanan kembali dilakukan pada hanya bisa bersuara. Mereka tidak ­melawan,
era reformasi. Gelombang perlawanan pada era tidak berdemonstrasi, juga tidak membakar
reformasi terhadap PTPN V ini semakin keras. perkebunan sawit. Agiran, seorang tokoh Talang
Di Binio, misalnya, PTPN V didemonstrasi terus- Mamak, menyatakan, “Tanah peninggalan leluhur
menerus dan petani secara langsung mengambil kita sudah habis dirampas oleh PTPN 5 Amo II.
kembali tanah mereka yang dikuasai PTPN V. Perusahaan BUMN itu berjanji membangunkan
Akhirnya petani berhasil mendapatkan tanah dan kebun sawit 680 ha, tetapi nyatanya hanya 200
PTPN V menutup kantornya di Binio (wawan- ha, itu pun tidak keseluruhannya yang ditanam
cara dengan Burhanudin, 20 April 2011, di Kota dan tidak pula dikonversi meski sudah 13 tahun
Medan, Kecamatan Kelayang). usianya.” Masuknya pihak luar seperti LSM atau
Di Baturijal Hulu Peranap, konflik PTPN pejabat, seperti Camat Kulin, adalah hal yang bisa
V dengan masyarakat juga terjadi. PTPN V membawa suara mereka berdengung ke dunia
membabat hutan milik masyarakat Baturijal luar (“PT ASL rampas tanah,” 2002 ; “Sengketa
Hulu. Namun, pihak PTPN V membantahnya lahan PTPN,” 2010).
dan menyatakan bahwa pembukaan area itu Pola pembebasan tanah yang dilakukan per­
merupakan lahan kelapa sawit pola kemitraan usahaan swasta meniru atau memiliki kesamaan
(kredit kepada koperasi primer untuk anggotanya/ dengan yang dikerjakan perusahaan negara se­
KKPA) dan tanah itu milik Desa Pesikaian di per­ti PTPN V. Pola yang terjadi terutama melalui
Kecamatan Cerenti. Wilayah Kecamatan Cerenti cara-cara perampasan tanah masyarakat. Hal ini
merupakan batas antara Kabupaten Indragiri Hulu dilakukan perusahaan perkebunan sawit, PT
dan Kabupaten Kuantan Singingi. Perbatasan Alam Sari Lestari (ASL). Proses pembebasan
wilayah yang tidak tegas membuat kedua belah lahan seluas 125 ha itu belum selesai, tetapi
pihak mengklaim memiliki tanah itu. Hal ini sudah ditanami sawit serta sudah dibangun rumah
dimanfaatkan oleh PTPN V untuk mendapatkan karyawan, jalan, dan perkantoran. Setelah rezim
tanah masyarakat dengan jalan mengadu domba Orde Baru runtuh, masyarakat sudah berani
masyarakat. secara terbuka melakukan perlawanan. Beberapa
Dalam perluasan perkebunan sawit itu, bentuk perlawanan terbuka yang mereka lakukan
PTPN V sudah menjanjikan plasma kepada ma- di antaranya serangkaian demonstrasi ke DPRD
syarakat Pesikaian, tetapi tidak menjanjikan hal dan bupati. Gelombang perlawanan itu sering
yang sama kepada masyarakat Baturijal. PTPN kali tidak membuahkan hasil yang nyata, k­ ecuali
sengaja memihak satu desa sehingga membuat janji-janji pemerintah untuk mengurus lahan
sengketa itu. Malah, PT ASL tetap menambah
kedua desa itu berkonflik. Dalam konflik tersebut,
area perkebunan baru di lahan masyarakat dan
yang diuntungkan adalah PTPN karena memang
bahkan di tanah itu sudah ada yang sampai tahap
tetap bisa menanam sawit di wilayah konflik itu.
berproduksi. Sementara itu, masalah ganti rugi
Bahkan, ketika Dinas Kehutanan dan Perkebunan
tanah masyarakat yang dijanjikan hanya ada
Kabupaten Indragiri Hulu menjajaki wilayah
dalam pidato pejabat menghadapi demonstrasi
kon­flik itu dan memetakan tapal batas desa, 10
yang dilakukan warga. Setelah masyarakat selesai
pegawai dinas itu sempat ditawan masyarakat

Zaiyardam Zubir | Penguasa, Pengusaha, Dan Petani: ... | 133


berdemonstrasi, cerita ganti rugi pun tidak ada sawit. Hal ini dialami masyarakat Jati Rejo, Keca-
kelanjutannya, kemudian hilang lenyap ditelan matan Air Molek. Pelakunya adalah PT Tunggal
waktu (“Merasa terus dibohongi,”, 2003, 17). Perkasa Plantation (PT TPP) di bawah bendera
Petani juga tidak berdiam diri saja. Mereka Astra Group. Tanah masyarakat seluas 2.000 ha,
tetap melawan dengan cara masing-masing. Di termasuk kuburan, dijadikan perkebunan sawit.
luar perjanjian yang disepakati bersama, petani Pada masa Orde Baru, para petani itu menuntut
kemudian melakukan panen dari perkebunan hak mereka, tetapi mereka harus berhadapan
milik PT ASL. Proses panen yang dilakukan dengan tentara. Pada era reformasi, ketika para
mas­yarakat ini sebenarnya merupakan bentuk petani itu berdemonstrasi, mereka dihadapkan
akumulasi dan kekecewaan atas janji-janji yang pada Pemuda Pancasila. Akibatnya, terjadi pe­
dilontarkan PT ASL selama ini. Mereka memanen nge­royokan terhadap warga Jati Rejo di Pasar
sawit itu ­dengan membawa lima truk diesel, Air Molek yang dilakukan oleh anggota Pemuda
­pu­luhan kendaraan roda dua, dan alat dodos Pancasila (“PT TPP rambah,” 2002, 17).
sawit. Perusahaan perkebunan sawit yang berasal Kasus pencaplokan lahan kuburan itu mem­
dari Malaysia ini awalnya akan mengembangkan perlihatkan bahwa investor sudah tidak memikir­
pola KKPA dan sudah ada kesepakatan dengan kan tanah yang diambil. Semua dirampas, seperti
Bupati Raja Thamsir Rahman, tetapi tidak ada lahan kuburan dijadikan kebun kelapa sawit. PT
­realisasinya. Bosan dengan janji-janji manis TPP di bawah bendera Astra Group milik William
­perusahaan asing itu, warga mengirim surat Sorjadjaja ini mengumbar janji akan memberi
kepada polisi bahwa mereka akan ­mengadakan ganti rugi dalam bentuk pembangunan kebun
panen massal di PT ASL. Dalam panen yang sawit untuk 267 keluarga seluas 534 ha, tetapi
dikawal polisi itu, tidak terjadi keributan janji itu tidak pernah terlaksana. Pemerintah
dengan pihak per­usahaan karena perusahaan daerah Indragiri Hulu pun menanggapi persoal­
­membiarkannya saja (“Merasa terus dibohongi,” an ini. Sayangnya, pihak keamanan membela
2003, 17; ­Camara, 2000, 31–32). perusahaan. Aditjondro (2002, 397–400) menye­
Perjuangan petani mengambil kembali hak butkan, “Awalnya ada masalah ketimpangan
atas tanah mereka tidak pernah membuahkan sosial ekonomi, kemudian menjurus pada konflik
hasil yang memuaskan meski sudah menempuh etno-religius, sehingga pihak militer melanggeng-
berbagai cara, seperti demonstrasi dan mengadu kan kekuasaan dari konflik yang berlangsung dan
ke lembaga pemerintah. Hanya jalur hukum yang bahkan tidak jarang menjadi bagian dari bisnis
tidak mereka tempuh karena mereka sadar akan itu.” Tentu saja rakyat kecil tetap tidak berdaya
kalah dan tidak sanggup membayar pengacara dan akhirnya menjadi korban dari konspirasi
(wawancara dengan Jhoni Chanda, 21 Agustus politik tersebut.
2013, di Padang). Dalam perampasan tanah itu, para investor
Perusahaan sawit selalu berjanji kepada melakukan tindakan tidak wajar. Misalnya, me-
mas­yarakat untuk melakukan kerja sama. Dalam nyerobot tanah kuburan, yang seharusnya tidak
kerja sama dengan investor itu, masyarakat diganggu gugat, untuk dijadikan kebun kelapa
mendapatkan bagian dari perkebunan. Perjanjian sawit, seperti yang dilakukan PT TPP di Desa
tersebut dilakukan PT Rimba Peranap Indah (PT Cerucup dan Jati Rejo. Sejak 1975, masyarakat
RPI) sejak dilakukan pembukaan perkebunan sudah melakukan perlawanan untuk pengem-
pada 1993. Janji awalnya adalah masyarakat balian tanah kuburan agar tidak diganggu dan
memperoleh 2 ha tiap keluarga. PT RPI tidak dijadikan perkebunan kelapa sawit. Namun, pihak
menepati janji sehingga masyarakat mengambil perusahaan tetap saja menanam sawit di tanah
kembali lahan yang telah diolah PT RPI selama kuburan itu. Dalam bentrokan masyarakat versus
20 tahun (“PT RPI dituding,” 2003, 17). karyawan PT TPP, pihak PT TPP mendatangkan
Ada kejadian yang sama sekali tidak bisa oknum berseragam tentara dan terdengar letusan
dipahami oleh masyarakat pada zaman Orde senjata api, yang membuat masyarakat ketakutan.
Baru, yaitu tanah kuburan pun dijadikan ladang Pola ini lazim terjadi. Masyarakat dibuat takut
terlebih dahulu. Trauma ketakutan ini sudah ter­

134 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


jadi setiap kali berhadapan dengan pihak aparat PT Regunas Agri Utama juga bermasalah
keamanan (wawancara dengan Sahar di Desa Sei dengan petani Talang Mamak. Tanah yang
Lalak, Kecamatan Pasir Penyu). sudah digarap turun-temurun oleh petani Talang
Konglomerat Liem Sioe Liong juga mem- Mamak sepertinya tidak menjadi ukuran bagi
buka perkebunan sawit di Kabupaten Indragiri pihak negara. Bagi negara yang memiliki hukum
Hulu. Di bawah bendera Salim Group, kelompok positif, ketiadaan sertifikat tanah menandakan
ini membuat masalah karena tanah yang mereka bahwa tanah itu bukan milik mereka sehingga
jadikan perkebunan itu didapat dengan jalan mereka tidak berhak atas tanah itu. Negaralah
pe­rampasan. Setelah rezim Orde Baru tumbang, yang berhak atas tanah-tanah yang tidak memiliki
pe­tani berdemonstrasi untuk menuntut pengem- sertifikat itu.
balian hak atas tanah mereka yang diambil. Salim Suku Talang Mamak, sebagai penduduk
Group memiliki perkebunan seluas 104.500 ha asli Riau, mengalami nasib yang sama seperti
sawit di Indragiri Hulu, Kampar, dan Bengkalis yang dialami Burhanudin di atas. Dalam sebuah
di bawah bendera PT Indriplant. Perusahaan yang wawancara, seorang penduduk Talang Mamak
beroperasi sejak 1986 itu memiliki persoalan menyatakan lahan hutan mereka dirampok untuk
dalam hal luas kebun inti sebagai milik perke- dijadikan perkebunan sawit.
bunan seluas 20% dan plasma milik masyarakat “Tanah kuburan kami tidak diakui. Hutan
seluas 80%. Perjanjian berdasarkan pada per- yang kami anggap sebagai wilayah keramat
aturan pola PIR Trans UU Nomor 333/KPTS/ dilindas oleh buldoser. Kami dianggap bukan
KB.510/1986 itu tidak berjalan. Salim Group juga penduduk sah dan bahkan keberadaan kami tidak
melanggar kesepakatan karena kelebihan lahan diakui dan mungkin kami dianggap tidak manu-
dari HGU (“Aparat desa diduga,” 2004). sia. Padahal, kami bukan penduduk pendatang,
Berbagai cara dilakukan masyarakat untuk kami orang Talang Mamak asli yang sudah meng­
melawan perusahaan sawit. Di Kelayang, ma- huni Indragiri Hulu Riau selama ratusan tahun.”
syarakat meminta PT Regunas Agri Utama (PT (Wawancara dengan Sonat, warga Talang Mamak,
RAU) hengkang. Mereka memberi ultimatum un- 20 Maret 2013, di Desa Pitonggan, Kecamatan
tuk menghentikan semua aktivitas di lahan seluas Pasir Penyu).
150 ha milik masyarakat Desa Koto Medan, Desa Salah satu kasus rumit yang dihadapi masya­
Pulau Sengkilo, Desa Koto Baru, Desa Tujuh rakat Talang Mamak adalah 10.000 ha tanah milik
Talang Tongga, dan Desa Talang Durian Cacar warga Desa Talang Perigi, Desa Talang Durian
(“Masyarakat minta PT RAU,” 2003, 17). Setelah Cacar, dan Desa Talang Selantai di Kecamatan
tuntutan tidak dipenuhi, masyarakat “meminjam” Rakit Kulim, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau.
perkebunan PT RAU. Kata “meminjam” ini men- Tanah ulayat dan petani di wilayah itu diambil
jadi bahasa halus untuk mendapatkan hasil kebun paksa oleh PT Regunas Agri Utama (“48 ribu ha
PT RAU. Kata “meminjam” di sini sama dengan hutan,” 2010; lihat juga laporan tahunan LSM
“mengambil paksa” perkebunan sawit PT RAU Scale Up, 2007). Pengambilan paksa hak milik
yang sudah menghasilkan atau panen karena rakyat ini sepertinya mendapat persetujuan dari
kejengkelan masyarakat terhadap PT RAU yang rezim Orde Baru.
selalu mengumbar janji-janji. Scott menyebutkan,
perlawanan petani seperti ini tidak memiliki se- Kasus penyempitan tanah milik suku Talang
jarah khas konflik perdesaan sehingga tidak ada Mamak terjadi di sekitar Taman Nasional Bukit
kekacauan, pembakaran, kejahatan sosial yang Tiga Puluh (TNBT) Kabupaten Indragiri Hulu.
terorganisasi, ataupun kekerasan secara terbuka. Hanya dalam delapan tahun, tanah suku Talang
Gerakan yang terjadi hanya bersifat sporadis, Mamak yang dihuni oleh suku asli itu tinggal
sehingga tidak ada gerakan besar yang terencana 30% dari total luas areanya. Sejak 2003, dari
di dalamnya. Gerakan itu menjadi bentuk dari 48.000 ha tanah hutan milik Talang Mamak, kini
suasana keseharian kalangan petani (“Masyarakat tersisa hanya 30% (“48 ribu ha hutan,” 2010).
bersiap meminjam,” 2003, 17; Scott, 1993, 301). Hutan rimba yang ditanami pohon karet itu habis
dibabat, diperjualbelikan, dan menjadi permukim­

Zaiyardam Zubir | Penguasa, Pengusaha, Dan Petani: ... | 135


an pendatang. Mereka membangun perkebunan bil adalah milik masyarakat dan tidak memiliki
sawit dan mengeruk hasil tambang batu bara. persetujuan dari masyarakat sehingga warga Desa
Perampasan tanah yang berlangsung selama masa Talang Sungai Limau, Desa Talang Sungai Parit,
Orde Baru dan masih terjadi pada masa reformasi dan Desa Pasir Bongkar menuntut pengembalian
itu menimbulkan perlawanan sampai ke tingkat hak atas tanah mereka. Sementara itu, PT Inecda
Komnas HAM, sebagaimana yang dilakukan beranggapan bahwa mereka adalah perusahaan
Gilung, penduduk Talang Mamak. besar murni, bukan KPA, sehingga tidak memiliki
Aturan-aturan adat yang dimiliki republik kewajiban memberi bagian kepada masyarakat.
ini seperti tidak berlaku. Pelaku perampasan Walaupun perusahaan ini mengaku mendapat
adalah perusahaan negara yang sebenarnya izin langsung dari Menteri Kehutanan pada za-
memiliki pemahaman tentang pengakuan atas man Orde Baru, sang Menteri tidak mengetahui
hak kepemilikan lahan penduduk asli. Padahal status dan lokasi tanah tersebut. Akibatnya, di
berbagai konvensi nasional ataupun internasional lapangan, terjadi perampasan tanah oleh pihak
mengakui keberadaan penduduk asli dengan se- perkebunan besar itu (“PT Inecda tolak,” ,2005,
gala hak-hak atas kepemilikan tanah mereka. p. 17). Gelombang demonstrasi kembali terjadi.
Pelanggar utamanya adalah perusahaan negara Kali ini, mereka berdemonstrasi di Pengadilan
yang dimulai pada zaman Orde Baru. Negeri Rengat. Mereka menuntut pengembalian
tanah mereka yang dicaplok seluas 3.200 ha.
Perlawanan warga etnis Talang Mamak juga
Dalam perjanjian awal itu, 1.600 ha dijanjikan
menjadi hal menarik untuk dikaji. Selama ini
untuk plasma, sedangkan 1.600 ha diserahkan
mereka dianggap sebagai etnis yang terbelakang.
kembali kepada masyarakat. Namun, janji itu
Namun, sejak era reformasi, mereka sudah mela-
tidak terlaksana (“Massa suku talang,” 2007).
wan dan bahkan sampai ke Mahkamah Konstitusi,
seperti yang dilakukan Gilung, seorang warga Keberanian masyarakat untuk melawan per­
Talang Mamak. Gilung menyampaikan sikap kebunan sangat menentukan keberhasilan tuntut­
dan derita yang dialami warganya di Mahkamah an mereka. Hal ini diperlihatkan oleh masyarakat
Konstitusi. Langkah yang ditempuhnya adalah Kelayang. Perebutan lahan antara masyarakat dan
pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 5 PT Inecda di Desa Sei Limau Kelayang berakhir
Tahun 1979. Pengujian terhadap undang-undang, dengan pendudukan lahan PT Inecda. Melihat
terutama Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 keberhasilan petani menduduki perkebunan itu,
(Zakaria, 2000, pp. 74–77) memperlihatkan pihak perusahaan menurunkan karyawan PT
bahwa masyarakat terasing, seperti suku Talang Inecda. Karyawan mengadakan demonstrasi
Mamak, dirugikan oleh kebijakan pemerintah. ke DPRD II Indragiri Hulu. Dalam pertemuan
Persoalan utamanya adalah penyeragaman sistem itu, karyawan merasa cemas menghadapi situasi
pemerintahan di tingkat desa, yang membuat demikian itu karena masyarakat Kelayang telah
masyarakat terpecah-pecah dan kehilangan mengambil kembali tanah mereka yang dicaplok
pengakuan hak atas tanahnya, karena hutan dan oleh perkebunan PT Inecda seluas 3.800 ha.
rimba mereka dianggap sebagai tanah negara. Tindakan masyarakat itu bisa mendatangkan
Walaupun berbeda pandangan, negara tetap kerugian bagi perusahaan (“Karyawan PT Inecda
mengembangkan perkebunan sawit di lahan milik demo,” 2007, 17).
etnis Talang Mamak itu.
Persoalan yang dihadapi PT Inecda ternyata
Pola izin perkebunan juga menjadi tumpang- bukan hanya dengan masyarakat, melainkan
tindih. Contohnya berdasarkan pada pengalaman juga dengan karyawannya. Perusahaan meng-
PT Inecda, yang memperoleh izin pelepasan hutan abaikan hak-hak karyawannya, terutama gaji
pada 1989. PT Inecda merasa berhak mengelola yang rendah. Akibatnya, karyawan melakukan
hutan itu berdasarkan pada dua HGU, yaitu HGU mogok kerja. Mereka meminta beberapa tuntutan,
Nomor 1 Tahun 1989 seluas 6357,3 ha dan HGU seperti meminta kejelasan status karyawan dan
Nomor 2 Tahun 1999 seluas 3108,1 ha. Namun, penyesuaian upah. Mereka menuntut kenaikan
masyarakat asli melihat bahwa tanah yang diam-

136 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


upah karena, jika dibandingkan, upah buruh di 100.000 ha. Persoalannya, masyarakat yang te­­lah
perkebunan lebih tinggi daripada upah buruh berabad-abad mendiami lokasi dituduh men­­du­
pabrik. Padahal, risiko pekerjaan buruh pabrik duki kawasan hutan dan diusir dari tanah le­luhur
lebih tinggi. Di perkebunan, buruh yang telah mereka (“Tangani kawasan TNTN,” 2008, 1).
bekerja selama 14 tahun menerima gaji Rp1,2 Sementara itu, walaupun sudah ditegur dan diberi
juta dan ditambah beras 46,5 kg, sedangkan gaji peringatan oleh pihak pemerintah daerah, peru-
buruh pabrik hanya Rp937 ribu tanpa tambahan sahaan besar tetap saja bisa b­ eroperasi di TNTN
beras (“Ratusan karyawan PKS,” 2004, 17). (“PT Tesso abaikan,” 2004, 17). Satu di­usir dan
PT Kencana Amal Tani (KAT) di Siberida lain ditegur, tetapi mereka tetap ­ber­­operasi se-
memiliki konflik dengan masyarakat. Janji per­ hingga terjadi diskriminasi orang mis­kin dengan
usahaan untuk memberikan plasma tidak ditepati orang kaya.
perusahaan itu. Sebagai ganti rugi atas diambilnya
tanah oleh perusahaan, masyarakat diberi uang SIMPULAN
sebesar Rp175 juta. Namun, masyarakat dari dua
Pengembangan perkebunan kelapa sawit itu mem-
desa, yaitu Pangkalan Kasai dan Kelasa, menolak
bawa berbagai perubahan besar dalam tatanan
ganti rugi itu dan mereka menginginkan diberi kehidupan masyarakat. Praktik ­ kapitalisme
perkebunan sawit dalam bentuk plasma. Berbagai sebagai kebijakan negara pada masa Orde Baru
perlawanan telah dilakukan masyarakat di perke- yang dibangun menggantikan sistem ekonomi
bunan sawit, seperti meminta baik-baik kepada tradisional menimbulkan berbagai anomali dalam
perusahaan dan melakukan demonstrasi. Pada masyarakat, khususnya di kalangan petani. Per-
2010, misalnya, perusahaan berjanji membangun tama, melemahnya hak atas kepemilikan tanah
plasma untuk rakyat. Mereka telah melakukan dari penduduk asli. Kedua, berlangsungnya
land clearing tanah masyarakat seluas 300 ha, pelanggaran hukum adat soal tanah oleh pemilik
namun janji itu tidak ditepati. modal. Ketiga, munculnya broker yang merugi-
Bahkan, sampai 2003, PT KAT tidak juga kan petani. Keempat, terjadinya relasi yang tidak
seimbang antara penguasa dan pengusaha versus
membangun plasma sehingga selalu menjadi
petani. Kelima, perlawanan petani terhadap prak-
sasaran demonstrasi masyarakat. Persoalan PT
tik kapitalisme. Keenam, efek samping berupa
KAT ini ternyata juga melibatkan beberapa desa
kemunculan kota-kota di pinggiran perkebunan
lain, seperti Desa Belimbing, Desa Ringin, dan
besar.
Desa Gangsal, dengan total tanah masyarakat
Perkebunan kelapa sawit membutuhkan tanah
yang diambil perusahaan mencapai 1.000 ha.
yang luas. Untuk mendapatkan tanah itu, pemda
PT KAT ternyata juga memiliki persoalan menggunakan cara, baik elegan maupun cara
analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang tidak adil, misalnya melalui perampasan.
karena mencemari Sungai Seguyam di Keca- Ungkapan yang lazim berlangsung di lapangan
matan Siberida. Lagi-lagi aduan masyarakat adalah ambil dulu tanahnya, perhitungan dibuat
tidak mendapatkan respons positif dari pihak belakangan. Setelah mendapatkan tanah secara
yang berwenang. Pencemaran pun berjalan terus sah, perusahaan merampas tanah yang berada di
(“PT KAT diduga,” 2001, 1). sisi kiri-kanan dan muka-belakang dari perke-
bunan mereka. Tanah itu diambil sedikit demi
Dalam kasus lain, perusahaan swasta juga
sedikit dan menyatukan tanah orang lain dengan
tidak segan-segan menjarah wilayah yang di-
tanah mereka sendiri.
anggap sebagai cagar alam, seperti nasib yang
dialami Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) dan Dalam proses mendapatkan tanah itu, pe­
Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBTP). Pada nguasa dan pengusaha tidak mengakui ada­nya
awalnya, TNTN memiliki luas 38.000 ha. Untuk hukum adat setempat, seperti tanah ulayat,
­hutan adat, dan hutan larangan. Pemilik modal
men­cegah semakin luasnya perkebunan sawit
­menganggap tanah adat sebagai tanah tak ­bertuan
dan perambahan hutan, pemerintah k­ emudian
dan menjadi tanah milik negara. Jika pun pengua­
me­nambah luas area Taman Nasional ini ­menjadi

Zaiyardam Zubir | Penguasa, Pengusaha, Dan Petani: ... | 137


sa dan pengusaha dituntut mengembalikan tanah menuntut pengembalian tanah mereka yang
yang dirampas itu, mereka meminta kepastian dirampas penguasa dan pengusaha.
kepemilikan tanah seperti sertifikat tanah. Per- Meskipun sudah terjadi berbagai bentuk
mintaan sertifikat tanah itu jelas sekali dilihat perlawanan, upaya pengembalian tanah yang
dari sudut hukum positif (negara), sementara dirampas tidak berjalan sesuai dengan keinginan
masyarakat sudah berabad-abad menganut hukum petani. Bahkan, pada tanah-tanah yang sedang
adat, sehingga menimbulkan silang sengketa bermasalah antara petani dan pemilik modal itu,
dalam proses pembebasan dan tuntutan ganti penguasa memberikan perpanjangan izin kepada
ruginya.
perusahaan perkebunan sawit untuk tetap dapat
Dalam kasus perampasan tanah itu, negara beroperasi untuk 20 tahun ke depan. Hal itu
tidak berpihak kepada petani, tetapi kepada peng­ merupakan sebuah kebijakan yang tidak memiliki
usaha. Pemihakan negara kepada pengusaha ini empati kepada petani, yang tanahnya dirampas,
melahirkan perlawanan petani. Perlawanan itu tidak ada kepastian ganti rugi, dan bahkan dija-
berlangsung sejak awal masuknya modal besar, dikan budak.
baik modal milik negara maupun modal swasta
nasional dan asing, ke Indragiri Hulu Riau. Tu-
UCAPAN TERIMA KASIH
juan utama perlawanan petani adalah upaya
pengembalian tanah mereka yang telah dirampas Tulisan ini merupakan ringkasan disertasi penulis
pengusaha dan penguasa. Penderitaan mereka di Jurusan Sejarah Program Studi Humaniora
tidak hanya sampai dirampasnya tanah mereka, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada,
tetapi juga dieksploitasi menjadi buruh di atas Yogyakarta, 2016. Penulis mengucapkan terima
bekas tanah mereka sendiri. Mereka mendapatkan kasih kepada Prof. Dr. Suhartono W. Pranoto
upah rendah serta tidak mendapatkan jaminan sebagai promotor serta Dr. Sri Margana, M.Phil.,
sosial, ekonomi, kesehatan, dan kesejahteraan. sebagai ko-promotor. Penulis juga mengucapkan
Bentuk perlawanan yang dilakukan petani terima kasih kepada para penguji disertasi saya:
sesuai dengan kondisi politik yang berkembang Prof. Dr. Bambang Purwanto, Prof. Dr. Heddy
secara nasional. Pada saat negara dikuasai rezim Shri Ahimsa-Putra, Prof. Dr. Nawiyanto, M.A.,
militer, seperti pada masa Orde Baru, corak Prof. Dr. Ir. Masyhuri, dan Dr. Abdul Wahid,
perlawanan yang dapat dilakukan petani lebih M.Hum.
tertutup dan everyday forms resistance, seperti
petani memperlambat pekerjaan, bersifat pura- PUSTAKA ACUAN
pura, pelarian diri, pura-pura baik, melakukan 48 ribu ha hutan adat Talang Mamak musnah dibabat.
pencurian, pura-pura tidak tahu, menjatuhkan (2010, 28 Maret). Dalam Media Indonesia
nama baik orang, dan melakukan pembakaran online, 17.
(James Scott). Aditjondro, G. J. (2002). Aksi petani, represi militer
dan sosialisme marga: Memperluas wacana
Perubahan rezim diikuti pula dengan pe-
permasalahan tanah di Indonesia. Dalam Anu
rubahan gerakan perlawanan petani. Sementara Lounela (eds). Berebut Tanah: Beberapa
perlawanan pada rezim Orde Baru lebih bersifat Kajian Perspektif Kampus dan Kampung.
tertutup, pada era reformasi bersifat terbuka ke Yogyakarta: Insist Press.
pusat kekuasaan, seperti kantor bupati, DPRD, Ahimsa-Putra, H. S. (2007). Wacana pembuka: Men-
Komnas HAM, dan kantor pusat perkebunan. cari jatidiri Melayu. Dalam Koentjaraningrat,
Berbagai cara perlawanan dilakukan petani, Masyarakat Melayu dan Budaya Melayu dalam
seperti demonstrasi, pembakaran kebun, dan Perubahan. Yogyakarta: Balai Kajian dan
Pengembangan Budaya Melayu.
pengambilan hasil sawit. Untuk kasus Riau,
Aparat desa diduga lahan plasma. (2004, 10 Agustus).
terjadi gerakan Riau Merdeka, sebuah tuntutan
Dalam Riau Mandiri.
untuk melepaskan diri dari NKRI. Spirit Gerakan
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Riau
Riau Merdeka ini menjadi penting bagi gerakan
dalam Angka (1976–2010). Pekanbaru: BPPD.
petani karena menimbulkan keberanian untuk
Bernstein, H. (2015). Dinamika kelas dalam peruba-
han agraria. Yogyakarta: Insist Press.

138 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


Boeke, J. H. (1983). Pra kapitalisme di Asia. Jakarta: Kartodirdjo, S. (1994). Pemberontakan petani di
Sinar Harapan. Banten 1888. Jakarta: Pustaka Jaya.
Budiman, A. (1995). Teori pembangunan dunia ketiga. Karyawan PT Inecda demo DPRD Inhu. (2007, 28
Jakarta: Gramedia. November). Dalam Riau Mandiri.
Camara, D. H. (2000). Spiral kekerasan. Yogyakarta: Kato, T. (2005). Adat minangkabau dan merantau
Insist Press dan Pustaka Pelajar. dalam perspektif sejarah. Jakarta: Balai
Chaniago, A. (2003). Raja Thamsir Rachman, meng- Pustaka.
gugah anak negeri. Rengat. Keputusan Pengadilan Negeri Rengat No. 05/
Cissokho, M. (2009). God is not a peasant. Presence pdt.g/2013/pn.rgt.
Africaine et Grad. Kian Wie, T. (Ed.). (1980). Pembangunan ekonomi
Daldjoeni, N. (1987). Geografi kota dan desa. Band- dan pemerataan: Beberapa pendekatan alter-
ung: Penerbit Alumni. natif. Jakarta: LP3ES.
Darmawan, A. (2008). Bulean, suku talang mamak Kian Wie, T. (Ed.). (2004). Pembangunan, kebebasan,
indragiri hulu Riau. Pekanbaru: Dinas Kebu- dan “mukjizat” Orde Baru. Jakarta: Penerbit
dayaan, Kesenian dan Pariwisata Provinsi Riau. Buku Kompas.
Diduga buka lahan tanpa izin; PTPN V diingatkan Klinken, Gerry van. (2007). Perang kota kecil:
hentikan aktivitas. (2007, 7 Juli). Dalam Riau Kekerasan komunal dan demokrasi di Indo-
Mandiri. nesia. Jakarta: Obor dan KITLV Jakarta.
Direktori Sawit Indonesia. (2012). Bogor: Masyarakat Konflik Lahan Masyarakat–PTPN V, Timbulkan
perkelapasawitan Indonesia. Antipati. (2002, 27 Mei). Dalam Riau Mandiri.
Fakih, M. (2001). Sesat pikir teori pembangunan dan Kunio, Y. (1990). Kapitalisme semu di Asia Tenggara.
globalisasi. Yogyakarta: Insist Press. Jakarta: LP3ES.
Gurr, R. (1971). Why men rebel. Princeton: Princeton Kuntowijoyo. (2008). Penjelasan sejarah. Yogyakarta:
University Press. Tiara Wacana.
Halim, E. H. (2001). Mengapa harus merdeka? Tangis Laporan Tahunan LSM Scale Up 2007. (2007–2008).
dan darah rakyat Riau dalam memperjuangkan Pekanbaru: Scale.
sebuah Marwah. Pekanbaru: Unri Press. Lounela, A., & Zakaria, R. Y. (eds.). (2002). Berebut
Hamidy, U. U. (1995). Kamus antropologi dialek tanah: Beberapa kajian perspektif kampus dan
Melayu rantau kuantan Riau. Pekanbaru: Unri kampung. Yogyakarta: Insist Press.
Press. Lucas, A., & Warren, C. (Eds.). (2013). Land for
Hill, H. (1990). Investasi asing dan industrialisasi di the people: The state and agrarian conflict in
Indonesia. Jakarta: LP3ES. Indonesia. Ohio: Ohio University Research in
International Studies.
Hobsbawm, E. J. (1974). Primitive rebels. Manchester:
Manchester University Press. Manan, M. (2009). Bingkai-bingkai Riau. Jurnal
Teraju, edisi Khusus, April–Mei.
Iktikad PTPN V Bantu Masyarakat Diragukan. (2003,
20 Desember). Dalam Riau Mandiri. Margana, Sri, & Nursam, M. (Eds.). (2010). Kota-kota
di Jawa: Identitas, gaya hidup dan permasala-
Indonesia. (2001). Ketetapan MPR Nomor IX/
han sosial. Yogyakarta: Ombak.
MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam. Massa suku talang mamak demo PN Rengat. (2007,
29 November). Dalam Riau Mandiri.
Indragiri Hulu dalam angka 1980–2010. Rengat:
Kerja Sama Badan Perencanaan Pemerintah Masyarakat bersiap “meminjam” lahan PT RAU.
Daerah dan Kantor Statistik Indragiri Hulu. (2003, 14 Agustus). Dalam Riau Mandiri
Juwono, H. & Hutagalung, Y. (2006). Tiga tungku Masyarakat bersiap “meminjam” lahan PT. RAU.
sejarangan: Sejarah kesultanan Indragiri (2003, 14 Agustus). Dalam Riau Mandiri
sampai peristiwa 5 Januari 1949. Yogyakarta: Masyarakat minta PT RAU hengkang. (2003, 26
Ombak. April). Dalam Riau Mandiri.
Kang, Y. H. (2005). Untaian kata leluhur: Marji- Masyarakat tetap tuntut ganti lahan HGU. (2002, 17
nalitas, emosi, dan kuasa kata-kata magi di Juli). Dalam Riau Mandiri.
kalangan orang Petalangan Riau. Pekanbaru: Merasa terus dibohongi, kebun PT ASL “Dipanen”
Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyara- massa. (2003, 21 Februari). Dalam Riau
katan Unri. Mandiri.

Zaiyardam Zubir | Penguasa, Pengusaha, Dan Petani: ... | 139


Merasa terus dibohongi, kebun PT ASL “dipanen” Kota Baru: Sejarah Kota-kota di Indonesia.
massa. (2003, 21 Februari). Dalam Riau Yogyakarta: Ombak.
Mandiri. Rab, T. (2002). Menuju riau Berdaulat. Pekanbaru:
Mubyarto (ed.). (1992). Riau menatap masa depan. Riau Cultural Institute.
Yogyakarta: Aditya Media. Rab, T. (2003). Penjarahan migas Natuna. Pekanbaru:
Muhaimin, Y. A. (1990). Bisnis dan politik: Kebijak- Riau Cultural Institute.
sanaan ekonomi Indonesia 1950–2980. Jakarta: Rahman, E. (ed.). (2003). Alam melayu: Sejumlah
LP3ES. gagasan menjemput keagungan. Pekanbaru:
Navis, A. A. (1985). Alam terkembang jadi guru. Unri Press.
Jakarta: Grafiti Press. Ratusan karyawan PKS Inecda mogok. 2004, 24 Juni.
Pangestu, M. (1991). An Indonesian perspective. Dalam Riau Mandiri.
Dalam Lee Tsao Yuan, Growth Triangle: The Reid, A. (2011). Menuju sejarah Sumatra: Antara
Johor-Singapura-Riau Experience. Singapura: Indonesia dan dunia. Jakarta: Yayasan Obor
Institute of Southeast Asian Studies and Insti- Indonesia.
tute of Policy Studie.
Robison, R. (1986). Indonesia: The rise of capital.
Patih dan Batin Talang Mamak. (2013, 18 Januari). North Sydney: Allen & Unwin, Pty Ltd.
bersamaan, mewujudkan pengakuan dan
Romli, L. (2006). Islam yes. Partai Islam yes: Sejarah
perlindungan masyarakat adat yang berdaulat,
perkembangan partai-partai Islam di Indone-
mandiri dan bermartabat. Selebaran.
sia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pemerintah Kabupaten Ikndragiri Hulu cabut izin PT
Salam, A. (1993). Riau dalam perspektif kerja sama
Duta Palma Satu. (2015, 31 Maret). Riau Trust.
Sijori. Dalam, Adi Sasono (eds.), Pemban-
com.
gunan Regional dan Segitiga Pertumbuhan
Pranoto, S. W. (1991). Apanage dan bekel: Peruba- Jakarta: Cides.
han sosial di pedesaan Surakarta 1839–1920.
Sasano, A. (Eds.). (1993). Pembangunan Regional dan
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Segitiga Pertumbuhan. Jakarta: Cides.
Pranoto, S. W. (2001). Serpihan budaya feodal.
Savitri, L. A. (2013). Korporasi & politik perampasan
Yogyakarta: Agastya Media.
tanah. Yogyakarta: Insist Press.
PT ASL rampas tanah warga. (2002, 21 Maret). Dalam
Sayuti, H. (2003). Gerakan Reformasi Riau 1998–
Riau Mandiri.
2003. Pekanbaru: Bahana Press.
PT Inecda diduga tipu petani. (2003, 25 November).
Scott, J. C. (2000). Senjatanya orang-orang yang
Dalam Riau Mandiri.
kalah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
PT Inecda tolak tuntutan warga. (2005, 27 September).
Sengketa lahan PTPN V ricuh, batin tunda pasang
Dalam Riau Mandiri.
patok adat. (2010, 7 Oktober). Dalam FN News.
PT KAT diduga tidak memiliki dokumen amdal.
Soal dugaan pemalsu SK Bupati Inhu; Bawasda
(2001, 7 Juni). Dalam Riau Pos.
periksa sejumlah aparat desa. (2004, 5 Agus-
PT RPI dituding ingkar janji bangun kebun. (2003, 30 tus). Riau Mandiri.
Desember). Dalam Riau Mandiri.
Soedjatmoko. (19181). Dimensi manusia dalam
PT Tesso abaikan imbauan pemkab. (2004, 14 Mei). pembangunan. Jakarta: LP3ES.
Dalam Riau Mandiri.
Soetrisno, L., & Winahyu, R. (1991). Kelapa sawit:
PT TPP rambah lahan kuburan. (2002, 18 Februari). Kajian sosial ekonomi. Yogyakarta: Aditya
Dalam Riau Mandiri. Media.
Pujiriyani, D.W., Putri, V. R., Yusuf, M., & Ariin, Stoler, A. L. (2005). Kapitalisme dan konfrontasi di
M. B. (2014). Land grabbing: Bibliografi sabuk perkebunan Sumatra 1870–1979. Yog-
beranotasi. Yogyakarta: STPN Press. yakarta: Karsa.
Purwanto, B. (2001). Sejarah ekonomi desa: Antara Suryadi, H. (2008). Gerakan Riau merdeka: Meng-
eksploitasi dan kesempatan. Jurnal Dinamika gugat sentralisme kekuasaan yang berlebihan.
Pedesaan dan Kawasan UGM Yogyakarta, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
1(01).
Suryani, A. (Ed.). (2012). Akselerasi inovasi industri
Purwanto, B. (2005). Kekerasan dan kriminalitas kelapa sawit untuk meningkatkan daya saing
di kota pada saat transisi: Yogyakarta pada global. Bogor: Maksi.
akhir masa kolonial dan awal kemerdekaan.
Tangani kawasan TNTN: BKSDA lakukan diskrimi-
Dalam Freek Colombijn (Eds.), Kota Lama
nasi hukum. (2008, 15 Desember). Dalam Riau
Mandiri.

140 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


Tenas, E. (1994). Tunjuk ajar Melayu. Butir-butir Yoesoef, N. (1992). Masyarakat terasing dan kebu-
budaya Melayu Riau. Pekanbaru: Dewan dayaannya di Provinsi Riau. Pekanbaru: UP
Kesenian Riau. Telaga Karya.
Tiominar, B. (2008). Bandit berdasi: Korupsi berja- Yusuf, T. (2010). Baturijal: Sebuah desa dengan
maah. Yogyakarta: Impulse dan Kanisius. budaya yang sarat nilai, penuh makna. Jakarta:
Tiominar, B. (2011) Perkebunan dan kemiskinan: Latira.
Kisah sebuah kampung di kawasan perkebunan Zakaria, R. Y. (2000). Abih tandeh: Masyarakat desa
kelapa sawit. Jakarta: Down to Earth. di bawah rezim Orde Baru. Jakarta: Elsam.
Vansina, J. (2014). Tradisi lisan sebagai sejarah. Zubir, Z. (2002). Radikalisme kaum pinggiran: Studi
Yogyakarta: Ombak. tentang issue, strategi dan dampak gerakan.
Warga Pandan Wangi Tuding PTPN V Berbohong. Yogyakarta: Insist Press.
(2003, 9 September). Dalam Riau Mandiri. Zubir, Z. (2010). Budaya konflik dan jaringan
Wibowo, L. R., Woro, C., Runggandini, M., & kekerasan: Pendekatan penyelesaian berdasar-
Subarudi. (2008). Konflik sumber daya hutan kan kearifan lokal Minangkabau Yogyakarta:
dan reformasi agraria: Kapitalisme menge- Insist Press.
pung desa. Yogyakarta: Alfa Media Palma
Foundation.

Zaiyardam Zubir | Penguasa, Pengusaha, Dan Petani: ... | 141


142 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 
TINJAUAN BUKU

MENGHIJAUKAN SEKTOR SAWIT MELALUI PETANI,


LESSON-LEARNED HIVOS UNTUK ISU SAWIT
BERKELANJUTAN
Eusebius Pantja Pramudya, Agung Prawoto, Rini Hanifa. (2015). Jakarta: Renebook. 252

Nia Kurniawati Hidayat


Departemen Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan
Institut Pertanian Bogor
Email: niakurniawatihidayat@gmail.com

PENDAHULUAN kan pengalaman penulis dalam melaksanakan


Kelapa sawit merupakan komoditas pertanian program Hivos yang telah lebih dari 10 tahun
unggulan Indonesia. Sektor ini berkontribusi posi- mendukung petani kecil mewujudkan produksi
tif terhadap perekonomian Indonesia, t­ermasuk kelapa sawit yang berkelanjutan. Dengan sema­
sebagai penyumbang devisa (Rifin, 2013) dan kin tingginya tuntutan untuk memenuhi aspek
menciptakan lapangan kerja (Rist, Feintrenie, & keberlanjutan sebagai prasyarat untuk mema­suki
Levang, 2010). Namun, perluasan perkebunan (sebagian) pasar minyak sawit dunia dan desakan
melalui alih fungsi lahan hutan dan lahan g­ ambut penerapan kebijakan mandatory standar ­Kelapa
serta produksi kelapa sawit yang dilakukan Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian
­tan­pa memperhatikan aspek keberlanjutan telah ­Sustainable Palm Oil/ISPO), kajian buku Meng-
me­nimbulkan perdebatan karena berkontribusi hijaukan Sektor Sawit melalui Petani menjadi
terhadap rusaknya habitat satwa liar (Obidzinski, penting untuk memberikan pandangan mengenai
Andriani, Komarudin, & Andrianto, 2012), hi­ bagaimana upaya yang dapat dilakukan untuk
langnya keanekaragaman hayati (Koh & Wilcove, membawa petani berkontribusi ­mewujudkan
2008), akumulasi gas rumah kaca (Sheil dkk., produksi kelapa sawit yang berkelanjutan.
2009), serta memicu konflik sosial (Colchester
& Jiwan, 2006). SEKTOR KELAPA SAWIT YANG
Petani kecil merupakan salah satu kelompok BERKELANJUTAN
produsen kelapa sawit yang penting dan mengua­ Konsep pembangunan berkelanjutan telah dite­
sai lebih dari 40 persen luas area perkebunan rapkan secara luas di berbagai sektor, termasuk
sawit nasional (Directorate General of Estate sektor pertanian. Dalam buku Menghijaukan
Crops, 2016). Petani dapat dikatakan sebagai Sektor Sawit melalui Petani, pembangunan
gate-keeper, yakni penentu dalam mewujudkan berkelanjutan ditandai oleh terciptanya produksi
produksi kelapa sawit berkelanjutan (Hidayat, dan konsumsi berkelanjutan yang mempertim-
2017). Namun, petani memiliki keterbatasan bangkan kelestarian lingkungan dan kesetaraan
sum­ber daya, termasuk akses modal, informasi, aspek sosial dalam pemanfaatan sumber daya
dan teknologi, yang berpotensi merintangi petani alam. Dengan kata lain, sektor kelapa sawit diang-
untuk dapat berperan aktif dalam mewujudkan gap berkelanjutan jika pemanfaatan sumber daya
produksi kelapa sawit yang berkelanjutan. Buku yang berkaitan dengan kegiatan produksi kelapa
berjudul Menghijaukan Sektor Sawit melalui sawit dan turunannya tidak hanya menguntung-
Petani: Lesson-learned Hivos untuk Isu Sawit kan secara ekonomi, tetapi juga tidak merusak
Berkelanjutan yang ditulis oleh Panca Pramudya, lingkungan, seperti rusaknya habitat satwa liar,
Agung Prawoto, dan Rini Hanifah ini memapar- hilangnya keanekaragaman hayati, pencemaran

143 
lingkungan karena penggunaan bahan kimia yang ekonomi dan keuangan jangka panjang; (4)
tidak terkendali, dan menimbulkan konflik sosial peng­gunaan praktik-praktik terbaik yang tepat
seperti konflik kepemilikan lahan. oleh ­perkebunan dan pabrik pengolahan; (5)
Rival dan Levang (2014) dan Pramudya, tang­gung jawab lingkungan dan konservasi
Prawoto, & Hanifa (2015) mengemukakan bahwa sumber daya alam dan keanekaragaman hayati;
peningkatan standar hidup masyarakat du­nia me­ (6) bertanggung jawab terhadap para karyawan,
nye­bab­kan peningkatan konsumsi mi­nyak yang individu, dan masyarakat yang terkena dampak
bersumber dari kelapa sawit tidak da­pat dihindar- perkebunan dan pabrik pengolahan; (7) perluasan
kan. Hal tersebut terjadi karena komo­ditas m
­ inyak penanaman baru yang bertanggung jawab; dan
sawit jauh lebih produktif, yaitu 10 kali lebih serta (8) komitmen terhadap perbaikan secara
tinggi dibandingkan produksi minyak kedelai per terus-menerus pada area-area utama program
ha (PASPI, 2016). Di ­samping itu, biaya produksi yang dilakukan.
minyak sawit 20% lebih rendah daripada minyak ISCC merupakan inisiatif untuk mendukung
kedelai. Sifat minyak sawit, yang konsisten pada EU renewable energy directive (RED 2009/28/
suhu ruang, juga lebih diminati sebagian besar EC) dalam mengurangi emisi gas rumah kaca
industri dibandingkan komoditas minyak nabati di Eropa. Sertifikasi ISCC berfokus pada kelapa
lain, seperti minyak kedelai, minyak rapeseed, sawit yang digunakan untuk biofuel dan biomassa.
dan minyak bunga matahari. Prospek ekonomi Pramudya dkk. (2015, 32) merangkum kriteria
yang semakin baik pada komoditas kelapa sawit, utama keberlanjutan dalam ISCC, meliputi ke-
yang terlihat dari semakin tingginya harga m­ inyak berlanjutan biomassa dengan kelapa sawit yang
sawit dunia, menstimulasi tumbuh pesatnya diproduksi tidak berasal dari wilayah yang tidak
investasi di perkebunan sawit. Melonjaknya diperbolehkan (seperti wilayah yang mengandung
konsumsi dan produksi kelapa sawit berimpli­ nilai konservasi tinggi), keberlanjutan produksi
kasi pada penurunan kualitas lingkungan dan dan operasi, serta keberlanjutan sosial. Di samp-
meningkatkan kesenjangan sosial jika ekspansi ing itu, sertifikasi ISCC menargetkan biofuel dan
dan produksi kelapa sawit tidak dikelola secara biomassa yang dihasilkan dapat berkontribusi
berkelanjutan. Kesadaran untuk mengurangi terhadap pengurangan emisi paling sedikit 35
dam­pak negatif dari produksi kelapa sawit mela­ persen dan harus dapat menjamin keteracakan
tarbelakangi munculnya berbagai inisiatif, baik dari produk yang dihasilkan.
yang datang dari aktor non-pemerintah (misalnya RSPO dan sertifikasi private lainnya secara
Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan umum bersifat sukarela sehingga dinilai lambat
International Sustainability and Carbon Certifica- dalam mewujudkan transformasi produksi kela­pa
tion (ISCC)) maupun dari pemerintah (misalnya sawit yang lebih berkelanjutan. Merujuk pada
ISPO). Inisiatif-inisiatif tersebut menentukan Suharto (2010), Pramudya dkk. (2015) meli­hat
standar produksi kelapa sawit masing-masing pemerintah merasa perlu membentuk suatu standar
yang disetujui serta kemudian digunakan sebagai yang didasarkan pada kumpulan peraturan terkait
definisi, aturan, dan pedoman produksi kelapa dengan kelapa sawit di ­Indonesia dan mengini-
sawit yang berkelanjutan. siasi sistem sertifikasi yang berbasis pemerintah
RSPO merupakan salah satu sistem tata ke­ (ISPO), dalam rangka untuk mempercepat terwu-
lola kelapa sawit berkelanjutan yang ­diinisiasi judnya sektor sawit yang berkelanjutan dengan
oleh berbagai pemangku kepentingan dan biaya sertifikasi yang lebih murah sehingga tidak
di­adopsi di Indonesia. Dalam RSPO, terdapat membebani produsen kelapa sawit. Berbeda
de­lapan prinsip yang harus dipenuhi untuk dapat dengan RSPO, ISPO adalah mandatory bagi per­
di­ka­ta­kan bahwa produksi kelapa sawit telah usahaan sawit yang beroperasi di Indonesia dan
di­la­kukan secara ber­kelanjutan (Pramudya dkk., kemudian petani. Dari sisi ISPO yang mengacu
2015), yakni (1) komitmen terhadap transparansi; pada Peraturan Kementerian Pertanian Nomor 11
(2) kepatuhan terhadap peraturan perundangan Tahun 2015, terdapat tujuh prinsip yang harus di-
yang berlaku; (3) komitmen terhadap kelayakan penuhi untuk dapat mengatakan bahwa produksi

144 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


kelapa sawit memenuhi kaidah keberlanjutan, ditetapkan (pemerintah) dengan fungsi utama
yakni (1) kepatuhan terhadap legalitas usaha me­lindungi kelestarian lingkungan hidup yang
dan lahan perkebunan; (2) penerapan manajemen mencakup sumber daya alam, sumber daya
perkebunan kelapa sawit terbaik; (3) perlindung­ buat­an, serta nilai sejarah dan budaya bangsa
an terhadap pemanfaatan hutan alam primer dan guna kepentingan pembangunan berkelanjutan
hutan gambut; (4) melakukan pengelolaan dan (Suharto dkk., 2015). Aspek-aspek mengenai
pemantauan lingkungan; (5) menunjukkan tang- per­samaan dan perbedaan RSPO dan ISPO dapat
gung jawab terhadap pekerja; (6) tanggung jawab dilihat lebih mendetail dalam kajian Suharto dkk.
sosial dan pemberdayaan ekonomi masyarakat; (2015).
serta (7) komitmen untuk melakukan peningkatan Berlakunya beberapa standar keberlanjutan
usaha secara berkelanjutan. Prinsip keberlanjutan secara bersamaan dalam komoditas sawit berim-
untuk petani swadaya lebih ringan dibandingkan plikasi pada ketidakpastian bagi perekonomian
yang diterapkan untuk perkebunan besar, yakni petani, termasuk dalam hal akses pasar, disebab-
terbatas pada pemenuhan prinsip (1) kepatuhan kan oleh ketidakmampuan mereka memenuhi
terhadap legalitas usaha perkebunan; (2) organi­ standar yang dipersyaratkan (Hidayat, Offermans,
sasi pekebun dan pengelolaan usaha perkebunan; & Glasbergen, 2017). Dalam buku Menghijaukan
(3) upaya pengelolaan dan pemantauan lingkung­ Sektor Kelapa Sawit melalui Petani, Pramudya
an, serta (4) komitmen terhadap peningkatan dkk. (2015, 37) mengungkapkan bahwa berlaku-
usaha secara berkelanjutan. nya standar mutu yang ditetapkan oleh belahan
bumi utara mungkin menjadi penghambat eko-
KONTESTASI MENGENAI KONSEP nomi petani kecil. Hal itu terjadi karena kriteria
keberlanjutan yang ditetapkan dalam standar
KEBERLANJUTAN
tersebut (the northern standard, misalnya RSPO)
Meskipun secara umum konsep keberlanjutan tidak sesuai dengan praktik yang dilakukan petani
yang digunakan pada standar-standar yang ada, di belahan bumi selatan.
seperti RSPO dan ISPO, memiliki kesamaan,
Di samping itu, pengetahuan petani mengenai
yakni menyeimbangkan tiga pilar keberlanjutan
praktik-praktik pertanian yang berkelanjutan ma-
yakni aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan, kri-
sih terbatas (Brandi dkk., 2013). Hivos, melalui
teria serta indikator keberlanjutan ­antar-standar
lembaga BioCert, mengidentifikasi tingginya
tersebut memiliki beberapa perbedaan yang men­
kesenjangan antara prinsip dan kriteria keberlan­
cerminkan perbedaan toleransi terhadap dam­pak
jutan dalam RSPO dengan performa petani di
negatif produksi kelapa sawit. Misalnya konsep
lapangan. Kesenjangan tersebut, antara lain,
high conservation value forest yang ­digunakan
adalah kurangnya pemahaman petani ­mengenai
RSPO dan ISPO yang berbeda, lebih jauh ber­
RSPO. Hal itu sejalan dengan hasil studi Hidayat,
implikasi pada perbedaan konsep deforestasi
Offermans, & Glasbergen (2015, 42) yang dilaku-
yang digunakan RSPO dan ISPO. HCV network
kan terhadap petani yang tersertifikat RSPO, yang
mendefinisikan high conservation value (HCV)
mengemukakan bahwa:
sebagai suatu nilai yang terkandung dalam sebuah
kawasan, baik lingkungan maupun sosial, seperti “Sertifikasi [RSPO] sebagai alat untuk mencip-
habitat satwa liar, daerah perlindungan resapan takan pertanian yang berkelanjutan tidak dapat
air, dan situs arkeologi (kebudayaan); dan nilai- dipahami oleh petani, sertifikasi [RSPO] dilihat
nilai tersebut diperhitungkan sebagai nilai yang sebagai alat ekonomi untuk memperoleh peng-
hidupan yang lebih baik. Petani berpartisipasi
sangat signifikan atau sangat penting secara lokal,
dalam sertifikasi berkelanjutan [RSPO] karena
regional, atau global (High Conservation Value, diwajibkan oleh perusahaan mitra (petani plasma)
2015). Dalam ISPO, nilai konservasi didefinisi- atau karena sertifikasi diperkenalkan oleh orang
kan berdasarkan pada Keputusan Presiden Nomor terpercaya [misalnya tokoh masyarakat] yang
32 Tahun 1990. Berbeda dengan RSPO, yang menawarkan peluang peningkatan pendapatan.”
mengadopsi konsep HCV, ISPO menggunakan Dari hasil identifikasi Hivos, Pramudya
konsep kawasan lindung, yakni kawasan yang dkk. (2015) menemukan adanya konflik sosial,

Nia Kurniawati Hidayat | Menghijaukan Sektor Sawit ... | 145


terutama yang terkait dengan penggunaan lahan dukungan finansial dari pihak eksternal. Petani
dan kurang transparannya mekanisme kemitraan, plasma secara struktur terikat kontrak atau per-
termasuk mekanisme penetapan harga dan penen­ janjian kredit dengan perusahaan kelapa sawit
tu­an mutu tandan buah segar (TBS). Organisasi tertentu. Petani plasma sering terorganisasi dan
petani swadaya terbatas pada koordinasi petani tidak bisa bebas mengelola kebun kelapa sawit
anggota dalam perbaikan infrastruktur perkebun­ yang dimiliki, melainkan dengan pengawasan
an, seperti jalan, dan mengelola dana peremaja­ manajer dari perusahaan mitra. Petani swadaya
an. Petani pada umumnya belum menerapkan ialah petani yang mendirikan perkebunan kelapa
praktik berkelanjutan. Penggunaan bahan kimia sawitnya secara mandiri menggunakan dana pri­
dilakukan tanpa pelindung diri dan limbah kimia badi. Petani swadaya dicirikan oleh ­kebebasan
yang dihasilkan tanpa pengelolaan yang baik dalam menentukan apa dan bagaimana menge-
se­hingga berpotensi mencemari lingkungan. lola perkebunan sawit yang dimilikinya (self-
Dengan tingginya kesenjangan antara performa organized, self-managed, self-financed) dan tidak
petani dan standar keberlanjutan, jika tak ada terikat kontrak dengan perusahaan kelapa sawit.
dukungan untuk meningkatkan keterampilan dan Meskipun tidak tanpa masalah, dengan dukungan
akses terhadap pengetahuan dan informasi, sulit finansial, training, supervisi, dan jaminan pasar
bagi petani kecil untuk memenuhi standar mutu. dari perusahaan mitra, petani plasma relatif me-
Hal tersebut berimplikasi pada rendahnya harga miliki posisi yang lebih baik secara ekonomi
yang diterima dan terbatasnya akses pasar. dibandingkan petani swadaya (Hidayat, 2017).
Selain itu, persepsi dan ekspektasi petani Petani swadaya memegang peran penting
ter­hadap standar berkelanjutan berbeda dengan dalam rantai komoditas sawit di Indonesia, tetapi
tujuan dari standar berkelanjutan yang ada. Bagi mereka dihadapkan pada banyak permasalahan
petani, keuntungan finansial merupakan hal pa­ yang merugikan dari sisi ekonomi (Pramudya
ling penting dan menjadi motivasi utama untuk dkk., 2015). Pertama, petani swadaya memiliki
berpartisipasi dalam sertifikasi berkelanjutan. posisi tawar yang lemah. Mereka tidak dapat
Perbaikan lingkungan dan sosial kurang dihargai memengaruhi atau bahkan tidak mengetahui
oleh petani, kecuali jika dapat memberikan keun- proses penentuan harga tandan buah segar (TBS)
tungan secara ekonomi (Hidayat dkk., 2015). Hal (Pramudya dkk., 2015). Kedua, petani swadaya
tersebut mengindikasikan bahwa keberlanjutan pada umumnya menggunakan bibit kelapa sawit
lingkungan tidak dapat dicapai jika permasalahan yang tidak berkualitas sehingga produktivitas
perekonomian petani belum dapat terselesaikan kelapa sawit yang dihasilkan rendah (Pramudya
terlebih dahulu (Hidayat, 2017). dkk., 2015; Brandi dkk., 2013). Ketiga, bibit yang
tidak berkualitas juga menyebabkan rendahnya
kualitas TBS yang dihasilkan. Kualitas TBS
UPAYA MEWUJUDKAN SAWIT
petani swadaya pun sering kali menurun dengan
BERKELANJUTAN MELALUI
cepat karena TBS tidak dapat dikirimkan ke
PETANI
pab­rik pengolahan kurang dari 24 jam lantaran
Meningkatkan perekonomian petani merupakan buruknya kualitas jalan. Keempat, petani sering
prasyarat sekaligus bagian dari definisi keberlan- tidak memiliki surat pemilikan tanah sehingga
jutan itu sendiri. Untuk mencapai sektor sawit mereka kerap terlibat dalam permasalahan konflik
yang keberlanjutan, diperlukan suatu tata kelola pemilikan lahan (Brandi dkk., 2013; Molenaar,
yang tidak hanya dapat meningkatkan performa Persch-Orth, Lord, & Harms, 2013). Kelima,
lingkungan dan penghargaan terhadap dimensi mayoritas petani swadaya tidak terorganisasi
sosial, tetapi juga menguntungkan bagi petani. sehingga menyulitkan mereka dalam mengakses
Terdapat dua kelompok utama petani kelapa sawit permodalan. Di samping itu, lemahnya organisasi
di Indonesia, yakni petani plasma dan petani swa- petani juga memperburuk posisi tawar petani ter-
daya. Petani plasma ialah petani yang memiliki hadap aktor di dalam rantai pasar lain, misalnya
perkebunan sawit yang didirikan perusahaan tengkulak, dan menghambat kemampuan petani
swasta atau pemerintah dan dengan menggunakan dalam akses input produksi lain yang mungkin

146 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


hanya dapat diperoleh melalui organisasi petani, petani dengan bantuan aktor eksternal (seperti
misalnya akses bibit bersertifikat, dan pupuk ber- pengalaman pembinaan yang dilakukan lembaga
subsidi (Pramudya dkk., 2015). Pramudya dkk. swadaya masyarakat (LSM) Setara Jambi) dapat
(2015) dalam buku menghijaukan sektor sawit meningkatkan kualitas produksi. Paralel dengan
melalui petani menyiratkan bahwa permasalahan itu, secara tidak langsung juga meningkatkan
perekonomian petani dan dengan begitu juga per- performa keberlanjutan dari dimensi lingkungan
masalahan keberlanjutan terkait dengan produksi dan sosial (Hidayat dkk., 2015).
kelapa sawit dapat diatasi melalui dukungan Mengingat keterbatasan-keterbatasan petani
akses terhadap sumber daya dan modal, serta seperti yang dikemukakan di atas, dukungan pihak
meningkatkan mutu kualitas produksi, termasuk eksternal, seperti NGO, perusahaan, dan peme­
dukungan performa petani untuk dapat memenuhi rintah, merupakan hal yang krusial untuk dapat
standar sertifikasi berkelanjutan seperti RSPO. mewujudkan sawit berkelanjutan melalui petani.
Dari pengalaman menjalani program Hivos, Ketersediaan lembaga donor juga sangat penting
Pramudya dkk. (2015) mengemukakan bahwa karena tingginya biaya pendampingan dan biaya
peningkatan mutu kualitas produksi dan dukungan yang dikeluarkan untuk mempersiapkan petani
peningkatan performa petani menuju arah yang untuk memperoleh sertifikat RSPO (Pramudya
lebih keberlanjutan tersebut dapat dilakukan salah dkk., 2015). Dari pengalaman melaksanakan
satunya melalui penguatan fungsi kelembagaan Hivos yang bekerja sama dengan Yayasan Setara
petani. Kelembagaan petani meliputi kelompok Jambi membina petani kelapa sawit swadaya,
tani, gabungan kelompok tani, asosiasi, dan keahlian staf pendamping, termasuk di bidang
koperasi. Kelembagaan petani sangat penting budi daya kelapa sawit, merupakan faktor kunci
sebagai penyedia informasi untuk petani terma- keberhasilan pendampingan petani sawit untuk
suk informasi mengenai harga TBS, harga input, dapat membantu petani menjawab permasalahan
dan teknologi yang berhubungan dengan produksi mendasar perihal perkebunan kelapa sawit sebe-
kelapa sawit yang terbaru. Dalam konteks standar lum kemudian memperkenalkan prinsip keberlan-
berkelanjutan, kelembagaan pertanian juga ber- jutan. Pendamping eksternal harus berada dekat
fungsi untuk menginformasikan dan mengedukasi dengan petani untuk menjamin kelancaran proses
petani mengenai pemahaman mengenai makna monitoring. Selanjutnya, pihak eksternal pembina
keberlanjutan, praktik-praktik produksi kelapa harus mampu untuk bekerja sama dengan pihak
sawit keberlanjutan, prinsip dan kriteria stan- lain untuk menjembatani petani dengan akses
dar berkelanjutan, serta potensi manfaat yang yang lebih luas, termasuk dalam hal pengurusan
dihasilkan (contohnya melalui penyelenggaraan legalitas perkebunan (surat tanda daftar budi
pelatihan). Di samping itu, kelembagaan petani daya (STDB) dan surat hak milik (SHM)), dan
mengoordinasikan aktivitas perkebunan (meli- penjualan TBS.
puti penyediaan input sampai penjualan TBS)
dan penyedia wadah komunikasi antaranggota.
Kelembagaan petani juga memfasilitasi dan/atau SIMPULAN
mewakili anggota untuk dapat berkomunikasi Dalam buku berjudul Menghijaukan Sektor
dengan pihak eksternal, misalnya perusahaan dan Sawit melalui Petani, telah diyakini pentingnya
pemerintah. Hal paling penting dan merupakan partisipasi petani untuk mewujudkan sektor sawit
implikasi dari keikutsertaan petani dalam RSPO yang berkelanjutan. Upaya meningkatkan mutu
adalah kelembagaan petani harus mampu me- produksi merupakan salah satu cara meningkat-
monitor dan menjalankan fungsi sistem internal kan performa produksi kelapa sawit menuju arah
control untuk memastikan penerapan praktik yang lebih berkelanjutan dan pada saat yang sama
keberlanjutan secara kontinu. Melalui penguatan meningkatkan perekonomian petani. Pramudya
fungsi-fungsi kelembagaan tersebut, petani mem- dkk. (2015) mengemukakan bahwa partisipasi
peroleh manfaat finansial secara tidak langsung dalam RSPO merupakan instrumen yang tepat
dari partisipasinya dalam RSPO karena pelatihan- untuk meningkatkan keuntungan petani secara
pelatihan yang diselenggarakan oleh kelembagaan finansial dan mengubah praktik produksi ­kelapa

Nia Kurniawati Hidayat | Menghijaukan Sektor Sawit ... | 147


sawit yang lebih ramah lingkungan dan bertang- petani, dengan atau tanpa skema sertifikasi, dan
gung jawab secara sosial. Hanya, petani memiliki dengan mengurangi ketergantungan pada aktor
banyak keterbatasan informasi, sumber daya, dan eksternal.
modal. Kesenjangan antara praktik yang dila­
kukan dan kriteria yang dipersyaratkan RSPO PUSTAKA ACUAN
masih sangat tinggi, termasuk pemahaman
Brandi, C., Cabani T., Hosang, C., Schirmbeck,
pe­tani akan konsep keberlanjutan itu sendiri, S., Westermann, L., & Wiese, H. (2013).
praktik produksi yang tidak ramah lingkungan Sustainability certification in the Indonesian
dan lemahnya organisasi petani. Buku ini melihat palm oil sector, Benefits and challenges for
bahwa lemahnya kelembagaan petani merupakan smallholders. Bonn: Deutsches Institut für
permasalahan kunci praktik produksi yang tidak Entwicklungspolitik (DIE). Diakses 16 Feb-
berkelanjutan dan penyebab utama sulitnya petani ruari 2015 dari http://www.die-gdi.de/uploads/
media/Studies_74.pdf.
memenuhi kriteria RSPO. Untuk itu, dukungan
Colchester, M., & Jiwan, N. (2006). Ghost on our
dari aktor eksternal difokuskan pada penguatan
own land Indonesian oil palm smallholders
fungsi kelembagaan. Dengan begitu, petani dapat and the roundtable on sustainable palm oil.
memperoleh akses yang lebih baik terhadap input England: Forest Peoples Programme. Diakses
produksi, informasi, pelatihan, dan meningkatkan 28 Agustus 2014 dari http://www.forestpeoples.
jejaring petani. Dalam buku yang ditulis oleh org/sites/fpp/files/publication/2011/02/ghost-
Pramudya dkk. (2015) juga dikemukakan bahwa sonourownlandtxt06eng.pdf.
sosialisasi merupakan aspek penting. Keyakinan Directorate General of Estate Crops. (2016). Tree
crop estate statistics of Indonesia, palm oil
akan manfaat ekonomi dari partisipasi petani
2014–2016. Jakarta: Directorate General of
dalam skema standar berkelanjutan dapat memo- Estate Crops.
tivasi petani mempertahankan komitmen mereka
Hidayat, N. K., Offermans, A., & Glasbergen, P.
dalam jangka panjang. (2016). On the profitability of sustainability
Buku Menghijaukan Sektor Sawit melalui certification: An analysis among Indonesian
Petani memaparkan secara detail tantangan yang palm oil smallholders. Journal of Economics
and Sustainable Development, 7(18), 45–62.
dihadapi dan solusi yang diupayakan u­ ntuk mem-
bawa petani untuk dapat tersertifikasi RSPO. Na- Hidayat, N. K. (2017). At the bottom of the value
chain: Sustainability certification and the live-
mun, standar berkelanjutan seperti RSPO meru- lihoods of palm oil smallholders in Indonesia.
pakan satu upaya untuk mewujudkan sektor sawit Maastricht: datawyse Universitaire Pers.
berkelanjutan, tingginya biaya sertifikasi (lihat Hidayat, N. K., Glasbergen, P., & Offermans, A.
Hidayat dkk., 2016) dan sulitnya persyaratan yang (2015). Sustainability certification and palm
harus dilakukan untuk memperoleh sertifikasi oil smallholders’ livelihood: A comparison
RSPO berimplikasi menciptakan new dependency between scheme smallholders and independent
relationship dengan aktor eksternal (Hidayat smallholders in Indonesia. International Food
and Agribusiness Management Review, 18(3).
dkk., 2015). Ketidakpastian insentif finansial
(premium fees) yang diharapkan sebagian besar Hidayat, N. K., Offermans, A., & Glasbergen, P.
(2017). Sustainable palm oil as a public
petani menimbulkan pertanyaan tentang kontinui- responsibility? On the governance capacity of
tas partisipasi petani dalam standar berkelanjutan Indonesian standard for sustainable palm oil
dalam jangka panjang. Dalam buku yang ditulis (ISPO). Agricultural and Human Values. doi:
Pramudya dkk. (2015), pembahasan hanya terba- 10.1007/s10460-017-9816-6.
tas pada standar keberlanjutan RSPO, implikasi Koh, L. P., & Wilcove, D. S. (2008). Is oil palm
lebih jauh dari partisipasi petani dalam skema agriculture really destroying tropical biodiver-
tersebut, dan hambatan yang mungkin timbul sity? Conservation Letters, 1(2), 60–64. doi:
10.1111/j.1755-263X.2008.00011.x.
setelah program bantuan dari pihak eksternal be-
Molenaar, J. W., Persch-Orth, M., Lord, S., & Harms,
rakhir tidak terlihat. Diperlukan kajian lebih jauh
C. T. J. (2013). Diagnostic Study on Indonesian
tentang alternatif skenario mengenai bagaimana Oil Palm Smallholders: Developing a better
mewujudkan sektor sawit berkelanjutan melalui understanding of their performance and poten-

148 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


tial. Jakarta: International Finance Corporation Rival, A., & Levang, P. (2014). Palms of controversies
(IFC). oil palm and development challenges. Bogor:
Obidzinski, K., Andriani, R., Komarudin, K., & Center for International Forestry Research
Andrianto, A. (2012). Environmental and (CIFOR).
social impacts of oil palm plantations and Sheil, D., Casson, A., Meijaard, E., van Noordwijk,
their implications for biofuel production in M., Gaskell, J., Sunderland-Groves, J., Wertz,
Indonesia. Ecology and Society, 17(1). doi: K., & Kanninen, M. (2009). The impacts
10.5751/es-04775-170125. and opportunities of oil palm in Southeast
PASPI. (2016). Mitos dan fakta industri minyak sawit Asia: What do we know and what do we
Indonesia dalam isu social, ekonomi dan ling- need to know? Occasional paper CIFOR no.
kungan global. Bogor: Palm Oil Agribusiness 51. Bogor: Center for International Forestry
Strategic Policy Institute (PASPI). Research (CIFOR).
Pramudya, E. P., Prawoto, A., & Hanifa, R. (2015). Suharto, R. (2010). Why Indonesia needs ISPO. The
Menghijaukan Sektor Sawit Melalui Petani Jakarta Post, 20 October 2010. Diakses 15
Lesson-Learned Hivos untuk Isu Sawit Juni 2015 dari http://www.thejakartapost.com/
Berkelanjutan. Jakarta: Renebook. news/2010/12/02/why-indonesia-needs-ispo.
html.
Rifin, A. (2013). Analysis of Indonesia’s market posi-
tion in palm oil market in China and India. Suharto, R., Husein, K., Sartono, Kusumadewi, D.,
Journal of Food Products Marketing, 19(4), Darussamin, A., Nedyasari, D., … Prasojo, R.
299–310. doi: 10.1080/10454446.2013.726950. (2015). Studi bersama persamaan dan perbe-
daan sistem sertifikasi ISPO dan RSPO. Jakarta:
Rist, L., Feintrenie, L., & Levang, P. (2010). The
Kementerian Pertanian Republik Indonesia dan
livelihood impacts of oil palm: smallholders
Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).
in Indonesia. Biodiversity and Conservation,
19(4), 1009–1024. doi: 10.1007/s10531-010- High Conservation Value. (2015). Diakses dari http://
9815-z. hcv-ni.org/definisi-high-conservation-value/.

Nia Kurniawati Hidayat | Menghijaukan Sektor Sawit ... | 149


150 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 

Anda mungkin juga menyukai