Anda di halaman 1dari 23

PEMBELAJARAN SENI RUPA

Menurut kurikulum 2004 pendidikan seni rupa diberikan untuk menumbuhkan kepekaaan
rasa keindahan (estetika) dan artistik sehingga membentuk sikap kreatif, apresiatif dan kritis.
1.   Pengertian Pembelajaran
Pembelajaran merupakan sebuah sistem yang di dalamnya mengandung sejumlah
komponen yang saling bertalian. Setiap pembelajaran, paling tidak terdiri atas komponen tujuan,
isi atau bahan ajar, metode, dan evaluasi. Komponen tujuan sangat penting untuk memberi arah
pencapaian kompetensi yang diinginkan dalam suatu pembelajaran (Sunaryo, 2010: 1).
Pembelajaran pada hakikatnya berintikan interaksi antara murid dengan guru dan lingkungannya.
Dengan demikian pembelajaran mengandung dua jenis kegiatan yang tidak terpisahkan, yaitu
mengajar dan belajar. Oleh karena itu interaksi antara murid dengan guru dan lingkungannya
disebut pula proses belajar-mengajar (Ismiyanto, 2009: 1). Pembelajaran ialah usaha untuk
membuat siswa belajar, yaitu usaha untuk terjadinya perubahan tingkah laku pada diri siswa.
Perubahan tingkah laku itu dapat terjadi karena adanya interaksi antara siswa dengan
lingkungannya. Terjadinya perubahan tingkah laku tersebut tergantung pada dua faktor, yaitu
faktor dari dalam diri siswa dan faktor di luar diri siswa (Gagne dalam Utomo, 2009: 6).
Pembelajaran adalah seperangkat peristiwa yang mempengaruhi siswa sedemikian rupa
sehingga siswa memperoleh kemudahan. Peristiwa belajar siswa merupakan suatu proses siswa
untuk mendapatkan informasi yang nyata (Briggs dalam Ani dkk, 2011: 193). Gerlach dan Ely
(dalam Ani, dkk, 2009: 85) menyatakan bahwa tujuan pembelajaran merupakan deskripsi tentang
perubahan perilaku yang diinginkan atau deskripsi produk yang menunjukkan bahwa belajar
telah terjadi. Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
merupakan suatu proses yang memudahkan siswa untuk mendapatkan informasi dan
mempengaruhi perubahan perilaku siswa sehingga tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai.
2. Konsep Pembelajaran Seni Rupa
Pembelajaran berasal dari kata belajar. Konsep tentang belajar telah banyak di difinisikan
oleh para pakar psikologi. Salah satu pakar tersebut adalah Slavin (dalam Anni, 2010: 82) yang
menyatakan bahwa belajar merupakan perubahan individu yang disebabkan oleh pengalaman.
Lebih lanjut lagi Irawan Prasetya dkk. (1997: 2) menyatakan bahwa belajar merupakan proses
interaksi anatar stimulus dan respon yang mungkin berbentuk pikiran, perasaan atau gerakan.
Belajar memegang peranan penting di dalam perkembangan, kebiasaan, sikap, keyakinan, tujuan,
kepribadian, bahkan presepsi seseorang.
Sama halnya dengan belajar, pembelajaran juga merupakan sebuah proses. Degeng
(dalam Wena 2009: 2) menyatakan bahwa pembelajaran berarti upaya membelajarkan siswa.
Pembelajaran merupakan proses belajar yang sudah terarah dan terprogram. Hal ini didukung
oleh pernyataan Dimyadi dan Mujiono (dalam Soebandi 2008: 152) bahwa pembelajaran
merupakan kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat siswa
belajar secara aktif yang menekankan pada penyediaan sumber belajar. Selanjutnya, Surya
(dalam Soebandi 2008: 153) menyatakan bahwa pembelajaran adalah suatu proses yang
dilakukan oleh individu untuk memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru secara
keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan
lingkungannya.
Seni atau kesenian merupakan salah satu unsur kebudayaan yang berfungsi untuk
memenuhi kebutuhan manusia atau masyarakat terhadap nilai-nilai keindahan (Rondhi dan
Sumartono, 2002: 4). Seni rupa adalah seni yang menggunakan unsur-unsur rupa sebagai media
ungkapnya (Rondhi dan Sumartono, 2002: 6). Unsur-unsur rupa yaitu unsur-unsur yang kasat
mata atau unsur-unsur yang dapat dilihat dengan indera mata, seperti: garis, bidang, bentuk,
ruang, warna, dan tekstur. Bentuk seni rupa merupakan susunan unsur-unsur rupa dalam
kesatuan yang utuh. Seni rupa adalah hasil interpretasi dan tanggapan pengalaman manusia
dalam bentuk visual dan rabaan. Dalam pembelajaran, seni rupa berperanan dalam memenuhi
tujuan-tujuan tertentu dalam kehidupan manusia maupun semata-mata memenuhi kebutuhan
estetik.
Menurut Salam (dalam Sunaryo 2010: 1), pendidikan seni diberikan di berbagai sekolah
untuk memenuhi baik kebutuhan masyarakat yang bersifat sosial-budaya, maupun untuk
memenuhi kebutuhan personal para siswa. Kebutuhan yang menyangkut sosial-budaya misalnya
adanya kenyataan bahwa kesenian terkait erat dengan kebutuhan-kebutuhan religi, ekonomi,
politik, edukasi, dan rekreasi. Kebutuhan personal yang bersifat psikologis, terkait erat akan
kebutuhan ekspresi pribadi dan aktualisasi diri seorang anak didik.
Dalam rangka pembentukan manusia ideal, pendidikan seni di sekolah dimaksudkan agar
siswa menjadi terampil, kreatif, sadar budaya dan peka rasa. Peran dalam pembentukan siswa
agar sadar budaya dan peka rasa menjadi bagian yang penting dari pendidikan seni di sekolah
umum.
Untuk menjadi terampil dan kreatif, tentu diperlukan waktu yang cukup untuk berlatih dalam
berolah seni serta proses pembelajaran yang memungkinkan pengembangan daya cipta secara
optimal. Sementara pengembangan kesadaran budaya dan kepekaan rasa di samping melalui
terpenuhinya semua tahapan dalam proses penciptaan karya seni, teristimewa adalah melalui
program-program pembelajaran apresiasi seni yang memadai. Kenyataan di lapangan,
pendidikan seni di banyak sekolah sering tidak mendapat perhatian, dan kalaulah diberikan, ia
menjadi sekadar mata pelajaran pelengkap.
Sementara itu Rohidi (dalam Sunaryo 2010: 2) mengingatkan, bahwa dilihat dari
signifikansinya dalam kehidupan manusia sebagai makluk individu, sosial dan budaya, seni
dapat dilihat fungsinya baik sebagai sarana untuk ekspresi pribadi, komunikasi dengan sesama,
maupun sebagai pengejawantahan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Dalam
tataran individu, seni dikaitkan dengan ekspresi pribadi, kreativitas, dan sublimasi. Pada tataran
soial seni dikaitkan dengan sarana pengintegrasi, identitas, komunikasi, simbol, kerjasama, dan
orientasi masyarakat. Dalam tataran budaya seni dikaitkan dengan nilai-nilai estetis yang
dihayati, dilestarikan, dan dikembangkan.
Pendidikan seni rupa sebagai sarana member kesempatan berekspresi kepada setiap
individu untuk mengembangkan segenap potensi jiwanya ke arah dewasa, dewasa secara rohani
berarti berkembang sikap sosialnya, tenggang rasanya, tanggung jawabnya kepada masyarakat
dimana dia tinggal dan dewasa secara fisik berarti telah berkembang aspek-aspek ketrampilan,
yang tentu akan berguna dalam kehidupan kelak. Untuk mencapai tujuan pengembangan secara
optimal sangat diperlukan strategi pembelajaran yang tepat guna (Utomo, 2009: 5).
Pembelajaran seni rupa mengatakan suatu usaha yang membuat siswa berkarya seni rupa,
melalui proses berekspresi dengan media grafis, bidang, dan warna (Sudarmaji dalam Utomo,
2009: 6), misalnya menggambar, melukis, mematung, membatik dan seterusnya. Menurut
Ismiyanto (2009: 4), dalam proses pembelajaran seni rupa yang terpenting adalah mengupayakan
terciptanya situasi dan kondisi yang kondusif bagi kegiatan belajar yang menyangkut ekspresi
artistik dan menciptakan lingkungan yang dapat membantu perkembangan anak untuk
menemukan sesuatu melalui eksplorasi dan eksperimentasi dalam belajar. Dengan kata lain
memberikan perhatian dan kesempatan kepada para murid untuk berekspresi, menyalurkan
otoaktivitas, berimajinasi, berfantasi yang kesemuanya sangat bermakna bagi pemeliharaan dan
pengembangan kreativitas dan produktivitas murid, sehingga tercipta kegiatan belajar kreatif.
Belajar kreatif penting karena memungkinkan timbulnya ide-ide baru, cara-cara baru, dan
hasil-hasil baru yang pada gilirannya dapat memberikan sumbangan berharga bagi pembangunan
bangsa dan negara. Agar tercipta belajar kreatif dalam pembelajaran seni rupa, hendaknya
diperhatikan berbagai hal sebagai berikut: (a) Tujuan pembelajaran seni rupa, (b) karakteristik
anak, (c) sumber dan media pembelajaran, (d) strategi dan metode pembelajaran, (e) bahan ajar
seni rupa, (f) bentuk dan alat evaluasi pembelajaran seni rupa, dan (g) situasi lingkungan
belajarnya. Selain itu, kesempatan untuk belajar kreatif ditentukan oleh berbagai faktor, yaitu
minat anak, orang tua, guru, lingkungan belajar, waktu, pembiayaan, dan berbagai material.
Sementara itu, (Munandar dalam Ismiyanto, 2009), mengemukakan bahwa kesempatan
untuk belajar kreatif ditentukan oleh berbagai faktor yang mencakupi sikap dan minat anak,
guru, orang tua, lingkungan rumah dan sekolah, waktu, uang, dan bahan-bahan. Menurut Garha
(dalam Sunaryo 2010: 3), terkait dengan pembelajaran seni rupa, materi pelajaran ialah satuan
pelajaran terkecil yang dapat disampaikan kepada anak-anak (siswa) dalam satu kali pertemuan
yang paling banyak memakan waktu dua jam pelajaran. Dalam hubungan ini, Garha menekankan
pada sajian yang dibatasi oleh waktu. Menurutnya, satuan pelajaran dapat dipilih dan diperoleh
dari jenis-jenis kegiatan seni rupa, seperti melukis, mencetak, membentuk/ mematung, dan lain-
lain, dalam pembelajaran pendidikan seni rupa.
Bahan ajar selain dirancang sebagai satuan pelajaran terkecil yang berupa materi
pembelajaran dalam satuan waktu tertentu, dikembangkan dan diturunkan dari topik-topik atau
pokok bahasan sebagai pengalaman belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran. Dengan kata
lain, sesungguhnya bahan ajar tak dapat dipisahkan dengan topik dan tujuan pembelajaran.
Melalui pemilihan bahan ajar yang telah ditetapkan, kemudian dapat pula ditetapkan
strategi atau metode pembelajarannya. Sebaliknya, penetapan strategi belajar akan menentukan
jenis kegiatan belajar siswa. Dalam kaitannya dengan implikasi sistem penyampaian, bahan ajar
atau isi pelajaran yang dipilih merupakan faktor penentu kegiatan belajar siswa (Hasibuan dan
Moedjiono dalam Sunaryo 2010: 4).
Kegiatan pembelajaran dalam kehidupan manusia berlangsung sepanjang hayat. Proses
pendidikan dapat dilakukan pada pendidikan formal, informal, maupun nonformal dengan tujuan
untuk mengubah pengetahuan, sikap, dan keterampilan pebelajar sehingga dalam menjalani
kehidupan semakin baik. Pembelajaran adalah suatu kondisi tertentu yang memungkinkan
terjadinya suatu transformasi dan kegiatan, sehingga menyebabkan seseorang mengalami suatu
kondisi tertentu yang lebih baik (Rasjoyo 1996: 17). Melalui proses pembelajaran seseorang
akan mendapat stimulus sehingga seseorang tersebut yang semulanya tidak bisa menjadi bisa dan
dari tidak tahu menjadi tahu. Keadaan tersebut menunjukan adanya perubahan menuju kondisi
tertentu yang lebih baik atau lebih maju.
Selanjutnya menurut Ismiyanto (2009: 1) pembelajaran pada hakikatnya berintikan
interaksi antara murid dengan guru dan lingkungannnya. Dengan demikian pembelajaran
mengandung dua jenis kegiatan yang tidak terpisahkan, yaitu mengajar dan belajar. Oleh karena
itu interaksi antara murid dengan guru dan lingkungannya disebut pula proses belajar mengajar.
Lebih lanjut dalam tulisannya tersebut, Ismiyanto menyatakan bahwa dalam proses pembelajaran
seni rupa yang terpenting adalah mengupayakan terciptanya situasi dan kondisi yang kondusif
bagi kegiaran belajar yang menyangkut ekspresi artistik dan menciptakan lingkungan yang
menyangkut ekspresi dan menciptakan lingkungan yang dapat membantu perkembangan anak
untuk ‘menemukan’ sesuatu melalui eksplorasi dan eksperimentasi dalam belajar. Dengan kata
lain memberikan perhatian dan kesempatan kepada para murid untuk berekspresi, menyalurkan
otoaktivitas, berimajinasi, berfantasi yang kesemuanya sangat bermakna bagi pemeliharaan dan
pengembangan kreativitas dan produktivitas murid, sehingga tercipta kegiatan belajar kreatif.
Proses pembelajaran perlu adanya berbagai komponen pendukung. Adapun komponen-
komponen tersebut menurut Sanjaya (2007: 58) adalah (1) tujuan pembelajaran, yaitu
kemampuan yang harus dimiliki oleh anak didik setelah mempelajari bahasan tertentu, dalam
bidang studi tertentu, dan dalam satu kali pertemuan; (2) isi atau materi, yaitu inti dari proses
pembelajaran dengan mengacu pada sumber-sumber tertentu atau dalam buku teks; (3) Metode,
yaitu cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam
kegiatan nyata, agar tujuan yang disusun tercapai secara optimal; (4) Media Pembelajaran, yaitu
alat dapat membantu guru dalam proses penyampaian pesan dalam suatu kegiatan pembelajaran;
dan (5) Evaluasi, yaitu suatu proses yang sistematis untuk mengukur dan menentukan hasil
pencapaian siswa dalam pembelajaran.
Sementara itu disebutkan dalam Ismiyanto (2009: 19-28) komponen pembelajaran
meliputi beberapa unsur sebagai berikut.
1) Tujuan Pembelajaran. Tujuan pembelajaran disebut sasaran belajar. Merupakan komponen
utama dan paling awal harus dirumuskan oleh guru dalam merancang pembelajaran. Tujuan
pembelajaran merupakan rumusan perilaku yang harus ditetapkan sebelumnya agar tampak pada
diri siswa sebagai akibat dari perbuatan belajar yang telah dilakukan.
2) Guru. Guru adalah orang professional yang melakukan penyelenggaraan mengajar dalam
suatu pembelajaran di sekolah, guru menempati posisi kunci dan strategis dalam menciptakan
suasana belajar yang kondusif dan menyenangkan untuk mengarahkan siswa agar dapat
mencapai tujuan secara optimal.
3) Siswa. Siswa adalah semua individu yang menjadi peserta dalam suatu lingkup pembelajaran.
4) Bahan Ajar. Bahan ajar adalah sesuatu yang harus diolah dan disajikan oleh guru yang
selanjutnya dipahami oleh murid dalam rangka pencapaian tujuan pembelajaran yang
diharapkan.
5) Pendekatan, Strategi, dan Metode. Pendekatan, strategi, dan metode pembelajaran adalah
rencana dan cara yang dilakukan oleh guru untuk membantu mewujudkan interaksi komunikatif
dalam kegiatan belajar-mengajar. Pemahaman guru terhadap pendekatan pembelajaran akan
dapat membantu menetapkan pilihan strategi pembelajaran, selanjutnya strategi pembelajaran
akan dapat memberikan gambaran tentang bagaimana bentuk interaksi belajar-mengajar yang
diharapkan oleh guru dan dapat digunakan oleh guru dalam memilih dan menetapkan metode
pembelajaran atau merancang kegiatan belajar-mengajar.
6) Sumber dan Media Pembelajaran. Sumber dan media pembelajaran adalah pendukung
kegiatan belajarmengajar, sumber belajar dapat digunakan oleh guru untuk membantu
mengembangkan bahan ajar dan bagi murid sebagai media belajar yang diharapkan dapat
meningkatkan pengalaman belajar murid kearah yang lebih konkret dan bermakna bagi murid.
7) Evaluasi Hasil Pembelajaran. Evaluasi merupakan suatu usaha yang dilakukan sebelum atau
setelah berlangsungnya suatu kegiatan untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan kegiatan
tersebut. Evaluasi sebaiknya dilakukan dua kali, yang pertama pretest (sebelum pelaksanaan
pembelajaran) dengan tujuan mengetahui kemampuan awal murid berkenaan dengan
pembelajaran, dan yang kedua dilakukan post test (sesudah pelaksanaan pembelajaran) dengan
tujuan mengetahui gambaran kemampuan murid setelah mengikuti pembelajaran. Dengan cara
membandingkan hasil tes awal dengan akhir, maka guru akan mengetahui efektivitas
pembelajaran yang telah dilakukan untuk kemudian dijadikan bahan pertimbangan perlu
diadakan remedial (perbaikan) bagi para murid atau program pembelajaran.
Menurut Syafii (2010: 20) dalam evaluasi pembelajaran terdapat instrumen, salah satu
instrumen yang paling penting dalam evaluasi pembelajaran seni rupa adalah tes. Ada beragam
jenis instrumen yaitu instrumen tes objektif, esai, penilaian kinerja, produk, proyek, sikap,
penilaian diri dan portofolio Dapat disimpulkan bahwa pembelajaran seni rupa adalah proses
memperoleh ilmu melalui pendidikan formal, informal, maupun nonformal yang berkaitan
dengan kesenirupaan, dengan tujuan memperoleh suatu kondisi (pengetahuan) yang lebih baik
atau lebih maju. Ada pun ilmu yang diperoleh dari pembelajaran seni rupa meliputi bidang
konsepsi, kreasi dan apresiasi seni sebagai upaya untuk mengembangkan kepribadian seseorang
dalam rangka mempersiapkan menjadi warga masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab.
Pembelajaran seni rupa adalah kegiatan yang dilakukan oleh guru secara terprogram,
sistematis sesuai dengan komponen pembelajaran, serta menerapkan strategi-strategi yang
matang kepada siswanya demi tujuan yang diharapkan yaitu adanya perubahan tingkah laku dan
membantu perkembangan anak.
4.   Tujuan Pembelajaran Seni Rupa
Hal pertama yang dilakukan jika bermaksud melaksanakan suatu kegiatan adalah
menentukan tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan kegiatan tersebut. Tujuan pendidikan
nasional menurut Suwarno (2006:32) adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggung
jawab.
Menurut (Ismiyanto, 2010: 34) tujuan-tujuan pendidikan seni sebagai berikut: (1)
mengembangkan kreativitas dan sensitivitas peserta didik, (2) meningkatkan kapasitas dan
kualitas pengetahuan kesenian peserta didik, dan (3) meningkatkan ketrampilan peserta didik.
Sejalan dengan konsep pendidikan seni yang dinyatakan oleh Depdiknas (Sobandi, 2008: 6)
bahwa pendidikan seni di sekolah umum pada dasarnya diarahkan untuk menumbuhkan
sensitivitas dan kreativitas, sehingga terbentuk sikap apresiatif, kritis, dan kreatif pada diri siswa
secara menyeluruh. Berdasarkan teori-teori di atas dapat disimpukan bahwa tujuan pendidikan
seni rupa secara umum adalah untuk mengembangkan rasa dan kepekaan seni. Melalui kegiatan
apresiasi dan kreasi anak-anak dilatih untuk melatih sensitivitas, perasaan, kepekaan, sikap kritis
yang selanjutnya diharapkan dapat menumbuh kembangkan kreativitas.
Tujuan menentukan kemana kedudukan dan peranan kesenian sebagai media untuk
mengembangkan segi rasa keindahan dalam arti pengetahuan, keterampilan dan apresiasi seni,
juga sebagai alat pengembangan kesenian nasional dan rasa bangga terhadap karya seni sebagai
salah satu hasil budi daya (Jasin,1987: 262). Sebagai bagian dari pendidikan secara umum,
pembelajaran seni rupa memiliki tugas dan tanggung jawab sejajar dengan pelajaran lain. Tujuan
tersebut yakni, mencerdaskan kehidupan bangsa secara keseluruhan. Tyler (dalam Miler dan
Seller, 1985 dalam Syafii, 2006: 29) tujuan merupakan komponen utama dan pertama dalam
pembelajaran. Tujuan pembelajaran merupakan ke arah mana siswa akan dibawa. Arah belajar
siswa merupakan sasaran belajar, oleh karena itu tujuan pembelajaran lazim disebut juga sasaran
pembelajaran.
Sebagai bagian dari pendidikan secara umum atau bagian dari sistem pendidikan
nasional, maka pembelajaran seni rupa memiliki tugas dan tanggung jawab sejajar dengan mata
pelajaran lain. Terkait dengan itu sebelum berpikir ke arah mana tujuan pembelajaran seni rupa
yang akan dilakukan, guru perlu mencermati tujuan pendidikan nasional dirumuskan. Rumusan
tujuan pendidikan nasional ini dapat dibaca dalam undang-undang sistem pendidikan nasional.
Tujuan pendidikan nasional ini tergolong rumusan pendidikan yang masih umum, dalam arti luas
cakupannya. Tujuan yang lebih rendah dari tujuan pendidikan nasional adalah tujuan
institusional, artinya tujuan pendidikan pada tingkat kelembagaan, misalnya tujuan pendidikan
TK, SD, SMP, atau SMA.
Tujuan-tujuan pendidikan ini pun perlu dipahami guru dan dapat dibaca dalam peraturan-
peraturan pemerintah yang mengikuti undang-undang pendidikan terkait (Syafii, 2006: 29).
Tujuan merupakan komponen utama dan pertama dalam pembelajaran. Sekolah sebagai institusi
pendidikan formal, tentu memiliki tujuan pembelajaran untuk meningkatkan mutu atau kualitas
pendidikan guna mencerdaskan peserta didiknya. Tidak hanya institusi pendidikan formal,
institusi pendidikan non formal seperti lembaga bimbingan belajarpun memiliki tujuan
pembelajaran yang serupa, yaitu mengarah pada usaha meningkatkan mutu atau kualitas
pendidikan. Seni rupa sebagai bagian dari pendidikan secara umum atau bagian dari sistem
pendidikan nasional memiliki tugas dan tanggung jawab yang sejajar dengan mata pelajaran lain.
Menurut Garha dan Idris (1978: 7) tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan kesenian
ialah kepuasan anak-anak mengungkapkan perasaannya ke dalam bentuk karya seni, sedangkan
menurut Wickiser dan Soeharjo (dalam Sobandi, 2008:74) tujuan pendidikan seni pada jenjang
sekolah umum adalah untuk (1) menumbuhkan dan mengembangkan kepribadian peserta didik,
(2) mengasah rasa estetik anak didik, dan (3) mengkayakan kehidupan peserta didik secara
kreatif.
Tujuan pendidikan melalui seni yang penting adalah mengekspresikan perasaan dan membangun
komunikasi, serta mengembangkan dorongan spontanitas dan kekuatan kreatif siswa (Salam,
2001: 22). Secara khusus, tujuan pendidikan seni rupa di sekolah adalah dalam rangka
penanaman nilai estetis yang terwujud dalam program pembelajaran melalui pengalaman kreatif
dan apresiatif (Syafii 2006: 13).
Pendidikan yang dilakukan melalui proses pembelajaran, khususnya pada pembelajaran
seni rupa, siswa dapat memahami keindahan suatu bentuk karya seni melalui pengamatan dan
kegiatan atau proses berkarya. Dapat disimpulkan bahwa pembelajaran seni rupa bertujuan untuk
mengekspresikan perasaan dan membangun komunikasi peserta didik, mengembangkan potensi
peserta didik, serta mengasah rasa estetik dan kreativitas peserta didik melalui pengalaman
kreatif dan apresiatif atau pengalaman perseptual, kultural, artistik, dan apresiatif.
5.   Fungsi Pembelajaran Seni Rupa
Fungsi adalah berkenaan dengan sumbangan yang dapat diberikan kepada suatu aspek
atau sistem. Sistem yang satu dapat memberikan atau sebagai fungsi dari sistem lainnya. Apabila
pendidikan dan/atau pembelajaran seni dipandang sebagai suatu sistem, maka dapat merupakan
fungsi dari sistem lainnya, dan bila sistem di luar pendidikan seni itu adalah siswa, guru,
masyarakat, sekolah, dan seterusnya. Menurut Ismiyanto (2010: 33) mengemukakan bahwa
fungsi pendidikan seni di sekolah ditinjau dari aspek anak meliputi: (a) sebagai media ekspresi,
(b) sebagai media komunikasi, (c) sebagai media pengembangan kreativitas, (d) sebagai media
pengembangan sensitivitas, (e) sebagai media pengembangan hobi dan bakat, dan (f) sebagai
media rekreasi.
Pemenuhan fungsi-fungsi tersebut dapat diwujudkan dalam kegiatan pembelajaran yang
mencakupi kegiatan-kegiatan apresiasi dan berkarya seni (kreatif) serta pengkajian pengetahuan
seni. Menurut (Syafii, 2009: 9) bahwa fungsi pendidikan seni rupa bagi kebutuhan anak pada
dasarnya berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan berekspresi, berapresiasi, dan berkreasi, serta
berekreasi. Dengan kata lain pendidikan seni rupa dianggap sebagai wahana pendidikan
ekspresivitas, sensitivitas, dan kreativitas.
Berekspresi merupakan kebutuhan setiap orang, termasuk juga anak-anak. Ekspresi
adalah ungkapan yang dikaitkan dengan aspek psikologis seseorang, perasaan, perhatian,
persepsi, fantasi atau imajinasi, dan sebagainya. Aspek-aspek ini dapat dituangkan ke dalam
proses berkarya seni. Bagi orang dewasa, tercurahkannya aspek psikologis ini akan dapat
memuaskan dan sudah barang tentu melepaskan ketegangan yang dihadapi, demikian juga
halnya untuk anak-anak. Anak-anak, dalam hal ini siswa, jika diberikan ruang untuk berekspresi
berkarya seni rupa, maka anak itu akan merasa senang, gembira oleh karena terpuaskan dan
akhirnya melepaskan persoalan psikologis yang dihadapi.
Sensitif artinya peka, cepat menerima rangsangan. Pendidikan sensitivitas adalah
pendidikan yang memungkinkan siswa untuk menjadi peka atau cepat menerima rangsangan,
tanggap dalam merespons hal-hal yang berkaitan dengan fenomena estetik visual. Dalam
pendidikan hal ini dilakukan melalui proses pembiasaan. Jika siswa terbiasa melihat karya-karya
seni rupa yang estetik, maka pada gilirannya akan dengan cepat memberikan respons dalam
bentuk pertimbangan atau penilaian karya seni. Siswa juga akan berkembang kepekaan
estetiknya dalam menghadapi lingkungan sekitar.
Kreatif merupakan sifat yang dilekatkan pada diri manusia yang dikaitkan dengan
kemampuan atau dayanya untuk mencipta. Kreativitas seringkali diartikan sebagai kelenturan
atau kelincahan dalam berpikir, kelancaran dalam mengemukakan pendapat, kemampuan untuk
memunculkan gagasan-gagasan baru yang berbeda dengan orang lain. Kreativitas juga dianggap
sebagai perilaku yang konstruktif, inovatif, dan produktif yang dapat diamati melalui tindakan
atau kecakapan seseorang. Karena itu, sepanjang kehidupan manusia, sifat kreatif ini senantiasa
diperlukan untuk mengiringi tingkah laku manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Secara umum fungsi seni dapat dibagi menjadi fungsi individual dan fungsi sosial. Menurut
Rasjoyo (1996: 12) fungsi individual meliputi fungsi pemenuhan kebutuhan fisik dan pemenuhan
kebutuhan emosional. Fungsi sosial terpilah ke dalam empat bidang, yakni bidang rekreasi,
komunikasi, pendidikan, dan keagamaan. Fungsi individual untuk pemenuhan kebutuhan fisik
meliputi seni bangunan (rumah), seni furniture, pakaian (tekstil), dan seni kerajinan.
Selanjutnya, fungsi individual untuk pemenuhan kebutuhan emosional dapat dijelaskan
bahwa melalui seni, seseorang dapat menuangkan emosinya. Emosi tidak hanya amarah saja,
namun kesedihan, kegembiraan, haru, iba, cinta, dan benci adalah termasuk bagian dari emosi
seseorang. Pemenuhan kebutuhan emosi, yaitu lebih menekankan pada kepuasan batin ketika
menciptakan sebuah karya seni. Rasa marah, sedih, gembira, haru, iba, cinta, dan benci dapat
dituangkan dalam suatu karya. Setiap orang membutuhkan kesenian, hanya saja kadarnya
berbeda. Hal ini didasari pada tingkat dan kedalaman estetik seseorang. Seseorang yang
pengalaman estetiknya lebih banyak memerlukan pemuasan yang lebih banyak pula.
Pada bagian fungsi sosial yang pertama, yaitu bidang rekreasi. Fungsi seni sebagai benda
rekreasi adalah seni yang mampu menciptakan suatu kondisi tertentu yang bersifat penyegaran
dan pembaharuan dari kondisi yang telah ada. Fungsi sosial seni yang kedua, yaitu bidang
komunikasi, memiliki tujuan agar seniman dapat berkomunikasi dengan pengamat karya. Karya
seni rupa yang dapat digunakan sebagai sarana komunikasi, misalnya poster dan spanduk.
Selanjutnya, fungsi sosial seni ketiga, yakni bidang pendidikan, misalnya pada gambar
ilustrasi terjadinya proses rotasi bumi dan patung peraga organ tubuh manusia; sedangkan fungsi
sosial seni keempat, yakni bidang keagamaan, artinya penciptaan karya seni untuk kepentingan
keagamaan (religi), misalnya kaligrafi Arab dan seni arsitektur masjid, gereja, candi, dan
makam. Secara lebih luas, Syafii (2006: 9-12) menyatakan bahwa fungsi pendidikan seni rupa
dapat dilihat dari du a sisi, yakni dari kebutuhan anak dan kebutuhan institusi. Fungsi
pendidikan seni rupa bagi kebutuhan anak, yaitu seni rupa sebagai pemenuhan kebutuhan
berekspresi, berapresiasi, dan berekreasi.
Fungsi pendidikan seni rupa bagi institusi pendidikan, yaitu sebagai pelestari dan
pengembang budaya visual estetik, juga sebagai pendidikan keterampilan. Seni rupa memiliki
kedudukan sebagai sarana untuk menyampaikan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai luhur
dari suatu generasi kepada generasi berikutnya. Dapat dikatakan bahwa pewarisan budaya yang
menjadi identitas bangsa dapat berjalan dengan berkesinambungan. Selain fungsi penyampaian
pengetahuan, keterampilan dan nilai, pendidikan seni rupa juga berfungsi memupuk pengertian
dan kesadaran mencintai lingkungan hidupnya, termasuk menggugah kesadaran hidup
berkelompok. Melalui pembelajaran seni rupa di sekolah siswa dapat mempelajari budaya di
Indonesia, jika tidak ditempuh melalui jalur pendidikan dapat dimungkinkan pada generasi yang
akan datang tidak mengenal budayanya sendiri.
Dapat disimpulkan bahwa fungsi pembelajaran seni rupa dapat dikelompokkan menurut
(1) kebutuhan siswa, yang meliputi seni rupa sebagai pemenuhan kebutuhan atau media bermain,
berekspresi, komunikasi, pengembangan bakat, pendidikan, berapresiasi, dan berekreasi; dan (2)
kebutuhan institusi, yaitu sebagai pelestari dan pengembang budaya visual estetik, juga sebagai
pendidikan keterampilan, serta sebagai media/alat atau sarana pendidikan.
6.   Perencanaan Pembelajaran Seni Rupa
Gunningham (dalam Uno 2010:2) mengemukakan bahwa perencanaan adalah suatu
kegiatan menyeleksi dan menghubungkan pengetahuan, fakta-fakta, imajinasi-imajinasi, dan
asumsi-asumsi untuk masa depan yang akan datang dengan tujuan untuk memvisualisasi dan
memformulasi hasil yang diinginkan, urutan kegiatan yang diperlukan, dan perilaku dalam batas-
batas yang dapat diterima yang akan digunakan dalam penyelesaian. Menurut Uno (2010:4),
perencanaan dapat didefinisikan sebagai suatu cara untuk membuat suatu kegiatan dapat berjalan
dengan baik, disertai dengan berbagai langkah antisipatif guna memperkecil kesenjangan yang
terjadi sehingga kegiatan tersebut mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam penyusunan rencana pembelajaran
seni rupa seperti yang dijelaskan dalam Ismiyanto (2009), yakni: (1) aspek kurikulum; (2) aspek
kedudukan guru; (3) aspek kedudukan murid; dan (4) aspek lingkungan belajar. Jadi dapat
disimpulkan bahwa perencanaan merupakan rancangan yang dibuat berdasarkan fakta-fakta di
lapangan dengan mempertimbangkan berbagai hal yang mendukung dan mungkin yang akan
menghambat dalam mencapai tujuan tertentu sehingga dengan rancangan tersebut diharapkan
suatu kegiatan dapat berjalan efektif.
a. Aspek Kurikulum. Kurikulum sebagai suatu alat pendidikan disusun serta dikembangkan bagi
kepentingan peserta didik dan sekaligus merupakan panduan bagi guru dalam merencanakan
pembelajaran. Ketika guru merancang pembelajaran dapat serta-merta mempertimbangkan
determinan-determinan psikologis, sosiologis, dan IPTEKS yang berkembang di sekolah masing-
masing. Berdasarkan standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD), guru dapat memilih,
menetapkan, dan mengembangkan bahan ajar. Selanjutnya hasil pengembangan dan
pengorganisasian bahan ajar dapat dijadikan pedoman bagi perumusan tujuan pembelajaran dan
indikator pencapaian hasil belajar, pemilihan dan penetapan metode berikut kegiatan belajar
mengajar, penyusunan alat evaluasi, pemilihan media pembelajaran, penetapan waktu belajar
mengajar, sampai pada penetapan biaya yang dibutuhkan.
b. Aspek kedudukan guru. Guru sebagai salah satu unsur dalam pembelajaran yang harus
berperan aktif, bekerja secara profesional sesuai dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat.
Sebagai perencana pembelajaran, guru berkewajiban mengkaji kurikulum yang dijadikan
panduan. Dalam artian guru harus melakukan telaah kritis terhadap kurikulum, untuk selanjutnya
mengidentifikasi pengalaman-pengalaman belajar yang sesuai dengan tingkat maturitas siswa,
kemudian merumuskan dan mengembangkan bahan ajar.
c. Aspek kedudukan murid. Penyusunan skenario pembelajaran, keluasan dan kedalaman bahan
ajar serta aktivitas belajar hendaknya disesuaikan dengan kemampuan dan perkembangan anak
agar bahan ajar dan cara belajar sesuai dengan kondisi anak.
d. Aspek lingkungan belajar. Pembelajaran dalam konteks pendidikan formal dilaksanakan di
sekolah, maka dalam hal ini yang dimaksudkan lingkungan belajar adalah sekolah dengan iklim
dan sarana-prasarana yang diasumsikan mewarnai kegiatan pembelajaran. Mulai dari bangunan
gedung sekolah, lingkungan alam, dan sosial-budaya sekolah, media pembelajaran, dan sarana-
sarana lainnya. Pentingnya pemahaman mengenai aspek-aspek dalam pembelajaran oleh guru
seni rupa dapat membantu guru ketika menyusun rencana pembelajaran. Guru tidak boleh
mengabaikan salah satu dari beberapa hal tersebut termasuk juga pemahaman terhadap
komponen-komponen pembelajaran.
Tujuan pembelajaran atau disebut pula sasaran belajar, merupakan komponen utama dan
paling awal yang harus dirumuskan oleh guru dalam merencanakan pembelajaran (Ismiyanto
2009). Rumusan tujuan pembelajaran yang dibuat diharapkan dapat menggambarkan perilaku
hasil belajar siswa setelah mengikuti kegiatan belajar-mengajar. Perumusan tujuan pembelajaran
disesuaikan dengan kurikulum yang berlaku. Dalam KTSP terdapat Standar Kompetensi (SK)
dan Kompetensi Dasar (KD) yang menjadi dasar dalam perumusan tujuan pembelajaran dan
indikator pencapaian hasil belajar. Rumusan tujuan pembelajaran tersebut harus terukur sehingga
dapat dijadikan panduan dalam pemilihan bahan ajar, pemilihan media pembelajaran, perumusan
KBM, dan penyusunan alat evaluasi.
   Bahan ajar adalah sesuatu yang harus diolah dan disajikan oleh guru yang selanjutnya agar
dipahami oleh peserta didik, dalam rangka pencapaian tujuan pembelajaran yang diharapkan.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menetapkan bahan ajar, antara lain: (1) dapat
menunjang tercapainya tujuan pembelajaran, (2) disesuaikan dengan tingkat maturitas peserta
didik, (3) bahan ajar harus terorganisasi secara sistematis, dan (4) bahan ajar sebaiknya
mengandung hal-hal yang bersifat faktual maupun konseptual. Dengan demikian, pemahaman
mengenai aspek-aspek dalam perencanaan pembelajaran dan pemahaman mengenai komponen-
komponen pembelajaran sangat penting untuk diperhatikan. Perencanaan pembelajaran yang
baik dan sistematis diharapkan dapat mengefektifkan KBM (Ismiyanto 2009).
7.   Pelaksanaan Pembelajaran Seni Rupa
Pelaksanaan pembelajaran dapat dikatakan berjalan efektif jika tujuan pembelajaran
tercapai. Namun, berbagai hal yang tidak diduga kerap terjadi selama kegiatan belajar mengajar
berlangsung. Dalam rangka menyusun dan mengembangkan kegiatan belajar mengajar (KBM),
penting dipahami terlebih dahulu tentang pendekatan, strategi, dan metode pembelajaran
(Ismiyanto 2009). Berdasarkan pemahaman guru terhadap pilihan pendekatan, strategi, dan
metode pembelajaran tersebut, akan dapat membantu menetapkan kegiatan belajar mengajar
sebagaimana yang diharapkan dapat mencapai sasaran belajar secara efektif dan optimal.
a.   Pendekatan dan strategi pembelajaran
Secara garis besar ada dua pendekatan pembelajaran, yaitu pendekatan ekspositorik dan
pendekatan heuristik. Pendekatan ekspositorik merupakan pendekatan pembelajaran yang
menempatkan dominasi guru dalam kegiatan pembelajaran. Sementara pendekatan heuristik
atau pendekatan humanistis merupakan pendekatan pembelajaran yang memposisikan anak
sebagai pusat kegiatan.
Pendekatan-pendekatan tersebut melahirkan strategi-strategi pembelajaran. Seperti yang
dijelaskan di atas, strategi merupakan salah satu komponen dalam pembelajaran. Strategi
berkaitan dengan upaya untuk mencapai sasaran pembelajaran. Menurut Ismiyanto (2009) ada
tiga macam strategi yaitu: (1) strategi pembelajaran yang berorientasi pada dominasi guru dalam
kegiatan pembelajaran (Teacher Centered Strategies), (2) strategi pembelajaran yang
berorientasi pada ketuntasan material dalam pembelajaran (Material Centered Strategies), dan
(3) strategi pembelajaran yang berorientasi pada aktivitas anak (Child Centered Strategies).
Pemilihan strategi akan dapat memberikan gambaran tentang bagaimana bentuk interaksi
belajar-mengajar yang diharapkan oleh guru, memilih dan menetapkan metode pembelajaran dan
merancang kegiatan belajar mengajar. Sementara Uno (2010: 80) menyatakan pula ada tiga jenis
strategi yang berkaitan dengan pembelajaran, yakni: (1) strategi pengorganisasian pembelajaran,
(2) strategi penyampaian pembelajaran, dan (3) strategi pengelolaan pembelajaran. Strategi
pengelolaan menekankan pada penjadwalan penggunaan setiap komponen strategi
pengorganisasian dan strategi penyampaian pengajaran, termasuk pula pembuatan catatan
tentang kemajuan belajar siswa.
b.    Metode Pembelajaran
Pemilihan metode selain harus relevan dengan pilihan strategi, juga perlu
dipertimbangkan dan disesuaikan dengan sasaran belajar, ketersediaan waktu, sarana-prasarana
pembelajaran dan sebagainya. Metode yang dipilih diharapkan mampu membantu mewujudkan
interaksi komunikatif dalam kegiatan belajar mengajar. Kesesuaian metode pembelajaran dengan
sasaran belajar dapat diidentifikasi dari terpenuhinya pencapaian indikator keberhasilan.
Kesesuaian metode dengan waktu dan sarana-prasarana yang tersedia juga patut
dipertimbangkan oleh guru.
c.    Kegiatan Belajar Mengajar
Setelah guru memilih pendekatan, strategi, dan metode kemudian guru perlu merancang
kegiatan belajar mengajar, yaitu kegiatankegiatan yang akan dilakukan oleh guru dan murid.
Kegiatan guru dan murid dalam pembelajaran dirumuskan secara spesifik dan jelas, sehingga
dapat menggambarkan interaksi guru-murid, murid-murid, murid-guru-lingkungan sesuai dengan
konsep belajar dan menggambarkan pengalokasian waktu.
d.    Sumber dan Media Pembelajaran
Sumber dan media pembelajaran merupakan pendukung kegiatan belajar mengajar.
Sumber belajar dapat digunakan oleh guru untuk membantu mengembangkan bahan ajar dan
bagi murid sebagai media belajar dan pengayaan hasil belajar (Ismiyanto 2009). Sumber belajar
bukan hanya berupa buku, namun dapat juga berupa manusia, lingkungan, benda, tumbuhan, dan
sebagainya.
Media pembelajaran dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat digunakan untuk
menyalurkan pesan pembelajaran, merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan berbagai
kemampuan murid, sehingga dapat lebih mengoptimalkan proses belajar mengajar (Ismiyanto
2009). Sedangkan menurut Iswidayati (2010) media merupakan segala sesuatu yang dapat
digunakan untuk menyalurkan informasi dan dapat memperjelas materi atau mencapai tujuan
pembelajaran, memperlancar dan meningkatkan proses dan hasil belajar, serta dapat
menimbulkan motivasi belajar siswa
Media pembelajaran merupakan bagian integral dari seluruh proses pembelajaran,
misalnya seperti contoh sebelumnya, saat guru menyampaikan materi tentang seni lukis guru
menggunakan media berupa LCD proyektor untuk menampilkan contoh-contoh karya seni lukis
kepada siswa. Jadi dapat dikatakan bahwa media pembelajaran memiliki peranan yang sangat
penting dalam pelaksanaan pembelajaran.
Media pembelajaran antara lain bisa berupa gambar, film, video, papan tulis, televisi,
komputer, LCD proyektor, dan lain-lain. Dalam pembelajaran seni rupa, perlu dibedakan antara
media pembelajaran dan alat peraga. Alat peraga berfungsi sebagai alat bantu pembelajaran,
misalnya seorang guru akan menyampaikan materi seni lukis, maka ketika guru akan
mendemonstrasikan membuat karya seni lukis, guru memerlukan alat peraga berupa kertas, cat,
kuas, air, dan sebagainya.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran adalah
segala sesuatu yang berguna untuk menyampaikan informasi atau materi pembelajaran kepada
siswa sehingga dapat memperlancar proses belajar, memotivasi siswa dan meningkatkan hasil
belajar.
8.   Strategi Pembelajaran Seni Rupa
Utomo (2009: 7) menyatakan bahwa strategi pembelajaran seni rupa adalah kegiatan
yang dipilih oleh guru dalam proses belajar mengajar, yang dapat memberikan kemudahan atau
fasilitas kepada siswa dalam berkarya seni rupa menuju kepada tercapainya tujuan instruksional
tertentu secara optimal. Raka Joni dalam Gulo 2002 (dalam Ismiyanto, 2010: 7) mengemukakan
strategi pembelajaran adalah pola dan urutan umum perbuatan guru-murid dalam mewujudkan
kegiatan belajar-mengajar. Sementara itu Raka Joni, Kemp dalam Sanjaya 2006 (dalam
Ismiyanto, 2010: 7) menjelaskan bahwa strategi pembelajaran adalah suatu kegiatan
pembelajaran yang harus dikerjakan oleh guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai
secara efektif dan efisien.
Strategi pembelajaran berkenaan dengan pertanyaan bagaimana pencapaian sasaran
pembelajaran tercapai. Pencapaian sasaran atau tujuan pembelajaran sudah barang tentu
memerlukan upaya-upaya yang sistematik. Oleh karena itu, strategi pembelajaran tidak hanya
berkenaan dengan metode. Metode merupakan salah satu bagian dari strategi pembelajaran. Dan
dalam pelaksanaan pembelajaran, strategi pembelajaran dapat dilakukan dengan
mengorganisasikan kelas, materi dan waktu, memilih metode, memanfaatkan media, dan
sumber belajar. Oleh karena itu dalam kegiatan ini guru memerlukan kiat-kiat khusus sehingga
pembelajaran dapat mencapai sasaran. Kiat dalam mengajar ini lebih bersifat individual, taktik
perorangan, agar kegiatan mengajar yang dilakukan guru menarik siswa (Syafii, 2006: 33).
Dengan demikian strategi pembelajaran seni dapat dimaknai sebagai garis-garis besar
yang melandasi tindakan guru-peserta didik dalam rangka pencapaian tujuan pembelajaran seni
atau sebagai pola dasar kegiatan guru-peserta didik dalam kegiatan pembelajaran seni, sehingga
tercapai tujuan pembelajaran seni yang telah ditetapkan. Dapat pula dimengerti sebagai rencana
dan cara-cara melaksanakan pembelajaran seni secara efektif, agar tercapai tujuan pendidikan
dan/atau pembelajaran seni secara optimal. Dalam kegiatan yang direncanakan, guru hendaknya
membantu proses belajar untuk merangsang siswa sendiri giat melakukan praktik dalam proses
pembelajaran (Roijakkers, 1980: 20).
Strategi pembelajaran seni, merupakan cara dan pola umum perbuatan guru dalam rangka
melaksanakan pembelajaran seni secara bertanggung jawab. Dalam rangka pemilihan strategi
pembelajaran, diperlukan pemahaman guru terhadap pendekatan pembelajaran, sehingga guru
tersebut mampu memandang seluruh masalah yang terkait dengan dan dalam program
belajarmengajar. Pendekatan tersebut akan dapat membantu guru dalam berpikir, bersikap, dan
bertindak dalam rangka menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi. Pemahaman guru
terhadap pendekatan pembelajaran dapat menuntunnya dalam pengembangan bahan ajar dan
bagaimana penyampaiannya, memahami karakteristik peserta didik dan kemampuan dasarnya,
serta makna belajar bagi seorang anak (Ismiyanto, 2010: 8).
Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa strategi pembelajaran
merupakan pola dan urutan umum dalam mewujudkan kegiatan belajar-mengajar yang meliputi
mengorganisasi kelas, materi dan waktu, memilih metode, memanfaatkan media dan sumber
belajar yang tentunya harus disesuaikan dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar serta
kebutuhan siswa sehingga pembelajaran dapat mencapai tujuan yang menjadi sasarannya.
Ismiyanto (2009) mengatakan bahwa evaluasi hasil pembelajaran sebaiknya dilakukan
dua kali, yaitu sebelum dan sesudah pelaksanaan pembelajaran. Evaluasi sebelum pelaksanaan
pembelajaran atau pretest dengan tujuan untuk mengetahui kemampuan awal murid berkenaan
isi pembelajaran. Hasil evaluasi awal ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan guru
dalam menetapkan cara penyampaian dan mengidentifikasi isi pembelajaran yang sudah tidak
perlu lagi dan/atau yang harus diberikan penekanan khusus, serta dapat dilihat hasil belajar yang
benar-benar dicapai lewat pembelajaran tersebut.
Evaluasi akhir atau post-test adalah evaluasi yang dilakukan setelah kegiatan
pembelajaran usai dilakukan. Alat evaluasi atau tes yang digunakan sama persis dengan yang
digunakan pada tes awal (pretest). Adapun tujuan untuk mengetahui gambaran kemampuan
murid setelah mengikuti kegiatan pembelajaran. Dengan cara membandingkan hasil tes awal dan
tes akhir pembelajaran, guru akan mengetahui efektivitas pembelajaran yang telah dilakukan dan
selanjutnya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan perlu-tidaknya perbaikan (remedial)
bagi para murid atau perbaikan program pembelajaran.
Jenis dan alat evaluasi hasil pembelajaran dapat dipilih kembangkan oleh guru atau
memanfaatkan alat evaluasi yang telah disusunkembangkan oleh pihak lain, misalnya dari Dinas
Pendidikan Kota/Provinsi, pakar, atau lembaga pendidikan lainnya. Dalam hal menggunakan
soal atau alat evaluasi yang disusunkembangkan oleh pihak lain, guru harus secara cermat-
selektif, dengan memperhatikan komponen-komponen pembelajaran yang telah dirumuskannya.
Jenis atau bentuk alat evaluasi dapat berupa tes objektif, misalnya pilihan ganda, memasangkan,
isian singkat, dan sebagainya dengan berbagai ragamnya atau tes esai (uraian) atau dapat pula
menggunakan non-test; berupa penugasan, proyek, atau perbuatan. Pilihan jenis dan penyusunan
alat evaluasi harus dengan mempertimbangkan komponen-komponen tujuan pembelajaran,
pengorganisasian bahan ajar, dan pengorganisasian kegiatan belajar-mengajar juga alokasi waktu
yang disediakan.
Evaluasi dalam konteks kurikulum tidak hanya dipahami sebagai penilaian hasil belajar
peserta didik, namun juga dalam rangka evaluasi program atau kurikulum (Schubert, 1986: 262
dalam Ismiyanto, 2008). Evaluasi yang hanya diasosiasikan sebagai pemberian nilai atau
penilaian hasil belajar peserta didik merupakan gagasan Ralph Tyler (1949) dan Hilda Taba
(1962) dalam (Ismiyanto, 2008). Sementara itu Zais (1976: 369) dalam Ismiyanto (2008) menuls
bahwa pencapaian tujuan pendidikan dan/atau pembelajaran diwarnai oleh berbagai aspek dan
diperlukan perbaikan-perbaikan, maka evaluasi harus menyeluruh mencakupi evaluasi produk,
proses, tujuan, kesesuaian antara tujuan yang diharapkan dengan tujuan yang dicapai.
Syafii (2006: 35) mengemukakan bahwa evaluasi pembelajaran dilakukanguna
mengetahui sejauh mana perubahan perilaku siswa telah terjadi, dengan kata lain evaluasi
pembelajaran dilakukan dalam rangka mengetahui ketercapaian tujuan yang telah direncanakan.
Evaluasi pembelajaran seni rupa disekolah menjadi hal yang sangat unik dan pelik, oleh karena
dalam proses pembelajaran seni rupa, siswa tidak hanya terlibat dalam hal-hal yang sifatnya
kognitif, akan tetapi juga apresiatif dan kreatif. Oleh karena itu evaluasi pembelajaran seni rupa
sesungguhnya tidak tepat jika hanya mengukur (measurement), atau menaksir (assessment) pada
aspek keterampilan (praktik). Dengan demikian, kerepresentatifan evaluasi pembelajaran seni
rupa atas kompetensi siswa hendaknya memperhatikan komprehensivitas materi yang diajarkan,
yakni yang berkaitan dengan pengetahuan (kognitif), apresiatif (afektif), dan kreatif
(psikomotor). Ketiga hal inilah akhirnya yang dijadikan objek sasaran evaluasi hasil
pembelajaran seni rupa.
9.   Evaluasi Pembelajaran Seni Rupa
Menurut Syafii (2010:3) evaluasi merupakan “kegiatan atau proses yang sistematik untuk
menentukan nilai bagi siswa yang telah mengalami proses pembelajaran”. Evaluasi merupakan
salah satu komponen proses pembelajaran. Fungsi utamanya seperti yang dijelaskan dalam
Soehardjo (2011: 313) adalah untuk mengetahui tingkat keberhasilan proses pembelajaran dan
fungsi selanjutnya sebagai balikan, jika dalam fungsi utamanya menunjukkan hasil rerata pada
tingkat ketidakberhasilan.
Evaluasi hasil pembelajaran sebaiknya dilakukan dua kali, yaitu sebelum dan sesudah
pelaksanaan pembelajaran (Ismiyanto 2009). Evaluasi sebelum pelaksanaan pembelajaran
(pretest) bertujuan untuk mengetahui kemampuan awal murid berkenaan dengan materi
pembelajaran, sehingga hasil evaluasi awal ini dapat dijadikan bahan pertimbangan guru dalam
menetapkan cara penyampaian, mengidentifikasi isi pembelajaran yang masih perlu atau tidak
perlu diberi penekanan khusus. Evaluasi setelah pembelajaran (posttest) bertujuan untuk
mengetahui hasil kemampuan murid setelah melalui proses pembelajaran yang kemudian hasil
evaluasi tersebut digunakan guru untuk dibandingkan dengan hasil evaluasi awal.
Berkenaan dengan pembelajaran seni rupa, evaluasi terkait dengan sasaran pembelajaran
yaitu pencapaian kompetensi apresiasi dan kreasi. Guru dalam melaksanakan evaluasi,
khususnya dalam pengumpulan data, dapat menggunakan berbagai instrument, yang pada
dasarnya digolongkan ke dalam dua golongan besar, yakni tes dan non tes (Syafii 2010: 17). Tes
diartikan sebagai tugas yang harus dikerjakan oleh siswa untuk menampilkan kemampuannya,
sedangkan non tes digunakan oleh guru untuk mendapatkan informasi khususnya yang terkait
keadaan siswa, selain kemampuannya.
Salah satu jenis teknik tes adalah tes penilaian produk. Penilaian produk (Syafii 2010: 32)
adalah penilaian terhadap proses pembuatan dan kualitas suatu produk. Penilaian produk
meliputi tiga tahap penilaian, yaitu: (1) tahap persiapan, berkenaan dengan penilaian kemampuan
siswa dalam merencanakan, mengembangkan ide, dan mendesain produk, (2) tahap pembuatan
produk, berkenaan dengan penilaian kemampuan siswa dalam menyeleksi dan menggunakan
bahan, alat, dan teknik, dan (3) tahap penilaian produk, berkenaan dengan penilaian produk yang
dihasilkan siswa sesuai kriteria yang ditetapkan.
Kegiatan evaluasi akan menghasilkan data berupa biji (score) dan nilai (grade). Dalam
Soehardjo (2011: 313) dijelaskan bahwa tindakan evaluasi yang akan menghasilkan biji disebut
pembijian (scoring) dan tindakan evaluasi yang akan menghasilkan nilai disebut penilaian
(grading). Pembijian berfungsi untuk menentukan jenjang kuantitas kompetensi hasil belajar
yang dicapai oleh siswa. Sedangkan penilaian berfungsi untuk menentukan jenjang kualitas
kompetensi.
Guna mendapatkan hasil evaluasi yang lebih obyektif maka digunakan teknik evaluasi gabungan
dengan cara pembijian yang diikuti oleh penilaian. Teknik evaluasi gabungan tersebut dilakukan
dengan cara konversi yakni pengubahan biji (score) menjadi nilai (grade). Hasil yang diperoleh
dari pembijian berwujud simbol kuantitas yang berupa angka berubah menjadi simbol kualitas
yang berupa huruf (A, B, C, D, dan E) atau menjadi pernyataan kualitas (Baik Sekali, Baik,
Sedang, Kurang, Kurang Sekali).
Dalam pembelajaran seni dikenal istilah hasil belajar yang disebut proses-kerja dan hasil-
akhir (Soehardjo 2011: 314). Proses kerja menentukan hasil kerja, yakni hasil akhir berkesenian.
Dalam proses kerja dengan bahan ajar yang bertipe prosedur akan menunjukkan hasil belajar
yang berupa kemampuan bertindak prosedural berkesenian. Proses kerja tidak dapat diabaikan
dalam proses pembimbingan dan evaluasi karena dalam setiap proses kerja terdapat berbagai
potensi siswa di dalamnya.
Dalam pembelajaran seni yang dimaksud hasil akhir (final product) adalah hasil dari
proses berkesenian (Soehardjo 2011: 316). Hasil dari proses berkesenian tersebut berupa sebuah
karya seni. Suatu karya seni tersebut merupakan hasil dari suatu proses yang berlangsung melalui
tahapan demi tahapan. Dalam mengevaluasi karya siswa, guru perlu berperan sebagai
pembimbing selama proses kerja siswa. Kegiatan evaluasi pembelajaran merupakan suatu hal
yang penting untuk dilaksanakan agar dapat mengukur tingkat keberhasilan belajar siswa.
Evaluasi juga penting untuk mengamati bagaimana proses belajar siswa, serta berguna sebagai
refleksi guru dalam perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran seni rupa merupakan
pembelajaran yang terdiri dari kegiatan apresiasi dan kreasi, serta menekankan adanya kreativitas
pada siswa untuk mengekspresikan perasaannya ke dalam bentuk karya seni rupa untuk
mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan.

Daftar Pustaka

Anni, Chartarina Tri dan RC, Achmad Rifa’i. 2009. Psikologi pendidikan. Semarang: Unnes
Press.
Anni, Chatharina Tri. dkk. 2007. Psikologi Belajar. Semarang : UPT Unnes Press.
Anni. Chartarina Tri. 2010. Psikologi Belajar. Semarang. UNNES Press.
Bahari, Nooryan. 2008. Kritik Seni: Wacana, Apresiasi, dan Kreasi. Yogyakarta: Pustaka
Belajar.
Bastomi, S. 1985. Berapresiasi Pada Seni Rupa. Semarang: UNNES Press.
Bastomi, Suwaji. 2003. Kritik Seni. Bahan Ajar. Semarang: Jurusan Seni Rupa, Fakultas Bahasa
dan Seni, Universitas Negeri Semarang.
Budi Utomo, Kamsijo. 2009. Silabus, Handout, dan Media Pembelajaran Strategi Pembelajaran
Seni Rupa
Chaniago, Amran. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Bandung: Pustaka Setia.
Depdikbud. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Depdiknas. 2006. Kurikulum Seni Budaya / KTSP. Jakarta: Depdiknas.
Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas.
Djamarah, Saiful Bahri. 2010. Guru Anak Didik dalam Interaksi Edukatif. Jakarta: Rineka Cipta.
Djelantik, A.A.M. 1999. Estetika Sebuah Pengantar. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan
Indonesia
Erman, Nani Rosana dan Ismiatun. 2004. Berkreasi dengan Pelepah Pisang. Surabaya: Trubus
Agrisarana.
Garha, O dan Bongsoe. 1975. Penuntun Pendidikan Seni Rupa untuk SD. Bandung: PT Pelita
Masa.
Garha, Oho dan Md Idris. 1978. Pendidikan Kesenian Seni Rupa. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Hambor, Rahman Rohim. 2005. Panduan Dasar Melukis dengan Cat Minyak. Jakarta : Kawan
Pustaka.
Haryanto. 2007. Media, Seni Rupa, Desain, dan Craft. Handout Mata Kuliah Media Seni Rupa.
Semarang: UNNES.
Irawan, P. dkk. 1997. Teori Belajar, Motivasi dan Keterampilan Mengajar. Bahan Ajar Program
pengembangan Keterampilan Dasar Tehnik Instruksional untuk Dosen Muda. Jakarta.
Universitas Terbuka.
Ismiyanto, PC. S. 2003. Metode Penelitian. Handout Mata Kuliah Metode Penelitian. Semarang:
Universitas Negeri Semarang.
Ismiyanto, PC. S. 2009. GBPP – Silabus, RPP, dan Handout Mata Kuliah Perencanaan
Pembelajaran Seni Rupa. Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Ismiyanto, PC S. 2008. Kurikulum dan Buku Teks Pendidikan Seni Rupa. GBPP-Silabus, RPP,
dan Handout Jurusan Seni Rupa FBS Unnes. Jurusan Seni Rupa
Ismiyanto, PC S. 2009. Perencanaan Pembelajaran Seni Rupa. GBPP-Silabus, RPP, dan
Handout Mata Kuliah Jurusan Seni Rupa FBS Unnes. Jurusan Seni Rupa.
Ismiyanto, PC S. 2010. Strategi dan Model Pembelajaran Seni Rupa. Jurusan Seni Rupa FBS
Unnes.Jurusan Seni Rupa.
Iswidayati, Sri. 2010. Pemanfaatan Media Pembelajaran Seni Budaya. Semarang: Universitas
Negeri Semarang.
Jasin, Anwar. 1987. Pembaharuan Kurikulum SD Sejak Proklamasi Kemerdekaan. Jakarta: Balai
Pustaka.
Kartika, Dharsono Sony. 2007. Kritik Seni. Bandung: Rekayasa Sains.
Moleong, Lexy J. 2002. Metode Penelitian Kualitatif . Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Muharrar dan Sri Verayanti. 2013. Kreasi Kolase, Montase, Mozaik Sederhana. Semarang:
Erlangga Group.
Mulyono. 2007. Pelepah Pisang Menjadi Uang. Jakarta: Ganeca Exact.
Munib, Achmad, dkk. 2011. Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang: Unnes Press.
Noviyanto, Okki. 2011. Ungkapan Konflik Psikologis dalam Lukisan Cat Tembok. Proyek Studi.
Jurusan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang.
Poerwadarminta. 1993. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Rasjoyo. 1996. Pendidikan Seni Rupa untuk SMU Kelas 1. Jakarta: Erlangga
Rebowo, Tjatur. 2011. Manusia sebagai Subyek Dalam Karya Seni Lukis. Proyek Studi. Jurusan
Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang.
Riafi RC, Achmad dan Chatharina Tri Anni. 2009. Psikologi Pendidikan. Semarang: Universitas
Negeri Semarang Press.
Rondhi, Moh dan Anton Sumartono. 2002. Paparan Perkuliahan mahasiswa: Tinjauan Seni
Rupa I. Semarang: Unnes Press.
Rondhi, Moh. 2002. Tinjauan Seni Rupa 1. Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Rooijakkers, Ad. 1991. Mengajar Dengan Sukses Petunjuk Untuk Merencanakan dan
Menyampaikan Pengajaran. Jakarta: PT. Grasindo.
Salam, Sofyan. 2001. Pendidikan Seni Rupa di Sekolah Dasar. Makasar: Universitas Negeri
Makasar
Sanjaya, Wina. 2007. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group
Sanyoto, Sadjiman Ebdi. 2009. Nirmana Elemen-Elemen Seni dan Desain. Yogyakarta:
Jalasutra.
Sobandi, Bandi. 2008. Model Pembelajaran Kritik dan Apresiasi Seni Rupa. Bandung:
Universitas Pendidikan Indonesia.
Soehardjo, A. J. 2011. Pendidikan Seni: Strategi Penataan dan Pelaksanaan Pembelajaran Seni.
Malang: Bayumedia Publishing.
Soetomo, Greg. 2003. Krisis Seni Krisis Kesadaran. Jogjakarta: Kanisius.
Sudarmaji. 1979. Seni Dan Permasalahannya. Yogyakarta: Sakudaryarso.
Sugandi, Achmad dkk. 2005. Teori Pembelajaran. Semarang: Universitas Negeri Semarang
Press.
Sulistyowati, Retno. 2007. Bunga dari Pelepah Pisang. Surabaya: Tiara Aksa.
Sumartono Anton dan Rondhi, Moh. 2002. Tinjauan Seni Rupa I. Buku Ajar Jurusan Seni Rupa
FBS Unnes. Jurusan Seni Rupa.
Sunaryo, Aryo. 2002. Nirmana I. Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Sunaryo, Aryo. 2002. Paparan Perkuliahan Mahasiswa Nirmana 1. Semarang. Jurusan Seni
Rupa Unnes.
Sunaryo, Aryo. 2006. Bahan Ajar Seni Lukis 1. Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Sunaryo, Aryo. 2009. Bahan Ajar Seni Rupa 1. GBPP/Silabus-Handout-Media Pembelajaran
Program Studi Pendidikan Pendidikan Seni Rupa S1 Jurusan Seni Rupa FBS Unnes. Jurusan
Seni Rupa.
Sunaryo, Aryo. 2010. Bahan Ajar Seni Rupa I. GBPP/Silabus.  Handout-Media Pembelajaran
Program Studi Pendidikan Seni Rupa S1 Jurusan Seni Rupa FBS Unnes. Jurusan Seni Rupa.
Supriyadi, Eko. 2002. Ekspresi Tentang Figur Imajinatif Dalam Karya Seni Lukis. Proyek Studi.
Jurusan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang
Susanto, Mikke. 2002. Diksi Rupa Kumpulan Istilah seni Rupa. Yogyakarta: Kanisius.
Suwarno, Wiji. 2006. Dasar-dasar ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Ar-ruzz.
Syafi’i. 2006. Konsep dan Model Pembelajaran Seni Rupa. Bahan Ajar Tertulis Jurusan Seni
Rupa FBS Unnes. Jurusan Seni Rupa.
Syafi’i. 2008. Penelitian Pengajaran Seni Rupa. Handout Mata Kuliah Jurusan Seni Rupa FBS
Unnes. Jurusan Seni Rupa.
Syafii. 2006. Konsep dan Model Pembelajaran Seni Rupa. Semarang: Universitas Negeri
Semarang.
Syafii. 2010. Evaluasi Pembelajaran Seni Rupa. Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Taufik, Rahmat. 2007. Proyek Studi Kehidupan Anak Jalanan Sebagai Sumber Inspirasi dalam
Karya Seni Lukis. Semarang: Jurusan Seni Rupa Unnes.
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Uno, Hamzah B. dkk. 2010. Desain Pembelajaran. Bandung: MQS Publishing.
Wena. 2009. Srategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer: Suatu Tinjauan Konseptual
Operasional. Jakarta: Bumi Aksara.

Anda mungkin juga menyukai