Nadya Lutfi Laporan Refreshing Rhinitis RSUD Sekarwangi PDF
Nadya Lutfi Laporan Refreshing Rhinitis RSUD Sekarwangi PDF
RHINITIS
Pembimbing:
Disusun oleh:
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan Rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan laporan refreshing ini tepat pada waktunya, refreshing yang di tulis
berjudul “Rhinitis”, refreshing ini disusun dalam rangka mengikuti kepanitraan Klinik stase ilmu
THT RSUD Sekarwangi Kabupaten Sukabumi.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah banyak memberikan bimbingan kepada penulis:
1. dr. Pramusinto Adhi, Sp. THT-KL selaku dokter pembimbing serta dokter spesialis
THT-KL RSUD Sekarwangi Kabupaten Sukabumi.
2. Teman – teman seperbimbingan dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-
persatu yang telah memberikan bantuan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa dalam laporan ini masih banyak kekurangan. Oleh karena
itu, semoga laporan ini dapat memberikan manfaat dan tambahan pengetahuan khususnya
kepada penulis dan kepada pembaca.
Terimakasih
Sukabumi, 18 Agustus 2020
Nadya Lutfi
i
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and It’s Impact on Asthma) tahun
2001, rhinitis adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa
gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh
IgE.
Septum bagian luar dilapisi oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding
hidung licin, yang disebut agar nasi dan di belakangnya terdapat konka-konka yang
mengisi sebagian besar dinding lateral hidung.1
Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari nares
anterior hingga koana di posterior yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring.
Septum nasi membagi tengah bagian hidung dalam menjadi kavum nasi kanan dan
kiri. Setiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior.
Bagian inferior kavum nasi berbatasan dengan kavum oris dipisahkan oleh
palatum durum. Ke arah posterior berhubungan dengan nasofaring melalui koana.
Di sebelah lateral dan depan dibatasi oleh nasus externus. Di sebelah lateral
belakang berbatasan dengan orbita : sinus maksilaris, sinus etmoidalis, fossa
pterygopalatina, fossa pterigoides.
Gambar. Anatomi Dalam Hidung
b) Dinding lateral
Dinding lateral dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu di anterior
terdapat prosesus frontalis os maksila, di medial terdapat os etmoidal, os
maksila serta konka, dan di posterior terdapat lamina perpendikularis os
palatum, dan lamina pterigoides medial. Bagian terpending pada dinding
lateral adalah empat buah konka. Konka terbesar dan letaknya paling bawah
ialah konka inferior kemudian konka yang lebih kecil adalah konka media,
konka superior dan yang paling kecil adalah konka suprema. Konka suprema
biasanya akan mengalami rudimenter. Diantara konka-konka dan dinding
lateral hidung terdapat rongga sempit yang dinamakan dengan meatus.
Terdapat tiga meatus yaitu meatus inferior, media dan superior.
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit
antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Resesus
sfenoetmoidal terletak di posterosuperior konka superior dan di depan konka
os spenoid. Resesus sfenoetmoidal merupakan tempat bermuaranya sinus
sfenoid.
Meatus media merupakan salah satu celah yang di dalamnya terdapat muara
sinus maksila, sinus frontal dan bagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian
anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateralnya
terdapat celah berbentuk bulan sabit yang disebut sebagai infundibulum.
Muara atau fisura berbentuk bulan sabit yang menghubungkan meatus medius
dengan infundibulum dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan
medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan
dikenal sebagai prosesus unsinatus. Ostium sinus frontal, antrum maksila,
dan sel-sel etmoid anterior bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-
sel etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus
maksila bermuara di posterior muara sinus frontal.
Meatus nasi inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus,
mempunyai muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3
sampai 3,5 cm di belakang batas posterior nostril.
c) Septum Hidung
Septum membagi kavum nasi menjadi ruang kanan dan kiri. Bagian
posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior
oleh kartilago septum, premaksila dan kolumela membranosa. Bagian
posterior dan inferior oleh os vomer, krista maksila, krista palatina dan krista
sfenoid.
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang
berasal dari n.oftalmikus (N.V1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar
mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion
sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum selain memberikan persarafan
sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa
hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila
(N.V2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-
serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak
di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.
Nervus olfaktorius turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah
bulbus olfaktorius dan berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa
olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.
Bagian paling depan rongga hidung adalah vestibulum yang dilapisi oleh epitel
berlapis gepeng berkeratin. Di dalam vestibulum, terdapat kelenjar keringat, kelenjar
sebasea, dan bulu-bulu hidung yang disebut vibrisa. Vibrisa ini berperan dalam
penyaringan pertikel-partikel yang berukuran besar pada udara inspirasi.
Epitel respiratorik pada kavum nasi terdiri atas lima jenis sel. Sel-sel tersebut adalah :
1) Sel silindris bersilia Sel ini merupakan sel terbanyak yang terdapat pada epitel
respiratorik. Pada permukaan apikal sel terdapat kurang lebih 300 silia. 2
2) Sel goblet mukosa Sel ini cukup banyak dijumpai di epitel respiratorik. Sel ini
mengandung granula glikoprotein musin pada bagian apikalnya.
3) Sel sikat (brush cells) Sel ini berbentuk silindris yang jumlahnya tidak banyak, sekitar
3% dari total sel yang terdapat pada epitel respiratorik. Sel sikat memiliki permukaan
apikal yang kecil. Di atasnya terdapar banyak mikrovili yang pendek dan tumpul.
Diperkirakan sel ini sebagai reseptor kemosensoris karena sel ini memperlihatkan
beberapa komponen transduksi sinyal.
4) Sel granul kecil 15 Jumlah sel ini kurang lebih sama dengan sel sikat. Sel granul kecil
mengandung banyak granul padat dengan diameter 100-300 nm.
5) Sel basal Sel basal berbentuk bulat kecil dan terdapat di membran basal. Sel ini
tergolong sel punca yang nantinya dapat membentuk sel-sel yang baru.
Epitel olfaktorius yang melapisi daerah konka nasalis superior berbentuk tingkat dan
silindris. Luas epitel ini kurang lebih 10 cm2 dengan tebal 100 µm. Lamina propria pada
epitel ini memiliki kelenjar serosa besar yang akan menyekresikan cairan di sekitar silia
penghidu dan mempermudah akses zat pembau yang baru. Epitel ini terdiri atas tiga jenis
sel, yaitu :
1) Sel-sel basal Sel basal merupakan sel punca yang dapat membentuk dua sel lainnya.
Sel ini kecil, berbentuk kerucut, dan terletak di lamina basal.
2) Sel penyokong Sel ini berbentuk kolumner dengan puncaknya lebih silindris dan
dasarnya lebih sempit. Sel penyokong diperkirakan berperan untuk menjaga
lingkungan di epitel olfaktorius supaya tetap stabil.
Mukosa olfaktori Berada di atap rongga hidung , dikedua sisi sekat pembagi , dan di
permukaan konka superior, salah satu rak tulang dirongga hidung. Epitel olfaktori terbentuk khusus
untuk mendektesi bau. Karena itu epitel ini tampak berbeda dari epitel pernafaan. Epitel olfaktori
adalah epitel kolumnar tinggi berlapis semu tanpa sel goblet dan tanpa silia motilm , berada dari
epitel pernafsan .
bercabang. Kelenjar ini menghasilkan secret serosa, berbeda dari secret campuran mukosa dan
serosa yang dihasilkan oleh kelenjar dibagian rongga hidung lainnya. Saraf-saraf keil yang terletak
di lamina propria adalah nervus olfaktorius. Saraf olfaktorius ini adalah agregat akson aferen yang
meninggal kan sel olfaktori dan berlanjut ke dalam rongga cranium tempat akson – akson bersinaps
di saraf olfaktori .
2.2 Rhinitis Alergi
2.2.1 Definisi
Rhinitis adalah suatu reaksi inflamasi pada membran mukosa hidung, yang
dapat menyebabkan hidung tersumbat, rhinorrhea, dan gejala-gejala terkait
tergantung dari etiologinya (misalnya gatal, bersin, berair atau bernanah purulen,
anosmia).
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh alergi pada
pasien yang atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut.3
Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and It’s Impact on Asthma)
tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa
gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh
IgE.3
2.2.2 Epidemiologi7
• Global
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Rinitis hanya ada
di negara yang mempunyai 4 musim. Allergen penyebabnya spesifik,
yaitu tepungsari (pollen), rerumputan, dan spora jamur.
Persisten/ menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.
2. Sedang-berat bila terdapat salah satu atau lebih dari gangguan tersebut di
atas.
2.2.4 Etiologi
Penyebab umum:8
Debu Parfum
Jamur
Faktor memperparah:8
Kelembapan Hairspray
Parfum Asap beracun
Asap kayu
2.2.5 Patofisiologi
Satu macam alaergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran
sehingga memberi gejala campuran, misalnya tungau sebu rumah yang
memberi gejala asma bronkial dan rhinitis alergi. 3,4
1. Respons primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat
nonspesifik dan dapat berakhir sampai di sini. Bila Ag tidak berhasil
seluruhnya dihilangkan, reaksi akan berlanjut menjadi respons sekunder.
2. Respons sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan
ialah sistem imunitas selular atau humoral atau keduanya dibangkitkan.
Bila Ag berhasil dieliminiasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih
ada atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi
berlanjut menjadi respons tersier.
3. Reaksi tersier
Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan bagi tubuh.
Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap tergantung dari daya
elminasi Ag oleh tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1
atau rekasi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi
sitotoksik/sitolitik, tipe 3 atau reaksi komplek imun, dan tipe 4 atau reaksi
tuberculin (delayed hypersensitivity).
1) Anamnesis
2) Pemeriksaan Fisik
3) Pemeriksaan Penunjang
In vitro
In vivo
2.2.8 Penatalaksanaan3
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan
allergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi
2. Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang
bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan
merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini
pertama pengobatan rhinitis alergi. Dapat diberikan secara kombinasi atau
tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan, yaitu golongan antihistamin
generasi satu (klasik) dan generasi 2 (nonsedatif). Antihistamin generasi 1
bersifat lipofilik sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai
efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang
termasuk kelompok ini antara lain difenhidramin, klorfeniramin,
prometasin, siproheptadin, sedangkan yang dapat diberikan secara topikal
adlah azelastine. Antihistamin generasi 2 bersifat lipofobik sehingga sulit
menembus sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat reseptor H-1
perifer dan tidak mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergic, dan efek
pada SSP minimal (nonsedatif). Antihistamin diabsorpsi secara oral
dengan cepat dan mudah serta efektif untuk mengatasi gejala pada respons
fase cepat, seperti rinore, bersin, gatal, tapi tidak efektif untuk mengatasi
gejala obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin nonsedatif dapat
dibagi menjadi 2 golongan menurut keamanannya. Kelompok pertama
adalah astemisol dan terfenadine yang mempunyai efek kardiotoksik.
Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang
tertunda dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung, dan
menyebabkan kematian mendadak (sudah ditarik dari peredaran).
Kelompok kedua adalah loratadine, setirisin, fexofenadine, desloratadine,
dan levosetirisin.
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergic alfa dipakai
sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan
antihistamin atau topikal. Namun, pemakaian secara topikal hanya boleh
untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rhinitis
medikamentosa.
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung
akibat respons fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang
sering dipakai adalah kortikosteroid topikal (beklometason, budenosid,
flunisolide, flutikason, mometason furoat, dan triamsinolon).
Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada
mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinophil,
mengurangi aktifitas limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini
menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif terhadap rangsangan
allergen (bekerja pada respon fase cepat dan lambat). Preparat sodium
kromoglikat topikal bekerja menstabilkan mastosit (mungkin menghambat
ion kalsium) sehingga pelepasan mediator dihambat. Pada respons fase
lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan menghambat
aktivasi sel netrofil, eosinophil, dan monosit. Hasil terbaik dapat dicapai
bila diberikan sebagai profilaksis.
Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromide,
bermanfaat untuk mengatasi rinore karena aktivitas inhibisi reseptor
kolinergik pada permukaan sel efektor.
Pengobatan baru lainnya untuk rhinitis alergi adalah antileukotriene
(zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan.
3. Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior),
konkoplasti, atau multiple outfractured, inferios turbnioplasty perlu
dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan
dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.
4. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala
yang berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain
tidak memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah
pembentukan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode
imunoterapi yang umum dilakukan, yaitu intradermal dan sublingual.
Gambar. Algoritma Penatalaksanaan Rhinitis Alergi menurut WHO Initiative ARIA 2001
Tabel Perbedaan Rhinitis Alergi dan Rhinitis Nonalergi.
2.3.1 Klasifikasi
Pasca operasi
Rinitis toxic-iritan :
Obat sistemik
Akromegali
Neurogenic :
Rinitis gustatory
a) Etiologi
c) Pengobatan
2. Neuropaptida
Pada mekanisme ini terjadi disfungsi hidung yang diakibatkan oleh
meningkatnya rangsangan terhadap saraf sensoris serabut C di
hidung. Adanya rangsangan abnormal saraf sensoris ini akan diikuti
dengan peningkatan pelepasan neuropeptida seperti subsfance P dan
calcitonin gene-related protein yang menyebabkan peningkatan
permeabilitas vaskular dan sekresi kelenjar. Keadaan ini
menerangkan terjadinya peningkatan respon pada hiper-reaktifitas
hidung.
3. Nitric oksida
Kadar nitrik oksida (NO) yang tinggi dan persisten di lapisan epitel
hidung dapat menyebabkan terjadinya kerusakan atau nekrosis
epitel, sehingga rangsangan nonspesifik berinteraksi langsung ke
lapisan sub-epitel. Akibatnya terjadi peningkatan reaktifi tias sera
but trigemi nal dan recruitment refleks vaskular dan kelenjar mukosa
hidung.
4. Trauma
Rinitis vasomotor dapat merupakan komplikasi jangka panjang dari
trauma hidung melalui mekanisme neurogenik dan/atau
neuropeptida.
Gejala Klinis
Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur oleh
karena adanya perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, juga oleh
karena asap rokok dan sebagainya.
Diagnosis
Diagnosis Banding
1. Rhinitis alergi
2. Rhinitis medikamentosa
Tatalaksana
Prognosis
Definisi
Patofisiologi
1. Silia rusak
2. Sel goblet berubah ukurannya
3. Membrane basal menebal
4. Pembuluh darah melebar
5. Stroma tampak edema
6. Hipersekresi kelenjar mukus dan perubahan pH sekret hidung
7. Lapisan submucosa menebal
8. Lapisan periosteum menebal
b) Penatalaksanaan
1. Hentikan pemakaian obat tetes atau semprot vasokonstriktor
hidung
2. Untuk mengatasi sumbatan berulang (rebound congestion), dapat
diberikan kortikosteroid oral dosis tinggi jangka pendek dan dosis
diturunkan secara bertahap (tapering off) dengan menurunkan
dosis sebanyak 5 mg setiap hari hari, misalnya hari 40 mg, hari 2
35 mg, dan seterusnya). Dapat juga dengan pemberian
kortikosteroid topikal minimal 2 minggu untuk mengembalikan
proses fisiologis mukosa hidung
3. Obat dekongestan oral (biasanya mengandung pseudoefedrin)
PENUTUP
Rhinitis disebut kronik bila radang berlangsung lebih dari 1 bulan. Pembagian
rhinitis kronis berdasarkan ada tidaknya peradangan sebagai penyebabnya. Rhinitis
kronis yang disebabkan oleh peradangan dapat kita temukan pada rhinitis hipertrofi,
rhinitis sika (sicca), dan rhinitis spesifik (difteri, atrofi, sifilis, tuberkulosa & jamur).
Sangat penting untuk memeriksa gejala pada setiap pasien untuk menentukan
patofisiologi yang terjadi dalam tiap rinitis dan untuk merencanakan pengobatan
sehingga bisa memudahkan pemulihan dengan efek samping yang minimal.
DAFTAR PUSTAKA
1. Richard L Drake; Wayne Vogl; Adam W M Mitchell. 2014. Gray’s
Anatomy: Anatomy of the Human Body. Elsevier; 2014
2. Netter, Frank H. ATLAS OF HUMAN ANATOMY 25th Edition. Jakarta:
EGC, 2014
3. Adams GL, Boies LR, Higler PA (2012). Boies : Buku ajar penyakit THT.
Jakarta : EGC, hal. 206-218
4. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Rinitis Alergi. dalam Soepardi EA et
al (editor). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
& Leher Edisi Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
5. Bosquet J, Khaltaev N, Cruz AA, Denburg J, Fokkens WJ, Togias A, et al.
Allergic rhinitis and its impact on Asthma (ARIA) 2008 update [Review].
Allergy [Internet]. 2008 [2013 Feb 6]: 63 (Suppl. 86): 8–160. available
from:http://www.unifesp.br/dmed/climed/liga/consensos/rinitealergicaeas
ma200 8.PDF
6. Min YG. The Pathophysiology, Diagnosis and Treatment of Allergic
Rhinitis. Allergy, Asthma and Immunology Research, vol. 2, no. 2, p. 65,
2010.
7. Sudiro M. Prevalence of Allergic Rhinitis based on World Health
Organization (ARIA-WHO) questionnaire among Batch 2010 Students of
the Faculty of Medicine Universitas Padjadjaran. Amj, pp. 620-625, 2015.
8. http://klikpdpi.com/index.php?mod=article&sel=7854
9. Roestiniadi. DS dan Sbilarrusydi. Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinitis
Okupasional. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga ; Surabaya, vol. 6,
no.1 hal: 28-40, 2013
10. Caparroz. Fábio Azevedo, Gregorioa. Luciano Lobato, Giuliano
,Bongiovanni, Izua. Suemy Cioffi, Kosugi. Eduardo Macoto. Rhinitis and
Pregnancy : Literature Review. 2013 : Barzil
[http://dx.doi.org/10.1016/j.bjorl.2015.04.011]