Anda di halaman 1dari 40

HALAMAN PENGESAHAN

Laporan lengkap pratikum Kimia Anorganik yang berjudul “Penentuan


Bilangan Koordinasi Kompleks Tembaga II” oleh:
nama : Nur Annisa Fajri Marsuki
NIM : 1813141012
kelas : Kimia Sains
kelompok : IV (Empat)
telah diperiksa dan dikonsultasikan oleh Asisten dan Koordinator Asisten
maka laporan ini di terima.

Makassar, Juli 2020


Koordinator Asisten Asisten

Surahmat Musdalifah
NIM: 1513140001 NIM: 161314003

Mengetahui,
Dosen Penanggung Jawab

Dr.Muhammad Syahrir, S.Pd.,M.Si


NIP. 19740907 200501 1 004
A. JUDUL PERCOBAAN
Penentuan bilangan koordinasi kompleks tembaga II

B. TUJUAN PERCOBAAN
Tujuan dari percobaan ini adalah untuk menentukan bilangan
koordinasi kompleks dengan bahan CuCl2.2H2O

C. LANDASAN TEORI
1. Tinjaun Pustaka
Senyawa kompleks adalah senyawa yang terbentuk karena
penggabungan dua atau lebih senyawa sederhana, yang masing-masingnya
dapat berdiri sendiri. Misalnya, dalam proses penggabungan seperti berikut:
A + B AB
Senyawa AB dapat dianggap sebagai senyawa kompleks. Hamper semua
hasil reaksi kimia dapat dianggap sebagai senyawa kompleks, namun yang
penting untuk pemeriksaan kimia adalah senyawa kompleks koordinasi.
Menurut Werner, orang yang pertama kali berhasil mengkaji senyawa
kompleks ini, beberapa ion logam cenderung berikatan koordinasi dengan
zat-zat tertentu membentuk senyawa kompleks yang mantap. Zat-zat
tertentu itu disebut ligan (Rivai, 1995: 182-183).
Senyawa kompleks adalah senyawa yang jumlah ikatan di antara
atom-atomnya lebih dari pada yang diharapkan dari segi valensinya.
Contoh:
[Cu(NH)3]3+ = Kation
[Fe(CN)6]3- = Anion
Ion Cu2+ bervalensi 2 membentuk 4 ikatan dengan NH3-. Ion Fe3+ bervalensi
3 membentuk 6 ikatan dengan CN-. Molekul NH3 dan ion CN-. Molekul NH3
dan ion CN- disebut ligand. Ligand berupa molekul organic yang dapat
membentuk kompleks. Bila ligan hanya berikatan lewat satu atom saja,
seperti misalnya N dalam NH3 dan C dalam CN-, maka ligand disebut
monodentat. Yang dapat menempati dua kedudukan pada atom logam
disebut ligand bidentat dan senyawa yang dibentuknya dikenal sebagai
senyawa sepit tau senyawa karungan. Ada pula ligand polidentat yang lebih
rumit yang mengandung 3, 4 atau lebih atom (Surdia,, 1993: 159).
Kimia koordinasi atau kimia kompleks adalah bagian dari ilmu
kimia yang mempelajari senyawa-senyawa koordinasi atau senyawa
kompleks. Senyaw-senyawa ini molekul-molekulnya tersusun dari
gabungan dua atau lebih molekul yang sudah jenuh, misalnya :
BF4 + NH3 BF3.NH3
4KCN + Fe(CN)2 Fe(CN)2.4KCN
PtCl2 + KCl + C2H2 CoCl3.6NH3
Co(NO2)3 + KNO2 + 2NH3 Co(NO2)3.KNO2.2NH3
Senyawa-senyawa kompleks mempunyai arti penting dalam berbagai
lapangan seperti hasil alam (Sukardjo, 1992: 1).
Senyawa kompleks dapat merupakan senyawa kompleks netral
seperti [Ni(CO)4] atau senyawa kompleks ionic seperti [Ag(NH3)2[NO3+.
Senyawa kompleks ionic terdiri atas ion positif (kation) dan ion negative
(anion). Dalam senyawa kompleks ionic salah satu dari ion tersebut atau
keduanya dapat merupakan ion kompleks. Senyawa kompleks ionic yang
anionnya merupakan ion kompleks contohnya adalah K3[Fe(CN)6] dan
K2[PtCl4]. Senyawa kompleks ionic yang kation dan anionnya merupakan
ion-ion kompleks contohnya adalah [Co(NH3)6][Cr(CN)6 dan [Pt(NH3)4]
[PtCl4] (Effendy, 2011: 3).
Bilangan koordinasi menyatakan jumlah ruangan yang tersedia di
sekitar atom atau ion pusat dalam apa yang disebut bulatan koordinasi, yang
masing-masingnya dapat dihuni satu ligan (monodentat). Susuna logam-
logam di sekitar ion pusat adalah simetris. Jad, suatu kompleks dengan satu
atom pusat dengan bilangan koordinasi 6, terdiri dari ion pusat, dipusat
suatu octahedron, sedang keenam ligannya menempati ruang-ruang yang
dinyatakan oleh sudut-sudut octahedron itu. Bilangan koordinasi 4 biasanya
menunjukkan suatu susunan simetris yang berbentuk tetrahedron, meskipun
susunan yang datar (atau hamper datar), dimana ion pusat berada di pusat
suatu bujursangkar dan keempat ion menempati keempat sudut bujursangkar
itu, adalah juga umum (Svehla 1990: 95)
Teori koordinasi dari Wemer merupakan dasar bagi kimia
koordinasi. Teori ini yang mendasarkan adanya valensi sekunder dapat
menjelaskan sifat-sifat serta stereokimia dari banyak senyawa kompleks.
Walaupun demikian, dengan adanya perkembangan yang pesat tentang teori
atom modern dan kenyataan bahwa teori Wemer tidak dapat menjelaskan
banyak sifat-sifat senyawa kompleks, timbul teori-teori baru tentang kimia
koordinasi (Sukardjo, 1992: 21).
Sebelum senyawa kompleks dikenal, telah dikenal banyak senyawa-
senyawa seperti NaCl, MgCl2, AlCl3, FeCl2, dan FeCl3. Dalam senyawa
tersebut banyaknya atom yang diikat oleh atom lain adalah tergantung pada
kapasitas gabung (combining capacity) atau valensi dari masing-masing
atom yang berikatan. Dalam NaCl valensi atom besi 2 dan 3, sehingga besi
dengan klorin dapat membentuk dua senyawa klorida yaitu FeCl3 dan FeCl3.
Senyawa –senyawa yang terbentuk dengan jumlah atom dalam senyawanya
tergantung pada valensinya dikatakan sebagai senyawa sederhana. Pada
waktu itu juga dikenal dikenal adanya garam rangkap seperti besi (II)
ammonium sulfat heksahidrat yang rumus kimianya ditulis FeSO4.
(NH4)2SO4.6H2O. sifat larutan garam rangkap ini dalam air adalah sama
dengan sifat larutan yang dibuat dengan mencampurkan larutan FeSO4 dan
larutan (NH4)2SO4.6H2O. Sifat larutan garam rangkap ini dalam air adalah
sama dengan sifat larutan yang dibuat dengan mencampurkan larutan FeSO 4
dan larutan (NH4)2SO4 dalam pelarut sama (Effendy, 2011: 3).
Kestabilan senyawa kompleks berhubungan dengan konfigurasi
electron dan bergantung pada jenis ikatan. Apabila ikatan dalam kompleks
bersifat ion-dipol, maka ikatan terbuat dibentuk oleh ion terkecil, karena
medan elektrostatik yang dihasilkan adalah yang paling besar intensitasnya.
Kurva entalpi hidrasi terhadap 1/R (R = jari-jari ion) akan menurun secara
signifikan (Surdia, 1993: 176-177).
Pembentukan senyawa koordinasi di dalamnya selalu ada molekul-
molekul atau ion-ion yang mendonorkan elektoron-elektron, biasnya
merupakan pasangan elektron (electron pair), pada atom logam atau ion
logam. Molekul-molekul atau ion-ion tersebut disebut dengan ligan (ligand).
Ligan membentuk ikatan kovalen dengan atom logam atau ion logam yang
merupakan pusat dari suatu kompleks melalui satu atau lebih atom yang
terdapat pada ligan tersebut. Atom-atom tersebut disebut atom donor. Jenis
ligan adalah sangat bervariasi, mulai dari ligan yang paling sederhana, yaitu
ligan yang terdiri dari satu atom seperti ion F - sampai ligan yang sangat
rumit seperti ligan-ligan makrosiklik (Effendy, 2011: 17).
Tembaga membentuk senyawa dengan tingkat oksidai +1 dan +2,
namun hanya tembaga(II) yang stabil dan mendominasi dalam larutan air.
Dalam larutan air, hamper semua garam tembaga(II) berwarna biru, yang
karakterisik dari warna ion kompleks koordinasi 6, [Cu(H2O)6]2+.
Kekecualian yang terkenal yaitu tembaga(II) klorida yang berwarna
kehijauan oleh karena ion kompleks [CuCl4]2- yang mempunyai bangun
geometri dasar tetrahedral atau bujursangkar bergantung pada kation
pasangannya. Dalam larutan encer ia menjadi berwarna biru oleh karena
pendesakan ligan Cl- oleh ligan H2O. oleh karena itu, jika warna hijau ingin
dipertahankan, ke dalam larutan pekat CuCl2 dalam air ditambahkan ion
senama Cl- dengan penambahan NaCl atau HCl pekat atau gas.
[CuCl4]2-(aq) + 6H2O(l) [Cu(H2O)6]2+(aq) + 4Cl-(aq)
(Sugiyarto, 2003: 266).
2. Tinjauan Hasil
Coordination Number Distribution (CND) atau bisa disebut
distribusi bilangan koordinasi digunakan untuk menentukan bilangan
koordinasi yang dimiliki ion pusat dengan ligan pada kulit pertama dan
kedua. Jumlah ligan atau bilangan koordinasi pada sistem solvasi ion Mn2+
dengan atom oksigen dan hidrogen dalam molekul air dengan menggunakan
mekanika molekul MM2bd maupun MM3bd, dalam grafik yang dihasilkan
juga memberikan informasi dari kulit pertama dan kulit kedua dari ligan
oksigen dan hidrogen (Mahendra dan Crys, 2018: 142).
Ligan pada senyawa kompleks koordinasi tidak mengganggu dalam
artian bahwa campuran orbital logam dan ligan membentuk suatu orbital
molekul gabungan yang digunakan bersama-sama (pemakaian bersama. Hal
ini dapat memaksa elektron keluar. Tambahan elektron dapat didelokalisasi
di atas loma dan ligan, dan membuat suatu reaksi lebih lanjut melibatkan
satu dengan yang lain (Costentine dkk, 2018: 9109).
Analisis fungsi distribusi radial (RDF) dan bilangan koordinasi
dilakukan terhadap data setelah selesainya proses deposisi, yaitu ketika
struktur terakhir telah selesai terbentuk. Ini dilakukan untuk menginvestigasi
pengaruh masing-masing variasi parameter terhadap kerapatan atom atau
probabilitas menemukan atom-atom tetangga dari sebuah atom referensi
pada radius tertentu pada struktur akhir setelah simulasi. Puncak pertama
RDF dari sistem Cu-Si, baik pada variasi kecepatan awal (gbr. 4a) maupun
variasi laju deposisi berada pada kisaran radius 3,05 – 3,15 Å. Nilai ini
konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Guzman et al. (2015) yang
mengkaji mengenai stabilitas termodinamika dan migrasi ion tembaga pada
silika amorf menggunakan DFT yang mengindikasikan puncak pertama
RDF sistem Cu-Si pada 3,2 Å (Hidayat, 2019: 26).

D. ALAT DAN BAHAN


1. Alat
a. Neraca analitik 1 buah
b. Kaca arloji 2 buah
c. Spatula 2 buah
d. Labu takar 100 ml 1 buah
e. Gelas ukur 25 ml 2 buah
f. Gelas ukur 50 ml 2 buah
g. Pipet volume 1 buah
h. Ball pipet 1 buah
i. Gelas kimia 250 ml 1 buah
j. Labu erlenmeyer 8 buah
k. Botol semprot 1 buah
l. Pipet tetes 2 buah
m. Buret 2 buah
n. Statif dan klem 2 buah
o. Corong biasa 2 buah
p. Batang pengaduk 2 buah
q. Lap kasar 1 buah
r. Lap halus 1 buah
s. Termometer 110°C 1 buah
2. Bahan
a. Kristal tembaga (II) klorida dihidra (CuCl2.2H2O)
b. Alkohol 96%
c. Amonium hidroksida (NH4OH)
d. Kristal natrium borat pentahidrat (Na2B4O7.10H2O)
e. Aquades (H2O)
f. Indikator metil orange
g. Larutan asam klorida (HCl)
h. Indikator Phenoftalein
i. Tissue

E. PROSEDUR KERJA
1. Penentuan Bilangan Koordinasi Kompleks dengan Bahan CuCl2.2H2O
a. Pembuatan larutan CuCl2 0,5 M dan larutan NH3 8,5 M

50 mL alkohol 96%

50 mL larutan
4,25 gr kristal
CuCl2 0,5 M
CuCl2.2H2O
4 2,5 mL alkohol 96%

50 mL larutan NH3
8,5 M

b. Standarisasi larutan NH3

H2O 100 mL larutan Na2B4O7


Diencerkan sampai tanda 0,05 N
batas

Larutan Na2B4O7

Larutan HCl

10 ml Na2B2O7

dititrasi hingga
2 tetes indikator warnaberubah.
metil jingga ULANGI 3X

bilas
10 ml NH3

10 ml NH3
dititrasi dengan HCl
2 tetes indikator pp hingga tak berwarna
ULANGI 3X

bilas

2. Penentuan Bilangan Koordinasi Kompleks Cu(NH3)2+ dengan Metode


Titrimometri

Larutan NH3

10 ml CuCl2
10 ml CuCl2 penambahan NH 3 yang
bervariasi sesuai dengan
perbandingan mol NH3 dan
mol Cu2+
Tem p eratu r

tentukan bilangan catat suhu dan warna


kordinasinya???? yanterbentuk

Cu : NH3

3. Penentuan Absorbansi, λ dan λ maks dengan metode UV-Vis


penambahan NH3 yang bervariasi
10 ml CuCl2 secara kuantitatif sesuai dengan perbandingan mol
10 ml CuCl2 sebanyak 4 kali NH3 dan mol CuCl2

lakukan pengukuran secara


tentukan lamda maks absorbsi untuk setiap larutan

kurva hubungan absorbsi


dengan lamda

F. HASIL PENGAMATAN
1. Pembuatan Larutan NH3 8,5 M dan Larutan CuCl3 0,5 M
NO Aktivitas Hasil Pengamatan
1 a. Menimbang Kristal CuCl2.2H2O 8,506 g
(berwarna biru)
b. Mengencerkan CuCl2.2H2O dengan Larutan berwarna hijau
etanol 100 N
2 Mengencerkan 50 mL NH4OH dengan Larutan bening
50 mL etanol

2. Standarisasi Larutan NH3


NO Aktivitas Hasil Pengamatan
1 a. Menimbang Kristal Na2B4O7.10H2O 1,873 g
b. Kristal Na2B4O7.10H2O dilarutkan Larutan tidak berwarna
dengan aquades kemudian
diencerkan hingga 100 mL
c. 10 mL Na2B4O7 ditambahan 2 tetes Larutan berwarna orange
indicator MO
2 Larutan dititrasi dengan HCl Larutan berwarna merah
Titrasi I 1,2 mL
Titrasi II 1,3 mL
Titrasi III 1,2 mL
Volume rata-rata 1,24 mL
3 10 mL larutan NH3 ditambahkan 1 tetes Larutan berwarna ungu
indikator PP
Larutan dititrasi Larutan tidak berwarna
Titrasi I 36,6 mL
Titrasi II 35,6 mL
Titrasi III 37,9 mL
Volume rata-rata 36,77 mL

3. Penentuan Bilangan Koordinasi Cu(NH3)2+ dengan metode titrimometri


NO Aktivitas Hasil Pengamatan
1 10 mL larutan NH3 dimasukkan ke Larutan berwarna hijau
dalam erlenmeyer
2 Dilakukan penambahan ke dalam Larutan berwarna biru
erlenmeyer
1:1 atau 10 mL CuCl2:3,4 mL NH3 Suhu 30,10C
1:2 atau 10 mL CuCl2:6,8 mL NH3 Suhu 300C
1:3 atau 10 mL CuCl2:10,2 mL NH3 Suhu 30,10C
1:4 atau 10 mL CuCl2:13,6 mL NH3 Suhu 290C
1:5 atau 10 mL CuCl2:17 mL NH3 Suhu 28,50C
1:6 atau 10 mL CuCl2:20,4 mL NH3 Suhu 270C

G. ANALISIS DATA
1. Pembuatan Larutan CuCl2 0,5 M dan NH3 8,5 M
a. Penentuan konsentrasi CuCl2. 2H2O
Diketahui: V CuCl2 = 100 mL ~ 0,1 L
Mr CuCl2. 2H2O = 170,5 gram/mol
mCuCl2. 2H2O = 8,506 gram
Ditanyakan: M CuCl2. 2H2O = .....?
Penyelesaian:
m CuCl 2. 2H 2O
nCuCl2. 2H2O =
Mr CuCl 2. 2H 2O
8,50 6 gram
=
170,5 gram/mol
= 0,0498 mol
n CuCl 2 . 2H2 O
M CuCl2. 2H2O =
V CuCl 2. 2 H2 O
0,0498 mol
=
0,1 L
= 0,498 M
b. Penentuan volume NH3
Diketahui: M1 =17 M
M2 = 8,5 M
V2 = 100 mL
Ditanyakan: V1.....?
Penyelesaian:
M1 x V1 = M2 x V2
M 2 × V2
V1 =
M1
8,5 M × 100 mL
V1 =
17 M
V1 = 50 mL
2. Standarisasi Larutan NH3
a. Penentuan konsentrasi Na2B4O7
Diketahui : Mr Na2B4O7. 10 H2O = 382 gram/mol
V Na2B4O7. 10 H2O = 100 ml ~ 0,1 L
m Na2B4O7. 10 H2O = 1,873 gram
Ditanyakan: N Na2B4O7. 10 H2O .....?
Penyelesaian:
m Na 2 B4 O7 . 10 H2 O
nNa2B4O7. 10 H2O =
Mr Na 2 B4 O7 . 10 H2 O
1,873 gram
=
382 gram/mol
= 4,9. 10-3 mol
n Na 2 B 4 O 7. 10 H 2 O
M Na2B4O7. 10 H2O =
V Na 2 B4 O7 . 10 H2 O
4,9.10 -3 mol
=
0,1 L
= 4,9. 10-2 M
N Na2B4O7. 10 H2O = (M × valensi) Na2B4O7
= 4,9. 10-2 M ×2
= 0,0981 N
b. Penentuan Konsentrasi HCl
Diketahui : V1 = 1,2 mL
V2 = 1,3 mL
V3 = 1,2 mL
Ditanyakan: NHCl...... ?
Penyelesaian:
V 1 +V 2 +V 3
V́ =
3
( 1,2+1,3 +1,2 ) mL
=
3
=1,2 4 mL
(N × V) Na 2 B 4 O7 . 10 H 2 O
(N× V) HCl =
V HCl
0,0981 N ×10 ml
N HCl =
1,24 ml
= 0,7911 N
c. Titrasi NH3 dengan HCl
Diketahui: V́ HCl = 42,84 mL
N HCl = 0,8 N
V NH3 = 10 mL
Ditanyakan: N NH3.....?
Penyelesaian:
(N × V) HCl
(N × V)NH3 =
V NH 3
0,7911 N ×36,77 ml
=
10 ml
= 2,91 N
d. Persamaan volume CuCl2 dan NH3
n CuCl2 n NH3
n CuCl2 = M × V
= 0,498 M × 10 mL
= 4,98 mol
M CuCl2 N NH3
n n
V NH3 = =
M N
4,98 mol
V NH3 = = 1,71 mL
2,91 N
Jadi, perbandingan volume CuCl2 : volume NH3 yaitu:
1:1= 10 mL : 3,4 mL = T= 30,1°C
1:2= 10 mL : 6,8 mL = T= 30°C
1:3= 10 mL : 10,2 mL = T= 30,1°C
1:4= 10 mL : 13,6 mL = T= 29°C
1:5= 10 mL : 17,0 mL = T= 28,5°C
1:6= 10 mL : 20,4 mL = T= 27°C
Grafik Hubungan Volume dengan Suhu
32
Suhu Larutan

28

24
3,4 6,8 10,2 13,6 17,0 20,4
Volume NH3
H. PEMBAHASAN
Percobaan ini bertujuan untuk menentukan bilangan koordinasi
kompleks dengan bahan CuCl2.2H2O. Bilangan koordinasi yang menyatakan
ada berapa jumlah ruangan yang tersedia di sekitar atom logam atau ion
pusat yang disebut dengan bulatan koordinasi, yang masing-masing dapat
dihuni satu ligan (monodentat). Pembentukan kompleks dalam sintesis
anorganik kualitatif sering terlihat dan dipakai untuk pemisahan maupun
identifikasi (Tim Dosen Kimia Anorganik, 2019: 25). Dalam percobaan ini
ada dua penentuan yang dilakukan yaitu:
1. Penentuan bilangan koordinasi kompleks dengan bahan CuCl2.2H2O
Percobaan ini bertujuan untuk menentukan bilangan koordinasi
kompleks tembaga (II) dari bahan CuCl2.2H2O. Prinsip dasar dari percobaan
ini adalah penentuan bilangan koordinasi kompleks dengan pembuatan
larutan CuCl2.2H2O dan prinsip kerjanya adalah penimbangan, pelarutan,
pengenceran dan pengocokan dan penitrasian. Pada percobaan ini terdapat
dua perlakuan utama, yang pertama yaitu pembuatan larutan standar CuCl2
0,5 M dan larutan NH3 8,5 M. Untuk pembuatan CuCl2, kristal CuCl2.2H2O
dilarutkan dengan menggunakan alkohol 96%. CuCl2.2H2O berfungsi
sebagai penyedia atom pusat (Cu) yang nantinya akan berikatan dengan
ligan.

Kristal CuCl2. 2H2O CuCl2. 2H2O +etanol NH4 di encerkan dengan


(4,254 x 2 ) etanol

Larutan CuCl2 dibuat dengan melarutkan kristal CuCl2.2H2O dengan


larutan alkohol 96%, dimana penggunaan alkohol sebagai pelarut
dikarenakan kristal CuCl2.2H2O merupakan kristal yang berhidrat atau
mengikat air, sehingga jika dilarutkan dengan pelarut yang dapat mengikat
hidrat yaitu alkohol, maka proses pembantukan senyawa/ion kompleks akan
berlangsung cepat. Sedangkan apabila kristal CuCl2.2H2O dilarutkan dalam
air akan menyababkan kristal Cu2+ yang berhidrat menjadi lebih banyak
dilingkupi oleh air, sehingga proses pembentukan senyawa kompleks akan
sulit dan berlangsung lambat. Setelah pelarutan dilakukan pengocokan yang
bertujuan untuk menghomogenkan larutan. Diperoleh larutan berwarna
hijau. Dari hasil analisis data, diperoleh molaritas CuCl2 0,498 M. Reaksi
yang terjadi, yaitu:
CuCl2.2H2O(s)           C2H5OH               2CuCl2(aq) + 2H2O(l)
Ligan pada senyawa kompleks ini adalah NH3. Pembuatan larutan
NH3 8,5 M dilakukan dengan mengencerkan larutan Ammonium Hidroksida
NH4OH 17 M dengan alkohol 96 %. Alkohol 96 % yang berfungsi sebagai
zat yang dapat mengencerkan NH4OH karena alkohol dapat mengikat air
atau molekul air dan karena sifat kepolaran yang sama. Dimana air bersifat
polar dan alkohol juga bersifat polar. Pada hal ini berlaku prinsip Like
Dislove Like. Dari hasil percobaan diperoleh larutan bening. Reaksi yang
terjadi, yaitu:
NH4OH(aq)           C2H5OH               NH3(aq) + H2O(l)
Perlakuan kedua, yaitu standarisasi larutan NH3 yang telah dibuat,
dimana terlebih dahulu distandarisasi untuk menentukan konsentrasi larutan
standar yang sebenarnya atau secara tepat. Standarisasi larutan NH 3
dilakukan dengan menggunakan larutan HCl, dimana larutan HCl terlebih
dahulu distandarisasi dengan menggunakan larutan Na2B4O7 yang telah
dilarutkan dengan akuades sebagai larutan standar primer sedangkan larutan
HCl merupakan larutan sekunder yang konsentrasinya dapat berubah-ubah
serta tidak stabil dalam penyimpanannya.
Kristal Na2Ba4O7.. 10H2O Na2Ba4O7.. 10H2O Na2Ba4O7..10H2O + H2O
+H2O + 2 tetes indikator MO

Na2Ba4O7.. 10H2O + H2O NH3 + 1 tetes PP NH3 + 1 tetes PP


+2 tetes MO + dititrasi + ditiitrasi
Standarisasi HCl, Na2B4O7 ditambahkan dengan indikator MO yang
bertujuan untuk menentukan titik akhir titrasi yang ditandai dengan
perubahan warna dari jingga menjadi berwarna merah dan penggunaan
indikator yang digunakan pada percobaan ini dikarenakan larutan yang
distandarisasi bersifat basa maka diperlukan indikator yang bersifat asam.
Penggunaan indikator MO (metil orange) dikarenakan trayek pH dari MO
berada diantara 3,1-4,5, dimana memberikan warna kuning pada keadaan
basa dan warna merah pada keadaan asam. Sehingga penggunaan indikator
ini sesuai sebab larutan yang distandarisasi merupakan larutan yang bersifat
asam kuat di mana pH larutanya kurang dari 7. Standarisasi NH 3 dengan
menggunakan larutan HCl yang telah distandarisasi dan dengan
menggunakan indikator PP. Indikator PP memiliki trayek pH 8,3-10,0
dimana warna dalam larutan basa yaitu merah sedangkan dalam larutan
asam tidak berwarna. Percobaan ini dilakukan titrasi pada masing-masing
standarisasi 3 kali atau triplo untuk menghasilkan hasil yang lebih akurat.
Titrasi yang digunakan adalah titrasi asam basa dengan penggunaan
indikato-indikator tersebut. Dari hasil analisis data diperoleh konsentrasi
HCl yaitu 0,7911 N dan konsentrasi NH3 yaitu 2,91 N. Reaksi yang terjadi,
yaitu:
Na2B4O7.10H2O(s) + 2HCl(aq) 2NaCl(aq) + 4H3BO4(s) + 5H2O(l)
NH3(aq) + HCl(aq) NH4Cl(aq)
2. Penentuan bilangan koordinasi kompleks Cu(NH3)2+ dengan metode
titrimometri.
Percobaan ini bertujuan untuk menentukan bilangan koordinasi
kompleks Cu(NH3)2+ dengan metode titrimometri. Penentuan bilangan
koordinasi kompleks [Cu(NH3)4]2+ dilakukan dengan metode titrimometri
yaitu suatu metode titrasi dimana digunakan perubahan suhu untuk
menentukan titik akhir dari suatu reaksi volumetri. Pada percobaan ini, NH3
yang telah distandarisasi dimasukkan ke dalam buret. Percobaan dilakukan
dengan cara menambahkan larutan NH3 yang berada dalam buret dengan
larutan CuCl2 yang telah dibuat pada percobaan yang pertama.

10 ml NH3 10 ml NH3 + CuCl2


Penambahan NH3 disesuaikan dengan perbandingan mol NH3 dan
mol Cu2+ secara bertahap, dari hasil perhitungan volume NH yang
ditambahkan ke dalam larutan adalah kelipatan 3,4 mL untuk 1:1 dan
sampai pada 1:6. Penambahan NH3 dilakukan sebanyak 6 kali dengan setiap
penambahan dilakukan pengamatan terhadap suhu dan warna larutan yang
terbentuk. Hal ini dikarenakan jumlah ligan monodentat maksimal yang
dapat diikat oleh satu atom pusat/ion pusat yaitu hanya enam. NH 3
merupakan ligan netral yang dapat membentuk kompleks dengan ion Cu2+,
dimana saat NH3 ditambahkan dalam larutan CuCl2 sehingga akan terbentuk
ion kompleks [Cu(NH3)]2+. Ligan NH3 menggantikan molekul air dapat
terjadi akibat NH3 merupakan basa Lewis yang lebih kuat dari H 2O (basa
Lewis lemah dari suatu asam Lewis) sehingga molekul H 2O dapat
digantikan dengan molekul NH3 (Sugiyarto, 2003: 267). Reaksi yang terjadi:
[Cu(H2O)4]2+(aq) + 4NH3(aq) [Cu(NH3)4]2+(aq) + 4H2O(l)
Percobaan diperoleh hasil pada perbandingan 1:1, suhu larutan 30,1oC
dengan warna larutan larutan hijau, perbadingan 1:2 suhu larutan turun
menjadi 30oC dengan warna biru, perbandingan 1:3 suhu larutan naik menjadi
30,1oC dengan warna biru, perbandingan 1:4 menyebabkan suhu larutan turun
menjadi 29oC, perbandingan 1:5 suhu turun menjadi 28,5oC, perbandingan 1:6
suhu turun menjadi 27oC. Hasil percobaan tersebut, terlihat bahwa pada
perbandingan 1:3 terjadi kenaikan suhu dikarenakan rendahnya kelarutan
CuCl2, dimana kelarutan CuCl2 meningkat dengan menambahkan NH3
selanjutnya, dimana peningkatan kelarutan CuCl2 ditandai dengan turunnya
suhu. Pada perbandingan 1:4 suhu turun. Hal ini tidak sesuai dengan teori
bahwa suhu naik dan konstan pada perbandingan 1:4 karena atom Cu2+
hanya mampu mengikat 4 ligan NH3. Suhu konstan terjadi sebagai akibat
dari efek John Teller yang ,apabila ikatan lemah yang hakiki dari ligan ke-5
dan ke-6 ini ditambahkan kepada penurunan tetapan pembentukan K5 dan
K6 benar-benar kecil. Karenanya, ion Cu2+ tidak mengikat ligan ke-5 dan
ke-6 secara kuat (Tim dosen kimia anorganik I, 2020: 26). Hal ini
disebabkan oleh ketidak telitian praktikan pada saat mengamati skala pada
termometer. Persamaan reaksi reaksinya :
Cu2+(aq) + NH3(aq) [Cu(NH3)]2+(aq)
[Cu(NH3)]2+(aq) + NH3 (aq) [Cu(NH3)2]2+(aq)
[Cu(NH3)2]2+(aq) + NH3 (aq) [Cu(NH3)3]2+(aq)
[Cu(NH3)3]2+(aq) + NH3 (aq) [Cu(NH3)4]2+(aq)
[Cu(NH3)4]2+(aq) + NH3 (aq) [Cu(NH3)5]2+(aq)
[Cu(NH3)5]2+(aq) + NH3 (aq) [Cu(NH3)6]2+(aq)
Adapun terbentuknya senyawa kompleks [Co(NH3)4C2O4]+ yaitu:
29 Cu = 1s2 2s2 2p6 3s2 3p6 3d9 4s2
[Cu(NH3)]2+
x+0 =2
x =2
27 Cu = [Ar] 3d10 4s1 4p0 Keadaan dasar

Cu2+ = [Ar] 3d9 4s0 4p0


Cu2+ = [Ar]
(dalam [Cu(NH3)4]2+)

tetrahedralsp3
(tetrahedral)
Hibridisasi untuk senyawa [Cu(NH3)]2+ adalah berbentuk tetrahedral
(sp3) sesuai dengan aturan aufbau bahwa perpindahan elektron terjadi dari
sub kulit terendah akan menuju sub kulit tertinggi ialah satu elekron pada
kulit 3d tereksitasi menuju ke kulit 4p pada orbital p ruang ketiga karena
atom Cu2+ akan berikatan dengan 4 ligan NH3 yang memiliki 4 pasang
elektron satu pada 4s dan tiga pada orbital 4p yang berdekatan dikosongkan,
kemudian diisi oleh 4 pasang elektron bebas NH3. Hal ini sesuai dengan
teori yang menyatakan bahwa tembaga (Cu2+) dalam [Cu(NH3)]2+ memiliki
bilangan koordinasi sebanyak 4. Adapun tereksitasi ke kulit p dikarenakan
urutan dari spdf dimana kulit p dekat dengan d daripada kulit s. Adapun
struktur dari [Cu(NH3)4]2+ yaitu :
NH3 NH3 2+

Cu2+

H3N NH3
I. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan
bahwa bilangan koordinasi Cu (II) adalah 4 dengan bentuk tetrahedral (sp 3)
yang artinya Cu (II) hanya dapat 4 pasang elektron dari ligan NH3 dalam
pembentukan kompleksnya. Hal tersebut dapat dijelaskan dengan efek John
Teller. Pada penambahan NH3 kelima dan keenam terjadi penurunan suhu
dimana hal ini tidak sesuai teori yang seharusnya suhu konstan pada
perbandingan 1:4 dan akan naik pada 1:5 dan 1:6 sehingga dapat dibuktikan
penurunan tetapan pembentukan K5 dan K4 sangat kecil. Akibatnya, ion Cu2+
tidak memiliki ligan ke-5 dan ke-6 secara kuat. Kompleks [Cu(NH 3)4]2+
memiliki bentuk struktur yaitu tetrahedral.
2. Saran
Diharapkan kepada praktikan selanjutnya agar lebih teliti saat
pembacaan suhu pada termometer dan lebih berhati-hati dalam menitrasi
agar dapat diketahui konsentrasi NH3 dengan tepat.
DAFTAR PUSTAKA

Constantine, Cryllie, Jean-Michel Saveant dan Cedric Tard. 2018. Ligand


“nininnocent” in Coordination Complex vs Kinetic, Mechanistic, and
selectivity issues in electrochemical Catalysis. Jurnal PNAS. Vol 115 No
37.

Effendy, 2011. Kimia Koordinasi Jilid 1 Edisi 2. Malang: Indonesia Academic


Publishing.

Hidayat, Aulia Fikri. 2019. Studi Evolusi Struktur pada Deposisi Tembaga dalam
Substrat SIlikon dengan Metode Dinamika Molekuler. Jurnal Matematika.
Vol 18 No 1.

Mahendra, Yuda Prakasa dan Crys Fajar Partana. 2018. Struktur dan Dinamika
Solvasi Ion Mn2+ dalam Air Berdasarkan Simulasi Dinamika Molekul
Mekanika Molekul (DM MM). Jurnal Kimia Dasar. Vol 7 No 4.

Rivai, Harrizul. 1995. Asas Pemeriksaan Kimia. Jakarta: UI-Press.

Sugiyarto, Kristian H. 2003. Kimia Anorganik II. Yogyakarta: JICA.

Sukardjo. 1992. Kimia Koordinasi. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Surdia, Noer Mansdjoeriah. 1993. Ikatan dan Struktur Molekul. Bandung: ITB.

Svehla, G. 1990. Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Mikro dan Semimikro.
Jakarta: PT Kaman Media Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai