Anda di halaman 1dari 49

PERKEMBANGAN DAN TANTANGAN KOPERASI

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ekonomi Koperasi


Semester Genap Tahun Akademik 2015-2016

MAKALAH

Kelas : D

Oleh Kelompok 5 :

1. Arief Noviyanto Lot Gayo (130810101160)


2. Fahrur Rozi (130810101161)
3. Achmad Iswantoro (130810101166)
4. Fatchur Rozi (130810101173)
5. Mochammad Fariz Alqodri (130810101178)
6. Wildan Azis Amrullah (130810101187)
7. Dwi Putri Rahmawati (130810101195)

JURUSAN ILMU EKONOMI


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS JEMBER
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan YME.Karena dengan Rahmat dan Karunia-Nya


sehingga penyusunan Makalah ini telah dapat diselesaikan dengan judul “Perkembangan dan
Tantangan Koperasi”. Makalah ini disusun bertujuan untuk menyelesaikan tugas yang
diberikan oleh Dosen Ekonomi Koperasi kami.

Selesainya penyusunan ini berkat bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung
maupun tidak langsung. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis sampaikan terima kasih
dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak dan ibu dosen pengampu yang menuntun kami dalam penyelesaian
makalahini.
2. Orang tua yang ikut menyemangati dalam penyelesaian makalah.
3. Teman teman kami yang turut bekerja sama dan membantu dalam pembuatan
makalah.

Kami harap makalah ini dapat membantu atau bermanfaat bagi pembaca terutama
bagi mahsiswa Universitas Jember dalam mempelajari atau memahami tentang
“Perkembangan dan Tantangan Koperasi”.

Penulis menyadari Makalah ini masih jauh dari sempurna oleh karena itu, kritik dan
saran yang sifatnya membangun sangat kami butuhkan agar makalah kami selanjutnya dapat
lebih baik dan sempurna.

Jember, 30 Mei 2016

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

SAMPUL DEPAN………………………………………………………………… i
KATA PENGANTAR.............................................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................................ iii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................... 3
1.3 Tujuan...................................................................................................... 3

BAB II. PEMBAHASAN


2.1 Kondisi Perkoperasian di Indonesia....................................................... 4
2.1.1 Mengapa Koperasi Indonesia Sulit Berkembang?.................... 4
2.2 Perkembangan Koperasi di Indonesia….………................................... 8
2.3 Tantangan yang Dihadapi Perkoperasian di Indonesia........................... 38

2.4 Kebijakan Perkoperasian di Indonesia................................................... 40

BAB III. PENUTUP


3.1 Kesimpulan............................................................................................ 45
3.2 Saran...................................................................................................... 45

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 46

iii
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ropke (1987) mendefinisikan koperasi sebagai organisasi bisnis yang para pemilik
atau anggotanya adalah juga pelangggan utama perusahaan tersebut (kriteria identitas).
Kriteria identitas suatu koperasi akan merupakan dalil atau prinsip identitas yang
membedakan unit usaha koperasi dari unit usaha yang lainnya. Berdasarkan definisi tersebut,
menurut Hendar dan Kusnadi (2005), kegiatan koperasi secara ekonomis harus mengacu
pada prinsip identitas (hakikat ganda) yaitu anggota sebagai pemilik yang sekaligus sebagai
pelanggan. Organisasi koperasi dibentuk oleh sekelompok orang yang mengelola perusahaan
bersama yang diberi tugas untuk menunjang kegiatan ekonomi individu para anggotanya.
Koperasi adalah organisasi otonom, yang berada didalam lingkungan sosial ekonomi, yang
menguntungkan setiap anggota, pengurus dan pemimpin dan setiap anggota, pengurus dan
pemimpin merumuskan tujuan-tujuannya secara otonom dan mewujudkan tujuan-tujuan itu
melalui kegiatan-kegiatan ekonomi yang dilaksanakan secara bersamasama (Hanel, 1989).
Dewasa ini, perkembangan koperasi di Indonesia terus berkembang. Perkembangan
tersebut ditandai dengan banyaknya pertumbuhan koperasi di Indonesia. Tetapi di dalam
perkembangan tersebut banyak terjadi hambatan-hambatan. Sebelum mengetahuinya
terlebih dahulu kita perlu mengetahui sejarah awal pembentukan koperasi. Selain itu, kita
juga dapat mengetahui faktor-faktor apa saja yang bisa menghambat pertumbuhan koperasi
di Indonesia. Hal ini melatarbelakangi di dalam pembahasan pembuatan makalah koperasi
Indonesia. Sampai dengan bulan November 2001, jumlah koperasi di seluruh Indonesia
tercatat sebanyak 103.000 unit lebih, dengan jumlah keanggotaan ada sebanyak 26.000.000
orang. Jumlah itu jika dibanding dengan jumlah koperasi per-Desember 1998 mengalami
peningkatan sebanyak dua kali lipat. Jumlah koperasi aktif, juga mengalami perkembangan
yang cukup menggembirakan. Jumlah koperasi aktif per-November 2001, sebanyak 96.180
unit (88,14 persen). Corak koperasi Indonesia adalah koperasi dengan skala sangat kecil. Satu
catatan yang perlu di ingat reformasi yang ditandai dengan pencabutan Inpres 4/1984 tentang
KUD telah melahirkan gairah masyarakat untuk mengorganisasi kegiatan ekonomi yang
melalui koperasi.

1
Pengembangan koperasi di Indonesia yang telah digerakan melalui dukungan kuat
program pemerintah yang telah dijalankan dalam waktu lama, dan tidak mudah ke luar dari
kungkungan pengalaman tersebut. Jika semula ketergantungan terhadap captive market
program menjadi sumber pertumbuhan, maka pergeseran ke arah peran swasta menjadi
tantangan baru bagi lahirnya pesaing-pesaing usaha terutama KUD. Meskipun KUD harus
berjuang untuk menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi, namun sumbangan terbesar
KUD adalah keberhasilan peningkatan produksi pertanian terutama pangan, disamping
sumbangan dalam melahirkan kader wirausaha karena telah menikmati latihan dengan
mengurus dan mengelola KUD.

Posisi koperasi Indonesia pada dasarnya justru didominasi oleh koperasi kredit yang
menguasai antara 55-60 persen dari keseluruhan aset koperasi. Sementara itu dilihat dari
populasi koperasi yang terkait dengan program pemerintah hanya sekitar 25% dari populasi
koperasi atau sekitar 35% dari populasi koperasi aktif. Pada akhir-akhir ini posisi koperasi
dalam pasar perkreditan mikro menempati tempat kedua setelah BRI-unit desa sebesar 46%
dari KSP/USP dengan pangsa sekitar 31%. Dengan demikian walaupun program pemerintah
cukup gencar dan menimbulkan distorsi pada pertumbuhan kemandirian koperasi, tetapi
hanya menyentuh sebagian dari populasi koperasi yang ada. Sehingga pada dasarnya masih
besar elemen untuk tumbuhnya kemandirian koperasi.

Memasuki tahun 2000 posisi koperasi Indonesia pada dasarnya justru didominasi oleh
koperasi kredit yang menguasai antara 55-60 persen dari keseluruhan aset koperasi.
Sementara itu dilihat dari populasi koperasi yang terkait dengan program pemerintah hanya
sekitar 25% dari populasi koperasi atau sekitar 35% dari populasi koperasi aktif. Pada akhir-
akhir ini posisi koperasi dalam pasar perkreditan mikro menempati tempat kedua setelah
BRI-unit desa sebesar 46% dari KSP/USP dengan pangsa sekitar 31%. Dengan demikian
walaupun program pemerintah cukup gencar dan menimbulkan distorsi pada pertumbuhan
kemandirian koperasi, tetapi hanya menyentuh sebagian dari populasi koperasi yang ada.
Sehingga pada dasarnya masih besar elemen untuk tumbuhnya kemandirian koperasi.

Koperasi merupakan lembaga ekonomi yang cocok diterapkan di Indonesia. Karena


sifat masyarakatnya yang kekeluargaan dan kegotongroyongan, sifat inilah yang sesuai

2
dengan azas koperasi saat ini. Sejak lama bangsa Indonesia telah mengenal kekeluargaan dan
kegotongroyongan yang dipraktekkan oleh nenek moyang bangsa Indonesia. Kebiasaan yang
bersifat nonprofit ini, merupakan input untuk Pasal 33 ayat 1 UUD 1945 yang dijadikan
dasar/pedoman pelaksanaan Koperasi. Kebiasaan-kebiasaan nenek moyang yang turun-
temurun itu dapat dijumpai di berbagai daerah di Indonesia di antaranya adalah Arisan untuk
daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, paketan, mitra cai dan ruing mungpulung daerah Jawa
Barat, Mapalus di daerah Sulawesi Utara, kerja sama pengairan yang terkenal dengan Subak
untuk daerah Bali, dan Julo-julo untuk daerah Sumatra Barat merupakan sifat-sifat hubungan
sosial, nonprofit dan menunjukkan usaha atau kegiatan atas dasar kadar kesadaran berpribadi
dan kekeluargaan. Bentuk-bentuk ini yang lebih bersifat kekeluargaan, kegotongroyongan,
hubungan social, nonprofit dan kerjasama disebut Pra Koperasi. Pelaksanaan yang bersifat
pra-koperasi terutama di pedesaan masih dijumpai, meskipun arus globlisasi terus merambat
kepedesaan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana Kondisi Perkoperasian Di Indonesia ?


2. agaimana Perkembangan Perkoperasian Di Indonesia ?
3. Apa Saja Tantangan Yang Dihadapi Perkoperasian Di Indonesia ?
4. Apa Saja Kebijakan – Kebijakan Yang Dibuat Untuk Koperasi Di Indonesia

1.3 Tujuan
1. Untuk Mengetahui Kondisi Perkoperasian Di Indonesia
2. Untuk Mengetahui Perkembangan Perkoperasian Di Indonesia
3. Untuk Mengetahui Tantangan – Tantangan Yang Dihadapi Oleh Koperasi Di
Indonesia
4. Untuk Mengetahui Kebijakan – Kebijakan Yang Dibuat Untuk Koperasi Di
Indonesia

3
BAB 2. LANDASAN TEORI

2.1 Kondisi Perkoperasian di Indonesia


Sekretaris Kementerian Koperasi dan UKM. Ia mengatakan, ada bebeapa faktor
penyebab banyaknya koperasi tidak aktif, di antaranya pengelolaan yang tidak
profesional. Namun demikian hingga kini kementerian masih melakukan pendataan
untuk mengetahui hal tersebut. Dalam hal ini, kementrian terus melakukan pengkajian.
Rencananya koperasi yang tidak sehat tersebut akan dipilah sesuai kondisinya. Namun
bila sudah tidak ada pengurusnya, koperasi yang tidak aktif tersebut akan dibubarkan.

2.1.1 Mengapa koperasi Indonesia sulit maju?


Ilmu ekonomi ternyata tidak meningkatkan kecintaan para ekonom pada
bangun perusahaan koperasi yang menonjolkan asas kekeluargaan, karena sejak awal
model-modelnya adalah model persaingan sempurna,bukan kerjasama sempurna.
Ajaran ilmu ekonomi Neoklasik adalah bahwa efisiensi yangtinggi hanya dapat
dicapai melalui persaingan sempurna. Inilah awal ideologi ilmuekonomi yang tidak
mengajarkan sosiologi ekonomi ajaran Max Weber, sosiolog Jerman,bapak ilmu
sosiologi ekonomi.
Ajaran Max Weber ini sebenarnya sesuai dengan ajaran awalAdam Smith
(Theory of Moral Sentiments, 1759) dan ajaran ekonomi kelembagaan dari
JohnCommons di Universitas Wisconsin (1910).Koperasi yang merupakan ajaran
ekonomi kelembagaan ala John Commons mengutamakankeanggotaan yang tidak
berdasarkan kekuatan modal tetapi berdasar pemilikan usahabetapapun kecilnya.
Koperasi adalah perkumpulan orang atau badan hukum bukanperkumpulan modal.
Koperasi hanya akan berhasil jika manajemennya bersifatterbuka/transparan dan
benar-benar partisipatif.Keprihatinan kita atas terjadinya kesenjangan sosial, dan
ketidakadilan dalam segala bidangkehidupan bangsa, seharusnya merangsang para
ilmuwan sosial lebih-lebih ekonom untukmengadakan kajian mendalam
menemukenali akar-akar penyebabnya.

4
Khusus bagi paraekonom tantangan yang dihadapi amat jelas karena justru
selama Orde Baru ekonomdianggap sudah sangat berhasil meningkatkan
pertumbuhan ekonomi secara meyakinkansehingga menaikkan status Indonesia dari
negara miskin menjadi negara berpendapatanmenengah. Krisis multidimensi yang
disulut krisis moneter dan krisis perbankan tahun 1997tidak urung kini hanya disebut
sebagai krisis ekonomi yang menandakan betapa bidang ekonomi dianggap
mencakupi segala bidang sosial dan non-ekonomi lainnya. Inilah alasan lain mengapa
ekonom Indonesia mempunyai tugas sangat berat sebagai penganalisismasalah-
masalah sosial-ekonomi besar yang sedang dihadapi bangsanya. Perbedaanpendapat
di antara ahli hukum atau ahli sosiologi dapat terjadi barangkali tanpa implikasiserius,
sedangkan jika perbedaan itu terjadi di antara pakar-pakar ekonomi
makaimplikasinya sungguh dapat sangat serius bagi banyak orang, bahkan bagi
perekonomiannasional.
a. Kurangnya Partisipasi Anggota
Bagaimana mereka bisa berpartisipasi lebih kalau mengerti saja tidak
mengenai apa itu koperasi. Hasilnya anggota koperasi tidak menunjukkan
partisipasinya baik itu kontributif maupun insentif terhadap kegiatan koperasi sendiri.
Kurangnya pendidikan serta pelatihan yang diberikan oleh pengurus kepada para
anggota koperasi ditengarai menjadi faktor utamanya, karena para pengurus
beranggapan hal tersebut tidak akan menghasilkan manfaat bagi diri mereka pribadi.
Kegiatan koperasi yang tidak berkembang membuat sumber modal menjadi terbatas.
Terbatasnya usaha ini akibat kurangnya dukungan serta kontribusi dari para
anggotanya untuk berpartisipasi membuat koperasi seperti stagnan. Oleh karena itu,
semua masalah berpangkal pada partisipasi anggota dalam mendukung terbentuknya
koperasi yang tangguh, dan memberikan manfaat bagi seluruh anggotanya, serta
masyarakat sekitar.

b. Sosialisasi Koperasi
Tingkat partisipasi anggota koperasi masih rendah, ini disebabkan sosialisasi
yang belum optimal. Masyarakat yang menjadi anggota hanya sebatas tahu koperasi

5
itu hanya untuk melayani konsumen seperti biasa, baik untuk barang konsumsi atau
pinjaman. Artinya masyarakat belum tahu esensi dari koperasi itu sendiri, baik dari
sistem permodalan maupun sistem kepemilikanya. Mereka belum tahu betul bahwa
dalam koperasi konsumen juga berarti pemilik, dan mereka berhak berpartisipasi
menyumbang saran demi kemajuan koperasi miliknya serta berhak mengawasi
kinerja pengurus. Keadaan seperti ini tentu sangat rentan terhadap penyelewengan
dana oleh pengurus, karena tanpa partisipasi anggota tidak ada kontrol dari anggota
nya sendiri terhadap pengurus.
c. Manajemen
Manajemen koperasi harus diarahkan pada orientasi strategik dan gerakan
koperasi harus memiliki manusia-manusia yang mampu menghimpun dan
memobilisasikan berbagai sumber daya yang diperlukan untuk memanfaatkan
peluang usaha. Oleh karena itu koperasi harus teliti dalam memilih pengurus maupun
pengelola agar badan usaha yang didirikan akan berkembang dengan baik.
Ketidak profesionalan manajemen koperasi banyak terjadi di koperasi
koperasi yang anggota dan pengurusnya memiliki tingkat pendidikan yang rendah.
contohnya banyak terjadi pada KUD yang nota bene di daerah terpencil. Banyak
sekali KUD yang bangkrut karena manajemenya kurang profesional baik itu dalam
sistem kelola usahanya, dari segi sumberdaya manusianya maupun finansialnya.
Banyak terjadi KUD yang hanya menjadi tempat bagi pengurusnya yang korupsi akan
dana bantuan dari pemerintah yang banyak mengucur.
d. Permodalan
Kurang berkembangnya koperasi juga berkaitan sekali dengan kondisi modal
keuangan badan usaha tersebut. Kendala modal itu bisa jadi karena kurang adanya
dukungan modal yang kuat dan dalam atau bahkan sebaliknya terlalu tergantungnya
modal dan sumber koperasi itu sendiri. Jadi untuk keluar dari masalah tersebut harus
dilakukan melalui terobosan structural, maksudnya dilakukannya restrukturasi dalam
penguasaan factor produksi, khususnya permodalan.
Kepala Dinas Koperasi UMKM Perindustrian dan Perdagangan Sulawesi
Tengah Muhammad Hajir Hadde, SE. MM menyebutkan salah satu hambatan yang
dihadapi selama ini diantaranya manajemen dan modal usaha. Hal itu dikatakannya

6
dihadapan peserta Diklat Koperasi Simpan Pinjam KSP dan Unit Simpan Pinjam USP
yang saat ini sedang berlangsung di Palu. Untuk mengantisipasi berbagai hambatan
dimaksud khususnya manajemen Dinas Kumperindag selaku leading sector terus
berupaya mengatasinya melalui pendidikan dan pelatihan serta pemberian modal
usaha.
e. Sumber Daya Manusia
Banyak anggota, pengurus maupun pengelola koperasi kurang bisa
mendukung jalannya koperasi. Dengan kondisi seperti ini maka koperasi berjalan
dengan tidak profesional dalam artian tidak dijalankan sesuai dengan kaidah
sebagimana usaha lainnya. Dari sisi keanggotaan, sering kali pendirian koperasi itu
didasarkan pada dorongan yang dipaksakan oleh pemerintah. Akibatnya pendirian
koperasi didasarkan bukan dari bawah melainkan dari atas. Pengurus yang dipilih
dalam rapat anggota seringkali dipilih berdasarkan status sosial dalam masyarakat itu
sendiri. Dengan demikian pengelolaan koperasi dijalankan dengan kurang adanya
control yang ketat dari para anggotanya. Pengelola ynag ditunjuk oleh pengurus
seringkali diambil dari kalangan yang kurang profesional. Sering kali pengelola yang
diambil bukan dari yang berpengalaman baik dari sisi akademis maupun penerapan
dalam wirausaha.
f. Kurangnya Kesadaran Masyarakat
Perkembangan koperasi di Indonesia dimulai dari atas (top down) bukan dari
bawah (bottom up),artinya koperasi berkembang di indonesia bukan dari kesadaran
masyarakat, tetapi muncul dari dukungan pemerintah yang disosialisasikan ke bawah.
Berbeda dengan yang di luar negeri, koperasi terbentuk karena adanya kesadaran
masyarakat untuk saling membantu memenuhi kebutuhan dan mensejahterakan yang
merupakan tujuan koperasi itu sendiri, sehingga pemerintah tinggal menjadi
pendukung dan pelindung saja. Di Indonesia, pemerintah bekerja double selain
mendukung juga harus mensosialisasikanya dulu ke bawah sehingga rakyat menjadi
mengerti akan manfaat dan tujuan dari koperasi.
g. Pemanjaan Koperasi
Pemerintah terlalu memanjakan koperasi, ini juga menjadi alasan kuat
mengapa koperasi Indonesia tidak maju maju. Koperasi banyak dibantu pemerintah

7
lewat dana dana segar tanpa ada pengawasan terhadap bantuan tersebut. Sifat
bantuanya pun tidak wajib dikembalikan. Tentu saja ini menjadi bantuan yang tidak
mendidik, koperasi menjadi ”manja” dan tidak mandiri hanya menunggu bantuan
selanjutnya dari pemerintah. Selain merugikan pemerintah bantuan seperti ini pula
akan menjadikan koperasi tidak bisa bersaing karena terus terusan menjadi benalu
negara. Seharusnya pemerintah mengucurkan bantuan dengan sistem pengawasan
nya yang baik, walaupun dananya bentuknya hibah yang tidak perlu dikembalikan.
Dengan demikian akan membantu koperasi menjadi lebih profesional, mandiri dan
mampu bersaing.
h. Demokrasi ekonomi yang kurang
Dalam arti kata demokrasi ekonomi yang kurang ini dapat diartikan bahwa
masih ada banyak koperasi yang tidak diberikan keleluasaan dalam menjalankan
setiap tindakannya. Setiap koperasi seharusnya dapat secara leluasa memberikan
pelayanan terhadap masyarakat, karena koperasi sangat membantu meningkatkan
tingkat kesejahteraan rakyat oleh segala jasa – jasa yang diberikan, tetapi hal tersebut
sangat jauh dari apa ayang kita piirkan. Keleluasaan yang dilakukan oleh badan
koperasi masih sangat minim, dapat dicontohkan bahwa KUD tidak dapat
memberikan pinjaman terhadap masyarakat dalam memberikan pinjaman, untuk
usaha masyarakat itu sendiri tanpa melalui persetujuan oleh tingkat kecamatan dll.
Oleh karena itu seharusnya koperasi diberikan sedikit keleluasaan untuk memberikan
pelayanan terhadap anggotanya secara lebih mudah, tanpa syarat yang sangat sulit.

2.2 Perkembangan Koperasi di Indonesia


Dalam sistem perekonomian Indonesia dikenal ada tiga pilar utama yang menyangga
perekonomian. Ketiga pilar itu adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha
Milik Swasta (BUMS), dan Koperasi. Ketiga pilar ekonomi tersebut mempunyai peranan
yang masing-masing sangat spesifik sesuai dengan kapasitasnya. Sayangnya, seperti yang
diungkapkan oleh Widiyanto (1998), dari ketiga pilar itu, koperasi, walau sering disebut
sebagai soko guru perekonomian, secara umum merupakan pilar ekonomi yang "jalannya
paling terseok" dibandingkan dengan BUMN dan apalagi BUMS.

8
Padahal koperasi selama ini sudah didukung oleh pemerintah (bahkan berlebihan)
sesuai kedudukan istimewa dari koperasi di dalam sistem perekonomian Indonesia. Sebagai
soko guru perekonomian, ide dasar pembentukan koperasi sering dikaitkan dengan pasal 33
UUD 1945, khususnya Ayat 1 yang menyebutkan bahwa "Perekonomian disusun sebagai
usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan". Dalam Penjelasan UUD 1945 itu dikatakan
bahwa bangun usaha yang paling cocok dengan asas kekeluargaan itu adalah koperasi.
Tafsiran itu sering disebut sebagai perumus pasal tersebut.
Kata azas kekeluargaan ini, walau bisa diperdebatkan, sering dikaitkan dengan
koperasi sebab azas pelaksanaan usaha koperasi adalah juga kekeluargaan. Untuk lebih
menata organisasi koperasi, pada tahun 1967 pemerintah Indonesia (Presiden dan DPR)
mengeluarkan UU no. 12 dan pada tahun 1992 UU tersebut direvisi menjadi UU no. 25. Di
banding UU no.12, UU no 25 lebih komprehensif tetapi juga lebih berorientasi ke
pemahaman "kapitalis". Ini disebabkan UU baru itu sesungguhnya memberi peluang koperasi
untuk bertindak sebagai sebuah perusahaan yang memaksimalisasikan keuntungan
(Widiyanto:1998).
Berdasarkan data resmi dari Departemen Koperasi dan UKM, sampai dengan bulan
November 2001, jumlah koperasi di seluruh Indonesia tercatat sebanyak 103.000 unit lebih,
dengan jumlah keanggotaan ada sebanyak 26.000.000 orang. Jumlah itu jika dibanding
dengan jumlah koperasi per-Desember 1998 mengalami peningkatan sebanyak dua kali lipat.
Jumlah koperasi aktif, juga mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan. Jumlah
koperasi aktif per-November 2001, sebanyak 96.180 unit (88,14 persen). Hingga tahun 2004
tercatat 130.730, tetapi yang aktif mencapai 71,50%, sedangkan yang menjalankan rapat
tahunan anggota (RAT) hanya 35,42% koperasi saja. Tahun 2006 tercatat ada 138.411 unit
dengan anggota 27.042.342 orang akan tetapi yang aktif 94.708 unit dan yang tidak aktif
sebesar 43.703 unit.
Untuk sejarah dan perkembangan koperasi di Indonesia dibagi menjadi beberapa
garis waktu (time line) yaitu,
a. Awal Perkembangan Koperasi di Indonesia
Perkembangan koperasi di Indonesia dimulai sejak tahun 1896 (Ahmed
1964:57) yang selanjutnya berkembang dari waktu ke waktu sampai sekarang.
Perkembangan koperasi di Indonesia mengalami pasang naik dan turun dengan titik

9
berat lingkup kegiatan usaha secara menyeluruh yang berbeda-beda dari waktu ke
waktu sesuai dengan iklim lingkungannya. Jikalau pertumbuhan koperasi yang
pertama di Indonesia menekankan pada kegiatan simpan-pinjam (Soedjono 1983:7)
maka selanjutnya tumbuh pula koperasi yang menekankan pada kegiatan penyediaan
barang-barang konsumsi dan dan kemudian koperasi yang menekankan pada kegiatan
penyediaan barang-barang untuk keperluan produksi. Perkembangan koperasi dari
berbagai jenis kegiatan usaha tersebut selanjutnya ada kecenderungan menuju kepada
suatu bentuk koperasi yang memilikibeberapa jenis kegiatan usaha.
Koperasi serba usaha ini mengambil langkah-langkah kegiatan usaha yang
paling mudah mereka kerjakan terlebih dulu, seperti kegiatan penyediaan barang-
barang keperluan produksi bersama-sama dengan kegiatan simpan-pinjam ataupun
kegiatan penyediaan barang-barang keperluan konsumsi bersama-sama dengan
kegiatan simpan-pinjam dan sebagainya (Masngudi, 1989:1-2). Pertumbuhan
koperasi di Indonesia dipelopori oleh R. Aria Wiriatmadja patih di Purwokerto
(1896), mendirikan koperasi yang bergerak dibidang simpan-pinjam. Untuk
memodali koperasi simpan- pinjam tersebut di samping banyak menggunakan
uangnya sendiri, beliau juga menggunakan kas masjid yang dipegangnya
(Djojohadikoesoemo, 1940:9).
Setelah beliau mengetahui bahwa hal tersebut tidak boleh, maka uang kas mesjid
telah dikembalikan secara utuh pada posisi yang sebenarnya. Kegiatan R Aria
Wiriatmadja dikembangkan lebih lanjut oleh De Wolf Van Westerrode asisten
Residen Wilayah Purwokerto di Banyumas. Ketika ia cuti ke Eropa dipelajarinya
cara kerja wolksbank secara Raiffeise (koperasi simpan-pinjam untuk kaum tani) dan
Schulze-Delitzsch (koperasi simpan-pinjam untuk kaum buruh di kota) di Jerman.
Setelah ia kembali dari cuti mulailah ia mengembangkan koperasi simpan-pinjam
sebagaimana telah dirintis oleh R. Aria Wiriatmadja . Dalam hubungan ini kegiatan
simpan pinjam yang dapat berkembang ialah model koperasi simpan-pinjam lumbung
dan modal untuk itu diambil dari zakat.
Selanjutnya Boedi Oetomo yang didirikan pada tahun 1908 menganjurkan
berdirinya koperasi untuk keperluan rumah tangga. Demikian pula Sarikat Islam
yang didirikan tahun 1911 juga mengembangkan koperasi yang bergerak di bidang

10
keperluan sehari-hari dengan cara membuka tokotoko koperasi. Perkembangan yang
pesat dibidang perkoperasian di Indonesia yang menyatu dengan kekuatan social dan
politik menimbulkan kecurigaan Pemerintah Hindia Belanda. Oleh karenanya
Pemerintah Hindia Belanda ingin mengaturnya tetapi dalam kenyataan lebih
cenderung menjadi suatu penghalang atau penghambat perkembangan koperasi.
Dalam hubungan ini pada tahun 1915 diterbitkan Ketetapan Raja no. 431 yang berisi
antara lain :
1. Akte pendirian koperasi dibuat secara notariil;
2. Akte pendirian harus dibuat dalam Bahasa Belanda;
3. Harus mendapat ijin dari Gubernur Jenderal;
4. dan di samping itu diperlukan biaya meterai.
Pada akhir Rajab 1336H atau 1918 K.H. Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang
mendirikan koperasi yang dinamakan “Syirkatul Inan” atau disingkat (SKN) yang
beranggotakan 45 orang. Ketua dan sekaligus sebagai manager adalah K.H. Hasyim
Asy ‘ari. Sekretaris I dan II adalah K.H. Bishri dan Haj Manshur. Sedangkan
bendahara Syeikh Abdul WAhab Tambakberas di mana brannkas dilengkapi dengan
5 macam kunci yang dipegang oleh 5 anggota. Mereka bertekad, dengan kelahiran
koperasi ini unntuk dijadikan periode “nahdlatuttijar” . Proses permohonan badan
hukum direncanakan akan diajukan setelah antara 2 sampai dengan 3 tahun berdiri.
Berbagai ketentuan dan persyaratan sebagaimana dalam ketetapan Raja no 431/1915
tersebut dirasakan sangat memberatkan persyaratan berdiriya koperasi.
Dengan demikian praktis peraturan tersebut dapat dipandang sebagai suatu
penghalang bagi pertumbuhan koperasi di Indonesia, yang mengundang berbagai
reaksi. Oleh karenanya maka pada tahun 1920 dibentuk suatu ‘Komisi Koperasi’
yang dipimpin oleh DR. J.H. Boeke yang diberi tugas neneliti sampai sejauh mana
keperluan penduduk Bumi Putera untuk berkoperasi. Hasil dari penelitian
menyatakan tentang perlunya penduduk Bumi putera berkoperasi dan untuk
mendorong keperluan rakyat yang bersangkutan. Selanjutnya didirikanlah Bank
Rakyat ( Volkscredit Wezen ).
Berkaitan dengan masalah Peraturan Perkoperasian, maka pada tahun 1927 di
Surabaya didirikan “Indonsische Studieclub” Oleh dokter Soetomo yang juga pendiri

11
Boedi Oetomo, dan melalui organisasi tersebut beliau menganjurkan berdirinya
koperasi. Kegiatan serupa juga dilakukan oleh Partai Nasional Indonesia di bawah
pimpimnan Ir. Soekarno, di mana pada tahun 1929 menyelenggarakan kongres
koperasi di Betawi. Keputusan kongres koperasi tersebt menyatakan bahwa untuk
meningkatkan kemakmuran penduduk Bumi Putera harus didirikan berbagai macam
koperasi di seluruh Pulau Jawa khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Untuk
menggiatkan pertumbuhan koperasi, pada akhir tahun 1930 didirikan Jawatan
Koperasi dengan tugas:
1. memberikan penerangan kepada pengusaha-pengusaha Indonesia
mengenai seluk beluk perdagangan;
2. dalam rangka peraturan koerasi No 91, melakukan pengawasan dan
pemeriksaan terhadap koperasi-koperasi, serta memberikan
penerangannya;
3. memberikan keterangan-keterangan tentang perdagangan pengangkutan,
cara-cara perkreditan dan hal ihwal lainnya yang menyangkut perusahaan-
perusahaan;
4. penerangan tentang organisasi perusahaan;
5. menyiapkan tindakan-tindakan hukum bagi pengusaha Indonesia
(Raka,1981:42).

DR. J.H. Boeke yang dulunya memimpin “Komisi Koperasi” 1920 ditunjuk
sebagai Kepala Jawatan Koperasi yang pertama. Atas dasar catatan sejarah, terjadilah
perkembangan koperasi seperti terlihat pada tabel berikut:

12
Selanjutnya pada tahun 1933 diterbitkan Peraturan Perkoperasian dalam
berntuk Gouvernmentsbesluit no.21 yang termuat di dalam Staatsblad no. 108/1933
yang menggantikan Koninklijke Besluit no. 431 tahun 1915. Peraturan Perkoperasian
1933 ini diperuntukkan bagi orang-orang Eropa dan golongan Timur Asing. Dengan
demikian di Indonesia pada waktu itu berlaku 2 Peraturan Perkopersian, yakni
Peraturan Perkoperasian tahun 1927 yang diperuntukan bagi golongan Bumi Putera
dan Peraturan Perkoperasian tahun 1933 yang berlaku bagi golongan Eropa dan
Timur Asing.
Kongres Muhamadiyah pada tahun 1935 dan 1938 memutuskan tekadnya
untuk mengembangkan koperasi di seluruh wilayah Indonesia, terutama di
lingkungan warganya. Diharapkan para warga Muhammadiyah dapat memelopori
dan bersama-sama anggota masyarakat yang lain untuk mendirikan dan
mengembangkan koperasi. Berbagai koperasi dibidang produksi mulai tumbuh dan
berkembang antara lain koperasi batik yang diperlopori oleh H. Zarkasi, H.
Samanhudi dan K.H. Idris. Perkembangan koperasi semenjak berdirinya Jawatan
Koperasi tahun 1930 menunjukkan suatu tingkat perkembangan yang terus
meningkat. Jikalau pada tahun 1930 jumlah koperasi 39 buah, maka pada tahun 1939
jumlahnya menjadi 574 buah dengan jumlah anggota pada tahun 1930 sebanyak
7.848 orang kemudian berkembang menjadi 52.555 orang. Sedang kegiatannya dari
574 koperasi tersebut diantaranya 423 kopersi (77%) adalah koperasi yang bergerak
dibidang simpan-pinjam (Djojohadikoesoemo,1940:82) sedangkan selebihnya adalah
kopersi jenis konsumsi ataupun produksi. Dari 423 koperasi simpan-pinjam tersebut
diantaranya 19 buah adalah koperasi lumbung. Adapun data perkembangan koperasi
dari tahun de tahun dapat dilihat pada tabel berikut:

13
Pada masa Pendudukan bala tentara Jepang istilah koperasi lebih dikenal
menjadi istilah “Kumiai”. Pemerintahan bala tentara Jepang di Indonesia menetapkan
bahwa semua Badan-badan Pemerintahan dan kekuasaan hukum serta Undang-
undang dari Pemerintah yang terdahulu tetap diakui sementara waktu, asal saja tidak
bertentangandengan Peraturan Pemerintah Militer. Berdasarkan atas ketentuan
tersebut, maka Peraturan Perkoperasian tahun 1927 masih tetap berlaku. Akan tetapi
berdasarkan Undang-undang No. 23 dari Pemerintahan bala tentara Jepang di
Indonesia mengatur tentang pendirian perkumpulan dan penmyelenggaraan
persidangan. Sebagai akibat daripada peraturan tersebut , maka jikalau masyarat ingin
mendirikan suatu perkumpulan koperasi harus mendapat izin Residen (Shuchokan)
dengan menjelaskan syarat-syarat sebagai berikut :
1. Maksud perkumpulan atau persidangan, baik sifat maupun aturan -
aturannya;
2. Tempat dan tanggal perkumpulan didirikan atau persidangan diadakan;

14
3. Nama orang yang bertangguing jawab, kepengurusan dan
anggotaanggotanya ;
4. Sumpah bahwa perkumpulan atau persidangan yang bersangkutan itu
sekali-kali bukan pergerakan politik.
Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka di beberapa daerah banyak
koperasi lama yang harus menghentikan usahanya dan tidak boleh bekerja lagi
sebelum mendapat izin baru dari “Scuchokan”. Undang-undang ini pada hakekatnya
bermaksud mengawasi perkumpulan-perkumpulan dari segi kepolisian.
Perkembangan Pemerintahan pendudukan bala tentara Jepang dikarenakan masalah
ekonomi yang semakin sulit memerlukan peran “Kumiai” (koperasi). Pemerintah
pada waktu itu melalui kebijaksanaan dari atas menganjurkan berdirinya “Kumiai”
di desa-desa yang tujuannya untuk melakukan kegiatan distribusi barang yang
jumlahnya semakin hari semakin kurang karena situasi perang dan tekanan ekonomi
Internasional (misalnya gula pasir, minyak tanah, beras, rokok dan sebagainya).
Di lain pihak Pemerintah pendudukan bala tentara Jepang memerlukan
barang-barang yang dinilai penting untuk dikirim ke Jepang (misalnya biji jarak,
hasil-hasil bumi yang lain, besi tua dan sebagainya) yang untuk itu masyarakat agar
menyetorkannya melalui “Kumiai”. Kumiai (koperasi) dijadikan alat kebijaksanaan
dari Pemerintah bala tentara Jepang sejalan dengan kepentingannya. Peranan koperasi
sebagaimana dilaksanakan pada zaman Pemerintahan pendudukan bala tentara
Jepang tersebut sangat merugikan bagi para anggota dan masyarakat pada umumnya.

b. Perkembangan Koperasi Setelah Masa Kemerdekaan


Gerakan koperasi di Indonesia yang lahir pada akhir abad 19 dalam suasana
sebagai Negara jajahan tidak memiliki suatu iklim yang menguntungkan bagi
pertumbuhannya. Baru kemudian setelah Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya, dengan tegas perkoperasian ditulis di dalam UUD 1945. DR. H.
Moh Hatta sebagai salah seorang “Founding Father” Republik Indonesia, berusaha
memasukkan rumusan perkoperasian di dalam “konstitusi”. Sejak kemerdekaan itu
pula koperasi di Indonesia mengalami suatu perkembangan yang lebih baik. Pasal 33

15
UUD 1945 ayat 1 beserta penjelasannya menyatakan bahwa perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan.
Dalam penjelasannya disebutkan bahwa bangun perekonomian yang sesuai
dengan azas kekeluargaan tersebut adalah koperasi. Di dalam pasal 33 UUD 1945
tersebut diatur pula di samping koperasi, juga peranan daripada Badan Usaha Milik
Negara dan Badan Usaha Milik Swasta. Pada akhir 1946, Jawatan Koperasi
mengadakan pendaftaran koperasi dan tercatat sebanyak 2500 buah koperasi di
seluruh Indonesia. Pemerintah Republik Indonesia bertindak aktif dalam
pengembangan perkoperasian. Disamping menganjurkan berdirinya berbagai jenis
koperasi Pemerintah RI berusaha memperluas dan menyebarkan pengetahuan tentang
koperasi dengan jalan mengadakan kursus-kursus koperasi di berbagai tempat.
Pada tanggal 12 Juli 1947 diselenggarakan kongres koperasi se Jawa yang
pertama di Tasikmalaya. Dalam kongres tersebut diputuskan antara lain terbentuknya
Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia yang disingkat SOKRI; menjadikan
tanggal 12 Juli sebagai Hari Koperasi serta menganjurkan diselenggarakan
pendidikan koperasi di kalangan pengurus, pegawai dan masyarakat. Selanjutnya,
koperasi pertumbuhannya semakin pesat. Tetapi dengan terjadinya agresi I dan agresi
II dari pihak Belanda terhadap Republik Indonesia serta pemberontakan PKI di
Madiunpada tahun 1948 banyak merugikan terhadap gerakan koperasi. Pada tahun
1949 diterbitkan Peraturan Perkoperasian yang dimuat di dalam Staatsblad No. 179.
Peraturan ini dikeluarkan pada waktu Pemerintah Federal Belanda menguasai
sebagian wilayah Indonesia yang isinya hamper sama dengan Peraturan Koperasi
yang dimuat di dalam Staatsblad No. 91 tahun 1927, dimana ketentuan-ketentuannya
sudah kurang sesuai dengan keadaan Inidonesia sehingga tidak memberikan dampak
yang berarti bagi perkembangan koperasi.
Setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1950
program Pemerintah semakin nyata keinginannya untuk mengembangkan
perkoperasian.Kabinet Mohammad Natsir menjelaskan di muka Dewan Perwakilan
Rakyat yang berkaitan dengan program perekonomian antara lain sebagai berikut :
“Menggiatkan pembangunan organisasi-organisasi rakyat , istimewa koperasi dengan
cara pendidikan, penerangan, pemberian kredit yang lebih banyak dan lebih mudah,

16
satu dan lain seimbang dengan kemampuan keuangan Negara”. Untuk memperbaiki
perekonomian-perekonomian rakyat Kabinet Wilopo antara lain mengajukan suatu
“program koperasi” yang terdiri dari tiga bagian, yaitu :
1. Usaha untuk menciptakan suasana dan keadaan sebaik-baiknya bagi
perkembangan gerakan koperasi;
2. Usaha lanjutan dari perkembangan gerakan koperasi;
3. Usaha yang mengurus perusahaan rakyat yang dapat diselenggarakan atas
dasar koperasi.
Selanjutnya Kabinet Ali Sastroamidjodjo menjelaskan program
Pemerintahannya sebagai berikut :
“Untuk kepentingan pembangunan dalam lapangan perekonomian rakyat
perlu pula diperluas dan dipergiat gerakan koperasi yang harus disesuaikan dengan
semangat gotong royong yang pesifik di Indonesia dan besar artinya dalam usaha
menggerakkan rasa percaya pada diri sendiri di kalangan rakyat. Di samping itu
Pemerintah hendak menyokong usaha itu dengan memperbaiki dan memperlluas
perkreditan, yang terpenting antara lain dengan pemberian modal kepada badan-
badan perkreditan desa seperti Lumbung dan Bank Desa, yang sedapat-dapatnya
disusun dalam bentuk koperasi” (Sumodiwirjo 1954: 4546).
Sejalan dengan kebijaksanaan Pemerintah sebagaimana tersebut diatas,
koperasi makin berkembang dari tahun ketahun baik organisasi maupun usahanya.
Selanjutnya pada tanggal 15 sampai dengan 17 Juli 1953 dilangsungkan kongres
koperasi Indonesia yang ke II di Bandung. Keputusannya antara lain merubah Sentral
Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia (SOKRI) menjadi Dewan Koperasi Indonesia
(DKI). Di samping itu mewajibkan DKI membentuk Lembaga Pendidikan Koperasi
dan mendirikan Sekolah Menengah Koperasi di Provinsi-provinsi. Keputusan yang
lain ialah penyampaian saran-saran kepada Pemerintah untuk segera diterbitkannya
Undang-Undang Koperasi yang baru serta mengangkat Bung Hatta sebagai Bapak
Koperasi Indonesia.
Pada tahun 1956 tanggal 1 sampai 5 September diselenggarakan Kongres
Koperasi yang ke III di Jakarta. Keputusan Kongres di samping hal-hal yang
berkaitan dengan kehidupan perkoperasian di Indonesia, juga mengenai hubungan

17
Dewan Koperasi Indonesia dengan International Cooperative Alliance (ICA). Pada
tahun 1958 diterbitkan Undang-Undang tentang Perkumpulan Koperasi No. 79 Tahun
1958 yang dimuat di dalam Tambahan Lembar Negara RI No. 1669. Undang-Undang
ini disusun dalam suasana UndangUndang Dasar Sementara 1950 dan mulai berlaku
pada tanggal 27 Oktober 1958. Isinya lebih biak dan lebih lengkap jika dibandingkan
dengan peraturan-peraturan koperasi sebelumnya dan merupakan Undang-Undang
yang pertama tentang perkoperasian yang disusun oleh Bangsa Indonesiasendiri
dalam suasana kemerdekaan.
Perlu dipahami bersama perbedaan sikap Pemerintah terhadap pengembangan
perkoperasian atas dasar perkembangan sejarah pertumbuhannya di Indonesia dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Pemerintahan Kolonial Belanda bersikap pasif;
2. Pemerintahan Pendudukan Balatentara Jepang bersikap aktif negatif,
karena akibat kebijaksanaannya nama koperasi menjadi hancur
(jelek);
3. Bersikap aktif positif di mana Pemerintah Republik Indonesia
memberikan dorongan kesempatan dan kemudahan bagi koperasi.
Tabel berikut menunjukkan perkembangan koperasi pada saat-saat akhir
Pemerintahan Kolonial Belanda dan angka perkembangan koperasi setelah
Indonesia merdeka sampai dengan tahun 1959, dengan catatan angka-angka
perkembangan koperasi pada zaman Pemerintahan Pendudukan Balatentara
Jepang tidak tersedia

18
19
c. Perkembangan Koperasi dalam Sistem Ekonomi Terpimpin
Dalam tahun 1959 terjadi suatu peristiwa yang sangat penting dalam sejarah
bangsa Indonesia. Setelah Konstituante tidak dapat menyelesaikan tugas menyusun
Undang-Undang Dasar Baru pada waktunya, maka pada tanggal 15 Juli 1959
Presiden Soekarno yang juga selaku Panglima Tertinggi Angkatan Perang
mengucapkan Dekrit Presiden yang memuat keputusan dan salahsatu daripadanya
ialah menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku bagi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh Tanah Tumpah Darah Indonesia, terhitung mulai dari tanggal
penetapan dekrit dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara.
Pada tanggal 17 Agustus 1959 Presiden Soekarno mengucapkan pidato
kenegaraan yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”, atau lebih dikenal
dengan Manifesto politik (Manipol). Dalam pidato itu diuraikan berbagai persoalan
pokok dan program umum Revolusi Indonesia yang bersifat menyeluruh.
Berdasarkan Ketetapan MPRS No. 1/MPRS/1960 pidato itu ditetapkan sebagai Garis-
garis Besar Haluan Negara RI dan pedoman resmi dalam perjuangan menyelesaikan
revolusi. Dampak Dekrit Presiden dan Manipol terhadap Undang-Undang No. 79
Tahun 1958 tentang Perkumpulan Koperasi adalah undang-undang yang belum
berumur panjang itu telah kehilangan dasar dan tidak sesuai lagi dengan jiwa dan
semangat UUD 1945 dan Manipol.
Karenanya untuk mengatasi keadaan itu maka di samping Undang-Undang
No. 79 Tahun 1958 tentang Perkumpulan Koperasi dikeluarkan pula Peraturan
Pemerintah No. 60 Tahun 1959 tentang Perkembangan Gerakan Koperasi (dimuat
dalam Tambahan aLembaran Negara No. 1907). Peratuarn ini dibuat sebagai
peraturan pelaksanaan dari UndangUndang No. 79 Tahun 1958 tentang Perkumpulan
Koperasi dan merupakan penyempurnaan dari hal-hal yang belum diatur dalam
Undang-Undang tersebut. Peraturan itu membawa konsep pengembangan koperasi
secara missal dan seragam dan dikeluarkan berdasarkan pertimbanganpertimbangan
sebagai berikut :
1. Menyesuaikan fungsi koperasi dengan jiwa dan semangat UUD 1945 dan
Manipol RI tanggal 17 Agustus 1959, dimana koperasi diberi peranan
sedemikian rupa sehingga kegiatan dan penyelenggaraannya benar-benar

20
dapat merupakan alat untuk melaksanakan ekonomi terpimpin
berdasarkan sosialisme ala Indonesia, sendi kehidupan ekonomi bangsa
Indonesia dan dasar untuk mengatur perekonomian rakyat guna mencapai
taraf hidup yang layak dalam susunan masyarakat adil dan makmur yang
demokratis;
2. Bahwa pemerintah wajib mengambil sikap yang aktif dalam membina
Gerakan Koperasi berdasarkan azas-azas demokrasi terpimpin, yaitu
menumbuhkan, mendorong, membimbing, melindungi dan mengawasi
perkembangan Gerakan Koperasi, dan;
3. Bahwa dengan menyerahkan penyelenggaraan koperasi kepada inisiatif
Gerakan Koperasi sendiri dalam taraf sekarang bukan saja tidak mencapai
tujuan untuk membendung arus kapitalisme dan liberalism, tetapi juga
tidak menjamin bentuk organisasi dan cara bekerja yang sehat sesuai
dengan azas-azas koperasi yang sebenarnya (Sularso 1988: VI-VII).
Dalam tahun 1960 Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 140
tentang penyaluran bahan pokok dan penugasan Koperasi untuk melaksanakannya.
Dengan peraturan ini maka mulai ditumbuhkan koperasikoperasi konsumsi.
Penumbuhan koperasi oleh Pemerintah secara missal dan seragam tanpa
memperhatikan syarat-syarat pertumbuhannya yang sehat, telah mengakibatkan
pertumbuhan koperasi yang kurang sehat. Lebih jauh dari itu Ketetapan MPRS
No.II/MPRS/1960 menetapkan bahwa sector perekonomian akan diatur dengan dua
sektor yakni sector Negara dan sector koperasi, dimana sector swasta hanya
ditugaskan untuk membantu. Pada saat mulai dikemukakan ide pengaturan ekonomi
dengan prinsip Demokrasi dan Ekoomi Terpimpin. Undang-undang No. 79 tahun
1958 tentang Perkembangan Gerakan Koperasi. Peraturan ini membawa konsep
pengembangan koperasi secara massal dan seragam.
Pada tahun 1961 diselenggarakan Musyawarah Nasional Koperasi I
(Munaskop I) di Surabaya untuk melaksanakan prinsip Demokrasi Terpimpin dan
Ekonomi Terpimpin. Langkah-langkah mempolitikankan (verpolitisering) koperasi
mulai nampak. Dewan Koperasi Indonesia diganti dengan Kesatuan Organisasi
KOperasi Seluruh Indonesia (KOKSI) yang bukan semata-mata organisasi koperasi

21
sendiri malainkan organisasi koperasi-koperasi yang dipimpin oleh Pemerintah,
dimasa Menteri Transmigrasi, Koperasi dan Pembangunan Masyarakat Desa
(Trasnkopenda) menjadi Ketuanya.
Sebagai puncak pengukuhan hokum dari uapaya mempolitikkan
(verpolitisering) koperasi dalam suasana demokrasi terpimpin yakni di terbitkannya
UU No.14 tahun 1965 tentang perkoperasian yang dimuat didalam Lembaran Negara
No. 75 tahun 1960. Salah satu pasal yang terpenting adalah pasal 5 yang berbunyi :
“Koperasi, struktur, aktivitas dan alat pembinaan serta alat perlengkapan organisasi
koperasi, mencerminkan kegotong-royongan progresif revolusioner berporoskan
Nasakom (Nasional, Agama, Komunis)”. Dalam memori penjelasannya dinyatakan
sebagai berikut : “Sesuai dengan penjelasan umum perkoperasian (pola koperasi)
tidak dapat dipisahkan dari masalah Revolusi pada umumnya (doktrin Revolusi),
sehingga tantangan-tantangan dari gerakan koperasi hakekatnya merupakan
tantangan daripada Revolusi itu sendiri”
Pengalaman-pengalaman perjuangan kita dalam menghadapi tantangan-
tantangan tersebut, menunjukkan keharusan obyektif adanya persatuan dan kesatuan
segenap potensi dan kekuatan rakyat yang progresif Revolusioner berporos Nasakom,
yang pelaksanaannya diatur dengan kegotong-royongan antara Pemerintah dengan
kekuatan-kekuatan Nasakom. Selanjutnya peranan gerakan koperasi dalam
demokrasi terpimpin dan ekonomi terpimpin diatur didalam pasal 6 dan pasal 7. Pasal
6 berbunyi sebagai berikut : “ Gerakan Koperasi mempunyai peranan:
a. Dalam tahap nasional demokrasis :
1. Mempersatukan dan memobilisir seluruh rakyat pekerja dan
produsen kecil yang merupakan tenaga-tenaga produktif untuk
meningkatkan produksi, mengadilkan dan meratakan distribusi;
2. Ikut serta menghapus sisa-sisa imperalisme, kolonialisme dan
feodalisme;
3. Membantu memperkuat sector ekonomi Negara yang memegang
posisi memimpin;
4. Menciptakan syarat-syarat bagi pembangunan masyarakat sosialis
Indonesia.

22
b. Dalam Tahap sosialisme Indonesia :
1. Menyelenggarakan tata ekonomi tanpa adanya penghisapan oleh
manusia atas manusia;
2. Meningkatkan tingkat hidup rakyat jasmaniah dan rokhaniah;
3. Membina dan mengembangkan swadaya dan daya kreatif rakyat
sebagai perwujudan masyarakat gotong-royong. “Pasal 7
menyatakan sebagai berikut :
Pemerintah menetapkan kebijaksanaan pokok perkoperasian. Dengan
Peraturan Pemerintah diatur hubungan antara gerakan koperasi dengan Pemerintah,
Perusahaan Negara/Perusahaan Daerah dan swasta bukan koperasi”. Memori
penjelasannya menyatakan : “Untuk menjamin azas Demokrasi Terpimpin dan
Ekonomi Terpimpin kebijaksanaan perkoperasian ditetapkan oleh Pemerintah”.
Bersamaan dengan disyahkannya UU No. 14 tahun 1965 dilangsungkan
Musyawarah Nasional Koperasi (Munaskop) II di Jakarta yang pada dasarnya
merupakan ajang legitiminasi terhadap masuknya kekuatan-kekuatan politik di dalam
koperasi sebagaimana diatur oleh UU Perkoperasian tersebut. Dalam kesempatan
tersebut, juga diputuskan bahwa KOKSI (Kesatuan Organisasi Koperasi Seluruh
Indonesia) Menyatakan keluar dari keanggotaan ICA. Tindakan berselang lama yakni
dalam bulan September 1965 terjadi pemberontakan Gerakan 30 September yang
didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang terpengaruh besar terhadap
pengembangan koperasi.
Mengingat dalam UU no. 14 tahun 1965 secara tegas memasukan warna
politik di dalam kehidupan perkoperasian, maka akibat pemberontakan G30S/PKI
pelaksanaanya perlu di pertimbangkan kembali. Bahkan segera disusul langkah-
langkah memurnikan kembali kekoprasi kepada azas-azas yang murni dengan cara “
deverpolitisering “. Koperasi-koperasi menyelenggarakan rapat anggota untuk
memperbaharui kepengurusan dan Badan Pemeriksaannya. Reorganisasi
dilaksanakan secara menyeluruh untuk memurnikan koperasi di atas azas-azas
koperasi yang sebenarnya (murni).

23
d. Perkembangan Koperasi Pada Masa Orde Baru
Pemberontakan G30S/PKI merupakan malapetaka besar bagi rakyat dan
bangsa Indonesia. Demikian pula hal tersebut didalami oleh gerakan koperasi di
Indonesia. Oleh karena itu dengan kebulatan tekad rakyat dan bangsa Indonesia untuk
kembali dan melaksanakan UUD-1945 dan Pancasila secara murni dan konsekwen,
maka gerakan koperasi di Indonesia tidak terkecuali untuk melaksanakannya.
Semangat Orde Baru yang dimulai titik awalnya 11 Maret 1996 segera setelah itu
pada tanggal 18 Desember 1967 telah dilahirkan Undang-Undang Koperasi yang baru
yakni dikenal dengan UU No. 12/1967 tentang Pokok-pokok Perkopersian.
Konsideran UU No. 12/1967 tersebut adalah bahwa Undang-Undang No. 14 Tahun
1965 tentang Perkoperasian Mengandung pikiran-pikiran yang nyata-nyata hendak :
1. Menempatkan fungsi dan peranan koperasi sebagai abdi langsung
daripada politik. Sehingga mengabaikan koperasi sebagai wadah
perjuangan ekonomi rakyat.
2. Menyelewengkan landasan-landasan, azas-azas dan sendi-sendi dasar
koperasi dari kemUrniannya.
Bahwa berhubung dengan itu perlu dibentuk Undang-Undang baru yang,
1. Sesuai dengan semangat dan jiwa Orde Baru sebagaimana dituangkan
dalam Ketepatan-ketepatan MPRS Sidang ke IV dan Sidang Istimewa
untuk memungkinkan bagi koperasi mendapatkan kedudukan hokum dan
tempat yang semestinya sebagai wadah organisasi perjuangan ekonomi
rakyat yang berwatak sosial dan sebagai alat pendemokrasian ekonomi
nasional.
2. Bahwa koperasi bersama-sama dengan sector ekonomi Negara dan swasta
bergerak di segala sektor ekonomi Negara dan swasta bergerak di segala
kegiatan dan kehidupan ekonomi bangsa dalam rangka memampukan
dirinya bagi usaha-usaha untuk mewujudkan masyarakat Sosialisme
Indonesia berdasarkan Pancasila yang adil dan makmur di ridhoi Tuhan
Yang Maha Esa.
Bahwa berhubungan dengan itu, maka Undang-Undang No. 14 tahun 1965
perlu dicabut dan perlu mencerminkan jiwa, serta cita-cita yang terkandung dalam

24
jelas menyatakan, bahwa perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan atas azas kekeluargaan dan koperasi adalah satu bangunan usaha yang
sesuai dengan susunan perekonomian yang dimaksud itu. Berdasarkan pada
ketentuan itu dan untuk mencapai cita-cita tersebut Pemerintah mempunyai
kewajiban membimbing dan membina perkoperasian Indonesia dengan sikap “ ing
ngarsa sung tulada, ing madya mbangun karsa, tut wuri handayani “.
Dalam rangka kembali kepada kemurnian pelaksanaan UndangUndang Dasar
1954, sesuai pula dengan Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966 tentang
Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan,
maka peninjauan serta perombakan UndangUndang No. 14 tahun 1965 tentang
Perkoperasian merupakan suatu keharusan karena baik isi maupun jiwanya Undang-
Undang tersebut mengandung hal-hal yang bertentangan dengan azas-azas pokok,
landasan kerja serta landasan idiil koperasi, sehingga akan menghambat kehidupan
dan perkembangan serta mengaburkan hakekat koperasi sebagai organisasi ekonomi
rakyat yang demokratis dan berwatak social.
Peranan Pemerintah yang terlalu jauh dalam mengatur masalah perkoperasian
Indonesia sebagaimana telah tercermin di masa yang lampau pada hakekatnya tidak
bersifat melindungi, bahkan sangat membatasi gerak serta pelaksanaan strategi dasar
perekonomian yang tidak sesuai dengan jiwa dan makna Undang-Undang Dasar 1945
pasal 33. Hal yang demikian itu akan menghambat langkah serta keswakertaan yang
sesungguhnya merupakan unsur pokok dari azas-azas percaya pada diri sendiri yang
pada gilirannya akan dapat merugikan masyarakat sendiri. Oleh karenanya sesuai
dengan Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966 dianggap perlu untuk mencabut dan
mengganti Undang-Undang No. 14 tahun 1965 tentang Perkoprasian tersebut dengan
Undang-Undang baru yang benar-benar dapat menempatkan koperasi pada fungsi
yang semestinya yakni sebagai alat dari Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat
(1) Di bidang idiil, koperasi Indonesia merupakan satu-satunya wadah untuk
menyusun perekonomian rakyat berazaskan kekeluargaan dan kegotong-royongan
yang merupakan cirri khas dari tata kehidupan bangsa Indonesia dengan tidak
memandang golongan, aliran maupun kepercayaan yang dianut seseorang. Kiperasi

25
sebagai alat pendemokrasian ekonomi nasional dilaksanakan dalan rangka dalam
rangka politik maupun perjuangan bangsa Indonesia.
Di bidang organisasi koperasi Indonesia menjamin adanya hak-hak individu
serta memegamg teguh azas-azas demokrasi. Rapat Anggota merupakan kekuasaan
tertinggi di dalam tata kehidupan koperasi, Koperasi mendasarkan geraknya pada
aktivitas ekonomi dengan tidak meninggalkan azasnya yakni kekeluargaan dan
gotong-royong. Dengan berpedoman kepada Ketetapan MPRS No.
XXIII/MPRS/1966 Pemerintah memberikan bimbingan kepada koperasi dengan
sikap seperti tersebut di atas serta memberikan perlindungan agar koperasi benar-
benar mampu melaksanakan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 beserta
penjelasannya.
Menurut pasal. 3 UU No. 12/1967, koperasi Indonesia adalah organisasi
ekonomi rakyat yang berwatak social, beranggotakan orang-orang atau badan hukum
koperasi yang merupakan tata azas kekeluargaan. Penjelasan pasal tersebut
menyatakan bahwa “ koperasi Indonesia adalah kumpulan orang-orang yang sebagai
manusia secara bersamaan, bekerja untuk memajukan kepentingan-kepentingan
ekonomi mereka dan kepentingan masyarakat. Dari pengertian umum di atas, maka
cirri-ciri seperti di bawah ini seharusnya selalu nampak:
1. Bahwa koperasi Indonesia adalah kumpulan orang-orang dan bukan
kumpulan modal. Pengaruh dan penggunaan modal dalam koperasi
Indonesia tidak boleh mengurangi makna dan tidak boleh mengaburkan
pengertian koperasi Indonesia berdasarkan perkumpulan orang-orang dan
bukan sebagai perkumpulan modal. Ini berarti bahwa koperasi Indonesia
harus benar-benar mengabdikan kepada perikemanusiaan dan bukan
kepada kebendaan;
2. bahwa koperasi Indonesia bekerjasama, bergotong-royong berdasarkan
persamaan derajat, hak dan kewajiban yang berarti koperasi adalah dan
seharusnya merupakan wadah demokrasi ekonomi dan social. Karena
dasar demokrasi ini, milik para anggota sendiri dan pada dasarnya harus
diatur serta diurus sesuai dengan keinginan para anggota yang berarti
bahwa hak tertinggi dalam koperasi terletak pada Rapat Anggota.

26
3. Bahwa segala kegiatan koperasi Indonesia harus didasarkan atas
kesadaran para anggota. Dalam koperasi tidak boleh dilakukan paksaan,
ancaman, intimidasi dan campur tangan dari pihak-pihak lain yang tidak
ada sangkut-pautnya dengan soal-soal intern koperasi;
4. Bahwa tujuan koperasi Indonesia harus benar-benar merupakan
kepentingan bersama dari para anggotanya dan disumbangkan para
anggota masing-masing. Ikut sertanya anggota sesuai dengan kecilnya
karya dan jasanya harus dicerminkan pula dalam hal pembagian
pendapatan dalam koperasi”.
Dengan berlakunya UU No. 12/1967 koperasi-koperasi yang telah berdiri
harus melaksanakan penyesuaian dengan cara menyelenggarakan Anggaran dan
mengesahkan Anggaran Dasar yang sesuai dengan UndangUndang tersebut. Dari
65.000 buah koperasi yang telah berdiri ternyata yang memenuhi syarat sekitar
15.000 buah koperasi saja. Sedangkan selebihnya koperasi-koperasi tersebut harus
dibubarkan dengan alasan tidak dapat menyesuaikan terhadap UU No. 12/1967
dikarenakan hal-hal sebagai berikut:
1. koperasi tersebut sudah tidak memiliki anggota ataupun pengurus serta
Badan Pemeriksa, sedangkan yang masih tersisa adalah papan nama;
2. sebagian besar pengurus dan ataupun anggota koperasi yang bersangkutan
terlibat G30S/PKI ;
3. koperasi yang bersangkutan pada saat berdirinya tidak dilandasi oleh
kepentingan-kepentingan ekonomi, tetapi lebih cenderung karena
dorongan politik pada waktu itu ;
4. koperasi yang bersangkutan didirikan atas dasar fasilitas yang tesedia,
selanjutnya setelah tidak tersedia fasilitas maka praktis koperasi telah
terhenti.
Sejak awal Pelita I pelaksanaan pembangunan telah diarahkan untuk
menyentuh segala kehidupan bangsa sebagai suatu gerak perubahan kearah
kemajuan. Seperti halnya Negara-negara berkembang yang menderita penjajahan di
masa lalu, maka pembangunan yang berlangsung dalam suatu hubungan
kemasyarakatan yang terbentuk dalam kemerdekaan, merupakan gerak perubahan

27
yang bersifat mendasar dan menyeluruh. Dalam kaitan ini, proses pembangunan yang
berlangsung dalam periode transisional dari hubungan saling pengaruh mempengaruti
yang berlaku dalam lingkungan masyarakat colonial kea rah susunan dan hubungan
kemasyarakatan baru, sungguh merupakan pekerjaan besar yang tidak mudah.
Periode pelita I pembangunan perkoperasian menitikbertkan pada investasi
pengetahuan dan ketrampilan orang-orang koperasi, baik sebagai orang gerakan
koperasi maupun pejabat-pejabat perkoperasian. Untuk memberikan peranan pada
koperasi di masa dating sebagai konsekuensi Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33
ayat (1), maka koperasi-koperasi perlu dilandasi lebih dulu dengan jiwa koperasi yang
mendalam, perlengjkapan perlengkapan pengetahuan dan ketrampilan di bidang
mental, organisasi, usaha dan ketatalaksanaan agar mampu terjun di tengah-tengah
arena pembangunan. Untuk melaksanakan tujuan ini maka Pemerintah membangun
Pusat-pusat Pendidikan Koperasi (PUSDIKOP) di tingkat Pusat dan juga di tiap
ibukota Propinsi.
Pusat Pendidikan Koperasi tersebutsekarang dirubah menjadi Pusat Latihan
dan Penataran Perkoperasian (PUSLATPENKOP) di tingkat Pusat dan Balai Latihan
Perkoperasian (BALATKOP) di tingkat Daerah. Di samping investasi mental ini
telah dimulai pula rintisan investasi fisik dan financial untuk melatih koperasi
bergerak di bidang ekonomi. Untuk itu maka di samping pembinaan usaha dan
tatalaksana didirikan pula Lembaga Jaminan Kredit Koperasi (LJKK) di tahun 1970
yang menjamin pinjamanpinjaman koperasi dari bank-bank Pemerintah, secara
selektif dan bertahap.
Di samping itu LJKK juga berperan untuk ikut dalam partisipasi modal pada
proyek kredit investasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam kebijakan
tertentu, Pemerintah atas dasar pertimbangannya apabila dinilai bunga atas sesuatu
kredit pada koperasi terlalu tinggi, LJKK memberikan subsidi bunga. Sekarang
Lembaga Jaminan Kredit Koperasi (LJKK) dirubah statusnya menjadi Perusahaan
Umum Pengembangan Keuangan Koperasi (PERUM PKK).
Untuk mengatasi kelemahan organisasi dan memajukan manajemen koperasi
maka sejak tahun1972 dikembangkan penggabungan koperasi-koperasi kecil menjadi
koperasi-koperasi yang besar. Daerah-daerah di pedesaan dibagi dalam wilayah-

28
wilayah Unit Desa (WILUD) dan koperasikoperasi yang yang ada dalam wilayah unit
desa tersebut digabungkan menjadi organisasi yang besar dan dinamakan Badan
Usaha Unit Desa (BUUD). Pada akhirnya koperasi-koperasi desa yang bergabung itu
dibubarkan, selanjutnya BUUD menjelmas menjadi KUD (Koperasi Unit Desa).
Karena secara ekonomi menjadi besar dan kuat, maka BUUD/KUD itu
mampu membiayai tenaga-tenaga yang cakap seperti manajer, juru buku, juru mesin,
juru toko dan lain-lain. Juga BUUD/KUD itu dipercayai untuk meminjam uang dari
Bank dan membeli barang-barang produksi yang lebih modern, sesuai dengan
tuntutan kemajuanzaman (mesin gilingan padi, traktor, pompa air, mesin penyemprot
hama dan lain-lain). Ketentuan- ketentuan yang mengatur tentang Wilayah Unit Desa,
BUUD/KUD dituangkan dalam Instruksi Presiden No.4/1973 yang selanjutnya
diperbaharui menjadi Instruksi Presiden No.2/1978 dan kemudian disempurnakan
menjadi Instruksi Presiden No.4/1984.
Dalam kenyataannya meskipun arus sumber-sumber daya pembangunan yang
dicurahkan untuk mengatasi kemiskinan, khususnya di daerah-daerah pedesaan,
belum pernah sebesar seperti dalam era pembangunan selama ini, namun kita sadarai
sepenuhnya bahwa gejala kemiskinan dalam bentuk yang lama maupun yang baru
masih dirasakan sebagai masalah mendasar dalam pembangunan nasional. Keadaan
yang telah berlangsung lama tersebut membuat masyarakat yang tergolong miskin
dan lemah ekonominya belum pernah mampu untuk ikut memanfaatkan secara
optimal berbagai sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia.
Pada umumnya masyarakat yang termasuk golongan ini antara lain :
kelompok petani, buruh tani, nelayan yang hidup di desa-desa dan kelompok pekerja
kasar di kota-kota bahkan meliputi pula kelompok penerima dengan hasil tetap seperti
karyawan-karyawan perusahaan serta pegawai-pegawai kecil. Mereka miskin dan
lemah karena mereka tidak memiliki modal yang cukup dan ketrampilan serta
pendidikan yang layak. Namun demikian, di samping kelemahan yang ada, dapat pula
dicatat berbagai potensi yang mereka miliki. Potensi dan kekuatan tersebut antara
lain:
1. bahwa ada kemauan dan kemampuan bekerja keras dan keuletan untuk
dapat tumbuh dan berkembang;

29
2. bahwa sebagian besar dari mereka adalah pekerja dalam bidang pertanian
yang mempengaruhi dan menentukan kekuatan perkekonomian nasional;
3. bahwa sejumlah besar mereka (70 sampai dengan 80% rakyat
4. Indonesia tinggal di daerah pedesaan); dan (4). bahwa pada dasarnya
mereka memiliki potensi social ekonomi yang dapat dikembangkan lebih
lanjut melalui pendekatan pembangunan yang bersifat khusus.
Sedangkan untuk keberhasilan koperasi di dalam melaksanakan peranannya
perlu diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut yaitu pertama kemampuan
menciptakan posisi pasar dan pengawasan harga yang layak oleh, dengan cara :
1. Bertindak bersama dalam menghadapi pasar melalui pemusatan kekuatan
bersaing dari anggota;
2. Memperpendek jaringan pemasaran;
3. Memiliki manajer yang cukup trampil berpengetahuan luas dan memiliki
idealisme;
4. Mempunyai dan meningkatkan kemampuan koperasi sebagai satu unit
usaha dalam mengatur jumlah dan kualitas barang-barang yang
dipasarkan melalui kegiatan pergudangan, penelitian kualitas yang cermat
dan sebagainya.
Kedua adalah kemampuan koperasi untuk menghimpun dan menanamkan
kembali modal, dengan cara pemupukan pelbagai sumber keuangan dari sejumlah
besar anggota. Ketiga penggunaan faktor-faktor produksi yang lebih ekonomis
melalui pembebanan biaya over head yang lebih, dan mengusahakan peningkatan
kapasitas yang pada akhirnya dapat menghasilkan biaya per unit yang relative kecil
Keempat dengan terciptanya ketrampilan teknis di bidang produksi,
pengolahan dan pemasaran yang tidak mungkin dapat dicapai oleh para anggota
secara sendiri-sendiri. Kelima pembebasan resiko dari anggota-anggota kepada
koperasi sebagai satu unit usaha, yang selanjutnya hal tersebut kembali ditanggung
secara bersama di antara anggota-anggotanya.Keenam adalah pengaruh dari koperasi
terhadap anggota-anggotanya yang berkaitan dengan perubahan sikap dan tingkah
laku yang lebih sesuai dengan perubahan tuntutan lingkungan di antaranya perubahan
teknologi, perubahan pasar dan dinamika masyarakat.

30
Pemerintah di dalam mendorong perkoperasian telah menerbitkan sejumlah
kebijaksanaan-kebijaksanaan baik yang menyangkut di dalam pengembangan di
bidang kelembagaan, di bidang usaha, di bidang pembiayaan dan jaminan kredit
koperasi serta kebijaksanaan di dalam rangka penelitian dan pengembangan
perkoperasian. Sebagai gambaran perkembangan koperasi setelah masa Orde Baru
dapat diikuti pada table berikut:

Garis-Garis Besar haluan Negara 1988 menetapkan bahwa koperasi dimungkinkan


bergerak di berbagai sector kegiatan ekonomi, misalnya sektor-sektor: pertanian, industri,
keuangan, perdagangan, angkutan dan sebagainya. Dalam pola umum Pelita ke lima
menyebutkan bahwa : “Dunia usaha nasional yang terdiri dari usaha Negara koperasi dan
usaha swasta perlu terus dikembangkan menjadi usaha yang sehat dan tangguh dan diarahkan
31
agar mampu meningkatkan kegairahan dan kegiatan ekonomi serta pemerataan
pembangunan dan hasil-hasilnya, memperluas lapangan kerja, meningkatkan taraf hidup,
kecerdasan dan kesejahteraan rakyat, serta memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa dan
memantapkan ketahanan nasional.
Dalam hal ini perlu diperluas kesempatan berusaha serta ditumbuh kembangkan
swadaya dan kemampuan berusaha khususnya bagi koperasi, usaha kecil serta usaha informal
dan tradisional, baik usaha masyarakat di pedesaan maupun di perkotaan. Selanjutnya perlu
disiptakan iklim usaha yang sehat serta tata hubungan yang mendorong tumbuhnya kondisi
saling menunjang antara usaha Negara, usaha koperasi dan usaha swasta keterkaitan yang
saling menguntungkan dan adil sntara golongan ekonomi kuat dan golongan ekonomi lemah
“(butir 2)”.
Untuk mewujudkan demokrasi ekonomi seperti yang dikehendaki dalam undang-
undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 1 berikut penjelasan, Pola Umum Pelita V juga
menyebutkan : “Dalam rangka mewujudkan demokrasi ekonomi, koperasi harus makin
dikembangkan dan ditingkatkan kemampuannya serta dibina dan dikelola secara efisien.
Dalam rangka meningkatkan peranan koperasi dalam kehidupan ekonomi nasional, koperasi
perlu dimasyarakatkan agar dapat tumbuh dan berkembang sebagai gerakan dari masyarakat
sendiri. Koperasi di bidang produksi, konsumsi, pemasaran dan jasa perlu terus didorong,
serta dikembangkan dan ditingkatkan kemampuannya agar makin mandiri dan mampu
menjadi pelaku uatama dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Pembinaan yang tepat atas
koperasi dapat tumbuh dan berkembang secara sehat serta hasil-hasil usahanya makin
dinikmati oleh para anggotanya, Koperasi Unit Desa (KUD) perlu terus dibina dan
dikembangkan agar tumbuh sehat dan kuat sehingga koperasi akan semakin berakar dan
peranannya makin besar dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat terutama di pedesaan
“(butir d. 33)”.
Dalam Pelita V kebijakan pembangunan tetap bertumpu pada trilogy pembangunan
dengan menekankan pemerataa pembangunan dan hasilhasilnya menuju terciptanya keadilan
social bagi seluruh rakyat Indonesia, yang disertai pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi
serta stabilitas yang mantap. Ketiga unsure Trilogi Pembangunan tersebut saling mengkait
dan saling memperkuat serta perlu dikembangkan secara selaras, serasi dan seimbang.
Dalam memperkokoh kerangka landasan untuk tinggal landas dibidang ekonomi, peranan

32
koperasi merupakan aspek yang strategis di samping peran pelaku ekonomi lainnya.
Kopperasi harus tumbuh kuat dan mampu menangani seluruh aspek kegiatan dibidang
pertanian, industry yang kuat dan dibidang perdagangan barang-barang kebutuhan pokok
masyarakat.
Sejalan dengan prioritas pembangunan nasional, dalam Pelita V masih terpusatkan
pada sector pertanian, maka prioritas pembinaan koperasi mengikuti pola tersebut dengan
memprioritaskan pembinaan 2.000 sampai dengan 4.000 KUD Mandiri tanpa mengabaikan
pembinaan-pembinaan terhadap koperasi jenis lain. Adapun tujuan pembinaan dan
pengembangan KUD Mandiri adalah untuk mewujudkan KUD yang memiliki kemampuan
manajemen koperasi yang rasional dan efektip dalam mengembangkan kegiatan ekonomi
para anggotanya berdasarkan atas kebutuhan dan keputusan para anggota KUD.
Dengan kemampuan itu KUD diharapkan dapat melaksanakan fungsi utamanya yaitu
melayani para anggotanya, seperti melayani perkreditan, penyaluran barang dan pemasaran
hasil produksi. Dalam rangka pengembangan KUD mandiri telah diterbitkan INSTRUKSI
MENTERI KOPERASI No. 04/Ins/M/VI/1988 tentang Pedoman Pembinaan dan
Pengembangan KUD mandiri. Pembinaan dan Pengembangan KUD mandiri diarahkan:
1. Menumbuhkan kemampuan perekonomian masyarakat khusunya di pedesaan.
2. Meningkatkan peranannya yang lebih besar dalam perekonomian nasional.
3. Memberikan manfaat yang sebesar-besarnya dalam peningkatan kegiatan
4. Ekonomi dan pendapatan yang adil kepada anggotanya.
Ukuran-ukuran yang digunakan untk menilai apakah suatu KUD sudah
mandiri atau belum adalah sebagai berikut :
1. Mempunyai anggota penuh minimal 25 % dari jumlah penduduk dewasa yang
memenuhi persyaratan kenggotaan KUD di daerah kerjanya.
2. Dalam rangka meningkatkan produktivitas usaha anggotany maka pelayanan
kepada anggota minimal 60 % dari volume usaha KUD secara keseluruhan.
3. Minimal tiga tahun buku berturut-turut RAT dilaksanan tepat pada waktunya
sesuai petunjuk dinas.
4. Anggota Pengurus dan Badan Pemeriksa semua berasal dari anggota KUD
dengan jumlah maksimal untuk pengurus 5 orang dan Badan Pemeriksa 3 orang.
5. Modal sendiri KUD minimal Rp. 25,- juta.

33
6. Hasil audit laporan keuangan layak tapa catatan (unqualified opinion).
7. Batas toleransi deviasa usaha terhadap rencana usaha KUD (Program dan Non
Program) sebesar 20 %.
8. Ratio Keuangan : Liquiditas, antara 15 % s/d 200 %. Solvabilita, minimal 100 %.
9. Total volume usaha harus proposional dengan jumlah anggota, denngan minimal
rata-rata Rp. 250.000,- per anggota per tahun.
10. Pendapatan kotor minimal dapat menutup biaya berdasarkan prinsip effisiensi.
11. Sarana usaha layak dan dikelola sendiri
12. Tidak ada penyelewengan dan manipulasi yang merugikan KUD oleh Pengelola
KUD.
13. Tidak mempunyai tunggakan.
Keberhasilan atau kegagalan koperasi ditentukan oleh keunggulan komparatif
koperasi. Hal ini dapat dilihat dalam kemampuan koperasi berkompetisi memberikan
pelayanan kepada anggota dan dalam usahanya tetap hidup (survive) dan berkembang dalam
melaksnakan usaha. Pengalaman empiris dimancanegara dan di negeri kita sendiri
menunjukkan bahwa struktur pasar dari usaha koperasi mempengaruhi performance dan
success koperasi (Ismangil, 1989).

e. Perkembangan Koperasi Pasca Reformasi


Setelah pemerintahan Orde Baru tumbang dan digantikan oleh reformasi,
perkembangan koperasi mengalami peningkatan. Dalam era reformasi pemberdayaan
ekonomi rakyat kembali diupayakan melalui pemberian kesempatan yang lebih besar bagi
usaha kecil dan koperasi. Untuk tujuan tersebut seperti sudah ditetapkan melalui GBHN
Tahun 1999. Pesan yang tersirat di dalam GBHN Tahun 1999 tersebut bahwa tugas dan misi
koperasi dalam era reformasi sekarang ini, yakni koperasi harus mampu berfungsi sebagai
sarana pendukung pengembangan usaha kecil, sarana pengembangan partisipasi masyarakat
dalam pembangunan, serta sebagai sarana untuk pemecahan ketidakselarasan di dalam
masyarakat sebagai akibat dari ketidakmerataannyapembagian pendapatan yang mungkin
terjadi.
Untuk mengetahui peran yang dapat diharapkan dari koperasi dalam rangka
penyembuhan perekonomian nasional kiranya perlu diperhatikan bahwa disatu sisi koperasi

34
telah diakui sebagai lembaga solusi dalam rangka menangkal kesenjangan serta mewujudkan
pemerataan, tetapi di sisi lain kebijaksanaan makro ekonomi belum sepenuhnya disesuaikan
dengan perubahan-perubahan perekonomian dunia yang mengarah pada pasar bebas. Selama
periode 2000 – 2003, secara umum koperasi mengalami perkembangan usaha dan
kelembagaan yang mengairahkan. Namun demikian, koperasi masih memiliki berbagai
kendala untuk pengembangannya sebagai badan usaha, yaitu:
1. Rendahnya partisipasi anggota yang ditunjukkan dengan rendahnya nilai
perputaran koperasi per anggota yang kurang dari Rp.100.000,00 per bulan dan
rendahnya simpanan anggota yang kurang dari Rp.345.225,00,
2. Efisiensi usaha yang relatif rendah yang ditunjukkan dengan tingkat perputaran
aktiva yang kurang dari 1,3 kali per tahun
3. Rendahnya tingkat profitabilitas koperasi
4. Citra masyarakat terhadap koperasi yang menganggap sebagai badan usaha kecil
dan terbatas, serta bergantung pada program pemerintah.
5. Kompetensi SDM koperasi yang relatif rendah.
6. Kurang optimalnya koperasi mewujudkan skala usaha yang ekonomis akibat
belum optimalnya kerjasama antar koperasi dan kerjasama koperasi dengan badan
usaha lainnya.
7. Pemerintah di negara-negara sedang berkembang pada umumnya turut secara
aktif dalam upaya membangun koperasi. Keikutsertaan pemerintah negara-negara
sedang berkembang ini, selain didorong oleh adanya kesadaran untuk turut serta
dalam membangunkan koperasi, juga merupakan hal yang sangat diharapkan oleh
gerakan koperasi. Hal ini antara lain didorong oleh terbatasnya kemampuan
koperasi di negara sedang berkembang, untuk membangun dirinya atas kekuatan
sendiri (Baswir,2000).
8. Di era reformasi, kebijakan pengembangan koperas menjadi tanggung jawab
Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah. Mengacu pada Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 09/M/2005 tanggal 31 Januari 2005 bahwa
kedudukan Kementerian Koperasi dan UKM adalah unsure pelaksana pemerintah
dengan tugas membantu Presiden untuk mengkoordinasikan perumusan

35
kebijakan dan koordinasi pelaksanaan kebijakan pemberdayaan Koperasi dan
UMKM di Indonesia.
9. Tugas Kementerian Koperasi dan UKM adalah merumuskan kebijakan dan
mengkoordinasikan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan serta pengendalian
pemberdayaan koperasi dan UMKM di Indonesia.
Strategi pengembangan kelembagaan koperasi terdiri dari:
1. Kebijakan Peningkatan Administrasi dan Pengawasan
Pemberian Badan Hukum (BH) Koperasi Kebijakan ini dilaksanakan dalam
rangka meningkatkan ketertataan dan ketertiban administrasi pemberian badan
hukum koperasi, serta pengawasan pemberian badan hokum koperasi oleh daerah
melalui tugas perbantuan, dan pengawasan kegiatan koperasi untuk
meningkatkan akuntabilitasnya.
2. Kebijakan Peningkatan Penerapan Jatidiri Koperasi
Penerapan jatidiri koperasi merupakan roh dari proses pengembangan koperasi
sejati, yang dilakukan melalui: pengembangan organisasi dan manajemen
koperasi, peningkatan kualitas keanggotaan koperasi, penyempurnaan AD/ART
koperasi dan pemberdayaan gerakan koperasi agar mampu memperjuangkan
kepentingan anggotanya.
3. Kebijakan Pengembangan Usaha Koperasi
Pengembangan usaha koperasi dilakukan melalui upaya pemantapan identitas
koperasi sebagai badan usaha yang berazaskan kekeluargaan, pengembangan
kerjasama usaha, pengembangan usaha koperasi yang berbasis sumberdaya lokal
dan peningkatan daya saing koperasi, serta klasifikasi koperasi.
4. Kebijakan Perlindungan Kepada Koperasi
Tugas pemerintah dalam pengembangan koperasi adalah menumbuhkan iklim
dan kondisi yang mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan koperasi,
memberikan perlindungan kepada koperasi melalui pemberian kemudahan dan
bimbingan dalam berusaha, serta melindungi publik dari aktivitas koperasi yang
merugikan masyarakat. Perlindungan kepada koperasi dan publik ini memerlukan
peran serta masyarakat, sehingga diperlukan upaya meningkatkan kesadaran
masyarakat terhadap kewirakoperasian.

36
Selain itu, Kementerian Koperasi dan UMKM juga menyusun program
pengembangan kelembagaan koperasi. Program ini bertujuan mewujudkan 70.000 unit
koperasi yang berkualitas yang mampu melayani lebih dari 20 juta anggota koperasi secara
berkelanjutan, sesuai dengan prinsip-prinsip dan nilai dasar koperasi.
Program Kemenkop dan UMKM juga mencakup bidang legislasi. Program ini
bertujuan menyempurnakan Undang- undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
dan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil agar mampu mendukung
dinamika pemberdayaan KUMKM di Indonesia pada masa mendatang. Program
penyempurnaan Undang-undang Koperasi dan Usaha Kecil, antara lain mencakup:
1. Melakukan inventarisasi masalah untuk menyempurnakan RUU Koperasi dan
RUU UMKM.
2. Melaksanakan pembahasan dengan intansi terkait dan DPR-RI untuk
mewujudkan RUU Koperasi dan RUU UMKM menjadi Undang-undang
Koperasi dan Undang-undang UMKM.
3. Melaksanakan sosialisasi Undang-undang Koperasi dan UMKM yang telah
disahkan oleh DPR dan Pemerintah kepada stakeholders di seluruh Indonesia.
4. Memfasilitasi gerakan koperasi dan UMKM menyesesuaikan dengan Undang-
undang Koperasi da Undang-undang UMKM yang baru.
5. Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan Undang-undang Koperasi dan
Undang-undang UMKM yang telah disahkan Hasil dari program legislasi tersebut
adalah diberlakukannya UU No. 17 tahun 2012 sebagai pengganti dari UU No.25
tahun 1992.
Selain itu, Sesuai dengan Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (
Permen KUKM ) NOMOR : 02/Per/M.KUKM/IV/2012 tentang Penggunaan Lambang
Koperasi Indonesia , maka mulai tanggal 17 April 2012 telah terjadi penggantian lambang
koperasi. Pada Pasal 2 tertulis bahwa : "Bagi Gerakan Koperasi diseluruh Indonesia agar
segera menyesuaikan penggunaan lambang koperasi Indonesia, sebagaimana pada Lampiran
Peraturan Menteri ini."
Pada Pasal 3 tertulis : "Bagi koperasi yang masih memiliki kop surat dan tatalaksana
administrasi lainnya dengan menggunakan lambang koperasi Indonesia yang lama, diberi
kesempatan selambat-lambatnya pada tanggal 12 Juli 2012 telah menyesuaikan dengan

37
lambang koperasi Indonesia yang baru." Dan pada pasal 6 tertulis bahwa : "Dengan
dikeluarkannya Peraturan Menteri ini maka Lambang Koperasi yang lama dinyatakan tidak
berlaku."

2.3 Tantangan Yang Dihadapi Perkoperasian di Indonesia


Dengan semakin berkembanganya perekonomian menuju kearah globalisasi ekonomi
seperti dengan adanya MEA, maka tantangan yang dihadapi antara lain:
1. Hilangnya pasar produk ekspor kita karena kalah bersaing karena harga dan
kualitas produk kita kalah dibanding Negara lain di Asean
2. Semakin banyaknya produk impor di pasaran dalam negeri yang akan mematikan
usaha di Negara kita, contohnya saja Koperasi yang semakin harus dapat bersaing
3. Masuknya SDM dari Negara lain yang mungkin lebih berkualitas, yang akan
menggusur tenaga keja dalam negeri
Dengan semakin tingginya peluang Koperasi yang semakin banyak dan berjalan
dengan baik di Indonesia. Banyak pula masalah/tantangan yang dihadapi oleh Koperasi di
Indonesia memang masih belum terselesaikan, apalagi dengan munculnya MEA. Seperti
diantaranya :
1. Lemahnya kelembagaan koperasi
2. Lemahnya modal internal koperasi
3. Kurangnya inovasi dalam bisnis koperasi dan lambannya pemanfaatan IT
4. Lemahnya kualitas SDM dan kurangnya profesionalisme di Koperasi
Setelah dilihat diatas, dengan semakin banyaknya masalah yang dihadapi oleh
koperasi, maka koperasi harus melakukan peningkatan daya saing untukn menghadapi MEA,
yaitu dari segi organisasi koperasi itu sendiri, bisnis koperasinya, dan juga Sumber Daya
Manusianya. Jika dilihat dari Organisasi Koperasi itu bisa dilakukan diantaranya :
1. Memperkuat idiologisasi koperasi pada anggota
2. Penguatan kelembagaan koperasi sebagai entitas bisnis modern
3. Membangun kultur kreatif, inovatif dan nilai tambah damlam kerangka
meningkatkan daya saing koperasi
4. Memperkuat jaringan kemitraan koperasi dengan stake holder
Jika dilihat dari segi Bisnis Koperasinya, diantaranya :

38
1. Peningkatan modal sendiri berdasar skala ekonomi yang layak
2. Penerapan IT.
3. Kemitraan dengan pelaku bisnis lain
Jika dilihat dari segi Sumber Daya Manusia nya,antaralain :
1. Peningkatan kualitas SDM koperasi
2. Pengembangan system kompensasi yang menarik
3. Profesionalisasi manajemen
4. Pengukuran kinerja SDM yang unggul
Peran pemerintah dalam melakukan pembinaan pada koperasi juga berperan penting
agar menciptakan koperasi yang bisa semakin berkembang dalam MEA. Pemerintah
merupakan aktor utama bagi perkembangan koperasi, karena kebijakan-kebijakan yang
dilakukan harus pro rakyat dan demi kesejahteraan rakyat Indonesia semata jangan
menguntungkan bagi bangsa lain. Disamping itu pemerintah juga harus membantu dana
dalam mengembangkan koperasi, tetapi tidak hanya memberikan dana saja, pemerintah harus
mengontrol pengguanaan dana tersebut. Selain cara-cara diatasakan menjadi lebih baik dan
efektif lagi bila diadakan program penelitian dan pengembangan koperasi.
1. Peningkatan kegiatan penelitian dan pengembangan, yang meliputi seluruh
aspek pengembangan perkoperasian melalui pendekatan interdisipliner dan
lintas sektoral yang terkoordinasi dan terintegrasi.
2. Pengkajian dan perumusan pengetahuan perkoperasian dalam rangka
penyusunan keilmuan koperasi, sebagai bahan pengajaran ilmu koperasi
dalam pendidikan formal.
3. Meningkatkan kegiatan penelitian dan pengembangan perkoperasian untuk
memberikan masukan yang diperlukan bagi penyusunan pola pengembangan
koperasi serta persiapan langkah-langkah bagi usaha membangun koperasi.
4. Mengembangkan berbagai pola dan perangkat pembangunan koperasi baik
perangkat lunak maupun perangkat keras, yang meliputi aspek-aspek
manajemen personil, permodalan dan perkreditan, produksi serta pemasaran.
5. Mengkaji proyek rintisan/percontohan dalam rangka memperoleh sistem dan
peralatan teknis yang belum dijadikan pola atau sistem operasional.

39
6. Mengembangkan pusat dokumentasi ilmiah dan informasi perkoperasian
yang didukung oleh sistem dan jaringan informasi yang menyeluruh dan
terpadu, guna memonitor dan mengevaluasi berbagai perkembangan
pembangunan koperasi serta dampak sosial ekonomi yang ditimbulkannya.
7. Meningkatkan kerjasama koperasi dengan lembaga-lembaga pendidikan,
penelitian, pengembangan dan pengkajian baik di lingkungan pemerintah
maupun swasta.

2.4 Kebijakan – Kebijakan Yang Dibuat Untuk Koperasi di Indonesia


Implementasi kebijakan Otonomi Daerah berdasarkan UU 22/1999 tentang
Pemerintahan Daerah telah membawa paradigma baru dalam penyelenggaraan
pemerintahan di daerah serta dalam hubungan antara Pusat dengan Daerah.Kebijakan
Otonomi Daerah memberikan kewenangan yang luas kepada Daerah untuk mengurus dan
mengatur kepentingan masyarakatnya atas prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undang yang berlaku.
Dalam rangka implementasi kebijakan Otonomi Daerah, pembinaan terhadap
kelompok usaha kecil, menengah dan koperasi perlu menjadi perhatian. Pembinaan
terhadap kelompok usaha kecil, menengah dan koperasi bukan hanya menjadi tanggung
jawab Pusat tetapi juga menjadi kewajiban dan tanggung jawab Daerah untuk
mengembangkan koperasi menjadi makin maju, makin mandiri, dan makin berakar dalam
masyarakat, serta menjadi badan usaha yang sehat dan mampu berperan di semua bidang
usaha, terutama dalam kehidupan ekonomi rakyat, dalam upaya mewujudkan demokrasi
ekonomi berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Untuk itu, maka pembangunan koperasi
diselenggarakan melalui peningkatan kemampuan organisasi, manajemen,
kewiraswastaan, dan permodalan dengan di dukung oleh peningkatan jiwa dan semangat
berkoperasi menuju pemantapan perannya sebagai sokoguru perekonomian nasional.
Dengan UU 22/1999 pemberian otonomi kepada Daerah Kabupaten dan Daerah
Kota didasarkan kepada azas desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang luas, nyata
dan bertanggung jawab.Daerah memiliki kewenangan yang mencakup kewenangan
dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar
negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, dan agama.Dengan

40
demikian daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakatnya menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Jadi UU Nomor 22 Tahun 1999 memberikan hak kepada daerah berupa
kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya.Pengaturan dan
pengurusan kepentingan masyarakat tersebut merupakan prakarsa daerah sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dan bukan lagi merupakaninstruksi dari pusat.Sehingga
daerah dituntut untuk responsif dan akomodatif terhadap tuntutan dan aspirasi
masyarakatnya.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 ditetapkan kewenangan
Pemerintah (Pusat) di bidang perkoperasian yang meliputi :
1. Penetapan pedoman akuntansi koperasi dan pengusaha kecil menengah.
2. Penetapan pedoman tatacara penyertaan modal pada koperasi.
3. Fasilitasi pengembangan sistem distribusi bagi koperasi dan pengusaha kecil
dan menengah.
4. Fasilitasi kerjasama antar koperasi dan pengusaha kecil menengah serta
kerjasama dengan badan usaha lain.
Sedangkan selain kewenangan tersebut di atas menjadi kewenangan Daerah,
termasuk di dalamnya untuk pembinaan terhadap pengusaha kecil, menengah dan
koperasi.Sesuai dengan kewenangan Daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat termasuk di dalamnya kepentingan dari pengusaha kecil, menengah dan koperasi.
Implementasi undang-undang otonomi daerah, akan memberikan dampak positif
bagi koperasi dalam hal alokasi sumber daya alam dan pelayanan pembinaan lainnya. Namun
koperasi akan semakin menghadapi masalah yang lebih intensif dengan pemerintah daerah
dalam bentuk penempatan lokasi investasi dan skala kegiatan koperasi . Karena azas efisiensi
akan mendesak koperasi untuk membangun jaringan yang luas dan mungkin melampaui
batas daerah otonom. Peranan advokasi oleh gerakan koperasi untuk memberikan orientasi
kepada Pemerintah didaerah semakin penting. Dengan demikian peranan pemerintah di
tingkat Propinsi yang diserahi tugas untuk pengembangan koperasi harus mampu
menjalankan fungsi intermediasi semacam ini. Mungkin juga dalam hal lain yang berkaitan
dengan pemanfaatan infrastruktur daerah yang semula menjadi kewenangan pusat.

41
Peranan pengembangan sistem lembaga keuangan koperasi di tingkat
Kabupaten/Kota sebagai Daerah Otonomi menjadi sangat penting. Lembaga keuangan
Koperasi yang kokoh di Daerah Otonom akan dapat menjangkau lapisan bawah dari
Ekonomi Rakyat. Disamping itu juga akan mampu berperan menahan arus keluar Sumber
Keuangan Daerah. Berbagai studi menunjukan bahwa lembaga keuangan yang berbasis
daerah akan lebih mampu menahan arus kapital keluar.
Dukungan yang diperlukan bagi koperasi untuk mengha¬dapi berbagai rasionalisasi
adalah keberadaan lembaga jaminan kre¬dit bagi koperasi dan usaha kecil di daerah.
Dengan demi¬kian kehadiran lembaga jaminan akan menjadi elemen terpenting untuk
percepatan perkembangan koperasi di dae¬rah. Lembaga jaminan kredit yang dapat
dikembangkan Pemerintah Daerah akan dapat mendesentralisasi pengem¬bangan ekonomi
rakyat dan dalam jangka panjang akan menum-buhkan kemandirian daerah untuk
mengarahkan aliran uang di masing-masing daerah. Dalam jangka menengah kope¬rasi juga
perlu memikirkan asuransi bagi para penabung.
Potensi koperasi pada saat ini sudah mampu untuk memulai gerakan koperasi yang
otonom, namun fokus bisnis koperasi harus diarahkan pada ciri universalitas kebutuhan yang
tinggi seperti jasa keuangan, pelayanan infrastruktur serta pembelian bersama. Dengan
otonomi selain peluang untuk memanfaatkan potensi setempat juga terdapat potensi
benturan yang harus diselesaikan di tingkat daerah. Dalam hal ini konsolidasi potensi
keuangan, pengem¬bangan jaringan informasi serta pengembangan pusat inovasi dan
teknologi merupakan kebutuhan pendukung untuk kuat¬nya kehadiran koperasi. Pemerintah
di daerah dapat mendo¬rong pengem-bang¬an lembaga penjamin kredit di daerah.
UU No. 22 thn 1999 tentang otonomi daerah akan memberikan dampak positif bagi
koperasi dalam hal alokasi sumber daya alam dan pelayanan pembiayaan lainnya. Peranan
Dinas koperasi tingkat provinsi dan kabupaten / kota yang secara fungsional dan diserahi
untuk pengembangan koperasi harus mampu menjalankan fungsi intermediasi semacam ini.
Mungkin juga dalam hal lain yang berkaitan dengan pemanfaatan infrastruktur daerah yang
semula menjadi kewenangan instansi pusat.
Koperasi-koperasi sekunder di tingkat provinsi atau kabupaten/kota harus menjadi
barisan terdepan untuk merintis pembelian bersama,terutama untuk produk-produk yang
diimpor atau dibeli dari pabrik-pabrik dan perusahaan besar. Potensi koperasi pada saat ini

42
sudah mampu untuk memulai gerakan koperasi secara otonom, namun fokus bisnis koperasi
harus diarahkan pada ciri universalitas kenutuhan yang tinggi seperti jasa keuangan,
pelayanan infrastruktur serta pembelian bersama.Dengan otonomi selain peluang untuk
memanfaatkan potensi setempat juga terdapat potensi terjadinya benturan yang harus
diselesaikan di tingkat daerah.
Berdasarkan kepada PROPENAS (Program Pembangunan Nasional) 2000-2004
ditetapkan program pokok pembinaan usaha kecil menengah dan koperasi sebagai berikut:
1. Program penciptaan Iklim Usaha yang Kondusif.
Program ini bertujuan untuk membukan kesempatan berusaha seluas-luasnya,
serta menjamin kepastian usahan dengan memperhatikan kaidah efisiensi
ekonomi sebagai prasyarat untuk berkembangnya PKMK. Sedangkan sasaran
yang akan dicapai adalah menurunnya biaya transaksi dan meningkatnya skala
usaha PKMK dalam kegiatan ekonomi.
2. Program Peningkatan Akses kepada Sumber Daya Produktif.
Tujuan program ini adalah meningkatkan kemampuan PKMK dalam
memanfaatkan kesempatan yang terbuka dan potensi sumber daya, terutama
sumber daya lokal yang tersedia. Sedangkan sasarannya adalah tersedianya
lembaga pendukung untuk meningkatkan akses PKMK terhadap sumber daya
produktif, seperti SDM, modal, pasar, teknologi dan informasi.
3. Program Pengembangan Kewirausahaan dan PKMK Berkeunggulan Kompetitif.
Tujuannya untuk mengembangkan perilaku kewira-usahaan serta meningkatkan
daya saing UKMK. Sedangkan sasaran adalah meningkatnya pengetahuan serta
sikap wirausaha dan meningkatnya produktivitas PKMK.
Pola pembinaan terhadap koperasi dan usaha kecil menengah yang ditawarkan untuk
meningkatkan kapasitas dan daya saingnya dalam rangka Otonomi Daerah antara lain adalah
:
1. Pelaksana program-program pokok pengembangan UKMK yang telah diatur
di dalam Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) 2000-2004 yang
meliputi; Program Penciptaan Iklim Usaha yang Kondusif, Program
Peningkatan Akses kepada Sumber Daya Produktif, dan Program

43
Pengembangan Kewirausahaan dan PKMK Berkeunggulan Kompetitif secara
terpadu dan berkelanjutan.
2. Pelaksanaan program-program pengembangan UKMK yang disusun dengan
memperhatikan dan disesuaikan kondisi masing-masing Daerah, tuntutan,
aspirasi dan kepentingan masyarakat, serta kemampuan Daerah.
3. Keterpaduan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, masyarakat, lembaga
keuangan, lembaga akademik dan sebagainya dalam melakukan pembinaan
dan pengembangan koperasi dan usaha kecil menengah.
4. Pemberdayaan SDM aparatur Pemerintah Daerah agar mampu melaksanakan
proses pembinaan dan pengembangan terhadap koperasi dan usaha kecil
menengah.
5. Pengembangan pewilayahan produk unggulan sesuai potensi dan kemampuan
yang dimiliki dalam suatu wilayah bagi usaha kecil, menengah dan koperasi
dalama rangka meningkatkan daya saing.
6. Mensinergikan semua potensi yang ada di Daerah untuk meningkatkan
pengembangan usaha kecil, menengah dan koperasi sehingga mampu
memberikan kontribusi bagi pengembangan implentasi kebijakan Otonomi
Daerah.
7. Sosialisasi tentang kebijakan perekonomian nasional dalam rangka memasuki
era pasar bebas AFTA (ASEAN Free Trae Area), APEC ( Asia Pacific
Cooperation) dan WTO (World Trade Organization) kepada seluruh
kelompok usaha kecil, menengah dan koperasi.

44
BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dewasa ini, perkembangan koperasi di Indonesia terus berkembang. Perkembangan


tersebut ditandai dengan banyaknya pertumbuhan koperasi di Indonesia. Tetapi di dalam
perkembangan tersebut banyak terjadi hambatan-hambatan. Padahal Koperasi merupakan
lembaga ekonomi yang cocok diterapkan di Indonesia. Karena sifat masyarakatnya yang
kekeluargaan dan kegotongroyongan, sifat inilah yang sesuai dengan azas koperasi saat ini.
Bebarapa hambatan yang menghalangi perkemangan koperasi di Indonesia disebabkan oleh
beberapa factor diantaranaya adalah kurangnya partisipasi anggota, Sosialisasi koperasi
yang dinialai masih rendah. Yang ketiga adalah terkait dengan manajemen. Faktor
selanjutnya adalah dari segi permodalan dan factor lainnya.

Sedangkan terkait dengan perkembangan koperasi di Indonesia secara umum dibagi


menjadi lima garis waktu atau lima periode yaitu periode perkembangan koperasi sebelum
kemerdekaan, setelah kemerdekaan, masa demokrasi terpimpin, masa orde baru dan terakhir
era perkembangan koperasi pada masa pasca reformasi. Dengan munculnya MEA dan era
pasar persaingan bebas, menimbulkan tantangan dalam koperasi seperti, koperasi harus bisa
mengatasi permasalah terkait dengan, lemahnya kelembagaan koperasi, lemahnya modal
internal koperasi, Kurangnya inovasi dalam bisnis koperasi dan lambannya pemanfaatan IT
serta lemahnya kualitas SDM dan kurangnya profesionalisme di Koperasi.

3.2 Saran

Pemerintah sebagai pengambil dan pelaksana diharapkan ikut berperan aktif dalam
merumuskan kebijakan dan mengimplementasikan yang pro dan memberikan dampak yang
positif terhadap perkembangan koperasi di Indonesia.

45
DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, Riazuddin. 1964. Cooperative Movement in South East Asia Obstacles to


Development. Dalam Dr. Mauritz Bonow (Ed). The Role of Cooperatives in
Social and Economic Development. International Cooperative Alliance: London.

Entangsastra A. 1984. Pembangunan Koperasi (Teori dan Kenyataan). Alumni:Bandung.

Hendrojogi. 2002. Koperasi (Asas-asas, Teori dan Praktek. PT Raja Grafindo Persada:

Jakarta.

Ismangil, Wagiono. 1989. Koperasi Menatap Masa Depan, Beberapa Permasalahan


Managerial. Pidato Ilmiah Disampaikan Pada Lustrum ke VII Fakultas Ekonomi
Universitas Sriwijaya, Palembang 8 Januari 1989.

Koermen. 2002. Manajemen Koperasi Terapan, Prestasi Pustaka Publisher: Jakarta.

Masngudi. 1989. Peranan Koperasi Sebagai Lembaga Pengantar Keuangan. Tidak


diterbitkan. Disertasi Doktor pada Universitas Gajah Mada Yogyakarta.

Raka, I.G.Gde. 1983. Pengantar Pengetahuan Koperasi. Departemen Koperasi: Jakarta.

Sitio, Arifin, Halomoan Tamba. 2001. Koperasi Teori dan Praktik. Erlangga: Jakarta

Sumarsono, Sonny. 2003. Manajemen Koperasi. Teori dan Praktek. Jakarta: Graha Ilmu.

Undang-Undang No. 25 Tahun 1992. tentang Perkoperasian Indonesia.

46

Anda mungkin juga menyukai