Anda di halaman 1dari 26

TEMA FIKIH KONTEMPORER

PUTM PUTRA
2020

A. Identitas Matakuliah

Nama Matakuliah : Fikih Kontemporer

Perguruan Tinggi : PUTM

Bobot : 2 sks

Alokasi Waktu : 100 menit

Semester :V

B. Unsur-unsur Silabus

Fikih Kontemporer pada dasarnya adalah suatu cabang studi keislaman yang mengkaji masalah-
masalah baru (komtemporer) atau masalah lama yang mendapat respons baru daari sudut
pandang fikih. Sebagai demikian, studi Fikih Kontemporer menginterkoneksikan fikih dan
cabang ilmu lain terkait. Misalnya dalam masalah kedokteran, seperti euthanasia, studi Fikih
Kontemporer menginterkoneksikan bahan-bahan dari ilmu kedokteran dan lainnya dengan fikih,
d alam masalah E. Commerce menginterkoneksikan bahan-bahan dari ilmu ekonomi dengan
fikih, dan seterusnya. Pada level filosofi (paradigma), Fikih Kontemporer mengintegrasikan
antara sumber-sumber pengetahuan kewahyuan dan sumber pengetahuan empiris. Dengan
demikian pada level metodologi, analisis-analisis fikih tentang berbagai masalah kontemporer
mengadopsi metode-metode analisis empiris di samping metode fikih yang sudah ada yang
tercermin misalnya dalam analisis illat yang diangkat dari pengalaman empiris. Oleh karena itu
studi Fikih Kontemporer menginterkoneksikan bahkan mengintegrasikan pendekatan law in
book dan law in action. Dengan kata lain metode Fikih Kontemporer merupakan suatu metode
yang bersifat sui generis kum empiris. Ini berarti bahwa dalam strategi pembelajaran,
interkoneksi dengan beberapa bidang studi lain yang relevan dan pemaduan antara teori dan
penerapan menjadi hal yang sangat penting.
1. Deskripsi Matakuliah
Mata Kuliah Fikih Kontemporer pada hakikatnya merupakan penerapan dari pengetahuan yang
telah dimiliki mahasiswa di bidang fikih dalam upaya merespons berbagai masalah kontemporer
dari sudut pandang fikih, serta bertujuan untuk membangun kemampuan menjawab berbagai
masalah fikih kontemporer yang timbul dalam masyarakat. Untuk itu perkuliahan diarahkan
kepada analisis kasus-kasus aktual yang harus dikaji dan diteliti oleh mahasiswa dan dilaporkan
dalam sebuah makalah. Oleh karena itu kuliah diselenggarakan dengan metode seminar kelas di
mana mahasiswa menulis makalah secara berkelompok dan mendiskusikannya bersama teman
sekelas di bawah bimbingan dosen pengampu matakuliah.

Standar Kompetensi
Mahasiswa memiliki pengalaman dan sekaligus mampu menerapkan bekal pengetahuan fikih
yang telah dimiliki untuk menganalisis berbagai masalah fikih kontemporer dengan suatu
pendekatan yang memadukan antara pendekatan yang sui gteneris dan pendekatan empiris (sui
generis kum empiris).

1. HUKUM DEBT COLLECTOR


2. MENDAHULUKAN ZAKAT SEBELUM WAKTUNYA
3. JUAL BELI EMAS SECARA KREDIT
4. JUAL BELI EMAS SECARA ONLINE
5. HUKUM JUAL BELI DENGAN CARA DICICIL DI TOKO ONLINE DENGAN
BUNGA 0% (FITUR APLIKASI TOKO ONLINE SPT SHOPEE, LAZADA DLL)
6. HUKUM SHALAT JUMAT KURANG DARI 40 ORANG
7. AQIQAH YANG TERTUNDA KARENA COVID 19
8. SHALAT MEMAKAI MASKER
9. HUKUM MASUK ASN DENGAN SUAP
10. BISNIS FRANCHISE DAN HUKUMNYA
11. TRANSFUSI DARAH DAN HUKUM BISNIS STOK DARAH
12. TRANSPLANTASI ORGAN TUBUH
13. TRNSGENDER DAN HUKUM OPERASI KELAMIN
14. HKUM BISNIS DROPSHIPPING
15. NIKAH SIRRI
16. OPERASI PLASTIK
17. IMUNISASI MENURUT HUKUM ISLAM
18. HUKUM PENGOBATAN ALTERNATIF
19. ZAKAT FITR DENGAN NILAI MATA UANG
20. HUKUM MEMAKAI CADAR
21. Hk MENGGUNAKAN OBAT PENUNDA HAID UNTUK MENYEMPURNAKAN
PUASA RAMADHAN
22. FIKIH HADIAH DAN UNDIAN BERHADIAH
23. HUKUM MENGIRIM KARANGAN BUNGA
24. TIUP LILIN ULANG TAHUN
25. HYKUM PEGAWAI KERJA TIDAK BENAR PADAHAL DIGAJI
26. HUKUM WARIS BAYI DALAM KANDUNGAN
27. JENAZAH KORBAN WABAH (CORONA) TERMASUK SYAHID?
28. HUKUM GO PAY

SISTEMATIKA PENULISAN MAKALAH


1. PENDAHULUAN
2. RUMUSAN MASALAH
3. TUJUAN
4. TEORI
5. PEMBAHASAN
6. KESIMPULAN
NB:

1. Jumlah Thalabah 28
2. Tema sdh disediakan sesuai jumlah thalabah, sehingga pembagiannya kelas A tema
nomor 1 s.d. nomor 15, kemudian untuk kelas B nomor 16 s.d 28
3. Pemakalah setiap kali pertemuan 2 orang
SEBATAS BACAAN TAMBAHAN

METODE ISTINBAT FIQH KONTEMPORER

A. Prolog
Merupakan keniscayaan bahwa hukum yang baik itu diproses melalui pendekatan yang tepat
yang benar. Sebuah produk hukum dianggap representative dan menghadirkan ruh zaman bila
diawali dengan input data, proses hingga output dijalankan melalui mekanisme yang relevan.

Dunia muslim hari ini menurut sebagian kalangan dianggap miskin metodologi. Dampak
negatifnya adalah produk hukum yang merupakan ijtihadiyah para ulama masa lalu itu sekedar
hafal lalu kemudian diterapkan tanpa mampu melakukan kritik, modifikasi dan penyesuaian
dengan konsiderasi perubahan tempat dan zaman.

Euphoria masa lalu barangkali menjadi salah satu faktor yang melatarbelakangi sebagian umat
untuk mempertahankan status quo. Padahal ulama besar masa lalu sebenarnya telah mendobrak
pintu kejumudan. Aksi nyata itu dicontohkan adanya ijtihad fiqh iftiradhi. Fiqh pengandaian ini
sebenarnya pada waktu itu hanya ada dalam pikiran maya ulama dan belum layak menjadi
konsumsi masyarakat awam. Tetapi iftiradhiyyah mereka ternyata menjadi kenyataan dan produk
ijtihadiyahnya itu dapat dijadikan salah satu pertimbangan hukum.

Proses fantastik semacam ini barangkali sudah diinisiasikan ulama terdahulu dalam rangka
menjembatani persoalan umat untuk lebih dekat dengan solusi yang diharapkan. Karena itu,
‘peras’ pikir dan wacana menjadi dinamika mewarnai lembaran fuqaha masa lalu. Belum lagi
silang pendapat terjadi antara pemuka mazhab. Perbedaan saat itu sebuah kegairahan qalbu,
bukan hal tabu yang perlu disingkirkan. Debat pun menjadi tema dalam beragam persoalan umat
yang dibahas. Itu kenapa di satu sisi terasa ulama terdahulu lebih maju dibandingkan dengan
sekarang terutama dengan sikap keterbukaan, lapang dada, bersanding, berbagi dan seterusnya.

Kegairahan itu semua mendorong setiap individu untuk berpikir kembali bagaimana melakukan
ijtihadi intelektual dalam menjawab persoalan umat yang semakin mewacana terutama terkait
dengan persoalan hukum. Perumusan metodologi untuk recht finding (penemuan hukum) itu
keniscayaan yang tidak boleh ditawar-tawar lagi.

B. Metode Istinbat Hukum sebagai Sebuah Keniscayaan


Metode merupakan sebuah keniscayaan dalam menggapai out put hukum yang memiliki nilai-
nilai universal yang terungkap dalam rahmatan li al-‘alamin. Sebagai salah satu element penting
dalam sebuah produk ilmiah – setelah data, output- maka metode tidak boleh dikesampingkan
dalam pembahasan. Karena metode yang keliru akan mengakibatkan output yang keliru. Produk
hukum yang selama ini – yang seharusnya menenangkan masyarakat - sering meresahkan dan
menimbulkan pro-kontra yang tak berujung.

Problematika metodologis terhadap Hukum Islam sebenarnya sudah lahir sejak hukum itu
muncul yang kemudian mengkristal dengan berkembangnya mazhab hukum (school of law)
terutama empat yang terkenal: Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hanbali. Imam asy-Syafi’i, pioneer
mazhab yang kemudian dinisbahkan kepadanya dan memiliki penganut yang sangat banyak
terutama di kawasan Asia, termasuk Indonesia dan beberapa Negara di Timur Tengah, menurut
sebagian pendapat adalah sosok yang pertama kali memperkenalkan metodologi hukum Islam
melalui magnum opusnya “Ar-Risalah”.

Fiqh yang kemudian menjadi sebuah bidang ilmu yang independent mengalami proses
perkembangan yang dinamis sejalan dengan zaman. Fleksibelitas (kelunturan) fiqh ini bisa
dirujuk kepada kaidah seumpama al-hukm yaduru ma’al illah wujudan wa ‘adaman (hukum itu
terikat dengan illat (rasio legis) baik terkait dengan eksis atau non-eksisnya hukum).

Metode yang selama ini sering dibicarakan dan diskursus yang semakin hangat dibicarakan.
Selama ini, ada tiga metode fiqh yang muncul: bayani, burhani dan irfani. Sementara di sisi lain,
Usuli memperkenalkan tiga metode: bayani, ta’lili dan istislahi.

Pendekatan bayani lebih menekankan pada tataran semantik. Pendekatan pertama ini sering
biasanya bermain pada seputar ‘ibadah mahdhah.Namun pendekatan ini tentu tidak lagi memadai
ketika menyentuh permasalahan sosial kemasyarakatan dan problematika global. Untuk
meneruskannya sisi analisis ini ada yang memakai ta’lili dan istislahi dan ada juga burhani dan
‘irfani. Ta’lili adalah suatu pendekatan yang lebih menekankan pada adanya peran ‘illat (rasio
legis) dalam menentukan suatu hukum. Nass dalam pendekatan ini akan memberikan atsar
hukum selama ‘illat masih bekerja dalam konteks hukum yang sedang diijtihadi. Bila ‘illat tidak
ditemukan, maka dianggap tidak ada sesuatu yang menjadi ta’tsir al-hukum. Dengan demikian,
hukum sangat fleksibel dan berubah bila rasio legisnya berubah. Pendekatan ini menunjukkan
betapa fleksibelitas hukum Islam dalam merespon persoalan kontemporer. Hal ini tentu
mengingat al-nusus muntahiyyah wa walwaqa’i la tatanaha (nas terbatas sementara peristiwa
selalu muncul).

Ketika peristiwa tidak dapat dirujuk langsung kepada nass secara eksplisit, usuli memakai
metode istislahi. Metode ini pada tataran operasionalisasinya merujuk kepada nilai-nilai
universal yang dikandung sejumlah ayat sehingga dapat ditetapkan suatu benang merah yang
dimunculkan dalam menetapkan sebuah hukum. Atau dengan kata lain, penalaran untuk
menetapkan hukum Syara‘ atas sesuatu perbuatan berdasarkan kemaslahatan dengan
menggunakan ayat-ayat al-Qur’an atau Hadis mengandung konsep umum sebagai dalil
sandarannya. Dengan kata lain, kegiatan-kegiatan yang berupaya menetapkan hukum suatu
masalah atas dasar pertimbangan kemaslahatan karena tidak ada ayat al-Qur’an dan Hadis
khusus yang dapat digunakan.

Misalnya ayat-ayat yang menyuruh berlaku adil untuk menetapkan adanya kewajiban berbuat
adil pada semua keadaan; tidak boleh mencelakakan diri sendiri dan orang lain dalam keadaan
apapun karena ada ayat al-Qur’an dan Hadis umum yang menyatakan demikian; bahwa setiap
kesulitan pasti ada jalan keluar yang meringankannya; tujuan sesuatu peraturan adalah
kemaslahatan dan seterusnya. Biasanya, penalaran ini digunakan kalau masalah yang akan
ditakyīf (dikualifikasikan, diidentifikasi) tersebut tidak dapat dikembalikan kepada sesuatu ayat
al-Qur’an atau Hadis tertentu secara khusus. Dengan kata lain, tidak ada bandingannya yang
tepat dari peristiwa yang terjadi pada zaman Nabi yang bisa digunakan. Salah seorang ‘ulama’
yang berperan besar dalam perumusan teori ini adalah asy-Syātibī (w. 790 H/1388 M).

Menurut Khaled Mas’ud istilah maslahah dan maqasid asy-syari‘ah sebagai istilah-istilah yang
digunakan oleh asy-Syatibi dalam al-Muwafaqat secara bergantian, sedangkan istislahi
merupakan sinonim dengan maslahah. Istislahi dapat diungkapkan dalam dua bentuk, yaitu qasd
asy-Syari‘ dan qasd al-mukallaf.

Bila ketiga metode ini dapat diuraikan dengan baik sesuai dengan bahasa zamannya, maka hal
tersebut akan memberikan manfaat yang tidak sedikit terutama bagi para penuntut ilmu hukum
Islam baik pada strata – 1, 2 maupun 3.

Selama ini, hukum Islam banyak dipaksakan dengan metode tertentu tanpa melalui rasionalitas
pendekatan yang cukup. Karena itu, tidak jarang menghasilkan hukum yang tidak membumi,
‘aneh’, tidak relevan, bukan hukum yang hidup dan seterusnya.

Tidak dapat tidak, rujukan referensi yang representative mutlak diperlukan terutama dalam
bahasa Indonesia, di samping bahasa asing – guna memudahkan mahasiswa (i) untuk mendalami
telaahan sebagai ‘intro’ memasuki kajian dalam bahasa asing.

Alasan menggunakan tiga metode, bayani, ta’lili dan istislahi, bahwa burhani merupakan bagian
integral dari ta’lil sementara ‘irfani menjadi bagian dari istislahi. Istilah-istilah yang dipakai
Usuliyyun ini tentu tidak bermaksud ganda dari terma yang ada, namun dapat dikegorikan dalam
ikhtilaf al-lafzh wa al-ittihad al-ma’na.

C. Bayani dan Terapannya


Penalaran bayani adalah penalaran yang pada dasarnya bertumpu pada kaidah-kaidah kebahasaan
(semantik). Dalam Usul Fiqh, kaidah-kaidah ini telah dikembangkan sedemikian rupa dalam
pembahasan al-qawaid al-lughawiyah atau qawaid al-istinbat.

Penekanan lughawiyah lebih banyak merujuk kepada lafaz dari berbagai perspektif. Kajian
“lafaz” menurut Hanafiyyah dapat dilihat dari empat sisi yakni wad’i al-lafz (cakupan makna
lafal), isti’mal al-lafz fi al-ma’na (penggunaan lafal dalam kaitannya dengan makna), dilalat al-
lafz ‘ala al-ma’na bi hasb zuhur al-ma’na wa khafa’uh (indikasi lafal terkait dengan dhahir
tidaknya makna) serta kaifiyyah dilalat al-lafz ‘ala al-ma’na (sisi cara memahami maksud lafal).

Cakupan Makna

Menurut cakupan atas makna, lafal dapat dibagi menjadi ‘amm (umum), khass (khusus),
musytarak dan mu’awwal. Khass adalah lafaz yang digunakan untuk menunjukkan makna
singular yang sifatnya definit, baik terkait dengan materi tertentu seperti ism ‘alam, atau genus,
bilangan tertentu dan seterusnya.

Makna khass menunjukkan sesuatu yang pasti dan menyakinkan, artinya tidak membuka multi
tafsir atau cakupannya amat terbatas. Khass dapat diungkapkan dalam sighat (bentuk lafal)
mutlak, muqayyad, ‘amr (perintah) dan nahy (larangan).

Sementara ‘al-‘am menurut usuli adalah lafal yang mencakup semua unsur yang memungkinkan
ke dalamnya. “ Umum” empat macam: pertama, lafal jamak seperti muslimin, al-rijal dan
seterusnya. Kedua, lafal jenis seperti manusia, wanita, onta dan lainnya. Ketiga, lafal mubhamah
(menunjukkan makna samar) seperti: “barangsiapa”, lafal syarat dan seterusnya. Keempat, ism
mufrad (benda tunggal) yang diawali dengan alif dan lam seperti al-insan, as-sariq dan lainnya.

“Musytarak” bermakna lafal yang memiliki lebih dari satu makna seperti ‘ayn (mata) bermakna
mata, mata-mata, matahari, barang dagangan dan emas. Selanjutnya muawwal: makna yang
lebih kuat dari sejumlah makna lainnya dari suatu lafal dengan mendasarkan pada ra’y atau
ijtihad. Kata yg rajih unt diambil dari arti2 kata musytarak.

Suami mengatakan ke istrinya: “kamu ba ‘in”. Bisa berarti: talak ba ‘in atau pisah tubuh saja. Jk
suami memang ingin mentalak maka jatuhlah talak bainunah. Namun jk tdk mk artinya pisah
jasad saja.

Penggunaan Lafal

Menurut “penggunaannya dalam mempengaruhi makna, lafal dapat dibagi menjadi hakikat,
majaz, sarih dan kinayah. “Hakikat” maksudnya lafal yang dipahami makna aslinya.
D. Ta’lili dan Terapannya

Penalaran ta’lili adalah penalaran yang berusaha melihat apa yang melatarbelakangi sesuatu
ketentuan dalam al-Quran atau hadis (ratio legis) dari sesatu peraturan

E. Istislahi dan Terapannya

Penalaran istislahi merujuk pada pengkajian maqasid asy-Syari‘ah (tujuan Syari’at) yang
dibedakan menjadi dua, yaitu maqasid asy-Syari‘ dan maqasid al-mukallaf. Maqasid asy-Syari‘
yang pokok adalah terwujudnya maslahah. Sedangkan maqasid mukallaf adalah apa yang
menjadi kepentingannya dan itu sah sepanjang sesuai dengan maqasid asy-Syari‘ dan tidak
membawa kerugian kepada orang lain.

Untuk memudahkan penggunaan pendekatan tersebut, Al Yasa’ Abubakar berusaha menyusun


langkah-langkah tersebut sebagai berikut:

a. Mengidentifikasi suatu masalah yang hendak diisitinbat hukumnya. Yang harus diperhatikan
dalam tahap awal adalah apakah ada nass khusus yang membicarakan tentang masalah itu atau
tidak.

b. Kalau tidak mendapatkan nass khusus, maka penalaran istislahi dapat digunakan untuk
mengistinbat hukum dari masalah tersebut. Misalkan saja hukum transfusi darah, yang belum ada
nass khusus membicarakannya.

c. Selanjutnya, mengumpulkan nash baik ayat al-Qur’an maupun Hadis dari berbagai aghrād
(sasaran) yang melahirkan suatu prinsip umum. Misalnya ayat dan Hadis yang menjelaskan
tentang saling bantu membantu dalam hal kebaikan.

d. Mengklasifikannya aghrad tersebut sebagaimana disebutkan asy-Syatibi supaya lebih


sistematis, misalnya dimulai dari amr (perintah) tentang "tolong menolong." Firman Allah dalam
al-Ma’idah (5) : 2

G9$#ur ( Ÿwur (#qçRur$yès? ’n?tã ÉOøOM}$# Èbºurô‰ãèø9$#ur 4)qçRur$yès?ur ’n?tã ÎhŽÉ9ø9$# 3“uqø#( ¢

...dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran...

Ayat di atas menunjukkan tentang "ganjaran bagi yang melaksanakannya:"


Firman Allah dalam al-Ma’idah (5): 32:

ô`tBur $yd$uŠômr& !$uK¯Rr'x6sù $uŠômr& }¨$¨Y9$# $Yè‹ÏJy_ 4

…dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah dia telah
memelihara kehidupan manusia semuanya…

Ayat di atas menunjukkan "ganjaran lain dengan melipatgandakan kebaikan yang diperbuat:”

Firman Allah dalam Q. al-Isra’ (17): 70

ô‰s)s9ur $oYøB§x. ûÓÍ_t/ tPyŠ#uä öNßg»oYù=uHxqur ’Îû ÎhŽy9ø9$# ̍óst7ø9$#ur Nßg»oYø%y—u‘ur šÆÏiB *
ÏM»t7ÍhŠ©Ü9$# óOßg»uZù=žÒsùur 4’n?tã 9ŽÏVŸ2 ô`£JÏiB $oYø)n=yz WxŠÅÒøÿs? ÇÐÉÈ

70. dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan[862],
Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas
kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.

[862] Maksudnya: Allah memudahkan bagi anak Adam pengangkutan-pengangkutan di daratan dan di lautan untuk
memperoleh penghidupan.

”:Ayat di atas menunjukkan "manusia sebagai makhluk yang mulia baik jiwa maupun raganya

Firman Allah dalam Q. al-Ma’idah (5): 32

_tB Ÿ@tFs% $G¡øÿtR ΎötóÎ/ C§øÿtR ÷rr& 7Š$|¡sù ’Îû ÇÚö‘F{$# $yJ¯Rr'x6sù Ÿ@tFs% }¨$¨Z9$# $Yè‹ÏJy`
barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan Karena orang itu (membunuh) orang …
lain, atau bukan Karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan dia Telah
.…membunuh manusia seluruhnya

Ayat di atas juga menunjukkan akan “siksaan bagi pelaku kejahatan di atas” demikian
.seterusnya

e. Secara induksi diambil kesimpulan sebagai kandungan pokok dari dalil-dalil nass tersebut
bahwa "menolong orang lain dalam hal ini berupa penyelamatan jiwanya" melalui dalil yang
.bermacam-macam aghrad itu menunjukkan sebagai sesuatu perkara yang diperintahkan Allah

f. Prinsip umum tersebut diaplikasikan pada masalah yang diteliti. Berdasarkan kriteria-kriteria
daruriyyah, hajiyyah atau tahsiniyyah telah disebutkan di atas, masalah yang dengan barometer
.prinsip umum itu berada pada tingkatan apa, apakah daruri, haji ataukah tahsini
g. Bila masalah tersebut bisa mempengaruhi salah satu dari al-daruriyyat al-khamsah secara
langsung maka ia berada pada tingkatan daruri . Dalam prinsip umum di atas, yaitu membantu
orang lain dengan menyelamatkan jiwanya, dimisalkan orang yang luka parah akibat kecelakaan,
menurut tim medis dalam waktu yang tidak begitu lama akan mengakibatkan fatal terhadap
orang tersebut. Tranfusi darah dalam kondisi ini dapat berada pada tingkatan daruri. Karena
kalau tidak, maka dapat membinasakan nafs (jiwa). Ilmu-ilmu penunjang dalam hal ini sangat
dibutuhkan untuk dapat memposisikan masalah tersebut pada tingkatan kemaslahatan yang lebih
akurat. Dalam contoh di atas, misalnya, dibutuhkan ilmu kedokteran dan ilmu medis lainnya
.yang berhubungan erat dengan permasalahan tersebut

h. Bila hal itu tidak dipenuhi maka akan menyulitkan manusia, tapi tidak sampai berakibat fatal,
maka digolongkan ke dalam hajiyyah . Dalam contoh di atas, orang yang ditimpa kecelakaan
tersebut tidak mengalami luka parah. Menurut tim medis, orang tersebut membutuhkan donor
darah sebagai pengganti darah yang tercecer akibat kecelakaan. Kalau tidak, orang tersebut
mengalami kesulitan untuk kembali ke kondisi normal. Maka transfusi darah dapat digolongkan
.pada tingkatan hajiyyah

i. Bila hal tersebut tidak dipenuhi terasa kurang baik atau dengan kata lain termasuk (perhiasan
dan kemuliaan akhlak /tazyiin wa makarim al-akhlaq), maka digolongkan ke dalam tahsini . Dari
contoh di atas, orang yang mengalami kecelakaan tersebut, menurut tim medis, akan lebih baik
bila disiapkan darah tambahan karena pada kondisi tertentu harus dilakukan donor. Untuk
menentukan ketiga tingkatan tersebut dalam kasus yang dicontohkan itu harus dibantu oleh ilmu-
.ilmu yang terkait

Melalui penalaran al-Syatibi, masalah yang diteliti diistinbatkan hukumnya sesuai dengan
tingkatan kemaslahatan tersebut. Di samping itu juga dijelaskan sebab terjadi perbedaan hukum
antara ketiga tingkatan kemaslahatan itu serta implikasinya bagi masyarakat. Artinya, bagaimana
masyarakat harus bersikap terhadap sebuah kasus yang berada pada tingkatan daruriyyah,
.hajiyah dan tahsiniyyah

Syaral-Syarat Mashlahah Mursalah

Mashlahah mursalah mempunyai persyaratan yang jelas untuk dijadikan sebagai proses

istinbâth hukum:

1. Mashlahah ini tidak berbenturan dengan dalil nash maupun ijmâ’. [Al-Syinqîthî, Al-Mashâlih

al-Mursalah, hlm., 21].


2. Mashlahah ini keberadaannya harus berpijak pada pemeliharaan maqâshid syarî’ah.

[Ibn Taimiyyah, Majmû’ al-Fatâwa, Juz XI, hlm., 343].

3. Sebuah kemashlahatan tidak dapat mengubah ketetapan hukum yang sudah ada yakni dalam

dalil nash dan ijmâ’, seperti menjalankan kewajiban, mengharamkan sesuatu yang haram,

sanksi hukum. Muhammad bin Abu Bakar bin Qayyim al-Jauziyah Abu Abdullah, Ighatsah

al-Lahfân min Mashâyid al-Syaithôn (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, tt.),I: 330.

4. Sebuah kemashlahatan tidak dapat berbenturan dengan kemashlahatan lain yang lebih
unggul dan kuat keberadaannya. [Asy-Syinqîthî, Al-Mashâlih al-Mursalah, hlm., 21].

Sedangkan menurut syaikh Wahbah al-Zuhaili syaral-syarat mashlahah mursalah adalah:


[Wahbah al-Zuhaili, Al-Wajîz fi Ushul Fiqh, hlm., 94-95].

1. Mashlahah mursalah harus berkesesuaian dengan maqâshid syarî’ah sehingga tidak

menghilangkan keberadaan dalil nash maupun ijmâ’ yang bersifat qath’î. Dan juga

berkesesuaian dengan mashlahah yang telah ditunjukkan keberadaannya oleh Allah dan

RasulNya. Kemashlahatan yang diambil sebagai hukum itu sifatnya tidak aneh maupun

mengada-ada. Maka keberadaan mashlahah yang mempunyai sifat mengada-ada dan tidak

jelas maksudnya harus ditolak. Seperti seorang yang kaya raya menyetubuhi istrinya di siang

hari bulan ramadhan, maka dia harus puasa dua bulan berturut-turut dan tidak ada alasan

demi kemashlahatan kemudian dia mengganti puasanya dengan memerdekakan budak.

2. Mashlahah mursalah harus rasional. Yakni ketika dihadapkan dengan akal, maka akalpun bisa

menerimanya yakni dengan mendatangkan manfaat dan menolak kerusakan, seperti: saat
ingin mengajukan perjanjian kredit dalam perekonomian perbankan harus diadakan survey

rumah tinggal, pekerjaan dan penghasilan bulanan, hal ini adalah untuk menghindari adanya

penipuan, sehingga perjanjian yang dilakukan mendatangkan manfaat bagi kedua belah pihak

dan menjauhkan dari kemadharatan.

3. Mashlahah mursalah harus universal. Yakni harus mencakup semua kalangan umat Islam tidak

boleh hanya untuk kepentingan sebagian orang. Karena syarî’ah Islam datang demi

kepentingan seluruh umat dan tidak membeda-bedakan jenis rasa, suku, bangsa dan agama.

Seperti memberikan perlakuan khusus bagi orang dari suku X karena dia satu suku dengan

presidennya, gubernurnya, menterinya dan sebagainya, hal ini tidak dapat disebut sebagai

mashlahah.

Contoh Pelaksanaan Mashlahah Mursalah

1. Pemberian upah minimum bagi pekerja sektor riil. Ketika melihat pada nash, maka tidak

dijumpai nash yang menunjukkan pada hukum masalah, al-Qur’ân dan al-sunnah tidak

memberi perintah kepada masalah ini, tetapi hal ini menjadi kebutuhan penting bagi para

pekerja sektor riil seperti pekerja pabrik, karyawan supermarket dan sebagainya yang bekerja

selama delapan jam lebih, dan mereka berhak mendapatkan upah yang layak untuk

mencukupi kebutuhan makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal. Sehingga negara

dalam hal ini pemerintah Republik Indonesia wajib memberikan upah minimum yang layak

bagi para pekerja tersebut, demi kemashlahatan atas kehidupannya.

2. Memasang rambu-rambu lalu lintas, lampu isyarat, lampu penerangan jalan, dalam nash tidak

dijumpai adanya perintah ini, tetapi demi kemashlahatan dan kenyamanan pengendara
kendaraan maka harus dipasang rambu-rambu lalu lintas tersebut dan demi menghindari

kerusakan, seperti kecelakaan, perampokan dan sebagainya.

3. Membuat kartu tanda penduduk, paspor, surat nikah sebagai identitas dari seseorang,

kemashlahatannya adalah untuk mengetahui identitas yang jelas dari pemegang surat tersebut

demi keberlangsungan hidup, hal ini juga demi menghindari kerusakan misalnya saat

seseorang tersesat dijalan dan tidak mempunyai identitas sama sekali maka akan menyulitkan

bagi orang lain untuk memberi tahu dimana keberadaannya (walaupun hal ini bisa

diumumkan melalui media audio visual).

4. Memberikan hukuman mati dan hukuman potong tangan bagi terpidana Koruptor mempunyai

arti penting dalam prespektif mashlahah mursalah, karena hal ini memberikan nilai manfaat

yang lebih dalam rangka menjaga kewibawaan maqâshid syari’âh yakni memelihara harta,

sehingga memberikan efek jera yang luar biasa kepada masyarakat untuk melakukan

tindakan preventif dari melakukan tindak pidana korupsi.

Penutup

Mashlahah mursalah menurut istilah ulama ushul adalah kemashlahatan yang secara

syara’ tidak dibuatkan hukum dalam mewujudkannya, keberadaannya dikarenakan ketidakadaan

dalil syara yang menunjukan dianggap atau tidaknya kemashlahatan itu. Seperti kemashlahatan

yang diharapkan oleh para sahabat dalam menetapkan penjara, percetakaan uang, tanah pertanian

hasil penaklukan para sahabat ditetapkan sebagai pemiliknya dengan berkewajiban membayar

pajak. Hal ini menunjukkan bahwa penetapan suatu hukum itu tidak lain kecuali untuk

menerapkan nilai kemashlahatan umat manusia, yang berupa menarik suatu manfaat, menolak
bahaya atau menghilangkan kesulitan umat manusia. Artinya kemashlahatan inilah yang

dijadikan acuan syara’ dalam menetapkan hukum dan menjadi illat dalam penetapannya. Seperti:

hukum pidana qishash sebab pembunuhnya yang disengaja wajib diberlakukan demi menjaga

kehidupan manusia. Dengan demikian, mashlahah mursalah muncul karena dituntut oleh

lingkungan, realitas kehidupan dan hal-hal baru setelah ketiadaan nash yang menerapkan dalam

suatu hukum.

Tujuan awal dari penerapan syarî’ah Islam adalah untuk mewujudkan serta menjaga

kemaslahatan manusia dalam berbagai aspek kehidupan. Dan Maslahah sendiri terbagi menjadi

tiga bagian, yaitu mashâlih mu’tabarah, mashâlih mulghah dan mashâlih mursalah.

Mashlahah mursalah ini sebagai proses istinbâth hukum yang dibenarkan keberadannnya

oleh para ulama meskipun ada perbedaan dalam penamaannya, ada yang menamakan mashlahah

mursalah dan ada yang menamakannya qiyâs. Mashlahah mursalah bisa kita interpretasikan

sebagai upaya untuk mengambil manfaat dan menghilangkan mafsadat dengan tetap berpijak

pada maqâshid syarî’ah melalui pendekatan rasional yang akan menghasilkan produk hukum

untuk dijadikan undang-undang dalam merespon permasalahan yang berkembang disebabkan

pergeseran situasi, kondisi dan waktu. Para ulama sepakat bahwa mashalihul mursalah tidak

boleh diterapkan pada aspek ibadah yang sudah final.

Konsep mashlahah ini perlu diberikan derajat dan posisinya menjadi metode sentral ushul

fiqih. Hal ini dikarenakan semua bentuk pemahaman terhadap nash juga didasarkan pada

dimensi maslahah, yakni mendatangkan nilai kemanfaatan dan/ atau menghindarkan

kemafsadatan (Jalb al-Mashâlih wa Dar’u al-Mafâsid), dan apabila kita melihat pada kaidah
fiqihiyyah al-kulliyyyat al-khamsah, dapat diringkas dalam jalb al-mashâlih (menggali atau

mendatangkan kemaslahatan).

Daftar Pustaka

Departemen Agama RI. Al-Qur’ân dan Terjemahannya Surabaya: PT Mahkota, 2004.

Abdulkarîm Zaidân, Al-Wajîz fi Ushul Fiqh Baghdad: Muassasah Qurthûba, 1976.

Abu al-Thayyîb Muhammad Syams al-Haqq, Awn al-Ma’bad Syarh Sunan Abu Dawud
Beirut: Dâr al-Fikr, 1399.

Al-Jurjânî Muhammad, al-Ta‘rîfât, Jeddah: al-Haramain, t.t

Amidy, Ali bin Muhammad al-, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm Beirut: Dâr Al-Kutub
al-‘Arabi, 1984.

Bukhari, Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah al-, Shahih Bukhari Beirut: Dâr Ibn Katsîr,
1407.

Ibn al-Qayyim, Muhammad bin Abu Bakar al-Jauziyah Abu Abdullah,


- Ighôtsah al-Lahfân min Mashâyid al-Syaithôn Beirut: Dâr al-Ma’rifah, tt.
- I’lam al-Muwaqqi’în ‘an Rabb al-‘Âlamîn Beirut: Dâr al-Jail, tt.

Ibn al-Najjâr, Muhammad bin Ahmad bin Abdul Azîz, Syarh al-Kaukâb al-Munîr Mekkah:
Markâz al-Bahts al-‘Ilmi Jâmi’ah Umm al-Qura’, tt.

Ibn ’Âsyûr, Muhammad Thâhir, Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah Beirut: Muassasah


Fuâd, 2004.

Ibn Hazm Muhammad bin Muhammad al-Zhâhirî, Al-Ihkâm fi Ushûl al-Ahkâm Beirut: Dâr
al-Kutub al-‘Ilmiyah, tt.

Ibn Manzhur, Muhammad bin Mukrim, Lisân al-‘Arab Beirut: Dâr Shadr, tt.

Ibn Qudâmah Abdullah bin Ahmad al-Muqaddasi, Raudhah al-Nâzhir wa Jannat al-
Munâzhir Riyadl: Universitas Muhammad bin Sa’ûd, 1399.
Ibn Taimiyyah, Ahmad bin Abdul Halîm, Majmû’ al-Fatâwa Mekkah: Maktabah al-
Nahdlah al-Hadîts, 1404.

Muslim Abu Husain, Hajjaj al-Qusyairy al-Naisabury, Shahih Muslim Kairo: Dâr Ali al-
Kutub, 1996.

Qarâfî, Ahmad bin Idrîs bin Abdurrahmân ash-Shonhajî Syihâbuddîn al-, Anwâr al-Burûq
fî Anwâi al-Furûq Beirut: ‘Âlim al-Kutub, tt.
Qurthûbi, Muhammad Bin Ahmad Abu Abdullah al-, Al-Jami’ li Ahkâm al-Qur’ân Beirut:
Dâr Ihya’ al-Turâts, tt.

Syâtibi, Ibrahîm bin Mûsa Abu Ishâq al-, Al-I’tishâm Beirut: Dâr al-Ma’rifah, tt.

Sulaimân bin Abdulqawî bin Abdulkarim Najâmuddîn Al-Thûfî, Syarh al-Arba’în nawawi
Kairo: Dâr al-Fikr al-’Arabî, 1945.

Syinqîthî, Muhammad al-Amîn al-, Al-Mashâlih al-Mursalah Madinah: Markaz Syuûn al-
Da’wah bi al-Jâmi’ah al-Islâmiyyah, 1410.

Wahbah Zuhaili, Al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh Beirut: Dâr al-Fikr, 1999.

http://fahruddinas.blogspot.co.id/2011/02/konsep-mashlahah-mursalah-sebagai.html - _ftnref1
Secara bahasa, kata istinbâth (‫ )استـنـباط‬berarti mengambil air dari sumber mata air. Adapun
menurut istilah syara‘, ialah menggali dan menetapkan hukum berdasarkan pengertian yang
dipetik dari nash dengan mengerahkan segala kemampuan dan kesungguhan. Lihat: Muhammad
al-Jurjânî, al-Ta‘rîfât (Jeddah: al-Haramain, t.t), hlm, 22.

http://fahruddinas.blogspot.co.id/2011/02/konsep-mashlahah-mursalah-sebagai.html -
_ftnref2 Muhammad bin Mukim Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab (Beirut: Dâr Shadr, tt.), Juz IV,
hlm., 2479.

http://fahruddinas.blogspot.co.id/2011/02/konsep-mashlahah-mursalah-sebagai.html -
_ftnref3 Ibrahîm bin Mûsa Abu Ishâq al-Syâtibi, Al-I’tishâm (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, tt.), juz II,
hlm., 113.

Muhammad Thâhir bin ’Âsyûr, Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah (Beirut: Muassasah


Fuâd, 2004), Juz II, hlm., 297.
http://fahruddinas.blogspot.co.id/2011/02/konsep-mashlahah-mursalah-sebagai.html -
_ftnref5 Sulaimân bin Abdulqawî bin Abdulkarim Najâmuddîn Al-Thûfî, Syarh al-Arba’în
nawawi (Kairo: Dâr al-Fikr al-’Arabî, 1945), hlm., 18.

http://fahruddinas.blogspot.co.id/2011/02/konsep-mashlahah-mursalah-sebagai.html -
_ftnref6 Muhammad bin Abu Bakar bin al-Qayyim al-Jauziyah Abu Abdullah, I’lam al-
Muwaqqi’în ‘an Rabb al-‘Âlamîn (Beirut: Dâr al-Jail, tt.), Juz III, hlm., 3. Lihat: Ahmad bin
Abdul Halîm Ibn Taimiyyah, Majmû’ al-Fatâwa (Mekkah: Maktabah al-Nahdlah al-Hadîts,
1404), Juz XI, hlm., 344, 345.

http://fahruddinas.blogspot.co.id/2011/02/konsep-mashlahah-mursalah-sebagai.html -
_ftnref7 Abdullah bin Ahmad bin Qudâmah al-Muqaddasi, Raudhah al-Nâzhir wa Jannat al-
Munâzhir (Riyadl: Universitas Muhammad bin Sa’ûd, 1399), hlm., 165. Muhammad bin Ahmad
bin Abdul Azîz Ibn al-Najjâr, Syarh al-Kaukâb al-Munîr (Mekkah: Markâz al-Bahts al-‘Ilmi
Jamiah Umm al-Qura’, tt.), juz IV, hlm., 433.

http://fahruddinas.blogspot.co.id/2011/02/konsep-mashlahah-mursalah-sebagai.html -
_ftnref8 Wahbah Zuhaili, Al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh (Beirut: Dâr al-Fikr, 1999), hlm., 92-93.

http://fahruddinas.blogspot.co.id/2011/02/konsep-mashlahah-mursalah-sebagai.html -
_ftnref9 Abdulkarîm Zaidân, Al-Wajîz fi Ushul Fiqh (Baghdad: Muassasah Qurthûba, 1976),
hlm., 237.

http://fahruddinas.blogspot.co.id/2011/02/konsep-mashlahah-mursalah-sebagai.html -
_ftnref10 Ibid.

http://fahruddinas.blogspot.co.id/2011/02/konsep-mashlahah-mursalah-sebagai.html -
_ftnref11 Ahmad bin Idrîs bin Abdurrahmân ash-Shonhajî Syihâbuddîn al-Qarâfî, Anwâr al-
Burûq fî Anwâi al-Furûq (Beirut: ‘Âlim al-Kutub, tt.), Juz VII, hlm., 124.

http://fahruddinas.blogspot.co.id/2011/02/konsep-mashlahah-mursalah-sebagai.html -
_ftnref12 Ibn Taimiyyah, Majmû’ al-Fatâwa, Juz XI, hlm., 344.

http://fahruddinas.blogspot.co.id/2011/02/konsep-mashlahah-mursalah-sebagai.html -
_ftnref13 Muhammad bin Muhammad bin Hazm al-Zhâhirî, Al-Ihkâm fi Ushûl al-Ahkâm
(Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, tt.), Juz VIII, hlm., 583. lihat: Wahbah Zuhaili, Al-Wajîz fi
Ushul Fiqh, hlm., 93-94.

http://fahruddinas.blogspot.co.id/2011/02/konsep-mashlahah-mursalah-sebagai.html -
_ftnref14 Ali bin Muhammad al-Amidy, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm (Beirut: Dâr Al-Kutub
al-‘Arabi, 1984), Juz III, hlm., 134.
http://fahruddinas.blogspot.co.id/2011/02/konsep-mashlahah-mursalah-sebagai.html -
_ftnref15 lihat: Wahbah Zuhaili, Al-Wajîz fi Ushul Fiqh, hlm., 93-94.

http://fahruddinas.blogspot.co.id/2011/02/konsep-mashlahah-mursalah-sebagai.html -
_ftnref16 surat al-Hasyr: 2.

http://fahruddinas.blogspot.co.id/2011/02/konsep-mashlahah-mursalah-sebagai.html -
_ftnref17 Muhammad Bin Ahmad Abu Abdullah al-Qurthûbi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Qur’ân
(Beirut: Dâr Ihya’ al-Turâts, tt.), Juz XVIII, hlm., 5.

http://fahruddinas.blogspot.co.id/2011/02/konsep-mashlahah-mursalah-sebagai.html -
_ftnref18 surat al-Anbiyâ’: 107.

http://fahruddinas.blogspot.co.id/2011/02/konsep-mashlahah-mursalah-sebagai.html -
_ftnref19 surat al-Baqarah: 185.

http://fahruddinas.blogspot.co.id/2011/02/konsep-mashlahah-mursalah-sebagai.html -
_ftnref20 Abu Al-Thayyîb Muhammad Syams al-Haqq, Awn al-Ma’bad Syarh Sunan Abu
Dawud (Beirut: Dâr al-Fikr, 1399), Juz VI, hlm., 272.

Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah al-Bukhari, Shahih Bukhari (Beirut: Dâr Ibn Katsîr,
1407), Juz XIII, hlm., 318. Muslim Abu Husain, Hajjaj al-Qusyairy al-Naisabury, Shahih Muslim
(Kairo: Dâr Ali al-Kutub, 1996), Juz V, hlm., 131.

http://fahruddinas.blogspot.co.id/2011/02/konsep-mashlahah-mursalah-sebagai.html -
_ftnref22 Wahbah Zuhaili, Al-Wajîz fi Ushul Fiqh, hlm., 94-95.

Ibid, hlm., 94.

http://fahruddinas.blogspot.co.id/2011/02/konsep-mashlahah-mursalah-sebagai.html -
_ftnref24 Muhammad al-Amîn al-Syinqîthî, Al-Mashâlih al-Mursalah (Madinah: Markaz Syuûn
al-Da’wah bi al-Jâmi’ah al-Islâmiyyah, 1410), hlm., 21.

http://fahruddinas.blogspot.co.id/2011/02/konsep-mashlahah-mursalah-sebagai.html -
_ftnref25 Ibn al-Najjâr, Syarh al-Kaukâb al-Munîr, juz IV, hlm., 170.

http://fahruddinas.blogspot.co.id/2011/02/konsep-mashlahah-mursalah-sebagai.html -
_ftnref26 surat al-Mâidah’: 38.
Contoh lain adalah riba, di mana biasanya didefinisikan sebagai “tambahan yang
diperjanjikan atas besarnya pinjaman ketika pelunasan hutang”. Jadi tekanannya pada
“tambahan” sebagai ciri pokok riba.

Riba dapat juga didefinisikan dengan “tambahan atas besarnya pinjaman ketika pelunasan
hutang yang mendatangkan kesengsaraan pihak peminjam”. Di sini tekanannya ada pada
“kesengsaraan/zhulm”, bukan “tambahan”. “Tambahan” sebagai an-nau’/species,sedangkan
“kesengsaraan” sebagai al-jins/genus/’illat.

Dari paparan di atas, dapat diketahui bahwa esensi riba adalah “tambahan” dan ada pula
yang mengatakan esensinya adalah “zhulm”. Namun jika kembali kepada pangkal persoalan
larangan riba, maka “tambahan” tidak mempunyai makna apa-apa. Sebaliknya, “ketidakadilan”
adalah hal yang bertentangan dengan tujuan penetapan prinsip ekonomi Islam. Karenanya, ’illat
larangan riba seharusnya “zhulm” bukan “tambahan”.

D.    Syarat-Syarat ‘Illat

Muhammad Hashim Kamali telah meringkas beberapa syarat ‘illat –meskipun sebagian
besar masih kontroversial di antara para teoretisi hukum Islam– ke dalam lima butir berikut ini :

1. ‘Illat harus merupakan sifat yang tetap (mundhabit) yang dapat diterapkan kepada semua
kasus tanpa dipengaruhi oleh perbedaan pelaku, waktu dan tempat serta keadaannya;
2. ‘Illat yang menjadi dasar dari qiyas haruslah jelas (zahir);
3. ‘Illat harus merupakan sifat yang patut (al-washf al-munasib) yang mempunyai kaitan
yang patut dan wajar dengan nas (hukm);
4. ‘Illat harus muta’addi, yaitu kualitas obyektif yang dapat diterapkan untuk kasus-kasus
yang lain;
5. ‘Illat tidak boleh merupakan suatu sifat yang berusaha menandingi atau mengubah
hukum dari nash.

E.     Rincian dan Macam-Macam ‘Illat


‘Illat adalah sesuatu yang mendorong disyariatkannya hukum. Oleh karena itu, ‘illat
harus terdapat di dalam dalil baik secara jelas (sharih), menunjukkan (dilalah), penggalian
(istinbath), atau secara qiyas. Itulah macam-macam ‘illat yang akan dituturkan dibawah ini yaitu
sebagai berikut:
Pertama, ‘Illat yang terdapat secara jelas (Shurahatan), contohnya:
Artinya: “ Apabila tiga orang diantara kalian sedang berkumpul maka tidak boleh dua orang di
antara kalian saling berbisik tanpa melibatkan orang yang ketiga karena hal itu akan
membuatnya sedih.”( HR. Ahmad).
‘Illat pada hadis ini adalah karena perkara itu akan membuatnya sedih. Termasuk ‘illat
karena menggunakan lafazh yang sharih, yaitu lafazh min ajli.
Kedua, Illat yang terdapat pada nash secara dilalah (penunjukan), contohnya dalam firman Allah
SWT: (QS.Al-Anfal:60).

‫ين ِم ْن ُدونِ ِه ْم اَل َت ْعلَ ُموَن ُه ُم‬ ِ ِِ ِ ِ ِ ٍ ِ


َ ‫استَطَ ْعتُ ْم م ْن ُق َّوة َوم ْن ِربَاط الْ َخ ْي ِل ُت ْرهبُو َن به َع ُد َّو اللَّه َو َع ُد َّوُك ْم َوآ َخ ِر‬
ِ
ْ ‫َوأَعدُّوا ل َُه ْم َما‬
ِ ِ‫اللَّهُ َي ْعلَ ُم ُه ْم َوَما ُت ْن ِف ُقوا ِم ْن َش ْي ٍء فِي َسب‬
َّ ‫يل اللَّ ِه ُي َو‬
‫ف إِل َْي ُك ْم َوأَْنتُ ْم اَل تُظْلَ ُمو َن‬
Artinya: Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan
dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu
menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak
mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah
niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).
Kata menggentarkan musuh adalah sifat yang sesuai dengan mafhum bagi keharusan
untuk mengadakan persiapan menghadapi musuh, lafazh tersebut merupakan ‘illat dilalah.
Ketiga, ‘illat yang terdapat dalam nash dengan jalan istinbath (mustanbath), contohnya dalam
sabda Rasulullah SAW:
Artinya: “Apa pendapatmu andai kata engkau berkumur-kumur (pada saat berpuasa) apakah akan
rusak berpuasamu?” Umar menjawab” Tidak”. Beliau bersabda begitu juga mencium.” (HR.
Ahmad, Ibnu Khuzaimah)
Dari nash ini digali bahwa ‘illat batalnya puasa karena mencium adalah keluarnya
sperma. Apabila seseorang mencium istrinya tidak keluar sperma maka tidak membatalkan
puasa. Jadi Al-Inzal adalah ‘illat istinbatiyyah karena sama seperti berkumur-kumur.
Keempat, ‘Illat melalui qiyas, contohnya:
Artinya: “ Rasulullah SAW melarang orang kota (menyongsong guna membeli barang) kepada
orang yang datang dari pelosok (pedesaan)”. (HR. Bukhari Muslim).
Dari segi syar’i telah menganggap sifat itu sesuai atau tidak, maka Ulama Ushul telah
membagi sifat yang sesuai itu menjadi empat macam:
1) Sesuai dan berpengaruh ( Al-Munasib Al-Mu’tsir), yaitu sifat yang sesuai yang oleh syar’I
telah disusun hukum yang sesuai dengan sifat itu, baik dalam nash maupun ijma’. Sifat tesebut
telah ditetapkan sebagai ‘illat hukum. Seperti firman Allah: (QS. Al-Baqarah: 222).

‫وه َّن َحتَّى يَط ُْه ْر َن فَِإذَا تَطَه َّْر َن‬ ِ ‫اء فِي ال َْم ِح‬
ُ ُ‫يض َواَل َت ْق َرب‬ ِ ‫ك َع ِن ال َْم ِح‬
َ ‫يض قُ ْل ُه َو أَذًى فَا ْعتَ ِزلُوا الن‬
َ ‫ِّس‬ َ َ‫َويَ ْسأَلُون‬

ُّ ‫ين َويُ ِح‬


َ ‫ب ال ُْمتَطَ ِّه ِر‬
‫ين‬ َ ‫َّواب‬ ُ ‫وه َّن ِم ْن َح ْي‬
ُّ ‫ث أ ََم َرُك ُم اللَّهُ إِ َّن اللَّهَ يُ ِح‬
ِ َّ ‫ب الت‬ ُ ُ‫فَأْت‬
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu
kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan
janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci apabila mereka Telah suci, Maka
campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
Hukum pasti dalam nash ini adalah keharusan menghindari wanita di waktu haidh dan
telah tersusun sebagi dasar, bahwa ia adalah kotoran (adza). Sedangkan sighat nash telah jelas
bahwa ‘illat hukum ini adalah kotoran. Maka oleh karena itu kotoran yang menjadi sebab
keharusan menghindari wanita di waktu haidh adalah sifat yang sesuai dan mempengaruhi
(munasib dan mu’tsir).
2) Sesuai dan sepadan ( Al-Munasib Al-Mula’im), yaitu sifat yang sesuai yang oleh syar’I telah
disusun hukum yang sesuai dengan hukum itu. Dan nash atau ijma’ belum menetapkannya
sebagai ‘illat hukum yang telah disusun atas dasar sesuai dengannya. Contoh sifat yang sesuai
yaitu keadaan seorang perempuan yang masih kecil sebagai ketetapan kewalian ayah dalam
mengawinkan perempuan yang masih kecil hal ini telah terdapat ketetapan nash bahwa kewalian
ayah adalah mengawinkan anak perempuan yang masih kecil dan perawan itu. Jadi hukumnya
ialah ketetapan kekuasaan yang disusun atas dasar menyesuaikan sifat perawan dan kecil.
3) Sesuai dan dibiarkan (Al-Munasib Al-Mursal), yaitu sifat yang oleh syar’I tidak disusun
hukum yang sesuai dengannya. Tidak pula terdapat dalil syara’ yang menunjukkan
pengakuannya atau menyia-nyiakan pengakuannya bahawa sifat itu munasib, artinya dapat
menunjukkan maslahah, namun ia mursal, artinya terlepas dari dalil pengakuan dan dalil
pembatalan (ilgha’) yang disebut dengan al-Maslahatul Mursalah. Contohnya, kemslahatan-
kemaslahatan yang oleh sahabat dijadikan dasar pensyariatan keharusan pajak bagi tanah
pertanian, mencetak uang, pembukuan Al-Qur’an dan prenyebarannya.
4) Sesuai dan disia-siakan (Al-Munasib Al Mulgha’), yaitu sifat yang nyata bahwa pendasaran
hukum adalah mewujudkan kemaslahatan hukum. Contohnya, menetapkan seseorang yang
berbuka pada bulan Ramadhan secara sengaja dengan hukuman secara khusus adalah pengajaran
baginya.
F.     Pembagiaan ‘Illat

1.      ‘Illat Tasyri’i


‘Illat tasyri’i adalah ‘illat yang digunakan untuk mengetahui apakah suatu ketentuan
masih perlu dipertahankan atau diubah, karena ‘illatnya telah bergeser ataupun karena tujuan
yang diinginkannya akan tercapai. Contoh yang paling populer adalah ‘illat tentang zakat hasil
pertanian. Para ulama masa lalu memahami ‘illat zakat pertanian adalah makanan pokok, dapat
ditakar dan tahan lama. Tetapi ulama sekarang, semisal Yusuf Qardhawi menemukan ‘illat baru,
yaitu an-nama’ (produktif). Oleh karena itu seluruh jenis tanaman yang produktif wajib dizakati.

2.‘Illat Qiyasi
‘Illat qiyasi adalah pemberlakuan ‘illat terhadap sesuatu yang tidak disebutkan secara
tekstual karena adanya kesamaan dengan sesuatu yang telah disebut secara tekstual. Sebagai
misal adalah haramnya minuman keras seperti wiski, tuak, brandi dan lain sebagainya, yang
memiliki kesamaan ‘illat dengan khamr (sebagai asal yang ada nas hukumnya). Kesamaan
‘illatnya ialah memabukkan. Wiski dan minuman keras sejenis sebagai cabang yang memiliki
sifat memabukkan, oleh karenanya ia menjadi haram.

            Qiyas sebagai salah satu kaidah penalaran dalam ushul fiqih diterima secara luas oleh
kalangan fuqaha. Hanya sebagian kecil saja yang menolak qiyas. Mereka adalah kalangan
mazhab Zahiri terutama Ibnu Hazm. Bagi Ibnu Hazm penggunaan qiyas adalah sesuatu yang
mengada-ada. Allah hanya membebani hamba-Nya sesuai dengan kemampuannya. Jadi apa-apa
yang tidak disebutkan dalam nas, merupakan sebuah keringanan bagi seorang mukallaf dan
hukumnya mubah. Karena itu tidak perlu membuat ketentuan baru.
3.‘Illat Istihsani
‘Illat istihsani atau disebut juga dengan qiyas khafy adalah ‘illat pengecualian karena
adanya ‘illat yang tersembunyi. Sebagai contoh ialah kehalalan sisa daging yang dimakan burung
elang. Sebenarnya elang adalah tergolong jenis binatang buas. Daging binatang buas juga haram
dimakan. Oleh karena itu sisa daging yang dimakan elang hukumnya juga haram. Qiyas yang
demikian oleh ulama kalangan Hanafiyah dianggap kurang memuaskan. Sebab ada perbedaan
khusus antara burung elang dengan binatang buas lain seperti harimau, macan, singa dan
sebagainya. Burung elang makan dengan paruhnya yang suci. Oleh karena itu sisa makanannya
juga suci hukumnya. Sementara itu binatang buas yang lain makan dengan mulutnya, yang di
situ terdapat air liur. Oleh karenanya, sisa makanan yang dimakan olehnya diduga bercampur
dengan air liur, yang berarti juga najis. Karenanya sisa makanan binatang buas menjadi haram
hukumnya. ‘Illat istihsani lebih banyak digunakan oleh kalangan Hanafiah.

G.    Cara Menemukan ‘Illat  

Untuk memperluas cakupan teks hukum yang ada, perlu dilakukan penyelidikan terhadap
ketentuan hukum yang telah ada di dalam teks hukum guna mengkaji dan menemukan atribut
yang menjadi dasar penetapannya. Dengan kata lain, ‘illat yang melandasi suatu hukum harus
diselidiki.

            Para teoretisi hukum Islam telah mengembangkan beberapa  teknik untuk
mengidentifikasi atribut yang menjadi ‘illat suatu hukum yakni melalui konteks suatu nas, ijma’
(konsensus ahli-ahli hukum) dan melalui ijtihad (penalaran).

            Identifikasi atribut yang menjadi ‘illat hukum melalui konteks nas dilakukan dengan cara
melihat nas. ‘Illat dalam nas terkadang disebutkan secara langsung dan kadang-kadang berupa
isyarat. ‘Illat yang disebutkan secara langsung biasanya ditandai dengan lafaz-lafaz dan lain
sebagainya.
            Sedangkan ‘illat yang diketahui melalui isyarat biasanya dengan menggunakan sifat yang
mengiringinya, seperti ayat :

‫الزانية والزاني فاجلدوا كل واحد منهما مائة جلدة‬


           
Disebutkannya az-zaniyyat waz-zani beriringan dengan lafaz fajlidu menunjukkan sifat
dengan hukum. Maka dapat diketahui bahwa ‘illatnya adalah berzina.

            ‘Illat yang diketahui dengan ijma’ ialah ‘illat yang telah disepakati oleh para mujtahid.
Sebagai misal adalah ‘illat “as-sighar” dalam masalah perwalian anak kecil dalam masalah
harta.
            Apabila tidak ada ijma’ mengenai ‘illat suatu hukum, maka kita menggunakan tehnik
ketiga, yaitu melalui ijtihad (penalaran). Ada dua cara yang diikuti dalam penalaran untuk
mengidentifikasi ‘illat, pertama, klasifikasi dan eliminasi (as-sabr wa at-taqsim), yaitu pengujian
terhadap ’illat dengan cara mengidentifikasi semua atribut yang diperkirakan mungkin menjadi
‘illat hukum kemudian satu-persatu ‘illat yang diperkirakan itu diuji untuk menemukan suatu
‘illat yang paling mungkin, kemudian ‘illat-illat lainnya dieliminasi. Sebagai misal ialah kasus
seorang badui yang berhubungan badan (bersetubuh) dengan isterinya pada waktu siang hari di
bulan Ramadhan. Oleh Nabi SAW ia diwajibkan membayar kaffarah. Pada mulanya mujtahid
menduga bahwa berhubungan badan ialah ‘illatnya. Namun setelah diadakan penelitian lebih
lanjut dan diadakan penyaringan hukum dari berbagai ‘illat, maka para mujtahid menetapkan
adanya unsur kesengajaan berhubungan badan pada siang hari bulan Ramadhan sebagai ‘illat
bagi kewajiban membayar kaffarah.
Sedangkan kedua, dengan cara pengujian kesesuaian atribut yang dinyatakan sebagai
’illat dengan hukum, dan ini disebut konformitas (munasabah).    

Semua hukum hasil ijtihad harus ada ‘illatnya. Tuhan dalam menetapkan hukum
memakai teori kebijaksanaan Tuhan “hal af’alullah mu’allalah bil mashalih amla?”. Hal itu bisa
dijelaskan secara logis dan ada alasannya, bisa disebutkan dan tidak disebutkan (bisa digali dan
tidak bisa digali), sedangkan yang tidak bisa digali sangat kecil.
Struktur hukum Islam ada kaidah (rumah/bangunan) atau hukum/norma dan ada fondasi
(dasar hukum/’illat) yakni analisis ‘illat dengan ilmu-ilmu yang modern. Misalnya kajian ilmu
ekonomi Islam yang dilakukan oleh Anas Zarqa’ dalam kitabnya Islamiyyat ‘Ilm al-Iqtishad.
G.    Ayat-Ayat Yang Menjadi Penghujjah Penalaran Ta’lili

Surat Al-Baqarah ayat: 222

ْ َ‫يض َوالَ تَ ْق َربُوه َُّن َحتَّ َى ي‬


َ‫طهُرْ نَ فَإِ َذا تَطَهَّرْ ن‬ ِ ‫وا النِّ َساء فِي ْال َم ِح‬ ْ ُ‫يض قُلْ هُ َو أَ ًذى فَا ْعت َِزل‬ ِ ‫ك ع َِن ْال َم ِح‬ َ َ‫َويَسْأَلُون‬
ُ ‫فَأْتُوه َُّن ِم ْن َحي‬
َ‫ْث أَ َم َر ُك ُم هّللا ُ إِ َّن هّللا َ يُ ِحبُّ التَّ َّوابِينَ َويُ ِحبُّ ْال ُمتَطَه ِِّرين‬
Artinya:
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran".
Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu
mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka
itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.

Surat An-Nisaa ayat: 59


‫سو َل َوأُ ْولِي األَ ْم ِر ِمن ُك ْم‬
ُ ‫“يَا أَ ُّي َها الَّ ِذينَ آ َمنُو ْا أَ ِطي ُعو ْا هّللا َ َوأَ ِطي ُعو ْا ال َّر‬
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri
di antara kamu”. (an-Nisaa:59).

Anda mungkin juga menyukai