A. PENDAHULUAN
Pada masa Nabi Muhammad SAW masih hidup, umat Islam apabila menghadapi suatu persoalan langsung
menanyakan kepada Raulullah dan Rasul-lah yang langsung memberikan jawaban, terkadang dengan al-Qur‟an
yang turun berkenaan dengan masalah tersebut (sebagai jawaban), dan terkadang dengan sunnah Rasulullah
dengan ketiga bentuknya yakni secara qauli (perkataan), fi’li (perbuatan), dan taqriri (ketetapan). Adakalanya pula
Rasulullah menunda masalah itu atau menunggu hingga turunnya wahyu. Adapun bentuk jawaban rasul, pada
hakikatnya tidak terlepas dari petunjuk Ilahi, sesuai firman Allah Swt:
Artinya : “Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain
hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm : 3-4)
Namun, semuanya berubah setelah Rasulullah Muhammad meninggal dunia dan mengakibatkan
terputusnya wahyu, sehingga para sahabat dalam menyelesaikan masalah-masalah yang memerlukan penjelasan
hukumnya, menempuh jalan sebagai berikut:
1. Mencari ketentuan hukumnya dalam al-Qur‟an.
2. Mencari ketentuan hukumnya dalam Sunnah Rasul Allah.
3. Memusyawarahkan masalah itu, di mana Khalifah mengundang para tokoh sahabat untuk dimintai pendapatnya
tentang hukum masalah yang dihadapinya. Bila mereka mendapatkan kata sepakat, maka Khalifah melaksanakan
hasil musyawarah tersebut. Apabila tidak mendapat kata sepakat, maka Khalifah mengambil alih dan menentu¬kan
yang kiranya dipandang lebih maslahat.
Dalam menjalani kehidupan dunia ini, tidaklah semua yang kita inginan dan harapkan dapat tercapai. Ketika
terjadi ketimpangan atau ketidaksesuaian antara hal yang kita inginkan dan fakta yang terjadi maka akan
menimbulkan masalah. Begitu juga dalam menjalankan syariat islam, masalah juga dapat muncul ketika terjadi
ketimpangan antara teori dan kenyataan mengenai hukum-hukum syara‟ yang bersifat amaliyah.Dalam
menyelesaikan masalah tersebut tentu harus ada jalan penyelesaiannya. Makanya disini di butuhkan ilmu tentang
masailul fiqhiyah.
Al-Quran dan sunah Nabi merupakan pedoman bagi umat Islam dalam mencari keselamatan di dunia
sehingga bahagia di akhirat. Al-Quran pedoman yang lengkap dan sempurna bagi umat manusia tidak ada
sesuatupun yang tertinggal. jika ada hal, masalah yang dianggap tidak ada jawabannya didalam Al-Quran rasanya
kurang bijak, Bagaiamana dengan fungsi Al-Quran yang universal dan sepanjang zaman? Akal manusi lah yang
belum sampai kepada yang dituju oleh Al-Quran. Masail Fiqiyah merupakan cara manusia untuk mencari jawaban
dari masalah yang timbul dikemudian hari dengan menggunakan akal dan hati yang iklas karena Allah perlu
dipelajari.
Pada masa Mujtahidin, sumber-sumber hukum Islam bertambah sesuai perkembangan dan kebutuhan zaman,
yang penambahan ini pada hakikatnya bukanlah sesuatu yang baru (bid’ah), melainkan sebagai pengembangan dan
penjabaran secara lebih konkrit dari sumber hukum ketiga, yaitu al-Ijtihad wa al-Ra’yu yang telah diratifikasi oleh al-
Qur‟an, al-Sunnah dan atsar sahabat. Sumber-sumber hukum yang bersifat ijtihadi ini dijadikan dasar dan pedoman
oleh para Imam Mujtahidin dan madzhabnya masing-masing. Dengan demikian jelaslah, bahwa sumber-sumber
hukum bagi semua madzhab ada yang sama dan ada yang berbeda. Yang sama bahwa semua madzhab
berdasarkan pada al-Qur‟an, Sunnah Rasul, al-Qiyas dan Ijma‟.
Semua kembali berubah setelah para imam madzhab telah meninggalkan dunia (wafat). Di mana umat Islam
terus menemui permalasahan-permasalahan baru yang dibutuhkan jawaban hukumnya. Oleh karenanya, muncullah
al-masa`il al-fiqhiyyah, yaitu problem-problem hukum Islam baru al-waqi’iyyah (faktual) dan dipertanyakan oleh umat
jawaban hukumnya karena secara eksplisit permasalahan tersebut tidak tertuang di dalam sumber utama.
Jadi al-masa`il al-fiqhiyah menurut pengertian bahasa adalah permasalahan-permasalahan baru yang
berhubungan dengan masalah-masalah atau jenis-jenis hukum (fiqh) dan dicari jawabannya. Berdasarkan definisi
secara kebahasaan di atas, maka secara istilah al-masa`il al-fiqhiyah adalah: “problem-problem hukum Islam baru
al-waqi’iyyah (faktual) dan dipertanyakan oleh umat jawaban hukumnya karena permasalahan tersebut tidak
tertuang di dalam sumber-sumber hukum Islam.”
Masail Fiqhiyah terurai dari kata mas’alah. Masail fiqihiyah adalah masalah yang terkait dengan fiqih, dan
yang dimaksud masalah fiqih pada term Masail fiqhiyah ialah: “persoalan-persoalan yang muncul pada konteks
kekinian sebagai refleksi kompleksitas problematika pada suatu tempat, kondisi dan waktu. Dan persoalan
tersebut belum pernah terjadi pada waktu yang lalu, karena adanya perbedaan situasi yang melingkupinya.”
Dalam bentuk mufrad (singular) yang dijamakkan (plural) dan dirangkaikan dengan kata fiqih.
Masail fiqhiyah disebut juga Masail fiqhiyah al haditsah (persoalan hukum Islam yang baru). Objek kritis
adanya masa'il fiqhiyah ini menunjukkan adanya kepedulian Islam untuk mencari jawaban berbagai masalah yang
berkembang dimasa kini.
Dari beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa Masail Fiqhiyah adalah masalah-masalah
baru yang muncul setelah turunnya Al-quran dan hadits dan setelah wafatnya Rasulullah SAW yang belum ada
ketentuan hukum secara pasti, sehingga dalam mencari jawabannya memerlukan metodologi ijtihad para ulama
dalam menginstinbatkan hukum yang diambil dari Al-quran, Hadits, ijma‟, qiyas, qaulul sahabat dan lain sebagainya.
Dengan adanya Ilmu masa'il fiqhiyah menunjukkan adanya kebebasan berpikir secara bertanggung jawab di
kalangan umat Islam dan sekaligus toleransi dan kedewasaan sikap dalam menghadapi berbagai perbedaan
pendapat.
Contoh masail fiqhiyyah misalnya masalah pernikahan harus dicatat dalam lembaga pencatatan negara atau
tidak? Kalau pada zaman Rasul, sahabat dan tabiiin, nikah tidak perlu dicatat dalam KUA (sebutlah seperti itu).
Karena memang ayat yang ada tentang perintah dokumentasi hanya dalam masalah akuntan hutang-piutang, seperti
yang terdapat dalam QS al-Baqarah ayat 282. Selain itu, karena adanya saksi nikah dan pelaksanaan walimatul ursy
juga adalah sebagai bukti penguat bahwa telah terjadi pernikahan. Cuma….timbul persoalan, Bagaimana kalau
saksinya itu meninggal, lalu apa yang bisa dijadikan bukti bahwa keduanya telah menikah atau belum? Dan, masih
banyak lagi penyebab lain, baik itu yang bernuansa politik kebijakan pemerintah atau memang murni problema yang
timbul dari tentang status pernikahan itu. Maka, mendaftarkan pernikahan di lembaga pencatatan negara menjadi
masalah Fiqh kekinian yang memerlukan fatwa. Inilah salah satu contoh Masailul Fiqhiyyah.
Menyikapi perkembangan di atas, statement mayoritas ulama secara tegas menghukumi wajib melakukan
shalat jum‟at di satu tempat dalam sebuah balad atau qaryah. Al-Syafi‟i dalam hal ini berpendapat bahwa shalat
jum‟at jelas tidak diperkenankan lebih dari satu tempat, baik ada hajat atau tidak. Namun istinbath (penggalian) dari
ulama syafi‟iyyah dalam permasalahan ini akhirnya membolehkan dengan batasan hajat tertentu.
Faktor pemicu terjadinya ta’adud al-jum’at di atas sangat luas pemahamannya apabila kita dalami satu persatu.
Hanya saja syari‟at mempermudah kita dengan memberikan sebuah standar yang lebih fokus dengan
mengembalikan kepada batasan “urfi (tradisi mayoritas masyarakat) yang ditopang rasionalisasi tinggi, yaitu semua
faktor yang sudah sampai pada tingkat kesulitan yang diluar batas kemampuan (masyaqat laa tuhtamalu a’datan).
Artinya semisal konflik masyarakat dalam satu daerah sudah sampai menyebabkan antar pihak sulit berkumpul
hingga pada taraf hampir mustahil atau semisal kapasitas tempat shalat yang terbatas dan tidak memungkinkan
menampung seluruh masyarakat di daerah tersebut, disitulah ta‟adud al-jum‟at diperbolehkan.
sifat pada sesuatu itu dengan menambah atau mengurangi, untuk mencari kecantikan, baik untuk suami maupun
untuk selain suami.” (Imam Syaukani, Nailul Authar, 10/156; Ibnu Hajar, Fathul Bari, 17/41; Tuhfatul Ahwadzi, 7/91).
Adapun meluruskan atau mengeriting rambut tanpa perlakuan kimiawi yang mengubah struktur protein rambut
secara permanen, yakni hanya menggunakan perlakuan fisik, seperti menggunakan rol plastik dan yang semisalnya,
hukumnya boleh. Sebab tidak termasuk mengubah ciptaan Allah, tapi termasuk tazayyun (berhias) yang dibolehkan
bahkan dianjurkan syara‟, dengan syarat tidak boleh ditampakkan kepada yang bukan mahram.
Memiliki kemampuan untuk mentarjih beberapa pendapat yang secara lahiriyah terjadi perbedaan melalui
perbandingan dalil-dalil yang digunakan masing-masing.
Diharapkan memiliki kemampuan untuk melakukan kegiatan berijtihad terhadap hukum persoalan tertentu
yang tidak didapati jawabannya pada ulama terdahulu.
3. Berdialog dengan masyarakat melalui bahasa kondisi masanya dan melalui pendekatan persuasif aktif
serta komunikatif.
Ketentuan hukum yang akan diputuskan harus disesuaikan masyarakat yang diinginkannya dan
menggunakan bahasa layak sebagaimana bahasa masyarakat dimana persoalan itu muncul. Bahasa masyarakat
yang ideal :
Bahasa yang dapat dipahami sebagai bahasa sehari-hari dan mampu menjangkau pemahaman umum.
Menghindarkan istilah-istilah rumit yang mengundang pengertian kontroversi.
Ketetapan hukum bersifat ilmiah karena didasarkan pertimbangan hikmah, illat, filisofis dan Islami.
Pertama, diagnosis masalah (tahrir mahal an-niza’) dan visualisasi masalah (tashawwur).
Sebuah kaedah yang sangat akrab sering kita dengar “alhukmu ala syain far’un an tashawwurihi“. Jika kita
ingin mengetahui hukum sebuah masalah maka kita harus mem-visual-kan masalah itu secara utuh. Agar hasil yang
diharapkan juga tepat.
Adapun yang perlu divisualkan (tashawwur) adalah masalahnya dan kondisi yang berada di sekitar masalah.
Seperti jika seseorang ingin mengetahui hukum aborsi. Pertama ia harus mengetahui proses aborsi itu dan kondisi
yang menyebabkan seseorang melakukan aborsi. Jika ada yang kurang pada visualisasinya maka akan
menimbulkan kesimpulan yang tidak tepat. Hal-hal yang bisa membantu dalam proses visualisasi biasanya dengan
bertanya kepada ahli, survey lapangan, menggunakan form tertulis dan lainnya.
Seperti mengqiyaskan penyalinan mushaf dalam CD/DVD, program komputer dan HP dengan upaya para
sahabat mengumpulkan atau mangkompilasikan al Quran.
3. Dan jika ditemukan masalah yang serupa untuk diqiyaskan, maka hukum permasalah harus dikaji dan
disimpulkan dengan kaedah ushul fiqih ataupun kaedah fiqhiyah yang lebih dikenal dengan istinbath al-
ahkam. Seperti masalah mencangkok anggota tubuh dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrohman Kasdi. Masail Fiqhiyyah Kajian Fiqih atas Masalah-masalah Kontemporer. Kudus: Nora Media Enterprise. 2011
Ahmad Sudirman Abbas. Dasar-Dasar Masail Fiqhiyyah. Jakarta: CV Bayu Kencana. 2003
Ahmad Zahro, Lajnah Bahsul Masail Madhatul Ulama, 1926-1996 (disertasi doktor), IAIN Sunan Kalijogo Yogyakarta, 2001, hal
Mahjuddin, Masailil Fiqhiyah, (Jakarta: Kalam Mulia, 2008), hlm. 1
Qamruzzaman. Paradigma Fiqh Masail Kontekstual Hasil Bahtsul Masail. Kediri: Team Pembukuan Manhaji Purna Siswa 2003.
Yasin dan Sholikhul Hadi. Fiqih Ibadah. Kudus: STAIN Kudus. 2008
Yusuf Qardhawi, Hadyu al-Islam fatawa al-Muasshirah, juz 1, 1996. cet VI, h.10-26
7
PERTEMUAN KEDUA:
Kontrak Belajar Mata Kuliah Masail Fiqhiyyah Kontemporer
Bagi Mahasiswa STAI Bhakti Persada Bandung
Oleh:
HM. Agus Nurkholiq MN., S.Ag. SE. MA
Ketua STAI Bhaper Kampus Pencerahan
C. Metode Perkuliahan
1. Kuliah Tatap Muka dengan pola Studium General, Ceramah, Dramatisasdi dan Abstraksasi
2. Pembuatan Makalah Take Home/Tugas Mandiri Kelompok Tersktrukur @ 1-2 orang mahasiswa
3. Penugasan dan Observasi Lapangan
4. Sistematika Makalah terdiri atas:
(a) Caver, (b) Pengantar, (c) Daftar isi, (d) I. Pendahuluan yang berisi: latar belakang masalah dan dasar pemikiran,
rumusan masalah, manfaat penulisan secara teoritis dan praktis, serta kerangka berfikir ilmiah; (e) II. Pembahasan dan
Analisis Masalah yang berisi: pengertian atau definisi istilah kunci, dasar hukum, beberapa putusan/fatwa terdahulu dari
lembaga agama/ulama, pendekatan masalah fiqihiyah dari aspek historis dan sosiologis, analisa pembahasan secara lintas
disiplin dan inter multi disipliner; (f) III. Kesimpulan, Saran dan Rekomendasi; serta (g) Daftar Pustaka, Referensi, dan
Rujukan serta Lampiran lain yang menunjang
5. UTS dan atau UAS dilaksanakan secara Lisan.