Anda di halaman 1dari 7

1

Pengantar ke Mata Kuliah Masail Fiqhiyyah Kontemporer:


Bagi Mahasiswa STAI Bhakti Persada Bandung
Oleh:
HM. Agus Nurkholiq MN., S.Ag. SE. MA
Ketua STAI Bhaper Kampus Pencerahan

A. PENDAHULUAN
Pada masa Nabi Muhammad SAW masih hidup, umat Islam apabila menghadapi suatu persoalan langsung
menanyakan kepada Raulullah dan Rasul-lah yang langsung memberikan jawaban, terkadang dengan al-Qur‟an
yang turun berkenaan dengan masalah tersebut (sebagai jawaban), dan terkadang dengan sunnah Rasulullah
dengan ketiga bentuknya yakni secara qauli (perkataan), fi’li (perbuatan), dan taqriri (ketetapan). Adakalanya pula
Rasulullah menunda masalah itu atau menunggu hingga turunnya wahyu. Adapun bentuk jawaban rasul, pada
hakikatnya tidak terlepas dari petunjuk Ilahi, sesuai firman Allah Swt:
Artinya : “Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain
hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm : 3-4)
Namun, semuanya berubah setelah Rasulullah Muhammad meninggal dunia dan mengakibatkan
terputusnya wahyu, sehingga para sahabat dalam menyelesaikan masalah-masalah yang memerlukan penjelasan
hukumnya, menempuh jalan sebagai berikut:
1. Mencari ketentuan hukumnya dalam al-Qur‟an.
2. Mencari ketentuan hukumnya dalam Sunnah Rasul Allah.
3. Memusyawarahkan masalah itu, di mana Khalifah mengundang para tokoh sahabat untuk dimintai pendapatnya
tentang hukum masalah yang dihadapinya. Bila mereka mendapatkan kata sepakat, maka Khalifah melaksanakan
hasil musyawarah tersebut. Apabila tidak mendapat kata sepakat, maka Khalifah mengambil alih dan menentu¬kan
yang kiranya dipandang lebih maslahat.
Dalam menjalani kehidupan dunia ini, tidaklah semua yang kita inginan dan harapkan dapat tercapai. Ketika
terjadi ketimpangan atau ketidaksesuaian antara hal yang kita inginkan dan fakta yang terjadi maka akan
menimbulkan masalah. Begitu juga dalam menjalankan syariat islam, masalah juga dapat muncul ketika terjadi
ketimpangan antara teori dan kenyataan mengenai hukum-hukum syara‟ yang bersifat amaliyah.Dalam
menyelesaikan masalah tersebut tentu harus ada jalan penyelesaiannya. Makanya disini di butuhkan ilmu tentang
masailul fiqhiyah.
Al-Quran dan sunah Nabi merupakan pedoman bagi umat Islam dalam mencari keselamatan di dunia
sehingga bahagia di akhirat. Al-Quran pedoman yang lengkap dan sempurna bagi umat manusia tidak ada
sesuatupun yang tertinggal. jika ada hal, masalah yang dianggap tidak ada jawabannya didalam Al-Quran rasanya
kurang bijak, Bagaiamana dengan fungsi Al-Quran yang universal dan sepanjang zaman? Akal manusi lah yang
belum sampai kepada yang dituju oleh Al-Quran. Masail Fiqiyah merupakan cara manusia untuk mencari jawaban
dari masalah yang timbul dikemudian hari dengan menggunakan akal dan hati yang iklas karena Allah perlu
dipelajari.
Pada masa Mujtahidin, sumber-sumber hukum Islam bertambah sesuai perkembangan dan kebutuhan zaman,
yang penambahan ini pada hakikatnya bukanlah sesuatu yang baru (bid’ah), melainkan sebagai pengembangan dan
penjabaran secara lebih konkrit dari sumber hukum ketiga, yaitu al-Ijtihad wa al-Ra’yu yang telah diratifikasi oleh al-
Qur‟an, al-Sunnah dan atsar sahabat. Sumber-sumber hukum yang bersifat ijtihadi ini dijadikan dasar dan pedoman
oleh para Imam Mujtahidin dan madzhabnya masing-masing. Dengan demikian jelaslah, bahwa sumber-sumber
hukum bagi semua madzhab ada yang sama dan ada yang berbeda. Yang sama bahwa semua madzhab
berdasarkan pada al-Qur‟an, Sunnah Rasul, al-Qiyas dan Ijma‟.
Semua kembali berubah setelah para imam madzhab telah meninggalkan dunia (wafat). Di mana umat Islam
terus menemui permalasahan-permasalahan baru yang dibutuhkan jawaban hukumnya. Oleh karenanya, muncullah
al-masa`il al-fiqhiyyah, yaitu problem-problem hukum Islam baru al-waqi’iyyah (faktual) dan dipertanyakan oleh umat
jawaban hukumnya karena secara eksplisit permasalahan tersebut tidak tertuang di dalam sumber utama.

B. PENGERTIAN MASAIL FIQHIYYAH


Kata masail fiqhiyyah secara etimologi berasal dari dua lafazh, yakni mas`ail dan fiqhiyyah. Hubungan dari
kedua lafadz ini, dalam nahwu disebut hubungan shifah dengan maushuf, atau na’at dengan man’ut. Lafadz masail
adalah bentuk plural (jamak taksir) dari mas`alah yang bermakna masalah atau problem. Kata dasarnya adalah
sa`ala dan bermakna “bertanya”. Artinya, masa`il adalah masalah-masalah baru yang muncul akibat pertanyaan-
pertanyaan untuk dicari jawabannya.
Adapaun lafadz al-fiqhiyyah adalah berasal dari lafadz al-fiqhu yang artinya al-fahmu yang dirangkai dengan
(ya’ al-nishbath) yang huruf ya‟ berfungsi membangsakan. Kata fiqh diartikan juga pemahaman yang mendalam
tentang hukum-hukum Islam. Sedangkan menurut istilah adalah ilmu pengetahuan tentang hukum-hukum syari‟at
dalam bentuk amaliah (perbuatan mukallaf) yang diambil dari dalilnya secara terperinci.
2

Jadi al-masa`il al-fiqhiyah menurut pengertian bahasa adalah permasalahan-permasalahan baru yang
berhubungan dengan masalah-masalah atau jenis-jenis hukum (fiqh) dan dicari jawabannya. Berdasarkan definisi
secara kebahasaan di atas, maka secara istilah al-masa`il al-fiqhiyah adalah: “problem-problem hukum Islam baru
al-waqi’iyyah (faktual) dan dipertanyakan oleh umat jawaban hukumnya karena permasalahan tersebut tidak
tertuang di dalam sumber-sumber hukum Islam.”
Masail Fiqhiyah terurai dari kata mas’alah. Masail fiqihiyah adalah masalah yang terkait dengan fiqih, dan
yang dimaksud masalah fiqih pada term Masail fiqhiyah ialah: “persoalan-persoalan yang muncul pada konteks
kekinian sebagai refleksi kompleksitas problematika pada suatu tempat, kondisi dan waktu. Dan persoalan
tersebut belum pernah terjadi pada waktu yang lalu, karena adanya perbedaan situasi yang melingkupinya.”
Dalam bentuk mufrad (singular) yang dijamakkan (plural) dan dirangkaikan dengan kata fiqih.
Masail fiqhiyah disebut juga Masail fiqhiyah al haditsah (persoalan hukum Islam yang baru). Objek kritis
adanya masa'il fiqhiyah ini menunjukkan adanya kepedulian Islam untuk mencari jawaban berbagai masalah yang
berkembang dimasa kini.
Dari beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa Masail Fiqhiyah adalah masalah-masalah
baru yang muncul setelah turunnya Al-quran dan hadits dan setelah wafatnya Rasulullah SAW yang belum ada
ketentuan hukum secara pasti, sehingga dalam mencari jawabannya memerlukan metodologi ijtihad para ulama
dalam menginstinbatkan hukum yang diambil dari Al-quran, Hadits, ijma‟, qiyas, qaulul sahabat dan lain sebagainya.
Dengan adanya Ilmu masa'il fiqhiyah menunjukkan adanya kebebasan berpikir secara bertanggung jawab di
kalangan umat Islam dan sekaligus toleransi dan kedewasaan sikap dalam menghadapi berbagai perbedaan
pendapat.
Contoh masail fiqhiyyah misalnya masalah pernikahan harus dicatat dalam lembaga pencatatan negara atau
tidak? Kalau pada zaman Rasul, sahabat dan tabiiin, nikah tidak perlu dicatat dalam KUA (sebutlah seperti itu).
Karena memang ayat yang ada tentang perintah dokumentasi hanya dalam masalah akuntan hutang-piutang, seperti
yang terdapat dalam QS al-Baqarah ayat 282. Selain itu, karena adanya saksi nikah dan pelaksanaan walimatul ursy
juga adalah sebagai bukti penguat bahwa telah terjadi pernikahan. Cuma….timbul persoalan, Bagaimana kalau
saksinya itu meninggal, lalu apa yang bisa dijadikan bukti bahwa keduanya telah menikah atau belum? Dan, masih
banyak lagi penyebab lain, baik itu yang bernuansa politik kebijakan pemerintah atau memang murni problema yang
timbul dari tentang status pernikahan itu. Maka, mendaftarkan pernikahan di lembaga pencatatan negara menjadi
masalah Fiqh kekinian yang memerlukan fatwa. Inilah salah satu contoh Masailul Fiqhiyyah.

C. RUANG LINGKUP MASAIL FIQHIYYAH


Masa'il fiqhiyah termasuk menghubungkan sesuatu hukum dengan hukum lainya yang belum ada nashnya
dan didasari atas kumpulan hasil pemahaman para mujtahid terhadap Al-qur'an dan hadits.
Dengan lahirnya masail fiqihiyah atau persoalan-persoalan kontemporer, baik yang sudah terjawab maupun
sedang diselesaikan bahkan prediksi munculnya persoalan baru mendorong kaum muslimin belajar dengan giat
mentelaah berbagai metodologi penyelesaian masalah mulai dari metode ulama klasik sampai ulama kontemporer.
Untuk itu tujuan mempelajari masail fiqhiyah secara garis besar diorientasikan kepada mengetahui jawaban
dan mengetahiui proses penyelesaian masalah melalui metodologi ilmiah, sistematis dan analisis. Dari sudut fiqh
penyelesaian suatu masalah dikembalikan kepada sumber pokok (Al-Qur‟an dan Al-Sunnah), ijma‟, qiyas dan
seterusnya. Sehingga nilai yang dihasilkan senantiasa berada dalam koridor.
Penetapan hukum akan difokuskan kepada tiga aspek:
1. Memperbaiki manusia secara individu dan kolektif agar dapat menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat.
2. Menegakkan keadilan dalam masyarakat Islam.
3. Hukum Islam yang terkandung di dalamnya mempunyai sasaran pasti yaitu mewujudkan kemaslahatan.
Tidak ada hal yang sia-sia di dalam syari‟at melalui Al-Qur‟an dan al-Sunnah kecuali terdapat kemaslahatan
hakiki di dalamnya.

Ruang lingkup pembahasan Masail Fiqhiyah meliputi:


a. Hubungan Manusia dengan Allah SWT
Ilmu fiqih mengatur tentang ibadah yaitu ibadah mahdzah dan ghairu mahdzah. Ibadah mahdzah adalah ajaran
agama yang mengatur perbuatan-perbuatan manusia yang murni mencerminkan hubungan manusia itu dengan sang
pencipta yaitu Allah SWT. Sedangkan ibadah ghairu mahdzah adalah ajaran agama yang mengatur perbuatan antar
manusia itu sendiri serta manusia dengan lingkungan.
Contoh masail fiqhiyyah yang berhubungan dengan ibadah yaitu hukum fiqh menyikapi shalat jum‟at lebih dari
satu tempat (ta’adud al jum’at). Pada zaman sekarang dalam pelaksanaan shalat jum‟at sering memunculkan
beberapa fenomena menarik. Semisal aturan lokasi pelaksanaan shalat jum‟at yang menurut sebagian kalangan
harus terpusat di satu tempat. Hal ini terkadang menimbulkan masalah disaat keadaan menuntut sebagian
masyarakat membuat lokasi alternatif. Mungkin anggapan mereka hal itulah yang terbaik dengan alasan kondisi
pemukiman, kapasitas tempat peribadatan dan interaksi sosial di tengah-tengah mereka adalah faktor-faktor
potensial pemicu kejadian semacam itu.
3

Menyikapi perkembangan di atas, statement mayoritas ulama secara tegas menghukumi wajib melakukan
shalat jum‟at di satu tempat dalam sebuah balad atau qaryah. Al-Syafi‟i dalam hal ini berpendapat bahwa shalat
jum‟at jelas tidak diperkenankan lebih dari satu tempat, baik ada hajat atau tidak. Namun istinbath (penggalian) dari
ulama syafi‟iyyah dalam permasalahan ini akhirnya membolehkan dengan batasan hajat tertentu.
Faktor pemicu terjadinya ta’adud al-jum’at di atas sangat luas pemahamannya apabila kita dalami satu persatu.
Hanya saja syari‟at mempermudah kita dengan memberikan sebuah standar yang lebih fokus dengan
mengembalikan kepada batasan “urfi (tradisi mayoritas masyarakat) yang ditopang rasionalisasi tinggi, yaitu semua
faktor yang sudah sampai pada tingkat kesulitan yang diluar batas kemampuan (masyaqat laa tuhtamalu a’datan).
Artinya semisal konflik masyarakat dalam satu daerah sudah sampai menyebabkan antar pihak sulit berkumpul
hingga pada taraf hampir mustahil atau semisal kapasitas tempat shalat yang terbatas dan tidak memungkinkan
menampung seluruh masyarakat di daerah tersebut, disitulah ta‟adud al-jum‟at diperbolehkan.

b. Hubungan Manusia sesama manusia.


Sebagai contoh masail fiqhiyyah yang mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia yaitu
mendonorkan organ tubuh dari manusia yang masih hidup.
Pendapat pertama mengatakan bahwa transplantasi seperti hukumnya haram. Meskipun pendonoran tersebut
untuk keperluan medis bahkan sekalipun telah sampai dalam kondisi darurat.
Dalil pendapat yang pertama adalah: Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara
kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
Kelompok kedua berpendapat bahwa transplantasi hukumnya jaiz (boleh) namun memiliki syarat-syarat
tertentu, di antaranya adalah: adanya kerelaan dari si pendonor, kondisi si pendonor harus sudah baligh dan berakal,
organ yang didonorkan bukanlah organ vital yang menentukan kelangsungan hidup seperti jantung dan paru-paru
serta merupakan jalan terakhir yang memungkinkan untuk mengobati orang yang menderita penyakit tersebut.
Dalil pendapat yang kedua adalah: Artinya : Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang
halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, Padahal Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada
kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. dan Sesungguhnya
kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa
pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas.

c. Hubungan manusia dengan dirinya sendiri


Contoh masail fiqhiyyah yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri yaitu tentang hukum
rebonding.
Rebonding adalah meluruskan rambut agar rambut jatuh lebih lurus dan lebih indah. Prosesnya dua tahap.
Pertama, rambut diberi krim tahap pertama untuk membuka ikatan protein rambut. Kemudian rambut dicatok, yaitu
diberi perlakuan seperti disetrika dengan alat pelurus rambut bersuhu tinggi. Kedua, rambut diberi krim tahap kedua
untuk mempertahankan pelurusan rambut. Proses rebonding melibatkan proses kimiawi yang mengubah struktur
protein dalam rambut. Proses rebonding menghasilkan perubahan permanen pada rambut yang terkena aplikasi.
Namun rambut baru yang tumbuh dari akar rambut akan tetap mempunyai bentuk rambut yang asli. Jadi, rebonding
bukan pelurusan rambut biasa yang hanya menggunakan perlakuan fisik, tapi juga menggunakan perlakuan kimiawi
yang mengubah struktur protein dalam rambut secara permanen. Inilah fakta (manath) rebonding.
Rebonding hukumnya haram, karena termasuk dalam proses mengubah ciptaan Allah (taghyir khalqillah)
yang telah diharamkan oleh nash-nash syara‟. Dalil keharamannya adalah keumuman firman Allah (artinya), “Dan
aku (syaithan) akan menyuruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu mereka benar-benar mengubahnya”. (QS An-
Nisaa` [4] : 119).
Ayat ini menunjukkan haramnya mengubah ciptaan Allah, karena syaitan tidak menyuruh manusia kecuali
kepada perbuatan dosa. Mengubah ciptaan Allah (taghyir khalqillah) didefinisikan sebagai proses mengubah sifat
sesuatu sehingga seakan-akan ia menjadi sesuatu yang lain (tahawwul al-syai` ‘an shifatihi hatta yakuna
ka`annahu syaiun akhar), atau dapat berarti menghilangkan sesuatu itu sendiri (al-izalah). (Hani bin Abdullah al-
Jubair, Al-Dhawabit al-Syar‟iyah li al-„Amaliyat al-Tajmiliyyah, hlm.9).
Dari definisi tersebut, berarti rebonding termasuk dalam mengubah ciptaan Allah (taghyir khalqillah), karena
rebonding telah mengubah struktur protein dalam rambut secara permanen sehingga mengubah sifat atau bentuk
rambut asli menjadi sifat atau bentuk rambut yang lain. Dengan demikian, rebonding hukumnya haram.
Selain dalil di atas, keharaman rebonding juga didasarkan pada dalil Qiyas. Dalam hadis Nabi SAW,
diriwayatkan oleh Ibnu Mas‟ud RA, dia berkata,“Allah melaknat wanita yang mentato dan yang minta ditato, yang
mencabut bulu alis dan yang minta dicabutkan bulu alisnya, serta wanita yang merenggangkan giginya untuk
kecantikan, mereka telah mengubah ciptaan Allah.” (HR Bukhari).
Sebagian ulama telah menyimpulkan adanya illat dalam hadis tersebut, sehingga mereka mengambil
kesimpulan umum dengan jalan Qiyas, yaitu mengharamkan segala perbuatan yang memenuhi dua unsur illat
hukum, yaitu (1) mengubah ciptaan Allah dan (2) mencari kecantikan. Abu Ja‟far Ath-Thabari berkata,”Dalam hadis
ini terdapat dalil bahwa wanita tidak boleh mengubah sesuatu dari apa saja yang Allah telah menciptakannya atas
4

sifat pada sesuatu itu dengan menambah atau mengurangi, untuk mencari kecantikan, baik untuk suami maupun
untuk selain suami.” (Imam Syaukani, Nailul Authar, 10/156; Ibnu Hajar, Fathul Bari, 17/41; Tuhfatul Ahwadzi, 7/91).
Adapun meluruskan atau mengeriting rambut tanpa perlakuan kimiawi yang mengubah struktur protein rambut
secara permanen, yakni hanya menggunakan perlakuan fisik, seperti menggunakan rol plastik dan yang semisalnya,
hukumnya boleh. Sebab tidak termasuk mengubah ciptaan Allah, tapi termasuk tazayyun (berhias) yang dibolehkan
bahkan dianjurkan syara‟, dengan syarat tidak boleh ditampakkan kepada yang bukan mahram.

d. Hubungan manusia dengan alam sekitar.


Islam menekankan umatnya untuk menjaga kelestarian lingkungan dan berlaku arif terhadap alam (ecology
wisdom). Akan tetapi, doktrin tersebut tidak diindahkan. Perusakan lingkungan tidak pernah berhenti. Eksplorasi alam
tidak terukur dan makin merajalela. Dampaknya, ekosistem alam menjadi limbung. Ini tentu saja sangat
mengkhawatirkan. Alam akan menjadi ancaman kehidupan yang serius. Ia senantiasa siap mengamuk sewaktu-
waktu.
Fiqh Islam pun tumpul. Fiqh belum mampu menjadi jembatan yang mengantarkan norma Islam kepada perilaku
umat yang sadar lingkungan. Sampai saat ini, belum ada fiqh yang secara komprehensif dan tematik berbicara
tentang persoalan lingkungan. Fiqh-fiqh klasik yang ditulis oleh para imam mazhab hanya berbicara persoalan
ibadah, mu‟amalah, jinayah, munakahat dan lain sebagainya. Sementara, persoalan lingkungan (ekologi) tidak
mendapat tempat yang proporsional dalam khazanah Islam klasik. Karena itulah, merumuskan sebuah fiqh
lingkungan (fiqh al-bi’ah) menjadi sebuah kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Yaitu, sebuah fiqh yang
menjelaskan sebuah aturan tentang perilaku ekologis masyarakat muslim berdasarkan teks syar‟i dengan tujuan
mencapai kemaslahatan dan melestarikan lingkungan.

D. SEBAB PERBEDAAN PENDAPAT PARA FUQAHA


1. Faktor ikhtilaf seputar fiqh
a. Perbedaan qira‟at
b. Adam al ittila ala hadits yaitu adanya hadits yang belum ditelaah oleh sebagian sahabat karena secara
real pengetahuan mereka dalam hal ini tidak sama.
c. Adanya syak atau keraguan dalam menetapkan hadits
d. Perbedaan dalam memahami nas dan perbedaan penafsirannya
e. Adanya lafad musytarak yaitu lafadz yang memiliki dua makna atau lebih
f. Ta’arud al-Adillah, yaitu dalil-dalil yang lahir secara kontradiktif.
2. Dua faktor dominan perpecahan umat
a. Fanatik Arabisme
b. Faktor pertikaian dalam memperebutkan kekuasaan dan pengendali tampuk pemerintahan
3. Metode- Metode Fuqaha dalam menyelesaikan Persoalan
a. Disepakati: Al-Qur‟an, As-Sunnah, Al-Ijma, Al-Qiyas
b. Diperselisihkan: Al- Istihsan, Al-Maslahah Mursalah, Al-Urf, Al-Istihshab, Al-Dzara‟I, Syar‟un man
Qoblana, dan Mazdhab sahabat

E. TUJUAN MASAIL FIQHIYAH


Dari penjelasan di atas maka tujuan dari Masa'il fiqhiyah secara umum adalah untuk menjawab dan
menyelesaikan permasalahan-permasalahan baru yang muncul dalam masyarakat di kehidupan modern yang sering
kali jadi pertanyaan-pertanyaan sehingga membutuhkan jawaban-jawaban logis tentang kepastian hukum.
Sedangkan tujuan khususnya mempelajari Masail Fiqhiyah bagi kita calon-calon pendidik adalah agar nantinya ketika
mengajar kita sudah siap dan dapat menjawab dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan serta pertanyaan-
pertanyaaan yang mungkin muncul dari diri peserta didik.
Kemajuan dan perkembangan zaman terbagi menjadi dua hal yaitu kemajuan yang berhubungan langsung
dengan hukum Islam dan yang tidak berhubungan langsung. Dan fiqih itu sendiri ada yang dikenal dengan al-fiqh
an-nazilah yang mana permasalahan fiqih disini mempunyai domain yang lebih luas dari yang ada pada masa
Rasulullah saw. Adapun al-fiqh al-mu`ashirah yang kita kenal memilki cakupan yang lebih sempit dimana
permasalahan yang dikaji sama sekali tidak pernah ditemukan pada masa Rasulullah saw.

F. LANGKAH-LANGKAH DASAR & KAIDAH PENYELESAIAN MASAIL FIQHIYAH


1. Menghindari sifat taqlid dan fanatisme
Upaya menghindarkan diri dari fanatisme mazhab tertentu dan taqlid buta terhadap pendapat ulama klasik
seperti pendapat Umar bin al-Khattab, Zaid bin Tsabit atau pendapat ulama moderen, kecuali ia adalah seorang yang
bodoh dan telah melakukan kesalahan. Pelakunya disebut muqallid yang dilawankan dengn muttabi’. Yaitu muttabi‟
dengan kriteria sebagai berikut :
 Menetapkan suatu pendapat yang dianutnya dengan dalil-dalil yang kuat, diakui dan tidak mengundang
kontroversi.
5

 Memiliki kemampuan untuk mentarjih beberapa pendapat yang secara lahiriyah terjadi perbedaan melalui
perbandingan dalil-dalil yang digunakan masing-masing.
 Diharapkan memiliki kemampuan untuk melakukan kegiatan berijtihad terhadap hukum persoalan tertentu
yang tidak didapati jawabannya pada ulama terdahulu.

2. Prinsip mempermudah dan menghindarkan kesulitan


Kaedah ini patut diperlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan nash qath‟i atau kaidah syari‟at yang
bersifat pasti. Dengan dua pertimbangan sebagai berkut:
 Bahwa keberadaan syari‟at didasarkan kepada prinsip mempermudah dan menghindarkan kesulitan manusia
seperti sakit, dalam perjalanan, lupa, tidak tahu dan tidak sempurna akal. Taklif Allah atas hambanya
disesuaikan dengan kadar kemampuan yang dimiliki.
 Memahami situasi dan kondisi suatu zaman yang dialami pada saat munculnya persoalan. Adapun kriteria
maslahat sebagaimana yang biasa dikenal adalah menrealisasikan lima kepentingan pokok dan disebut
dengan darurat khomsa, yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara harta,
memelihara keturunan.

3. Berdialog dengan masyarakat melalui bahasa kondisi masanya dan melalui pendekatan persuasif aktif
serta komunikatif.
Ketentuan hukum yang akan diputuskan harus disesuaikan masyarakat yang diinginkannya dan
menggunakan bahasa layak sebagaimana bahasa masyarakat dimana persoalan itu muncul. Bahasa masyarakat
yang ideal :
 Bahasa yang dapat dipahami sebagai bahasa sehari-hari dan mampu menjangkau pemahaman umum.
 Menghindarkan istilah-istilah rumit yang mengundang pengertian kontroversi.
 Ketetapan hukum bersifat ilmiah karena didasarkan pertimbangan hikmah, illat, filisofis dan Islami.

4. Bersifat moderat terhadap kelompok tekstualis dan kelompok kontekstualis.


Dalam merespon persoalan baru yang muncul, ulama bersandar kepada al-nash sesuai bunyi literal ayat
tanpa menginterpretasi lebih lanjut diluar teks itu. Dipihak lain, kelompok kontekstualis lebih berani
menginterprestasikan produk hukum al-nash dengan melihat kondisi zaman dan lingkungan. Sementara kelompok ini
dinilai terlalu berani bahkan dianggap melampaui kewenangan ulama salaf yang tidak diragukan kehandalannya
dalam masalah ini. Menurut mereka perbedaan masa, masyarakat, geografis, pemerintahan dan perkembangan
teknologi moderen patut dipertimbangkan serta layak mendapat perhatian.

5. Ketentuan hukum bersifat jelas tidak mengandung interpretasi.


Bahasa hukum relatif tegas dan membutuhkan beberapa butir alternatif keterangan dan diperlukan
pengecualian-pengecualian pada bagian tersebut. Pengecualian ini merupakan langkah elastis guna menjangkau
kemungkinan lain diluar jangkauan ketentuan yang ada. Misalnya ketentuan hukum potong tangan terhadap pencuri
sebuah barang yang telah mencapai nisab. Umar bin Khatthab pernah tidak memberlakukan hukum ”had” atau
potong tangan terhadap pencuri barang tuannya, karena sang tuan pelit, dan tidak membayar upah si pelayan, maka
ia mencuri barang sang tuan demi kebutuhan mendesak yaitu kelaparan.

Langkah-Langkah Penyelesaian Masalah Fiqhiyah Kontemporer


Untuk mengetahui hukum dari sebuah permasalahan ada beberapa langkah yang harus dilakukan.

Pertama, diagnosis masalah (tahrir mahal an-niza’) dan visualisasi masalah (tashawwur).
Sebuah kaedah yang sangat akrab sering kita dengar “alhukmu ala syain far’un an tashawwurihi“. Jika kita
ingin mengetahui hukum sebuah masalah maka kita harus mem-visual-kan masalah itu secara utuh. Agar hasil yang
diharapkan juga tepat.
Adapun yang perlu divisualkan (tashawwur) adalah masalahnya dan kondisi yang berada di sekitar masalah.
Seperti jika seseorang ingin mengetahui hukum aborsi. Pertama ia harus mengetahui proses aborsi itu dan kondisi
yang menyebabkan seseorang melakukan aborsi. Jika ada yang kurang pada visualisasinya maka akan
menimbulkan kesimpulan yang tidak tepat. Hal-hal yang bisa membantu dalam proses visualisasi biasanya dengan
bertanya kepada ahli, survey lapangan, menggunakan form tertulis dan lainnya.

Kedua, membingkai masalah dengan fiqih (takyif al-fiqh)


Tahapan-tahapannya adalah:
1. meruju’ nash dan ijma’ yang ada tentang masalah tersebut, Ini dapat dilakukan dengan melihat nash baik
itu umum, khusus, manthuq, mafhum dan yang lainnya. Seperti larangan memakan hewan yang mati terkena
sentrum, karena bangkai tidak boleh dimakan terdapat dalam Al Quran QS Almaidah 4.
2. jika tidak ditemukan maka lanjut pada tahapan berikutnya yaitu takhrij dimana permasalahan yang ada
diqiyaskan kepada masalah yang serupa yang pernah ada atau penqiyasan pada pendapat ulama terdahulu.
6

Seperti mengqiyaskan penyalinan mushaf dalam CD/DVD, program komputer dan HP dengan upaya para
sahabat mengumpulkan atau mangkompilasikan al Quran.
3. Dan jika ditemukan masalah yang serupa untuk diqiyaskan, maka hukum permasalah harus dikaji dan
disimpulkan dengan kaedah ushul fiqih ataupun kaedah fiqhiyah yang lebih dikenal dengan istinbath al-
ahkam. Seperti masalah mencangkok anggota tubuh dan lain-lain.

Ketiga: Memberikan Hukum Masalah


Setelah kedua langkah di atas dipenuhi maka barulah kita masuk kepada tahap menghukumi masalah.
Diantara pertimbangan paling fundamen yang perlu diperhatikan adalah hukum masalah tidak menyebabkan raibnya
mashlahat tertinggi. Yang lebih dikenal dengan maqashid syari’ah al’ulya.
Setidaknya ada beberapa poin yang harus menjadi pertimbangan ketika hendak menghukumi masalah.
1. Menimbang antara maslahat dan madharat yang ada pada masalah.
2. Menimbang kondisi darurat dan kondisi masyarakat luas (‘umum al balwa)
3. Melihat realita adat, kebiasaan, tempat dan waktu.

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrohman Kasdi. Masail Fiqhiyyah Kajian Fiqih atas Masalah-masalah Kontemporer. Kudus: Nora Media Enterprise. 2011
Ahmad Sudirman Abbas. Dasar-Dasar Masail Fiqhiyyah. Jakarta: CV Bayu Kencana. 2003
Ahmad Zahro, Lajnah Bahsul Masail Madhatul Ulama, 1926-1996 (disertasi doktor), IAIN Sunan Kalijogo Yogyakarta, 2001, hal
Mahjuddin, Masailil Fiqhiyah, (Jakarta: Kalam Mulia, 2008), hlm. 1
Qamruzzaman. Paradigma Fiqh Masail Kontekstual Hasil Bahtsul Masail. Kediri: Team Pembukuan Manhaji Purna Siswa 2003.
Yasin dan Sholikhul Hadi. Fiqih Ibadah. Kudus: STAIN Kudus. 2008
Yusuf Qardhawi, Hadyu al-Islam fatawa al-Muasshirah, juz 1, 1996. cet VI, h.10-26
7

PERTEMUAN KEDUA:
Kontrak Belajar Mata Kuliah Masail Fiqhiyyah Kontemporer
Bagi Mahasiswa STAI Bhakti Persada Bandung
Oleh:
HM. Agus Nurkholiq MN., S.Ag. SE. MA
Ketua STAI Bhaper Kampus Pencerahan

A. Isi Kajian al-Masa`il al-Fiqhiyyah.


Kompetensi Mata Kuliah:
Mahasiswa memahami dengan baik tentang problema-problema yang timbul dalam Fiqh Islam memberikan
kemampuan untuk membahas dan memecahkan masalah-masalah Fiqh yang aktual dan memasyarakatkannya
dengan pendekatan yang luas, yang tidak hanya terfokus pada teks-teks fiqh klasik akan tetapi juga pada
pendekatan-pendekatan rasional lainnya, seperti pendekatan sosiologis, politis, dll.

B. Deskripsi Materi Kajian Pokok Kuliah Masail Fiqhiyyah


1. Hukum Inseminasi Buatan: Status Bayi Tabung atau Bayi yang Dititip pada Rahim Wanita Lain dan atau Hewan
2. Hukum Kloning bagi Hewan dan Manusia: Rekayasa Genetika Peserupaan Biologis
3. Hukum Pernikahan Muslim dan Ahlul Kitab serta Nikah Beda Agama
4. Hukum mengubur Mayat dalam Air/Lumpur, Membongkar mayat untuk Visum dan Memindahkan Jenazah
5. Hukum Jual Beli Kredit dan Fiducia
6. Hukum Kredit Card dan Debit Card dalam Perbankan
7. Hukum Tranplantasi Organ Tubuh dan Tranfusi Darah
8. Hukum Ethanasia (Suntik Mati) bagi Pasien Kronis dan Pembunuhan dengan Daya Paksa (Overmatcht)
9. Hukum Penyimpangan Prilaku Sosial, HIV/AIDS dan Kondomisasi
10. Hukum Waris bagi Bayi yang Masih dalam Kandungan dan Orang Mati Bersamaan dalam Kecelakaan
11. Hukum Infotainment dalam Televisi
12. Hukum daur Ulang Air Limbah dan Air Mutanajis
13. Hukum Bank Asi dan Konsep Rodho‟ah dalam Islam
14. Hukum tentang Pengupahan dan Konsep UMR dalam Perspektif Islam
15. Hukum Zakat, Infaq dan Shodaqoh sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi Pemerintah
16. Hukum Penyembelihan Qurban dengan Dana Zakat dan Niat sekaligus Aqiqah
17. Hukum Sistem Transaksi jual beli dengan Sistem Elektrik di Supermarket
18. Hukum Kupon Berhadiah dalam Kemasan Produk dan di Departemen Store
19. Hukum Nikah Siri (dibawah tangan) dan Kawin Kontrak
20. Hukum Pembayaran Denda Penyitaan Jaminan Harta Debitur yang Wanprestasi dan Pailit dalam Perbankan
21. Hukum Adopsi dan Status Hukum Anak Angkat, Anak Pungut dan Anak Asuh
22. Hukum Pelaksanaan Sholat dan Puasa di Zone Abnormal dan di Planet/Satelit selain Bumi.
23. Hukum Operasi Ganti Kelamin, Vasektomi dan Tubektomi serta Sterelisasi (Kontrasepsi Mantap) dan Hukum Abortus
24. Hukum Jual Beli, Memelihara dan Mewakafkan Anjing Pelacak
25. Hukum Adzan, Iqomah, Khutbah dan Bermakmum Via Radio dan Televisi.
26. Hukum Aqad Nikah dan Perwalian dengan Telepon Tri-G.
27. Hukum Pertandingan Beladiri, Tinju, Gulat dan Pertarungan Bebas dalam Islam
28. Hukum Sumpah Jabatan dan Sumpah dalam Jual Beli
29. Hukum Pemindahan Tanah Wakaf
30. Hukum Berzakat, Berqurban, Berhaji dan Berumroh dengan dana pinjaman
31. Hukum Demokrasi dan Kepemimpinan Wanita dalam Pemerintahan
32. Hukum Golput dalam Pemilihan Umum
33. Hukum Kerudung dan Jilbab Fashionabel dalam Islam
34. Hukum Pernikahan Penderita HIV/AIDS dan Penyakit Menular lainnya
35. Hukum Penggunaan Ayat Al-Qur‟an dan Adzan sebagai Nada Dering Hand Phone

C. Metode Perkuliahan
1. Kuliah Tatap Muka dengan pola Studium General, Ceramah, Dramatisasdi dan Abstraksasi
2. Pembuatan Makalah Take Home/Tugas Mandiri Kelompok Tersktrukur @ 1-2 orang mahasiswa
3. Penugasan dan Observasi Lapangan
4. Sistematika Makalah terdiri atas:
(a) Caver, (b) Pengantar, (c) Daftar isi, (d) I. Pendahuluan yang berisi: latar belakang masalah dan dasar pemikiran,
rumusan masalah, manfaat penulisan secara teoritis dan praktis, serta kerangka berfikir ilmiah; (e) II. Pembahasan dan
Analisis Masalah yang berisi: pengertian atau definisi istilah kunci, dasar hukum, beberapa putusan/fatwa terdahulu dari
lembaga agama/ulama, pendekatan masalah fiqihiyah dari aspek historis dan sosiologis, analisa pembahasan secara lintas
disiplin dan inter multi disipliner; (f) III. Kesimpulan, Saran dan Rekomendasi; serta (g) Daftar Pustaka, Referensi, dan
Rujukan serta Lampiran lain yang menunjang
5. UTS dan atau UAS dilaksanakan secara Lisan.

Anda mungkin juga menyukai