Anda di halaman 1dari 9

BAB II

PEMBAHASAN

A. Dasar Studi Masail Fiqiyah


Sebagaimana yang telah dijelaskan terdahulu, bahwa obyek studi masāil al-
fiqhīyah adalah persoalan-persoalanpersoalan kontemporer (al-nawāzil atau al-
mustajaddāt) yang tidak dijelaskan secara eksplisit akan kedudukan hukumnya baik
dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah.
Di sini, dapat ditegaskan bahwa orientasi utama dalam studi masāil al-fiqhīyah
khususnya yang bersifat kontemporer dan aktual menjadikan prilaku manusia sebagai
obyeknya. Sebab, perubahan pola prilaku sosial masyarakat dapat melahirkan perubahan
pola prilaku hukum, karena prilaku hukum erat kaitannya dengan perubahan prilaku
sosial. Sehingga, untuk dapat mengetahui lebih jauh natur dan realitas prilaku hukum,
maka harus mencermati keterkaitan hukum tersebut dengan kondisi dan realitas sosial
yang ada dan terjadi di tengah masyarakat.
Dengan demikian, maka studi masāil al-fiqhīyah didasarkan pada persoalan-
persoalan kemanusiaan dan kemasyarakatan yang dihadapi oleh kaum muslimin, dimana
persoalan-persoalan tersebut tidak ditemukan keterangannya secara eksplisit dalam al-
Qur’an, al-Sunnah, maupun Ijma’, dan juga tidak ditemukan kejadiannya dalam
masyarakat muslim masa lalu disebabkan oleh adanya perbedaan situasi, kondisi dan
waktu.
B. Sumber Studi Masail Fiqiyah
Yang dimaksud dengan sumber studi masāil al-fiqhīyah adalah dalil-dalil dan atau
petunjuk-petunjuk yang dijadikan sebagai landasan penetapan hukum akan suatu
pesoalan kontemporer dan aktual. Sumber-sumber tersebut antara lain:
a. Seluk-beluk persoalan baik klasik maupun kontemporer. Maksudnya, bahwa
persoalan-persoalan tersebut baik yang bersifat klasik maupun kontemporer
berfungsi sebagai petunjuk Allah saw bagi seorang peneliti muslim dan
pengkaji hukum Islam. Petunjuk Allah swt tersebut selanjutnya disebut
dengan āyāt al-kawnīyah (tanda-tanda atau gejala-gejala semesta), yaitu
petunjuk-petunjuk Allah swt. yang tampak dalam kehidupan manusia, baik
petunjuk tersebut berbentuk perkataan maupun perbuatan. Tetapi dalam
masāil al-fiqhīyah yang dijadikan sebagai dasar studi adalah perbuatan
manusia mukallaf dengan memperhatikan segala hal yang mengitarinya, mulai
dari sisi istilah, tujuan, maanfaat, mudarat, metode dan teknik pelaksanaan
dari perbuatan tersebut.
b. Dalil-dalil syari’at yang berfungsi untuk penguji berbagai persoalan
kontemporer. Maksudnya, bahwa dalil-dalil syari’at khususnya al-Qur’an dan
al-Sunnah sebagaimana yang disepakati oleh seluruh kaum muslimin bahwa
keduanya merupakan sumber hukum utama dan palig utama dalam Islam.
Jadi, meskipun persoalan-persoalan kontemporer yang dikaji tersebut tidak
terakomodasi dalam keduanya (al-Qur’an dan al-Sunnah) secara tekstual,
bukan berarti bahwa persoalan tersebut tidak terakomodasi dalam keduanya
secara kontekstual. Oleh karena itu, seorang pengkaji masāil al-fiqhīyah al-
mu’āshirah (persoalan fiqhi kontemporer) harus merujuk kepada keduanya
dengan melibatkan dalil-dalil syari’at lainnya seperti; ijmā’, qiyās dan
selainnya,9 serta penjelasanpenjelasan ulama yang kompeten dalam bidang
tafsīr, hadīts dan fiqhi.
c. Qiyās (analogi). Dalil syari’at ini merupakan dalil yang paling dapat
menjembatani penjelasan hukum tentang persoalan-persoalan kontemporer,
sebab dalam penggunaannya mempersyaratkan terpenuhinya empat unsur:
1) Dasar hukum yang dijelaskan secara eksplisit dalam al-Qur’an dan al-
Sunnah;
2) Adanya persoalan hukum yang tidak dijelaskan secara eksplisit dalam
kedua teks syari‘at tersebut (alQur’an dan al-Sunnah) yang selanjutnya
disebut dengan pesolan fiqhi kontemporer (al-masāil al-fiqhīyah al-
hadītsah);
3) Adanya persoalan hukum yang telah dijelaskan secara eksplisit dalam al-
Qur’an maupun al-Sunnah yang diistilahkan dengan hukum asal;
4) Adanya kesamaan sifat dan karakteristik (‘illat) antara persoalan hukum
kontemporer dengan persoalan hukum yang telah dijelaskan dasar
hukumnya secara eksplisit dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.
d. Maqāşid al-syarī’ah al-‘āmmah (tujuan umum syari’at). Yaitu, untuk
memberikan maslahat (kebaikan) bagi seluruh manusia dalam kehidupan
dunia yang dapat mendatangkan manfaat dan menjauhkan dari berbagai
bahaya. Maqāşid al-syarī’ah sebagaimana yang disepakati oleh para ulama ada
lima, yaitu:
1) Menjaga agama (hifzh ad-din)
2) Menjaga jiwa (hifzh al-nafs)
3) Menjaga akal (hifzh al-aql)
4) Menjaga keturunan dan kehormatan (hifzh al-nasab wa al-aradh)
5) Menjaga harta (hifzh al-mal)
e. Al-Qawā’id al-fiqhīyah (kaidah-kaidah fiqhi). Yaitu rumusan kaidah fiqhi
yang telah dirumuskan oleh para fuqahā’ berdasarkan hasil penalaran melalui
dalil-dalil syari’at. Kaidah-kaidah fiqhi tersebut bersifat kullīy (universal),
sebab pengambilan dan perumusannya berdasarkan petunjuk-petunjuk tekas
baik al-Qur’an maupun alSunnah. Para ulama fiqhi bersepakat bahwa rumusan
kaidah fiqhi mayor (al-qawā’id al-fiqhīyah al-kubrā) ada lima:
1) al-Umūru bi Maqāshidihā (segala perkara tergantung pada tujuannya)
2) al-Yaqīnu lā Yuzālu bi al-Syakk (keyakinan tidak dapat dihilangkan oleh
keraguan)
3) al-Masyaqqatu Tajlib al-Taysīr (kesulitan dapat mendatangkan
kemudahan)
4) al-Dharar Yuzāl (kemudaratan/bahaya harus dihilangkan);
5) al-‘Ādat Muuakkamah (adat/kebiasaan dapat dijadikan sebagai
pertimbangan hukum).

Masing-masing dari kelima kaidah mayor tersebut memiliki kaidah minor


(kaidah turunan) di antaranya ada yang bersifat kullīy (universal) dan adapula
yang bersifat juz’īy (parsial).

Dalam kelima kaidah mayor fiqhi ini selain berfungsi sebagai sumber
studi masāil al-fiqhīyah, juga berfungsi sebagai alat kontrol bagi para pengkaji
atau peniliti masāil al-fiqhīyah. Maksudnya, bahwa seorang pengkaji atau
peneliti masāil al-fiqhīyah dalam melakukakn kajian dan penelitiannya harus :

a) Meluruskan dan memurnikan niat dan tujuannya dalam mengkaji dan


meneliti serta memberikan jawaban atas berbagai persoalan fiqhi –
khususnya yang bersifat aktual- yang dihadapi oleh masyarakat.
b) Meyakini bahwa kajian dan penelitiannya bermanfaat bagi seluruh
manusia –khususnya kaum muslimindan jawaban-jawabannya atas
berbagai pertanyaan fiqhi merupakan jawaban yang tercerahkan oleh
nūr al-Qur’an dan al-Sunnah lagi mencerahkan.
c) Jawaban atas berbagai persoalan fiqhi yang merupakan hasil
pengkajian dan penelitian tersebut bersifat mudah untuk difahami dan
diamalkan oleh masyarakat muslim baik bersifat individual maupun
kolektif.
d) Berusaha menghilangkan berbagai bahaya yang timbul dari hasil
kajian atau penelitian, seperti: bahaya dari sisi ‘aqidah (munculnya
sikap fanatisme golongan [‘aşabīyah], mazhab tertentu [ta’aşşub
mażhaby]; bahaya dari sisi sosial, seperti munculnya pertengkaran
ideologis yang berimplikasi pada perpecahan umat; dan bahaya-
bahaya lainnya.
e) Mencermati dan memahami berbagai prilaku sosial masyarakat
sebelum memberikan dan menyuguhkan jawaban atau hasil penelitian,
sebab perubahan prilaku sosial berdampak pada perubahan prilaku
hukum, sehingga natījah penelitian atau kajian hukum dan
pemberlakuannya akan berbeda antara satu kelompok masyarakat
dengan kelompok masyarakat lainnya.

Kelima sumber studi masāil al-fiqhīyah ini, harus diterapkan secara


analitis dengan melibatkan berbagai bidang keilmuan lainnya
(interdisipliner), seperti: antropologi, sosiologi dan psikologi. Sehingga
akurasi dan ketetapan hukum akan persoalan-persoalan kontemporer
dalam hasil studi (istinbāth) dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
dan amaliyah.

C. Prinsip Study Masail Fiqiyah


Studi masāil al-fiqhīyah lebih banyak menggunakan metode ijtihād, sebab
masalah yang dikaji merupakan masalah yang bersifat aktual dan kontemporer. Disebut
dengan aktual, karena masalah-masalah tersebut terjadi ditengah masyarakat yang hidup
saat ini, dan terjadi dalam kondisi masa kini, dan disebut dengan kontemporer, karena
masalah-masalah yang tersebut menampakkan prilaku yang tidak terdapat dalam prilaku
masyarakat pada masa turunnya wahyu (masa Rasulullah saw.)
Kerena kondisi dan terend prilaku masyarakat saat ini berbeda dengan kondisi
yang pernah ada pada masa Rasulullah Saw dan para sahabatnya, maka dalam melakukan
studi masāil al-fiqhīyah terdapat beberapa prinsip dasar yang tidak boleh dilanggar oleh
para pengkaji dan penelitinya, di antaranya:
1. Tidak merusak ketentuan dasar yang berhubungan dengan ‘aqīdah islāmiyah
(kepercayaan dan keyakinan Islam).
2. Tidak mengurangi dan menghilangkan martabat manusia;
3. Tidak mendahulukan kepentingan perorangan atau kelompok atas kepentingan
umum;
4. Tidak mendahulukan hal-hal yang bersifat samar-samar (syubhat) atas hal-hal
yang sudah nyata manfaatnya (ma’rūf);
5. Tidak melanggar ketentuan dasar moralitas kemanusiaan (akhlāq al-karīmah).

Dalam pada itu, setidaknya terdapat empat prinsip dasar yang harus
dipertimbangkan dalam melakukan studi masāil al-fiqhīyah, yaitu:

1. Produk hukum dengan metode ijtihād harus meneguhkan hati kaum


muslimin, sehingga menguatkan keyakinan dan kepercayaan Islamnya.
Maksudnya, bahwa suatu produk hakum harus senantiasa menjaga dasar-
dasar ‘aqīdah Islāmīyah dan bukan melemahkan atau merusaknya yang
berakibat pada munculnya sikap kemusyrikan dan bahkan mungki sampai
pada tingkat atheis
2. Berseberangan dengan prilaku orang-orang musyrik dan menolak prilaku
ahl al-kitāab serta adat istiadat mereka. Maksudnya, bahwa suatu produk
hukum hasil ijtihād harus terhindar dan menjauh dari prilaku sesat yang
pernah dilakukan dan atau diberlakukan oleh para ahl al-kitāb dan kaum
musrikīn
3. Menjaga konsistensi muslim terhadap moralitas Islam (al-ādāb al-
Islāmīyah) dalam keseharian hidup. Maksudnya, dalam studi masāil al-
fiqhīyah prinsip moralitas harus diutamakan.
4. Senantiasa mencari berbagai alternatif yang bersifat mudah dan ringan dan
menjelaskan berbagai bentuk kemungkinan adanya kesulitan dalam proses
penerapan suatu produk hukum.

Dengan menerapkan prinsip-prinsip dasar di atas, maka secara tidak


langsung peneliti dan pengkaji studi masāil alfiqhīyah mengaplikasikan
kaidah-kaidah fiqhi mayor dan maqāşid al-syarī’ah al-‘āmmah (tujuan umum
syari’at Islam) yang tidak hanya tertuang dalam hasil studinya, tetapi juga
terpatri dalam dirinya bahkan menjadi bagian dari kehidupannya, sehingga dia
mendapatkan pencerahan baik langsung maupun tidak langsung dari Allah
Swt. melalui warisan Rasul-nya Muhammad Saw. yakni al-Qur’an dan al-
Sunnah.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Istilah masāil al-fiqhīyah tidak hanya difahami sebagai: “Persoalan – persoalan
hukum yang muncul dan terjadi dalam konteks manusia moderen sebagai refleksi
kompleksitas problematika pada suatu tempat, kondisi dan waktu”. Tetapi lebih luas dari
itu, dimana masāil al-fiqhiyah mencakup seluruh dimensi kehidupan manusia mulai dari
‘aqidah, ‘ibadah, mu’amalah dan bahka akhlak. Dengan pengertian ini, maka objek kajian
masāil al-fiqhīyah adalah persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat baik dari
sisi ‘aqidah, ‘ibadah, mu’amalah maupun akhlak.
Mempelajari masāil al-fiqhīyah secara garis besar bertjuan untuk mengetahui
jawaban syari’at Islam tentang berbagai persoalan-persoalan keagamaan kontemporer dan
menyelesaikannya dengan menggunakan berbagai pendakan dan metode Ilmiyah.
Studi masāil al-fiqhīyah didasarkan pada persoalanpersoalan kemanusiaan dan
kemasyarakatan yang dihadapi oleh kaum muslimin, dimana persoalan-persoalan tersebut
tidak ditemukan keterangannya secara eksplisit dalam alQur’an, al-Sunnah, maupun
Ijma’, dan juga tidak ditemukan kejadiannya dalam masyarakat muslim masa lalu
disebabkan oleh adanya perbedaan situasi, kondisi dan waktu.
Adapun sumber studinya adalah: Seluk-beluk persoalan fiqhi baik klasik maupun
kontemporer; Dalil-dalil syari’at (alQur’an al-Sunnah, Ijma’, Qiyas, dll.); Maqāşid al-
syarī’ah al- ‘āmmah (tujuan umum syari’at); Al-Qawā’id al-fiqhīyah (kaidahkaidah
fiqhi); Menjaga konsistensi muslim terhadap moralitas Islam (al-ādāb al-Islāmīyah)
dalam keseharian hidup;
Studi masāil al-fiqhīyah lebih banyak menggunakan metode ijtihād, sebab
masalah yang dikaji merupakan masalah yang bersifat aktual dan kontemporer. Oleh
sebab itu, terdapat beberapa prinsip dasar yang harus terpenuhi di antaranya: harus
meneguhkan hati kaum muslimin, sehingga menguatkan keyakinan dan kepercayaan
Islamnya; harus berseberangan dengan prilaku orang-orang musyrik dan menolak prilaku
ahl al-kitāab serta adat istiadat mereka; dan senantiasa mencari berbagai alternatif yang
bersifat mudah dan ringan dan menjelaskan berbagai bentuk kemungkinan adanya
kesulitan dalam proses penerapan suatu produk hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Jaib, Sa’di. al-Qāmūs al-Fiqhī Lughatan wa Işţilāhan. Cet. II;
Dar al-Fikr, 1408 H.
‘Ainiy (al), Badr al-Din Mahmud bin Ahmad. al-Bidāyah Syarh
al-Hidāyah, juz. X. Cet. 1; Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah,
1420 H.
Albanī (al), Muhammad Nashir al-Din. Irwā’ al-Ghalīl fī Takhrīj
Ahādīts Manār al-Sabīl, juz. VI. Cet. II; Beirut: al-Maktab alIslamiy, 1405
H.
‘Asqalanī (al), Ahmad bin Ali bin Hajar. Fath al-Bārī Syarh Şahīh
al-Bukhārī, juz. IX. Beirut; Dar al-Ma’rifah, t.th.
Aţā’,Abdul Qādir Ahmad. Hāżā Halāl wa Hāżā Harām. Cet. I;
Kairo: Dār al-I’tişām, t.th.
Ba’lī (al), Abu ‘Abdullah Muhammad. al-Maţla’ ‘alā Alfāzh alMuqni’. Cet.
I; Maktabah al-Sawady, 1423 H.
Badakhsyī (al), Muhammad Ibn al-Hasan. Manāhij al-‘Uqūl.
Kairo, t.p., t.th.
Bukharī (al), Muhammad bin Ismail. al-Jāmi’ Şahīh, juz. III. Cet.
I; Kairo: Mathba’ah wa Maktabah al-Salafiyyah, 1400 H.
Dibyan (al), ‘Ali. Ikhtyār al-Hafizh Ibn ‘Abd al-Barr al-Fiqhīyah fi
al-Ahwāl al-Syakhşīyah wa al-Jināyāt wa al-Hudūd wa alAqdhiyah. Cet. I;
t.tp: Muassasah al-Rayyan, 1429 H.
Fasī (al), Abu al-Hasan ‘Ali bin al-Qaththan. al-Iqnā’ fī Masāil alIjmā’, juz.
III. Cet. I; Damaskus: Dar al-Qalam, 1424 H.

Anda mungkin juga menyukai