Anda di halaman 1dari 24

PRAKTIK PENELITIAN HUKUM, PENELITIAN DALIL, KAIDAH, ULAMA,

MADZAB, DAN ATAU KITAB HUKUM ISLAM/ FIKIH


Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Metode Penelitian Hukum
Dosen Pengampu:
Dr. H. Shofa Robbani, Lc. M.A

Disusun oleh:

Addelia Putri Veby Azuri (20040873)


M. Nur Faiz Abadi (20040861)

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN ADAB
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SUNAN GIRI
BOJONEGORO
2023
ABSTRAK

Tugas pokok perguruan tinggi adalah menyelenggarakan pendidikan yang meliputi


pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat, yang dikenal dengan
nama ‘’Tri Dharma Perguruan Tinggi’’. Dalam salah satu fungsinya yaitu menyelenggarakan
penelitian dalam rangka pengembangan kebudayaan, khususnya ilmu pengetahuan, teknologi,
pendidikan dan seni. Penelitian merupakan tugas kedua dari Perguruan Tinggi yakni
menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran. Dan kedudukan penelitian sangat penting
karena dalam penelitian tersebut dilakukan berdasarkan langkah-langkah berpikir ilmiah
dalam suatu kegiatan objektif untuk menemukan dan mengembangkan serta menguji ilmu
pengetahuan berdasarkan prinsip dan teori yang disusun secara sistematis. Dalam melakukan
penelitian mahasiswa harus memiliki keterampilan khusus yang berbeda dengan kebanyakan
keterampilan yang dihasilkan di bangku kuliah. Oleh karena itu makalah ini bermaksud
membantu mahasiswa dalam menyelesaikan kuliah ketika mengusulkan penelitian maupun
menyusu jurnal. Apabila kurang memahami metode penelitian, akan banyak mengalami
kesulitan dalam memulai menyusun usulan penelitian. Untuk hal tersebut makalah ini
mencoba menguraikan berbagai penelitian hukum dan berbagai petunjuk dan prosedur yang
benar dan tepat dalam mengusulkan penelitian.
Kata kunci: Metodologi, Hukum, Penelitian Hukum
A. PENDAHULUAN
Tugas pokok perguruan tinggi adalah menyelenggarakan pendidikan yang
meliputi pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat,
yang dikenal dengan nama ‘’Tri Dharma Perguruan Tinggi’’. Dalam salah satu
fungsinya yaitu menyelenggarakan penelitian dalam rangka pengembangan
kebudayaan, khususnya ilmu pengetahuan, teknologi, pendidikan dan seni.
Penelitian merupakan tugas kedua dari Perguruan Tinggi yakni
menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran. Dan kedudukan penelitian sangat
penting karena dalam penelitian tersebut dilakukan berdasarkan langkah-langkah
berpikir ilmiah dalam suatu kegiatan objektif untuk menemukan dan
mengembangkan serta menguji ilmu pengetahuan berdasarkan prinsip dan teori
yang disusun secara sistematis.
Dalam melakukan penelitian mahasiswa harus memiliki keterampilan
khusus yang berbeda dengan kebanyakan keterampilan yang dihasilkan di bangku
kuliah. Oleh karena itu makalah ini bermaksud membantu mahasiswa dalam
menyelesaikan kuliah ketika mengusulkan penelitian maupun menyusun skripsi.
Apabila kurang memahami metode penelitian, akan banyak mengalami kesulitan
dalam memulai menyusun usulan penelitian. Untuk hal tersebut makalah ini
mencoba menguraikan berbagai penelitian hukum dan berbagai petunjuk dan
prosedur yang benar dan tepat dalam mengusulkan penelitian.
B. PEMBAHASAN

1. Pengertian Desain Penelitian Hukum Islam


Desain penelitian disebut juga rencana penelitian. Rencana merupakan suatu
kehendak atau keputusan yang dilakukan oleh seseorang. Rencana bisa juga berarti
sebuah usulan (proposal) yang rinci untuk melakukan atau mencapai sesuatu. Adapun
penelitian adalah pengamatan secara sistematis dan kajian atas bahan dan sumber
sesuatu untuk membangun fakta dan kesimpulan. Jadi yang dimaksud dengan rencana
penelitian adalah sebuah keputusan untuk mengamati atau mengkaji suatu bahan atau
sumber secara sistematis.
Pendapat Mohammad Ali Mengenai arti dari hukum islam adalah hukum yang
bersumber dari dan menjadi bagian agama islam. Hukum islam mencakup berbagai
dimensi. Dimensi abstrak, dalam wujud segala perintah dan larangan Allah dan Rasul-
Nya, dan dimensi konkret dalam wujud perilaku mempola yang bersifat ajeg
dikalangan orang Islam sebagai upaya konkret lagi dalam wujud perilaku manusia
(amaliyah), baik individual maupun kolektif. Hukum islam juga mencakup substansi
yang yang terinternalisasi kedalam berbagai pranata sosial.
Terdapat dua istilah untuk menunjukkan dan memahami hukum islam yakni
syariat islam dan fiqh islam :1
a. Hukum Islam dalam dimensi syariat islam merupakan fungsi kelembagaan yang
diperintahkan Allah untuk dipatuhi sepenuhnya. Hukum islam dalam dimensi ini
merupakan dimensi illahiyah karena diyakini sebagai ajaran yang bersumber dari
Allah. Dalam hal ini hukum islam dipahami sebagai syariat yang cakupannya
sangat luas yang mencakup bidang keyakinan, amaliyah, dan akhlaq.
b. Hukum Islam dalam dimensi fiqh islam yang merupakan produk daya pikir
manusia yang mencoba menafsirkan penerapan prinsip-prinsip syariah secara
sistematis. Dimensi ini merupakan dimensi insaniyah dalam dimensi ini hukum
islam merupakan upaya manusia secara sungguh-sungguh untuk memahami
syariat.
Berdasarkan batasan tersebut di atas sebenarnya dapat dibedakan antara
syari’ah dan Hukum Islam atau Fiqih. Perbedaan tersebut terlihat pada dasar atau dalil
yang digunakannya. Jika syari’at didasarkan pada nash al-Qur’an atau as-Sunnah
secara langsung, tanpa memerlukan penalaran; sedangkan Hukum Islam didasarkan
1
http://hukum.kompasiana.com/2013/05/01/perancangan-skripsi-hukum-islam--555931.html
pada dalil-dalil yang dibangun oleh para ulama melalui penalaran atau ijtihad dengan
tetap berpegang pada semangat yang terdapat dalam syari’at. Dengan demikian, maka
jika syari’at bersifat permanen, kekal dan abadi, maka fiqih atau hukum Islam bersifat
temporer dan dapat berubah.
2. Pendekatan dalam Penelitian Hukum Islam
Dalam penelitian hukum islam variasi pendekatan dilatar belakangi oleh
dilatarbelakangi sejarah yang cukup panjang antara kondisi pewahyuan dengan
kondisi riil sekarang. Kenyataan seperti ini mau tidak mau menuntut seorang peneliti
untuk memilih pendekatan yang esuai dengan obyek penelitian beberapa pendekatan
pada penelitian hukum islam diantaranya adalah :
a. Pendekatan historis (Historical approach)
Pendekatan ini digunakan untuk menelusuri konteks konteks yang melatar
belakangi proses pewahyuan muncul teori asbab annuzul, asbab al-wurud,
Prinsip Nasikh dan Mansukh.
b. Pendekatan kasus (Case Approach)
Dalam hukum Islam pendekatan kasus dilakukan dengan mempersamakan
kasus huku baru dengan kasus hukum lama yang terdapat ketentuan reasoning-
nya dalam teks suci. Upaya mempersamakan ini dilakukan lantaran terdapat
persamaan resoning antarakasus yang satu dengan kasus yang lain. Kasus seperti
ini dalam hukum Islam disebut dengan analogi atau qiyas.
c. Pendekatan analisis (Analitical Aproach)
Maksud utama pendekatan ini adalah mengetahui makna yang terkandung
oleh istilah-istilah dalam al quran dan hadis, sekaligus mengetahui penerapannya
dalam praktik.
d. Pendekatan Filsafat (Phylosophycal Approach)
Dalam perspektif Islam filsafat sangat diapresiasi sehingga salah satu tema
bahasan yang populer dalam kajian hukum adalah hikmah al-tasyri’ wa
falsafatuhu (hikmah dan filsafat pembentukan hukum ). Selain itu terdapat
sejumlah kaidah yang bermuara pada aspek filosofis dibentukknya hukum islam.
e. Pendekatan perbandingan (Comparative Approach)
Pendekatan perbandingandilakukan secara dialektis untuk menguki validasi
argumen yang di ketengahkan masing-masing ketentuan hukum yang berbeda.
Hal itu disebabkan karena tidak sebangun visi mereka dalam meresapketentuan
ketentuan teks wahyu yang global dan multi tafsir.
f. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach)
Dalam hukum islam, kerja penelitian mempunyai tujuan untuk menemukan
preskripsi (istinbath) dan sekaligus menerapkan nya di tengah masyarakat.
Tujuan menerapkan hukum ditengah masyarakat sangat memerlukan perangkat
legislasi sehingga produk hukum yang ditemukan tidak sekedar berupa angan-
angan di atas awan. Dengan tujuan seperti ini, pendekatan undang-undang mutlak
diperlukan dalam kerja penelitian hukum.
3. Wilayah Penelitian Hukum Islam
Fiqih adalah hasil kajian atau pemahaman para fiqih (fuqaha’) tentang hal-hal
yang terkait dengan perbuatan orang-orang mukallaf , diambil dari dalil-dalil syar’i
(Al-Qur’an dan al-Sunnah) yang rinci. Dimensi hukum islam yang paling dikenal
dalam masyarakat, baik umat islam maupun komunitas ilmiah, adalah fiqh. Adapun
ciri-ciri fiqh:
a. Didasarkan kepada ayat Al-Qur’an (kitab) dan hadits (sunnah) yang dicantumkan
secara eksplisit dan otentik.
b. Tersusun secara sistematis, yang dilakukan oleh para pakar yang memiliki
kompetensi. Didalamnya mencakup unsure hokum taklifi (wajib, mubah, makruh,
dan haram) dan hukum wadh’i (sabab, syarat dan mani’)
b. Terdokumentasi dalam berbagai kitab fiqih, yang tersebar menurut berbagai
aliran pemikiran (madzab) sehingga mudah dipelajari dan diajarkan.
c. Mencakup berbagai bidang kehidupan manusia, yang disertai kaifiah masing-
masing. Dalam berbagai hal pararel dengan pertumbuhan dan perkembangan
pranata social.
d. Bersifat praktis (‘amaliyah) sehingga mudah diterapkan dalam kehidupan sehari-
hari. Fiqih dijadikan rujukan dalam menghadapi masalah hukum yang
memerlukan pemecahan segera.
e. Diajarkan dalam berbagai lingkungan, baik melalui pendidikan jalur sekolah
(termasuk pesantren) dan institusi masyarakat lainnya.
f. Di transformasikan ke dalam produk badan penyelenggaraan Negara, baik
melalui badan legislatif dan eksekutif maupun produk dalam pelaksanaan
kekuasaan yudikatif (judicial power).

A. Penelitian Dalil Fiqih


Definisi dalil menurut para ulama’: Secara etimology bermakna menunjukkan
ataupun memberi tahu jalan. Sedangkan dalil secara terminology: Sesuatu yang
memungkinkan untuk sampai (pada maksud) melalui pandangan yang benar
dalam menetapkan hukum Islam.2
Maksudnya adalah sesuatu yang memungkinkan untuk sampai pada masuknya
dalil yang belum diperhatikan oleh mujtahid dalam menemukan hukum baru. Hal
ini merupakan dalil meskipun belum ditunjukkan secara nyata, hal ini masih
berbentuk kemungkinan-kemungkinan. Karena dalil adalah sesuatu yang berhasil
menghantarkan kepada maksud secara nyata. Yang dimaksud pandangan yang
benar adalah pandangan yang tidak rusak apalagi salah sehingga bisa
menghasilkan hukum yang benar dan dapat dipertanggung jawabkan.
1) Pembagian Dalil Berdasarkan Sumbernya.

Dalam semua pembahasan berkaitan dengan dalil maka para ulama telah
sepakat bahwa dalil yang disepakati oleh para ulama terdiri dari empat dalil:
Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’ dan qiyas. Hal itu ditegaskan oleh Imam syafi’i
yang menyatakan: ”Kedudukan ilmu harus berdasarkan kepada: Al-Qur’an, As-
Sunnah, ijma’ dan qiyas. Dan ada kesepakatan ulama mengenai sumber asal
empat dalil diatas harus bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, dikarenakan
hal ini berhubungan langsung dengan tegaknya agama Islam.

Dengan demikian dalil-dalil baik yang disepakati maupun masih


diperselisihkan yang ada dalam syariah harus bersumber pada Al-Qur’an dan
As-Sunnah, apabila menetapkan hukum tanpa terlebih dahulu menyandarkan
pada kedua dalil tersebut maka harus ditolak dan dibatalkan demi hukum.
Karena kedua dalil tersebut berdasarkan atas wahyu, dan wahyu dari Allah
selalu benar dan tidak pernah bertentangan satu sama lainnya. Dan sumber dari
segala dalil adalah Al-Qur’an.

Imam Ibn Taimiyah menyatakan: “Sumber hukum syariah adalah


Rasulullah SAW, karena Al-Qur’an disampaikan kepada Rasulullah SAW, dan
As-Sunnah muncul sebagai penjelas dari Al-Qur’an, kedudukan ijma’ dan qiyas
harus disandarkan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah”.

2
http://fahruddinas.blogspot.com/2011/02/pengantar-dalil-dalil-syariah-dalam_538.html
Penjelasan diatas memungkinkan kita untuk menyatakan bahwa Al-
Qur’an dan As-Sunnah merupakan sumber segala dalil yang disepakati
keberadaannya, karena keduanya dapat disebut sebagai dalil naqli, wahyu,
syara’, nash, khabar dan semuanya itu kebalikan dari dalil ‘aqli, pendapat,
ijtihad, istinbath hukum.

Dibawah ini dapat dilihat, bahwa kedua sumber tersebut mempunyai


karakteristik yang kuat dalam syariah :

a. Semuanya berdasar atas wahyu Allah kepada Rasulullah;


b. Sumber awal dari Al-Qur’an diperoleh dari Rasulullah SAW, karena kita
tidak mendapatkan wahyu langsung dari Allah, tidak juga melalui
Malaikat Jibril as, karena hanya Rasulullah yang mendapatkan wahyu,
dan beliaulah yang berkewajiban menyampaikannya kepada kita;
c. Allah SWT menjamin keaslian dan kemurnian Al-Qur’an sebagai
sumber hukum selamanya.
d. Allah SWT menurunkan Al-Qur’an sebagai sumber hukum untuk
hamba-hambanya dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.
e. Kewajiban bagi umat Islam untuk mengikuti dan berpedoman pada
kedua sumber hukum tersebut selama-lamanya, dan tidak diperbolehkan
untuk meninggalkannya apalagi mengingkarinya.
2) Pembagian Dalil Berdasarkan Qath’i Dan Dzanni
a. Pengertian qath’i dan dzanni
Pertama: Secara etimology qath’i dari kata qatha’a yang bermakna
memisahkan bagian tubuh dengan cara menghilangkannya atau
memotongnya. Tetapi dalam pembahasan ini kata qath’i bermakna
keyakinan, kepastian, sesuatu yang bersifat tetap. Sedangkan secara
terminology bermakna ”Sesuatu yang tetap dan pasti yang dapat
dibuktikan melalui penelitian dengan menyertakan bukti-bukti yang
mendukungnya”.
Secara etimology dzanni bermakna dugaan, persangkaan, sesuatu
yang masih membingungkan. Sedangkan secara terminology bermakna
”Sesuatu yang tidak menentu (meragukan) antara sesuatu yang saling
berlawanan, tanpa dapat dimenangkan salah satunya”.
b. Dalil qath’i dan dzanni
Dalil qath’i adalah sesuatu yang menunjukkan pada hukum yang
bersifat pasti dan tetap tanpa ada kemungkinan-kemungkinan yang bisa
merubahnya. Atau bisa juga diartikan: sesuatu yang pasti baik dilihat
dari segi sanad, dalalah dan sifatnya yang tetap. Ada yang
menambahkan: qath’i adalah sesuatu yang pasti dilihat dari segi matan
dan dalalahnya.
Menurut imam Syafi’i: “Apabila ada nash Al-Qur’an yang sudah jelas
dan terang hukumnya, atau apabila ada As-Sunnah yang disepakati
keberadaannya, maka keberadaan keduanya bersifat qath’i, dan tidak
diperbolehkan meragukannya, sehingga jika ada orang yang menolak
untuk menerima nash tersebut dihukumi sebagai orang yang cacat
akalnya”. Maksudnya adalah apabila ada yang menolak keberadaan nash
yang qath’i maka harus dapat memilah apakah sebagian dari nash
tersebut sanadnya bersifat qath’i atau tidak? Apakah nash tersebut
dalalahnya bersifat qath’i atau tidak?. Hal ini memberikan pemahaman
bahwa penelitian dalil nash merupakan penelitian yang harus tepat dan
benar, tidak boleh mengikutkan hawa nafsunya sehingga nash tersebut
dapat dinilai qath’i atau tidak yang nantinya dapat dijadikan dalil dalam
menetapkan hukum.
Dalil dzanni adalah sesuatu yang menunjukkan pada hukum tetapi
masih mengandung kemungkinan-kemungkinan yang bisa merubahnya
tanpa dapat dimenangkan salah satunya”. Makna lainnya adalah:
”dalalah yang ada merupakan dzahirnya nash yang tidak qath’i”.
Imam Syafi’i menyatakan: “Apabila dalam nash As-Sunnah terdapat
perbedaan dalam segi maknanya, maka hal ini dimungkinkan untuk di
ta’wil. Atau apabila ada hadits ahad, maka masih dapat dijadikan hujjah
sehingga hadits ini tidak tertolak, terbuang begitu saja dan tidak
dimanfaatkan oleh umat Islam”.
3) Pembagian Dalil Berdasarkan Cara Pengambilannya
Dalil dalam hukum Islam dapat dibagi menjadi dua; dalil syar’i dan
bukan syar’i: Dalil syar’i adalah dalil yang diperintahkan, ditunjukkan atau
direkomendasikan oleh syara’.
Dalil bukan syar’i adalah anonym dari dalil syar’i. Dalil ini dapat
berupa dalil yang unggul maupun diunggulkan, dalil shahih maupun rusak,
‘aqli maupun sam’i. dalil yang bukan syar’i ini bisa datang dari Al-Qur’an
dan As-Sunnah seperti: berbuat, berkata dan memutuskan hukum tanpa
pengetahuan. Dalil syar’i dibagi menjadi tiga:
a. Dalil yang ditetapkan oleh syara’ yang hadir melalui pendengaran
(audio) dan kutipan (migrasi), dalil ini disebut dengan dalil sima’i (dalil
yang diperoleh melalui pendengaran) dan dalil ini tidak dapat diperoleh
melalui penelitian dan logika. Contohnya adalah berita yang datang
dari malaikat dan penghuni ’Arsy, permasalahan akidah, perintah dan
larangan. Semuanya itu dapat kita ketahui melalui hadits Rasulullah
SAW saja;
b. Dalil yang keberadaannya ditunjukkan dan yang diperingatkan oleh
syara’. Dalil ini disebut dengan dalil ’aqli. Contohnya dalam masalah
perumpamaan, penetapan keNabian dan penetapan hari kebangkitan.
c. Dalil yang diperbolehkan dan direkomendasikan oleh syara’. Dalil
yang dimaksud disini adalah segala yang tertuang dalam hadits
Rasulullah SAW dalam bentuk ilmu kedokteran, kimia, matematika,
tehnologi dan sebagainya.
Dalil syar’i ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Dalil ini benar keberadaannya;
b. Dalil syar’i diutamakan daripada dalil yang bukan syar’i;
c. Dalil syar’i berupa dalil sam’i dan ’aqli;
d. Dalil syar’i berbeda dengan dalil yang bukan syar’i.

B. Penelitian Kaidah Fiqih

1. Pengertian Fiqh dan Kaidah Ushuliyah

Fiqh menurut bahasa berarti tahu atau paham Menurut istilah berarti syari’at.
Dalam kaitan ini dijumpai pendapat yang mengatakan bahwa hukum Islam atau
fiqh adalah sekelompok dengan syari’at yaitu ilmu yang berkaitan dengan amal
perbuatan manusia yang diambil dari nash Alquran atau Al-sunnah. Sedangkan
kaidah ushuliyah adalah Hukum kulli (umum) yang dibentuk menjadi perantara
dalam pengambilan kesimpulan fiqh dari dalil-dalil, dan cara penggunaan dalil
serta kondisi pengguna dalil.
2. Sumber Pengambilan Kaidah Usuliyah

Secara global, kaidah-kaidah ushul fiqh bersumber dari naql (Alquran dan
Sunnah), ‘Akal (prinsip-prinsip dan nilai-nilai), bahasa (Ushul at tahlil al
lughawi), yang secara terperinci dijelaskan dibawah ini :[3]

a. Alquran.

Alquran merupakan firman Allah SAW yang diturunkan kepada nabi


Muhammad saw., untuk membebaskan manusia dari kegelapan. Kitab ini
adalah kitab undang-undang yang mengatur seluruh kehidupan manusia,
firman Allah yang Maha mengetahui apa yang bermanfaat bagi manusia dan
apa yang berbahaya, dan merupakan obat bagi ummat dari segala
penyakitnya.

b. As Sunnah

Allah memberikan kemuliaan kepada nabi Muhammad saw. dengan


mengutusnya sebagai nabi dan rasul terakhir untuk umat manusia dengan
tujuan menyampaikan pesan-pesan ilahi kepada umat. Maka nilai kemuliaan
Rasulullah bukan dari dirinya sendiri tetapi dari Sang Pengutus yaitu Allah
swt., karena siapapun yang menjadi utusan pasti lebih rendah tingkatannya
dari yang mengutus. Allah Berfirman yang artinya:” Muhammad tidak lain
hanyalah seorang rasul”. (QS. Ali Imran: 144). Jika seluruh perintah Allah
telah disampaian oleh Rasulullah kepada umat, selesailah tugasnya dan wajib
bagi umat untuk memperhatikan risalah yang di sampaikan oleh rasulullah.

Banyak sekali ayat Alquran yang menjelaskan bahwa sunnah Rasulullah


adalah merupakan salah satu sumber agama Islam, diantaranya firman Allah
dalam surat Ali Imran ayat: 53,132,144, 172 juga didalam surat An Nisa ayat:
42, 59, 61, 64, 65, dan masih banyak lagi.

c. Ijma’
Di antara kaidah-kaidah ushul yang di ambil dari ijma adalah:
1. Ijma’ Sahabat bahwa hukum yang di hasilkan dari hadis ahad dapat di
terima;
2. Ijma’ Sahabat bahwa hukum terbagi menjadi 5 macam;
3. Ijma’ Sahabat bahwa syariat nabi Muhammad menghapus seluruh syariat
yang sebelumnya.

d. Akal
Akal memiki kedudukan yang tinggi didalam syariat islam, karena tidak
akan paham Islam tanpa akal. Sebagai contoh, Apa dalil yang menunjukkan
bahwa Allah itu ada? Jika dijawab Alquran, Apa dalil yang menunjukkan
bahwa Alquran benar-benar dari Allah? Jika dijawab I’jaz, apa dalil yang
menunjukkan bahwa I’jazul quran sebagai dalil bahwa alqur’an bersumber
dari Allah swt.? Dan seterusnya. Dengan demikian dapat dipahami bahwa
Islam tidak akan dipahami tanpa akal, oleh karena itulah akal merupakan
syarat taklif dalam Islam.
Meskipun demikian, ada satu hal yang harus di perhatikan dengan
seksama, bahwa akal tidak bisa berkerja sendiri tanpa syar’i. Akal hanyalah
sarana untuk mengetahui hukum-hukum Allah melalui dalil-dalil al quran dan
hadis. Allah lah yang menjadi hakim, dan akal merupakan sarana untuk
memahami hukum-hukum Allah tersebut.

e. Perkataan Sahabat
Diantara kaidah-kaidah ushul yang diambil dari perkataan-perkataan
sahabat Rasulullah adalah:
1) Hadis-hadis Ahad zonniyah
2) Qiyas adalah hujjah
3) Hukum yang terakhir menghapus hukum yang terdahulu (naskh)
4) Orang awam boleh taqlid
5) Nash lebih di utamakan dari qiyas maupun ijma’

C. Penelitian Ulama Fuqaha


Terdapat beberapa kesulitan untuk mengidentifikasi seseorang sebagai ulama.
Apalagi sebagai faqīh (jamak: fuqahā’), diantaranya ialah :3
a. Ulama merupakan gelar atau panggilan kehormatan yang diberikan oleh
masyarakat kepada seseorang yang memiliki tingkat ilmu dan kesalihan
tertentu. Panggilan ulama, diberikan sebagai pengakuan (legitimasi) atas
3
http://www.fshuinsgd.ac.id/2012/04/27/model-penelitian-fuqaha-bagian-kesatu-tokoh-dan-komunitas/
prestasi seseorang dalam komunitas heterogen, tanpa tatacara dan upacara
tertentu.
b. Panggilan ulama di dalam masyarakat Indonesia merupakan hal yang
tidak lazim. Biasanya orang yang memiliki kualifikasi ilmu dan kesalihan
itu diberi gelar dan dipanggil kyai (Jawa, bahkan nasional), ajĕngan
(Sunda, belakangan ada yang dipanggil: Aa), buya (Minangkabau),
teungku (Aceh), dan tuan guru imam (Bima).
2. Panggilan kehormatan tersebut diberikan secara informal dan bertahap,
terutama oleh orang-orang yang mengenal secara pribadi terhadap orang
yang diberi gelar kehormatan itu.
3. Biasanya orang yang diberi panggilan kehormatan bukan semata-mata
karena ilmu dan kesalihannya saja. Tetapi, juga, karena kepemimpinanya
di dalam masyarakat telah teruji. Di satu pihak, ia memiliki keahlian dan
kesalihan sebagai kekuatan dalam mengembangkan inti kebudayaan yang
dijadikan rujukannya. Namun di lain pihak, ia menempati kelompok elite
dalam struktur masyarakat. Ia merupakan salah satu unsur pemimpin
dalam masyarakat yang heterogen.
4. Ulama merupakan pewaris para nabi (al-‘ulamā’ waratsāt al-anbiyā’). Ia
mengemban misi untuk mengaktualisasikan apa yang dikehendaki Allah
dan Rasul-Nya dalam realitas kehidupan manusia.
5. Khusus tentang identifikasi ulama fiqh merupakan kesulitan tersendiri,
karena lebih spesifik. Apalagi bila dibedakan dengan ulama ushul.
Terlepas dari beberapa kesulitan di atas, menurut Quraish Shihab (1985: 3),
dengan merujuk pada Q. S. Fathir: 28 dan as-Syu‘ara: 197, yang dinamai ulama
adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang ayat-ayat Allah yang
bersifat kauniyah maupun qur’aniyah. Sementara itu, ayat Qur’an yang
membicarakan ilmu, dengan berbagai bentuk kata dan yang sejalan dengan arti
kata itu, berjumlah 854 ayat.
Apa yang dikemukakan oleh Quraish Shihab menunjukkan bahwa ulama
merupakan suatu istilah umum, yang dalam konteks kehidupan manusia melekat
pada ilmuwan atau sebutan lain, sebagaimana diuraikan di atas, yang disertai
sikap istislam dan khasy-yah. Dengan kata lain, sasaran ilmu adalah ayat-ayat
Allah, sedangkan yang memiliki pengetahuan mendalam tentang ayat-ayat itu
adalah ulama. Hal itu dapat melekat pada diri faqīh, atau sosiolog, atau fisikawan,
sebagai ulama spesialis yang memiliki sikap istislam dan khasy-yah.

Langkah-langkah Penelitian
a. Metode Penelitian
Secara umum fokus penelitian fuqaha berwujud konteks, meskipun sebagian
dapat diketahui melalui teks. Tokoh fuqaha barada dalam konteks komunitas dan
sistem sosial. Sedangkan komunitas fuqaha berada dalam konteks sistem sosial.
Sementara itu, sistem sosial dapat diidefinisikan sebagai masyarakat Islam, atau
masyarakat bangsa, atau satuan masyarakat lainnya. Selanjutnya, fokus penelitian
itu dapat ditempatkan dalam konteks sistem sosial masa lalu atau konteks masa
kini. Dengan perkataan lain, kedua fokus penelitian tersebut dapat dipandang
sebagai bagian gejala historis atau gejala sosiologis. Karena itu, terhadap fokus
tersebut dapat digunakan pendekatan historis atau pendekatan sosiologis. Hal itu
memberi arah bagi penggunaan metode penelitian yang dipandang paling tepat.
Ketika tokoh dan komunitas fuqaha itu diidentifikasi sebagai gejala historis,
maka menggunakan metode penelitian historis. Ketika tokoh dan komunitas
fuqaha itu diidentifikasi sebagai gejala sosiologis, dapat digunakan metode
penelitian studi kasus, salah satu metode penelitian kualitatif yang biasa
digunakan dalam penelitian sosial (Lihat: Yin, 1987). Terdapat beberapa ciri yang
melekat pada metode penelitian ini. Pertama, satuan analisis dipandang sebagai
suatu kesatuan yang utuh dan terintegrasi. Ia terdiri atas beberapa unsur yang
saling berhubungan. Berkenaan dengan hal itu, fokus penelitian didekati secara
kualitatif dan bersifat holistik. Selain itu, satuan analisis memiliki hubungan
dengan unsur lain di luar dirinya dalam konteks yang lebih luas, dalam hal ini
sistem sosial. Kedua, studi kasus diarahkan untuk menemukan spesifikasi atau
keunikan satuan analisis, dalam hal ini keunikan tokoh (biografi) atau komunitas
fuqaha. Oleh karena itu, memerlukan data yang rinci dan mendalam. Ketiga, data
yang diperlukan itu, dikumpulkan dengan cara wawancara mendalam atau
pengamatan terlibat.
Khusus mengenai penelitian komunitas fuqaha, dapat digunakan metode
penelitian survai, suatu metode yang lazim digunakan dalam penelitian
sosiologis. Misalnya, tentang hubungan antara tokoh dengan komunitas, atau
hubungan antara matarantai intelaktual dengan produk intelektual, atau hubungan
antara komunitas fuqaha dengan komunitas lainnya dalam satuan sistem sosial.
Terdapat beberapa ciri yang melekat pada metode penelitian ini. Pertama,
digunakan bagi penelitian yang dilakukan dengan paradigma kuantitatif, dalam
arti menggunakan uji statistik, sekurang-kurangnya menggunakan statistik
deskriptif (Lihat: Young, 1982; Singarimbun dan Sofian Effendi, 1982). Kedua,
data yang dikumpulkan bersifat aspektual dan relatif besar (sedikit peubah dari
satuan analisis yang banyak). Maksudnya, hanya tentang ciri tertentu dari suatu
populasi yang dihubungkan dengan ciri lainnya. Ciri-ciri itu kemudian
didefinisikan sebagai peubah (variable) penelitian. Ketiga, sumber data, pada
umumnya, dipandang sebagai informan atau responden, yakni orang yang diminta
pengetahuan, pengalaman, atau pendapatnya tentang sesuatu yang dipilih sebagai
peubah penelitian. Keempat, penentuan sumber data dilakukan dengan teknik
sampling, yakni pemilihan sampel yang dipandang sebagai representasi populasi.
Berkenaan dengan hal itu, maka sampel berfungsi sebagai penduga terhadap
populasi, sehingga kesimpulan terhadap sampel berarti sebagai kesimpulan bagi
populasi. Penelitian komunitas fuqaha dengan menggunakan metode ini
diarahkan untuk penarikan kesimpulan umum aspek-aspek komunitas melalui
sampel terpilih. Kelima, berkenaan dengan jumlah sampel yang banyak,
pengumpulan data dilakukan dengan pengajuan daftar pertanyaan kepada
informan atau responden. Dalam penyusunan daftar pertanyaan itu, dilakukan
pemilihan dan penggunaan butir-butir pertanyaan yang disusun secara terstruktur
dan rinci.

b. Sumber Data

Prosedur pemilihan sumber data dapat dilakukan melalui dua cara. Pertama,
dilakukan secara acak dalam arti seluruh calon sumber memiliki peluang yang
sama untuk dipilih menjadi sumber data. Dalam penelitian yang diarahkan untuk
penarikan kesimpulan yang bersifat umum, yakni komunitas fuqaha, secara
operasional dapat memilih salah satu dari ragam probability sampling. Misalnya,
untuk melakukan penarikan simpulan tentang tradisi dan matarantai intelektual
dalam komunitas madzhab tertentu dilakukan pemilihan sejumlah fuqaha yang
mencerminkan representasi dari anggota komunitas tersebut. Cara ini hanya
dilakukan bagi penelitian yang berskala besar, dengan menggunakan metode
penelitian survai.
Kedua, dilakukan secara purposif atau nonprobability sampling, yang
merujuk pada tujuan penelitian. Pemilihan sumber data secara purposif ini,
digunakan dalam metode penelitian sejarah dan metode studi kasus sebagaimana
dikemukakan di atas. Sumber data dipilih dan ditentukan secara terbatas dan
digunakan untuk penelitian berskala kecil. Pemilihan sumber pertama, terutama
tentang tokoh fuqaha, relatif mudah, karena bahan pustaka relatif tersedia.
Sedangkan pemilihan sumber kedua akan mengalami kesulitan, terutama
berkenaan dengan penentuan: siapa yang patut dikualifikasikan sebagai fuqaha
yang dapat dipilih menjadi informan atau responden dalam entitas kehidupan
Muslim dewasa ini. Untuk menentukan sumber data tersebut dapat dipilih salah
satu dari tiga cara, yakni: informant’s rating, atau snow-balling, atau sociometric.

c. Pengumpulan Data

Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa data dalam penelitian fuqaha terdiri


atas teks (ungkapan tulisan) dan konteks (entitas kehidupan). Sedangkan sumber
data adalah bahan pustaka dan bahan sejenis yang tersimpan dalam perpustakaan;
dan informan atau responden yang tersebar dalam entitas kehidupan Muslim.
Berkenaan dengan hal itu, muncul pertanyaan: bagaimana cara menggali data dari
kedua jenis sumber tersebut? Jawaban atas pertanyaan itu berkenaan dengan cara
pengumpulan data, yang dikenal sebagai metode pengumpulan data. Atas perihal
tersebut, kegiatan penelitian yang mengandalkan data dari bahan pustaka disebut
penelitian kepustakaan. Sedangkan penelitian yang mengandalkan data dari
responden disebut penelitian lapangan. Cara pengumpulan data dari kedua jenis
sumber data itu memiliki ciri dan tahapan kerja masing-masing.
Berkenaan dengan hal itu, dapat dipilih cara pengumpulan data yang
dipandang cocok dengan cakupan fokus penelitian dan sumber data yang dipilih.
Dalam penelitian tpkoh fuqaha, misalnya, dapat dipilih studi kepustakaan bagi
tokoh fuqaha masa lalu. Atau wawancara bagi tokoh fuqaha masa kini, dalam hal
ini informan atau responden. Dalam penelitian komunitas fuqaha dapat dipilih
studi kepustakaan bagi komunitas fuqaha masa lalu. Sedangkan bagi komunitas
masa kini terdapat beberapa cara pengumpulan data yang dapat dipilih, baik
alternatif (tunggal) maupun kumulatif (gabungan). Apabila dilakukan
penggabungan, maka ditentukan salah satu cara yang diutamakan sedangkan yang
lainnya berkedudukan sebagai penunjang.
1. Pengumpulan Data Kepustakaan

Apa yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa pengumpulan data dalam


penelitian tokoh fuqaha digali dari sumber kepustakaan, demikian pula dalam
penelitian komunitas fuqaha sebagian data digali dari jenis sumber yang sama.
Dalam sumber tersebut tersimpan informasi tentang tokoh dan komunitas
fuqaha.4

2. Pengumpulan Data Lapangan

Pengumpulan data dalam penelitian fuqaha dalam konteks sistem sosial masa
kini digali dari sumber data lapangan, yakni dari informan atau responden, yang
ditunjang oleh bahan pustaka. Penggalian data dalam penelitian tokoh fuqaha
dilakukan dengan cara wawancara mendalam. Sementara itu, dalam penelitian
komunitas fuqaha dapat dipilih salah satu: wawancara mendalam, atau kuisioner,
atau pengamatan terlibat. Atau gabungan wawancara dengan pengamatan terlibat.

3. Analisis Data

Tahapan pengumpulan data sebagaimana diuraikan di atas, sebagian telah


memasuki bagian awal dari analisis data, yakni ketika dilakukan klasifikasi data.
Berkenaan dengan hal itu, pada tahap analisis data dilakukan dengan melibatkan
tahapan penelitian yang telah dilaksanakan. Secara umum analisis data dilakukan
dengan cara menghubungkan dari apa yang diperoleh dari suatu proses kerja
sejak awal. Ia ditujukan untuk memahami data yang terkumpul dari sumber,
untuk menjawab pertanyaan penelitian dengan menggunakan kerangka berpikir
tertentu. Atas perihal tersebut dapat disusun tahapan analisis data secara terus
menerus.

D. Penelitian Mazhab Fiqih


Menurut Luis Ma’luf yang dikutip oleh Romli SA, (1999) secara etimologi
muqaranah berasal dari kata kerja qarana, yang artinya membandingkan dan kata
muqaranah sendiri, kata yang menunjukan keadaan atau hal yang berarti
membandingkan atau perbandingan. Membandingkan disini adalah
membandingkan dua perkara atau lebih. Adapun mazhab yang berarti aliran atau

4
http://www.fshuinsgd.ac.id/2012/05/02/model-penelitian-fuqaha-bagian-kelima-langkah-langkah-penelitian/
paham yang dianut. Yang dimaksud disini adalah mazhab-mazhab hukum dalam
islam. Sedangkan menurut istilah, madzhab bermakna:[9]
a. Jalan pikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang imam Mujtahid dalam
menetapkan suatu peristiwa berdasarkan kepada Al-Qur’an dan Hadits.
b. Fatwa atau pendapat seorang imam mujtahid tentang hukum atau peristiwa
yang diambil dari AL-Qur’an dan AL-Hadits.

Menurut ulama fikih Islam, perbandingan madzhab atau muqoronatul-


madzahib adalah, Mengumpulkan pendapat para imam mujtahidin dengan dalil-
dalilnya tentang sesuatu masalah yang diperselisihkann padanya, kemudian
membandingkan dalil-dalil itu satu sama lainnya, agar nampak setelah
dimunaqosahkan pendapat mana yang terkut dalilnya.

1. Perbandingan Mazhab Sebagai Ilmu dan Metode


Istilah perbandingan madzhab merupakan terjemahan dari kata
muqaranah almadzahib. Dalam perkembangan keilmuan, dikenal juga istilah
fiqih muqaran. Para ahli telah berupaya untuk mendefinisikan istilah tersebut.
Perbandingan madzhab dianggap sebagai suatu ilmu yang mandiri yang
memiliki ontology, epistemology dan aksiologi tersendiri. Lebih jauh tentang
hal ini, Muslim Ibrahim menjelaskan bahwa perbandingan madzhab adalah
salah satu cabang dari fiqih muqaran. Fiqh muqaran sendiri menurutnya,
memiliki empat buah cabang, yaitu muqaranah al-madzahab fi al-fiqh (dalam
bahasa Indonesia dapat diterjemahkan “perbandingan madzhab”), muqaranah
al-madzahbi fi ushul al-fiqh (ushul fiqih perbandingan), muqaranah asy-
syara’i (perbandingan syariah) dan muqaranah fi al-qawanin al-wadh’iyyah
(perbandingan hukum”).
Di samping suatu ilmu yang mandiri, perbandingan madzhab juga adalah
suatu metode. Metode perbandingan madzhab adalah suatu metode yang para
fuqaha berusaha mencari masalah yang diperselisihkan. Langkah dari metode
perbandingan madzhab adalah sebagai berikut:
a. Mengutip pendapat-pendapat para fuqaha dari berbagai madzhab yang
diambil dari kitab-kitab madzhab, terutama pendapat yang dianggap
paling kuat;
b. Mengutip dalil-dalil yang digunakan para fuqaha, baik dari al-Quran, as-
Sunnah, qiyas dengan syarat dalil-dali tersebut yang paling kuat;
c. Mengidentifikasi faktor yang menjadi pemicu dari perbedaan pendapat
tersebut;
d. Mengkritisi kuat atau lemahnya pendapat dan dalil yang dikemukakan
masingmasing fuqaha;
e. Menarik kesimpulan dan memilih pendapat yang terkuat dalilnya serta
cocok untuk diterapkan.
2. Objek dan Ruang Lingkup
Obyek bahasan ilmu perbandingan madzhab adalah membandingkan,
baik permasalahannya, maupun dalil-dalilnya. Sedangkan yang menjadi ruang
lingkup atau sasaran permasalahan ilmu perbandingan madzhab ialah:
a. Hukum-hukum amaliah, baik yang disepakati, maupun yang masih
diperselisihkan antara para mujtahid, dengan membahas cara beritihad
mereka dan sumber-sumbeer hukum yang dijadikan dasar oleh mereka
dalam menetapkan hukum;
b. Dalil-dalil yang dijadiakan dasar oleh para mujtahid, baik dari Al-Qur’an
maupun As-Sunnah, atau dalil-dalil lain yang diakui oleh syara’;
c. Hukum-hukum yang berlaku di negara tempat muqorin (pelaku
muqoronah) hidup, baik hukum nasional/positif, maupun hukum
international.

Madzhab fiqh dapat dikelompokkan menjadi tiga madzhab utama yaitu:


Sunni, Syi’ah, dan Khawariji. Dari tiga madzhab itu berkembang madzhab
yang lebih kecil, misalnya madzhab Sunni sampai sekarang berkembang
menjadi empat madzhab: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali (al-Madzahib
al-Arba’ah); madzhab Syi’ah berkembang menjadi Madzhab Ja’fari (Imami),
Zaidi, dan Isma’ili; terakhir madzhab Khawarij menyisakan satu madzhab;
madzhab Ibadi.

Ketiga madzhab tersebut mempunyai karakteristik masing-masing dalam


menggali hukum Islam dan menyebarkan pemahamannya kepada masyarakat.
Begitu pula, dalam proses pembentukan dan penulisan kitab fiqhnya, masing-
masing memiliki sistematika yang berbeda. Lebih tegas lagi, Schacht
mengatakan bahwa yurisprudensi hukum Islam lahir dari satu pusat, yakni
madzhab Irak sebagaimana pendapat Goldziher. Madzhab Irak ini lebih
berkembang dan sistematis dibanding madzhab Madinah. Dampak nyata
dalam bentuk penulisan kitab fiqh dapat dilihat dari karya-karya para imam
atau murid imam madzhab fiqh. Misalnya, Kitab-kitab fiqh disusun
berdasarkan permintaan penguasa dan pemerintah pun mulai menganut salah
satu madzhab fiqh resmi negara, seperti dalam pemerintahan Daulah
Abbasiyah yang menjadikan fiqh Madzhab Hanafi sebagai pegangan para
hakim di pengadilan.

Di samping sempurnanya penyusunan kitab-kitab fiqh dalam berbagai


madzhab, juga disusun kitab-kitab usul fiqh, seperti kitab Ar-Risalah yang
disusun oleh Imam Asy Syafi’i. sebagaimana pada periode ketiga, pada
periode ini, fiqh iftiradi semakin berkembang karena pendekatan yang
dilakukan dalam fiqh tidak lagi pendekatan aktual di kala itu, tetapi mulai
bergeser pada pendekatan teoretis. Selain itu, penulisan sunnah dikenal
dengan “kutub al-sittah”” (Bukhari, Nuslim, Nasai, Ibn Majjah, Dawud, dan
Tirmidzi) yang jumlahnya berpuluh jilid serta penulisan tafsir telah dilakukan
seperti tafsir ibn juraih, Saddi dan Muhammad bin Ishaq yang dikembangkan
oleh Ibn Jarir Ath-Thabari (ulama tafsir terkenal).

Dalam analisis Qordri Azizy, penulisan kitab-kitab fiqh tidak lepas dari
madzhab besar atau imam sebelumnya. Peralihan dari tradisi ijtihad kepada
tradisi taklid pun terjadi sebagai dampak madzhab besar terhadap para
pengikut atau muridnya. Sebagai contoh, uraian yang terdapat dalam Al-
Majmu karya An-Nawawi, Al-Mustasfha, dan Ihya Ulum Ad-Din karya Al-
Ghazali, dan masih banyak lagi. Mereka juga giat meneliti dan
mengklarifikasikan permasalahan fiqh dan memperdebatkannya dalam forum-
forum ilmiah sehingga dapat diketahui mana pendapat yang disepakati dan
mana pendapat yang diperselisihkan.

Kemudian, mereka bukukan dalam bentuk kitab seperti Al-Inshaf karya


Al-Bathliyusi, Bidaya Al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd (w. 595 H), Al-I’tisham
karya Asy-Syatibi dan lain-lainnya yang merupakan embrio bagi kelahiran
ilmu fiqh al-muqaram pada periode selanjutnya.

Fuqaha juga sangat berkreasi dalam bidang usul fiqh. Mereka


mempelajari metode-metode yang dirumuskan oleh fuqaha sebelumnya,
menyempurnakan, dan menganalisis hasil penerapan masing-masing metode
kepada masalah-masalah fiqhiyyah sehingga fase ini telah dapat menelurkan
puluhan kitab dalam bidang qawaid fiqhiyyah.

Sementara itu, madzhab Zaidiyah, meskipun sedikit, madzhab ini


mamiliki format penulisan fiqh, yakni Al-Majmu [fatwa-fatwa Zaid ibn Ali],
baik bidang hadis maupun fiqh, yang dikumpulkan oleh Abu Khalid ‘Amar
bin Khalid Al-Wasithi (w. 150 H) dan al-Raudhu An-Nadhir Syarh Majmu’
al-Fiqh al-Kabir karya Syafrudin Husein Ibn Ahmad Al-Haimi Al-Yamini al-
Son’ani (1221 H). Adapun kitab resmi Fiqh madzhab Ismaili, Da’aim al-
Islam, karya Numan Ibn Muhammad At-Tamimi (w. 974 H).

Adapun madzhab Khawarij, format penulisan kitab yang dijadikan


rujukan oleh madzhab Ibadiyah adalah Musnad Ar-Rab’I karya Rabi’ bin
Habib al-Farahidi al Umani al-Bashri dan kitab Ashdag Al-Manahij fi Tamyiz
Al-Ibadiyah Min Al-Khawarij karya ulama mutqkhir Ibadi, Salim bin Hamud.
PENUTUP

1. Kesimpulan

Desain penelitian disebut juga rencana penelitian. Rencana merupakan suatu


kehendak atau keputusan yang dilakukan oleh seseorang. Rencana bisa juga berarti
sebuah usulan (proposal) yang rinci untuk melakukan atau mencapai sesuatu.
Adapun penelitian adalah pengamatan secara sistematis dan kajian atas bahan dan
sumber sesuatu untuk membangun fakta dan kesimpulan. Jadi yang dimaksud
dengan rencana penelitian adalah sebuah keputusan untuk mengamati atau mengkaji
suatu bahan atau sumber secara sistematis.

Beberapa pendekatan pada penelitian hukum islam diantaranya adalah :

1. Pendekatan historis (Historical approach);


2. Pendekatan kasus (Case Approach);
3. Pendekatan analisis ( Analitical Aproach;)
4. Pendekatan Filsafat ( Phylosophycal Approach);
5. Pendekatan perbandingan (Comparative Approach);
6. Pendekatan Perundang-undangan( Statute Approach);
DAFTAR PUSTAKA

http://hukum.kompasiana.com/2013/05/01/perancangan-skripsi-hukum-islam--555931.html
http://fahruddinas.blogspot.com/2011/02/pengantar-dalil-dalil-syariah-dalam_538.html
http://abiavisha.blogspot.com/2013/02/aneka-metodologi-memahami-islam_1385.html
http://www.fshuinsgd.ac.id/2012/04/27/model-penelitian-fuqaha-bagian-kesatu-tokoh-dan-
komunitas/http://www.fshuinsgd.ac.id/2012/04/28/model-penelitian-fuqaha-bagian-
kedua-fokus-penelitian/
http://www.fshuinsgd.ac.id/2012/05/02/model-penelitian-fuqaha-bagian-kelima-langkah-
langkah-penelitian/
http://konsep-dan-teori-teori-muqaranah-mazhab.html
http://www.academia.edu/7558321/METODE_PENELITIAN_HUKUM

Anda mungkin juga menyukai