Nugrahanto
Karaoke atau kegiatan bernyanyi yang iringi sebuah mesin sudah jamak
bernyanyi dalam sebuah ruangan ini menjadi salah satu tawaran hiburan untuk
berbagai kalangan. Dari anak muda hinga tua, laki-laki ataupun perempuan.
Aktivitas bernyanyi tanpa diiringi alat musik langsung ini, sekarang sudah
banyak berkembang dari awal kemunculannya. Karaoke berasal dari bahasa Jepang
yaitu kara dari kata karappo yang berarti kosong dan ‘oke’ dari kata okesutura atau
orkestra. Karaoke dapat diartikan sebagai sebuah musik orkestra yang kosong atau
tidak dilengkapi dengan suara vokal. Karaoke dalam sejarahnya dimulai ketika
sekitar tahun 1970an, seorang pemain drum dan penyanyi bernama Inoue Daisuke
yang selalu tampil di sebuah cafe, diminta oleh tamu cafe tersebut untuk merekam
perusahaan.
vokal, Inoune menjadikan alat temuannya komersil. Dengan memasukan koin 100
yen pada tahun 1970an untuk sekali karaoke. Disisi lain karoake menghilangkan
suasana musik yang hidup (live atmosfer). Meskipun demikian,alat karaoke tetap
banyak diminati dan berkembang di berbagai restoran, hotel, dan berbagai tempat
hiburan.
didiran di Surabaya itu, lambat laun terus berkembang dan memunculkan banyak
persaingan.Bukan hanya lirik oleh pembisnis saja, para artis tanah air seperti Inul
fasilitas yang ada di karoake merupakan bentuk dari budaya pascamodern. Dimana
awal mula karaoke menjadi alat pembantu mengiringi lagu seorang penyanyi dalam
suatu bar. Bersifat inklusif. Tetapi yang terlihat karaoke menjadi eksklusif dalam
karaoke yang tidak pandai bernyanyi, dapat bernyayi tanpa malu suaranya merdu
atau tidak. Karena dalam ruangan dapat menentukan siapa yang mendengarkan
aktivitas karaoke yang mereka pamerkan melalui media sosial. Peneliti disini
pelepas penat saja. Seperti yang diungkap Guy Debord (1992) "the spectacle is not
a collection of images; it is a social relation between people that is mediated by
images". Guy Debord memahami spectacle sebagai sebuah relasi sosial diantara
masyarakat modern, yang dimediasi oleh citra. Dengan spectacle, karaoke menjadi
masyarakat. Karaoke menjadi tempat yang mampu membangun citra “siapa saya?”
peneliti. Dia dengan rasa yang bangga mengajak dan sambil menunjukan –
lagu. Dia juga mengatakan bahwa “Nek duite rodo okeh, enak neng Waka-Waka”.
Kalimat tersebut kemudian menimbulkan sebuah hal yang menarik bagi peneliti
untuk mengkaji lebih jauh. Peneliti mencurigai adanya kelas-kelas dalam sebuah
tempat karaoke. “Duite rodo okeh” dapat dikonotasikan bahwa tempat karaoke
“anyone can do it,”. Argumen tersebut muncul karena adanya padangan penyanyi
dalam bermain musik. Karoake juga menjadi manifestasi bentuk lokalitas musik di
nyanyikan, berbeda dengan livemusik yang familiar. Para kaum imigran atau
minoritas menggunakan bar untuk menyanyikan lagu-lagu yang tidak populer atau
bar diLos Angeles yang menyanyikan “tangos” untuk mengenang masa pra
komunis. Imigran Cina di bar karaoke New York menyanyikan lagu versi “contanese
opera”.
penyanyi dalam bar bersaing untuk mendapatkan tepuk tangan pengunjung bar.
di bar juga memperlihatkan mana suara penyanyi yang bagus dan mana suara yang
tidak.
Lokasi tempat karaoke tersebut keberadaannya dipinggir jalan Pantura, dan jauh
dari perkotaan. Keberadaan Waka Waka juga dekat dengan lokasi karaoke-karaoke
lain. Dari letaknya yang jauh dari kota, sangat jelas bahwa target konsumen dari
Waka Waka adalah kalangan menengah. Berbeda dengan penelitian karaoke dari
Andy Bannet, Karaoke ini menyediakan fasilitas room bukan bar. Waka Waka
menyediakan fasilitas minuman keras dan LC (Lady Companion) atau pemandu lagu.
kelas disitu. Kelas itu terlihat dari apa yang mereka pilih, seperti jenis dan jumlah
minuman keras yang di pesan. Ataupun pilihan mereka dalam menentukan
sebagai konsumtif saja. Seperti penelitian dari Mukhlis (2013) tentang karaoke
remaja tertarik ke tempat karaoke yaitu adanya ajaan dari teman, ingin seperti
teman yang lain, rasa jenuh, dan trend karaoke pada remaja. Muhlis juga
menjelaskan adanya perasaan gengsi dan pemilihan tempat yang nyaman untuk
aktivitas remaja dalam melakukan karoake lebih kepada hedonisme dan konsumtif
untuk mengikuti trend. Berbeda dengan penelitian Muhlis, penelitian ini berusaha
mendedah lebih dari dalam persaingan simbolik yang di dapat dari aktivitas
karaoke.
Tambah lagi pertanyaannya !!! Coba buat pertanyaan dengan kata tanya
MENGAPA
Penelitian dari Fanta dan Grendi (2016) tentang Karaoke sebagai budaya
bagaimana karoake sebagai hiburan yang disukaioleh banyak orang. Fanta juga
menjelaskan adanya citra positif tempat karaoke keluarga yang ada di Yogyakarta.
Adanya faktor eksternal seperti pengaruh dari teman, promo, dan fasilitas yang di
melakukan karaoke. Selain itu, faktor internal seperti adanya angapan karaoke
sebagai tempat hiburan yang menyenangkan dalam mengisi waktu luang, sebagai
pelepas penas dan stres menurut fanta dan Grendi menjadi hal-hal yang menarik
bagi mahasiswa. Fanta dan Grendi juga menambahkan faktor internal lain seperti
karoake sebaga sarana mengeskpresikan diri dan ajang berkumpul. Selain itu
melakukan karaoke.
Penelitian dari fanta dan Grendi juga menjadi tambahan refrensi peneliti untuk
melakukan penelitian. Peneliti melihat bahwa fanta dan Grendi banyak menjelaskan
objek penelitian yang diteliti berbeda, Fanta dan Grendi meneliti karaoke keluarga.
dalam dari karaoke sebagai budaya populer, seperti alasan memilih salah tempat
budaya, dimana Cina dengan sistem ekonomi sosialisnya, dan pengekangan oleh
pengguna karaoke dapat menentukan sendiri lagu yang ingin dinyanyikan. Dalam
Karaoke pengguna juga dapat mengekpresikan perasaannya tanpa ada tekanan dari
negara. Pengguna karaoke di Cina sendiri juga membentuk hirarki kelas sosial. Kelas
sosial tersebut terbentuk dari fasilitas yang dimiliki oleh masing-masing tempat
karaoke. Karaoke bukan lagi sekedar tempat hiburan, tetapi menjadi sebuah
industri yang saling bersaing menarik pelanggan. Tulisan dari Fung juga
memberikan penjelasan terkait perbedaan kelompok sosial dari selera musik lagu-
lagu klasik yang diminati kelangan tua, dan lagu-lagu pop yang banyak diminati
generasi muda.
Penelitian dari Nuri Irmawati (2014) terkait konsep diri dalam dinamika
pandangan negatif dari masyarakat terhadap wanita yang bekerja sebagai pemandu
Kemudian membentuk perilaku yang tidak sesuai sopan santu serta noormal yang
berlaku dimasyarakat. Sementara dari penelitian ini melihat hal yang sedikit
dengan apa yang Nuri teliti. Bagi para pelanggan karaoke memiliki refrensi referensi
terkait dengan nama serta kemampuan yang dimiliki oleh seorang pemandu
karoake. Skill bernyanyi serta kecantikan yang dimiliki para pemandu karaoke
tersebut.
berbagai macam situasi. Seperti halnya karaoke, yang berubah fungsinya sejak
awal ditemukannya. Bentuk dan aktivitas karaoke dalam berbagi tempat terus
berkutan pada sandang, papan, dan pangan. Tempat hiburan seperti karoake
menjadi salah kebutuhan yang juga harus terpenuhi atau di konsumsi pada saat
ini.
yang sebenarnya kurang bahkan tidak diperlukan dan bukan menjadi kebutuhan
merupakan suatu hal dimana seringnya konsumen membeli suatu barang maupun
hiburan. Lebih dari itu, dengan adanya perkembangan teknologi dan media sosial
citra yang termediasi oleh oleh sebuah gambar. Dimana dominasi masyarakat
Guy Debord (1992) dalam the society of the spectacle menjelaskan bahwa
individu sendiri (tanpa sadar) menjadi tontonan bagi yang lain. Dalam masyarakat
Melainkan kebutuhan bagaimana individu dilihat dalam dunia sosialnya. Ini yang
disebuh Guy Debord bahwa tontonan juga membangun ketidaksadaran seorang
individu terhadap apa yang mereka inginkan. Individu menjadi terangsingkan dari
Tontonan disini bukan melulu sebuah pesan atau sekedar makna dari
masyarakat tidak sekedar untuk mengonsumsi kegunaan produk, tetapi juga nilai
dibalik produk tersebut. Seperti yang dijelaskan oleh Guy Debord "The spectacle is
merupakan bagian stimulan dari masyarakat dan juga bagian dari masyarakat.
masyarakat.
diversities and contrasts of these phenomena stem from the social organization of
appearances, whose essential nature must it self be recognized. The spectacle atau
tontonan merupakan sebuah identifikasi dari kehidupan sosial manusia dengan
dirinya dalam sebuah lingkungan sosial. Karena melalui "the spectacle" memiliki
luas itu ditampilkan. Yang kemudian memiliki pesan bahwa "Apa yang tampak itu
baik, apa yang baik itu muncul". Secara tidak sadar the spectacle menyebabkan
citra, rasa ngengsi, dan sebuah prestis dalam mengonsumsi sebuah barang.
tidak sebatas kebutuhan akan hiburan. Lebih dari itu, mereka berkaraoke juga
Hal tersebut seiring dengan aliran proses konsumsi terhadap karaoke yang juga
antara kelas dan konsumsi. Pemikirannya lain oleh sosiolog klasik seperti
kelas. Tetapi Bourdieu lebih dalam menjelaskan tentang konsumsi dan perjuangan
meraih kelas. Veblen (1994) dalam The Theory of Leisure Class. Memuat sebuah
ulasan terkait bentuk komsumsidi Amerika dalam menikmati waktu luang. Lebih
jauh lagi, Veblen menjelaskan konsumsi dalam mengisi aktivitas waktu luang juga
kelas sosialnya. Akan tetapi kelas sosial dan selera ada sesuatu yang berbeda, dalam
Pada penelitian ini konsep Distinction atau perbedaan dari Bourdieu akan
make, between the beautiful and the ugly, the distinguishedand the vulgar, in which
their position in the objective classifications is expressed or betrayed”(Bourdieu,
1984).
Dominan", dimana struktur kelas tersebut didefinisikan dari modal ekonomi dan
budaya yang dimiliki anggotanya. Setiap kelasnya dicirikan dengan sesuatu tanda
habitus.
Habitus ini dapat dibentuk melalui sebuah cara tertentu. Dimana orang-
orang yang menempati posisi kelas dominan ditempatkan dalam sebuah situasi
Pada fenomena penelitian ini karaoke bukan hanya sekedar sebuah aktivitas
mengisi waktu luang dengan cara bernyanyi. Peneliti melihat karaoke menjadi
sebuah ruang sosial yang juga membangunhabitus sendiri bagi para penikmatnya.
klasifikasi kelasnya.
informasi secara detail, terbuka, dan bebas dengan masalah dan fokus penelitian
yang mengarah pada pusat penelitian. Narasumber yang akan diwawancarai adalah
motif apa yang mendasari mereka melakukan aktivitas karaoke dan fasilitas apa
yang mereka pesan.Peneliti juga akan melakukan wawacara pada pemilik karaoke
peneliti juga akan merasakan langsung kondisi ketika karaoke, dan bergabung
dibutuhkan
Daftar Pustaka
London:Routledge.
Debord Guy,1992. “The Society of the Spectacle”, Broadway, Suite 608 New York
Sosial
RA, Mukhlis.2013. “Karaoke Sebagai Budaya Populer Remaja Makassar (Studi pada
Pendidikan Antropologi
KARENA AKAN LEBIH RUMIT DATANYA. COBA TAMBAH SAJA TEORI DAN
LEFEBVRE” DI BUKU GERAK KUASA yang baru diterbitkan oleh KBM dan
Gramedia.