Anda di halaman 1dari 15

Karaoke Sebagai Arena Pertarungan kelas

(Studi pada konsumen Karaoke Waka-waka Kabupaten Batang)

Nugrahanto

1.1 Latar Belakang

Karaoke atau kegiatan bernyanyi yang iringi sebuah mesin sudah jamak

diketahui masyarakat. Menjamurnya tempat-tempat karaoke di berbagai kota di

Indonesia menandakan konsumsi terhadap produk ini cukup tinggi. Kegiatan

bernyanyi dalam sebuah ruangan ini menjadi salah satu tawaran hiburan untuk

berbagai kalangan. Dari anak muda hinga tua, laki-laki ataupun perempuan.

Karaoke juga dinikmati oleh berbagai macam kelas sosial.

Aktivitas bernyanyi tanpa diiringi alat musik langsung ini, sekarang sudah

banyak berkembang dari awal kemunculannya. Karaoke berasal dari bahasa Jepang

yaitu kara dari kata karappo yang berarti kosong dan ‘oke’ dari kata okesutura atau

orkestra. Karaoke dapat diartikan sebagai sebuah musik orkestra yang kosong atau

tidak dilengkapi dengan suara vokal. Karaoke dalam sejarahnya dimulai ketika

sekitar tahun 1970an, seorang pemain drum dan penyanyi bernama Inoue Daisuke

yang selalu tampil di sebuah cafe, diminta oleh tamu cafe tersebut untuk merekam

permainannya sehingga tamu tersebut dapat menyanyi bersama dalam piknik

perusahaan.

Mengingat banyaknya permintaan terhadap rekaman alunan musik tanpa

vokal, Inoune menjadikan alat temuannya komersil. Dengan memasukan koin 100

yen kedalam alat rekamannya, pelanggan dapat menikmati suasana bernyanyi


diiringi alunan musik. Meskipun terdapat banyak kritik. Seperti mahalnya biaya 100

yen pada tahun 1970an untuk sekali karaoke. Disisi lain karoake menghilangkan

suasana musik yang hidup (live atmosfer). Meskipun demikian,alat karaoke tetap

banyak diminati dan berkembang di berbagai restoran, hotel, dan berbagai tempat

hiburan.

Di Indonesia bisnis karaoke diawali oleh perusahaan dengan nama

"HappyPuppy" pada 14 November 1992. Karaoke keluarga yang pertama kali

didiran di Surabaya itu, lambat laun terus berkembang dan memunculkan banyak

persaingan.Bukan hanya lirik oleh pembisnis saja, para artis tanah air seperti Inul

Daratista, Syahrini, Ari Lasso, dll, juga membuka bisnis Karaoke.

Tingginya persaingan dalam bisnis karaoke, menjadikan pengusaha pemilik

karaoke mencoba menawarkan berbagai fasilitas untuk karaoke. Peneliti melihat

fasilitas yang ada di karoake merupakan bentuk dari budaya pascamodern. Dimana

awal mula karaoke menjadi alat pembantu mengiringi lagu seorang penyanyi dalam

suatu bar. Bersifat inklusif. Tetapi yang terlihat karaoke menjadi eksklusif dalam

sebuah room atau ruangan. Fasilitas ruang karaoke memungkinkan konsumen

karaoke yang tidak pandai bernyanyi, dapat bernyayi tanpa malu suaranya merdu

atau tidak. Karena dalam ruangan dapat menentukan siapa yang mendengarkan

suaranya, dan lagu apa yang ia nyanyikan.

Seringnya ajakan beberapa rekan dari peneliti, dan beberapa gambar

aktivitas karaoke yang mereka pamerkan melalui media sosial. Peneliti disini

menyadari bahwa mereka mengkonsumsi fasilitas karaoke bukan sekedar hiburan

pelepas penat saja. Seperti yang diungkap Guy Debord (1992) "the spectacle is not
a collection of images; it is a social relation between people that is mediated by

images". Guy Debord memahami spectacle sebagai sebuah relasi sosial diantara

masyarakat modern, yang dimediasi oleh citra. Dengan spectacle, karaoke menjadi

komoditas yang dibentuk kapitalis dan sehingga dapat terus dikonsumsi

masyarakat. Karaoke menjadi tempat yang mampu membangun citra “siapa saya?”

dan “apa yang saya lakukan?” yang dimediasi melalui gambar.

“Ayo, kapan-kapan karaoke?”, Ajakan dari Kolid yang merupakan rekan

peneliti. Dia dengan rasa yang bangga mengajak dan sambil menunjukan –

menunjukkan foto dirinya sedang bernyanyi ditemani dengan seorang pemandu

lagu. Dia juga mengatakan bahwa “Nek duite rodo okeh, enak neng Waka-Waka”.

Kalimat tersebut kemudian menimbulkan sebuah hal yang menarik bagi peneliti

untuk mengkaji lebih jauh. Peneliti mencurigai adanya kelas-kelas dalam sebuah

tempat karaoke. “Duite rodo okeh” dapat dikonotasikan bahwa tempat karaoke

tersebut untuk konsumen dengan ekonomi diatas. - di atas

Penelitian Andy Bannet (2004:65) pada studi karaoke di Amerika Serikat

mengungkapkan “Karaoke’s supporters hew to a democratic conviction that

“anyone can do it,”. Argumen tersebut muncul karena adanya padangan penyanyi

karaoke tidak di anggap musisi. Karena karaoke menghilangkan “scene”atau adegan

dalam bermain musik. Karoake juga menjadi manifestasi bentuk lokalitas musik di

nyanyikan, berbeda dengan livemusik yang familiar. Para kaum imigran atau

minoritas menggunakan bar untuk menyanyikan lagu-lagu yang tidak populer atau

sedang menjadi trend.


Bannet (2004:74) mengungkapkan, “the localism of karaoke scenes may be

most striking in accounts of karaoke among minority and immigrant

populations”.Dia mencontohkan seperti para imigran vietnamdi salah satu karaoke

bar diLos Angeles yang menyanyikan “tangos” untuk mengenang masa pra

komunis. Imigran Cina di bar karaoke New York menyanyikan lagu versi “contanese

opera”.

Karaoke di Amarika Serikat juga menjadi ajang pertatungan untuk menjadi

selebriti. “Karaoke is a natural for celebrity-obsessed Americans, since it gives

everyone a chance to be a star” Bannet (2004:70). Dalam tulisan Bannet,para

penyanyi dalam bar bersaing untuk mendapatkan tepuk tangan pengunjung bar.

Penyanyi dalam bar juga memungkinkan memiliki penggemar. Pertunjukan karaoke

di bar juga memperlihatkan mana suara penyanyi yang bagus dan mana suara yang

tidak.

Waka-Waka sendiri merupakan tempat karaoke yang ada kota Batang.

Lokasi tempat karaoke tersebut keberadaannya dipinggir jalan Pantura, dan jauh

dari perkotaan. Keberadaan Waka Waka juga dekat dengan lokasi karaoke-karaoke

lain. Dari letaknya yang jauh dari kota, sangat jelas bahwa target konsumen dari

Waka Waka adalah kalangan menengah. Berbeda dengan penelitian karaoke dari

Andy Bannet, Karaoke ini menyediakan fasilitas room bukan bar. Waka Waka

menyediakan fasilitas minuman keras dan LC (Lady Companion) atau pemandu lagu.

Meskipun di tunjukan untuk kelas menengah, peneliti melihat adanya pertarungan

kelas disitu. Kelas itu terlihat dari apa yang mereka pilih, seperti jenis dan jumlah
minuman keras yang di pesan. Ataupun pilihan mereka dalam menentukan

pemandu lagu yang menemani bernyanyi.

Penelitian ini hendak menganalisa praktik karaoke bukan hanya sekedar

sebagai konsumtif saja. Seperti penelitian dari Mukhlis (2013) tentang karaoke

sebagai budaya populer remaja Makassar. Mukhlis menjelaskan bahwa alasan

remaja tertarik ke tempat karaoke yaitu adanya ajaan dari teman, ingin seperti

teman yang lain, rasa jenuh, dan trend karaoke pada remaja. Muhlis juga

menjelaskan adanya perasaan gengsi dan pemilihan tempat yang nyaman untuk

melakukan aktivitas bernyanyi. Penelitian Mukhlis sampai pada kesimpulan bahwa

aktivitas remaja dalam melakukan karoake lebih kepada hedonisme dan konsumtif

untuk mengikuti trend. Berbeda dengan penelitian Muhlis, penelitian ini berusaha

mendedah lebih dari dalam persaingan simbolik yang di dapat dari aktivitas

karaoke.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah berdasarkan latar belakang diatas adalah:

1. Bagaimana praktik pertarungan kelas pada konsumen karaokeWaka-

waka di Kabupaten Batang?

Tambah lagi pertanyaannya !!! Coba buat pertanyaan dengan kata tanya

MENGAPA

1.3 Tujuan Penelitian


Berdasarkan rumusan masalah, peneliti memiliki tujuan yaitu:

1. Menganalisis praktek pertarungan kelas pada konsumen karaoke Waka

Waka di Kebupaten Batang

1.4 Tinjauan Pustaka

Penelitian dari Fanta dan Grendi (2016) tentang Karaoke sebagai budaya

populer di kalangan mahasiswa yogyakarta. Fanta dan Grendi menjelaskan

bagaimana karoake sebagai hiburan yang disukaioleh banyak orang. Fanta juga

menjelaskan adanya citra positif tempat karaoke keluarga yang ada di Yogyakarta.

Adanya faktor eksternal seperti pengaruh dari teman, promo, dan fasilitas yang di

tawarkan. Menjadi faktor eksternal yang menarik kalangan mahasiswa untuk

melakukan karaoke. Selain itu, faktor internal seperti adanya angapan karaoke

sebagai tempat hiburan yang menyenangkan dalam mengisi waktu luang, sebagai

pelepas penas dan stres menurut fanta dan Grendi menjadi hal-hal yang menarik

bagi mahasiswa. Fanta dan Grendi juga menambahkan faktor internal lain seperti

karoake sebaga sarana mengeskpresikan diri dan ajang berkumpul. Selain itu

keprivatan pada tempat karaoke juga menjadi faktor internal mahasiswa

melakukan karaoke.

Penelitian dari fanta dan Grendi juga menjadi tambahan refrensi peneliti untuk

melakukan penelitian. Peneliti melihat bahwa fanta dan Grendi banyak menjelaskan

penyebab kalangan mahasiswa Yogyakarta melakukan aktivitas karaoke. Dari obyek

objek penelitian yang diteliti berbeda, Fanta dan Grendi meneliti karaoke keluarga.

Sementara pada penelitian ini meneliti Karoake eksklusif yang menyediakan


minuman keras dan pemandu lagu. Penelitian ini juga berusaha mengungkap lebih

dalam dari karaoke sebagai budaya populer, seperti alasan memilih salah tempat

karaoke, fasilitas karaoke dan persaingan simbolis pada karaoke eksklusif.

Dalam penelitian Anthony Fung (2009) tentang "Consuming Karaoke in China :

Modernities and Cultural Contradiction”. Fung menjelaskan bahwa bernyanyi

karaoke merupakan aktivitas santai dimana para penikmatnya dapat menyalurkan

perasaannya. Penelitian dari fung terkait aktivitas karaoke di Cina menambah

analisis dalam penelitian ini. Penelitian Fung menjelaskan tentang kontradiksi

budaya, dimana Cina dengan sistem ekonomi sosialisnya, dan pengekangan oleh

kebijakan partai komunis. Karaoke menjadi ruang yang demokratis, karena

pengguna karaoke dapat menentukan sendiri lagu yang ingin dinyanyikan. Dalam

Karaoke pengguna juga dapat mengekpresikan perasaannya tanpa ada tekanan dari

negara. Pengguna karaoke di Cina sendiri juga membentuk hirarki kelas sosial. Kelas

sosial tersebut terbentuk dari fasilitas yang dimiliki oleh masing-masing tempat

karaoke. Karaoke bukan lagi sekedar tempat hiburan, tetapi menjadi sebuah

industri yang saling bersaing menarik pelanggan. Tulisan dari Fung juga

memberikan penjelasan terkait perbedaan kelompok sosial dari selera musik lagu-

lagu klasik yang diminati kelangan tua, dan lagu-lagu pop yang banyak diminati

generasi muda.

Penelitian dari Nuri Irmawati (2014) terkait konsep diri dalam dinamika

psikososial wanita pemandu karoake di kota Solo menjelaskan bahwa adanya

pandangan negatif dari masyarakat terhadap wanita yang bekerja sebagai pemandu

karaoke. Yang kemudian membentuk konsep dirinya (pemadu karaoke) menjadi


pribadi yag acuh, tidak peduli dengan penilaian negatif dan keadaan masyarakat.

Kemudian membentuk perilaku yang tidak sesuai sopan santu serta noormal yang

berlaku dimasyarakat. Sementara dari penelitian ini melihat hal yang sedikit

berbeda. Dalam pengalaman empiris yang peneliti cermati bertolak belakang

dengan apa yang Nuri teliti. Bagi para pelanggan karaoke memiliki refrensi referensi

terkait dengan nama serta kemampuan yang dimiliki oleh seorang pemandu

karoake. Skill bernyanyi serta kecantikan yang dimiliki para pemandu karaoke

menjadi salah satu faktor pendorong konsumen mengunjungi tempat karaoke

tersebut.

1.5 Kerangka Teori

a. Karaoke sebagai konsumsi tontonan

Ramalan Marx bahwa kapitalisme akan hancur dengan sendirinya karena

kerakusan dari kapitalisme yang menggerogoti dirinya sendiri, nyatanya tidak

benar terbukti. Kapitalisme terus berkembang menyesuaikan diri terhadap

berbagai macam situasi. Seperti halnya karaoke, yang berubah fungsinya sejak

awal ditemukannya. Bentuk dan aktivitas karaoke dalam berbagi tempat terus

menyesuaikan diri. Hal tersebut merupakan perkembangan dari pengaruh

kapitalisme dalam mempengaruhi kebutuhan sesorang. Konsumsi bukan lagi

berkutan pada sandang, papan, dan pangan. Tempat hiburan seperti karoake

menjadi salah kebutuhan yang juga harus terpenuhi atau di konsumsi pada saat

ini.

Soebiyakto (1988, hlm. 17) menjelaskan bahwa konsumsi merupakan suatu

pemenuhan kebutuhan yang diperlukan sesuai dengan apa yang dibutuhkan.


Konsumsi yang dilakukan berdasarkan keinginan menimbulkan suatu perilaku

konsumtif. Perilaku konsumtif biasanya menjelaskan tentang keinginan seseorang

untuk mengonsumsi barang maupun jasa secara berulang-ulang danberlebihan

yang sebenarnya kurang bahkan tidak diperlukan dan bukan menjadi kebutuhan

pokok, sehingga perilaku konsumtif cenderung mengarah pada perilaku yang

boros (menghambur-hamburkan uang) yang lebih mendahulukan keinginan

daripada kebutuhan pokoknya.

Soebiyakto (1988, hlm. 17) juga menegaskan bahwa perilaku konsumtif

merupakan suatu hal dimana seringnya konsumen membeli suatu barang maupun

suatu produk demi sebuah pengakuan maupun penghargaan, dimana bahwa

secara nyata komoditas produk tersebut kurang dibutuhkan bahkan tidak

dibutuhkan. Aktivitas karoake tidak hanya sekedar kebutuhan akan sebuah

hiburan. Lebih dari itu, dengan adanya perkembangan teknologi dan media sosial

sebuah karaoke menjadi hiburan yang juga berpengaruh terhadap pembentukan

citra yang termediasi oleh oleh sebuah gambar. Dimana dominasi masyarakat

dalam kelompok sosial tertentu mempengaruhi cara dalam mengonsumsi sesuatu

kebutuhan. Kebutuhan lebih memproyeksikan kepada sebuah citra yang

dianggapnya sebuah realitas.

Guy Debord (1992) dalam the society of the spectacle menjelaskan bahwa

kapitalisme secara dominan. Perluasan produksi kapitalisme di tunjang dari

individu sendiri (tanpa sadar) menjadi tontonan bagi yang lain. Dalam masyarakat

tontonan, konsumsi individu bukan kepada kebutuhan terhadap dirinya.

Melainkan kebutuhan bagaimana individu dilihat dalam dunia sosialnya. Ini yang
disebuh Guy Debord bahwa tontonan juga membangun ketidaksadaran seorang

individu terhadap apa yang mereka inginkan. Individu menjadi terangsingkan dari

kehidupannya. Dimana keinginannya merupakan bentukan dari kapitalisme

melalui berbagai stimulan-stimulan (spectacle atau tontonan ada dimana-mana).

Guy Debord (1992) juga menambahkan Fungsi dari tontonan yaitu

menguntungkun indsutri terntentu, hanya menguntungkan pada pertumbahan

ekonomi. Sementara pada penonton hanya menjadi sebuah keterasingan.

Tontonan disini bukan melulu sebuah pesan atau sekedar makna dari

gambar, tapi adanya sebuah komoditi dari produk yang mempengaruhi

masyarakat tidak sekedar untuk mengonsumsi kegunaan produk, tetapi juga nilai

dibalik produk tersebut. Seperti yang dijelaskan oleh Guy Debord "The spectacle is

not a collection of images; it is a social relation between people that is mediated

by images". Dalam masyarakat modern,kehidupan disajikan sebagai kumpulan

tontonan atau Spectecle. Dimana perkembangan industri kapitalisme menjadikan

segala sesuatu tidak terlepas dari sebuah representasi atau bagaimana ia

dicitrakan. Guy Debord menambahkan bahwa the spectacle atau tontonan

merupakan bagian stimulan dari masyarakat dan juga bagian dari masyarakat.

Sehingga tontonan itu sendiri terpengaruh dan mempengaruhi kesadaran

masyarakat.

Guy Debord menerangkan konsep dari "the spectacle" interrelates and

explains a wide range of seemingly unconnected phenomena. The apparent

diversities and contrasts of these phenomena stem from the social organization of

appearances, whose essential nature must it self be recognized. The spectacle atau
tontonan merupakan sebuah identifikasi dari kehidupan sosial manusia dengan

sebuah penampilan. Spectacle menjadi sebuah cara masyarakat mengespresikan

dirinya dalam sebuah lingkungan sosial. Karena melalui "the spectacle" memiliki

makna untuk menunjukan sebuah formasi sosial ekonomi.

The Spectacle menjelaskan bagaimana sebuah tontonan dalam realitas yang

luas itu ditampilkan. Yang kemudian memiliki pesan bahwa "Apa yang tampak itu

baik, apa yang baik itu muncul". Secara tidak sadar the spectacle menyebabkan

masyarakat terpengaruh untuk menampilkan diri individu "bagaimana baiknya"

dalam lingkungan sosialnya.

Konsep spectacle atau tontonan dari Guy Debord menjelaskan tentang

degradasi kesadaran manusia modern, tentang concept of being dan having,

menjadi concept of appearing. Dimana masyarakat modern mengonsumsi subah

citra, rasa ngengsi, dan sebuah prestis dalam mengonsumsi sebuah barang.

Dibandingkan dengan nilai kegunaan. Sementara dalam lingkup arena karoke,

peneliti melihat adanya para pelanggan karoake dalam mengonsumsi karaoke

tidak sebatas kebutuhan akan hiburan. Lebih dari itu, mereka berkaraoke juga

merupakan upaya untuk menunjukan citra dirinya dalam realitas sosialnya.

b. Perbedaan Kelas sosial dan Selera dalam Karaoke

Konsumsi terhadap karaoke terus berkembang dengan adanya permintaan.

Hal tersebut seiring dengan aliran proses konsumsi terhadap karaoke yang juga

berubah. Seperti yang diungkapkan oleh Jonathan Friedman (1994:17) yang

mengungkapkan bahwa konsumsi bukan merupakan fenomena sosial yang berdiri

sendiri. Terdapat kerangka kerja yang menghubungkan proses makro dalam


reproduksi sosial dengan pembentukan proyek-proyek sosial konsumsi dan juga

interaksi diantara mereka. Sehingga perkembangan karaoke juga disebabkan oleh

meningkatnya permintaan konsumen. Pertumbuhan budaya konsumen juga

melahirkan permintaan-permintaan yang lebih spesifik. Hal ini menjadikan karoake

berkembang dalam memberikan produknya mengikuti dengan menyesuaikan

klasifikasi (class) kebutuhan konsumen.

Bourdieu bukan orang pertama mengeksplorasi secara dalam hubungan

antara kelas dan konsumsi. Pemikirannya lain oleh sosiolog klasik seperti

Marx,Weber, dan Simmel sudah sedikit menghubungkan konsumsi dengan posisi

kelas. Tetapi Bourdieu lebih dalam menjelaskan tentang konsumsi dan perjuangan

meraih kelas. Veblen (1994) dalam The Theory of Leisure Class. Memuat sebuah

ulasan terkait bentuk komsumsidi Amerika dalam menikmati waktu luang. Lebih

jauh lagi, Veblen menjelaskan konsumsi dalam mengisi aktivitas waktu luang juga

menandai praktek-praktek kelas. Mereka melakukan aktivitas yang mencerminkan

kelas sosialnya. Akan tetapi kelas sosial dan selera ada sesuatu yang berbeda, dalam

Boudieu menyebut “Distiction”. ????? konsep distingsi memang penting, tetapi

dalam hal ini lihat dulu persoalan ‘beda selera/taste’

Pada penelitian ini konsep Distinction atau perbedaan dari Bourdieu akan

membantu mendedah terkait perbedaan kelas pada aktivitas karaoke. Bourdieu

mengemukakan “Taste classifies, and it classifies the classifier. Social subjects,

classified by their classifications, distinguish themselves by the distinctions they

make, between the beautiful and the ugly, the distinguishedand the vulgar, in which
their position in the objective classifications is expressed or betrayed”(Bourdieu,

1984).

Dalam konsep Distinction Bourdieu mengungkapkan tentang masalah

hubungan dominasi, prestis, dan perbedaan-perpedaan yang terjadi didalam

masyarakat. Bourdieu juga berpendapat bahwa "taste" atau selera, merupakan

"kompetensi kultural". "Selera" inilah yang digunakan untuk melegitimasi

perbedaan-perbedaan sosial. Disinilah Bourdieu memunculkan istilah "Kelas

Dominan", dimana struktur kelas tersebut didefinisikan dari modal ekonomi dan

budaya yang dimiliki anggotanya. Setiap kelasnya dicirikan dengan sesuatu tanda

yang berkorenpondesi dengan sebuah gaya hidup tertentu melalui perantara

habitus.

Habitus ini dapat dibentuk melalui sebuah cara tertentu. Dimana orang-

orang yang menempati posisi kelas dominan ditempatkan dalam sebuah situasi

yang kontradiktif dan mendorong mereka untuk mempertahankan hubungan

ambivalen dengan benda-benda budaya dan orang-orang yang memproduksi

benda-benda tersebut (Bourdieu:1984).Habitus juga dapat diartikan sebagai nilai

yang meresap kedalam pikiran, perasaan, dan estetika seseorang, sehingga

mempengaruhi dan menentukan nilai selera seseorang.

Pada fenomena penelitian ini karaoke bukan hanya sekedar sebuah aktivitas

mengisi waktu luang dengan cara bernyanyi. Peneliti melihat karaoke menjadi

sebuah ruang sosial yang juga membangunhabitus sendiri bagi para penikmatnya.

Tempat karaoke sendiri sudah menciptakan benda-benda yang juga membedakan


kelas. Melalui fasilitas dan menu yang disajikan, berkorelasi dengan selera dan

klasifikasi kelasnya.

1.6 Metode Penelitian dan Objek Penelitian

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan in-depth interview atau

wawancara mendalam. Wawancara mendalam merupakan proses menggali

informasi secara detail, terbuka, dan bebas dengan masalah dan fokus penelitian

yang mengarah pada pusat penelitian. Narasumber yang akan diwawancarai adalah

para konsumen karaoke Waka-Waka. Peneliti akan mencari pelanggan karaoke

Waka-Waka yang sering melakukan aktivitas karaoke. Sehingga bisa dekatahui

motif apa yang mendasari mereka melakukan aktivitas karaoke dan fasilitas apa

yang mereka pesan.Peneliti juga akan melakukan wawacara pada pemilik karaoke

tentang fasilitas yang diberikan kepada pelanggan. Bukan hanya wawancara,

peneliti juga akan merasakan langsung kondisi ketika karaoke, dan bergabung

kedalam lingkaran para penggemar karaoke untuk mendapatkan informasi yang

dibutuhkan

Daftar Pustaka

B,Andy,AP Richard. 2014. “Music Scenes Local, Translocal,and Virtual”. USA:

Vanderbilt University Press


Bourdieu, P.1984.”Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste”.

London:Routledge.

Debord Guy,1992. “The Society of the Spectacle”, Broadway, Suite 608 New York

Fung, A.2009. “Consuming Karaoke in China” : Modernities and Cultural

Contradiction.The Chinese University of Hongkong : Articel in Chinese

Sociology & Anthropology

FE,Kurnia, Hendrastomo. 2016. “Karaoke Sebagai Budaya Populer di kalangan

Mahasiswa Yogyakarta”. Universitas Negeri Yogyakarta : Jurnal Fakultas Ilmu

Sosial

Marcia, J. E. 1980. “Identity in Adolescence”. In J. Adelson (Ed.), Handbook of

Adolescent Psychology. New York : Wiley

RA, Mukhlis.2013. “Karaoke Sebagai Budaya Populer Remaja Makassar (Studi pada

Pengunjung Diva Karaoke Keluarga)”.Universitas Negeri Makassar. FISIPOl :

Pendidikan Antropologi

PERTIMBANGKAN KEMBALI PENGGUNAAN KONSEP DISTINCTION-NYA BOURDIEU,

KARENA AKAN LEBIH RUMIT DATANYA. COBA TAMBAH SAJA TEORI DAN

KONSEP KONSUMSI. KARAOKE DAN RUANG KARAOKE YANG DIKOMODIFIKASI

MENJADI “RUANG’ YANG DIKONSUMSI. PERLU TEORI “RUANG” DALAM ARTI

RUANG NON-FISIK, TETAPI SOCIAL SPACE DAN SEJENISNYA. BACA TULISAN

PAK FARUK: “RUANG KOTA YOGYAKARTA DALAM PRODUKSI RUANG HENRI

LEFEBVRE” DI BUKU GERAK KUASA yang baru diterbitkan oleh KBM dan

Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai