Anda di halaman 1dari 9

PENGANTAR SOSIOLOGI (Semester I)

RANGKUMAN SOSIOLOGI PADA BUKU “PENGANTAR SOSIOLOGI HUKUM”


KARANGAN YESMIL ANWAR DAN ADANG

A. Definisi Sosiologi
1. Definisi Sosiologi
Auguste Comte berpendapat bahwa ilmu sosial mempunyai urutan tertentu berdasarakan
logika metode ilmiah. Metode ilmiah dari ilmu sosial berkaitan dengan disiplin ilmu sosial,
yang terdiri dari tiga paradigma;
(a) Positivisme : Pancainderalah alat tangkap untuk mendapatkan ilmu pengetahuan;
(b) Konvensionalisme : Manusia dipandang sebagai bebas dan merdeka;
(c) Realisme : Hakikat sesuatu.

Auguste Comte disebut sebagai Bapak Sosiologi. Karya pertamanya yaitu “The Course of
Positive Philosophy”. Karya yang mencerminkan komitmen yang kuat terhadap metode
ilmiah. Metode yang harus diterapkan untuk menemukan hukum-hukum yang mengatur
gejala sosial.
Secara etimologis, sosiologi berasal dari kata Latin, socius yang berarti kawan dan kata
Yunani, logos yang berarti kata atau berbicara. Jadi, menurut Comte sosiologi adalah ilmu
pengetahuan kemasyarakatan umum, yang merupakan hasil akhir dari perkembangan ilmu
pengetahuan. Lahirnya sosiologi ke dalam ilmu pengetahuan tercatat pada saat Comte
menerbitkan bukunya yang berjudul Positive-Philoshophy pada tahun 1842.
Sosiologi jelas merupakan ilmu sosial yang objeknya adalah masyarakat. Sebagai ilmu, ia
berdiri sendiri, karena telah memiliki unsur ilmu pengetahuan, yang meiliki ciri-ciri utama
sebagai berikut.
1. Bersifat empiris, berarti bahwa ilmu pengetahuan tersebut didasarkan pada observasi
terhadap kenyataan dan akal sehat. Hasilnya tidak bersifat spekulatif.
2. Bersifat teoritis, berarti bahwa ilmu pengetahuan tersebut selalu berusaha untuk menyusun
abstraksi dari hasil hasil observasi.
3. Bersifat kumulatif, berarti bahwa teori-teori sosiologi dibentuk atas dasar teori-teori yang
sudah ada. Dalam hal ini berarti memperbaiki, memperluas, serta memperhalus teori-teori
yang lama.
4. Bersifat non-etis, yan berarti pokok yang dipersoalkan bukanlah baik atau buruknya fakta
tertentu, akan tetapi bertujuan untuk menjelaskan fakta secara analitis.

Pitirim Sorikin mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari hubungan
dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala sosial dengan gejala non-sosial.
Mayor Polak mengatakan bahwa sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari
masyarakat sebagai keseluruhan, yang berhubungan antara manusia dengan manusia,
manusia dengan kelompok, kelompok dengan kelompok, baik formil maupun materil, baik
statis maupun dinamis.

2. Sosiologi sebagai Ilmu Pengetahuan


a) Menuju Ilmu
Ilmu dapat diartikan sebagai kegiatan intelektual manusia, dalam kaitannya dengan kehadiran
alam dan kehidupan di sekelilingnya. Menurut Satjipto Rahardjo, ”ilmu adalah untuk
kenyataan”, bukan sebaliknya, “kenyataan untuk ilmu”.
Rasionalisasi ilmu pengetahuan terjadi sejak Descartes, dengan sikap skeptis-metodisnya
yang meragukan segala sesuatu, kecuali meragukan dirinya yang sedang meragukan segala
sesuatu tersebut.
Descrates membicarakan masalah ilmu-ilmu, yang diawalinya dengan menyebutkan akal
sehat (common-sense), yang pada umumnya dimiliki oleh setiap orang. Menurutnya yang
terpenting adalah penerapan akal sehat tersebut dalam aktivitas ilmiah.
Pesan yan tersirat dari Descrates adalah : satu hal yang diperlukan dalam menuntut ilmu ialah
melepaskan diri dari cengkraman otoritas kaum guru atau dosen, mengerahkan diri untuk
belajar dari “buku” alam raya dan mempelajari dirinya sendiri.
Selai Descrates, tokoh lain sosiologi, Weber, menyatakan bahwa ilmu sosial harus bebas dari
nilai-nilai.
Syarat ilmiah adalah sebagai berikut.
1. Sistematik, artinya terdapat sistem di dalam susunan suatu pengetahuan ilmiah (produk)
dan di dalam cara memperoleh pengetahuan itu (proses atau metode)
2. Intersubjektif, artinya pengetahuan yang diperoleh seseorang harus mengalami verifikasi
dari subjek-subjek lainnya.

Van Melsen mengemukakan beberapa ciri yang menandai ilmu pengetahuan.


1. Secara metodis harus mencapai suatu keseluruhan, yang secara logis koheren.
2. Tanpa pamrih karena hal itu erat kaitannya dengan tanggung jawab ilmuwan.
3. Adanya universalitas dalam ilmu pengetahuan.
4. Adanya objektivitas, artinya tidak didistorsi oleh prasangka-prasangka subjektif.
5. Harus diverifikasi oleh penelitian ilmiah yang bersangkutan dengannya.
6. Progresif, artinya suatu jawaban baru bersifat ilmiah, bila mengandung pertanyaan-
pertanyaan baru dan menimbulkan problema baru lagi.
7. Kritis, artinya tidak ada teori ilmiah yang definitif.
8. Ilmu pengetahua harus dapat digunakan sebagai perwujudan keberaturan antara teori
dengan praktis.

b) Jenis Ilmu Pengetahuan


Menurut Arief Sidharta, ilmu berdasarkan substansinya dibedakan antara ilmu formal dan
ilmu empiris.
1. Ilmu Formal menunjuk pada ilmu yang tidak bertumpu pada pengalaman empiris.
2. Ilmu Empiris, ilmu ini ditujukan kepada cara memperoleh pengetahuan faktual tentang
kenyataan actual, karena itu bersumber pada pengalaman empiris.

Christian Wolff (1679-1754)


Klasifikasi ilmu pengetahuan sebagai berikut.
1. Pengetahuan kemanusiaan terdiri atas ilmu-ilmu murni dan filsafat praktis.
2. Ilmu-ilmu teoritis, yang dijabarkan dari hukum tak bertentangan, yang menyatakan bahwa
sesuatu itu tak dapat dan tak ada dalam waktu yang bersamaan.

Auguste Comte (1798-1857)


Hukum tiga tahap merupakan usaha Comte untuk menjelaskan kemajuan evolusioner umat
manusia dari masa primitive sampai pada peradaban Perancis abad ke-19 yang sangat maju.
tahap-tahap ini ditentukan menurut bara berfikir yang dominan : teologis, metafisik, dan
positif.
Pertama, tahap teologis, manusia memahami gejala-gejala alam sebagai hasil campur tangan
langsung kekuatan Illahi.
Kedua, tahap metafisis, pelaku Illahi yang personal digantikan oleh prinsip-prinsip metafisika
seperti kodrat.
Ketiga, tahap positif, manusia berhenti mencari penyebab absolute, baik yang Ilahi maupun
kodrati dan mulai berkonsentrasi pada observasi, pengukuran dan kalkulasi guna memahami
hukum yang mangatur jagad raya.

c) Sosiologi sebagai Ilmu Empiris


Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan mempunyai ciri di bawah ini.
1. Empiris, artinya didasarkan pada observasi terhadap kenyataan dan akal sehat, dalam arti
tidak spekulatif.
2. Teoritis, artinya menyusun abstraksi dari hasil-hasil observasi, menjelaskan hubungan
sebab akibat dalam menyusun teori.
3. Kumulatif, artinya teori sosiologi dibentuk atas dasar teori yang sudah ada, dalam arti
memperbaiki, dan memperhalus teori-teori lama.
4. Non Etis, artinya yang dipersoalkan buruk-baiknya fakta tertentu, tetapi mau menjelaskan
fakta tersebut secara analitis.

Tentunya dengan cara berfikir sosiologis, kita akan menemukan pemahaman yang berbeda
mengenai arti sosial, dengan apa yang diungkapkan oleh para ahli hukum ataupun ahli
lainnya. Pemahaman sosiologis memiliki beberapa ciri adalah sebagai berikut.
1. Paham sosiologis memiliki motif penelanjangan, artinya berusaha mengetahui apa yang
berada di balik kenyataan sosial yang diterima oleh banyak orang.
2. Motif kurang hormat, artinya selalu mempertanyakan apa yang ada dan tidak menerima
sesuatu kenyataan yang sudah terjadi semestinya.
3. Motif untuk tidak menisbikan kenyataan, artinya nilai-nilai pemikiran manusia karena
memandang permasalahan dengan dikondisikan menurut tempat dan waktu tertentu.
4. Motif kosmopolitan, artinya motif sosiologi yang bersifat terbuka terhadap dunia luas,
memerdekakan orang dalam rangkaian kejadian-kejadian kehidupan manusia, yakni
memberikan kesemapatan berfikir terhadap cara-cara berfikir dan bertindak yang lain.

3. Para Ilmuwan Sosiologi Terkemuka


a) Auguste Comte (1798-1857)
Dia beranggapan bahwa sosiologi terbagi menjadi dua bagian, yaitu social statistic dan social
dynamics. Sebagai social statistic, sosiologi merupakan sebuah ilmu yang memepelajari
hubungan timbal balik secara lembaga-lembaga kemasyarakatan. Sedngkan social dynamics
mau meneropong bagaimana lembaga-lembaga kemasyarakatan tersebut berkembang.

Asumsi-Asumsi Comte
Comte secara umum mengajukan beberapa asumsi sebagai berikut.
1. Menurut Comte, alam semesta diatur oleh hukum-hukum alam yang tak terlihat (invisible
natural), sejalan dengan evolusi dan perkembangan alam pikiran atau nilai-nilai sosial yang
dominan.
2. Comte menyatakan bahwa proses evolusi berlangsung dalam tiga tahap : teologis,
metafisik, serta positivistik.
3. Comte memandang seluruh pengetahuan sebagai ilmu sosial dalam pengertian yang luas.
4. Comte membagi sistem sosial atas dua bagian, yaitu statika sosial dan dinamika sosial.

b) Karl Marx (1818-1883)


Karl Marx menggabungkan dirinya sebagai pengikut Hagel. Dari pandangan Hagel ini, Marx
melihat seluruh struktur sebagai lapisan-lapisan yang penuh dengan kontradiksi dan
merupakan proses yang terus-menerus berubah secara dialektis.
Masyarakat terdiri dari beberapa oposisi yang terus berjuang untuk mencapai suatu
kedudukan tertentu. Revolusi untuk memperoleh perjuangan tersebut dapat dicapai melalui
sintesis baru, yang tiada lain adalah pertentangan.

Asumsi-Asumsi Marx
Asumsinya dapat diringkas sebagai berikut.
1. Keberdaan menentukan keasdaran.
2. Materi menentukan ideologi.
3. Masyarakat tergantung pada kondisi-kondisi materi kehidupan, yang substruktur
ekonominya dikembangkan dalam masyarakat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok
mereka (seperti perjuangan manusia terhadap alam).
4. Interaksi yan terjadi adalah dialektis (sintesis akhir, saling menggantikan dari unsur-unsur
yang berlawanan).

c) Emile Durkheim (1858-1917)


Pada abad ke-19, saat Durkheim dewasa, ia dilibatkan dengan problem sosial. Cepatnya
pertumbuhan industry dan terjadinya destruksi masyarakat akibat konflik antarkelompok
(antara kelompok gereja dan negara), politik antisemit dan tumbuhnya kelompok sosialis,
munculnya peristiwa dreyfus serta timbulnya unsur sosial baru, menyebabkan timbulnya
minat Durkheim untuk mengintegrasikan masyarakat Perancis, dengan isu utama solidaritas
sosial.

Durkheim berpendapat, pada dasarnya masyarakat, sebagai sebuah kesadaran kolektif,


mempunyai kesadaran yang indepanden.
Sementara kekuatan sosial, menurut Durkheim, didasarkan pada pandangan kolektif, yaitu
berbagai bentuk kekuasaan yang bersandar pada struktur-struktur normatif dari kelompok-
kelompok tertentu, selama kontrol itu diterapkan pada anggota-anggota kelompok melalui
norma-norma ini.
Asumsi terakhir Durkheim adalah, bahwa kejahatan dan bentuk penyimpangan yang lain
mempunyai fungsi bagi masyarakat dalam hal penyimpangan, sehingga mendorong
perubahan dan perkembangan norma-norma dalam masyarakat.

d) Max Weber (1864-1920)


Pemikiran Weber
Bagi weber, sosiologi dikatakannya sebagai ilmu yang berusaha memberikan pengertian
tentang aksi-aksi sosial.
Weber terkenal dengan pemikiran ideal typus, yaitu suatu konstruksi dalam pikiran seorang
peneliti yang dapat digunakan sebagai alat untuk menganalisis gejala-gejala dalam
masyarakat.
Pemikiran Weber ini telah banyak penulis singgung dalam bagian paradigma sosiologi.
Menurut penulis, Weber dan pemikirannya relevan sekali dengan kondisi masyarakat
Indonesia saat ini. Weber menguraikan tindakan individu, stratifikasi, tipe otoritas, dan
orientasi agama.

B. Paradigma Sosiologi George Ritzer


1. Memulai dengan paradigma dari Thomas Kuhn
Paradigma, apakah itu? Paradigma adalah apa yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota
suatu masyarakat sain. Paradigma secara etimlogis berasal dari Bahasa Yunani Para ( di
samping atau berdampingan), dan Digma (contoh).
Pada dasarnya, paradigma merupakan model yang dipakai ilmuwan dalam kegiatan
ilmiahnya, untuk menentukan jenis-jenis persoalan yang perlu digarap, dengan metoda apa
dan melalui prosedur bagaimana penggarapan itu harus dilakukan.
Istilah paradigma oleh Kuhn digunakan untuk menunjuk dua pengertian, pertama, totalitas
konstelasi pemikiran, keyakinan, nilai, persepsi, dan teknik yang dianut oleh akademisi,
maupun praktisi disiplin ilmu tertentu, yang memengaruhi cara pandang realitas mereka.
Kedua, upaya manusia untuk memecahkan rahasia ilmu pengetahuan, yang mampu
menjungkirbalikan semua asumsi dan aturan yang ada.
Secara umum paradigma dapat dikatakan sebagai cara pandang atau kerangka berfikir yang
berdasarkan fakta atau gejala yang diinterpretasi dan dipahami.
Paradigma yang tertuang dalam structure seperti yang telah dituliskan oleh Kuhn, mencakup
beberapa hal sebagai berikut.
1. Model yang berdasarkan munculnya sejumlah tradisi penelitian ilmiah tertentu yang
terpadu (koheren).
2. Pencapaian hasil-hasil ilmiah yang diakui secara universal, yang untuk suatu masa tertentu
menawarkan model-model, masalah-masalah dan solusi-solusi kepada komunitas praktisi.
3. Hampir merupakan pandangan dunia, yakni cara memandang dunia melalui kaca mata yan
disediakan oleh cabang ilmu tertentu.

Mastermann menemukakan tiga model paradigma sebagai perkembangan dari Kuhn.


Pertama, paradigma metafisik adalah paradigma yang menunjuk pada suatu komunitas
ilmuwan tertentu, yang perhatian utamanya adalah hal ada atau tidak ada. Kedua, paradigma
Sosiologi, paradigma ini mirip dengan konsep eksemplar dari Kuhn, yang bertolak dari
kebiasaan-kebiasaan nyata, keputusan-keputusan hukum yang diterima, hasil-hasil nyata
perkembangan ilmu pengetahuan serta hasil-hasil penemuan ilmu pengetahuan yang diterima
secara umum. Ketiga, Paradigma Konstruk merupakan paradigma yang paling sempit
diantara tipe paradigma di atas.

2. Paradigma Ilmu Pengetahuan


Revolusi yang pertama terjadi adalah revolusi industri pada tahun 1760. Peristiwa itu
sebenarnya ditandai oleh dua hal penting, yaitu pertama, transformasi berfikir dan kedua,
revolusi industri.
Paradigma Cartesian-Newtonian telah mempengaruhi berbagai revolusi di belahan dunia
Eropa sekitar abad ke-17. Revolusi ini banyak membuat ilmuwan terkesima.

Jelaslah bahwa paradigma Cartesian-Newtonian, dalam tataran praktis telah menimbulkan


problema global seperti krisis ekologi, dehumanisme, dan konflik-konflik kekerasan yang
sangat akut. Sedangkan pada tataran teoritis, pandangan ini tidak mampu lagi member
penjelasan dan pemaknaan terhadap fenmena-fenomena yang muncul dalam perkembangan
sains mutakhir, seperti teori relativitas, teori kuantum, atau teori chaos, evolusi kreatif,
dissipative structure, cybernetika, self-organization, psikologi geslat.
Jelaslah dibutuhkan tuntutan paradigma baru dalam ilmu pengetahuan. Yang menjadi
persoalan adalah bagaimana seseorang mengembangkan suatu paradigma ilmu pengetahuan
dan bagaimana mengetahui paradigma yang digunakannya.

Paradigma Positivisme
Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang berkembang di Eropa kontinental, khususnya di
Perancis, dengan dua ekponennya yang terkenal, Henri Saint Simon (1760-1825) dan
Auguste Comte (1798-1857). Lebih lanjut yang dapat dikatakan tantang positivisme adalah
suatu paham yang menuntut, agar setiap metodologi yang dipikirkan untuk menentukan
kebenaran, hendaknya memerlukan realitas sebagai suatu yang eksis, sebagai suatu objek,
yang harus dilepaskan dari sembarang macam prakonsepsi metafisis yang subjektif sifatnya.
Keyakinan dasar paradigma ini adalah paham ontologi realisme, yang menyatakan bahwa
realitas, ada (exist) dalam kenyataan yang berjalan sesuai dengan hukum alam (natural laws),
yang tujuan utamanya adalah untuk mengungkapkan kenyataan yang sebenarnya.
Positivisme juga memiliki ciri sebagai berikut.
1. Bebas nilai (Objektif) : Dikotomi yang tegas antara fakta dan nilai mengharuskan subjek
peneliti mengambil jarak dengan semesta dengan bersikap imparsial-netral.
2. Fenomenalis : Pengetahuan yang abash hanya berfokus pada fenomena semesta.
3. Nominalisme : Positivisme berfokus pada yang individual-partikular karena itulah
kenyataan satu-satunya.
4. Reduksionisme : Alam semesta direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat dipersepsi
(Pengurangan Realitas)
5. Naturalisme : Paham tentang keteraturan dari peristiwa-peristiwa alam, yang menisbikan
penjelasan adikodrati.
6. Mekanisme : Paham yang mengatakan bahwa semua gejala alam dapat dijelaskan secara
mekanikal-determinisme seperti layaknya mesin (Sistem Mekanistis).

Positivisme yang seperti itulah yang disebut dengan positivisme sosial, yaitu paham yang
meyakini kemajuan sosial, yang hanya dapat dicapai melalui pencapaian-pencapaian ilmu
positif. Yang harus diperhatikan dari positivisme sosial adalah semua pengetahuan harus
didasarkan pada alam dan harus empiris, baik itu alam, manusia, maupun masyarakat.
Gagasan (representation) yang didasarkan pada suatu persepsi atau pengamatan harus diberi
nilai yang tinggi.
Yang terakhir, sebagai perkembangan dari positivisme adalah Positivisme Logis, yang
merupakan aliran filsafat yang timbul pada awal abad ke-20, pada tahun 1920 di Wina,
Austria. Positivisme Logis menolak metafisika sesuai dengan tradisi empiris Kant dan Hume,
yang menganggap metafisika tak lebih dari ilusi.
Positivisme logis memiliki beberapa asumsi sebagai berikut.
1. Adanya sebentuk sentential atomism, yang mengoreksi kalimat-kalimat yang terisolasi,
dengan konfirmasi empiris, kepastian atau keharusan logis.
2. Reduksi fenomenalistik : menerjemahkan pernyataan-pernyataan tentang objek-objek fisik
menjadi pernyataan-pernyataan tentang sensasi aktual probable.
3. Empirisme analitik : menyakini bahwa bukti observasi adalah criteria bagi kebermaknaan
kognitif suatu kalimat dan oleh karena itu merupakan pengadilan terakhir yang menentukan
teori-teori valid tentang dunia.

(Post) Positivisme
Aliran pemikiran ini hendak memperbaiki kelemahan-kelemahan positivisme, yang hanya
mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Secara
ontologis, aliran ini bersifat critical realisme, yang memandang bahwa realitas, senyatanya
sesuai dengan hukum alam.
Post positivisme, atau pasca positivisme lahir pada tahun 1970-1980an. Pada waktu itu ilmu
pengetahuan tumbuh subur.
Fisika Einsteinlah yang telah mendorong kelahiran post positivisme ini. John Horgan,
menyebutnya sebagai kunci menuju kesadaran.
Secara epistemologis, dalam pospositivisme, hubungan antara pengamat atau peneliti dengan
objek atau realitas yang diteliti tidaklah bisa dipisahkan. Aliran pospositivisme menyatakan
bahwa tidak mungkin mencapai atau melihat kebenaran, apabila pengamat berdiri di belakang
layar, tanpa ikut campur dengan subjek yang diteliti secara langsung.
Praktek penelitian dengan menggunakan paradigma pospositivisme ini salah satunya dapat
kita lihat dari model penelitian Ritzer. Ritze sendiri telah membagi menjadi tiga macam
paradigma dalam sosiologi, yaitu fakta sosial, definisi sosial, dan perilaku sosial. Dalam hal
ini, akan dijelaskan model definisi sosial, yang menjadi bagian paradigma dari
pospositivisme.
Ada tiga teori dalam menjelaskan definisi sosial dari Ritzer ini, yaitu teori tindakan (action),
teori interaksionis-simbolik (symbolic interactionaism), dan teori fenomologis
(Phenomenology).
1. Teori Tindakan (action) : Memandang individu mempunyai suatu dinamika, kreativitas,
dan jiwa kesukarelaan. Mereka mencoba menempatkan dirinya pada posisi sang aktor, tidak
untuk memahami perseorangan atau individu, tetapi mencoba dengan Verstehen tersebut
mempelajari lingkungan umum.
2. Teori symbolic interactionism : Memandang bahwa fakta-fakta sosial tersebut tidak
sebagai hal yang mengendalikan atau memaksa individu, tetapi hanya sebagai kerangka kerja,
yang interaksi simbolik itu terjadi.
3. Teori Fenomenologis : Menyatakan bahwa manusia menetapkan kembali apa yang nyata
(tujuan realitas sosial adalah tidak independen dari individu).

Teori Kritis (Critical Theory)


Aliran pemikiran ini lebih senang menyebut dirinya sebagai ideologically oriented inquiry,
yang merupakan suatu wacana atau cara pandang terhadap realitas, yang mempunyai
orientasi ideologis terhadap paham tertentu.
Teori kritis lahir dalam ilmu pengetahuan karena realitas cara pandang positivisme terlalu
direduksi. Reduksionisme memandang bahwa alam selalu dipandang hanya dengan menatap
dari kursi goyang para ilmuwan belaka tidak pernah turun ke lapangan secara langsung.
Dari perkembangan Teori Kritis tersebut, Hubert mencatat ada tiga karakteristik dari Teori
Kritis yang dikembangkan oleh Horkheimer. Pertama, Teori Kritis diarahkan oleh suatu
kepentingan perubahan fundamental pada masyarakat. Kedua, Teori Kritis dilandaskan pada
pendekatan berfikir historis. Ketiga, Teori Kritis ada untuk upaya pengembangan berfikir
komprehensif.

Konstruktivisme
Paradigma ini berpendapat bahwa alam semesta secara epistemologis adalah sebagai hasil
konstruksi sosial.
Von Glaserrsfeld membedakan adanya tiga macam tahap konstruktivisme :
1. Konstruktivisme radikal adalah konstruktivisme yang mengesampingkan hubungan
pengetahuan sebagai suatu criteria kebenaran.
2. Realisme hipotesis, menurut aliran ini, pengetahuan (ilmiah) kita pandang sebagai suatu
hipotesis dari struktur kenyataan dan berkembang menuju suatu pengetahuan sejati, yang
dekat dengan realitas.
3. Konstruktivisme yang biasa adalah filsafat yang menyatakan pengetahuan kita merupakan
suatu gambaran dari realitas itu.

Menurut Donny G Adian, paradigma konstruktivisme dalam ilmu pengetahuan, setidaknya


mempunyai empat prinsip dasar.
1. Antifundationalis, artinya tidak ada pondasi Archimedean, tidak ada suatu pondasi metode
ilmiah yang terpercaya dan mantap bagi dunia ilmu pengetahuan.
2. Badan ilmu pengetahuan (body of knowledge) terdiri dari fragmen-fragmen penafsiran dan
bukannya suatu pernyataan yang terintegrasi dalam suatu sistem yang utuh.
3. Ilmu pengetahuan dokontruksi di atas semesta yang didasarkan atas skema-skema
intelektual, yang di dalamnya melekat pandangan ilmuwan dengan lingkungan.
3. Paradigma dalam Sosiologi
a) Paradigma Sosiologi
Paradigma sosiologi ini sangat mirip dengan konsep exempler dari Thomas Kuhn. Dalam
bukunya, Kuhn mendiskusikan keanekaragaman fenomena yang dapat tercakup dalam
pengertian, seperti : kebiasaan-kebiasaan nyata, keputusan-keputusan hukum yang diterima,
hasil-hasil nyata perkembangan ilmu pengetahuan yang diterima secar umum.
b) Paradigma Metafisik
Lebih lanjut paradigma ini memerankan beberapa fungsi sebagai berikut.
1. Paradigma ini menunjuk kepada suatu yang ada (dan sesuatu yang tidak ada), yang
menjadi pusat perhatian dari suatu komunitas ilmuwan tertentu.
2. Paradigma ini menunjuk kepada pusat kumunitas ilmuwan tertentu, yang memusatkan
perhatian mereka untuk menemukan sesuatu yang ada, yang menjadi pusat perhatian mereka.
3. Paradigma ini menunjuk kepada ilmuwan, yang berharap untuk menemukan sesuatu yang
sungguh-sungguh ada, yang menjadi pusat perhatian dari disiplin ilmu mereka.
c) Paradigma Teologi
Dalam fase teologi ini, akal budi manusia mencari kodrat dasar manusia, yakni sebab pertama
dan sebab terakhir (asal dan tujuan) dari segala sebab-akibat. Singkatnya, pengetahuan
absolute mengadaikan, bahwa semua gejala dihasilkan oleh tindakan langsung dari hal-hal
yang sifatnya supranatural.

d) Paradigma Filsafat
Tahap ini merupakan tahap ketiga dari perkembangan cara berpikir manusia. Dari segi sisi
(Philosophical in content), dengan runtuhnya kekuatan Gereja Eropa, muncullah
perkembangan yang lebih politis dan sekuler.
Filsafat pencerahan juga menyakini eksistensi sebuah tatanan alam (Natural-Order). Mereka
memfokuskan pemahaman ini untuk memaksimalkan kebahagiaan, kebebasan,
perkembangan materi dan perkembangan sosial secara umum.

4. Paradigma Fakta Sosial


George Ritzer memperkenalkan paradigma ini sebagai paradigma yang pertama dalam kajian
sosiologi. Durkeheim melihat sosiologi yang baru lahir itu, dalam upaya untuk memperoleh
kedudukan sebagai cabang ilmu sosial yang berdiri sendiri.
Fakta sosial dinyatakan sebagai sesuatu (thing), yang berbeda dengan ide. Sementara itu,
fakta psikologi menurut Durkheim adalah fenomena yang dibawa oleh manusia sejak lahir
(inherited), bukan merupakan hasil pergaulan hidup masyarakat.
Sebenarnya, metode yang dipakai dalam fakta sosial ini mengandung beberapa kelemahan
sebagai berikut.
1. Metode tersebut tidak mampu menyajikan informasi yang sungguh-sungguh bersifat fakta
sosial, yang mampu disajikan hanya informasi yang dikumpulkan lewat individu.
2. Lebih banyak mangandung unsur subjektif dari informan.
3. James Colemn mengakui, metode Kuesioner dan Interview kurang membukakan jalan ke
arah penemuan fakta sosial seperti yang semula diharapkan oleh penganut teori fakta sosial
seperti yang semula diharapkan oleh penganut teori fakta sosial itu sendiri.

5. Paradigma Definisi Sosial


Paradigma definisi sosial (social definition) menekankan hakikatnya pada kenyataan sosial
yang bersifat subjektif, lebih dari eksistensinya yang terlepas dari individu. Yang dimaksud
dengan tindakan sosial tersebut adalah : tindakan individu sepanjang tindakannya mempunyai
makna atau arti subjektif bagi dirinya dan diarahkan kepada orang lain.
Menurut Weber, studi sosiologi ini bercirikan.
1. Tindakan manusia yang menurut aktor (misalnya ahli hukum, ekonomi, sejarah, politik)
mengandung makna yang subjektif, yang meliputi tindakan nyata.
2. Tindakan nyata bersifat membatin sepenuhnya dan bersifat subjektif.
3. Tindakan, meliputi pengaruh positif dari suatu situasi, tindakan yang sengaja diulang serta
tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam-diam.
4. Tindakan tersebut diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa individu.
5. Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang juga.

Ritzer mengemukakan tiga teori dalam upayanya menjelaskan definisi sosial, yaitu teori
tindakan (action), teori interaksionis-Simbolik (Symbolic Interactionism), dan teori
fenomologis (Phenomenology).
Teori action, mencoba untuk melihat konsep Verstehen dari Max Weber. Para penganut teori
ini memandang individu mempunyai suatu dinamika, kreativitas, dan jiwa kesukarelaan.
Teori symbolic interactionism, memandang bahwa fakta-fakta sosial tersebut tidaklah sebagai
hal yang mengendalikan atau memaksa individu, tetapi hanya sebagai kerangka kerja, yang
interaksi simbolik itu terjadi.
Teori Fenomenologis, lebih bersifat filosofis sosiologis. Para penganut teori ini menyatakan
bahwa manusia menetapkan dan menetapkan kembali apa yang nyata (tujuan realitas sosial
adalah tidak independen dari individu).

6. Paradigma Perilaku Sosial


Paradigma perilaku sosial (Social behavior) lebih menekankan pendekatan objektif empiris
atas kenyataan sosial. Perilaku sosial yang didiskusikan adalah perilaku sosial yang berlaku
selama kurun waktu 90-tahun (1840-1931), di dalamnya terjadi variasi latar belakang
pemikiran.
Paradigma perilaku sosial ini memusatkan perhatiannya kepada hubungan antara individu
dengan lingkungannya, yang terdiri atas bermacam-macam objek sosial dan non-sosial.
Ada dua teori yang mewakili paradigma perilaku sosial ini, yaitu teori Behavioral Sociology,
dan Teori Exchange. Behavior Sociology adalah hubungan historis antara tingkah laku yang
terjadi sekarang. Teori Exchange dibangun sebagai reaksi terhadap fakta sosial, terutama
menyerang ide Durkheim.
Diposkan oleh Kelompok Studi Hukum di 16.00
Kirimkan Ini lewat Email

Anda mungkin juga menyukai