PENGANTAR SOSIOLOGI Semester I RANGKUMAN
PENGANTAR SOSIOLOGI Semester I RANGKUMAN
A. Definisi Sosiologi
1. Definisi Sosiologi
Auguste Comte berpendapat bahwa ilmu sosial mempunyai urutan tertentu berdasarakan
logika metode ilmiah. Metode ilmiah dari ilmu sosial berkaitan dengan disiplin ilmu sosial,
yang terdiri dari tiga paradigma;
(a) Positivisme : Pancainderalah alat tangkap untuk mendapatkan ilmu pengetahuan;
(b) Konvensionalisme : Manusia dipandang sebagai bebas dan merdeka;
(c) Realisme : Hakikat sesuatu.
Auguste Comte disebut sebagai Bapak Sosiologi. Karya pertamanya yaitu “The Course of
Positive Philosophy”. Karya yang mencerminkan komitmen yang kuat terhadap metode
ilmiah. Metode yang harus diterapkan untuk menemukan hukum-hukum yang mengatur
gejala sosial.
Secara etimologis, sosiologi berasal dari kata Latin, socius yang berarti kawan dan kata
Yunani, logos yang berarti kata atau berbicara. Jadi, menurut Comte sosiologi adalah ilmu
pengetahuan kemasyarakatan umum, yang merupakan hasil akhir dari perkembangan ilmu
pengetahuan. Lahirnya sosiologi ke dalam ilmu pengetahuan tercatat pada saat Comte
menerbitkan bukunya yang berjudul Positive-Philoshophy pada tahun 1842.
Sosiologi jelas merupakan ilmu sosial yang objeknya adalah masyarakat. Sebagai ilmu, ia
berdiri sendiri, karena telah memiliki unsur ilmu pengetahuan, yang meiliki ciri-ciri utama
sebagai berikut.
1. Bersifat empiris, berarti bahwa ilmu pengetahuan tersebut didasarkan pada observasi
terhadap kenyataan dan akal sehat. Hasilnya tidak bersifat spekulatif.
2. Bersifat teoritis, berarti bahwa ilmu pengetahuan tersebut selalu berusaha untuk menyusun
abstraksi dari hasil hasil observasi.
3. Bersifat kumulatif, berarti bahwa teori-teori sosiologi dibentuk atas dasar teori-teori yang
sudah ada. Dalam hal ini berarti memperbaiki, memperluas, serta memperhalus teori-teori
yang lama.
4. Bersifat non-etis, yan berarti pokok yang dipersoalkan bukanlah baik atau buruknya fakta
tertentu, akan tetapi bertujuan untuk menjelaskan fakta secara analitis.
Pitirim Sorikin mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari hubungan
dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala sosial dengan gejala non-sosial.
Mayor Polak mengatakan bahwa sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari
masyarakat sebagai keseluruhan, yang berhubungan antara manusia dengan manusia,
manusia dengan kelompok, kelompok dengan kelompok, baik formil maupun materil, baik
statis maupun dinamis.
Tentunya dengan cara berfikir sosiologis, kita akan menemukan pemahaman yang berbeda
mengenai arti sosial, dengan apa yang diungkapkan oleh para ahli hukum ataupun ahli
lainnya. Pemahaman sosiologis memiliki beberapa ciri adalah sebagai berikut.
1. Paham sosiologis memiliki motif penelanjangan, artinya berusaha mengetahui apa yang
berada di balik kenyataan sosial yang diterima oleh banyak orang.
2. Motif kurang hormat, artinya selalu mempertanyakan apa yang ada dan tidak menerima
sesuatu kenyataan yang sudah terjadi semestinya.
3. Motif untuk tidak menisbikan kenyataan, artinya nilai-nilai pemikiran manusia karena
memandang permasalahan dengan dikondisikan menurut tempat dan waktu tertentu.
4. Motif kosmopolitan, artinya motif sosiologi yang bersifat terbuka terhadap dunia luas,
memerdekakan orang dalam rangkaian kejadian-kejadian kehidupan manusia, yakni
memberikan kesemapatan berfikir terhadap cara-cara berfikir dan bertindak yang lain.
Asumsi-Asumsi Comte
Comte secara umum mengajukan beberapa asumsi sebagai berikut.
1. Menurut Comte, alam semesta diatur oleh hukum-hukum alam yang tak terlihat (invisible
natural), sejalan dengan evolusi dan perkembangan alam pikiran atau nilai-nilai sosial yang
dominan.
2. Comte menyatakan bahwa proses evolusi berlangsung dalam tiga tahap : teologis,
metafisik, serta positivistik.
3. Comte memandang seluruh pengetahuan sebagai ilmu sosial dalam pengertian yang luas.
4. Comte membagi sistem sosial atas dua bagian, yaitu statika sosial dan dinamika sosial.
Asumsi-Asumsi Marx
Asumsinya dapat diringkas sebagai berikut.
1. Keberdaan menentukan keasdaran.
2. Materi menentukan ideologi.
3. Masyarakat tergantung pada kondisi-kondisi materi kehidupan, yang substruktur
ekonominya dikembangkan dalam masyarakat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok
mereka (seperti perjuangan manusia terhadap alam).
4. Interaksi yan terjadi adalah dialektis (sintesis akhir, saling menggantikan dari unsur-unsur
yang berlawanan).
Paradigma Positivisme
Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang berkembang di Eropa kontinental, khususnya di
Perancis, dengan dua ekponennya yang terkenal, Henri Saint Simon (1760-1825) dan
Auguste Comte (1798-1857). Lebih lanjut yang dapat dikatakan tantang positivisme adalah
suatu paham yang menuntut, agar setiap metodologi yang dipikirkan untuk menentukan
kebenaran, hendaknya memerlukan realitas sebagai suatu yang eksis, sebagai suatu objek,
yang harus dilepaskan dari sembarang macam prakonsepsi metafisis yang subjektif sifatnya.
Keyakinan dasar paradigma ini adalah paham ontologi realisme, yang menyatakan bahwa
realitas, ada (exist) dalam kenyataan yang berjalan sesuai dengan hukum alam (natural laws),
yang tujuan utamanya adalah untuk mengungkapkan kenyataan yang sebenarnya.
Positivisme juga memiliki ciri sebagai berikut.
1. Bebas nilai (Objektif) : Dikotomi yang tegas antara fakta dan nilai mengharuskan subjek
peneliti mengambil jarak dengan semesta dengan bersikap imparsial-netral.
2. Fenomenalis : Pengetahuan yang abash hanya berfokus pada fenomena semesta.
3. Nominalisme : Positivisme berfokus pada yang individual-partikular karena itulah
kenyataan satu-satunya.
4. Reduksionisme : Alam semesta direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat dipersepsi
(Pengurangan Realitas)
5. Naturalisme : Paham tentang keteraturan dari peristiwa-peristiwa alam, yang menisbikan
penjelasan adikodrati.
6. Mekanisme : Paham yang mengatakan bahwa semua gejala alam dapat dijelaskan secara
mekanikal-determinisme seperti layaknya mesin (Sistem Mekanistis).
Positivisme yang seperti itulah yang disebut dengan positivisme sosial, yaitu paham yang
meyakini kemajuan sosial, yang hanya dapat dicapai melalui pencapaian-pencapaian ilmu
positif. Yang harus diperhatikan dari positivisme sosial adalah semua pengetahuan harus
didasarkan pada alam dan harus empiris, baik itu alam, manusia, maupun masyarakat.
Gagasan (representation) yang didasarkan pada suatu persepsi atau pengamatan harus diberi
nilai yang tinggi.
Yang terakhir, sebagai perkembangan dari positivisme adalah Positivisme Logis, yang
merupakan aliran filsafat yang timbul pada awal abad ke-20, pada tahun 1920 di Wina,
Austria. Positivisme Logis menolak metafisika sesuai dengan tradisi empiris Kant dan Hume,
yang menganggap metafisika tak lebih dari ilusi.
Positivisme logis memiliki beberapa asumsi sebagai berikut.
1. Adanya sebentuk sentential atomism, yang mengoreksi kalimat-kalimat yang terisolasi,
dengan konfirmasi empiris, kepastian atau keharusan logis.
2. Reduksi fenomenalistik : menerjemahkan pernyataan-pernyataan tentang objek-objek fisik
menjadi pernyataan-pernyataan tentang sensasi aktual probable.
3. Empirisme analitik : menyakini bahwa bukti observasi adalah criteria bagi kebermaknaan
kognitif suatu kalimat dan oleh karena itu merupakan pengadilan terakhir yang menentukan
teori-teori valid tentang dunia.
(Post) Positivisme
Aliran pemikiran ini hendak memperbaiki kelemahan-kelemahan positivisme, yang hanya
mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Secara
ontologis, aliran ini bersifat critical realisme, yang memandang bahwa realitas, senyatanya
sesuai dengan hukum alam.
Post positivisme, atau pasca positivisme lahir pada tahun 1970-1980an. Pada waktu itu ilmu
pengetahuan tumbuh subur.
Fisika Einsteinlah yang telah mendorong kelahiran post positivisme ini. John Horgan,
menyebutnya sebagai kunci menuju kesadaran.
Secara epistemologis, dalam pospositivisme, hubungan antara pengamat atau peneliti dengan
objek atau realitas yang diteliti tidaklah bisa dipisahkan. Aliran pospositivisme menyatakan
bahwa tidak mungkin mencapai atau melihat kebenaran, apabila pengamat berdiri di belakang
layar, tanpa ikut campur dengan subjek yang diteliti secara langsung.
Praktek penelitian dengan menggunakan paradigma pospositivisme ini salah satunya dapat
kita lihat dari model penelitian Ritzer. Ritze sendiri telah membagi menjadi tiga macam
paradigma dalam sosiologi, yaitu fakta sosial, definisi sosial, dan perilaku sosial. Dalam hal
ini, akan dijelaskan model definisi sosial, yang menjadi bagian paradigma dari
pospositivisme.
Ada tiga teori dalam menjelaskan definisi sosial dari Ritzer ini, yaitu teori tindakan (action),
teori interaksionis-simbolik (symbolic interactionaism), dan teori fenomologis
(Phenomenology).
1. Teori Tindakan (action) : Memandang individu mempunyai suatu dinamika, kreativitas,
dan jiwa kesukarelaan. Mereka mencoba menempatkan dirinya pada posisi sang aktor, tidak
untuk memahami perseorangan atau individu, tetapi mencoba dengan Verstehen tersebut
mempelajari lingkungan umum.
2. Teori symbolic interactionism : Memandang bahwa fakta-fakta sosial tersebut tidak
sebagai hal yang mengendalikan atau memaksa individu, tetapi hanya sebagai kerangka kerja,
yang interaksi simbolik itu terjadi.
3. Teori Fenomenologis : Menyatakan bahwa manusia menetapkan kembali apa yang nyata
(tujuan realitas sosial adalah tidak independen dari individu).
Konstruktivisme
Paradigma ini berpendapat bahwa alam semesta secara epistemologis adalah sebagai hasil
konstruksi sosial.
Von Glaserrsfeld membedakan adanya tiga macam tahap konstruktivisme :
1. Konstruktivisme radikal adalah konstruktivisme yang mengesampingkan hubungan
pengetahuan sebagai suatu criteria kebenaran.
2. Realisme hipotesis, menurut aliran ini, pengetahuan (ilmiah) kita pandang sebagai suatu
hipotesis dari struktur kenyataan dan berkembang menuju suatu pengetahuan sejati, yang
dekat dengan realitas.
3. Konstruktivisme yang biasa adalah filsafat yang menyatakan pengetahuan kita merupakan
suatu gambaran dari realitas itu.
d) Paradigma Filsafat
Tahap ini merupakan tahap ketiga dari perkembangan cara berpikir manusia. Dari segi sisi
(Philosophical in content), dengan runtuhnya kekuatan Gereja Eropa, muncullah
perkembangan yang lebih politis dan sekuler.
Filsafat pencerahan juga menyakini eksistensi sebuah tatanan alam (Natural-Order). Mereka
memfokuskan pemahaman ini untuk memaksimalkan kebahagiaan, kebebasan,
perkembangan materi dan perkembangan sosial secara umum.
Ritzer mengemukakan tiga teori dalam upayanya menjelaskan definisi sosial, yaitu teori
tindakan (action), teori interaksionis-Simbolik (Symbolic Interactionism), dan teori
fenomologis (Phenomenology).
Teori action, mencoba untuk melihat konsep Verstehen dari Max Weber. Para penganut teori
ini memandang individu mempunyai suatu dinamika, kreativitas, dan jiwa kesukarelaan.
Teori symbolic interactionism, memandang bahwa fakta-fakta sosial tersebut tidaklah sebagai
hal yang mengendalikan atau memaksa individu, tetapi hanya sebagai kerangka kerja, yang
interaksi simbolik itu terjadi.
Teori Fenomenologis, lebih bersifat filosofis sosiologis. Para penganut teori ini menyatakan
bahwa manusia menetapkan dan menetapkan kembali apa yang nyata (tujuan realitas sosial
adalah tidak independen dari individu).