Anda di halaman 1dari 23

Deep Water

Please Comment
 
Adik2 mahasiswa yg tertarik utk study oil & gas terutama di lepas pantai, sebaiknya (disarankan)
mulai memfokuskan ke teknologi explorasi dan exploitasi di laut dalam.  Ada beberapa faktor yg
mendorong saya utk mennyapaikan hal ini: 

1. Kemungkinan penemuan lapangan/cadangan di laut dangkal semakin kecil.


2. Cadangan terindikasi di laut dalam terutama di Indonesia bgn timur, maupun dibelahan
dunia lainnya masih banyak yg belum di kembangkan
3. Explorasi/Exploitasi migas diperairan (dangkal) Indonesia sudah memasuki hampir setengah
abad (Unocal di Kalsel,sejak 1960 an) sama tuanya dgn Shell, Exxon, atau Chevron jg
melakukan explorasi/exploitasi di Gulf Mexico dan North Sea. Kenyataannya sampai saat ini
kita belum mengusai teknologi dengan benar pengembangan lapangan di laut dangkal. Tak ada
satupun karya kita di bidang tsb, selain hanya menikmati teknologi bangsa lain, yang datang ke
sini dan menjadikan ladang2 lepas pantai di teluk Jakarta atu delta Mahakan sebagai
laboratorium. Lembaga pendidikan tinggi kita spt ITS dan ITB dengan disiplin Kelautan hanya
terpaku pada hal2 yg tradisionil, seperti kapal, fixed platform dsb. Laboratorium hydrodinamika
(BPPT) kita seperti menara gading, pajangan dan impotent. Sampai saat ini kita masih bertanya
bagaimana mendesign Platform/jaket, bagaimana kita menginspeksi marine growth atau
submarine pipe line  dsb.. 
 
Saya sarankan untuk semua yang berkepntingan
(MIGAS/BPMIGAS/LEMIGAS/BPPT/LIPI/BKI/ITS/ITB etc etc, bahu-membahu, menguasai
teknologi laut dalam supaya kita bisa menjadikan cadangan2 sebagai kejayaan industri kita 
 
Marilah kita memperbayak diskusi tentang penguasaan laut dalam, terutama untuk menghadapi
exploitasi Chevron, Talisman di selat Makassar atau Inpex di Tanimbar.!
 
 
El Mundo (wis tue) 

Betul sekali yg dikatakan sama Mas El Mundo. Namun jika dilihat dari sisi edukasi yang
diajarkan diperkuliahan tidak ada kuliah khusus mengenai teknologi deep water. Sehingga jika
kita ingin mempelajari lebih lanjut mengenai teknologi deep water harus mengambil ke luar
negri misalnya Norway. Disana untuk gelar masternya ada studi khusus ttg deep water. Oleh
karena itu kebanyakan mereka yang uda lulus langsung bekerja disana untuk kegiatan produksi
deep water. Lagipula di Indo sendiri juga sudah mulai dikembangkan teknologi deep water untuk
wilayah West Seno. Tinggal lebih diperbanyak aja yg menguasai bidang ini.
 
Regards,
Henry
KL06

Menyambung apa yang disampaikan Pak Henry, sebagai informasi untuk kuliah deep water
technology tidak harus musti jauh-jauh ke Norway. Di regional Asia, terutama Asia Tenggara
juga bisa ambil Master untuk bidang Offshore Engineering. Misalnya di NUS (National
University of Singapore). Di bawah departemen Teknik Sipil-nya ada spesialisasi Offshore
Engineering dengan modules yang diajarkan di antaranya: Design of Floating Structure, Offshore
Mooring and Riser, Offshore Foundation, Analysis and Design of Offshore Structure, Offshore
Hydrodynamic dan Offshore Pipeline. Di samping itu ada beberapa kuliah penunjang industry oil
and gas lainnya seperti Production and Exploration of Petroleum, Arctic Engineering dan Oil and
Gas Technology di bawah dept. of Mechanical Eng. Mulai Agustus tahun 2010, menurut info
yang beredar, Offshore Engineering tidak lagi menjadi salah satu spesialisasi di bawah Dept.
Teknik Sipil, namun menjadi Department sendiri. Dengan konsekuensi makin banyak kuliah
offshore yang ditawarkan, bahkan subses technology-pun akan mulai diberikan tahun depan.

 
Dengan demikian mudah2an sudah tidak menjadi kendala yang terlalu besar untuk mendalami
deep water, karena dari segi lokasi tempat belajar dan biaya hidup pun tidak terlalu jauh dari
Indonesia.

Salam,

Indratmo JP

Setuju untuk sama sama belajar teknologi laut dalam.


Cuman kurang setuju kalau harapan untuk menguasai teknologi itu dengan memberikan
penilaian negatif ke lembaga / institusi yang kita harapkan untuk lebih berperan.
Ayo .. kita sama sama belajar.
Sebenarnya, desainer offshore structure luar negri juga (sebagian) tidak hebat hebat amat.
Contohnya, pernah saya alami sendiri. Saat ini saya dan salah satu teman indonesia bergabung
dengan suatu perusahaan design yang mengkususkan dalam desain jackup structure. Saya tidak
ada back ground ilmu sedikitpun dengan jack up. Dasar saya hanya basic engineering, ilmu
dasar kapal, ilmu dasar hidro laut dan sedikit ilmu bangunan laut fixed (jacket).
Setelah bergabung, tugas melakukan analisa struktur untuk basic design jack up supaya bisa lolos
persyaratan kelas. Setelah proses analisa kelar, disubmit ke kelas untuk desain approval (pernah
ke ABS dan BV), ternyata kadang mereka juga kurang faham asumsi ilmu dasar pemodelan. Ada
perbedaan cara pandang dalam penerapan teori dasar ke praktis pemodelan untuk kelas yang
berbeda. Yang dilakukan setelah itu adalah diskusi untuk menyamakan sudut pandang. Ada
proses iterasi untuk sama sama belajar dan memberikan argumen untuk
mempertahankan pendapat masing masing dengan dasar ilmu dasar yang ada. Untuk proses
butuh waktu yang relatif panjang.
 
Benang merah dari apa yang sampaikan diatas adalah, bahwa, SDM kita (indonesia) untuk salah
satu contoh kasus diatas bisa bersaing dengan designer luar dan designer luar juga ternyata
juga tidak punya kemampuan yang luar biasa. Yang membedakan, adalah mereka lebih
sabar karena disokong oleh perusahaan dengan dana yang kuat untuk bersabar.
 
Saya yakin teman teman banyak yang lebih hebat dan lebih punya pengalaman dalam desain
bangunan lepas pantai. Cuman masalahnya, siapa penyandang dana yang kuat yang mau untuk
invest dan coba coba buat perusahaan desain di tanah air, dengan memanfaatkan enginer dari
tanah air ?
 
Ditunggu sharingnya.
 
Tabik
budi setyo

Saya sependapat dengan Bapak dalam hal eksplorasi migas. Memang bukan hanya di Indonesia
Eksplorasi migas nya mulai menuju ke laut dalam, namun sudah mulai dilakukan diseluruh
dunia. Sehingga kedepan eksplorasi dan produksi migas tentunya akan menuju ke laut dalam .
Tangkaplah masa depan ini. Namun teknologi secondary atau tertiary recovery juga masih cukup
prospektif dilapangan lapangan migas kita . ingat Caltex dulu bisa meningkatkan produksi di
lapangan Duri dari 50,000 bbls / day menjadi 300,000 bbls /day pada awalnya dengan steam
floodnya.

Untuk jasa penunjang eksplorasi dan produksi di  laut dalam Indonesia sama sekali belum siap.
Disinilah saya mengharapkan Jurusan Kelautan  di Universitas berperan. Kita tidak punya kapal
survey seismic laut baik untuk mencari migas maupun untuk site survey di laut dalam. Untuk
melakukan pemboran di selat Makasar (blok Surumana) ExxonMobil menunggu pembuatan 
rignya samapi setahun. Biayanya ?

Untuk 1 (satu) sumur saja habis lebih dari 100 juta USD , cilakanya dry hole lagi. Maaf
perusahaan migas nasional belum mampu yang ini

 
Nah rekan dan adik2  untuk kedepan :

Belajarlah teknologi deep water  seperti saran Pak el Mundo.

1.Pelajarilah teknologi secondary/tertiary recovery

2.Meskipun kita telah mengembangkan migas kita lebih dari seabad dan merupakan pionir PSC ,
industry penunjang kita masih amat sangat sedikit. Menurut pengamatan saya Malaysia lebih
maju, merebut dollar disana

3.Suatu saat migas Indonesia akan habis. Maka kembangkanlah teknologi untuk penunjang
industry migas, karena sepertinya  industry migas dunia masih akan lama.

4.Bagi otoritas migas Indonesia, silahkan membuat insentif eksplorasi laut dalam baru, yang
lebih menarik bagi investor (terutama asing) tanpa merugikan Indonesia.

Salam….Sulis

Re: Re: [Oil&Gas] Deep Water

Saya merasa perlu untuk mengoreksi tulisan Pak Sulis "jasa penunjang eksplorasi dan produksi
di  laut dalam Indonesia sama sekali belum siap".
Tampaknya saya perlu mengupdate apa yang sudah dilakukan oleh putra bangsa tentang laut
dalam.
Di Kaltim sudah ada West Seno (laut dalam di Selat Makasar) yang dioperasikan oleh Chevron.
Kebetulan saya kenal secara pribadi engineer yang melakukan pemboran dan design fasilitasnya.
Keduanya berkulit sawo matang. Designernya juga anggota milis, namun karena kesibukan dan
kerendahan hatinya maka beliau tidak muncul.
Beberapa tahun lalu kebetulan saya juga turut serta membuat satu SNI yang berkaitan dengan
pemboran di laut dalam.
 
Pada saat ini Chevron sedang melelang FEED untuk lapangan Gendalo-Gehem yaitu ladang gas
di laut dalam di Selat Makasar juga.
Kita tidak perlu heran bila salah satu perusahaan Jasa Indonesia (saya tidak akan menyebutkan
namanya) sudah diseleksi untuk dapat turut serta pada pelelangan yang dimaksud.
Bila perlu silahkan mendapatkan beritanya
pada http://www.upstreamonline.com/live/article196068.ece
 
Kesimpulannya, tidak ada yang perlu diragukan tentang kemampuan putra bangsa untuk dapat
mengembangkan dan mengelola migas di laut dalam.
 
Disamping itu pak Sulis menulis juga: 
4.Suatu saat migas Indonesia akan habis. Maka kembangkanlah teknologi untuk penunjang
industry migas, karena sepertinya  industry migas dunia masih akan lama.

Saya ingin menambahkan bahwa Indonesia harus mulai menabung petro dollar untuk


kesejahteraan rakyat semasa cadangan migas kita habis atau menipis.
Menghabiskan petro dollar kita pada tahun yang sama saat migas di produksikan, berarti tidak
mengakui bahwa manusia Indonesia yang akan lahir adalah rakyat Indonesia juga yang memiliki
hak yang sama untuk turut menikmati migas sebagai kekayaan alam Indonesia. Manusia
Indonesia yang lahir kelak harus turut pula menikmati hasil migas yang diproduksikan hari ini.
Seharusnya demikianlah kita menafsirkan UUD kita.
 
Salam,
 
Elwin Rachmat

Terima kasih Pak Elwin atas koreksi dan komentarnya. Saya bangga sudah mulai ada Perusahaan
Jasa  Nasional yang mulai terjun ke teknologi laut dalam. Mudah2an tidak hanya FEED saja
tapi sampai ke EPC kedepan dan mudah2an juga Perusahaan Nasional  untuk FEED ini tidak
hanya sebagai pendamping saja, untuk nantinya dikalahkan dengan berbagai alasan.

 
Memang betul kita harus menabung petro dollar, itu kalau bisa. Nyatanya kita selalu nambah
hutang setiap tahunnya, baik untuk pembangunan yang katanya nggak bisa distop maupun untuk
standby menghadapi krisis global.

Tentang tulisan saya yang no.4 , memang kita harus menyiapkan perusahaan jasa penunjang
perminyakan karena cadangan kita yang saat ini terus menerus tekor akibat new discovery setiap
tahunnya  untuk penambahan cadangan yang sangat kecil  dibandingkan dengan konsumsi
minyak kita., sehingga minyak kita tentunya akan habis suatu saat. Oleh karena itu perusahaan
jasa penunjang masih dapat berperan dalam kancah internasional, disamping perusahaan migas
nasional yang beroperasi di luar Indonesia, sehingga petro dollar bisa mengalir ke Republik ini.

Persoalaannya adalah disiapkannya  strategy nasional oleh otoritas perminyakan sehingga


perusahaan jasa nasional dapat betul betul berperan diindustry migas nasional sehingga keikut
sertaan perusahaan jasa nasional dalam tender KPS bukan hanya sekedar untuk formalitas
.Semoga.

Salam..Sulis

Setuju Pak El..!!


 
Wah meskipun wis tue (mungkin yang dimaksud wis tuwek = sudah tua), tapi semangatnya ngga
kalah dengan yang masih muda :-).
 
Sebenarnya banyak putra putri Indonesia yang bergabung di perusahaan migas multinasional (oil
company, contractor, service company, etc) untuk project deepwater di Chevron, ExxonMobil,
Anardarko, Statoil, Talisman di Selat Makassar. Juga Inpex di Laut Arafura. Mereka banyak
yang lulusan dari perguruan tinggi dalam negeri yang mempunyai background disiplin teknologi
Kelautan seperti ITS dan ITB.
 
Hanya saja saat ini memang belum ada perusahaan nasional yang menjadi leading untuk project
deepwater. Tinggal menunggu waktunya saja, mudah2nya Pertamina dalam waktu dekat dapat
menyusul, apalagi saat ini Pertamina sudah sukses menjadi operator di ONWJ.
 
Yang kita harapkan saat ini para perusahaan multinasional tersebut dapat bekerjasama dengan
lembaga penelitian dan pendidikan tinggi seperti BPPT, Lemigas, ITS, ITB, etc termasuk
perusahaan nasional untuk terlibat langsung dalam project deepwater, sehingga dapat memacu
penguasaan teknologi deepwater. Saya yakin pendidikan tinggi yang mempunyai background
disiplin teknologi Kelautan seperti ITS dan ITB, teknologi deepwater sudah tidak asing lagi,
terutama untuk pengembangan offshore structure.
 
Kita tentu masih ingat project West Seno, phase 1 TLP-A termasuk FPU dan offshore pipeline ke
Santan. Lembaga penelitian, pendidikan tinggi dan perusahaan nasional pun dilibatkan sehingga
dapat ikut belajar untuk penguasaan teknologi deepwater. Efeknya pun, para mahasiswa di
perguruan tinggi tersebut dapat mengambil Tugas Akhir dengan topik deepwater dengan akses
data yang cukup, dsb.
 
Salam,
Didik

Pak El Mundo

Saya setuju sekali dengan Pak El Mundo. Sedikit mau menambahkan,


saya rasa baik yang di univ maupun instansi terkait sudah menyadarinya...
Hanya saja mereka tidak bisa bergerak sendirian. Dalam hal ini harus ada
dukungan kebijakan dari pemerintah.

Misal jika PSC mengerjakan project deepwater semua penelitian harus di lakukan
di dalam negeri tidak boleh di bawa keluar negeri jika kita masih mampu. Selama
ini, link and match antara institusi pendidikan dan industri seperti terputus,
diharapkan jika penelitian di lakukan di institusi di indonesia dapat mengurangi
dan meningkatkan pengetahuan institusi di indonesia pula.

Kemudian kita bisa juga menempatkan misal 3 orang engineer lokal untuk menempel
dan mendokumentasikan tiap orang expat, hal ini dapat meningkatkan knowledge
deepwater kita juga.

Mahasiswa jika di beri kesempatan untuk ambil tugas akhir di project deepwater
pasti juga akan sangat bermanfaat

Bottom line harus ada kerjasama yg sinkron antara para stakeholder

Salam,
Makintha

Saran yg sangat tepat pak,Selain itu selayaknya segera di benahi sikap mental kita in general,
artinya segera merespon/bertindak tanpa ragu2 peluang masa depan yg ada (karena jelas sdh
berpotensi), berani menerima tantangan utk segera take over teknologi, sehingga tidak selamanya
dikendalikan (sampe kapan?), tidak jenuh berexperiment (modal experiment disiapkan
goverment yg jujur),sehingga memiliki R n D oil and gas hebat didunia dan visi yg kuat dan
segera diwujudkan menjadi operator oil n gas kelas dunia yg mengusai teknologi laut dalam.
Mampukah?
Murphy Kikeh sebagai project deep water malaysia yg pertama, siapa yg membangun fpso dan
sparnya hingga sukses? Kami, kita enginer2 indonesia, di waktu lalu. Jadi apalagi? Hadapi
challenge itu, berontak akan penetrasi asing. Kita memiliki resources yg mumpuni, manusia dan
alamnya. Jangan biarkan lagi kesempatan2 terbaik kita di ambil pihak luar, jangan mau terus jadi
bangsa subordinat ! Tapi mmg ada satu hal yg tetap harus dienyahkan agar kita bisa konsentrasi
mewujudkan semua, yaitu kita jangan di pusingkan lagi dgn cerita cicak dan buaya beserta cerita
turunannya.
Yg diatas sana, biar makin enak rileksnya, tolong pikirkan itu, biar anak2 bangsa bisa bekerja
maksimal dan professional...

Sekedar mengamini informasi Pak IJP. Kuliah coursework master di NUS bisa
ditempuh dalam satu tahun - asal full time. Ini dengan asumsi rekan2 mengambil
dua semester plus semester pendek (summer). Kalo part time agak susah untuk
selesai 1 tahun karena uni membatasi jumlah modul yang diambil. Kasus saya dulu,
perlu ambil 10 modul. Karena awalnya takut ambil 4 modul di semester pertama
terus di semester kedua ambil 5 modul dengan justifikasi nilai yang baik dan
harus cepat selesai karena tidak bekerja sementara harus support keluarga. 1
modul sisanya bisa diambil di summer course. Yang perlu dilihat tidak semua
modul tersedia di setiap semester.
 
Jungkir balik? Ah...itu bagian dari perjuangan :) . Memang betul tapi masih
sempet kok jalan sama temen2 Indo, olahraga bareng atau cuci mata mengukur jalan
Orchard Road.

Mas Wahyu dan Pak IJP, untuk sekedar Offshore Engineering, ITS punya Jurusan
Teknik Kelautan (Offshore Engineering), dengan beberapa spesialisasi, yang salah
satunya adalah struktur bangunan laut. saya pikir ini potensial buat
dikembangkan lebih jauh ke arah deep water technology (terserah mau di fokuskan
dimananya).

apa sih Pak yang Indonesia ga bisa? saya pikir yang pertama sih memang dari
kampus dulu, bikin program yang mengakomodasi deepwater study.

kalo ga ada industri di dalam negri yang bisa menampung, ya bisa jadi expat
seperti pak Budi.

Fakultas Teknologi Kelautan ITS sudah seharusnya memang bisa memproduksi lulusan
yang berspesialisasi di deepwater. dan tentu saja kampus yang lain.

mungkin bisa di cc ke mendiknas? :D

Bang Yuyus,

FTK ITS saat ini mempunyai unit riset "Pusat Kajian Laut Dalam" dikomandani oleh Prof.
Eko Budi Djatmiko. Diharapkan dari sini bisa memproduksi lulusan spesialisasi laut dalam. Ini
memang relatif baru jadi mungkin outputnya belum banyak.

-Ika-

Pak El,
 
Saya mengamini saran bapak, soalnya bidang saya sendiri saat ini lebih banyak ngurusin proyek2
laut dalam. Tidak mudah memang untuk mengembangkan bidang ini di negeri kita saat ini.
Bukan karena kita tidak mampu, tapi seperti biasa masalah utamanya karena kita tidak atau
belum banyak diberikan kesempatan untuk mendalami bidang ini. Masukan saya sbb:
 

1. Mungkin pintu gerbang utama untuk akses teknology ini adalah BP Migas. Seperti yg pak
Sulis singgung, untuk justifikasi proyek laut dalam dibutuhkan kondisi finansial yg
kondunsif. Harga minyak tinggi atau volume reservoir yg besar. Karena biaya yg besar
dan teknologi yg tinggi, perusahaan nasional belum mampu melakukannya sendiri. BP
Migas harus berusaha untuk 'mengawinkan' perusahaan nasional dengan perusahaan
minyak internasional untuk mengerjakaan proyek2 seperti ini.
2. Sistim bagi hasil atau PSC boleh2 aja, tapi bukan berarti peran kita hanya seperti orang
kaya di kota yg punya petak sawah di kampung. Kita cuma 'menarik' hasil panen,
sementara si petani yg ngerjain semuanya. Saya kira ini yg terjadi selama ini. Makanya
sampai saat ini kita belum bisa apa-apa. Kita harus aktif berperan dari awal sampai tahap
akhir proyek.
3. ITS dan ITB bisa dijadikan centres of excellent dibidang ini. Perlu diketahui bukan hanya
floating platforms fokus kita, tapi juga bidang sub-sea, pipeline dan riser teknologi. Saya
terkesan dengan pengalaman pak Ato dan pak Bobby dibidang sub-sea sewaktu
diseminar floating platform di ITB bulan Juli yg lalu. Ini sebagai bukti bahwa orang kita
mampu, apabila diberikan kesempatan.
4. Fasilitas laboratorium hidro dinamika kita mungkin agak ketinggalan untuk melakukan
model testing proyek laut dalam, karena keterbatasan kedalaman model basin-nya. Tapi
yg lebih penting disini, kita yg bergerak dibidang offshore teknology harus berusaha
mengikursertakan mereka didalam proyek2 nasional. Dengan demikian pengalaman
mereka semakin bertambah dan kepercayaan internasionalpun akan bertambah pula.
Sehingga tidak hanya Marin atau Marintek yg dijadikan acuan Internasional.

Setuju dengan pak El, harus ada keinginan dan usaha yg serius dari kita sendiri dan pihak
pemerintah kalau kita mau menguasai teknologi laut dalam ini. Teknologi ini tidak bakalan
berhenti di industri minyak dan gas saja. Pastinya akan banyak berguna dimasa masa datang.
Apalagi kita adalah negara maritim dimana 2/3 wilayahnya adalah laut.
 
Jangan meragukan lagi kemampuan bangsa sendiri. Berikan kesempatan, bangsa Indonesia pasti
mampu melakukan !!
 
Wassalam,
 
Iwan

++++++++++++++++++++++++
Pak Iwan Wrote :
4. Fasilitas laboratorium hidro dinamika kita mungkin agak ketinggalan untuk melakukan model
testing proyek laut dalam, karena keterbatasan kedalaman model basin-nya. Tapi yg lebih
penting disini, kita yg bergerak dibidang offshore teknology harus berusaha mengikursertakan
mereka didalam proyek2 nasional. Dengan demikian pengalaman mereka semakin bertambah
dan kepercayaan internasionalpun akan bertambah pula. Sehingga tidak hanya Marin atau
Marintek yg dijadikan acuan Internasional.
+++++++++++++++++++++++++
 
FYI .. Pak Iwan dan rekans migas.
Lab. Hidro BPPT Surabaya akhir tahun ini dan awal tahun depan terlibat dalam pekerjaan
pemodelan (numerik dan fisik) untuk INPEX PROJECT - Floating LNG (LNG FPSO) di abadi
Field di block Masela di sekitar laut arafura, dengan kedalaman 400 - 800 m. Tipe mooring yang
dipakai adalah external turret mooring.
Karena keterbatasan kedalaman kolam uji di lab, maka proses pemodelan menggunakan
gabungan iterasi numerik dan pemodelan fisik di kolam uji dengan metode truncated method
(model di dalam model). Ini sangat menantang ... karena merupakan pengalaman pertama untuk
memakai metode truncated ini. Karena biasanya, dalam pemodelan subcale di lab, hanya
mengacu 3 hukum kesamaan, (kesamaan geometri, froude dan reynold). Dengan memakai
metode truncated, maka 3 hukum kesamaan dasar diatas "diakali" untuk masih bisa
mengakomodasi keterbatasan kedalaman kolam. MARIN - netherland akan digandeng untuk
supervisi selama pekerjaan berlangsung, karena MARIN punya pengalaman yang lebih,
kususnya untuk pengujian dengan metode truncated.
 
Tabik
Budi

Pak Budi,
 
Terimakasih atas informasinya pak. Hybrid modelling lewat 'model the model' konsep memang
lagi ngetrend saat ini. Karena keterbatasan kedalaman basin tadi. Mudah2-an lab Hidro bisa
publikasikan hasil model test-nya. Biar kita yg ada dibelahan dunia lain bisa tau.
 
Here we go, yg lagi IN aja orang kita nggak ketinggalan kok. Terus apanya dong yah?
 
FYI - China baru aja meresmikan fasilitas lab hydro-nya yg lumayan lengkap. Hampir semua
operator besar diundang dan datang waktu peresmian. Mereka sudah mencanangkan sebagai
centre of excellence industri maritim Asia. Galangan2 kapal besar sudah mereka bangun. Korea
aja sudah mulai ketakutan. Masa China lagi China lagi?
 
 
Wassalam,
 
Iwan

sejak diskusi ini digulir, sudah bayak info yg kita dapatkan.  Ternyata banyak
SDM kita yg mampu, bahkan walaupun jumlahnya tak banyak,  ada SDM kita yg
involve di negara lain. Ternyata juga penelitian (lab hydro) kita juga tidak
ketinggalan, bahkan selangkah lebih maju dengan kerterbatasannya mencoba hybrid
modelling method yg mungin baru pertama kali di coba. 
 
Pertanyaannya (mungkin pak Iwan dapat menjawabnya) mengapa FEED engineering
projek2 Migas selalu di kerjakan oleh/dinegara lain?
West Seno mengapa projectnya masih berkantor di
Louisiana Street - Houston, mengapa tidak di Plaza Senayan atau Sarana Jaya?. 
Mengapa Inpex Masela tidak di Jakarta tapi di Yokohama.  Kan cost mereka2 yg
bekecimpung disitu di bayar oleh rakyat Indonesia?   Ada yang kurang disini,
apa ya?
 
El M

Mungkin ada hubungannya juga dengan keaadan makro negara kita, seperti beberapa kasus yang
lagi rame, dimana terjadi "kekurang harmonisan" antara lembaga/badan/institusi yang ada.
 
- Personal building, sudah banyak yang mumpuni,
- Comunity building sudah banyak yang bagus cuman kurang bersinergi untuk tujuan yang lebih
besar
- Nation Building ... ndak tahu, mau dibawa kemana .. perlu rencana, target dan tujuan yang
lebih jelas dan terukur
 
Maaf kalau ngelantur
 
Tabik
budi setyo

ya...barangkali karena konsep PSC kita yg menganut cost recovery. Jadi mereka sadar bahwa
cost2 dari project study tsb akan dibayar oleh RI. Kecuali BPMIGAS dengan tegas nodong
bahwa semua project harus dilakukan DN (kan itu duit RI)
Lain ceritanya barangkali bila kita menganut sistem kontrak yg lain (contoh, royalti & tax-nya
Norway) dimana cost sepenuhnya ditanggung kontraktor. Dengan begitu kontraktor dengan
sendirinya dituntut untuk se-efisien mungkin (siapa sih yang mau margin antara revenue dan
cost-nya tipis?). Otomatis untuk itu, mereka akan memprioritaskan study di DN dgn SDM DN yg
jauh lebih murah.
 
Sekedar lempar wacana saja :)
 
-Eko-

Pak el Mundo,Pertanyaannya (mungkin pak Iwan dapat menjawabnya) mengapa FEED


engineering projek2 Migas selalu di kerjakan oleh/dinegara lain?

Proyek INPEX Masela, FEED berkaitan dengan mooring analysis dikerjakan oleh kawan-kawan
FTK-ITS bekerja saman dengan Lab Hidrodinamika BPPT. Satu staf FTK ITS bidang
hidrodinamika dan satu staf Lab Hidro dari divisi Manouvring dan Ocean Basin saat ini sedang
berada di MARIN (Maritime Research Institute Netherlands) untuk menjalankan program "time
domain" simulasi mooring FLNG Masela ini dan juga training untuk pemodelan laut dalam.
Kemballi ke republik tercinta nanti hasil simulasi akan digunakan untuk setting-up model test
yang akan dilakukan di Lab Hidro di Surabaya.

Mungkin pak El Mundo akan bertanya lagi, mengapa harus ke Belanda. Ya karena MARIN
adalah mentor Lab Hidro pada saat lahirnya dulu. Waktu itu setelah disapih sekian tahun belum
sempat bisa jalan sendiri, dana habis sehingga kerjasama teknis berhenti. Dengan proyek Masela
inilah kesempatan untuk menjallin hubungan kembali. Mudah-mudahan bisa menyaingi atau
paling tidak mendekati negara tetangga Singapore yang tidak punya fasilitas uji model tapi
cukup jauh meninggalkan kita dengan riset-riset offshore engineeringnya. 

Saya mendengar gosip dari negara tetangga Malaysia bahwa UTM (university Teknologi
Malaysia) juga sedang memacu kompetensi riset bidang kelautan. Mereka dalam upaya
mendekati SHELL guna mendapatkan dana bantuan untuk membangun kolam uji offshore. Info
ini saya dapat dari kawan yang sekarang menjadi dosen disana. Mudah-mudahan Indonesia tidak
kesalip ya Pak......:-)

Regards,
-Ika-

Apa ya yang harus didiskusikan dari Deepwater Development ?


Maksudnya supaya nggak liar kesana-kemari.Mungkin bisa dimulai dari aspek-aspek project,
seperti concept dan teknologi
platform/facility yang mungkin digunakan untuk Deepwater.
kan tersedia pilihan mulai dari FPSO, TLP, Semi-sub, dll.
Kalau TLP mungkin bisa diperkecil apakah tipe StarSea, Moses, Classical TLP,
dll.
Dan kemudian khusus naval architect dan tendon engineeringnya.

Lalu nanti boleh pula diobrolin Flowline dan Riser yang juga cukup menantang
dari aspek design/engineering, lalu masuk phase fab/const/installation nya.

Dari aspek Project Management, boleh juga membahas aspek commercial dan cost
aspect.Lebih menarik sekali jika ada diskusi tentang Project human Resources,
karena di area ini kita mulai terkena sengatan jiran yang sudah mulai didepan dalam hal SDM
ini.Contoh, project FEED Malikai Deepwater yang sekarang berjalan, dimotori oleh
JV AMEC dan MMC (local co.) adalah salah satu misi jiran mempersiapkan SDM
mereka, agar di masa yad, lokal SDM akan lebih besar peranannya. Lalu
company EPC lokal pun tak ketinggalan dalam misis project ini. Dgn jelas2
Supermajor Shell menyebutkan nama perusahaan lokal yang akan diangkatkompetensinya lewat
project ini.Bagaimana Garuda ?Salam dari Peninsular
d'Art.

Software untuk analisa deepwater

Milister,

Salah satu software yg bgus utk analisa mooring adalah AQWa yg dapat tersambung dgan ansys.

Apakah ada pelatihan Aqwa di indonesia? Karena setahu sy bru di singapore dan perth. Kira2
apa bisa ya KMI bekerja sama dgan instansi2 pendidikan utk menyelenggarakan training
software semacam ini? Mengingat biaya training yg di singapore bisa sampai puluhan juta
rupiah. Apakah bisa diselenggarakan dgn biaya kursus yg jauh lebih ringan?

Trims
Kalau dibandingin sama Orcaflex atau Dynflex gimana pak ?
Karena Orcaflex agak populer di tanah air. Dan sudah banyak yang menguasai software ini.
Jadi kalau memang untuk training, mungkin bisa pakai resource dari tanah air, ndak usah jauh
jauh. Bisa hemat devisa banyak.
 
salam
budi setyo

Kalau dynflex saya ga tau. tapi terkadang client/owner punya preference


tersendiri.

Kalau Orcaflex untuk melakukan time domain mooring analysis dia membutuhkan data
dari software2 lain yang khusus mengeluarkan nilai2 koefisien untuk 1st order
diffraction wave load juga 2nd order diffraction wave load. Jadi Orcaflex hanya
motion analyses, karakteristik pergerakan vesel harus dilakukan di software lain
misalnya Moses, Seasoft, Aqwa, SACS untuk 1st order saja, Maxsurf dll.

Saya sendiri juga blm tau Aqwa, tapi yang saya liat di brosur, Aqwa menghitung
sendiri koefisien 1st dan 2nd order wave load dan kemudian dia mensimulasikan
mooring analysis di dalam software yang sama tidak perlu pindah2 software.
Makanya berarti Aqwa lebih canggih daripada Orcaflex. Moses sendiri juga ada
modul mooring analysis tapi kurang user friendly. Tidak semudah orcaflex. SESAM
juga dengernya bisa untuk mooring analysis, anggota milis ada yang jago sesam

trims

Trims Pak Uci penjelasannya.


Barusan lihat lihat Aqwa di Mbah Google, mantab. Cuman gimana dapetin (baca ; gratisan)
untuk belajar. Paling tidak kalau dapet project yang sebenarnya, sudah familiar dengan software
ini.
 
Pernah pakai Orcaflex untuk time domain analysis mooring FPSO. Untuk model geometri,
dibuat pakai maksurf (karena pertimbangan kemudahan). Model geometri kemudian ditransfer
ke software analisa gerak, pakai MOSES. Sebenarnya bisa langsung dari Maksurf ke Seakeper,
cuman Seakeper kurang mantab karena untuk analisa gerak, harus input sendiri koefisien
damping floating bodi. Setelah dapat RAO dari MOSES, maka dipakai soft. Orcaflex untuk
analisa mooringnya. Model geometri Orcaflex dari Maksurf, dan input RAO dari MOSES. Ribet
memang, tapi menurut saya itulah cara yang paling "aman"
dan bisa ditrace kebenarannya.
 
Mangkanya kalau ada soft. yang bisa potong kompas, tangan ini jadi gatal untuk belajar lagi. Oh
iya satu pak ... untuk pembuatan model geometri AQWA ini gimana ? Karena software FEA
(finite elemet analysis), biasanya ribet untuk bikin model geometrinya.
 
Ditunggu sharingnya dari para pakar MIGAS
 
Tabik,
budi setyo

Kenapa tidak pakai MOSES saja pak?

Lebih familiar dan banyak dipakai di berbagai analisis floating structure

Regards, RES

Mungkin yang perlu didiskusikan juga adalah penguasaan desain engineering, dan instalasi
subsea facility dan subsea tie in untuk pengembangan lapangan marjinal atau lapangan yang
tidak memiliki justifikasi finansial untuk dibikinken floating atau surface facility, atau ada
justifikasi finansial tapi lebih murah dan cost saving dengan develop subsea facility dan di tie in
ke existing surface facility terdekat. Meskipun awalnya untuk aplikasi deepwater, tapi saya kira
aplikatif juga untuk range kedalaman yang lain.
 
Saya kira ke depannya tipe2 proyek brownfield untuk mengakomodasi subsea dan greenfield
(subseanya sendiri) seperti ini akan cukup mendominasi.
 
Mungkin bisa dijadikan ide untuk penelitian2 lanjutan mengenai subsea separation, hydrate
control dan dehydration dari sisi proses dan flow assurance, juga bagaimana aset management
dan aset integrity nya.
 
Salam,
Teddy-Melb

Sabar pak Dirman, lagi asyik nih...;-))...biarkan kita ngobrol ngalor ngidul dulu pak, seperti
ngobrol di warung kopi. Atau kalau pake istilah kerennya 'brain storming'. Saya senang melihat
animo yg cukup tinggi dari teman2 semua akan teknologi laut dalam ini.
 
Untuk masalah floating platform concept, silahkan tambahkan perbendaharaan perpustakaan kita
di milist ini. Kirim lewat pak Budhi. Kita sempet membentuk forum floating platform. Tapi
sayang karena kesibukan masing-masing, programnya agak tersendat-sendat. Walaupun begitu,
kita sempat ngadain seminar dadakan di ITB bulan Juli yg lalu. Mudah2-an temen2 yg berada di
Indonesia bisa lebih aktif lagi untuk mengadakan forum2 diskusi seperti ini. Pak Jamsir, pak
Murdjito, dll, mudah2-an bisa menyisihkan lebih banyak waktu untuk kegiatan forum ini. Masih
banyak yg perlu dibenahi, termasuk masalah regulasi.
 
Untuk masalah software, saya liat pak Uci sudah punya list yg banyak. Sementara itu, pak
Murdjito bersama ITS-nya juga banyak berpengalaman dalam hal analysis menggunakan state-
of-the-art software seperti Orcaflex, AQWA, dsb. Mungkin juga mereka sudah mahis
menggunakan fully coupled analysis software seperti Winpost/Charm3D, Rifflex dan deepC.
 
Mungkin pak Eko Djatmiko dan temen2 di ITS bisa memberikan kita informasi lebih lengkap
tentang program laut dalamnya, seperti yg pak Ika kemukakan. Mudah2-an banyak yg berminat
untuk menggeluti bidang ini.
 
Insya Allah saya akan share, sebisa saya, pengalaman teknologi laut dalam di Gulf of Mexico
(GoM) dan North Sea. Perlu diketahui masing-masing lokasi mempunyai keunikan sendiri2.
GoM dengan hurricane dan loop-currentnya. Sementara West of Shetland (juga North Sea)
sangat terkenal dengan ombak yg ganas (tinggi gelombang bisa mencapai 35 meter, 100-yr
return period). Bandingkan dengan perairan Indonesia yg cuma beberapa meter saja. Tapi
Indonesia juga mempunyai keunikan tersendiri seperti earth quake, Tsunami,dsb.
 
Kita membutuhkan seorang figur seperti bapak milist kita pak Budhi yg pantang menyerah untuk
memajukan kemampuan bangsa kita dalam industri migas ini. Pak Budhi, apa kabar?
 
Wassalam,
Iwan

Kalo aqwa sudah dikuasai di ITS, bolehkah ITS bekerja sama dgan KMI mengadakan
kursus aqwa dgan biaya yg mudah terjangkau. Sy sendiri jg blum bisa aqwa dan
pingin belajar.

Salah 1 yg user friendly adalah seasoft, cuma output hanya berupa angka2 saja.
Jalan dalam dos mode. Kita harus plot sendiri hasilnya. Tapi pembuat software
ini tdk menjual software nya hanya menyewakan melalui internet. Biaya sewa min 6
bulan seharga 9k USD. Ada modul ship sim utk 1st order wave slowsim utk 2nd ord.
Ada TLP sim, semisim, discsim, moorsim. Sangat user friendly. Pembuatnya namanya
Dr.Richard Hartman. Dia tdk menjual karena takut dibajak. Hehehe.
Trims

Setahu saya AQWA belum dikuasai FTK ITS. Software ini sangat mahal harganya jadi agak
susah di-"gerilya". Kami sedang usahakan bersama dengan Prof Eko BJ dan Pak Murdjito
untuk sharing knowledge AQWA. Kalo ndak salah, malah Cak Iwan Aryawan yang jago AQWA
dulu pernah dipakai untuk simulasi turret mooring heading analysis. Betul Cak?

Regards,
-Ika-

Mas Iwan, terima kasih juga saya ucapkan ke anda yang telah mengorbankan waktu cutinya
sehari di Indonesia untuk berbagi pengetahuan mengenai deepwater dan floating platform
sewaktu KMI Goes To ITB, 26 Juni 2009. Pada seminar ini ada beberapa engineer Indonesia
selain Mas Iwan Aryawan – yaitu sdr. Ato Suyanto dan Bobby Weliyanto - yang
menyumbangkan pengalamannya sewaktu ikut proyek laut dalam di luar negeri. Dan dari data
pribadi anggota milis, ada puluhan anggota kita yang terlibat aktif dalam pengembangan
teknologi laut dalam di luar negeri, antara lain : Malaysia, Afrika Selatan, Aberdeen, Hpuston,
GoM, dll. Jadi dari segi SDM, kita sudah mampu.

KMI senang bisa ikut berkontribusi dalam pengembangan teknologi laut dalam, karena trend
pencarian minyak di Indonesia di waktu mendatang memang mengarah ke laut dalam. Untuk
Teknik Kelautan ITB, saya lagi bernegosiasi dengan ketua panitia agar memasukkan agenda
deepwater pada event Oceanovolution Dec 2009. Dengan Teknik Kelautan UI, kita coba
mendatangkan kembali President IMAREST Prof Choo ke Indonesia. Dengan Teknik Kelautan
ITS, nanti saya bicarakan dengan Pak Murdjito. Saya juga kemarin sudah berbicara dengan
penulis Buku Pintar Migas Indonesia “Teknologi dan Instalasi Subsea” yang akan meng-update
tulisannya dengan data terbaru.

Anda mungkin juga menyukai