Anda di halaman 1dari 6

TUGAS ANALISA PENELITIAN

YANG MENYIMPANG DARI ATURAN PENELITIAN


Disusun untuk memenuhi penugasan dalam mata kuliah Metedologi Penelitian

Disusun Oleh
Kelompok 10 :
Desi Fajriyanti
Iim Khosyatillah
Mirela Alpani
Nur Qolbihak
Putri Indah Pramesti
Siti Sarifah

Tingkat 3A

AKADEMI KEPERAWATAN MUHAMMADIYAH CIREBON


2020/2021
Plagiarisme atas buku "How We Decide"
Di bawah, Nalar Ekonomi memuat temuan Tirta Susilo akan sebuah karya plagiat yang
dipresentasikan dalam sebuah forum diskusi di Jakarta beberapa waktu lalu.
—Arya Gaduh

----
Oleh: Tirta Susilo

Belum lama ini saya mengunduh makalah Bagaimana Otak Melahirkan Altruisme yang ditulis
Ryu Hasan sebagai bahan diskusi klub sains Freedom Institute pada 19 Agustus 2011. Ternyata
seluruh makalah tersebut berisi terjemahan buku How We Decide karangan Jonah Lehrer, Bab 6
halaman 171-189. Karena tidak ada satupun rujukan maupun atribusi ke Jonah Lehrer, saya dan
beberapa rekan lain mengambil kesimpulan bahwa makalah ini plagiat.

Sebagai contoh, berikut paragraf pembuka Bagaimana Otak Melahirkan Altruisme:

“Kalau dibicarakan secara sepintas, mungkin banyak yang tidak percaya bahwa terdapat
hubungan antara moralitas dan emosi. Keyakinan umum selama ini adalah bahwa keputusan-
keputusan moral muncul dari proses yang sangat logis dan legal. Anggapan umum bahwa
berbuat baik berarti menimbang secara teliti argumen-argumen yang saling bertentangan,
bagaikan seorang hakim yang netral dan tidak berat sebelah. Penjelasan tersebut mempunyai
sejarah yang panjang. Tokoh-tokoh Abad Pencerahan, semisal Leibniz dan Descartes, berusaha
menyusun suatu sistem moral yang sepenuhnya terbebas dari perasaan. Immanuel Kant
berpendapat bahwa berbuat baik hanyalah konsekuensi dari bertindak rasional. Imoralitas,
tulisnya, adalah hasil dari ilogika (illogic). Kata Kant lagi, "Makin sering kita merenungkan"
keputusan-keputusan kita makin bermorallah keputusan-keputusan kita. Hingga sejauh ini sistem
hukum modern masih berpijak pada asumsi-asumsi kuno tersebut dan membebaskan siapapun
yang "rasionalitasnya cacat" —orang-orang ini secara hukum dinyatakan gila— sebab otak
rasional dianggap sebagai pembeda antara benar dan salah. Doktrinnya adalah "apabila Anda tak
dapat menalar, berarti Anda tak boleh dihukum".
Dari halaman 171-172 How We Decide:

“At first glance, the connections between morality and the emotions might be a little unnerving.
Moral decisions are supposed to rest on a firm logical and legal foundation. Doing the right thing
means carefully weighing the competing claims, like a dispassionate judge. These aspirations
have a long history. The luminaries of the Enlightenment, such as Leibniz and Descartes, tried to
construct a moral system entirely free of feelings. Immanuel Kant argued that doing the right
thing was merely a consequence of acting rationally. Immorality, he said, was a result of illogic.
"The oftener and more steadily we reflect" on our moral decisions, Kant wrote, the more moral
those decisions become. The modern legal system still subscribes to this antiquated set of
assumptions and pardons anybody who demonstrates a "defect in rationality" —these people are
declared legally insane— since the rational brain is supposedly responsible for distinguishing
between right and wrong. If you can't reason, then you shouldn't be punished”.

Demikian seterusnya sampai paragraf terakhir.

Anda dapat memeriksa sendiri plagiarisme tersebut di bawah: Bagaimana Otak Melahirkan


Altruisme di kiri, How We Decide di kanan.
Menghindari plagiarisme sebenarnya tidak sulit, seperti dijelaskan antara lain di sini dan sini.
Mari menciptakan Indonesia yang bebas plagiarisme.
PEMBAHASAN KASUS I

Jika makalah Bagaimana Otak Melahirkan Altruisme?” yang ditulis oleh Ryu Hasan memang
tidak mencantumkan pustaka yang dikaji dalam membuat makalah tersebut, berarti memang Ryu
Hasan melakukan tindakan plagiarism, sebagaimana yang disebutkan dalam berbagai referensi di
atas bahwa tindakan plagiarisme dikatakan terjadi apabila penyaji mengambil/mengutip karya
orang lain dan menyajikannya sebagai karyanya sendiri dengan tidak mencantumkan pemilik
karya yang sebenarnya, sekurang-kurangnya dalam catatan kaki.

Ditinjau dari etika penelitian disebutkan dalam referensi di atas bahwa tindakan plagiarisme
merupakan tindakan yang tidak terpuji. Jika peneliti memang mengutip ataupun menggunakan
ide milik orang lain, paling tepat jika sang penulis mencantumkan nama dan tahun penulisan
pustaka yang dikutipnya. Tidaklah mengherankan jika terbukti melakukan plagiarisme, para
plagiator dikenakan hukuman yang cukup fatal, mulai dari terkena sanksi sosial hingga
pencabutan jabatan di instansi tempat plagiator tersebut bernaung.

Ditinjau dari Kode Etik Psikologi Indonesia tahun 2011, penulis telah melanggar pasal 55 Kode
Etik Psikologi Indonesia (2011) mengenai penghargaan dan pemanfaatan karya cipta pihak lain
ayat 1 dan 2. Ayat 1 pasal 55 KEPI menyebutkan bahwa psikolog/ ilmuwan psikologi wajib
menghargai karya cipta pihak lain, baik yang berbentuk penelitian, buku teks, alat tes atau
bentuk lainnya sesuai dengan undang-undang, peraturan dan kaidah ilmiah yang berlaku umum.
Karya cipta orang lain harus dihargai dan dalam pemanfaatannya memperhatikan ketentuan
perundangan mengenai hak cipta atau hak intelektual yang berlaku. Ayat 2 pasal 55 KEPI 2011
menyatakan bahwa Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak dibenarkan melakukan
plagiarisme dalam berbagai bentuknya, seperti mengutip, menyadur, atau menggunakan hasil
karya orang lain tanpa mencantumkan sumbernya secara jelas dan lengkap. Bahkan dengan tegas
dikatakan bahwa Penyajian sebagian atau keseluruhan elemen substansial dari pekerjaan orang
lain tidak dapat diklaim sebagai miliknya, termasuk bila pekerjaan atau sumber data lain itu
sesekali disebutkan sebagai sumber.

Kasus di atas memang bukan dilakukan oleh psikolog atau ilmuwan psikologi, tetapi tidak
menutup kemungkinan akan menimpa peneliti psikologi, sehingga memang setiap peneliti
dituntut untuk lebih teliti dalam mengutip ataupun mengambil karya orang lain. Jika peneliti
benar-benar mengutip karya orang lain, jangan lupa untuk selalu menuliskan nama dan tahun
penulisan karya yang dikutip.
REFERENSI:

Depdiknas. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Felicia, dkk. 2007. Bahasa Indonesia: Sebuah Pengantar Penulisan Ilmiah. Jakarta:
Lembaga Penerbit FEUI.

Susilo, T dan Gaduh, A. 2011. Plagiarisme Buku How We Decide, (Online),


(http://nalarekonomi.blogspot.com/2011/09/plagiarisme-buku-how-we-decide.html,
diakses, 30 Oktober 2011)

Anda mungkin juga menyukai