Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan penggunaan tanda asterik dalam
media sosial dengan memaparkan sejumlah fungsi dari penggunaan tanda tersebut dalam
media sosial. Metode yang digunakan adalah metode simak dengan teknik sadap libat
cakap dan sadap bebas libat cakap pada konteks penggunaan bahasa dalam media sosial
whatsapp, twitter, dan instagram. Hasil yang diperoleh kemudian adalah bahwa
penggunaan tanda asterik ini sebagai (1) kekhasan bahasa dalam media sosial, (2)
perluasan situasional, (3) penyampai humor, (4) pemisah antara ujaran utama dan
pengiring, (5) sarana penyampai kalimat sanggahan, (6) sarana „menghaluskan‟ bahasa,
(7) sarana menyembunyikan merk, dan (8) sarana perbaikan kesalahan pengetikan.
A. Pendahuluan
Dalam pembahasan mengenai bunyi bahasa dalam Fonetik, Fromkin dan
Rodman (1998:176) menuliskan “the ability to analyze a word into its individual
sound segments does not depend on knowledge of how the word is spelled. Both not
and knot have three sounds even though the firts sound in knot is represented by the
two letters, kn”. Melalui pendapatnya tersebut keduanya menggambarkan betapa
bunyi bahasa tidaklah sama dengan sistem penulisan alfabet dalam suatu bahasa.
Dengan kata lain bahwa bunyi bahasa yang diproduksi secara lisan tidak selalu bisa
menyamai sistem alfabet yang menjadi bagian dari bahasa tulis. Secara luas pendapat
tersebut dapat kita pahami, baik secara langsung maupun tidak langsung, bahwa
bahasa lisan tidak akan mudah disamakan dengan bahasa tulis. Kedua ragam bahasa
ini memiliki bentuk dan pengacuan penggunaan yang berbeda. Pernyataan ini
diperkuat dengan hadirnya lambang fonetis sebagai bentuk realisasi bunyi secara
tuturan. Hal ini menguatkan bahwa hal yang diucapkan sering kali tidak bisa
disamakan dengan yang dituliskan.
Penggambaran tersebut agaknya sinkron dengan penggunaan emotikon yang
dewasa ini banyak sekali digunakan dalam ranah penggunaan bahasa dan komuniasi
media sosial. Pada awal kemunculannya, emotikon digunakan sebagai penghidup
bahasa tulis dalam pesan singkat yang menjadi kemudahan komunikasi jarak jauh
selain telepon. Pada penggunaan awal itu, emotikon ini hanya berupa penggunaan
sejumlah tanda baca, lambang, ataupun alfabet tertentu. Misalnya, tanda titik dua
yang diikuti dengan kurung tutup berupa :) menjadi lambang senyum atau tanda titik
dua yang diikuti huruf d kapital berupa :D menjadi lambang tertawa.
Ketika kemudian masyarakat merasa bentuk tersebut belum cukup mewakili
ekspresi secara lisan yang sebagian besar dilakukan secara tatap muka secara
langsung, diciptakanlah emotikon dalam bentuk yang lebih menarik dengan
menambahkan warna, bentuk yang lebih variatif, bahkan hadir dalam bentuk yang
dapat bergerak dan bersuara. Tujuannya hanya satu, bahwa komunikasi yang
dilakukan secara tidak langsung dalam bentuk tulisan diharapkan dapat menjadi lebih
hidup dan dapat mewakili ekspresi yang disampaikan dalam tulisan tersebut. Tulisan
yang sifatnya dua dimensi diharapkan dapat menjadi tiga dimensi, bahkan empat
dimensi, layaknya televisi dan percakapan langsung face to face.
Seiring sifat asal manusia yang tidak pernah puas, dewasa ini justru ditemukan
hal baru dalam pengungkapan ekspresi, bahwa penggunaan emotikon tadi belum juga
cukup mewakili ekspresi bahkan suasana ingin digambarkan dalam tulisan yang
disampaikan. Sebanyak apapun variasi emotikon yang dibuat dan disediakan pada
media-media sosial, ternyata masih belum cukup mewakili ekspresi yang dimiliki dan
ingin dituangkan. Penggunaan asterik atau tanda bintang (*) merupakan hal yang
kemudian menjadi kebaruan sebagai penyampai emosi dan suasana secara tertulis
pada media sosial yang melengkapi, atau bahkan sedikit menggeser, penggunaan
emotikon. Sebenarnya, tanda ini telah ada dan telah digunakan sejak lama, yaitu pada
tombol nomor telepon atau ponsel, serta sebagai penanda di awal kalimat yang tidak
gramatikal secara kebahasaan. Namun, ketika kemudian ranah penggunannya justru
bergeser ke penggunaan bahasa dalam media sosial, fungsinya pun turut bergeser,
bahkan berubah dan berkembang. Sebagaimana disampaikan oleh Holmes (1992)
bahwa setiap konteks yang berbeda menuntut bentuk penggunaan bahasa yang
berbeda pula.
Dari hasil pengamatan awal, penggunaan tanda asterik ini, salah satunya,
menjadi sarana perluasan situasional percakapan berupa ekspresi yang terjadi yang
seringkali tidak dapat diwakilkan oleh penggunaan emotikon.
Contoh tersebut merupakan gambaran penggunaan tanda asterik yang secara
khas ditemukan dalam penggunaan bahasa tulis media sosial twitter. Kalimat
berasterik tersebut dituliskan sebagai bagian untuk mengawali kalimat inti cuitan
yang disampaikan. Dalam hal ini, kalimat berasterik tadi menjadi sarana pembuka
suasana berupa penggambaran mengenai hal yang tengah dilakukan atas cuitan yang
dituliskan setelahnya. Selain itu, penulisan kalimat awalan dengan pembubuhan tanda
asterik tadi menimbulkan kesan humor yang mungkin tidak akan dapat dicapai ketika
justru emotikon yang dipilih untuk digunakan.
Dari contoh tersebut, tampak bahwa emotikon tidak lagi dipandang cukup
untuk mewakili perasaan penulis karena dirasa masih kurang memadai sebagai
penyampai ekspresi yang dimiliki dan ingin disampaikan dalam tulisannya. Hal ini
kemungkinan besar disebabkan oleh fakta bahwa tulisan, dalam hal ini berupa
penggunaan bahasa, menjadi media utama dalam ranah tulis, sebagaimana disebutkan
oleh Seargeant dan Tagg (2014:6). Ketika kemudian penggunaan bahasa menjadi
media utamanya, semua hal yang disampaikan tersalur melalui bahasa yang dipilih
dan disusun, termasuk pula ekspresi sang penulis.
Penelitian mengenai bahasa dalam media sosial sudah cukup banyak
dilakukan. Wati (2011) dalam artikel ilmiahnya yang berjudul “Komunikasi dan
Media Sosial” membicarakan secara umum kondisi komunikasi, termasuk bahasa
yang ada dalam media sosial. Ia menyebutkan bahwa komunikasi dalam media sosial
tidak terbatas dan terhalang oleh waktu, tempat, bahkan jarak. Komunikasi semacam
ini dapat dilakukan di mana pun dan kondisi apapun. Ia pun menambahkan bahwa
guna mencapai komunikasi media sosial yang baik, seorang penggunaan harus tetap
memperhatikan aturan kebahasaan secara sosial yang berlaku dalam masyarakat.
Arini (2013) secara detail membahas mengenai bentuk, makna, dan fungsi dari
bahasa tulis di media sosial. Khusus mengenai bentuknya, Arini memaparkan bahwa
tiap media sosial, twitter, misalnya, memiliki mekanisme penulisan yang berbeda
dengan media sosial lainnya. Hal ini, terutama, dipengaruhi oleh format aplikasi yang
ada pada tiap media sosial tersebut. Pada salahs atu pembahasan yang dilakukannya
pada bagian bentuk ini, ia menyebutkan penggunaan tanda pagar atau hashtag yang
secara khas digunakan pada kiriman dalam media sosial dengan tujuan tertentu.
Media sosial tersebut kemudian menjadi salah satu alat komunikasi yang
menawarkan model interkasi yang menarik dibandingkan media komunikasi tulis
lainnya.
Tulisan mengenai penggunaan bahasa dalam media sosial lainnya dituangkan
dalam bentuk skripsi oleh Utami (2010). Dalam tulisannya yang berjudul
“Karakteristik Penggunaan Bahasa pada Status Facebook”, Utami (2010)
menyebutkan sejumlah karakteristik penulisan yang khas. Satu di antaranya adalah
penggunaan emotikon yang salah satunya melibatkan penggunaan tanda asterik. Ia
menyebutkan bahwa tanda asterik dalam emotikon di antaranya berperan sebagai air
mata dalam emotikon ;*, sebagai mata dalam emotikon ^_*, dan sebagai bibir dalam
emotikon :*.
Dengan tema yang sama, Faizah (2015) pun menuliskan penggunaan bahasa
di media sosial facebook dalam bentuk skripsi. Pembahasan yang kemudian
dipaparkannya pun tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan Utami (2010). Dalam
skripsinya tersebut, Faizah memaparkan secara umum bahwa bahasa yang digunakan
dalam media sosial Facebook kurang lebih melibatkan penggunaan denotasi dan
konotasi, penggunaan diksi khusus dan umum, penggunaan slang dan jargo.
Dari sejumlah tulisan yang telah ada tersebut, penelitian secara khusus
mengenai tanda asterik dalam media massa belum dilakukan. Hal ini diharapkan
dapat menjadikan tulisan mengenai penggunaan tanda asterik tersebut sebagai
rujukan baru mengenai penggunaan bahasa dalam media sosial yang khas dan khusus
dibandingkan penggunaan bahasa pada media lainnya, khususnya media komunikasi
tulis.
B. Hasil dan Pembahasan
Sebagaimana disampaikan sebelumnya, penggunaan tanda asterik dalam
pengungkapan kalimat di media sosial mengandung fungsi tertentu. Tiap fungsi
tersebut akan dipaparkan sebagai berikut beserta tiap contoh penggunaannya.
1. Kekhasan Bahasa Media Sosial
Holmes (1992:87) menyebutkan bahwa di antara banyak kesamaan yang
dimiliki oleh bahasa secara umum, terdapat unsur unik yang membedakannya
secara khusus dengan bahasa lain. Keunikan tersebut tidak hanya ditunjukkan
oleh sebuah bahasa secara utuh, tetapi juga ditunjukkan oleh sejumlah variasi
dalam suatu bahasa. Dalam hal ini, keunikan bahasa tersebut dapat ditunjukkan
melalui penggunaan tanda asterik pada media sosial.
Telah disebutkan sebelumnya bahwa penggunaan semacam ini tidak
sembarangan dapat ditemukan dalam ranah penggunaan bahasa lainnya, terutama
penggunaan bahasa secara tulis. Pada penggunaan bahasa tulis berupa surat,
misalnya, bentuk semacam ini tidak akan pernah ditemukan. Kalau pun pada
akhirnya pengguna media komunikasi berupa pesan singkat atau sms
menggunakan hal tersebut, kemungkinan besar penggunaan itu sudah terpengaruh
oleh penggunaan pada media sosial.
Jika kemudian penggunaan bahasa melalui penggunaan tanda asterik ini
dikaitkan dengan slang, agaknya terdapat kesamaan sifat. Fromkin dan Rodman
(1998:300) menyebutkan bahwa sebagai bentuk kebaruan dalam bahasa, slang
dibentuk dari perkembangan penggunaan bahasa standar, misalnya perluasan
ranah pemakaian, termasuk pula perluasan jangkauan maknanya. Hal ini sejalan
dengan penggunaan tanda asterik pada media sosial, bahwa penggunaannya
sudah tidak lagi sama dengan penggunaan yang seharusnya. Ranah
pemakaiannya pun sudah meluas. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
tanda asterik tersebut menjadi bagian dari bahasa gaul yang khas dalam media
sosial yang secara unik digunakan dalam ranah tersebut dan tidak ditemukan
penggunaan yang sama pada ranah lain.
2. Perluasan situasional
Dalam sebuah konteks penggunaan bahasa, umumnya terdapat situasi
yang menjadi faktor penentu penggunaan suatu bahasa tertentu atas bentuk
bahasa lainnya. Disebutkan sebelumnya bahwa penggunaan emotikon masih
kurang bisa mewakili situasi yang ingin disampaikan. Kaitannya dengan
penggunaan kedua tanda tadi, konteks tersebut kemudian diperluas. Perluasan ini
dimaksudkan bahwa situasi tulis yang terbangun secara dua dimensi dibuat
layaknya tiga dimensi sehingga pembaca tidak hanya mendapatkan informasi
secara tertulis, tetapi juga mendapatkan bayangan mengenai hal yang dilakukan
oleh penulis berkaitan dengan hal yang ditulisnya dalam sebuah cuitan atau pun
pada percakapan yang tengah terjadi. Dalam arti bahwa situasi yang digambarkan
melalui bahasa tulis tersebut tidak cukup mewakili situasi yang sebenarnya yang
hendak disampaikan. Dengan demikian, penggunaan tanda asterik, seperti pada
contoh berikut ini, menjadi sarana perluasan situasional yang hendak
disampaikan pada pembaca yang, belum atau bahkan tidak dapat diwakili oleh
penggunaan emotikon.
a)
Pada konteks tersebut, penggunaan tanda asterik menjadi sarana untuk
menyatakan sesuatu hal yang dilakukan penulis sebagai tanggapan dari cuitan
seseorang padanya. Dalam hal ini, sebagaimana disebutkan sebelumnya, terdapat
perluasan situasional secara tertulis berupa kalimat *beliin aquarium. Secara
tertulis, tentu hal tersebut tidak dapat dilakukan sehingga ketika kalimat tersebut
dituliskan melalui penggunaan tanda asterik, penulis seakan tengah berbuat
sesuatu melalui tulisannya tersebut. Jadi, dapat dilatakan bahwa yang
dilakukannya pada ujaran berarterik tersebut adalah hal yang dilakukannya jika
percakapan tersebut terjadi secara tatap muka.
b)
Selanjutnya, pada data ini tampak adanya penggunaan tanda asterik di
akhir cuitannya pada media sosial twitter. Cuitan tersebut berisi informasi
mengenai suatu kejadian di suatu daerah. Penggunaan tanda asterik tersebut berisi
keterangan mengenai hal yang dilakukan penulis ketika kemudian memutuskan
membuka video yang ditautkannya itu. Penggunaan tanda asterik tersebut
menjadi penjelasan lebih jauh mengenai kondisi penulis ketika mengetikkan
cuitannya tadi.
c)
Pada contoh ini tanda asteris berfungsi sebagai sarana untuk
menyampaikan hal yang dilakukan bersamaan/setelah menyatakan cuitan
sebelumnya (cuitan di bawahnya). Ketika menilik kembali penggunaan emotikon,
tentunya emotikon dengan maksud semacam ini tidak atau belum ditemukan.
Berdasarkan ketiga contoh tersebut, secara langsung ataupun tidak, dapat
dikatakan bahwa tanda asterik menjadi penampung ekspresi tambahan di luar
kalimat utama yang disampaikan.
a)
b)
c)
a) b)
Pada kedua data tersebut, tanda asterik menjadi pemisah antara bagian
utama dari ujaran yang disampaikan dan bagian pengiringnya. Pada data (a),
bagian tambahan berupa ekspresi berupa tindakan yang dilakukan atas ujaran
yang disampaikan. Adapun pada data (b), bagian tambahan yang disampaikan
berupa sanggahan dari penyampaian kalimat sebelumnya. Secara umum
kemudian ditemukan bahwa tanda asterik ini berfungsi layaknya batas sehingga
pembaca dapat membedakan antara kalimat yang menjadi bagian ujaran yang
hendak disampaikan dan bagian yang memang berstatus sebagai tambahan pada
ujaran tersebut, sebagaimana contoh berikut ini:
c)
a)
b)
c)
a)
b)
Pada kedua contoh tersebut, ditemukan penggunaan tanda asterik dalam
bentuk komentar dari sebuah kiriman di media sosial instagram. Sebagaimana
disebutkan, tanda asterik pada komentar tersebut disisipkan pada kata bangsat
yang secara sosial termasuk dalam kata kasar dan tidak pantas diucapkan secara
bebas. Dengan menyisipkan tanda asterik di tengah kata, menggantikan huruf a,
kadar ketidaksantunan pada kata tersebut menjadi berkurang, bahkan tidak lagi
terasa. Secara tidak langsung, penggunaan asterik ini menjadi semacam
eufemisme bahasa dalam konteks media sosial tersebut.
a) b)
C. Simpulan
Sebagai bagian dari media penggunaan bahasa, media sosial menunjukkan
penggunaan bahasanya yang khas dibandingkan media penggunaan bahasa lainnya.
Dalam hal ini, tanda asterik sebagai salah satu lambang yang mendampingi
penggunaan bahasa menjadi kekhasan yang dimaksud. Penggunaannya mewakili
sejumlah sarana yang mewakili maksud tertentu, terutama dalam media sosial twitter,
whasapp, dan instagram. Pada ketiga media sosial tersebut, tampak bahwa tanda
asterik menjadi sarana penyampai eksrepsi yang ingin disampaikan. Sebagian besar
ekspresi itu kemudian diketahui tidak dapat sekadar diwakili oleh penggunaan
emotikon. Dengan kata lain, sebagaimana telah disebutkan, emotikon belum bisa
cukup mewakili ekspresi yang disampaikan secara tertulis. Hal ini kembali
menegaskan bahwa seefektif apapun emotikon yang diciptakan, emotikon itu belum
bisa menggantikan ekspresi yang tersampaikan secara lisan.
Sama halnya dengan penggunaan tanda asterik bahwa seefektif mungkin
penggunaan tanda tersebut dalam menyampaikan ekspresi penutur, bahasa tulis
tetaplah sebuah tulisan dan tidak akan pernah dapat menyamai penggunaan bahasa
secara lisan. Di samping itu, bahwa penggunaan bahasa menjadi media utama dalam
media sosial menjadikan semua hal yang disampaikan sebisa mungkin dapat tersalur
melalui bahasa yang dipilih dan disusun, termasuk pula ekspresi sang penulis.
Mengenai penggunaan tanda asterik (*) pada media sosial ini, tentunya tidak
terlepas dari penggunaan tanda atau lambang lainnya, seperti tanda pagar (#) serta
tanda kurung buka dan kurung tutup ((...)). Kedua tanda atau lambang ini kurang
lebih memiliki fungsi dan peran yang sama dalam penulisan bahasa pada media
sosial. Akan menjadi sebuah kebaruan dan referensi keilmuan jika kemudian hal
tersebut juga dituliskan dengan cara dan analisis yang lebih terperinci dan terarah.
D. Daftar Pustaka
Arini, Azizah Dewi. 2013. “Bentuk, Makna, dan Fungsi Bahasa Tulis Media Sosial
sebagai Alat Komunikasi dan Interaksi pada Internet. Skriptorium, Vol. 2,
Nomor 1, halaman 35—49.
Faizah, Rizqi. 2015. “Penggunaan Diksi dalam Media Sosial Facebook dan
Implikasinya dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA”.
Skripsi. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Finegan, Edward, dkk. 1992. Language: Its Structure and Use. Boston: Thomson.
Seargeant, Philip dan Caroline Tagg. 2014. The Language of Social Media: Identity
and Community on the Internet. Palgrave Macmillan: England.
Watie, Errika Dwi Setya. 2011. “Komunikasi dan Media Sosial.” The Messenger,
Vol. III, Nomor 1, Edisi Juli 2011, halaman 69—75.