Anda di halaman 1dari 14

PENGGUNAAN TANDA ASTERIK (*) DALAM MEDIA SOSIAL

Rawinda Fitrotul Mualafina


Universitas PGRI Semarang
fina.rara@gmail.com

Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan penggunaan tanda asterik dalam
media sosial dengan memaparkan sejumlah fungsi dari penggunaan tanda tersebut dalam
media sosial. Metode yang digunakan adalah metode simak dengan teknik sadap libat
cakap dan sadap bebas libat cakap pada konteks penggunaan bahasa dalam media sosial
whatsapp, twitter, dan instagram. Hasil yang diperoleh kemudian adalah bahwa
penggunaan tanda asterik ini sebagai (1) kekhasan bahasa dalam media sosial, (2)
perluasan situasional, (3) penyampai humor, (4) pemisah antara ujaran utama dan
pengiring, (5) sarana penyampai kalimat sanggahan, (6) sarana „menghaluskan‟ bahasa,
(7) sarana menyembunyikan merk, dan (8) sarana perbaikan kesalahan pengetikan.

Kata kunci: asterik, media sosial, slang, Sosiolinguistik

A. Pendahuluan
Dalam pembahasan mengenai bunyi bahasa dalam Fonetik, Fromkin dan
Rodman (1998:176) menuliskan “the ability to analyze a word into its individual
sound segments does not depend on knowledge of how the word is spelled. Both not
and knot have three sounds even though the firts sound in knot is represented by the
two letters, kn”. Melalui pendapatnya tersebut keduanya menggambarkan betapa
bunyi bahasa tidaklah sama dengan sistem penulisan alfabet dalam suatu bahasa.
Dengan kata lain bahwa bunyi bahasa yang diproduksi secara lisan tidak selalu bisa
menyamai sistem alfabet yang menjadi bagian dari bahasa tulis. Secara luas pendapat
tersebut dapat kita pahami, baik secara langsung maupun tidak langsung, bahwa
bahasa lisan tidak akan mudah disamakan dengan bahasa tulis. Kedua ragam bahasa
ini memiliki bentuk dan pengacuan penggunaan yang berbeda. Pernyataan ini
diperkuat dengan hadirnya lambang fonetis sebagai bentuk realisasi bunyi secara
tuturan. Hal ini menguatkan bahwa hal yang diucapkan sering kali tidak bisa
disamakan dengan yang dituliskan.
Penggambaran tersebut agaknya sinkron dengan penggunaan emotikon yang
dewasa ini banyak sekali digunakan dalam ranah penggunaan bahasa dan komuniasi
media sosial. Pada awal kemunculannya, emotikon digunakan sebagai penghidup
bahasa tulis dalam pesan singkat yang menjadi kemudahan komunikasi jarak jauh
selain telepon. Pada penggunaan awal itu, emotikon ini hanya berupa penggunaan
sejumlah tanda baca, lambang, ataupun alfabet tertentu. Misalnya, tanda titik dua
yang diikuti dengan kurung tutup berupa :) menjadi lambang senyum atau tanda titik
dua yang diikuti huruf d kapital berupa :D menjadi lambang tertawa.
Ketika kemudian masyarakat merasa bentuk tersebut belum cukup mewakili
ekspresi secara lisan yang sebagian besar dilakukan secara tatap muka secara
langsung, diciptakanlah emotikon dalam bentuk yang lebih menarik dengan
menambahkan warna, bentuk yang lebih variatif, bahkan hadir dalam bentuk yang
dapat bergerak dan bersuara. Tujuannya hanya satu, bahwa komunikasi yang
dilakukan secara tidak langsung dalam bentuk tulisan diharapkan dapat menjadi lebih
hidup dan dapat mewakili ekspresi yang disampaikan dalam tulisan tersebut. Tulisan
yang sifatnya dua dimensi diharapkan dapat menjadi tiga dimensi, bahkan empat
dimensi, layaknya televisi dan percakapan langsung face to face.
Seiring sifat asal manusia yang tidak pernah puas, dewasa ini justru ditemukan
hal baru dalam pengungkapan ekspresi, bahwa penggunaan emotikon tadi belum juga
cukup mewakili ekspresi bahkan suasana ingin digambarkan dalam tulisan yang
disampaikan. Sebanyak apapun variasi emotikon yang dibuat dan disediakan pada
media-media sosial, ternyata masih belum cukup mewakili ekspresi yang dimiliki dan
ingin dituangkan. Penggunaan asterik atau tanda bintang (*) merupakan hal yang
kemudian menjadi kebaruan sebagai penyampai emosi dan suasana secara tertulis
pada media sosial yang melengkapi, atau bahkan sedikit menggeser, penggunaan
emotikon. Sebenarnya, tanda ini telah ada dan telah digunakan sejak lama, yaitu pada
tombol nomor telepon atau ponsel, serta sebagai penanda di awal kalimat yang tidak
gramatikal secara kebahasaan. Namun, ketika kemudian ranah penggunannya justru
bergeser ke penggunaan bahasa dalam media sosial, fungsinya pun turut bergeser,
bahkan berubah dan berkembang. Sebagaimana disampaikan oleh Holmes (1992)
bahwa setiap konteks yang berbeda menuntut bentuk penggunaan bahasa yang
berbeda pula.
Dari hasil pengamatan awal, penggunaan tanda asterik ini, salah satunya,
menjadi sarana perluasan situasional percakapan berupa ekspresi yang terjadi yang
seringkali tidak dapat diwakilkan oleh penggunaan emotikon.
Contoh tersebut merupakan gambaran penggunaan tanda asterik yang secara
khas ditemukan dalam penggunaan bahasa tulis media sosial twitter. Kalimat
berasterik tersebut dituliskan sebagai bagian untuk mengawali kalimat inti cuitan
yang disampaikan. Dalam hal ini, kalimat berasterik tadi menjadi sarana pembuka
suasana berupa penggambaran mengenai hal yang tengah dilakukan atas cuitan yang
dituliskan setelahnya. Selain itu, penulisan kalimat awalan dengan pembubuhan tanda
asterik tadi menimbulkan kesan humor yang mungkin tidak akan dapat dicapai ketika
justru emotikon yang dipilih untuk digunakan.
Dari contoh tersebut, tampak bahwa emotikon tidak lagi dipandang cukup
untuk mewakili perasaan penulis karena dirasa masih kurang memadai sebagai
penyampai ekspresi yang dimiliki dan ingin disampaikan dalam tulisannya. Hal ini
kemungkinan besar disebabkan oleh fakta bahwa tulisan, dalam hal ini berupa
penggunaan bahasa, menjadi media utama dalam ranah tulis, sebagaimana disebutkan
oleh Seargeant dan Tagg (2014:6). Ketika kemudian penggunaan bahasa menjadi
media utamanya, semua hal yang disampaikan tersalur melalui bahasa yang dipilih
dan disusun, termasuk pula ekspresi sang penulis.
Penelitian mengenai bahasa dalam media sosial sudah cukup banyak
dilakukan. Wati (2011) dalam artikel ilmiahnya yang berjudul “Komunikasi dan
Media Sosial” membicarakan secara umum kondisi komunikasi, termasuk bahasa
yang ada dalam media sosial. Ia menyebutkan bahwa komunikasi dalam media sosial
tidak terbatas dan terhalang oleh waktu, tempat, bahkan jarak. Komunikasi semacam
ini dapat dilakukan di mana pun dan kondisi apapun. Ia pun menambahkan bahwa
guna mencapai komunikasi media sosial yang baik, seorang penggunaan harus tetap
memperhatikan aturan kebahasaan secara sosial yang berlaku dalam masyarakat.
Arini (2013) secara detail membahas mengenai bentuk, makna, dan fungsi dari
bahasa tulis di media sosial. Khusus mengenai bentuknya, Arini memaparkan bahwa
tiap media sosial, twitter, misalnya, memiliki mekanisme penulisan yang berbeda
dengan media sosial lainnya. Hal ini, terutama, dipengaruhi oleh format aplikasi yang
ada pada tiap media sosial tersebut. Pada salahs atu pembahasan yang dilakukannya
pada bagian bentuk ini, ia menyebutkan penggunaan tanda pagar atau hashtag yang
secara khas digunakan pada kiriman dalam media sosial dengan tujuan tertentu.
Media sosial tersebut kemudian menjadi salah satu alat komunikasi yang
menawarkan model interkasi yang menarik dibandingkan media komunikasi tulis
lainnya.
Tulisan mengenai penggunaan bahasa dalam media sosial lainnya dituangkan
dalam bentuk skripsi oleh Utami (2010). Dalam tulisannya yang berjudul
“Karakteristik Penggunaan Bahasa pada Status Facebook”, Utami (2010)
menyebutkan sejumlah karakteristik penulisan yang khas. Satu di antaranya adalah
penggunaan emotikon yang salah satunya melibatkan penggunaan tanda asterik. Ia
menyebutkan bahwa tanda asterik dalam emotikon di antaranya berperan sebagai air
mata dalam emotikon ;*, sebagai mata dalam emotikon ^_*, dan sebagai bibir dalam
emotikon :*.
Dengan tema yang sama, Faizah (2015) pun menuliskan penggunaan bahasa
di media sosial facebook dalam bentuk skripsi. Pembahasan yang kemudian
dipaparkannya pun tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan Utami (2010). Dalam
skripsinya tersebut, Faizah memaparkan secara umum bahwa bahasa yang digunakan
dalam media sosial Facebook kurang lebih melibatkan penggunaan denotasi dan
konotasi, penggunaan diksi khusus dan umum, penggunaan slang dan jargo.

Dari sejumlah tulisan yang telah ada tersebut, penelitian secara khusus
mengenai tanda asterik dalam media massa belum dilakukan. Hal ini diharapkan
dapat menjadikan tulisan mengenai penggunaan tanda asterik tersebut sebagai
rujukan baru mengenai penggunaan bahasa dalam media sosial yang khas dan khusus
dibandingkan penggunaan bahasa pada media lainnya, khususnya media komunikasi
tulis.
B. Hasil dan Pembahasan
Sebagaimana disampaikan sebelumnya, penggunaan tanda asterik dalam
pengungkapan kalimat di media sosial mengandung fungsi tertentu. Tiap fungsi
tersebut akan dipaparkan sebagai berikut beserta tiap contoh penggunaannya.
1. Kekhasan Bahasa Media Sosial
Holmes (1992:87) menyebutkan bahwa di antara banyak kesamaan yang
dimiliki oleh bahasa secara umum, terdapat unsur unik yang membedakannya
secara khusus dengan bahasa lain. Keunikan tersebut tidak hanya ditunjukkan
oleh sebuah bahasa secara utuh, tetapi juga ditunjukkan oleh sejumlah variasi
dalam suatu bahasa. Dalam hal ini, keunikan bahasa tersebut dapat ditunjukkan
melalui penggunaan tanda asterik pada media sosial.
Telah disebutkan sebelumnya bahwa penggunaan semacam ini tidak
sembarangan dapat ditemukan dalam ranah penggunaan bahasa lainnya, terutama
penggunaan bahasa secara tulis. Pada penggunaan bahasa tulis berupa surat,
misalnya, bentuk semacam ini tidak akan pernah ditemukan. Kalau pun pada
akhirnya pengguna media komunikasi berupa pesan singkat atau sms
menggunakan hal tersebut, kemungkinan besar penggunaan itu sudah terpengaruh
oleh penggunaan pada media sosial.
Jika kemudian penggunaan bahasa melalui penggunaan tanda asterik ini
dikaitkan dengan slang, agaknya terdapat kesamaan sifat. Fromkin dan Rodman
(1998:300) menyebutkan bahwa sebagai bentuk kebaruan dalam bahasa, slang
dibentuk dari perkembangan penggunaan bahasa standar, misalnya perluasan
ranah pemakaian, termasuk pula perluasan jangkauan maknanya. Hal ini sejalan
dengan penggunaan tanda asterik pada media sosial, bahwa penggunaannya
sudah tidak lagi sama dengan penggunaan yang seharusnya. Ranah
pemakaiannya pun sudah meluas. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
tanda asterik tersebut menjadi bagian dari bahasa gaul yang khas dalam media
sosial yang secara unik digunakan dalam ranah tersebut dan tidak ditemukan
penggunaan yang sama pada ranah lain.

2. Perluasan situasional
Dalam sebuah konteks penggunaan bahasa, umumnya terdapat situasi
yang menjadi faktor penentu penggunaan suatu bahasa tertentu atas bentuk
bahasa lainnya. Disebutkan sebelumnya bahwa penggunaan emotikon masih
kurang bisa mewakili situasi yang ingin disampaikan. Kaitannya dengan
penggunaan kedua tanda tadi, konteks tersebut kemudian diperluas. Perluasan ini
dimaksudkan bahwa situasi tulis yang terbangun secara dua dimensi dibuat
layaknya tiga dimensi sehingga pembaca tidak hanya mendapatkan informasi
secara tertulis, tetapi juga mendapatkan bayangan mengenai hal yang dilakukan
oleh penulis berkaitan dengan hal yang ditulisnya dalam sebuah cuitan atau pun
pada percakapan yang tengah terjadi. Dalam arti bahwa situasi yang digambarkan
melalui bahasa tulis tersebut tidak cukup mewakili situasi yang sebenarnya yang
hendak disampaikan. Dengan demikian, penggunaan tanda asterik, seperti pada
contoh berikut ini, menjadi sarana perluasan situasional yang hendak
disampaikan pada pembaca yang, belum atau bahkan tidak dapat diwakili oleh
penggunaan emotikon.

a)
Pada konteks tersebut, penggunaan tanda asterik menjadi sarana untuk
menyatakan sesuatu hal yang dilakukan penulis sebagai tanggapan dari cuitan
seseorang padanya. Dalam hal ini, sebagaimana disebutkan sebelumnya, terdapat
perluasan situasional secara tertulis berupa kalimat *beliin aquarium. Secara
tertulis, tentu hal tersebut tidak dapat dilakukan sehingga ketika kalimat tersebut
dituliskan melalui penggunaan tanda asterik, penulis seakan tengah berbuat
sesuatu melalui tulisannya tersebut. Jadi, dapat dilatakan bahwa yang
dilakukannya pada ujaran berarterik tersebut adalah hal yang dilakukannya jika
percakapan tersebut terjadi secara tatap muka.
b)
Selanjutnya, pada data ini tampak adanya penggunaan tanda asterik di
akhir cuitannya pada media sosial twitter. Cuitan tersebut berisi informasi
mengenai suatu kejadian di suatu daerah. Penggunaan tanda asterik tersebut berisi
keterangan mengenai hal yang dilakukan penulis ketika kemudian memutuskan
membuka video yang ditautkannya itu. Penggunaan tanda asterik tersebut
menjadi penjelasan lebih jauh mengenai kondisi penulis ketika mengetikkan
cuitannya tadi.

c)
Pada contoh ini tanda asteris berfungsi sebagai sarana untuk
menyampaikan hal yang dilakukan bersamaan/setelah menyatakan cuitan
sebelumnya (cuitan di bawahnya). Ketika menilik kembali penggunaan emotikon,
tentunya emotikon dengan maksud semacam ini tidak atau belum ditemukan.
Berdasarkan ketiga contoh tersebut, secara langsung ataupun tidak, dapat
dikatakan bahwa tanda asterik menjadi penampung ekspresi tambahan di luar
kalimat utama yang disampaikan.

3. Sarana penyampai humor


Jika sebelumnya disebutkan bahwa penggunaan asterik ini memiliki
kesamaan sifat dengaan slang pada ranah media sosial, Finegan, dkk., (1992:394)
menyatakan bahwa pelanggaran bahasa menjadi sebuah slang salah satunya
ditujukan untuk kepentingan humor. Berkaitan dengan hal tersebut, Lynch (2002)
menyatakan bahwa humor memiliki peran penting dalam keberlangsungan
komunikasi sosial. Dengan kata lain bahwa dalam sebuah komunikasi, humor
tidak hanya diujarkan layaknya selayang pandang yang ditambahkan begitu saja.
Akan tetapi, humor tersebut justru menjadi hal yang membuat komunikasi yang
terjadi dapat berlangsung dengan lebih mulus dan terhindar dari ketegangan.
Sejalan dengan hal tersebut, sebagai salah satu bagian dari bahasa dan
penggunaan bahasa secara sosial, fungsi ketiga dari penggunaan tanda asterik
dalam media sosial adalah sebagai sarana penyampai humor dalam situasi tutur
yang tengah terjadi. Bentuk penggunaan semacam ini sering kali ditemukan
dalam sebuah kalimat berasterik yang sengaja ditambahkan dalam sebuah kalimat
dengan strategi yang khas, yaitu melalui pembubuhan kalimat hiperbolis setelah
tanda asterik digunakan.

a)

b)

Kedua data tersebut menunjukkan penggunaan tanda asterik untuk


menyertai kalimat hiperbolis yang menimbulkan kesan lucu pada percakapan
yang tengah terjadi. Kesan lucu yang muncul pada kedua data tersebut, terutama,
disebabkan oleh ketidakmungkinan hal-hal tersebut terjadi: tepuk tangan sembari
koprol dan tertawa sampai planet mars.
Sarana lain untuk menyampaikan humor adalah melalui penggunaan
kalimat situasional berupa suatu hal yang digambarkan tengah dilakukan
mengiringi kalimat yang disampaikan. Salah satu contoh data yang ditemukan
dengan model penyampaian semacam ini tampak pada data berikut ini, yaitu pada
bagian *celingak celinguk cek situasi. Kalimat tersebut dituliskan sebagai bentuk
awalan dari kalimat yang selanjutnya dituliskan sebagai cuitannya. Kehadirannya
tidak sekadar menjadi pembuka kalimat, tetapi secara tidak langsung menjadikan
suasana yang terbangun menjadi lebih hidup karena adanya kesan humor di
dalamnya. Kesan yang muncul akan sedikit berbeda ketika kemudian bagian
cuitan pertama itu justru tidak dituliskan.

c)

4. Pemisah antara ujaran utama dan pengiring


Selain ketiga fungsi sebelumnya, tanda asterik dalam media sosial juga
digunakan sebagai pemisah antara ujaran utama dan pengiring. Bagian pengiring
ini disampaikan sebagai tambahan yang umumnya ditulis setelah ujaran utama
selesai. Dalam hal ini, bagian pengiring tersebut dapat berupa ekspresi yang
disampaikan sebagai pelengkap ujaran utamanya.

a) b)
Pada kedua data tersebut, tanda asterik menjadi pemisah antara bagian
utama dari ujaran yang disampaikan dan bagian pengiringnya. Pada data (a),
bagian tambahan berupa ekspresi berupa tindakan yang dilakukan atas ujaran
yang disampaikan. Adapun pada data (b), bagian tambahan yang disampaikan
berupa sanggahan dari penyampaian kalimat sebelumnya. Secara umum
kemudian ditemukan bahwa tanda asterik ini berfungsi layaknya batas sehingga
pembaca dapat membedakan antara kalimat yang menjadi bagian ujaran yang
hendak disampaikan dan bagian yang memang berstatus sebagai tambahan pada
ujaran tersebut, sebagaimana contoh berikut ini:

c)

5. Sarana penyampai kalimat sanggahan


Sebagaimana disampaikan sebelumnya, tanda asterik digunakan untuk
sarana perluasan situasional yang terjadi dalam sebuah percakapan. Sebagaimana
disampaikan pula bahwa tanda asterik ini menjadi pemisah antara ujaran utama
dan ujaran pengiring. Kedua sarana tersebut kemudian secara khusus merujuk
pada maksud yang diusung oleh kalimat di belakang tanda asterik yang
digunakan, yaitu berupa kalimat sanggahan. Dalam hal ini, tanda asterik menjadi
sarana penyampaian kalimat sanggahan dari kalimat utama yang telah
disampaikan sebelumnya. Kalimat sanggahan ini sebagian besar merupakan
kalimat kontradiktif dari ujaran sebelumnya. Penyampaian kalimat sanggahan
melalui penggunaan tanda asterik ini umumnya untuk menghindarkan suasana
percakapan yang terkesan serius sehingga menjadi lebih akrab dan tidak kaku.
Contoh:

a)

b)
c)

6. Sarana ‘menghaluskan’ bahasa


Sebagai bagian dari masyarakat, bahasa tidak hanya dituntut untuk
digunakan berdasarkan peraturan kaidah tata bahasa yang baku, tetapi juga
berdasarkan peraturan sosial, yang salah satunya, berupa norma. Norma inilah
yang kemudian memberikan label bahasa yang sopan dan tidak sopan, bahasa
yang halus dan kasar, atau bahkan bahasa yang patut dan tidak patut untuk
digunakan. Sebagai salah satu ranah penggunaan bahasa, media sosial pun tidak
jarang menjadi tempat penggunanya untuk mengekspresikan perasaannya, yang
salah satunya, terungkap melalui kata-kata yang secara sosial dianggap kurang
berterima atau kasar.
Berkaitan dengan hal ini, tanda asterik digunakan untuk „menyelamatkan‟
penulis dari tudingan „tidak sopan‟. Dapat dikatakan bahwa penggunaan tanda
asterik tersebut menjadi sarana untuk meluluhkan ketidaksopanan pada
penggunaan suatu unsur bahasa tertentu sehingga yang awalnya tidak berterima
secara norma, seakan menjadi termaafkan. Dengan kata lain, tanda asterik
menjadi penolong bagi seorang penutur untuk berkata tidak sopan dalam sebuah
konteks penggunaan bahasa di media sosial. Penggunaan semacam ini terutama
ditemukan pada kiriman media sosial yang mengandung hal-hal kontroversial,
misalnya perilaku remaja yang tidak sopan. Bentuk penggunaan tanda asterik
dengan tujuan ini umumnya dilakukan dengan menyisipkannya di tengah
penulisan kata, menggantikan salah satu huruf yang tersusun, sebagaimana
tampak pada data dari media sosial instagram berikut ini:

a)
b)
Pada kedua contoh tersebut, ditemukan penggunaan tanda asterik dalam
bentuk komentar dari sebuah kiriman di media sosial instagram. Sebagaimana
disebutkan, tanda asterik pada komentar tersebut disisipkan pada kata bangsat
yang secara sosial termasuk dalam kata kasar dan tidak pantas diucapkan secara
bebas. Dengan menyisipkan tanda asterik di tengah kata, menggantikan huruf a,
kadar ketidaksantunan pada kata tersebut menjadi berkurang, bahkan tidak lagi
terasa. Secara tidak langsung, penggunaan asterik ini menjadi semacam
eufemisme bahasa dalam konteks media sosial tersebut.

7. Sarana menyembunyikan merk


Merk suatu barang sering kali menuntut adanya royalti saat disebutkan
atau bahkan saat digunakan untuk kepentingan tertentu. Ketika kemudian
digunakan dalam suatu konteks penggunaan bahasa, kemunculannya tidak boleh
sembarangan disebutkan. Hal ini pun tampak pada penggunaan tanda asterik
dalam media sosial. Pada data yang ditemukan, terdapat penggunaan tanda
tersebut sebagai peranti untuk menyembuyikan merk suatu barang tertentu.

Penggunaan tanda asterik pada data tersebut tampak disisipkan pada


sebuah kata, sama dengan yang digunakan pada poin sebelumnya. Jika pada poin
sebelumnya penyisipan tanda asterik ini dilakukan untuk menjadikan bahasa yang
dianggap kasar atau tidak sopan menjadi bahasa yang berterima dan tidak lagi
melanggar norma, pada poin ini penyisipan tanda asterik dilakukan agar
penyebutan merk yang cenderung bersifat tidak bebas, dapat menjadi termaafkan.
Dalam hal ini, merk yang dimaksud adalah Sedap yang merupakan merk salah
satu mi instan. Penyembunyian merk tersebut dimaksudkan agar komentar yang
mengirigi penyebutan merk tadi tidak tampak mengancam merk yang dimaksud.
8. Sarana perbaikan kesalahan pengetikan
Media sosial yang sebagian besar digunakan melalui ponsel pintar
mengharuskan kinerja jemari yang benar-benar baik, terutama ibu jari. Kondisi
tersebut didukung dengan model tuts huruf qwerty yang sering kali memudahkan,
tetapi juga kadang kala menyebabkan kesalahan ketik pada kata yang hendak
dikirimkan. Fakta ini kemudian memunculkan inisiatif penggunaan suatu tanda
sebagai sarana penyampai kesalahan yang telah terlanjur terkirim, yaitu melalui
penggunaan tanda asterik.
Dalam data yang terkumpul, ditemukan penggunaan tanda asterik
semacam ini, yaitu dalam percakapan di media sosial whatsapp. Sebagaimana
tampak pada data berikut ini, perbaikan melalui tanda asterik dimaksudkan
sebagai koreksi dari kiriman sebelumnya yang tidak sesuai dengan kata yang
diinginkan:

a) b)

C. Simpulan
Sebagai bagian dari media penggunaan bahasa, media sosial menunjukkan
penggunaan bahasanya yang khas dibandingkan media penggunaan bahasa lainnya.
Dalam hal ini, tanda asterik sebagai salah satu lambang yang mendampingi
penggunaan bahasa menjadi kekhasan yang dimaksud. Penggunaannya mewakili
sejumlah sarana yang mewakili maksud tertentu, terutama dalam media sosial twitter,
whasapp, dan instagram. Pada ketiga media sosial tersebut, tampak bahwa tanda
asterik menjadi sarana penyampai eksrepsi yang ingin disampaikan. Sebagian besar
ekspresi itu kemudian diketahui tidak dapat sekadar diwakili oleh penggunaan
emotikon. Dengan kata lain, sebagaimana telah disebutkan, emotikon belum bisa
cukup mewakili ekspresi yang disampaikan secara tertulis. Hal ini kembali
menegaskan bahwa seefektif apapun emotikon yang diciptakan, emotikon itu belum
bisa menggantikan ekspresi yang tersampaikan secara lisan.
Sama halnya dengan penggunaan tanda asterik bahwa seefektif mungkin
penggunaan tanda tersebut dalam menyampaikan ekspresi penutur, bahasa tulis
tetaplah sebuah tulisan dan tidak akan pernah dapat menyamai penggunaan bahasa
secara lisan. Di samping itu, bahwa penggunaan bahasa menjadi media utama dalam
media sosial menjadikan semua hal yang disampaikan sebisa mungkin dapat tersalur
melalui bahasa yang dipilih dan disusun, termasuk pula ekspresi sang penulis.
Mengenai penggunaan tanda asterik (*) pada media sosial ini, tentunya tidak
terlepas dari penggunaan tanda atau lambang lainnya, seperti tanda pagar (#) serta
tanda kurung buka dan kurung tutup ((...)). Kedua tanda atau lambang ini kurang
lebih memiliki fungsi dan peran yang sama dalam penulisan bahasa pada media
sosial. Akan menjadi sebuah kebaruan dan referensi keilmuan jika kemudian hal
tersebut juga dituliskan dengan cara dan analisis yang lebih terperinci dan terarah.

D. Daftar Pustaka
Arini, Azizah Dewi. 2013. “Bentuk, Makna, dan Fungsi Bahasa Tulis Media Sosial
sebagai Alat Komunikasi dan Interaksi pada Internet. Skriptorium, Vol. 2,
Nomor 1, halaman 35—49.

Faizah, Rizqi. 2015. “Penggunaan Diksi dalam Media Sosial Facebook dan
Implikasinya dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA”.
Skripsi. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Finegan, Edward, dkk. 1992. Language: Its Structure and Use. Boston: Thomson.

Fromkin, Victoria dan Robert Rodman. 1992. An Introduction to Language. Boston:


Thomson.

Holmes, Janet. 1992. An Introduction to Sociolinguistics. London and New York:


Routledge.

Lynch, O.H. 2002. “Humorous Communication: Finding a Place for Humor in


Communication Research.” Communication Theory, 4 (2), 432—445.

Seargeant, Philip dan Caroline Tagg. 2014. The Language of Social Media: Identity
and Community on the Internet. Palgrave Macmillan: England.

Utami, Djuwita. 2010. “Karakteristik Penggunaan Bahasa pada Status Facebook”.


Skirpsi. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Watie, Errika Dwi Setya. 2011. “Komunikasi dan Media Sosial.” The Messenger,
Vol. III, Nomor 1, Edisi Juli 2011, halaman 69—75.

Anda mungkin juga menyukai