Anda di halaman 1dari 5

Iklima Rahma Saraswati

KP-2C/08
Manajemen Risiko

Bank Muamalat, Bank Syariah Pertama Indonesia Nasibnya di


Ujung Tanduk

Awal perjalanan bisnis Bank Muamalat dimulai saat Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) saat
itu Hasan Basri dalam Musyawarah Nasional MUI IV pada bulan Agustus 1990. Membentuk
kelompok kerja pembentukan Bank Islam di Indonesia.

Kelompok kerja ini bertugas melakukan pendekatan dan konsultasi kepada berbagai pihak yang
berwenang. Bersama Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang saat itu di Pimpin oleh
B.J.Habibie melakukan lobi kepada penguasa Orde Baru, Soeharto.

Setelah lobi dilakukan akhirnya Soeharto mengijinkan pendirian Bank Syariah pertama di
Indonesia yang kemudian dinamakan Bank Muamalat.

Akte Pendirian PT. Bank Muamalat tertanggal 1 November 1991, dengan Modal Dasar sebesar
Rp. 106.126.382.000.

Namun demikian Bank Muamalat baru resmi beroperasi pada tanggal 1 Mei 1992. Tapi
keberadaan bank syariah saat itu masih belum mendapat atensi dari masyarakat.

Antusiasme masyarakat terhadap bank syariah masih rendah sekali saat itu, perkembangannya
agak lambat. Tetapi dengan usaha keras manajemen dan BJ Habibie sebagai founder Bank
Muamalat akhirnya masyarakat mulai bisa menerima keberadaannya.

Pada tahun 1994 Bank Muamalat resmi menjadi Bank Devisa yang berarti bisa bertransaksi
dengan menggunakan valuta asing. Saat itu tak semua Bank memiliki hak bertransaksi
menggunakan mata uang asing, harus ada syarat yang dipenuhi sebelum Bank Indonesia
mengeluarkan surat penunjukan sebagai bank devisa.

Selanjutnya Bank Muamalat terus melakukan inovasi produk-produk keuangan Syariah. Mereka
kemudian mendirikan Asuransi Takaful, Dana Pensiun Lembaga Keuangan(DPLK) Muamalat,
dan Multifinance Syariah dengan nama Al Ijarah.

Bahkan pada tahun 2003 Bank Muamalat terdaftar sebagai perusahaan publik yang tak listing di
Bursa Efek Indonesia melalui mekanisme penawaran umum terbatas dengan Hak Memesan Efek
Terlebih Dahulu dengan rasio 1 berbanding 5 agar kepemilikan saham lama tak terdilusi.
Setelah itu beberapa kali Bank Muamalat mengeluarkan obligasi syariah atau biasa disebut
Sukuk untuk membiayai ekspansinya. Perkembangan Bank Muamalat terus membaik seiring
pengetahuan masyarakat terhadap keuangan syariah yang terus bertambah.

Sampai saat ini Bank Muamalat memiliki 325 kantor layanan termasuk 1 cabang di Malaysia.
Operasional Bank juga didukung oleh jaringan layanan yang luas berupa 710 unit ATM
Muamalat, 120.000 jaringan ATM Bersama dan ATM Prima, serta lebih dari 11.000 jaringan
ATM di Malaysia melalui Malaysia Electronic Payment (MEPS).

Sayangnya, cerita indah perkembangan industri keuangan syariah di Indonesia dalam 5 tahun
terakhir mulai mengalami pelambatan. Sejatinya bank syariah sudah mulai mengalami
pelambatan sejak 4 tahun lalu, terus bereskalasi tiap tahunnya yang diakibatkan oleh 2 hal yakni
kualitas aset yang rendah dan keterbatasan permodalan.

Pertama, Kualitas aset yang rendah terbukti dengan tingginya Non Performing Finance (NPF),
tak hanya Bank Muamalat sebenarnya yang bermasalah, Bank BJB Syariah, Bank Panin Dubai
Syariah, Bank BRI Syariah, dan Bank Syariah Bukopin mengalami hal yang sama mereka harus
berjuang keras untuk menyelamatkan kualitas aset yang rendah ini.

Lantas darimana timbulnya tingginya pembiayaan bermasalah ini? Bank syariah kebanyakan
menyalurkan pembiayaannya pada sektor riil, padahal dalam beberapa tahun belakangan sektor
riil ini sedang berada dalam siklus perekonomian yang menurun.

Kondisi inilah kemudian memicu kualitas aset jadi rendah dan NPF menjadi tinggi. Selain itu
faktor internal berupa kualitas sumber daya yang rendah dan kualitas nasabah yang ada pun
menyumbang permasalahan ini.

Berdasarkan data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kondisi NPF perbankan syariah jauh lebih
tinggi dibanding perbankan konvensional.

NPF pada akhir Maret 2019 berada diposisi 3,44%, sementara kredit bermasalah perbankan
konvensional (NPL) berada pada level 2,5%. Pada periode sebelumnya, pembiayaan bermasalah
perbankan syariah lebih besar lagi. Contohnya pada akhir 2017 yang mencapai 4,76% ataupun
2016 yang mencapai 4,42%.

Permasalahan kedua selain NPF yang tinggi, adalah masalah keterbatasan permodalan. Menurut
data dari OJK tahun buku 2018, kondisi permodalan 13 bank umum syariah saat ini, yang
tertinggi dimiliki oleh Bank Syariah Mandiri dengan jumlah modal mencapai Rp. 30 Triliun.

Sedangkan 7 bank lain seperti BTPN Syariah, BNI Syariah, BRI Syariah, BCA Syariah, Mega
Syariah, Aceh Syariah dan Bank Muamalat memiliki permodalan antara Rp. 1 triliun sampai
dengan Rp. 5 triliun.
Dengan kondisi seperti ini, pengelolaan likuiditas yang propered menjadi sangat penting.
Masalahnya likuiditas untuk kondisi perekonomian global saat ini menjadi sangat penting bagi
perbankan syariah dalam menjalankan bisnisnya.

Likuiditas itu diperlukan untuk kebutuhan mendesak, memenuhi kebutuhan nasabah dalam
pembiayaan dan memiliki flexibilitas untuk berinvestasi disektor yang menguntungkan.

Nah, hal yang terjadi pada industri perbankan syariah, juga terjadi pada Bank Muamalat. Dalam
skala yang lebih dalam, inilah yang menyebabkan Bank Muamalat jauh lebih menderita
dibanding bank syariah yang lain.

Ditambah model bisnisnya yang salah, Bank Muamalat lebih banyak berkonsentrasi pada
pembiayaan Korporasi, di banding retail dan konsumsi.

Sektor perkebunan kelapa sawit dan Pertambangan batubara menjadi konsentrasi pembiayaan
Bank Muamalat, padahal kondisi keduanya sedang dalam siklus menurun harga komoditas
cenderung menurun ditengah permintaan pasar yang terus melemah, karena situasi
perekonomian global memang sedang tidak menentu.

Akibatnya NPF Bank Muamalat naik melebihi ambang batas yang ditetapkan regulator. Menurut
laporan keuangan Bank Muamalat pada semester pertama tahun 2019 ini.

NPF Bank Muamalat ada di level 5,41 persen, 0,41 persen diatas ambang batas BI yang 5 persen.
Melonjak 1,68 persen dari tahun 2018 yang hanya 3,6 persen.

Capital Adequacy Rationya (CAR) ada di level 11,94 persen , nyaris menyentuh ambang batas
standar kecukupan modal dalam konvensi BASEL III sebesar 12 persen.

Dan ini dianggap tak cukup oleh BI selaku regulator untuk menggerakan bisnis dengan flexible
dalam situasi perekonomian saat ini

Angka-angka tersebut menerangkan bahwa jika ingin diklasifikasikan menjadi bank yang sehat,
Bank Muamalat harus menambah modal dan memperbaiki kualitas aset.

Permasalahannya pemegang saham lama tak diperbolehkan menambah modal karena sudah
melewati ambang batas penambahan modal.

Untuk itu diperlukan mitra strategis untuk menambahkan modal Bank Muamalat melalui
penerbitan saham baru dengan mekanisme HMETD (Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu).

Sudah tiga kali proposal ini diajukan oleh tiga investor berbeda, tahun 2017 akhir PT. Minna
Padi Investama Tbk sempat menyatakan kesediaannya untuk menyetor Rp. 4,5 triliun, bahkan
Rp. 1,7 triliun sudah ditempatkan dalam escrow account untuk menambah modal Bank, namun
akhirnya gagal karena proposalnya ditolak OJK
Kemudian Lynx Asia sempat mau masuk dengan skema tukar guling saham asset atau asset
swap, namun kembali proposal bisnisnya ditolak OJK

Terakhir pada awal 2019 lalu, Al Falah sebuah konsorsium yang dipimpin oleh Ilham Habibie
putra tertua dari sang Pendiri Bank Muamalat, BJ Habibie.

Mekanisme yang dipakai kali ini ialah Al Falah akan menjadi pembeli siaga Right Issue yang
akan dilakukan oleh Bank Muamalat dengan Nilai Rp.2 triliun atau setara dengan 50,1 persen
dari nilai keseluruhan saham Bank Muamalat.

Namun hingga kini right isuue itu belum kunjung dilakukan, rencana bulan Juli lalu batal
dilakukan karena Muamalat harus melakukan audit keuangan kembali.

Setelah sebelumnya sebagai dasar perhitungan right issue memakai hasil audit tahun 2018, dan
hal itu dianggap kadaluwarsa, karena audit yang valid paling tidak 6 bulan sebelum aksi
korporasi, seperti right issue itu dilaksanakan.

OJK berkali-kali harus membatalkan investor yang mau masuk karena proposal bisnisnya
dianggap tak sustainable bagi Muamalat dalam jangka menengah dan panjang.

Tak hanya suntikan dana yang dibutuhkan namun keseriusan dalam pengelolaan kedepannya
juga sangat dibutuhkan. Jika tidak suntikan dana tersebut hanya serupa dengan numpang lewat
saja.

Rencana terbaru right issue berupa penerbitan saham baru senilai Rp.2,2 triliun akan
dilaksanakan tanggal 16 Desember 2019 bulan depan, dengan tetap melibatkan Al Falah sebagai
pembeli siaga.

Ilham Habibie sudah menyatakan kesiapannya, kini OJK masih terus melakukan assesment
terkait proposal dari Al Falah ini.

"Bukan soal uang, uang udah ada nih di depan mata"ujar Ilham, akhir Oktober 2019 lalu, seperti
yang dikutip dari Katadata.co.id.

Nah apakah kemudian aksi kali ini akan berkahir indah? kita liat bulan depan. Jika tidak kondisi
Muamalat akan semakin memburuk bak telur di ujung tanduk.

Muamalat tak hanya butuh suntikan dana segar namun perlu perubahan total konsep bisnis,
strategi hingga perbaikan sumber daya manusia.

Sumber:
https://www.kompasiana.com/fery87654/5dd0d6ad097f363462364642/bank-muamalat-bank-
syariah-pertama-indonesia-nasibnya-di-ujung-tanduk?page=all
Tanggapan dan Solusi Permasalahan Bank Muamalat.

Seperti yang telah kita ketahui bahwa Bank Muamalat merupakan Bank syariah yang
tertua di Indonesia sedang diterpa beredar isu kekurangan modal dan ingin mencari investor
baru. Berdasarkan beberapa artikel yang saya baca dan beredar di internet, menurut pendapat
saya bahwa permasalahan Bank Muamalat timbul karena kesalahan dalam menjalankan strategi
bisnis perusahaan. Bank Muamalat dinilai terlalu focus pada pembiayaan untuk korporasi
dibanding retail dan konsumsi. Padahal Bank Muamalat kebanyakan menyalurkan
pembiayaannya pada sektor riil, dalam beberapa tahun belakangan sektor riil ini sedang berada
dalam siklus perekonomian yang menurun. Hal tersebut mengakibatkan pembiayaan bermasalah
(Non Performing Financing/NPF) meningkat tajam. Tak hanya dari factor NPF yang meningkat
tajam, namun permalahan anjloknya laba yang diperoleh Bank Muamalat juga menggerus
permodalan, hingga beban operasional yang tinggi menjadi factor penyebab Bank Muamalat
membutuhkan perhatian khusus bagi OJK. OJK sedang berupaya untuk membantu Bank Muamalat
bangkit dari keterpurukannya.

Penyelesaian atau solusi dari pemasalan yang dialami Bank Muamalat yaitu yang
pertama dengan pencarian suntikan dana. Banyak investor baik dari dalam negeri maupun luar
negeri yang berminat investasi dengan tujuan untuk penguatan modal bagi Bank Muamalat,
dengan kemungkinan terburuk suntikan dana hanya akan mampu memperpanjang nafas Bank
Muamalat sembari menggerogoti modal suntikan modal itu sendiri.
Selain itu, Bank Muamalat harus mengubah strategi bisnis Bank dan mulai berkonsentrasi
pada pembiayaan ritel dan konsumsi. Alih-alih untuk menggelondorkan pembiayaan ke sector
minyak sawit mentah dan sector pertambangan.
Berkaca pada laporan keuangan tahun terakhir dengan kinerja keuangan saat ini,
dikhawatirkan bahwa suntikan modal tidak mampu membalikkan kondisi Bank Muamalat seperti
sedia kala. Penyelesaian yang kedua yaitu Bank Muamalat merger dengan Bank BUMN.
Diharapkan dapat memberikan gambaran yang komprehensif dari masalah-masalah yang dialami.

Anda mungkin juga menyukai