Anda di halaman 1dari 8

TEMPO.

CO, Bogor - Direktur Perbankan Syariah Otoritas Jasa Keuangan Dhani Gunawan Idhat
mengatakan, terdapat tujuh masalah yang menjadi tantangan dan perlu diatasi oleh perbankan syariah
agar dapat maju dan berkembang.

"Ada tujuh isu strategis yang perlu jadi perhatian," ujarnya di Hotel Rancamaya, Bogor, pada Sabtu 21
November 2015.

Pertama, dia menjelaskan, dimulai dari masih kurangnya sinergi antara OJK dan pemerintah dalam
membangun industri keuangan syariah. Dhani pum membandingkan industri keuangan syariah di
Indonesia dengan Malaysia yang sudah lebih maju. Pemerintah Malaysia memberi dukungan dengan
bentuk insentif pajak, tax holiday, riset, dan pengelolaan anggaran belanja negara.

Kedua, yaitu permasalahan modall perbankan syariah. Pada blueprint perbankan syariah setiap
tahunnya menurut Dhani selalu memuat misi bank syariah harus mampu mandiri hingga mampu
memisahkan diri dari induknya. Tetapi hal tersebut belum dapat dilakukan karena kapasitas yang masih
terbatas. "Karena hukumnya kan modal kecil jangan harap jadi pemain besar," katanya.

Dari total 12 bank syariah saat ini, 6 bank masih berada di kategori BUKU 1 atau permodalan kurang dari
Rp 1 triliun, dan 6 bank lain berada di kategori BUKU 2 atau permodalan antara Rp 1-5 triliun.

Dhani mengatakan, permasalahan yang ketiga adalah biaya dana perbankan syariah yang mahal. "Semua
perbankan syariah alami ini, karena kalau biaya yang diperoleh mahal, jualnya juga nanti mahal,"
ucapnya.

Hal ini, menurut dia, menjadi penyebab masyarakat mengeluh perbankan syariah lebih mahal
dibandingkan bank umum konvensional. Kondisi saat ini, bank syariah banyak bergantung dari deposito
masyarakat yaitu sebesar 60 persen, lalu 40 persen sisanya merupakan tabungan, berkebalikan dari
bank umum. "Karena kalau deposito kan bukan dana murah ya pasti mintanya bunga tinggi, jadi struktur
dananya tidak kompetitif," ujar Dhani.

Kemudian permasalahan keempat adalah produk bank syariah yang tidak variatif dan belum dapat
diakses masyarakat. Akses pendanaan bank syariah masih kurang pada sektor-sektor tertentu,
khususnya infrastruktur, pertanian, maritim, dan perkebunan. "Padahal ini kan sektor yang prospek, jadi
sejauh ini masih main di sektor riil saja" kata Dhani. Ia menuturkan perbankan syariah Indonesia saat ini
baru memiliki 17 produk, sedangkan Malaysia sudah mencapai 45 produk.

Permasalahan kelima adalah terkait dengan kualitas sumber daya manusia di perbankan syariah yang
kurang memadai. "Hanya sedikit SDM berkualitas yang mau bergabung, kebanyaknya di konvesnional,
jadi ada gap of human resources," ujar Dhani.

Kemudian permasalahan keenam adalah terkait dengan pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang
perbankan syariah yang masih kurang. "Edukasi terus dilakukan, tapi kan generasi baru terus muncul,
jadi ini proses yang tidak akan selesai," katanya. Dhani mengatakan selama 10 tahun terakhir sosialisasi
dan edukasi terus dilakukan, sehingga masyarakat yang tadinya tidak memiliki minat terhadap
perbankan syariah mulai tertarik.

Adapun permasalahan yang terakhir, menurut Dhani, adalah terkait dengan pengaturan dan
pengawasan perbankan syariah oleh OJK yang masih harus ditingkatkan. "Pengaturan dan pengawasan
ini penting untuk meningkatkan daya saing dan untuk mencapai good corporate governance," kata
Dhani lagi.

JAKARTA, KOMPAS.com - Masalah permodalan yang dihadapi Bank Muamalat belakangan ini ikut
manarik perhatian Komisi XI DPR RI.

Hingga akhir Desember 2017, rasio kecukupan modal Muamalat--yang saat ini masuk kategori BUKU 3--
di level 13,62 persen. Jumlah tersebut di bawah rata-rata CAR bank syariah BUKU 3 yang berada di level
14,25 persen.

Hal ini mendorong Komisi XI DPR RI memanggil Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Manajemen Bank
Muamalat untuk menghadiri Rapat Kerja (Raker) pada Rabu (11/4/2018).

Dalam raker tersebut, Komisi XI DPR mempertanyakan masalah sebenarnya yang menimpa Bank
Muamalat kepada OJK.
"Saat ini Bank Muamalat menghadapi permasalahan pemodalan sehingga Komisi XI merasa perlu
mengundang OJK dan Bank Muamalat untuk menjelaskan kondisi tersebut," kata Wakil Ketua Komisi XI
DPR RI Hafidz Thohir.

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso pun memberikan keterangan bahwa pada dasarnya bank
syariah pertama di Indonesia tersebut berada dalam kondisi baik, tetapi membutuhkan tambahan
permodalan untuk ekspansi bisnis dan menumbuhkan perusahaannya lebih besar lagi.

"Saat ini Bank Muamalat beroperasi secara normal dengan likuiditas cukup kuat dan dana sustain
peemodalan terjaga di atas minimum threshold lima persen. Bank ini basic businessnya bagus hanya
perlu tambaham modal agar bisa berkembang lebih besar lagi," jelas Wimboh.

Permasalahan terkait permodalan itu muncul tatkala banyak nasabah besar mengalami kesulitan
cashflow imbas menurunnya harga komoditas.

Bank-bank dengan permodalan cukup besar tidak terganggu dengan kondisi tersebut. Namun, lain
halnya dengan Bank Muamalat yang kondisi permodalannya dinilai pas-pasan.

"Oleh karena itu kita minta pemegang saham pengendalinya untuk menambah modal. Nah khusus
Muamalat ini ternyata pemegang saham pengendalinya ada kendala aturan internal mereka yang tidak
boleh menempatkan modal dalam threshold dengan presentasi tertentu," terang Wimboh.

Raker Komisi XI DPR RI bersama dengan OJK dan Bank Muamalat di Ruang Rapat Komisi XI DPR, Jakarta,
Rabu (11/4/2018).
Lihat Foto

Penulis: Ridwan Aji Pitoko | Editor: Bambang Priyo Jatmiko

JAKARTA, KOMPAS.com - Masalah permodalan yang dihadapi Bank Muamalat belakangan ini ikut
manarik perhatian Komisi XI DPR RI.

Hingga akhir Desember 2017, rasio kecukupan modal Muamalat--yang saat ini masuk kategori BUKU 3--
di level 13,62 persen. Jumlah tersebut di bawah rata-rata CAR bank syariah BUKU 3 yang berada di level
14,25 persen.

Hal ini mendorong Komisi XI DPR RI memanggil Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Manajemen Bank
Muamalat untuk menghadiri Rapat Kerja (Raker) pada Rabu (11/4/2018).

Dalam raker tersebut, Komisi XI DPR mempertanyakan masalah sebenarnya yang menimpa Bank
Muamalat kepada OJK.

"Saat ini Bank Muamalat menghadapi permasalahan pemodalan sehingga Komisi XI merasa perlu
mengundang OJK dan Bank Muamalat untuk menjelaskan kondisi tersebut," kata Wakil Ketua Komisi XI
DPR RI Hafidz Thohir.

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso pun memberikan keterangan bahwa pada dasarnya bank
syariah pertama di Indonesia tersebut berada dalam kondisi baik, tetapi membutuhkan tambahan
permodalan untuk ekspansi bisnis dan menumbuhkan perusahaannya lebih besar lagi.

"Saat ini Bank Muamalat beroperasi secara normal dengan likuiditas cukup kuat dan dana sustain
peemodalan terjaga di atas minimum threshold lima persen. Bank ini basic businessnya bagus hanya
perlu tambaham modal agar bisa berkembang lebih besar lagi," jelas Wimboh.

Permasalahan terkait permodalan itu muncul tatkala banyak nasabah besar mengalami kesulitan
cashflow imbas menurunnya harga komoditas.
Bank-bank dengan permodalan cukup besar tidak terganggu dengan kondisi tersebut. Namun, lain
halnya dengan Bank Muamalat yang kondisi permodalannya dinilai pas-pasan.

"Oleh karena itu kita minta pemegang saham pengendalinya untuk menambah modal. Nah khusus
Muamalat ini ternyata pemegang saham pengendalinya ada kendala aturan internal mereka yang tidak
boleh menempatkan modal dalam threshold dengan presentasi tertentu," terang Wimboh.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana yang turut hadir mendampingi Wimboh
menambahkan bahwa Islamic Development Bank (IDB) selaku pemegang saham pengendali dengan
presentase 32,74 persen, terbatas dalam hal penyertaan modal ke Bank Muamalat.

"Penyertaan maksimumnya itu 22 persen dan itu membuat IDB enggak bisa tambah modal lagi.
Sementara pemegang saham besar lainnya juga mengalami masalah sama, sedang konsolidasi," tutur
Heru.

Sebagai informasi, bahwa selain IDB pemegang saham Bank Muamalat lainnya adalah Bank Boubyan 22
persen, Atwil Holding Limited 17,91 persen, dan National Bank of Kuwait 8,45 persen serta sisanya
dimiliki oleh perorangan baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Menarik Banyak Investor

Kendati tengah "ngos-ngosan" dalam segi permodalan, hal itu tak menyurutkan keinginan banyak
investor untuk mencoba masuk ke Bank Muamalat.

Namun, Wimboh menyampaikan bahwa selama ini belum ada langkah konkret dari para investor
tersebut untuk terlibat penuh dalam penambahan modal Bank Muamalat.

"Kalau kita lihat yang ingin masuk ke bank ini banyak. Karena bank ini basisnya dananya bagus, dana
murahnya sustain. Namun, mereka baru sebatas bicara saja. Belum ada yang mendekati langsung ke
pemegang saham pengendali," ucap dia.
Di sisi lain, Direktur Utama Bank Muamalat Achmad K Permana menjelaskan bahwa ketertarikan para
investor itu tak terlepas dari potensi besar untuk bertumbuh yang ada dalam diri Bank Muamalat.

Hal itu didukung pula dengan kinerja keuangan seperti likuiditas dan dana pihak ketiga (DPK) yang cukup
tinggi pada 2017 silam.

Berdasarkan data yang dipaparkan manajemen, dana pihak ketiga (DPK) Bank Muamalat tumbuh 16,14
persen atau jauh lebih tinggi dibanding pembiayaan yang hanya 3,19 persen pada 2017.

Terkait dengan hal itu, OJK telah meminta bagi para calon investor untuk datang ke pemegang saham
pengendali Bank Muamalat, yakni IDB.

Namun, sampai saat ini belum ada satupun investor tersebut yang datang ke IDB dan mengajukan
permohonan untuk menambah modal Bank Muamalat.

"Jadi kita minta semua investor yang tertarik datang ke pemegang saham pengendali. Lantas, kita
mensyaratkan setiap investor yang dibawa harus ada escrow. Setelah escrow ada, prosesnya adalah
karena ini bank publik harus mematuhi asas transparansi dengan mendisclose soal investor tersebut
dalam RUPS," ujar Wimboh.

Berharap pada BUMN dan Pemerintah

Belum adanya langkah konkret dari para calon investor ini kemudian membuat Permana berharap Bank
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau lembaga pemerintah bisa jadi investor Bank Muamalat.

"Sudah ada yang sounding. Itu bisa dari Bank BUMN dan bisa juga dari lembaga pemerintah," imbuhnya.
Beberapa waktu lalu PT Minna Padi Investama Sekuritas Tbk (PADI) sempat ingin mengakuisisi Bank
Muamalat. Namun, upaya tersebut harus kandas dengan beberapa alasan. Sehingga membuat
terbatasnya permodalan Bank Muamalat belum mendapatkan solusi.

Akibat kegagalan PADI tersebut, Permana mengaku pihaknya telah melakukan pembicaraan dengan
pihak bank BUMN, baik dari induk maupun pemegang sahamnya.

Menurut dia, ada dua cara yang bisa dilakukan bank BUMN untuk bisa menambah modal ke Bank
Muamalat.

"Kalau mereka bisa langsung, mekanismenya bisa lewat induknya kemudian mereka masuk langsung ke
right issue. Ini sudah dibicarakan mudah-mudahan bisa cepat direalisasikan," jelas Permana.

Sementara itu, Wimboh menyebutkan perlibatan bank BUMN untuk pemberian modal ke Bank
Muamalat bisa saja dilakukan. OJK tidak membatasi opsi-opsi yang ada untuk digunakan Bank Muamalat
agar bisa terus bertumbuh.

Namun Wimboh menegaskan harus ada pembicaraan serius antara bank BUMN dengan pemegang
saham pengendali Bank Muamalat.

"Semua opsi bisa saja terjadi, nah tapi kalau belum ada surat (dari pemegang saham pengendali) mau
ngomong apa," imbuh Wimboh.

Wimboh pun berharap masalah yang menimpa Bank Muamalat bisa rampung dalam waktu dekat, sebab
masalah bank syariah pertama di Indonesia itu hanya persoalan penambahan dan penguatan modal
saja.

Saat ini, Bank Muamalat membutuhkan tambahan modal sekitar Rp 4,5 triliun yang bakal dipakai untuk
memperbaiki non performing financial (NPF) atau rasio pembiayaan bermasalah (gross) yang masih di
level 4,4 persen, dan untuk ekspansi bisnis

Anda mungkin juga menyukai