Anda di halaman 1dari 8

Di kota Medan, Jalan Letnan Jenderal Jamin Ginting sungguh tak asing.

Jalan ini
membentang sepanjang 80 km: mulai dari Padang Bulan, Medan, sampai ke
Kabanjahe, ibukota Tanah Karo. Walaupun lebarnya tak sebesar Jalan Jenderal
Gatot Subroto di Jakarta, barangkali itulah jalan terpanjang di Indonesia.
Namanya merujuk sosok pejuang asal Karo, Djamin Gintings.

“Djamin Gintings inilah yang diakui dan dielu-elukan warga Karo sebagai
bapaknya orang Karo," tutur Derom Bangun, pengusaha sawit terkemuka yang
juga putra Karo dalam Derom Bangun: Memoar “Duta Besar” Sawit Indonesia.

Djamin Gintings merintis nama besarnya dalam balutan seragam tentara. Di


zaman revolusi, dia memanggul senjata dan ikut gerilya. Hampir separuh
hidupnya kemudian dihabiskan di dunia militer. Keprawiraan Djamin terus
menanjak sebagai panglima Bukit Barisan hingga menjadi perwira tinggi di
Markas Besar TNI AD. Dari gelanggang militer, Djamin menutup kiprahnya di
negeri orang sebagai duta besar.

“Ketika dia meninggal dunia, banyak warga Karo sedih, seakan kehilangan
ayahnya sendiri,” kenang Derom Bangun.

Komandan Gerilya
Nama lengkapnya Djamin Ginting Suka. Lahir di Desa Suka, Tanah Karo, 12
Januari 1921. Berayahkan Lantak Ginting Suka, seorang penghulu desa,
memungkinkan Djamin mengenyam pendidikan Belanda di masa kolonial. Di
kemudian hari, Djamin lebih suka menyingkat namanya: Djamin Gintings.

Djamin mengawali karier militernya di zaman pendudukan Jepang. Pada 1943,


dia mengikuti pelatihan perwira tentara sukarela, Giyugun. Beberapa rekan
seangkatannya antara lain: Ahmad Tahir, Ricardo Siahaan, dan Boyke
Nainggolan.

Baca juga: Boyke Nainggolan, Tragedi Opsir Terbaik

Sempat bertugas di Pangkalan Brandan sebagai komandan pengawal, Djamin


kemudian dipindahkan ke Blangkejeren, Aceh Tenggara. Di Blangkejeren,
Djamin menjadi komandan Kompi Istimewa Giyugun dan merupakan satu-
satunya perwira bumiputra.

“Di kota kecil inilah Djamin mendidik anak-anak muda asal Gayo untuk dijadikan
prajurit tanah air ala Jepang. Kelak kemudian banyak dari anak-anak muda itu
menjadi prajurit perjuang RI,” tulis Robert Parangin-Angin dalam Djamin
Gintings: Maha Putra Utama RI.
Selepas pendudukan Jepang, Djamin menjadi komandan batalion TKR di
Kabanjahe. Djamin terlibat di banyak palagan ketika memegang wilayah perang
di Tanah Karo, Langkat, Deli Serdang, dan Aceh Tengah selaku komandan
Resimen I  Divisi X. Di wilayah ini, kerap terjadi kontak senjata dengan pasukan
Belanda di tengah hutan dan dalam situasi mengungsi. Dalam buku hariannya,
Djamin setidaknya mencatat dua pertempuran terpenting.

Baca juga: Penyergapan Tentara Belanda di Tanah Karo

Pertempuran Titi Bambu terjadi pada 21 Agustus 1947 tatkala pasukan Kompi
Markas Resimen I yang hendak menyebrang Sungai Wampu dibantai tentara
Belanda. Pertempuran lain terjadi di Bukit Mardinding pada 28 Desember 1948.
Dalam pertempuran Mardinding, Djamin menginstruksikan pasukan dari Batalion
XV untuk menyerang basis Belanda dengan taktik gerilya. Tujuh orang
pasukannya gugur, termasuk komandan Kompi Seksi II Letnan Kadir Saragih. Di
pihak Belanda, delapan orang tewas berikut dua orang tawanan. Atas prakarsa
Djamin, untuk mengenang pertempuran berdarah itu, nama Bukit Mardinding
kemudian diganti menjadi Bukit Kadir.

Selama menjadi komandan resimen, Djamin kesohor dengan sapaan “Pak


Kores”. Artinya, Pak Komandan Resimen. “Begitu populernya panggilan ini,
sehingga kelak meski Komandan Resimen sudah diganti Komandan Brigade,
panggilan Pak Kores tetap melekat pada suamiku,” tutur istri Djamin, Likas
Tarigan kepada Hilda Unu-Senduk dalam Perempuan Tegar dari Sibolangit.

Menjadi Panglima
Pergumulan batin meliputi diri Djamin ketika gerakan PRRI menyatakan
perlawanan kepada pemerintah pusat. Saat itu, Divisi Bukit Barisan dipimpin oleh
Kolonel Maludin Simbolon sedangkan Djamin menjadi kepala stafnya. Hampir
sebagian besar perwira daerah bergolak mendukung PRRI.

Djamin Gintings, menurut Tengku Nurdin, perwira Bukit Barisan yang ketika itu
menjadi atase militer di Singapura, semula seturut dengan Simbolon. Namun di
tengah jalan, Djamin kemudian berbalik arah. Dalam biografinya, Nurdin
mengakui keterkejutannya atas perubahan sikap Djamin.

“Secara pribadi, dialah yang mengajak saya untuk mendukung PRRI. Dialah
yang terlebih dahulu memberi dukungan. Kami anak buah yang loyal tunduk
pada putusannya,” ujar Tengku Nurdin kepada penulis Izharry Agusjaya Moenzir
dalam Bara Juang Nyala di Dada.

Baca juga: Operasi Bersama Gempur Sumatera


Djamin memutar haluan terutama setelah menerima perintah dari Jakarta untuk
mengambilalih komando Bukit Barisan. Pemerintah pusat kemudian mendaulat
Djamin sebagai panglima menggantikan Simbolon yang terpaksa mengundurkan
diri ke Tapanuli, kawasan basis Batak Toba. Jabatan panglima disandangnya
sejak 27 Desember 1956 hingga 4 Januari 1961.

Mengapa Djamin bermanuver dengan memukul PRRI? Tentu ada kepentingan.


Hal ini diakui Djamin kepada Sayidiman Suryohadiprodjo. Ketika itu, Kapten
Sayidiman, komandan Batalion 309 Siliwangi, bertugas membawa pasukannya
ke Medan dan Tapanuli untuk menumpas perlawanan PRRI. Menurut
purnawirawan bintang tiga itu, Djamin mengatakan keinginannya memajukan
masyarakat Karo.

“Mungkin ia melihat peluang memajukan orang Karo karena hampir semua


panglima Bukit Barisan yang suku Toba gabung PRRI,” tutur Sayidiman
kepada Historia. “Di kalangan orang Toba, Pak Djamin kurang disukai karena
sebagai Pangdam Medan dia terus-terang mau majukan masyarakat Karo yang
ketinggalan.”

Dari Mabes ke Dubes


Djamin termasuk panglima daerah yang menonjol. Pada 1962, Menteri Panglima
AD Letnan Jenderal Ahmad Yani menariknya ke Jakarta. Djamin dipersiapkan
untuk mengisi pos asisten II bidang operasi dan latihan.

Menurut Ulf Sundhaussen dalam Politik Militer di Indonesia 1945-1967, Djamin


Gintings merupakan satu dari dua orang dekat Nasution – selain Sokowati –
yang dipilih Yani menjadi asistennya. Senada dengan Sundhaussen, Sayidiman
juga menuturkan bahwa Djamin jadi asisten II di staf Yani tapi bukan pilihan
utama Yani yang lebih berorientasi kepada perwira intelektual. Namun yang
cukup penting, Djamin adalah sosok yang loyal kepada Presiden Sukarno.

Baca juga: Moersjid, Jenderal Pemarah yang Disegani Sukarno

“Ia orang yang terus terang dan baik hati. Dua sifat ini kompensasi efektif untuk
kekurangan intelek,” kata Sayidiman. “Tapi Djamin loyal kepada Sukarno. Dan
karena kurang intelek, kurang tegas tolak Nasakom.”

Karier Djamin mulai meredup memasuki era Orde Baru dalam kepemimpinan
Soeharto. Sebagaimana diungkapkan Sayidiman, di zaman Soeharto, Djamin
Ginting kurang disukai. Djamin bukan orang yang mudah turut dalam grup
Soeharto. Sebab itu, posisinya di Staf Umum AD digantikan oleh Soemitro.
Setelah itu, Djamin sempat bergiat di bidang politik dalam Golongan Karya dan
sebagai anggota DPR.

Pada 1972, pemerintah mengirimkan Djamin ke Kanada sebagai Duta Besar


Berkuasa Penuh Indonesia dengan pangkat letnan jenderal. Istri Djamin, Likas
Tarigan, menggambarkan penugasan di Kanada sebagai masa kelabu dalam
hidup suaminya. Sebagai tentara, Djamin agak tak ikhlas menerima tugas
sebagai duta besar dan berharap kembali ke Indonesia. Namun di situlah ujung
pengabdiannya.  

Tak lama di Kanada, pada 23 Oktober 1974, Djamin Gintings tutup usia dalam
usia 53 tahun. Harian Kompas, 24 Oktober 1974 memberitakan Djamin
meninggal pada hari Rabu sore pukul 15.30 waktu Kanada setelah menderita
penyakit darah tinggi. Dari Ottawa jasad Djamin diberangkatkan ke Jakarta untuk
kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Pada 2014,
Presiden Joko Widodo mengangugerahi gelar Pahlawan Nasional kepadanya.     

Buka menu utama








Djamin Ginting
 Baca dalam bahasa lain
 Unduh
 Pantau
 Sunting
Ini adalah nama Batak Karo, marganya adalah Ginting

Letjen TNI (Purn) Djamin Ginting (lahir di Suka, Tigapanah, Karo, Sumatra Utara, 12


Januari 1921 – meninggal di Ottawa, Kanada, 23 Oktober 1974 pada umur 53 tahun), adalah
seorang tokoh pejuang kemerdekaan menentang pemerintahan Hindia Belanda di Tanah Karo.
Dia diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 7
November 2014[1].
Djamin Ginting
Informasi pribadi

Lahir 12 Januari 1921


 Suka, Tigapanah,
Karo, Sumatra Utara

Meninggal dunia 23 Oktober 1974 (umur 53)


 Ottawa, Kanada

Partai politik Golkar Partai Golongan Karya

Pasangan Likas Tarigan

Anak  Riemenda J. Gintings


(Almh.)
 Riahna J. Gintings
 Sertamin J. Gintings
 Serianna J. Gintings
 Enderia Pengarapen J.
Gintings (Alm.)
Penghargaan sipil Pahlawan Nasional Indonesia

Dinas militer

Pihak   Kekaisaran
Jepang (1943—1945)
  Indonesia (1945
—1968)

Dinas/cabang
 TNI Angkatan Darat

Masa dinas 1943—1968

Pangkat

 Letnan Jenderal TNI

Pertempuran/peran Revolusi Nasional Indonesia


g

Daftar isi
Kehidupan awalSunting
Djamin Ginting dilahirkan di desa Suka, kecamatan Tiga Panah, Kabupaten Karo. Setelah
menamatkan pendidikan sekolah menengah dia bergabung dengan satuan militer yang
diorganisir oleh opsir-opsir Jepang. Pemerintah Jepang membangun kesatuan tentara yang terdiri
dari anak-anak muda di Taneh Karo guna menambah pasukan Jepang untuk mempertahankan
kekuasaan mereka di benua Asia. Djamin Ginting muncul sebagai seorang komandan pada
pasukan bentukan Jepang itu.
Karier kemiliteranSunting
Memimpin pasukan setelah kekalahan JepangSunting
Rencana Jepang untuk memanfaatkan putra-putra Karo memperkuat pasukan Jepang kandas
setelah Jepang menyerah kepada sekutu pada Perang Dunia II. Jepang menelantarkan daerah
kekuasaan mereka di Asia dan kembali pulang ke Jepang. Sebagai seorang komandan, Djamin
Ginting bergerak cepat untuk mengkonsolidasi pasukannya. Dia bercita cita untuk membangun
satuan tentara di Sumatra Utara. Dia menyakinkan anggotanya untuk tidak kembali pulang ke
desa masing masing. Ia memohon kesediaan mereka untuk membela dan melindungi rakyat Karo
dari setiap kekuatan yang hendak menguasai daerah Sumatra Utara. Situasi politik ketika itu
tidak menentu. Pasukan Belanda dan Inggris masih berkeinginan untuk menguasai
daerah Sumatra.
Pionir pejuangSunting
Dikemudian hari anggota pasukan Djamin Gintings ini akan mucul sebagai pionir-pionir pejuang
Sumatra bagian Utara dan Karo. Kapten Bangsi Sembiring, Kapten Selamat Ginting,
Kapten Mumah Purba, Mayor Rim Rim Ginting, Kapten Selamet Ketaren, dan lain lain adalah
cikal bakal Kodam II/Bukit Barisan yang kita kenal sekarang ini. Ketika Letkol. Djamin Gintings
menjadi wakil komandan Kodam II/Bukit Barisan, dia berselisih paham dengan Kolonel
M. Simbolon yang ketika itu menjabat sebagai Komandan Kodam II/Bukit Barisan. Djamin
Ginting tidak sepaham dengan tidakan Kolonel M.Simbolon untuk menuntut keadilan dari
pemerintah pusat melalui kekuatan bersenjata. Perselisihan mereka ketika itu sangat dipengaruhi
oleh situasi politik dan ekonomi yang melanda Indonesia. Disatu
pihak, Simbolon merasa Sumatra dianak-tirikan oleh pemerintah pusat dalam bidang ekonomi.
Dilain pihak, Ginting sebagai seorang tentara profesianal memegang teguh asas seorang prajurit
untuk membela negara Indonesia.
Operasi Bukit BarisanSunting
Dalam rangka menghadapi gerakan pemberontakan Nainggolan di Medan (Sumatra Utara) maka
Panglima TT I, Letkol Inf Djamin Ginting melancarkan Operasi Bukit Barisan. Operasi ini
dilancarkan pada tanggal 7 April 1958. Dengan dilancarkannya operasi Bukit Barisan II ini,
maka pasukan Nainggolan dan Sinta Pohan terdesak dan mundur ke daerah Tapanuli.[2]
Mengakhiri karierSunting
Dipenghujung masa baktinya, Djamin Ginting mewakili Indonesia sebagai seorang Duta
Besar untuk Kanada. Di Kanada ini pulalah Djamin Ginting, mengakhiri hayatnya.
Jabatan yang pernah didudukiSunting
 Kepala Staf Kodam II/Bukit Barisan[3]
 Assisten Dua Bagian Perang di TNI[3]
 Panglima TT I Bukit Barisan.[2]
 Panglima Sumatra Utara.[4]
 Dengan pangkat Mayor Jenderal, menjabat sebagai Wakil Sekretaris Jenderal Front Nasional,
di Kabinet Dwikora Revisi Kedua.[5]
 Penggerak dari pembentukan GAKARI yang nantinya akan membentuk GOLKAR.[6]

KeluargaSunting
Djamin Ginting meninggalkan 5 orang anak. Salah satunya seorang putri bernama Rimenda br
Ginting, SH, yang sekarang menjabat sebagai ketua umum Himpunan Masyarakat Karo
Indonesia.[7]
Karya TulisSunting
Semasa hidupnya, Djamin Gintings menulis beberapa buku. Satu di antaranya "Bukit Kadir"
mengisahkan perjuangannya di daerah Karo sampai ke perbatasan Aceh melawan Hindia
Belanda. Seorang anggotanya, Kadir, gugur disebuah perbukitan di Tanah Karo dalam suatu
pertempuran yang sengit dengan pasukan Belanda. Bukit itu sekarang dikenal dengan
nama Bukit Kadir.
ReferensiSunting
1. ^ Artikel:"Ini Kiprah 4 Pahlawan Nasional yang Baru Dinobatkan Tahun Ini" di
detik.com
2. ^ a b http://www.sejarahtni.mil.id/index.php?cid=1783&page=2
3. ^ a b "Kreasi". archive.org. 20 Oktober 2002. Diakses tanggal 1 Maret 2017.
4. ^ http://www.kodam-ii-sriwijaya.mil.id/info/57/
5. ^ http://indahnesia.com/cabinet/26/second_revised_dwikora_cabinet.php
6. ^ "Republika Online". republika.co.id. Diakses tanggal 1 Maret 2017.
7. ^ http://www.hariansib.com/index.php?
option=com_content&task=view&id=7359&Itemid=9

Terakhir disunting 2 bulan yang lalu oleh Gervant of Shiganshina

Konten tersedia di bawah CC BY-SA 3.0 kecuali dinyatakan lain.

 Kebijakan privasi
 Ketentuan Penggunaan
 Tampilan PC

Anda mungkin juga menyukai