Anda di halaman 1dari 146

Makalah Keperawatan Maternitas I

“Laporan Pendahuluan Asuhan Kehamilan Ibu Hamil Resiko Tinggi”

Oleh:

Ulfa Dewi Santika

(1810035)

Program Studi Keperawatan Program Diploma III

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kepanjen

2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kehamilan resiko tinggi adalah kehamilan yang dapat menyebabkan
ibu hamil dan bayi menjadi sakit atau meninggal sebelum kelahiran
berlangsung (Indrawati, 2016). Karakteristik ibu hamil diketahui bahwa
faktor penting penyebab resiko tinggi pada kehamilan terjadi pada kelompok
usia <20 tahun dan usia >35 tahun dikatakan usia tidak aman karena saat
bereproduksi pada usia <20 tahun dimana organ reproduks belum matang
sempurna dan umur >35 tahun dimana kondisi organ reproduksi wanita sudah
mengalami penurunan kemampuan untuk bereproduksi, tinggi badan kurang
dari 145 cm, berat badan kurang dari 45 kg, jarak anak terakhir dengan
kehamilan sekarang kurang dari 2 tahun, jumlah anak lebih dari 4 (Hapsari,
2014). Faktor penyebab resiko kehamilan apabila tidak segera ditangani pada
ibu dapat mengancam keselamatan bahkan dapat terjadi hal yang paling buruk
yaitu kematian ibu dan bayi.

Faktor-faktor penyebab tingginya angka kematian ibu di Indonesia


adalah perdarahan ekslampsia, aborsi tidak aman, partus lama, infeksi dan
lain-lain. Sedangkan penyebab tidak langsung kematian ibu yaitu rendahnya
tingkat pendidikan ibu, keadaan sosial ekonomi yang rendah, sosial budaya
yang tidak mendukung selain itu disebabkan karena terbatasnya akses ibu
yang tinggal di pedesaan memperoleh pelayanan kesehatan (Aeni, 2013).
Seringnya terjadi kematian pada saat persalinan, disebabkan karena
perdarahan, terlalu muda, terlalu tua, terlalu dekat dan terlalu banyak. Kondisi
ini kemudian didukung oleh adanya terlambat mengenali tanda- tanda,
terlambat mencapai tempat pelayanan dan terlambat mendapat pertolongan
(Hapsari, 2014). maka perlu dilakukan upaya optimal untuk mencegah atau
menurunkan frekuensi ibu hamil yang beresiko tinggi dan penanganannya
perlu segera dilakukan untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak
(Qudriani, 2014) .
Berdasarkan penelitian Gery (2009) disebutkan bahwa lebih dari 90%
kematian ibu disebabkan komplikasi obstetrik, yang sering tidak diketahui saat
kehamilan. Kebanyakan komplikasi itu terjadi pada saat atau sekitar
persalinan. Banyak ibu yang tidak dikategorikan beresiko ternyata mengalami
komplikasi. Faktor yang dapat menyebabkan komplikasi kehamilan meliputi:
Riwayat medis dan pembedahan, Riwayat Obstetri, Riwayat ginekologi dan
usia ibu.

Upaya pencegahan diperlukan untuk mengurangi angka kematian ibu.


Deteksi awal pada kehamilan dapat dijadikan sebagai salah satu upaya untuk
meningkatkan pengetahuan ibu tentang kehamilannya. Banyak faktor yang
menjadi penyebab keadaan tersebut diantaranya minimnya pengetahuan
tentang kehamilan resiko tinggi. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap
tingginya angka kematian ibu adalah kurangnya pengetahuan ibu tentang
kehamilannya (Puri, 2014). Pengetahuan adalah hasil pengindraan manusia
atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui pengindraan yang miliki
(mata, hidung, telinga dll). Dengan sendirinya pada waktu pengindraan sampai
menghasilkan pengetahuan tersebut sampai dipengaruhi oleh intensitas
perhatian dan persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan diperoleh
melalui telinga dan mata (Budiman, 2013).

Pengetahuan merupakan salah satu komponen faktor predisposisi yang


pentig untuk perilaku kesehatan. Apabila seorang ibu hamil memiliki
pengetahuan yang lebih tentang resiko tinggi kehamilan maka kemungkinan
besar ibu akan berpikir untuk mencegah, menghindari atau mengatasi masalah
resiko kehamilan tersebut dan ibu memiliki kesadaran untuk memeriksakan
kehamilanya, sehingga apabila terjadi resiko pada masa kehamilan tersebut
dapat ditangani secara dini dan tepat oleh tenaga kesehatan (Triana, 2014).

Tetapi apabila ibu hamil memiliki pengetahuan yang kurang maka ibu
akan lebih beresiko dalam kehamilannya. Hal ini juga dimaksudkan untuk
dapat membantu menurunkan angka kematian ibu yang cukup tinggi di
Indonesia.
Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian tentang kehamilan resiko
tinggi oleh Wijayanti (2011) menunjukkan bahwa wanita hamil yang
memiliki faktor risiko meliputi usia > 35 tahun, primi muda, primi tua, anak
terkecil < 2 tahun, tinggi badan < 145 cm, kehamilan ganda, kehamilan
hidramnion dan pernah operasi lebih berisiko 2, 8 kali (hampir 3 kali lipat)
mengalami komplikasi kehamilan dibandingkan wanita hamil yang tidak
memiliki faktor risiko. Penelitian yang dilakukan Hapsari (2013) bahwa
resiko terjadinya preeclampsia/ eklampsia pada kelompok usia > 35 tahun
lebih besar dibandingkan dengan kelompok usia < 20 tahun dengan demikian
terdapat hubungan yang bermakna antara usia ibu hamil beresiko dengan
kejadian preeklampsia/ eklampsia. Hasil penelitian yang dilakukan
Lumempouw (2016) didapatkan bahwa ada hubungan antara pendidikan dan
keadaan sosial ekonomi dengan keteraturan kunjungan antenatal care dalam
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan ibu selama kehamilan. Kehamilan
membutuhkan anggaran khusus, jika keadaan sosial ekonomi rendah maka
dapat menghambat ibu untuk mengontrol kesehatannya sehingga ibu lebih
beresiko dalam kehamilannya.

Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) tahun 2015


mengatakan bahwa angka kematian ibu (AKI) di Negara-negara ASEAN
masih jauh lebih tinggi yaitu Indonesia 98%, Vietnam 62%, Thailand 227%,
Brunei 166% dan Malaysia 256%. Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia
saat ini masih tinggi jika dibandingkan dengan Negara- Negara tetangga.
Dari data tersebut jika angka kehamilan beresiko tinggi hanya di fokuskan di
wilayah pulau jawa, maka angka kejadian kehamilan resiko tinggi tertinggi
adalah provinsi jawa timur dan jawa barat (33,0%) dan diikuti jawa tengah
(31,0%) Riskesdas(2017). Berdasarkan data Profil Kesehatan Provinsi Jawa
tengah tahun 2016 menunjukkan bahwa ibu yang hamil beresiko tinggi 79,3%.
Kabupaten kota dengan Boyolali menempati urutan ke 5 dengan kasus
kematian ibu sebanyak 21 kasus.

1.2 Rumusan Masalah


Jenis-jenis penyakit apa sajakah yang termasuk resiko tinggi pada kehamilan?
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui jenis penyakit yang termasuk resiko tinggi pada ibu hamil.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Diabetes Mellitus Gestasional


2.1.1 Pengertian Diabetes Mellitus Gestasional
Diabetes gestasional (gestasional diabetes mellitus) atau GDM
adalah intoleransi glukosa yang didiagnosis selama kehamilan
(Elizabeth R, 2011).
Menurut WHO (2011), diabetes mellitus gestasional
didefinisikan sebagai derajat intoleransi glukosa dengan onset atau
pengakuan pertama selama kehamilan.
Diabetes mellitus gestasional merupakan keadaan pada wanita
yang sebelumnya belum pernah didiagnosis diabetes kemudian
menunjukkan kadar glukosa tinggi selama kehamilan (Noaemi &
Shalayel, 2011).
2.1.2 Etiologi Diabetes Mellitus Gestasional
Selama kehamilan, resistensi insulin tubuh meningkat tiga kali
lipat dibandingkan keadaan tidak hamil. Pada kehamilan, penurunan
sensitivitas insulin ditandai dengan defek post-reseptor yang
menurunkan kemampuan insulin untuk memobilisasi SLC2A4 (GLUT
4) dari dalam sel ke permukaan sel. Hal ini mungkin disebabkan oleh
peningkatan hormon yang berkaitan dengan kehamilan. Meskipun
kehamilan dikaitkan dengan peningkatan massa sel β dan peningkatan
kadar insulin, beberapa wanita tidak dapat meningkatkan produksi
insulinnya relatif terhadap peningkatan resistensi insulin, sehingga
menjadi hiperglikemik dan menderita DMG (Noaemi & Shalayel,
2011).
2.1.3 Klasifikasi Diabetes Mellitus Gestasional
Klasifikasi menurut White (1949) pada ibu hamil dengan
DMG terbagi menjadi 11 kelas yaitu A, B, C, D, E, F, R, RF, G, H,
dan T. Berdasarkan rekomendasi ACOG (American College of
Obstetricians and Gynecologists) pada tahun 1986, wanita didiagnosa
memiliki DMG pada kelas A dibagi menjadi dua berdasarkan tingkat
kadar glukosa plasma yaitu A1 pada glukosa plasma selama puasa
(FPG) < 105 mg/dl dan 2 jam glukosa postprandial (2-hPG) < 120
mg/dl, dan A2 untuk FPG > 105 mg/dl dan 2-hPG > 120 mg/dl.
Tabel 2.1 Klasifikasi White pada Diabetes Mellitus
Gestasional (ACOG 1986)
Kela Onset Glukosa 2 jam lukosa Terapi
s puasa postransdial
A1 Gestasional < 105 < 120 mg/dl Diet
A2 Gestasional mg/dl > 120 mg/dl Insulin
> 105
mg/dl
Kela Usia saat Durasi Penyakit Terapi
s onset vaskuler
B Lebih dari 20 < 10 Tidak ada Insulin
C 10-19 10-19 Tidak ada Insulin
D Kurang dari 10 > 20 Retinopati jinak Insulin
F Beberapa Beberapa Nefropati*) Insulin
R Beberapa Beberapa Proliferatif Insulin
retinopati atau
pendarahan
Atherosclerotic
H Beberapa Beberapa Heart Disease Insulin
*)
Diagnosa saat kehamilan: proteinuria 500 mg atau lebih selama 24 jam
telah diperhitungkan sebelum 20 minggu usia kehamilan.

Klasifikasi menurut White tetap digunakan secara luas,


meskipum mungkin tidak sepenuhnya berlaku pada manajemen
diabetes modern, karena fokus utamanya sudah bertahun-tahun yang
lalu diagnose diabetes dibuat. Akan tetapi walaupun beberapa
diantaranya dapat digunakan untuk menilai resiko setiap individu,
klasifikasi White tidak memperhitungkan tingkat control glikemik
selama atau sebelum kehamilan.
Klasifikasi sederhana oleh Inzucchi (1999) telah banyak
digunakan dalam DMG, yang terutama mengklasifikasikan diabetes
berdasarkan tipe 1 dan 2 dalam kehamilan yaitu PGDM
(Pregestational Diabetes Mellitus) dan GDM (Gestational Diabetes
Mellitus).
1. PDGM (Pregestational Diabetes Mellitus), terjadi sebelum kehamilan
dan dibagi menjadi dua yaitu T1DM (Type 1 Diabetes Mellitus) dan
T2DM (Type 2 Diabetes Mellitus), dimana masing-masing dibagi
dalam 3 subtipe.
2. GDM (Gestational Diabetes Mellitus), didefinisikan sebagai setiap
derajat intoleransi glukosa dengan onset atau terdeteksi pertama kali
selama kehamilan (bertahan atau tidak setelah kehamilan).

2.1.4 Patofisiologi Diabetes Mellitus Gestasional


Pada DMG, akan terjadi suatu keadaan dimana jumlah atau
fungsi insulin menjadi tidak optimal. Terjadi perubahan kinetika
insulin dan resistensi terhadap insulin. Akibatnya, komposisi sumber
energi dalam plasma ibu bertambah (kadar gula darah tinggi, kadar
insulin tetap tinggi). Mayoritas penderita DMG mengalami disfungsi
sel β akibat resistensi insulin kronik sebelum kehamilan.
Dalam kehamilan terjadi perubahan metabolism endokrin dan
karbohidrat pemasokan makanan bagi janin serta persiapan untuk
menyusui. Glukosa dapat berdifusi secara tetap melalui plasenta
kepada janin, sehingga kadarnya dalam darah janin hampir
menyerupai kadar darah ibu. Insulin ibu tidak dapat mencapai janin,
sehingga kadar gula ibu yang mempengaruhi kadar pada janin.
Pengendalian kadar gula terutama dipengaruhi oleh insulin, disamping
beberapa hormon lain seperti estrogen, steroid dan plasenta laktogen.
Akibat lambatnya resorpsi makanan maka terjadi hiperglikemia yang
relatif lama dan menuntut kebutuhan insulin. Menjelang aterm,
kebutuhan insulin meningkat hingga 3 kali lipat dari keadaan normal.
Hal ini disebut tekanan diabetogenik dalam kehamilan. Secara
fisiologik telah terjadi resistensi insulin yaitu bila ditambah dengan
insulin eksogen maka tidak mudah menjadi hipoglikemi. Akan tetapi,
bila ibu tidak mampu meningkatkan produksi insulin sehingga relatif
hipoinsulin yang menyebabkan hiperglikemia atau diabetes
kehamilan.

2.1.5 Pathway Diabetes Mellitus Gestasional

Pengambilan glukosa sirkulasi plasenta ↑

Estrogen, kortisol, HPL ↑

Kerja insulin terganggu


dan menurun ↓

Glukosa tidak
dapat diserap

Hiperglikemia

Glukosa plasma ↑ Glukosa sel ↓

↑ osmolalitas plasma dan Glukosa masuk ke Sel tidak mendapat nutrisi


cairan dalam tubulus ginjal plasenta dan ↑

Poliuri Bayi kelebihan nutrisi Badan lemas,


(hiperglikemia) polifagi

Dehidrasi

2.1.6 Metabolisme Karbohidrat pada Ibu Hamil


Dalam keadaan tidak hamil asupan glukosa mengalami 4 macam proses:
a. Dibawah pengaruh insulin dirubah menjadi glikogen dan disimpan
dalam hepar
b. Masuk kedalam sirkulasi secara langsung dan dimetabolisir oleh
jaringan tubuh secara langsung
c. Dirubah menjadi cadangan lemak
d. Disimpan dalam otot dalam bentuk glikogendengan bantuan insulin
Gula darah dipertahankan antara 4,5 – 5,5 mmol / liter (80-100 mg/L).
Gula yang melewati filtrasi glomerular ginjal biasanya tidak banyak
dan mengalami resorbsi oleh tubulus ginjal sehingga dalam keadaan
normal tidak dijumpai dalam urine.
Selama kehamilan, terjadi perubahan metabolism karbohidrat
secara nyata. Terdapat kebutuhan glukosa oleh fetus untuk dengan
mudah diubah menjadi sumber energi. Pada saat yang sama juga
terdapat kebutuhan untuk cadangan energi pada masa laktasi dan
pertumbuhan kehamilan atau kebutuhan energi lain dalam bentuk
cadangan lemak. Komponen utama diet adalah karbohidrat dan harus
diubah dengan mudah untuk memenuhi kebutuhan yang sudah
disebutkan diatas.
Perubahan yang jelas terlihat adalah pada gula darah. Ini dapat
dilihat dengan memberikan beban glukosa pada pemeriksaan OGTT
(Oral Glucosa Tolerance Test). Dapat dilihat bahwa terjadi adanya
kadar gula yang tinggi pasca pembebanan sehingga sehingga
memungkinkan terjadinya transfer melalui plasenta. Kejadian
kehamilan tersebut, dikatakan sebagai diabetogenik dan ini berkaitan
dengan menurunnya sensitivitas jaringan terhadap insulin. Sensitivitas
terhadap insulin berkurang sebanyak 80%. Hal ini disebabkan oleh
adanya antagonis spesifik terhadap insulin yang terbentuk selama
kehamilan yakni hormon HPL, progesteron, HCG, dan kortisol.
Dengan meningkatnya kadar steroid yang dihasilkan plasenta maka
terdapat sedikit glikogen yang ditimbun di hepar dan otot. Kadar gula
darah yang tinggi memungkinkan untuk dimanfaatkan oleh janin.

2.1.7 Faktor Resiko Diabetes Mellitus Gestasional


Berikut terdapat beberapa faktor resiko yang dapat meningkatkan
kejadian DMG menurut Kaaja & Ronnemaa (2008), yaitu sebagai berikut:
1. Usia saat hamil diatas 30 tahun
2. Obesitas
3. Riwayat keluarga menderita DM
4. Riwayat DMG atau intoleransi glukosa pada kehamilan sebelumnya
5. Glukosuria (kadar gula berlebihan dalam urin) saat hamil
6. Riwayat melahirkan bayi besar atau makrosomia
7. Riwayat melahirkan dengan cacat bawaan

2.1.8 Manifestasi Klinis Diabetes Mellitus Gestasional


Tanda dan gejala pada ibu hamil dengan DMG tidak spesifik
(Purnamasari, 2013).

2.1.9 Diagnosis Diabetes Mellitus Gestasional


Menurut American Diabetic Association (ADA) 2015
merekomendasikan beberapa tes yaitu sebagai berikut:
1. Tes deteksi DM tipe 2 yang tidak terdiagnosis pada kunjungan prenatal
pertama
2. Tes skrining dan diagnosis DMG pada wanita hamil 24-28 minggu
yang sebelumnya diketahui tidak menderita diabetes
3. Skrining ibu penderita DMG 6-12 minggu post-partum dengan tes
toleransi glukosa oral
4. Wanita dengan riwayat DMG harus menjalani skrining sekurang-
kurangnya setiap 3 tahun, seumur hidupnya untuk deteksi diabetes atau
pra-diabetes
5. Wanita dengan riwayat DMG dan menderita pra-diabetes harus
mendapat intervensi gaya hidup ataupun metformin untuk mencegah
diabetes
Diagnosis DMG dapat dilakukan dengan strategi berikut :
“Two-step” approach menggunakan 50 gram glukosa (tanpa puasa)
diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) menggunakan 100 gram
glukosa jika skrining awal memberikan hasil positif. Berikut beberapa step
yang dilakukan:
- Step 1: Lakukan tes pembebanan glukosa 50 gram (tanpa puasa), kadar
glukosa plasma diukur 1 jam setelah pembebanan glukosa, dilakukan pada
wanita dengan usia kehamilan 24-28 minggu yang belum pernah
terdiagnosis diabetes melitus. Jika kadar glukosa plasma 1 jam setelah
pembebanan glukosa >135 mg/dL* (7,8 mmol/L), dilanjutkan dengan tes
toleransi glukosa oral dengan 100 gram glukosa.
- Step 2: Tes toleransi glukosa oral dengan 100 gram glukosa dilakukan
pada pasien dalam keadaan puasa. Diagnosis DMG ditegakkan apabila
setidaknya dua dari empat hasil pengukuran glukosa plasma memenuhi
kriteria (lihat pada tabel 2.2).
Tabel 2.2 Kriteria Diagnosis Diabetes Mellitus Gestasional
Onset Carpenter and Coustan NDGG (National WDPA
Diabetes Data Group)
Puasa >95 mg/dL (5,3mmol/L) >105 mg/dL (5,8 > 90 mg/dL
mmol/L)
1 jam >180 mg/dL (10 mmol/L) >190 mg/dL (10,6 >180 mg/dL
mmol/L)
2 jam >155 mg/dL (8,6 >165 mg/dL (9,2 > 160 mg/dL
mmol/L) mmol/L)
3 jam >140 mg/dL (7,8 >145 mg/dL (8 > 155 mg/dL
mmol/L) mmol/L)

2.1.10 Tatalaksana Diabetes Mellitus Gestasional


Menurut American Diabetic Association (ADA) 2015,
penatalaksanaan pada pasien DMG adalah sebagai berikut:
1. Terapi diet. Terapi ini merupakan strategi utama untuk mencapai
kontrol glikemik. Diet harus mampu menyokong pertambahan berat badan
ibu sesuai masa kehamilan, membantu mencapai normoglikemia tanpa
menyebabkan lipolisis (ketonuria). Latihan dan olah raga juga menjadi
terapi tambahan untuk mencapai target kontrol glikemik. Jika terapi diet
selama 2 minggu kadar glukosa darah belum mencapai normoglikemia,
maka terapi insulin harus segera dimulai.
2. Kontrol glikemik. Target glukosa pasien DMG dengan menggunakan
sampel darah kapiler adalah sebagai berikut:
a. Preprandial (setelah puasa) <95 mg/dL (5,3 mmol/L) dan
b. 1 jam post-prandial (setelah makan) <140 mg/dL (7,8 mmol/L) atau
c. 2 jam post-prandial (setelah makan) <120 mg/dL (6,7 mmol/L)
Dianjurkan pemeriksaan gula darah teratur minimal 2 kali seminggu.
Kontrol sesuai jadwal pemeriksaan antenatal, semakin dekat dengan
perkiraan persalinan maka kontrol semakin sering. Hb glikosilat diperiksa
secara ideal 6-8 minggu sekali.
3. Terapi insulin. Terapi insulin dipertimbangkan apabila target glukosa
plasma tidak tercapai setelah pemantauan DMG selama 1-2 minggu.
Insulin yang digunakan adalah insulin dosis rendah dengan lama kerja
intermediate dan diberikan 1-2 kali sehari.
4. Obat hipoglikemik oral. Obat hipoglikemik oral seperti glyburide dan
metformin merupakan alternatif pengganti insulin pada pengobatan DMG.
2.1.11 Komplikasi Diabetes Mellitus Gestasional
1. Hipertensi, preeklampsia dan eklampsia
Diabetes gestasional akan meningkatkan resiko ibu untuk mengalami
tekanan darah tinggi selama kehamilan. Hal tersebut juga akan
meningkatkan resiko ibu untuk terjadi preeklampsia dan eklampsia.
2. Diabetes Mellitus
Apabila selama kehamilan mengalami DMG, maka kemungkinan
besar akan mengalami kembali pada kehamilan berikutnya. Selain itu, ibu
juga beresiko untuk menderita diabetes tipe 2 pasca persalinan. Wanita
hamil dengan DMG memiliki risiko sebesar 41,3% menderita DMG pada
kehamilan berikutnya, sedangkan pada wanita yang tidak memiliki riwayat
DMG sebelumnya hanya 4,2% (Getahun dkk, 2010). Risiko menderita
diabetes 5 tahun setelah terdiagnosis DMG adalah 6,9% dan setelah 10
tahun menjadi 21,1% (Sivaraman dkk, 2013). Diabetes gestasional yang
diterapi akan mengurangi risiko makrosomia, distosia bahu, dan hipertensi
gestasional (Poolsup dkk, 2014).

2.2 Konsep Dasar Asuhan Kebidanan Pada Kehamilan Diabetes Mellitus


Gestasional
2.2.1 Pengkajian
1. Data Subjektif
A. Biodata
- Usia
Wanita berusia lebih dari 35 tahun beresiko terjadinya
DMG. Wanita yang berusia kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35
tahun memiliki resiko tinggi diantaranya DM (Wiknjosastro,
2007). Angka kejadian DMG cenderung tinggi pada usia tua yang
diperkirakan akibat adanya pengaruh dari proses penuaan dan
kerusakan endotel pembuluh darah yang progresif (Goldman et al,
2005). Berdasarkan penelitian Hosler et al (2011) didapatkan hasil
bahwa usia ibu hamil ≥ 35 tahun beresiko 4,05 kali untuk
menderita DMG dibandingkan dengan usia ibu hamil < 35 tahun.
- Pekerjaan
Kurangnya aktivitas fisik merupakan salah satu faktor yang
ikut berperan menyebabkan resistensi insulin pada diabetes
mellitus, dan berdasarkan hasil penelitian Putri dkk (2018)
menyatakan bahwa 89,2% penderita DMG merupakan Ibu Rumah
Tangga (IRT) atau tidak bekerja.
B. Keluhan Utama
Sering pada ibu dengan DM gestasional tidak terdapat
keluhan. Adapun keluhan yang dapat dijumpai pada ibu hamil
dengan DMG adalah sering kencing (polyuria), sering merasa lapar
(polyfagi), merasa sering haus (polydipsi).
C. Riwayat Obstetri
Diabetes mellitus gestasional dapat terjadi pada ibu dengan
riwayat obstetri sebagai berikut:
- Riwayat DMG pada kehamilan sebelumnya beresiko terjadi
kembali kejadian DMG pada kehamilan berikutnya (Kaaja &
Ronnemaa, 2008).
- Melahirkan bayi besar atau makrosmia. Ibu yang mempunyai
riwayat melahirkan bayi makrosomia (>4000gr) akan
berpotensi sebanyak 40% untuk terjadinya DMG pada
kehamilannya (Maryuani, 2013). Peningkatan kadar glukosa
ibu menyebabkan peningkatan kadar glukosa janin. Hal
tersebut menstimulasi produksi insulin pankreas janin, yang
menyebabkan hiperinsulinemia.
Hiperinsulinemia meningkatkan pertumbuhan dan
penyimpanan lemak, yang disebut makrosomia.
- Riwayat abortus (kematian bayi dalam kandungan). Abortus
spontan disebabkan oleh kontrol glikemik yang buruk selama
trimester pertama (Maryuani, 2013).
- Melahirkan bayi dengan kelainan kongenital. Perubahan
metabolisme ibu hamil yang menyebabkan hiperglikemia,
hiperketosis dan hipoglikemia, sehingga sumber energi janin
tidak mampu menentu dalam pertumbuhannya kekurangan fuel
mediator. Dalam keadaan tertentu, glikolisis terganggu dan
apabila gangguan terjadi sejak usia kehamilan 7 minggu (pada
saat organogenesis) gangguan pembentukan organ dan kelainan
kongenital dapat terjadi.
D. Riwayat Kontrasepsi
- Pil KB kombinasi hormon estrogen dan progesterone lebih
cenderung menyebabkan perubahan dalam kontrol glukosa
darah sehingga pada ibu DM dapat menyebabkan semakin
tingginya glukosa dalam darah ibu.
E. Riwayat Kehamilan Sekarang
- Kenaikan berat badan berlebih saat hamil beresiko terjadinya
DMG. Penambahan berat badan selama kehamilan yang
dianjurkan untuk ibu hamil dengan obesitas adalah tidak lebih
dari 9 kg. Obesitas meningkatkan resiko diabaetes gestasional
(Roberts et al., 2013).

F. Riwayat Penyakit Ibu


- Riwayat kesehatan menderita DM maka berpotensi berlanjut
selama kehamilan.
G. Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat penyakit DM pada keluarga merupakan salah satu
faktor pencetus terjadinya DMG. Faktor riwayat keluarga yang
menderita DM berisiko terjadi DMG sebanyak 49% (Sulistiyah
dkk, 2017).
H. Pola Fungsional Kesehatan
- Nutrisi
Ibu hamil yang berisiko mengalami DMG apabila asupan
makanannya mengandung karbohidrat yang berlebih, lemak
jenuh, makanan yang mengandung pemanis, makanan cepat
saji, minuman bersoda, minuman yang dimaniskan dengan
gula, dan alkohol.
- Eliminasi
Ibu hamil dengan DMG biasanya akan timbul keluhan sering
kencing (polyuria).
- Aktivitas
Aktivitas yang kurang dapat menyebabkan resiko terjadinya
overweight. Cenderung mengantuk, kurangnya keinginan untuk
beraktivitas pada ibu hamil dengan diabetes gestasional
(Nanda, 2006).
I. Riwayat Psikososial
- Perokok pasif lebih berisiko terkena obesitas dan diabetes tipe
2. Hasil penelitian oleh Charles R. Drew, dibandingkan dengan
perokok, orang yang terkena asap rokok lebih berisiko terkena
diabetes gestasional pada ibu hamil.

2. Data Objektif
A. Pemeriksaan Umum
- Kesadaran : composmentis
- Tekanan darah :
Sebagian ibu hamil dengan DMG cenderung mengalami
hipertensi, disebabkan karena hormone Angiostensin II meningkat
dan mengerut akibat dari kadar gula darah yang tinggi. Kisaran
tekanan sistole 130-140 mmHg dan diastole 90-110 mmHg
(Nanda, 2006)
- Nadi :
90-100x/menit karena ibu hamil dengan DMG akan mudah
letih.
- Suhu :
Suhu aksilla yang diukur dapat ditemukan >37,5oC karena ibu
dengan DMG mudah berkeringat sehingga meningkatkan suhu
basal tubuh (Nanda, 2006).
- RR :
Ibu hamil dengan DMG cenderung laju pernafasan lebih cepat
dan dalam karena sering mengalami sesak nafas.
- Berat badan sebelum dan sesudah hamil
Kenaikan berat badan selama hamil secara berlebih
meningkatkan resiko terjadinya DMG.
- BMI :
Menurut Doshani dan Konje (2009), overweight merupakan
faktor resiko pada gangguan toleransi glukosa (prediabetes)
baik sebelum atau dalam kehamilan. Oleh karena, overweight
merupakan manifestasi dari obesitas, bila terjadi obesitas, maka
dapat menyebabkan resistensi insulin yang membuat glukosa
darah tinggi (hiperglikemia).
Klasifikasi BMI orang dewasa
Underweight : < 16.0
Kurus : 16.0 – 18.49
Normal : 18.5 - 24.99
Overweight : 25.0 - 30
Obesitas : ≥30

- Deteksi dini pre-eklampsia

Ibu hamil dengan DMG, berisiko terjadi preeklampsia


sehingga perlu dilakukan skrining PE. Preeklampsia adalah
timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan atau edema
setelah kehamilan 20 minggu.

Hipertensi: sistolik/diastolik ≥140/90 mmHg.


Proteinuria : ≥ 300 mg/24 jam atau ≥ 1 dipstick.
Edema: edema pada lengan, muka dan perut.
MAP: Tekanan arteri rata-rata digunakan sebagai gambaran
kondisi tekanan darah yang ada pada darah saat keluar dari
jantung dan dapat digunakan sebagai salah satu prediktor
terjadinya preeklampsia. Cara menghitung MAP adalah

sistole+2 Diastol
3
Nilai > 90 mmHg = Positif, nilai < 90 mmHg = negatif
ROT : Menghitung selisih nilai tekanan diastol pada saat miring
kiri dan terlentang, ROT ini juga dapat digunakan sebagai salah
satu prediktor terjadinya preeklampsia. Apabila selisih kedua
nilai diastol tersebut < 10 mmHg maka dikatakan negatif dan
nilai > 10 mmHg dikatakan positif.
B. Pemeriksaan Fisik
- Abdomen
Leopold I: TFU cenderung lebih tinggi dari usia kehamilan
Leopold II: cenderung teraba bagian kecil janin
Leopold III: pada kehamilan akhir, kepala bayi cenderung sulit
masuk panggul ibu yang obesitas
Leopold IV: memeriksa sejauh mana penurunan kepala (jika kepala
sudah masuk PAP)
- Mc donald untuk mengetahui apakah penambahan TFU sesuai
dengan umur kehamilan. Ibu dengan DMG, TFU lebih tinggi
dari normal.
TFU dalam cm = tuanya kehamilan dalam bulan
3,5 cm
- DJJ (denyut jantung janin) pada umumnya mengalami takikardi
karena distress yang dialami akibat gangguan metabolisme ibu
(Nanda, 2006)
- TBJ janin lebih besar dari usia kehamilan normal akibat
makrosomia ataupun akibat pengukuran TFU yang lebih tinggi
dari normal (Nanda, 2006)
C. Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan laboratorium
a. DL (Hb, WBC, LEU, PLT) sebagai skrining risiko yang
berpotensi terjadi pada ibu dengan DMG.
b. TTGO 50-100 gram sebagai skrining dan untuk
menegakkan diagnosa DMG. Dilakukan tes pembebanan
glukosa 50 gram (tanpa puasa), kadar glukosa plasma
diukur 1 jam setelah pembebanan glukosa, dilakukan pada
wanita dengan usia kehamilan 24-28 minggu yang belum
pernah terdiagnosis diabetes melitus. Jika kadar glukosa
plasma 1 jam setelah pembebanan glukosa >135 mg/dL*
(7,8 mmol/L), dilanjutkan dengan tes toleransi glukosa oral
dengan 100 gram glukosa. Kemudian, tes toleransi glukosa
oral dengan 100 gram glukosa dilakukan pada pasien dalam
keadaan puasa. Diagnosis DMG ditegakkan apabila
setidaknya dua dari empat hasil pengukuran glukosa plasma
memenuhi kriteria.
Onset Carpenter and NDGG WDPA
Coustan (National
Diabetes Data
Group)
Puasa >95 mg/dL >105 mg/dL (5,8 > 90 mg/dL
(5,3mmol/L) mmol/L)
1 jam >180 mg/dL (10 >190 mg/dL >180 mg/dL
mmol/L) (10,6 mmol/L)
2 jam >155 mg/dL (8,6 >165 mg/dL (9,2 > 160
mmol/L) mmol/L) mg/dL
3 jam >140 mg/dL (7,8 >145 mg/dL (8 > 155
mmol/L) mmol/L) mg/dL

c. Urin reduksi : skrining diabetes melitus gestasional. Ibu


dengan DMG harganya cenderung positif.

2.2.3 Identifikasi Diagnosa dan Masalah


Diagnosa :
GAPAPAH UK ... minggu dengan diabetes mellitus gestasional
Identifikasi terhadap diagnosis dan masalah berdasarkan intrepertasi yang
benar atas data-data yang telah dikumpulkan secara spesifik
Masalah : Sering merasa lapar, haus dan sering kencing.

2.2.4 Identifikasi Diagnosa dan Masalah Potensial


- Abortus
- Pre-eklampsia
- Partus prematurus
- Hidramnion
- Inersia uteri
- Atonia uteri
- Distosia

2.2.5 Identifikasi Kebutuhan Tindakan Segera


1. Kolaborasi dengan dokter SpOG untuk pemeriksaan USG sebagai data
dasar, pemeriksaan laboratorium (DL, UL, TTGO) untuk skrining
risiko yang dapat terjadi.
2. Kolaborasi dengan divisi gizi dalam hal pengaturan diet untuk ibu
hamil dengan diabetes mellitus gestasional.

2.2.6 Perencanaan
Dibuat berdasarkan pertimbangan yang tepat, meliputi
pengetahuan, teori up to date, dan perawatan berdasarkan evidance based.
Melakukan perencanaan ini harus secara menyeluruh dan klien beserta
keluarga dilibatkan di dalamnya karena pada akhirnya pelaksanaan
rencana asuhan kebidanan ini harus disetujui oleh klien.
Untuk menghindari rencana asuhan yang tidak terarah, buat pola
pikir tentang tujuan tindakan (target) dan rencana tindakan yang sesuai
masalah. Kaji kembali apakah rencana asuhan sudah meliputi semua aspek
asuhan kesehatan pada ibu hamil.
1. Jelaskan keadaan kehamilan ibu dan kondisi janin
2. Lakukan cek protein urin dan reduksi urin
3. Lakukan kolaborasi dengan dokter SpOG untuk pemeriksaan
penunjang seperti TTGO dan USG
4. Lakukan kolaborasi dengan divisi gizi untuk perencanaan diet pada
ibu dengan DMG
5. Kontrol kenaikan berat badan saat kontrol hamil
6. Berikan HE berkaitan dengan keluhan yang dirasakan ibu
7. Berikan HE menganai kebutuhan nutrisi ibu hamil
8. Jelaskan tanda bahaya kehamilan dengan DMG

2.2.7 Pelaksanaan
Melaksanakan perencanaan secara menyeluruh berdasarkan konsep yang
ada.

2.2.8 Evaluasi
Dilakukan untuk menilai kondisi klien, apakah sesuai dengan
intervensi yang diharapkan. Terdiri dari evaluasi tindakan dan evaluasi
tujuan.
2.3 Konsep Dasar Penyakit Jantung
2.3.1 Pengertian Penyakit jantung
Setiap kehamilan mempengaruhi cardiovaskuler ibu. Hal ini
berlangsung dan berlanjut sampai beberapa mingu setelah bayi baru lahir.
Jantung normal dapat mengkompensasi peningkatan beban kerja sehingga
kehamilan dan kelahiran bayi umumnya ditoleransi dengan baik.
Penyakit jantung pada wanita hamil yaitu penyakit jantung yang diderita
wanita hamil yang mengalami kelainan/kerusakan kutub, kelainan
congenital system konduktif, septal dan katub jantung.
Penyakit kardiovaskuler dapat dijumpai pada wanita hamil atau
tidak hamil. Jelaslah bahwa wanita dengan penyakit kardiovaskuler dan
menjadi hamil, akan terjadi pengaruh timbal balik yang dapat mengurangi
kesempatan hidup wanita tersebut.
Dalam kehamilan, terjadi peningkatan denyut jantung, nadi,
pukulan jantung, dan volume darah, dan juga bisa menyebabkan tekanan
darah menjadi menurun sedikit, sehingga resiko penyakit jantung dan
payah jantung akan terjadi dalam kehamilan.

2.3.2 Klasifikasi Penyakit Jantung


Asosiasi jantung newyork mengklasifikasikan Penyakit jantung organic
yang merupakan standart yang diterima secara luas sebagai berikut.
1. Kelas I
Asimtomatik dengan aktivitas normal. Meliputi pasien penyakit
jantung, tetapi tanpa akibat pembatasan aktivitas fisik. Aktivitas fisik
biasa tidak menyebabkan kelelahan tidak semestinya, palpitasi, dispne
atau nyeri angina.
2. Kelas II
Simtomatik dengan aktifitas yang meningkat (dispnea, cepat lelah,
edema bula aktifitas bertambah normal). pasien penyakit jantung yang
menyebabkan sedikit pembatasan aktivitas fisik membentuk Kelas II.
Meskipun nyaman saat istirahat, namun pasien-pasien ini mengalami
kelelahan, palpitasi, dispne, atau nyeri angina pada aktivitas fisik yang
biasa.
3. Kelas III
Simtomatik dengan aktifitas yang biasa dilakukan. Pasien penyakit
jantung dengan pembatasan aktivitas fisik yang jelas dimasukkan
dalam kelas III. Nyaman pada saat istirahat, pasien ini mengalami
kelelahan palpitasi, dispne, atau nyeri angina dengan aktivitas fisik
ringan (yang kurang dari biasa)
4. Kelas IV
Simtomatik dengan istirahat. pasien ini mengidap penyakit jantung
yang menyebabkan ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas fisik
apoa pun tanpa ketidaknyamanan meningkat dengan aktivitas fisik
apapun.

2.3.3 Etiologi Penyakit Jantung


Faktor-faktor yang akan meningkatkan stress pada jantung seperti anemia,
infeksi, situasi dirumah yang mencakup tanggung jawab keluarga, anak-
anak yang lain atau anggota keluarga secara luas. Sebagian besar
disebabkan demam reumaatik. Bentuk kelainan katup yang sering
dijumpai adalah stenosis mitral, insufisiensi mitral, gabungan stenosis
mitral dengan insufisiensi mitral, stenosis aorta, insufisiensi aorta,
gabungan insufisiensi aorta dan stenosis aorta, penyakit katup pulmonal,
dan trikuspidal.

2.3.4 Faktor Predisposisi


Meliputi perubahan kardiovaskular fisiologis selam kehamilan, aktivitas
fisik, infeksi, anemia, tirotoksikosis, obesitas, dan hipertensi.

2.3.5 Patofisologi Penyakit Jantung


Setiap kehamilan membutuhkan tuntutan ekstra pada system
kardiovaskuler, terutama pada jantung, volume darah dan curah jantung
meningkat 40% dan kecepatannya meningkat. Jantung yang normal
mampu dengan baik mengkompensasi tambahan klerja, tetapi jantung
yang mengalami kerusakan atau penyakit mungkin tidak dapat
berkembang menjadi dekompensasi. Ibu hamil dengan penyakit jantung
ini bila dipicu oleh beberapa factor akan mengalami serangan jantung
misalnya anemia, infeksi masalah keluarga. Factor-faktor pemicu tersebut
akan meningkatkan stress jantung sehingga volume sirkulasi akan
meningkat dan menimbulkan gejala dekompensasi jantung diantaranya
meningkatnya rasa letih, sesak nafas, mur-mur dan ralea, hemoptosis,
edema, nadi takteratur,pengumpulan dalam dasar paru yang hal ini akan
membawa dampak pada janin yang dikandungnya.

2.3.6 Tanda dan Gejala / Manifestasi Klinis Penyakit Jantung


Kehamilan dengan pernyakit jantung akan menimbulkan perubahan
hemodinamik:
1. Kebutuhan metabolism meningkat
2. Perubahan komposisi darah :

a. Volume darah 30-45%

b. Eritrosit meningkat 25-35%

c. Plasma darah lebih tinggi 35-50%

d. Hemodelusi / anemia

3. Perubahan komposisi darah akibat pengaruh :

a. Estrogen progesterone meningkat

b. Sirkulasi retroplasentar

c. Pembesaran uterus

d. Pertumbuhan mammae untuk laktasi

4. Kompensasi kerja jantung.

a. Nadi bertambah 10-15x/menit yaitu 70 menjadi 80-85x/menit

b. Stroke volume dari 63 menjadi 70 cc.

c. Cardiac output 3,5 ml

2.3.7 Pemeriksaan Penunjang Penyakit Jantung


1. Hitung sel darah putih,leukosit menandai infeksi umum
2. HB/HT, menunjukan anemi actual fisiologis,polisitemia
3. GDA, member pengkajian sekunder terhadap hal yang berkompetensi
membahayakan janin karena menyangkut pernafasan ibu.
4. Laju sedimentasi, meningkat pada adanya infeksi jantung
5. Echocardiografi, mendiagnosis prolap katub mitral/sindrom marfan
6. Pencitraan jantung radionukeida,mengevaluasi kerusakan septal
atrium/ventrikel uktus arteriosus patern/ pirau intrakardial.
7. Amniosistesis menentukan maturitas janin
8. USG, mendeteksi usia gestasi janin.

2.3.8 Dioagnostik Tambahan


Foto Toraks dapat bermanfaat dalam penilaian pembesaran jantung,edema
paru,dan efusi pleura. Elektrokardiogram membantu dalam penentuan
frekuensi dan irama jantung sertadalam memperkirakan pembesaran
ruangan jantung yang spesifik. Ekokardiografi membantu dalam evaluasi
srukur dan fungsi jantng.

2.3.9 Penatalaksanaan Penyakit Jantung


Pasien gagal jantung harus dirawat dirumah sakit dan ditempatkan
ditirah baring total untuk menurunkan kebutuhan kerja jantung.
Oksigenisasi : oksigen diberikan melalui kateter hidung, masker atau
tekanan positif intermiten bila diperlukan.
Sadasi : morfin ( 10 sampai 15 mg) membantu menenangkan
kecemasan dan agitasi. Istirahat fisik dan mental merupakan aspek sangat
penting bagi keberhasilan terapi. Pengurangan Volum Darah. Diuresis :
Furosemid (Lasix) (40 mg intrsvena) biasanya menghasilkan dieresis
cepat, mulai dalam 5 sampai 15 menit dan mencapai maksimum dalam
satu sampai dua jam. Dosis berikutnya dapat diberikan secara oral atau
parenteral,bila perlu. (karena penelitian reproduktif binatang
memperlihatkan bahwa furosemid dapat menyebabkan abnormalitas janin,
maka obat ini dikontraindikasikan pada wanita yang mungkin hamil
kecuali pada keadaan yang mengancam nyawa.)
Digitalisasi : digitalis (digoksin atau deslanosid) sangat bermanfaat
dalam pengobatan gagal jantung yang disertai aritmia supraventikular
dengan respon ventrikel yang cepat, karena digitalis memperlambat denyut
ventrikel. Sampai pasien belum memperoleh digitalis selam 2 minggu
sebelumnya, maka digitalisasi cepat intravena dapat diindikasikan.
Faktor yang mempengaruhi sensitivitas individu terhadap digitalis
meliputi kadar kalium,magnesium,dan kalsium; hipoksia atau nekrosis
miokardium: fungsi tiroid; fungsi ginjal; serta jenis dan keparahan
penyakit jantung yang mendasari. Karena hipokalemia, ada peningkatan
kecenderungan kearah keracunan digitalis. Pemberian intravena suatu
bolus preparat digitalis kepasien yang baru mendapat digitalis dapat
mencetuskan takikardi atau fibrilasi ventrikel. Manifestasi klinik dan
elektrokardiogram adalah kunci petunjuk untuk dosis.
Tindakan Tambahan : masukan cairan dan natrium dibatsi.
Tamabahan kalium mungkin diperlukan. Setelah gagal jantung
terobati,maka pasien harus tetap berada dalam observasi ketat,lebih baik
dirumah sakit,sampai melahirkan. Pnatalaksanaan lainnya seperti :

1. Perawatan obstetric kehamilan penyakit jantung

a. Kelas i : setiap 2 minggu persalinan

b. Kelas ii-iv : setiap minggu

2. Pengobtan diserahkan pada spesialis jantung

3. Perawatan pasien :

Kelas I

a. Istirahat yang cukup pada malam hari

b. Pengawasan ketat selama perinatal.

Kelas II

a. Menjalani periode istirahat harian


b. Supervise prenatal teratur

c. Masuk RS mendekati aterm dan diberi antibiotika terhadap endokarditis


bacterial dan oksigen

Kelas III

a. Menghabiskan satu hari setiap minggunya ditempat tidur selama


kehamilan

b. Bila terjadi dekompensasi jantung masuk RS sampai persalinan.

c. Tidak dianjurkan untuk menyusui

d. Mungkin dianjurkan aborsi terapeutik

e. Operasi sterilisasi dianjurkan

Kelas IV

a. Aborsi terapeutik sangat dianjurkan

b. Bagi yang berusaha hamil, diperlukan istirahat total, perawatan di RS


dan intensif.

2.3.10 Penatalaksanaan pendidikan pasien


Pasien Jantung yang Hamil dengan Masalah Di antaranya Selama
kehamilan,semua pasien jantung harus diobservasi teliti untuk
mengurangi,mencegah, atau menghilangkan setiap penambah beban
jantung.
Infeksi meningkatkan curah jantung dan harus diobati dirumah sakit.
Infeksi saluran pernafasan dengan cadangan jantung terbatas harus
mengkompensasi beban kehamilan dengan istirahat lebih daripada
biasanya dan dengan menghindari stress fisik dan emosional yang tidak
semestinya. Aktivitas berlebihan : Gerak badan dapat juga menyebabkan
gagal jantung. Pasien-pasien dengan cadangan jantung terbatas harus
mengkompensasi beban kehamilan dengan istirahat lebih daripada
biasanya dengan dan dengan meghindari stress fisik dan emosional tidak
semestinya.
Aritmia : Dengan adanya kerusakan struktur jantung, maka takikardia,
fibrilasi, atau fluter atrium dapat mencetuskan gagal jantung. Akibatnya,
gangguan ini harus diterapi segera.
Anemia : komplikasi kardiovaskular dapat timbul pada pasien-pasien
anemia sel sabit dan penyakit sel sabit-hemoglobin C. Dekompensasi
dapat juga timbul bila anemia memperberat jenis penyakit jantung lainnya.
Hipervolemia : dapat menyebabkan edema paru. Infus dan transfusi harus
dihindari kecuali esensial, dimana pada kasus ini kecepatan infus harus
diobservasi dengan sangat hati-hati. Masukan natrium harus dibatasi.
Obesitas : Dengan peningkatan masa tubuh, maka beban jantung menjadi
lebih besar. Masukan gizi harus dibatasi untuk mencukupi kebutuhan gizi
ibu dan janin tanpa menyebabkan penimbunan lemak yang berlebihan.
Masukan natrium harus dibatasi sampai kira-kira 2000 mg per hari.

2.3.11 Komplikasi Penyakit Jantung


Komplikasi penyakit jantung yang harus diantisipasi meliputi gagal
kongestif, edema paru,aritmia atrium, dan emboli paru. Komplikasi yang
sangat jarang dari penyakit jantung selama kehamilan meliputi rupture
aorta dan endokarditis bakterialis. Episode hipertensi dapat fatal pada
pasien pintas jantung, jika aliran darah membalikdari sisi kanan jantung ke
sisi kiri jantung,sehingga memintasi paru. Dan komplikasi jenis lainnya
seperti :

1. Abortus

2. Prematurius

3. BBLR

4. Kematian janin dlam rahim

5. Dekompensasi kordis setiap saat.


6. Pada mitral stenosis odem paru lebih cepat terjadi

7. Komplikasi potensial.

2.4 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan dengan penyakit Jantung

2.4.1 Pengkajian
1. Data Subjektif
A. Gejala Saat Ini
Dispne dan batuk mungkin merupakan gejala terdini gagal
jantung kongestif. Gejala-gejala lainnya eliputi ortopnea,
hemoptisis, kelelahan, palpitasi, ansietas, akivitas fisik erbatas,
retensi cairan dan enambahan berat badan.
B. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit jantung kongenital atau reumatik dapat
diperkirakan.
C. Data Objektif
1) Pemeriksaan Umum : frekuensi jantung meningkat
sampai 110 kali per menit atau lebih. Penambahan berat
badan berlebihan, edema,sianosis dan pembendungan
vena jugularis sering ditemukan.
2) Pemeriksaan Jantung : Bising jantung
(diastolik,presistolik,atau kontinu), aritmia dan
pembesaran jantung menunjukkan penyakit jantung.
Pada kasus-kasus gagal jantung, bunyi jantung ketiga
terdengar pada awal diastolic. Rangkaian tetap 2 bunyi
jantung normal dan bunyi abnormal ketiga, dalam
hubungannya dengan suatu peningkatan denyut jantung,
dapat bertanggung jawab bagi irama khas dari irama
‘gallop’ (‘gallop’ S 3). Sebagai akibat peningkatan
tekanan arteri pulmonalis,bunyi kedua pulmonal—
bunyi jantung yang dihubungkan dengan penutupan
katup pulmonal—meningkat intensitasnya.
3) Pemeriksaan Paru : Ronki basal bilateral adalah tanda
edema alveolus dan cairan dalam bronkiolus terminalis.
4) Pemeriksaan Abdomen : Hepar dapat membesar dan
nyeri tekan. Asites mungkin ada.
D. Istirahat/aktifitas
Ketidakmampuan melakukan aktifitas normal, dipsnoe
nocturnal Karen pengarahan tenaga.
E. Sirkulasi
Takikardi, palpitasi, riwayat penyakit jantung, demam rematik,
dapat mengalami mur-mur sistolik keras, trii;, disritmia berat
dengan tekanan darah dan nadi meningkat tekanan darah
mungkin turun dengan penurunan tahanan vaskuler.
F. Eliminasi
Haluaran urin meningkat
G. Makanan / cairan
Obesitas, dapat mengalami edema ekstremitas bawah.
H. Nyeri kenyamanan
Dapat mengeluh nyeri dada tanpa atau dengan aktivitas.
I. Keamanan
Infeksi streptokokus berulang
J. Pernafasan
Batuk tidak produktif, frekuensi pernapasan meningkat,
dispnea,ortopnea, rales.

2.4.2 Diagnosa keperawatan


1. Resiko tinggi terhadap dekompensasi
2. Resiko tinggi kelebihan volume cairan
3. Resiko tinggi perubahan perfusi jaringan
4. Resiko tinggi infeksi
5. Resiko tinggi intoleransi aktifitas
2.4.3 Intervensi
Diagnosa resiko tinggi terhadap dekompensasi
Intervensi:
1. Tentukasn klasifikasi fungsional klien
2. Pantau ttv.
3. Evaluasi informasi perlunay istirahat adekuat
4. Kaji jumlah dan konsentrasi haluaran urin dan bjnya
5. Beri informasi mengenai pengguanaan posisi miring kiri
6. Beri pengobatan sesuai program terapi
7. Atasi infeksi pernapasn k/p.

Diagnosa resiko tinggi kelebihan volume cairan


Intervensi:

1. Dapatkan BB dasar
2. Kaji faktor-faktor diet yang memperberat retensi cairan berlebih
3. Kaji ulang dari tanda gjk
4. Selidiki batuk yang tidak jelas
5. Batasi cairan dan natrium bila ada gjk
6. Beri deuretik sesuai program terapi

Diagnosa reisko tinggi perubahan perfusi jaringan

Intervensi:

1. Perahatikan faktor resiko


2. Kaji tekanan darah, nadi,perhatikan perubahan perilaku, stenosis,
tanda-tanda dekompensasi
3. Beri informasi tentang penggunaan posisi tegak yang diubah
selama tidur dan istirahat
4. Pantau pemerikasaan laboratorium sesuai indikasi
5. Beri antibiotic sesuai kebutuhan
6. Kaji aliran darah uterus / janin

Diagnosa resiko tinggi infeksi


Intervensi:

1. Kaji faktor resiko dan riwayat ddemam reumati


2. Tinjau ulang kebutuhan obat dan alas an perubahan penggunaan
heparin atau warfarin
3. Bantu klien dalam penyuluhan pemberian obat
4. Beri antibiotic sesuai program terapi
5. Pantau pemeriksaan darah

Diagnosa resiko tinggi intoleransi aktifitas

Intervensi:

1. Kaji adanya pengembangan gejala


2. Bantu rutinitas harian
3. Indentifikasi kebutuhan terhadap bantuan rumah tangga

2.4.4 Implementasi
Pelaksanaan sesuai intervensi

2.4.5 Evaluasi
1. dekompensasi tidak terjadi
2. Kelebihan volume cairan tidak terjadi
3. Perubahan perfusi jaringan tidak terjadi
4. Infeksi tidak terjadi
5. Intoleransi aktifitas tidak terjadi

2.4.6 Penatalaksanaan Persalinan dan Kelahiran


Rawat inap sebelum kelahiran biasanya dianjurkan. Persalinan
biasanya tidak diinduksi secara premature, karena induksi premature
dapat mengakibatkan persalinan yang lama, sulit yang akan
memberikan beban yang tidak perlu pada pasien. Akibatnya, mulai
timbulnya persalinan spontan ditunggu dan kelahiran norma per
vaginam diantisipasi,kecuali komplikasi obstetrik membutuhkan seksio
sesarea.
Selama persalinan, penting penghilangan nyeri yang adekuat; nyeri
menagkibatkan takikardia dan meningkatkan curah jantung. Pasien
dibiarkan pada sisinya,karena curah jantung cenderung lebih stabil
pada posisi lateral. Pemantauan seksama denyut nadi,tekanan
darah,frekuensi pernafasan ,suhu dan jumlah urin diperlukan. Sebagai
tambahan, elektrokardiogram,evaluasi tekanan vena sentralis dan gas
darah arteri dapat diindikasikan.

Anastesia epidural kontinu memberikan keringanan nyeri yang


maksimum selam persalnan dan kelahiran. Sebagai tambahan,anastesia
epidural cenderung menghilangkan refleks mengejan pad kala II.
Tetapi jika hipotensi sepintas mengancam nyawa, maka bentuk
anastesia ini bias dikontraindikasikan. Dianjurkan konsultasi dengan
seorang ahli anastesi yang menghantuhui keadaan pataofisologi paru
dan kardiovaskular pasien. Pasien jantung diberikan oksigen melalui
kateter hidung, atau masker wajah sepanjang persalinan , dan bayi
dilahirkan sesegera mungkin setelah pembukaan serviks lengkap untuk
mempersingkat waktu mengejan selama kala II.

Setelah kelahiran, selam kala III, perdarahan harus diminimumkan.


Terapi intravena dibatasi, karena ekspansi intravaskular dapat
memperberat beban jantung. Bila oksitosin dibutuhkan untuk
mengendalikan atonia uteri,maka oksitosin harus diberikan secara
intramuskuler. (Bolus intravena mendadak dari oksitosin yang tidak
diencerkan dapat mencetuskan hipotensi dan takikardia yang segera).
Ergonovin maleat harus dihunakan secra hati-hati karean
kecenderungannya untuk menimulkan hipertensi. Jika perdarahan
timbul dan transfuse dianggap penting, maka lebih baik diberikan
eritrosit padat (packed red cell) daripada darah lengkap.

Profilaksis endokarsitis bakterialls pada pasien kelainan katup atau


katup protesa ditujukan pada pencegahan bakteriamia dan
pembasmian mikroorganisme setelah invasi intravasukuler. Karena
entrokokus paling sering bertanggung jawab bagi endokarditis
mengikuti pembedahan atau instrumentasi traktus genitourinarius,
maka profilaksis antibiotic harus ditujukan melawan organism ini.
Komite pencegahan Demam Reumatik dan Endokarditis Bakterilais
dari American Heart Association telah mengusulkan paduan berikut
untuk profilaksis antibiotik pada orang dewasa: Kristal penisilin G
dalam aqua (2.000.000. unit intramuskular atau intravena) ditambah
gentamisin (1,5 mg/kg, tidak lebih dari 80 mg, intramuscular atau
intravena) atau streptomisin (1,0 g intramuskular). Dosis awal
diberikan 30 menit sampai 1 jam sebelum tindakan. Jika dihunakan
gentamisin, maka kedua obat harus diulang 8 dan 16 jam kemudian.
Jika digunakan streptomisin, maka kedua harus diulang 8 dan 16 jam
kemudian. Jika digunakan streptomisin, maka kedua obat diulang 12
dan 24 jam kemudian. Untuk orang dewasa yang alergi terhadap
peisilin , maka vankomisin (1,0 g intran diberikan diatas 30 menit
sampai 1 jam) ditambah streptomisin (1,0 g intramuskular) dapat
menggantikannya. Dosis tunggal antibiotika ini yang dimulai 30 menit
samapi 1 jam sebelum tindakan mungkin mencukupi, meskipun dosis
yang sama dapat diulang dalam 12 jam(Kaplan 1977).

Pendapat berbeda dalam kebutuhan untuk provilaksis selam kehamilan


dan kelahiran per vagina tanpa komplikasi, arena kemungkinan
bakteriemia adalah minimum.
2.5 Konsep Dasar Preeklampsia
2.5.1 Pengertian Preeklampsia
Preeklampsia adalah hipertensi yang terjadi pada ibu hamil
dengan usia kehamilan 20 minggu atau setelah persalinan di tandai
dengan meningkatnya tekanan darah menjadi 140/90 mmHg.
(Sitomorang, dkk 2016) Preeklamsia merupakan hipertensi yang
timbul setelah 20 minggu kehamilan (Praworihadrjo, 2009).
Preeklampsia adalah hipertensi pada kehamilan yang ditandai dengan
tekanan darah ≥ 140/90 mmHg setelah umur kehamilan 20 minggu,
disertai dengan proteinuria ≥ 300 mg/24 jam (Nugroho, 2012).

2.5.2 Etiologi
Sampai saat ini terjadinya preeklampsia belum diketahui
penyebabnya, tetapi ada yang menyatakan bahwa preeklampsia
dapat terjadi pada kelompok tertentu diantaranya yaitu ibu yang
mempunyai faktor penyabab dari dalam diri seperti umur karena
bertambahnya usia juga lebih rentan untuk terjadinya peningkatan
hipertensi kronis dan menghadapi risiko lebih besar untuk menderita
hipertensi karena kehamilan, riwayat melahirkan, keturunan, riwayat
kehamilan, riwayat preeklampsia (Sitomorang dkk, 2016). Penyebab
pasti preeklampsia masih belum diketahui secara pasti. Menurut
Angsar (2009) beberapa faktor risiko terjadinya preeklampsia meliputi
riwayat keluarga pernah preeklampsia/eklampsia, riwayat
preeklampsia sebelumnya, umur ibu yang ekstrim (35 tahun), riwayat
preeklampsia dalam keluarga, kehamilan kembar, hipertensi kronik.

2.5.3 Manifestasi Klinis

Preeklamsi merupakan kumpulan dari gejala-gejala kehamilan


yang di tandai dengan hipertensi dan odem (Kusnarman, 2014).
Gambaran klinik preeklampsia mulai dengan kenaikan berat badan
diikuti edema kaki atau tangan, kenaikan tekanan darah, dan terakhir
terjadi proteinuria (Saraswati, 2016 ). Tanda gelaja yang biasa di
temukan pada preeklamsi biasanya yaitu sakit kepala hebat. Sakit di
ulu hati karena regangan selaput hati oleh perdarahan atau edema atau
sakit karena perubahan pada lambung dan gangguan penglihatan,
seperti penglihatan menjadi kabur bahkan kadang-kadang pasien buta.
Gangguan ini disebabkan penyempitan pembuluh darah dan edema
(Wibowo, dkk 2015).

2.5.4 Patofisiologi
Teori lain yang lebih masuk akal adalah bahwa preeklampsia
merupakan akibat dari keadaan imun atau alergi pada ibu. Selain itu
terdapat bukti bahwa preeklampsi diawali oleh insufisiensi suplai
darah ke plasenta, yang mengakibatkan pelepasan substansi plasenta
sehingga menyebabkan disfungsi endotel vascular ibu yang luas
(Hutabarat dkk, 2016).

2.5.5 Klasifikasi
Preeklampsia dibedakan menjadi dua yaitu preeklampsia ringan dan
preeklampsia berat dengan kriteria sebagai berikut:
Menurut Icemi dan Wahyu (2013) yang pertama Hipertensi
gestasional, Hipertensi menghilang setelah 3 bulan pasca persalinan
atau kehamilan dengam tanda-tanda preeklamsia namun tanpa
proteinuria. TD sistolik ≥140 mmHg atau TD diastolik ≥90 mmHg
ditemukan pertama kali sewaktu hamil dan memiliki gejala atau tanda
lain preeklamsia seperti dispepsia atau trombositopenia. Kedua,
Sindrom preeklamsia dan eklamsia merupakan hipertensi yang timbul
setelah 20 minggu kehamilan disertai proteinuria, sedangkan eklamsia
merupakan preeklamsia yang disertai dengan kejang-kejang dan/atau
koma. TD sistolik ≥140 mmHg atau TD diastolik ≥90 7 mmHg dengan
proteinuria ≥300 mg/24 jam. Ketiga, hipertensi kronik dengan
superimposed preeklamsia Preeklamsia yang terjadi pada ibu hamil
yang telah menderita hipertensi sebelum hamil. Keempat, Hipertensi
kronik Hipertensi (tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg) yang telah
didiagnosis sebelum kehamilan terjadi atau hipertensi yang timbul
sebelum mencapai usia kehamilan 20 minggu.

2.5.6 Komplikasi
Kejang (eklampsia) Eklampsia adalah keadaan ditemukannya serangan
kejang tibatiba yang dapat disusul dengan koma pada wanita hamil,
persalinan atau masa nifas yang sebelumnya menunjukan gejala
preeklampsia (Prawirohardjo, 2010). Preeklampsia pada awalnya
ringan sepanjang kehamilan, namun pada akhir kehamilan berisiko
terjadinya kejang yang dikenal eklampsia. Jika eklampsia tidak
ditangani secara cepat dan tepat, terjadilah kegagalan jantung,
kegagalan ginjal dan perdarahan otak yang berakhir dengan kematian
(Natiqotul, 2016).

2.5.7 Pengaruh Terapi Merendam Kaki Menggunakan Air Hangat


Terhadap Preeklamsi
Rendam kaki dengan air hangat merupakan salah satu terapi alamiah
yang bertujuan untuk meningkatkan sirkulasi darah, mengurangi
edema, meningkatkan relaksasi otot, menyehatkan jantun
mengendorkan otot-otot, menghilangkan stres, sehingga sangat
bermanfaat untuk terapi penurunan tekanan darah pada ibu hamil
penderita preeklamsi. Secara ilmiah rendam kaki khususnya dengan air
hangat mempunyai banyak manfaat bagi tubuh, khususnya dalam
memperlancar peredaran darah (Sabattani, 2015).

2.5.8 Konsep Ibu Hamil


1. Pengertian Kehamilan
Kehamilan adalah suatu keadaan dimana janin dikandung di dalam
tubuh ibu, yang diawali dengan proses pembuahan, yaitu
pertemuan sperma dan sel telur di dalam tuba fallopi, yang
kemudian tertanam di dalam uterus dan diakhiri dengan proses
persalinan (Fathonah, 2016).
2. Tahap Trimester Kehamilan
Menurut Fathonah (2016) proses kehamilan yang normal berjalan
selama 38-40 minggu, yang dibagi menjadi tiga fase, yaitu :
Trimester Pertama yang berlangsung pada 1-12 minggu, Trimester
Kedua yang berlangsung selama 13-24 minggu dan Trimester
ketiga yang berlangsung selama 25 minggu sampai proses
persalinan.

2.5.9 Tanda Kehamilan


Menurut Harni, dkk (2009) ada tiga tanda-tanda kehamilan diantaranya
adalah : tanda tidak pasti, tanda kemungkinan dan tanda pasti hamil.
Pertama, tanda tidak pasti adalah perubahan-perubahan fisiologis yang
dapat dikenali dari pengakuan atau yang dirasakan oleh wanita hamil.
Tandanya adalah : amenoera (berhentinya menstruasi), mual (nausea)
dan muntah (emesis), pingsan kelelahan, payudara tegang, sering buang
air kecil, konstipasi, pigmentasi kulit dan varises, Kedua, tanda
kemungkinan adalah perubahan-perubahan fisiologis yang dapat
diketahui dari pemeriksaan fisik kepada wanita hamil. Tandanya
adalah : pembesaran perut, tanda hegar, tanda goodel, tanda chadwicks,
tanda piscaseck, kontraksi Braxton-hicks, teraba ballottement dan
pemeriksaan biologis kehamilan positif. Ketiga, tanda pasti hamil
adalah tanda yang menunjukan langsung keberadaan janin yang dapat
dilihat langsung oleh pemeriksa. Tandanya adalah : gerakan janin,
denyut jantung janin, bagian-bagian janin, terlihat bentuk janin pada
pemeriksaan USG dan keluhan normal yang biasa terjadi pada
kehamilan. 9

2.5.10 Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Preeklamsi


Hubungan Umur dengan Kejadian Preeklamsi Umur merupakan bagian
dari status reproduksi yang penting.Umur berkaitan dengan peningkatan
atau penurunan fungsi tubuh sehingga mempengaruhi status kesehatan
seseorang.Umur yang paling aman dan baik untuk hamil dan melahirkan
adalah 20-35 tahun. Sedangkan wanita usia remaja yang hamil untuk
pertama kali dan wanita yang hamil pada usia > 35 tahun akan
mempunyai resiko yang sangat tinggi untuk mengalami preeklampsia.
Wanita hamil tanpa hipertensi yang beresiko mengalami preeklamsi
adalah wanita yang berumur > 35 tahun. Kelompok umur > 35 tahun
memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian preeklamsi.
Demikian pula variabel umur terhadap kejadian hipertensi (Situmorang,
2016).

2.5.11 Hubungan Paritas dengan Kejadian Preeklamsi


Ibu yang memiliki paritas >3 beresiko mengalami preeklampsia
dibandingkan ibu yang memiliki paritas 1-3. Pada multi paritas
lingkungan endometrium disekitar tempat implantasi kurang sempurna
dan tidak siap menerima hasil konsepsi, sehingga pemberian nutrisi dan
oksigenisasi kepada hasil konsepsi kurang sempurna dan
mengakibatkan pertumbuhan hasil konsepsi akan terganggu sehingga
dapat menambah resiko terjadinya preeklampsia (Novita, 2015).

2.5.12 Hubungan Pengetahuan dengan Kejadian Preeklamsi


Ibu hamil mengatakan bahwa pengetahuan tentang kehamilan dan
masalah kehamilan sangat penting, karena dengan memiliki
pengetahuan tentang kesehatan merika dapat mengetahui dan mengatasi
tanda dan gejala serta cara mengatasi masalah kesehatan yang
menyertai kehamilannya, sehingga mereka tidak cemas dalam
menghadapi kehamilan dan segera melaporkan ke petugas kesehatan
jika ada masalah kesehatan yang menyertai kehamilannya. Menurut
Manuaba (2010), pengetahuan ibu tentang preeklampsia dan eklampsia
sangatlah penting karena hampir 50% kematian ibu dan janin
disebabkan oleh preeklampsia dan eklampsia, sehingga merupakan hal
yang penting bagi ibu hamil untuk mengetahui tentang preeklampsia
sedini mungkin (Situmorang, 2016). Bahwa pengetahuan sangat
penting bagi kehidupan kita, dan pengetahuan tentang kesehatan dan
masalah kesehatan sangat berpengaruh bagi ibu hamil terutama masalah
preeklampsia karna preeklampsia dapat mempengaruhi ibu dan janin
sehingga dibutuhkan sosialisasi dan informasi mengenai tanda dan
gejala preeklampsia agar ibu hami dapat mendeteksi sedini mungkin.

2.5.13 Hubungan Riwayat Hipertensi dengan Kejadian Preeklamsi


Preeklampsia pada hipertensi kronik yaitu preeklampsia yang terjadi
pada perempuan hamil yang telah menderita hipertensi sebelum hamil.
Selain itu diabetes, penyakit ginjal, dan obesitas juga dapat
menyebabkan preeklampsia. Kenaikan berat badan edema yang
disebabkan oleh penimbunan air yang berlebihan dalam ruangan
intertisial belum diketahui penyebabnya, mungkin karena retensi air
dan garam (Novita, 2015)

2.5.14 Hubungan ANC dengan Kejadian Preeklamsi


Perawatan antenatal umumnya dianggap metode yang efektif untuk
meningkatkan hasil kehamilan, tetapi efektivitas spesifik program
perawatan antenatal sebagai sarana untuk mengurangi kematian bayi
dalam kelompok sosioekonomi kurang beruntung dan rentan
perempuan belum dievaluasi secara mendalam (Situmorang, 2016).

2.5.15 Peran Keluarga


1. Peran
Peran adalah sesuatu yang diharapkan secara normatif dari
seseorang dalam situasi social tertentu agar dapat memenuhi
harapan-harapan yang akan dicapai (Setyawan, 2012). 11 Peranan
Keluarga menggambarkan seperangkat perrilaku interpersonal,
sifat, kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan
situasi tertentu. Peranan individu dalam keluarga didasari oleh
harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok dan masyarakat
(Setyawan, 2012) Peranan keluarga menggambarkan pola perilaku
interpersonal, sifat, dan kegiatan yang berhubungan dengan
individu dalam situasi dan posisi tertentu. Adapun macam peranan
dalam keluarga antara lain :
a. Peran Ayah
Sebagai seorang suami dari istri dan ayah dari anak-anaknya, ayah
berperan sebagai kepala keluarga, pendidik, pelindung, mencari
nafkah, serta pemberi rasa aman bagi anak dan istrinya dan juga
sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota
masyarakat di lingkungan di mana dia tinggal (Istiati, 2010).
b. Peran Ibu
Sebagai seorang istri dari suami dan ibu dari anak-anaknya, dimana
peran ibu sangat penting dalam keluarga antara lain sebagai
pengasuh 6 dan pendidik anak-anaknya, sebagai pelindung dari
anak-anak saat ayahnya sedang tidak ada dirumah, mengurus rumah
tangga, serta dapat juga berperan sebagai pencari nafkah. Selain itu
ibu juga berperan sebagai salah satu anggota kelompok dari peranan
sosial serta sebagai anggota masyarakat di lingkungan di mana dia
tinggal (Istiati, 2010).
c. Peran Anak
Peran anak yaitu melaksanakan peranan psikososial sesuai dengan
tingkat perkembangan baik fisik, mental, sosial maupun spiritual.
Menurut (Friedman 1998, dalam buku santun setiawan 2008),
membagi 5 tugas kesehatan yang harus di lakukan keluarga, yaitu ;
(1) mengenal adanya gangguan setiap anggotanya; (2) mengambil
keputusan yang tepat; (3) memberikan perawatan kepada anggota
yang sakit; (4) 12 mempertahankan keadaan lingkungan keluarga
yang dapat menunjang peningkatan status kesehatan para
anggotanya; (5) mempertahankan hubungan timbal balik antara
keluarga dan Lembaga-lembaga kesehatan yang lainnya.

2.5.16 Keluarga
Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat dimana terjadi
interaksi antara anak dan orang tuanya. Keluarga berasal dari bahasa
sansekerta kulu dan warga atau kuluwarga yang berarti anggota
kelompok kerabat (Padila, 2012). Keluarga merupakan lingkungan
social yang tinggal satu rumah dan sangat dekat dengan seseorang
dengan memiliki peran yang berbeda-beda. Di lingkungan keluarga itu
seseorang bertempat tinggal, dibesarkan, di bentuknya nilai-nilai
budaya, pola pikir dan kebiasaanya untuk bisa berinteraksi bersama
orang lingkungan sekitar (Harnilawati, 2013). Keluarga merupakan
sekumpulan orang yang terikat perkawinan dan tinggal bersama satu
atap dalam keadaan saling membutuhkan dan mempunyai peran
masing-masing (Zaidin, 2010).

2.5.17 Peran Keluarga Sebagai Motivator


Tingginya motivasi atau dukungan akan mempengaruhi kesembuhan
setiap anggota keluarganya dalam proses penyembuha bahwa kejadian
situasional disini merupakan kejadian yang berhadapan dengan
keluarga yang pasti mempengaruhi fungsi peran setiap anggota
keluarga dan situasi ini sebenarnya merupakan kejadian yang penuh
dengan kebingungan mengenai perubahan kesehatan (Pipit, 2009).

2.5.18 Peran Keluarga Sebagai Edukator


Kurangnya pengetahuan keluarga dalam menjalankan peran sebagai
educator disebabkan oleh karena kurangnya peran keluarga dalam
mencari informasi, kurangnya informasi yang didapat oleh keluarga
tentang 13 preeklamsi akan menimbulkan tidak tepat dalam mengambil
suatu keputusan. Adapun pengetahuan itu sendiri merupakan hasil dari
tahu dan ini terjadi setelah orang melihat suatu tindakan orang lain.
Peran keluarga sebagai educator ini hendaklah dapat lebih ditingkatkan
karena keluarga merupakan sistim pendukung yang penting dalam
memberikan pendidikan kesehatan dalam sebuah keluarga (Pipit, 2009).
2.5.19 Peran Keluarga Sebagai Perawat Keluarga
Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada
perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Dimana hal ini akan
mempengaruhi peran keluarga sebagai perawat keluarga terutama pada
ibu hamil dengan preeklamsi yang membutuhkan penanganan lebih
yang meliputi keluarga memperhatikan waktu (jadwal) kontrol,
keluarga melakukan tindakan untuk meningkatkan status kesehatan, dan
keluarga selalu berkonsultasi dengan petugas pelayanan kesehatan
tentang keadaaanya, maka hendaklah lebih ditingkatkan lagi pelayanan
kesehatan bagi anggota keluarga yang sakit demi meningkatkan derajat
kesehatan (Pipit, 2009).

2.5.20 Fungsi Keluarga


Dalam suatu keluarga ada beberapa fungsi keluarga yang dapat
dijalankan yaitu sebagai berikut :
a. Fungsi biologis adalah fungsi untuk meneruskan keturunan,
memelihara dan membesarkan anak serta memenuhi kebutuhan gizi
keluarga (Mubarak, dkk 2009). Fungsi ini berhubungan dengan
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan biologis keluarga, diantaranya
kebutuhan seksual. Kebutuhan ini berhubungan dengan pengembangan
keturunan atau keinginan untuk mendapatkan keturunan. Selain itu juga
termasuk dalam fungsi biologis ini yaitu perlindungan fisik seperti
kesehatan jasmani dan kebutuhan jasmani yaitu dengan terpenuhinya
kebutuhan sandang pangan dan papan akan mempengaruhi kepada
jasmani setiap anggota keluarga.
b. Fungsi psikologis adalah memberikan kasih sayang dan rasa aman
bagi keluarga, memberikan perhatian diantara keluarga, memberikan
kedewasaan kepribadian anggota keluarga, serta memberikan identitas
pada keluarga (Mubarak, dkk 2009).
c. Fungsi sosialisasi adalah membina sosialisasi pada anak, membentuk
norma-norma tingkah laku sesuai dengan tingkat perkembangan
masing-masing dan meneruskan nilai-nilai budaya (Mubarak, dkk
2009). Fungsi sosialisasi adalah fungsi yang mengembangkan proses
interaksi dalam keluarga yang di mulai sejak lahir dan keluarga yang di
mulai sejak lahir dan keluarga merupakan tempat individu untuk belajar
bersosialisasi (Setiawati, 2008).
d. Fungsi ekonomi adalah mencari sumber-sumber penghasilan untuk
memenuhi kebutuhan keluarga saatini dan menabung untuk memenuhi
kebutuhan keluarga dimana yang akan datang (Mubarak, dkk 2009).
e. Fungsi Pendidikan adalah menyekolahkan anak untuk memberikan
pengetahuan, keterampilan, membentuk perilaku anak sesuai dengan
bakat dan minatyang dimilikiny, mempersiapkan anak untuk kehidupan
dewasa yang akan datang dalam memenuhi perannya sebagai orang
dewasa serta mendidik anak sesuai dengan tingkat perkembangannya
(Mubarak, dkk 2009).

2.5.21 Peran Keluarga Dalam Bidang Kesehatan


Keluarga dapat melaksanakan perawatan atau pemeliharaan kesehatan
dapat dilihat dari tugas kesehatan keluarga, yaitu sebagai berikut :
a. Mengenal masalah kesehatan keluarga
Kesehatan merupakan kebutuhan keluarga yang tidak boleh
diabaikan. Karena tanpa kesehatan segala sesuatu tidak akan
berarti. Orang tua perlu mengenal keadaan kesehatan dan
perubahan-perubahan yang di alami oleh anggota keluarganya.
Perubahan sekecil apapun yang dialami anggota keluarga, secara
tidak langsung akan menjadi perhatian keluarga atau orang tua.
Apabila menyadari adanya perubahan, keluarga perlu mencatat
kapan terjadinya, perubahan apayang terjadi dan seberapa besar
perubahannya. Semakin tinggi tingkat pendidikan suatu
keluargamaka semakin baik pengetahuan keluarga tersebut tentang
kesehatan. faktor yang mempengaruhi keluarga dalam mengenal
masalah kesehatan adalah karakteristik demografi keluarga, salah
satunya adalah tingkat pendidikan keluarga (Supingatno, 2014).
b. Membuat keputusan tindakan kesehatan yang tepat
Bahwa dalam perawatan pasien sebagai individu, keluarga
berperan sebagai pengambil keputusan. Tugas ini merupakan
upaya utama keluarga untuk mencari pertolongan yang tepat sesuai
dengan keadaan keluarga, dengan pertimbangan di antara anggota
keluarga yang mempunyai kemampuan memutuskan sebuah
tindakan. Tindakan kesehatan yang di lakukan oleh keluarga di
harapkan tepat agar masalah kesehatan yang sedang terjadi dapat di
kurangi atau teratasi. Jika keluarga mempunyai keterbatasan dalam
mengambil keputusan, maka keluarga dapat meminta bantuan
kepada orang lain di lingkungan tempat tinggalnya (Supingatno,
2014).
c. Memberi perawatan pada anggota keluarga yang sakit
Bahwa keluarga memberikan perawatankepada anggota
keluarganya yang sakit di rumah atau membawanya ke pelayanan
kesehatan untuk mendapat tindak lanjutan agar tidak terjadi
masalah yang lebih parah lagi. Sering kali keluarga mengambil
tindakan yang tepat, tetapi jika keluarga masih merasa mengalami
keterbatasan, maka anggota keluarga yang mengalami gangguan
kesehatan perlu memperoleh tindakan lanjutan atau perawata agar
masalah yang lebih parah tidak terjadi. Perawatan dapat dilakukan
di institusi pelayanan kesehatan atau dirumah apabila keluarga
telah memiliki kemampuan melakukan tindakan untuk pertolongan
pertama. Berikut yang harus di perhatikan oleh keluarga ketika
memberi perawatan yaitu lihat bagaimana keadaan penyakitnya
(sifat, penyebaran, 16 kompikasi, prognosis dan perawatannya),
sifat dan perkembangan perawatan yang dibutuhkan, fasilitas yang
dibutuhkan dan sikap keluarga terhadap yang sakit (Edward, 2009).
d. Mempertahankan suasana rumah yang sehat
Rumah merupakan tempat berteduh, berlindung dan
bersosialisasi bagi anggota keluarga. Sehingga anggota keluarga
akan memiliki waktu yang lebih banyak berhubungan dengan
lingkungan tempat tinggal. Oleh karena iu, kondisi rumah harus
dapat menunjang derajat kesehatan bagi anggota keluarga
(Supingatno, 2014).
e. Menggunakan fasilitas kesehatan yang ada di masyarakat
Apabila mengalami gangguan atau masalah yang berkaitan
dengan kesehatan keluarga atau anggota keluarga harus dapat
memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada disekitarnya. Keluarga
dapat berkonsultasi atau meminta bantuan tenaga keperawatan
untuk memecahkan masalah yang di alami anggota keluarganya,
sehingga keluarga dapat bebas dari segala macam penyakit. Hal
yang harus dilakukan oleh keluarga ketika memanfaatkan
pelayanan kesehatan yaitu mengetahui keberadaan fasilitas
keluarga, keuntungan-keuntungan yang diperoleh dan tingkat
kepercayaan keluarga terhadap petugas pelayanan kesehatan
(Edward, 2009).
2.6 Konsep Dasar Eklampsia
2.6.1 Pengertian
Eklampsia adalah kelainan akut pada ibu hamil, saat hamil tua,
persalinan atau masa nifas ditandai dengan timbulnya kejang atau koma,
dimana sebelumnya sudah menunjukkan gejala-gejala preeclampsia
(hipertensi, edems, proteinuri). (Wirjoatmodjo, 2010).
Eklampsia merupakan serangan konvulsi yang mendadak atau suatu
kondisi yang dirumuskan penyakit hipertensi yang terjadi oleh kehamilan,
menyebabkan kejang dan koma. (kamus istilah medis, 2011).
Eklamsi adalah penyakit akut dengan kejang dan demam, pada wanita
hamil dan wanita dalam nifas, disertai dengan hipertensi, odema,
proteinuria. (obstetrik patologi, 2014).

2.6.2 Etiologi
Etiologi dan patogenesis Pre-eklampsia dan Eklampsia saat ini
masih belum sepenuhnya dipahami, masih banyak ditemukan kontroversi,
itulah sebabnya penyakit ini sering disebut “the disease of theories”. Pada
saat ini hipotesis utama yang dapat diterima untuk dapat menerangkan
terjadinya Pre-eklampsia adalah sebagai berikut:
a) Teori Genetik
Eklamsia merupakan penyakit keturunan dan penyakit yang lebih
sering ditemukan pada anak wanita dari ibu penderita pre eklamsia.
b) Teori Imunologik
Kehamilan sebenarnya merupakan hal yang fisiologis. Janin yang
merupakan benda asing karena ada faktor dari suami secara imunologik
dapat diterima dan ditolak oleh ibu.Adaptasi dapat diterima oleh ibu bila
janin dianggap bukan benda asing,. dan rahim tidak dipengaruhi oleh
sistem imunologi normal sehingga terjadi modifikasi respon imunologi
dan terjadilah adaptasi.Pada eklamsia terjadi penurunan atau kegagalan
dalam adaptasi imunologik yang tidak terlalu kuat sehingga konsepsi
tetap berjalan.
c) Teori Iskhemia Regio Utero Placental
Kejadian eklamsia pada kehamilan dimulai dengan iskhemia utero
placenta menimbulkan bahan vaso konstriktor yang bila memakai
sirkulasi, menimbulkan bahan vaso konstriksi ginjal. Keadaan ini
mengakibatkan peningkatan produksi renin angiotensin dan
aldosteron.Renin angiotensin menimbulkan vasokonstriksi general,
termasuk oedem pada arteriol. Perubahan ini menimbulkan kekakuan
anteriolar yang meningkatkan sensitifitas terhadap angiotensin
vasokonstriksi selanjutnya akan mengakibatkan hipoksia kapiler dan
peningkatan permeabilitas pada membran glumerulus sehingga
menyebabkan proteinuria dan oedem lebih jauh.
d) Teori Radikal Bebas
Faktor yang dihasilkan oleh ishkemia placenta adalah radikal bebas.
Radikal bebas merupakan produk sampingan metabolisme oksigen yang
sangat labil, sangat reaktif dan berumur pendek. Ciri radikal bebas
ditandai dengan adanya satu atau dua elektron dan berpasangan. Radikal
bebas akan timbul bila ikatan pasangan elektron rusak. Sehingga elektron
yang tidak berpasangan akan mencari elektron lain dari atom lain dengan
menimbulkan kerusakan sel.Pada eklamsia sumber radikal bebas yang
utama adalah placenta, karena placenta dalam pre eklamsia mengalami
iskhemia. Radikal bebas akan bekerja pada asam lemak tak jenuh yang
banyak dijumpai pada membran sel, sehingga radikal bebas merusak sel
Pada eklamsia kadar lemak lebih tinggi daripada kehamilan normal, dan
produksi radikal bebas menjadi tidak terkendali karena kadar anti oksidan
juga menurun.
e) Teori Kerusakan Endotel
Fungsi sel endotel adalah melancarkan sirkulasi darah, melindungi
pembuluh darah agar tidak banyak terjadi timbunan trombosit dan
menghindari pengaruh vasokonstriktor. Kerusakan endotel merupakan
kelanjutan dari terbentuknya radikal bebas yaitu peroksidase lemak atau
proses oksidase asam lemak tidak jenuh yang menghasilkan peroksidase
lemak asam jenuh.
Pada eklamsia diduga bahwa sel tubuh yang rusak akibat adanya
peroksidase lemak adalah sel endotel pembuluh darah. Kerusakan endotel
ini sangat spesifik dijumpai pada glumerulus ginjal yaitu berupa
“glumerulus endotheliosis“. Gambaran kerusakan endotel pada ginjal
yang sekarang dijadikan diagnosa pasti adanya pre eklamsia.
f) Teori Trombosit
Placenta pada kehamilan normal membentuk derivat prostaglandin
dari asam arakidonik secara seimbang yang aliran darah menuju janin.
Ishkemi regio utero placenta menimbulkan gangguan metabolisme yang
menghasilkan radikal bebas asam lemak tak jenuh dan jenuh. Keadaan
ishkemi regio utero placenta yang terjadi menurunkan pembentukan
derivat prostaglandin (tromboksan dan prostasiklin), tetapi kerusakan
trombosit meningkatkan pengeluaran tromboksan sehingga berbanding
7 : 1 dengan prostasiklin yang menyebabkan tekanan darah meningkat
dan terjadi kerusakan pembuluh darah karena gangguan sirkulasi.
g) Teori Diet Ibu Hamil
Kebutuhan kalsium ibu hamil adalah 2 - 2½ gram per hari. Bila
terjadi kekurangan-kekurangan kalsium, kalsium ibu hamil akan
digunakan untuk memenuhi kebutuhan janin, kekurangan kalsium yang
terlalu lama menyebabkan dikeluarkannya kalsium otot sehingga
menimbulkan sebagai berikut : dengan dikeluarkannya kalsium dari otot
dalam waktu yang lama, maka akan menimbulkan kelemahan konstruksi
otot jantung yang mengakibatkan menurunnya strike volume sehingga
aliran darah menurun. Apabila kalsium dikeluarkan dari otot pembuluh
darah akan menyebabkan konstriksi sehingga terjadi vasokonstriksi dan
meningkatkan tekanan darah.

2.6.3 Klasifikasi
Berdasarkan waktu terjadinya, eksklampsia dapt dibagi:
1. Eklampsia gravidarum
a. Kejadian 50% sampai 60%
b. Serangan terjadi dalam keadaan hamil
2. Eklampsia parturientum
a. Kejadian sekitar 30% sampai 35%
b. Batas dengan eklampsia gravidarum sukar ditentukan terutama saat
mulai inpartu
3. Eklampsia puerperium
a. Kejadian jarang yaitu 10%
b. Terjadi serangan kejang atau koma setelah persalinan berakhir.

2.6.4 Manifestasi Klinis


Eklampsia terjadi pada kehamilan 20 minggu atau lebih, yaitu: kejang-
kejang atau koma. Kejang dalam eklampsia ada 4 tingkat, meliputi
1. Tingkat awal atau aura (invasi)
Berlangsung 30 – 35 detik, mata terpaku dan terbuka tanpa melihat
(pandangan kosong), kelopak mata dan tangan bergetar, kepala diputar ke
kanan dan ke kiri.
2. Stadium kejang tonik
Seluruh otot menjadi kaku, wajah kaku, tangan menggenggam dan kaki
membengkok kedalam, pernafasan berhenti, muka mulai kelihatan
sianosis, lidah dapat tergigit, berlangsung kira – kira 20 – 30 detik.
3. Stadium kejang klonik
Semua otot berkontraksi dan berulang – ulang dalam waktu yang cepat,
mulut terbuka dan menutup, keluar ludah berbusa, dan lidah dapat
tergigit.Mata melotot, muka kelihatan kongesti dan sianosis.Setelah
berlangsung 1 -2 menit kejang klonik berhenti dan penderita tidak sadar,
menarik nafas, seperti mendengkur.
4. Stadium koma
Lamanya ketidaksadaran ini beberapa menit sampai berjam –
jam.Kadang antara kesadaran timbul serangan baru dan akhirnya
penderita tetap dalam keadaan koma.
2.6.5 Komplikasi
Komplikasi yag terberat adalah kematian ibu dan janin. Usaha utama ialah
melahirkan bayi hidup dari ibu yang menderita eklampsia. Komplikasi di
bawah ini biasanya terjadi pada eklampsia :
1. Solusio plasenta.
Komplikas ini biasanya terjadi pada ibu yang menderita hipertensi akut
dan lebih sering terjadi pada pre-eklampsia. Di rumah Sakit Dr. Cipto
Mangunkusumo 15,5% solusio plasenta disertai pre-eklampsia.
2. Hipofibrinogenemia
Pada eklampsia, ditemuka 23% hipofibrinogenemia. Maka perlu
dilakukan pemeriksaan kadar fibrinogen secara berkala.
3. Hemolisis
Penderita dengan eklampsia berat kadang-kadang menunjukkan gejala
klinik hemolisis yang dikenal karea ikterus. Belum diketahui dengan
pasti apakah ini merupakan kerusakan sel-sela hati atau destruksi sel
darah merah. Nekrosis periportal hati yang sering ditemukan pada
autopsi penderita eklampsia dapat menerangkan ikterus tersebut.
4. Perdarahan otak
Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian maternal
penderita eklampsia.
5. Kelainan mata
Kehilangan penglihatan untuk sementara, yang berlangsung sampai
seminggu, dapat terjadi. Perdarahan kadang-kadang terjadi pada retina,
hal ini merupakan tanda gawat akan terjadinya apopleksia serebri.
6. Edema paru-paru
Zuspan (2008) menemukan hanya satu penderita dari 69 kasus
eklampsia, hal ini disebabkan karena payah jantung.
7. Nekrosis hati
Nekrosis periportal hati pada eklampsia merupakan akibat vasopasmus
arteriol umum. Kelainan ini diduga khas untuk eklampsia, tapi ternyata
juga ditemukan pada penyakit lain. Kerusakan sel-sel hati juga dapat
diketahui dengan pemeriksaan faal hati, terutama penentuan enzim-
enzimnya.
8. Sindroma HEELP
Yaitu haemolysis, elevated liver enzymes, dan low platelet.
9. Kegagalan Ginjal
Kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembengkakan
sitoplasma sel endotelialtubulus ginjal tanpa kelainan struktur lainnya.
Kelainan lain yang dapat timbul ialah anuria sampai gagal ginjal.
10. Komplikasi lain
Lidah tergigit, trauma dan fraktura karena jatuh akibat kejang-kejang,
pneumonia aspirasi, dan DIC (dessiminated intravascular
coogulation).
11. Prematuritas, dismaturitas, dan kematian intra-uterin.

2.6.6 Patofisiologi
Eklampsia dimulai dari iskemia uterus plasenta yang di duga
berhubungan dengan berbagai faktor. Satu diantaranya adalah peningkatan
resisitensi intra mural pada pembuluh miometrium yang berkaitan dengan
peninggian tegangan miometrium yang ditimbulkan oleh janin yang besar
pada primipara, anak kembar atau hidraminion.
Iskemia utero plasenta mengakibatkan timbulnya vasokonstriksor
yang bila memasuki sirkulasi menimbulkan ginjal, keadaan yang
belakangan ini mengakibatkan peningkatan produksi rennin, angiostensin
dan aldosteron. Rennin angiostensin menimbulkan vasokontriksi
generalisata dan semakin memperburuk iskemia uteroplasenta. Aldosteron
mengakibatkan retensi air dan elektrolit dan udema generalisator termasuk
udema intima pada arterior.
Pada eklampsia terdapat penurunan plasma dalam sirkulasi dan
terjadi peningkatan hematokrit. Perubahan ini menyebabkan penurunan
perfusi ke organ , termasuk ke utero plasental fatal unit. Vasospasme
merupakan dasar dari timbulnya proses eklampsia. Konstriksi vaskuler
menyebabkan resistensi aliran darah dan timbulnya hipertensi arterial.
Vasospasme dapat diakibatkan karena adanya peningkatan sensitifitas dari
sirculating pressors. Eklamsi yang berat dapat mengakibatkan kerusakan
organ tubuh yang lain. Gangguan perfusi plasenta dapat sebagai pemicu
timbulnya gangguan pertumbuhan plasenta sehinga dapat berakibat
terjadinya Intra Uterin Growth Retardation.

2.6.7 Penatalaksanaan
1. Penanganan Kejang :
a. Beri obat anti konvulsan
b. Perlengkapan untuk penanganan kejang (jalan nafas, sedeka,sedotan,
masker O2 & tabung O2)
c. Lindungi pasien dengan keadaan trauma
d. Aspirasi mulut dan tonggorokkan
e. Baringkan pasien pada posisi kiri, trendelenburg untuk mengurangi
resiko aspirasi
f. Beri oksigen 4-6 liter / menit
2. Penanganan Umum :
a. Jika tekanan diastolic > 110 mmHg, berikan hipertensi sampai
tekanan diastolic diantara 90-100 mmHg.
b. Pasang infuse RL dengan jarum besar (16 gauge atau lebih)
c. Ukur keseimbangan cairan jangan sampai terjadi overload
d. Kateterisasi urine untuk mengeluarkan volume dan proteinuric
e. Jika jumlah urine kurang dari 30 ml / jam
f. Infus cairan dipertahankan 1 1/8 ml/jam
g. Pantau kemungkinan oedema paru
h. Jangan tinggalkan pasien sendirian. Kejang disertai aspirasi dapat
mengakibatkan kematian ibu dan janin.
i. Observasi tanda-tanda vital, refleks dan denyut jantung setiap jam
j. Auskultasi paru untuk mencari tanda-tanda oedema paru. Jika ada
oedema paru hentikan pemberian cairan dan berikan diuretic
k. Nilai pembekuan darah dengan uji pembekuan beadside
l. Dosis awal : beri MgSO4 (4 gram) per IV sebagai larutan 20%,
selama 5 menit. Diikuti dengan MgSO4 (50%) 5 gr 1ml dengan 1 ml
lignokain 2% (dalam setopril yang sama) pasien akan merasa agar
panas sewaktu pemberian MgSO4
m. Dosis pemeliharaan : MgSO4 (50%) 5 gr + lignokain 2% (1ml) 1 m
setiap 4 jam kemudian dilanjutkan sampai 24 jam pasca persalinan
atau kejang terakhir
n. Sebelum pemberian MgSO4 periksa : frekuensi pernafasan minimal
16 / menit. Refleks Patella (+), urin minimal 30 ml / jam dalam 4
jam terakhir
o. Stop pemberian MgSO4, jika : frekuensi pernafasan abnormal.
p. Siapkan antidotlim jika terjadi henti nafas, Bantu dengan ventilator.
Beri kalsium glukonat 2 gr ( 20 ml dalam larutan 10%) IV perlahan-
lahan sampai pernafasan mulai lagi.

2.6.8 Diagnosa
1. Resiko cidera berhubungan dengan kejang berulang
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik
3. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif
2.7 Konsep Dasar HIV/AIDS
2.7.1 Definisi
HIV ( Human immunodeficiency Virus ) adalah virus pada manusia yang
menyerang system kekebalan tubuh manusia yang dalam jangka waktu yang
relatif lama dapat menyebabkan AIDS, sedangkan AIDS sendiri adalah suatu
sindroma penyakit yang muncul secara kompleks dalam waktu relatif lama
karena penurunan sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV.

HIV adalah jasad renik yang menyebabkan terjadinya AIDS. HIV


melumpuhkan sistem kekebalan tubuh, terutama sel-sel darah putih yang
membantu dalam menghalau penyakit (Dr. Hutapea Ronald, 2011).

 AIDS adalah sindrom dengan gejala penyakit oportunistik atau kanker


tertentu akibat menurunnya system kekabalan tubuh oleh infeksi virus
HIV (Brunner,2001).
 AIDS adalah tranmisi human imuno defisiensi virus, suatu retrovirus
yang terjadi terutama melalui pertukaran cairan tubuh (Friedland,
1987).
 AIDS adalah suatu penyakit infeksi yang di sebabkan virus HTL

2.7.2 Insiden
Sejumlah infeksi virus HIV terdiagnosis baru di tahun 2000
merupakan yang tertinggi sejak pelaporan di mulai dan jumlah infeksi
yang di dapat baru adalah melalui hubungan seksual heteroseksual. Kira-
kira 30.000orang hidp dengan HIV di inggris, sepertiganya tidak
terdiagnosis.

Bagi ibu positif HIV, kehamilan dan kelahiran bayi bias


merupakan kejadian yang sangat emosional. Ibu akan merasa sangat
waspada terhdapa penyakitnya yang serius dan kemungkinan bayinya akan
di lahirkan postif HIV. Penularan intrauterine dapat terjadi selama
kehamilan, kelahiran, atau menyusui. Di perkirakan bahwa ibuyang baru
saja terinfeksi, atau ibu yang menderita sindrom imnunodefisiensi didapat
(AIDS) lebih besar kemungkinnya mendapat bayi yang terinfeksi
(AVERT,2003). Ibu positif HIV memerlukan asuhan sensitive dari semua
staf, bimbingan, dan waktu khusus untuk bicara. Ibu mungkin meminta
kamar samping tetapi banyak ibu lain ingin bersama orang tua lainnya dan
tidak di pisahkan. Kerahasiaan adalah vital.

2.7.3 Etiologi
Penyebab infeksi adalah golongan virus retro yang disebut human
immunodeficiency virus (HIV). HIV pertama kali ditemukan pada tahun
1983 sebagai retrovirus dan disebut HIV-1. Pada tahun 1986 di Afrika
ditemukan lagi retrovirus baru yang diberi nama HIV-2. HIV-2 dianggap
sebagai virus kurang pathogen dibandingkaan dengan HIV-1. Maka untuk
memudahkan keduanya disebut HIV.

Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu :

1. Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi.


Tidak ada gejala.
2. Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1-2 minggu dengan gejala flu
likes illness.
3. Infeksi asimtomatik. Lamanya 1-15 tahun atau lebih dengan gejala
tidak ada.
4. Supresi imun simtomatik. Diatas 3 tahun dengan gejala demam,
keringat malam hari, BB menurun, diare, neuropati, lemah, ruam
kulit, limadenopati, perlambatan kognitif, lesi mulut.
5. AIDS. Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS
pertama kali ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan
tumor pada berbagai system tubuh, dan manifestasi neurologist
(NANDA nic-noc).
Cara penularan HIV:

1. Melakukan penetrasi seks yang tidak aman dengan seseorang yang


telah terinfeksi. Kondom adalah satu–satunya cara dimana penularan
HIV dapat dicegah.
2. Melalui darah yang terinfeksi yang diterima selama transfusi darah
dimana darah tersebut belum dideteksi virusnya atau pengunaan
jarum suntik yang tidak steril.
3. Dengan mengunakan bersama jarum untuk menyuntik obat bius
dengan seseorang yang telah terinfeksi.
4. Wanita hamil dapat juga menularkan virus ke bayi mereka selama
masa kehamilan atau persalinan dan juga melalui menyusui.
Penularan secara perinatal:

1. Ibu hamil yang terinfeksi HIV dapat menularkan HIV pada bayi yang
dikandungnya.
2. Penularan dari ibu terjadi terutama pada saat proses melahirkan,
karena pada saat itu terjadi kontak secara lansung antara darah ibu
dengan bayi sehingga virus dari ibu dapat menular pada bayi.
3. Bayi juga dapat tertular virus HIV dari ibu sewaktu berada dalam
kandungan atau juga melalui ASI
4. Ibu dengan HIV dianjurkan untuk PASI
Kelompok resiko tinggi:

1. Lelaki homoseksual atau biseks.


2. Orang yang ketagian obat intravena
3. Partner seks dari penderita AIDS
4. Penerima darah atau produk darah (transfusi).
5. Bayi dari ibu/bapak terinfeksi (purwaningsih,wahyu.2010).

2.7.4 Klasifikasi
CDC adalah menerapkan system klasifikasi pasien yang
mengalami infeksi HIV berdasarkan keadaan klinik yang di jumpai
sebagai berikut.
1. Grup 1/ infeksi akut
Penyakit serokonveksi sampai AIDS berlangsung beberapa tahun
kemudian infeksi akut dari awal virus menginfeksi sampai kiara kira 6
minggu.
Penyakit seokonveksi ada 3 yaitu:

a. Penyakit mirip infeksi mononukleus.


Gejala demam, malaise, alergi, mialgia, atralgia, limfadenopati dan
nyeri tenggorokan kadang di jumpai juga enselopati akut reversible
di sertai disorientasi, lupa ingatan, kesadaran menurun dan
perubahan kepribadian.

b. Meningitis.
c. Mielopati
2. Grup 2/ infeksi asimtomatik
Tanpa di sertai gejala

3. Grup 3/ infeksi lymphadenopathy peprsisten generalisata


Meliputi: infeksi kronis
Adanya pembesaran kelenjar getah bening

4. Grup 4/ penyakit lain


a. Sub grup a: penyakit constitutional
b. Sub grup b: penyakit neurologic
c. Sub grup c: penyakit infeksi lain contoh: herpes
d. Sub grup d: kanker sukender
e. Sub grup e kondisi lainnya, misalnnya pneumonitis interstitial limfosit
(purwaningsih,wahyu. 2010).

2.7.5 Patofisiologi
HIV masuk kedalam darah dan mendekati sel T–helper dengan
melekatkan dirinya pada protein CD4. Sekali ia berada di dalam, materi
viral (jumlah virus dalam tubuh penderita) turunan yang disebut RNA
(ribonucleic acid) berubah menjadi viral DNA (deoxyribonucleic acid)
dengan suatu enzim yang disebut reverse transcriptase. Viral DNA tersebut
menjadi bagian dari DNA manusia, yang mana, daripada menghasilkan
lebih banyak sel jenisnya, benda tersebut mulai menghasilkan virus–virus
HI. Enzim lainnya, protease, mengatur viral kimia untuk membentuk virus–
virus yang baru. Virus–virus baru tersebut keluar dari sel tubuh dan
bergerak bebas dalam aliran darah, dan berhasil menulari lebih banyak sel.
Ini adalah sebuah proses yang sedikit demi sedikit dimana akhirnya merusak
sistem kekebalan tubuh dan meninggalkan tubuh menjadi mudah diserang
oleh infeksi dan penyakit–penyakit yang lain. Dibutuhkan waktu untuk
menularkan virus tersebut dari orang ke orang.
Respons tubuh secara alamiah terhadap suatu infeksi adalah untuk
melawan sel–sel yang terinfeksi dan menggantikan sel–sel yang telah
hilang. Respons tersebut mendorong virus untuk menghasilkan kembali
dirinya. Jumlah normal dari sel–sel CD4+T pada seseorang yang sehat
adalah 800–1200 sel/ml kubik darah. Ketika seorang pengidap HIV yang
sel–sel CD4+ T–nya terhitung dibawah 200, dia menjadi semakin mudah
diserang oleh infeksi–infeksi oportunistik. Infeksi–infeksi oportunistik
adalah infeksi–infeksi yang timbul ketika system kekebalan tubuh tertekan.
Pada seseorang dengn system kekebalan yang sehat. Infeksi infeksi tersebut
tidak biasanya mengancam hidup mereka tetapi bagi seorang pengindap
HIV hal tersebut dapat teradi fatal (purwaningsih, wahyu.2010)

2.7.6 Periode Penularan HIV/ AIDS Pada Ibu Hamil


Penyebab penularan AIDS pada ibu dan bayi adalah cairan serviks
vagian, cairan amnion, jaringan plasenta dan air susu yang berasal dari ibu
yang darah darahnya terdapat virus HIV.
Cara penularannya secara:

1. Transmisi vertical
Melalui inutera, lewat plasenta
Dimana antigen HIV dapat di deteksi dalam cairan amnion dan
jarinanvetus yang terlihat dari terminasi kehamilan yang berusia 15
minggu.
2. Transmisi horizontal
Transmisinya melalui air susu (purwaningsih,wahyu.2010).

2.7.7 Tanda Dan Gejala HIV/ AIDS


HIV memasuki tubuh jika serum HIV menjafi positif dalam 10
minggu suatu pemaparan yang menunjukkan gejala awal yang tidak
spesifik yaitu:

1. Respon tipe influenza.

2. Demam.
3. Malaise.
4. Mialgia.
5. Mual
6. Diare
7. Nyeri tenggorokan
8. Ruam dapat menetap 2-3 minggu
9. Berat badan menurun
10. Fatique.
11. Anoreksia.
12. Mungkin menderita kandidiasis otot faring atau vagina
Pada masa perinatal

1. Keletihan
2. Anoreksi.
3. Diare kronik selama 1 bulan.
Kemataian ibu hamil dengan HIV positif kebanyakan di sebabkan oleh
penyakit oportunistik yang menyertai terutama pneumonitis carinif
pneumonia.

2.7.8 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan laboratorium darah.
a. Trombositopeni
b. Anemia.
c. HDL>
d. Jumlah limfosit total
2. EIA atau EUSA dan tes western blot: postif, tetapi invalid.
a. EIAatau EUSA: mendeteksi antibody terhadap antigen HIV.
b. Test western blot mendeteksi adanya anti body terhadapbeberapa
prot spesifik HIV.
3. Kultur HIV: dengan sel mononuclear darah perifer dan bila tersedia
plasma dapat mengukur beban virus.
4. Test reaksi polimer dengan leukosit darah perifer: mendeteksi DNA
viral pada adanya kuntitas kecil sel mononuclear perifer terinfeksi.
5. Antigen P24 serum atau plasma: peningkatan nilai kuantitatif dapat
menjadi indikasi dari kemajuan infeksi.
6. Penentuan immunoglobulin G, M, A serum kualitatif: data dasar
immunoglobulin.
7. IFA: memastikan seropesivitas.
8. RIPA: mendteksi protein HIV.
9. Pemeriksaan parental juga dapat menunjukkan adanya goorhoe,
kandidiasis, hepatitis B, tuberkolosis, sitomegalovirus, dan
toksoplasmosis (purwaningsih,wahyu.2010).
2.7.9 Penatalaksanaan
1. Penanganan infeksi yang berhubungan dengan HIV serta maliginasi,
pengentian replikasi HIV lewat preparat antivirus dan penguatan serta
pemulihan system imun melaui pengunaan preparat imnimodulator.
2. Terapi farmakologi
a. Obat primer di setujiu untuk terapi HIV yaitu azidodeoksimetidin
(zidovudine,A2T cretevir) berfungsi untuk memperlambat kematian
dan menurunkan frekuensi serta bertanya penyakit oportunistik.
b. Asitimidin terkendali pada wanita hamil mengurangi resiko
transmisi HIV dari wanita yang terinfeksi kejaninnya.
c. Perawatan suportif sangat penting karena infeksi HIV sangat
menurunkan kedaan imun pasien (mencankup, kelemahan,
malnutris, imobilisasi, kerusakan kulit dan perubahan status mental).
d. Memberikan perawatan kesehatan efektif dengan penuh kasih saying
dan obyektif pada semua individu (mencakup, malnutrisi, optimum,
istirahat, latihan fisik, dan reduksi stress) (purwaningsih,
wahyu.2010)

2.8 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan HIV/AIDS


2.8.1 Pengkajian
1. Biodata Klien
Nama, umur, jenis kelamin, agama, suku dana kebangsaan,
pendidikan, pekerjaan, alamat, nomor regester, tanggal Masuk Rumah
Sakit , diagnosa medis.

2. Riwayat Penyakit
Jenis infeksi sering memberikan petunjuk pertama karena
sifat kelainan imun. Umur kronologis pasien juga mempengaruhi
imunokompetens. Respon imun sangat tertekan pada orang yang
sangat muda karena belum berkembangnya kelenjar timus. Pada lansia,
atropi kelenjar timus dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi.
Banyak penyakit kronik yang berhubungan dengan melemahnya fungsi
imun. Diabetes meilitus, anemia aplastik, kanker adalah beberapa
penyakit yang kronis, keberadaan penyakit seperti ini harus dianggap
sebagai factor penunjang saat mengkaji status imunokompetens pasien.
Berikut bentuk kelainan hospes dan penyakit serta terapi yang
berhubungan dengan kelainan hospes :

 Kerusakan respon imun seluler (Limfosit T )


Terapi radiasi, defisiensi nutrisi, penuaan, aplasia timik, limfoma,
kortikosteroid, globulin anti limfosit, disfungsi timik congenital.

 Kerusakan imunitas humoral (Antibodi)


Limfositik leukemia kronis, mieloma, hipogamaglobulemia
congenital, protein liosing enteropati (peradangan usus)

3. Pemeriksaan Fisik (Objektif) dan Keluhan (Subyektif)


a) Aktifitas / Istirahat
- Gejala: Mudah lelah,intoleran activity,progresi
malaise,perubahan pola tidur.
- Tanda : Kelemahan otot, menurunnya massa otot,
respon fisiologi aktifitas ( Perubahan TD, frekuensi
Jantun dan pernafasan ).
b) Sirkulasi
- Gejala : Penyembuhan yang lambat (anemia),
perdarahan lama pada cedera.
- Tanda : Perubahan TD postural,menurunnya volume
nadi perifer, pucat / sianosis, perpanjangan pengisian
kapiler.
c) Integritas dan Ego
- Gejala : Stress berhubungan dengan
kehilangan,mengkuatirkan penampilan, mengingkari
doagnosa, putus asa,dan sebagainya.
- Tanda : Mengingkari,cemas,depresi,takut,menarik diri,
marah.
d) Eliminasi
- Gejala : Diare intermitten, terus menerus, sering dengan
atau tanpa kram abdominal, nyeri panggul, rasa terbakar
saat miksi
- Tanda : Feces encer dengan atau tanpa mucus atau
darah, diare pekat dan sering, nyeri tekan abdominal,
lesi atau abses rectal, perianal, perubahan jumlah, warna
dan karakteristik urine.
e) Makanan / Cairan
- Gejala : Anoreksia, mual muntah, disfagia
- Tanda : Turgor kulit buruk, lesi rongga mulut,
kesehatan gigi dan gusi yang buruk, edema.

f) Hygiene
- Gejala : Tidak dapat menyelesaikan AKS
- Tanda : Penampilan tidak rapi, kurang perawatan diri.
g) Neurosensoro
- Gejala : Pusing, sakit kepala, perubahan status
mental,kerusakan status indera,kelemahan
otot,tremor,perubahan penglihatan.
- Tanda : Perubahan status mental, ide paranoid, ansietas,
refleks tidak normal,tremor,kejang,hemiparesis,kejang.
h) Nyeri / Kenyamanan
- Gejala : Nyeri umum / local, rasa terbakar, sakit
kepala,nyeri dada pleuritis.
- Tanda : Bengkak sendi, nyeri kelenjar,nyeri
tekan,penurunan rentan gerak,pincang.
i) Pernafasan
- Gejala : ISK sering atau menetap, napas pendek
progresif, batuk, sesak pada dada.
- Tanda : Takipnea, distress pernapasan, perubahan bunyi
napas, adanya sputum.
j) Keamanan
- Gejala : Riwayat jatuh, terbakar,pingsan,luka,transfuse
darah,penyakit defisiensi imun, demam
berulang,berkeringat malam.
- Tanda : Perubahan integritas kulit,luka perianal / abses,
timbulnya nodul, pelebaran kelenjar limfe, menurunya
kekuatan umum, tekanan umum.
k) Seksualitas
- Gejala : Riwayat berprilaku seks dengan resiko tinggi,
menurunnya libido, penggunaan pil pencegah
kehamilan.
- Tanda : Kehamilan,herpes genetalia.

l) Interaksi Sosial
- Gejala : Masalah yang ditimbulkan oleh diagnosis,
isolasi, kesepian, adanya trauma AIDS.
- Tanda : Perubahan interaksi.

2.8.2 Pemeriksaan Diagnostik


a. Tes Laboratorium
Telah dikembangkan sejumlah tes diagnostic yang sebagian
masih bersifat penelitian. Tes dan pemeriksaan laboratorium
digunakan untuk mendiagnosis Human Immunodeficiency
Virus (HIV) dan memantau perkembangan penyakit serta
responnya terhadap terapi Human Immunodeficiency Virus
(HIV).
 Serologis
- Tes blot western
Mengkonfirmasi diagnosa Human Immunodeficiency Virus
(HIV)

- Sel T limfosit
Penurunan jumlah total

- Sel T4 helper
Indikator system imun (jumlah <200>

- T8 ( sel supresor sitopatik )


Rasio terbalik ( 2 : 1 ) atau lebih besar dari sel suppressor pada
sel helper ( T8 ke T4 ) mengindikasikan supresi imun.

- P24 ( Protein pembungkus HIV)


Peningkatan nilai kuantitatif protein mengidentifikasi progresi
infeksi.

- Kadar Ig
Meningkat, terutama Ig A, Ig G, Ig M yang normal atau
mendekati normal

- Reaksi rantai polimerase


Mendeteksi DNA virus dalam jumlah sedikit pada infeksi sel
perifer monoseluler.

- Tes PHS
- Kapsul hepatitis B dan antibody, sifilis, CMV mungkin
positif
 Neurologis
- EEG, MRI, CT Scan otak, EMG (pemeriksaan saraf)
- Tes Lainnya
- Sinar X dada
- Menyatakan perkembangan filtrasi interstisial dari PCP
tahap lanjut atau adanya komplikasi lain
- Tes Fungsi Pulmonal
- Deteksi awal pneumonia interstisial
- Skan Gallium Ambilan difusi pulmonal terjadi pada PCP
dan bentuk pneumonia lainnya.
- Biopsis
- Diagnosa lain dari sarcoma Kaposi
- Bronkoskopi / pencucian trakeobronkial Dilakukan dengan
biopsy pada waktu PCP ataupun dugaan kerusakan paru-
paru
 Tes Antibodi
Jika seseorang terinfeksi Human Immunodeficiency
Virus (HIV), maka system imun akan bereaksi dengan
memproduksi antibody terhadap virus tersebut. Antibody
terbentuk dalam 3 – 12 minggu setelah infeksi, atau bisa
sampai 6 – 12 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa orang
yang terinfeksi awalnya tidak memperlihatkan hasil tes
positif. Tapi antibody ternyata tidak efektif, kemampuan
mendeteksi antibody Human Immunodeficiency
Virus(HIV) dalam darah memungkinkan skrining produk
darah dan memudahkan evaluasi diagnostic. Pada tahun
1985 Food and Drug Administration (FDA) memberi
lisensi tentang uji kadar Human Immunodeficiency Virus
(HIV) bagi semua pendonor darah atau plasma. Tes
tersebut, yaitu:

- Tes Enzym – Linked Immunosorbent Assay ( ELISA)


Mengidentifikasi antibody yang secara spesifik
ditujukan kepada virus Human Immunodeficiency Virus
(HIV). ELISA tidak menegakan diagnosa AIDS tapi hanya
menunjukkan bahwa seseorang terinfeksi atau pernah
terinfeksi (HIV). Orang yang dalam darahnya terdapat
antibody Human Immunodeficiency Virus (HIV) disebut
seropositif.
- Western Blot Assay
Mengenali antibody Human Immunodeficiency Virus
(HIV) dan memastikan seropositifitas Human
Immunodeficiency Virus (HIV)

- Indirect Immunoflouresence
Pengganti pemeriksaan western blot untuk
memastikan seropositifitas.

- Radio Immuno Precipitation Assay ( RIPA )


Mendeteksi protein dari pada antibody.

2.8.3 Diagnosa Keperawatan


1. Resiko infeksi.
2. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
3. Intolerans aktivitas.
4. Penurunan koping keluarga
2.9 Konsep Dasar Hepatitis
2.9.1 Definisi
Penyakit Hepatitis adalah peradangan pada hati karena toxin,
seperti kimia, obat atau agen penyebab infeksi. Penyakit ini disebabkan
oleh beberapa jenis virus yang menyerang dan menyebabkan peradangan
serta merusak sel-sel organ hati manusia. Hepatitis yang berlangsung
kurang dari 6 bulan disebut hepatitis akut, hepatitis yang berlangsung lebih
dari 6 bulan disebut hepatitis kronis. Hepatitis diketegorikan dalam
beberapa golongan, diantaranya hepatitis A, hepatitis B, hepatitis C,
hepatitis D, hepatitis E, dan hepatitis  G.

2.9.2 Penyebab
Hepatitis  diisebabkan oleh beberapa jenis virus  yang
diketegorikan dalam beberapa golongan, diantaranya hepatitis A, hepatitis
B, hepatitis C, hepatitis D, hepatitis E, dan hepatitis  G. Hepatitis juga
terjadi karena infeksi virus lainnya, seperti mononukleosis itinfeksiosa,
demam kuning  dan infeksi Virus Mumps, Virus Rubella, Virus
Cytomegalovirus, Virus Epstein-Barr, Virus Herpes. Penyebab hepatitis
non - virus yang utama adalah alkohol dan obat-obatan.

2.9.3 Jenis – Jenis


1. Hepatitis A
2.      Hepatitis B
3.      Hepatitis C
4.      Hepatitis D
5.      Hepatitis E
6.      Hepatitis G

Berikut adalah penjelasan mengenai masing – masing jenis Penyakit Hepatitis


A. HEPATITIS A
1.        Definisi
Penyakit Hepatitis A adalah golongan penyakit Hepatitis yang
ringan dan jarang sekali menyebabkan kematian, Virus Hepatitis A
(VHA=Virus Hepatitis A).  Penyakit Hepatitis A disebabkan oleh virus yang
disebarkan oleh kotoran / tinja penderita biasanya dengan penularan
melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi (fecal - oral), bukan
melalui aktivitas seksual atau melalui darah. Hepatitis A paling ringan
dibanding hepatitis jenis lain (B dan C). Penyebaran melalui tinja / kotoran
terjadi akibat buruknya tingkat kebersihan. Di negara-negara berkembang
sering terjadi wabah yang penyebarannya terjadi melalui air dan makanan.
Sebagai contoh, ikan atau kerang yang berasal dari kawasan air yang
dicemari oleh kotoran manusia penderita.
2.        Masa inkubasi
Penyakit Hepatitis A memiliki masa inkubasi 2 sampai 6 minggu
sejak waktu terkespos atau terpapar terjadi, kemudian penderita
menunjukkan beberapa tanda dan gejala terserang penyakit Hepatitis A.
3.      Tanda dan Gejala
Penderita akan mengalami gejala – gejala subyektif dan obyektif
( berdasarkan pemeriksaan klinis).
         Gejala – gejala subyektif berupa  lemah, letih, lesu, hilang nafsu
makan, seringkali terjadi mual dan muntah yang terus menerus sehingga
menyebabkan seluruh badan terasa lemas.
         Gejala – gejala obyektif yang ditemukan setelah pemeriksaan adalah
Demam  ( suhu tubuh di atas 37,20C), mata dan kulit menjadi kuning, urin
berwarna  tua dan pekat, dan tinja pucat. Demam yang terjadi adalah demam
yang terus menerus, tidak seperti demam yang lainnya yaitu pada demam
berdarah, tbc, thypus.

Berdasarkan stadium yang diderita Hepatitis A dibagi menjadi 3 stadium:


(1)   Pendahuluan (prodromal) dengan gejala letih, lesu, demam, kehilangan
selera makan dan mual;
(2)   Stadium dengan gejala kuning (stadium ikterik); dan
(3)   Stadium kesembuhan (konvalesensi). Gejala kuning tidak selalu
ditemukan. Untuk memastikan diagnosis dilakukan pemeriksaan enzim hati,
SGPT, SGOT karena pada hepatitis A bisa terjadi radang saluran empedu,
maka pemeriksaan gama - GT dan alkali fosfatase dapat dilakukan di samping
kadar bilirubin.
4.      Masa Pengasingan yang disarankan
Selama 2 minggu setelah gejala pertama atau 1 minggu setelah
penyakit kuning muncul. Pasien juga diharapkan menjaga kebersihan.
5.      Pencegahan
       Sebagai usaha pencegahan, menjaga kebersihan perorangan seperti
mencuci tangan dengan teliti dan menggunakan prinsip 6 langkah diperlukan
untuk meminimalisasi penyebaran mata rantai penyakit Hepatitis A. Jenis
imunisasi hepatitis A dibagi menjadi :
1.      Imunisasi Hepatitis A bisa dilakukan dalam bentuk sendiri (Havrix)
2.      Kombinasi dengan vaksin Hepatitis B (Twinrix).
Imunisasi hepatitis A dilakukan dua kali, yaitu vaksinasi dasar dan
booster yang dilakukan 6 - 12 bulan kemudian. Imunisasi hepatitis A
dianjurkan bagi orang yang potensial terinfeksi seperti penghuni asrama
dan mereka yang sering jajan di luar rumah.
6.      Pengobatan
Penderita yang menunjukkan gejala Hepatitis A seperti minggu
pertama munculnya yang disebut penyakit kuning, letih dan sebagainya ,
diharapkan tidak banyak beraktivitas serta segera mengunjungi fasilitas
pelayan kesehatan terdekat untuk mendapatkan pengobatan dari gejala yang
timbul seperti paracetamol sebagai penurun demam dan pusing, vitamin
untuk meningkatkan daya tahan tubuh dan nafsu makan dan obat mual.

B.  HEPATITIS B
1.      Definisi
       Hepatitis B merupakan salah satu penyakit menular yang tergolong
berbahaya di dunia, Penyakit ini disebabkan oleh Virus Hepatitis B (VHB), suatu
anggota famili Hepadnavirus pada sebagian kecil kasus dapat berlanjut menjadi
sirosis hati atau kanker hati yang menyerang hati dan menyebabkan peradangan
hati akut atau menahun. Seperti halnya Hepatitis C, kedua penyakit ini dapat
menjadi kronis dan akhirnya menjadi kanker hati.
       Penyebab Hepatitis ternyata tak semata-mata virus. Keracunan obat, dan
paparan berbagai macam zat kimia seperti karbon tetraklorida, chlorpromazine,
chloroform, arsen, fosfor, dan zat-zat lain yang digunakan sebagai obat dalam
industri modern, bisa menyebabkan Hepatitis. Zat-zat kimia ini mungkin saja
tertelan, terhirup atau diserap melalui kulit penderita. Menetralkan suatu racun
yang beredar di dalam darah adalah pekerjaan hati. Jika banyak sekali zat kimia
beracun yang masuk ke dalam tubuh, hati bisa saja rusak sehingga tidak dapat lagi
menetralkan racun-racun lain.
       Di daerah Timur dan Afrika, beberapa kasus hepatitis B berkembang
menjadi hepatitis menahun, sirosis dan kanker hati. Mula-mula dikenal sebagai
serum hepatitis dan telah menjadi epidemi pada sebagian Asia dan Afrika.
Hepatitis B telah menjadi endemik di Tiongkok dan berbagai negara Asia.
2.      Proses Penularan
       Proses penularan Hepatitis B yaitu melalui pertukaran cairan tubuh atau
kontak dengan darah dari orang yang terinfeksi Hepatitis B. Penularannya tidak
semudah virus hepatitis A. Virus hepatitis B ditularkan melalui darah atau produk
darah. Hepatitis B dapat menyerang siapa saja, tetapi umumnya bagi mereka yang
berusia produktif akan lebih berisiko terkena penyakit.
Proses penularan penyakit Hepatitis B dibedakan menjadi dua :
       Secara vertikal, cara penularan vertikal terjadi dari Ibu yang mengidap virus
Hepatitis B kepada bayi yang dilahirkan yaitu pada saat persalinan atau segera
setelah persalinan.
       Secara horizontal, terjadi akibat penggunaan alat suntik yang tercemar, tindik
telinga, tusuk jarum, transfusi darah, penggunaan pisau cukur dan sikat gigi secara
bersama-sama (jika penderita memiliki penyakit mulut (sariawan, gusi berdarah)
atau luka yang mengeluarkan darah) serta hubungan seksual dengan penderita
atau mitra seksual (baik heteroseksual maupun pria homoseksual).
       Sebagai antisipasi, biasanya terhadap darah-darah yang diterima dari
pendonor akan di tes terlebih dulu apakah darah yang diterima reaktif terhadap
Hepatitis, Sipilis dan HIV.
     
3.      Tanda dan Gejala
        Secara khusus tanda dan gejala terserangnya hepatitis B yang akut adalah
demam, sakit perut dan kuning (terutama pada area mata yang putih / sklera).
Penderita hepatitis B kronik cenderung tidak tampak tanda-tanda tersebut,
sehingga penularan kepada orang lain menjadi lebih berisiko.
        Pada umumnya, gejala penyakit Hepatitis B ringan. Gejala tersebut
berupa selera makan hilang, rasa tidak enak di perut, mual sampai muntah, demam
ringan, kadang-kadang disertai nyeri sendi dan bengkak pada perut kanan atas.
Setelah satu minggu akan timbul gejala utama seperti bagian putih pada mata
tampak kuning, kulit seluruh tubuh tampak kuning dan air seni berwarna seperti
teh.
4.      Diagnosa
       Hepatitis B kronis merupakan penyakit nekroinflamasi kronis hati yang
disebabkan oleh infeksi virus Hepatitis B persisten. Hepatitis B kronis ditandai
dengan HBsAg positif (> 6 bulan) di dalam serum, tingginya kadar HBV DNA
dan berlangsungnya proses nekroinflamasi kronis hati. Carrier HBsAg inaktif
diartikan sebagai infeksi HBV persisten hati tanpa nekroinflamasi.
        Sedangkan Hepatitis B kronis eksaserbasi adalah keadaan klinis yang
ditandai dengan peningkatan intermiten ALT>10 kali batas atas nilai normal
(BANN). Diagnosis infeksi Hepatitis B kronis didasarkan pada pemeriksaan
serologi, petanda virologi, biokimiawi dan histologi.
       Secara serologi, pemeriksaan yang dianjurkan untuk diagnosis dan
evaluasi infeksi Hepatitis B kronis adalah : HBsAg, HBeAg, anti HBe dan HBV
DNA (4,5). Pemeriksaan virologi, dilakukan untuk mengukur jumlah HBV DNA
serum sangat penting karena dapat menggambarkan tingkat replikasi virus.
Pemeriksaan biokimiawi yang penting untuk menentukan keputusan terapi adalah
kadar ALT. Peningkatan kadar ALT menggambarkan adanya aktivitas
kroinflamasi.
       Oleh karena itu pemeriksaan ini dipertimbangkan sebagai prediksi
gambaran histologi. Pasien dengan kadar ALT yang menunjukkan proses
nekroinflamasi yang lebih berat dibandingkan pada ALT yang normal. Pasien
dengan kadar ALT normal memiliki respon serologi yang kurang baik pada terapi
antiviral.
       Oleh sebab itu pasien dengan kadar ALT normal dipertimbangkan untuk
tidak diterapi, kecuali bila hasil pemeriksaan histologi menunjukkan proses
nekroinflamasi aktif. Tujuan pemeriksaan histologi adalah untuk menilai tingkat
kerusakan hati, menyisihkan diagnosis penyakit hati lain, prognosis dan
menentukan manajemen anti viral.

5.      Pencegahan
       Langkah-langkah pencegahan agar terhindar dari penyakit Hepatitis B
adalah pemberian vaksin atau   imunisasi hepatitis B dilakukan tiga kali, yaitu
dasar, satu bulan dan 6 bulan kemudian. Hal ini ditujukan terutama pada orang-
orang yang berisiko tinggi terkena virus ini, seperti mereka yang berprilaku sex
kurang baik (ganti-ganti pasangan / homosexual), pekerja kesehatan (perawat dan
dokter) dan mereka yang berada di daerah rentan banyak kasus Hepatitis B.

6.      Pengobatan
        Penderita yang diduga Hepatitis B, untuk kepastian diagnosa yang
ditegakkan maka akan dilakukan periksaan darah. Setelah diagnosa ditegakkan
sebagai Hepatitis B, maka ada cara pengobatan untuk hepatitis B, yaitu
pengobatan telan (oral) dan secara injeksi.
a.    Pengobatan oral yang terkenal adalah
           Pemberian obat Lamivudine dari kelompok nukleosida analog, yang dikenal
dengan nama 3TC. Obat ini digunakan bagi dewasa maupun anak-anak,
Pemakaian obat ini cenderung meningkatkan enzyme hati (ALT) untuk itu
penderita akan mendapat monitor bersinambungan dari dokter.
           Pemberian obat Adefovir dipivoxil (Hepsera). Pemberian secara oral akan
lebih efektif, tetapi pemberian dengan dosis yang tinggi akan berpengaruh buruk
terhadap fungsi ginjal.
           Pemberian obat Baraclude (Entecavir). Obat ini diberikan pada penderita
Hepatitis B kronik, efek samping dari pemakaian obat ini adalah sakit kepala,
pusing, letih, mual dan terjadi peningkatan enzyme hati. Tingkat keoptimalan dan
kestabilan pemberian obat ini belum dikatakan stabil.
b.        Pengobatan dengan injeksi / suntikan adalah
      Pemberian suntikan Microsphere yang mengandung partikel radioaktif
pemancar sinar ß yang akan menghancurkan sel kanker hati tanpa merusak
jaringan sehat di sekitarnya.
       Injeksi Alfa Interferon (dengan nama cabang INTRON A, INFERGEN,
ROFERON) diberikan secara subcutan dengan skala pemberian 3 kali dalam
seminggu selama 12-16 minggu atau lebih. Efek samping pemberian obat ini
adalah depresi, terutama pada penderita yang memilki riwayat depresi
sebelumnya. Efek lainnya adalah terasa sakit pada otot-otot, cepat letih dan sedikit
menimbulkan demam yang hal ini dapat dihilangkan dengan pemberian
paracetamol.
   Selain itu, pengobatan tradisional dapat dilakukan. Tumbuhan obat atau herbal yang
dapat digunakan untuk mencegah dan membantu pengobatan Hepatitis
diantaranya mempunyai efek sebagai hepatoprotektor, yaitu melindungi hati dari
pengaruh zat toksik yang dapat merusak sel hati, juga bersifat anti radang,
kolagogum dan khloretik, yaitu meningkatkan produksi empedu oleh hati.
   Beberapa jenis tumbuhan obat yang dapat digunakan untuk pengobatan Hepatitis,
antara lain yaitu
1.             Temulawak (Curcuma xanthorrhiza),
2.             Kunyit (Curcuma longa),
3.             Sambiloto (Andrographis paniculata),
4.             Meniran (Phyllanthus urinaria),
5.             Daun Serut/mirten,
6.             Jamur Kayu/lingzhi (Ganoderma lucidum),
7.             Akar alang-alang (Imperata cyllindrica),
8.             Rumput Mutiara (Hedyotis corymbosa),
9.             Pegagan (Centella asiatica),
10. Buah Kacapiring (Gardenia augusta),
11.         Buah Mengkudu (Morinda citrifolia),
12    Jombang (Taraxacum officinale).
 Selain itu juga ada pengobatan alternatif lain Hepatitis B seperti hijamah /
bekam yang bisa menyembuhkan segala penyakit hepatitis, asal dilakukan dengan
benar dan juga dengan standar medis.
7.      Hasil Akhir Perawatan
       Ada 3 kemungkinan tanggapan kekebalan yang diberikan oleh tubuh terhadap
virus Hepatitis B pasca periode akut.
1.      Kemungkinan pertama, jika tanggapan kekebalan tubuh adekuat maka akan
terjadi pembersihan virus, pasien sembuh.
2.      Kedua, jika tanggapan kekebalan tubuh lemah maka pasien tersebut akan
menjadi carrier inaktif.
3.      Ketiga, jika tanggapan tubuh bersifat intermediate (antara dua hal di atas) maka
penyakit terus berkembang menjadi hepatitis B kronis.
C.  HEPATITIS C
1.       Definisi
       Hepatitis C adalah penyakit yang disebabkan oleh virus hepatitis C
(VHC). Infeksi virus ini menyebabkan peradangan hati atau hepatitis yang
biasanya asimtomatik, tetapi hepatitis kronik yang berlanjut dapat menyebabkan
sirosis dan kanker hati.
2.        Proses Penularan
       Proses penularan penyakit  Hepatitis C sebanyak 80 % akibat transfusi
darah dan jarum suntik yang terkontaminasi. Virus hepatitis C ditularkan melalui
pemakai obat yang menggunakan jarum bersama-sama. Jarang terjadi penularan
melalui hubungan seksual. Untuk alasan yang masih belum jelas, penderita
penyakit hati alkoholik seringkali menderita hepatitis C. Proses penularannya
dapat pula melalui kontak darah serangga yang menggiti penderita lalu mengigit
orang lain di sekitarnya. Hepatitis C adalah akibat dari transplantasi hati di
Amerika Serikat

3.      Tanda dan Gejala


       Penderita Hepatitis C kadang tidak menampakkan gejala yang jelas, tetapi
pada penderita Hepatitis C kronik menyebabkan kerusakan / kematian sel-sel hati
dan terdeteksi sebagai kanker (cancer) hati. Penderita Hepatitis C sering kali
orang yang menderita Hepatitis C tidak menunjukkan gejala, walaupun infeksi
telah terjadi bertahun-tahun lamanya. Namun beberapa gejala yang samar
diantaranya adalah  Lelah, Hilang selera makan, Sakit perut, Urin menjadi gelap
dan Kulit atau mata menjadi kuning yang disebut jaundice (jarang terjadi).     
        Pada beberapa kasus dapat ditemukan peningkatan enzyme hati pada
pemeriksaan urine, namun demikian pada penderita Hepatitis C justru terkadang
enzyme hati fluktuasi bahkan normal.Sejumlah 85% dari kasus, infeksi Hepatitis
C menjadi kronis dan secara perlahan merusak hati bertahun-tahun.

4.      Pencegahan
Sebagai usaha pencegahan, menjaga kebersihan perorangan seperti
mencuci tangan dengan teliti dan menggunakan prinsip 6 langkah diperlukan
untuk meminimalisasi penyebaran mata rantai penyakit Hepatitis C.

5.      Pengobatan
        Saat ini pengobatan Hepatitis C dilakukan dengan pemberian obat seperti
Interferon alfa, Pegylated interferon alfa dan Ribavirin. Adapun tujuan
pengobatan dari Hepatitis C adalah menghilangkan virus dari tubuh anda sedini
mungkin untuk mencegah perkembangan yang memburuk dan stadium akhir
penyakit hati. Pengobatan pada penderita Hepatitis C memerlukan waktu yang
cukup lama bahkan pada penderita tertentu hal ini tidak dapat menolong, untuk itu
perlu penanganan pada stadium awalnya.

D.    HEPATITIS D
       Hanya terjadi sebagai rekan-infeksi dari virus hepatitis B dan virus
hepatitis D ini menyebabkan infeksi hepatitis B menjadi lebih berat. Yang
memiliki risiko tinggi terhadap virus ini adalah pecandu obat. Hepatitis D menular
melalui darah yang terinfeksi. Penyakit ini hanya timbul pada orang-orang yang
telah terinfeksi dengan hepatitis B sebelumnya.
       Orang-orang yang berisiko terkena hepatitis D adalah pengguna obat-
obatan yang sering memakai jarum suntik bersama-sama. Penderita hepatitis B
juga berisiko terkena jika berhubungan seks dengan orang yang terinfeksi
hepatitis D, atau jika mereka tinggal dengan orang yang terinfeksi.        Untuk
mencegahnya adalah dengan mencegah terkena hepatitis B, yaitu dengan
imunisasi hepatitis B; selain itu dengan menghindari terkena darah yang
terinfeksi, jarum yang terkontaminasi, atau barang-barang pribadi penderita (sikat
gigi, pisau cukur, gunting kuku).
Hepatitis D kronik diterapi dengan interferon alfa.

E.     HEPATITIS E
       Virus hepatitis E kadang menyebabkan wabah yang menyerupai hepatitis
A, yang hanya terjadi di negara - negara terbelakang. Hepatitis E adalah virus
hepatitis (peradangan hati) yang disebabkan oleh infeksi virus hepatitis E (HEV).
HEV memiliki rute transmisi fecal-oral (kotoran ke mulut). Infeksi dengan virus
ini pertama kali didokumentasikan pada tahun 1955 selama wabah di New Delhi,
India.
Epidemiologi
Insiden hepatitis E tertinggi terdapat pada remaja dan orang dewasa berusia antara
15 – 40 tahun. Meskipun anak-anak sering terkena infeksi ini juga, namun mereka
jarang menunjukkan gejala. Tingkat kematian umumnya rendah, Hepatitis E
biasanya akan hilang dengan sendirinya dan pasien sembuh. Namun selama durasi
infeksi (biasanya beberapa minggu), penyakit ini sangat mengganggu aktivitas
keseharian. Hepatitis E kadang-kadang berkembang menjadi sebuah penyakit hati
akut yang parah, dan fatal pada sekitar 2% dari semua kasus. Secara klinis,
penyakit ini sebanding dengan hepatitis A, tetapi pada wanita hamil penyakit ini
lebih sering parah dan berhubungan dengan sindrom klinis yang disebut
kegagalan hati fulminan. Wanita hamil, terutama pada trimester ketiga,
mengalami tingkat kematian tinggi dari penyakit ini (sekitar 20%).
Meskipun ada satu serotipe virus ini, empat genotipe yang berbeda telah
dilaporkan. Genotipe 1 dan 2 hanya terbatas pada manusia dan sering dikaitkan
dengan wabah besar dan epidemi di negara-negara berkembang dengan kondisi
sanitasi yang buruk. Genotipe 3 dan 4 menginfeksi manusia, babi dan spesies
hewan lainnya dan telah bertanggung jawab untuk kasus-kasus sporadis hepatitis
E di negara-negara berkembang dan industri.
Penyebaran
Hepatitis E adalah lazim di kebanyakan negara berkembang, dan umum di negara
manapun dengan iklim panas. Hal ini meluas di Asia Tenggara, Afrika bagian
utara dan tengah, India, dan Amerika Tengah. Ini menyebar terutama melalui
kontaminasi tinja pada pasokan air atau makanan; transmisi orang-ke-orang jarang
ditemukan, namun bisa terjadi saat berhubungan seks oral-anus (misalnya menjilat
anus). Wabah epidemi Hepatitis E paling sering terjadi setelah hujan lebat dan
musim hujan karena gangguan pasokan air.
Hewan peliharaan telah dilaporkan sebagai reservoir untuk virus hepatitis E,
dengan beberapa survei menunjukkan angka infeksi melebihi 95% yang
diantaranya berasal dari babi. Kemungkinan Ini berlaku juga jika seseorang
mengkonsumsi daging babi hutan dan daging rusa mentah. Namun, tingkat
penularan pada manusia melalui rute ini masih diperdebatkan para ahli.
Sejumlah mamalia kecil lainnya telah diidentifikasi sebagai reservoir potensial:
tikus Bandicoot lebih rendah (Bandicota bengalensis), tikus hitam (Rattus rattus
brunneusculus) dan cecurut rumah Asia (Suncus murinus).
Sebuah virus flu burung telah digambarkan terkait dengan gejala Hepatitis-
Splenomegaly pada ayam. Virus ini secara genetis dan antigenically terkait
dengan HEV mamalia dan mungkin merupakan sebuah genus baru.
replikasi virus telah ditemukan dalam usus kecil, kelenjar getah bening, usus besar
serta hati babi yang terinfeksi.
Pencegahan
Perbaikan sanitasi adalah ukuran paling penting, yang terdiri dari perawatan
kebersihan pada pembuangan limbah manusia; juga penting standar yang lebih
tinggi untuk persediaan air masyarakat, baik prosedur kebersihan pribadi maupun
persiapan makanan sanitasi.
Sebuah vaksin, berdasarkan protein-protein virus yang di-re-kombinasi, telah
dikembangkan dan baru-baru ini diuji dalam suatu populasi berisiko tinggi
(personil militer dari negara berkembang). Vaksin tampak efektif dan aman,
namun penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menilai perlindungan vaksin
jangka panjang dan efektifitas biaya vaksinasi hepatitis E.

F.     HEPATITIS G
1.     Definisi
Hepatitis G adalah penyakit inflamasi hati yang baru ditemukan.
2.     Penyebab
       Disebabkan oleh hepatitis G virus (HGV), yang mirip dengan virus
hepatitis C. Kontak dengan darah yang terinfeksi HGV.
3.     Gejala
       Kebanyakan orang tidak memiliki gejala akut. Sebanyak 20 % dari
penderita hepatitis C juga menderita hepatitis ini.
4.     Diagnosa
       Metode yang digunakan untuk mendeteksi HGV sangat komplek untuk
mengetahui adanya antibodi HGV. Namun ketika antibodi telah ditemukan, virus
itu sendiri telah menghilang.
5. Pengobatan
Tidak ada perawatan spesifik untuk penyakit hepatitis akut ini. Penderita
harus banyak istirahat, menghindari alkohol dan makan makanan bergizi.

6.     Pencegahan
      Hepatitis G ditularkan melalui infeksi melalui darah. Pencegahannya
dengan menghi ndari kontak dengan darah yang terkontaminasi. Jangan gunakan
jarum suntik atau peralatan lain secara bersamaan.

HEPATITIS DALAM MASA KEHAMILAN


       Pada wanita hamil kemungkinan terjangkit virus Hepatitis dengan wanita
tidak hamil pada wanita yang tidak hamil namun memiliki klasifikasi usia yang
sama. Kelainan hepar yang mempunyai hubungan langsung dengan peristiwa
kehamilan ialah
1. Acute fatty liver of pregnancy (Obstetric acute yellow-atrophy)
2. Recurrent intra-hepatic cholestasis of pregnancy.
Infeksi hepatitis virus pada kehamilan tidak berhubungan langsung
dengan peristiwa kehamilan, namun tetap memerlukan penanganan khusus,
mengingat penyulit-penyulit yang mungkin timbul baik untuk ibu maupun
janin.
o Hepar dalam Kehamilan
Pada kehamilan, hepar ternyata tidak mengalami pembesaran. Hal
ini bertentangan dengan penelitian pada binatang yang menunjukkan
bahwa hepar membesar pada waktu kehamilan. Bila kehamilan sudah
mencapai trimester ke III, sukar untuk melakukan palpasi pada hepar,
karena hepar tertutup oleh pembesaran rahim.
Oleh karena itu bila pada kehamilan trimester ke III hepar dapat
dengan mudah diraba, berarti sudah terdapat kelainan-kelainan yang
sangat bermakna. Perubahan-perubahan mikroskopik pada hepar akibat
kehamilan adalah tidak khas. Pengaliran darah ke dalam hepar tidak
mengalami perubahan, meskipun terjadi perubahan yang sangat menyolok
pada sistem kardio vaskuler.
Wanita hamil sering menunjukkan tanda-tanda mirip adanya
penyakit - penyakit hepar, misalnya : spider naevi dan palmarerythema,
yang wajar pada kehamilan, akibat meningkatnya kadar estrogen. Semua
protein serum yang disintesis dalam hepar mengalami perubahan pada
waktu kehamilan. Jumlah protein serum menurun sekitar 20% pada
trimester II, akibat penurunan kadar albumin secara menyolok, sedangkan
fibrinogen justru mengalami kenaikan.

o Pengaruh Hepatitis Pada Kehamilan dan Janin

Bila hepatitis terjadi pada trimester I atau permulaan trimeseter II


maka gejala-gejala nya akan sama dengan gejala hepatitis pada wanita
tidak hamil. Meskipun gejala-gejala yang timbul relatip lebih ringan
dibanding dengan gejala-gejala yang timbul pada trimester III, namun
penderita hendaknya tetap dirawat di rumah sakit.
Hepatitis terjadi pada trimester III menimbulkan gejala-gejala yang
lebih berat dan penderita umumnya menunjukkan gejala-gejala fulminant.
Pada fase inilah acute hepatic necrosis sering terjadi, dengan
menimbulkan mortalitas Ibu yang sangat tinggi. Pada trimester III, adanya
defisiensi faktor lipo tropik disertai kebutuhan janin yang meningkat akan
nutrisi, menyebabkan penderita mudah jatuh dalam acute hepatic necrosis.
Tampaknya keadaan gizi ibu hamil sangat menentukan prognose.
Berat ringan gejala hepatitis virus pada kehamilan sangat tergantung dari
keadaan gizi Ibu hamil. Gizi buruk khususnya defisiensi protein, ditambah
pula meningkatnya kebutuhan protein untuk pertumbuhan janin,
menyebabkan infeksi hepatitis pada kehamilan memberi gejala-gejala yang
jauh lebih berat.
Pada wanita hamil, secara fisiologik terjadi perubahan-perubahan
dalam proses pembekuan darah, yaitu dengan ke-naikan faktor-faktor
pembekuan dan penurunan aktivitas fibrinolitik, sehingga pada kehamilan
mudah terjadi DIC (Disseminated Intra Vascular Coagulation). Penularan
virus ini pada janin terjadi dengan beberapa cara, yaitu:

1. Melewati placenta
2. Kontaminasi dengan darah dan tinja Ibu pada waktu persalinan
3. Kontak langsung bayi baru lahir dengan Ibunya
4. Melewati Air Susu Ibu, pada masa laktasi.
5. Baik virus A maupun virus B dapat menembus placenta, sehingga
terjadi hepatitis virus in utero dengan akibat janin lahir mati, atau janin
mati pada periode neonatal. Jenis virus yang lebih banyak dilaporkan
dapat menembus placenta, ialah virus type B.
Beberapa bukti, bahwa virus hepatitis dapat menembus
placenta ialah ditemukannya hepatitis antigen dalam tubuh janin in
utero atau pada janin barulahir. Selain itu telah dilakukan pula autopsy
pada janin-janin yang mati pada periode neonatal akibat infeksi
hepatitisvirus. Hasil autopsy menunjukkan adanya perubahan-
perubahan pada hepar, mulai dari nekrosis sel-sel hepar sampai
suatubentuk cirrhosis.

Perubahan-perubahan yang lanjut pada hepar ini, mungkin


terjadi bila infeksi sudah mulai terjadi sejak janin dalam rahim.
Kelainan yang ditemukan pada hepar janin, lebih banyak terpusat pada
lobus kiri. Hal ini membuktikan, bahwa penyebaran virus hepatitis dari
Ibu ke janin dapat terjadi secarahematogen.Angka kejadian penularan
virus hepatitis dari Ibu ke janin atau bayinya, tergantung dari tenggang
waktu antara timbulnya infeksi pada Ibu dengan saat persalinan. Ibu
hamil yang menderita hepatitis B dengan gejala-gejala klinik yang
jelas, akan menimbulkan penularan pada janinnya jauh lebih besar
dibandingkan dengan Ibu-Ibu hamil yang hanya merupakan carrier
tanpa gejala klinik.
Ibu hamil yang mengalami hepatitis B, dengan gejala yang
jelas, 48% dari bayinya terjangkit hepatitis, sedang pada Ibu-lbu hamil
yang hanya sebagai carrier Hepatitis Virus B antigen, hanya 5% dari
bayinya mengalami virus B antigenemia. Meskipun hepatitis virus,
belum jelas pengaruhnya terhadap kelangsungan kehamilan, namun
dilaporkan bahwa kelahiran prematur terjadi pada 66% kehamilan
yang disertai hepatitisvirus B. Adanya icterus pada Ibu hamil tidak
akan menimbulkan kern-icterus pada janin. Kem icterus terjadi akibat
adanya unconjugated bilirubin yang melewati placenta dari Ibu-Ibu
hamil yang mengalami hemolitik jaundice.
Bila penularan hepatitis virus pada janin terjadi pada waktu
persalinan maka gejala-gejalanya baru akan nampak dua sampai tiga
bulan kemudian. Sampai sekarang belum dapat dibuktikan, bahwa
hepatitis pada Ibu hamil dapat menimbulkan kelainan kongenital
janinnya. Pada pemeriksaan placenta, dari kehamilan yang disertai
hepatitis, tidak dijumpai perubahan-perubahan yang menyolok, hanya
ditemukan bercak-bercak bilirubin. Bila terjadi penularan virus B in
utero, maka keadaan ini tidak memberikan kekebalan pada janin
dengan kehamilan berikutnya.

         Pencegahan
Semua Ibu hamil yang mengalami kontak langsung dengan
penderita hepatitis virus A hendaknya diberi immuno globulin sejumlah
0,1 cc/kg berat badan. Gamma globulin tidak efektif untuk mencegah
hepatitis virus B. Gizi Ibu hamil hendaknya dipertahankan seoptimal
mungkin, karena gizi yang buruk mempermudah penularan hepatitis.
Untuk kehamilan berikutnya diberi jarak sekurang - kurangnya enam
bulan setelah persalinan, dengan syarat setelah 6 bulan tersebut semua
gejala dan pemeriksaan laboratorium telah kembali normal. Setelah
persalinan, pada penderita hendaknya tetap dilakukan pemeriksaan
laboratorium dalam waktu dua bulan, empat bulan dan enam bulan
kemudian.
         Pengobatan
Pengobatan infeksi hepatitis pada kehamilan tidak berbeda dengan
wanita tidak hamil. Penderita harus tirah baring di rumah sakit sampai
gejala icterus hilang dan bilirubin dalam serum menjadi normal. Makanan
diberikan dengan sedikit mengandung lemak tetapitinggi protein dan
karbohydrat. Pemakaian obat-obatan hepatotoxic hendaknya dihindari.
Kortison baru diberikan bila terjadi penyulit. Perlu diingat pada hepatitis
virus yang aktif dan cukup berat, mempunyai risiko untuk terjadi
perdarahan post-partum, karena menurunnya kadar vitamin K. Janin baru
lahir hendaknya tetap diikuti sampai periode post natal dengan dilakukan
pemeriksaan transaminase serum dan pemeriksaan hepatitis virus antigen
secara periodik. Janin baru lahir tidak perlu diberi pengobatan khusus bila
tidak mengalami penyulit-penyulit lain.
         Penanganan Khusus

1. Rawat inap dan tirah baring


2. Isolasi pasien, lakukan pemeriksaan serologik
3. Diet rendah lemak, tinggi karbohidrat dan protein
4. Rehidrasi apabila terjadi defisit cairan akibat muntah yang berlebihan
dan demam
5. Berikan vitamin K, glukosa dan kurkuma rhizoma
6. Evaluasi profil biofisik atau kondisi jani
7. Penatalaksanaan neonatal
8. Evaluasi sistem pembekuan darah

            Tabel di bawah ini menyajikan Hepatitis dan risiko Ibu dan Neonatus

RISIKO POTENSIAL
JENIS VIRUS
IBU NEONATUS
HEPATITIS A HEPATITIS BERAT HEPATITIS
NEONATORUM
HEPATITIS B HEPATITIS
KRONIS ANTIGENEMIA
SIROSIS PERSISTENS
HEPATITIS NEKROSIS HEPATITIS
NEOPLASMA
HEPATITIS C HEPATOSELULARE
PRIMER
PERLEMAKAN
HATI
( FATTY LEVER ) SUBLIKINAL
HEPATITIS

2.10 Konsep Dasar Kehamilan Ektopik


2.10.1 Definisi
Kehamilan ektopik ialah suatu kehamilan yang
pertumbuhan sel telur yang telah dibuahi tidak menempel pada
dinding endometrium kavum uteri. Lebih dari 95% kehamilan
ektopik berada di saluran telur (tuba fallopi) (Sarwono, 2014:
474).
Kehamilan ektopik (ectopic pregnancy, ectopic gestation
dan eccecyesis) adalah kehamilan dengan hasil konsepsi
berimplantasi di luar endometrium rahim. Kehamilan ektopik
terganggu (KET) adalah kehamilan ektopik yang terganggu, dapat
terjadi abortus atau pecah dan hal ini dapat berbahaya bagi wanita
tersebut (Rustam Mochtar, 2013: 159).

2.10.2 Etiologi
Menurut Sarwono (2014: 476) faktor-faktor yang
menyebabkan kehamilan ektopik diantaranya :
1. Faktor tuba
Adanya peradangan atau infeksi pada tuba
menyebabkan lumen tuba menyempit atau buntu.
Kerusakan tersebut menghalangi sel telur yang telah
dibuahi untuk masuk ke rahim sehingga akhirnya
menempel pada tuba fallopi.
2. Faktor abnormalitas dari zigot
Apabila tumbuh terlalu cepat atau tumbuh dengan
ukuran besar, maka zigot akan tersendat dalam
perjalanan pada saat melalui tuba, kemudian terhenti
dan tumbuh di saluran tuba.
3. Faktor ovarium
Bila ovarium memproduksi ovum dan ditangkap oleh
tuba yang kontralateral, dapat membutuhkan proses
khusus atau waktu yang lebih panjang sehingga
kemungkinan terjadinya kehamilan ektopik lebih
besar.
4. Faktor hormonal
Pil KB yang mengandung progesteron dapat
mengakibatkan gerakan tuba melambat. Apabila
terjadi pembuahan dapat menyebabkan terjadinya
kehamilan ektopik.
5. Faktor Risiko
- Pilihan alat kontrasepsi yaitu penggunaan
kontrasepsi jenis spiral (intrauterine device
IUD) bertujuan untuk mencegah kehamilan.
Namun, apabila kehamilan tetap terjadi,
kemungkinan besar kehamilan bersifat ektopik.
- Pernah mengalami kehamilan ektopik
sebelumnya. Wanita yang mengalami kondisi ini
memiliki risiko lebih tinggi untuk kembali
mengalaminya.
- Mengidap infeksi atau inflamasi. Wanita yang
pernah mengalami inflamasi tuba fallopi atau
penyakit radang panggul akibat penyakit seksual
menular, memiliki risiko lebih tinggi untuk
mengalami kehamilan ektopik.
- Proses sterilisasi pada saat pengikatan tuba atau
pembukaan ikatan tuba yang kurang sempurna
juga beresiko memicu kehamilan ektopik.
- Faktor merokok.

2.10.3 Gejala
Menurut Catrina M. Bain (2013: 321) gejala pada kehamilan ektopik
terganggu diantaranya :
1. Nyeri
Gejalanya bergantung apakah kehamilan ektopik telah ruptur
(robekan) atau belum. Gejala yang paling sering dirasakan adalah
nyeri abdomen dan pelvis. Gejala gastrointestinal dan pusing, mual
dan muntah atau kepala terasa ringan juga sering dijumpai, terutama
setelah terjadi ruptur. Nyeri dada pleuritik dapat terjadi akibat iritasi
diafragma yang disebabkan perdarahan.
2. Perdarahan
Mayoritas wanita melaporkan amenore dengan berbagai tingkatan
bercak atau perdarahan pervagina. Perdarahan uterus yang terjadi
dengan kehamilan pada tuba sering kali disangka menstruasi biasa.
Perdarahan pada kehamilan ini biasanya berbau, berwarna cokelat
gelap, dan dapat timbul secara intermitten (terus-menerus).
3. Amenore
Pasien mengeluhkan adanya spotting (bercak) pada saat haid yang
dinanti sehingga tak jarang dugaan kehamilan hampir tidak ada.
4. Sinkope
Pusing, pandangan berkunang-kunang.
5. Pingsan (kolaps)
Kehamilan ini akan menyebabkan nyeri dan pingsan akibat anemia.
Bila terjadi perdarahan hebat, maka gejala yang biasanya akan
didapatkan adalah kolaps dan syok.
6. Tekanan darah dan nadi
Sebelum ruptur, biasanya tanda-tanda vital normal. Tekanan darah
akan turun dan nadi meningkat apabila perdarahan berlanjut dan
terbentuk kondisi hipovolemia.

2.10.4 Tanda
Menurut Catrina M. Bain (2013: 321) gejala kehamilan ektopik
terganggu diantaranya :
1. Nyeri Tekan Abdomen
Nyeri hebat pada pemeriksaan abdomen dan vagina, terutama
ketika serviks digerakkan, dapat dilakukan pada lebih dari tiga
perempat wanita dengan kehamilan tuba yang ruptur. Namun,
nyeri seperti ini dapat tidak ada sebelum ruptur.
2. Nyeri Tekan Panggul
Lakukan pemeriksaan dengan hati-hati ketika memeriksa
pasien untuk memastikan bahwa kehamilan ektopik tidak
mengalami ruptur proses pemeriksaan.
3. Massa Adneksa
Massa adneksa adalah benjolan di jaringan dekat rahim,
biasanya di indung telur atau tuba fallopi. Lakukan palpasi
bimanual dengan lembut untuk mendapatkan adanya massa
adneksa di panggul.
4. Perubahan Uterus
Karena hormon plasenta, uterus dapat membesar selama 3
bulan pertama pada kehamilan tuba. Konsistensinya juga dapat
serupa dengan kehamilan normal. Uterus dapat terdorong ke
satu sisi oleh massa ektopik dan apabila ligamentum latum
uteri terisi darah, uterus dapat tergeser dan menyebabkan
keluarnya serpihan. Serpihan tersebut dapat disertai kram dan
menimbulkan abortus spontan.

2.10.5 Klasifikasi
Menurut Sarwono (2014: 474) berdasarkan lokasi terjadinya,
kehamilan ektopik dapat dibagi menjadi 5, yaitu :
1. Kehamilan tuba meliputi 95% yang terdiri atas :
- Ampularis (55%).
- Isthmus (25%).
- Fimbrial (17%).
- Interstisial (2%).
2. Kehamilan ovarial (0,5%)
3. Kehamilan abdominal (0,1%)
4. Kehamilan intraligamenter yaitu pertumbuhan janin dan plasenta
diantara lipatan ligamentum latum dan jumlahnya sangat sedikit.
5. Kehamilan servikal adalah kehamilan servikal jarang terjadi. Pada
implantasi di serviks, dapat terjadi perdarahan tanpa disertai nyeri,
dan kemungkinan terjadinya abortus spontan sangat besar. Jika
kehamilan tumbuh sampai besar, perdarahan atau rupture yang
terjadi sangat berat, sehingga sering diperlukan tindakan
histerektomi total.

2.10.6 Manifestasi Klinis


Menurut Nanda NIC NOC (2015: 155) terdapat beberapa diagnosis
dan gejala-gejala klinik pada Ibu dengan gangguan kehamilan ektopik
diantaranya :
1. Anamnesis dan gejala klinis yaitu adanya riwayat terlambat haid
(amenorea), dijumpai keluhan hamil muda.
2. Jika terjadi kehamilan ektopik terganggu (KET) :
- Bila terjadi rupture tuba, maka gejala akan lebih hebat dan
dapat membahayakan jiwa si ibu.
- Pada abortus tuba, keluhan dan gejala hanya rasa sakit di
perut dan perdarahan pervagina.
3. Tanda-tanda akut abdomen seperti nyeri tekan yang hebat (defance
musculair), muntah, gelisah, pucat, anemis, nadi kecil dan halus,
tensi rendah atau tidak terukur (syok).
4. Pemeriksaan dalam yaitu serviks teraba lunak, nyeri tekan, nyeri
pada uterus.
5. Pervagina keluar decidual cast.

2.10.7 Pemeriksaan Diagnostik


1. Pemeriksaan Hb, hematokrit.
Pemeriksaan Hb dan jumlah sel darah merah berguna dalam
menegakkan diagnosis kehamilan ektopik terganggu, terutama bila
ada tanda-tanda perdarahan dalam rongga perut. Pemeriksaan
hemoglobin dan hematokrit dapat dilakukan secara serial dengan
jarak 1 jam selama 3 kali berturut-turut. Bila ada penurunan
hemoglobin maka dapat mendukung diagnosis kehamilan ektopik
terganggu.
2. Pemeriksaan leukosit
Penghitungan leukosit secara berturut-turut menunjukkan adanya
perdarahan bila leukosit meningkat. Untuk membedakan
kehamilan ektopik dari infeksi pelvik, dapat diperhatikan jumlah
leukosit yang melebihi 20.000.
3. Kadar HCG (human chorionic gonadotropin ‘β-hCG’) menurun
Peningkatan kadar β-hCG yang berlangsung terus menerus
menandakan masih adanya jaringan ektopik yang belum terangkat.
Normal kadar β-hCG
4. Tes kehamilan
- Pada kehamilan ektopik hampir 100% menunjukkan
pemeriksaan kadar β-hCG positif.
- Pada kehamilan intrauterin, peningkatan kadar β-hCG
meningkat 2 kali lipat setiap dua hari.
5. Kuldosentesis adalah suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui
apakah dalam kavum douglasi ada darah. Jika ditemukan butiran
darah warna kecoklatan berarti positif dibrinasi yang menunjukkan
adanya hematoma retrouterina. Cara ini sangat berguna dalam
membantu membuat diagnosis kehamilan ektopik terganggu.
Teknik kuldosintesis dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
- Penderita dibaringkan dalam posisi litotomi.
- Vulva dan vagina dibersihkan dengan antispetik.
- Spekulum dipasang dan bibir belakang porsio dijepit
dengan cunam serviks dengan traksi kedepan sehingga
forniks posterior tampak.
- Suntikan jarum spinal no 18 ke cavum douglasi dan
lakukan penghisapan.
- Bila pada penghisapan keluar darah berwarna cokelat
sampai hitam yang tidak membeku atau berupa bekuan
kecil merupakan tanda hematokel retrouterina. Pemeriksaan
Ultrasonografi berguna pada 5-10% kasus bila ditemukan
kantong gestasi di luar uterus.(gambar)
6. Laparoskopi hanya digunakan sebagai alat bantu diagnostik
terakhir untuk kehamilan ektopik apabila hasil penilaian prosedur
diagnostik yang lain meragukan dan pemeriksaan laparoskopi lebih
hemat biaya dan masa penyembuhan nya lebih pendek.
7. Pemeriksaan USG :
- Tidak ada kantung kehamilan dalam kavum uteri.
- Adanya kantung kehamilan di luar kavum uteri
- Adanya massa kompleks di rongga panggul
2.10.8 Penatalaksanaan
Menurut Catrina M. Bain (2013: 324) ada 3 pengobatan kehamilan
ektopik terganggu, diantaranya :
1. Methotrexate
Sebagian besar perjalanan klinis kehamilan ektopik bersifat kronik
dan dapat di diagnosis dengan pasti menggunakan ultrasonografi
dan pemeriksaan kadar β-hCG. Untuk menghindari intervensi
bedah, pasien dapat ditawarkan pengobatan ini bila kadar β-hCG <
3000 dan tidak ada gejala ruptur. Bila kadar β-hCG tidak turun,
maka membutuhkan suntikan tambahan berupa methotrexate
dengan dosis 50mg/m2 di area permukaan tubuh melalui intravena.
Efek samping obat ini meliputi mual dan muntah. Sakit perut juga
muncul pada 3 hari atau 1 minggu setelahnya.

Pemberian actinomycin melalui I.V berhasil menterminasi


kehamilan ektopik pada pasien dengan kegagalan terapi
methotrexate sebelumnya.

2. Salpingektomi (gambar)
Tindakan pembedahan ini dapat dilakukan setelah penegakan
diagnosis. Sebelum pengangkatan tuba fallopi, perlu diperiksa
keadaan tuba lain nya karena apabila mengalami abnormal, maka
pendekatan bedah yang lebih konservatif perlu dilakukan. 1.
Salpingostomi (gambar)

Merupakan pendekatan konservatif dari penanganan bedah untuk


kehamilan ektopik. Sebuah insisi dibuat di tepi antimesentrik tuba,
ektopik diangkat dan tuba dibiarkan menyembuh setelah
hemostatis diatasi.

2.10.9 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi yaitu (Rustam Mochtar, 2013: 164) :
1. Pada pengobatan konservatif, bila kehamilan ektopik terganggu
telah lama berlangsung (4-6 minggu), terjadi perdarahan ulang.
2. Infeksi
3. Sterilitas
2.11 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Kehamilan Ektopik
2.11.1 Pengkajian
1. Anamnesis dan gejala klinis
- Riwayat terlambat haid.
- Gejala dan tanda kehamilan muda.
- Ada atau tidak ada perdarahan pervaginam.
- Terdapat aminore.
- Ada nyeri mendadak disertai rasa nyeri bahu dan seluruh
abdomen, terutama abdomen bagian kanan atau kiri bawah.
- Beratatau ringan nya nyeri tergantung pada banyaknya darah
yang terkumpul dalam peritoneum.

2. Pemeriksaan fisik
- Inspeksi
a. Mulut
b. Payudara
c. Abdomen :
d. Genetalia :
e. Ekstremitas :
- Palpasi
- Auskultasi
- Perkusi

3. Pemeriksaan fisik umum

2.11.2 Diagnosa
Menurut Nanda NIC NOC (2015: 157) ada 5 diagnosa yang
ditemukan mengenai gangguan Ibu dengan kehamilan ektopik
terganggu yaitu :
1. Gangguan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan
aktif ditandai dengan perdarahan.
2. Resiko syok berhubungan dengan hipovolemia.
3. Resiko infeksi berhubungan dengan luka operasi.
4. Nyeri akut berhubungan dengan rupture tuba.
5. Ansietas berhubungan dengan tindakan operasi yang akan
dilakukan.

2.12 Konsep Dasar Hiperemesis Gravidarum


2.12.1 Definisi
Wiknjosastro (2005;h.275) mengatakan bahwa Hiperemesis
gravidarum adalah mual dan muntah yang berlebihan pada ibu
hamil, seorang ibu menderita hiperemesis gravidarum jika seorang
ibu memuntahkan segala macam yang dimakan dan diminumnya
hingga berat badan ibu sangat turun, turgor kulit kurang diurese
kurang dan timbul aseton dalam air kencing. Hiperemesis
gravidarum adalah muntah yang terjadi sampai umur kehamilan 20
minggu, muntah begitu hebat dimana segala apa yang dimakan dan
diminum dimuntahkan sehingga mempengaruhi keadaan umum
dan pekerjaan sehari-hari, berat badan menurun, dehidrasi, dan
terdapat aseton dalam urin bukan karena penyakit seperti
appendicitis, pielititis, dan sebagainya ( Joseph HK, M. Nugroho S.
2010;161) Sedang berdasarkan Manuaba (2004;h 49) menyebutkan
bahwa Hiperemesis Gravidarum adalah emesis gravidarum yang
berlebihan sehingga menimbukan gejala klinis serta menggangu
kehidupan sehari-hari.

2.12.2 Etiologi
Penyebab hiperemesis gravidarum belum diketahui secara
pasti. Tidak ada bukti bahwa penyakit ini belum diketahui secara
pasti. Berikut ini adalah hal-hal yang menyebabkan hiperemesis
gravidarum (Hidayati. 2009;66) :
1. Sering terjadi pada :
(a) Primigravida
Dikarenakan faktor adaptasi dan hormonal yang menyebakan
primigravida beresiko terhadap hiperenesis gravidarum. Karena
sebagian kecil primigravda belum mampu beradaptasi terhadap
hormon estrogen dan gonadrotopin korionik (Manuaba 2009; 48)
(b) Molahidatidosa
Menurut Manuaba (2009;48) menyebutkan bahwa pada mola
jumlah hormon yang dikeluarkan terlalu tinggi sehingga
menyebabkan hiperemesis gravidarum.
(c) Kehamilan kembar (Heidi Murkoff,dkk 2006;215)
Ini merupakan gejala kehamilan yang berebihan. Biasanya jika
ada janin kembar maka ibu akan mengalami mual di pagi hari
yang dapat berlipat ganda. Akan tetapi semua ini juga bisa terjadi

pada kehamilan janin tunggal.

2. Faktor organik, karena masuknya vili khoriales dalam sirkulasi


maternal dan perubahan metabolik.
3. Faktor psikologis : keretakan rumah tangga, kehilangan
pekerjaan, rasa takut terhadap kehamilan dan persalinan, takut
memikul tanggung jawab dan sebagainya.
4. Faktor endokrin lainnya yaitu
a. Diabetes
Gejala mual muntah juga disebakan oleh gangguan traktus
digestivus seperti pada penderita diebetes melitus (gastroparesis
diabeticorm). Hal ini disebbkan oleh gangguan mortilitas usus
pada penderita atau pada setelah operasi vagotomi (sastrawinarta

2005;65).
b. Grastitis (Muntah tanpa isi)Vomitus yang terjadi pada saat
makan atau segera sesudahnya dapat menunjukkan vomitus
psikogenetik atau ulkus peptik dengan pilorospasme. Muntah
yang terjadi 4-6 jam atau lebih setelah makan dan mengenai
eliminasi jumlah besar makanan yang tidak ditelan sering
menunjukan retensi lambung atau gangguan esofagus tertentu.
Vomitus yang bersifat proyektif atau tanpa didahului nausea
menunjukan kemungkinan lesi pada sistem saraf pusat (Horison.
2000; 243).

2.12.3 Patofisiologis
Ada yang menyatakan bahwa perasaan mual adalah akibat
dari meningkatnya kadar esterogen, oleh karena keluhan ini terjadi
pada trisemester pertama. Pengaruh fisiologik hormon estrogen ini
tidak jelas, mungkin berasal dai sistem saraf pusat akibat
berkurangnya pengosongan lambung. Penyesuaian terjadi pada
kebanyakan wanita hamil, meskipn demikian mual dan muntah dapat
berlangsung berbulanbulan (Wiknjosastro. 2005, 276-277).
Hiperemesis gravidarum yang merupakan komplikasi mual dan
muntah pada hamil muda, bila terjadi terus menerus dapat
menyebabkan dehidrasi dan tidak imbangnya elektrolit dengan
alkolosis hipokloremik. Belum jelas mengapa gejala-gejala ini hanya
terjadi pada sebagian wanita, tetapi factor psikologik merupakan
factor utama, disamping pengaruh hormonal. Yang jelas, wanita
yang sebelum kehamilan sudah menderita lambung spastik dengan
gejala tidak suka makan dan mual, akan mengalami emesis
gravidarum yang lebih berat (Wiknjosastro. 2005, 277).Hiperemesis
gravidarum ini dapat mengakibatkan cadangan karbohidrat dan
lemak habis terpakai untuk keperluan energi. Karena oksidasi lemak
yang tidak sempurna, terjadilah ketosis dengan tertimbunnya asam
aseton-asetik, asam hidroksibutirik dan aseton dalam darah.
Kekurangan cairan yang diminum dan kehilangan cairan karena
muntah menyebabkan dehidrasi, sehingga cairan ekstraseluler dan
plasma berkurang. Natrium dan khlorida darah turun, demikian pula
khlorida air kemih. Selain itu dehidrasi menyebabkan
hemokonsentrasi, sehingga aliran darah ke jaringan berkurang. Hal
ini menyebabkan jumlah zat makanan dan oksigen ke jaringan
mengurang pula dan tertimbunnya zat metabolic yang toksik.
Kekurangan kalsium sebagai akibat dari muntah dan bertambahnya
ekskresi lewat ginjal, menambah frekuensi muntah-muntah yang
lebih banyak, dapat merusak hati dan terjadilah lingkaran setan yang
sulit dipatahkan. Disamping dehidrasi dan terganggunya
keseimbangan elektrolit, dapat terjadi robekan pada selaput lender
esophagus dan lambung (Sindrom Mallory-Weiss), dengan akibat
perdarahan gastroinsestinal. Pada umumnya robekan ini ringan dan
peredaran darah dapat berhenti sendiri. Jarang diperlukan tranfusi
atau tindakan operatif (Wijknjosastro. 2005, 277).

2.12.4 Tanda Dan Gejala


Batas antara mual dan muntah dalam kehamilan yang masih
fisiologik dengan hiperemesis gravidarum tidak jelas, akan tetapi
muntah menimbulkan gangguan kehidupan sehari-hari dan dehidrasi
memberikan petunjuk bahwa wanita hamil telah memerlukan
perawatan yang intensif.(Jack Insley 2005;166) tipe dehidrasi secara
klinik, kulit kering, lidah kering. Dehidrasi di bagi menjadi 3
tingkatan yaitu
a) Dehidrasi isotonic (ringan) Pada dehidrasi istonik (isonatremia),
terjadi kehilangan air dan natrium secara proporsional.Ditandai
dengan :
1) kehilangan BB 3-5%
2) kesan dan kondisi umum : haus, sadar, gelisah
3) nadi : kecepatan dan tekanan normal
4) RR : normal
5) Tekanan darah sistolik : normal
6) Elastisitas kulit : cubitan segera kembali
7) Mata : normal
8) Air mata : ada
9) Keluaran kencing : normal
10) Perkiraan defisit cairan : 30-50 mL/kg

b) Dehidrasi hipotonik (sedang)


Pada dehidrasi hipotonik (hiponatremia), natrium yang hilang lebih
banyak dibanding airnya. Ditandai dengan :
1) kehilangan BB 6-9%
2) kesan dan kondisi umum : haus, gelisah atau letragis tetap
iritabel bila dipegang, mengantuk
3) nadi : cepat dan lemah
4) RR : dalam mungkin cepat
5) Tekanan darah sistolik : normal atau rendah; hipotensi ortostatik
6) Elastisitas kulit : cubitan kembali perlahan
7) Mata : cekung
8) Air mata : tidak ada/berkurang
9) Keluaran kencing : jumlah berkurang dan pekat
10) Perkiraan defisit cairan : 60-90 mL/kg
c) Dehidrasi hipertonik (berat)
Pada dehidrasi hipertonik (hipernatremia), terdapat kehilangan
cairan dan natrium yang tidak proporsional. (Jack Insley.
2005;116-117) Ditandai dengan :
1) kehilangan BB 10% atau lebih
2) kesan dan kondisi umum : mengantuk, ekstremitas dingin,
sianotik, lembab, bias koma
3) nadi : cepat, sangat lemah, kadang tidak teraba
4) RR : dalam dan cepat
5) Tekanan darah sistolik : rendah, mungkin tidak teratur
6) Elastisitas kulit : cubitan tidak segera kembali
7) Mata : sangat cekung
8) Air mata : tidak ada
9) Keluaran kencing : anuria/oliguria berat
10) Perkiraan defisit cairan : 100/lebih mL/kg (Prof. DR. dr. A
Samik Wahab, SpA (K) 2000;261)
Dalam Wiknjosastro (2005;277) hiperemesis gravidarum
mempunyai 3 tingkatan yaitu tingkat I ringan, Tingkat II sedang,
dan Tingkat III berat. Menurut Manuaba (2004, 49), hiperemesis
gravidarum berdasarkan berat ringannya gejala dapat dibagi
kedalam 3 tingkatan.
a. Tingkatan I.(Hidayati 2007;67)
1) Muntah berlebihan
2) Dehidras ringan
3) Nyeri pada epigastrium
4) Berat badan menurun
5) nadi meningkat sekitar 100 per menit (Winkjosastro 2005; 277)
6) Tekanan darah sistolik menurun
7) Tugor kulit menurun
8) Lidah mengering
9) Tampak lemah dan lemas (Manuaba 2007; 396).
10) Urin masih normal (Joseph HK, M. Nugroho. S 2010; 162).
b. Tingkat II, sedang
1). Tampak lemah dan pusing
2). Dehidrasi sedang
3). Tugor kulit turun
4). Lidah mengering
5). Tampak ikterus
6). Nadi meningkat, temperatur naik, tekanan darah turun
7). Hemokonsentrasi disertai oliguria
8). Badan keton dalam keringat dan air kencing
c. Tingkat III, berat
1). Keadaan umum sangat menurun
2). Kesadaran somnolen sampai koma
3). Ikterus yang semakin nyata
4). Komplikasi yang mungkin tampak
(a). nistagmus
(b). diplopia
(c). perubahan mental
5). Muntah disertai darah

2.12.5 Diagnosis

Umumnya tidak sukar untuk menegakkan diagnosa


Hiperemesia Gravidarum. Harus ditentukan adanya kehamilan muda
dengan mual dan muntah yang terus menerus, sehingga berpengaruh
terhadap keadaan umum dan juga dapat menyebabkan kekurangan
makanan yang dapat mempengaruhi perkembangan janin sehingga
pengobatan perlu segera diberikan. Juga bisa dilihat dari hasil
pemeriksaasn laboratorium, yang menunjukkan adanya benda keton
dalam urin (Wiknjosastro, 278,2005).

2.12.6 Pengelolaan

(Winkjosastro 2005; 278) Pencegahan terhadap Hiperemesis


gravidarum perlu dilaksanakan dengan jalan memberikan
penerangan tentang kehamilan dan persalinan sebagai suatu proses
yang fisiologik, memberikan keyakinan bahwa mual dan kadang-
kadang muntah merupakan gejala yang fisiologik pada kehamilan
muda dan akan hilang setelah kehamilan bulan, menganjurkan
mengubah makanan sehari-hari dengan makanan dalam jumlah
kecil, tetapi lebih sering. Waktu bangun pagi jangan segera turun
dari tempat tidur, tetapi dianjurkam untuk makan roti kering atau
biscuit dengan teh hangat.Makanan yang berminyak dan berbau
lemak sebaiknya dihindarkan. Makanan dan minuman seyogyanya
disajikan dalam keadaan panas atau sangat dingin. Defekasi yang
teratur hendaknya dapat dijamin, menghindarkan kekurangan
karbohidrat merupakan faktor yang penting, oleh karenanya
dianjurkan makanan yang banyak mengandung gula.(Deniser Tiran
2009;27) Tujuan penatalaksanaan hiperemesis gravidarum, saat ibu
dihospitalisasi, adalah merehidrasi ibu, memperbaiki gangguan
elektrolit dan hematologis lain, mencegah komplikasi dan
memindahkan ibu ke rumah segera, meskipun banyak wanita
memiliki angka yang tinggi untuk masuk kembali ke rumah sakit.
Penyebab muntah yang terjadi secara berlebihan harus diidentifikasi,
bukan sematamata untuk membuat diagnosis banding, tetpai juga
mempertimbangkan factor lain seperti psikologis, yang dapat
menambah keparahan ibu. Tindakan pertama yang harus dilakukan
jika ibu menjadi tidak sehat secara patologis adalah bahwa “ia hatus
dipindahkan dari lingkungan yang penuh stres”. Akan tetapi, penting
untuk mengkaji dampak hospitalisasi pada ibu dan keluarganya dan
mempertimbangkan hospitalisasi pada implikasi pananganan
kondisinya sebagai orang yang dirawat inap. Bagi beberapa orang,
distres dan kekerasan dalam rumah tangga yang disebabkan oleh
paksaan untuk masuk ke bangsal antenatal mungkin tidak produktif
bagi manfaat penatalaksanaan medis. Obat-obatan (Manuaba 2009;
51)Pemberian obat pada hiperemesis gravidarum sebaiknya
berkonsultasi dengan dokter sehingga dapat dipilih obat yang tidak
bersifat teratogenik (dapat menyebabkan kelainan kongenital atau
cacat bawaan bayi). Komponen (susunan obat) yang dapat diberikan
adalah :
a) Sedatif ringan (fernobarbital [Luminal] 30 mg, Valium)
b) Anti-alergi (anthistamin, Dramamine, Avomin)
c) Obat antimual/anti-muntah (Mediamer B6 (30 mg), Emetrole,
Stemetil, Avopreg)
d) Vitamin, terutama B kompleks dan vitamin C
(b) Isolasi Penderita disendirikan dalam kamar yang tenang, tetapi
cerah dan peredaran udara yang baik. Catat cairan yang masuk dan
keluar dan tidak diberikan makan dan minum dan selama 24 jam.
Kadangkadang dengan isolasi saja gejala-gejala akan berkurang atau
hilang tanpa pengobatan (Winkjosastro 2005; 279).
(c) Terapi psikologik Perlu diyakinkan kepada penderita bahwa
penyakit dapat disembuhkan, hilangkan rasa takut oleh karena
kehamilan, kurangi pekerjaan serta menghilangkan masalah dan
konflik, yang kiranya dapat menjadi latar belakang penyakit ini
(Wiknjosastro. 2005, 279). Menurut Hidayati (2009;68) factor
psikologik pada hiperemesis gravidarum adalah memberikan
konseling dan edukasi (KIE) tentang kehamilan yang dilakukan
untuk menghilangkan factor psikis rasa takut.
Diet Menurut Dinar (2008) dalam Ai Yeyeh, dkk (2010. 124-125)
ciri khas diet hiperemesis adalah penekanan karbohidrat kompleks
terutama pada pagi hari, serta menghindari makanan yang berlemak
dan goreng-gorengan untuk menekan rasa mual dan muntah,
sebaiknya diberi jarak dalam pemberian makan dan minum. Diet
pada hiperemesis bertujuan untuk mengganti persediaan glikogen
tubuh mengontrol asidosis secara berangsur-angsur memberikan
makanan berenergi dan zat gizi yang cukup. Diet hiperemesis
gravidarum memiliki beberapa syarat, diataranya adalah karbohidrat
tinggi, yaitu 75-80% dari kebutuhan energi total, lemak rendah, yaitu
<10% dari kebutuhan energi total, protein sedang, yaitu 10-15% dari
kebutuhan energi total, makanan diberikan dalam bentuk kering,
pemberian cairan disesuaikan dengan keadaan pasien, yaitu 7-10
gelas per hari, makanan mudah dicerna, tidak merangsang saluran
pencernaan dan diberikan sering dalam porsi kecil, bila makan pagi
dan sulit diterima, pemberian dioptimalkan pada makan malam dan
selingan malam, makanan secara berangsur ditingkatkan dalam porsi
dan nilai gizi sesuai dengan keadaan dan kebutuhan gizi pasien.Ada
tiga macam diet pada hiperemesis gravidarum, yaitu:
(1) Diet hiperemesis I diberikan pada hiperemesis tingkat III.
Makanan hanya berupa roti kering dan buah-buahan. Cairan tidak
diberikan bersama makanan tetapi 1-2 jam sesudahnya. Makanan ini
kurang akan zat-zat gizi kecuali vitamin C karena itu hanya
diberikan selama beberapa hari. Diet hiperemesis II diberikan bila
rasa mual dan muntah berkurang. Secara berangsur mulai diberikan
bahan makanan yang bernilai gizi tinggi. Pemberian minuman tidak
diberikan bersama makanan. Makanan ini rendah dalam semua zat-
zat gizi kecuali vitamin A dan D.
(3) Diet hiperemesis III diberikan kepada penderita dengan
hiperemesis ringan. Menurut kesanggupan penderita minimum boleh
diberikan bersama makanan. Makanan ini cukup dalam semua zat
gizi kecuali kalsium.
(4) Makanan yang dianjurkan untuk diet hiperemesis I, II, dan III
adalah roti panggang, biscuit, creekers, buah segar dan sari buah,
minuman botol ringan, sirup, kaldu tak berlemak, teh dan kopi encer.
Sedangkan makanan yang tidak dianjurkan adalah makanan yang
umunnya merangsang saluran pencernaan dan berbumbu tajam.
Bahan makanan yang mengandung alkohol, kopi dan yang
mengandung zat tambahan (pengawet, pewarna, dan penyedap rasa)
juga tidak dianjurkan.
(5) Diet pada ibu mengalami hiperemesis terkadang melihat kondisi
si ibu dan tingkatan hiperemesisnya, konsep saat ini yang dianjurkan
pada ibu adalah makanlah apa yang ibu suka, bukan makan sedikit-
sedikit tapi sering juga jangan paksakan ibu memakan apa yang saat
ini membuat mual karena diet tersebut tidak akan berhasil malah
akan memperparah kondisinya. Pemberian cairan pengganti Cairan
pengganti dapat diberikan dalam keadaan darurat sehingga keadaan
dehidrasi dapat diatasi. Cairan pengganti yang diberikan adalah
glikosa 5% sampai 10% dengan keuntungan dapat mengganti cairan
yang hilang dan berfungsi sebagai sumber energi sehingga terjadi
perubahan metabolisme dari lemak menjadi protein menuju ke arah
pemecahan glukosa. Cairan tersebut dapat ditambahkan vitamin C, B
kompleks, atau kalium yang diperlukan untuk kelancaran
metabolisme. Selama pemberian cairan harus memperhatikan
keseimbangan cairan yang masuk dan keluar melalui kateter (air
kencing perlu diperiksa sehari-hari terhadap protein, aseton,
khlorida, dan bilirubin. Prawirohardjo S, 2007;279)), nadi, tekanan
darah, suhu (suhu dan nadi diperiksa selama 4 jam dan tekanan
darah 3 kali sehari), dan pernapasan. Lancarnya pengeluaran urin
memberi petunjuk bahwa keadaan ibu hamil berangsur-angsur
membaik. Pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan
darah, urine, dan bila memungkinkan pemeriksaan fungsi hati dan
ginjal. Bila muntah berkurang dan kesadaran membaik, ibu hamil
dapat diberikan makan minum dan mobilisasi (Manuaba 2009; 51).
(f) Penghentian kehamilan Pada sebagian kecil kasus keadaan tidak
menjadi baik bahkan mundur. Usahakan mengadakan pemeriksaan
medik dan psikiatrik jika memburuk. Delirium, kebutaan, takikardi,
ikterus, auria, dan perdarahan merupakan manifestasi komplikasi
organic. Dalam keadaan demikian perlu dipertimbangkan untuk
mengakhiri kehamilan. Keputusan untuk melakukan abortus
terapuetik sering sulit diambil. Oleh karena di satu pihak tidak boleh
dilakukan terlalu cepat, tetapi di lain pihak tidak boleh menunggu
sampai terjadi gejala irreversible pada organ vital (Wiknjosastro.
2005, 277).Pada bebrapa keadaan Hiperemesis Gravidarum yang
sudah cukup parah dan dinilai bisa mengancam kesejahteraan ibu
dan janin maka dapat dipertimbangkan pengakhiran kehamilan,
menurut Faser (2003), Henderson dan Ms Donald (2004) dalam Ai
Yeyeh, dkk (2010.128)

2.12.7 Komplikasi
Dampak yang ditimbulkan dapat terjadi pada ibu dan janin,
(a) Komplikasi pada ibu
Menurut Setiawan (2007) dalam Ai Yeyeh, dkk (2010. 128) ibu akan
kekurangan nutrisi dan cairan sehingga keadaan fisik ibu menjadi
lemah dan lelah dapat pula mengakibatkan gangguan asam basa,
pneumini aspirasi, robekan mukosa pada hubungan gastroesofagi
yang menyebabkan peredaran rupture esophagus, kerusakan hepar
dan kerusakan ginjal.
(b) Komplikasi pada janin Menurut Setiawan (2007) dalam Ai
Yeyeh, dkk (2010.129) pertumbuhan dan perkembangan janin
karena nutrisi yang tidak terpenuhi atau tidak sesuai dengan
kehamilan, yang
mengakibatkan peredaran darah janin berkurang. Winkjosastro
(2005) Pada bayi, jika hiperemesis ini terjadi hanya di awal
kehamilan tidak berdampak terlalu serius, tetapi jika sepanjang
kehamilan si ibu menderita hiperemesis gravidarum, maka
kemungkinan bayinya mengalami BBLR, IUGR, Prematur hingga
abortus.Hal ini didukung oleh pernyataan Gross et al dalam Ai
Yeyeh, dkk (2010, 129) menyatakan bahwa ada peningkatan peluang
retradasi pertumbuhan intaruterus jika ibu mengalami penurunan
berat bada sebesar 5 % dari berat badan sebelum kehamilan, karena
pola pertumbuhan janin tergangu oleh metabolisme maternal.
Menurut Tiran (2008) dalam Ai Yeyeh, dkk 2010, 129).Terjadinya
pertumbuhan janin terlambat sebagai akibat kurangnya pemasokan
oksigen dan makanan yang kurang adekuat dan hal ini mendorong
terminasi kehamilan lebih dini (Wiknjosastro, 2005). Makanan ibu
selama hamil dan keadaan gizi ibu pada waktu hamil berhubungan
erat dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Apabila makanan
yang dikonsumsi ibu kurang dan keadaan gizi ibu jelek maka besar
kemungkinan BBLR, menurut Chase dalam Ai Yeyeh, dkk (2010,
128) konsekuesinya adalah bayi yang lahir kemungkinan meninggal
17 kali lebih tinggi dibanding bayi lahir normal. Admin (2007)
dalam Ai Yeyeh, dkk (2010. 129).

2.12.8 Pemeriksaan Laboratorium


Pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan darah, urine,
dan bila memungkinkan pemeriksaan fungsi hati dan ginjal. Bila
muntah berkurang dan kesadaran membaik, ibu hamil dapat
diberikan makan minum dan mobilisasi (Manuaba 2009; 51).

2.13 Tinjauan Asuhan Kebidanan


1. Penerapan manajemen menurut Varney, meliputi pengkajian,
interpretasi data, diagnosa potensial, dan tindakan antisipasi segera
untuk mencegahnya, penyusunan rencana tindakan, pelaksanaan, dan
evaluasi.
Langkah 1 : Pengkajian
Pada langkah ini bidan mengumpulkan semua informasi yang akurat
dan lengkap dari semua sumber yang berkaitan dengan kondisi klien,
untuk memperoleh data dapat dilakukan dengan cara:
Anamnesa
a. Pemeriksaan fisik sesuai dengan kebutuhan dan pemeriksaan
tanda-tanda vital.
b. Pemeriksaan khusus
c. Pemeriksaan penunjang
Bila klien mengalami komplikasi yang perlu di konsultasikan
kepada dokter dalam penatalaksanaan maka bidan perlu
melakukan konsultasi atau kolaborasi dengan dokter. Tahap ini
merupakan langkah awal yang akan menentukan langkah
berikutnya, sehingga kelengkapan data sesuai dengan kasus
yang dihadapi akan menentukan proses interpretasi yang benar
atau tidak dalam tahap selanjutnya, sehingga dalam pendekatan
ini harus yang komprehensif meliputi data subjektif, objektif
dan hasil pemeriksaan sehingga dapat menggambarkan
kondisi/masukan klien yang sebenarnya dan valid. Kaji ulang
data yang sudah dikumpulkan apakah sudah tepat, lengkap dan
akurat.

Langkah II: Merumuskan Diagnosa/Masalah Kebidanan

Pada langkah ini identifikasi terhadap diagnosa atau masalah berdasarkan


interpretasi yang akurat atas data-data yang telah dikumpulkan. Data
dasar yang sudah dikumpulkan diinterpretasikan sehingga dapat
merumuskan diagnosa dan masalah yang spesifik. Rumusan diagnosa dan
masalah keduanya digunakan karena masalah tidak dapat didefinisikan
seperti diagnosa tetapi tetap membutuhkan penanganan. Masalah sering
berkaitan dengan hal-hal yang sedang dialami wanita yang
diidentifikasioleh bidan sesuai dengan hasil
pengkajian. Masalah juga sering menyertai diagnosa. Diagnosa
kebidanan adalah diagnosa yang ditegakkan bidan dalam lingkup praktik
kebidanan dan memenuhi standar nomenklatur diagnosa kebidanan.

Langkah III: Mengantisipasi Diagnosa/Masalah Kebidanan

Pada langkah ini mengidentifikasi masalah potensial atau diagnosa potensial


berdasarkan diagnosa/masalah yang sudah diidentifikasi. Langkah ini
membutuhkan antisipasi, bila memungkinkan dilakukan pencegahan. Pada
langkah ketiga ini bidan dituntut untuk mampu mengantisipasi masalah potensial
tidak hanya merumuskan masalah potensial yang akan terjadi tetapi juga
merumuskan tindakan antisipasi agar masalah atau diagnosa potesial tidak terjadi.

Langkah IV: Menetapkan Kebutuhan Tindakan Segera

Mengidentifikasi perlunya tindakan segera oleh bidan/dokter dan/untuk


dikonsultasikan atau ditangani bersama dengan anggota tim kesehatan yang lain
sesuai dengan kondisi klien. Langkah ini mencerminkan kesinambungan dari
proses penatalaksanaan kebidanan. Jadi, penatalaksanaan bukan hanya selama
asuhan primer periodik atau kunjungan prenatal saja tetapi juga selama wanita
tersebut bersama bidan terus-menerus.Pada penjelasan diatas menunjukkan bahwa
bidan dalam melakukan tindakan harus sesuai dengan prioritas masalah/kebutuhan
yang dihadapi kliennya. Setelah bidan merumuskan tindakan yang perlu dilakukan
untuk mengantisipasi diagnosa/masalah potensial pada langkah sebelumnya, bidan
juga harus merumuskan tindakan emergency/segera untuk segera ditangani baik
ibu maupun bayinya. Dalam rumusan ini termasuk tindakan segera yang mampu
dilakukan secara mandiri, kolaborasi atau yang bersifat rujukan.

Langkah V: Merencanakan Asuhan Secara Menyeluruh


Pada langkah ini direncanakan asuhan yang menyeluruh yang ditentukan oleh
langkah-langkah sebelumnya. Langkah ini merupakan kelanjutan penatalaksanaan
terhadap masalah atau diagnosa yang telah teridentifikasi atau diantisipasi. Pada
langkah ini informasi data yang tidak lengkap dapat dilengkapi. Rencana asuhan
yang menyeluruh tidak hanya meliputi apa-apa yang sudah teridentifikasi dari
kondisi klien atau dari masalah yang berkaitan tetapi juga dari kerangka pedoman
antisipasi terhadap wanita tersebut seperti apa yang diperkirakan akan terjadi
berikutnya, apakah dibutuhkan penyuluhan konseling dan apakah perlu merujuk
klien bila ada masalah-masalah yang berkaitan dengan sosial ekonomi-kultural
atau masalah psikologi.Setiap rencana asuhan haruslah disetujui oleh kedua belah
pihak, yaitu oleh bidan dan klien agar dapat dilaksanakan dengan efektif karena
klien juga akan melaksanakan rencana tersebut. Semua keputusan yang
dikembangkan dalam asuhan menyeluruh ini harus rasional dan benarbenar valid
berdasarkan pengetahuan dan teori yang up to date sertasesuai dengan asumsi
tentang apa yang akan dilakukan klien.

Langkah VI: Implementasi

Pada langkah ke enam ini rencana asuhan menyeluruh seperti yang telah diuraikan
pada langkah ke lima dilaksanakan secara aman dan efisien. Perencanaan ini
dibuat dan dilaksanakan seluruhnya oleh bidan atau sebagian lagi oleh klien atau
anggota tim kesehatan lainnya. Walaupun bidan tidak melakukannya sendiri,
bidan tetap bertanggung jawab untuk mengarahkan pelaksanaannya. Dalam
kondisi dimana bidan berkolaborasi dengan dokter untuk menangani klien yang
mengalami komplikasi, maka keterlibatan bidan dalam penatalaksanaan asuhan
bagi klien adalah tetap bertanggung jawab terhadap terlaksananyarencana asuhan
bersama yang menyeluruh tersebut. Pelaksanaan yang efisien akan menyangkut
waktu dan biaya serta meningkatkan mutu dan asuhan klien.

Langkah VII: Evaluasi

Pada langkah ini dilakukan evaluasi keefektifan dari asuhan yang sudah diberikan
meliputi pemenuhan kebutuhan akan bantuan apakah benar-benar telah terpenuhi
sesuai dengan kebutuhan sebagaimana telah diidentifikasidi dalam diagnosa dan
masalah. Rencana tersebut dapat dianggap efektif jika memang benar-benar
efektif dalam pelaksanaannya. Langkah-langkah proses penatalaksanaan
umumnya merupakan pengkajian yang memperjelas proses pemikiran yang
mempengaruhi tindakan serta berorientasi pada proses klinis, karena proses
penatalaksanaan tersebut berlangsung di dalam situasi klinik dan dua langkah
terakhir tergantung pada klien dan situasi klinik. Penerapan manajemen kebidanan
varney dalam asuhan kebidanan ibu bersalin resiko tinggi dengan preeklamsi
berat. Adapun penerapan manajemen kebidanan menurut Varney meliputi:
pengkajian, intervensi data, masalah, potensial antisipasi, implementasi,
intervensi, evaluasi. Penerapan Manajemen Kebidanan menurut Varney, meliputi
pengkajian, interpretasi data, diagnosa potensial dan tindakan antisipasi segera
untuk mencegahnya, penyusunan rencana tindakan, pelaksanaan dan evaluasi.
2.14 Konsep Dasar Penyakit TORCH
2.14.1 Definisi
TORCH adalah sebuah istilah untuk menggambarkan
gabungan dari empat jenis penyakit infeksi yang menyebabkan
kelainan bawaan, yaitu Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus dan
Herpes. Keempat jenis penyakit infeksi ini sama-sama berbahaya
bagi janin bila infeksi diderita oleh ibu hamil.
Prinsip dari pemeriksaan ini adalah deteksi adanya zat anti
(antibodi) yang spesifik taerhadap kuman penyebab infeksi tersebut
sebagai respon tubuh terhadap adanya benda asing (kuman.
Antibodi yang terburuk dapat berupa Imunoglobulin M (IgM) dan
Imunoglobulin G (IgG).
Penyakit TORCH ini dikenal karena menyebabkan kelainan
dan berbagai keluhan yang bisa menyerang siapa saja, mulai anak-
anak sampai orang dewasa, baik pria maupun wanita. Bagi ibu yang
terinfeksi saat hamil dapat menyebabkan kelainan pertumbuhan
pada bayinya, yaitu cacat fisik dan mental yang beraneka ragam.

a. Toxoplasma 
Toxoplasmosis penyakit zoonosis yaitu penyakit pada
hewan yang dapat ditularkan ke manusia. Penyakit ini disebabkan
oleh sporozoa yang dikenal dengan nama Toxoplasma gondii.
Toxoplasma gondii yaitu suatu parasit intraselluler yang
menginfeksi pada manusia dan hewan. Toxoplasma gondii
termasuk spesies dari kelas sporozoa (Cocidia), pertama kali
ditemukan pada binatang pengerat Ctenodactylus gundi di Afrika
Utara (Tunisia) oleh Nicolle dan Manceaux tahun 1908. Tahun
1928 Toxoplasma gondii ditemukan pada manusia pertama kali
oleh Castellani
b. Rubella
Penyakit ini disebabkan oleh virus Rubella yang termasuk
famili Togaviridae dan genus Rubivirus, infeksi virus ini terjadi
karena adanya kontak dengan sekret orang yang terinfeksi; pada
wanita hamil penularan ke janin secara intrauterin. Masa
inkubasinya rata-rata 16-18 hari. Periode prodromal dapattanpa
gejala (asimtomatis), dapat juga badan terasa lemah,demam ringan,
nyeri kepala, dan iritasi konjungtiva. Penyakit ini agak berbeda
dari toksoplasmosis karena rubela hanya mengancam janin
Penyakit yang juga disebabkan oleh virus yang
menimbulkan demam ringan dengan ruam yang menyebar dan
kadang-kadang mirip dengan campak. Rubella menjadi penting
karena penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan pada janin.
Sindroma rubella congenital terjadi pada 90% bayi yang dilahirkan
oleh wanita yang terinfeksi rubella selama trimester pertama
kehamilan, resiko kecacatan ini menurun hinggga kira-kira 10-20%
pada minggu ke 16 dan lebih jarang terjadi bila ibu terkena infeksi
pada usia kehamilan 20 minggu.
c. Cyto Megalo Virus (CMV)
Penyakit ini disebabkan oleh Human cytomegalovirus,
subfamili betaherpesvirus, famili herpesviridae. Penularannya
lewat paparan jaringan, sekresi maupun ekskresi tubuh
yangterinfeksi (urine, ludah, air susu ibu, cairan vagina, dan
lainlain). Masa inkubasi penyakit ini antara 3-8 minggu. Pada
kehamilan infeksi pada janin terjadi secara intrauterin. Pada bayi,
infeksi yang didapat saat kelahiran akan menampakkan gejalanya
pada minggu ke tiga hingga ke dua belas; jika didapat pada masa
perinatal akan mengakibatkan gejala yang berat. 
Infeksi virus ini dapat ditemukan secara luas di masyarakat;
sebagian besar wanita telah terinfeksi virus ini selama masa anak-
anak dan tidak mengakibatkan gejala yang berarti. Tetapi bila
seorang wanita baru terinfeksi pada masa kehamilan maka infeksi
primer ini akan menyebabkan manifestasi gejala klinik infeksi
janin bawaan sebagai berikut: hepatosplenomegali, ikterus, petekie,
meningoensefalitis, khorioretinitis dan optic atrophy, mikrosefali,
letargia, kejang, hepatitis dan jaundice, infiltrasi pulmonal dengan
berbagai tingkatan, dan kalsifikasi intrakranial. Jika bayi dapat
bertahan hidup akan disertai retardasi psikomotor maupun
kehilangan pendengaran..
d. Herpes Simplek
Penyakit ini disebabkan infeksi Herpes simplex virus
(HSV); ada 2 tipe HSV yaitu tipe 1 dan 2. Tipe 1 biasanya
mempunyai gejala ringan dan hanya terjadi pada bayi karena
adanya kontak dengan lesi genital yang infektif; sedangkan HSV
tipe 2 merupakan herpes genitalis yang menular lewat hubungan
seksual. HSV tipe 1 dan 2 dapat dibedakan secara imunologi. Masa
inkubasi antara 2 hingga 12 hari. Infeksi herpes superfisial
biasanya mudah dikenali misalnya pada kulit dan membran
mukosa juga pada mata.
Penyakit infeksi virus yang ditandai dengan lesi primer
terlokalisir, laten dan adanya kecenderungan untuk kambuh
kembali. Ada 2 jenis virus yaitu virus herpes simpleks (HSV) tipe
1 dan 2 pada umumnya menimbulkan gejala klinis yang berbeda,
tergantung pada jalan masuknya dan dapat menyerang alat-alat
genital atau mukosa mulut.

2.14.2 PENYEBAB TORCH 


Penyebab utama dari virus dan parasit TORCH
(Toxoplasma, Rubella, CMV, dan Herpes) adalah hewan yang ada
di sekitar kita, seperti ayam, kucing, burung, tikus, merpati,
kambing, sapi, anjing, babi dan lainnya. Meskipun tidak secara
langsung sebagai penyebab terjangkitnya penyakit yang berasal dari
virus ini adalah hewan, namun juga bisa disebabkan oleh karena
perantara (tidak langsung) seperti memakan sayuran, daging
setengah matang dan lainnya.

a. Toxoplasma Gondii
Infeksi Toxoplasma disebabkan oleh parasit yang disebut
Toxoplasma gondi .Pada umumnya infeksi Toxoplasma terjadi
tanpa disertai gejala yang spesifik. Kira-kira hanya 10-20% kasus
infeksi Toxoplasma yang disertai gejala ringan, mirip gejala
influenza, bisa timbul rasa lelah, malaise, demam, dan umumnya
tidak menimbulkan masalah.
b. Rubella
Infeksi Rubella ditandai dengan demam akut, ruam pada
kulit dan pembesaran kelenjar getah bening. Infeksi ini disebabkan
oleh virus Rubella, dapat menyerang anak-anak dan dewasa muda.
c. Cyto Megalo Virus (CMV)
Infeksi CMV disebabkan oleh virus Cytomegalo, dan virus
ini temasuk golongan virus keluarga Herpes. Seperti halnya
keluarga herpes lainnya, virus CMV dapat tinggal secara laten
dalam tubuh dan CMV merupakan salah satu penyebab infeksi
yang berbahaya bagi janin bila infeksi yang berbahaya bagi janin
bila infeksi terjadi saat ibu sedang hamil.
d. Herpes Simplek
Infeksi herpes pada alat genital (kelamin) disebabkan oleh
Virus Herpes Simpleks tipe II (HSV II). Virus ini dapat berada
dalam bentuk laten, menjalar melalui serabut syaraf sensorik dan
berdiam diganglion sistem syaraf otonom.

2.14.3 EPIDEMIOLOGI TORCH


a. Toxoplasma Gondii
Infeksi Toxoplasma berbahaya bila terjadi saat ibu sedang hamil
atau pada orang dengan sistem kekebalan tubuh terganggu (misalnya
penderita AIDS, pasien transpalasi organ yang mendapatkan obat penekan
respon imun).
Jika wanita hamil terinfeksi Toxoplasma maka akibat yang dapat
terjadi adalah abortus spontan atau keguguran (4%), lahir mati (3%) atau
bayi menderita Toxoplasmosis bawaan. pada Toxoplasmosis bawaan,
gejala dapat muncul setelah dewasa, misalnya kelinan mata dan telinga,
retardasi mental, kejang-kejang dn ensefalitis
b. Rubella 
Infeksi Rubella berbahaya bila tejadi pada wanita hamil muda,
karena dapat menyebabkan kelainan pada bayinya. Jika infeksi terjadi
pada bulan pertama kehamilan maka risiko terjadinya kelainan adalah
50%, sedangkan jika infeksi tejadi trimester pertama maka risikonya
menjadi 25% (menurut America College of Obstatrician and
Gynecologists, 1981).
c. Cyto Megalo Virus (CMV)
Jika ibu hamil terinfeksi. maka janin yang dikandung mempunyai
risiko tertular sehingga mengalami gangguan misalnya pembesaran hati,
kuning, pekapuran otak, ketulian, retardasi mental, dan lain-lain.
d. Herpes Simplek
Infeksi TORCH yang terjadi pada ibu hamil dapt membahayakan
janin yang dikandungnya. Pada infeksi TORCH, gejala klinis yang ada
searing sulit dibedakan dari penyakit lain karena gejalanya tidak spesifik.
Walaupun ada yang memberi gejala ini tidak muncul sehingga
menyulitkan dokter untuk melakukan diagnosis. Oleh karena itu,
pemeriksaan laboratorium sangat diperlukan untuk membantu mengetahui
infeksi TORCH agar dokter dapat memberikan penanganan atau terapi
yang tepat.

2.14.4 TANDA DAN GEJALA


a. Toxoplasma
Gejala yang diderita biasanya dengan mirip gejala influenza, bisa
timbul rasa lelah, malaise, demam disertai hepatomegali, dan umumnya
tidak menimbulkan masalah,
b. Herpes Simpleks
Penderita biasanya mengalami demam, salivasi, mudah terangsang
dan menolak untuk makan,. Dengan dilakukan pemeriksaan menunjukan
adanya ulkus dangkal multiple yang nyeri pada mukusa lidah, gusi, dan
bukal denganvesikel pada bibir dan sekitarnya.
c. Cyto Megalo Virus (CMV)
 demam, 
 penurunan jumlah sel darah putih (leukopenia) 
 letih- lesu
 kulit berwarna kuning, 
 pembesaran hati dan limpa, 
 kerusakan atau hambatan pembentukan organ tubuh seperti mata, otak,
gangguan mental, dan lain-lain tergantung organ janin mana yang
diserang
 Umumnya janin yang terinfeksi CMV lahir prematur dan berat badan
lahir rendah.
d. Rubella
Tanda dan gejala yang muncul biasanya bertahan dalam dua hingga
tiga hari dan mungkin melibatkan: 
 Demam ringan 38,9 derajat Celcius atau lebih rendah, 
 Sakit kepala
 Hidung tersumbat atau pilek
 Peradangan, mata merah
 Pembesaran, pelunakan kelenjar getah bening di dasar tengkorak, leher
bagian belakang dan di belakang telinga
 Muncul ruam warna merah muda/pink di wajah dan dengan cepat
menyebar ke pundak, lengan, kaki sebelum menghilang di sekuens
yang sama.
 Nyeri pada persendian, khususnya pada perempuan muda.

2.14.4 PATOFISIOLOGI TORCH


a. Toxoplasma
Toxoplasma gondii adalah parasit protozoa yang merupakan salah
satu penyebab kelainan kongenital yang cukup dominan dibandingkan
penyebab lainnya yang tergolong dalam TORCH. Hospes primernya
adalah kucing. Kucing ini telah mempunyai imunitas, tetapi pada saat
reinfeksi mereka dapat menyebarkan kembali sejumlah kecil ookista.
Ookista ini dapat menginfeksi manusia dengan cara memakan daging,
buah-buahan, atau sayuran yang terkontaminasi atau karena kontak dengan
faeces kucing. Dalam sel–sel jaringan tubuh manusia, akan terjadi
proliferasi trophozoit sehingga sel–sel tersebut akan membesar.
Trophozoit akan berkembang dan terbentuk satu kista dalam sel, yang di
dalamnya terdapat merozoit. Kista biasanya didapatkan di jaringan otak,
retina, hati, dan lain-lain yang dapat menyebabkan kelainan pada organ-
organ tersebut, seperti microcephali, cerebral kalsifikasi, chorioretinitis,
dll. Kista toksoplasma ditemukan dalam daging babi atau daging kambing.
Sementara itu, sangat jarang pada daging sapi atau daging ayam. Kista
toksoplasma yang berada dalam daging dapat dihancurkan dengan
pembekuan atau dimasak sampai dagingnya berubah warna. Buah atau
sayuran yang tidak dicuci juga dapat menstranmisikan parasit yang dapat
dihancurkan dengan pembekuan atau pendidihan. Infeksi T.gondii
biasanya tanpa gejala dan berlalu begitu saja. Setelah masa inkubasi
selama lebih kurang 9 hari, muncul gejala flu seperti lelah, sakit kepala,
dan demam yang dapat muncul hampir bersamaan dengan limpadenopati,
terutama di daerah serviks posterior.
b. Rubella 
Kematian pada post natal rubella biasanya disebabkan oleh
enchepalitis. Pada infeksi awal, virus akan masuk melalui traktus
respiratorius yang kemudian akan menyebar ke kelenjar limfe sekitar dan
mengalami multiplikasi serta mengawali terjadinya viremia dalam waktu 7
hari. Janin dapat terinfeksi selama terjadinya viremia maternal. Saat ini,
telah diketahui bahwa infeksi plasenta terjadi pada 80% kasus dan risiko
kerusakan jantung, mata, atau telinga janin sangat tinggi pada trisemester
pertama. Jika infeksi maternal terjadi sebelum usia kehamilan 12 minggu,
60% bayi akan terinfeksi. Kemudian, risiko akan menurun menjadi 17%
pada minggu ke-14 dan selanjutnya menjadi 6% setelah usia kehamilan 20
minggu. Akan tetapi, plasenta biasanya terinfeksi dan virus dapat menjadi
laten pada bayi yang terinfeksi kongenital selama bertahun-tahun.
c. Cytomegalovirus (CMV)
Penyakit yang disebabkan oleh Cytomegalovirus dapat terjadi
secara kongenital saat bayi atau infeksi pada usia anak. Kadang-kadang,
CMV juga dapat menyebabkan infeksi primer pada dewasa, tetapi
sebagian besar infeksi pada usia dewasa disebabkan reaktivasi virus yang
telah didapat sebelumnya. Infeksi kongenital biasanya disebabkan oleh
reaktivasi CMV selama kehamilan. Di negara berkembang, jarang terjadi
infeksi primer selama kehamilan, karena sebagian besar orang telah
terinfeksi dengan virus ini sebelumnya. Bila infeksi primer terjadi pada
ibu, maka bayi akan dapat lahir dengan kerusakan otak, ikterus dengan
pembesaran hepar dan lien, trombositopenia, serta dapat menyebabkan
retardasi mental. Bayi juga dapat terinfeksi selama proses kelahiran karena
terdapatnya CMV yang banyak dalam serviks. Penderita dengan infeksi
CMV aktif dapat mengekskresikan virus dalam urin, sekret traktus
respiratorius, saliva, semen, dan serviks. Virus juga didapatkan pada
leukosit dan dapat menular melalui tranfusi.
d. Herpes Simpleks (HSV)
HSV merupakan virus DNA yang dapat diklasifikasikan ke dalam
HSV 1 dan 2. HSV 1 biasanya menyebabkan lesi di wajah, bibir, dan
mata, sedangkan HSV 2 dapat menyebabkan lesi genital. Virus
ditransmisikan dengan cara berhubungan seksual atau kontak fisik lainnya.
Melalui inokulasi pada kulit dan membran mukosa, HSV akan
mengadakan replikasi pada sel epitel, dengan waktu inkubasi 4 sampai 6
hari. Replikasi akan berlangsung terus sehingga sel akan menjadi lisis
serta terjadi inflamasi lokal. Selanjutnya, akan terjadi viremia di mana
virus akan menyebar ke saraf sensoris perifer. Di sini virus akan
mengadakan replikasi yang diikuti penyebarannya ke daerah mukosa dan
kulit yang lain2,4,9,10.
Dalam tahun-tahun terakhir ini, herpes genital telah mengalami
peningkatan. Akan tetapi, untungnya herpes neonatal agak jarang terjadi,
bervariasi dari 1 dalam 2.000 sampai 1 dalam 60.000 bayi baru lahir.
Tranmisi terjadi dari kontak langsung dengan HSV pada saat melahirkan.
Risiko infeksi perinatal adalah 35--40% jika ibu yang melahirkan
terinfeksi herpes genital primer pada akhir kehamilannya2.

2.14.5 CARA PENULARAN TORCH


Penularan TORCH pada manusia dapat melalui 2 (dua) cara.
Pertama, secara aktif (didapat) dan yang kedua, secara pasif (bawaan).
Penularan secara aktif disebabkan antara lain sebagai berikut :
a. Makan daging setengah matang yang berasal dari hewan yang terinfeksi
(mengandung sista), misalnya daging sapi, kambing, domba, kerbau,
babi, ayam, kelinci dan lainnya. Kemungkinan terbesar penularan
TORCH ke manusia adalah melalui jalur ini, yaitu melalui masakan sati
yang setengah matang atau masakan lain yang dagingnya diamsak tidak
semnpurna, termasuk otak, hati dan lainnya.
b. Makan makanan yang tercemar oosista dari feses (kotoran) kucing yang
menderita TORCH. Feses kucing yang mengandung oosista akan
mencemari tanah (lingkungan) dan dapat menjadi sumber penularan
baik pada manusia maupun hewan. Tingginya resiko infeksi TORCH
melalui tanah yang tercemar, disebabkan karena oosista bisa bertahan di
tanah sampai beberapa bulan ( Howard, 1987).
c. Transfusi darah (trofozoid), transplantasi organ atau cangkok jaringan
(trozoid, sista), kecelakaan di laboratorium yang menyebabkan TORCH
masuk ke dalam tubuh atau tanpa sengaja masuk melalui luka
(Remington dan McLeod 1981, dan Levine 1987).
d. Hubungan seksual antara pria dan wanita juga bisa menyebabkan
menularnya TORCH. Misalnya seorang pria terkena salah satu penyakit
TORCH kemudian melakukan hubungan seksual dengan seorang wanita
(padahal sang wanita sebelumnya belum terjangkit) maka ada
kemungkinan wanita tersebut nantinya akan terkena penyakit TORCH
sebagaimana yang pernah diderita oleh lawan jenisnya. 
e. Ibu hamil yang kebetulan terkena salah satu penyakit TORCH ketika
mengandung maka ada kemungkinan juga anak yang dikandungnya
terkena penyakit TORCH melalui plasenta. 
f. Air Susu Ibu (ASI) juga bisa sebagai penyebab menularnya penyakit
TORCH. Hal ini bisa terjadi seandainya sang ibu yang menyusui
kebetulan terjangkit salah satu penyakit TORCH maka ketika menyusui
penyakit tersebut bisa menular kepada sang bayi yang sedang
disusuinya.
g. Keringat yang menempel pada baju atau pun yang masih menempel di
kulit juga bisa menjadi penyebab menularnya penyakit TORCH. Hal ini
bisa terjadi apabila seorang yang kebetulan kulitnya menmpel atau pun
lewat baju yang baru saja dipakai si penderita penyakit TORCH.
h. Faktor lain yang dapat mengakibatkan terjadinya penularan pada
manusia, antara lain adalah kebiasaan makan sayuran mentah dan buah -
buahan segar yang dicuci kurang bersih, makan tanpa mencuci tangan
terlebih dahulu, mengkonsumsi makanan dan minuman yang disajikan
tanpa ditutup, sehingga kemungkinan terkontaminasi oosista lebih besar.
i. Air liur juga bisa sebagai penyebab menularnya penyakit TORCH. Cara
penularannya juga hampir sama dengan penularan pada hubungan
seksual.
Berdasarkan kenyataan di atas, penyakit TORCH ini sifatnya
menular. Oleh karena itu dalam satu keluarga biasanya kalau salah satu
anggota keluarga terkena penyakit tersebut maka yang lainnya pun juga
bisa terkena. Malah ada beberapa kasus dalam satu keluarga seluruh
anggota keluarganya mulai dari kakek - nenek, kakak - adik, bapak - ibu,
anak - anak semuanya terkena penyakit TORCH.

2.14.6 CARA MENGHINDARI TORCH


Untuk menghindari sedini mungkin penyakit TORCH yang sangat
membahayakan ini, ada beberapa hal sebagai solusi awal yang bisa
dilakukan antara lain sebagai berikut :
a. Bila mengkonsumsi daging seperti daging ayam, sapi, kambing, kelinci,
babi dan lainnya terlebih dahulu dimasak dengan matang hingga suhu
mencapai 66 derajat Celcius, agar oosista - oosista yang mungkin
terbawa di dalam daging tersebut bisa mati.
b. Kucing peliharaan di rumah hendaknya diberi daging matang untuk
mencegah infeksi yang masuk ke dalam tubuh kucing. Tempat makan,
minum dan alas tidur harus selalu dicuci / dibersihkan.
c. Hindari kontak dengan hewan - hewan mamalia liar, seperti rodensia liar
(tikus, bajing, musang dan lain - lain) serta reptilia kecil seperti cecak,
kadal, dan bengkarung yang kemungkinan dapat sebagai hewan
perantara TORCH. 
d. Penanganan kotoran kucing sebaiknya dilakukan melalui sarung tangan
yang disposable (dibuang setelah dipakai).
e. Bagi wanita yang sedang hamil, terutama yang dinyatakan secara
serologis sudah negatif, jangan memelihara atau menangani kucing
kecuali dengan sarung tangan. 
f. Bila sedang memegang daging, bekerja di tempat atau perusahaan
daging atau organ yang masih mentah, hindari untuk tidak menyentuh
mata, mulut, dan hidung dan peralatan dapur setelah selesai sebaiknya
dicuci dengan sabun. 
g. Bagi yang senang berkebun atau bekerja di kebun, sebaiknya
menggunakan sarung tangan, mencuci sayuran atau buah sebelum
dimakan. 
h. Darah penderita seropositif tidak boleh ditransfusikan pada penderita
yang menderita imunosupresif, demikian pula transplantasi organ pada
penderita seronegatif harus dari orang dengan seronegatif TORCH.
i. Pemberantasan terhadap lalat dan kecoa sebagai pembawa oosista perlau
dilakukan.
j. Penggunaan desinfektan komersial yang ada di toko - toko dapat
berguna untuk membasmi oosista.
k. Memeriksakan hewan peliharaan secara kontinyu ke dokter hewan atau
poliklinik hewan agar supaya hewan keanyangan selalu dalam keadaan
sehat.

2.14.7 MENCEGAH TORCH


Mengingat bahaya dari TORCH untuk ibu hamil, bagi Anda yang
sedang merencanakan kehamilan atau yang saat ini sedang hamil, dapat
mempertimbangkan saran-saran berikut agar bayi Anda dapat terlahir
dengan baik dan sempurna.
a. Makan makanan bergizi
Saat hamil, sebaiknya Anda mengkonsumsi banyak makanan
bergizi. Selain baik untuk perkembangan janin, gizi yang cukup juga
akan membuat tubuh tetap sehat dan kuat. Bila tubuh sehat, maka tubuh
dapat melawan berbagai penyakit termasuk TORCH sehingga tidak akan
menginfeksi tubuh.
b. Lakukan pemeriksaan sebelum kehamilan
Ada baiknya, Anda memeriksakan tubuh sebelum merencanakan
kehamilan. Anda dapat memeriksa apakah dalam tubuh terdapat virus
atau bakteri yang dapat menyebabkan infeksi TORCH. Jika Anda sudah
terinfeksi, ikuti saran dokter untuk mengobatinya dan tunda kehamilan
hingga benar-benar sembuh.
c. Melakukan vaksinasi
Vaksinasi bertujuan untuk mencegah masuknya parasit penyebab
TORCH. Seperti vaksin rubela dapat dilakukan sebelum kehamilan.
Hanya saja, Anda tidak boleh hamil dahulu sampai 2 bulan kemudian.
d. Makan makanan yang matang
Hindari memakan makanan tidak matang atau setengah matang.
Virus atau parasit penyebab TORCH bisa terdapat pada makanan dan
tidak akan mati apabila makanan tidak dimasak sampai matang. Untuk
mencegah kemungkinan tersebut, selalu konsumsi makanan matang
dalam keseharian Anda.
e. Periksa kandungan secara terartur
Selama masa kehamilan, pastikan juga agar Anda memeriksakan
kandungan secara rutin dan teratur. Maksudnya adalah agar dapat
dilakukan tindakan secepatnya apabila di dalam tubuh Anda ternyata
terinfeksi TORCH. Penanganan yang cepat dapat membantu agar
kondisi bayi tidak menjadi buruk.
f. Jaga kebersihan tubuh
Jaga higiene tubuh Anda. Prosedur higiene dasar, seperti
mencuci tangan, sangatlah penting.
g. Hindari kontak dengan penderita penyakit
Seorang wanita hamil harus menghindari kontak dengan siapa
pun yang menderita infeksi virus, seperti rubela, yang juga disebut
campak Jerman. Dengan mencari lebih banyak informasi tentang
kehamilan serta merawat dirinya sebelum dan selama masa kehamilan
maupun dengan memikirkan masak-masak jauh di muka tentang
berbagai aspek melahirkan, seorang wanita akan melakukan sebisa-
bisanya untuk memastikan kehamilan yang lebih aman. Maka, bagi
seorang wanita hamil, cobalah untuk selalu waspada terhadap berbagai
penyakit seperti TORCH agar bayi Anda terlahir sehat.
2.14.8 PENGOBATAN TORCH
Adanya infeksi-infeksi ini dapat dideteksi dari pemeriksaan darah.
Biasanya ada 2 petanda yang diperiksa untuk tiap infeksi yaitu
Imunoglobulin G (IgG) dan Imunoglobulin M (IgM). Normalnya
keduanya negatif. 
Jika IgG positif dan IgMnya negatif,artinya infeksi terjadi dimasa
lampau dan tubuh sudah membentuk antibodi. Pada keadaan ini tidak
perlu diobati. Namun, jika IgG negatif dan Ig M positif, artinya infeksi
baru terjadi dan harus diobati. Selama pengobatan tidak dianjurkan untuk
hamil karena ada kemungkinan infeksi ditularkan ke janin. Kehamilan
ditunda sampai 1 bulan setelah pengobatan selesai (umumnya pengobatan
memerlukan waktu 1 bulan). Jika IgG positif dan IgM juga positif,maka
perlu pemeriksaan lanjutan yaitu IgG Aviditas. Jika hasilnya tinggi,maka
tidak perlu pengobatan, namun jika hasilnya rendah maka perlu
pengobatan seperti di atas dan tunda kehamilan. Pada infeksi
Toksoplasma,jika dalam pengobatan terjadi kehamilan, teruskan
kehamilan dan lanjutkan terapi sampai melahirkan.Untuk Rubella dan
CMV, jika terjadi kehamilan saat terapi, pertimbangkan untuk
menghentikan kehamilan dengan konsultasi kondisi kehamilan bersama
dokter kandungan anda. 
Pengobatan TORCH secara medis diyakini bisa dengan
menggunakan obat-obatan seperti isoprinocin, repomicine, valtrex,
spiromicine, spiradan, acyclovir, azithromisin, klindamisin, alancicovir,
dan lainnya. Namun tentu pengobatannya membutuhkan biaya yang sangat
mahal dan waktu yang cukup lama. Selain itu, terdapat pula cara
pengobatan alternatif yang mampu menyembuhkan penyakit TORCH ini,
dengan tingkat kesembuhan mencapai 90%. 
Pengobatan TORCH secara medis pada wanita hamil dengan obat
spiramisin (spiromicine), azithromisin dan klindamisin misalnya bertujuan
untuk menurunkan dampak (resiko) infeksi yang timbul pada janin.
Namun sayangnya obat-obatan tersebut seringkali menimbulkan efek
mual, muntah dan nyeri perut. Sehingga perlu disiasati dengan meminum
obat-obatan tersebut sesudah atau pada waktu makan.
Berkaitan dengan pengobatan TORCH ini (terutama pengobatan
TORCH untuk menunjang kehamilan), menurut medis apabila IgG nya
saja yang positif sementara IgM negative, maka tidak perlu diobati.
Sebaliknya apabila IgM nya positif (IgG bisa positif atau negative), maka
pasien baru perlu mendapatkan pengobatan. 

2.14.9 DIAGNOSA TORCH


Proses diagnosa medis merupakan langkah pertama untuk
menangani suatu penyakit. Tetapi diagnosa berdasarkan pengamatan
gejala klinis sering sukar dilaksanakan, maka dilakukan diagnosa
laboratorik dengan memeriksa serum darah, untuk mengukur titer-titer
antibodi IgM atau IgG-nya.
Penderita TORCH kadang tidak menunjukkan gejala klinis yang
spesifik, bahkan bisa jadi sama sekali tidak merasakan sakit. Secara umum
keluhan yang dirasakan adalah mudah pingsan, pusing, vertigo, migran,
penglihatan kabur, pendengaran terganggu, radang tenggorokan, radang
sendi, nyeri lambung, lemah lesu, kesemutan, sulit tidur, epilepsi, dan
keluhan lainnya.
Untuk kasus kehamilan: sulit hamil, keguguran, organ tubuh bayi
tidak lengkap, cacat fisik maupun mental, autis, keterlambatan tumbuh
kembang anak, dan ketidaksempurnaan lainnya.
Namun begitu, gejala diatas tentu belum membuktikan adanya
penyakit TORCH sebelum dibuktikan dengan uji laboratorik.

2.14.10 PEMERIKSAAN TORCH


1. Cara Pemeriksaannya
a. Toxoplasma
Tes ini mempergunakan antigen Toxoplasma yang diletakkan pada
penyangga padat, mula-mula di inkubasi dengan serum penderita
kemudian dengan antibodi berlabel enzim. Kadar antibodi dalam serum
penderita sebanding dengan intertitas warna yang timbul setelah ikatan
antigen antibodi dicampur dengan substrat. Uji aviditas pada ELISA
bermanfaat untuk determinasi prediktif kapan seseorang atau individu
tersebut diperkirakan terinfeksi Aviditas ELISA juga dapat digunakan
untuk menentukan status infeksi serta kekuatan ikatan intrinsik antara
antibodi dengan antigen. Apabila ikatan intrinsiknya lemah maka daya
proteksinya juga lemah meskipun titernya cukup tinggi. Sebaliknya
apabila ikatan intrinsik antigen-antibodinya cukup tinggi maka daya
proteksinya cukup baik meskipun titernya tidak terlalu tinggi.

Cara Kerja :
a) Lokasi Pengambilan Sampel
- vena mediana cubiti ( dewasa )
- vena jugularis superficialis ( bayi )
b) Cara kerja pengambilan sampel :
- Bersihkan daerah vena mediana cubiti dengan alcohol 70% dan
biarkan menjadi kering kembali
- Pasang ikatan pembendung/torniquit diatas fossa cubiti. Mintakan
pasien yang akan diambil darahnya untuk mengepal dan membuka
tangannya beberapa kali agar vena jelas terlihat.
- Pembendungan vena tidak boleh terlalu kuat .
- Tegangkan kulit diatas vena dengan jari tangan kiri agar vena tidak
bergerak
- Tusuk kulit diatas vena dengan jarum/nald dengan tangan kanan
sampai menembus lumen vena
- Lepaskan pembendungan dan ambillah darah sesuai yang
dibutuhkan
- Taruh kapas diatas jarum/nald dan cabut perlahan
- Mintakan agar pasien menekan bekas tusukan dengan kapas tadi
- Alirkan darah dari syringe kedalam tabung melaluji dinding tabung
- Berikan label berisi tanggal pemeriksaan,nama pasien dan jenis
specimen
- Sampel dapat di simpan pada suhu 2 - 8 ° C bertahan sampai 7 hari
atau dibekukan sampai 6 bulan. Hindari pembekuan berulang jika
untuk pemeriksaan.
c) Cara kerja Toxolisa IgG dan IgM
- Siapkan pengenceran 1:40 test sampel, negatif control, positif
control dan calibrator dengan jalan menambahkan masing-masing
5 ul bahan dengan 100 ul sampel diluents, goyang hingga
homagen.
- Ambil 100 ul masing-masing hasil pengenceran, masukkan ke
dalam wells goyang agar tercampur rata, inkubasi selama 30 menit
pada suhu 37oC.
- Cuci 4× dengan diluents Wash Buffer (1×) dilanjutkan cuci 1×
dengan aquabidest Wash buffer (1×) = encerkan volume Wash
Buffer (20×) dengan 19 volume aquabidest contoh : larutkan 50ml
Wash Buffer (20×) kedalam aquabidest untuk membuat 1000ml
Wash Buffer (1×).
- Masukan 100 ul Enzyme Conjugate ke masing-masing well,
inkubasi 30 menit pada suhu 37oC.
- Cuci 4× dengan diluents Wash Buffer (1×) dilanjutkan cuci dengan
aquabidest.
- Masukan 100 ul TMB ke masing-masing well, goyang hingga
merata.
- Inkubasi 15 menit pada suhu 37oC.
- Tambahkan 100 ul Stop Solution (1N HCl) ke masing-masing well
- Goyang 30 detik agar merata
- Baca pada Elisa Reader dengan λ 450nm

b. Rubella 
Dengan tes ELISA, HAI,Pasif HAatau tes LA, atau dengan adanya
IgM spesifik rubella yang mengindikasikan infeksi rubella telah terjadi.
Pemeriksaan Laboratorium yang dilakukan meliputi pemeriksaan Anti-
Rubella IgG dana IgM. Pemeriksaan Anti-rubella IgG dapat digunakan
untuk mendeteksi adanya kekebalan pada saat sebelum hamil. Jika
ternyata belum memiliki kekebalan, dianjurkan untuk divaksinasi.
Pemeriksaan Anti-rubella IgG dan IgM terutama sangat berguna
untuk diagnosis infeksi akut pada kehamilan < 18 minggu dan risiko
infeksi rubella bawaan.

c. Cyto Megalo Virus


Pemeriksaan laboratorium sangat bermanfaat untuk mengetahui
infeksi akut atau infeski berulang, dimana infeksi akut mempunyai risiko
yang lebih tinggi. Pemeriksaan laboratorium yang silakukan meliputi Anti
CMV IgG dan IgM, serta Aviditas Anti-CMV IgG.
d. Herpes Simpleks
Pemeriksaan laboratorium, yaitu Anti-HSV II IgG dan Igm sangat
penting untuk mendeteksi secara dini terhadap kemungkinan terjadinya
infeksi oleh HSV II dan mencaegah bahaya lebih lanjut pada bayi bila
infeksi terjadi pada saat kehamilan

2. Cara untuk membaca hasilnya adalah sebagai berikut :


a. Periksalah serum untuk mencari ada tidaknya IgG spesifik untuk
parasit/virus TORCH. Bila hasilnya Negatif, berarti Anda tidak pernah
terinfeksi TORCH. Bila Positif, berarti pernah terinfeksi. Note: [periksa
Anti-Toxoplasma IgG, Anti-Rubella IgG, Anti-CMV IgG, Anti-HSV2
IgG]. Tes IgG itu untuk meriksa apakah pada masa lalu si pasien pernah
kena infeksi.
b. Bila IgG Positif, maka untuk menentukan kapan infeksi tersebut, Anda
harus melakukan pemeriksaan serum untuk mencari ada tidaknya IgM
parasit/virus TORCH. Tes IgM ini fungsinya untuk memeriksa apakah saat
ini si pasien terinfeksi TORCH.
c. Bila IgG Positif dan IgM Negatif : Anda telah terinfeksi lebih dari setahun
yang lalu. Saat ini anda mungkin telah mengembangkan kekebalan
terhadap parasit itu. Anda tidak perlu khawatir untuk hamil.
d. Bila IgG Positif dan IgM juga Positif: Anda tengah mengalami infeksi
dalam 2 tahun terakhir, [mungkin pula ada false pada hasil IgM]. Anda
harus catat berapa angka IgM tersebut.
e. Selanjutnya Anda harus melakukan lagi pemeriksaan IgM [kalau perlu
sekalian IgG] setelah 2 minggu dari pemeriksaan pertama. 
f. Bila IgM tetap Positif atau malah naik angkanya, berarti anda sedang
terinfeksi TORCH. Sebaiknya anda sembuhkan dulu infeksi ini baru
kemudian mulai hamil.
g. Siapa & kapan perlu melakukan pemeriksaan TORCH yaitu 
 Wanita yang akan hamil atau merencanakan segera hamil
 Wanita yang baru/sedang hamil bila hasil sebelumnya negatif atau
belum diperiksa, idealnya dipantau setiap 3 bulan sekali
 Bayi baru lahir yang ibunya terinfeksi pada saat hamil

2.15 ASUHAN KEPERAWATAN PADA KEHAMILAN DENGAN


INFEKSI TORCH

A. PENGKAJIAN
1. Identitas klien
2. Keluhan utama: demam
a. Riwayat kesehatan
Suhu tubuh meningkat, malaise, sakit tenggorokan, mual dan muntah,
nyeri otot.
b. Riwayat kesehatan dahulu
- Klien sering berkontak langsung dengan binatang
- Klien sering mengkonsumsi daging setengah atang
- Klien pernah mendapatkan transfusi darah
3. Data psikologis
4. Data psikospiritual
5. Data social dan ekonomi
6. Pemeriksaan fisik
- Mata
o Nyeri
o ikterus
- Integument
o suka berkeringat malam
o suhu tubuh meningkat
o timbulnya rash pada kulit
- muskuloskletal
o nyeri
o kelemahan
- hepar
o hepatomegali
- abdomen
o Acites
o Diare
o mual dan muntah

B. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Anti-Toxoplasma IgM dan Anti-Toxoplasma IgG (untuk mendeteksi
infeksi Toxoplasma) 
2. Anti-Rubella IgM dan Anti-Rubella IgG (Untuk mendeteksi infeksi
Rubella) 
3. Anti-CMV IgM dan Anti-CMV IgG (untuk mendeteksi infeksi
Cytomegalovirus) 
4. Anti-HSV2 IgM dan Anti-HSV2 IgG (untuk mendeteksi infeksi virus
Herpes) 

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri b.d adanya proses infeksi / inflamasi.
Tujuan : mengurangi nyeri
Kriterian hasil :Klien melaporkan nyeri hilang dan terkontrol
Klien tampak rileks, Klien mampu tidur/istirahat dengan tepat.

2. Hipertemia b. d peningkatan tingkat metabolisme penyakit ditandai


dengan suhu 39,50C, tubuh menggigil
Tujuan: Mendemonstrasikan suhu dalam batas normal
Kriteria hasil: Terjadi peningkatan suhu
Kulit kemerahan dan hangat waktu disentuh
Peningkatan tingkat pernapasan 

3. Kekurangan volume cairan b.d tidak adekuatnya masukan makanan


dan cairan ditandai dengan, diare
Tujuan: memenuhi kebutuhan cairan tubuh
Kriteria hasil: Mempertahankan volume sirkulasi adekuat, Tanda – tanda
vital dalam batas normal, Nadi ferifer teraba, Haluaran urine adekuat,
Membrane mukosa lembab,Turgor kulit baik.
2.15 Konsep Dasar Ante Partum Bleeding (APB)

2.15.1 Pengertian

Ante Partum Bleeding (APB) adalah perdarahan yang terjadi

setelah kehamilan 28 minggu. Biasanya lebih banyak dan lebih

berbahaya dari pada perdarahan kehamilan sebelum 28 minggu.

2.15.2 Klasifikasi APB

1. Bersumber dari kelainan placenta

 Placentra previa

 Solutio placenta

 APB yang belum jelas sumbernya; insersio velamentosa

roptum sinus marginalis, plasenta sirkum vakita

2. Tidak bersumber dari kelainan placenta, biasanya tidak begitu

berbahaya, misal; kelainan servix dan vagina (polip, erosio,

varises yang pecah) serta trauma.

a. Placenta Previa adalah keadaan dimana placenta

berimplantasi pada tempat abnormal yakni pada segmen


bawah rahim, sehingga menutupi sebagian atau seluruh

pembukaan jalan/ostium uteri internal (OUI).

Klasifikasi Placenta Previa yang pasti belum ada kata

sepakat, karena pembagian tidak berdasarkan keadaan

anatomi melainkan keadaan fiosiologik yang berubah-

rubah. Klasifikasi tersebut terdiri dari;

- Placenta previa sentralis/totalis; bila pada

pembukaan 4-5 cm teraba placenta menutupi

selutuh ostea.

- Placenta previa lateralis; bila pada pembukaan

sebagian 4-5 cm ditutupi oleh placenta.

 Placenta previa lateralis posterior; bila

sebagian menutupi ostea bagian belakang.

 Placenta previa lateralis anterior; bila sebagian

menutupi ostea bagian depan.

 Placenta previa marginalis; bila sebagian

kecil/hanya pinggir ostea yang ditutupi

placenta

Klasifikasi menurut Buku AS

- Placenta previa totalis; bila seluruh ostea ditutupi oleh

placenta

- Placenta previa partialis; bila sebagian ostea ditutupi oleh

placenta
- Placenta letak rendah/low lying placenta; bila pinggir

placenta berada 3-4 cm di atas pinggir pembukaan. Pada

periksa dalam tidak teraba.

Klasifikasi menurut Browne

- Tingkat 1: lateral placenta previa; bila pinggir bawah placenta

berinsersi sampai ke SBR, namun tidak sampai ke pinggir

pembukaan

- Tingkat 2: marginal placenta previa; bila placenta mencapai

pinggir pembukaan ostea

- Tingkat 3: complete placenta previa; bila placenta menutupi ostea

waktu tertutup, dan tidak menutupi bila pembukaan hampir

lengkap.

- Tingkat 4: central placenta previa: bila placenta menutupi seluruhnya

pada pembukaan hampir lengkap.

2.15.3 Etiologi

Penyebab yang pasti belum diketahui dengan jelas. Faktor-faktor

yang dikemukakan:

- Endometrium yang inferior

- Chorion leaves yang persistent

- Corpus luteum yang bereaksi lambat


Strassman mengatakan bahwa faktor terpenting adalah

vasfolarisasi yang kurang pada decidua~atropi dan

peradangan.

2.15.4 Faktor-faktor Etiologi

1) Umur dan paritas

- Pada primigravida umur >35 tahun lebih sering dibandingkan

umur < 25 tahun

- Pada multipara lebih sering

2) Endometrium hipoplastis: kawin dan hamil umur muda.

3) Endometrium bercacat pada bekas persalinan berulang-ulang,

bekas operasi, curettage, dan manual placenta.

4) Corpus luteum bereaksi lambat, dimana endometrium belum siap

menerima hasil konsepsi.

5) Adanya tumor; mioma uteri, polip endometrium.

6) Kadang-kadang pada malnutrisi

2.15.5 Diagnosa dan gambaran klinis

1) Anamneses

- Gejala pertama; perdarahan pada kehamilan setelah 28

minggu/trimester III

- Sifat perdarahan; tanpa sebab, tanpa nyeri, berulang


- Sebab perdarahan; placenta dan pembuluh darah yang robek;

terbentuknya SBR, terbukanya osteum/manspulasi

intravaginal/rectal.

- Sedikit banyaknya perdarahan; tergantung besar atau kecilnya

robekan pembuluh darah dan placenta.

2) Inspeksi

- Dapat dilihat perdarahan pervaginam banyak atau sedikit.

- Jika perdarahan lebih banyak; ibu tampak anemia.

3) Palpasi abdomen

- Janin sering belum cukup bulan; TFU masih rendah.

- Sering dijumpai kesalahan letak

- Bagian terbawah janin belum turun, apabila letak kepala

biasanya kepala masih goyang/floating.

2.15.6 Pengaruh Placenta Previa terhadap kehamilan

1) Karena terhalang oleh placenta maka bagian terbawah janin tidak

dapat masuk PAP. Kesalahan-kesalahan letak; letak sunsang, letak

lintang, letak kepala mengapung.

2) Sering terjadi partus prematur; rangsangan koagulum darah pada

servix, jika banyak placenta yang lepas kadar progesterone menurun

dan dapat terjadi His, pemeriksaan dalam.

2.15.7 Pengaruh Placenta Previa terhadap partus


1) Letak janin yan tidak normal; partus akan menjadi patologis

2) Bila pada placenta previa lateralis; ketuban pecah/dipecahkan dapat

terjadi prolaps funkuli

3) Sering dijumpai insersi primer

4) Perdarahan.

2.15.8 Komplikasi Placenta Previa

Prolaps tali pusat, prolaps placenta, placenta melekat

sehingga harus manual dan kalau perlu dibersihkan dengan kerokan,

robekan-robekan jalan lahir karena tindakan, perdarahan post

partum, infeksi karena perdarahan, bayi prematur/kelahiran mati.

2.15.9 Penanganan (pasif)

1) Tiap perdarahan triwulan III yang lebih dari show harus segera

dikirim ke Rumah sakit tanpa dilakukan suatu manipulasi/UT.

2) Apabila perdarahan sedikit, janin masih hidup, belum inpartus,

kehamilan belum cukup 37 minggu/berat badan janin kurang dari

2.500 gram persalinan dapat ditunda dengan istirahat, obat-

obatan; spasmolitik, progestin/progesterone, observasi teliti.

3) Siapkan darah untuk transfusi darah, kehamilan dipertahankan

setua mungkin supaya tidak prematur

4) Bila ada anemia; transfusi dan obat-obatan penambah darah


2.15.10 PATOFISIOLOGIS

PERDARAHAN ANTEPARTUM

Kelainan Plasenta Kelainan Sevix

Solusio placenta Placenta Previa Perdarahan Yang Belum Jelas Sumbernya

Totalis Lateralis Placenta letak rendah (Placenta implantasinya Marginalis


(Sebagian o.i) rendah tapi tidak sampai ke ostium internum) (pinggir)

Bertambah usia kehamilan (20 Minggu)

SBR terbentuk & mulai melebar serta menipis, serviks mulai membuka
Bila placenta servix tidak dapat diikuti oleh placenta yang melekat disitu,
tanpa terlepasnya sebagian palcenta dari dinding uterus

Sinus uterus robek/robekan sinus marginalis (karena terlepasan placenta dinding uterus)

Perdarahan

Tidak Bisa Diatasi Masalah Perawatan Bisa diatasi


Gangguan perfusi jaringan (tunggu sampai usia
Gangguan pertukaran gas pada kehamilan 37 minggu
Usia fetus
Kehamilan Prematur Potensial Injury pada ibu
Aterm
Kehamilan Diakhiri
aterm Prematur

Masalah Keperawatan: Masalah Kolaborasi:

4) Kekurangan cairan - Kekurangan

Cairan

5) Distres janin

6) Potensial terjadi shock

7) Gangguan ADL

8) Cemas

Pemeriksaan Diagnostik:

9) Darah lengkap, USG

10) Hasil; Hb: 9,6 PVC: 30,0 Trombosyt: 243.000

11) Hasil USG: Tampak janin T/H letak lintang, kepala BPD= 83,5

sesuai kehamilan 33 minggu, Placenta di SBR belakang meluas

sampai menutupi Osteum Uteri Internum Grade II

Diagnosa Keperawatan:

1. Resiko kekurangan cairan sehubungan dengan adanya perdarahan.

2. Resiko terjadi distress janin sehubungan dengan kelainan letak placenta.

3. Potensial terjadi shock hipovolemik sehubungan dengan adanya perdarahan.


4. Ganguan pemenuhan kebutuhan personal hygiene sehubungan dengan aktivitas yang

terbatas.

5. Gangguan psikologis cemas sehubungan dengan kurangnya pengetahuan

tentang kehamilan yang bermasalah.

Intervensi:

Dx 1: Resiko kekurangan cairan sehubungan dengan adanya perdarahan.

a. Kaji tentang banyaknya pengeluaran caiaran (perdarahan).

b. Observasi tanda-tanda vital.

c. Observasi tanda-tanda kekurangan cairan dan monitor perdarahan.

d. Pantau kadar elektrolit darah.

e. Periksa golongan darah untuk antisipasi transfusi.

f. Jelaskan pada klien untuk mempertahankan cairan yang masuk dengan

banyak minum.

g. Kolaborasi dengan dokter sehubungan dengan letak placenta.

Dx 2: Resiko terjadi distress janin sehubungan dengan kelainan letak placenta.

a. Observasi tanda-tanda vital.

b. Monitor perdarahan dan status janin.

c. Pertahankan hidrasi.

d. Pertahankan tirah baring.

e. Persiapkan untuk section caesaria .

Dx 3: Potensial terjadi shock hipovolemik sehubungan dengan adanya

perdarahan.
a. Observasi tanda-tanda terjadinya shock hipolemik.

b. Kaji tentang banyaknya pengeluaran cairan (perdarahan).

c. Observasi tanda-tanda vital.

d. Observasi tanda-tanda kekurangan cairan dan monitor perdarahan.

e. Pantau kadar elektrolit darah.

f. Periksa golongan darah untuk antisipasi transfusi.

g. Jelaskan pada klien untuk mempertahankan cairan yang masuk dengan

banyak minum.

Dx 4: Ganguan pemenuhan kebutuhan personal hygiene sehubungan dengan

aktivitas yang terbatas.

a. Berikan penjelasan tentang pentingnya personal hygiene

b. Berikan motivasi untuk tetap menjaga personal hygiene tanpa melakukan

aktivitas yang berlebihan

c. Beri sarana penunjang atau mandikan klien bila klien masih harus bedrest

Dx 5: Gangguan psikologis cemas sehubungan dengan kurangnya

pengetahuan tentang kehamilan yang bermasalah..

a. Beri dukungan dan pendidikan untuk menurunkan kecemasan dan

meningkatkan pemahaman dan kerja sama dengan tetap memberikan

informasi tentang status janin, mendengar dengan penuh perhatian,

mempertahankan kontak mata dan berkomunikasi dengan tenang, hangat

dan empati yang tepat.

b. Pertahankan hubungan saling percaya dengan komunikasi terbuka.

Hubungan rasa saling percaya terjalin antara perawat dan klien akan
membuat klien mudah mengungkapkan perasaannya dan mau bekerja

sama.

c. Jelaskan tentang proses perawatan dan prognosa penyakit secara

bertahap. Dengan mengerti tentang proses perawatan dan prognosa

penyakit akan memberikan rasa tenang.

d. Identifikasi koping yang konstruksi dan kuatkan. Dengan identifikasi dan

alternatif koping akan membantu klien dalam menyelesaikan

masalahnya.

e. Lakukan kunjungan secara teratur untuk memberikan support system.

Dengan support system akan membuat klien merasa optimis tentang

kesembuhannya.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Kehamilan resiko tinggi adalah kehamilan yang dapat


menyebabkan ibu hamil dan bayi menjadi sakit atau meninggal
sebelum kelahiran berlangsung
2. Karakteristik ibu hamil diketahui bahwa faktor penting penyebab
resiko tinggi pada kehamilan terjadi pada kelompok usia <20 tahun
dan usia >35 tahun dikatakan usia tidak aman karena saat
bereproduksi pada usia <20 tahun dimana organ reproduks belum
matang sempurna dan umur >35 tahun dimana kondisi organ
reproduksi wanita sudah mengalami penurunan kemampuan untuk
bereproduksi, tinggi badan kurang dari 145 cm, berat badan kurang
dari 45 kg, jarak anak terakhir dengan kehamilan sekarang kurang
dari 2 tahun, jumlah anak lebih dari 4.
3. Faktor penyebab resiko kehamilan apabila tidak segera ditangani
pada ibu dapat mengancam keselamatan bahkan dapat terjadi hal
yang paling buruk yaitu kematian ibu dan bayi.

3.2 Saran

Guna penyempurnaan Makalah ini, saya sangat mengharapkan

kritik, saran serta masukan dari Rekan-rekan pembaca khususnya Dosen


Pengampuh. Semoga Makalah ini bermanfaat bagi Rekan-rekan dalam

membantu kegiatan belajar kita.Sekian & Terima Kasih.

DAFTAR PUSTAKA

Diknakes RI. (1993) Asuhan Kebidanan Pada Perawatan Payudara Dalam


Konteks Keluarga, Depkes RI, Jakarta.

FK-Unpad. (1984) Obstetri Patologi, Elstar offset, Bandung

Hamilton, Persis Mary. (1995) Dasar-Dasar Keperawatan Maternitas, EGC,


Jakarta.

Prawirohardjo, Sarwono. (1986) Ilmu Kebidanan¸ Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo, Jakarta.

Rustam. (1988) Sinopsis Obstetri, Jakarta

Arif Mansjoer, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran edisi 3, jilid I. EGC :
Jakarta.

Doengoes, Marilyn E. 2000. REncana Asuhan Keperawatan edisi III. EGC :


Jakarta.

Mochtar, R. 1998. Sinopsis Obstetri  jilid 1 edisi 2. EGC : Jakarta.

Sarwono P. 2006. Ilmu Kebidanan edisi 3. Bina Pustaka : Jakarta

Carpenito, Lynda Juall. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. EGC : Jakarta
Purwaningsih,wahyu, Dkk. 2010. Asuhan Keperawatan Maternitas. Yogykarta.

Nuraif, Amin huda.2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa


Medis dan Nanda. Jilid 1-3 Yogyakarta : Media Action.

Marilynn E, Doengoes, 2010, Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Jakarta:


EGC
Corwin Elizabeh.J. 2009 Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 9 Alih bahasa
Tim penerbit PSIK UNPAD, Jakarta: EGC
Mansjoer, Arif dkk, 2010, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2, Jakarta: Media
Aesculapius Fakultas Kedoteran Universitas Indonesia
Carpenito,Lynda Juall, 2011, Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi, Jakarta :
EGC
Price, Silvia A, 2016. Patofisiologi, volume 2, Jakarta: Buku kedokteran EGC

Capula C, Chiefari E, Vero A, Arcidiacono B, Liritano S, Puccio L, et al. 2013.


Gestational Diabetes Melitus: Screening and Outcomes in Souhern Italian
Pregnant Women. ISRN Endocrinology. Article ID 387495, 8 pages.
Doshani, Anjum dan Konje, C Justin. 2009. Diabetes in Pregnancy: Insulin
Resistance, Obesity and Placental Dysfunction. British Journal of Diabetes
& Vascular, Volume 9, 208-212.
Elizabeth R , Jason W. 2011. Patologi pada Kehamilan: Manajemen & Asuhan
Kebidanan. Jakarta: EGC.
Getahun D, Fassett M, Jacobsen SJ. 2010. Gestational Diabetes: Risk of
Recurrence in Subsequent Pregnancies. Am J Obstet Gynecol.
203:467.e1-6.
Goldman et al, Malone FD., Vidaver J, Ball, RH.
Hosler et al. 2011. Stressful events, smoking exposure and other maternal risk
factors associated with Gestasional Diabetes Mellitus. Journal of Pediatric
and Perinatal Epidemiology. 25:566-574.

Anda mungkin juga menyukai