Oleh:
(1810035)
2020
BAB I
PENDAHULUAN
Tetapi apabila ibu hamil memiliki pengetahuan yang kurang maka ibu
akan lebih beresiko dalam kehamilannya. Hal ini juga dimaksudkan untuk
dapat membantu menurunkan angka kematian ibu yang cukup tinggi di
Indonesia.
Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian tentang kehamilan resiko
tinggi oleh Wijayanti (2011) menunjukkan bahwa wanita hamil yang
memiliki faktor risiko meliputi usia > 35 tahun, primi muda, primi tua, anak
terkecil < 2 tahun, tinggi badan < 145 cm, kehamilan ganda, kehamilan
hidramnion dan pernah operasi lebih berisiko 2, 8 kali (hampir 3 kali lipat)
mengalami komplikasi kehamilan dibandingkan wanita hamil yang tidak
memiliki faktor risiko. Penelitian yang dilakukan Hapsari (2013) bahwa
resiko terjadinya preeclampsia/ eklampsia pada kelompok usia > 35 tahun
lebih besar dibandingkan dengan kelompok usia < 20 tahun dengan demikian
terdapat hubungan yang bermakna antara usia ibu hamil beresiko dengan
kejadian preeklampsia/ eklampsia. Hasil penelitian yang dilakukan
Lumempouw (2016) didapatkan bahwa ada hubungan antara pendidikan dan
keadaan sosial ekonomi dengan keteraturan kunjungan antenatal care dalam
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan ibu selama kehamilan. Kehamilan
membutuhkan anggaran khusus, jika keadaan sosial ekonomi rendah maka
dapat menghambat ibu untuk mengontrol kesehatannya sehingga ibu lebih
beresiko dalam kehamilannya.
Glukosa tidak
dapat diserap
Hiperglikemia
Dehidrasi
2. Data Objektif
A. Pemeriksaan Umum
- Kesadaran : composmentis
- Tekanan darah :
Sebagian ibu hamil dengan DMG cenderung mengalami
hipertensi, disebabkan karena hormone Angiostensin II meningkat
dan mengerut akibat dari kadar gula darah yang tinggi. Kisaran
tekanan sistole 130-140 mmHg dan diastole 90-110 mmHg
(Nanda, 2006)
- Nadi :
90-100x/menit karena ibu hamil dengan DMG akan mudah
letih.
- Suhu :
Suhu aksilla yang diukur dapat ditemukan >37,5oC karena ibu
dengan DMG mudah berkeringat sehingga meningkatkan suhu
basal tubuh (Nanda, 2006).
- RR :
Ibu hamil dengan DMG cenderung laju pernafasan lebih cepat
dan dalam karena sering mengalami sesak nafas.
- Berat badan sebelum dan sesudah hamil
Kenaikan berat badan selama hamil secara berlebih
meningkatkan resiko terjadinya DMG.
- BMI :
Menurut Doshani dan Konje (2009), overweight merupakan
faktor resiko pada gangguan toleransi glukosa (prediabetes)
baik sebelum atau dalam kehamilan. Oleh karena, overweight
merupakan manifestasi dari obesitas, bila terjadi obesitas, maka
dapat menyebabkan resistensi insulin yang membuat glukosa
darah tinggi (hiperglikemia).
Klasifikasi BMI orang dewasa
Underweight : < 16.0
Kurus : 16.0 – 18.49
Normal : 18.5 - 24.99
Overweight : 25.0 - 30
Obesitas : ≥30
sistole+2 Diastol
3
Nilai > 90 mmHg = Positif, nilai < 90 mmHg = negatif
ROT : Menghitung selisih nilai tekanan diastol pada saat miring
kiri dan terlentang, ROT ini juga dapat digunakan sebagai salah
satu prediktor terjadinya preeklampsia. Apabila selisih kedua
nilai diastol tersebut < 10 mmHg maka dikatakan negatif dan
nilai > 10 mmHg dikatakan positif.
B. Pemeriksaan Fisik
- Abdomen
Leopold I: TFU cenderung lebih tinggi dari usia kehamilan
Leopold II: cenderung teraba bagian kecil janin
Leopold III: pada kehamilan akhir, kepala bayi cenderung sulit
masuk panggul ibu yang obesitas
Leopold IV: memeriksa sejauh mana penurunan kepala (jika kepala
sudah masuk PAP)
- Mc donald untuk mengetahui apakah penambahan TFU sesuai
dengan umur kehamilan. Ibu dengan DMG, TFU lebih tinggi
dari normal.
TFU dalam cm = tuanya kehamilan dalam bulan
3,5 cm
- DJJ (denyut jantung janin) pada umumnya mengalami takikardi
karena distress yang dialami akibat gangguan metabolisme ibu
(Nanda, 2006)
- TBJ janin lebih besar dari usia kehamilan normal akibat
makrosomia ataupun akibat pengukuran TFU yang lebih tinggi
dari normal (Nanda, 2006)
C. Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan laboratorium
a. DL (Hb, WBC, LEU, PLT) sebagai skrining risiko yang
berpotensi terjadi pada ibu dengan DMG.
b. TTGO 50-100 gram sebagai skrining dan untuk
menegakkan diagnosa DMG. Dilakukan tes pembebanan
glukosa 50 gram (tanpa puasa), kadar glukosa plasma
diukur 1 jam setelah pembebanan glukosa, dilakukan pada
wanita dengan usia kehamilan 24-28 minggu yang belum
pernah terdiagnosis diabetes melitus. Jika kadar glukosa
plasma 1 jam setelah pembebanan glukosa >135 mg/dL*
(7,8 mmol/L), dilanjutkan dengan tes toleransi glukosa oral
dengan 100 gram glukosa. Kemudian, tes toleransi glukosa
oral dengan 100 gram glukosa dilakukan pada pasien dalam
keadaan puasa. Diagnosis DMG ditegakkan apabila
setidaknya dua dari empat hasil pengukuran glukosa plasma
memenuhi kriteria.
Onset Carpenter and NDGG WDPA
Coustan (National
Diabetes Data
Group)
Puasa >95 mg/dL >105 mg/dL (5,8 > 90 mg/dL
(5,3mmol/L) mmol/L)
1 jam >180 mg/dL (10 >190 mg/dL >180 mg/dL
mmol/L) (10,6 mmol/L)
2 jam >155 mg/dL (8,6 >165 mg/dL (9,2 > 160
mmol/L) mmol/L) mg/dL
3 jam >140 mg/dL (7,8 >145 mg/dL (8 > 155
mmol/L) mmol/L) mg/dL
2.2.6 Perencanaan
Dibuat berdasarkan pertimbangan yang tepat, meliputi
pengetahuan, teori up to date, dan perawatan berdasarkan evidance based.
Melakukan perencanaan ini harus secara menyeluruh dan klien beserta
keluarga dilibatkan di dalamnya karena pada akhirnya pelaksanaan
rencana asuhan kebidanan ini harus disetujui oleh klien.
Untuk menghindari rencana asuhan yang tidak terarah, buat pola
pikir tentang tujuan tindakan (target) dan rencana tindakan yang sesuai
masalah. Kaji kembali apakah rencana asuhan sudah meliputi semua aspek
asuhan kesehatan pada ibu hamil.
1. Jelaskan keadaan kehamilan ibu dan kondisi janin
2. Lakukan cek protein urin dan reduksi urin
3. Lakukan kolaborasi dengan dokter SpOG untuk pemeriksaan
penunjang seperti TTGO dan USG
4. Lakukan kolaborasi dengan divisi gizi untuk perencanaan diet pada
ibu dengan DMG
5. Kontrol kenaikan berat badan saat kontrol hamil
6. Berikan HE berkaitan dengan keluhan yang dirasakan ibu
7. Berikan HE menganai kebutuhan nutrisi ibu hamil
8. Jelaskan tanda bahaya kehamilan dengan DMG
2.2.7 Pelaksanaan
Melaksanakan perencanaan secara menyeluruh berdasarkan konsep yang
ada.
2.2.8 Evaluasi
Dilakukan untuk menilai kondisi klien, apakah sesuai dengan
intervensi yang diharapkan. Terdiri dari evaluasi tindakan dan evaluasi
tujuan.
2.3 Konsep Dasar Penyakit Jantung
2.3.1 Pengertian Penyakit jantung
Setiap kehamilan mempengaruhi cardiovaskuler ibu. Hal ini
berlangsung dan berlanjut sampai beberapa mingu setelah bayi baru lahir.
Jantung normal dapat mengkompensasi peningkatan beban kerja sehingga
kehamilan dan kelahiran bayi umumnya ditoleransi dengan baik.
Penyakit jantung pada wanita hamil yaitu penyakit jantung yang diderita
wanita hamil yang mengalami kelainan/kerusakan kutub, kelainan
congenital system konduktif, septal dan katub jantung.
Penyakit kardiovaskuler dapat dijumpai pada wanita hamil atau
tidak hamil. Jelaslah bahwa wanita dengan penyakit kardiovaskuler dan
menjadi hamil, akan terjadi pengaruh timbal balik yang dapat mengurangi
kesempatan hidup wanita tersebut.
Dalam kehamilan, terjadi peningkatan denyut jantung, nadi,
pukulan jantung, dan volume darah, dan juga bisa menyebabkan tekanan
darah menjadi menurun sedikit, sehingga resiko penyakit jantung dan
payah jantung akan terjadi dalam kehamilan.
d. Hemodelusi / anemia
b. Sirkulasi retroplasentar
c. Pembesaran uterus
3. Perawatan pasien :
Kelas I
Kelas II
Kelas III
Kelas IV
1. Abortus
2. Prematurius
3. BBLR
7. Komplikasi potensial.
2.4.1 Pengkajian
1. Data Subjektif
A. Gejala Saat Ini
Dispne dan batuk mungkin merupakan gejala terdini gagal
jantung kongestif. Gejala-gejala lainnya eliputi ortopnea,
hemoptisis, kelelahan, palpitasi, ansietas, akivitas fisik erbatas,
retensi cairan dan enambahan berat badan.
B. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit jantung kongenital atau reumatik dapat
diperkirakan.
C. Data Objektif
1) Pemeriksaan Umum : frekuensi jantung meningkat
sampai 110 kali per menit atau lebih. Penambahan berat
badan berlebihan, edema,sianosis dan pembendungan
vena jugularis sering ditemukan.
2) Pemeriksaan Jantung : Bising jantung
(diastolik,presistolik,atau kontinu), aritmia dan
pembesaran jantung menunjukkan penyakit jantung.
Pada kasus-kasus gagal jantung, bunyi jantung ketiga
terdengar pada awal diastolic. Rangkaian tetap 2 bunyi
jantung normal dan bunyi abnormal ketiga, dalam
hubungannya dengan suatu peningkatan denyut jantung,
dapat bertanggung jawab bagi irama khas dari irama
‘gallop’ (‘gallop’ S 3). Sebagai akibat peningkatan
tekanan arteri pulmonalis,bunyi kedua pulmonal—
bunyi jantung yang dihubungkan dengan penutupan
katup pulmonal—meningkat intensitasnya.
3) Pemeriksaan Paru : Ronki basal bilateral adalah tanda
edema alveolus dan cairan dalam bronkiolus terminalis.
4) Pemeriksaan Abdomen : Hepar dapat membesar dan
nyeri tekan. Asites mungkin ada.
D. Istirahat/aktifitas
Ketidakmampuan melakukan aktifitas normal, dipsnoe
nocturnal Karen pengarahan tenaga.
E. Sirkulasi
Takikardi, palpitasi, riwayat penyakit jantung, demam rematik,
dapat mengalami mur-mur sistolik keras, trii;, disritmia berat
dengan tekanan darah dan nadi meningkat tekanan darah
mungkin turun dengan penurunan tahanan vaskuler.
F. Eliminasi
Haluaran urin meningkat
G. Makanan / cairan
Obesitas, dapat mengalami edema ekstremitas bawah.
H. Nyeri kenyamanan
Dapat mengeluh nyeri dada tanpa atau dengan aktivitas.
I. Keamanan
Infeksi streptokokus berulang
J. Pernafasan
Batuk tidak produktif, frekuensi pernapasan meningkat,
dispnea,ortopnea, rales.
1. Dapatkan BB dasar
2. Kaji faktor-faktor diet yang memperberat retensi cairan berlebih
3. Kaji ulang dari tanda gjk
4. Selidiki batuk yang tidak jelas
5. Batasi cairan dan natrium bila ada gjk
6. Beri deuretik sesuai program terapi
Intervensi:
Intervensi:
2.4.4 Implementasi
Pelaksanaan sesuai intervensi
2.4.5 Evaluasi
1. dekompensasi tidak terjadi
2. Kelebihan volume cairan tidak terjadi
3. Perubahan perfusi jaringan tidak terjadi
4. Infeksi tidak terjadi
5. Intoleransi aktifitas tidak terjadi
2.5.2 Etiologi
Sampai saat ini terjadinya preeklampsia belum diketahui
penyebabnya, tetapi ada yang menyatakan bahwa preeklampsia
dapat terjadi pada kelompok tertentu diantaranya yaitu ibu yang
mempunyai faktor penyabab dari dalam diri seperti umur karena
bertambahnya usia juga lebih rentan untuk terjadinya peningkatan
hipertensi kronis dan menghadapi risiko lebih besar untuk menderita
hipertensi karena kehamilan, riwayat melahirkan, keturunan, riwayat
kehamilan, riwayat preeklampsia (Sitomorang dkk, 2016). Penyebab
pasti preeklampsia masih belum diketahui secara pasti. Menurut
Angsar (2009) beberapa faktor risiko terjadinya preeklampsia meliputi
riwayat keluarga pernah preeklampsia/eklampsia, riwayat
preeklampsia sebelumnya, umur ibu yang ekstrim (35 tahun), riwayat
preeklampsia dalam keluarga, kehamilan kembar, hipertensi kronik.
2.5.4 Patofisiologi
Teori lain yang lebih masuk akal adalah bahwa preeklampsia
merupakan akibat dari keadaan imun atau alergi pada ibu. Selain itu
terdapat bukti bahwa preeklampsi diawali oleh insufisiensi suplai
darah ke plasenta, yang mengakibatkan pelepasan substansi plasenta
sehingga menyebabkan disfungsi endotel vascular ibu yang luas
(Hutabarat dkk, 2016).
2.5.5 Klasifikasi
Preeklampsia dibedakan menjadi dua yaitu preeklampsia ringan dan
preeklampsia berat dengan kriteria sebagai berikut:
Menurut Icemi dan Wahyu (2013) yang pertama Hipertensi
gestasional, Hipertensi menghilang setelah 3 bulan pasca persalinan
atau kehamilan dengam tanda-tanda preeklamsia namun tanpa
proteinuria. TD sistolik ≥140 mmHg atau TD diastolik ≥90 mmHg
ditemukan pertama kali sewaktu hamil dan memiliki gejala atau tanda
lain preeklamsia seperti dispepsia atau trombositopenia. Kedua,
Sindrom preeklamsia dan eklamsia merupakan hipertensi yang timbul
setelah 20 minggu kehamilan disertai proteinuria, sedangkan eklamsia
merupakan preeklamsia yang disertai dengan kejang-kejang dan/atau
koma. TD sistolik ≥140 mmHg atau TD diastolik ≥90 7 mmHg dengan
proteinuria ≥300 mg/24 jam. Ketiga, hipertensi kronik dengan
superimposed preeklamsia Preeklamsia yang terjadi pada ibu hamil
yang telah menderita hipertensi sebelum hamil. Keempat, Hipertensi
kronik Hipertensi (tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg) yang telah
didiagnosis sebelum kehamilan terjadi atau hipertensi yang timbul
sebelum mencapai usia kehamilan 20 minggu.
2.5.6 Komplikasi
Kejang (eklampsia) Eklampsia adalah keadaan ditemukannya serangan
kejang tibatiba yang dapat disusul dengan koma pada wanita hamil,
persalinan atau masa nifas yang sebelumnya menunjukan gejala
preeklampsia (Prawirohardjo, 2010). Preeklampsia pada awalnya
ringan sepanjang kehamilan, namun pada akhir kehamilan berisiko
terjadinya kejang yang dikenal eklampsia. Jika eklampsia tidak
ditangani secara cepat dan tepat, terjadilah kegagalan jantung,
kegagalan ginjal dan perdarahan otak yang berakhir dengan kematian
(Natiqotul, 2016).
2.5.16 Keluarga
Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat dimana terjadi
interaksi antara anak dan orang tuanya. Keluarga berasal dari bahasa
sansekerta kulu dan warga atau kuluwarga yang berarti anggota
kelompok kerabat (Padila, 2012). Keluarga merupakan lingkungan
social yang tinggal satu rumah dan sangat dekat dengan seseorang
dengan memiliki peran yang berbeda-beda. Di lingkungan keluarga itu
seseorang bertempat tinggal, dibesarkan, di bentuknya nilai-nilai
budaya, pola pikir dan kebiasaanya untuk bisa berinteraksi bersama
orang lingkungan sekitar (Harnilawati, 2013). Keluarga merupakan
sekumpulan orang yang terikat perkawinan dan tinggal bersama satu
atap dalam keadaan saling membutuhkan dan mempunyai peran
masing-masing (Zaidin, 2010).
2.6.2 Etiologi
Etiologi dan patogenesis Pre-eklampsia dan Eklampsia saat ini
masih belum sepenuhnya dipahami, masih banyak ditemukan kontroversi,
itulah sebabnya penyakit ini sering disebut “the disease of theories”. Pada
saat ini hipotesis utama yang dapat diterima untuk dapat menerangkan
terjadinya Pre-eklampsia adalah sebagai berikut:
a) Teori Genetik
Eklamsia merupakan penyakit keturunan dan penyakit yang lebih
sering ditemukan pada anak wanita dari ibu penderita pre eklamsia.
b) Teori Imunologik
Kehamilan sebenarnya merupakan hal yang fisiologis. Janin yang
merupakan benda asing karena ada faktor dari suami secara imunologik
dapat diterima dan ditolak oleh ibu.Adaptasi dapat diterima oleh ibu bila
janin dianggap bukan benda asing,. dan rahim tidak dipengaruhi oleh
sistem imunologi normal sehingga terjadi modifikasi respon imunologi
dan terjadilah adaptasi.Pada eklamsia terjadi penurunan atau kegagalan
dalam adaptasi imunologik yang tidak terlalu kuat sehingga konsepsi
tetap berjalan.
c) Teori Iskhemia Regio Utero Placental
Kejadian eklamsia pada kehamilan dimulai dengan iskhemia utero
placenta menimbulkan bahan vaso konstriktor yang bila memakai
sirkulasi, menimbulkan bahan vaso konstriksi ginjal. Keadaan ini
mengakibatkan peningkatan produksi renin angiotensin dan
aldosteron.Renin angiotensin menimbulkan vasokonstriksi general,
termasuk oedem pada arteriol. Perubahan ini menimbulkan kekakuan
anteriolar yang meningkatkan sensitifitas terhadap angiotensin
vasokonstriksi selanjutnya akan mengakibatkan hipoksia kapiler dan
peningkatan permeabilitas pada membran glumerulus sehingga
menyebabkan proteinuria dan oedem lebih jauh.
d) Teori Radikal Bebas
Faktor yang dihasilkan oleh ishkemia placenta adalah radikal bebas.
Radikal bebas merupakan produk sampingan metabolisme oksigen yang
sangat labil, sangat reaktif dan berumur pendek. Ciri radikal bebas
ditandai dengan adanya satu atau dua elektron dan berpasangan. Radikal
bebas akan timbul bila ikatan pasangan elektron rusak. Sehingga elektron
yang tidak berpasangan akan mencari elektron lain dari atom lain dengan
menimbulkan kerusakan sel.Pada eklamsia sumber radikal bebas yang
utama adalah placenta, karena placenta dalam pre eklamsia mengalami
iskhemia. Radikal bebas akan bekerja pada asam lemak tak jenuh yang
banyak dijumpai pada membran sel, sehingga radikal bebas merusak sel
Pada eklamsia kadar lemak lebih tinggi daripada kehamilan normal, dan
produksi radikal bebas menjadi tidak terkendali karena kadar anti oksidan
juga menurun.
e) Teori Kerusakan Endotel
Fungsi sel endotel adalah melancarkan sirkulasi darah, melindungi
pembuluh darah agar tidak banyak terjadi timbunan trombosit dan
menghindari pengaruh vasokonstriktor. Kerusakan endotel merupakan
kelanjutan dari terbentuknya radikal bebas yaitu peroksidase lemak atau
proses oksidase asam lemak tidak jenuh yang menghasilkan peroksidase
lemak asam jenuh.
Pada eklamsia diduga bahwa sel tubuh yang rusak akibat adanya
peroksidase lemak adalah sel endotel pembuluh darah. Kerusakan endotel
ini sangat spesifik dijumpai pada glumerulus ginjal yaitu berupa
“glumerulus endotheliosis“. Gambaran kerusakan endotel pada ginjal
yang sekarang dijadikan diagnosa pasti adanya pre eklamsia.
f) Teori Trombosit
Placenta pada kehamilan normal membentuk derivat prostaglandin
dari asam arakidonik secara seimbang yang aliran darah menuju janin.
Ishkemi regio utero placenta menimbulkan gangguan metabolisme yang
menghasilkan radikal bebas asam lemak tak jenuh dan jenuh. Keadaan
ishkemi regio utero placenta yang terjadi menurunkan pembentukan
derivat prostaglandin (tromboksan dan prostasiklin), tetapi kerusakan
trombosit meningkatkan pengeluaran tromboksan sehingga berbanding
7 : 1 dengan prostasiklin yang menyebabkan tekanan darah meningkat
dan terjadi kerusakan pembuluh darah karena gangguan sirkulasi.
g) Teori Diet Ibu Hamil
Kebutuhan kalsium ibu hamil adalah 2 - 2½ gram per hari. Bila
terjadi kekurangan-kekurangan kalsium, kalsium ibu hamil akan
digunakan untuk memenuhi kebutuhan janin, kekurangan kalsium yang
terlalu lama menyebabkan dikeluarkannya kalsium otot sehingga
menimbulkan sebagai berikut : dengan dikeluarkannya kalsium dari otot
dalam waktu yang lama, maka akan menimbulkan kelemahan konstruksi
otot jantung yang mengakibatkan menurunnya strike volume sehingga
aliran darah menurun. Apabila kalsium dikeluarkan dari otot pembuluh
darah akan menyebabkan konstriksi sehingga terjadi vasokonstriksi dan
meningkatkan tekanan darah.
2.6.3 Klasifikasi
Berdasarkan waktu terjadinya, eksklampsia dapt dibagi:
1. Eklampsia gravidarum
a. Kejadian 50% sampai 60%
b. Serangan terjadi dalam keadaan hamil
2. Eklampsia parturientum
a. Kejadian sekitar 30% sampai 35%
b. Batas dengan eklampsia gravidarum sukar ditentukan terutama saat
mulai inpartu
3. Eklampsia puerperium
a. Kejadian jarang yaitu 10%
b. Terjadi serangan kejang atau koma setelah persalinan berakhir.
2.6.6 Patofisiologi
Eklampsia dimulai dari iskemia uterus plasenta yang di duga
berhubungan dengan berbagai faktor. Satu diantaranya adalah peningkatan
resisitensi intra mural pada pembuluh miometrium yang berkaitan dengan
peninggian tegangan miometrium yang ditimbulkan oleh janin yang besar
pada primipara, anak kembar atau hidraminion.
Iskemia utero plasenta mengakibatkan timbulnya vasokonstriksor
yang bila memasuki sirkulasi menimbulkan ginjal, keadaan yang
belakangan ini mengakibatkan peningkatan produksi rennin, angiostensin
dan aldosteron. Rennin angiostensin menimbulkan vasokontriksi
generalisata dan semakin memperburuk iskemia uteroplasenta. Aldosteron
mengakibatkan retensi air dan elektrolit dan udema generalisator termasuk
udema intima pada arterior.
Pada eklampsia terdapat penurunan plasma dalam sirkulasi dan
terjadi peningkatan hematokrit. Perubahan ini menyebabkan penurunan
perfusi ke organ , termasuk ke utero plasental fatal unit. Vasospasme
merupakan dasar dari timbulnya proses eklampsia. Konstriksi vaskuler
menyebabkan resistensi aliran darah dan timbulnya hipertensi arterial.
Vasospasme dapat diakibatkan karena adanya peningkatan sensitifitas dari
sirculating pressors. Eklamsi yang berat dapat mengakibatkan kerusakan
organ tubuh yang lain. Gangguan perfusi plasenta dapat sebagai pemicu
timbulnya gangguan pertumbuhan plasenta sehinga dapat berakibat
terjadinya Intra Uterin Growth Retardation.
2.6.7 Penatalaksanaan
1. Penanganan Kejang :
a. Beri obat anti konvulsan
b. Perlengkapan untuk penanganan kejang (jalan nafas, sedeka,sedotan,
masker O2 & tabung O2)
c. Lindungi pasien dengan keadaan trauma
d. Aspirasi mulut dan tonggorokkan
e. Baringkan pasien pada posisi kiri, trendelenburg untuk mengurangi
resiko aspirasi
f. Beri oksigen 4-6 liter / menit
2. Penanganan Umum :
a. Jika tekanan diastolic > 110 mmHg, berikan hipertensi sampai
tekanan diastolic diantara 90-100 mmHg.
b. Pasang infuse RL dengan jarum besar (16 gauge atau lebih)
c. Ukur keseimbangan cairan jangan sampai terjadi overload
d. Kateterisasi urine untuk mengeluarkan volume dan proteinuric
e. Jika jumlah urine kurang dari 30 ml / jam
f. Infus cairan dipertahankan 1 1/8 ml/jam
g. Pantau kemungkinan oedema paru
h. Jangan tinggalkan pasien sendirian. Kejang disertai aspirasi dapat
mengakibatkan kematian ibu dan janin.
i. Observasi tanda-tanda vital, refleks dan denyut jantung setiap jam
j. Auskultasi paru untuk mencari tanda-tanda oedema paru. Jika ada
oedema paru hentikan pemberian cairan dan berikan diuretic
k. Nilai pembekuan darah dengan uji pembekuan beadside
l. Dosis awal : beri MgSO4 (4 gram) per IV sebagai larutan 20%,
selama 5 menit. Diikuti dengan MgSO4 (50%) 5 gr 1ml dengan 1 ml
lignokain 2% (dalam setopril yang sama) pasien akan merasa agar
panas sewaktu pemberian MgSO4
m. Dosis pemeliharaan : MgSO4 (50%) 5 gr + lignokain 2% (1ml) 1 m
setiap 4 jam kemudian dilanjutkan sampai 24 jam pasca persalinan
atau kejang terakhir
n. Sebelum pemberian MgSO4 periksa : frekuensi pernafasan minimal
16 / menit. Refleks Patella (+), urin minimal 30 ml / jam dalam 4
jam terakhir
o. Stop pemberian MgSO4, jika : frekuensi pernafasan abnormal.
p. Siapkan antidotlim jika terjadi henti nafas, Bantu dengan ventilator.
Beri kalsium glukonat 2 gr ( 20 ml dalam larutan 10%) IV perlahan-
lahan sampai pernafasan mulai lagi.
2.6.8 Diagnosa
1. Resiko cidera berhubungan dengan kejang berulang
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik
3. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif
2.7 Konsep Dasar HIV/AIDS
2.7.1 Definisi
HIV ( Human immunodeficiency Virus ) adalah virus pada manusia yang
menyerang system kekebalan tubuh manusia yang dalam jangka waktu yang
relatif lama dapat menyebabkan AIDS, sedangkan AIDS sendiri adalah suatu
sindroma penyakit yang muncul secara kompleks dalam waktu relatif lama
karena penurunan sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV.
2.7.2 Insiden
Sejumlah infeksi virus HIV terdiagnosis baru di tahun 2000
merupakan yang tertinggi sejak pelaporan di mulai dan jumlah infeksi
yang di dapat baru adalah melalui hubungan seksual heteroseksual. Kira-
kira 30.000orang hidp dengan HIV di inggris, sepertiganya tidak
terdiagnosis.
2.7.3 Etiologi
Penyebab infeksi adalah golongan virus retro yang disebut human
immunodeficiency virus (HIV). HIV pertama kali ditemukan pada tahun
1983 sebagai retrovirus dan disebut HIV-1. Pada tahun 1986 di Afrika
ditemukan lagi retrovirus baru yang diberi nama HIV-2. HIV-2 dianggap
sebagai virus kurang pathogen dibandingkaan dengan HIV-1. Maka untuk
memudahkan keduanya disebut HIV.
Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu :
1. Ibu hamil yang terinfeksi HIV dapat menularkan HIV pada bayi yang
dikandungnya.
2. Penularan dari ibu terjadi terutama pada saat proses melahirkan,
karena pada saat itu terjadi kontak secara lansung antara darah ibu
dengan bayi sehingga virus dari ibu dapat menular pada bayi.
3. Bayi juga dapat tertular virus HIV dari ibu sewaktu berada dalam
kandungan atau juga melalui ASI
4. Ibu dengan HIV dianjurkan untuk PASI
Kelompok resiko tinggi:
2.7.4 Klasifikasi
CDC adalah menerapkan system klasifikasi pasien yang
mengalami infeksi HIV berdasarkan keadaan klinik yang di jumpai
sebagai berikut.
1. Grup 1/ infeksi akut
Penyakit serokonveksi sampai AIDS berlangsung beberapa tahun
kemudian infeksi akut dari awal virus menginfeksi sampai kiara kira 6
minggu.
Penyakit seokonveksi ada 3 yaitu:
b. Meningitis.
c. Mielopati
2. Grup 2/ infeksi asimtomatik
Tanpa di sertai gejala
2.7.5 Patofisiologi
HIV masuk kedalam darah dan mendekati sel T–helper dengan
melekatkan dirinya pada protein CD4. Sekali ia berada di dalam, materi
viral (jumlah virus dalam tubuh penderita) turunan yang disebut RNA
(ribonucleic acid) berubah menjadi viral DNA (deoxyribonucleic acid)
dengan suatu enzim yang disebut reverse transcriptase. Viral DNA tersebut
menjadi bagian dari DNA manusia, yang mana, daripada menghasilkan
lebih banyak sel jenisnya, benda tersebut mulai menghasilkan virus–virus
HI. Enzim lainnya, protease, mengatur viral kimia untuk membentuk virus–
virus yang baru. Virus–virus baru tersebut keluar dari sel tubuh dan
bergerak bebas dalam aliran darah, dan berhasil menulari lebih banyak sel.
Ini adalah sebuah proses yang sedikit demi sedikit dimana akhirnya merusak
sistem kekebalan tubuh dan meninggalkan tubuh menjadi mudah diserang
oleh infeksi dan penyakit–penyakit yang lain. Dibutuhkan waktu untuk
menularkan virus tersebut dari orang ke orang.
Respons tubuh secara alamiah terhadap suatu infeksi adalah untuk
melawan sel–sel yang terinfeksi dan menggantikan sel–sel yang telah
hilang. Respons tersebut mendorong virus untuk menghasilkan kembali
dirinya. Jumlah normal dari sel–sel CD4+T pada seseorang yang sehat
adalah 800–1200 sel/ml kubik darah. Ketika seorang pengidap HIV yang
sel–sel CD4+ T–nya terhitung dibawah 200, dia menjadi semakin mudah
diserang oleh infeksi–infeksi oportunistik. Infeksi–infeksi oportunistik
adalah infeksi–infeksi yang timbul ketika system kekebalan tubuh tertekan.
Pada seseorang dengn system kekebalan yang sehat. Infeksi infeksi tersebut
tidak biasanya mengancam hidup mereka tetapi bagi seorang pengindap
HIV hal tersebut dapat teradi fatal (purwaningsih, wahyu.2010)
1. Transmisi vertical
Melalui inutera, lewat plasenta
Dimana antigen HIV dapat di deteksi dalam cairan amnion dan
jarinanvetus yang terlihat dari terminasi kehamilan yang berusia 15
minggu.
2. Transmisi horizontal
Transmisinya melalui air susu (purwaningsih,wahyu.2010).
2. Demam.
3. Malaise.
4. Mialgia.
5. Mual
6. Diare
7. Nyeri tenggorokan
8. Ruam dapat menetap 2-3 minggu
9. Berat badan menurun
10. Fatique.
11. Anoreksia.
12. Mungkin menderita kandidiasis otot faring atau vagina
Pada masa perinatal
1. Keletihan
2. Anoreksi.
3. Diare kronik selama 1 bulan.
Kemataian ibu hamil dengan HIV positif kebanyakan di sebabkan oleh
penyakit oportunistik yang menyertai terutama pneumonitis carinif
pneumonia.
2. Riwayat Penyakit
Jenis infeksi sering memberikan petunjuk pertama karena
sifat kelainan imun. Umur kronologis pasien juga mempengaruhi
imunokompetens. Respon imun sangat tertekan pada orang yang
sangat muda karena belum berkembangnya kelenjar timus. Pada lansia,
atropi kelenjar timus dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi.
Banyak penyakit kronik yang berhubungan dengan melemahnya fungsi
imun. Diabetes meilitus, anemia aplastik, kanker adalah beberapa
penyakit yang kronis, keberadaan penyakit seperti ini harus dianggap
sebagai factor penunjang saat mengkaji status imunokompetens pasien.
Berikut bentuk kelainan hospes dan penyakit serta terapi yang
berhubungan dengan kelainan hospes :
f) Hygiene
- Gejala : Tidak dapat menyelesaikan AKS
- Tanda : Penampilan tidak rapi, kurang perawatan diri.
g) Neurosensoro
- Gejala : Pusing, sakit kepala, perubahan status
mental,kerusakan status indera,kelemahan
otot,tremor,perubahan penglihatan.
- Tanda : Perubahan status mental, ide paranoid, ansietas,
refleks tidak normal,tremor,kejang,hemiparesis,kejang.
h) Nyeri / Kenyamanan
- Gejala : Nyeri umum / local, rasa terbakar, sakit
kepala,nyeri dada pleuritis.
- Tanda : Bengkak sendi, nyeri kelenjar,nyeri
tekan,penurunan rentan gerak,pincang.
i) Pernafasan
- Gejala : ISK sering atau menetap, napas pendek
progresif, batuk, sesak pada dada.
- Tanda : Takipnea, distress pernapasan, perubahan bunyi
napas, adanya sputum.
j) Keamanan
- Gejala : Riwayat jatuh, terbakar,pingsan,luka,transfuse
darah,penyakit defisiensi imun, demam
berulang,berkeringat malam.
- Tanda : Perubahan integritas kulit,luka perianal / abses,
timbulnya nodul, pelebaran kelenjar limfe, menurunya
kekuatan umum, tekanan umum.
k) Seksualitas
- Gejala : Riwayat berprilaku seks dengan resiko tinggi,
menurunnya libido, penggunaan pil pencegah
kehamilan.
- Tanda : Kehamilan,herpes genetalia.
l) Interaksi Sosial
- Gejala : Masalah yang ditimbulkan oleh diagnosis,
isolasi, kesepian, adanya trauma AIDS.
- Tanda : Perubahan interaksi.
- Sel T limfosit
Penurunan jumlah total
- Sel T4 helper
Indikator system imun (jumlah <200>
- Kadar Ig
Meningkat, terutama Ig A, Ig G, Ig M yang normal atau
mendekati normal
- Tes PHS
- Kapsul hepatitis B dan antibody, sifilis, CMV mungkin
positif
Neurologis
- EEG, MRI, CT Scan otak, EMG (pemeriksaan saraf)
- Tes Lainnya
- Sinar X dada
- Menyatakan perkembangan filtrasi interstisial dari PCP
tahap lanjut atau adanya komplikasi lain
- Tes Fungsi Pulmonal
- Deteksi awal pneumonia interstisial
- Skan Gallium Ambilan difusi pulmonal terjadi pada PCP
dan bentuk pneumonia lainnya.
- Biopsis
- Diagnosa lain dari sarcoma Kaposi
- Bronkoskopi / pencucian trakeobronkial Dilakukan dengan
biopsy pada waktu PCP ataupun dugaan kerusakan paru-
paru
Tes Antibodi
Jika seseorang terinfeksi Human Immunodeficiency
Virus (HIV), maka system imun akan bereaksi dengan
memproduksi antibody terhadap virus tersebut. Antibody
terbentuk dalam 3 – 12 minggu setelah infeksi, atau bisa
sampai 6 – 12 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa orang
yang terinfeksi awalnya tidak memperlihatkan hasil tes
positif. Tapi antibody ternyata tidak efektif, kemampuan
mendeteksi antibody Human Immunodeficiency
Virus(HIV) dalam darah memungkinkan skrining produk
darah dan memudahkan evaluasi diagnostic. Pada tahun
1985 Food and Drug Administration (FDA) memberi
lisensi tentang uji kadar Human Immunodeficiency Virus
(HIV) bagi semua pendonor darah atau plasma. Tes
tersebut, yaitu:
- Indirect Immunoflouresence
Pengganti pemeriksaan western blot untuk
memastikan seropositifitas.
2.9.2 Penyebab
Hepatitis diisebabkan oleh beberapa jenis virus yang
diketegorikan dalam beberapa golongan, diantaranya hepatitis A, hepatitis
B, hepatitis C, hepatitis D, hepatitis E, dan hepatitis G. Hepatitis juga
terjadi karena infeksi virus lainnya, seperti mononukleosis itinfeksiosa,
demam kuning dan infeksi Virus Mumps, Virus Rubella, Virus
Cytomegalovirus, Virus Epstein-Barr, Virus Herpes. Penyebab hepatitis
non - virus yang utama adalah alkohol dan obat-obatan.
B. HEPATITIS B
1. Definisi
Hepatitis B merupakan salah satu penyakit menular yang tergolong
berbahaya di dunia, Penyakit ini disebabkan oleh Virus Hepatitis B (VHB), suatu
anggota famili Hepadnavirus pada sebagian kecil kasus dapat berlanjut menjadi
sirosis hati atau kanker hati yang menyerang hati dan menyebabkan peradangan
hati akut atau menahun. Seperti halnya Hepatitis C, kedua penyakit ini dapat
menjadi kronis dan akhirnya menjadi kanker hati.
Penyebab Hepatitis ternyata tak semata-mata virus. Keracunan obat, dan
paparan berbagai macam zat kimia seperti karbon tetraklorida, chlorpromazine,
chloroform, arsen, fosfor, dan zat-zat lain yang digunakan sebagai obat dalam
industri modern, bisa menyebabkan Hepatitis. Zat-zat kimia ini mungkin saja
tertelan, terhirup atau diserap melalui kulit penderita. Menetralkan suatu racun
yang beredar di dalam darah adalah pekerjaan hati. Jika banyak sekali zat kimia
beracun yang masuk ke dalam tubuh, hati bisa saja rusak sehingga tidak dapat lagi
menetralkan racun-racun lain.
Di daerah Timur dan Afrika, beberapa kasus hepatitis B berkembang
menjadi hepatitis menahun, sirosis dan kanker hati. Mula-mula dikenal sebagai
serum hepatitis dan telah menjadi epidemi pada sebagian Asia dan Afrika.
Hepatitis B telah menjadi endemik di Tiongkok dan berbagai negara Asia.
2. Proses Penularan
Proses penularan Hepatitis B yaitu melalui pertukaran cairan tubuh atau
kontak dengan darah dari orang yang terinfeksi Hepatitis B. Penularannya tidak
semudah virus hepatitis A. Virus hepatitis B ditularkan melalui darah atau produk
darah. Hepatitis B dapat menyerang siapa saja, tetapi umumnya bagi mereka yang
berusia produktif akan lebih berisiko terkena penyakit.
Proses penularan penyakit Hepatitis B dibedakan menjadi dua :
Secara vertikal, cara penularan vertikal terjadi dari Ibu yang mengidap virus
Hepatitis B kepada bayi yang dilahirkan yaitu pada saat persalinan atau segera
setelah persalinan.
Secara horizontal, terjadi akibat penggunaan alat suntik yang tercemar, tindik
telinga, tusuk jarum, transfusi darah, penggunaan pisau cukur dan sikat gigi secara
bersama-sama (jika penderita memiliki penyakit mulut (sariawan, gusi berdarah)
atau luka yang mengeluarkan darah) serta hubungan seksual dengan penderita
atau mitra seksual (baik heteroseksual maupun pria homoseksual).
Sebagai antisipasi, biasanya terhadap darah-darah yang diterima dari
pendonor akan di tes terlebih dulu apakah darah yang diterima reaktif terhadap
Hepatitis, Sipilis dan HIV.
3. Tanda dan Gejala
Secara khusus tanda dan gejala terserangnya hepatitis B yang akut adalah
demam, sakit perut dan kuning (terutama pada area mata yang putih / sklera).
Penderita hepatitis B kronik cenderung tidak tampak tanda-tanda tersebut,
sehingga penularan kepada orang lain menjadi lebih berisiko.
Pada umumnya, gejala penyakit Hepatitis B ringan. Gejala tersebut
berupa selera makan hilang, rasa tidak enak di perut, mual sampai muntah, demam
ringan, kadang-kadang disertai nyeri sendi dan bengkak pada perut kanan atas.
Setelah satu minggu akan timbul gejala utama seperti bagian putih pada mata
tampak kuning, kulit seluruh tubuh tampak kuning dan air seni berwarna seperti
teh.
4. Diagnosa
Hepatitis B kronis merupakan penyakit nekroinflamasi kronis hati yang
disebabkan oleh infeksi virus Hepatitis B persisten. Hepatitis B kronis ditandai
dengan HBsAg positif (> 6 bulan) di dalam serum, tingginya kadar HBV DNA
dan berlangsungnya proses nekroinflamasi kronis hati. Carrier HBsAg inaktif
diartikan sebagai infeksi HBV persisten hati tanpa nekroinflamasi.
Sedangkan Hepatitis B kronis eksaserbasi adalah keadaan klinis yang
ditandai dengan peningkatan intermiten ALT>10 kali batas atas nilai normal
(BANN). Diagnosis infeksi Hepatitis B kronis didasarkan pada pemeriksaan
serologi, petanda virologi, biokimiawi dan histologi.
Secara serologi, pemeriksaan yang dianjurkan untuk diagnosis dan
evaluasi infeksi Hepatitis B kronis adalah : HBsAg, HBeAg, anti HBe dan HBV
DNA (4,5). Pemeriksaan virologi, dilakukan untuk mengukur jumlah HBV DNA
serum sangat penting karena dapat menggambarkan tingkat replikasi virus.
Pemeriksaan biokimiawi yang penting untuk menentukan keputusan terapi adalah
kadar ALT. Peningkatan kadar ALT menggambarkan adanya aktivitas
kroinflamasi.
Oleh karena itu pemeriksaan ini dipertimbangkan sebagai prediksi
gambaran histologi. Pasien dengan kadar ALT yang menunjukkan proses
nekroinflamasi yang lebih berat dibandingkan pada ALT yang normal. Pasien
dengan kadar ALT normal memiliki respon serologi yang kurang baik pada terapi
antiviral.
Oleh sebab itu pasien dengan kadar ALT normal dipertimbangkan untuk
tidak diterapi, kecuali bila hasil pemeriksaan histologi menunjukkan proses
nekroinflamasi aktif. Tujuan pemeriksaan histologi adalah untuk menilai tingkat
kerusakan hati, menyisihkan diagnosis penyakit hati lain, prognosis dan
menentukan manajemen anti viral.
5. Pencegahan
Langkah-langkah pencegahan agar terhindar dari penyakit Hepatitis B
adalah pemberian vaksin atau imunisasi hepatitis B dilakukan tiga kali, yaitu
dasar, satu bulan dan 6 bulan kemudian. Hal ini ditujukan terutama pada orang-
orang yang berisiko tinggi terkena virus ini, seperti mereka yang berprilaku sex
kurang baik (ganti-ganti pasangan / homosexual), pekerja kesehatan (perawat dan
dokter) dan mereka yang berada di daerah rentan banyak kasus Hepatitis B.
6. Pengobatan
Penderita yang diduga Hepatitis B, untuk kepastian diagnosa yang
ditegakkan maka akan dilakukan periksaan darah. Setelah diagnosa ditegakkan
sebagai Hepatitis B, maka ada cara pengobatan untuk hepatitis B, yaitu
pengobatan telan (oral) dan secara injeksi.
a. Pengobatan oral yang terkenal adalah
Pemberian obat Lamivudine dari kelompok nukleosida analog, yang dikenal
dengan nama 3TC. Obat ini digunakan bagi dewasa maupun anak-anak,
Pemakaian obat ini cenderung meningkatkan enzyme hati (ALT) untuk itu
penderita akan mendapat monitor bersinambungan dari dokter.
Pemberian obat Adefovir dipivoxil (Hepsera). Pemberian secara oral akan
lebih efektif, tetapi pemberian dengan dosis yang tinggi akan berpengaruh buruk
terhadap fungsi ginjal.
Pemberian obat Baraclude (Entecavir). Obat ini diberikan pada penderita
Hepatitis B kronik, efek samping dari pemakaian obat ini adalah sakit kepala,
pusing, letih, mual dan terjadi peningkatan enzyme hati. Tingkat keoptimalan dan
kestabilan pemberian obat ini belum dikatakan stabil.
b. Pengobatan dengan injeksi / suntikan adalah
Pemberian suntikan Microsphere yang mengandung partikel radioaktif
pemancar sinar ß yang akan menghancurkan sel kanker hati tanpa merusak
jaringan sehat di sekitarnya.
Injeksi Alfa Interferon (dengan nama cabang INTRON A, INFERGEN,
ROFERON) diberikan secara subcutan dengan skala pemberian 3 kali dalam
seminggu selama 12-16 minggu atau lebih. Efek samping pemberian obat ini
adalah depresi, terutama pada penderita yang memilki riwayat depresi
sebelumnya. Efek lainnya adalah terasa sakit pada otot-otot, cepat letih dan sedikit
menimbulkan demam yang hal ini dapat dihilangkan dengan pemberian
paracetamol.
Selain itu, pengobatan tradisional dapat dilakukan. Tumbuhan obat atau herbal yang
dapat digunakan untuk mencegah dan membantu pengobatan Hepatitis
diantaranya mempunyai efek sebagai hepatoprotektor, yaitu melindungi hati dari
pengaruh zat toksik yang dapat merusak sel hati, juga bersifat anti radang,
kolagogum dan khloretik, yaitu meningkatkan produksi empedu oleh hati.
Beberapa jenis tumbuhan obat yang dapat digunakan untuk pengobatan Hepatitis,
antara lain yaitu
1. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza),
2. Kunyit (Curcuma longa),
3. Sambiloto (Andrographis paniculata),
4. Meniran (Phyllanthus urinaria),
5. Daun Serut/mirten,
6. Jamur Kayu/lingzhi (Ganoderma lucidum),
7. Akar alang-alang (Imperata cyllindrica),
8. Rumput Mutiara (Hedyotis corymbosa),
9. Pegagan (Centella asiatica),
10. Buah Kacapiring (Gardenia augusta),
11. Buah Mengkudu (Morinda citrifolia),
12 Jombang (Taraxacum officinale).
Selain itu juga ada pengobatan alternatif lain Hepatitis B seperti hijamah /
bekam yang bisa menyembuhkan segala penyakit hepatitis, asal dilakukan dengan
benar dan juga dengan standar medis.
7. Hasil Akhir Perawatan
Ada 3 kemungkinan tanggapan kekebalan yang diberikan oleh tubuh terhadap
virus Hepatitis B pasca periode akut.
1. Kemungkinan pertama, jika tanggapan kekebalan tubuh adekuat maka akan
terjadi pembersihan virus, pasien sembuh.
2. Kedua, jika tanggapan kekebalan tubuh lemah maka pasien tersebut akan
menjadi carrier inaktif.
3. Ketiga, jika tanggapan tubuh bersifat intermediate (antara dua hal di atas) maka
penyakit terus berkembang menjadi hepatitis B kronis.
C. HEPATITIS C
1. Definisi
Hepatitis C adalah penyakit yang disebabkan oleh virus hepatitis C
(VHC). Infeksi virus ini menyebabkan peradangan hati atau hepatitis yang
biasanya asimtomatik, tetapi hepatitis kronik yang berlanjut dapat menyebabkan
sirosis dan kanker hati.
2. Proses Penularan
Proses penularan penyakit Hepatitis C sebanyak 80 % akibat transfusi
darah dan jarum suntik yang terkontaminasi. Virus hepatitis C ditularkan melalui
pemakai obat yang menggunakan jarum bersama-sama. Jarang terjadi penularan
melalui hubungan seksual. Untuk alasan yang masih belum jelas, penderita
penyakit hati alkoholik seringkali menderita hepatitis C. Proses penularannya
dapat pula melalui kontak darah serangga yang menggiti penderita lalu mengigit
orang lain di sekitarnya. Hepatitis C adalah akibat dari transplantasi hati di
Amerika Serikat
4. Pencegahan
Sebagai usaha pencegahan, menjaga kebersihan perorangan seperti
mencuci tangan dengan teliti dan menggunakan prinsip 6 langkah diperlukan
untuk meminimalisasi penyebaran mata rantai penyakit Hepatitis C.
5. Pengobatan
Saat ini pengobatan Hepatitis C dilakukan dengan pemberian obat seperti
Interferon alfa, Pegylated interferon alfa dan Ribavirin. Adapun tujuan
pengobatan dari Hepatitis C adalah menghilangkan virus dari tubuh anda sedini
mungkin untuk mencegah perkembangan yang memburuk dan stadium akhir
penyakit hati. Pengobatan pada penderita Hepatitis C memerlukan waktu yang
cukup lama bahkan pada penderita tertentu hal ini tidak dapat menolong, untuk itu
perlu penanganan pada stadium awalnya.
D. HEPATITIS D
Hanya terjadi sebagai rekan-infeksi dari virus hepatitis B dan virus
hepatitis D ini menyebabkan infeksi hepatitis B menjadi lebih berat. Yang
memiliki risiko tinggi terhadap virus ini adalah pecandu obat. Hepatitis D menular
melalui darah yang terinfeksi. Penyakit ini hanya timbul pada orang-orang yang
telah terinfeksi dengan hepatitis B sebelumnya.
Orang-orang yang berisiko terkena hepatitis D adalah pengguna obat-
obatan yang sering memakai jarum suntik bersama-sama. Penderita hepatitis B
juga berisiko terkena jika berhubungan seks dengan orang yang terinfeksi
hepatitis D, atau jika mereka tinggal dengan orang yang terinfeksi. Untuk
mencegahnya adalah dengan mencegah terkena hepatitis B, yaitu dengan
imunisasi hepatitis B; selain itu dengan menghindari terkena darah yang
terinfeksi, jarum yang terkontaminasi, atau barang-barang pribadi penderita (sikat
gigi, pisau cukur, gunting kuku).
Hepatitis D kronik diterapi dengan interferon alfa.
E. HEPATITIS E
Virus hepatitis E kadang menyebabkan wabah yang menyerupai hepatitis
A, yang hanya terjadi di negara - negara terbelakang. Hepatitis E adalah virus
hepatitis (peradangan hati) yang disebabkan oleh infeksi virus hepatitis E (HEV).
HEV memiliki rute transmisi fecal-oral (kotoran ke mulut). Infeksi dengan virus
ini pertama kali didokumentasikan pada tahun 1955 selama wabah di New Delhi,
India.
Epidemiologi
Insiden hepatitis E tertinggi terdapat pada remaja dan orang dewasa berusia antara
15 – 40 tahun. Meskipun anak-anak sering terkena infeksi ini juga, namun mereka
jarang menunjukkan gejala. Tingkat kematian umumnya rendah, Hepatitis E
biasanya akan hilang dengan sendirinya dan pasien sembuh. Namun selama durasi
infeksi (biasanya beberapa minggu), penyakit ini sangat mengganggu aktivitas
keseharian. Hepatitis E kadang-kadang berkembang menjadi sebuah penyakit hati
akut yang parah, dan fatal pada sekitar 2% dari semua kasus. Secara klinis,
penyakit ini sebanding dengan hepatitis A, tetapi pada wanita hamil penyakit ini
lebih sering parah dan berhubungan dengan sindrom klinis yang disebut
kegagalan hati fulminan. Wanita hamil, terutama pada trimester ketiga,
mengalami tingkat kematian tinggi dari penyakit ini (sekitar 20%).
Meskipun ada satu serotipe virus ini, empat genotipe yang berbeda telah
dilaporkan. Genotipe 1 dan 2 hanya terbatas pada manusia dan sering dikaitkan
dengan wabah besar dan epidemi di negara-negara berkembang dengan kondisi
sanitasi yang buruk. Genotipe 3 dan 4 menginfeksi manusia, babi dan spesies
hewan lainnya dan telah bertanggung jawab untuk kasus-kasus sporadis hepatitis
E di negara-negara berkembang dan industri.
Penyebaran
Hepatitis E adalah lazim di kebanyakan negara berkembang, dan umum di negara
manapun dengan iklim panas. Hal ini meluas di Asia Tenggara, Afrika bagian
utara dan tengah, India, dan Amerika Tengah. Ini menyebar terutama melalui
kontaminasi tinja pada pasokan air atau makanan; transmisi orang-ke-orang jarang
ditemukan, namun bisa terjadi saat berhubungan seks oral-anus (misalnya menjilat
anus). Wabah epidemi Hepatitis E paling sering terjadi setelah hujan lebat dan
musim hujan karena gangguan pasokan air.
Hewan peliharaan telah dilaporkan sebagai reservoir untuk virus hepatitis E,
dengan beberapa survei menunjukkan angka infeksi melebihi 95% yang
diantaranya berasal dari babi. Kemungkinan Ini berlaku juga jika seseorang
mengkonsumsi daging babi hutan dan daging rusa mentah. Namun, tingkat
penularan pada manusia melalui rute ini masih diperdebatkan para ahli.
Sejumlah mamalia kecil lainnya telah diidentifikasi sebagai reservoir potensial:
tikus Bandicoot lebih rendah (Bandicota bengalensis), tikus hitam (Rattus rattus
brunneusculus) dan cecurut rumah Asia (Suncus murinus).
Sebuah virus flu burung telah digambarkan terkait dengan gejala Hepatitis-
Splenomegaly pada ayam. Virus ini secara genetis dan antigenically terkait
dengan HEV mamalia dan mungkin merupakan sebuah genus baru.
replikasi virus telah ditemukan dalam usus kecil, kelenjar getah bening, usus besar
serta hati babi yang terinfeksi.
Pencegahan
Perbaikan sanitasi adalah ukuran paling penting, yang terdiri dari perawatan
kebersihan pada pembuangan limbah manusia; juga penting standar yang lebih
tinggi untuk persediaan air masyarakat, baik prosedur kebersihan pribadi maupun
persiapan makanan sanitasi.
Sebuah vaksin, berdasarkan protein-protein virus yang di-re-kombinasi, telah
dikembangkan dan baru-baru ini diuji dalam suatu populasi berisiko tinggi
(personil militer dari negara berkembang). Vaksin tampak efektif dan aman,
namun penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menilai perlindungan vaksin
jangka panjang dan efektifitas biaya vaksinasi hepatitis E.
F. HEPATITIS G
1. Definisi
Hepatitis G adalah penyakit inflamasi hati yang baru ditemukan.
2. Penyebab
Disebabkan oleh hepatitis G virus (HGV), yang mirip dengan virus
hepatitis C. Kontak dengan darah yang terinfeksi HGV.
3. Gejala
Kebanyakan orang tidak memiliki gejala akut. Sebanyak 20 % dari
penderita hepatitis C juga menderita hepatitis ini.
4. Diagnosa
Metode yang digunakan untuk mendeteksi HGV sangat komplek untuk
mengetahui adanya antibodi HGV. Namun ketika antibodi telah ditemukan, virus
itu sendiri telah menghilang.
5. Pengobatan
Tidak ada perawatan spesifik untuk penyakit hepatitis akut ini. Penderita
harus banyak istirahat, menghindari alkohol dan makan makanan bergizi.
6. Pencegahan
Hepatitis G ditularkan melalui infeksi melalui darah. Pencegahannya
dengan menghi ndari kontak dengan darah yang terkontaminasi. Jangan gunakan
jarum suntik atau peralatan lain secara bersamaan.
1. Melewati placenta
2. Kontaminasi dengan darah dan tinja Ibu pada waktu persalinan
3. Kontak langsung bayi baru lahir dengan Ibunya
4. Melewati Air Susu Ibu, pada masa laktasi.
5. Baik virus A maupun virus B dapat menembus placenta, sehingga
terjadi hepatitis virus in utero dengan akibat janin lahir mati, atau janin
mati pada periode neonatal. Jenis virus yang lebih banyak dilaporkan
dapat menembus placenta, ialah virus type B.
Beberapa bukti, bahwa virus hepatitis dapat menembus
placenta ialah ditemukannya hepatitis antigen dalam tubuh janin in
utero atau pada janin barulahir. Selain itu telah dilakukan pula autopsy
pada janin-janin yang mati pada periode neonatal akibat infeksi
hepatitisvirus. Hasil autopsy menunjukkan adanya perubahan-
perubahan pada hepar, mulai dari nekrosis sel-sel hepar sampai
suatubentuk cirrhosis.
Pencegahan
Semua Ibu hamil yang mengalami kontak langsung dengan
penderita hepatitis virus A hendaknya diberi immuno globulin sejumlah
0,1 cc/kg berat badan. Gamma globulin tidak efektif untuk mencegah
hepatitis virus B. Gizi Ibu hamil hendaknya dipertahankan seoptimal
mungkin, karena gizi yang buruk mempermudah penularan hepatitis.
Untuk kehamilan berikutnya diberi jarak sekurang - kurangnya enam
bulan setelah persalinan, dengan syarat setelah 6 bulan tersebut semua
gejala dan pemeriksaan laboratorium telah kembali normal. Setelah
persalinan, pada penderita hendaknya tetap dilakukan pemeriksaan
laboratorium dalam waktu dua bulan, empat bulan dan enam bulan
kemudian.
Pengobatan
Pengobatan infeksi hepatitis pada kehamilan tidak berbeda dengan
wanita tidak hamil. Penderita harus tirah baring di rumah sakit sampai
gejala icterus hilang dan bilirubin dalam serum menjadi normal. Makanan
diberikan dengan sedikit mengandung lemak tetapitinggi protein dan
karbohydrat. Pemakaian obat-obatan hepatotoxic hendaknya dihindari.
Kortison baru diberikan bila terjadi penyulit. Perlu diingat pada hepatitis
virus yang aktif dan cukup berat, mempunyai risiko untuk terjadi
perdarahan post-partum, karena menurunnya kadar vitamin K. Janin baru
lahir hendaknya tetap diikuti sampai periode post natal dengan dilakukan
pemeriksaan transaminase serum dan pemeriksaan hepatitis virus antigen
secara periodik. Janin baru lahir tidak perlu diberi pengobatan khusus bila
tidak mengalami penyulit-penyulit lain.
Penanganan Khusus
Tabel di bawah ini menyajikan Hepatitis dan risiko Ibu dan Neonatus
RISIKO POTENSIAL
JENIS VIRUS
IBU NEONATUS
HEPATITIS A HEPATITIS BERAT HEPATITIS
NEONATORUM
HEPATITIS B HEPATITIS
KRONIS ANTIGENEMIA
SIROSIS PERSISTENS
HEPATITIS NEKROSIS HEPATITIS
NEOPLASMA
HEPATITIS C HEPATOSELULARE
PRIMER
PERLEMAKAN
HATI
( FATTY LEVER ) SUBLIKINAL
HEPATITIS
2.10.2 Etiologi
Menurut Sarwono (2014: 476) faktor-faktor yang
menyebabkan kehamilan ektopik diantaranya :
1. Faktor tuba
Adanya peradangan atau infeksi pada tuba
menyebabkan lumen tuba menyempit atau buntu.
Kerusakan tersebut menghalangi sel telur yang telah
dibuahi untuk masuk ke rahim sehingga akhirnya
menempel pada tuba fallopi.
2. Faktor abnormalitas dari zigot
Apabila tumbuh terlalu cepat atau tumbuh dengan
ukuran besar, maka zigot akan tersendat dalam
perjalanan pada saat melalui tuba, kemudian terhenti
dan tumbuh di saluran tuba.
3. Faktor ovarium
Bila ovarium memproduksi ovum dan ditangkap oleh
tuba yang kontralateral, dapat membutuhkan proses
khusus atau waktu yang lebih panjang sehingga
kemungkinan terjadinya kehamilan ektopik lebih
besar.
4. Faktor hormonal
Pil KB yang mengandung progesteron dapat
mengakibatkan gerakan tuba melambat. Apabila
terjadi pembuahan dapat menyebabkan terjadinya
kehamilan ektopik.
5. Faktor Risiko
- Pilihan alat kontrasepsi yaitu penggunaan
kontrasepsi jenis spiral (intrauterine device
IUD) bertujuan untuk mencegah kehamilan.
Namun, apabila kehamilan tetap terjadi,
kemungkinan besar kehamilan bersifat ektopik.
- Pernah mengalami kehamilan ektopik
sebelumnya. Wanita yang mengalami kondisi ini
memiliki risiko lebih tinggi untuk kembali
mengalaminya.
- Mengidap infeksi atau inflamasi. Wanita yang
pernah mengalami inflamasi tuba fallopi atau
penyakit radang panggul akibat penyakit seksual
menular, memiliki risiko lebih tinggi untuk
mengalami kehamilan ektopik.
- Proses sterilisasi pada saat pengikatan tuba atau
pembukaan ikatan tuba yang kurang sempurna
juga beresiko memicu kehamilan ektopik.
- Faktor merokok.
2.10.3 Gejala
Menurut Catrina M. Bain (2013: 321) gejala pada kehamilan ektopik
terganggu diantaranya :
1. Nyeri
Gejalanya bergantung apakah kehamilan ektopik telah ruptur
(robekan) atau belum. Gejala yang paling sering dirasakan adalah
nyeri abdomen dan pelvis. Gejala gastrointestinal dan pusing, mual
dan muntah atau kepala terasa ringan juga sering dijumpai, terutama
setelah terjadi ruptur. Nyeri dada pleuritik dapat terjadi akibat iritasi
diafragma yang disebabkan perdarahan.
2. Perdarahan
Mayoritas wanita melaporkan amenore dengan berbagai tingkatan
bercak atau perdarahan pervagina. Perdarahan uterus yang terjadi
dengan kehamilan pada tuba sering kali disangka menstruasi biasa.
Perdarahan pada kehamilan ini biasanya berbau, berwarna cokelat
gelap, dan dapat timbul secara intermitten (terus-menerus).
3. Amenore
Pasien mengeluhkan adanya spotting (bercak) pada saat haid yang
dinanti sehingga tak jarang dugaan kehamilan hampir tidak ada.
4. Sinkope
Pusing, pandangan berkunang-kunang.
5. Pingsan (kolaps)
Kehamilan ini akan menyebabkan nyeri dan pingsan akibat anemia.
Bila terjadi perdarahan hebat, maka gejala yang biasanya akan
didapatkan adalah kolaps dan syok.
6. Tekanan darah dan nadi
Sebelum ruptur, biasanya tanda-tanda vital normal. Tekanan darah
akan turun dan nadi meningkat apabila perdarahan berlanjut dan
terbentuk kondisi hipovolemia.
2.10.4 Tanda
Menurut Catrina M. Bain (2013: 321) gejala kehamilan ektopik
terganggu diantaranya :
1. Nyeri Tekan Abdomen
Nyeri hebat pada pemeriksaan abdomen dan vagina, terutama
ketika serviks digerakkan, dapat dilakukan pada lebih dari tiga
perempat wanita dengan kehamilan tuba yang ruptur. Namun,
nyeri seperti ini dapat tidak ada sebelum ruptur.
2. Nyeri Tekan Panggul
Lakukan pemeriksaan dengan hati-hati ketika memeriksa
pasien untuk memastikan bahwa kehamilan ektopik tidak
mengalami ruptur proses pemeriksaan.
3. Massa Adneksa
Massa adneksa adalah benjolan di jaringan dekat rahim,
biasanya di indung telur atau tuba fallopi. Lakukan palpasi
bimanual dengan lembut untuk mendapatkan adanya massa
adneksa di panggul.
4. Perubahan Uterus
Karena hormon plasenta, uterus dapat membesar selama 3
bulan pertama pada kehamilan tuba. Konsistensinya juga dapat
serupa dengan kehamilan normal. Uterus dapat terdorong ke
satu sisi oleh massa ektopik dan apabila ligamentum latum
uteri terisi darah, uterus dapat tergeser dan menyebabkan
keluarnya serpihan. Serpihan tersebut dapat disertai kram dan
menimbulkan abortus spontan.
2.10.5 Klasifikasi
Menurut Sarwono (2014: 474) berdasarkan lokasi terjadinya,
kehamilan ektopik dapat dibagi menjadi 5, yaitu :
1. Kehamilan tuba meliputi 95% yang terdiri atas :
- Ampularis (55%).
- Isthmus (25%).
- Fimbrial (17%).
- Interstisial (2%).
2. Kehamilan ovarial (0,5%)
3. Kehamilan abdominal (0,1%)
4. Kehamilan intraligamenter yaitu pertumbuhan janin dan plasenta
diantara lipatan ligamentum latum dan jumlahnya sangat sedikit.
5. Kehamilan servikal adalah kehamilan servikal jarang terjadi. Pada
implantasi di serviks, dapat terjadi perdarahan tanpa disertai nyeri,
dan kemungkinan terjadinya abortus spontan sangat besar. Jika
kehamilan tumbuh sampai besar, perdarahan atau rupture yang
terjadi sangat berat, sehingga sering diperlukan tindakan
histerektomi total.
2. Salpingektomi (gambar)
Tindakan pembedahan ini dapat dilakukan setelah penegakan
diagnosis. Sebelum pengangkatan tuba fallopi, perlu diperiksa
keadaan tuba lain nya karena apabila mengalami abnormal, maka
pendekatan bedah yang lebih konservatif perlu dilakukan. 1.
Salpingostomi (gambar)
2.10.9 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi yaitu (Rustam Mochtar, 2013: 164) :
1. Pada pengobatan konservatif, bila kehamilan ektopik terganggu
telah lama berlangsung (4-6 minggu), terjadi perdarahan ulang.
2. Infeksi
3. Sterilitas
2.11 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Kehamilan Ektopik
2.11.1 Pengkajian
1. Anamnesis dan gejala klinis
- Riwayat terlambat haid.
- Gejala dan tanda kehamilan muda.
- Ada atau tidak ada perdarahan pervaginam.
- Terdapat aminore.
- Ada nyeri mendadak disertai rasa nyeri bahu dan seluruh
abdomen, terutama abdomen bagian kanan atau kiri bawah.
- Beratatau ringan nya nyeri tergantung pada banyaknya darah
yang terkumpul dalam peritoneum.
2. Pemeriksaan fisik
- Inspeksi
a. Mulut
b. Payudara
c. Abdomen :
d. Genetalia :
e. Ekstremitas :
- Palpasi
- Auskultasi
- Perkusi
2.11.2 Diagnosa
Menurut Nanda NIC NOC (2015: 157) ada 5 diagnosa yang
ditemukan mengenai gangguan Ibu dengan kehamilan ektopik
terganggu yaitu :
1. Gangguan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan
aktif ditandai dengan perdarahan.
2. Resiko syok berhubungan dengan hipovolemia.
3. Resiko infeksi berhubungan dengan luka operasi.
4. Nyeri akut berhubungan dengan rupture tuba.
5. Ansietas berhubungan dengan tindakan operasi yang akan
dilakukan.
2.12.2 Etiologi
Penyebab hiperemesis gravidarum belum diketahui secara
pasti. Tidak ada bukti bahwa penyakit ini belum diketahui secara
pasti. Berikut ini adalah hal-hal yang menyebabkan hiperemesis
gravidarum (Hidayati. 2009;66) :
1. Sering terjadi pada :
(a) Primigravida
Dikarenakan faktor adaptasi dan hormonal yang menyebakan
primigravida beresiko terhadap hiperenesis gravidarum. Karena
sebagian kecil primigravda belum mampu beradaptasi terhadap
hormon estrogen dan gonadrotopin korionik (Manuaba 2009; 48)
(b) Molahidatidosa
Menurut Manuaba (2009;48) menyebutkan bahwa pada mola
jumlah hormon yang dikeluarkan terlalu tinggi sehingga
menyebabkan hiperemesis gravidarum.
(c) Kehamilan kembar (Heidi Murkoff,dkk 2006;215)
Ini merupakan gejala kehamilan yang berebihan. Biasanya jika
ada janin kembar maka ibu akan mengalami mual di pagi hari
yang dapat berlipat ganda. Akan tetapi semua ini juga bisa terjadi
2005;65).
b. Grastitis (Muntah tanpa isi)Vomitus yang terjadi pada saat
makan atau segera sesudahnya dapat menunjukkan vomitus
psikogenetik atau ulkus peptik dengan pilorospasme. Muntah
yang terjadi 4-6 jam atau lebih setelah makan dan mengenai
eliminasi jumlah besar makanan yang tidak ditelan sering
menunjukan retensi lambung atau gangguan esofagus tertentu.
Vomitus yang bersifat proyektif atau tanpa didahului nausea
menunjukan kemungkinan lesi pada sistem saraf pusat (Horison.
2000; 243).
2.12.3 Patofisiologis
Ada yang menyatakan bahwa perasaan mual adalah akibat
dari meningkatnya kadar esterogen, oleh karena keluhan ini terjadi
pada trisemester pertama. Pengaruh fisiologik hormon estrogen ini
tidak jelas, mungkin berasal dai sistem saraf pusat akibat
berkurangnya pengosongan lambung. Penyesuaian terjadi pada
kebanyakan wanita hamil, meskipn demikian mual dan muntah dapat
berlangsung berbulanbulan (Wiknjosastro. 2005, 276-277).
Hiperemesis gravidarum yang merupakan komplikasi mual dan
muntah pada hamil muda, bila terjadi terus menerus dapat
menyebabkan dehidrasi dan tidak imbangnya elektrolit dengan
alkolosis hipokloremik. Belum jelas mengapa gejala-gejala ini hanya
terjadi pada sebagian wanita, tetapi factor psikologik merupakan
factor utama, disamping pengaruh hormonal. Yang jelas, wanita
yang sebelum kehamilan sudah menderita lambung spastik dengan
gejala tidak suka makan dan mual, akan mengalami emesis
gravidarum yang lebih berat (Wiknjosastro. 2005, 277).Hiperemesis
gravidarum ini dapat mengakibatkan cadangan karbohidrat dan
lemak habis terpakai untuk keperluan energi. Karena oksidasi lemak
yang tidak sempurna, terjadilah ketosis dengan tertimbunnya asam
aseton-asetik, asam hidroksibutirik dan aseton dalam darah.
Kekurangan cairan yang diminum dan kehilangan cairan karena
muntah menyebabkan dehidrasi, sehingga cairan ekstraseluler dan
plasma berkurang. Natrium dan khlorida darah turun, demikian pula
khlorida air kemih. Selain itu dehidrasi menyebabkan
hemokonsentrasi, sehingga aliran darah ke jaringan berkurang. Hal
ini menyebabkan jumlah zat makanan dan oksigen ke jaringan
mengurang pula dan tertimbunnya zat metabolic yang toksik.
Kekurangan kalsium sebagai akibat dari muntah dan bertambahnya
ekskresi lewat ginjal, menambah frekuensi muntah-muntah yang
lebih banyak, dapat merusak hati dan terjadilah lingkaran setan yang
sulit dipatahkan. Disamping dehidrasi dan terganggunya
keseimbangan elektrolit, dapat terjadi robekan pada selaput lender
esophagus dan lambung (Sindrom Mallory-Weiss), dengan akibat
perdarahan gastroinsestinal. Pada umumnya robekan ini ringan dan
peredaran darah dapat berhenti sendiri. Jarang diperlukan tranfusi
atau tindakan operatif (Wijknjosastro. 2005, 277).
2.12.5 Diagnosis
2.12.6 Pengelolaan
2.12.7 Komplikasi
Dampak yang ditimbulkan dapat terjadi pada ibu dan janin,
(a) Komplikasi pada ibu
Menurut Setiawan (2007) dalam Ai Yeyeh, dkk (2010. 128) ibu akan
kekurangan nutrisi dan cairan sehingga keadaan fisik ibu menjadi
lemah dan lelah dapat pula mengakibatkan gangguan asam basa,
pneumini aspirasi, robekan mukosa pada hubungan gastroesofagi
yang menyebabkan peredaran rupture esophagus, kerusakan hepar
dan kerusakan ginjal.
(b) Komplikasi pada janin Menurut Setiawan (2007) dalam Ai
Yeyeh, dkk (2010.129) pertumbuhan dan perkembangan janin
karena nutrisi yang tidak terpenuhi atau tidak sesuai dengan
kehamilan, yang
mengakibatkan peredaran darah janin berkurang. Winkjosastro
(2005) Pada bayi, jika hiperemesis ini terjadi hanya di awal
kehamilan tidak berdampak terlalu serius, tetapi jika sepanjang
kehamilan si ibu menderita hiperemesis gravidarum, maka
kemungkinan bayinya mengalami BBLR, IUGR, Prematur hingga
abortus.Hal ini didukung oleh pernyataan Gross et al dalam Ai
Yeyeh, dkk (2010, 129) menyatakan bahwa ada peningkatan peluang
retradasi pertumbuhan intaruterus jika ibu mengalami penurunan
berat bada sebesar 5 % dari berat badan sebelum kehamilan, karena
pola pertumbuhan janin tergangu oleh metabolisme maternal.
Menurut Tiran (2008) dalam Ai Yeyeh, dkk 2010, 129).Terjadinya
pertumbuhan janin terlambat sebagai akibat kurangnya pemasokan
oksigen dan makanan yang kurang adekuat dan hal ini mendorong
terminasi kehamilan lebih dini (Wiknjosastro, 2005). Makanan ibu
selama hamil dan keadaan gizi ibu pada waktu hamil berhubungan
erat dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Apabila makanan
yang dikonsumsi ibu kurang dan keadaan gizi ibu jelek maka besar
kemungkinan BBLR, menurut Chase dalam Ai Yeyeh, dkk (2010,
128) konsekuesinya adalah bayi yang lahir kemungkinan meninggal
17 kali lebih tinggi dibanding bayi lahir normal. Admin (2007)
dalam Ai Yeyeh, dkk (2010. 129).
Pada langkah ke enam ini rencana asuhan menyeluruh seperti yang telah diuraikan
pada langkah ke lima dilaksanakan secara aman dan efisien. Perencanaan ini
dibuat dan dilaksanakan seluruhnya oleh bidan atau sebagian lagi oleh klien atau
anggota tim kesehatan lainnya. Walaupun bidan tidak melakukannya sendiri,
bidan tetap bertanggung jawab untuk mengarahkan pelaksanaannya. Dalam
kondisi dimana bidan berkolaborasi dengan dokter untuk menangani klien yang
mengalami komplikasi, maka keterlibatan bidan dalam penatalaksanaan asuhan
bagi klien adalah tetap bertanggung jawab terhadap terlaksananyarencana asuhan
bersama yang menyeluruh tersebut. Pelaksanaan yang efisien akan menyangkut
waktu dan biaya serta meningkatkan mutu dan asuhan klien.
Pada langkah ini dilakukan evaluasi keefektifan dari asuhan yang sudah diberikan
meliputi pemenuhan kebutuhan akan bantuan apakah benar-benar telah terpenuhi
sesuai dengan kebutuhan sebagaimana telah diidentifikasidi dalam diagnosa dan
masalah. Rencana tersebut dapat dianggap efektif jika memang benar-benar
efektif dalam pelaksanaannya. Langkah-langkah proses penatalaksanaan
umumnya merupakan pengkajian yang memperjelas proses pemikiran yang
mempengaruhi tindakan serta berorientasi pada proses klinis, karena proses
penatalaksanaan tersebut berlangsung di dalam situasi klinik dan dua langkah
terakhir tergantung pada klien dan situasi klinik. Penerapan manajemen kebidanan
varney dalam asuhan kebidanan ibu bersalin resiko tinggi dengan preeklamsi
berat. Adapun penerapan manajemen kebidanan menurut Varney meliputi:
pengkajian, intervensi data, masalah, potensial antisipasi, implementasi,
intervensi, evaluasi. Penerapan Manajemen Kebidanan menurut Varney, meliputi
pengkajian, interpretasi data, diagnosa potensial dan tindakan antisipasi segera
untuk mencegahnya, penyusunan rencana tindakan, pelaksanaan dan evaluasi.
2.14 Konsep Dasar Penyakit TORCH
2.14.1 Definisi
TORCH adalah sebuah istilah untuk menggambarkan
gabungan dari empat jenis penyakit infeksi yang menyebabkan
kelainan bawaan, yaitu Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus dan
Herpes. Keempat jenis penyakit infeksi ini sama-sama berbahaya
bagi janin bila infeksi diderita oleh ibu hamil.
Prinsip dari pemeriksaan ini adalah deteksi adanya zat anti
(antibodi) yang spesifik taerhadap kuman penyebab infeksi tersebut
sebagai respon tubuh terhadap adanya benda asing (kuman.
Antibodi yang terburuk dapat berupa Imunoglobulin M (IgM) dan
Imunoglobulin G (IgG).
Penyakit TORCH ini dikenal karena menyebabkan kelainan
dan berbagai keluhan yang bisa menyerang siapa saja, mulai anak-
anak sampai orang dewasa, baik pria maupun wanita. Bagi ibu yang
terinfeksi saat hamil dapat menyebabkan kelainan pertumbuhan
pada bayinya, yaitu cacat fisik dan mental yang beraneka ragam.
a. Toxoplasma
Toxoplasmosis penyakit zoonosis yaitu penyakit pada
hewan yang dapat ditularkan ke manusia. Penyakit ini disebabkan
oleh sporozoa yang dikenal dengan nama Toxoplasma gondii.
Toxoplasma gondii yaitu suatu parasit intraselluler yang
menginfeksi pada manusia dan hewan. Toxoplasma gondii
termasuk spesies dari kelas sporozoa (Cocidia), pertama kali
ditemukan pada binatang pengerat Ctenodactylus gundi di Afrika
Utara (Tunisia) oleh Nicolle dan Manceaux tahun 1908. Tahun
1928 Toxoplasma gondii ditemukan pada manusia pertama kali
oleh Castellani
b. Rubella
Penyakit ini disebabkan oleh virus Rubella yang termasuk
famili Togaviridae dan genus Rubivirus, infeksi virus ini terjadi
karena adanya kontak dengan sekret orang yang terinfeksi; pada
wanita hamil penularan ke janin secara intrauterin. Masa
inkubasinya rata-rata 16-18 hari. Periode prodromal dapattanpa
gejala (asimtomatis), dapat juga badan terasa lemah,demam ringan,
nyeri kepala, dan iritasi konjungtiva. Penyakit ini agak berbeda
dari toksoplasmosis karena rubela hanya mengancam janin
Penyakit yang juga disebabkan oleh virus yang
menimbulkan demam ringan dengan ruam yang menyebar dan
kadang-kadang mirip dengan campak. Rubella menjadi penting
karena penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan pada janin.
Sindroma rubella congenital terjadi pada 90% bayi yang dilahirkan
oleh wanita yang terinfeksi rubella selama trimester pertama
kehamilan, resiko kecacatan ini menurun hinggga kira-kira 10-20%
pada minggu ke 16 dan lebih jarang terjadi bila ibu terkena infeksi
pada usia kehamilan 20 minggu.
c. Cyto Megalo Virus (CMV)
Penyakit ini disebabkan oleh Human cytomegalovirus,
subfamili betaherpesvirus, famili herpesviridae. Penularannya
lewat paparan jaringan, sekresi maupun ekskresi tubuh
yangterinfeksi (urine, ludah, air susu ibu, cairan vagina, dan
lainlain). Masa inkubasi penyakit ini antara 3-8 minggu. Pada
kehamilan infeksi pada janin terjadi secara intrauterin. Pada bayi,
infeksi yang didapat saat kelahiran akan menampakkan gejalanya
pada minggu ke tiga hingga ke dua belas; jika didapat pada masa
perinatal akan mengakibatkan gejala yang berat.
Infeksi virus ini dapat ditemukan secara luas di masyarakat;
sebagian besar wanita telah terinfeksi virus ini selama masa anak-
anak dan tidak mengakibatkan gejala yang berarti. Tetapi bila
seorang wanita baru terinfeksi pada masa kehamilan maka infeksi
primer ini akan menyebabkan manifestasi gejala klinik infeksi
janin bawaan sebagai berikut: hepatosplenomegali, ikterus, petekie,
meningoensefalitis, khorioretinitis dan optic atrophy, mikrosefali,
letargia, kejang, hepatitis dan jaundice, infiltrasi pulmonal dengan
berbagai tingkatan, dan kalsifikasi intrakranial. Jika bayi dapat
bertahan hidup akan disertai retardasi psikomotor maupun
kehilangan pendengaran..
d. Herpes Simplek
Penyakit ini disebabkan infeksi Herpes simplex virus
(HSV); ada 2 tipe HSV yaitu tipe 1 dan 2. Tipe 1 biasanya
mempunyai gejala ringan dan hanya terjadi pada bayi karena
adanya kontak dengan lesi genital yang infektif; sedangkan HSV
tipe 2 merupakan herpes genitalis yang menular lewat hubungan
seksual. HSV tipe 1 dan 2 dapat dibedakan secara imunologi. Masa
inkubasi antara 2 hingga 12 hari. Infeksi herpes superfisial
biasanya mudah dikenali misalnya pada kulit dan membran
mukosa juga pada mata.
Penyakit infeksi virus yang ditandai dengan lesi primer
terlokalisir, laten dan adanya kecenderungan untuk kambuh
kembali. Ada 2 jenis virus yaitu virus herpes simpleks (HSV) tipe
1 dan 2 pada umumnya menimbulkan gejala klinis yang berbeda,
tergantung pada jalan masuknya dan dapat menyerang alat-alat
genital atau mukosa mulut.
a. Toxoplasma Gondii
Infeksi Toxoplasma disebabkan oleh parasit yang disebut
Toxoplasma gondi .Pada umumnya infeksi Toxoplasma terjadi
tanpa disertai gejala yang spesifik. Kira-kira hanya 10-20% kasus
infeksi Toxoplasma yang disertai gejala ringan, mirip gejala
influenza, bisa timbul rasa lelah, malaise, demam, dan umumnya
tidak menimbulkan masalah.
b. Rubella
Infeksi Rubella ditandai dengan demam akut, ruam pada
kulit dan pembesaran kelenjar getah bening. Infeksi ini disebabkan
oleh virus Rubella, dapat menyerang anak-anak dan dewasa muda.
c. Cyto Megalo Virus (CMV)
Infeksi CMV disebabkan oleh virus Cytomegalo, dan virus
ini temasuk golongan virus keluarga Herpes. Seperti halnya
keluarga herpes lainnya, virus CMV dapat tinggal secara laten
dalam tubuh dan CMV merupakan salah satu penyebab infeksi
yang berbahaya bagi janin bila infeksi yang berbahaya bagi janin
bila infeksi terjadi saat ibu sedang hamil.
d. Herpes Simplek
Infeksi herpes pada alat genital (kelamin) disebabkan oleh
Virus Herpes Simpleks tipe II (HSV II). Virus ini dapat berada
dalam bentuk laten, menjalar melalui serabut syaraf sensorik dan
berdiam diganglion sistem syaraf otonom.
Cara Kerja :
a) Lokasi Pengambilan Sampel
- vena mediana cubiti ( dewasa )
- vena jugularis superficialis ( bayi )
b) Cara kerja pengambilan sampel :
- Bersihkan daerah vena mediana cubiti dengan alcohol 70% dan
biarkan menjadi kering kembali
- Pasang ikatan pembendung/torniquit diatas fossa cubiti. Mintakan
pasien yang akan diambil darahnya untuk mengepal dan membuka
tangannya beberapa kali agar vena jelas terlihat.
- Pembendungan vena tidak boleh terlalu kuat .
- Tegangkan kulit diatas vena dengan jari tangan kiri agar vena tidak
bergerak
- Tusuk kulit diatas vena dengan jarum/nald dengan tangan kanan
sampai menembus lumen vena
- Lepaskan pembendungan dan ambillah darah sesuai yang
dibutuhkan
- Taruh kapas diatas jarum/nald dan cabut perlahan
- Mintakan agar pasien menekan bekas tusukan dengan kapas tadi
- Alirkan darah dari syringe kedalam tabung melaluji dinding tabung
- Berikan label berisi tanggal pemeriksaan,nama pasien dan jenis
specimen
- Sampel dapat di simpan pada suhu 2 - 8 ° C bertahan sampai 7 hari
atau dibekukan sampai 6 bulan. Hindari pembekuan berulang jika
untuk pemeriksaan.
c) Cara kerja Toxolisa IgG dan IgM
- Siapkan pengenceran 1:40 test sampel, negatif control, positif
control dan calibrator dengan jalan menambahkan masing-masing
5 ul bahan dengan 100 ul sampel diluents, goyang hingga
homagen.
- Ambil 100 ul masing-masing hasil pengenceran, masukkan ke
dalam wells goyang agar tercampur rata, inkubasi selama 30 menit
pada suhu 37oC.
- Cuci 4× dengan diluents Wash Buffer (1×) dilanjutkan cuci 1×
dengan aquabidest Wash buffer (1×) = encerkan volume Wash
Buffer (20×) dengan 19 volume aquabidest contoh : larutkan 50ml
Wash Buffer (20×) kedalam aquabidest untuk membuat 1000ml
Wash Buffer (1×).
- Masukan 100 ul Enzyme Conjugate ke masing-masing well,
inkubasi 30 menit pada suhu 37oC.
- Cuci 4× dengan diluents Wash Buffer (1×) dilanjutkan cuci dengan
aquabidest.
- Masukan 100 ul TMB ke masing-masing well, goyang hingga
merata.
- Inkubasi 15 menit pada suhu 37oC.
- Tambahkan 100 ul Stop Solution (1N HCl) ke masing-masing well
- Goyang 30 detik agar merata
- Baca pada Elisa Reader dengan λ 450nm
b. Rubella
Dengan tes ELISA, HAI,Pasif HAatau tes LA, atau dengan adanya
IgM spesifik rubella yang mengindikasikan infeksi rubella telah terjadi.
Pemeriksaan Laboratorium yang dilakukan meliputi pemeriksaan Anti-
Rubella IgG dana IgM. Pemeriksaan Anti-rubella IgG dapat digunakan
untuk mendeteksi adanya kekebalan pada saat sebelum hamil. Jika
ternyata belum memiliki kekebalan, dianjurkan untuk divaksinasi.
Pemeriksaan Anti-rubella IgG dan IgM terutama sangat berguna
untuk diagnosis infeksi akut pada kehamilan < 18 minggu dan risiko
infeksi rubella bawaan.
A. PENGKAJIAN
1. Identitas klien
2. Keluhan utama: demam
a. Riwayat kesehatan
Suhu tubuh meningkat, malaise, sakit tenggorokan, mual dan muntah,
nyeri otot.
b. Riwayat kesehatan dahulu
- Klien sering berkontak langsung dengan binatang
- Klien sering mengkonsumsi daging setengah atang
- Klien pernah mendapatkan transfusi darah
3. Data psikologis
4. Data psikospiritual
5. Data social dan ekonomi
6. Pemeriksaan fisik
- Mata
o Nyeri
o ikterus
- Integument
o suka berkeringat malam
o suhu tubuh meningkat
o timbulnya rash pada kulit
- muskuloskletal
o nyeri
o kelemahan
- hepar
o hepatomegali
- abdomen
o Acites
o Diare
o mual dan muntah
B. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Anti-Toxoplasma IgM dan Anti-Toxoplasma IgG (untuk mendeteksi
infeksi Toxoplasma)
2. Anti-Rubella IgM dan Anti-Rubella IgG (Untuk mendeteksi infeksi
Rubella)
3. Anti-CMV IgM dan Anti-CMV IgG (untuk mendeteksi infeksi
Cytomegalovirus)
4. Anti-HSV2 IgM dan Anti-HSV2 IgG (untuk mendeteksi infeksi virus
Herpes)
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri b.d adanya proses infeksi / inflamasi.
Tujuan : mengurangi nyeri
Kriterian hasil :Klien melaporkan nyeri hilang dan terkontrol
Klien tampak rileks, Klien mampu tidur/istirahat dengan tepat.
2.15.1 Pengertian
Placentra previa
Solutio placenta
selutuh ostea.
placenta
placenta
placenta
- Placenta letak rendah/low lying placenta; bila pinggir
pembukaan
lengkap.
2.15.3 Etiologi
yang dikemukakan:
peradangan.
1) Anamneses
minggu/trimester III
intravaginal/rectal.
2) Inspeksi
3) Palpasi abdomen
4) Perdarahan.
1) Tiap perdarahan triwulan III yang lebih dari show harus segera
PERDARAHAN ANTEPARTUM
SBR terbentuk & mulai melebar serta menipis, serviks mulai membuka
Bila placenta servix tidak dapat diikuti oleh placenta yang melekat disitu,
tanpa terlepasnya sebagian palcenta dari dinding uterus
Sinus uterus robek/robekan sinus marginalis (karena terlepasan placenta dinding uterus)
Perdarahan
Cairan
5) Distres janin
7) Gangguan ADL
8) Cemas
Pemeriksaan Diagnostik:
11) Hasil USG: Tampak janin T/H letak lintang, kepala BPD= 83,5
Diagnosa Keperawatan:
terbatas.
Intervensi:
banyak minum.
c. Pertahankan hidrasi.
perdarahan.
a. Observasi tanda-tanda terjadinya shock hipolemik.
banyak minum.
c. Beri sarana penunjang atau mandikan klien bila klien masih harus bedrest
Hubungan rasa saling percaya terjalin antara perawat dan klien akan
membuat klien mudah mengungkapkan perasaannya dan mau bekerja
sama.
masalahnya.
kesembuhannya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Arif Mansjoer, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran edisi 3, jilid I. EGC :
Jakarta.
Carpenito, Lynda Juall. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. EGC : Jakarta
Purwaningsih,wahyu, Dkk. 2010. Asuhan Keperawatan Maternitas. Yogykarta.