Perundang-undangan K3 ialah salah satu alat kerja yang penting bagi para Ahli K3 (Keselamatan dan
Kesehatan Kerja) guna menerapkan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) di tempat kerja.
Penerapan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) memiliki beberapa dasar hukum pelaksanaan. Di
antaranya ialah Undang-Undang No 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, Permenaker No 5 Tahun
1996 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja dan Permenaker No 4 Tahun 1987
tentang Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3). Rangkuman dasar-dasar hukum
tersebut antara lain :
Setiap perusahaan yang memperkerjakan 100 (seratus) tenaga kerja atau lebih dan atau yang
mengandung potensi bahaya yang ditimbulkan oleh karakteristik proses atau bahan produksi yang dapat
mengakibatkan kecelakaan kerja seperti peledakan, kebakaran, pencemaran lingkungan dan penyakit
akibat kerja (PAK).
Permenaker No 4 Tahun 1987 Tentang Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) :
1. Tempat kerja dimana pengusaha atau pengurus memperkerjakan 100 (seratus) orang atau lebih.
2. Tempat kerja dimana pengusaha memperkerjakan kurang dari 100 (seratus) orang tetapi
menggunakan bahan, proses dan instalasi yang memiliki resiko besar akan terjadinya peledakan,
kebakaran, keracunan dan pencemaran radioaktif.
Undang-Undang ini mengatur dengan jelas tentang kewajiban pimpinan tempat kerja dan pekerja dalam
melaksanakan keselamatan kerja.
Undang-Undang ini mengatur mengenai segala hal yang berhubungan dengan ketenagakerjaan mulai
dari upah kerja, jam kerja, hak maternal, cuti sampai dengan keselamatan dan kesehatan kerja.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 11 Tahun 1979 tentang Keselamatan Kerja Pada
Pemurnian dan Pengolahan Minyak dan Gas Bumi
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan Atas Peredaran, Penyimpanan
dan Penggunaan Pestisida
Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1973 tentang Pengaturan dan Pengawasan Keselamatan
Kerja di Bidang Pertambangan
Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1993 tentang Penyakit Yang Timbul Akibat Hubungan
Kerja
Keselamatan Kesehatan Kerja pada setiap perusahaan sudah di dasari landasan hukum, maka setiap
kegiatan yang dilakukan oleh pekerja sudah termasuk dalam landasan hukum. Dan landasan hukum
yang digunakan dalam setiap perusahaan ialah Undang-undang 1970 nomor 1 tentang tenaga kerja
berhak mendapat perlindungan atas keselamatan dalam melakukan pekerjaan
Peraturan Pemerintah;
Peraturan Presiden;
Undang-undang ini bisa dibilang sebagai undang-undang induk yang banyak dijadikan pertimbangan
dasar hukum oleh peraturan perundangan lain di bawahnya. Undang-undang 1 tahun 1970
menyebutkan tentang:
BAB III
Pasal 3
4. memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu kebakaran atau kejadian-
kejadian lain yang berbahaya;
7. mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebar luasnya suhu, kelembaban, debu, kotoran,
asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar radiasi, suara dan getaran;
8. mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik fisik maupun psikis,
peracunan, infeksi dan penularan.
13. memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan, cara dan proses kerjanya;
14. mengamankan dan memperlancar pengangkutan orang, binatang, tanaman atau barang;
16. mengamankan dan memperlancar pekerjaan bongkar muat, perlakuan dan penyimpanan
barang;
18. menyesuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yang bahaya kecelakaannya
menjadi bertambah tinggi.
Peraturan Pemerintah ditetapkan oleh Presiden sebagai bentuk peraturan pelaksana dari undang-
undang terkait. Banyak peraturan pemerintah yang terkait dengan K3, salah satunya adalah Peraturan
Pemerintah Nomor 50 tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan
Kerja.
Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012
Pasal 5
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi perusahaan:
(3) Ketentuan mengenai tingkat potensi bahaya tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
b sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Pengusaha dalam menerapkan SMK3 wajib berpedoman pada Peraturan Pemerintah ini dan
ketentuan peraturan perundang-undangan serta dapat memperhatikan konvensi atau standar
internasional.
Salah satu Peraturan Presiden yang mengatur terkait dengan keselamatan kerja adalah Peraturan
Presiden Nomor 34 tahun 2014 tentang Pengesahan Convention Concerning The Promotional
Framework For Occupational Safety And Health/Convention 187, 2006 (Konvensi Mengenai Kerangka
Kerja Peningkatan Keselamatan Dan Kesehatan Kerja/Konvensi 187, 2006). Peraturan Presiden 34 tahun
2014 berisi:
Pasal 1
(1) Mengesahkan Convention Concerning the Promotional Framework for Occupational Safety and
Health/Convention 187, 2006 (Konvensi mengenai Kerangka Kerja Peningkatan Keselamatan dan
Kesehatan Kerja/Konvensi 187, 2006) yang telah diadopsi oleh Organisasi Ketenagakerjaan
Internasional dalam sidang ketenagakerjaan internasional ke-95 pada tanggal 15 Juni 2006 di Jenewa,
Swiss.
Salah satu contoh dasar hukum K3 berupa Perda Provinsi adalah Peraturan Gubernur Jakarta nomor 143
tahun 2016 tentang Manajemen Keselamatan Kebakaran Gedung Dan Manajemen Keselamatan
Kebakaran Lingkungan.
Pasal 5
(1) Pemilik, pengguna dan/ atau badan pengelola yang mengelola bangunan gedung yang mempunyai
potensi bahaya kebakaran ringan atau sedang I dengan jumlah penghuni paling sedikit 500 (lima ratus)
orang wajib membentuk MKKG.
(2) MKKG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang Fire Safety Manager yang
bertindak sebagai Kepala MKKG dan ditunjuk oleh pemilik, pengguna dan/atau badan pengelola
bangunan gedung.
(3) Fire Safety Manager sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus memiliki sertifikat kompetensi yang
diperoleh dari lembaga sertifikasi profesi dan terdaftar di Dinas.
Meskipun peraturan Menteri tidak ada dalam tingkatan peraturan perundangan yang sudah disebutkan
di atas, namun peraturan tersebut keberadaannya diatur dalam Pasal 8 ayat (1) UU No. 12/2011, yang
menegaskan:
“Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup
peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi
Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan
Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa
atau yang setingkat.”
Contoh Peraturan Menteri adalah Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 5 tahun 2018 yang mengatur
tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan Kerja:
Pasal 2
Pada dasarnya, setiap pekerja mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan atas Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (“K3”). Demikian yang disebut dalam Pasal 86 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”).
Lebih lanjut dikatakan bahwa untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan
produktivitas kerja yang optimal, diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja. Upaya
keselamatan dan kesehatan kerja dimaksudkan untuk memberikan jaminan keselamatan dan
meningkatkan derajat kesehatan para pekerja/buruh dengan cara pencegahan kecelakaan dan penyakit
akibat kerja, pengendalian bahaya di tempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan, dan rehabilitasi.[1]
Sebelum adanya UU Ketenagakerjaan, K3 telah diatur lebih dulu dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1970 tentang Keselamatan Kerja (“UU 1/1970”). Yang diatur oleh UU ini ialah keselamatan kerja
dalam segala tempat kerja.
"tempat kerja" ialah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap, di mana
tenaga kerja bekerja, atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan di mana
terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya sebagaimana diperinci dalam pasal 2;
termasuk tempat kerja ialah semua ruangan, lapangan, halaman dan sekelilingnya yang merupakan
bagian-bagian atau yang berhubungan dengan tempat kerja tersebut;
Tempat kerja yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) UU 1/1970 adalah tempat kerja di mana:
a. dibuat, dicoba, dipakai, atau dipergunakan mesin, pesawat, alat perkakas, peralatan atau
instalasi yang berbahaya, atau dapat menimbulkan kecelakaan, kebakaran, atau peledakan;
b. dibuat, diolah, dipakai, dipergunakan, diperdagangkan, diangkut, atau disimpan bahan atau
barang yang: dapat meledak, mudah terbakar, menggigit, beracun, menimbulkan infeksi,
bersuhu tinggi;
e. dilakukan usaha pertambangan dan pengolahan: emas, perak, logam atau bijih logam lainnya,
batu-batuan, gas, minyak atau mineral lainnya, baik di permukaan atau di dalam bumi, maupun
di dasar perairan; dilakukan pengangkutan barang, binatang atau manusia, baik di daratan,
melalui terowongan, di permukaan air, dalam air maupun di udara;
f. dikerjakan bongkar-muat barang muatan di kapal, perahu, dermaga, dok, stasiun atau gudang;
i. dilakukan pekerjaan di bawah tekanan udara atau suhu yang tinggi atau rendah;
j. dilakukan pekerjaan yang mengandung bahaya tertimbun tanah, kejatuhan, terkena pelantingan
benda, terjatuh atau terperosok, hanyut, atau terpelanting;
k. dilakukan pekerjaan dalam tangki, sumur atau lobang;
l. terdapat atau menyebar suhu, kelembaban, debu, kotoran, api, asap, uap, gas, hembusan angin,
cuaca, sinar atau radiasi, suara atau getaran;
n. dilakukan pemancaran, penyiaran atau penerimaan radio, radar, televisi atau telepon;
p. dibangkitkan, diubah, dikumpulkan, disimpan, dibagi-bagikan atau disalurkan listrik, gas, minyak
atau air;
q. diputar film, dipertunjukkan sandiwara atau diselenggarakan rekreasi lainnya yang memakai
peralatan, instalasi listrik atau mekanik.
Ini artinya, di tempat kerja dimana dilakukan kegiatan di atas, diperlukan aturan K3.
Lebih khusus lagi, aturan K3 dapat kita lihat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012
tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (“PP 50/2012”), yakni yang
tercantum dalam Pasal 5 PP 50/2012:
3. Ketentuan mengenai tingkat potensi bahaya tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
b sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Pengusaha dalam menerapkan SMK3 wajib berpedoman pada Peraturan Pemerintah ini dan
ketentuan peraturan perundang-undangan serta dapat memperhatikan konvensi atau standar
internasional.
Yang dimaksud dengan “tingkat potensi bahaya tinggi” adalah perusahaan yang memiliki potensi bahaya
yang dapat mengakibatkan kecelakaan yang merugikan jiwa manusia, terganggunya proses produksi dan
pencemaran lingkungan kerja.[2]
Menjawab pertanyaan Anda, jadi pada dasarnya, jika perusahaan jasa konsultasi hukum tersebut
mempekerjakan pekerja/buruh paling sedikit 100 (seratus) orang, maka perusahaan tersebut wajib
menerapkan SMK3 atau Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja di dalamnya. Namun dari
segi lingkungan kerja perusahaan jasa konsultasi hukum yang umumnya minim potensi bahaya yang
tinggi, maka perusahaan tersebut tidak wajib menerapkan SMK3 di dalamnya.
Menurut praktisi Hukum Ketenagakerjaan Umar Kasim, dalam hal tertentu tidak semua perusahaan
harus memiliki divisi K3 (divisi yang melakukan pengesahan yang lengkap untuk norma K3, seperti
pengesahan penggunaan listrik di tempat kerja, pengesahan penggunaan instalasi penyalur petir, dan
pemakaian instalasi proteksi kebakaran). Tapi secara umum, jika mengandung potensi bahaya tinggi,
maka perusahaan harus mempunyai divisi K3 yang mengelola hal-hal tersebut.
Bagi perusahaan jasa konsultasi hukum di suatu gedung, hanya wajib mematuhi standar kerja sesuai
ketentuan K3 yang bukan wilayahnya pengelola gedung. Maksudnya, pada prinsipnya jika sebuah kantor
konsultan hukum berada di suatu gedung, maka penerapan SMK3 nya melekat pada pengelola gedung.
Misalnya K3 penggunaan listrik, K3 elevator, K3 alat pemadam kebakaran, dan sebagainya. Semua itu
dikelola oleh manajemen gedung. Kantor konsultan hukum ini tidak perlu mengelola seluruh aspek K3
seperti adanya SMK3.