Anda di halaman 1dari 218

LANDASAN TEORI PENGAJARAN BAHASA INDONESIA

SEBAGAI BAHASA ASING

Achmad Tolla
Universitas Negeri Makassar

1. Pendahuluan
Sebelum memaparkan beberapa teori belajar bahasa asing/bahasa
kedua perlu lebih dahulu dikemukakan pengertian istilah yang digunakan
oleh BIPA menamai pengajaran bahasa Indonesia yang dipelajari oleh
orang asing. Istilah yang dimaksud adalah “Pengajaran Bahasa lndonesia
untuk Orang Asing”. Nama ini sudah dalam beberapa pertemuan ilmiah,
seperti di Bali (2001) dan sekarang ini di Makassar.
Nama itu tidak lazim digunakan dalam teori belajar bahasa
asing/bahasa kedua. Nama yang lazim adalah "Pengajaran Bahasa Indonesia
sebagai Bahasa Asing” sebagai bentuk analogi dari nama yang digunakan
dalam bahasa Inggris, "Teaching English as Foreign Language". Kalau
nama yang digunakn oleh BIPA diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris,
akan menjadi "Teaching Indonesian for the Foreigner Tolk” atau "Teaching
Indonesian for the Foreigner Speaker". Nama ini tidak menunjukkan status
yang jelas bahasa Indonesia, apakah sebagai bahasa asing atau bukan?
Tujuan koreksi ini ialah agar (1) status bahasa Indonesia bagi orang
asing jelas sebagai bahasa asing, dan (2) teori belajar bahasa asing/bahasa
kedua yang telah dikenal secara umum, termasuk yang dibahas di dalam
makalah ini, berlaku pula dalam pengajaran bahasa Indonesia sebagai
bahasa asing.
Teori belajar babasa yang dibahas secara singkat dalam makalah ini
terdiri atas dua bagian: (1) teori belajar bahasa yang diadaptasi dari teori
belajar pada umumnya, yaitu: Teori Behaviorisme dan Teori Nativisme
( Teori Interaksionisme Kognitif dan Teori lnteraksionisme Sosial tidak
dibahas di sini karena kurang berkontribusi terhadap pengajaran bahasa
asing/bahasa kedua), dan (2) teori belajar bahasa kedua/ bahasa asing: Teori
Monitor, Teori Pajanan Bahasa, Teori Wacana, Teori Akulturasi, Teori
Akomodasi, Teori Variabel Kompetensi, dan Teori Neurofungsional.

2. Teori Belajar bahasa


2.1 Teori Behaviorisme

1
Penulis berpandangan bahwa teori behaviorisme berkontribusi
terhadap teori belajar bahasa karena dia merupakan bagian dari teori
belajar. Teori ini dikembangkan oleh Skinner, seorang ahli psikologi,
alumnus Universitas Havard pada tahun 1931. Dalam dua bukunya masing-
masing: The Behavior of Organism (1938) dan Verbal Behevior (1957),
Skinner memaparkan dua macam proses belajar yang masing-masing
melibatkan tingkah laku yang berbeda yaitu (1) tingkah laku responden
(respondent behavior), dan tingkah laku operan (operant behavior).
Tingkah laku responden dihasilkan oleh stimulus tertentu. Stimulus ini akan
menyebabkan respons terjadi secara otomatis. Proses stimulus-responden
dalam membentuk tiagkah laku belajar mengikuti urutan secara sistematis,
yaitu stimulus baru digandengkan dengan stimulus yang sudah
menghasilkan respons yang selanjutnya akan muncul lagi stimulus baru
yang memancing respons, demikian seterusnya.
Tingkah laku operan oleh Skinner, dikategorikan sebagai tingkah
laku belajar pada umumnya. Tingklah laku operan tidak selamanya terjadi
karena adarryra stimulus, tetapi dia lahir dari organisme, misalnya,
berbicara, bekerja, bermain, dan berjalan tergolong tingkah laku operan.
Proses belajar tingkah laku operan terjadi di bawah kondisi tertentu.
Bila respons operan terjadi dan diikuti oleh penguatan, besar kemungkinan
akan ada respons susulan sebagai hasil penguatan yang berbentuk ganjaran.
Perihal kontribusi teori verbal behavior ini terhadap pemerolehan dan
belajar bahasa, Skinner mengemukakan bahwa kita semua yang hidup
dalam komunitas verbal adalah sekelompok orang sama-sama mempunyai
bahasa dan membentuk bahasa kita sendiri dengan memperkuat/mendorong
penggunaan bahasa yang benar dan mematahkan penggunaan yang salah
(dalam Yasin" 1991:134). Proses pembentukan bahasa itu" demikian Yasin,
pada umumnya dapat dilihat pada anak-anak yang sudah tentu
memperoleh/memperlajari bahasa dari bentuk yang sederhana tetapi terus
berlangsung sampai dewasa. Butir-butir leksikal yang tetah mereka
peroleh/pelajari digunakan secara bertahap, dari paling sederhana hingga
dalam sruktur yang kompleks.
Kontribusi teori ini dalam pengajaran bahasa asing/bahasa kedua
iatah
memberian pelueng seluas-luasnya kepada pembelajar untuk
membiasakan diri mengunakan atau menyimak bahasa target. Jadi, materi
pembelajaran bahasa asing yang disajikan dalam bahasa pertama

2
pembelajar, menurut teori ini, tidak akan membantu pembelajar untuk
mengembangkan kemampuan menggunakan bahasa target.

2. 2 Teori Nativisme
Teori belajar bahasa yang digagas oleh Chomsky (1975) ini berpijak
di atas asumsi adanya bawaan bahasa pada manusia. Berdasarkan
pengamatannya yang dilahirkan dengan saksama Chomsky meyakini bahwa
bawaan bahasa (language faculty) yang bersifat genetis, suatu komponen di
dalam otak manusia merupakan bentuk tertentu dari gramatika yang dapat
ditelusuri secara manusiawi. Oleh karena itu, ungkapan "bahasa adalah
cermin pikiran" menyiratkan makna yang lebih dalam dan signifikan.
Potensi bahasa ini merupakan hasil olahan intelegensi manusia yang
tercipta pada setiap individu dengan suatu proses yang terletak jauh di luar
jangkauan keinginan atau kesadaran (Chomsky, 1975 dalam yasin,
l99l:148).
Bawaan bahasa (language faculty) bukanlah materi bahasa yang siap
diujarkan, melainkan suatu potensi yang memerlukan pengorganisasian
dengan sebuah alat yang disebutnya language acquisition devise (LAD).
Alat ini diyakini dimiliki oleh setiap anak normal dan berfungsi hampir
sama pada tahap pemerolehan bahasa tingkat permulaan. Alat ini sangat
efektif dalam proses pemerolehan tetapi kurang efektif dalam pembelajaran
formal.
Melalui hipotesis bawaan, Chomsky menjelaskan bahwa pikiran
manusia dapat menyerap struktur dunia secara berurutan dari yang khusus
ke jenis-jenis tertentu, termasuk unsur-unsur bahasa.
Implikasi teori ini dalam pengajaran bahasa asing/bahasa kedua ialah
adanya keyakinan bahwa manusia (yang normal) dapat memperoleh atau
mempelajari bahasa mana pun (hipotesis universal). Adapun hasilnya
sangat bergantung kepada banyak faktor, termasuk motivasi, kesempatan,
dan kualitas bawaan bahasa secara genetis (intelegensi bahasa).

3. Teori Pemerolehan Bahasa Asing/Bahasa Kedua


3.1 Teori Monitor
Teori belajar bahasa asing/bahasa kedua dengan model monitor
merupakan jasa besar Krashen yang berkembang dengan cepat hingga saat
ini. Ada lima hipotesis dasar dalam teori monitor, yaitu (1) hipotesis
pemerolehan--belajar, (2) hipotesis urutan alamiah, (3) hipotesis monitor.
(4) hiptesis masukan, dan (5) hipotesis saringan afektif.
3
3.1.1 Hiipotesis Pemerolehan Belajar

Krashen (1983) berpendapat bahwa pembelajar bahasa kedua


mempunyai dua strategi dalam mengembangkan pengetahuan bahasa kedua,
yaitu melalui pemerolehan (acquisition) dan belajar (learning).
Pemerolehan, menurut Krahen (1982:10), adalah proses yang mirip,
kalau tidak identik, dengan cara anak mengembangkan kemampuannya
dalam bahasa pertama. Pemerolehan bahasa adalah proses yang tidak
disadari. Pembelajar bahasa tidak selamanya menyadari unsur-unsur bahasa
yang diperoleh tetapi dia menyadari unsur-unsur bahasa yang digunakan
dalam komunikasi. Hasil dari pemerolehan bahasa yang berbentuk
kompetensi itu pun tidak disadari. Demikian pula halnya, aturan bahasa atau
kaidah bahasa yang diperoleh juga tidak disadari. Dengan pengetahuan itu,
pembelajar mampu membedakan kalimat yang gramatikal dan yang tidak
gramatikal, ucapan yang benar dan ucapan yang salah, kata yang benar dan
kata yang salah, dan seterusnya. Namun, pembelajar tidak dapat
menjelaskan kaidah yang mana yang dilanggar dan bagaimana
menjelaskannya. Proses pemerolehan bahasa dengan cara demikian dapat
juga disebut belajar secara implisit belajar secara informal, atau belajar
secara alamiah.
Cara kedua untuk mengembangkan kompetensi bahasa asing/bahasa
kedua ialah dengan belajar (learning). Penggunaan istilah belajar mengacu
kepada pengetahuan bahasa kedua yang disadari dalam arti, mengetahui
kaidah dengan sadar dan mampu. menjelaskannya. Jadi, istilah belajar
berarti mengetahui tentang bahasa" mengetahui kaidah bahasa yang
digunakan oleh orang lain.
Kedua jenis pengetahuan bahasa kedua yang dimiliki dari jalur yang
berbeda itu, tidak hanya berbeda pemerolehannya, tetapi juga internalisasi
dan fungsinya berbeda. Demikian pula sistem bahasa kedua yang diperoleh
melalui jalur alamiah digunakan untuk memproduksi bahasa yang diujarkan
dan berfokus pada makna bukan pada struktur bahasa. Sebaliknya, sistem
bahasa yang dipelajari secara formal bertugas secara alamiah.

3.1.2 Hipotesis Urutan Alamiah


Hipotesis ini menyatakan bahwa unsur-unsur bahasa dan kaidah
bahasa diperoleh dalam urutan yang dapat diprediksi (Krashen, 1983:28).
Selanjutnya, Krashen mengaskan bahwa tidak setiap pemerolehan sekaligus
4
akan memperoelh struktur alat bahasa dalam urutan yang persis sama.
Krashen dalam hipotesis ini menyadari adanya struktur yang lebih cepat
diperoleh dan lainnya lebih lambat. Dalam bahasa Inggris misalnya, bentuk
penanda jamak (s) seperti pada books, pencils, dan yang semacamnya
cenderung lebih awal diperoleh daripada bentuk-bentuk tenses. Untuk anak-
anak penutur bahasa Indonesia lebih awal menguasai kata-kata vokalis,
seperti: mama, papa, ibu, nenek, apa, ada dan semacamnya cenderung lebih
awal diperoleh daripada kata-kata: ambil, untuk, tidak, simpan, dan
semacamnya.

3.1.3 Hiipotesis Manitor


Menurut Krashen (1983), hasil belajar secara sadar hanya dapat
digunakan untuk memonitor data bahasa yang diperoleh secara alamiah.
Bahkaq menurutBaraja (1990:53), kefasihan berbicara dalam bahasa kedua
(Inggris) tidak datang dari (1) pengetahuan formal tentang bahasa kedua
(Inggris), (2) aturan-aturan yang kita pelajari di kelas, dan (3) aturan-aturan
yang kita pelajari dari buku teks.
Monitor tidak selamanya digunakan ketika berbicara atau menulis.
Penggunaan monitor dapat berfungsi secara efektif apabila (1) pembelajar
mempunyai waktu untuk memikirkan dan menggunakan kaidah bahasa
yang telah dipelajari, (2) pembelajar memfokuskan perhatian kepada
bentuk. Untuk itra pembelajar harus benar-benar memberi perhatian kepada
bagaimana sesuatu dikatakan bukan sekadar memahami apa yang
dikatakan, dan (3) pembelajar mengetahui kaidah bahasa target dan mampu
menerapkannya dengan tepat ketika menggunakan bahasa target itu (Gass
dan Selinker, 1994:145).
Dilihat dari sudut ketepatan fungsinya penggunaan monitor dapat
dibedakan atas tiga cara.
1) Pembelajar menggunalon monitor secara berlebihan dengan
hanya memusatkan perhatian kepada aspek kebahasaan, sedangkan
aspek makna atau pesan diabaikan (over user).
2) Pembelajar memfokuskan perhatian kepada makna atau pesan
sehingga faktor penggunaan kaidah bahasa dengan tepat tidak
dihiraukan (under user).
3) Pembelajar memberi perhatian yang seimbang kepada, baik
penggunaan caída bahasa maupun makna atau pesan yang disampaikan
(optimal user).

5
3.1.4 Hipotesis Masukan
Krashen (1985:2) memberi perhatian khusus terhadap hipotesis
masukan dalam teori pemerolehan bahasa kedua dengan alasan bahwa
bahasa kedua diperoleh dengan memahami pesan (understanding messages)
atau dengan menerima masukan yang dapat dipahami (comprehensible
input). Krashen memaknai comprehensible input sebagai proses memahami
bahasa yang didengar atau dibaca sedikit di atas kemampuan pempebelajar
sebelumnya yang dirumuskan denga i + 1. Kalau masukan mempunyai
tingkat kesulitan i + l0 misalnya pembelajar tidak akan mampu
memahaminya.
Implikasi rumus comprehensible input ialah bahwa kemampuan
berbicara atau menulis dengan lancar dalam bahasa kedua sedikit demi
sedikit datang sendiri. Kefasihan berbicara menurut Krashen, bukanlah hasil
pembelajaran secara langsung, melainkan kemampuan itu dibangun di atas
kompetensi melalui pemahaman terhadap masukan. Apabila masukan
dipahami, dan masukan itu memadai, secara otomatis kaidah bahasa
terintegrasi di dalamnya.

3.1.5 Hipotesis Saringan Afektif


Hal yang perlu diketahui ialah bahwa tidak setiap orang yang
mempelajari bahasa kedua pasti berhasil. Penyebabnya ialah
comprehensible input tidak dapat diterima dengan baik. Dalam konteks ini,
menurut Krashen, faktor motiivasi, sikap, kepercayaan diri, dan keinginan
sangat penting. Keempat faktor yang disebut terakhir inilah yang
diasumsikan sebagai saringan afektif. Apabila saringan ini berbuka lebar,
maka input akan masuk dengan leluasa. Sebaliknya, apabila saringan itu
sempit atau tertutup, maka input sangat sulit masuk atau mungkin
samasekali tidak masuk (?).
Dalam teori monitor yang diuraikan di atas, menurut Krashen (1983),
terdapat lima faktor yang turut memberi kontribusi terhadap pemerolehan
bahasa.

1) Faktor kecerdasan (aptitude)


Krashen beralasan bahwa faktor kecerdasan hanya berhubungan
dengan jalur belajar. Kecerdasan pembelajar ini dapat menjadi indikator
prediksi bagaimana dia menguasai tata bahasa dan menggunakannya
sebagai alat monitor. Sebaliknya, faktor sikap (attitude) berhubungan
dengan jalur pemerolehan.
6
2) Faktor peran bahasa pertama
Krashen menolak anggapan bahwa bahasa pertama (L1)mengganggu
pemerolehan bahasa kedua. Bahkan, dia mengatakan bahwa penggunaan L1
merupakan strategi performansi (pembelajar mencari padanan-padanan
yang mungkin). Umumnya pembelajar bahasa kedua kembali ke L1-nya
apabila dia kurang menguasai kaidah L2.
Sebagai gantinya, dia berinisiatif berujar dengan menggunakan pola
L1-nya tetapi unsur leksikalnya diambil dari L2. Inilah yang disebut bahasa
antara (interlanguage).

3) Faktor kebiasaan (routines) dan pola (patterns)


Krashen dan Scarcella (1981) membedakan antara kebiasaan
(routines) dan pola (patterns) sebagai keseluruhan ujaran yang telah
dipelajari yang muncul kembali (dingat) dan diujarkan, jadi dapat
disetarakan dengan kalimat-kalimat ekspresi. Misalnya: kalimat pujian,
ucapan selamat, yang dinyatakan dengan struktur dan pilihan kata yang
sederhana. Ujaran seperti ini, menurut Ellis (1986) disebut formulaic
speech. Krashen menolak pandangan yang memasukkan unsur kebiasaan
dan pola sebagai unsur formulaic speech dan berkontribusi terhadap
pemerolehan bahasa. Menurut pandangan Krashen, formulaic speech
hanyalah membantu pembelajar untuk memperkaya kompetensi bahasanya;
pada tahap tertentu, pola itu berkurang dan akhirnya hilang.

4) Perbedaan individu
Krashen mengklaim bahwa pemerolehan mengikuti urutan alamiah.
Oleh karena itu, tidak ada perbedaan atau variasi setiap individu dalam
proses pemerolehan. Variasi itu terjadi hanya dalam kecepatan dan jumlah
masukan yang diperoleh sebagai akibat dari saringan afektif. Selain dalam
kecepatan dan jumtah masukan yang dapat bervariasi, juga dalam hal
performansi & kefasihan.

5) Faktor usia
Usia pembelajar termasuk variabel yang menentulan keberhasilan
dalarn proses pemerolehan bahasa kedua. Berbagai hasil pengarnatan
menunjukkan bahwa orang berusia muda cenderung lebih cepat
menyesuaikan diri dengan penutur asli, walaupun tidak dapat menyamai
penutur asli. Sebaliknya orang dewasa tidak dapat melakukannya.
7
Kelebihan orang berusia muda dalam belajar bahasa kedua terletak pada
kefasihan,sedangkan orang dewasa lebih cepat menguasai sistem bahasa
dalam arti kaidah bahasa. Sebagai catatan, masa pubertas merupakan masa-
masa suram bagi pembelajar bahasa kedua. Setelah masa pubertas berlalu,
saringan afektif berfungsi secara optimal.

3.2 Teori Pajanan Bahasa


Hal mendasar yang ditegaskan Bialystok (1990) dalam teorinya itu
ialah adanya lima macam kompetensi yang saling mengisi dalam belajar
bahasa bahasa kedua, yaitu : (1) input (language eksplouser), (2) other
knowledge, (3) explisit linguistic knowledge, (4) linguistic knowledge, dan
(5) output. Kelima rnacam pengetahuan ini, menurut Bialystok (1980),
merupakan tahapan yang hars dilalui pembelajar. Artinya, jika pembelajar
ingin berhasil dengan baih maka dia harus:
1. Memiliki pengalaman bahasa melalui pajanan (language
explouser) yang selanjutnya disebut input.
2. Memiliki pengalaman tentang dunia disebut other knowledge.
3. Memperoleh pajanan bahasa secara tidak dasar mengsilkan
implicit linguistic knowledge.
4. Memperoleh pembelajaran bahasa secara formal menghasilkan
explicit linguistic knowledge.
5. Memiliki kemampuan memberi respon dalam bahasa target
dengan dua cara, yaitu: (l) respon spontan, dan (2) respon tidak
spontan.
Variasi materi pembelajaran bahasa sangat diperlukan jika
menginginkan hasil yang optimal dalam pengajaran bahasa asing/bahasa
kedua. Ini merupakan realisasi teori belajar language expouser, Bialystok.
Tujuannya ialah agar pengetahuan pembelajar tidak terkungkung di dalam
bingkai babasa, tetapi harus mengenal dunia secara komprehensif.

3) Teori Akulturasi
Brown (1980:129) memaknai teori akulturasi sebagai proses adaptasi
terhadap budaya baru. Proses adaptasi ini sangat penting dalam
pemerolehan bahasa kedua karena dia merupakan salah satu alat ekspresi
budaya. Selain alat ekspresi budaya juga sebagai alat komunikasi sosial.
Berkenaan dengan itu, Schumann (1978c :34 ) mengajukan premis utama
teori akulturasi bahwa pemerolehan bahasa kedua hanyalah salah satu aspek

8
akulturasi dan tingkat akulfirasi seorang pembelajaar dalam target akan
menjadi alat kontrol terhadap bahasa target yang telah diperoleh.
Akulturasi pemerolehan bahasa kedua juga ditentukan oleh faklor
jarak ssioal dan kejiwaan antara pembelajar dan budaya bahasa target. Jauh
dekatnya jarak itu, mempengaruhi timbulnya :
I) Language shock, yang diakibatkan adanya pengalaman buruk
pembelajar dalam menggunakan bahasa target;
II) Culture shock, pembelajar merasa salah arah, stres, dan
ketaktsan, sebagai akibat dari perbedaan budaya pembelajar
dengar, masyarakat bahasa target; dan
III) Motivasi, dorongan kuat/lemah yang dimitih pembetajar untuk
mempelajari bahasa target.
Jadi, dapat disimputkan bahwa makin kuat kemampuan pembelajar
mengadaptasi bahasa target, makin besar kemungkinan berhasil
mernpelajari bahasa itu. Sebaliknya, language shock dan culture shock
menjadi penghambat dalam mempelajari bahasa target. Solusi yang tepat
adalah pengajaran bahasa diimbangi dengan studi lintas budaya agar
pembelajar dapat menempatkan secara proporsional antara budaya asli dan
impor yang terimplisit di dalam bahasa masing-masing.

4) Teori Akomodasi
Teori akomodasi ini diturunkan dari basil penelitian Giles ((1982)
tentang bahasa dalam masyarakat multibahasawan. Fokus pengamatan Giles
ialah bagaimana antarkelompok itu menggunakan bahasa sebagai refleksi
sosial dan tingkahpsikologis. Hasil penelitian inilah yang melahirkan teori
akomodasi dalam studi Sosioliinguistik. Karena teori ini memiliki
kesesuaian yang signifikan dengan teori Eilis (1986) memodifikasi dan
merekomendasikan menjadi salah satu bahasa asing/bahasa kedua.
Teori ini berasumsi bahwa dalam komunikasi dua arah atau interaksi
bersemuka, di satu sisi , pembicara berusaha menyesuaikan diri dengan
mitra tuturnya. Penyesuaian adalah modifikasi ujaran agar mudah diterima
dan dipahami oleh mitra tutur. Kebiasaan asli menyederhanakan batasanya
ketika berbicara dengan penutur asing adalah salah satu bentuk modifikasi.
Tujuannya ada dua yaitu: (l) mitra tutur pesan atau tujuann komunikasi
yang disampikan, dan dengan demikian terjadi komunikasi dua arah. dan
(2) bahasa yang termodifikasi akan menjadi masukan yang dapat dipahami
(comprehensible input) bagi mitra tutur. Demikian pula, kalau berbicara
dengan anak-anak, orang tua pada umunnya berusaha menyesuaikan
9
sehingga terjadi komunikasi dua arah. Penyesuaian ini disebut konvergensi
atau berkonvergensi.
Di sisi lain, penutur tidak menyesuaikan bahasanya dengan bahasa
mitra tutur. Walaupun, kadang-kadang menyulitkan mitra tutur, namun
strategi ini memaksa mitra untuk terus berusaha memahami bahasa penutur.
Dampak yang diharapkan adalah motivasi mitra tutur untuk terus
meningkatkan penguasaan bahasa target bagi penutur asing, dan bahasa
orang dewasa bagi anak-anak. Strategi demikian disebut divergensi atau
berdivergensi.
lstilah simplifikasi(simplification) dikenal dalam semua aliran atau
pendekatan pengajaran bahasa. Strategi penerapannya pun sama atau
hampir sama pada semua itu. Yang berbeda mungkin, hanya cara
penyajiannya. Dalam pengajaran asing/bahasa kedua simplifikasi atau
penyederhanaan materi pembelajaran dan ujaran guru atau tutor sangat
diperlukan pada tahap awal. Secara bertahap, simplikasi dapat ditinggalkan
apabila pembelajar telah mampu mengikuti pengguaan bahasa target secara
normal. Dengan demikian, teori akomodasi cocok diterapkan dalam
pengajaran asing/bahasa kedua.

3.5 Teori Wacana


Teori ini diturunkan dari teori penggunaan yang berlatarbelakang
kompetensi komunikatif yang dikembangkan oleh Hymes (1983). Hymes
berpandanganbahwa perkembangan bangsa pembelajar bergantung kepada
bagaimana dia menemukan makna bangsa yang potensial ketika
berpartisipasi dalam komunikasi. Proses demikian menurut Halliday (1975),
sama dengan proses pemerolehan bahasa pertama. Dalam kajiannya
tentang bagaimana seorang anak memperoleh bahasa ibunya, Halliday
melihat bahwa perkembangan kaidah bahasa anak tumbuh melalui fungsi
interpersonal bahasa yang realisasinya senantiasa berwujud wacana.
Melalui komunikasi dengan orang lain,anak berinteraksi dengan dunia luar
dan secara tidak sadar dia telah mengembangkan kaidah sruktur bahasa dan
penggunaannya.
Proses pemerolehan bahasa kedua mirip dengan proses pemerolehan
bahasa pertama. Dalam proses pemerolehan bahasa, pembelajar juga
mengembangkan kaidah bahasa dan penggunaan bahasa melalui
komunikasi interpersonal. Kondisi ini sesuai asumsi hipotesis urutan
alamiah yang mengklaim adanya kemiripan bahasa kedua dengan bahasa
pertama.
10
Verifikasi kemiripan pemerolehan bahasa kedua dengan bahasa
pertama telah dilakukan oleh Flarch (1978c) dengan kesimpulan sebagai
berikut :
I) Pemerolehan bahasa kedua mengikuti urutan alamiah dalam
pengembangan perangkat sintaksis.
II) Penutur asli sangat bijaksana ketika berinteraksi dengan
penutur asing sebagai upaya merundingkan makna atau pesan.
III) Strategi percakapan digunakan untuk merundingkan makna, di
samping berfungsi sebagai input yang berpengaruh tertadap
kecepatan pemerolehan bahasa kedua dengan berbagai cara:
 pembejar memperoleh tata bahasa L2 dalam urutan yang sama
tetapi hasilnya bergantung kepada frekuensi input yang
diterima;
 pembelajar memperoleh tata bahasa secara umum, kemudian
mengalisisnya menjadi bagian-bagran berdasarkan
substansinya;
 pembelajar terbantu (oleh tata bahasa) dalam membangun
struktur kalimat dan dari kalimat-kalimat menjadi wacana.
Hymes dan Flalliday adalah dua tokoh linguistik yang memberi
perhatian besar kepada pengajaran bahasa. Hymes mengembangkan
kompetensi komunikatif yang selanjutnya diterapkan di dalam pengajaran
bahasa, termasuk bahasa asing/bahasa kedua, lewat pendekatan
komunikatif. Pendekatan komunikatif mensyaratkan materi pengajaran
bahasa disajikan dengan tema-tema yang terpapar di atas wacana agar
komponen kebahasaan tidak terpotong-potong.
Halliday tertarik mengembangkan program pengajaran bahasa
termasuk bahasa asing/bahasa kedua dengan menekankan penerapan fungsi
dalam komunikasi. Ada tujuh fungsi bahasa yang diajukan oleh Halliday,
yaitu: instrumental, regulatori,representatif interpersonal, personal,
heuristik, dan imajinatf. Tidak satu pun fungsi-fungsi bahasa ini yang
dinyatakan secara diskrit, tetapi dengan wacana-wacana yang fungsional.

3.6 Teori Variabel Kompetensi


Ellis adalah salah seorang penggagas teori variabel kompetensi
(aslinya,Variabel Competensi Model). Model atau teori ini didasarkan pada
dua hal (1) proses penggunaan bahasa process),dan (2) produksi bahasa
(product). Oleh pencetusnya, teori ini dipandang efektif menjadi kerangka
acuan pemerolehan bahasa kedua.
11
Istilah proses (process) penggunaan bahasa dipahami dalam dua cara,
yaitu: (1) pengetahuan linguistik (kaidah bahasa), dan (2) ke mana pun
menerapkan kaidah itu di dalam penggunaan bahasa (procedures).
Widdowson (1984) mengidentifftasi pengetahuan kaidah bahasa sebagai
competence dan pengetahuan prosedur sebagai kemampuan menggunakan
kaidah bahasa dalarn membangun wacana (capacity). Pengetahuan kaidah
bahasa berfungsi mengawasi penggunaan kaidah di dalam wacana
(communicative competence), dan capacity adalah kemampuan
mengembangkan makna di dalam wacana dengan melacak potensi makna di
dalam bahasa melalui komunikasi secara terus-menerus. Produksi wacana
melalui proses ini umumnya berwujud: (1) wacana yang direncanakan
(planned discourse),dan (2) wacana yang tidak direncanakan (unplanned
discourse).
Sebagai kesimpulan teori ini, Ellis merekomendasikan bahwa:
l) Pengembangan wacana adalah hasil:
a. pemerolehan kaidah L2 yang baru melalui partisipasi dalam
komunikasi dengan berbagai macam wacana;
b. penggiatan kaidah L2 yang sifatnya inisiatif internal
(implisit), umumnya menghasilkan wacana yang tidak
direncanakan (unplanned discourse).
2) proses adalah suatu kapasitas penggunaan bahasa yang
menghasilkan wacana;
3) performansi L2 adalah hasil dari variabel (1) kaidah L2 yang tidak
dapat dianalisis yang mengasilkan wacana yang tidak
direncanakan dan (2) kaidah L2 yang dapat dianalisis yang
menhasilkan wacana yang direncanakan
4) pengetahuan sederhana merupakan variabel kaidah bahasa antara
(interlanguage rules).
Implikasi teori variabel kompetensi dalam pembelajaran bahasa
asing/bahasa kedua adalah penyeimbangan pembelajaran kaidah bahasa dan
penerapannya di dalam penggunaan bahasa. Dengan topik apapun, materi
pembelajaran harus disajikan dalarn wacana, baik wacana yang tidak
direncanakan unplaned disourse) maupun wacana yang direncanakan
planed discourse).

3.7 Teori Neurofungsional


Teori ini lebih dikenal dengan nama Lamandella's Neurofuctional
Theory. Lamandella (1981) membedakan dua tipe dasar pemerolehan
12
bahasa: (l) primary Language acquisition dan (2) secondary language
acquisition. Yang pertama berlaku pada anak usia 2-5 dalam pemerolehan
satu atau lebih bahasa sebagai pertamanya Yang kedua terbagi dua bagian,
yaitu: (a) belajar secara formal bahasa asing/bahasa kedua, dan (b)
pemerolehan bahasa kedua yang terjadi secara alamiah setelah anak berusia
di atas lima tahun.
Kedua macam pemerolehan bahasa itu mempunyai sistem
neurofungsional yang berbeda dan masing-masing mempunyai fungsi
hirarkis. Lamandella menunjukkan fungsi-fungsi hierarkhis itu sebagai
berikut.
1) Hirarkis komunikasi: bertanggungjawab menyimpan bahasa dan
simbol-simbol lain melalui komunikasi interpersonal.
2) Hirarkis kognitif: berfungsi mengontrol penggunaan bahasa dan
kegiatan pemrosesan informasi kognitif. Pola latihan-latihan
praktis dalam pembelajaran bahasa asing/bahasa kedua adalah
bagian dari hierarki kognitif.
Implikasi fungsi hierarkis komunikasi dalam pembelajaran bahasa
asing/bahasa akan berjalan secara efektif apabila pembelajar memperoleh
banyak waktu untuk berinteraksi dengan orang lain lebih baik dengan
penutur asli, dengan menggunakan bahasa target. Untuk merealisasikan
kesempatan itu, ruang kelas atau tempat belajar dikondisikan sebagai
tempat pemerolehan bahasa.
Adapun hierarkis kognitif berkonsekuensi pada pembelajaran kaidah
bahasa secara teratur agar dengan kaidah itu pembelajar dapat mengontrol
penggunaan bahasa. Dalam hal ini, teori neurofungsional sejalan dengan
teori monitor.

4. Penutup
Uraian singkat teori belajar bahasa yang direkomendasikan untuk
dijadikan landasan teori pengajaran bahasa lndonesia sebagai bahasa asing
ini betullah dapat mewakili semua variabel yang mungkin dijumpai di
lapangan. Pakar pengajaran bahasa yang berpengalaman akan sangat
bermakna sumbangannya apabila sernpat membaca tulisan ini dan
berkesempatan menunjukkan kelemahan-kelemahan yang menjadi
tanggung jawab penulis.
Ke depan, tantangan pengajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa
asing mungkin suatu waktu menjadi bahasa kedua di negera lain, tidak
13
mudah. Suatu saat pengajaran konvensional tidak lagi dianggap sebagai
satu-satunya jalan karena perangkat teknologi modern akan jauh lebih
efektif dengan biaya murah dan mudah diperoleh. Pada waktu itulah akan
terjadi modifikasi teori pengajaran, yang apabila tidak diantisipasi sejak
dini, kita akan semakin ketinggalanjauh. Mudah-mudahan yangdilakukan
ini, walaupun sangat sederhana, paling tidak memberi motivasi untuk
berbuat yang lebih baik.

BACAAN

Baradja M.F. 1990. Kapita Selekta Pengajaran Bahasa Malang: Penerbit


IKIP Malang.
Brown, H. 1980. Principle of Language Learning and Teaching.
Englewood Cliff Prentice Hall.
Chomsky, Noam. 1975. Reflections and Language. New York: Pantheon
Books.
Ellis, Rod 1984. Classroom Second Language Development. Oxford:
Pergamon.
Ellis, Rod. 1986. Understanding Second Language Acquisition Oxford:
Oxford University Press.
Gass, Susan M dan Selinker. 1994. Second Language Acquisition: An
Introduction Course. Hillsdale: Lawrence Erlbaum Associates,
Inc.
Giles, Fl dan J: Birne. 1982. An lntergroup Approach Second Language
Acquisition. Jurnal of Multilingual and Multicultural
Development, 3,17-40.
Hatctt, E. 1978a. Second Language Acquisition. Rowly, Mass: Newbury
House.
Hymes, Dell. 1983. On Communicative Competence. Philadelpia:
University of Pennsylvania Press.
Krashen, S.J. 1982. Principles and Practice in Second Language Aquisition.
Oxford: Pergamon.
Krashern Si. dan T. Tenell. 1983. The Natural Approach: Language
Acquisition in Classroom. Oxford: Pergamon.
Scarce R., dan C. Higa. 1981. Input, Negotiation and Age Diftences in
Second Language Acquisition .Language Learning,3 1, 409--
438.
14
Yasin, Anas. 1991. Gramatika Komunikatif: Sebuah Model. Disertasi tidak
diterbitkan. Program Pascasarjana IKIP Malang.

MODEL KOMPOTENSI KOMUNIKATIF


DI DALAM KELAS

Prof. Dr. Achmad Tolla, M.Pd.

A. PENDAHULUAN
Langkah awal yang dipandang paling signifikan bagi pembicaraan
kompetensi komnikatif adalah dengan meriviu kembali konsep awal
kompetensi komunikatif yang ditemukan dalam berbagai sumber atau pustaka.
Salah satu pandangan yang banyak mendapat respon dari kalangan ahli
pengajaran bahasa adalah pandangan yang dikemukakan oleh Canale dan
Swain (1980). Konsep kompetensi komunikatif dari Canale dan Swain itu
bukanlah hasil pemeikiran sesaat, melainkan suatu konsep yang lahir dari suatu
pengamatan melalui survei ekstensif tentang kompetensi ini. Salah satu
kesimpulan hasil survei itu ialah bahwa kompetensi komunikatif merupakan
landasan teoretis pendekatan komunikatif
Tujuan yang dikembangkan dalam pengajaran bahasa berdasarkan
pendekatan komunikatif itu adalah untuk mengembangkan kerangka teoretis
bagi rancangan dan evaluasi kurukulum berikutnya dalam program L2.

15
Kerangka yang diajukan dan diperbaiki selanjutnya oleh Canale dan Swaim
pantas mendapat perhatian karena kerangka kerja tersebut membawa bersama
berbagai pandangan kemampuan komunikasi yang kita pertimbangkan dan
menempatkan kemampuan linguistik, atau kemampuan tata-bahasa level
kalimat, ke dalam perspektif yang tepat dalam konsepsi kemampuan
komunikasi yang lebih besar. Empat komponen kemampuan komunikasi yang
diidentifikasi dalam kerangka ini adalah kemampuan tata-bahasa (grammar
competence), kemampuan sosiolinguistik (sociolinguistic competence),
kemampuan wacana (discourse competence), dan kemampuan strategi
(strategic competence). Seluruh bagian ini menguraikan mengenai sifat dari
tiap-tiap komponen ini dengan contoh-contoh dari pembelajaran dan pengajaran
bahasa. Keempat komponen ini menunjukkan kemampuan komunikasi sebagai
basis bagi rancangan kurikulum dan praktek ruang kelas.

A.PEMBAHASAN
1. Kemampuan Tata Bahasa (Gramatical Competence)
Kemampuan tata-bahasa adalah kemampuan linguistik, dalam
pengertian terbatas dari istilah tersebut seperti yang digunakan oleh Chomsky
dan kebanyakan ahli linguistik lainnya. Kemampuan tata-bahasa merupakan
bagian dari penampilan tata-bahasa yang tidak familiar bagi kita, yakni,
pembentukan tata-bahasa yang memberi fokus studi L2 selama berabad-abad.
Deskripsi tata-bahasa yang telah diikuti adalah berbeda. Tata-bahasa
tradisional, yang memberi aturan penggunaan yang tepat bagi bahasa tulisan,
memiliki fondasinya dalam kelas kata atau kategori makna yang terbentuk
untuk bahasa Yunani dan Latin. Tata-bahasa struktural berfokus pada bahasa
lisan dan memberi analisis bentuk-bentuk permukaan yang bisa diobservasi dari
16
pola-pola distribusinya. Tata-bahasa generatif transisional berkaitan dengan
hubungan antara penafsiran tata-bahasa terhadap kalimat dan struktur
permukaan sebagai cara menemukan kategori universal tata-bahasa dan sifat
proses kognitif manusiawi pada umumnya. Meskipun definisi-definisi berbeda-
beda, tujuan dalam setiap kasus adalah deskripsi tepat mengenai karakteristik
formal bahasa pada level kalimat. Tata-bahasa khusus menunjukkan upaya
untuk menggambarkan bagaimana elemen-elemen bahasa bergabung secara
sistematis. Dalam memutuskan apakah struktur tertentu muncul ataukah tidak
atau mungkin didasarkan pada frekuensi kejadian dari struktur ini dalam ujaran
dan tulisan dari pembicara asli degan praktek lama dalam penggunaan bahasa.
Data dan pertimbangan ini memberi ahli linguistik suatu basis untuk
menyatakan suatu aturan. Tidak ada tata-bahasa yang lengkap karena prilaku
bahasa bersifat komplek dan dewasa ini menghindari sistematisasi yang
memuaskan.
Hubungan antara setiap tata-bahasa dengan pembelajaran bahasa masih
merupakan masalah. Para pengguna bahasa yang berpengalaman bisa memberi
data kepada para ahli linguistik yang dibutuhkannya untuk merumuskan aturan-
aturan linguistik. Namun para pembicara asli yang sama tidak akan mampu
merumuskan aturan-aturan sendirian. Tidak satu pun dari para pembicara asli
menggunakan bahasa melalui pembelajaran pertama aturan-aturan tersebut.
Kenyataanya, aturan-aturan tersebut sangat kompleks sehingga para ahli
linguistik yang merumuskannya tidak bisa mengingat semuanya. Para ahli
linguistik berada di antara para pengkritk yang terang-terangan terhadap upaya-
upaya menerapkan diskripsi linguistik pada pengajaran bahasa kedua.
Komentar-komentar yang dibuat oleh Chomsky pada Komprensi Timurlaut
tahun 1966 mengenai pemngajaran bahasa asing bersifat legendaris.
17
Saya ingin menjelaskan sejak permulaan bahwa saya berpartisipasi dalam
komprensi ini bukan sebagai seorang ahli mengenai tiap aspek
pengajaran bahasa, malah sebagai seseorang yang perhatian utamanya
adalah dengan struktur bahasa dan sifat proses kognitif. Selanjutnya,
sejujurnya saya agak skeptis mengenai signifikansi bagi pengajaran
bahasa dengan pandangan dan pemahaman seperti itui seperti yang
diperoleh dalam linguistik dan psikologi. Tentu saja, guru bahasa akan
tetyap terimpormasikan mengenai kemajuan dan bahasan dalam bidang
ini dan upaya-upaya ahli linguistik dan psikologi untuk mendekati
masalah pengajaran bahasa dari pandangan berprinsip. Masih sulit
dipercaya bahwa linguistik atau pun psikologi mencapai level
pemahaman teoretis yang bisa memungkinkannya untuk mendukung
“teknologi” pengajaran bahasa. (Chomsky 1966:43).
Kemampuan tata-bahasa adalah penguasaan kode linguistik,
kemampuan untuk mengenali karakteristik leksikal, morfologis, sintaksis, dan
psikologis pada sebuah bahasa dan memanipulasi karakteristik-karakteristik ini
untuk membentuk kata dan kalimat. Kemampuan tata-bahasa tidak terkait
dengan giap teori tata-bahasa tunggal, dan tidak mengasumsikan kemampuan
untuk mengeksplisitkan aturan-aturan penggunaan. Seseorang menunjukkan
kemampuan tata-bahasa dengan menggunakan sebuah aturan, bukan dengan
menyatakan sebuah aturan.

2. Kemampuan Sosiolonguistik (Sosiolinguistics Competentence)


Kemampuan tata-bahasa merupakan domain penelitian linguistik yang tepat,
kemampuan sosiolinguitik merupakan bidang penelitian antar-disiplin yang
harus dilakukan dengan aturan-aturan sosial penggunaan bahasa. Kemampuan
18
sosiolinguistik memerlukan pemahaman kandungan sosial di mana bahasa
digunakan: peran-peran para peserta, informasi yang mereka miliki bersama,
dan fungsi interaksi. Hanya dalam konteks ini bisa dibuat pertimbangan
mengenai ketetapan ucapan tertentu dalam istilah-istilah yang diperluas oleh
Hymes. Meskipun kita harus merumusklan deskripsi memuaskan tentang kode
bahasa, namun kita jauh dari deskripsi yang tepat mengenai aturan-aturan
ketetapan sosiolinguistik. Namun pembicara asli mengetahui aturan-aturan ini
dan menggunakannya untuk berkomunikasi dengan berhasil dalam situasi yang
berbeda. Salah satu tujuan analisis antar-budaya adalah mengekspisitkan aturan-
aturan sebuah budaya dan hal ini akan membantu orang-orang non-asli untuk
memahami dan menyesuaikan lebih mudah terhadap pola-pola yang mereka
tidak kenal.
Pertimbangan ketetapan meliputi lebih dari sekedar mengetahui apa
yang akan dikatakan dalam suatu situasi dan bagaimana mengatakannya.
Pertimbangan ketetapan melibatkan kegiatan mengetahui ketika tetap diam.
Atau ketika tampak tidak tampak (incompetent). Wanita dari tiap generasi
mungkin ingat saat diperingati oleh ibunya agar tidak berbicara terlalu banyak
dalam kelas, tidak “pamer” kepada anak laki-laki, dan menasehatkan untuk
“bertindak diam” pada suatu kesempatan untuk memberi pria dalam kehidupan
mereka suatu perasaaan keunggulan. Kemunculan ketidakmampuan dalam hal
ini dianggap tepat. Yakni, sebuah tanda kemampuan sosiolinguistik. Demikian
pula, Saville-Troike (1982) mengutip contoh-contoh dari beberapa komunitas
bahasa di mana bercakap dengan cara yang canggung dan ragu-ragu adalah
tepat apabila seseorang yang bercakap dengan orang-orang dengan kedudukan
yang lebih tinggi. Ia selanjutnya menunjukkan bahwa pembicara bahasa kedua
mungkin ternasehati dengan baik dalam beberapa hal agar tidak bersuara
19
terlalu mirip pembicara asli karena ketakutan akan tampak menggangu
(intrusive) atau sebaliknya, tidak loyal (disloyal) dari perspektif komunitas L1
milik pembicara tersebut. Berlawanan dengan itu, terdapat kemampuan sosial-
buadaya tertentu yang dibuktikan oleh pembicara L2 yang mempertahankan
secara bijaksana daftar resmi atau gaya berbicara akademik dalam beberapa
situasi di mana daftar yang familiar atau tidak resmi mungkin tapat bagi
pembicara asli. Pembicara L2 ini menyadari bahwa bahasa yang “tepat” atau
“buku sekolah” sesuai dengan peran “orang asing” atau “orang luar negeri”
yang dilekatkan pada mereka oleh pembicara asli dan lebih mungkin
memajukan komunikasi yang berhasil.
Observasi serupa bisa dilakukan untuk perbedaan-perbedaan dalam
dialek. Kejadian taman bermain sekolah yang diceritakan oleh anak perempuan
saya yang berumur sepuluh tahun (yakni Julie) merupakan sebuah kasus yang
dibahas. Kelasnya sedang mempelajari sebuah teks kesenian bahasa yang
menggambarkan penggunaan ungkapan populer (slang) dan memberikan
contoh-contoh ungkapan populer Amerika – menyenangkan (groovy), naungan
(shades), banyak mengetahui (hep-cat), segarkan pikiranku (blow my mind),
pria mengagumkan (cool man). Julie merupakan peniru mahir dan suka
bermain peran. Selama istirahat, ia menghibur temannya dengan
‘jivin/akting’nya, menggunakan kata-kata yang telah ia pelajari dengan semua
mimik dan gerakan tubuh yang tepat. Teman kelasnya yang berkulit hitam
bereaksi dengan tegas: “Anda semua jangan bertindak seperti itu. Orang
Amerika berbicara seperti itu. Anda semua menjadi tetangga kami yang
berbicara seperti itu, anda semua ingin mati!”
Di antara orang dewasa, pesan seperti itu lebih halus. Pelewatan batas-
batas sosial atau linguistik bisa bertemu dari sesuatu dari sebuah senyuman
20
sampai penghindaran selanjutnya. Pengguna L2 yang berhasil memiliki
pengertian mengenai jarak yang tepat untuk dipertahankan dan cara-cara di
mana jarak itu diberi tanda. Pemahaman ini sangat penting pada teori
kemampuan sosiolinguistik.

3. Kemampuan Wacana (Discurse Competence)


Kemampuan wacana (discourse competence) tidak dilakukan dengan
penafsiran kalimat secara terpisah tetapi dengan serangkaian kalimat atau
ujaran untuk membentuk makna secara keseluruhan. Seperti halnya
kemampuan sosiolinguistik, kemampuan wacana merupakan subjek dari
penelitian antar-disiplin. Teori dan analisis wacana menggabungkan banyak
disiplin – misalnya, linguistik, kritik kesusastraan, psikologi, sosiologi, filsafat,
antropologi, media cetak dan siaran.
Pengenalan tema atau topik dari sebuah paragraf, bab, atau buku,
mendapat intisari percakapan telepon, puisi, iklan televisi, memo kantor, resep,
atau dokumen hukum memerlukan kemampuan wacana. Tampak dari contoh-
contoh sebelumnya bahwa pola pengaturan wacana berbeda-beda, tergantung
pada sifat teks dan konteks yang tampak. Akan tetapi, pola-pola benar-benar
ada dan berperan penting dalam penafsiran dan pernyataan makna, makna
global yang selalu lebih besar daripada jumlah kalimat atau ujaran individual
yang menyusun sebuah teks. Deskripsi berbagai struktur yang mendasari
wacana kadang-kadang disebut sebagai tata-bahasa wacana (discourse
grammar) (Morgan 1981).
Hubungan yang muncul antara kalimat-kalimat sering tidak eksplisit.
Yakni, mungkin tidak ada pernyataan jelas mengenai keterkaitan antara satu
dalil dengan dalil lainnya. Berdasarkan pengetahuan umum tentang dunia
21
nyata, serta pengenalan dengan konteks tertentu, pembaca/pendengar
menyimpulkan makna. Makna sebuah teks tergantung pada nilai, maksud,
tujuan dari pembaca/pendengar, serta nilai, maksud, tujuan dari
penulis/pembicara.
Contoh-contoh berikut ini mengilustrasikan peran kesimpulan dalam
penafsiran wacana:
1. Chico tiba-tiba berbalik dan berlari karena ia melihat polisi datang ke jalan
itu.
2. Chico melihat polisi datang ke jalan itu. Tiba-tiba ia berbalik dan berlari.
Dalam kalimat contoh (1), hubungan antara kedua proposisi, yakni
Chico tiba-tiba berbalik dan berlari dan ia melihat polisi adalah eksplisit.
Pengetahuan kita mengenai tata-bahasa dan makna konvensional dari kata
karena memungkinkan kita menghubungkan dua bagian kalimat tersebut.
Dalam wacana contoh (2), kemampuan tata-bahasa sendiri tidak akan memberi
makna. Penafsiran memerlukan kemampuan untuk membuat kesimpulan logis
dari situasi. Kita bisa menafsirkan dengan baik wacana untuk memaknai Chico
berbalik dan berlari karena ia melihat polisi datang ke jalan itu. Tetapi hal
demikian mengharuskan kita membuat asumsi-asumsi tertentu mengenai
Chico, polisi, jalan itu, dan lain-lain. Yakni, kita menciptakan skenario dalam
kepala kita. Penafsiran kita bisa dengan mudah tidak tidak berlaku oleh faktor-
faktor kontekstual yang tidak kita sadari. Untuk ilustrasi, kejadian yang
melibatkan Chico dan polisi mungkin disimpulkan sebagai berikut:
Chico melihat datang ke jalan itu. Tiba-tiba ia berbalik dan berlari. Bis
jalanan kelima baru saja melewatinya dan ia akan terlambat ke sekolah
lagi! Tidak ada waktu untuk bertanya mengenai Pedro. Mungkin besok.

22
Keterpaduan/koherensi teks adalah hubungan dari semua kalimat atau
ujaran dalam sebuah teks pada proposisi global tunggal. Pembentukan makna
global atau topik untuk bagian bacaan, percakapan, buku secara keseluruhan,
dan lain-lain merupakan bagian integral dari pernyataan maupun penafsiran dan
memungkinkan pemahaman kalimat atau ujaran individual yang termasuk
dalam sebuah teks. Hubungan lokal atau kaitan struktural antara kalimat-
kalimat individual memberi apa yang disebut sebagai kohesi/perpaduan
(cohesion), suatu jenis perpaduan tertentu. Beberapa contoh mengenai alat-alat
kepaduan resmi yang digunakan untuk menghubungkan bahasa dengan dirinya
adalah kata ganti, kata hubung, sinonim, elipsis/tanda pengganti, perbandingan,
dan struktur pararel. Identifikasi oleh Halliday dan Hasan (1976) mengenai
berbagai alat perpaduan yang digunakan dalam bahasa Inggris dikenal baik, dan
mulai memiliki pengaruh pada analisis teks serta pengajaran dan bahan
pengujian untuk Bahasa Inggris sebagai bahasa kedua [English as a second
language (ESL)].
Penelitian Kaplan (1966) mengenai retorika perbedaan merupakan
sebuah contoh analisis wacana yang diterapkan pada pengaturan paragraf dalam
konteks ESL. Diagramnya yang terkenal mengilustrasikan apa yang ia anggap
merupakan pola dominan wacana tulisan resmi dalam kelompok bahasa utama.
Diagram-diagram ini berupaya menggambarkan bagaimana pola-pola
pemikiran dibentuk dalam gaya tulisan resmi. Maksudnya adalah untk
menandai perbedaan-perbedaan dalam gaya pengaturan dan untuk membantu
pebelajar dalam penafsiran dan pembentukan teks L2. Agar meyakinkan,
model-model yang diajukan mungkin mencerminkan bias budaya sama
banyaknya dengan poembentukan paragraf dalam bahasa Inggris disajikan
sebagai garis lurus di mana pola-pola lain tampak menyimpang. Namun
23
demikian, diagram-diagram ini merupakan upaya penting untuk berhubungan
dengan makna di luar struktur level kalimat.

POLA-POLA DOMINAN DARI WACANA TULISAN RESMI DALAM


KELOMPOK BAHASA UTAMA

INGGRIS SEMIT TIMUR ROMA


RUSIA

Untuk ringkasnya, kemampuan wacana merupakan kemampuan untuk


menafsirkan serangkaian kalimat atau ujaran agar membentuk keseluruhan
bermakna dan untuk mencapai teks terpadu yang relevan dengan konteks
tertentu. Keberhasilan dalam kedua kasus tersebut tergantung pada
pengetahuan bersama oleh penulis/pembicara dan pembaca/pendengar -
pengetahuan mengenai dunia nyata, pengetahuan mengenai kode linguistik,
pengetahuan mengenai struktur wacana, dan pengetahuan mengenai lingkungan
sosial.

4. Kemampuan Strategi (Strategies Competence)


Tidak ada seseorang sebagai pembicara/pendengar ideal suatu bahasa,
seseorang yang mengetahui bahasa secara sempurna dan menggunakannya
secara tepat dalam interaksi-interaksi sosial. Tidak satu pun dari kita akan
mengetahui semua bahasa Prancis atau Jepang atau Spanyol atau Inggris. Kita

24
membuat penggunaan terbaik mengenai apa yang kita ketahui, konteks yang
kita alami, untuk menyalurkan pesan kita. Kemampuan strategi bersifat relatif,
apakah dalam bahasa asli ataukah bahasa kedua. Strategi-strategi yang kita
gunakan untuk mengimbangi pengetahuan tidak sempurna mengenai aturan-
aturan – atau faktor-faktor pembatas dalam aplikasinya seperti kelelahan,
kebingungan, dan ketiadaan perhatian – bisa ditandai sebagai kemampuan
strategi komponen keempat dari kemampuan komunikasi dalam kerangka
Canale. Kemampun strategi adalah analog dengan kebutuhan akan strategi
penyalinan (coping) atau bertahan hidup (survival) yang diidentifikasi dalam
Savignon (1972b). Apa yang anda lakukan ketika anda tidak berpikir mengenai
sebuah kata? Apakah cara-cara dalam mempertahankan saluran komunikasi
agar tetap terbuka pada saat anda berhenti sementara untuk mengumpulkan
pemikiran-pemikiran anda? Bagaimana anda membiarkan teman anda berbicara
ketika anda mengetahui ia tidak memahami kata tertentu? Atau ia berbicara
terlalu cepat? Bagaimana anda menyesuaikan diri ketika pesan anda salah-
dipahami? Para pembicara dewasa mengatasi secara rutin berbagai faktor yang
bisa menghasilkan kegagalan komunikasi. Strategi-strategi yang kita gunakan
untuk mempertahankan komunikasi meliputi parafrase (pengungkapan dengan
kata-kata sendiri), circumlocution (pemakaian kata-kata yang terlalu banyak),
pengulangan, keragu-raguan, penghindaran, dan penerkaan, serta pergeseran
dalam daftar (register) dan gaya. Dialog-dialog di bawah ini mengilustasikan
pentingnya kemampuan strategi. Contoh (1), (2), dan (3) adalah dialog-dialog
di mana saya merupakan peserta tidak langsung. Contoh (4a) dan (4b) dikutip
dari transkrip sebuah ujian kecakapan bahasa lisan, wawancara lisan Foreign
Service Institut (FSI) (Hinofotis, Lowe, dan Clifford 1981).

25
1. Operator telepon: saya mempunyai kumpulan panggilan dari Sandra.
Maukah anda menerima isinya?
Catherine: Maaf, ia tidak ada di sini sekarang.
Operator telepon: (menyesuaikan dengan suara anak pada jalur itu). Ini dari
Sandra. Maukah anda menerimanya?
Catherine: oh ..... ya.
3. Suami dan istri sedang kembali dari perjalanan belanja, dan ketika mereka
masuk ke garasi, mereka melewati sekelompok anak-anak tetangga yang
sedang bermain di halaman rumput. Memperhatikan satu anak yang ia tidak
berbicara dengannya sesaat, si istri bertanya kepada suaminya, “saya ingin
tahu berapa umur Davie sekarang?” Suaminya menjawab, “Saya tidak tahu.
Saya akan menanyakannya”.
Suami : (berteriak dari garasi). Berapa umurmu Davie?
Davie : baik (fine).
Suami : Lima (five)?
Davie : baik (fine).
Suami : Berapa umurmu?
Davie : Enam.
4. Suasananya adalah toko makanan New York yang ramai. Seorang
pengunjung Prancis baru saja memesan sebuah roti lapis (sandwich) keju
Swiss.
Pelayan : Jenis roti apa yang anda inginkan untuk sandwich anda,
gandum putih (white) seluruhnya,atau gandum hitam
(rye)?
Orang Prancis : (Wh)ye?.
Pelayan : Putih (White)?
26
Orang Porancis : (Wh)ye.
Pelayan : Putih (White)?
Orang Prancis : Gandum putih seluruhnya.
5. Kutipan (a) dan (b) berikut ini berasal dari wawancara FSI.
a) Penguji pembicara asli (NSE) : apakah yang dimaksud leher hitam
(redneck)?
Subyek bukan-asli (NNS) : um hm.
NSE 1 : Apa yang anda katakan? Pernahkah anda mendengar ungkapan
ini?
NNS : Tidak.
NSE 1 : Baiklah.
NNS : Um hm.
NSE 1 : Bagaimana, um ... Saya akan coba pertanyaan lain.
Penguji Pembicara Asli 2 : apakah yang dimaksud ...
NNS : baiklah! Saya ingin apakah ... (Ketawa umum).
NSE 1 : Oh, (ketawa) baiklah.
NSE 2 : Oh, (ketawa) baiklah, ah ...
NNS : Maukah anda menjelaskannya kepada saya?
NSE2 : Redneck adalah ... konservatif, ah biasanya anda
mendapatkan ... ah,
orang yang tinggal di wilayah Selatan sangat sering.
NNS : Um hm.
NSE 2 : Um, dari wilayah pedesaan ...
NSE 1 : Khususnya tidak toleran dengan ide-ide yang berbeda ...
Mm, mhm.

27
NSE 1 : Jadi anda merujuk kepada seseorang sebagai redneck, dan itu
sangat
menghina . Itu istilah yang menghina.
NNS : Um hm. Ah, apakah itu berhubungan dengan birokrasi (red
tape)?
NSE 1 : Tidak.
NNS : Tidak.
NSE 1 : Itu sangat menarik.
NNS : Mhm.
NSE 1 : Ah.
NNS : Oh, oh. Semuanya merah. (Ketawa umum).
b) Penguji Pembicara Asli : Apakah redneck itu?
Subyek Pembicara Asli : Oh wah, saya mendengar banyak mengenai kata
itu. (Ketawa) Um, um, Saya tidak tahu apa artinya. Itu adalah orang yang
tidak ... Bagaimana anda menggambarkannnya? ....orang yang bukan
seorang pembohong, bagaimanapun kata itu memiliki konotasi negatif.
Saya tidak pernah menggunakan kata itu.

Dalam contoh-contoh di atas, pembicara asli dan bukan-asli sama-sama


menggunakan strategi-strategi untuk mengatasi keterbatasan-keterbatasan
dalam pengetahuan mereka atau pembatasan-pembatasan dalam penggunaan
pengetahuan tersebut dalam keadaan tertentu. Kemampuan untuk
berkomunikasi dalam keterbatasan meliputi kemampuan untuk menyesuaikan
strategi-strategi komunikasi kita dengan berbagai kondisi antar-pribadi yang
berubah dan sering tak diharapkan. Pengungkapan ulang dengan kata-kata
sendiri, pengulangan, penekanan, mencari klarifikasi, pemakaian kata-kata
28
yang terlalu banyak, penghindaran (kata, struktur, topik), dan bahkan
modifikasi pesan (misalnya, keputusan orang Prancis untuk memesan sandwich
keju Swiss atas gandum putih keseluruhan ketimbang gandum hitam!)
merupakan strategi-strategi yang kita gunakan untuk memenuhi tuntunan
komunikasi yang berkelanjutan.
Dalam penggunaan L1 dan L2, penyesuaian ini mengharuskan
kitamengambil perspektif peserta lain dalam sebuah transaksi, berempati
dengan perpektif orang lain. Chambers Twentieth Century Dictionary
mendefinisikan empati sebagai “kekuatan masuk ke dalam kepribadian orang
lain dan mengalami pengalamannya secara imajinatif (penekanan
ditambahkan)”. Horwitz dan Horwitz (1977:110) menggambarkan relevansi
jenis imajinasi ini untuk pembelajaran bahasa: “Empati adalah perlu bagi
kemampuan komunikasi ... Bila diberikan daftar ‘lengkap’dari semua keahlian
linguistik dan sosiolinguistik yang tepat, maka seseorang tampa empati tidak
akan mampu mendefinisikan dari pespektif bersama (perspektif orang lain dan
perspektifnya sendiri) mengenai konteks antar-pribadi tertentu dan jenis bahasa
yang diperlukan”. Ringkasnya, penggunaan efektif dari strategi penyalinan
adalah penting bagi kemampuan komunikasi dalam semua konteks dan
membedakan komunikator yang sangat mampu dari orang-orang yang kurang
mampu. Kemampuan strategi merupakan komponen penting dalam kerangka
deskriptif untuk kemampuan komunikasi.

C. KESIMPULAN
Tujuan pendekatan komunikasi terhadap pengajaran bahasa adalah untuk
mengembangkan kerangka teoretis bagi rancangan dan evaluasi kurikulum
berikutnya dalam program L2. Ada empat komponen kemampuan komunikasi
29
yang diidentifikasi dalam kerangka ini, yaitu kemampuan tata-bahasa,
kemampuan sosiolinguistik, kemampuan wacana, dan kemampuan strategi.
Keempat kemampuan tersebut menunjukkan kemampuan komunikasi sebagai
basis rancangan kurikulum dan praktek ruang kelas.

Sumber Acuan:
Savignon, Sandra J. 1983. Communicative Competence: Theory and Practice.
London: Addison Wesley Publishing Company inc.

30
RAGAM BAHASA PERS

Dr. Achmad Tolla, M.Pd.

A. Sifat Ragam Bahasa Pers


Ragam bahasa pers atau ragam bahasa jurnalistik memiliki beberapa sifat yang
membedakannya dengan ragam bahasa yang lain. Rosihan Anwar (1976)
merinci sifat-sifat ragam bahasa pers Indonesia sebagaimana yang
dikemukakan kembali berikut ini.
1. Singkat
Istilah singkat dalam konteks komunikasi ada dua macam, yaitu (1)
waktu dengan acuan detik, menit, jam, dan (2) penggunaan bahasa dengan
acuan struktur kalimat dan kosakata. Penggunaan bahasa secara singkat
mengacu kepada jumlah kosakata yang digunakan dalam sutu kalimat. Makin
banyak kosakata dalam suatu kalimat yang digunakan mendeskripsikan sutu
ide, makin rumit kalimat itu dan makin sulit pula dipahami.
Perhatikan contoh berikut.
Akses kepada lembaga keuangan merupakan isu pokok dan klasik
bagi dunia usaha, sementara hal ini merupakan hal yang sangat
penting karena menyangkut pengembangan UKM sendiri (Fajar, 24
April 2004:2).
Bandingkan dengan:
Akses (keberadaan) lembaga keuangan merupakan isu pokok yang
sangat penting karena menyangkut pengembangan unit kegiatan
masyarakat (UKM).
2. Padat
Bahasa yang padat mengacu kepada penggunaan kalimat secara efektif.
Suatu ide dapat dikemukakan dengan kalimat singkat, tetapi pembaca
memahami ide itu sama atau hampir sama dengan pemahaman penulisnya.
Pemahaman demikian dapat dicapai apabila penggunaan kosakata dan struktur
kalimat tidak longgar. Artinya, jika suatu konsep dapat dipahami dengan hanya
satu kata atau istilah, tidak perlu diberi keterangan tambahan yang justru akan
membuat pembaca menjadi bosan. Demikian pula, jika dengan satu kalimat
suatu konsep dapat dipahami, maka kalimat itu tidak perlu diberi kalimat
penjelas.
Hal yang sama juga sering dijumpai dalam paragraf. Banyak (?)
paragraf dalam surat kabar hanya terdiri atas satu kalimat. Kalimat-kalimat
31
yang membangun paragraf itu sesungguhnya hanyalah kalimat penjelas dari
kalimat topik pada paragraf sebelumnya. Paragraf demikian lebih baik
digabung menajdi satu paragraf yang lebih lengkap.
Perhatikan contoh berikut.
Meski perlakuan pemain oilar Persik kediri Hamka ‘Riri’ Hamzah
terhadap istrinya, merupakan urusan intern rumah tangga, pihak keluarga
Feby berniat mengadukan persoalan ini ke Ketua Umum PSSI Nurdin Halid.
Mereka akan meminta kepada PSSI untuk menindak mantan pemain
nasional U-20 yang kini membela tim nasional senior Pra Piala Dunia 2006
itu sehubungan dengan perilaku buruk yang ditunjukkan belum lama ini.
Hamka masioh sempat bermain memperkuat Persik dalam pertandingan
melawan PSSI Semarasng, Minggu (25/4) (Fajar, 27-4-2004:15).
Paragraf kedua kutipan di atas masih bagian dari paragraf pertama.
Paragraf kedua itu adalah penjelasan atas frase …pihak keluarga Feby beniat
mengadukan persolan ini ke Ketua Umum PSSI Nurdin Halid. Jadi, kutipan di
atas seharusnya:
Meski perlakuan pemain pilar Persik kediri Hamka ‘Riri’ Hamzah
terhadap istrinya, merupakan urusan intern rumah tangga, pihak keluarga
Feby berniat mengadukan persoalan ini ke Ketua Umum PSSI Nurdin Halid.
Mereka akan meminta kepada PSSI untuk menindak mantan pemain nasional
U-20 yang kini membela tim nasional senior Pra Piala Dunia 2006 itu
sehubungan dengan perilaku buruk yang ditunjukkan belum lama ini. Hamka
masih sempat bermain memperkuat Persik dalam pertandingan melawan PSSI
Semarasng, Minggu (25/4) (Fajar, 27-4-2004:15).
Selain itu, ada beberapa kesalahan pada parafraf tersebu. Kesalahan
yang dimaksud menyakut ejaan, penggunaan kata/frase yang tidak diperlukan,
dan kaliat yang tidak padu dengan pokok pikiran. Dengan demikian, paragraf
itu akan menjadi benar dan komuinikatif jika direvisi seperti berikut ini.
Meskipun perlakuan pemain pilar Persik kediri, Hamka ‘Riri’
Hamzah, terhadap istrinya merupakan urusan intern rumah tangga, namun
pihak keluarga Feby berniat mengadukan persoalan ini kepada Ketua Umum
PSSI, Nurdin Halid. Mereka akan meminta PSSI untuk menindak mantan
pemain nasional U-20 yang kini membela tim nasional senior Pra Piala Dunia
2006 itu dengan tegas.
3. Sederhana
Istilah atau kata yang masih terasa asing atau belum dikenal secara
umum oleh masyarakat hendaknya dipertimbangkan oleh wartawan. Istilah atau
kata seperti itu boleh digunakan dengan tujuan mempropagandakan
32
penggunaannya, tetapi perlu ada catatan di dalam kurung tentang arti istilah
atau kata itu dan lebih sering digunakan. Selain itu, struktur kalimat juga harus
sederhana agar pembaca lebih mudah memahaminya.
Perhatikan contoh berikut.
Secara fantastis, Wiranto mengandaskan harapan Ketua Umum
Partai Golkar Akbar Tanjung pada konvensi partai yang
berlambang pohon beringin tersebut. Untuk bisa mengalahkan
Akbar yang dikenal licin bak belut, jelas mensyaratkan adanya
sebuah tim yang solit dengan kerja efektif (Fajar, 22-4-2004:1).
Bandingkan dengan:
Secara meyakinkan, Wiranto mematahkan harapan Ketua Partai
Golkar pada konvensi partai tersebut. Keberhasilan ini adalah
hasil kerja keras sebuah tim yang kuat dan bekerja secara efektif.
4. Lancar
Umumnya, orang yang berbicara dalam bahasa asing atau bahasa kedua
dengan fasih biasa diberi julukan berbicara dengan lancar. Julukan ini
dianggap kurang tepat diberikan kepada penulis. Penulis biasanya diberi
julukan pandai atau terampil menulis. Anggapan ini sudah menjadi
pengetahuan umum orang-orang awam. Akan tetapi, orang terpelajar memahmi
istilah itu sebagai keterampilan berbahasa, baik lisan maupun tulisan.
Menulis dengan lancar berarti mengemukakan ide, pendapat, konsep
atau yang lain secara runtutut, kronologis/antikronologis dengan tidak
melompat-lompat. Tulisan yang lancar akan memudahkan pembaca untuk
memahami pikiran penulis yang tersurat dan yang tersirat. Sebaiknya, tulisan
yang melompat-lompat, pembaca sulit memahaminya dengan baik karena
pikiran, ide, atau kosep di dalam tulisan itu tidak utuh kesinambungannya;
pemahaman pembaca terpotong-potong. Tulisan seperti itu, jika diujikan,
peserta ujian tidak akan mampu menjawab pertanyaan bacaan dengan optimal.
Perhatikan contoh berikut ini.
Sebelum memilih jadi politisi, H Muh Ramli Taba, dikenal sebagai
seorang pengacara dan konsultan hukum. Sekain itu, Ramli, demikian dia
biasa disapa, juga dikenal sebagai seorang aktivis yang gigih.
Perjanan politiknya dimulai pada tahun 1998 ketika gaung reformasi
mengemuka. Dirinya bahkan termasuk satu di antara sekian inisiator
terbentuknya Partai Amanat Nasional (PAN) di tingkat SulseL (Fajar, 27-4-
2004:29).

33
Kutipan di atas tergolong tulisan lancar. Namun, pada kutipan itu masih
terdapat kesalahan ejaan dan penataan paragraf yang sangat mengganggu.
Kutipan itu akan menjadi lebih baik jika direvisi seperti berikut ini.
Sebelum memilih jadi politisi, H. Muh. Ramli Taba dikenal sebagai
seorang pengacara dan konsultan hukum. Selain itu, Ramli, demikian dia biasa
disapa, juga dikenal sebagai seorang aktivis yang gigih. Perjanan politiknya
dimulai pada tahun 1998, ketika gaung reformasi mengemuka. Dirinya,
bahkan, termasuk satu di antara sekian inisiator terbentuknya Partai Amanat
Nasional (PAN) di tingkat Sulawesi Selatan.
5. Jelas
Ada beberapa faktor kebahasaan yang biasanya menyebabkan suatu
tulisan kurang atau tidak jelas.
1. Paragraf yang tidak memiliki kalimat topik. Paragraf seperti ini kalimat
topiknya tersirat di dalam semua kalimat yang membangun paragraf
itu. Karya sastra berupa cerpen, novel, atau roman banyak memiliki
paragraf yang tidak memiliki kalimat topik. Wartawan diharapkan
menghindari paragraf seperti itu.
2. Paragraf yang memiliki kalimat topik, tetapi kalimat topik itu tidak
dikembangkan dengan kalimat-kalimat penjelas dan tidak didukung ide
yang dikemukakan pada paragraf berikutnya. Perhatikan contoh
berikut.
Bupati Jeneponto Rajamilo patut berbangga. Di tengah kesibukannya
bertarung memenangkan konvensi calon presiden di Jakarta 20 April nanti,
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar Akbar Tanjung
hadir menjadi saksi pada pesta putri keempat Rajamilo, Zainatunnahar.
Dengan 28 pengurus Dewan Pimpinan Daerah (DPD) kabupaten/kota,
Golkar Sulsel cukup diperhitungkan di Jakarta. Dalam konvensi suara
Beringin di sini terbagi antara Wiranto, Akbar, Surya Palloh, Bahkan Aburizal
Bakri (Tribun Timur, 18-4-2004:1).
Ketidakjelasan kutipan di atas terletak pada kelemahan penulis dalam
menerapkan prinsip pengembangan kalimat topik, penggunaan ejaan, dan
kesinambungan ide antarparagraf. Kutipan itu akan menjadi jelas jika ditata
seperti berikut ini.

34
Bupati Jeneponto, Rajamilo, patut berbangga. Di tengah
kesibukannya bertarung memenangkan konvensi calon presiden di Jakarta, 20
April nanti, dia masih sempat melangsungkan pernikahan putrinya yang
keempat, Zainatunnahar. Pada pesta pernikahan ini, Ketua Umum Dewan
Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar Akbar Tanjung hadir menjadi saksi..
Dalam konvensi itu, ada 28 Pengurus Dewan Pimpinan
Daerah (DPD) kabupaten/kota Partai Golkar Sulsel cukup
diperhitungkan di Jakarta. Dalam konvensi itu, suara beringin
akan terbagi kepada Wiranto, Akbar, Surya Palloh, dan Aburizal
Bakri.
3. Paragraf yang dibangun di atas kalimat-kalimat yang di dalamnya ada
kata bermakna konotasi atau istilah/kata-kata baru yang belum umum
penggunaannya. Perhatikan contoh berikut.
Rekapitulasi perolehan suara tingkat provinbsi terancam melenceng
dari jadwal yang sudah ditetapkan, yakni Sabtu mendatang.
Penyebabnya, KPU Sulsel mengakui kesulitan mencari lokasi untuk
menggelar rekap (Fajar, 22-4-2004:29).
Masyarakat awam kesulitan memahami kutipan di atas. Sumber
kesulitan itu adalah penggunaan istilah/kata-kata yang dicetak tebal itu. Kutipan
itu dapat disederhanakan sehingga menjadi lebih jelas dengan cara mengganti
istilah/kata-kata tersebut. Dengan demikian revisinya seperti berikut.
Ringkasan penghitungan perolehan suara tingkat provinbsi
terancam berubah dari jadwal yang sudah ditetapkan, yakni Sabtu
mendatang. Penyebabnya, KPU Sulsel mengakui kesulitan mencari
tempat untuk menggelar kegiatan itu.
Hasil revisi ini lebih mudah dan lebih jelas untuk semua pembaca dari
tingkat pendidikan apa pun.
6. Lugas
Lugas berarti hal yang mengenai pokok-pokok saja. Jika pengertian ini
diterapkan ke dalam tulisan, maka suatu tulisan harus mengungkapkan hal-hal
yang pokok saja. Prinsip ini sangat penting diperhatikan oleh wartawan dalam
melaporkan beritanya. Peranan bahasa sangat besar dalam mengungkapkan
berita apa adanya. Pilihan kata, struktur kalimat, dan gaya bahasa menjadi
media utama untuk mengantarkan pembaca pada masalah inti yang
dikemukakan oleh penulis. Jika bahasa cukup jelas, maka pembaca akan tiba
pada pemahaman yang sama dengan pemahaman penulis sendiri. Contoh
berikut sebagai ilustrasi berita yang tidak jelas.
35
Ketika itu, sekitar pukul 09.30 pagi, sebagaimana kebiasaan penduduk,
mereka sedang menikmati sarapan pagi sambil mengisap rokok di rumah
masing-masing. Tidak pernah terbetik dalam pikiran mereka bahwa pagi itulah
yang menjadi pagi kehidupan terakhir bagi mereka. Tiba-tiba terdengar
ledakan dahsyad yang diikuti oleh gulungan tanah di atas perkampungan
mereka. Bersamaan dengan itu, di bekas perkampungan itu sudah tidak ada
kehidupan lagi.
Paragraf di atas merupakan contoh berita yang tidak lugas. Paragraf itu
akan menjadi lugas jika direvisi seperti berikut ini.
Sekitar pukul 09.30 pagi, ketika penduduk sedang menikmati sarapan
pagi, tiba-tiba terdengar ledakan dahsyad yang diikuti oleh gulungan tanah di
atas perkampungan mereka. Bersamaan dengan itu, di bekas perkampungan
itu sudah tidak ada kehidupan lagi.
7. Menarik
Berita yang menarik tergantung pada paling tidak dua hal, yaitu (1)
materi berita, dan (2) gaya bahasa berita. Materi berita yang hangat umumnya
menarik perhatian pembaca. Bahkan, berita yang kurang hangat pun dapat
menjadi menarik perhatian pembaca apabila diungkapkan dengan gaya bahasa
yang tepat dan lancar. Gaya bahasa yang dimaksud di sini bukan gaya bahasa
seperti dalam karya sastra yang cenderung mengungkapkan penglaman
imajinatif penulis, melainkan gaya bahasa populer yang dapat dipahami oleh
semua lapisan masyarakat pembaca berita koran atau majalah.
Salah satu cara yang efektif untuk menjadikan bahasa jurnalistik
menarik ialah dengan denggunakan pola kalimat aktif dan kalimat pasif secara
bervariasi. Penggunaan kata-kata bersinonim di dalam kalimat sama pentingnya
dengan variasi pola kalimat. Perhatikan contoh berikut.
Pendistribusian kursi dilakukan berdasarkan bilangan pembagi
pemilih BPP) maupun berdasarkan peringkat sisa suaras. Sekedar diketahui,
BPP adalah jumlah total suara sah yang diperoleh seluruh parpol di suatu
daerah pemilihan dibagi jatah kursi yang tersedia.
PDIP pimpinan Megawati Soekarnoputri untuk sementara meraup
kursi terbanyak, yaitu 44 kursi. Partai Golkar pimpinan Akbar Tanjung
membayangi dengan 31 kursi. Posisi sementara ketiga diduduki oleh PKB
pimpinan Alwi Sihab dengan 24 suara (Fajar, 27-4-2004:1).
Kutipan di atas memperlihatkan variasi penggunaan pola kalimat pasif
dan aktif yang seimbang. Variasi penggunaan kalimat itu yang menyebabkan
beritta tersebut terasa hidup.
8. Dinamis
36
Tidak satu pun ragam bahasa yang memiliki sifat dinamis seperti yang
dimiliki ragam bahasa pers. Ragam bahasa pers setiap saat berkembang tanpa
dibatasi oleh prinsip-prinsip disiplin ilmu, teknologi, seni, dan sosial. Ragam
bahasa pers merupakan perpaduan semua perbedaharaan bahasa yang dimiliki
oleh suatu bahasa. Dengan demikian, pers adalah profesi yang tidak pernah
berpihak kepada salah satu isme, ideologi, agama, politik, sosial dan
sebagainya, tetapi pers menggunakan semua isme itu sebagai lahan untuk
memperoleh perbedaharaan bahasa bagi kepentingan pemberitaan. Itulah
sebabnya, pers percaya bahwa bahasa adalah jembatan dunia.
Sifat dinamis ragam bahasa pers secara langsung telah memberikan
sumbangan yang amat besar bagi perkembangan bahasa, dalam hal ini bahasa
Indonesia. Bahkan, wadah pemasyarakatan bahasa Indonesia yang paling luas
dan efektif adalah ragam bahasa pers. Sejak tahun 1980-an, pemerintah Orde
Baru mencanangkan program Koran Masuk Desa. Tujuan utamanya ialah
untuk mengentaskan “tiga-buta”, yaitu buta pengetahuan dasar, buta aksara,
dan buta bahasa Indonesia. Sejak itu pula, jumlah penduduk Indonesia yang
terjebak dalam kondisi tiga-buta secara berangsur-angsur berkurang dari tahun
ke tahun.

B. Ciri-ciri Ragam Bahasa Pers


Sejalan dengan uraian sifat-sifat ragama bahasa pers yang dikemukakan
di atas, ciri-ciri ragam bahasa pers pun tampaknya lebih mementingkan pihak
pembaca daripada mempertahankan tradisi sendiri sebagai sebuah profersi.
Berikut dikemukakan butir-butir ciri ragam bahasa pers yang juga diilhami oleh
Rosihan Anwar (1976).
(1) Tingkat kesulitan kata/istilah yang digunakan disesuaikan dengan tingkat
pengetahuan dan keterampilan berbahasa pembaca
(2) Penggunaan kata-kata kompleks disesuaikan dengan pengetahuan bahasa
pembaca
(3) Struktur kalimat tidak terlalu kompleks; tidak lebih dari tiga kalimat
tunggal yang digabung menjadi satu
(4) Penalaran kalimat bersifat kronologis
(5) Kalimat taksa (ambigu) dihindari
(6) Informasi yang diwadahi kalimat-kalimat itu menarik perhatian pembaca
37
C. Judul Berita
(1) Judul bukan kalimat, melinkan proposisi
(2) Judul terdiri atas kata, istilah berupa kata kunci yang mencerminkan isi
tulisan
(3) Judul bukan singkatan atau akronim yang belum lazim
(4) Judul memiliki daya pikat yang tinggi sehingga pembaca
tertarik.

D.. Gejala Kerancuan Kalimat


(1) Pernyataan yang tidak mengandung unsur subjek:
a. Dengan demikian akan memudahkan para mahasiswa untuk
menyelesaikan studinya.
b. Oleh karena itu disebut sebagai biang kekerasan dan kerusuhan di
Poso.
Seharusnya:
a. Dengan demikian, bantuan itu akan memudahkan para mahasiswa
untuk menyelesaikan studinya.
b. Oleh karena itu, ia disebut sebagai biang kekerasan dan kerusuhan di
Poso.
(2) Pernyataan yang tidak mengandung unsur predikat:
a. Di samping itu pula Jakarta yang merupakan pusat pemerintahan di
mana seluruh lembaga-lembaga pemerintah berkantor.
b. Tertinggi di rayon C sedang yang terendah di rayon A.
Seharusnya:
a. Di samping itu, Jakarta merupakan pusat pemerintahan tempat semua
lembaga pemerintah berkantor.
b. Prestasi itu tertinggi di rayon C, tetapi terendah di rayon A.
38
(3) Pernyataan berupa anak kalimat pengganti predikat:
a. Sehingga keyakinan tersebut cukup kuat untuk tetap mendorongnya
berjuang terus.
b. Sebab tahap seleksi penerimaan polisi telah rampung.
Seharusnya:
a. Kita perlu memberi keyakinan hidup sehingga keyakinan tersebut
cukup kuat untuk mendorongnya berjuang terus.
b. Latihan fisik sudah dapat direncanakan sebab tahap seleksi
penerimaan polisi telah rampung.
Gejala ini ditandai dengan penggunaan kata hubung pada
awal kalimat, seperti:
sehingga, sebab, karena, agar, supaya, bila, apabila,
meskipun, walaupun.
(4) Pernyataan yang hanya berupa keterangan penjelas atau keterangan
tambahan:
a. Karena kondisi lahannya yang berkadar kapur tinggi sehingga
kurang baik untuk pertanian.
b. Terutama terkonsentrasi pada muara Sungai Jeneberang.
Seharusnya:
a. Daerah itu tidak dapat dikembangkan menjadi daerah pertanian
karena kondisi lahannya berkadar kapur tinggi.
b. Beberapa hari terakhir pengerukan terutama terkonsentrasi pada
muara Sungai Jeneberang.
(5) Pernyataan yang berupa frase preposisi:
a. Bagi seorang wartawan, sebagai pedoman penulisan berita.
b. Mengenai jumlah calon anggota DPD yang terindikasi sebagai
anggota partai.
Seharusnya:
39
a. Kode etik sangat berguna bagi seorang wartawan sebagai pedoman
penulisan
berita.
b. Rapat itu membicarakan mengenai jumlah calon anggota DPD yang
terindikasi sebagai anggota partai.
(6) Pernyataan yang dimulai dengan kata hubung setara:
a. Dan unit-unit kecil tersebut lebih muda untuk dipetikemaskan.
b. Atau pada waktu bertutur dengan ragam bahasa formal, tiba-tiba
diselipkannya ragam bahasa informal.
Seharusnya:
a. Unit-unit kecil tersebut lebih mudah dipetikemaskan.
b. (Pada) waktu bertutur dengan ragam bahasa formal, tiba-tiba
diselipkannya ragam bahasa informal.

E. Penerapan Kaidah Ejaan yang Disempurnakan


1) penulisan huruf
(1) huruf kapital
(2) huruf miring
2) penulisan kata
(1) kata dasar
(2) kata bentukan
(3) kata gabung
(4) kata serapan
(5) kata asing
3) pemenggalan kata
(1) kata dasar
(2) kata bentukan
4) penulisan lambang bilangan
40
(1) ukuran
(2) takaran
(3) timbangan
(4) simbol ilmiah
5) penulisan singkatan
(1) singkatan
(2) akronim
6) penggunaan dan penulisan tanda baca:
(1) tanda baca perhentian mutlak (titik, tanda tanya, tanda seru)
(2) tanda koma (,)
(3) tanda titik dua (:)
(4) tanda titik koma (;)
(5) tanda petik satu (‘)
(6) tanda petik dua (“)
(7) tanda penyingkat (‘)
(8) tanda garis miring (/)
(9) tanda hubung (-)
(10) tanda pisah (--)
(11) tanda kurung ( )

Singkatan dan Akronim


Singkatan terdiri atas huruf atau deretan huruf yang umumnya diambil dari
huruf awal kata.
Contoh:
1) Gelar kesarjanaan:
Drs. : Drs. Fardilahuddin
M.A. : Usman Jafar, M.A.
M.Sc. : Kumalasari, M.Sc.
41
Ph.D. : Jamaluddin, M.A., Ph.D.
S.H. : Irhanuddin, S.H.
M.B.A. : Fajaruddin, M.B.A.
M.T. : Sirajuddin, M.T.
M.Sn. : Novita, M.Sn.
dst.
2) Lembaga pemerintah: MPR, DPR, MA, DPA, dst.
3) Singkatan umum:
a.n. : atas nama (bukan an., An.)
u.b. : untuk beliau (bukan ub., Ub.)
dll. : dan lain-lain
d.a. : dengan alamat (bukan d/a)
Jl., Jln. : Jalan Cenderawasih 34 (Jln. Cenderawasih No. 34)
sda. : sama dengan di atas
dst.
Akronim adalah kependekan yang berupa gabungan huruf atau suku
kata atau bagian lain yang ditulis atau dilafalkan sebagai kata yang
wajar.
Andal : analisis dampak lingkungan
Ampera : Amanat Penderitaan Rakyat
Armed : Artileri Medan
Bakopda : Badan Koordinasi Pembangunan Daerah
Babinkumnas Badan Pembinaan Hukum Nasional

42
PRAGMATIK SEBAGAI ANCANGAN ANALISIS

Dr. Achmad Tolla, M. Pd.

a. Latar Belakang Sejarah Pragmatik

Istilah pragmatik digunakan dalam linguistik sejak tahun 1938 yaitu


ketika Charles Morris mengembangkan linguistik semiotik. Charles Morris
mengemukakan bahwa dalam semiotik dibedakan tiga cabang kajian yaitu, (1)
semantik yang mempelajari hubungan formal antara tanda yang satu dengan
yang lain, (2) semantik yang, memperlajari hubungan antara tanda dengan
obyek yang ditandai, dan (3) pragmatics yang mempelajari hubungan antara
tanda dengan pemakaiannya. Dalam kajian semiotik ini, bahasa juga termasuk
dalam sistemtanda. Pengertian semantik yang dikemukakan oleh Charles
Morris ini menyarankan cakupan kajian yang luas. Dalam pengertian dengan
teori semantik behaviorisme. Dikatakannya bahwa untuk memahami pengertian
43
dan ciri-ciri pragmatik secarra mendalam perlu diketahui bahwa pragmatik
mengkaji fenomena-fenomena psikologi, biologi, dan sosiologi bahasa. Dengan
demikian, linguistik terapan yang kita kenal sekarang ini yakni psikolinguistik,
sosiolinguistik, dan neurolinguistik termasuk dalam kajian pragmatik.
Pengertian pragmatik yang dikemukakan oleh Charles Morris ini merupakan
dasar bagi pengembangan pragmatik lebih lanjut oleh ahli-ahli ilmu bahasa
yang lain (Syafi’ie, 1989;70).

Soemarrmo (1988) menuliskan bahawa pragmatik pada tahun 1930-an


merupakan bidang linguistik yang dianaktirikan, terutama oleh para linguis di
Amerika. Dengan munculnya karya filsafat oleh Austin (1962), Searle (1969),
dan Grice (1967) beberapa linguis sudah mulai mengintegrasikan pragmatik
kedalam teori tata bahasa mereka. Perhatian terhadap bidang pragmatik juga
dipercepat dengan perkembangan di bidang sosiolinguistik, psikolinguistik,
inteligensi artifisal, dan ilmu kognitif pada umumnya.

Verhaar (1980) menuliskan pula bahwa pragmatik sebagai salah satu


cabang linguistik mulai berkumandang dalam percaturan dunia linguistik
Amerika sejak tahun 1970-an. Pada tahun-tahun sebelumnya khususnya tahun
1930-an, linguistik dianggap hanya mencakup fonetik, morfologi, dan era
Bloomfield, kajian sintaksis dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan
makna di kesampingkan karena dianggapnya terlampau sulit untuk diteliti dan
dilibatkan dalam proses analisis.

Dengan berkembangnya teori linguistik oleh Chomsky pada tahun


1960-an, sintaksis mulai mendapatkan tempatdi dalam linguistik, linguis yang
44
berlatar belakang filsafat ini menegaskan bahwa sintakksis merupakan bagian
linguistik yang sifatnya sentral. Gagasan ini kemudian melahirkaan paradigma
di dalam dunia linguistik. Sekalipun linguistik Chomsky sering dianggap relatif
lebih maju dibandingkan dengan linguistik era sebelumnya, bagi tokoh ini
masalah makna asih diangapnya suit dilibatkan dalam proses analisis
(Raharddi;2000;44).

Pada awal tahun 1970-an, pragmatik mulai bruandang di belahan bumi


Amerika. Para linguis yang bernuansa transformasi generatif seperti Ross dan
Lakoss menyatakaan bahwa kajian sintaksiss tidak dapat meemisahkan diri
dengan konteksnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa dengan munculnya tokoh-
tokoh tersebut, tertanda runtuhnya dan teori bahasa yang berkembang di masa-
masa. Maka pada masa inilah sosok pragmatik mulai mendapat tepat di bumi
linguistik (Purwo, 1990:10).

Lain halnya di belahan bumi Eropah, kegiatan menelaah bahasa dengan


mempertimbangkan makna dan situasi (misalnya aliran Praha, aliran Firth)
sudah berkembang sejak tahun 1940-an. Aliran Firth tersebut dikenal dengan
nama FirthianLinguistics dengan basis di Inggris yang ditopan aliran Praha
(Prague School) dengan basis di Chekozlovakia. Aliran Praha ditokoohi oleh
Matheus, Trubetzoy, Roman Jakbsoon, Vachek, dan beberapa kawan lainnya.
Pada tahun 1960-an, M.A.K. Halliday mengembangkan teori sosial mmengenai
bahasa, maka semakin jelaslah bahwa linguistik tidak dapat dipisahkan dari
masyarakat dengan segala latar belakang sosiokultural yang mewadahi dan
melatarbelakanginya (Rahadi, 2000:44-45).

45
Firth mengemukakan bahwa kajian bahasa tidak dapat dilakukan tanpa
mempertimbangkan konteks situasi yang meliputi, pelibat (partisipants),
tindakan pelibat (baik tindak tutur maupun bukan tindak tutur), ciri-ciri stuasi
yang lain yang relevan sepanjang hal itu mempunyai sanggkut paut tertentu
dengan hal sedang berlangsung, dan dampak-dampak tindak tutur yang
diwujudkan dengan bentuk-bentu perubahan yang ditimbuulkan oleh hal-hal
yang dituturkan oleh pelibat dalam situasi (Halliday dan Hasan,1994:11).

Perhatian terhadap bidang kajian ini diresmikan pada tahun 1977


dengan timbulnya sebuah majalah “Journal of Pragmatics” yang menerbitkan
karya-karya tulis bernuansa pragmatik. Pada saat itu terbentuk pula suatu
organisasi IPRA (International Pragmatics Association) dan konperensi yang
membahas soal pragmatik juga mulai timbul. Namun, majalah dan koperensi-
konperensi itu tidak memberikan gambaran yang jelas tentang bidang kajian
yang termasuk penelitian pragmatik (Soemarmo, 1988:160).

b. Batasan Pragmatik
Istilah pragmatik sebagai bidang kajian di dalam ilmu linguistik diberi
batasan yang berbeda-beda oleh para pakar linguistik. Beberapa batasan yang
relevan dipaparkan pada bagian ini untuk mendapatkan gambaran yang jelas
tentang pragmatik.

Levinson (1983:9) mendefinisikan pragmatik sebagai studi bahasa yang


mempelajari hubungan antara bahasa dengan konteksnya yang ditatabahasakan
atau dikodekan dalam struktur pemakaian bahasa. Verhaar (1996:9)
menegaskan bahwa pragmatik mempelajari hal yang termasuk struktur bahasa
46
sebagai alat komunikasi antar penutur dan mitra tutur serta sebagai pengacuan
tanda-tanda bahasa yang sifatnya ekstra linguistik.

Leech (1983:8) berpendapat bahwa pragmatik adalah studi tentang


makna bahasa dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujaran (Speech
situations). Morris (dalam Syafi’ie, 1987:70) memberikan batasan bahwa
pragmatik merupakan studi bahasa yang mempelajari hubungan antara tanda
dengan pemakainya.

Parker (dalam Wijana, 1996:2) menjelaskan bahwa semantik dan


pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang menelaah makna-makna satuan
linguistik. Perbedaannya, semantik mempelajari makna secara internal,
sedangkan pragmatik mempelajari makna secara eksternal. Adapun yang
dimaksud dengan hal itu adalah bagaimana satuan linguistik tertentu digunakan
dalam komunikasi yang sebenarnya. Menurutnya pula, studi tata bahasa tidak
perlu dikaitkan dengan konteks sedangkan studi pragmatik mutlak dikaitkan
dengan konteks. Berdasarkan hal itu studi tata bahasa dapat dianggap sebagai
studi yang bebas konteks (konteks independent). Sedangkan studi pemakaian
tatabahasa dalam komuniksi yang sebenarnya mutlak dikaitkan dengan konteks
yang melatarbelakanginya. Studi bahasa yang demikian ini dapat disebut
sebagai studi yang terikat konteks (context dependent).

Tidak jauh berbeda dengan batasan yang disampaikan para tokoh di


atas, Soemarmo (1988:169) berpendapat bahwa semantik berhubungan dengan
makna internal (harfiah), sedangkan pragmatik berhubungan dengan makna
konotaatif, (kiasan). Gunarwan(1992:10) mengemukakan bahwa makna dalam
47
semantik ditentukan oleh koteks (co-tex), sedangkan makna di dalam pragmatik
ditentukan oleh kontek (contex). Koteks di sini dimaksudkan sebagai
lingkungan fisik yang berkaitan dengan tuturan, sedangkan konteks merupakan
lingkungan sosial yang berkaitan dengan tuturan. Wijana (1996:11) lebih
memperjelas maksud konteks yakni segala latar belakang pengetahuan yang
dipahami bersama oleh penutur dan mitra tutur.

Selanjutnya, Purwo (1990:16) mempertegas batas antara semantikdan


pragmatik yang tergambar pada batasan berikut. Pragmatik adalah telah
mengenai segala aspek makna yagn tidak tercakuup di dalam teori semantik.
Artinya, yang ditelaah dalam pragmatik adalah makna kalimat (sentence),
sedangkan pragmatik adalah telaah makna tuturan (utterance). Kalimat adalah
abstrak (entites) seperti yang didefinisikan dalam teori tata bahasa dan tuturan
adalah pengujaraan kalimat pada konteks yang sesungguhnya. Dengan demikin
semantik menggeluti makna kata atau klausa, tetapi makna yang bebas konteks
(context-independent), sedangkan pragmatik menggeluti makna yang terikat
konteks (kontext-independen).

Terikat dengan hal di atas, Wijana (1996:3) mempertegas bahwa makna


yang dikaji oleh semantik bersifat diadis artinya makna itu dapat dirumuskan
dengan kalimat “Apa makna X itu?” Makna yang ditelaah dengan pragmatik
berrsifat triadis artinya makna itu dapat dirumuskan dengan kalimat “Apakah
yang kau maksud dengan berkata x itu?”.

Dari berbagai batasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pragmatik


adalah bidang ilmu bahasa yagn mengakaji penggunaan bahasa berdasarkan
48
konteks yagn melatarbelakanginya. Konteks yang dimaksud mencakup dua hal,
yakni konteks yang bersifat sosial (social) dan konteks yagn bersifat sosietal
(societal). Konteks sosial dapat diartikan sebagai konteks yang timbul sebagai
akibat dari adanya interaksi antara anggota masyarakat dalam suatu masyarakat
sosial dan budaya tertentu. Adapun yang dimaksud dengan konteks sosietal
adalah konteeks yang faktor penentuannya adalah kedudukan anggota dalam
masyarakat dalam institusi-institusi sosial dan budaya tertentu. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa menurut pakar ini dasar dari munculnya
kontekssosietal adalah adanya kekuasaan (poower), sedangkan dasar dari
konteks sosietal adalah adanya solidaritas (solidarity).

Selanjutnya, pragmatik mengkaji makna yagn dimakssudkaan penutur


dalam menuturkan suatu bahasa tertentu pada sebuah bahasa. Karena yang
dikaji didalam pragmatik adalah makna, maka pragmatik dalam banyak hal
sejajar dengan semantik juga mengkaji soal makna. Perbedaan antar keduanya
adalah bahwa pragmatik mengkaji makna bahasa secara eksternal sedangkan
semantik mengkaji makna bahasa secara internal. Makna dikaji dalam
pragmatik bersifat terikat konteks sedangkan makna yagn dikaji dalam
semantik bersifat bebas konteks. Makna yang dikaji dalam semantik bersifat
diadik sedangkan makna dikaji dalam pragmatik bersifat triadik. Pragmatik
mengkaji bantuk bahasa untuk memahami maksud penutur sedangkan semantik
mengkaji bentuk bahasa untuk memahami makna satuan bahasa terssebut.

c. Konteks Situasi Tutur

49
Pada bagian terdahulu telah dipaparkan bahwa pragmatik adalah studi
bahasa yang mendasarkan analisanya pada konteks. Konteks yang dimaksud
disini adalah segala latar belakang pengetahuan yang dimiliki bersama oleh
penutur dan mitra tutur serta yang mendasari atau yang mewadahi sebuah
pertuturan. Wijana (1996:10-11) menyatakan bahwa konteks yang demikian itu
dapat disebut dengan konteks situasi tutur (speech situational contex). Konteks
situasi tutur menurutnya mencakup aspek-aspek sebagai berikut :

1. Penutur lawan penutur


2. Konteks tuturan
3. Tujuan tuturan
4. Tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas
5. Tuturansebagai produk tindak verbal

Secara singkat kelima aspeek situasi tutur itu dapat diuraikan sebagai
berikut:

1. Penutur dan lawan penutur dapat berarti pembicaraan dan


pendengar atau mitra tutur. Konsep ini dapat juga mencakup penulis
dan pembaca pada ragam bahasa tulis.

2. Konteks tuturan mencakup aspek tuturan yang relevan baik secara fisik
maupun nonfisik. Konteks dapat pula berarti semua latar belakang
pengetahuan yang dimiliki oleh penutur dan mitra tutur secara bersama-
sama.

50
3. Tujuan tuturan berkaitan erat dengan bentuk tuturan seseorang. Hal ini
berarti bahwa turan itu terwujud karena dilatarbelakangi oleh maksud dan
tujuan tuturan. Olehnya itu secara pragmatik, satu bentuk tuturan dapat
memiliki maksud dan tujuan yang bermacam-macam. Demikian pula
sebaliknya, satu maksud dan tujuan tuturan yang mendasari perbedaan
antara pragmatik yangbeorientasi fungsional dengan tatabahasa yagn
berorientasi formal atau structtural.

4. Tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas merupakan lahan garapan


pragmatik. Karena pragmatik berhubungan dengan tindakan verbal yang
terjadi dalam situasi tertentu. Dalam kaitan ini, pragmatik menangani
bahasa yang bersifat kongkret karena jelas penutur dan lawan tuturnya,
serta watu dan tempat penuturannya.
5. Tuturan sebagai produk tindak verbal. Hal ini berarti bahwa pada dasarnya
tuturan yang ada di dalam sebuah penuturan adalah hasil tindak verbal para
peserta tutur dengan seegala pertimbangan konteks yang meendasari dan
melingkupinya.

d. Fenomena Pragmatik

Purwo (1990:17) mengatakan bahwa fenomena yang merupakan kajian


pragmatik yang telah disepakati hingga kini mencakup empat hal pokok yani,
(1) deiksi, (2) praanggapan (Presupposition), (3) tindak tutur (spech act) dan
(4) implikatur perrcakapan (conversational implicature).

51
Pragmatik sebagai topik yagn melingkupi diksis, praanggapan,
tindaktutur, dan implikatur percakapan, makalazim diberi definisi sebagai
telaah mengenai hubungan antara lambang dengan penafsiran. Yang dimaksud
dengan lambang di sini adalah satuan ujaran berupasatu kalimat atau lebih yang
membawa makna tertentu berdasarkan hasil penafsiran pendengar.

Sebuah satuan ujaran dapat dipahami pendengar dengan baik apabila


deiksisnya jelas, praanggapannya diketahui, tindak tutur dan implikatur
percakapnnya dipahami. Keempat fenomena pragmattik itu dibicarakan di
bawah ini.

1. Deiksis.
Istilah deiksis berasal dari bahasa Yunani yang arrtinya penunjukan
(Idat, 1994:59). Lyons (1977:637) mengatakan bahwa deiksis berkaitan dengan
lokasi dan identifikasi orang, objek, peristiwa, proses atau kegiatan yang
sedang dibicarakan atau yang sedang diacu dalamhubungannya dengan dimensi
ruang dan waktu pada saat dituturkan oleh penuttur.

Chaer dan Agustina (1995:755) meemberi batasan bahwa deiksis adalah


hubungan antara kata yang digunakan di dalam tindak tutur dengan referen kata
itu yang tidak tetap atau dapat berubah dan berpindah. Kata-kata yang refennya
bisa menjadi tidak tetap ini diseebut kata-kata deiktis. Kata-kata tersebut
meliputi kata-kata yang berrkanaan dengan persona, tempat, dan waktu.

Sejalan dengan pendapaat di atas, Idat(199:59) menegaskan bahwa


fenomena deeiksis merrupakan cara yang palingg jelas untuk mengambarkan
52
hubungan antara bahasa dan konteks di dalam struktur bahasa itu sendiri.
Deiksis berdasarkan prototipe adalah penggunaan pronomina demonstratif,
pronomina persona, kala, temporal khusus dan lokasi, dan termask ciri-cirri
gramatikal yagn terkait langsung di dalam situasi tuturan. Menurutnya pula
upaya deiksis dapat berupa, 1) pronmina persona, nam diri, demonstrati, 2) kala
(tense), 3) keaspekan (ciri graamatikaal/leksikal waktu).

Purwo (1990) menandaskan bahwa deiksis adalah perubahan makna


kata-kata atau kalimat karena perubahan konteks. Jadi, kalau salah satu segi
makna dari kata-kata atau kalimat berganti kaarena pergantian kontteks, makaa
kata atau kalimat itu meempunyai makna deiksis. Sehingga Soemmarrmo
(1988:170) menyatakaan bahwa pengaruh konteks itulah yang menyebabkan
penyelidikan deiksis diangap bidang kajian pragmatik.
Bertolak dari beberapa uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa
deiksis adalah suatu cara yang dilakukan dalam bertutur untuk mengacu
kehakikat makna tertentu dengan menggunakan bahasa yang hanya dapat
ditafsirkan menurut makna yang diacu oleh penutur dan dipengaruhi oleh
konteks pembicaraan. Hal ini menyiratkan makna bahwa sebagian kata dalam
bahasa tidak dapat ditafsirkn sama sekali apabila konteks penutur tidak
diketahui. Kata-kata itu contohnya di sini, di sana, ini, itu, seekarang, kemarin,
dan pronominaseeperti saya, kamu, kalian dan sebaginya.

Ada kalanya kalimat-kalimat dalam bahasa indonesia tidak dapat


dimengerti apabila tidak diketahui siapa yang mengatakan, tentang apa, di mana
dan kapan. Misalnya “Dia harus mengembalikan buku itu sekarang”, sebab
saya akan ulangan besok. Apabila tidak diketahui konteksnya, tentu maknanya
53
sangat kabur. Kalimat itu mengandung deiksis ( dia, itu, sekarang, besok ) yang
maknanya terganttung pada konteks penuturan.

Nababan (1987:40) mengklaasifikasikan deiksis dalam lima bagianyaitu


deiksis dengan orang, deiksis tempat, deiksis akttu, deiksis sosial, dan deiksis
wacana. Kelima jenis deiksis ittu diuraikan secara jalas dalam Cahyono
(1995:218-219) sebagai berikut.

a. Deiksis orang; mengacu kepada peran partisipan yang terlibat dalam


peristiwa bahasa. Dalam deiksis oorang ini dikenal pronominaa persona
atau kata ganti orang yang meliputi, (1) kata ganti orang pertama
misalnya saya, kita, dan kami, (2) kata ganti orang kedua misalnhya,
kamu, kalian, saudara, dan (3) kata ganti orang ketiga misalnya dia dan
mereka.
b. Deiksis tempat; mengaccu kepada lokasi tertentu yang berhubungan
dengan pertisipan dalam situasi berbahasa, misalnya di sini, di sana, ini,
itu.
c. Deiksis waktu; mengacu kepada pengungkapan bentuk rentang waktu
dipandang dari waktu ujaran tersebut diucapkan misalnya, sekarang,
kemarin.
d. Deiksis sosial; misalnya mengacu kepada perrubahan-perubahan makna
ujaran.
e. Deiksis wacana, mengacu kepaada bagian-bagian tertentu dalam wacana
yang telah diberikan ataau sedang dikembangkan.

2. Praanggapan (Presupposition)
54
Kridalaksana (1982:137) mendefinisikan praanggapan sebagai suatu
syarat yang diperlukan bagi benar tidaknya suatu kalimat. Hal ini menyiratkan
makna bahwa sebuah tuturan dapat dikatakan mempraanggapkan tuturan yang
lain apabila ketidakbenaran tuturan yang dipraanggapkan mengakibatkan
kebenaran atau ketidakbenaran tuturan yang mempraangapkan tidak dapat
dikatakan.

Sebuah kalimat memperangggapkan dan mengimplikasikan kalimat


yang lain jika ketidakbenaran kalimat yang kedua (yang diperanggapkan)
mengakibatkan kalimat yang pertama (yang memperanggapkan) tidak dapat
dikatakan banar atau salah (Wijana, 1996:37). Untuk jelasnya, kedua
pernyataan di atas, dapat diperhatikan sebuah tuturan yang berbunyi “Orang
kaya di desa itu, sombong sekali.” Tuturan ini memperanggapkan adanya
seseorang yang sangat kaya. Apabila dalam kenyataannya memang ada
seseorangg yang sangat kaya di desa itu, tuturan di atas dapat dinilai benar
salahnya. Sebaliknya apabil di desa itu tidak ada seseorang yang sangat kaya,
tuturan tersebut tidak dapat ditentukan benar-salahnya.
Brown dan Yule (1983:260) membedakan antara praanggapan leksikon
dengan praanggapan pragmatis. Menurutnya, praanggapan leksikon sebuah
tuturan tidak perlu tunjang oleh konteks tuturan. Sedangkan praanggapan
pragmatis membutuhkan konteks untuk memaknakannya secara tepat.
Selanjutnya ditegaskan bahwa praanggapan pragmarris ditentukan batas-
batasnya berdasarkan anggapan-anggapan pembicaraan mengenai apa yang
kemungkinan akan diterima oleh pendengar tanpa penolakan.

55
Menurut Purwo (1993:31) bahwa penggunaan praanggapan oleh
pembicara hanyalah ditujukan kepada pendengar yang menurut pembicara
pendengar juga memiliki pengalaman dan pengetahuan seperti yang dimiliki
pembicara. Jadi, menurutnya praanggapan merrupakan pengetahuan bersama
antara pembicara dan pendengar sehingga tidak perlu diutarakan. Pembicaralah
yang beranggapan bahwa pendengar memahami apa yang dipraanggapkan dan
yang menjadi sumber praanggapan adalah pembicara.

3. Implikatur Percakapan (Conversational Implicature).


Di dalam penuturan sesungguhnya, penutur dan mitra tutur dapat secara
lancar berkomunikasi karena mereka memiliki kesamaan latar belakang
pengetahuan tentang sesuatu yang dibicarakan itu. Di antara penutur dan mitra
tutur terdapat semacam kontrak percakapan tidak tertulis bahwa hal yang
sedang dipercakapkan itu dapat saling dimengerti. Grice (dalam Wijana,
1996:37) mengemukakan bahwa sebuah tuturan dapat mengimplikasikan
proposisi yang bukan merupakan bagian dari tuturan dapat mengimplikasikan
proposisi yang diimplikasikan itu dapat disebut dengan implikatur percakapan.
Tuturan yang berbunyi “Pak guru datang, jangan ribut!” tidak semata-mata
dimaksudkan untuk memberitahukan bahwa pak guru sudah datang. Si penutur
bermaksud memperringatkan mitra tutur bahwa Pak Guru yang bersikap keras
dan tegas itu akan melakukan sesuatu terhadapnya apabila ia masih terus ribut.
Dengan perkataan lain, tuturan itu mengimplikasikan bahwa Pak Guru adalah
orang yang keras, tegas, dan sering marah pada siswa yang sedang ribut. Di
dalam implikatur, hubungan antara tuturan yang sesungguhnya dengan maksud
yang tidak dituturkan bersifat tidak mutlak. Maksud tuturan harus didasarkan
pada konteks situasi tutur yang mewadahi munculnya tuturan tersebut.
56
Sejalan dengan hal di atas, Allan (1986) menegaskan bahwa bertutur
adalah kegiatan yang berdimensi sosial. Kegiatan bertutur dapat berlangsung
dengan baik apabila para peserta tutur terlibat aktif di dalam proses bertutur
tersebut. Apabila terdapt satu atau lebih pihak yang tidak terlibat akttif dalam
kegiatan bertutur, dapat dipastikan pertuturan itu tidak dapat berjalan lancar.
Selanjutnya dijelaskan pula bahwa agar proses komunikasi antara
penutur dan mitra tutur dapat berjalan lancar, mereka harus dapat saling bekerja
sama. Kerja sama yang baik dalam proses bertutur itu dapat dilakukan dengan
berprilaku sopan kepada pihak lain. Berprilaku sopan itu dapat dilakukan
dengan cara mempertimbangkan “muka” si mitra tutur di dalam kegiatan
bertutur.
Rahardi (2000:50) menegaskan bahwa agar pesan (message) dapat
sampai dengan baik pada peserta tutur, komunikasi yang terjadi itu perlu
mempertimbangkan prinsip-prinsip berrikut : (1) prinsip kejelasan (clarity), (2)
prinsip kepadatan (conciseness), dan (3) prinsip kelangsungan (direstness).
Prinsip-prinsip ini secara lengkap dituangkan dalam prinsip kerja sama Grice.
Prinsip kerja sama Grice (dalam Levinson, 1983:101-102) meliputi empat
maksim yang satu per satu dapat dijelaskan sebagi berikut :

a. Maksim kualitas (The maxim of quality)


Di dalam percakapan, berusahalah menyatakan sesuatu yang benar.
- Jangan menyatakan sesuatu yang Anda percaya bahwa hal itu tidak
benar.
- Jangan menyatakan sesuatu yang tidak ada buktinya atau yang buktinya
kurang cukup.
b. Maksim kuantitas (The maxim of quantity)
57
- Berilah keterangan yang secukupnya
- Janganlah menyatakan sesuatu yang tidak diperlukan.
c. Maksim relevan (The maxim of relevace)
- Katakanlah hanya yang berguna atau yang relevan.
d. Maksim cara (The maxxim of manner)
Berbicaralah dengan jelas, khususnya :
- Jangan mengatakan sesuatu yang tidak jelas;
- Jangan mengatakan sesuatu yang ambigu;
- Berbicaralah dengan singkat;
- Berbicaralaah secara khusus.

4. Tindak Tutur (Speect Act)


Istilah teori mengenai tindak tutur pertama-tama dimunculkan oleh
Austin, seorang guru besar di Univeristas Harvard pada tahun 1956. Teori yang
bersumber dari bahan kuliah itu kemudian dibukukan oleh J.O Urmson pada
tahun 1965 dengan judul “How to do Thing With Word?” Namun, teori
tersebut baru terkenal dalam dunia linguistik setelah Searle pada tahun 1969
menerbitkan buku dengan judul “Speech Act: And Essay in The Philosophy of
Language.”
Searlee (1969:23-244) mengemukakan bahwa secara pragmatis terdapat
setidaknya tiga macam lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (illocutionarry
act), dan tindakperlokusi (perlocutionary act).
Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu, dengan
kata, frase, dan kallimat sesuai dengan makna yang terkandung di dalamnya.
Dalam hal ini, tidak dipermasalahkan maksud dan fungsi tuturan yang
disampaikan penutur. Jadi tuturan “Saya Lapar”, hanya semata-mata
58
dimaksudkan untuk memberitahukan mitra tutur bahwa penutur sedang dalam
keadaan lapar, tanpa bermaksud meminta makanan.
Tindak ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan
fungsi tertentu. Jadi, tuturan, “Saya Lapar”, yang diucapkan penutur bukan
semata-mata dimaksudkan untuk memberitahu mitra tutur bahwa pada saat
dituturkan tuturan itu penutur sedang lapar, namun lebh dari itu, dimaksudkan
pula untuk meminta makanan.
Tindak perlokusi adalah tindak tutur yang mengacu ke efek yang
ditimbulkan penutur dengan mengatakan sesuatu kepada mitra tutur. Tuturan
“Saya Lapar” dapat berfungsi sebagai perlukosi jika diucapkan oleh seseorang
untuk menumbuhkan pengaruh rasa takut kepada anak-anak kecil. Rasa takut
itu munccul karena yang menuturkan tuturan itu pada kesehariannya sering
menakut-nakuti anak kecil.
Selanjutnya, Searle (1969) mengklasifikasikan tindak tutur ilokasi
dalam lima jenis. Kelima jenis tutur itu dapat dijelaskan sebagai berkiut: (1)
aserif, yaitu tindak tutur yang mengikat penuturanya pada kebenaran proposisi
yang diungkapkan, misalnya: menyatakan, melaporkan, menunjukkan,
menyebutkan; (2) direktif, yaitu tindak tutur yang dilakukan penuturnya
dengan maksud agar si mitra tuturr melakukan tindakan yangg disebutkan di
dalam tuturan itu, misalnya; menyuruh, memohon, menuntut, menyarankan,
menantang; (3) ekspresif, yaitu tindak tutur yang dilakukan dengan maksud
untuk menyatakan atau menunjukkan sikap psikologis penuturr terhadap suatu
keadaan, misalnya: berterima kasih, memuji, mengeluh, meminta maaf; (4)
komisif, yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan hal
yang disebutkan dalam ujarannya, misalnya: berjanji, bersumpah, mengancam;
dan (5) deklaratif, yaitu tindak tutur yang dilakukan penutur dengan maksud
59
untuk menciptakan hal yang baru, misalnya: memutuskan, membatalkan,
melarang, mengizinkan, mengankat, dan menghukum.
Suatu hal yang perrlu dicatat dari pengklarifikasian tindakk tutur di
atass, bahwa ternyata satu tindakan tutur dapat mempunyai lebih dari satu
fungsi. Pakar lain ternyata satu tindak tutur dapat mempunyai leebih dari satu
fungsi. Pakar lain seperti Blum-Kulka (dalam Gunarwan, 1994:86) justru
menyaatakan hal lain seperti sebaliknya, yakni bahwa satu maksud atau satu
fungsi bahasa dapat dinyatakan dengan bentuk tuturan yang bermacam-macam.
Menyuruh misalnya, dapat diungkapkan dengan berbagai bentuk tuturan sperti:
(1) dengan kalimat bermodus imperatif (“Pindahkan kotak ini”), (2) dengan
kalimat performatiff eksplisit (“Saya minta Saudara memindahkan kotak ini!),
(3) dengan kalimat performatif berpagar (“Saya sebenarnya mau minta Saudara
memindahkan kotak ini”), (4) dengan pernyataan keharusan (“Saudara harus
memindahkan kotak ini”), (5) dengan pernyataan (“Saya ingin saudara
memindahkan kotak ini”), (6) dengan rumusan saran (“Bagaimanaa kalau kotak
ini dipindahkan?”), (7) dengan persiapan pernyataan (“Saudara dapat
memindahkan kotak ini?”), (8)dengan isyarat kuat (“Dengan kotak ini di sini,
ruangan ini kelihatan sesak.”), (9) dengan isyarat halus (“Ruangan ini Kelihatan
sesak.”).
Berangkt dari berbagai macam cara mengungkapkan suruhan pada
uraian di atas, dapat digarisbawahi dua hal pokok, yakni adanya (1) tuturan
langsung, dan (2) tuturan tidak langsung. Derajat kelangsungan tindak tutur itu
dapat diukur berdasarkan besar kecilnya jarak tempuh yang diambil oleh
sebuah tuturan. Maksudnya, jarak antara titik ilokusi yang berada dalam benak
penutur dengan titik tujuan ilokusi yang berada dalam benak mitra tutur.
Semakin jauh jarak tempuhnya, semakin tidak langsunglah tuturan itu.
60
Demikian pula sebaliknya, semakin dekat jarak tempuhnya semakin
langsunglah tuturan itu.
Selain dari pada itu, derajat kelangsungan tindak tutur dapat pula diukur
berdasarkan kejelasan pragmatiknya. Kerjasama pragmatik yang dimaksudkan
di sini adalah kehelasan maksud atau daya ilokusi sebuah tuturan. Semakin
tembus pandang maksud sebuah tuturan akan semakin langsunglah maksud
tuturan tersebut. Sebaliknya, semakin tidak tembus pandang maksud sebuah
tuturan akan semakin tidak langsunglah maksud tuturan itu.
Jadi, apabila kejelasan pragmatik itu dikaitkan dengan kesantunan maka
dapat disimpulkan bahwa semakin jelas maksud sebuah tuturan akan semakin
tidak santunlah tuturan itu. Sebaliknya, semakin tidak tembus pandang maksud
sebuah tuturan akan meenjadi semakin santunlah tuturan ittu. Dengan
penggolongan tindak tutur ke dalam bentuk-bentuk tutur akan memungkinkan
teridentifikasinya peringkat kesantunan tuturan dalam kegiatan bertutur.

e. Teori Kesantunan Berbahasa


Gunarwan, (1994:87) menuliskan bahwa ada beberapa pakar yang telah
mengkaji masalah kesantunan berbahasa yakni, Lakoff (1972), Brown dan
Levinson (1986), dan Leech (1983). Teori mereka itu pada prinsipnya bertolak
dari pengamatan yang sama yaitu, bahwa di dalam berkomunikasi yang
sebenarnya, penutur tidak selamanya mematuhi prinsip-prinsip kerja sama
Grice, yang terdiri atas maksim-maksim. Perbedaannya hanya terletak pada
sudut pandang mereka wujud kaidah kesantunan (kaaidah sosial).
Lakoff (1972) berpendapaat bahwa ada tiga kaidah yang perrlu dipatuhi
agar tuturan dapat terdengar santunan oleh pendengar atau mitra tutur. Ketiga
61
kaaidah kesantunan itu adalah (1) formalitas (formality), (2) ketaktegasan
(hesitency), dan (3) persamaan atau kesekawanan (equality or camaradirie).
Jika dijabarkan lebih lanjut, yang pertama itu berarti jangan memaksa atau
jangan angkuh (aloof), yang kedua berarti buatlah sedemikian rupa sehingga
mitra tutur dapat menentukan pilihan (option); dan yang ketiga mengandung
makna, bertindaklah seolah-olaah Anda dan mitra tutur sama atau sejajar,
dengan kata lain buatlah ia merasa senang. Dengan demikian, menurut Lakoff,
sebuah tuturan dapat dikatakan santun apabila tuturan itu bersifat formal, tidak
memaksa, dan tidak terkesan angkuh, terdapat pilihan tindakan bagi mitra tutur,
dan tuturan tersebut hendaklah maampu membuat mitra tutur merasa sama,
bersahabat, merasa gembira, dan sejajar dengan penutur.
Fraser (1990) menjelaskan bahwa ujaran yang santun adalah ujaran
yang tidak melampaui hak atau tidak mengingkari kewajiban penutur. Hal yang
perlu dicatat mengenai definisi kesantunan Frase itu adalah (1) kesantunan itu
adalah bagian dari ujaran, bukan ujaran itu sendiri, (2) pendengarlah yang
menentukan santun tidaknya sebuah tuturan, (3) kesantunan itu dikaitkan
dengan hak dan kewajiban peserta tutur, artinya sebuah tuturan terdengar
santun atau tidak, dapat diukur berdasarkan: pertama, apakah penutur tidak
melampaui haknya kepada mira tuturnya, dan kedua, apakah penutur memenuhi
kewajibaannya kepada mitra tuturnya itu.
Selanjutnya, dikatakn bahwa kewajiban pendengar atau mitra tutur
adalah menjawab prtanyaan pembicaraan atau penutur. Tindakan tidak
menjawab pertanyaan lawan tutur termasuk tindakan tidak santun. Jadi, yang
termasuk ke dalam hak dan kewajiban penutur dan mitra tutur itu adalah
menyangkut apa yang boleh diujarkan sserta cara menganjurkannya.

62
Lain halnya dengan Brown dan Levinson (1987), yang berdasarkan teori
kesantunannyaa pada nosoi muka (face) yaitu muka negatif dan muka positif.
Muka negatif menunjuk kepada citra diri setiap orang yng ingin dihargai
dengan cara membiarkannya bebas melakukan tindakaan atau bebas dari
keharusan mengerjaakan sesuatu. Muka positif merujuk kepada citra diri setiap
orang ingin agar hal yang dilakukannya, hal yang dimilikinya atau hal yang
merupakan nilai-nilai yang diyakininya diakui orang lain sebagai suatu hal yang
baik, yang meenyenangkan, yang patut dihargai, dan sebagainya.
Menurutnya, sebuah tindak tutur dapat merupakaan ancaman terhadap
muka yang ia ssebut sebagai “face-threatening act” (FTA). Untuk mengurangi
ancaman itulah sehingga di dalaam berkomunikasi tidak selalu harus mematuhi
maksim-maksim Grice, tetapi perlu mempertimbangkan penggunaan sopan
santun berbahasa. Mengingat ada dua sisi muka yang terancam yakni muka
negatif dan muka positif, maka kesantunanpun dibagi menjadi dua yakni untuk
menjaga muka negatif, sedangkan kesatuan positif dimaksudkaan untuk
menjaga positif (brown dan Levinson, 1987).
Di dalam kesantunan Brown dan Levinson (1987) terdapat tiga skala
peringkat kesantunan sebuah tuturan. Ketiga kala tersebut ditentukan secara
konsektual, sosial, dan kultural yang selengkapnya mencakup skala-skaala
berikut.
1. Skala peringkat jarak sosial antara penuturr dan mitra tutur (social distance
between speaker and heaver) yang ditentukan oleh paremeter perbedaan
umur., jenis kelamin, dan latar belakang sosiokultural. Berdasarkan
kenyataan di masyarakat lazim didapatkan bahwa semakin tua umur
seseorang, semakin tinggi peringkat kesantunannya dalam bertutur.
Sebaliknya, semakin muda umur seseorang cenderung memiliki peringkat
63
kesantunan yang rendah di dalam bertutur. Wanita lazimnya memilki
peringkat kesantunan lebih tinggi dibandingkan pria. Hal ini disebabkan
oleh kenyataan bahwa wanita cenderung lebih banyak bersentuhan dengan
sesuatu yang bernilai estetika dalam kesehariannya. Sebaliknya, pria
cenderung banyak bersentuhan dengan kerja dan pemakaian logika dalam
kesehariannya. Orang yang memiliki jabatan tertentu di dalam masyarakat
cenderung memilki peringkat kesantunan lebih tinggi dibanding dengan
masyarakat biasa.

2. Skala peringkat perbedaan kekuasaan antara penutur dan mitra tutur (the
speaker and hearer relative power) didasarkan pada kedudukan yang tidak
sejajar antara penutur dan mitra tutur. Sebagai contoh yang dapat
dikemukakan bahwa di dalam kelas, seorang dosen memiliki peringkat
kekuasaan lebih tinggi dibanding dengan mahasiswa.

3. Skala peringkat status relatif jenis tindak tutur di dalam kebudayaan yang
bersangkutan (the degrr of imposition associated with the required
expenditure of goods or services). Hal ini didasarkanatas kedudukan relatif
tindak tutur yang satu dengan tindak tutur lainnya, artinya ada tindak tutur
yang di dilam suatu kebudayaan dianggap tidak terlalu mengancam muka.

Berbeda dengan Brown dan Levinson, yang mendasarkan kesantunan


pada nosi muka, Leech (dalam Gunarwan, 1994:91) mendasarkan kesantunan
berbahasa pada nosi-nosi: (1) biaya (coast) dan keuntungan (benefit), (2)
kesetujuan (agreement), (3) pujian (approbation), dan (4) simpati/antipatu.
Keempat noosi ini dipakai oleh Leech untuk menyusun “prinsip-kesantuna”
64
(politeness principle), yang dijabarkan menjadi enam maksim. Keenam maksim
itu diterjemahkan oleh Tarigan (1990:82-83) secara berturut-turut sebagai
berrikut.

1. Maksim kebijaksanaan
- Kurangi kerugian orang lain
- Tambahin keuntungan pada orang lain

2. Maksim kedermawanan
- Kurangi keuntungan diri sendiri
- Tanbahi pengorbanan diri sendiri

3. Maksim penghargaan
- Kurangi cacian pada orang lain
- Tambahi pijian pada orang lain

4. Maksim kesederhanaan
- Kurangi pujian pada diri sendiri
- Tambahi cacian pada diri sendiri

5. Maksim permufakatan
- Kurangi ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang lain
- Tangkatkan persesuaian antara diri sendiri dengan orang lain

6. Maksim simpati
- Kurangi antipati antara dirri sendiri dengan orang lain
65
- Perbesar simpati antara diri sendiri dengan orang lain.
Blum-Kulka (dalam Gunarwan, 1992:1992:191) mencatat sembilan tipe tuturan imperatif yang dapat digunakan
sebagai bertutur diuraikan berikut kesantunan. Kesembilan tuturan tersebut secaa berturut-turutt diuraikan berikut
ini.

1. Modus inperatif (perintah) artinya kalimat perintah yang dinyatakan


dngan rumusan perintah.
Contoh : “Bukakan jendela itu!”

2. Performatif artinya kalimat perintah dengan rumusan pernyataan.


Contoh: “Saya minta Saudara membuka jendela itu”

3. Performatif berpagar artinya kalimat perintah dengan rumusan pernyataan


berpagar.
Contoh: “ Saya mau minta Saudara membuka jendela itu.”

4. Pernyataan keharusan artinya kalimat perintah dengan rumusan


pernyataan keharusan.
Contoh: “Saya ingin jendela itu dibukakan”

5. Pernyataan keinginan artinya kalimat perintah dengan rumusan


pernyataan keingina.
Contoh: “Saya ingin jendela itu dibukakan.”

6. Formula saran artinya kalimat perintah dengan rumusan saran.


Contoh: “Bagaimana kalau jendela itu saya bukakan?”

66
7. Pernyataan artinya kalimat perintah dengan rumusan pernyataan.
Contoh: “Saudara dapt membukakan jendela itu?”

8. Isyarat kuat artinya kalimat perintah dengan tumusan isyarat yang kuat.
Contoh: “Dengan jendela itu tertutur, ruangan ini sangat panas.”

9. Isyarat halus artinya kalimat perintah dengan menggunakan rumusan


isyarat halus.
Contoh: “Wah, pengat sekali ruangan ini.”

67
PENULISAN BUKU AJAR
Dr. Achmad Tolla, M.Pd

Klarifikasi
Wujud asli makalah ini (dari halaman 1—8) ditulis oleh Prof. Dr.
Kamaruddin, M.A. untuk memenuhi permintaan Panitia SP4 Jurusan Bahasa
Indonesia. Tulisan yang saya siapkan untuk tujuan yang sama berjudul
“Pengembangan Silabus dalam Pengajaran Bahasa Indonesia Berbasis
Kompetensi”. Setelah memperoleh permintaan dari Panitia SP4 Jurusan
Bahasa Jerman, makalah ini saya modifikasi seperlunya untuk memenuhi
permintaan tersebut. Andaipun saya menulis makalah untuk materi yang
sama, paparannya juga akan sama dengan makalah ini karena referensi yang
beliau gunakan juga akan saya gunakan. Namun, karena perbedaan gaya
bahasa, di sana sini saya melakukan modifikasi dan penyesuaian gaya bahasa
sehingga gaya bahasa tulisan ini lebih mencerminkan gaya bahasa saya.

A. Pendahuluan
Tulisan ini menyajikan informasi praktis mengenai prodesur dan
teknik dasar penulisan buku yang disajikan untuk digunakan dalam
rangka proses belajar-mengajar atau untuk memenuhi kebutuhan
komponen pengaktifan peserta belajar dan penyiapan diri pengajar.
Ketersediaan buku sebagai salah satu media pemebelajaran
merupakan tuntutan dan keharusan dalam setiap proses belajar
mengajar agar kegiatan pembelajaran dapat lebih berdaya guna dan
berhasil guna.

68
Tulisan ini merupakan ramuan dari beberapa referensi yang ditulis berdasarkan pengalaman beberapa penulisan
buku/bahan ajar. Uraian ini meliputi organisasi, kegiatan pendahuluan, analisis kebutuhan, merancang buku,
penulisan bab, dan penulisan draft pertama.

B. Prosedur penulisan Naskah


Organisasi
Penulisan buku ajar sering merupakan kegiatan proyek perbukuan. Sebagian
kegiatan proyek penulisan itu dilakukan oleh tim penulis. Namun, ada juga
penulisan yang dilakukan secara perorangan. Hal ini bergantung kepada sifat
dan tujuan penulisan buku tersebut.

Kalau penulisan buku itu akan dugunakan secara luas, penulisan oleh sebuah
tim penulis akan sangat membantu kegiatan penulisan. Demikian pula, kalau
penulis membutuhkan dukungan sumber dan pengalaman yang lebih luas,
sebaiknya penulisan dilakukan oleh sebuah tim yang terdiri atas anggota yang
berpengalaman mengajarkan materi yang digarap oleh proyek penulisan bahan
ajar itu.

Hal yang penting ialah adanya tim reviu yang bertugas memantau dan menilai
perkembangan serta hasil kegiatan proyek penulisan. Tim ini akan sangat
bermanfaat guna menjaga mutu tulisan serta pengemmbanagn materi
selanjutnya. Tim ini juga akan menjadi sumber pengembangan kegiatan
penulisan yang berkelanjutan serta berkesinambungan, dan bukan hanya
kegiatan sesaat saja.

Kegiatan Pendahuluan

Proyek penulisan buku mengidentifikasi calon peenulis dan calon anggota tim
reviu. Beberapa criteria yang mungkin dipertimbangkan ialah:

69
1. yang bersangkutan menyiapkan waktu yang cukup untuk proyek penulisan.
2. yang bersangkutan berminat dan berrkeinginan terlibat di dalam proyek
sehingga diperlukan menanamkan sikap dan hubungan harmonis dalam
kelompok penulis.
3. berpengalaman mengerjakan bahan yang akan ditulis.
Setelah tim terbentuk, dilakukan serangkaian pertemuan untuk menampung
gagasan, ide atau pendapat (diskusi) terutama pada tahap-tahap awal proyek.
Pertemuan itu dilakukan untuk:

1. merumuskan dan menjelaskan tujuan buku yang akan ditulis.


2. membahas dan menyetujui pendekatan yang akan digunakan dan tipe serta
jenis bahan yang akan dipilih.
3. membagi tugas di anntara anggota tim.
4. menetapkan kegiatan yang digunakan untuk setiap bahan sajian.
5. membuat jadwal kegiatan dan menetapkan batas waktu (deadlines) untukl
draft dan hal-hal lain yang berkaitan dengan proyek penulisan.
Pertemuan-pertemuan berikutnya diselenggarakan untuk:

1. memperbandingkan gagasan-gagasan baru dan hal-hal yang bekerja baik.


2. menampung bahan-bahan yang disumbangkan oleh para anggota penulisan
(teks bacaan dan sumber-sumber lain yang dapat digunakan).
3. tukar-menukar gagasan, misalnya; cara menyajikan latihan tertentu dan
tugas yang diberikan sehingga efektif.
4. membahas secara mendalam kesulitan-kesulitan yang dihadapi.
Pertemuan-pertemuan ini sangat membantu menciptakan suasana dan praktik
kerja tim yang benar di kalangan penulis. Kronologis/arus kegiatan yang
dilakukan untuk mempersiapkan penulisan bahan adalah analisis kebutuhan,
penyusunan silabus, penentuan tujuan khusus, dan penetapan format pelajaran.

70
Analisis kebutuhan dilakukan oleh (para) penulis. Mereka mereviu
garis-garis besar pengajaran, melalui masukan (input) dari para
pengajar/pernah mengajarkan pelajaran yang akan ditulis, memeriksa kinerja
para siswa/mahasiswa, mempertimbangkan skor para siswa/mahasiswa yang
mengikuti pelajaran/perkuliahan yang bersangkutan.

Silabus perkuliahan yang ada menjadi sumber data yang utama,


memberi masukan yang bernilai penting bagi penulis, dan membimbing penulis
menentukan hal-hal penting untuk menulisan buku ajar. Silabus memberikan
tujuan pembelajaran keterampilan yang diharapkan dicapai oleh
pembelajaran/mahasiswa, bahan/isi pengajaran harus dicakup, berbagai tugas
dan kegiatan serta tuntutan yang (harus) dilakasanakan dalam setiap kegiatan
belajar-mengajar.

. Kerangka Kerja

Pengembangan bahan pengajaran menggunakan kerangka kerja. Hutchinson


dan Waters (1987) memebrikan petunjuk berupa delapan ciri pengembangan
yang dimaksud.

1. Objectives (tujuan) – memberi tahu pembelajaran apa yang harus

diselesaikan/dicapai setelah melakukan pelajaran itu.

2. Opener (pembuka) – memulai atau membuka pelajaran. Pembuka


mungkin berupa pertanyaan yang mendorong pembelajar berpikir dan
berbicara atau melakukan sesuatu yang akan dibahas dalam pembelaran
itu. Pembuka dapat juga bertindak sebagai motivator bagi pemebelajar
untuk menanti input (masukan).
3. Input (masukan) – setiap penggal data komunikasi, seperti lagu, iklan,
dan kebanyakan wacana pembelajar mengenai input/bacaan yang
71
diberikan (mengidentifikasi ide pokok, merangkum, dan menarik
simpulan).
4. Comprehention check (pengcekan pemahaman) – mengecek/menilai
pemahaman pembelajar mengenai input/bacaan yang diberikan
(mengidentifikasi isi pokok, merangkum, dan manarik kesimpulan).
5. Vocabulary (kosakata) –kosakata sulit atau yang masih asing/tidak lazim
yang ada pada input dibahas.
6. Discussion/reflection (diskusi/refleksi) – memebri pembelajaran
kesempatan berrpikir, menganalisis, dan/atau menerapkan yang telah
dipelajarinya pada situasi yang sama dengan hal yang disajikan.
7. Language focus (focus bahasa) – kegiatan diberikan untuk memperkuat
penguasaan pembelajar terhadap struktur bahasa (tata bahasa) tertentu
yang merupakan kunci terhadap tujuan pelajaran (bahan ajar bahasa).
8. Task (tugas) – kegiatan puncak yang memberi pembelajar kesempatan
mengintegrasikan dan menggunakan gagasan kunci dan keterampilan
yang diajarkan dalam pelajaran.
Selain kedelapan ciri pengembangan tersebut, dibutuhkan pula penyiapan
bahan bacaan tambahan (supplementary reading). Bacaan tambahan adalah
bahan bacaan yang berkaitan untuk dibaca oleh pembelajar pada waktu
senngang sebagai tugas penguatan dan pengayaan bagi pembelajar. Itulah
sebabnya diasumsikan bahwa pemilihan teks input merupakan salah satu aspek
yang paling mendasar dalam keseluruhan proses penyiapan dan penulisan
bahan ajar.

Merancang Buku

Penulis buku, yang mungkin juga pengajar materi buku itu, harus
mempertimbangkan hal berikut ini.

72
1. Apakah buku itu merupakan bantuan untuk kuliah?
2. Apakah buku itu merupakan tambahan bahan kuliah yang pokok?
3. Apakah buku itu berisi uraian tentang bagian tersulit dari keseluruhan isi
buku?
4. Apakah buku itu merupakan teks yang penuh dengan bahan latihan?
5. Apakah buku itu akan berisi intisari dari buku-buku yang seharusnya
dipelajari oleh mahasiswa?
Kalau penulis/pengajar sudah memahami secara jelas fungsi buku yang akan
ditulis, maka penulis dapat memikirkan isinya secara umum. Penulis, dengan
bantuan pengalaman, menentukan bab-bab yang perlu ada. Bab-bab itulah
yang memaparkan bahan kuliah yang disajikan. Cara menyusun bab itu dapat
dituangkan dalam beberapa tahap.

Tahap 1, penulis menetukan dan memilih topik yang akan dibahas dalam bab itu.
Pengalaman penulis dan/atau pengajar menjadi masukan tim penulis.
Dari bahan-bahan itu dipilihlah bahan yang diperlukan dan menyisihkan
bahan yang tidak diperlukan.

Tahap 2, penulis menentukan bentuk dan susunan bab secara logis berdasarkan
topik-topik yang telah dipilih. Hal ini sangat penting karena bab-bab itu
akan membantu pengajar melihat kejelassan sajian. Susunan bab yang
baik merupakan syarat yang harus terpenuhi agar tampak keruntutan
tema buku yang ditulis.

Tahap 3, untuk memantapkan susunan bab yang logis, penulis memerlukan


diskusi/masukan dari kolega yang berkeahlian dalam bidang yang sama.
Diskusi itu akan menghindarkan penulis dari kesalahan yang mungkin
terjadi, tetapi tidak terlihar oleh penulis sendiri. Selain itu, , diskusi itu

73
berguna untuk mengatasi keraguan-keraguan yang mungkin membayangi
penulis.

Tahap 4, penulis mengumpulkan sebanyak-sebanyaknya bahan yang dibutuhkan


untuk meyusun bab itu (teks, grafik, table, gambar, dsb).

Tahap 5, penulis membuat daftar isi yang rinci. Hal-hal yang termasuk di dalamnya
antara lain: judul bab, judul rincian bab, serta bagian-bagian lainnya.

Contoh 1 Contoh 2

I. Judul bab 1. Judul bab

A. Judul rincian bab 1.1 Judul rincian bab

1.Subjudul 1.1.1 Subjudul


2.Subjudul 1.1.2 Subjudul
B. Judul rincian bab 1.2 Judul rincian bab

1. Subjudul 1.2.1 Subjudul

2. Subjudul 1.2.2 Subjudul

3. Subjudul 1.2.3 Subjudul

Tahap 6, setelah bab-bab itu tersusun secara pasti, dimulailah menulis kalimat-
kalimat tesis atau kalimat inti mengenai uraian tiap bagian, judul,
subjudul, atau tiap alinea. Kalimat-kalimat tesis atau kalimat inti itu
merupakan petunjuk penulisan teks secara lengkap. Penulis sudah dapat
menyusun kerangka bab serta alinea-alineanya. Setelah itu, penulis sudah
dapat bekerja.

Penulisan Bab
74
Buku merupakan suatu tulisan yang mendukung tema tertentu. Oleh karena itu,
bab-bab buku itu diurutkan sedemikian rupa sehingga menunjukkan keterkaitan
yang mendukung tema itu. Untuk mengantar pembaca, penulis senantiasa
memulai tulisannya dari pendahuluan. Pendahuluan merupakan pintu masuk
perkenalan tema buku, diikuti dengan bab-bab isi, dan seterusnya dengan bab-
bab penjelas, diakhiri dengan bab penutup sebagai kesimpulan atau
rangkuman tema bab tersebut. Mengenai bab penutup ini, ada versi yang lazim
digunakan oleh tia-tiap penulis. Ada penulis yang membuat rangkuman pada
setiap akhir bab sebagai penutup bab. Selain itu, ada pula penulis yang
menggunakan bab penutup untuk sebuah buku yang ditulisnya.

Judul bab dan judul rincian bab menjadi petunjuk tema dan merupakan
penuntun bagi penulis untuk mengembangkan tulisan pada bab rincian bagi bab
yang bersangkutan. Tema merupakan ungkapan dasar hal yang dibisacarakan.
Ungkapan dasar inilah yang dikembangkan bab-bab penjelas. Pengembangan
tema tersebut memanfaatkan fungsi-fungsi retoris yang sesuai dengan fungsi
dan tujuan pengembangan tema yang bersangkutan.

Penulisan bab sebagai keutuhan tema harus didukung oleh penulisan alinea-
alinea pendukukngnya yang juga mendukung tema-tema bawahan pendukung
bab itu. Alinea pembuka bab sebagai pintu masuk bab dan alinea penutup bab
sebagai penekanan kembali isi bab dan membantu pembaca mengingat kembali
secara jelas tema bab yang bersangkutan.. Antara alinea pembuka bab dan
alinea penutup disajikanlah alinea penjelas tema bab tersebut.

Penulisan Draft Pertama

75
Penulisan buku ajar tidak langsung jadi. Kalimat-kalimat tesis yang telah
dibuat pada tahap 6 dijadikan dasar penulisan naskah pertama. Kalimat-
kalimat itu merupakan dasar yang menentukan urutan dan keutuhan naskah.
Kalimat-kalimat tesis itu dikembangkan menjadi alinea-alinea yang disusun
secara runtut menjadi keutuhan teks. Penulis perlu menulis saja secara terus
menerus sebanyak-banyaknya sesuai kebutuhan. Pada tahap ini penulis belum
perlu menyunting kalimat-kalimatnya karena hal itu akan mengganggu
kelancaran arus ide yang dituangkan dalam tulisan. Penyuntingan dilakukan
setelah seluruh tulisan draft pertama selesai. Yang penting diperhatikan ialah
penulis menuangkan ide/gagasannya secara lengkap tanpa mengindahkan
dahulu bahasa dan perwajahan naskah.

Untuk memudahkan pembaca, perlu digunakan cara-cara pengembangan alinea


yang sesuai dan tepat sebagai fungsi retoris. Misalnya, untuk buku teks sejarah
sering berupa deskripsi, narasi, dan hubungan sebab akibat. Untuk sain,
terutama biologi, fungsi retoris yang sering digunakan adalah deskripsi,
definisi, klasifikasi, dan hubungn sebab akibat. Untuk humaniora, sering
digunakan ilustrasi dan contoh, komparasi, dan kontras sebagai fungsi retoris.

Dalam dunia nyata, terdapat 9 tipe wacana ekspositori, yaitu: (1) narasi, (2)
deskripsi, (3) definisi, (4) ilustrasi dan contoh, (5) klasifikasi dan difinisi, (6)
komparasi dan kontras, (7) analogi, (8) penjelasan proses, dan (9) sebab dan
akibat. Tipe-tipe wacana ekspositori itu sering digunakan bersama-sama sesuai
dengan kebutuhan. Jadi, tidak ada satu tipe tertentu saja yang digunakan secara
monoton. Namun, untuk maksud dan tujuan belajar-mengajar, dilakukalah
pengelompokan dan penataan tipe-tipe itu secara sistematis dan logis sesuai
dengan kebutuhan bahan ajar.

76
Pengalaman menunjukkan bahwa penuangan hal-hal itu ke dalam alinea tidak
akan selalu berhasil. Walaupun begitu, penulis perlu mencobanya berulang-
ulang hingga hasil yang diharapkan dapat dicapai, sebagaimana motto orang-
orang pintar: “Menulislah terus karena mutu akan mengikut dengan
sendirinya.”

Agar pembaca terbantu dalam memahami teks, maka penulis perlu


menjelaskan sistematika tulisannya. Pembagian dan penyusunan alinea yang
baik akan sangat membantu dan sangat bermanfaat dalam memudahkan
pembaca mengikuti dan memahami ide atau gagasan penulis. Penulis juga
perlu memberikan tanda-tanda yang memperjelas susunan teks.. Tanda-tanda
itu dapat berupa nomor, bentuk huruf yang berbeda (misalnya: huruf miring,
huruf tebal). Penulis juga dapat memberi tanda yang memberitahukan bahwa
suatu bagian telah berakhir. Dengan demikian, penulis memberitahukan
pembaca bahwa pembaca akan beralih ke bagian selanjutnya. Penggunaan
alinea peralihan merupakan salah satu cara penanda perlaihan paragraf.
Dengan cara itu, pembaca diingatkan kembali susunan bab yang sedang diikuti
sehingga pembaca akan memperoleh gambaran menyeluruh terhadap materi
tulisan.

Apabila bahan tulisan merupakan bahan yang rumit, penulis perlu memberi
beberapa conbtoh guna memperjelas idenya. Contoh-contoh yang dimaksud
sangat membantu pembaca untuk memahami bahan ajar. Pemahaman yang
dimaksud terutama bagi peserta didik dengan cara melengkapi teks dengan
pertanyaan-pertanyaa/bahan latihan. Pertanyaan/latihan itu dapat diberikan
pada akhir bab atau bagian akhir unit bahan tertentu. Pertanyaan/latihan itu
memaksa pembelajar untuk mengulangi bahan ajar yang dipelajarinya.

77
Kalau semua bab sudah selesai ditulis, penulis harus melakukan pemeriksaan
kembali terhadap semua yang telah ditulisnya mulai dari awal. Penulis
membaca kembali tulisannya dan memeriksa keterkaitan yang logis
antarbagian dan susunan yang saling bertaut. Kalau ditemukan ketidakserasian
penalaran dan l;ogika, maka dilakukan perubahan-perubahan seperlunya.
Mungkin juga diperlekan penyisipan bahan di sana sini guna mendukung alur
penalaran yang logis itu.

Pemeriksaan juga dilakukan terhadap konsistensi penulisan dan teknik


pengutipan, cara merujuk referensi dan kecermatan penulisan makna, dan
sebagainya. Yang perlu diperiksa dengan cermat ialah pemakaian bahasa
karena soal bahasa tekadang kurang dipehatikan ketika sedang memfokuskan
perhatian pada ide yang sedang dituangkan ke dalam tulisan. Ini adalah
pekerjaan penyuntingan. Penyuntingan ini hendaknya mempertimbangkan pula
penyusunan kalimat yang memudahkan aliran alur nalar dan alur gagasan yang
menyenangkan pembaca untuk memahami dan/atau menikmati tulisan yang
dibacanya. Pemeriksaan ulang dapat melibatkan teman seprofesi dalam bidang
yang sama.

Setelah pemeriksaan ulang itu, mungkin perlu dilakukan penulisan kembali


atas daraf itu. Tulisan akhir ini menghasilkan tulisan yang berbentuk
manuskrip atau naskah jadi yang siap untuk diketik.

Untuk menjadikan manuskrp itu sebagai satu buku, maka dilengkapilah


dengan:

a. Sampul, sampul memeiliki daya tarik tersendiri sehingga perlu ada


ilustrasi.

78
b. Pengantar, yang menyatakan fungsi buku, pembagian bab-bab, dan
sasaran buku.
c. Daftaf isi yang mencantumkan: bab, judul, dan bagian lainnya dari
buku.
d. Pendahuluan, yang menyatakan hal-hal yang akan dihadapi oleh
pembaca atau pembelajar, petunjuk cara mempelajari, dan apa yang
diharapkan oleh penulis.
e. Daftar kepustakaan, diperlukan untuk mengetahui sumber informasi.
f. Daftar kata/istilah (glosarium) pengutipan yang sulit disusun secara
alfabetis.
Setelah rangkaian kegiatan perbaikan sudah dilakukan, maka tim reviu
dan mitra ahli dapat membuat komentar yang diharapkan dapat berguna bagi
penulis untuk penyempurnaan tulisannya.

C. Daftar Pustaka
Bagian paling akhir suatu karya ilmiah adalah daftar pustaka. Lampiran
dan riwayat hidup tidak termasuk tubuh suatu karya ilmiah. Disarankan agar
buku-buku atau sumber tertulis lainnya yang dicantumkan pada daftar pustaka
benar-benar relevan dengan bidang ilmu yang ditulis. Agar prinsip etika ilmiah
tetap dipertahankan, penulis diharapkan secara objektif menuliskan semua
sumber yang memberi inspirasi atau pengetahuan yang dituangkan ke dalam
tulisannya.
Ada dua istilah yang perlu dipahami, yaitu daftar pustaka dan daftar

bacaan atau daftar rujukan. Daftar pustaka adalah daftar buku yang
79
mempunyai hubungan dengan penelitian, walaupun tidak dikutip langsung.

Daftar bacaan atau daftar rujukan adalah daftar buku yang dijadikan sumber

informasi dalam menulis, baik proposal maupun laporan penelitian. Adapun

cara menulis daftar pustaka atau daftar bacaan ada tiga macam sebagaimana

diuraikan berikut ini.

1. Menurut Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (TBBI), urutannya:

nama penulis, tahun, judul, kota tempat penerbitan, penerbit

Contoh:

Habibi, B. J. 1999. Rekayasa Mesin Pesawat Terbang Modern.

Jakarta: Balai Pustaka.

2. Menurut American Psiychological Association (APA), urutannya:

nama penulis. (tahun), judul, kota tempat penerbitan, penerbit

Contoh:

Habibi, B. J. (1999). Rekayasa Mesin Pesawat Terbang Modern.

Jakarta: Balai Pustaka.

3. Menurut Modern Language Assiciation (MLA), urutannya:

nama penulis, judul, kota tempat penerbitan, penerbit tahun


80
Contoh:

Habibi, B. J. Rekayasa Mesin Pesawat Terbang Modern. Jakarta:

Balai Pustaka, 1999.

Ketiga cara penulisan daftar pustaka yang dikemukakan di atas


merupakan hasil kesepakatan para pustakawan di Indonesia. Itulah sebabnya,
setiap lembaga atau sublembaga, termasuk lembaga pendidikan atau
percetakan secara menasuka memilih dan menggunakan salah satu cara itu.
Dalam lingkungan UNM misalnya, setiap fakultas, bahkan setiap dosen
menggunakan cara penulisan daftar pustaka dengan tidak sama. Akan tetapi,
yang terpenting, mereka menggunakan salah satu dari ketiga cara itu. Ketiga
cara penulisan daftar puistaka itu digunakan secara manasuka untuk menulis
daftar pustaka yang berasal dari berbagai jenis karya tulis yang di antaranya
disebutkan di bawah ini.
1. Acuan yang diambil dari buku.
Contoh:
Underwood, Mary. 1987. Effective Class Management. London:
LongmanLimited.
Munandar, Utami.(1999). Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat.
Jakarta:
Rineka Cipta.
Wahab, Abdul dan Lestari, Lies Amin. Menulis Karya Ilmiah. Surabaya:
Airlangga University Press, 1999.
2. Acuan buku yang berisi artikel (antologi).
Contoh:
81
Aminuddin (Ed.). 1990. Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam
Bidang
Bahasa dan Sastra. Malang: HISKI Komisariat Malang.
Letheridge, S. and Cannon, C.R. (Eds). (1987) Bilingual Education:
Teaching
English as a Second Language. New York: Preager.

Aminuddin (Ed.).. Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam Bidang


Bahasa dan Sastra. Malang: HISKI Komisariat Malang, 1990.
3. Acuan dari artikel yang dimuat dalam suatu buku.
Contoh:
Hasan, M.Z. 1990. “Karakteristik Penelitian Kualitatif.” Dalam
Aminuddi (Ed.), Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam Bidang
Bahasa dan Sastra
(hlm. 12—25). Malang: HISKI Komisariat Malang.

Hasan, M.Z. (1990). “Karakteristik Penelitian Kualitatif.” Dalam


Aminuddi
(Ed.), Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam Bidang
Bahasa
Sastra (hlm. 12—25). Malang: HISKI Komisariat Malang.

Hasan, M.Z. “Karakteristik Penelitian Kualitatif.” Dalam Aminuddi


(Ed.),
Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan
Sastra
(hlm. 12—25). Malang: HISKI Komisariat Malang, 1990.

4. Acuan dari artikel yang dimuat dalam jurnal.

Contoh:
Hanafi, A. 1990. “Partisipasi dalam Siaran Pedesaan dan Pengadopsian
Inovasi.” Forum Penelitian, 1 (I):33—47.

Hanafi, A. (1990). “Partisipasi dalam Siaran Pedesaan dan


Pengadopsian
82
Inovasi.” Forum Penelitian, 1 (I):33—47.

Hanafi, A. “Partisipasi dalam Siaran Pedesaan dan Pengadopsian


Inovasi.”
Forum Penelitian, 1 (I):33—47, 1990.

5. Acuan dari artikel yang dimuat di surat kabar atau majalah yang tidak
jelas
nama penulisnya.
Contoh:
Fajar. 2004, 29 Februari. Osama Dilaporkan Tertangkap. Halaman 1.

Fajar. (2004, 29 Februari). Osama Dilaporkan Tertangkap. Halaman 1.

Fajar. Osama Dilaporkan Tertangkap. Halaman 1. 2004, 29 Februari.

6. Acuan dari artikel yang dimuat di surat kabar atau majalah yang ada
nama
penulisnya
Contoh:
Yahya, Muas. 2004, 29 Februari. “Lahan Tidur untuk Rumah Toko.”
Fajar,
hlm. 30.

Yahya, Muas. (2004, 29 Februari). “Lahan Tidur untuk Rumah Toko.”


Fajar,
hlm. 30.

Yahya, Muas. “Lahan Tidur untuk Rumah Toko.” Fajar, hlm. 30. 2004,
29
Februari

7. Acuan yang diambil dari publikasi resmi yang diterbitkan oleh penerbit
tanpa
nama pengarang atau nama lembaga yang menerbitkan.
Contoh:
Undang-Undang Reoublik Indonesia Nomor 22 Tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. 1990. Jakarta: Diperbanyak oleh PT Armas
83
Duta Jaya.

Undang-Undang Reoublik Indonesia Nomor 22 Tahun 1989 tentang Sistem


Pendidikan Nasional. (1990). Jakarta: Diperbanyak oleh PT Armas
Duta Jaya.

Undang-Undang Reoublik Indonesia Nomor 22 Tahun 1989 tentang Sistem


Pendidikan Nasional. Jakarta: Diperbanyak oleh PT Armas Duta
Jaya,
1990

8. Acuan yang diambil dari dokumen yang ditulis atas nama lembaga.
Contoh:
Program Pascasarjan, Universitas Negeri Makassar. 2002. Pedoman
Penyusunan
Tesis/Disertsi. Makassar: Universitas Negeri Makassar.

Program Pascasarjan, Universitas Negeri Makassar. (2002). Pedoman


Penyusunan Tesis/Disertsi. Makassar: Universitas Negeri Makassar.

Program Pascasarjan, Universitas Negeri Makassar. Pedoman Penyusunan


Tesis/Disertsi. Makassar: Universitas Negeri Makassar, 2002.

9. Acuan yang diambil dari terjemahan.


Contoh:
Underwood, Mary. 1987. Pengelolaan Kelas yang Efektif. Terjemahan oleh
Susi
Purwoko. 2000. Jakarta: Arcan.

Underwood, Mary. 1987. Pengelolaan Kelas yang Efektif. Terjemahan oleh


Susi
Purwoko. (2000). Jakarta: Arcan.

Underwood, Mary. 1987. Pengelolaan Kelas yang Efektif. Terjemahan oleh


Susi
Purwoko. Jakarta: Arcan, 2000.

84
10. Acuan yang diambil dari skripsi, tesis, disertasi.
Contoh:
Amin, Muhammad. 2001. Pengembangan Tes Komunikatif Bahasa
Indonesia Siswa
Kelas III Sekolah Menengah Umum Negeri di Kota Makassar. Tesis
tidak
diterbitkan. Program Pascasarjana UNM.

Amin, Muhammad. (2001). Pengembangan Tes Komunikatif Bahasa


Indonesia
Siswa Kelas III Sekolah Menengah Umum Negeri di Kota
Makassar. Tesis
tidak diterbitkan. Program Pascasarjana UNM.

Amin, Muhammad. Pengembangan Tes Komunikatif Bahasa Indonesia


Siswa
Kelas III Sekolah Menengah Umum Negeri di Kota Makassar. Tesis
tidak
diterbitkan. Program Pascasarjana UNM. 2001.

11. Acuan yang bersumber dari makalah yang disajikan dalam seminar
atau
lokakarya.
Contoh:
Maula, Amiruddin. 2003. Peranan Bahasa Indonesia dalam
Pembangunan.
Makalah disajikan pada Seminar Bulan Bahasa, Fakultas Bahasa
dan Seni
UNM, Makassar, 8 Oktober.

Maula, Amiruddin. (2003). Peranan Bahasa Indonesia dalam


Pembangunan.
Makalah disajikan pada Seminar Bulan Bahasa, Fakultas Bahasa
dan Seni
UNM, Makassar, 8 Oktober.

Maula, Amiruddin. Peranan Bahasa Indonesia dalam Pembangunan.

85
Makalah disajikan pada Seminar Bulan Bahasa, Fakultas Bahasa
dan Seni
UNM, Makassar, 8 Oktober, 2003.

12. Acuan yang diambil dari internet.


Informasi dari internet, bagi sebagian orang, dianggapnya sebagai
informasi yang paling mutakhir dan cangguh. Alasannya ialah bahwa informasi
dari internet belum ada dalam publikasi yang lain. Alasan ini, mungkin benar,
tetapi mungkin juga tidak sepenuhnya benar. Penulis sendiri berpendapat
bahwa tidak semua informasi dari internet benar-benar baru yang belum pernah
ditemukan dalam publikasi lain. Konsep “pendidikan berbasis kompetensi”
misalnya, informasinya berkembang sejak tahun 1970-an di Amerika dan
Eropa, dan masuk ke Indonesia pada tahun 1980-an.
Pada awal tahun 2001, konsep ini muncul kembali dan dianggap
sebagai konsep baru. Orang pun, termasuk penulis sendiri, ramai-ramai mencari
informasi itu di internet. Hasilnya, memang ada informasi yang berhubungan
dengan “pendidikan berbasis kompetensi”, tetapi informasi itu semuanya
mengacu kepada literatur yang terbit tahun 1970-an, sedikit tahun 1980-an.
Informasi yang sama banyak orang yang telah membacanya pada tahun 1970-
an atau 1980-an. Ini menunjukkan bahwa informasi dari internet tidak
selamanya canggih, seperti yang diasumsikan banyak orang. Akan tetepi, tidak
disangkal pula bahwa memang ada informasi ilmiah yang ditemukan di internet
dan tidak ditemukan dalam publikasi umum. Informasi demikian itulah yang
memaksa kita untuk mencari model penulisan acuan atas informasi itu.
Sampai sekarang, belum ada model penulisan acuan yang diambil
dari internet. Ada alasan yang berkaitan dengan hal ini. Pertama, informasi
yang biasa ditemukan di internet umumnya berupa makalah yang telah

86
disajikan dalam suatu seminar atau kegiatan ilmiah lainnya. Dengan demikian,
penulisan acuannya tentu sama dengan makalah yang dibagikan kepada peserta
dalam suatu seminar. Kedua, informasi dari internet umumnya dalam bentuk
artikel yang telah dipublikasikan dalam majalah atau koran, atau buku sebagai
bunga rampai. Jika demikian, maka penulisan acuannya beranalogi pada
penulisan artikel dari majalah/koran atau bunga rampai.
Jika informasi yang dimaksud tidak termasuk dalam kelompok kedua
jenis karya ilmiah itu, maka penulisan acuan informasi yang dianjurkan sebagai
berikut.

Gabel, Dorothy. 1995. An Introduction to Action Research. Diakses dari


internet,
Desember 2003.
Gabel, Dorothy. (1995). An Introduction to Action Research. Diakses dari
internet,
Desember 2003.

Bacaan
Arikunto, Suharsimi. 1991. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan
Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Hidalgo, A.C. David Hall, dan George M. Jacobs (Ed.)1995. Getting Started:
Material

Writers on Material Writing. Singapore: SEAMEO Regional


Language Centere.
87
Pedoman Umum Lomba Karya Tulis Mahasiswa.2004. Jakarta:
Dirjen Dikti.
Tomlinson, B. (Ed.) 1998. Materials Development in Language Teaching.
Canbridge:

Cambridge University Press.

Rooijakkers, Ad. 1990. Mengajar dengan Sukses. Petunjuk untuk


Merencanaman dan

Pengajaran. Jakarta: Gramedia.

Wahab, Abdull dan Lestari, Lies Amin. 1999. Menulis Karya Ilmiah.

88
PEDOMAN EJAAN YANG DISEMPURNAKAN

Klarifikasi
Pedoman Ejaan yang Disempurnakan yang dikemukakan kembali
dalam tulisan ini telah diresmikan penggunaannya pada tanggal 17 Agustus
1972 oleh Presiden Republik Indonesia, Soeharto. Formulasi kalimat dan
contoh-tontoh yang dinyatakan dalam tulisan ini pun masih asli dari teks asli
naskah pertama Pedoman Ejaan yang disempurnakan yang secara remi
diterbitkan pada tahun 1975. Keaslian naskah tetap dipertahankan karena
buku Pedoman Ejaan yang Disempurnakan termasuk dokumen negara sebagai
penjabaran dari Pasal 36 UUD 1945 tentang kedudukan bahasa Indonesia
sebagai bahasa resmi negara.

A. Pemenggalan Kata
1. Pemenggalan kata pada kata dasar dilakukan sebagai berikut.
a. Jika di tengah kata ada vokal yang berurutan, pemenggalan itu
dilakukan di antara kedua huruf vokal itu.
Misalnya: ma-in, sa-at, bu-ah
Huruf diftong ai, au, dan oi tidak pernah diceraikan sehingga
pemenggalan kata tidak dilakukan di antara kedua huruf itu.
Misalnya:
au-la bukan a-u-la
sau-da-ra bukan sa-u-da-ra
am-boi bukan am-bo-i

89
b. Jika di tengah kata ada huruf konsonan, termasuk gabungan-huruf
konsonan, di antara dua buah huruf vokal, pemenggalan sebelum huruf
konsonan.
Misalnya:
ba-pak ba-rang su-lit
la-wan de-ngan ke-nyang
mu-ta-khir
c. Jika di tengah kata ada dua huruf konsonan yang berurutan, pemenggalan
dilakukan di antara kedua huruf konsonan itu. Gabungan-huruf
konsonan tidak pernah diceraikan.
Misalnya:
man-di som-bong swas-ta
cap-lok Ap-ril bang-sa
makh-luk
d. Jika di tengah kata ada tiga buah huruf konsonan atau lebih,
pemenggalan dilakukan di antara huruf konsonan yang pertama dan
huruf konsonan yang kedua.
Misalnya:
in-stru-men ul-tra
in-fra bang-krut
ben-trok ikh-las
2. Imbuhan akhiran dan imbuhan awalan, termasuk awalan yang mengalami
perubahan bentuk serta partikel yang biasanya ditulis serangkai dengan kata
dasarnya, dapat dipenggal pada pergantian baris.
Misalnya:
makan-an me-rasa-kan
90
mem-bantu pergi-lah
Catatan:
a. Bentuk dasar pada kata turunan sedapat-dapatnya tidak dipenggal.
b. Akhiran –i tidak dipenggal.
c. Pada kata yang berimbuhan sisipan, pemenggalan kata dilakukan
sebagai berikut.
Misalnya:
te-lun-juk si-nam-bung
ge-li-gi
3. Jika suatu kata terdiri atas lebih dari satu unsur dan salah satu unsur itu dapat
bergabung dengan unsur lain, pemenggalan dapat dilakukan (1) di antara
unsur-unsur itu atau (2) pada unsur gabungan itu sesuai dengan kaidah 1a,
ib, 1c, dan 1d di atas.
Misalnya:
bio-grafi, bi-o-gra-fi
foto-grafi, fo-to-gra-fi
intro-speksi, in-tro-spek-si
kilo-gram, ki-lo-gram
kilo-meter, ki-lo-me-ter
pasc-panen, pas-ca-pa-nen
Keterangan:
Nama orang, badan hukum, dan nama diri yang lain disesuaikan dengan
Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan kecuali jika ada
pertimbangan khusus.
B. Pemakaian Huruf Kapital dan Huruf Miring
a. Huruf Kapital atau Huruf Besar
91
1. Huruf kapital atau huruf besar dipakai sebagai huruf pertama kata pada
awal kalimat.
2. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama petikan langsung.
3. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama dalam ungkapan yang
berhubungan dengan nama Tuhan dan kitab suci, termasuk kata ganti
untuk Tuhan
4. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama gelas kehormatan,
keturunan, dan keagamaan yang diikuti nama orang.
5. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur nama jabatan dan
pangkat yang diikuti nama orang atau dipakai sebagai pengganti nama
orang tertentu, nama instansi, atau nama tempat.
6. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur-unsur nama orang.
7. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama bangsa, suku bangsa,
dan bahasa.
8. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama tahun, bulan, hari,
hari raya, dan peristiwa sejarah.
9. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama geografi.
10. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama semua unsur nama negara,
lembaga pemerintahan dan ketatanegaraan, serta nama dokumen resmi
kecuali kata seperti dan.
11. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama setiap unsur bentuk ulang
sempurna yang terdapat pada nama badan, lembaga pemerintah dan
ketatanegaraan, serta dokumen resmi.
12. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama semua kata (termasuk
semua unsur kata ulang sempurna) di dalam nama buku, majalah, surat

92
kabar, dan judul karangan, kecuali kata seperti di, ke, dari, dan, yang,
dan untuk yang tidak terletak pada posisi awal.
13. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur singkatan nama,
gelar, pangkat, dan sapaan.
14. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama kata penunjuk hubungan
kekerabatan seperti bapak, ibu, saudara, kakak, adik, dan paman yang
dipakai dalam penyapaan dan pengacuan.
15. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama kata ganti Anda.
b. Huruf Miring
1. Huruf miring dalam cetakan dipakai untuk
menuliskan nama buku, majalah, dan surat kabar yang dikutip dalam
tulisan.
2. Huruf miring dalam cetakan dipakai untuk
menegaskan atau mengkhususkan huruf, bagian kata, kata, atau kelompok
kata.
3. Huruf miring dalam cetakan dipakai untuk
menuliskan kata nama ilmiah atau ungkapan asing kecuali yang telah
disesuaikan ejaannya.
C. Penulisan Kata
a. Kata Dasar
Kata yang berupa kata dasar ditulis sebagai satu kesatuan.
B. Kata Turunan
1. Imbuhan (awalan, sisipan, akhiran) ditulis serangkai dengan kata
dasarnya.
2. Jika bentuk dasar berupa gabungan kata, awalan atau akhiran ditulis
serangkai dengan kata yang langsung mengikuti atau mendahuluinya.
93
3. Jika bentuk dasar berupa gabungan kata kata mendapat awalan dan
akhiran sekaligus, unsur gabungan kata itu ditulis serangkai.
4. Jika salah satu unsur gabungan kata hanya dipakai dalam kombinasi,
gabungan kata itu ditulis serangkai.
Misalnya:
adipati mahasiswa
aerodinamika mancanegara
antarkota narapidana
audiogram nonkolaborasi
awahama Pancasila
bikarbonat panteisme
biokimia paripurna
caturtunggal poligami
dasawarsa pramuniaga
dekameter prasangka
demoralisasi purnawirawan
dwiwarna reinkarnasi
ekawarna saptakrida
ekstrakurikuler semiprofesional
elektriteknik subseksi
infrastruktur swadaya
inkonvensional telepon
introspeksi transmugrasi
kolonialisme tritunggal
kosponsor ultramodern
c. Bentuk Ulang
94
Bentuk ulang ditulis secara lengkap dengan menggunakan tanda hubung.
d. Gabungan Kata
1. Gabungan kata yang lazim disebut kata majemuk, termasuk istilah
khusus, unsur-unsurnya ditulis terpisah.
2. Gabungan kata, termasuk istilah khusus, yang mungkin menimbulkan
kesalahan pengertian, dapat ditulis dengan tanda hubung untuk
menegaskan pertalian di antara unsur yang bersangkutan.
3. Gabungan kata berikut ditulis serangkai.
Misalnya:
acapkali manakala
adakalanya manasuka
akhirulkalam mangkubumi
alhamdulillah matahari
astagfirullah orahraga
bagaimana padahal
barangkali paramasastra
beasiswa peribahasa
belasungkawa puspawarna
bilamana radioaktif
bismillah saptamarga
bumiputra saputangan
daripada saripati
darmabakti sebagaimana
darmasiswa sediakala
darmawisata segitiga
dukacita sekalipun
95
halalbihalal silaturahmi
hulubalang sukacita
kacamata sukarela
kasatmata sukaria
kepada syahbandar
keratabasa titimangsa
kilometer wasalam
e. Kata Ganti –ku, kau-, -mu, dan –nya.
Kata ganti ku- dan kau- ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya;
-ku, -mu, dan –nya ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya.
f. Kata Depan di, ke, dan dari
Kata depan di, ke, dan dari ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya
kecuali di dalam gabungan kata yang sudah lazim dianggap sebagai satu
kata seperti kepada dan daripada.
g. Kata si dan sang
Kata si dan sang ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya.
h. Partikel
1. Partikel –lah, -kah, dan –tah ditulis serangkai dengan kata yang
mendahuluinya.
2. Partikel pun ditulis terpisah dari kata yang mendahuluinya.
3. Partikel per yang berarti ‘mulai’, ‘demi’, dan ‘tiap’ ditulis terpisah dari
bagian kalimat yang mendahului atau mengikutinya.
i. Singkatan dan Akronim
1. Singkatan ialah bentuk yang dipendekkan yang terdiri atas satu huruf
atau lebih.

96
a. Singkatan nama orang, nama gelar, sapaan, jabatan, atau pangkat
diikuti dengan tanda titik.
b. Singkatan nama resmi lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, badan
atau organisasi, serta nama dokumen resmi yang terdiri atas huruf
awal kata ditulis dengan huruf kapital dan tidak diiukuti dengan
titik.
c. Singkatan umum yang terdiri atas tiga huruf atau lebih diikuti satu
tanda titik.
Misalnya:
dll. dan lain-lain
dsb. dan sebagainya
dst. dan seterusnya
hlm. halaman
sda. sama dengan atas
Yth. Yang terhormat
Tetapi:
a.n. atas nama
d.a. dengan alamat
u.b. untuk beliau
u.p untuk perhatian
dst.
Singkatan yang terdiri atas huruf kapital tidak dititik.
Contoh:
DPR
MPR
KPU
97
DPA
MA
FKIP
ABRI
UUD
KUD
dst.
d. Lambang kimia, singkatan satuan ukuran, takaran, timbangan, dan
mata uang tidak diikuti tanda titik.
Misalnya:
Cu kuprum
TNT trinitrotoleun
cm sentimeter
kVA kilovolt-ampere
l liter
kg kilogram
Rp rupiah
2. Akronim ialah singkatan yang berupa gabungan huruf awal, gabungan
suku kata dari deret kata yang diperlukan sebagai kata.
a. Akronim nama dari yang berupa gabungan huruf awal dari deret
kata ditulis seluruhnya dengan huruf kapital.
b. Akronim nama diri yang berupa gabungan suku kata atau gabungan
huruf dan suku kata dari deret kata ditulis dengan huruf awal huruf
kapital.

98
c. Akronim yang bukan nama diri yang berupa gabungan huruf, suku
kata, ataupun gabungan huruf dan suku kata dari deret kata
seluruhnya ditulis dengan huruf kecil.
D. Pemakaian Tanda Baca
a. Tanda Titik (.)
1. Tanda titik dipakai pada akhir kalimat yang bukan pertanyaan atau
seruan.
2. Tanda titik dipakai di belakang angka atau huruf dalam satu bagan,
ikhtisar, atau daftar.
Misalnya:
a. III. Departemen Dalam Negeri
A. Direktorat Jenderal Pem-bangunan Masyarakat Desa
B. Direktorat Jenderal Agraria
1. ...
b. 1. Patokan Umum
1.1 Isi Karangan
1.2 Illustrasi
1.2.1 Gambar tangan
1.2.2 Tabel
1.2.3 Grafik
b. Tanda Koma (,)
1. Tanda koma dipakai di antara unsur-unsur dalam suatu perincian atau
pembilangan.
2. Tanda koma dipakai untuk memisahkan kalimat setara yang satu dari
kalimat setara berikutnya yang didahului oleh kata seperti tetapi atau
melainkan.
99
Tanda koma dipakai untuk memisahkan anak kalimat dari induk kalimat
jika anak kalimat itu mendahului induk kalimatnya.
Tanda koma tidak dipakai untuk memisahkan anak kalimat dari induk
kalimat jika anak kalimat itu mengiringi induk kalimatnya.
3. Tanda koma dipakai di belakang kata atau ungkapan penghubung
antarkalimat yang terdapat pada awal kalimat. Termasuk di dalamnya
oleh karena itu, jadi, lagi pula, meskipun begitu, dan akan tetapi.
4. Tanda koma dipakai untuk memisahkan kata seperti o, ya, wah, aduh,
kasihan dari kata yang lain yang terdapat di dalam kalimat.
5. Tanda koma dipakai untuk memisahkan petikan langsung dari bagian
lain dalam kalimat.
6. Tanda koma dipakai di antara (i) nama dan alamat, (ii) bagian-bagian
alamat, (iii) tempat dan tanggal, dan (iv) nama tempat dan wilayah atau
negeri yang ditulis berurutan.
7. Tanda koma dipakai untuk menceraikan bagian nama yang dibalik
susunannya dalam daftar pustaka.
8. Tanda koma dipakai di antara bagian-bagian dalam catatan kaki.
9. Tanda koma dipakai di antara nama orang dan gelar akademik yang
mengikutinya untuk membedakannya dari singkatan nama diri,
keluarga, atau marga.
10. Tanda koma dipakai di muka angka persepuluhan atau di antara rupiah
dan sen yang dinyatakan dengan angka.
11. Tanda koma dipakai untuk mengapit keterangan tambahan yang sifatnya
tidak membatasi.
12. Tanda koma dipakai--untuk menghindari salah baca--di belakang
keterangan yang terdapat pada awal kalimat.
100
13. Tanda koma tidak dipakai untuk memisahkan petikan langsung dari
bagian lain yang mengiringinya dalam kalimat jika petikan langsung itu
berakhir dengan tanda tanya atau tanda seru.
B. Tanda Titik Koma (;)
1. Tanda titik koma dapat dipakai untuk memisahkan bagian-bagian
kalimat yang sejenis dan setara.
2. Tanda titik koma dapat dipakai sebagai pengganti kata penghubung
untuk memisahkan kalimat yang setara di dalam kalimat majemuk.
C. Tanda Titik Dua (:)
1a. Tanda titik dua dapat dipakai pada akhir suatu pernyataan lengkap jika
diikuti rangkaian atau pemerian.
1b. Tanda titik dua tidak dipakai jika rangkaian atau pemerian itu
merupakan pelengkap yang mengakhiri pernyataan.
2. Tanda titik dua dipakai sesudah kata atau ungkatan yang memerlukan
pemerian.
3. Tanda titik dua dapat dipakai dalam teks drama sesudah kata yang
menunjukkan pelaku dalam percakapan.
4. Tanda titik dua dipakai (i) di antara jili atau nomor dan halaman, (ii) di
antara bab dan ayat dalam kitab suci, (iii) di antara judul dan anak judul
suatu karangan, serta (iv) nama kota dan penerbit buku acuan dalam
karangan.
D. Tanda Hubung (-)
1. Tanda hubung menyambung suku-suku kata dasar yang terpisah oleh
pergantian baris.
2. Tanda hubung menyambung awalan dengan bagian kata di depannya
pada pergantian baris.
101
3. Tanda hubung menyambung unsur-unsur kata ulang.
4. Tanda hubung menyambung huruf kata yang dieja satu-satu dan bagian-
bagian tanggal.
5. Tanda hubung boleh dipakai untuk memperjelas (i) hubungan bagian-
bagian kata atau ungkapan, dan (ii) penghilangan bagian kelompok kata.
6. Tanda hubungan dipakai untuk merangkaikan (i) se- dengan kata
berikutnya yang dimulai dengan huruf kapital, (ii) ke- dengan angka, (iii)
angka dengan –an, dan (iv) singkatan berhuruf kapital dengan imbuhan
atau kata, dan (v) nama jabatan rangkap.
7. Tanda hubung dipakai untuk merangkaian unsur bahasa Indonesia dengan
unsur bahasa asing.
E. Tanda Pisah (–)
1. Tanda pisah membatasi penyisipan kata atau kalimat yang memberi
penjelasan di luar bangun kalimat.
2. Tanda pisah menegaskan adanya keterangan aposisi atau keterangan
yang lain sehingga kalimat menjadi lebih jelas.
3. Tanda pisah dipakai di antara dua bilangan atau tanggal dengan arti
‘sampai’.
F. Tanda Elipsis (...)
1. Tanda elipsis dipakai dalam kalimat yang terputus-putus.
2. Tanda elipsis menunjukkan bahwa dalam suatu kalimat atau naskah ada
bagian yang dihilangkan.
G. Tanda Tanya (?)
1. Tanda tanya dipakai pada akhir kalimat tanya.
2. Tanda tanya dipakai di dalam tanda kurung untuk menyatakan bagian
kalimat yang disangsikan atau kurang dapat dibuktikan kebenarannya.
102
H. Tanda Seru (!)
Tanda seru dipakai sesudah ungkapan atau pertanyaan yang berupa seruan
atau perintah yang menggambarkan kesungguhan, ketidak-percayaan, atau
pun rasa emosi yang kuat.
I. Tanda Kurung ((...))
1. Tanda kurung mengapit tambahan keterangan atau penjelasan.
2. Tanda kurung mengapit keterangan atau penjelasan yang bukan bagian
integral pokok pembicaraan.
3. Tanda kurung mengapit huruf atau kata yang kehadirannya di dalam
teks dapat dihilangkan.
4. Tanda kurung mengapit angka atu huruf yang memerinci satu urutan
keterangan.
J. Tanda Kurung Siku ([...])
1. Tanda kurung siku mengapit huruf, kata, atau kelompok kata sebagai
koreksi atau tambahan pada kalimat atau bagian kalimat yang ditulis
orang lain. Tanda itu menyatakan bahwa kesalahan atau kekurangan itu
memang terdapat di dalam naskah asli.
2. Tanda kurung siku mengapit keterangan dalam kalimat penjelas yang
sudah bertanda kurung.
K. Tanda Petik (“...”)
1. Tanda petik mengapit petikan langsung yang berasal dari pembicaraan
dan naskah atau bahan tertulis lain.
2. Tanda petik mengapit judul syair, karangan, atau bab buku yang dipakai
dalam kalimat.
3. Tanda petik mengapit istilah ilmiah yang kurang dikenal atau kata yang
mempunyai arti khusus.
103
4. Tanda petik penutup mengikuti tanda baca yang mengakhiri petikan
langsung.
5. Tanda baca penutup kalimat atau bagian kalimat ditempatkan di
belakang tanda petik yang mengapit kata atau ungkapan yang dipakai
dengan arti khusus pada ujung kalimat atau bagian kalimat.
L. Tanda Petik Tunggal (‘...’)
1. Tanda petik tunggal mengapit petikan yang tersusun di dalam petikan
lain.
2. Tanda petik tunggal mengapit makna, terjemahan, atau penjelasan kata
ungkapan asing.
M. Tanda Garis Miring
1. Tanda garis miring dipakai di dalam nomor surat dan nomor pada
alamat dan penandaan masa satu tahun yang terbagi dalam dua tahun
takwim.
2. Tanda garis miring dipakai sebagai pengganti kata, dan, atau, atau tiap.
N. Tanda Penyingkat atau Apostrof (’)

104
PENULISAN KARYA TULIS
Dr. Achmad Tolla, M.Pd.

A. Rasional

Keterampilan menulis memegang peranan kunci dalam dunia


pendidikan, mulai dari tingkat sekolah lanjutan sampai di
perguruan tinggi. Hal ini perlu dikemukakan karena amat banyak
mahasiswa yang mengalami kesulitan jika diberi tugas oleh dosen
untuk menulis karya ilmiah. Berdasarkan keadaan ini dapat
diasumsikan bahwa jika mahasiswa mengalami kesulitan menulis
karya ilmiah, tentu saja kesulitan itu lebih berat bagi siswa sekolah
lanjutan. Dengan demikian, alangkah idealnya jika latihan menulis,
termasuk menulis karya ilmiah, mulai diintensifkan di tingkat
sekolah lanjutan. Kalau usaha ini dilakukan dengan baik, maka
siswa sekolah lanjutan atas diharapakan memiliki keterampilan
menulis dan sekaligus mampu menulis karya ilmiah.
Berdasarkan pengalaman penulis, wilayah kesulitan para
mahasiswa dalam menulis karya ilmiah secara umum dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: (1) prosedur penulisan karya
ilmiah, (2) pemilihan topik yang menarik, mutakhir, dan
berprospek, dan (3) kemampuan memformulasikan ide di dalam
kalimat bahasa Indonesia ragam ilmiah dengan tepat.

105
Pada kesempatan ini, penulis akan lebih banyak membahas
prosedur penulisan karya ilmiah dengan alasan bahwa guru-guru
bidang studi telah memberi pengalaman belajar kepada siswa yang
memungkinkan mereka untuk dapat memilih topik-topik yang
relevan dengan persyaratan di atas yang dapat dikembangkan
menjadi sebuah karya tulis ilmiah. Pengungkapan ide dalam kalimat
bahasa Indonesia ragam ilmiah pun penulis yakin guru bidang studi
yang bersangkutan juga telah, sedang, dan akan terus melatih siswa
untuk menggunakan bahasa Indonesia secara formal, termasuk
ragam bahasa ilmiah. Namun, sebagai bahan renungan, berikut ini
dicantumkan tiga kelompok tema atau topik yang diadaptasi dari
“Pedoman Umum Lomba Karya Tulis Mahasiswa” (2002) yang
dapat menjadi dasar untuk memilih tema atau topik yang baik.
1. Bidang Ilmu
a. Pengembangan kesadaran dan sistem hukum nasional
b. Pengembangan menuju masyarakat madani
c. Pembinaan keluarga dalam menghadapi perubahan nilai sosial
d. Peningkatan kualitas kesehatan masyarakat
e. Pengaruh bahasa terhadap perilaku manusia
f. Pemanfaatan dan pembelajaran potensi lingkungan sekitar
2. Bidang Teknologi
a. Pendayagunaan potensi biologi dan pertanian
b. Pendayagunaan teknologi sepadan

106
c. Pendayagunaan potensi mineral
d. Pendayagunaan potensi kelautan
e. Keefektifan pembelajaran bahasa melalui internet
f. Pendayagunaan potensi informasi teknologi
3. Bidang Seni
a. Penerapan seni dalam pemantapan identitas bangsa
b. Seni dan pendidikan untuk hidup bersama
c. Seni dan pluralisme budaya
d. Peranan seni dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat

B. Sistematika Penulisan Karya Ilmiah


Yang dikemukakan dalam tulisan ini adalah rancangan
penulisan karya ilmiah untuk menjadi pedoman bagi siswa yang
ingin menulis karya ilmiah. Adapun sistematika rancangan yang
dimaksud sebagai berikut.
1. Bagian Awal
a. Halaman Judul
1) Judul seluruhnya ditulis dengan huruf kapital dengan
syarat:
ekspresif, dikuasai oleh penulis, mencerminkan isi tulisan
secara utuh, dan relevan dengan masalah yang diajukan
2) Nama dan nomor induk penulis ditulis dengan jelas
3) Nama sekolah atau lembaga ditulis dengan jelas

107
b. Lembar Pengesahan
1) Lembar pengesahan memuat judul, nama dan nomor induk
penulis
2) Lembar pengesahan ditandatangani oleh guru pembimbing
dan
kepala sekolah lengkap dengan stempel jabatan
3) Lembar pengesahan diberi tanggal sesuai dengan tanggal
pengesahan
c. Kata Pengantar Penulis
d. Daftar isi dan daftar lain yang diperlukan, misalya: daftar
gambar,
daftar tabel, dan daftar lampiran

2. Bagian Inti
a. Pendahuluan
Penulis harus memahami cara penulisan bagian inti ini. Apabila
tulisan barulah berupa proposal, maka pendahuluan bukan
merupakan bab, melainkan bagian pertama seperti ini: I.
Pendahuluan (tanpa titik). Pembutiran yang mengikut pendahuluan
ini dapat ditulis dengan dua cara, yaitu: (a) dengan angka Arab: 1.1
dst. (angka satu terakhir tanpa
titik);
108
(b) dengan huruf: A. dst.
Akan tetapi, apabila tulisan sudah merupakan laporan
penelitian atau hasil kajian pustaka atau gabungan keduanya, maka
pendahuluan dan bagian inti selanjutnya ditulis sebagai bab:
BAB I
PENDAHULUAN
(tidak boleh menjarakkan huruf)
Bagian selanjunya ditulis seperti ini.
Bagian atau bab pendahuluan berisi komponen berikut ini.
1) Latar belakang berisi uraian singkat mengenai gagasan
kreatif yang akan dikaji, baik melalui kajian pustaka
maupun penelitian lapangan atau gabungan keduanya.
Gagasan kreatif yang dimaksud dikuatkan dengan uraian
tentang pentingnya gagasan itu dibahas atau diteliti secara
mendalam. Agar lebih meyakinkan pembaca, penulis
serbaiknya menguraikan kondisi riil gagasan itu dan apa
yang diharapkan pada gagasan itu setelah dibahas atau
diteliti.
2) Rumusan masalah dinayatakan secara eksplisit dengan
memilih
salah satu dari tiga model rumusan masalah. Pertama,
rumusan
109
masalah yang dinyatakan dengan kalimat tanya. Kedua,
rumusan
masalah yang dinyatakan dengan deskripsi lengkap mengapa
penulis atau peneliti ingin mengkaji topik itu. Ketiga, rumusan
masalah yang dinyatakan dengan deskripsi dan diperkuat
dengan
kalimat tanya.
3) Tujuan dan mantaat
Tujuan adalah keinginan yang hendak diwujudkan oleh
penulis atau peneliti melalui kajian pustaka atau penelitian
atau gabungan keduanya. Hasil dari keinginan itu diharapkan
berguna bagi pengemabangan ilmu atau sebagai petunjuk
teknis bagi orang yang berkepentingan dalam meningkatkan
atau mengembangkan ilmu yang tersebut.
b. Telaah Pustaka
Istilah yang lazim digunakan adalah telaah pustaka, kajian
pustaka, dan kajian teori. Telaah pustaka umumnya berisi hal
berikut:
1) Uraian yang menunjukkan landasan teori dan konsep-konsep
yang relevan dengan masalah yang dikaji;
2) Uraian mengenai pendapat yang berkaitan dengan masalah
yang dikaji:
110
3) Uraian mengenai pemecahan masalah atau temuan penelitian
yang telah dilakukan oleh orang sebelumnya.

c. Metode Penulisan
Metode penulisan karya ilmiah, baik penelitian lapangan
maupun kajian pustaka harus dilakukan dengan mengikuti prosedur
atau metode tertentu. Khusus penelitian lapangan, ada dua metode
yang salah satunya atau kedua-duanya digunakan sesuai dengan
sifat penelitian. Kedua macam metode itu adalah (1) metode
kualitatif, dan (2) metode kuantitatif. Metode kualitatif bersifat
deskriptif yang jenisnya antara lain: penelitian kasus, penelitian
eksplorasi, penelitian historis, dan penelitian deskriptif yang data-
datanya terdri atas informasi verbal. Adapun penelitian kuantitafif
sesnantiasa ditandai dengan data angka-angka yang
menggambarkan jumlah atau frekuensi tertentu.
Komponen metode penulisan terdiri atas (1) sumber data, (2)
prosedur pengumpulan data/informasi, (3) pengolahan
data/informasi, (4) analisis-sintesis, (5) pengambilan kesimpulan,
dan (6) perumusan saran atau rekomendasi.
Apabila suatu tulisan barulah berupa rancangan atau proposal,
maka sesudah metode penulisan dicantumkan daftar pustaka yang
menjadi rujukan penulis. Semua jenis tulisan atau karya ilmiah
111
harus memiliki daftar pustaka, kecuali makalah refleksi budaya
murni. Hal ini akan dibicarakan dalam makalah yang lain.
d. Bagian Isi/Pembahasan
Pada bagian ini dibahas secara rinci dan tuntas (?) hal berikut ini/.
1) Analisis permasalahan yang didasarkan pada data dan/atau
informasi dengan tetap bersandar pada teori yang dibahas
dalam kajian pustaka untuk untuk menghasilkan alternatif
model pemecahan masalah atau gagasan secara kreatif.
2) Perumusan kesimpulan yang harus konsisten dengan analisis
masalah pada butir 1).
3) Saran yang disampaikan menggambarkan kemungkinan atau
perkiraan pengalihan gagasan atau teknologi.
3. Daftar Pustaka
Bagian paling akhir suatu karya ilmiah adalah daftar pustaka.
Disarankan agar buku-buku atau sumber tertulis lainnya yang
dicantumkan pada daftar pustaka benar-benar relevan dengan
bidang ilmu yang ditulis. Agar prinsip etika ilmiah tetap
dipertahankan, penulis diharapkan secara objektif menuliskan
semua sumber yang memberi inspirasi atau pengetahuan yang
dituangkan ke dalam tulisannya.
Ada dua istilah yang perlu dipahami, yaitu daftar pustaka

dan daftar bacaan atau daftar rujukan. Daftar pustaka adalah


112
daftar buku yang mempunyai hubungan dengan penelitian,

walaupun tidak dikutif langsung. Daftar bacaan atau daftar rujukan

adalah daftar buku yang dijadikan sumber informasi dalam menulis,

baik proposal maupun laporan penelitian. Adapun cara menulis

daftar pustaka atau daftar bacaan ada tiga macam sebagaimana

diuraikan berikut ini.

1) Menuirut Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (TBBI),

urutannya sbb.:

nama penulis, tahun, judul, kota tempat penerbitan, penerbit

Contoh:

Habibi, B. J. 1999. Rekayasa Mesin Pesawat Terbang Modern.

Jakarta: Balai Pustaka.

2) Menurut American Psiychological Association (APA),

urutannya sbb.:

nama penulis. (tahun), judu, kota tempat penerbitan, penerbit

113
Contoh:

Habibi, B. J. (1999). Rekayasa Mesin Pesawat Terbang Modern.

Jakarta: Balai Pustaka.

3) Menurut Modern Language Assiciation (MLA), urutannya:

nama penulis, judul, kota tempat penerbitan, penerbit tahun.

Contoh:

Habibi, B. J. Rekayasa Mesin Pesawat Terbang Modern.

Jakarta:

Balai Pustaka, 1999.

C. Persyaratan Penulisan
Ketentuan yang harus diindahkan penulis dalam merancang
perwajahan sebagai berikut.
1. Naskah ditulis minimal 20 halaman dan maksimal 35
halaman di luar lampiran. Jumlah halaman yang tidak sesuai
dengan kentuan penyelenggara lomba karya ilmiah dapat
mempengaruhi penilaian.

114
2. Bahasa Indonesia yang digunakan adalah bahasa Indonesia
baku ragam ilmiah dan dengan ejaan baku pula. Bahasa
ragam ilmiah yang diminta harus sederhana, jelas, koheren,
kohesif, mengutamakan kata/istilah yang mudah dipahami,
dan tidak menggunakan singkatan atau akronim, kecuali
singkatan/akronim yang sudah dibakukan di dalam bidang
ilmiah yang dikaji.
D. Pengetikan
1. Tata Letak
a. Karya tulis diketik 1.5 spasi pada kertas berukuran A4
dengan
ukuran huruf 12 dan jenis huruf roman time style.
b. Batas pengetikan:
1) margin kiri 4 cm
2) margin kanan 3 cm
3) batas atas dan bawah masing-masing 3 cm
c. Jarak pengetikan bab, subbab, dan rinciannya:
1) Jarak baris bab dan subbab 3 spasi, subbab dan kalimat
di
bawahnya 2 spasi.

115
2) Judul bab diketik di tengah-tengah ruang tulis kertas
dengan huruf kapital dan dengan jarak 4 cm dari tepi
tanpa digarisbawahi.
3) Judul subbab ditulis mulai dari tepi kiri dan huruf
pertama setiap kata ditulis dengan huruf kapital,
kecuali kata-kata tugas, seperti: yang, dan untuk, bagi,
guna, tetapi, dengan, dan semacamnya.
4) Judul anak subbab ditulis mulai dari tepi kiri dengan
lekuk (indensi) 5 ketukan dan digarisbawahi. Huruf
tertama setiap kata ditulis dengan huruf kapital, kecuali
kata-kata tugas seperti butir 3) di atas.
5) Jika masih ada subjudul dalam tingkatan yang lebih
rendah, ditulis seperti butir 3) dan 4) di atas dan
diakhiri dengan titik; lalu diikuti dengan kalimat
penjelasannya.
2. Penulisan Paragraf
Ada dua macam gaya menulis paragraf, yaitu (1) gaya lurus
(block style), dan (2) gaya lekuk (indented style). Penulisan
paragraf baru dengan gaya lurus diketik sejajar dengan baris di
atasnya dengan jarak 2 spasi (jarak baris dalam paragraf 1.5
spasi). Jadi, dengan cara ini akan tampak batas paragraf
sebelumnya dengan paragraf berikutnya.
116
Jika di dalam paragraf ada kutipan langsung, maka
penulisannya bergantung pada panjang kutipan itu. Kutipan
langsung yang terdiri atas tidak lebih dari 3 baris atau kurang dari
40 kata ditulis sama dengan kalimat lain di dalam paragraf dan
diapit oleh tanda petik dua (“…”). Kutipan langsung yang lebih
dari 3 baris atau lebih dari 40 kata, diketik dengan jarak 1 spasi dan
menjorok ke dalam 3 ketukan tanpa tanda petik.
Contoh kutipan langsung di dalam paragraf:
Sirait (1985:27) mendefinisiokan proposisi sebagai “Proposisi
adalah pernyataan yang dapat dibenarkan atau disangkal
yang terdiri atas tiga bagian, yaitu S-Vk-P. S adalah yang
diberi pembenaran, Vk adalah verba penghubung, dan P
adalah pembenaran.”
Contoh kutipan langsung yang membetuk paragraf sendiri:
Banyak ahli yang telah memberi pengertian tentang humor. Dari
sekian banyak pengertian itu, dalam tulisan ini hanya dikutip satu
definisi yang dikemukakan oleh McDougall (1922) sebagai berikut.
Potensi tertawa dan melucu merupakan bawaan dalam sistem
mekanisme syaraf dan mempunyai fungsi adaptif. Potensi ini
telah
muncul sejak awal kehidupan manusia, sebelum proses
kognitif
yang kompleks terbentuk. Ini berarti humor merupakan
fenomena
117
universal yang mempunyai manfaat.

3. Penomoran Halaman
Ketentuan penulisan nomor halaman sebagai berikut.
a. Nomor halaman bagian awal karya ilmiah yang meliputi:
halaman judul, nama/daftar anggota delompok (kalau ada),
kata pengantar, daftar isi, daftar tabel/gambar, daftar istilah,
dan lasin-lain diketik sebelah kanan bawah dengan angka
rumawi-kecil (i, ii, iii,
dan seterusnya).
b. Nomor halaman bagian inti atau tubuh karya ilmiah sampai
pada daftar lampiran ditulis dengan angka arab dan diketik 3
cm dari tepi kanan dan 1.5 cm dari tepi atas.
c. Nomor halaman pertama setiap bab tidak ditulis, tetapi tetap
diperhitungkan untuk pemberian halaman lembar berikutnya.

Untuk melengkapi bahasan seluk-beluk penulisan karya


ilmiah ini, dipandang perlu menyertakan format penilaian karya
tulis ilmiah yang dikeluarkan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi,
Departemen Pendidikan Nasional tahun 2002.

118
Format Penilaian Karya Tulis Ilmiah
Nomor peserta : …………………………………
Nama peserta : (Kalau berkelompok, tulis semua namanya!)
Lembaga/Sekolah : SMU Negeri 17 Makassar
No. Kriteria Penilaian Bobot Skor Skor
terbobot
1 Format karya ilmiah:
a. Tata tulis: ukuran kertas, tipografi,
kerapian ketik, perwajahan, jumlah 5
halaman
b. Pengungkapan: sistematika tulisan,
ketepan dan kejelasan paparan,
penggunaan ragam bahasa
2. Kreativitas gagasan:
a. Komprehensif dan keunikan 15
b. Struktur gagasan (gagasan muncul
didukung oleh argumentasi ilmiah)
3. Topik yang dikemukakan:
a. Sifat topik, rumusan judul dan dan
kesesuaian dengan topik, aktualitas 5
b. Kejelasan uraian permasalahan
c. Relevansi topik dengan tema
4. Data dan sumber informasi:
a. Relevansi data dan informasi yang
diacu dengan uraian tulisan 15
b. Keakuratan dan integritas data dan
informasi
c. Kemampuan menghubungkan
berbagai data dan informasi
5. Pembahasan, simpulan, dan tranfer gagasan:
a. Kemampuan menganalisis dan
menyintesis serta merumuskan 20
simpulan
b. Kemungkinan/prediksi transfer
gagasan dan proses adopsi
Keterangan:
a. Skor terbobot total maksimal 5400 60
119
b. Skor setiap bagian adalah 40—90
c. Skor terbobot = bobot x skor

Makassar, Februari 2004


Juri,

…………………………………

Format Penilaian Presentasi Karya Ilmiah

Nomor peserta : ……………………………………………..


Nama peserta : (Kalau berkelompok, tulis semua namanya!)
Lembaga/Sekolah : SMU Negeri 17 Makassar
No. Kriteria Penilaian Bobot Skor Skor
terbobot
10 Penyajian:
a. Sistematika penyajian
b. Alat bantu
c. Penggunaan bahasa tutur yang 15
baku
d. Cara presentasi
e. Ketepatan waktu
2. Tanya jawab:
a. Kebenaran dan ketepatan jawaban
b. Cara menjawab 25
c. Keterbukaan peserta dalam acara
tanya-jawab
120
Keterangan:
a. Skor terbobo total maksimal 3600
b. Skor setiap bagian adalah 40—90 40
c. Skor terbobot = bobot x skor

Makassar, Februari 2004


Juri,

………………………………..

Hasil akhir sebuah karya ilmiah adalah gabungan nilai karya


tulis dengan nilai presentasi.

Bacaan
Pedoman Umum Lomba Karya Tulis Ilmiah Mahasiswa. 2002.
Jakarta:
Depdiknas Dirjen Dikti

121
KATA-KATA FUNGSIONAL DALAM BAHASA INDONESIA

Dr. Achmad Tolla, M. Pd.

A. Pendahuluan

Secara umum, kelas kata bahasa Indonesia dapat dibedakan menjadi: (1)
kata benda (nomina), (2) kata kerja (verba), (3) kata sifat (adjektiva), (4) kata
bilangan (numeralia), (5) kata keterangan (adverbia), dan (6) kata tugas (kata
fungsional). Kelas kata benda, kata kerja, kata sifat, dankata bilangan, dalam
teori semantik, dikenal sebagai kata yang memiliki rujukan atau acuan. Artinya,
setiap kata dari kelas kata ini mempunyai wujud atau yang dianggap wujud
yang dilambangkan dengan huruf dalam tulisan, dan fonem dalam ujaran.

Kelas kata tugas memiliki ciri yang berbeda dengan kelas kata (1)—(4).
Kelas kata tugas tidak memiliki arti leksikal atau arti kata. Dia hanya memiliki
arti gramatikal atau arti tata bahasa. Artinya, kata tugas tidak mempunyai
makna lepas, tetapi senantiasa terkait dengan makna kata lain dalam frase,
klausa atau kalimat. Kata ke, dari, dan, untuk misalnya, walaupun kata ini
sangat produktif dalam kalimat bahasa Indonesia, namun kata-kata itu tidak
dapat digunakan secara lepas. Kata-kata itu barulah dapat diperkirakan
maknanya jika sekurang-kurangnya mendampingi kata yang memiliki rujukan
dalam frase seperti: ke kota, dari sekolah, untuk bekal. Demikianlah sifat
umum kata-kata fungsional.

122
B. Klasifikasi Kata Fungsional
Berdasarkan peranannya dalam frase atau kalimat, kata tugas
(fungsional) dibagi menjadi: (1) kata depan (preposisi), (2) kata hubung
(konjungsi), (3) kata seru (interjeksi), (4) artikel , dan (5) partikel (Alwi, 1999:
323).

1. Kata Depan (Preposisi)


1.1 Kata depan monomorfemis
Contoh:
a. menandai hubungan peruntukan:
- bagi
- untuk
- buat
- guna
b. menandai hubungan asal, arah dari suatu tempat: dari
c. menandai hubungan arah menuju suatu tempat: ke
d. menandai hubungan tempat berada: di
e. menandai hubungan sebab: karena, sebab
f. menandai hubungan kesertaan atau cara: dengan
g. menandai hubungan pelaku atau dianggap pelaku: oleh
h. menandai hubungan tempat atau waktu: pada
i. menandai hubungan ikhwal peristiwa: tentang
j. menandai hubungan waktu yang bejalan terus: sejak

1.2 Kata depan polimorfemis dengan afiks


Contoh:
123
bersama, beserta : menandai kesertaan
menjelang : menandai waktu sesaat sebelum
menuju : menandai hubungan arah
menurut : menandai hubungan sumber
sekitar : menandai hubungan geografis
mengenai : menandai hubungan sasaran atau objek
terhadap : menandai hubungan arah
bagaikan : menandai hubungan kemiripan

1.3 Kata depan polimorfemis gabungan kata


Contoh:
daripada : menandai hubungan perbandingan
kepada : menandai hubungan arah objek
oleh karena, oleh sebab : menandai hubungan penyebab
sampai ke, sampai dengan : menandai hubungan batas waktu
selain dari : menandai hubungan perkecualian

1.4 Polimorfemis gabungan kata depan dan yang bukan kata depan
Contoh:

di atas, di bawah, di muka, di belakang : menandai hubungan tempat


ke dekat, ke depan, ke dalam, ke luar, ke tengah : menandai hubungan
arah
dari balik, dari samping, dari dalam, dari luar, dari tengah : menandai
hubungan
sumber

2. Kata Huhubung (Konjungsi)


124
2.1 Kata hubung koordinatif
Contoh:
dan : menandai hubungan penambahan
atau : menandai hubungan pemilihan atau penambahan
tetapi : nenandai hubungan perlawanan

2.2 Kata hubung subordinatif


Kata hubung jenis ini terdiri atas 10 kelompok.
1. Subordinatif waktu : sesudah, setelah, sebelum, sehabis, sejak, selesai,
ketika, tatkala,
sewaktu, sementara, sambil, seraya, selagi, selama, sehingga, sampai
2. Subordinsatif syarat : jika, kalau, jikalau, asalkan (asal), bila, manakala
3. Subordinatif pengandaian : andaikan, seandainya, umpamanya, sekiranya
4. Subordinatif tujuan :agar, supaya, agar supaya, biar
5. Subornatif konsesif : biarpun, meski(pun), sekalipun, walau(pun),
sungguhpun kendati(pun), padahal.
6. Subordinatif kemiripan : seakan-akan, seolah-olah, sebagaimana, seperti,
sebagai, laksana.
7. Subordinatif penyebaban : sebab, karena, oleh karena, oleh sebab.
8. Subordinatif pengakibatan : (se)hingga, sampai(-sampai), maka(nya).
9. Subordinatif penjelasan : bahwa
10. Subordinatif cara : dengan, tanpa

2.3 Konjungtor korelatif

125
Contoh :
Baik..., maupun….
Tidak hanya…, tetapi juga…
Bukan hanya…, malainkan juga…..
Demikian … sehingga….
Sedemikian rupa sehingga….
Apa(kah)…, atau….
Entah…., entah….
Jangankan…., … pun…..

2.4 Konjungtor kalimat

Contoh :
a. biarpun demikian/begitu
sekalipun demikian/begitu
sungguhpun demikian/begitu
walapun demikian/begitu
meskipun demikian/begitu
b. kemudian
sesudah itu
setelah itu
selanjutnya
c. tambahan pula, lagi pula, selain itu
d. sebaliknya
e. sesungguhnya, bahwasanya
f. malah(an), bahkan
g. (akan) tetapi, namun
h. kecuali itu
i. dengan demikian
j. oleh karena itu, oleh sebab itu
k. sebelum itu

2.5 Konjungtor antarparagraf

Contoh :
126
a. adapun b. alkisah
akan hal arkian
mengenai sebermula
dalam pada itu syahdan

3. Interjeksi
Interjeksi atau kata seru adalah kata tugas yang mengungkapkan rasa
hati pembicara.
Contoh:

a. Benda negatif b. Bernada positif

cih aduhai
cis amboi
bah alhamdulillah
ih insya Allah
idih syukur

c. Bernada kebenaran d. Bernada netral atau campuran

ai ayo nah
lo hai ah
astagfirullah halo eh
masyaallah he oh
duilah ya
astaga aduh
wah hem

4. Artikel
4.1 Artikel yang mengacu ke makna tunggal
Contoh :

sang : untuk manusia atau benda unik dengan maksud untuk


meniggikan martabat dan sering pula dipakai sebagai gurauan
atau sindiran.
sri : untuk manusia yang memiliki martabat tinggi dalam keagamaan
atau kerajaan
127
hang : untuk laki-laki yang dihormati dan pemakainnya terbatas pada
nama tokoh dalam cecrita sastra lama
dang : untuk wanita yang dihormati dan pemakaiannya terbatas pada
nama tokoh dalam cerita lama

4.2 Artikel yang mengacu ke makna kelompok: para

Artikel yang mengacu ke makna kelompok adalah para. Karena artikel ini
mengisyaratkan keunggulan, makna nomina yang diiringinya tidak dinyatakan
dalam bentuk kata ulang. Jadi, untuk menyatakan kelompok guru sebagai
kesatuan bentuk dipakai adalah para guru dan bukan *para gu-guru.

4.3 Artikel yang bermakna netral: si


Di samping artikel yang menyatakan makna tunggal dan kelompok,

ada pula artikel yang sifatnya netral. Artikel si dapat mengacu ke makna

tunggal atau generic, bergantung pada konteks kalimat.

Contoh:

tunggal : sang, sri hang, hang

Artikel : kelompok : para

netral/general : si

5. Partikel: -kah, -lah, pun, -tah


5.1 Partikel -kah

128
1. Jika dipakai dalam kalimat deklaratif, -kah mengubah kalimat tersebut
menjadi kalimat introgatif.
Contoh:

Diakah yang akan datang?


(Bandingkan: Dia yang akan datang.)
Hari inikah pekerjaan itu harus selesai?
(Bandingkan: Hari ini pekerjaan itu harus selesai)

2. Jika dalam kalimat tanya sudah ada kata tanya seperti apa, di mana,
dan bagaimana, maka –kah bersifat mansuka. Pemakian –kah
menjadikan kalilmatnya lebih formal dan sedikit lebih halus.
Contoh :

a. Apa ayahmu sudah dating?


b. Apakah ayahmu sudah dating?

a. Bagaimana penyelesaian soal ini?


b. Bagaimanakah penyelesaian soal ini?

a. Ke mana anak-anak itu pergi?


b. Ke manakah anak-anak itu pergi?

3. Jika dalam kalimat tidak ada kata tanya tetapi intonasinya adalah
intonasi interogatif, maka –kah akan memperjelas bahwa kalimat itu
adalah kalimat tanya. Kadang-kadang urutan katanya dibalik.
Contoh:

a. Dia akan datang nanti malam?


b. Akan datangkah dia nanti malam?

a. Harus aku yang mulai dahulu?


b. Haruskah aku yang mulai dahulu?

a. Dia tidak dapat mengurus soal sekecil itu?


b. Tidak dapatkah di mngurus soal sekecil itu?

5.2 Partikel –lah


129
1. Dalam kalimat imperatif, -lah dipakai untuk sedikit mengahluskan nada
perintahnya.
Contoh:

- Pergilah sekarang, sebelum hujan turun!


- Bawalah mobil ini ke bengkel besok pagi!
- Kalau Anda mau, ambillah satu atau dua buah!

2. Dalam kalimat deklaratif, -lah dipakai untuk memberikan ketegasan


yang sedikit keras.
Contoh:

- Dari ceritamu, jelaslah kamu yang salah.


- Ambil berapa sajalah yang kamu perlukan.
- Cara seperti itu tidaklah pantas.
- Dialah yang menggugat soal itu.

5.3 Partikel pun


1. Pun dipaki untuk mengeraskan arti kata yang diiringinya.
Contoh:

- Mereka pun akhirnya setuju dengan usul kami.


- Yang tidak perlu pun dibelinya juga.
- Siapa pun yang tidak setuju pasti akan diawasi.

2. Dengan arti yang sama seperti di atas, pun sering pula dipakai bersama
–lah.
Contoh:

- Tidak lama kemudian hujan pun turunlah dengan derasnya.


- Para dedmonstran itu pun berbarislah dengan teratur.
- Para anggota yang menolak pun mulailah berpikir-pikir lagi.

5.4 Partikel –tah


Partikel –tah dipakai dalam kalimat interogatif, tetapi si penanya
sebenarnya tidak mengharapkan jawaban. Ia seolah-olah hanya
bertanya-tanay pada diri sendiri tentang hal yang dikemukakannya.

130
Partikel –lah banyak dipakai dalam sastra lama, tetapi tidak banyak
dipakai lagi sekarang.
Contoh:

- Apatah artinya hidup ini tanpa engkau?


- Siapatah gerangan orangnya yang mau menolongku.

131
SELUK-BELUK KALIMAT EFEKTIF BAHASA INDONESIA
DAN PENULISAN DAFTAR PUSTAKA

132
Dr. Achmad Tolla, M.Pd.
A. Latar Belakang
Kalimat merupakan kesatuan ujaran yang menyatakan setiap
gagasan, pikiran atau konsep serta perasaan yang dimiliki seseorang.
(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997:4341). Setiap kalimat yang baik
harus memenuhi persyaratan kaidah-kaidah yang berlaku. Kaidah
tersebut meliputi: (1) unsur-unsur penting yang harus dimiliki setiap
kalimat, (2) aturan-aturan tentang Ejaan yang Disempurnakan, dan (3)
cara memilih kata dalam kalimat.
Sebuah kalimat menjadi jelas maknanya jika memiliki paling
kurang subjek dan predikat dan ditulis sesuai dengan aturan Ejaan
yang Disempurnakan, serta kata-kata yang dipergunakan haruslah
tepat. Kalimat yang jelas dan benar tidak akan sulit bagi orang lain
untuk memahaminya. Kalimat yang demikian disebut kalimat efektif.
Menurut Yunus (1996:115), kalimat efektif adalah kalimat yang
mempunyai kemampuan menyampaikan pesan pembicara atau penulis
kepada pendengar atau pembaca. Bila hal ini tercapai, diharapkan
pembaca atau pendengar akan tertarik kepada apa yang disampaikan
oleh penulis atau pembicara.
Agar kalimat yang disampaikan, baik lisan maupun tulisan
dapat memberi informasi kepada pendengar atau pembaca, perlu
diperhatikan beberapa hal yang merupakan ciri-ciri kalimat efektif
berikut ini.

B. Pembentukan Kalimat Efektif


1. Penekanan dalam Kalimat
133
Yang dimaksud dengan penekanan ialah suatu perlakuan
khusus menonjolkan bagian kalimat sehingga berpengaruh terhadap
makna kalimat secara keseluruhan (Finozza, 2001:139). Seorang
pembicara biasanya akan memberi penekanan pada bagian kalimat
dengan memperlambat ucapan, meniggikan suara, disela oleh jeda,
dan diakhiri oleh intonasi selesai. Dalam penulisan huruf latin, kalimat
dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda perhentian
mutlak (tanda titik, tanda tanya, dan tanda seru). Berikut
dikemukakanh beberapa cara untuk memberi penekanan dalam
kalimat tulisan.
1) Posisi dalam kalimat
Untuk memberi penekanan pada bagian tertentu sebuah kalimat,
penulis dapat mengemukakan gagasan pokok pada bagian depan
kalimat. Cara ini di sebut juga pengutamaan bagian kalimat.

Contoh:

- Pada bulan Desember, kita akan ujian akhir semester.


- Kita akan ujian akhir semester pada bulan Desember.
- Ujian akhir semester kita tempuh pada bulan Desember.
Ketiga kalimat di atas mempunyai pengertian yang sama, tetapi gagasan
pokoknya berbeda.
2) Urutan yang logis
Yang dimaksud dengan urutan yang logis ialah ide kalimat itu
dapat diterima oleh akal sehat. Sebuah kalimat biasanya mengemukakan
suatu kejadian atau peristiwa. Kejadian dalam suatu peristiwa
hendaknya diperhatikan agar urutannya tergambar dengan logis. Urutan
134
yang logis dapat disusun secara kronologis dengan penataan urutan
yang makin lama makin penting sehingga tampak menggambarkan
suatu proses.
Contoh:
Telekomunikasi cepat-vital dimaksudkan untuk keamanan,
mobilitas pembagian, dan persatuan.
3) Pengulangan kata
Pengulangan kata dalam kalimat diperlukan untuk memberi
penegasan pada bagian yang dianggap penting. Hal ini bertujuan agar
kalimat menjadi lebih jelas.
Contoh:
- Saudara-saurdara, kita tidak suka dibohongi; kita tidak suka
di tipu; dan kita tidak suka dibodohi.
- Pembangunan dilihat sebagai proses yang rumit dan
mempunyai banyak dimensi, tidak hanya berdimensi
ekonomi, tetapi juga dimensi politik, sosial, dan budaya.
3) Pertentangan kata terhadap makna yang ditonjolkan
Penekanan pertentangan kata, dilakukan terhadap kalimat
majemuk setara. Makna klausa pertama dari kalimat tersebut menjadi
terasa lebih tegas karena dipertentangkan dengan makna klausa kedua.
Contoh:
- Rakyat Indonesia tidak menghendaki pemerintah yang
bersifat munafik, tetapi pemerintah yang bersifat jujur.
- Dia dengan mudah memperoleh nilai A pada mata kuliah
bahasa Indonesia, padahal, kita mendapatkan nilai B saja
sulit.
135
5) Partikel penekanan
Partikel penekanan adalah kata yang tidak dapat mengalami perubahan bentuk dan hanya berfungsi
menampilkan unsur yang diiringinya.

a. Partikel yang
Partikel yang ditempatkan di antara subjek dan predikat.
Contoh:
- Partai yang memilih calon presiden (yang) jujur diharapkan
memperoleh kemenangan dalam pemilihan Presiden
Republik Indonesia periode 2004—2009.
Bandindingkan dengan:
- Partai memilih calon presiden jujur diharapkan memperoleh
kemenangan dalam pemilihan Presiden Republik Indonesia
periode
2004—2009.
b. Partikel -lah
Partikel -lah dapat digunakan untuk menghaluskan nada perintah dan
memberikan ketegasan yang sedikit keras. Selain itu, partikel –lah
dapat diikuti oleh partikel yang ditempatkan antara subjek dan predikat.
Contoh:
- Pergilah sekarang, sebelum hujan turun!
- Dari ceritamu, jelaslah kamu yang bersalah.
- Dialah yang membaca buku ini.
c. Partikel -kah
Partikel –kah mengubah kalimat positif menjadi kalimat
interogatif. Jika dalam kalimat interogatif sudah ada kata tanya

136
seperti apa, di mana, dan bagaimana, maka kata itu menjadikan
kalimat lebih formal dan sedikit lebih halus.
Contoh:
- Diakah yang akan datang? (Dia yang akan
datang.)
- Ke manakah anak-anak pergi? (Ke mana anak-
anak pergi.)
d. Partikel –tah
Parikel –tah dipakai dalam kalimat interogatif, tetapi
penanya sebenarnya tidak mengharapkan jawaban. Ia seolah-olah
hanya bertanya pada diri sendiri karena keheranan atau
kesangsiannya.
Contoh:
- Apatah artinya hidup ini tanpa engkau?
- Siapatah gerangan yang mau menolongku?
e. Partikel pun
Partikel pun dalam bentuk tulisan dipisahkan dari kata di
depannya sebagaimana contoh berikut ini.
(1) Pun dipakai untuk mengeraskan arti kata yang diiringinya.
Contoh:
- Mereka pun akhirnya setuju dengan usul kami.
- Dia pun pergi setelah dimarahi pimpinannya.
- Setelah terjadi kesalahpahaman, dia pun pergi
dengan melambaikan tangannya.

137
(2) Dengan arti yang sama seperti di atas, pun sering pula dipakai
bersama dengan -lah untuk menandakan perbuatan atau proses
mulai berlaku atau terjadi.
Contoh:
- Para anggota yang menolak pun mulailah berpikir
lagi.
- Anggota yang tidak memilih calon ini pun haruslah
menerima keputusan akhir.
Perlu diketahui pula bahwa ada beberapa kata yang ditulis
serangkai
dengan partikel –pun. Contoh:
adapun, andaipun, bagaimanapun, betapapun, biarpun,
begitupun,
beginipun, kendatipun, namunpun, sekalipun, sungguhpun,
walaupun

6) Penekanan dengan kata keterangan dan kata penghubung


Keterangan penekanan yang lazim digunakan adalah kata
memang, apalagi, lagipula, bahkan, dan lebih-lebih lagi.
Contoh:
- Kami memang sudah mendengar kabar itu sejak
kemarin.
- Mencari pekerjaan di Makassar tidak semudah yang
bayangkan, apalagi kalau tidak mempunyai koneksi.
- Ayah tiri itu tidak hanya mencintai istrinya, bahkan
juga anak tirinya.
138
7) Penekanan dengan pemindahan unsur

Yang dimaksud dengan pemindahan unsur adalah memindahkan


unsur lain atau bagian kalimat ke posisi awal kalimat (Chaer, 1988:367).
Ada tiga cara pemindahan unsur yang dapat dilakukan untuk penekanan
kalimat:

(1) Pemindahan predikat


a. Jika kalimat menggunakan kata kerja intransitif, maka predikat
mendahului subjek kalimat.
Contoh:

- Keluar mereka dari persembunyiannya.


- Mengintip mereka dari kamarnya.
b. Jika kalimat menggunakan kata kerja transitif, maka predikat
dan objek kalimat harus dipindahkan sekaligus.
Contoh:

- Makan nasilah kamu dengan cepat.


- Minum airlah kamu jika haus.
c. Jika subjek kalimat menunjukkan keadan khusus, maka predikat
yang berupa kata sifat terletak di awal kalimat.

Contoh:

- Gemuk orang itu.


- Kurus orang ini.
d. Jika subjek berupa kata benda ordinat, maka predikat kata benda
terletak pada awal kalimat
Contoh:
139
- Binatang anjing itu.
- Binatang gorilla itu.
e. Predikat terdiri atas kata bilangan.
Contoh:

- Seribu rupiah utangku.

- Seratus rupiah sisa uangku.

Contoh c, d, dan e tidak produktif dalam komunikasi

(2) Pemindahan objek


Objek pada kalimat aktif transitif dapat diletakkan pada awal
kalimat, jika kalimat di ubah menjadi kalimat pasif.

Contoh:

- Anjing dilempar dengan batu oleh Iwan.


- Iwan dilempar dengan batu oleh orang utan.
(3) Pemindahan keterangan
Contoh:

- Tadi pagi beliau tidak mengajar.


- Tadi malam beliau terlambat tidur.
8) Penekanan dengan bentuk pasif

Yang di maksud dengan penekanan ini adalah penekanan pada objek


penderita.

Contoh:

- Komik dibaca adik.


- Ibu disayang ayah.
140
Ada dua hal yang perlu diperhatikan pada jenis penekanan ini.

(1) Jika subjek kalimat aktif adalah kata ganti orang, maka
predikat kalimat pasif tidak menggunakan awalan di-;
diganti dengan kata ganti.
Contoh:

- Buku itu sudah saya baca. (pasif).


- Saya sudah membaca buku itu. (aktif).
(2) Jika predikat kalimat aktif berupa frase yang mengatakan
bentuk mau, ingin, dan suka, maka kalimat seperti itu
tidak dapat dipasifkan.
Contoh:

- Adi mau melamar Ira.


- Ira mau dilamar Adi. (tidak logis)
2. Kehematan dalam Kalimat
Upaya penghematan dalam kalimat dilakukan dengan menghindari
pemakaiaan kata, frase, atau unsur lain yang tidak perlu. Hemat tidak berarti
kita harus menghilangkan unsur penting kalimat sehingga menjadi kurang
jelas. Hemat di sini berarti tidak memakai kata-kata mubazir, tidak
mengulang subjek, dan tidak menjamakkan kata yang memang sudah
bermakna jamak.

1) Pemakaian kata mubazir


Kenyataan menunjukkan bahwa kadang-kadang seorang penulis biasa
tanpa sadar memakai dua kata atau lebih yang memiliki makna yang

141
sama. Pemakaian kata bersinonim tidak mambuat kalimat itu menjadi
lebih jelas, tetapi justru kalimat menjadi tidak efektif.

Contoh:

- Agar supaya Anda dapat memperoleh nilai ujian yang


memuaskan, Anda harus belajar dengan sebaik-baiknya.
(tidak hemat)
= Agar Anda memperoleh nilai ujian yang memuaskan,
belajarlah dengan baik. (hemat)

- Agar supaya ia tidak marah, saya lebih baik memberinya


hadiah. (tidak hemat)
= Supaya ia tidak marah, saya lebih baik memberinya
hadiah.

(hemat)

2) Pengulangan subjek kalimat


Penulis tanpa sadar sering mengulangi subjek dalam suatu kalimat
yang

sebenarnya tidak diperlukan.

Contoh:

- Para mahasiswa PPs IAIN dapat mengikuti kuliah


semester ganjil setelah mereka mengikuti martikulasi.
(pengulangan subjek)

142
- Para mahasiswa PPs IAIN dapat mengikuti kuliah
semester ganjil setelah mengikuti martikulasi. (tanpa
pengulangan subjek)
3) Hiponimi
Dalam setiap bahasa ada jenis kata yang memiliki makna bawahan kata
atau ungkapan yang lebih tinggi. Di dalam makna kata tersebut
terkandung makna umum kelompok kata yang bersangkutan.

Contoh:

- Pemilihan umum tahun ini jatuh pada tanggal 5 bulan


April 2004.
- Ketua KPU dipersilakan maju ke depan untuk
menjelaskan cara mencoblos gambar.
Bandingkan dengan:

- Pemilihan umum tahun ini jatuh pada tanggal 5 April


2004.
- Ketua KPU dipersilakan ke depan untuk menjelaskan cara
mencoblos gambar.
4) Pemajemukan kata yang jamak
Penggunaan pasangan kata yang masing-masing bermakna jamak
merupakan pemborosan kata. Oleh karena itu, dianjurkan menggunakan
salah satu di antaranya.
Contoh:

143
- Banyak para petani-petani sayur yang telah berhasil
dengan baik.
- Banyak para mahasiswa-mahasiswa berdemonstrasi di
depan kantor DPRD Makassar.
Bandingkan dengan:
- Banyak -petani sayur yang telah berhasil dengan baik.
- Para petani sayur telah berhasil dengan baik.
- Petani-petani sayur telah berhasil dengan baik.

- Banyak mahasiswa berkonsentrasi di depan Kantor


DPRD Makassar.
- Para mahasiswa berkonsentrasi di depan Kantor DPRD
Makassar.
- Mahasiswa-mahasiswa berkonsentrasi di depan Kantor
DPRD Makassar.

3. Kevariasian dalam Kalimat


Menurut Akhadiah (1995:127), seseorang akan dapat menulis
dengan baik bila dia juga seorang pembaca yang baik. Akan tetapi,
pembaca yang baik tidak berarti dia juga penulis yang baik. Seorang penulis
harus menyadari bahwa tulisan yang dibuatnya akan dibaca orang lain.
Membaca bertujuan agar pembaca mendapat sesuatu dari bacaannya. Ini
berarti bahwa penulis harus berusaha menghindarkan pembaca dari
keletihan dan kebosanan. Penulis harus berusaha membuat pembaca senang
terhadap hasil tulisannya.

144
Tulisan yang mempergunakan pola serta bentuk kalimat yang terus-
menerus sama akan membuat suasana menjadi kaku dan monoton sehingga
akan menimbulkan kebosanan pembaca. Oleh sebab itu, untuk
menghindarkan suasana monoton dan rasa bosan, suatu paragraf dalam
tulisan memerlukan bentuk pola dan jenis kalimat yang bervariasi. Variasi-
variasi kalimat ini harus dari keseluruhan tulisan. Tentang variasi kalimat
ini dapat terjadi pada beberapa bentuk.

1) Cara memulai
Ada beberapa cara memulai kalimat untuk mencapai keefektifan kalimat
antara lain dengan variasi pada awal kalimat. Pada umumnya, kalimat
dapat dimulai dengan subject, predikat, frase dan kata modalitas.
(1) Subjek pada awal kalimat
Orang umumnya mengetahui bahwa memulai kalimat dapat
dilakukan dengan cara meletakkan subjek pada awal kalimat. Hal ini
dapat dilihat pada pola dasar kalimat bahasa Indonesia dengan
senantiasa menempatkan subjek pada awal kalimat. Pola ini
merupakan pola yang umum kalimat bahasa Indonesia.
Contoh:
- Mahasiswa memerlukan pelayanan yang baik agar
cepat selesai.
- Dosen PPs IAIN melayani mahasiswa dengan sangat
bail.

(2) Predikat pada awal kalimat

145
Predikat adalah kata yang menerangkan perbuatan atau sifat dari
subjek pelaku (Finoza, 2001:84). Sebuah kalimat dapat diawali
dengan predikat. Kalimat seperti ini di sebut kalimat inversi atau
kalimat susun balik.

Contoh:
- Digiring kami melalui jalan kecil dan tiba di pondok
yang terbuat dari bambu.
- Direbus telur itu sebelum dimakan.

(3) Kata modal pada awal kalimat


Ada cara lain dalam memulai kalimat, yaitu meletakkan kata
modal pada awal kalimat. Kata modal tersebut dapat mengubah arti
kalimat secara keseluruhan. Kata modal dapat didefinisikan sebagai
kata yang menerangkan kata benda, kata kerja, dan kata sifat,
seperti: sering, tentu, barangkali, belum, sudah, mungkin, past,
mungkin. Penggunaan kata-kata modal akan menyebabkan kalimat-
kalimat akan berubah nadanya. Kalimat yang tegas menjadi ragu-
ragu atau sebaliknya, dan yang keras menjadi lembut ataupun
sebaliknya. Penggunaan kata modal dapat menyatakan bermacam-
macam sikap.
Contoh:
- Sering mereka belajar bersama-sama.
- Tentu keberhasilan usaha seperti ini adalah hasil
kerja sama dan kerja keras semua pihak.
- Barangkali hujan akan turun hari ini.
146
- Belum/sudah saya baca berita itu.
- Ketegangan mungkin yang dapat menyebabkan hasil
belajarnya menurun.

(4) Frase pada awal kalimat


Kelompok kata yang tidak mengandung predikat dan belum
membentuk klausa atau kalimat disebut frase (Finoza, 2001:84).
Bentuk-bentuk sintaksis yang tergolong ke dalam kelompok kata
demikian, misalnya: dengan demikian, oleh karena itu, dalam
kehidupan sehari-hari, menyadari akan hal itu, secara tidak
langsung, untuk maksud yang sama, dan masih banyak bentuk yang
lain.
Contoh:
- Dalam kehidupan sehari-hari, bahasa merupakan alat
komunikasi yang amat penting.
- Secara tidak langsung, Undang-Undang No. 22 Tahun
1999 itu memecah-belah persatuan bangsa.
2) Panjang-pendek kalimat

Kalimat yang efektif tidak diukur dari sudut panjang-pendeknya


kalimat. Akan tetapi, umumnya, kalimat yang panjang selalu rumit dan
tidak efektif. Ada upaya yang sering penulis lakukan untuk membuat
pembaca agar tertarik membaca tulisannya. Upaya yang dimaksud ialah
memvariasikan kalimat pendek dan kalimat panjang dalam satu wacana
Contoh:

147
Tiga puluh tahun yang lalu, kami para psikolog, yakin bahwa
kasus semacam itu cuma pengecualian, karena kami yakin
kepribadian anak sudah terbentuk sejak dini. Setelah tahun-
tahun pertama kemungkinannya kecil untuk berubah. Namun,
kini kami tahu lebih banyak. Sejarah hidup ribuan anak-anak
membuktikan bahwa drama perkembangan manusia bisa tiba-
tiba berbalik ke arah yang positif setiap saat.
3) Jenis kalimat
Variasi kalimat dapat juga berbentuk penggunaan jenis kalimat tertentu.
Jenis kalimat berita misalnya, dianggap lebih netral dan lugas dalam
menyampaikan pesan penulis. Akan tetapi, tidak berarti bahwa kalimat
tanya dan kalimat perintah diabaikan dalam menyampaikan informasi,
jika diperlukan.

Contoh:
Menghadapi anak-anak nakal, tidak heran kalau orang tua dan gurunya
kehilangan harapan. Akan tetapi, apakah betul anak seperti ini pasti
suram masa depannya? Belum tentu! Buktinya, banyak anak yang nakal
di sekolah menengah, tetapi tumbuh menjadi orang yang sukses.

4) Kalimat aktif dan pasif

Penggunaan kalimat aktif atau pasif juga sebagai cara untuk


menarik perhatian pembaca dan memberi kejelasan gagasan yang
dikemukakan. Kalimat aktif yang dapat diubah menjadi kalimat pasif
hanyalah kalimat aktif yang inti predikatnya berupa verba transitif dan
mempunyai objek.

148
Contoh:

- Panitia Pemilu 2004 Kota Makassar meninjau tempat-

tempat pemungutan suara di setiap kelurahan. (aktif)

- Tempat-tempat pemungutan suara di setiap kelurahan ditinjau

oleh Panitia Pemilu 2004 Kota Makassar. (pasif)

5) Kalimat langsung dan tidak langsung

Penggunaan kalimat kalimat langsung di sela-sela kalimat tidak


langsung juga salah satu bentuk variasi kalimat. Kadang-kadang
pendapat atau pikiran seseorang yang dituliskan atau diucapkan akan
terasa lebih hidup apabila dikutif secara langsung. Selain itu, juga
dimaksudkan untuk menunjukkan sikap objektif penulis.

Ada dua cara yang lazim digunakan untuk mengutip pendapat


atau pikiran orang lain secara langsung. Pertama, kutipan langsung
yang tidak lebih dari tiga baris atau kurang dari 40 kata ditempatkan di
dalam paragraf dengan hanya mengapitnya dengan tanda petik dua dan
diikuti atau diawali dengan nama, tahun, dan halaman buku atau
keterangan lain.

Copntoh:

Ateisme adalah sebuah paham yang mengingkari keberadaan Tuhan.


Keingkaran mereka tidak hanya ditujukkan oleh perilaku, tetapi terutama
dengan tertutupnya hati mereka terhadap keberadaan Maha Pencipta. Mereka
dikelompokkan orang-orang yang memiliki hati yang sakit sehingga tidak
mampu menerima kebenaran. Hati yang demikian digambarkan sebagai “Hati
149
yang sakit adalah hati yang mengelak dari penciptaannya semula, yakni
mengelak untuk mengetahui Allah, mencinta-Nya, rindu bertemu dengan-Nya,
dan kembali kepada-Nya” (Ibnu Kayyim, 1423:103). Kedua, kutipan langsung
yang lebih dari tiga baris atau lebih dari 40 kata dipisahkan dari paragraf,
diketik dengan spasi rapat, dan tidak diapit dengan tanda petik dua.

Contoh:

Ateisme adalah sebuah paham yang mengingkari keberadaan Tuhan.


Keingkaran mereka tidak hanya ditujukkan oleh perilaku, tetapi terutama
dengan tertutupnya hati mereka terhadap keberadaan Maha Pencipta. Mereka
dikelompokkan orang-orang yang memiliki hati yang sakit sehingga tidak
mampu menerima kebenaran. Hati yang sakit digambarkan oleh Ibnu Kayyim
(1423:103 sebagai berikut.

Hati yang sakit adalah hati yang mengelak dari penciptaannya semula,
yakni untuk mengetahui Allah, mencintai-Nya, rindu bertemu dengan-
Nya, kembali kepada-Nya, dan mengutamakan semuanya itu atas segala
syahwat. Seandainya seorang hamba mengetahui segala sesuatu, tetapi
dua tidak mengetahui Tuhannya, maka seakan-akan dia tidak
mengetahui sesuatu. Seandainya dia mendapatkan semua dunia,
kenikmatan dan syahwatnya, tetapi tidak memiliki cinta kepada Allah
dan rindu kepada-Nya, maka seakan-akan dia tidak mendapatkan
kelezatan, kenikmatan dan penyejuk hati sama sekali.

C. Gejala Kerancuan Kalimat


1. Pernyataan yang tidak mengandung unsur subjek
c. Dengan demikian akan memudahkan para mahasiswa untuk
menyelesaikan studinya.
d. Oleh karena itu disebut sebagai biang kekerasan dan kerusuhan di Poso.
Seharusnya:
150
c. Dengan demikian, bantuan itu akan memudahkan para mahasiswa
untuk menyelesaikan studinya.
d. Oleh karena itu, ia disebut sebagai biang kekerasan dan kerusuhan di
Poso.
2. Pernyataan yang tidak mengandung unsur predikat
c. Di samping itu pula Jakarta yang merupakan pusat pemerintahan di
mana seluruh lembaga-lembaga pemerintah berkantor.
d. Tertinggi di rayon C sedang yang terendah di rayon A.
Seharusnya:
c. Di samping itu, Jakarta merupakan pusat pemerintahan tempat semua
lembaga pemerintah berkantor.
d. Prestasi itu tertinggi di rayon C, tetapi terendah di rayon A.
3. Pernyataan berupa anak kalimat pengganti predikat
c. Sehingga keyakinan tersebut cukup kuat untuk tetap mendorongnya
berjuang terus.
d. Sebab tahap seleksi penerimaan polisi telah rampung.
Seharusnya:
c. Kita perlu memberi keyakinan hidup sehingga keyakinan tersebut
cukup kuat untuk mendorongnya berjuang terus.
d. Latihan fisik sudah dapat direncanakan sebab tahap seleksi
penerimaan polisi telah rampung.
Gejala ini ditandai dengan penggunaan kata hubung pada
awal kalimat, seperti:
sehingga, sebab, karena, agar, supaya, bila, apabila,
meskipun, walaupun.
4. Pernyataan yang hanya berupa keterangan penjelas atau keterangan
tambahan

151
c. Karena kondisi lahannya yang berkadar kapur tinggi sehingga kurang
baik untuk pertanian.
d. Terutama terkonsentrasi pada muara Sungai Jeneberang.
Seharusnya:
c. Daerah itu tidak dapat dikembangkan menjadi daerah pertanian karena
kondisi lahannya berkadar kapur tinggi.
d. Beberapa hari terakhir pengerukan terutama terkonsentrasi pada
muara Sungai Jeneberang.
5. Pernyataan yang berupa frase preposisi:
c. Bagi seorang wartawan, sebagai pedoman penulisan berita.
d. Mengenai jumlah calon anggota DPD yang terindikasi sebagai anggota
partai.
Seharusnya:
c. Kode etik sangat berguna bagi seorang wartawan sebagai pedoman
penulisan
berita.
d. Rapat itu membicarakan mengenai jumlah calon anggota DPD yang
terindikasi sebagai anggota partai.
6. Pernyataan yang dimulai dengan kata hubung setara:
c. Dan unit-unit kecil tersebut lebih muda untuk dipetikemaskan.
d. Atau pada waktu bertutur dengan ragam bahasa formal, tiba-tiba
diselipkannya ragam bahasa informal.
Seharusnya:
c. Unit-unit kecil tersebut lebih mudah dipetikemaskan.
d. (Pada) waktu bertutur dengan ragam bahasa formal, tiba-tiba
diselipkannya ragam bahasa informal.

152
DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan. 2002. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta:
Balai Pustaka.

Akhaidah, Subarti dkk. 1995. Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa


Indonesia. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Chaer, Abdul. 1998. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Pt.

Rineka Cipta.

Chahyono, Yudi, Bambang. 1995. Kristal-kristal Ilmu Bahasa. Surabaya: Air


langga Universitas, Press.

Finozza, Lamuddin. 2001. Komposisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Diksi Insan


Mulia.

Junus, Husein dan Arifin Banasurn. 1996. Bahasa Indonesia Tinjauan


Sejarahnya dan Pemakaian Kalimat yang Baik dan Benar.
Surabaya: Usaha Nasional.

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1997. Kamus Besar Bahasa


Indonesia. . Jakarta: Balai Pustaka.

Sudarno dan Eman A. Rahman. 1998. Terampil Berbahasa Indonesia. Jakarta:


Pt. Hikmah Syahid Indah.

153
KETERAMPILAN BERTANYA
TRANSKRIP UNTUK PELAJARAN SPG KELAS I

G : Dalam kehidupan kita sehari-hari banyak pekerjaan yang dilakukan


dengan mendorong dan menarik di papan). Kalau kita menimba air di
dalam sumur apa yang kita kerjakan terhadap tali timba? Nani (Nani
diam, nampak dari wajahnya ia berpikir).
G : Apakah kita tarik atau dorong tali timba itu? Nani
S : Kita menarik tali timba itu.
G : Betul: Bagaimana lokomotif terhadap gerbong kereta api? …. Eli (Eli
diam, nampaknya berpikir).
G : Apakah terdapat peristiwa menarik atau mendorong antara lokomotif dan
gerbong kereta api? … Eli.
S : Oh, yang Pak. Terdapat peristiwa menarik, yaitu lokomotif menarik
gerbong kereta api.
G : Benar, Eli (sambil mengangguk). Bagaimana dengan kuda terhadap
keretanya? Yuli
S : Kuda menarik kereta.
G : Betul! Sekarang dengarkanlah baik-baik. Bagaimana dengan penjual
bakso terhadap kereta baksonya? … Warno.
S : Penjual bakso mendorong keretanya.
G : Baik sekali! Jadi kita telah mengetahui bahwa menarik atau mendorong
itu dapat dilakukan oleh manusia, dapat juga oleh benda atau mesin dan
dapat pula oleh hewan.
Perhatikanlah hal yang berikut ini karena penting: Tarikan atau
dorongan disebut gaya (kalimat ini ditulis di papan). Jadi kalau kuda
menarik kereta, kita katakan kuda mengadakan gaya pada kereta.
Kalau Anda mendorong meja ini ke sudut, apa yang Anda adakan pada
meja itu? Wardi.
S : Saya mendorong meja itu.
G : Memang benar jawabanmu itu. Tetapi karena dorongan disebut gaya,
dapatlah Anda menyatakan jawaban Anda tadi dengan susunan lain yang
memakai kata gaya? Wardi.
S : Saya mengadakan gaya terhadap meja itu.
G : Terima kasih Wardi. Itulah jawaban yang bapak nanti-nantikan.
154
Jadi, tiap tarikan atau dorongan yang dilakukan terhadap sesuatu benda
berarti kita mengadakan gaya terhadap benda itu. Perhatikan ke mari
(guru memegang segumpal plastisin yang agak bulat di tangannya.
Kemudian guru mendorongnya dengan jari telunjuk tangan lainnya).
Apa yang bapak kerjakan terhadap plastisin ini … Ani.
S : Bapak mendorongnya dengan jari bapak.
G : Benar. Adakah yang dapat mengemukakan jawaban Ani tadi dengan cara
lain? Wardi.
S : Bapak mengadakan gaya terhadap gumpalan plastisin itu.
G : Ya, itu baik (guru mengeluarkan kembali jarinya dari gumpalan
plastisin). Perhatikan bentuk plastisin ini. Bagaimana bentuknya sebelum
bapak adakan gaya terhadapnya? … Eli.
S : Bentuknya agak bulat.
G : Bagaimana bentuknya setelah bapak adakan gaya terhadapnya? … Ani.
S : Berlubang.
G : Baik (Guru membulatkan kembali plastisin ini, kemudian menariknya).
Apa yang bapak kerjakan terhadap plastisin ini? … Yuli.
S : Bapak mengadakan gaya terhadap plastisin itu dengan cara menariknya.
G : Bagus sekali jawaban itu. Bagaimana bentuk plastisin sekarang ini
setelah diadakan gaya terhadapnya? … Nani.
S : Sekarang bentuknya memanjang.
G : Adakah perbedaan antara bentuk plastisin sebelum dan sesudah gaya
diadakan terhadapnya? … Warno.
S : Ada. Sebelumnya, bentuknya bulat, sesudahnya berbentuk memanjang.
G : Kalau begitu, apa pengaruh gaya terhadap bentuk plastisin? Nani.
S : Gaya dapat mengubah bentuk plastisin.
G : Baik! Sekarang mari kita lihat pengaruh gaya pada benda lain. (Guru
mengambil sebuah karet gelang, dan menariknya dengan jari kedua
belah tangannya).
Apakah ada gaya yang bekerja pada karet gelang ini? … Yuli.
S : Ada. Yaitu tarikan jari tangan bapak.
G : Bagaimana bentuk karet gelang ini sementara gaya bekerja terhadapnya?
Eli.
S : Bentuknya telah berubah, yaitu menjadi lebih panjang.
G : Benar! (Guru melepaskan tarikan pada karet gelang itu).
Masih adakah gaya yang bekerja pada karet gelang ini? Nani.
S : Tidak lagi.
G : Mengapa? … Nani.
155
S : Sebab bapak telah tidak menariknya lagi.
G : Bagus! Bagaimana bentuk karet gelang itu sekarang? … Wardi.
S : Bentuknya telah kembali seperti semula.
G : Benar! Siapa dapat menyatakan dengan tepat apa pengaruh gaya
terhadap karet itu? … Ani.
S : Gaya mengubah bentuk karet itu.
G : Bagaimana bentuknya bila gaya telah berhenti bekerja atasnya? …
Warno.
S : Bentuknya kembali seperti semula.
G : Siapa dapat menggabungkan jawaban Ani dan Warno dalam satu
pernyataan saja? … Eli.
S : Gaya dapat mengubah bentuk karet itu, selama gaya bekerja padanya
dan kembali kepada bentuk semula bila gaya berhenti bekerja padanya.
G : Tepat sekali! Coba bandingkan perubahan bentuk pada plastisin tadi
dengan perubahan bentuk pada karet ini. Adakah persamaannya? …
Wardi.
S : Ada, yaitu sama-sama terjadi perubahan bentuk waktu gaya bekerja
terhadapnya.
G : Benar! Apa perbedaannya? Diskusikan dengan teman di dekatmu (guru
menunggu kira-kira 2 menit kemudian memberi giliran kepada Ani).
S : Bedanya ialah bahwa perubahan bentuk plastisin tetap walaupun gaya
telah berhenti bekerja atasnya. Pada karet, bentuknya segera kembali
kepada bentuk semula, ketika gaya berhenti bekerja atasnya.
G : Bandingkan jawaban Wardi dan Ani. Buatlah satu pernyataan umum
mengenai apa pengaruh gaya terhadap bentuk benua.
Diskusikan dengan teman di sampingmu.
(Guru menunggu kira-kira 2 menit)
Siapa mau menciba? … Yuli.
S : Gaya dapat mengubah bentuk benda tetap atau untuk sementara.
G : Jawaban ini sudah menuju kepada sasarannya. Perlu penyempurnaan
sedikit. Perhatikan bilamana perubahan tetap dan bilamana perubahan
sementara terjadi. Siapa mau mencoba? … Wardi.
S : Gaya dapat merubah bentuk benda. Ada benda yang perubahan
bentuknya tetap, walaupun gaya telah berhenti bekerja atasnya;
sedangkan ada benda yang segera bentuknya kembali ke bentuk semula,
bila gaya telah berhenti bekerja atasnya.
G : Benar sekali jawaban ini, jangan lupakan karena penting.

156
Sekarang mari kita perhatikan hal lain lagi, yaitu pengaruh gaya atau
gerak benda (guru meletakkan satu balok kayu di atas meja).
Bergerakkah balok ini? … Nani.
S : Tidak.
G : (Menarik balok itu dengan karet gelang sampai bergerak).
Bergerakkah balok ini sekarang? … Warno.
S : Bergerak.
G : Mengapa balok itu bergerak? … Warno.
S : Sebab bapak menariknya.
G : Benar Warno. Siapa dapat mengatakan jawaban Warno ini dengan cara
lain dan gunakan kata gaya? … Eli!

Lampiran 3

CONTOH LEMBAR OBSERVASI


KETRAMPILAN BERTANYA DASAR

Nama Calon Guru: …………………….. Jurusan/Kelas/Tingkat:


……………….

No. Komponen-komponen Ketrampilan Frekuensi Komentar

1.
Pengungkapan pertanyaan secara
jelas dan singkat
2.
3. Pemberian acuan
4. Pemusatan
5. Pemindahan giliran
Penyebaran:

157
a. pertanyaan ke seluruh kelas
b. pertanyaan ke siswa tertentu
6.
c. menyebarkan respon siswa
7.
Pemberian waktu berpikir
Pemberian tuntunan:
a. pengungkapan pertanyaan dengan
cara lain.
b. mengajukan pertanyaan lain yang
lebih sederhana.
c. mengulangi penjelasan-
penjelasan sebelumnya.

Hal-hal yang harus dihindari:


1. Mengulangi pertanyaan sendiri
2. Mengulangi jawaban sendiri
3. Menjawab pertanyaan sendiri
4. Pertanyaan yang memancing jawaban
serentak
5.
Pertanyaan ganda
6.
Menentukan siswa tertentu untuk
menjawab
Lampiran 4

LEMBAR BALIKAN SISWA

Petunjuk : Pikirkan baik-baik pelajaran yang baru saja kamu terima,

lalu jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan memberi tanda

(V) pada jawaban yang menurut kamu paling benar.

158
1. Apakah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan guru? - terlalu sukar (
)
- terlalu mudah (
)
- cukup (
)
2. Apakah kamu merasa memperoleh waktu berpikir - selalu (
)
yang cukup sebelum kamu diminta menjawab? - sebagian besar (
)
- kadang-kadang (
)
- tidak pernah (
)
3. Apakah kamu merasa bahwa guru tertarik pada - tidak (
)
jawaban yang Anda berikan? - beberapa saja (
)
- ya (
)
4. Selama pelajaran apakah kamu pernah memikirkan - ya (
)
ide-ide yang semula belum pernah kamu pikirkan? - tidak (
)
5. Benarkah beberapa siswa diberi kesempatan - tidak (
)
berbicara terlalu banyak? - beberapa (
)
- ya (
)
6. Kalau guru bertanya apakah kamu mengerti apa - tidak pernah (
)
yang dia maksud? - kadang-kadang (
)
- sebagian besar (
)
- selalu (
)
159
7. Jika seorang menjawab salah apakah guru. - menjawabnya (
)
- melontarkan (
)
pada siswa
lainnya
- mencoba mem- (
)
bantu siswa
itu untuk men-
jawab dengan
benar
- nampak tidak (
)
senang
8. Apakah kamu tahu persis tentang tujuan pelajaran itu? - ya (
)
- tidak (
)

Lampiran 5

CONTOH LEMBAR OBSERVASI


KETRAMPILAN BERTANYA LANJUTAN

Nama calon guru : …………………. Jurusan/kelas/tingkat:


………………...

Komponen-komponen Ketrampilan Frekuensi Komentar

1. Pengubahan tuntutan tingkat kognitif dalam


menjawab pertanyaan
a. Ingatan
b. Pemahaman
c. Penerapan
160
d. Analisa
e. Sintesa
f. Evaluasi

2. Urutan Pertanyaan

3. Pertanyaan Pelacak
a. Klarifikasi
b. Pemberian alasan
c. Kesepakatan pandangan
d. Ketepatan
e. Relevan
f. Contoh
g. Jawaban kompleks

4. Mendorong terjadinya interaksi antar siswa

161
PENULISAN KARYA ILMIAH
Dr. Achmad Tolla, M.Pd.

162
1. Pendahuluan

Karya ilmiah umumnya berbentuk laporan penelitian, kertas kerja,


makalah, skripsi, tesis, disertasi, dan buku-ajar. Setiap bentuk karya ilmiah
ini memiliki format yang relatif berbeda yang harus diikuti oleh setiap
penulis. Karya ilmiah juga dibedakan berdasarkan perbedaan sasaran
pembaca atau sasaran pendengar. Itulah sebabnya, kita mengenal istilah (1)
karya ilmiah populer untuk orang awam, dan (2) karya ilmiah akademik
bagi ilmuwan. Perbedaan ini antara lain ditandai oleh penggunaan bahasa
dalam hal pilihan kata, gaya bahasa, dan perbedaan topik tulisan. Jika
sasaran tulisan adalah kalangan ilmuwan, bahasa yang digunakan adalah
bahasa ragam ilmiah yang biasa juga disebut ragam teknis. Dan, bila
sasaran tulisan kalangan awam, bahasa yang digunakan bahasa ragam
populer.
Meskipun terdapat perbedaan format dan bahasa yang digunakan,
namun ada ciri kesamaan kedua ragam bahasa itu. Kesamaan itu ditandai
oleh orisinalitas, kejelasan masalah yang dibahas, ketajaman analisis dan
keruntunan kesimpulan yang dirumuskan oleh penulis. Kejelasan masalah
yang dibahas ditentukan oleh (1) kemampuan memahami dan menelaah
permasalahan secara kritis, (2) kemampuan memilah unsur-unsur
masalah dan penghayatan keterkaitan antara unsur yang satu dengan yang
lain, dan (3) kemampuan mendeskripsikan atau memaparkan dengan
bahasa yang jelas, lancar, efektif, dan komunikatif.
1
Untuk kepentingan peristiwa ilmiah iti, karya ilmiah yang akan dibahas
adalah makalah yang dipersiapkan untuk dimuat dalam jurnal ilmiah.
Komponen makalah yang relevan dibahas adalah format, metodologi,
bahasa, dan referensi.

2. Makalah ilmiah
Dilihat dari penamaan makalah itu, sasarannya adalah kalangan ilmuwan
dari ilmu terkait. Ini tidaklah berarti bahwa ilmuwan dari bidang ilmu
berbeda atau kalangan awam sekali tertutup kemungkinan untuk membaca
makalah tersebut. Terbuka kemungkinan bagi mereka untuk berkembang
bila ada keinginan meningkatkan kemampuan pemahaman bahasa teknis
yang digunakan.

Format Makalah Ilmiah


Ada beberapa format makalah ilmiah, tergantung pada pendekatan
dan metode yang digunakan dan bidang ilmu yang dikaji. Pendekatan di
sini berkaitan dengan persoalan jenis karya ilmiah yang ditulis

A. Makalah Berdasarkan Penelitian

Kegiatan penelitian berakhir pada penyusunan laporan penelitian.


Laporan hasil penelitian merupakan salah satu bentuk pertanggung-jawaban
yang umumnya berwujud buku yang tebalnya bervariasi, tergantung pada

2
jumlah variabel yang diuji. Makin banyak variabel yang diamati atau diuji,
makin banyak halaman yang diperlukan untuk mendeskripsikan hasil
penelitian. Ringkasan dari laporan penelitian inilah yang menjadi makalah
ilmiah jenis ini dengan sistematika sebagai berikut.
(1) Abstrak
Pada bagian ini dikemukakan ikhtis penelitian yang secara jelas dan
lengkap menguraikan seluruh isi laporan penelitian. Abstrak ditulis
dalam bahasa Indonesia dan/atau bahasa Inggris. Panjang abstrak
tidak lebih dari du halaman dengan jarak satu spasi.
(2) Latar belakang/ rumusan masalah
Pada bagian ini diuraikan latar belakang historis masalah yang diteliti
untuk mengetahui apakah masalah baru ataukah sudah pernah diteliti.
Jika telah diteliti, kemukakan siapa yang meneliti, tahun berapa, dan apa
hasilnya. Kemudian, dirumuskan masalah pokok penelitian secara spesifik
dan tajam dalam kalimat tanya. Selanjutnya, peneliti merumuskan tujuan
penelitian. Tujuan ini harus spesifik dan berkaitan dengan masalah pokok
penelitian, seperti menguji hipotesis, dsb.
(3) Kajian Pustaka
Pada bagian ini diuraikan kajian pustaka secara lebih ringkas,
padat, dan jelas yang menjadi rujukan peneliti.
(4) Metode Penelitian
Komponen pokok yang dikemukakan pada bagian ini adalah prosedur
penelitian yang ditempuh yang meliputi: desin penelitian (deskriptif,

3
eksperimental, pengembangan, pualitatif), prosedur pengmpulan
data, dan analisis data.
(5) Temuan-temuan
Hal penting yang dikemukakan pada bagian ini adalah (1) jawaban
atas pertanyaan dalam rumusan masalah, dan (2) hasil pengujian
hipotesis.

(6) Diskusi
Bagian ini penting karena membandingkan hasil penelitian yang
sekarang dengan hasil penelitian-penelitian terdahulu ditempat lain.
Bagian ini menguraikan akapah temuan-temuan yang sekarang
mendukung atau menguatkan temuan-temuan terdahulu atau malah
kebalikan yang terjadi. Agar lebih meyakinkan pembaca, penulis
diharapkan merujuk pada referensi yang relevan, yaitu laporan hasil
penelitian, kertas kerja yang disajikan dalam simposium/seminar
ilmiah, dan jurnal-jurnal ilmiah.
Berdasarkan temuan itu, penulisan sebaiknya mengajukan saran
untuk menjadi peringatan bagi peneliti berikutnya agar dapat
bekerja lebih cermat.
(7) Daftar Pustaka
Referensi yang dicantumkan hanya yang disebutkan dalam uraian
mulai dari perumusan masalah sampai dengan bagian diskusi. Baik

4
dalam uraian maupun dalam daftar referensi, gelar dan jenjang
kepangkatan akademik tidak dicantumkan.

B. Makalah Berdasarkan Kajian Pustaka


Kajian pustaka sering pula disebut kajian teoretis. Dikatakan
demikian, karena kajian pustaka senantiasa menekankan analisis rasional
mengenai teori-teori yang dikemukakan oleh pakar dalam buku-buku yang
dikaji. Ini merupakan analisis yang kritis dengan mengajukan argumentasi
disertai bukti-bukti mengenai ada/tiada ada konsistensi logis antara temuan
dengan teori, baik secara internal maupun secara eksternal,. Bukti-bukti
rasional ini ditunjang pula oleh bukti-bukti empiris hasil penelitian pakar
lain.

Format makalah berdasarkan kajian pustaka ini paling kurang


berisikan: (1) pendahuluan, (2) pembatasan isu-isu yang dibahas, (3)
pembahasan, (4) solusi yang disarankan (5) kesimpulan, dan (6) referensi.

(1) Pendahuluan
Bagian ini didahului penyajian latar-belakang historis isu yang
dimasalahkan. Isu yang dimaksud mungin sesuatu yang baru, tetapi
mungkin pula isu yang sudah dibahas oleh orang lain. Akan tetapi, yang
terpenting adalah alasan yang rasional dikumukakan penulis sehingga
tertarik membahas isu itu.

5
(2) Pembatasan isu-isu yang dibahas.
Bila isu yang akan dibahas merupakan masalah praktis yang belum
terselesaikan, penulis hendaklah mengemukakan alasan tentang keperluan
pembahasan masalah tersebut. Penulis perlu merumuskan secara tajam
situasi yang mendorongnya sehingga tertarik membahas masalah isu
itu, .Dari uraian masalah tersebut, akan tampak unsur mana yang telah
terpecahkan dan unsur mana yang belum terpecahkan. Apakah pemecahan
yang telah ada itu memuaskan atau belum memuaskan?
(3) Pembahasan
Dalam bagian ini penulis hendaklah melakukan analisis kritis atas apa
yang telah dilakukan oleh penulis-penulis terdahulu mengenai isu yang
dimasalahkan. Analisis kritis ini difokuskan pada telaah teori, proposisi,
metodologi, dan hipotesis-hipotesis yang telah disusun oleh para ahli.

Bila yang dibincangkan ialah mengenai masalah praktis yang belum


terselesaikan, hendaklah dikemukakan bagian mana dari masalah tersebut
belum terselesaikan, apa yang menjadi penyebab dan mengapa masalah
praktis itu belum dapat diselesaikan. Kritik-kritik penulis hendaklah
difokuskan pada cara-cara yang telah digunakan untuk menyelesaikan
masalah praktis tersebut. Apakah ada kelemahan konseptual, kelemahan
metodologis atau ada faktor-faktor lain yang lebih dominan dan
menentukan. Landasan penulis dalam mengemukakan krititk-kritik, misal

6
dengan mengambil contoh dari orang-orang/negara-negara lain
menyelesaikan masalah praktis serupa yang pernah dihadapi.
 Bila isu itu mengenai kesenjangan teori dan praktek, penulis hendaklah
mengemukakan berapa besar kerugian yang ditimbulkan oleh
kesenjangan tersebut. Penulis hendaklah mengemukakan kritik-kritik
atas kebijakan dan keputusan mengadopsi suatu teori untuk
diimplementasikan. Kritik-kritik itu difokuskan pada dari mana
teori-teori tersebut diambil, terlampau umum oleh karena itu tidak
jelas, disusun atas dasar sosio-kultural berbeda, pandangan filosofis
berbeda, tradisi ilmiah berbeda, dst. Kritik-kritik yang ditujukan pada
orang-orang yang mengimplementasikan teori-teori tertentu; seperti:
kurang disiapkan, kurang memahami dan menguasai teori-teori tersebut
dst. Atau karena tradisi budaya yang
bekerja atas perintah atau sesuai dengan yang telah diprogramkan, bila
situasi dan kondisi berubah maka terbentur dan mengalami kegagalan.
 Bila isu itu mengenai konflik antara teori-teori, yang harus
dikemukakan oleh penulis ialah posisi tiap teori yang berlawanan itu.
Siapa dan berapa besar pendukung tiap teori.
Penulis harus melakukan analisis kritis mengenai kekuatan dan
kelemahan tiap teori serta mengemukakan teorinya sendiri mengenai
masalah pada mana dua teori yang berlawanan itu dibahas.
 Bila isu itu mengenai konflik teoretis berkenaan dengan perbedaan
metodologis, penulis harus membahas karakteristik tiap metodologi,
7
apa kesamaan (jika ada) dan apa perbedaan prinsipil. Selanjutnya
dibahas pula apa kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan tiap
metodologi yang dimasalahkan.
 Bila isu itu ialah konflik teoretis berkenaan dengan perebutan bidang
kajian ilmiah, penulis harus mengemukakan mengapa terjadi perebutan
bidang kajian ilmiah antara dua atau lebih disiplin ilmu. Apakah
tuntutan dan pengakuan (claim) tiap disiplin ilmu itu beralasan. Apa
kekuatan dan kelemahan yang ditemukan pada tiap tuntutan dan
pengakuan dari tiap disiplin ilmu yang dibicarakan.
 Bila isu itu ialah konflik teoretis berkenaan dengan sesuatu yang
fundamental (menyentuh pandangan, landasan filosofis), penulis
haruslah membahas karakteristik dan hakekat tiap teori. Untuk ini
penulis harus melakukan analisis filosofis tentang landasan mendasar
dari tiap teori. Apa kekuatan dan kelemahan yang ditemukan pada tiap
landasan fundamental itu. Bila ada dari teori-teori telah atau akan
diterapkan di Indonesia, teori mana yang dianjurkan dan mengapa?
Atau penulis menolak kedua teori tersebut, mengapa?

(iv) Solusi yang disarankan.


 Berkenaan dengan masalah praktis yang belum terselesaikan,
berdasarkan analisis kritis yang telah dilakukan penulis membuat
rekomendasi penyelesaian. Rekomendasi ini bersifat teoretis atau

8
konseptual yang mengandung asumsi-asumsi dan dugaan-dugaan yang
diuji dalam praktek.
 Berkenaan dengan “kesenjangan teori dan praktek”, berdasarkan
analisis kritis penulis mungkin merekomendasikan bahwa teori tertentu
tidak dapat diadopsi begitu saja, melainkan perlu dilakukan modifikasi
dan diadaptasikan dengan situasi dan kondisi sosio-kultural obyektif di
lapangan. Kemungkinan lain ialah merekomendasikan perubahan sikap
pelaksana, cara mempersepsi sesuatu yang baru, cara berpikir dan cara
bertindak atau suatu perubahan etos kerja. Ini berarti
merekomendasikan perubahan tradisi dan budaya orang-orang yang
akan mengimplementasikan teori-teori tertentu itu. Uraian ini akan lebih
baik disertai dengan contoh-contoh yang telah pernah dilakukan oleh
orang-orang lain dari negara-negara lain dalam hal mengatasi
kesenjangan antara teori dan praktek.
 Berkenaan dengan konflik antara teori-teori, penulis menetapkan
posisinya antara dua atau lebih teori yang berlawanan, atau ia menyusun
teori sendiri sebagai tandingan teori-teori yang ada dan telah
“established”. Selanjutnya penulis merekomendasikan tentang
bagaimana menguji teori baru itu secara empiris, atau ia sendiri
melakukan uji empiris berulangkali dan melaporkan hasil-hasil
pengujian.

9
Dari hasil analisis kritis menyangkut isu perbedaan metodologis,
penulis mungkin merekomendasikan mengeluarkan kelemahan-kelemahan
yang ditemukan pada dua metodologi tersebut dan merekomendasikan
integrasi kekuatan-kekuatan mereka. Dengan mengintegrasikan kekuatan-
kekuatan metodologis tersebut, mungkin melalui beberapa modifikasi,
ditemukanlah metodologi baru secara konseptual yang selanjutnya harus
diuji dalam praktek.
 Berkenaan dengan perebutan bidang kajian ilmiah, berdasarkan analisis
kritis penulis hendaklah memaparkan saran konseptual untuk
menyelesaikan pertikaian bidang kajian. Misal mengenai bintang-laut
(sea-urchin) yang dapat berkembang biak melalui potongan-potongan
tubuh. Oleh karena itu bintang-laut itu apakah termasuk kajian
botani atau zoologi. Contoh lain yaitu “psikologi pendidikan”
apakah merupakan bagian dari psikologi atau bagian dari pedagogik.
Ketika penulis menetapkan termasuk bidang kajian disiplin ilmu apa, ia
haruslah memberikan argumen-argumen kuat, mengapa ia menyatakan
demikian.
 Pemecahan isu konflik teoretis yang mendasar yaitu yang menyangkut
landasan filosofis fundamental, berdasarkan analisis kritis tentang
kekuatan dan kelemahan tiap teori serta analisis kritis tentang landasan
filosofis tiap teori, penulis hendaklah menguraikan kemungkinan-
kemungkinan kegagalan dan bahaya bila teori-teori tersebut diadopsi
begitu saja dan diterapkan di Indonesia. Misal: “Teori ekonomi
10
kapitalis” lawan “teori ekonomi sosialis/marxis”, karena pandangan
hidup mayoritas rakyat Indonesia berbeda dari pandangan hidup
bangsa-bangsa pada mana dua terori tersebut disusun.

(v) Kesimpulan
Pada bagian ini penulis merangkum temuan-temuan dari analisis
rasional dan kritis dan mengemukakan apa yang perlu dilakukan lebih
lanjut.

(vi) Daftar Referensi


Hanya mencantumkan pustaka-pustaka yang digunakan dan diteliti
untuk analisis rasional itu. Gelar dan pangkat akademik tidak dicantumkan.

Catatan :
Makalah (artikel) yang didasarkan pada “books-survey atau library
research” haruslah menampakkan kemampuan analisis kritis atas teori-teori,
pendapat-pendapat dari seseorang, bukan, sekali lagi bukan merupakan
hasil kompilasi.

(3) Makalah berdasarkan refleksi filosofis


Refleksi filosofis juga merupakan analisis kritis dan rasional
mengenai isu-isu dan keadaan-keadaan yang dimasalahkan, terutama yang
mempunyai dampak pada kehidupan manusia. Kemajuan pengetahuan,
11
ilmu, teknologi, seni dsb. dalam kenyataan mempunyai implikasi moral dan
mucullah persoalan-persoalan nilai. Mengenai apakah ilmu termasuk teori
itu “bebas-nilai” atau “terikat-nilai” merupakan isu lama. Karena tidak
terdapat kesepakatan muncullah dua kelompok, yaitu kelompok yang
berpandangan “bebas-nilai” dan kelompok yang berpandangan “terikat-
nilai”, masing-masing mempunyai argumen-argumen kuat.

Refleksi filosofis selain menampakkan kemampuan analisis, kritis


dan rasional, juga menampakkan kemampuan menilik sesuatu secara
mendalam dan mendasar yang biasa disebut “wesen-anschauung” dari apa
yang dikaji. Apa yang didapat dari penilikan yang demikian itu, dianggap
penuh makna. Untuk analisis yang demikian mendalam dan mendasar yang
biasa disebut “wesen-anschauung” dari apa yang dikaji. Apa yang didapat
dari penilikan yang demikian itu, dianggap penuh makna. Untuk analisis
yang demikian dikembangkan kemampuan intuitif penulis. Oleh karena itu
refleksi filosofis itu dianggap memiliki tingkat orisinalitas lebih tinggi.
Tidak ada format standar yang harus diikuti, karena masing-masing penulis
menyajikan pembahasan dan pemilahan masalah yang dibicarakan
tergantung pada bagaimana ia menghayati sesuatu masalah dan pandangan
atau aliran filsafat yang dianutnya. Akan tetapi secara umum dapat
dikemukakan bahwa format makalah filosofis berisikan tiga bagian, yaitu
bagian pendahuluan, bagian pembahasan dan bagian penutup.

12
(i) Bagian pendahuluan
Pada bagian ini dikemukakan isu yang dimasalahkan. Perlu
dinyatakan apakah isu itu baru, atau isu lama dan sudah sering
dibincangkan. Apakah terdapat pendapat-pendapat yang berbeda dan
bahkan berlawanan. Apa usaha dari penulis yang sekarang untuk mencari
pemecahan dua atau lebih pandangan yang berbeda dan berlawanan itu.
Untuk ini penulis hendaklah memilah-milah isu tersebut menjadi unsur-
unsur yang saling berkaitan.

(ii) Pembahasan
Pada bagian ini penulis melakukan analisis kritis tiap unsur. Analisis
kritis ini tentu memerlukan pengajian upaya-upaya dan hasil - hasil orang
terdahulu: bagaimana mereka membincangkan isu/masalah tersebut dan
apa pendapat serta kesimpulan mereka. Dalam pembahasan tiap unsur itu,
penulis selain mengemukakan pendapat yang berbeda-beda juga
menyatakan posisinya. Untuk menyatakan posisi itu, penulis
memgemukakan kritik-kritik pada tiap pendapat atau pandangan atau teori
yang dimasalahkan.

(iii) Kesimpulan
Pada bagian ini penulis, atas dasar analisis kritis pada bagian
pembahasan, mengemukakan apa selanjutnya yang perlu dan harus

13
dilakukan. Apa manfaat dari teori-teori yang berbeda dan berlawanan itu
bagi pengembangan pengetahuan ilmiah.

(b) Metodologi
Untuk makalah berdasarkan penelitian empiris, persoalan metodologi
ini penting dijelaskan. Metodologi ini tidak hanya mengenai teknik analisis
data, tetapi mulai dari desain penelitian, populasi dan teknik penetapan
sampel serta unit-unit analisis. Selanjutnya teknik pengumpulan data,
instrumen yang digunakan, teknik pengukuran, kesahihan dan keandalan
instrumen serta teknik analisis statistik yang digunakan.
Untuk makalah berdasarkan hasil kajian pustaka dan refleksi
filosofis, ditekankan pada kemampuan analisis kritis dan rasional. Untuk ini
pemahaman dan penguasaan bahasa teknis dan formal menjadi amat
penting. Selain itu potensi berpikir filosofi, yaitu berpikir yang
mendasar dan sistematis perlu dikembangkan.

(c) Bahasa
Perlu diketahui, meskipun bahasa yang digunakan dalam karya
ilmiah itu berasal dari bahasa resmi sehari-hari, tidaklah berarti
bahasa untuk pengomunikasian pengetahuan itu sama dengan bahasa
resmi sehari-hari. Bahasa resmi sehari-hari lebih menonjolkan bentuk
fonografik, sedangkan bahasa pengetahuan menggunakan bentuk
ideografik, bahasa yang menguakkan substansi dari apa yang
14
dibicarakan dan mempunyai arti yang persis, pasti dan konsisten.
Sehubungan ini penggunaan lambang-lambang menjadi penting dan
suatu keharusan, khususnya untuk menyatakan hubungan-
hubungan dan persamaan-persamaan atau mengemukakan teorem-
teorem. Selanjutnya, tiap terma yang digunakan dalam kalimat
atau perumusan formula, tidak hanya mempunyai arti tetapi
mempunyai fungsi agar keseluruhan kalimat atau formula
mempunyai nilai kebenaran fungsional.
Carnap mengelompokkan bahasa pengetahuan dalam bahasa
kualitatif dan bahasa kuantitatif. Bahasa kualitatif ditandai oleh penggunaan
predikat yang diungkapkan dengan kata-kata, bahasa kuantitatif
menyatakan hasil pengukuran dan penghitungan, diungkapkan dengan
simbol-simbol fungsi dan memiliki nilai-nilai bilangan. Deskripsi obyek
pengetahuan dengan bahasa kualitatif melalui penggunaan dua konsepsi
pengetahuan, yaitu: konsepsi klasifikatif dan konsepsi komparatif.
Deskripsi obyek pengetahuan dengan bahasa kuantitatif, menggunakan
konsepsi kuantitatif, menyajikan hasil-hasil pengukuran.
Carnap juga menegaskan keperluan mengelompokkan bahasa
pengetahuan dalam: (a) terma-terma logis termasuk terma-terma matematik
murni; (b) terma-terma observasional; dan (c) terma-terma teoretis yang
juga disebut konstruk. Mengenai kalimat-kalimat juga terdapat
pengelompokkan yang sama, yaitu: (a) kalimat-kalimat logis yang tidak
mengandung terma-terma observasional atau deskriptif; (b) kalimat-kalimat
15
observasional yang tidak mengandung terma-terma teoretis; dan (c)
kalimat-kalimat teoretis yang dapat merupakan: (i) mengandung baik
terma-terma observasional maupun teoretis; dan (ii) hanya mengandung
terma-terma teoretis.

Terma-terma teoretis dikenalkan melalui teori-teori yang didasarkan


atas dua jenis postulat, yaitu: (a) postulat teoretis, merupakan hukum-
hukum dari teori dan sepenuhnya mengandung kalimat-kalimat teoretis; dan
(b) postulat korespondensi, kalimat-kalimat campuran yang berisikan
terma-terma teoretis dan observasional.
Penggunaan bahasa Indonesia dalam karya-karya ilmiah memberikan
kesan bahwa kita kurang kritis dan cermat berbahasa. Kita tidak
melakukan analisis kritis dalam hal memilih dan menggunakan terma-
terma ketika merumuskan pendapat, hukum atau teori. Bahasa yang
banyak digunakan tidak berbeda dari bahasa sehari-hari yang
menonjolkan bentuk fonografik. Apakah ini membuktikan bahwa Bahasa
Indonesia belum dapat digunakan sebagai bahasa pengetahuan?
Penggunaan terma-terma seperti: “data-data”, “para”, “bisa”, “akibat”,
“dampak”, “terhadap” dan kegemaran penggunaan awalan ganda seperti:
“member”, “diber”, “memper”, “diper” membuktikan betapa besar
pengaruh sosiologisme dalam penggunaan bahasa. Tentu ada pengecualian,
tetapi kaidah pengecualian itu jangan dibuat berlaku umum. Selain itu
keengganan menggunakan “mengaji”, “pengaji”, “pengajian” dan malah

16
yang digunakan -meskipun melanggar kaidah imbuhan- ialah “mengkaji”,
“pengkaji”, “pengkajian” dan membuat singkatan seperti “semiloka”
pengganti “seminar dan lokakarya”, “Diknas” pengganti “Pendidikan
Nasional dsb. membuktikan betapa besar pengaruh psikologisme. Bahasa
pengetahuan haruslah mencerminkan rasionalitas, bukan emosionalitas
atau

menonjolkan kandungan emotif dan juga bukan karena bahasa itu telah
berterima dalam masyarakat atau digunakan oleh orang banyak. Bahasa
Pengetahuan itu menyajikan ide, konsepsi yang terkandung dalam
informasi dari obyek pengetahuan yang persis, pasti dan konsisten. Bila
bahasa yang digunakan mengandung ambiguitas, terjadilah distorsi dalam
penafsiran dan pemahaman informasi pengetahuan. Keadaan yang demikian
menghambat pengembangan pengetahuan ilmiah.

(d) Referensi
Referensi yang digunakan dalam karya ilmiah ada beberapa macam,
yaitu: naskah asli, naskah yang telah dipublikasikan dalam bentuk artikel,
buku dst, pustaka hasil terjemahan, pustaka hasil saduran, bunga rampai,
kumpulan sinopsis, kumpulan resensi buku, kapita selecta isu-isu dari
ilmuan, filosof, budayawan dsb. Pustaka hasil terjemahan perlu mendapat
perhatian, karena sering terjadi distorsi, apalagi bila terjemahan itu tidak
langsung dari bahasa yang digunakan dalam pustaka asli. Misal: Pustaka
17
asli ditulis dalam bahasa Jerman, diterjemahkan kedalam bahasa Inggeris
dan dari bahasa Inggeris diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia.
Sebagaimana diketahui, banyak terma bahasa Jerman yang
memiliki makna padat dan sukar dicarikan ekuivalensi terma dalam
bahasa lain. Apa yang sering dilakukan oleh penerjemah ialah
mencantumkan terma asli tersebut dan menjelaskan apa yang
dimaksud. Selain itu mutu pustaka terjemahan itu ditentukan pula
oleh kredibilitas penerjemah, selain menguasai bahasa yang
diterjemahkan juga menguasai bidang-bidang ilmu terkait serta
memahami secara mendalam pemikiran penulis pustaka. Hasil
terjemahan yang dapat diandalkan biasanya sebelum diterbitkan
ditelaah dan dikoreksi oleh penulis pustaka asli itu sendiri.
Sering terjadi distorsi dalam penyajian konsepsi pengetahuan, karena
penulis makalah (pustaka) kurang kritis menggunakan pustaka.
Bila pustaka yang ditemukan ialah hasil terjemahan, saduran dsb. penulis
hendaklah menguji ketepatan dan kebenaran konsepsi mengenai sesuatu
dalam pustaka asli. Bila tidak demikian, terjadilah penyajian konsepsi
pengetahuan yang “salah-kaprah” (misleading). Bila hal yang demikian
sering dan terus berlangsung, bukan kemajuan dan perkembangan
pengetahuan ilmiah yang terjadi, melainkan degenerasi pengetahuan ilmiah,
bukan pencerdasan yang dilakukan melainkan pembodohan.
Penggunaan referensi hendaklah secara kritis, bukan hanya mengutip
untuk menunjukkan bahwa penulis telah membaca pustaka tertentu tanpa
18
analisis ketepatan apa yang dikutip atau dirujuk dengan masalah yang
dibicarakan. Bila yang dirujuk itu ialah ide atau konsepsi tertentu
bersumber dari pustaka dalam bahasa Indonesia, perlu diselidiki apakah ide
atau konsepsi tersebut orisinal dari penulis yang bersangkutan, atau ide dan
kosepsi atau teori yang dirujuk itu telah pernah dikemukakan oleh orang
lain. Bila teori tersebut telah pernah dikemukakan oleh orang lain, haruslah
ditelaah pustaka asli dan nyatakan apakah uraian yang dibuat dalam pustaka
bahasa Indonesia itu menyimpang atau tidak dari uraian dalam pustaka asli.
Bila terjadi demikian, penulis makalah haruslah berani mengemukakan
kritik-kritik dan menyatakan kekeliruan yang telah dibuat oleh penulis buku
dalam bahasa Indonesia itu. Jadi referensi bukan hanya untuk dikutip
apalagi dikompilasi, tetapi untuk dianalisis guna menemukan kekeliruan-
kekeliruan yang telah dibuat, dibandingkan dengan teori dari pakar-pakar
lain, selanjutnya penulis menetapkan posisi ia berada. Dengan berbuat
demikian, penulis

makalah ilmiah telah memberikan kontribusi meluruskan posisi suatu teori


yang dibutuhkan bagi pengembangan pengetahuan ilmiah.

(3) Orisinalitas
Meskipun ada yang mengatakan bahwa orisinalitas murni dalam
kegiatan ilmiah sukar ditemukan. Pendapat ini didukung oleh pandangan
19
bahwa kemajuan dan perkembangan pengetahuan ilmiah itu merupakan
kelanjutan dari pengetahuan yang sebelumnya telah ada. Apa yang
dilakukan dalam pengembangan pengetahuan ilmiah itu dalam kenyataan
merupakan modifikasi dari apa yang telah ada, atau suatu teori baru
mengandung pula sejumlah unsur teori lama. Perkembangan pengetahuan
berlangsung evolusioner. Akan tetapi ada pandangan lain, yaitu teori baru
melampaui kemampuan teori lama dalam banyak hal seperti prediksi fakta-
fakta baru, mengubah pandangan lama secara keseluruhan, atau teori baru
itu menggantikan teori yang telah “established”. Contoh-contoh
perkembangan pengetahuan illmiah yang demikian antara lain ialah: teori
Copernicus menggantikan teori dan keyakinan Ptolomeus, penemuan
geometri non-Eucllidus dari Bolyai, Lobachevski dan Riemann kontradiktif
dengan geometri Euclidus, teori relativitas Einstein menggantikan teori
Newton.
Orisinalitas baik sebagai hasil analisis rasional maupun hasil
eksperimen dibuktikan oleh temuan-temuan baru yang menghasilkan teori-
teori baru. Teori-teori baru ini harus mampu menghadapi ujian
eksperimental yang “keras:, untuk membuktikan apakah teori-teori tersebut
dapat menggantikan teori-teori yang telah ada. Berkenaan dengan analisis
rasional dan melakukan eksperimen, kejujuran ilmiah ilmuan menjadi
taruhan. Kejujuran ilmiah bertalian dengan kritik-kritik yang ditujukan pada
sejumlah teori, apakah tiap teori mendapat perlakuan adil, apakah tidak
terjadi manipulasi data atau rekayasa data penelitian, apakah hasil
20
eksperimen yang dilaporkan memang benar-benar dilakukan. Kemampuan
menemukan sesuatu yang baru: pendapat, teori, hukum ataupun tesis
merupakan sumbangan bagi pengembangan pengetahuan ilmiah. Penemuan
sesuatu yang baru itu tidak hanya terbatas pada penelitian empiris melalui
penelitian lapangan dan/atau melakukan eksperimen, tetapi juga terbuka
kemungkinan melalui kajian pustaka. Hasil-hasil penelitian empiris dan
analisis rasional pustaka, bukanlah hanya mengulangi apa yang telah ada
dan telah dipublikasikan, atau mengemukakan sesuatu yang telah
ada dan telah dipublikasikan, atau mengemukakan sesuatu yang telah
diketahui, atau menyajikan hasil analisis statistik sebagai latihan akademik,
tetapi hendaklah menghasilkan pendapat atau teori baru. Untuk mencapai
apa yang diinginkan itu jelas tidak cukup hanya satu kali melakukan
penelitian atau hanya melakukan analisis pustaka yang terbatas.
Pengembangan pengetahuan ilmiah merupakan upaya sinambung, menuntut
dedikasi dan kesungguhan.

(4) Hak Kekayaan Intelektual


Kejujuran ilmiah merupakan pilar utama yang menentukan kredibilitas
dan reputasi ilmuan, satu dari sejumlah hal dalam proses kegiatan ilmiah
ialah penulis dan/atau peneliti mungkin mendapatkan inspirasi untuk
menulis dan/atau meneliti tentang sesuatu setelah membaca sejumlah
pustaka. Dari telaah pustaka itu penulis dan/atau peneliti berkenalan dengan
suatu teori yang menggugahnya melakukan kajian lebih lanjut baik dengan
21
cara analisis tingkat rasionalitas maupun melakukan penelitian empiris.
Hasil-hasil analisis tingkat rasionalitas dan penelitian empiris itu
dipublikasikan melalui jurnal-jurnal ilmiah atau makalah kerja yang
disajikan dalam seminar/simposium ilmiah.

Artikel untuk jurnal ilmiah dan perkembangan ilmiah, biasanya


mencantumkan hasil penelitian, pendapat dan teori dari ilmuan lain. Ada
lima jenis kutipan, yaitu: (a) kutipan langsung penuh; (b) kutipan langsung
tak-penuh; (c) kutipan tidak langsung penuh; (d) kutipan tidak langsung
tak-penuh; dan (e) pengambilan ide-ide.
a. Kutipan langsung penuh ialah kutipan yang diambil dari pustaka asli,
pustaka yang ditulis dalam bahasa penulis/ilmuan itu sendiri. Untuk
melakukan ini penulis artikel dsb. haruslah menguasai bahasa terkait.
Dikatakan penuh, karena yang dikutip ialah keseluruhan kalimat atau
paragraf secara utuh.
b. Kutipan langsung tak-penuh ialah mengambil sebagian dari kalimat,
yaitu terma-terma pokok dari pendapat atau teori ilmuan tertentu.
c. Kutipan tidak langsung penuh ialah kutipan yang diambil dari
pustaka hasil terjemahan dan saduran, mengutip keseluruhan kalimat
atau keseluruhan paragraf secara utuh.
d. Kutipan tidak langsung tak-penuh, mengambil sebagian dari kalimat
atau paragraf pustaka hasil terjemahan itu.

22
e. Mengambil ide atau konsepsi dari ilmuan lain guna menguatkan
pendapat atau teori yang dikemukakan.
Mengenai kutipan ini, khususnya kutipan tidak langsung dan
pengambilan ide-ide, perlu diteliti pustaka asli. Kita harus diyakinkan
bahwa tidak terjadi distorsi dalam terjemahan itu. Bila ide dan konsepsi
mengenai sesuatu yang diambil, kita perlu diyakinkan apakah ide dan
konsepsi tersebut murni berasal dari penulis pustaka pada mana ide dan
konsepsi itu diambil, atau ide dan konsepsi yang sama itu telah pernah
dikemukakan oleh ilmuan lain. Untuk ini perlu ditelusuri histori ide dan
konsepsi dalam perkembangan pengetahuan ilmiah, menelaah pustaka asli
yang ditulis oleh ilmuan ilmiah bersangkutan. Dengan cara ini akan
diketahui apakah telah terjadi pengembangan atau malah deviasi dan
distorsi yang terjadi. Hal yang terakhir ini mungkin terjadi, karena penulis
pustaka pada mana ide dan konsepsi tentang sesuatu itu kita ambil, hanya
pernah mendengar ide dan konsepsi bersangkutan tetapi tidak melakukan
kajian lebih lanjut secara sungguh-sungguh.
Tradisi kegiatan ilmiah berkaitan dengan kutipan ini ialah bahwa kita
harus menghormati “hak kekayaan intelektual” dengan meminta izin tertulis
dari penulis bersangkutan dan/atau pemegang “copy-right”. Meskipun
demikian, ada pula pemegang “copy-right” itu membolehkan kutipan
singkat tanpa izin tertulis dengan ketentuan kutipan tersebut untuk
dianalisis dan dikritik, sebagai bagian dari kegiatan pengembangan

23
pengetahuan ilmiah. Dalam hal inilah integritas kesarjanaan ilmuan menjadi
taruhan.
Bila kutipan dalam kenyataan tidak dianalisis dan dikritik dan
dicantumkan dalam karya ilmiah, kutipan itu tanpa izin tertulis dari
pemegang “copy-right”, kutipan yang demikian dinyatakan pelanggaran
atas “hak kekayaan intelektual” atau dikatakan suatu bentuk “pembajakan”.
Bila pengambilan ide dan kosepsi tentang sesuatu tanpa menunjukkan
referensi pustaka yang dibaca, hal yang demikian dapat digolongkan dalam
perbuatan plagiat.

5. Diskusi dan kritik rasional.


Suatu karya ilmiah, khususnya artikel yang akan dipublikasikan
melalui jurnal ilmiah, tidaklah langsung dimuat seperti apa adanya. Naskah
artikel itu ditelaah oleh editor, diedit baik mengenai isi maupun bahasa.
Terbuka kemungkinan artikel itu

dikembalikan kepada penulis untuk perbaikan berdasarkan komentar


komentar editor atau artikel tersebut ditolak oleh editor.
Tradisi dalam kegiatan ilmiah, sebelum makalah dikirim ke jurnal,
lebih dahulu disampaikan kepada teman-teman sejawat untuk ditelaah oleh
mereka. Mereka dimintai untuk memberikan kritik-kritik komentar-
komentar dan saran-saran perbaikan. Seringkali saran-saran perbaikan itu
menganjurkan penulis untuk menelaah referensi lain yang terlupakan oleh
24
penulis atau penulis belum mengetahui. Sehubungan dengan ini penulis
melakukan beberapa perubahan dalam pendapat atau teori yang disusunnya,
atau mengubah posisinya. Tentu kritik dan komentar dari teman-teman
sejawat itu ialah yang obyektif dan rasional.

Selain menyampaikan naskah kepada teman-teman sejawat secara


individual, naskah tersebut dapat disajikan dalam kelompok diskusi dari
disiplin ilmu terkait. Kelompok ini mengagendakan diskusi periodik. Makalah
yang akan didiskusikan disampaikan kepada anggota kelompok dan mereka
diberi cukup waktu untuk mengaji makalah tersebut secara sungguh-
sungguh. Dalam diskusi rasional penulis tentu akan menghadapi kritik-
kritik dan komentar-komentar tajam. Penulis harus dapat memberikan
penjelasan-penjelasan tambahan guna meniadakan salah faham atau keliru
interpretasi mengenai sesuatu, mungkin pula penulis mempertahankan
pendapat atau teorinya dengan memberikan argumen-argumen atau
penjelasan tambahan yang meyakinkan. Menghadapi situasi demikian
penulis hendaklah tidak “patah semangat atau putus asa”, tetapi keadaan
tersebut diterima sebagai dorongan demi kemajuan dan perkembangan
dalam upaya mencari dan mendapatkan serta kemudian menyumbangkan
pengetahuan ilmiah.

25
6. Kelompok diskusi
Perguruan Tinggi, sejak dulu dinyatakan sebagai pusat
pengembangan pengetahuan ilmiah. Sehubungan dengan itu di Perguruan
Tinggi ada bermacam-macam lembaga penelitian dan kelompok diskusi
rasional. Melakukan penelitian-penelitian dan diskusi-diskusi rasional
menjadi fungsi utama ilmuan, sedangkan mengajar merupakan fungsi
kedua. Bila hal ini tidak mungkin dilakukan karena kondisi-kondisi yang
diperlukan belum tersedia, keadaan yang demikian tidaklah mengabaikan
keperluan melakukan penelitian dan diskusi rasional serta menerbitkan
karya ilmiah. Penelitian itu tidak hanya penelitian lapangan dan melakukan
eksperimen, tetapi termasuk pula kajian pustaka.
Kelompok diksusi tiap disiplin ilmu perlu diadakan. Kelompok ini
tidak hanya melakukan diskusi rasional mengenai hasil-hasil penelitian dan
naskah–naskah yang akan diterbitkan, tetapi mungkin pula mendiskusikan
usulan-usulan penelitian. Melalui diskusi-diskusi rasional yang dilakukan
secara periodik di Perguruan Tinggi, iklim dan kesadaran akan keperluan
mendapatkan dan mengembangkan pengetahuan ilmiah akan dihayati. Perlu
diketahui tugas utama dosen-dosen dalam melaksanakan fungsi
kependidikan mereka bukan hanya menyajikan pengetahuan yang telah ada,
tetapi yang lebih penting ialah menumbuhkan dan mengembangkan
kemampuan berpikir kritis dan rasional, mahasiswa
menanyakan/memasalahkan teori-teori yang mereka dapat dari dosen-dosen
dan dari pustaka-pustaka. Situasi belajar yang demikian, kecuali dosen-
26
dosen juga kritis ketika menelaah pustaka-pustaka, baik untuk keperluan
perkuliahan, melakukan penelitian maupun penulisan karya ilmiah
Melalui kelompok diskusi minat dan kemampuan dosen-dosen
menulis karya-karya ilmiah dikembangkan dan ditingkatkan. Apalagi syarat
yang harus dipenuhi untuk pengusulan dan promosi jenjang kepangkatan
ialah karya-karya ilmiah yang dipublikasikan dalam jurnal-jurnal ilmiah.,
artikel-artikel ilmiah itu haruslah relevan dengan matakuliah yang diajarkan
dan/atau disiplin ilmu yang merupakan bidang kepakaran. Dengan publikasi
karya ilmiah yang berkaitan dengan matakuliah dan disiplin ilmu, yaitu
karya ilmiah yang memuat temuan-temuan baru, baik berupa fakta-fakta
baru maupun interpretasi dan teori-teori baru berarti dosen-dosen berperan
aktif dalam pengembangan pengetahuan ilmiah.

7. Memulai penulisan karya ilmiah.


Telah menjadi pendapat umum, persoalan bagaimana dan dari
mana memulai menulis karya ilmiah, merupakan penghambat
pertama dan utama. Karena kurang mampu mengatasi hambatan
tersebut, minat dan keinginan menulis ditekan dan potensi menulis
yang dimiliki tidak dikembangkan. Ada yang mengatakan minat
menulis itu muncul karena ada inspirasi. Ada pula yang mengatakan
karena keingin-tahuan (curiosity), yang lain mengatakan karena
menghadapi masalah dan masalah ini perlu dipecahkan. Tiga hal

27
tersebut tidaklah berdiri sendiri, karena inspirasi akan
membangkitkan keingin-tahuan dan kemudian keingin-tahuan akan
mengarahkan pada penemuan masalah yang perlu dipecahkan dengan
melakukan penelitian. Hasil-hasil penelitian baik lapangan,
eksperimen maupun kajian pustaka dituliskan dan dipublikasikan
agar kalangan ilmuan mengetahui apa yang telah dilakukan dan
ditemukan dalam kegiatan pengembangan pengetahuan ilmiah.
Sehubungan dengan itu ada beberapa hal yang perlu dilakukan sebelum
memulai menulis karya ilmiah.

a. Melakukan kajian pustaka: jurnal, periodikal, makalah kerja, majalah,


surat kabar dsb untuk menemukan isu-isu dan mungkin ada dari isu-isu
tersebut yang menarik dan penting untuk dikaji lebih lanjut. Langkah
ini merupakan kajian pendahuluan.
b. Mendiskusikan dengan sejawat tentang niat anda untuk melakukan
kajian lebih lanjut dan mendapatkan pandangan dari teman sejawat.
c. Menetapkan isu tersebut termasuk yang mana: (i) masalah praktis
yang belum terselesaikan, (ii) kesenjangan antara teori dan
praktek; ataukah merupakan (iii) konflik teoretis. Bila konflik
teoretis, termasuk yang mana; (a) apakah perbedaan metodologis,
(b) perebutan bidang kajian; atau (c) perbedaan landasan
fundamental teori.

28
d. Menetapkan pendekatan: (i) apakah akan melakukan survai
perpustakaan, atau (ii) melakukan penelitian empiris. Bila penelitian
empiris yang dipilih, perlu ditetapkan apakah melakukan penelitian
lapangan atau melakukan eksperimen.
e. Bila memilih survai pustaka, pustaka yang disurvai tidak hanya
publikasi publikasi mutakhir, tetapi juga yang lampau agar diketahui
bagaimana perkembangan dan posisi teori yang dimasalahkan. Dalam
hal ini penulis/peneliti harus melakukan analisis kritis dan rasional.
f. Penelitian dalam bentuk survai-pustaka perlu menyusun proposal
penelitian untuk diajukan pada pihak penyandang dana.

g. Bila penelitian lapangan yang dipilih, penulis/peneliti hendaklah


melakukan observasi pendahuluan guna mendapatkan informasi
pendahuluan tentang kemungkinan melakukan penelitian, untuk
mengetahui segala sesuatu yang perlu disiapkan.
h. Bila penelitian yang diniatkan itu mungkin dilakukan dan akan
mendapat dukungan dari semua pihak yang terkait, penulis/peneliti
menyusun proposal penelitian untuk diajukan kepada penyandang
dana.
i. Bila penelitian yang diniatkan ialah melakukan eksperimen,
penulis/peneliti harus menetapkan tempat eksperimen. “Bila
eksperimen di alam terbuka, penulis/peneliti perlu melakukan
29
observasi tempat-tempat yang tepat. Bila eksperimen dilakukan dalam
laboratorium, penulis/peneliti harus menyiapkan segala sesuatu yang
diperlukan untuk melakukan eksperimen. Penyiapan segala sesuatu
ini juga dilakukan untuk eksperimen di alam terbuka.
j. Penulis/peneliti menyusun proposal melakukan eksperimen untuk
diajukan pada pihak penyandang dana.
k. Format dan isi proposal penelitian mengikuti ketentuan-ketentuan
pihak penyandang dana. Untuk ini Pusat Penelitian dan
Pengabdian Masyarakat di tiap Perguruan Tinggi dapat
menyediakan format proposal penelitian tersebut.
l. Berdasarkan hasil-hasil penelitian itulah ditulis karya ilmiah untuk
disajikan dalam seminar/simposium ilmiah tingkat nasional atau
tingkat internasional, atau dikirim ke jurnal ilmiah untuk
dipublikasikan.
m. Akan tetapi, sebelum karya ilmiah itu disajikan dalam
seminar/simposium ilmiah, lebih baik didiskusikan lebih dahulu dalam
kelompok diskusi terkait yang ada di tiap Perguruan Tinggi .

8. Penutup
Makalah ini ditulis dengan maksud untuk didiskusikan. Ada dua hal
yang mendorong penulis menulis makalah ini yaitu: (i) dalam tahun delapan
puluhan penulis membaca buku karangan Karl R. Popper, Conjectures and
Refutations dan beberapa buku beliau, Thomas S. Kuhn, The Structure of
30
Scientific Revolution, L. Laudan, The Problems of Progress, R. Carnap,
An Introduction to the Philosophy of Science, Polanyi, Personal
Knowledge, dan I Lakatos, The Methodology of Scientific Research
Programmes, dan Mathematics, Science and Epistemology; dan (ii)
membaca makalah-makalah yang akan dipublikasikan dalam Jurnal
Ekonomi STEI. Berdasarkan penafsiran penulis dari pustaka yang pernah
dibaca itu khususnya mengenai “pengetahuan ilmiah”, penulis ingin
mendiskusikan “Penulisan Karya Ilmiah”.
Penulis akui, makalah ini belum dapat disebut ilmiah, karena hanya
merupakan pengungkapan kembali bahan-bahan yang dibaca duapuluh
tahun yang lalu. Catatan-catatan bacaan dan banyak buku yang pernah
penulis miliki telah musnah dimakan rayap. Tetapi karena keinginan kuat
untuk menumbuhkan tradisi diskusi rasional, sikap kritis dan obyektif
dalam lingkungan masyarakat belajar di Perguruan Tinggi, penulis
memberanikan diri menyajikan sesuatu yang jelas tidak sempurna. Banyak
kelemahan dan kekeliruan. Kelemahan dan kekeliruan itu karena tulisan ini
merupakan hasil pemikiran yang didasarkan dan dipengaruhi oleh bacaan-
bacaan masa lalu. Oleh karena itu penulis menyarankan agar teman-teman
sejawat menelaah buku-buku yang dicantumkan dalam daftar bacaan.

Daftar Bacaan

31
Carnap, Rudolf, (1966), An Introduction to the Philosophy of Science,
New York: Basic Books

Cooper, William S., (1978), Foundations of Logico-Linguistics:


A Unified Theory of Information, Language and Logic, Dordrecht:
D. Reidel Publishing, Co.

Hempel, Carl G., (1960), “Operationism, Observation, and Theoretical


Terms”,

dalam A. Danto & S. Morgenbeser, Philosophy of Science, New


York: New American.

Kuhn, Thomas S., (1970) The Structure of Scientific Revolutions,


Chicago: University of Chicago Press

Lakatos, Imre, (1982), The Methodology of Scientific Research


Programmes,
London : Routledge & Kegan Paul

Lakatos, Imre, (1982), Mathematics, Science and Epistemology,


London: Routledge & Kegan Paul

32
Laudan, L., (1977), The Problems of Progress: The Growth of Scientific
Knowledge, Berkeley: University of California Press.

Meredith, Patrick, (1966), Instruments of Communication: An Essay on


Scientific Writing, London: Perganon Press.

Platts, Mark (ed.), (1980), Reference, Truth and Reality,


London: Routledge & Kegan Paul.

Polanyi, M. (1972), Personal Knowledge, Chicago: The University of


Chicago Press.

Polanyi, M. dan H. Frasch, (1975), Meaning, Chicago: The University of


Chicago Press.
.
Popper, Karl R., (1960), The Logic of Scientific Discovery, Oxford:
Clarendon Press.

Popper, Karl R., (1965), Conjectures and Refutations, Oxford: Clarendon


Press.

Popper, Karl R. (1979), Objective Knowledge: An Evolutionary Approach,


Revised Edition Oxford: Clarendon Press.
33
Russell, Betrand, (1973), Essays in Analysis, London: George Allen &
Unwin

KRISIS INTELEKTUAL
Salah siapa?
Dr. Achmad Tolla, M. Pd.

Tulisan ini bukan tulisan ilmiah. Tulisan ini lebih cocok digolongkan
sebagai refleksi sosiologis yang tampak di depan mata kita setiap saat.
Kita prihatin, tetapi bagaimana menghilangkan keprihatinan itu, kita tidak
tahu. Semua orang, termasuk kita, pandai berbicara tentang kebenaran,
34
keadilan, kejujuran, tetapi hanya sedikit yang bertindak benar pada
dirinya dan pada orang lain; adil pada dirinya dan pada orang lain; serta
jujur pada dirinya dan pada orang lain.

Karena pembicaan kita akan lebih banyak menggosip orang, baiklah lebih
dahulu kita memohon ampun kepada Allah swt. semoga gosip kita
dimaafkan oleh-Nya.

A. Kondisi Dekade Ini

1. Krisis Intelektual

Fritjof Capra dalam bukunya “Titik Balik Peradaban” mengatakan


bahwa kehidupan manusia saat ini sudah sampai pada keadaan krisis
multidimensional, yaitu krisis intelektual, krisis moral, dan krisis
spiritual. Kesimpulan umum yang sering dilontarkan orang ialah bahwa
krisis intelektual yang melanda Indonesia dekade ini adalah akibat dari
sistem pendidikan yang mekanistis yang cenderung lebih banyak
memfungsikan dan memberdayakan unsur intelektual daripada unsur
emosional.

Krisis intelektual ini terjadi di kalangan ilmuwan dalam berbagai


versi, mulai dari versi yang samar sampai pada tingkat paling kasar. Krisi
intelektual versi terselubung, misalnya:

35
a. menggunakan ijazah atau sertifikat orang lain untuk memperoleh
kesempatan bekerja;
b. mengikuti jenjang pendidikan yang tidak setara dengan jenjang
pendidikan terakhir yang dimiliki oleh yang bersangkutan untuk
memperoleh surat tanda tamat belajar;

c. mengikuti jenjang pendidikan gelar yang menyimpang dari program


umum dalam sistem pendidikan Indonesia, misalnya:

- gelar S1 diperoleh kurang dari enam semester

- gelar S2 diperoleh kurang dari dua semester, kadang-kadang


kurang dari satu semester

- gelar S3 diperoleh kurang dari dua semester

Gelar yang diperoleh dalam waktu singkat seperti itu bukanlah


gelar akademik yang setara dengan isinya, melainkan hanyalah
penambahan gelar. Krisis intelektual yang kasar hingga yang paling kasar
terjadi umumnya terjadi dalam lembaga pendidikan kedinasan atau
pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh departemen atau lembaga
pemerintah nondepartemen, seperti: STPDN, Akabri, pendidikan jabatan,
dsb. yang harus dibayar dengan harga mahal. Krisis intelektual yang
terjadi dalam lembaga pendidikan umum formal umumnya berbentuk:

36
a. pemberian kemudahan kepada calon siswa untuk memasuki jenjang
pendidikan tertentu dengan pembayaran khusus;
b. sistem kekerabatan yang terjadi dalam penerimaan
siswa/mahasiswa;

c. sistem kekerabatan dalam penerimaan pegawai negeri sipil yang


mengabaikan prinsip relevansi keahlian dengan jenis pekerjaan.

Banyak kemungkinan yang menjadi penyebab utama krisis


intelektual yang dikemukakan di atas. Akan tetapi, kemungkinan yang
paling kuat adalah:

a. sejak pemberlakuan Kurikulum 1975 hingga Kurikulum 1994, mata


pelajaran “Budi Pekerti” tidak dieksplisitkan sebagai mata
pelajaran, bahkan ditiadakan samasekali;
b. mata pelajaran agama terpisah dari mata pelajaran yang lain tanpa
ada usaha mencari titik temunya, kecuali ada kesadaran pribadi
secara individual;

c. membanjirnya informasi yang dapat berkontaminasi dengan prinsip-


prinsip ilmu pengetahuan: objektif, hak umum, tidak terbatas.

2. Dampak Krisis Intelektual

37
Waktu yang tersedia tidak akan cukup untuk membeberkan tumpukan
kemerosotan moral yang terjadi di negeri kita sekarang ini. Berikut ini
disebutkan beberapa yang paling vatal, yaitu:

a. penyalahgunaan wewenang dalam bentuk korupsi;


b. penyalahgunaan wewenang dalam bentuk kepentingan kekerabatan;

c. berbagai macam kekerasan, dari skala kecil hingga skala nasional;

d. penghargaan terhadap nilai-nilai kian memudar;

e. agama tidak lagi menjadi alat pengontrol pribadi bagi umat


beragama.

B.Bagaimana Selanjutnya?

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003


tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa sistem
pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan
pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen
pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan
perubahan kehoidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu
dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan
berkesinambungan.

38
Hakikat pendidikan nasional seperti dikemukakan di atas,
selanjutnya dimaknai sesuai dengan cita-cita pembangunan bangsa
Indonesia, yaitu membangun manusia seutuhnya. Hal ini ditegaskan di
dalam Bab I, Pasal 1 sebagai berikut.

“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan


suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyaraksat, bangsa dan negara.”

Pernyataan tersebut telah tercantum di dalam GBHN sejak tahun


1973 sebagai produk DPR RI hasil pemilihan umum pertama di masa
Orde Baru. Secara matematis, dapat dikatakan bahwa kebanyakan pelaku
pembangunan sekarang ini adalah hasil didikan berdasarkan cita-cita
pendidikan tersebut. Itu berarti, idealnya mereka harus tampil sebagai figur
yang di dalam dirinya terintegrasi sembilan kunci keunggulan yang menjadi
dambaan masyarakat dan bangsa kita. Namun, kenyataannya
mengecewakan.

Oleh karena generasi pendahulu dan generasi sekarang belum


mampu merealisasikan kesembilan kunci keunggulan itu, mari kita
rekomendasikan kepada generasi di bawah kita agar mereka mampu
menjadi manusia unggul yang di dalam dirinya terintegrasi secara filosofis
dan realistis kesembilan kunci keunggulan yang dimaksud.
39
1. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahasaesa serta
taat melaksankan syariat agamanya;
2. Bersikap jujur, tulus, kata dan perbuatan sejalan;

3. Tidak mengenal putus asa, selalu yakin bahwa di depan pasti


ada kebaikan;

4. Berbicara dengan baik, sopan, menghindari fitnah;

5. Mampu beradaptasi dengan masyarakat di mana dan kapan


saja;

6. Memiliki komitmen untuk dirinya, untuk masyarakatnya, dan


untuk lingkungannya;

7. Bertanggung jawab kepada Tuhannya, dirinya, masyarakatnya,


dan lingkungannya;

8. Menyadari keberadaan dirinya, mengakui keberadaan orang


lai, menyadari kelebihan dan kekurangan dirinya, dan
mengakui kelebihan dan kekurangan orang lain.

9. Hidup dalam prinsip keseimbangan:

- dunia-akhirat

40
- jasmani-rohani

- materiil-spiritual

- intelektual-emosional

Mengapa mereka, dan bahkan kita semua tidak mampu


merelalisasikan kunci keunggulan itu?

Mari kita mendiskusikan jawaban pertanyaan itu! Hasil dari


diskusi kita itulah yang kita harapkan akan menjadi rujukan, paling tidak di
dalam lingkungan kita. Kita akan mendidik anak-anak kita menjadi manusia
unggul paripurna yang akan membawa negeri ini ke suatu dunia nyata yang
makmur di bawah rida Allah swt.

41
42
PENGEMBANGAN SILABUS PENGAJARAN BAHASA
BERBASIS KOMPETENSI
Dr. Achmad Tolla, M. Pd.

A. Pendahuluan
Kompetensi, menurut Hall dan Jones (1979:29) adalah pernyataan yang
menggambarkan penampilan suatu kemampuan tertentu secara bulat yang merupakan
perpaduan antara pengetahuan dan kemampuan yang dapat diamati dan diukur (dalam
Depdiknas, 2002:1). Kemampuan demikian diharapkan dimiliki oleh lulusan
lembaga pendidikan kita agar mereka dapat bersaing dalam memperoleh kesempatan
berpartisipasi dalam pembangaunan, baik secara individu maupuan secara
berkelompok. Akan tetapi, kemampuan itu tidak mudah diraih tanpa penanganan
yang lebih serius dalam bidang manajemen pendidikan dan implikasinya di dalam
proses belajar-mengajar.
Pada hakikatnya, implikasi pengajaran bahasa berbasis kompetensi adalah
pengembangan silabus dan sistem pengujian berbasis kompetensi dasar. Kompetensi
dasar adalah hasil penjabaran dari standar kompetensi, yaitu kemampuan minimal
yang harus dimiliki oleh pembelajar dalam mempelajari bidang ilmu yang kelak
menjadi keahliannya. Dalam bidang pengajaran bahasa Indonesia, kemampuan
minimal dapat dipahami sebagai kompetensi kebahasaan dan keterampilan berbahasa
Indonesia yang diharapkan dimiliki oleh setiap lulusan program pendidikan bahasa
Indonesia atau jurusan linguistik dan /atau kesastraan Indonesia
Pedoman umum pengembangan silabus pengajaran bahasa Indonesia berisi
penjelasan secara umum tentang prosedur dan cara mengembangkan kompetensi
kebahasan dan keterampilan berbahasa di dalam materi pembelajaran, langkah-
langkah untuk menentukan pengalaman belajar pembelajar, alokasi waktu sesuai
dengan bobot kredit matakuliah, sumber bahan, dan sumber pustaka yang digunakan,
baik sebagai buku pegangan maupun sebagai sumber pengayaan. Pedoman umum itu

43
perlu dilengkapi dengan pedoman khusus yang menjelaskan lebih rinci tentang
prosedur dan cara mengembangkan kompetensi dan keterampilan berbahasa menjadi
materi pembelajaran dan uraian urutan penyajiannya, langkah-langkah penentuan
pengalaman belajar, alokasi waktu, dan sumber bahan yang digunakan. Di tingkat
sekolah menengah atas ada delapan bidang studi yang dibuatkan pedoman khusus,
yaitu: Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Ilmu
Sosial Terpadu, dan Pendidikan Kesenian.
Karena bidang studi Bahasa Indonesia di SMA termasuk mata pelajaran yang
diujikan secara nasional, maka calon-calon Sarjana Pendidikan Bahasa Indonesia
dan/atau Sarjana Sastra (Bahasa Indonesia) harus dipersiapkan dengan membekali
mereka pengetahuan tentang kompetensi dasar Bahasa Indonesia yang menjadi target
pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
Kompetensi dasar yang dikembangkan dalam sistem pendidikan nasional
sekarang ini, sesungguhnya berada dalam bingkai kompetensi versi Bloom (1956).
Bloom membagi kompetensi itu ke dalam tiga aspek yang masing-masing memiliki
tingkat yang berbeda sebagai berikut:
1) kompetensi kognitif, dengan subkompetensi: pengetahuan,
pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi;
2) kompetensi afektif, dengan subkompetensi: pemberian respon,
penilaian, apresiasi, dan internalisasi;
3) kompetensi psikomotorik, dengan subkompetensi: keterampilan
gerak awal, semi rutin, dan rutin.
Dalam pengajaran bahasa, orang sering menggunakan paradigma Bloom itu
menjadi pedoman dalam menyusun materi pembelajaran bahasa dan sastra, termasuk
alat penilaiannya. Kompetensi kognitif dijadiakan acuan dalam menyusun materi
pembelajaran komponen kebahasaan dan kesastraan dengan berorientasi
pengetahuan. Kompetensi afektif dijadikan dasar dalam menyusun materi
pembelajaran yang berorientasi sikap bahasa dan sastra. Pengajaran bahasa
menempatkan kompetensi afektif pada semua aspek keterampilan berbahasa

44
(menyimak, berbicara, membaca, dan menulis), tetapi yang utama adalah aspek
menyimak dan berbicara karena kedua aspek ini dimiliki oleh semua umat manusia,
melek huruf atau tidak melek huruf.
Pengajaran sastra, selain teori dan sejarah, berada di dalam lingkup
kompetensi afektif. Untuk kompetensi psikomotor berada pada tataran keterampilan
berbahasa dan aplikasi apresiasi sastra.

B. Pengembangan Silabus
1. Pengertian Silabus
Istilah silabus dapat didefinisikan sebagai “Garis besar, ringkasan, ikhtisar,
atau pokok-pokok isi atau materi pelajaran” (Depdiknas, 2004). Istilah silabus
digunakan untuk menyebut suatu produk pengembangan kurikulum dalam bentuk
penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar yang ingin dicapai dalam suatu
program pendidikan. Penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar ini
selanjutnya akan terurai dalam bentuk pokok-pokok bahasan dan urain materi yang
akan dipalejarai pembelajar untuk mencapai standar kompetensi dan kompetensi
dasar itu.
Dalam pedoman umum mekanisme prosedur pengembangan silabus Bidang
Studi Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMA dan sekolah yang sederajat (2004)
dikemukakan bahwa silabus adalah garis besar, ringkasan, ikhtisar, pokok-pokok isi
materi pelajaran. Dalam kedudukannya sebagai garis besar materi pelajaran, maka
silabus merupakan hasil kegiatan pengembangan desain pembelajaran yang
bermanfaat bagi pengembangan pembelajaran labih lanjut mengenai rencana
pembelajaran (RP), pengelolaan kegiatan belajar-mengajar (PKBM), dan
pengembangan sistem pengujian.
Secara lebih eksplisit dapat dikatakan bahwa penyusunan silabus merupakan
bentuk konkret pengembangan kurikulum yang senantiasa berorientasi kepada
kebutuhan pembelajaran, dalam arti apa yang akan dipelajari pembelajar dan apa
target yang diinginkan untuk dicapai oleh mereka. Bentuk penjabaran kurikulum

45
seperti ini lazim disebut desain instruksional. Kegiatan paling awal dari penyusunan
desain intruksional adalah analisis pengetahuan awal calon pembelajar. Pengetahuan
awal dapat disetarakan dengan standar kompetensi awal yang dikenal dalam studi
pendidikan berbasis kompetensi. Wujud dari pengemabangan kurikulum itu dikenal
degan nama silabus yang juga disebut Pola Dasar Kegiatan Belajar-Mengajar
(PDKBM) atau Garis-Garis Besar Isi Program Pembelajaran (GBIPP).

2. Prinsip-prinsip Pengembangan Silabus


Berikut adalah prinsip yang m,endasari pengembangan silabus.
1) Ilmiah, agar silabus yang dihasilkan valid.
2) Memperhatikan kemjuan dan kebutuhan mahasiswa dari segi: ruang lingkup,
kedalaman, tingkat kesulitan, dan urutan penyajian.
3) Sistematis, setiap materi senantiasa berkaitan, yaitu ada prinsip
keberlanjutan secara progresif agar tidak terjadi pengulangan materi pada
jenjang yang berbeda.
4) Relevansi, materi senantiasa memeprtimbangkan keterkaitan antara
pengetahuan dengan dan penerapan pengetahuan itu ke dalam kehidupan
mahasiswa sehari-hari.
5) Konsistensi, ada konsistensi antara kompetensi dasar, materi pembelajaran,
dan pengalaman belajar.
6) Kecukupan, cakupan materi memadai untuk mendukung tercapainya standar
kompetensi (Depdiknas, 2004).

3. Langkah-langkah Pengembangan Silabus dan Sistem Penilaian


Pengembangan silabus dan sistem penilaian berdasarkan kurikulum berbasis
kompetensi sebagai berikut.
3.1 Merumuskan Standar Kompetensi
Standar kompetensi adalah kebulatan pengetahuan, keterampilan, sikap, dan
tingkat penguasaan yang diharapkan dicapai pembelajar setelah mengikuti suatu

46
proses belajar-mengajar. Standar kompetensi ini, secara garis besar dibedakan
menjadi standar isi (content standard) dan standar penampilan (performance
stanrd). Standar kompetensi dalam konteks operasional dapat diartikan sebagai:
1) pernyataan tujuan yang menjelaskan apa yang harus dicapai
pembelajar;
2) kemampuan melakukan sesuatu dan spesifikasi skor atau peringkat
dalam pencapaian kompetensi.
3.2 Merumuskan Kompetensi Dasar
Kompetensi dasar pada hakikatnya adalah:
1) penjabaran dari standar kompetensi;
2) pengetahuan, keterampilan, dan sikap minimal yang harus
dikuasai dan dapat didemonstrasikan oleh pembelajar;
3) kompetensi dasar yang digunakan sebagai acuan atau dasar untuk
menentukan materi pembelajaran;
4) untuk keperluan penilaian, kompetensi dasar dikembangkan menjadi
sejumlah indikator untuk menentukan jenis dan bentuk instrumen
penilaian.
3.3 Menentukan Indikator Pencapaian Kegiatan Belajar-Mengajar
Indikator pencapaian kegiatan belajar-mengajar adalah keterampilan yang
diharapkan dimiliki oleh siswa setelah mengikuti proses belajar-mengjar. Indikator
pencapaian dapat diukur dengan menggunakan sejumlah pertanyaan sejauh mana
menguasaan siswa terhadap materi pembelajaran.
3.4 Menentukan Materi Pembelajaran
Ada sejumlah prinsip yang menjadi dasar peretimbangan dalam memilih
materi pembelajaran.
1) Materi adalah pokok-pokok bahasan yang harus dipelajari pembelajar
sebagai sarana pencapaian kompotensi dasar yang akan dinilai dengan
menggunakan alat penilaian yang disusun berdasarkan indikator
pencapaian belajar.

47
2) Urutan materi pembelajaran bersifat prosedural, hierarkis, dan
terpadu.
3) Klasifikasi materi meliputi pengetahuan, sikap, dan keterampilan
(psikomotorik).
4) Jenis materi dapat berupa fakta, konsep, prinsip, dan prosedur.
5) Jika kompetensi dasar dirumuskan dengan kata kerja, maka materi
pembelajaran dirumuskan dengan kata benda atau kata kerja yang
dibendakan.
Hal pokok yang perlu diperhatikan dalam merumuskan materi adalah:
a. jenis materi
b. keluasan cakupan/ ruang lingkup materi
c. kedalaman materi
3.5 Menentukan Pengalaman Belajar Siswa
Pengalaman belajar diperoleh secra bervariasi dari penginderaan dan tindakan
sebagai berikut:
1) 10% dari apa yang didengar;
2) 20% dari apa yang dibaca;
3) 30% dari apa yang dilihat;
4) 50% dari apa yang dilihat dan didengar;
5) 70% dari apa yang dikatakan dan dilakukan;
6) 90% dari apa yang dikatakan dan dilakukan.
Pengembangan pengalaman belajar dapat dilakukan dengan strategi berikut.
a. Pengembangan pemngalaman belajar ranah kompetensi kognitif,
afektif, dan psikomotorik.
a) Kompetensi kognitif terjadi secara berjenjang dengan aktivitas:
menghafal, memahami, menmgaplikasikan, menganalisis,
menyimpuldan menilai.
b) Kompetensi afektif meliputi: pemberian respon, apresiasi,
penilaian, dan internalisasi.

48
c) Kompetensi psikomotorik meliputi: gerakan awal, semi rutin,
dan rutin melalui gerakan latihan intensif dalam tindak
simulasi, menirukan, danmenghafal.
b. Pengembangan kecakapan hidup (life skill)
a) Jenis kecakapan hidup adalah kecakapan diri yang terdiri atas
kesadaran diri (self awarness) dan kecakapan berpikir
(thingking skill).
b) Strategi pembelajaran kecakapan hidup meliputi:
pembelajaran berbasis luas (menyangkut kebutuhan hidup)
dan pembelajaran terpadu.
c. Pengalaman belajar
a) Pengalaman belajar menunjukkan aktivitas belajar yang
dilakukan pembelajar untuk mencapai penguasaan standar
kompetensi dan kemampuan dasar mengenai materi
pembelajaran.
b) Pengalaman belajar dapat dipilih sesuai dengan kompetensi
pembelajar.
c) Tempat, di dalam kelas atau di luar kelas.
d) Pendekatan:
- Mengajar-Belajar (teaching-learning)
- Menumbuhkan rasa diri tidak tahu mau menjadi tahu
- Guru sebagai fasilitator dan pelati
e) Bentuk kata kerja yang digunakan sebagai kata kerja
operasional antara lain:
- mengidentifikasi - menentukan algoritma - menkaji
- mengamati - mengoperasikan - mengkonstruksi
- mendemonstrasikan - membuktikan rumus - menemukan
- mempraktekkan - meragakan - meneliti
- menyimulasikan - mengaplikasikan - mengaplikasikan

49
- menganalisis - membandingkan - menelaah
3.6 Menentukan Alokasi Waktu
1) Alokasi waktu pembelajaran suatu kompetensi dasar tertentu diperhitungkan
berdasarkan analisis dan/atau pengalaman penggunaan jam pembelajaran
untuk mencapai suatu kompetensi dasar di kelas.
2) Kriteri penentuan alokasi waktu yang perlu dipertimbangkan adalah:
(a) kedalaman
(b) kompleksitas
(c) frekuensi penggunaan
(d) banyaknya materi
(e) pentingnya materi
3.7 Menentukan Sumber Bahan/Alat
Hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan sumber belajar/ alat aebagai
berikut:
1) menggunakan bahan rujukan yang relevan dan signifikan sesuai dengan
standar kompetensi yang ditetapkan;
2) sumber utama: buku teks dan kurikulum, jurnal, hasil penelitian, terbitan
berkala, dokumen negara, dan sebagainya;
3) sumber lainnya: referensi/literatur, pakar, buku penunjang.
Agar pemilihan sumber bahan/alat dilakukan dengan tepat, guru hendaknya
melakukan hal berikuit.
(1) Pengadaan dan pemanfaatan sumber belajar dilakukan dengan:
a. mengidentifikasi kebutuhan sumber dan sarana belajar ;
b. menginventarisasi sumber dan alat pendukungnya (di dalam dan di luar
sekolah);
c. menyesuaikan antara kebutuhan sumber dan sarana belajar yang tersedia
(guru dapat melakukan modifikasi seperlunya).
(2) Pemanfaatan sumber dan sarana belajar dengan melakukan kegiatan:
a. mengidentifikasi kebutuhan (kebutuhan pembelajar dan guru);

50
b. mengidentifikasi potensi yang tersedia;
c. mengelompokkan sumber belajar dalam kelompok:
- lingkungan alam sekitar
- perpustakaan
- media cetak
- narasumber
- karyawisata
- media elektronik
- komputer
d. menganalisis relevansi antara ketersediaan sumber belajar dan kebutuhan;
e. menentukan dan memanfaatkan sumber belajar yang tersedia.
3.8 Menentukan Sistem Pengujian.
Dikatakan sistem pengujian karena komponen ini mencakupi menetapan (1)

jenis kompetensi yang akan dinilai, (2) bentuk instrumen penilaian, dan (3)

jumlah butir soal yang diperlukan untuk menguji setiap kompetensi.

1) Jenis kompetensi yang dinilai

(1) Kompetensi kognitif terjadi secara berjenjang yang meliputi:


menghafal, memahami, menmgaplikasikan, menganalisis,
menyimpulkan, dan menilai.
(2) Kompetensi afektif meliputi: pemberian respon, apresiasi, penilaian,
dan internalisasi.
(3) Kompetensi psikomotorik meliputi: gerakan awal, gerakan semi rutin,
dan gerakan rutin melalui gerakan latihan intensif dalam tindak
simulasi, menirukan, menghafal, dan semua performansi verbal
lainnya.
3) Bentuk instrumen penilaian

51
Bentuk instrumen yang lazim digunakan dalam sistem penilaian adalah soal-
soal. Secara umum, bentuk soal terdiri atas (1) soal uraian (soal esai), dan (2)
soal pilihan ganda. Selain itu, dalam pengajaran bahasa dikenal bentuk-bentuk
soal khusus, yaitu: soal cloze, soal integratif, soal doskrit, soal pragmatik/soal
komunikatif, soal terjemahan, dan soal dikte. Bentuk-bentuk soal yang
dikemukakan terakhir ini tidak terdapat pada bidang studi lain.

C. Jenis Silabus
Apa yang telah, sedang, dan akan diajarkan, baik direncanakan dengan baik
maupun tanpa perencanaan pada hakikatnya adalah silabus. Sebuah silabus paling
tidak terdiri atas tujuh komponen, yaitu:
1. daftar lengkap mengenai unsur (a) kata/istilah, struktur, topik, dan (b) proses
penyelenggaraan pengajaran bertupa metode dan tugas-tugas (strategi);
2. urutan bahan yang akan diajarkan (secara klimak atau menurut kebutuhan);
3. memuat tujuan pengajaran yang eksplisit;
4. merupakan pedoman umum penyelenggaran pengajaran;
5. memuat jadual kegiatan belajar-mengajar;
6. menyatakan acuan pendekatan, metode, dan teknik yang digunakan;
7. merekomendasikan materi yang relevan.
Dalam pengajaran bahasa asing atau bahasa kedua, dikenal sepuluh macam
silabus. Setiap macam silabus itu didasarkan pada ciri materi pengajaran yang akan
diberikan. Namun, dalam proses belajar-mengajar, tidak mustahil ada hal yang perlu
dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan pembelajar. Kesepuluh macam silabus itu
direkomendasikan oleh Ur (1996) yang dikemukakan kembali berikut ini.
1) Silabus Tata Bahasa
Silabus jenis ini menempatkan komponen tata bahasa sebagai inti pengajaran
bahasa. Para perancang silabus ini berasumsi bahwa dalam pengajaran bahasa
asing/bahasa kedua, komponen tata bahasa merupakan dasar penguasaan bahasa. Dari

52
penguasaan tata bahasa, pembelajar dapat mengembangkan keterampilannya dalam
aspek menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.
Penguasaan tata bahasa bagi pembelajar bahasa asing/bahasa kedua umumnya
bersifat eksplisit. Hal ini berbeda dengan penutur asli yang memperoleh kompetensi
gramtika secara internalisasi. Itulah sebabnya, kompetensi gramatika penutur asli
bersifat implisit. Kompetensi implisit ini dapat berubah menjadi eksplisit apabila
seseorang sudah mulai belajar bahasa pertamanya dalam konteks pengajaran formal
di sekolah atau melalui pembinaan bahasa secara formal.
Komponen tata bahasa yang menjadi pokok-pokok bahasan silabus jenis ini
adalah komponen sintaksis.dengan pokok-pokok bahasan: frase, struktur frase,
klausa, /struktur klausa, kalimat, dan struktur kalimat. Struktur silabus dengan
pokok-pokok bahasan demikian mengingatkan kita pada struktur silabus yang
dikembangkan dari pendekatan struktur dengan metode audiolingual. Sementara itu,
kurikulum yang dikembangkan sekarang adalah kurikulum yang berdasarkan
pendekatan komunikatif. Dari pendekatan ini kemudian muncul rekayasa berwawasan
kecakapan hidup yang berbasis kompetensi yang berorientasi kepada indikator
keterampilan berbahasa, bukan penguasaan kaidah bahasa. Dengan demikian,
keberadaan silabus tata bahasa penting diketahui sebagai informasi ilmu, tetapi
penerapannya memerlukan adaptasi agar sesuai dengan hakikat pendekatan
komunikatif.
2) Silabus Leksikal
Silabus jenis ini memuat kata, jenis kata, ungkapan, dan kolokasi kata yang
umum atau khusus sesuai dengan kebutuhan pembelajar. Kebutuhan pembelajar
dapat berupa kebutuhan studi lanjut atau berupa kebutuhan komunikasi sehari-hari
untuk menjalankan fungsi keterampilan hidupnya.
3) Silabus Leksikal-Gramatikal
Silabus jenis ini adalah perpaduan dari silabus gramatikal dan silabus leksikal.
Penyajiannya dapat dilakukan secara terpisah dengan mendaftarkan unsur masing-
masing di dalam sebuah daftar dengan tidak melalaikan urutan kesulitan pada setiap

53
unsur. Urutan penyajian materi silabus dapat dimulai dari daftar kata, jenis kata,
idiom, dan kolokasi kata, atau dimulai dari daftar unsur-unsur gramatika.
4) Silabus Situasional
Materi silabus jenis ini adalah data-data bahasa yang digunakan dalam
konteks penggunaan bahasa secara riil. Situasi penggunaan bahasa dapat diprediksi
berdasarkan pengalaman, baik penyusun silabus dan faktor guru maupun faktor
pembelajar. Situasi penggunaan bahasa secara riil misalnya, dapat terjadi di pasar, di
rumah, di kantor, di kantor pos, di jalanan, di ruang tunggu rumah sakit, dan
sebagainya.
5) Silabus Topik/Tema
Silabus jenis ini mirip dengan silabus situasional. Kekhususan silabus ini
terletak pada penggunaan topik-topik materi di dalam silabus yang dikembangkan
secara operasional dalam proses belajar-mengajar. Jenis keterampilan bahasa atau
komponen tata bahasa yang akan diajarkan selalu berada di bawah topik tertentu.
Silabus jenis inilah yang dikembangkan di dalam kurikulum 1994 untuk bidang studi
Bahasa dan Sastra Indonesia di SLTP dan SMU (sekarang kembali menjadi SMP dan
SMA) dimodifikasi menjadi tema-tema.
6) Silabus Nosional
Silabus jenis ini dikembangkan oleh Wilkins (1976). Silabus ini
mengutamakan kata-kata yang bermakna lebih umum, seperti kata waktu, tempat,
warna, manusia, bidang, dan sebagainya. Itulah sebabnya, pengikut Wilkans
menyebut silabus ini sebagai silabus semantik.
7) Silabus Fungsional-Nosional
Siolabus jenis ini adalah gabungan silabus fungsional yang menekankan
fungsi komunikasi bahasa dan silabus nosional yang menekankan makna atau
kebermaknaan bahasa. Dengan demikian, materi silabus ini adalah penggunaan
bahasa secara fungsional dengan menekankan makna. Setiap kalimat yang dijadikan
contoh atau bahan pembelajaran haruslah bermakna, tidak sekedar memenuhi syarat

54
sintaksis yang formal, misalnya, setiap kalimat paling tidak terdiri atas subjek dan
predikat atau yang lebih lengkap.
8) Silabus Gabungan
Silabus gabungan lebih bersifat eklektif, yaitu materi silabus terdiri atas
gabungan berbagai aspek keterampilan bahasa, komponen tata bahasa yang disajikan
di bawah topik-topik, tugas-tugas, fungsi dan makna, serta tata bahasa dan kosakata.
9) Silabus Prosedural
Materi silabus prosedural ditekankan pada tugas-tugas: peta bacaan, materi
eksperimen, dan penulisan cerita. Tugas-tugas ini dikerjakan secara bertahap sesuai
dengan prosedur metodologis. Misalnya, untuk tugas eksperimen, telah direncanakan
prosedurnya, materinya, pretes dan postesnya, dan jadwal pelaksanaannya.
10) Silabus Proses
Silabus jenis ini berbeda dengan silabus-silabus yang telah dibicarakan di atas.
Silabus ini materinya tidak diformat sebagaimana silabus yang lain. Sebelum guru
memulai kegiatan mengajar, mungkin (?) membuat prediksi materi yang akan
diajarkan. Akan tetapi, setelah tiba di kelas, apa yang diprediksi itu berbeda dengan
kebutuhan pembelajar. Pembelajar ingin mempelajari bahasa untuk tujuan khusus,
misalnya, tujuan jurnalistik, tujuan iklan bisis, dan sebagainya.
Menghadapi keadaan demikian, guru dan pembelajar bersama-sama
merencanakan dan menyusun program pembelajaran dengan mengidentifikasi
semua aspek dan komponen kebahasaan yang dibutuhkan pembelajar untuk
menjalankan profesi yang sedang dan/atau akan dilakoni.

Penutup
Silabus dalam pengajaran bahasa memiliki peranan yang sama dengan
metode, bahkan ada yang menyamakannya dengan pendekatan. Pada awal
perkembangannya, pendekatan komunikatif misalnya, semula dikembangkan melalui
silabus yang oleh Wilkins disebut Silabus Nosional. Selanjutnya, silabus ini
berkembang menjadi Silabus Fungsional, kemudian menjadi Silabus Nosional-

55
Fungsional. Ketiga jenis silabus inilah sebagai dasar pengembangan pendekatan
komunikatif.
Penyempurnaan Kurikulum 1994 menjadi Kurikulum Berbasis Kompetensi
yang sekarang ini sedang diterapkan dalam pengajaran bahasa Indonesia, juga
menempatkan silabus sebagai komponen sangat penting. Buktinya, pengembangan
silabus jstru disetarakan dengan sistem penilaian. Padahal, dalam pengajaran bahasa,
sistem penilaian dikembangkan dengan pendekatan tersendiri, misalnya, pendekatan
discrit point, pendekatan integratif, pendekatan objektif, dan pendekatan subjektif.
Atas pertimbangan itulah sehingga tulisan ini diupayakan dan diharapkan
memberi motivasi kepada para dosen, terutama dosen-dosen muda yang belum
memiliki pengalaman yang cukup dalam mengembangkan mata kuliah. Bagi dosen
senior, tulisan ini sekedar sebagi penyegaran karena hal yang dikemukakan sudah
puluhan tahun menjadi pekerjaan rutin.

Bacaan

Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaian. 2002 dan 2004. Jakarta:
Depdiknas.

Urr, Penny. 1996. A Course in Language Teaching. Cambridge: Cambridge

56

Anda mungkin juga menyukai