Universitas Negeri Makassar-Digilib-Unm-Achmadtoll-191-1-Kumpulan-U
Universitas Negeri Makassar-Digilib-Unm-Achmadtoll-191-1-Kumpulan-U
Achmad Tolla
Universitas Negeri Makassar
1. Pendahuluan
Sebelum memaparkan beberapa teori belajar bahasa asing/bahasa
kedua perlu lebih dahulu dikemukakan pengertian istilah yang digunakan
oleh BIPA menamai pengajaran bahasa Indonesia yang dipelajari oleh
orang asing. Istilah yang dimaksud adalah “Pengajaran Bahasa lndonesia
untuk Orang Asing”. Nama ini sudah dalam beberapa pertemuan ilmiah,
seperti di Bali (2001) dan sekarang ini di Makassar.
Nama itu tidak lazim digunakan dalam teori belajar bahasa
asing/bahasa kedua. Nama yang lazim adalah "Pengajaran Bahasa Indonesia
sebagai Bahasa Asing” sebagai bentuk analogi dari nama yang digunakan
dalam bahasa Inggris, "Teaching English as Foreign Language". Kalau
nama yang digunakn oleh BIPA diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris,
akan menjadi "Teaching Indonesian for the Foreigner Tolk” atau "Teaching
Indonesian for the Foreigner Speaker". Nama ini tidak menunjukkan status
yang jelas bahasa Indonesia, apakah sebagai bahasa asing atau bukan?
Tujuan koreksi ini ialah agar (1) status bahasa Indonesia bagi orang
asing jelas sebagai bahasa asing, dan (2) teori belajar bahasa asing/bahasa
kedua yang telah dikenal secara umum, termasuk yang dibahas di dalam
makalah ini, berlaku pula dalam pengajaran bahasa Indonesia sebagai
bahasa asing.
Teori belajar babasa yang dibahas secara singkat dalam makalah ini
terdiri atas dua bagian: (1) teori belajar bahasa yang diadaptasi dari teori
belajar pada umumnya, yaitu: Teori Behaviorisme dan Teori Nativisme
( Teori Interaksionisme Kognitif dan Teori lnteraksionisme Sosial tidak
dibahas di sini karena kurang berkontribusi terhadap pengajaran bahasa
asing/bahasa kedua), dan (2) teori belajar bahasa kedua/ bahasa asing: Teori
Monitor, Teori Pajanan Bahasa, Teori Wacana, Teori Akulturasi, Teori
Akomodasi, Teori Variabel Kompetensi, dan Teori Neurofungsional.
1
Penulis berpandangan bahwa teori behaviorisme berkontribusi
terhadap teori belajar bahasa karena dia merupakan bagian dari teori
belajar. Teori ini dikembangkan oleh Skinner, seorang ahli psikologi,
alumnus Universitas Havard pada tahun 1931. Dalam dua bukunya masing-
masing: The Behavior of Organism (1938) dan Verbal Behevior (1957),
Skinner memaparkan dua macam proses belajar yang masing-masing
melibatkan tingkah laku yang berbeda yaitu (1) tingkah laku responden
(respondent behavior), dan tingkah laku operan (operant behavior).
Tingkah laku responden dihasilkan oleh stimulus tertentu. Stimulus ini akan
menyebabkan respons terjadi secara otomatis. Proses stimulus-responden
dalam membentuk tiagkah laku belajar mengikuti urutan secara sistematis,
yaitu stimulus baru digandengkan dengan stimulus yang sudah
menghasilkan respons yang selanjutnya akan muncul lagi stimulus baru
yang memancing respons, demikian seterusnya.
Tingkah laku operan oleh Skinner, dikategorikan sebagai tingkah
laku belajar pada umumnya. Tingklah laku operan tidak selamanya terjadi
karena adarryra stimulus, tetapi dia lahir dari organisme, misalnya,
berbicara, bekerja, bermain, dan berjalan tergolong tingkah laku operan.
Proses belajar tingkah laku operan terjadi di bawah kondisi tertentu.
Bila respons operan terjadi dan diikuti oleh penguatan, besar kemungkinan
akan ada respons susulan sebagai hasil penguatan yang berbentuk ganjaran.
Perihal kontribusi teori verbal behavior ini terhadap pemerolehan dan
belajar bahasa, Skinner mengemukakan bahwa kita semua yang hidup
dalam komunitas verbal adalah sekelompok orang sama-sama mempunyai
bahasa dan membentuk bahasa kita sendiri dengan memperkuat/mendorong
penggunaan bahasa yang benar dan mematahkan penggunaan yang salah
(dalam Yasin" 1991:134). Proses pembentukan bahasa itu" demikian Yasin,
pada umumnya dapat dilihat pada anak-anak yang sudah tentu
memperoleh/memperlajari bahasa dari bentuk yang sederhana tetapi terus
berlangsung sampai dewasa. Butir-butir leksikal yang tetah mereka
peroleh/pelajari digunakan secara bertahap, dari paling sederhana hingga
dalam sruktur yang kompleks.
Kontribusi teori ini dalam pengajaran bahasa asing/bahasa kedua
iatah
memberian pelueng seluas-luasnya kepada pembelajar untuk
membiasakan diri mengunakan atau menyimak bahasa target. Jadi, materi
pembelajaran bahasa asing yang disajikan dalam bahasa pertama
2
pembelajar, menurut teori ini, tidak akan membantu pembelajar untuk
mengembangkan kemampuan menggunakan bahasa target.
2. 2 Teori Nativisme
Teori belajar bahasa yang digagas oleh Chomsky (1975) ini berpijak
di atas asumsi adanya bawaan bahasa pada manusia. Berdasarkan
pengamatannya yang dilahirkan dengan saksama Chomsky meyakini bahwa
bawaan bahasa (language faculty) yang bersifat genetis, suatu komponen di
dalam otak manusia merupakan bentuk tertentu dari gramatika yang dapat
ditelusuri secara manusiawi. Oleh karena itu, ungkapan "bahasa adalah
cermin pikiran" menyiratkan makna yang lebih dalam dan signifikan.
Potensi bahasa ini merupakan hasil olahan intelegensi manusia yang
tercipta pada setiap individu dengan suatu proses yang terletak jauh di luar
jangkauan keinginan atau kesadaran (Chomsky, 1975 dalam yasin,
l99l:148).
Bawaan bahasa (language faculty) bukanlah materi bahasa yang siap
diujarkan, melainkan suatu potensi yang memerlukan pengorganisasian
dengan sebuah alat yang disebutnya language acquisition devise (LAD).
Alat ini diyakini dimiliki oleh setiap anak normal dan berfungsi hampir
sama pada tahap pemerolehan bahasa tingkat permulaan. Alat ini sangat
efektif dalam proses pemerolehan tetapi kurang efektif dalam pembelajaran
formal.
Melalui hipotesis bawaan, Chomsky menjelaskan bahwa pikiran
manusia dapat menyerap struktur dunia secara berurutan dari yang khusus
ke jenis-jenis tertentu, termasuk unsur-unsur bahasa.
Implikasi teori ini dalam pengajaran bahasa asing/bahasa kedua ialah
adanya keyakinan bahwa manusia (yang normal) dapat memperoleh atau
mempelajari bahasa mana pun (hipotesis universal). Adapun hasilnya
sangat bergantung kepada banyak faktor, termasuk motivasi, kesempatan,
dan kualitas bawaan bahasa secara genetis (intelegensi bahasa).
5
3.1.4 Hipotesis Masukan
Krashen (1985:2) memberi perhatian khusus terhadap hipotesis
masukan dalam teori pemerolehan bahasa kedua dengan alasan bahwa
bahasa kedua diperoleh dengan memahami pesan (understanding messages)
atau dengan menerima masukan yang dapat dipahami (comprehensible
input). Krashen memaknai comprehensible input sebagai proses memahami
bahasa yang didengar atau dibaca sedikit di atas kemampuan pempebelajar
sebelumnya yang dirumuskan denga i + 1. Kalau masukan mempunyai
tingkat kesulitan i + l0 misalnya pembelajar tidak akan mampu
memahaminya.
Implikasi rumus comprehensible input ialah bahwa kemampuan
berbicara atau menulis dengan lancar dalam bahasa kedua sedikit demi
sedikit datang sendiri. Kefasihan berbicara menurut Krashen, bukanlah hasil
pembelajaran secara langsung, melainkan kemampuan itu dibangun di atas
kompetensi melalui pemahaman terhadap masukan. Apabila masukan
dipahami, dan masukan itu memadai, secara otomatis kaidah bahasa
terintegrasi di dalamnya.
4) Perbedaan individu
Krashen mengklaim bahwa pemerolehan mengikuti urutan alamiah.
Oleh karena itu, tidak ada perbedaan atau variasi setiap individu dalam
proses pemerolehan. Variasi itu terjadi hanya dalam kecepatan dan jumlah
masukan yang diperoleh sebagai akibat dari saringan afektif. Selain dalam
kecepatan dan jumtah masukan yang dapat bervariasi, juga dalam hal
performansi & kefasihan.
5) Faktor usia
Usia pembelajar termasuk variabel yang menentulan keberhasilan
dalarn proses pemerolehan bahasa kedua. Berbagai hasil pengarnatan
menunjukkan bahwa orang berusia muda cenderung lebih cepat
menyesuaikan diri dengan penutur asli, walaupun tidak dapat menyamai
penutur asli. Sebaliknya orang dewasa tidak dapat melakukannya.
7
Kelebihan orang berusia muda dalam belajar bahasa kedua terletak pada
kefasihan,sedangkan orang dewasa lebih cepat menguasai sistem bahasa
dalam arti kaidah bahasa. Sebagai catatan, masa pubertas merupakan masa-
masa suram bagi pembelajar bahasa kedua. Setelah masa pubertas berlalu,
saringan afektif berfungsi secara optimal.
3) Teori Akulturasi
Brown (1980:129) memaknai teori akulturasi sebagai proses adaptasi
terhadap budaya baru. Proses adaptasi ini sangat penting dalam
pemerolehan bahasa kedua karena dia merupakan salah satu alat ekspresi
budaya. Selain alat ekspresi budaya juga sebagai alat komunikasi sosial.
Berkenaan dengan itu, Schumann (1978c :34 ) mengajukan premis utama
teori akulturasi bahwa pemerolehan bahasa kedua hanyalah salah satu aspek
8
akulturasi dan tingkat akulfirasi seorang pembelajaar dalam target akan
menjadi alat kontrol terhadap bahasa target yang telah diperoleh.
Akulturasi pemerolehan bahasa kedua juga ditentukan oleh faklor
jarak ssioal dan kejiwaan antara pembelajar dan budaya bahasa target. Jauh
dekatnya jarak itu, mempengaruhi timbulnya :
I) Language shock, yang diakibatkan adanya pengalaman buruk
pembelajar dalam menggunakan bahasa target;
II) Culture shock, pembelajar merasa salah arah, stres, dan
ketaktsan, sebagai akibat dari perbedaan budaya pembelajar
dengar, masyarakat bahasa target; dan
III) Motivasi, dorongan kuat/lemah yang dimitih pembetajar untuk
mempelajari bahasa target.
Jadi, dapat disimputkan bahwa makin kuat kemampuan pembelajar
mengadaptasi bahasa target, makin besar kemungkinan berhasil
mernpelajari bahasa itu. Sebaliknya, language shock dan culture shock
menjadi penghambat dalam mempelajari bahasa target. Solusi yang tepat
adalah pengajaran bahasa diimbangi dengan studi lintas budaya agar
pembelajar dapat menempatkan secara proporsional antara budaya asli dan
impor yang terimplisit di dalam bahasa masing-masing.
4) Teori Akomodasi
Teori akomodasi ini diturunkan dari basil penelitian Giles ((1982)
tentang bahasa dalam masyarakat multibahasawan. Fokus pengamatan Giles
ialah bagaimana antarkelompok itu menggunakan bahasa sebagai refleksi
sosial dan tingkahpsikologis. Hasil penelitian inilah yang melahirkan teori
akomodasi dalam studi Sosioliinguistik. Karena teori ini memiliki
kesesuaian yang signifikan dengan teori Eilis (1986) memodifikasi dan
merekomendasikan menjadi salah satu bahasa asing/bahasa kedua.
Teori ini berasumsi bahwa dalam komunikasi dua arah atau interaksi
bersemuka, di satu sisi , pembicara berusaha menyesuaikan diri dengan
mitra tuturnya. Penyesuaian adalah modifikasi ujaran agar mudah diterima
dan dipahami oleh mitra tutur. Kebiasaan asli menyederhanakan batasanya
ketika berbicara dengan penutur asing adalah salah satu bentuk modifikasi.
Tujuannya ada dua yaitu: (l) mitra tutur pesan atau tujuann komunikasi
yang disampikan, dan dengan demikian terjadi komunikasi dua arah. dan
(2) bahasa yang termodifikasi akan menjadi masukan yang dapat dipahami
(comprehensible input) bagi mitra tutur. Demikian pula, kalau berbicara
dengan anak-anak, orang tua pada umunnya berusaha menyesuaikan
9
sehingga terjadi komunikasi dua arah. Penyesuaian ini disebut konvergensi
atau berkonvergensi.
Di sisi lain, penutur tidak menyesuaikan bahasanya dengan bahasa
mitra tutur. Walaupun, kadang-kadang menyulitkan mitra tutur, namun
strategi ini memaksa mitra untuk terus berusaha memahami bahasa penutur.
Dampak yang diharapkan adalah motivasi mitra tutur untuk terus
meningkatkan penguasaan bahasa target bagi penutur asing, dan bahasa
orang dewasa bagi anak-anak. Strategi demikian disebut divergensi atau
berdivergensi.
lstilah simplifikasi(simplification) dikenal dalam semua aliran atau
pendekatan pengajaran bahasa. Strategi penerapannya pun sama atau
hampir sama pada semua itu. Yang berbeda mungkin, hanya cara
penyajiannya. Dalam pengajaran asing/bahasa kedua simplifikasi atau
penyederhanaan materi pembelajaran dan ujaran guru atau tutor sangat
diperlukan pada tahap awal. Secara bertahap, simplikasi dapat ditinggalkan
apabila pembelajar telah mampu mengikuti pengguaan bahasa target secara
normal. Dengan demikian, teori akomodasi cocok diterapkan dalam
pengajaran asing/bahasa kedua.
4. Penutup
Uraian singkat teori belajar bahasa yang direkomendasikan untuk
dijadikan landasan teori pengajaran bahasa lndonesia sebagai bahasa asing
ini betullah dapat mewakili semua variabel yang mungkin dijumpai di
lapangan. Pakar pengajaran bahasa yang berpengalaman akan sangat
bermakna sumbangannya apabila sernpat membaca tulisan ini dan
berkesempatan menunjukkan kelemahan-kelemahan yang menjadi
tanggung jawab penulis.
Ke depan, tantangan pengajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa
asing mungkin suatu waktu menjadi bahasa kedua di negera lain, tidak
13
mudah. Suatu saat pengajaran konvensional tidak lagi dianggap sebagai
satu-satunya jalan karena perangkat teknologi modern akan jauh lebih
efektif dengan biaya murah dan mudah diperoleh. Pada waktu itulah akan
terjadi modifikasi teori pengajaran, yang apabila tidak diantisipasi sejak
dini, kita akan semakin ketinggalanjauh. Mudah-mudahan yangdilakukan
ini, walaupun sangat sederhana, paling tidak memberi motivasi untuk
berbuat yang lebih baik.
BACAAN
A. PENDAHULUAN
Langkah awal yang dipandang paling signifikan bagi pembicaraan
kompetensi komnikatif adalah dengan meriviu kembali konsep awal
kompetensi komunikatif yang ditemukan dalam berbagai sumber atau pustaka.
Salah satu pandangan yang banyak mendapat respon dari kalangan ahli
pengajaran bahasa adalah pandangan yang dikemukakan oleh Canale dan
Swain (1980). Konsep kompetensi komunikatif dari Canale dan Swain itu
bukanlah hasil pemeikiran sesaat, melainkan suatu konsep yang lahir dari suatu
pengamatan melalui survei ekstensif tentang kompetensi ini. Salah satu
kesimpulan hasil survei itu ialah bahwa kompetensi komunikatif merupakan
landasan teoretis pendekatan komunikatif
Tujuan yang dikembangkan dalam pengajaran bahasa berdasarkan
pendekatan komunikatif itu adalah untuk mengembangkan kerangka teoretis
bagi rancangan dan evaluasi kurukulum berikutnya dalam program L2.
15
Kerangka yang diajukan dan diperbaiki selanjutnya oleh Canale dan Swaim
pantas mendapat perhatian karena kerangka kerja tersebut membawa bersama
berbagai pandangan kemampuan komunikasi yang kita pertimbangkan dan
menempatkan kemampuan linguistik, atau kemampuan tata-bahasa level
kalimat, ke dalam perspektif yang tepat dalam konsepsi kemampuan
komunikasi yang lebih besar. Empat komponen kemampuan komunikasi yang
diidentifikasi dalam kerangka ini adalah kemampuan tata-bahasa (grammar
competence), kemampuan sosiolinguistik (sociolinguistic competence),
kemampuan wacana (discourse competence), dan kemampuan strategi
(strategic competence). Seluruh bagian ini menguraikan mengenai sifat dari
tiap-tiap komponen ini dengan contoh-contoh dari pembelajaran dan pengajaran
bahasa. Keempat komponen ini menunjukkan kemampuan komunikasi sebagai
basis bagi rancangan kurikulum dan praktek ruang kelas.
A.PEMBAHASAN
1. Kemampuan Tata Bahasa (Gramatical Competence)
Kemampuan tata-bahasa adalah kemampuan linguistik, dalam
pengertian terbatas dari istilah tersebut seperti yang digunakan oleh Chomsky
dan kebanyakan ahli linguistik lainnya. Kemampuan tata-bahasa merupakan
bagian dari penampilan tata-bahasa yang tidak familiar bagi kita, yakni,
pembentukan tata-bahasa yang memberi fokus studi L2 selama berabad-abad.
Deskripsi tata-bahasa yang telah diikuti adalah berbeda. Tata-bahasa
tradisional, yang memberi aturan penggunaan yang tepat bagi bahasa tulisan,
memiliki fondasinya dalam kelas kata atau kategori makna yang terbentuk
untuk bahasa Yunani dan Latin. Tata-bahasa struktural berfokus pada bahasa
lisan dan memberi analisis bentuk-bentuk permukaan yang bisa diobservasi dari
16
pola-pola distribusinya. Tata-bahasa generatif transisional berkaitan dengan
hubungan antara penafsiran tata-bahasa terhadap kalimat dan struktur
permukaan sebagai cara menemukan kategori universal tata-bahasa dan sifat
proses kognitif manusiawi pada umumnya. Meskipun definisi-definisi berbeda-
beda, tujuan dalam setiap kasus adalah deskripsi tepat mengenai karakteristik
formal bahasa pada level kalimat. Tata-bahasa khusus menunjukkan upaya
untuk menggambarkan bagaimana elemen-elemen bahasa bergabung secara
sistematis. Dalam memutuskan apakah struktur tertentu muncul ataukah tidak
atau mungkin didasarkan pada frekuensi kejadian dari struktur ini dalam ujaran
dan tulisan dari pembicara asli degan praktek lama dalam penggunaan bahasa.
Data dan pertimbangan ini memberi ahli linguistik suatu basis untuk
menyatakan suatu aturan. Tidak ada tata-bahasa yang lengkap karena prilaku
bahasa bersifat komplek dan dewasa ini menghindari sistematisasi yang
memuaskan.
Hubungan antara setiap tata-bahasa dengan pembelajaran bahasa masih
merupakan masalah. Para pengguna bahasa yang berpengalaman bisa memberi
data kepada para ahli linguistik yang dibutuhkannya untuk merumuskan aturan-
aturan linguistik. Namun para pembicara asli yang sama tidak akan mampu
merumuskan aturan-aturan sendirian. Tidak satu pun dari para pembicara asli
menggunakan bahasa melalui pembelajaran pertama aturan-aturan tersebut.
Kenyataanya, aturan-aturan tersebut sangat kompleks sehingga para ahli
linguistik yang merumuskannya tidak bisa mengingat semuanya. Para ahli
linguistik berada di antara para pengkritk yang terang-terangan terhadap upaya-
upaya menerapkan diskripsi linguistik pada pengajaran bahasa kedua.
Komentar-komentar yang dibuat oleh Chomsky pada Komprensi Timurlaut
tahun 1966 mengenai pemngajaran bahasa asing bersifat legendaris.
17
Saya ingin menjelaskan sejak permulaan bahwa saya berpartisipasi dalam
komprensi ini bukan sebagai seorang ahli mengenai tiap aspek
pengajaran bahasa, malah sebagai seseorang yang perhatian utamanya
adalah dengan struktur bahasa dan sifat proses kognitif. Selanjutnya,
sejujurnya saya agak skeptis mengenai signifikansi bagi pengajaran
bahasa dengan pandangan dan pemahaman seperti itui seperti yang
diperoleh dalam linguistik dan psikologi. Tentu saja, guru bahasa akan
tetyap terimpormasikan mengenai kemajuan dan bahasan dalam bidang
ini dan upaya-upaya ahli linguistik dan psikologi untuk mendekati
masalah pengajaran bahasa dari pandangan berprinsip. Masih sulit
dipercaya bahwa linguistik atau pun psikologi mencapai level
pemahaman teoretis yang bisa memungkinkannya untuk mendukung
“teknologi” pengajaran bahasa. (Chomsky 1966:43).
Kemampuan tata-bahasa adalah penguasaan kode linguistik,
kemampuan untuk mengenali karakteristik leksikal, morfologis, sintaksis, dan
psikologis pada sebuah bahasa dan memanipulasi karakteristik-karakteristik ini
untuk membentuk kata dan kalimat. Kemampuan tata-bahasa tidak terkait
dengan giap teori tata-bahasa tunggal, dan tidak mengasumsikan kemampuan
untuk mengeksplisitkan aturan-aturan penggunaan. Seseorang menunjukkan
kemampuan tata-bahasa dengan menggunakan sebuah aturan, bukan dengan
menyatakan sebuah aturan.
22
Keterpaduan/koherensi teks adalah hubungan dari semua kalimat atau
ujaran dalam sebuah teks pada proposisi global tunggal. Pembentukan makna
global atau topik untuk bagian bacaan, percakapan, buku secara keseluruhan,
dan lain-lain merupakan bagian integral dari pernyataan maupun penafsiran dan
memungkinkan pemahaman kalimat atau ujaran individual yang termasuk
dalam sebuah teks. Hubungan lokal atau kaitan struktural antara kalimat-
kalimat individual memberi apa yang disebut sebagai kohesi/perpaduan
(cohesion), suatu jenis perpaduan tertentu. Beberapa contoh mengenai alat-alat
kepaduan resmi yang digunakan untuk menghubungkan bahasa dengan dirinya
adalah kata ganti, kata hubung, sinonim, elipsis/tanda pengganti, perbandingan,
dan struktur pararel. Identifikasi oleh Halliday dan Hasan (1976) mengenai
berbagai alat perpaduan yang digunakan dalam bahasa Inggris dikenal baik, dan
mulai memiliki pengaruh pada analisis teks serta pengajaran dan bahan
pengujian untuk Bahasa Inggris sebagai bahasa kedua [English as a second
language (ESL)].
Penelitian Kaplan (1966) mengenai retorika perbedaan merupakan
sebuah contoh analisis wacana yang diterapkan pada pengaturan paragraf dalam
konteks ESL. Diagramnya yang terkenal mengilustrasikan apa yang ia anggap
merupakan pola dominan wacana tulisan resmi dalam kelompok bahasa utama.
Diagram-diagram ini berupaya menggambarkan bagaimana pola-pola
pemikiran dibentuk dalam gaya tulisan resmi. Maksudnya adalah untk
menandai perbedaan-perbedaan dalam gaya pengaturan dan untuk membantu
pebelajar dalam penafsiran dan pembentukan teks L2. Agar meyakinkan,
model-model yang diajukan mungkin mencerminkan bias budaya sama
banyaknya dengan poembentukan paragraf dalam bahasa Inggris disajikan
sebagai garis lurus di mana pola-pola lain tampak menyimpang. Namun
23
demikian, diagram-diagram ini merupakan upaya penting untuk berhubungan
dengan makna di luar struktur level kalimat.
24
membuat penggunaan terbaik mengenai apa yang kita ketahui, konteks yang
kita alami, untuk menyalurkan pesan kita. Kemampuan strategi bersifat relatif,
apakah dalam bahasa asli ataukah bahasa kedua. Strategi-strategi yang kita
gunakan untuk mengimbangi pengetahuan tidak sempurna mengenai aturan-
aturan – atau faktor-faktor pembatas dalam aplikasinya seperti kelelahan,
kebingungan, dan ketiadaan perhatian – bisa ditandai sebagai kemampuan
strategi komponen keempat dari kemampuan komunikasi dalam kerangka
Canale. Kemampun strategi adalah analog dengan kebutuhan akan strategi
penyalinan (coping) atau bertahan hidup (survival) yang diidentifikasi dalam
Savignon (1972b). Apa yang anda lakukan ketika anda tidak berpikir mengenai
sebuah kata? Apakah cara-cara dalam mempertahankan saluran komunikasi
agar tetap terbuka pada saat anda berhenti sementara untuk mengumpulkan
pemikiran-pemikiran anda? Bagaimana anda membiarkan teman anda berbicara
ketika anda mengetahui ia tidak memahami kata tertentu? Atau ia berbicara
terlalu cepat? Bagaimana anda menyesuaikan diri ketika pesan anda salah-
dipahami? Para pembicara dewasa mengatasi secara rutin berbagai faktor yang
bisa menghasilkan kegagalan komunikasi. Strategi-strategi yang kita gunakan
untuk mempertahankan komunikasi meliputi parafrase (pengungkapan dengan
kata-kata sendiri), circumlocution (pemakaian kata-kata yang terlalu banyak),
pengulangan, keragu-raguan, penghindaran, dan penerkaan, serta pergeseran
dalam daftar (register) dan gaya. Dialog-dialog di bawah ini mengilustasikan
pentingnya kemampuan strategi. Contoh (1), (2), dan (3) adalah dialog-dialog
di mana saya merupakan peserta tidak langsung. Contoh (4a) dan (4b) dikutip
dari transkrip sebuah ujian kecakapan bahasa lisan, wawancara lisan Foreign
Service Institut (FSI) (Hinofotis, Lowe, dan Clifford 1981).
25
1. Operator telepon: saya mempunyai kumpulan panggilan dari Sandra.
Maukah anda menerima isinya?
Catherine: Maaf, ia tidak ada di sini sekarang.
Operator telepon: (menyesuaikan dengan suara anak pada jalur itu). Ini dari
Sandra. Maukah anda menerimanya?
Catherine: oh ..... ya.
3. Suami dan istri sedang kembali dari perjalanan belanja, dan ketika mereka
masuk ke garasi, mereka melewati sekelompok anak-anak tetangga yang
sedang bermain di halaman rumput. Memperhatikan satu anak yang ia tidak
berbicara dengannya sesaat, si istri bertanya kepada suaminya, “saya ingin
tahu berapa umur Davie sekarang?” Suaminya menjawab, “Saya tidak tahu.
Saya akan menanyakannya”.
Suami : (berteriak dari garasi). Berapa umurmu Davie?
Davie : baik (fine).
Suami : Lima (five)?
Davie : baik (fine).
Suami : Berapa umurmu?
Davie : Enam.
4. Suasananya adalah toko makanan New York yang ramai. Seorang
pengunjung Prancis baru saja memesan sebuah roti lapis (sandwich) keju
Swiss.
Pelayan : Jenis roti apa yang anda inginkan untuk sandwich anda,
gandum putih (white) seluruhnya,atau gandum hitam
(rye)?
Orang Prancis : (Wh)ye?.
Pelayan : Putih (White)?
26
Orang Porancis : (Wh)ye.
Pelayan : Putih (White)?
Orang Prancis : Gandum putih seluruhnya.
5. Kutipan (a) dan (b) berikut ini berasal dari wawancara FSI.
a) Penguji pembicara asli (NSE) : apakah yang dimaksud leher hitam
(redneck)?
Subyek bukan-asli (NNS) : um hm.
NSE 1 : Apa yang anda katakan? Pernahkah anda mendengar ungkapan
ini?
NNS : Tidak.
NSE 1 : Baiklah.
NNS : Um hm.
NSE 1 : Bagaimana, um ... Saya akan coba pertanyaan lain.
Penguji Pembicara Asli 2 : apakah yang dimaksud ...
NNS : baiklah! Saya ingin apakah ... (Ketawa umum).
NSE 1 : Oh, (ketawa) baiklah.
NSE 2 : Oh, (ketawa) baiklah, ah ...
NNS : Maukah anda menjelaskannya kepada saya?
NSE2 : Redneck adalah ... konservatif, ah biasanya anda
mendapatkan ... ah,
orang yang tinggal di wilayah Selatan sangat sering.
NNS : Um hm.
NSE 2 : Um, dari wilayah pedesaan ...
NSE 1 : Khususnya tidak toleran dengan ide-ide yang berbeda ...
Mm, mhm.
27
NSE 1 : Jadi anda merujuk kepada seseorang sebagai redneck, dan itu
sangat
menghina . Itu istilah yang menghina.
NNS : Um hm. Ah, apakah itu berhubungan dengan birokrasi (red
tape)?
NSE 1 : Tidak.
NNS : Tidak.
NSE 1 : Itu sangat menarik.
NNS : Mhm.
NSE 1 : Ah.
NNS : Oh, oh. Semuanya merah. (Ketawa umum).
b) Penguji Pembicara Asli : Apakah redneck itu?
Subyek Pembicara Asli : Oh wah, saya mendengar banyak mengenai kata
itu. (Ketawa) Um, um, Saya tidak tahu apa artinya. Itu adalah orang yang
tidak ... Bagaimana anda menggambarkannnya? ....orang yang bukan
seorang pembohong, bagaimanapun kata itu memiliki konotasi negatif.
Saya tidak pernah menggunakan kata itu.
C. KESIMPULAN
Tujuan pendekatan komunikasi terhadap pengajaran bahasa adalah untuk
mengembangkan kerangka teoretis bagi rancangan dan evaluasi kurikulum
berikutnya dalam program L2. Ada empat komponen kemampuan komunikasi
29
yang diidentifikasi dalam kerangka ini, yaitu kemampuan tata-bahasa,
kemampuan sosiolinguistik, kemampuan wacana, dan kemampuan strategi.
Keempat kemampuan tersebut menunjukkan kemampuan komunikasi sebagai
basis rancangan kurikulum dan praktek ruang kelas.
Sumber Acuan:
Savignon, Sandra J. 1983. Communicative Competence: Theory and Practice.
London: Addison Wesley Publishing Company inc.
30
RAGAM BAHASA PERS
33
Kutipan di atas tergolong tulisan lancar. Namun, pada kutipan itu masih
terdapat kesalahan ejaan dan penataan paragraf yang sangat mengganggu.
Kutipan itu akan menjadi lebih baik jika direvisi seperti berikut ini.
Sebelum memilih jadi politisi, H. Muh. Ramli Taba dikenal sebagai
seorang pengacara dan konsultan hukum. Selain itu, Ramli, demikian dia biasa
disapa, juga dikenal sebagai seorang aktivis yang gigih. Perjanan politiknya
dimulai pada tahun 1998, ketika gaung reformasi mengemuka. Dirinya,
bahkan, termasuk satu di antara sekian inisiator terbentuknya Partai Amanat
Nasional (PAN) di tingkat Sulawesi Selatan.
5. Jelas
Ada beberapa faktor kebahasaan yang biasanya menyebabkan suatu
tulisan kurang atau tidak jelas.
1. Paragraf yang tidak memiliki kalimat topik. Paragraf seperti ini kalimat
topiknya tersirat di dalam semua kalimat yang membangun paragraf
itu. Karya sastra berupa cerpen, novel, atau roman banyak memiliki
paragraf yang tidak memiliki kalimat topik. Wartawan diharapkan
menghindari paragraf seperti itu.
2. Paragraf yang memiliki kalimat topik, tetapi kalimat topik itu tidak
dikembangkan dengan kalimat-kalimat penjelas dan tidak didukung ide
yang dikemukakan pada paragraf berikutnya. Perhatikan contoh
berikut.
Bupati Jeneponto Rajamilo patut berbangga. Di tengah kesibukannya
bertarung memenangkan konvensi calon presiden di Jakarta 20 April nanti,
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar Akbar Tanjung
hadir menjadi saksi pada pesta putri keempat Rajamilo, Zainatunnahar.
Dengan 28 pengurus Dewan Pimpinan Daerah (DPD) kabupaten/kota,
Golkar Sulsel cukup diperhitungkan di Jakarta. Dalam konvensi suara
Beringin di sini terbagi antara Wiranto, Akbar, Surya Palloh, Bahkan Aburizal
Bakri (Tribun Timur, 18-4-2004:1).
Ketidakjelasan kutipan di atas terletak pada kelemahan penulis dalam
menerapkan prinsip pengembangan kalimat topik, penggunaan ejaan, dan
kesinambungan ide antarparagraf. Kutipan itu akan menjadi jelas jika ditata
seperti berikut ini.
34
Bupati Jeneponto, Rajamilo, patut berbangga. Di tengah
kesibukannya bertarung memenangkan konvensi calon presiden di Jakarta, 20
April nanti, dia masih sempat melangsungkan pernikahan putrinya yang
keempat, Zainatunnahar. Pada pesta pernikahan ini, Ketua Umum Dewan
Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar Akbar Tanjung hadir menjadi saksi..
Dalam konvensi itu, ada 28 Pengurus Dewan Pimpinan
Daerah (DPD) kabupaten/kota Partai Golkar Sulsel cukup
diperhitungkan di Jakarta. Dalam konvensi itu, suara beringin
akan terbagi kepada Wiranto, Akbar, Surya Palloh, dan Aburizal
Bakri.
3. Paragraf yang dibangun di atas kalimat-kalimat yang di dalamnya ada
kata bermakna konotasi atau istilah/kata-kata baru yang belum umum
penggunaannya. Perhatikan contoh berikut.
Rekapitulasi perolehan suara tingkat provinbsi terancam melenceng
dari jadwal yang sudah ditetapkan, yakni Sabtu mendatang.
Penyebabnya, KPU Sulsel mengakui kesulitan mencari lokasi untuk
menggelar rekap (Fajar, 22-4-2004:29).
Masyarakat awam kesulitan memahami kutipan di atas. Sumber
kesulitan itu adalah penggunaan istilah/kata-kata yang dicetak tebal itu. Kutipan
itu dapat disederhanakan sehingga menjadi lebih jelas dengan cara mengganti
istilah/kata-kata tersebut. Dengan demikian revisinya seperti berikut.
Ringkasan penghitungan perolehan suara tingkat provinbsi
terancam berubah dari jadwal yang sudah ditetapkan, yakni Sabtu
mendatang. Penyebabnya, KPU Sulsel mengakui kesulitan mencari
tempat untuk menggelar kegiatan itu.
Hasil revisi ini lebih mudah dan lebih jelas untuk semua pembaca dari
tingkat pendidikan apa pun.
6. Lugas
Lugas berarti hal yang mengenai pokok-pokok saja. Jika pengertian ini
diterapkan ke dalam tulisan, maka suatu tulisan harus mengungkapkan hal-hal
yang pokok saja. Prinsip ini sangat penting diperhatikan oleh wartawan dalam
melaporkan beritanya. Peranan bahasa sangat besar dalam mengungkapkan
berita apa adanya. Pilihan kata, struktur kalimat, dan gaya bahasa menjadi
media utama untuk mengantarkan pembaca pada masalah inti yang
dikemukakan oleh penulis. Jika bahasa cukup jelas, maka pembaca akan tiba
pada pemahaman yang sama dengan pemahaman penulis sendiri. Contoh
berikut sebagai ilustrasi berita yang tidak jelas.
35
Ketika itu, sekitar pukul 09.30 pagi, sebagaimana kebiasaan penduduk,
mereka sedang menikmati sarapan pagi sambil mengisap rokok di rumah
masing-masing. Tidak pernah terbetik dalam pikiran mereka bahwa pagi itulah
yang menjadi pagi kehidupan terakhir bagi mereka. Tiba-tiba terdengar
ledakan dahsyad yang diikuti oleh gulungan tanah di atas perkampungan
mereka. Bersamaan dengan itu, di bekas perkampungan itu sudah tidak ada
kehidupan lagi.
Paragraf di atas merupakan contoh berita yang tidak lugas. Paragraf itu
akan menjadi lugas jika direvisi seperti berikut ini.
Sekitar pukul 09.30 pagi, ketika penduduk sedang menikmati sarapan
pagi, tiba-tiba terdengar ledakan dahsyad yang diikuti oleh gulungan tanah di
atas perkampungan mereka. Bersamaan dengan itu, di bekas perkampungan
itu sudah tidak ada kehidupan lagi.
7. Menarik
Berita yang menarik tergantung pada paling tidak dua hal, yaitu (1)
materi berita, dan (2) gaya bahasa berita. Materi berita yang hangat umumnya
menarik perhatian pembaca. Bahkan, berita yang kurang hangat pun dapat
menjadi menarik perhatian pembaca apabila diungkapkan dengan gaya bahasa
yang tepat dan lancar. Gaya bahasa yang dimaksud di sini bukan gaya bahasa
seperti dalam karya sastra yang cenderung mengungkapkan penglaman
imajinatif penulis, melainkan gaya bahasa populer yang dapat dipahami oleh
semua lapisan masyarakat pembaca berita koran atau majalah.
Salah satu cara yang efektif untuk menjadikan bahasa jurnalistik
menarik ialah dengan denggunakan pola kalimat aktif dan kalimat pasif secara
bervariasi. Penggunaan kata-kata bersinonim di dalam kalimat sama pentingnya
dengan variasi pola kalimat. Perhatikan contoh berikut.
Pendistribusian kursi dilakukan berdasarkan bilangan pembagi
pemilih BPP) maupun berdasarkan peringkat sisa suaras. Sekedar diketahui,
BPP adalah jumlah total suara sah yang diperoleh seluruh parpol di suatu
daerah pemilihan dibagi jatah kursi yang tersedia.
PDIP pimpinan Megawati Soekarnoputri untuk sementara meraup
kursi terbanyak, yaitu 44 kursi. Partai Golkar pimpinan Akbar Tanjung
membayangi dengan 31 kursi. Posisi sementara ketiga diduduki oleh PKB
pimpinan Alwi Sihab dengan 24 suara (Fajar, 27-4-2004:1).
Kutipan di atas memperlihatkan variasi penggunaan pola kalimat pasif
dan aktif yang seimbang. Variasi penggunaan kalimat itu yang menyebabkan
beritta tersebut terasa hidup.
8. Dinamis
36
Tidak satu pun ragam bahasa yang memiliki sifat dinamis seperti yang
dimiliki ragam bahasa pers. Ragam bahasa pers setiap saat berkembang tanpa
dibatasi oleh prinsip-prinsip disiplin ilmu, teknologi, seni, dan sosial. Ragam
bahasa pers merupakan perpaduan semua perbedaharaan bahasa yang dimiliki
oleh suatu bahasa. Dengan demikian, pers adalah profesi yang tidak pernah
berpihak kepada salah satu isme, ideologi, agama, politik, sosial dan
sebagainya, tetapi pers menggunakan semua isme itu sebagai lahan untuk
memperoleh perbedaharaan bahasa bagi kepentingan pemberitaan. Itulah
sebabnya, pers percaya bahwa bahasa adalah jembatan dunia.
Sifat dinamis ragam bahasa pers secara langsung telah memberikan
sumbangan yang amat besar bagi perkembangan bahasa, dalam hal ini bahasa
Indonesia. Bahkan, wadah pemasyarakatan bahasa Indonesia yang paling luas
dan efektif adalah ragam bahasa pers. Sejak tahun 1980-an, pemerintah Orde
Baru mencanangkan program Koran Masuk Desa. Tujuan utamanya ialah
untuk mengentaskan “tiga-buta”, yaitu buta pengetahuan dasar, buta aksara,
dan buta bahasa Indonesia. Sejak itu pula, jumlah penduduk Indonesia yang
terjebak dalam kondisi tiga-buta secara berangsur-angsur berkurang dari tahun
ke tahun.
42
PRAGMATIK SEBAGAI ANCANGAN ANALISIS
45
Firth mengemukakan bahwa kajian bahasa tidak dapat dilakukan tanpa
mempertimbangkan konteks situasi yang meliputi, pelibat (partisipants),
tindakan pelibat (baik tindak tutur maupun bukan tindak tutur), ciri-ciri stuasi
yang lain yang relevan sepanjang hal itu mempunyai sanggkut paut tertentu
dengan hal sedang berlangsung, dan dampak-dampak tindak tutur yang
diwujudkan dengan bentuk-bentu perubahan yang ditimbuulkan oleh hal-hal
yang dituturkan oleh pelibat dalam situasi (Halliday dan Hasan,1994:11).
b. Batasan Pragmatik
Istilah pragmatik sebagai bidang kajian di dalam ilmu linguistik diberi
batasan yang berbeda-beda oleh para pakar linguistik. Beberapa batasan yang
relevan dipaparkan pada bagian ini untuk mendapatkan gambaran yang jelas
tentang pragmatik.
49
Pada bagian terdahulu telah dipaparkan bahwa pragmatik adalah studi
bahasa yang mendasarkan analisanya pada konteks. Konteks yang dimaksud
disini adalah segala latar belakang pengetahuan yang dimiliki bersama oleh
penutur dan mitra tutur serta yang mendasari atau yang mewadahi sebuah
pertuturan. Wijana (1996:10-11) menyatakan bahwa konteks yang demikian itu
dapat disebut dengan konteks situasi tutur (speech situational contex). Konteks
situasi tutur menurutnya mencakup aspek-aspek sebagai berikut :
Secara singkat kelima aspeek situasi tutur itu dapat diuraikan sebagai
berikut:
2. Konteks tuturan mencakup aspek tuturan yang relevan baik secara fisik
maupun nonfisik. Konteks dapat pula berarti semua latar belakang
pengetahuan yang dimiliki oleh penutur dan mitra tutur secara bersama-
sama.
50
3. Tujuan tuturan berkaitan erat dengan bentuk tuturan seseorang. Hal ini
berarti bahwa turan itu terwujud karena dilatarbelakangi oleh maksud dan
tujuan tuturan. Olehnya itu secara pragmatik, satu bentuk tuturan dapat
memiliki maksud dan tujuan yang bermacam-macam. Demikian pula
sebaliknya, satu maksud dan tujuan tuturan yang mendasari perbedaan
antara pragmatik yangbeorientasi fungsional dengan tatabahasa yagn
berorientasi formal atau structtural.
d. Fenomena Pragmatik
51
Pragmatik sebagai topik yagn melingkupi diksis, praanggapan,
tindaktutur, dan implikatur percakapan, makalazim diberi definisi sebagai
telaah mengenai hubungan antara lambang dengan penafsiran. Yang dimaksud
dengan lambang di sini adalah satuan ujaran berupasatu kalimat atau lebih yang
membawa makna tertentu berdasarkan hasil penafsiran pendengar.
1. Deiksis.
Istilah deiksis berasal dari bahasa Yunani yang arrtinya penunjukan
(Idat, 1994:59). Lyons (1977:637) mengatakan bahwa deiksis berkaitan dengan
lokasi dan identifikasi orang, objek, peristiwa, proses atau kegiatan yang
sedang dibicarakan atau yang sedang diacu dalamhubungannya dengan dimensi
ruang dan waktu pada saat dituturkan oleh penuttur.
2. Praanggapan (Presupposition)
54
Kridalaksana (1982:137) mendefinisikan praanggapan sebagai suatu
syarat yang diperlukan bagi benar tidaknya suatu kalimat. Hal ini menyiratkan
makna bahwa sebuah tuturan dapat dikatakan mempraanggapkan tuturan yang
lain apabila ketidakbenaran tuturan yang dipraanggapkan mengakibatkan
kebenaran atau ketidakbenaran tuturan yang mempraangapkan tidak dapat
dikatakan.
55
Menurut Purwo (1993:31) bahwa penggunaan praanggapan oleh
pembicara hanyalah ditujukan kepada pendengar yang menurut pembicara
pendengar juga memiliki pengalaman dan pengetahuan seperti yang dimiliki
pembicara. Jadi, menurutnya praanggapan merrupakan pengetahuan bersama
antara pembicara dan pendengar sehingga tidak perlu diutarakan. Pembicaralah
yang beranggapan bahwa pendengar memahami apa yang dipraanggapkan dan
yang menjadi sumber praanggapan adalah pembicara.
62
Lain halnya dengan Brown dan Levinson (1987), yang berdasarkan teori
kesantunannyaa pada nosoi muka (face) yaitu muka negatif dan muka positif.
Muka negatif menunjuk kepada citra diri setiap orang yng ingin dihargai
dengan cara membiarkannya bebas melakukan tindakaan atau bebas dari
keharusan mengerjaakan sesuatu. Muka positif merujuk kepada citra diri setiap
orang ingin agar hal yang dilakukannya, hal yang dimilikinya atau hal yang
merupakan nilai-nilai yang diyakininya diakui orang lain sebagai suatu hal yang
baik, yang meenyenangkan, yang patut dihargai, dan sebagainya.
Menurutnya, sebuah tindak tutur dapat merupakaan ancaman terhadap
muka yang ia ssebut sebagai “face-threatening act” (FTA). Untuk mengurangi
ancaman itulah sehingga di dalaam berkomunikasi tidak selalu harus mematuhi
maksim-maksim Grice, tetapi perlu mempertimbangkan penggunaan sopan
santun berbahasa. Mengingat ada dua sisi muka yang terancam yakni muka
negatif dan muka positif, maka kesantunanpun dibagi menjadi dua yakni untuk
menjaga muka negatif, sedangkan kesatuan positif dimaksudkaan untuk
menjaga positif (brown dan Levinson, 1987).
Di dalam kesantunan Brown dan Levinson (1987) terdapat tiga skala
peringkat kesantunan sebuah tuturan. Ketiga kala tersebut ditentukan secara
konsektual, sosial, dan kultural yang selengkapnya mencakup skala-skaala
berikut.
1. Skala peringkat jarak sosial antara penuturr dan mitra tutur (social distance
between speaker and heaver) yang ditentukan oleh paremeter perbedaan
umur., jenis kelamin, dan latar belakang sosiokultural. Berdasarkan
kenyataan di masyarakat lazim didapatkan bahwa semakin tua umur
seseorang, semakin tinggi peringkat kesantunannya dalam bertutur.
Sebaliknya, semakin muda umur seseorang cenderung memiliki peringkat
63
kesantunan yang rendah di dalam bertutur. Wanita lazimnya memilki
peringkat kesantunan lebih tinggi dibandingkan pria. Hal ini disebabkan
oleh kenyataan bahwa wanita cenderung lebih banyak bersentuhan dengan
sesuatu yang bernilai estetika dalam kesehariannya. Sebaliknya, pria
cenderung banyak bersentuhan dengan kerja dan pemakaian logika dalam
kesehariannya. Orang yang memiliki jabatan tertentu di dalam masyarakat
cenderung memilki peringkat kesantunan lebih tinggi dibanding dengan
masyarakat biasa.
2. Skala peringkat perbedaan kekuasaan antara penutur dan mitra tutur (the
speaker and hearer relative power) didasarkan pada kedudukan yang tidak
sejajar antara penutur dan mitra tutur. Sebagai contoh yang dapat
dikemukakan bahwa di dalam kelas, seorang dosen memiliki peringkat
kekuasaan lebih tinggi dibanding dengan mahasiswa.
3. Skala peringkat status relatif jenis tindak tutur di dalam kebudayaan yang
bersangkutan (the degrr of imposition associated with the required
expenditure of goods or services). Hal ini didasarkanatas kedudukan relatif
tindak tutur yang satu dengan tindak tutur lainnya, artinya ada tindak tutur
yang di dilam suatu kebudayaan dianggap tidak terlalu mengancam muka.
1. Maksim kebijaksanaan
- Kurangi kerugian orang lain
- Tambahin keuntungan pada orang lain
2. Maksim kedermawanan
- Kurangi keuntungan diri sendiri
- Tanbahi pengorbanan diri sendiri
3. Maksim penghargaan
- Kurangi cacian pada orang lain
- Tambahi pijian pada orang lain
4. Maksim kesederhanaan
- Kurangi pujian pada diri sendiri
- Tambahi cacian pada diri sendiri
5. Maksim permufakatan
- Kurangi ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang lain
- Tangkatkan persesuaian antara diri sendiri dengan orang lain
6. Maksim simpati
- Kurangi antipati antara dirri sendiri dengan orang lain
65
- Perbesar simpati antara diri sendiri dengan orang lain.
Blum-Kulka (dalam Gunarwan, 1992:1992:191) mencatat sembilan tipe tuturan imperatif yang dapat digunakan
sebagai bertutur diuraikan berikut kesantunan. Kesembilan tuturan tersebut secaa berturut-turutt diuraikan berikut
ini.
66
7. Pernyataan artinya kalimat perintah dengan rumusan pernyataan.
Contoh: “Saudara dapt membukakan jendela itu?”
8. Isyarat kuat artinya kalimat perintah dengan tumusan isyarat yang kuat.
Contoh: “Dengan jendela itu tertutur, ruangan ini sangat panas.”
67
PENULISAN BUKU AJAR
Dr. Achmad Tolla, M.Pd
Klarifikasi
Wujud asli makalah ini (dari halaman 1—8) ditulis oleh Prof. Dr.
Kamaruddin, M.A. untuk memenuhi permintaan Panitia SP4 Jurusan Bahasa
Indonesia. Tulisan yang saya siapkan untuk tujuan yang sama berjudul
“Pengembangan Silabus dalam Pengajaran Bahasa Indonesia Berbasis
Kompetensi”. Setelah memperoleh permintaan dari Panitia SP4 Jurusan
Bahasa Jerman, makalah ini saya modifikasi seperlunya untuk memenuhi
permintaan tersebut. Andaipun saya menulis makalah untuk materi yang
sama, paparannya juga akan sama dengan makalah ini karena referensi yang
beliau gunakan juga akan saya gunakan. Namun, karena perbedaan gaya
bahasa, di sana sini saya melakukan modifikasi dan penyesuaian gaya bahasa
sehingga gaya bahasa tulisan ini lebih mencerminkan gaya bahasa saya.
A. Pendahuluan
Tulisan ini menyajikan informasi praktis mengenai prodesur dan
teknik dasar penulisan buku yang disajikan untuk digunakan dalam
rangka proses belajar-mengajar atau untuk memenuhi kebutuhan
komponen pengaktifan peserta belajar dan penyiapan diri pengajar.
Ketersediaan buku sebagai salah satu media pemebelajaran
merupakan tuntutan dan keharusan dalam setiap proses belajar
mengajar agar kegiatan pembelajaran dapat lebih berdaya guna dan
berhasil guna.
68
Tulisan ini merupakan ramuan dari beberapa referensi yang ditulis berdasarkan pengalaman beberapa penulisan
buku/bahan ajar. Uraian ini meliputi organisasi, kegiatan pendahuluan, analisis kebutuhan, merancang buku,
penulisan bab, dan penulisan draft pertama.
Kalau penulisan buku itu akan dugunakan secara luas, penulisan oleh sebuah
tim penulis akan sangat membantu kegiatan penulisan. Demikian pula, kalau
penulis membutuhkan dukungan sumber dan pengalaman yang lebih luas,
sebaiknya penulisan dilakukan oleh sebuah tim yang terdiri atas anggota yang
berpengalaman mengajarkan materi yang digarap oleh proyek penulisan bahan
ajar itu.
Hal yang penting ialah adanya tim reviu yang bertugas memantau dan menilai
perkembangan serta hasil kegiatan proyek penulisan. Tim ini akan sangat
bermanfaat guna menjaga mutu tulisan serta pengemmbanagn materi
selanjutnya. Tim ini juga akan menjadi sumber pengembangan kegiatan
penulisan yang berkelanjutan serta berkesinambungan, dan bukan hanya
kegiatan sesaat saja.
Kegiatan Pendahuluan
Proyek penulisan buku mengidentifikasi calon peenulis dan calon anggota tim
reviu. Beberapa criteria yang mungkin dipertimbangkan ialah:
69
1. yang bersangkutan menyiapkan waktu yang cukup untuk proyek penulisan.
2. yang bersangkutan berminat dan berrkeinginan terlibat di dalam proyek
sehingga diperlukan menanamkan sikap dan hubungan harmonis dalam
kelompok penulis.
3. berpengalaman mengerjakan bahan yang akan ditulis.
Setelah tim terbentuk, dilakukan serangkaian pertemuan untuk menampung
gagasan, ide atau pendapat (diskusi) terutama pada tahap-tahap awal proyek.
Pertemuan itu dilakukan untuk:
70
Analisis kebutuhan dilakukan oleh (para) penulis. Mereka mereviu
garis-garis besar pengajaran, melalui masukan (input) dari para
pengajar/pernah mengajarkan pelajaran yang akan ditulis, memeriksa kinerja
para siswa/mahasiswa, mempertimbangkan skor para siswa/mahasiswa yang
mengikuti pelajaran/perkuliahan yang bersangkutan.
. Kerangka Kerja
Merancang Buku
Penulis buku, yang mungkin juga pengajar materi buku itu, harus
mempertimbangkan hal berikut ini.
72
1. Apakah buku itu merupakan bantuan untuk kuliah?
2. Apakah buku itu merupakan tambahan bahan kuliah yang pokok?
3. Apakah buku itu berisi uraian tentang bagian tersulit dari keseluruhan isi
buku?
4. Apakah buku itu merupakan teks yang penuh dengan bahan latihan?
5. Apakah buku itu akan berisi intisari dari buku-buku yang seharusnya
dipelajari oleh mahasiswa?
Kalau penulis/pengajar sudah memahami secara jelas fungsi buku yang akan
ditulis, maka penulis dapat memikirkan isinya secara umum. Penulis, dengan
bantuan pengalaman, menentukan bab-bab yang perlu ada. Bab-bab itulah
yang memaparkan bahan kuliah yang disajikan. Cara menyusun bab itu dapat
dituangkan dalam beberapa tahap.
Tahap 1, penulis menetukan dan memilih topik yang akan dibahas dalam bab itu.
Pengalaman penulis dan/atau pengajar menjadi masukan tim penulis.
Dari bahan-bahan itu dipilihlah bahan yang diperlukan dan menyisihkan
bahan yang tidak diperlukan.
Tahap 2, penulis menentukan bentuk dan susunan bab secara logis berdasarkan
topik-topik yang telah dipilih. Hal ini sangat penting karena bab-bab itu
akan membantu pengajar melihat kejelassan sajian. Susunan bab yang
baik merupakan syarat yang harus terpenuhi agar tampak keruntutan
tema buku yang ditulis.
73
berguna untuk mengatasi keraguan-keraguan yang mungkin membayangi
penulis.
Tahap 5, penulis membuat daftar isi yang rinci. Hal-hal yang termasuk di dalamnya
antara lain: judul bab, judul rincian bab, serta bagian-bagian lainnya.
Contoh 1 Contoh 2
Tahap 6, setelah bab-bab itu tersusun secara pasti, dimulailah menulis kalimat-
kalimat tesis atau kalimat inti mengenai uraian tiap bagian, judul,
subjudul, atau tiap alinea. Kalimat-kalimat tesis atau kalimat inti itu
merupakan petunjuk penulisan teks secara lengkap. Penulis sudah dapat
menyusun kerangka bab serta alinea-alineanya. Setelah itu, penulis sudah
dapat bekerja.
Penulisan Bab
74
Buku merupakan suatu tulisan yang mendukung tema tertentu. Oleh karena itu,
bab-bab buku itu diurutkan sedemikian rupa sehingga menunjukkan keterkaitan
yang mendukung tema itu. Untuk mengantar pembaca, penulis senantiasa
memulai tulisannya dari pendahuluan. Pendahuluan merupakan pintu masuk
perkenalan tema buku, diikuti dengan bab-bab isi, dan seterusnya dengan bab-
bab penjelas, diakhiri dengan bab penutup sebagai kesimpulan atau
rangkuman tema bab tersebut. Mengenai bab penutup ini, ada versi yang lazim
digunakan oleh tia-tiap penulis. Ada penulis yang membuat rangkuman pada
setiap akhir bab sebagai penutup bab. Selain itu, ada pula penulis yang
menggunakan bab penutup untuk sebuah buku yang ditulisnya.
Judul bab dan judul rincian bab menjadi petunjuk tema dan merupakan
penuntun bagi penulis untuk mengembangkan tulisan pada bab rincian bagi bab
yang bersangkutan. Tema merupakan ungkapan dasar hal yang dibisacarakan.
Ungkapan dasar inilah yang dikembangkan bab-bab penjelas. Pengembangan
tema tersebut memanfaatkan fungsi-fungsi retoris yang sesuai dengan fungsi
dan tujuan pengembangan tema yang bersangkutan.
Penulisan bab sebagai keutuhan tema harus didukung oleh penulisan alinea-
alinea pendukukngnya yang juga mendukung tema-tema bawahan pendukung
bab itu. Alinea pembuka bab sebagai pintu masuk bab dan alinea penutup bab
sebagai penekanan kembali isi bab dan membantu pembaca mengingat kembali
secara jelas tema bab yang bersangkutan.. Antara alinea pembuka bab dan
alinea penutup disajikanlah alinea penjelas tema bab tersebut.
75
Penulisan buku ajar tidak langsung jadi. Kalimat-kalimat tesis yang telah
dibuat pada tahap 6 dijadikan dasar penulisan naskah pertama. Kalimat-
kalimat itu merupakan dasar yang menentukan urutan dan keutuhan naskah.
Kalimat-kalimat tesis itu dikembangkan menjadi alinea-alinea yang disusun
secara runtut menjadi keutuhan teks. Penulis perlu menulis saja secara terus
menerus sebanyak-banyaknya sesuai kebutuhan. Pada tahap ini penulis belum
perlu menyunting kalimat-kalimatnya karena hal itu akan mengganggu
kelancaran arus ide yang dituangkan dalam tulisan. Penyuntingan dilakukan
setelah seluruh tulisan draft pertama selesai. Yang penting diperhatikan ialah
penulis menuangkan ide/gagasannya secara lengkap tanpa mengindahkan
dahulu bahasa dan perwajahan naskah.
Dalam dunia nyata, terdapat 9 tipe wacana ekspositori, yaitu: (1) narasi, (2)
deskripsi, (3) definisi, (4) ilustrasi dan contoh, (5) klasifikasi dan difinisi, (6)
komparasi dan kontras, (7) analogi, (8) penjelasan proses, dan (9) sebab dan
akibat. Tipe-tipe wacana ekspositori itu sering digunakan bersama-sama sesuai
dengan kebutuhan. Jadi, tidak ada satu tipe tertentu saja yang digunakan secara
monoton. Namun, untuk maksud dan tujuan belajar-mengajar, dilakukalah
pengelompokan dan penataan tipe-tipe itu secara sistematis dan logis sesuai
dengan kebutuhan bahan ajar.
76
Pengalaman menunjukkan bahwa penuangan hal-hal itu ke dalam alinea tidak
akan selalu berhasil. Walaupun begitu, penulis perlu mencobanya berulang-
ulang hingga hasil yang diharapkan dapat dicapai, sebagaimana motto orang-
orang pintar: “Menulislah terus karena mutu akan mengikut dengan
sendirinya.”
Apabila bahan tulisan merupakan bahan yang rumit, penulis perlu memberi
beberapa conbtoh guna memperjelas idenya. Contoh-contoh yang dimaksud
sangat membantu pembaca untuk memahami bahan ajar. Pemahaman yang
dimaksud terutama bagi peserta didik dengan cara melengkapi teks dengan
pertanyaan-pertanyaa/bahan latihan. Pertanyaan/latihan itu dapat diberikan
pada akhir bab atau bagian akhir unit bahan tertentu. Pertanyaan/latihan itu
memaksa pembelajar untuk mengulangi bahan ajar yang dipelajarinya.
77
Kalau semua bab sudah selesai ditulis, penulis harus melakukan pemeriksaan
kembali terhadap semua yang telah ditulisnya mulai dari awal. Penulis
membaca kembali tulisannya dan memeriksa keterkaitan yang logis
antarbagian dan susunan yang saling bertaut. Kalau ditemukan ketidakserasian
penalaran dan l;ogika, maka dilakukan perubahan-perubahan seperlunya.
Mungkin juga diperlekan penyisipan bahan di sana sini guna mendukung alur
penalaran yang logis itu.
78
b. Pengantar, yang menyatakan fungsi buku, pembagian bab-bab, dan
sasaran buku.
c. Daftaf isi yang mencantumkan: bab, judul, dan bagian lainnya dari
buku.
d. Pendahuluan, yang menyatakan hal-hal yang akan dihadapi oleh
pembaca atau pembelajar, petunjuk cara mempelajari, dan apa yang
diharapkan oleh penulis.
e. Daftar kepustakaan, diperlukan untuk mengetahui sumber informasi.
f. Daftar kata/istilah (glosarium) pengutipan yang sulit disusun secara
alfabetis.
Setelah rangkaian kegiatan perbaikan sudah dilakukan, maka tim reviu
dan mitra ahli dapat membuat komentar yang diharapkan dapat berguna bagi
penulis untuk penyempurnaan tulisannya.
C. Daftar Pustaka
Bagian paling akhir suatu karya ilmiah adalah daftar pustaka. Lampiran
dan riwayat hidup tidak termasuk tubuh suatu karya ilmiah. Disarankan agar
buku-buku atau sumber tertulis lainnya yang dicantumkan pada daftar pustaka
benar-benar relevan dengan bidang ilmu yang ditulis. Agar prinsip etika ilmiah
tetap dipertahankan, penulis diharapkan secara objektif menuliskan semua
sumber yang memberi inspirasi atau pengetahuan yang dituangkan ke dalam
tulisannya.
Ada dua istilah yang perlu dipahami, yaitu daftar pustaka dan daftar
bacaan atau daftar rujukan. Daftar pustaka adalah daftar buku yang
79
mempunyai hubungan dengan penelitian, walaupun tidak dikutip langsung.
Daftar bacaan atau daftar rujukan adalah daftar buku yang dijadikan sumber
cara menulis daftar pustaka atau daftar bacaan ada tiga macam sebagaimana
Contoh:
Contoh:
Contoh:
Hanafi, A. 1990. “Partisipasi dalam Siaran Pedesaan dan Pengadopsian
Inovasi.” Forum Penelitian, 1 (I):33—47.
5. Acuan dari artikel yang dimuat di surat kabar atau majalah yang tidak
jelas
nama penulisnya.
Contoh:
Fajar. 2004, 29 Februari. Osama Dilaporkan Tertangkap. Halaman 1.
6. Acuan dari artikel yang dimuat di surat kabar atau majalah yang ada
nama
penulisnya
Contoh:
Yahya, Muas. 2004, 29 Februari. “Lahan Tidur untuk Rumah Toko.”
Fajar,
hlm. 30.
Yahya, Muas. “Lahan Tidur untuk Rumah Toko.” Fajar, hlm. 30. 2004,
29
Februari
7. Acuan yang diambil dari publikasi resmi yang diterbitkan oleh penerbit
tanpa
nama pengarang atau nama lembaga yang menerbitkan.
Contoh:
Undang-Undang Reoublik Indonesia Nomor 22 Tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. 1990. Jakarta: Diperbanyak oleh PT Armas
83
Duta Jaya.
8. Acuan yang diambil dari dokumen yang ditulis atas nama lembaga.
Contoh:
Program Pascasarjan, Universitas Negeri Makassar. 2002. Pedoman
Penyusunan
Tesis/Disertsi. Makassar: Universitas Negeri Makassar.
84
10. Acuan yang diambil dari skripsi, tesis, disertasi.
Contoh:
Amin, Muhammad. 2001. Pengembangan Tes Komunikatif Bahasa
Indonesia Siswa
Kelas III Sekolah Menengah Umum Negeri di Kota Makassar. Tesis
tidak
diterbitkan. Program Pascasarjana UNM.
11. Acuan yang bersumber dari makalah yang disajikan dalam seminar
atau
lokakarya.
Contoh:
Maula, Amiruddin. 2003. Peranan Bahasa Indonesia dalam
Pembangunan.
Makalah disajikan pada Seminar Bulan Bahasa, Fakultas Bahasa
dan Seni
UNM, Makassar, 8 Oktober.
85
Makalah disajikan pada Seminar Bulan Bahasa, Fakultas Bahasa
dan Seni
UNM, Makassar, 8 Oktober, 2003.
86
disajikan dalam suatu seminar atau kegiatan ilmiah lainnya. Dengan demikian,
penulisan acuannya tentu sama dengan makalah yang dibagikan kepada peserta
dalam suatu seminar. Kedua, informasi dari internet umumnya dalam bentuk
artikel yang telah dipublikasikan dalam majalah atau koran, atau buku sebagai
bunga rampai. Jika demikian, maka penulisan acuannya beranalogi pada
penulisan artikel dari majalah/koran atau bunga rampai.
Jika informasi yang dimaksud tidak termasuk dalam kelompok kedua
jenis karya ilmiah itu, maka penulisan acuan informasi yang dianjurkan sebagai
berikut.
Bacaan
Arikunto, Suharsimi. 1991. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan
Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Hidalgo, A.C. David Hall, dan George M. Jacobs (Ed.)1995. Getting Started:
Material
Wahab, Abdull dan Lestari, Lies Amin. 1999. Menulis Karya Ilmiah.
88
PEDOMAN EJAAN YANG DISEMPURNAKAN
Klarifikasi
Pedoman Ejaan yang Disempurnakan yang dikemukakan kembali
dalam tulisan ini telah diresmikan penggunaannya pada tanggal 17 Agustus
1972 oleh Presiden Republik Indonesia, Soeharto. Formulasi kalimat dan
contoh-tontoh yang dinyatakan dalam tulisan ini pun masih asli dari teks asli
naskah pertama Pedoman Ejaan yang disempurnakan yang secara remi
diterbitkan pada tahun 1975. Keaslian naskah tetap dipertahankan karena
buku Pedoman Ejaan yang Disempurnakan termasuk dokumen negara sebagai
penjabaran dari Pasal 36 UUD 1945 tentang kedudukan bahasa Indonesia
sebagai bahasa resmi negara.
A. Pemenggalan Kata
1. Pemenggalan kata pada kata dasar dilakukan sebagai berikut.
a. Jika di tengah kata ada vokal yang berurutan, pemenggalan itu
dilakukan di antara kedua huruf vokal itu.
Misalnya: ma-in, sa-at, bu-ah
Huruf diftong ai, au, dan oi tidak pernah diceraikan sehingga
pemenggalan kata tidak dilakukan di antara kedua huruf itu.
Misalnya:
au-la bukan a-u-la
sau-da-ra bukan sa-u-da-ra
am-boi bukan am-bo-i
89
b. Jika di tengah kata ada huruf konsonan, termasuk gabungan-huruf
konsonan, di antara dua buah huruf vokal, pemenggalan sebelum huruf
konsonan.
Misalnya:
ba-pak ba-rang su-lit
la-wan de-ngan ke-nyang
mu-ta-khir
c. Jika di tengah kata ada dua huruf konsonan yang berurutan, pemenggalan
dilakukan di antara kedua huruf konsonan itu. Gabungan-huruf
konsonan tidak pernah diceraikan.
Misalnya:
man-di som-bong swas-ta
cap-lok Ap-ril bang-sa
makh-luk
d. Jika di tengah kata ada tiga buah huruf konsonan atau lebih,
pemenggalan dilakukan di antara huruf konsonan yang pertama dan
huruf konsonan yang kedua.
Misalnya:
in-stru-men ul-tra
in-fra bang-krut
ben-trok ikh-las
2. Imbuhan akhiran dan imbuhan awalan, termasuk awalan yang mengalami
perubahan bentuk serta partikel yang biasanya ditulis serangkai dengan kata
dasarnya, dapat dipenggal pada pergantian baris.
Misalnya:
makan-an me-rasa-kan
90
mem-bantu pergi-lah
Catatan:
a. Bentuk dasar pada kata turunan sedapat-dapatnya tidak dipenggal.
b. Akhiran –i tidak dipenggal.
c. Pada kata yang berimbuhan sisipan, pemenggalan kata dilakukan
sebagai berikut.
Misalnya:
te-lun-juk si-nam-bung
ge-li-gi
3. Jika suatu kata terdiri atas lebih dari satu unsur dan salah satu unsur itu dapat
bergabung dengan unsur lain, pemenggalan dapat dilakukan (1) di antara
unsur-unsur itu atau (2) pada unsur gabungan itu sesuai dengan kaidah 1a,
ib, 1c, dan 1d di atas.
Misalnya:
bio-grafi, bi-o-gra-fi
foto-grafi, fo-to-gra-fi
intro-speksi, in-tro-spek-si
kilo-gram, ki-lo-gram
kilo-meter, ki-lo-me-ter
pasc-panen, pas-ca-pa-nen
Keterangan:
Nama orang, badan hukum, dan nama diri yang lain disesuaikan dengan
Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan kecuali jika ada
pertimbangan khusus.
B. Pemakaian Huruf Kapital dan Huruf Miring
a. Huruf Kapital atau Huruf Besar
91
1. Huruf kapital atau huruf besar dipakai sebagai huruf pertama kata pada
awal kalimat.
2. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama petikan langsung.
3. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama dalam ungkapan yang
berhubungan dengan nama Tuhan dan kitab suci, termasuk kata ganti
untuk Tuhan
4. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama gelas kehormatan,
keturunan, dan keagamaan yang diikuti nama orang.
5. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur nama jabatan dan
pangkat yang diikuti nama orang atau dipakai sebagai pengganti nama
orang tertentu, nama instansi, atau nama tempat.
6. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur-unsur nama orang.
7. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama bangsa, suku bangsa,
dan bahasa.
8. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama tahun, bulan, hari,
hari raya, dan peristiwa sejarah.
9. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama geografi.
10. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama semua unsur nama negara,
lembaga pemerintahan dan ketatanegaraan, serta nama dokumen resmi
kecuali kata seperti dan.
11. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama setiap unsur bentuk ulang
sempurna yang terdapat pada nama badan, lembaga pemerintah dan
ketatanegaraan, serta dokumen resmi.
12. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama semua kata (termasuk
semua unsur kata ulang sempurna) di dalam nama buku, majalah, surat
92
kabar, dan judul karangan, kecuali kata seperti di, ke, dari, dan, yang,
dan untuk yang tidak terletak pada posisi awal.
13. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur singkatan nama,
gelar, pangkat, dan sapaan.
14. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama kata penunjuk hubungan
kekerabatan seperti bapak, ibu, saudara, kakak, adik, dan paman yang
dipakai dalam penyapaan dan pengacuan.
15. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama kata ganti Anda.
b. Huruf Miring
1. Huruf miring dalam cetakan dipakai untuk
menuliskan nama buku, majalah, dan surat kabar yang dikutip dalam
tulisan.
2. Huruf miring dalam cetakan dipakai untuk
menegaskan atau mengkhususkan huruf, bagian kata, kata, atau kelompok
kata.
3. Huruf miring dalam cetakan dipakai untuk
menuliskan kata nama ilmiah atau ungkapan asing kecuali yang telah
disesuaikan ejaannya.
C. Penulisan Kata
a. Kata Dasar
Kata yang berupa kata dasar ditulis sebagai satu kesatuan.
B. Kata Turunan
1. Imbuhan (awalan, sisipan, akhiran) ditulis serangkai dengan kata
dasarnya.
2. Jika bentuk dasar berupa gabungan kata, awalan atau akhiran ditulis
serangkai dengan kata yang langsung mengikuti atau mendahuluinya.
93
3. Jika bentuk dasar berupa gabungan kata kata mendapat awalan dan
akhiran sekaligus, unsur gabungan kata itu ditulis serangkai.
4. Jika salah satu unsur gabungan kata hanya dipakai dalam kombinasi,
gabungan kata itu ditulis serangkai.
Misalnya:
adipati mahasiswa
aerodinamika mancanegara
antarkota narapidana
audiogram nonkolaborasi
awahama Pancasila
bikarbonat panteisme
biokimia paripurna
caturtunggal poligami
dasawarsa pramuniaga
dekameter prasangka
demoralisasi purnawirawan
dwiwarna reinkarnasi
ekawarna saptakrida
ekstrakurikuler semiprofesional
elektriteknik subseksi
infrastruktur swadaya
inkonvensional telepon
introspeksi transmugrasi
kolonialisme tritunggal
kosponsor ultramodern
c. Bentuk Ulang
94
Bentuk ulang ditulis secara lengkap dengan menggunakan tanda hubung.
d. Gabungan Kata
1. Gabungan kata yang lazim disebut kata majemuk, termasuk istilah
khusus, unsur-unsurnya ditulis terpisah.
2. Gabungan kata, termasuk istilah khusus, yang mungkin menimbulkan
kesalahan pengertian, dapat ditulis dengan tanda hubung untuk
menegaskan pertalian di antara unsur yang bersangkutan.
3. Gabungan kata berikut ditulis serangkai.
Misalnya:
acapkali manakala
adakalanya manasuka
akhirulkalam mangkubumi
alhamdulillah matahari
astagfirullah orahraga
bagaimana padahal
barangkali paramasastra
beasiswa peribahasa
belasungkawa puspawarna
bilamana radioaktif
bismillah saptamarga
bumiputra saputangan
daripada saripati
darmabakti sebagaimana
darmasiswa sediakala
darmawisata segitiga
dukacita sekalipun
95
halalbihalal silaturahmi
hulubalang sukacita
kacamata sukarela
kasatmata sukaria
kepada syahbandar
keratabasa titimangsa
kilometer wasalam
e. Kata Ganti –ku, kau-, -mu, dan –nya.
Kata ganti ku- dan kau- ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya;
-ku, -mu, dan –nya ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya.
f. Kata Depan di, ke, dan dari
Kata depan di, ke, dan dari ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya
kecuali di dalam gabungan kata yang sudah lazim dianggap sebagai satu
kata seperti kepada dan daripada.
g. Kata si dan sang
Kata si dan sang ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya.
h. Partikel
1. Partikel –lah, -kah, dan –tah ditulis serangkai dengan kata yang
mendahuluinya.
2. Partikel pun ditulis terpisah dari kata yang mendahuluinya.
3. Partikel per yang berarti ‘mulai’, ‘demi’, dan ‘tiap’ ditulis terpisah dari
bagian kalimat yang mendahului atau mengikutinya.
i. Singkatan dan Akronim
1. Singkatan ialah bentuk yang dipendekkan yang terdiri atas satu huruf
atau lebih.
96
a. Singkatan nama orang, nama gelar, sapaan, jabatan, atau pangkat
diikuti dengan tanda titik.
b. Singkatan nama resmi lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, badan
atau organisasi, serta nama dokumen resmi yang terdiri atas huruf
awal kata ditulis dengan huruf kapital dan tidak diiukuti dengan
titik.
c. Singkatan umum yang terdiri atas tiga huruf atau lebih diikuti satu
tanda titik.
Misalnya:
dll. dan lain-lain
dsb. dan sebagainya
dst. dan seterusnya
hlm. halaman
sda. sama dengan atas
Yth. Yang terhormat
Tetapi:
a.n. atas nama
d.a. dengan alamat
u.b. untuk beliau
u.p untuk perhatian
dst.
Singkatan yang terdiri atas huruf kapital tidak dititik.
Contoh:
DPR
MPR
KPU
97
DPA
MA
FKIP
ABRI
UUD
KUD
dst.
d. Lambang kimia, singkatan satuan ukuran, takaran, timbangan, dan
mata uang tidak diikuti tanda titik.
Misalnya:
Cu kuprum
TNT trinitrotoleun
cm sentimeter
kVA kilovolt-ampere
l liter
kg kilogram
Rp rupiah
2. Akronim ialah singkatan yang berupa gabungan huruf awal, gabungan
suku kata dari deret kata yang diperlukan sebagai kata.
a. Akronim nama dari yang berupa gabungan huruf awal dari deret
kata ditulis seluruhnya dengan huruf kapital.
b. Akronim nama diri yang berupa gabungan suku kata atau gabungan
huruf dan suku kata dari deret kata ditulis dengan huruf awal huruf
kapital.
98
c. Akronim yang bukan nama diri yang berupa gabungan huruf, suku
kata, ataupun gabungan huruf dan suku kata dari deret kata
seluruhnya ditulis dengan huruf kecil.
D. Pemakaian Tanda Baca
a. Tanda Titik (.)
1. Tanda titik dipakai pada akhir kalimat yang bukan pertanyaan atau
seruan.
2. Tanda titik dipakai di belakang angka atau huruf dalam satu bagan,
ikhtisar, atau daftar.
Misalnya:
a. III. Departemen Dalam Negeri
A. Direktorat Jenderal Pem-bangunan Masyarakat Desa
B. Direktorat Jenderal Agraria
1. ...
b. 1. Patokan Umum
1.1 Isi Karangan
1.2 Illustrasi
1.2.1 Gambar tangan
1.2.2 Tabel
1.2.3 Grafik
b. Tanda Koma (,)
1. Tanda koma dipakai di antara unsur-unsur dalam suatu perincian atau
pembilangan.
2. Tanda koma dipakai untuk memisahkan kalimat setara yang satu dari
kalimat setara berikutnya yang didahului oleh kata seperti tetapi atau
melainkan.
99
Tanda koma dipakai untuk memisahkan anak kalimat dari induk kalimat
jika anak kalimat itu mendahului induk kalimatnya.
Tanda koma tidak dipakai untuk memisahkan anak kalimat dari induk
kalimat jika anak kalimat itu mengiringi induk kalimatnya.
3. Tanda koma dipakai di belakang kata atau ungkapan penghubung
antarkalimat yang terdapat pada awal kalimat. Termasuk di dalamnya
oleh karena itu, jadi, lagi pula, meskipun begitu, dan akan tetapi.
4. Tanda koma dipakai untuk memisahkan kata seperti o, ya, wah, aduh,
kasihan dari kata yang lain yang terdapat di dalam kalimat.
5. Tanda koma dipakai untuk memisahkan petikan langsung dari bagian
lain dalam kalimat.
6. Tanda koma dipakai di antara (i) nama dan alamat, (ii) bagian-bagian
alamat, (iii) tempat dan tanggal, dan (iv) nama tempat dan wilayah atau
negeri yang ditulis berurutan.
7. Tanda koma dipakai untuk menceraikan bagian nama yang dibalik
susunannya dalam daftar pustaka.
8. Tanda koma dipakai di antara bagian-bagian dalam catatan kaki.
9. Tanda koma dipakai di antara nama orang dan gelar akademik yang
mengikutinya untuk membedakannya dari singkatan nama diri,
keluarga, atau marga.
10. Tanda koma dipakai di muka angka persepuluhan atau di antara rupiah
dan sen yang dinyatakan dengan angka.
11. Tanda koma dipakai untuk mengapit keterangan tambahan yang sifatnya
tidak membatasi.
12. Tanda koma dipakai--untuk menghindari salah baca--di belakang
keterangan yang terdapat pada awal kalimat.
100
13. Tanda koma tidak dipakai untuk memisahkan petikan langsung dari
bagian lain yang mengiringinya dalam kalimat jika petikan langsung itu
berakhir dengan tanda tanya atau tanda seru.
B. Tanda Titik Koma (;)
1. Tanda titik koma dapat dipakai untuk memisahkan bagian-bagian
kalimat yang sejenis dan setara.
2. Tanda titik koma dapat dipakai sebagai pengganti kata penghubung
untuk memisahkan kalimat yang setara di dalam kalimat majemuk.
C. Tanda Titik Dua (:)
1a. Tanda titik dua dapat dipakai pada akhir suatu pernyataan lengkap jika
diikuti rangkaian atau pemerian.
1b. Tanda titik dua tidak dipakai jika rangkaian atau pemerian itu
merupakan pelengkap yang mengakhiri pernyataan.
2. Tanda titik dua dipakai sesudah kata atau ungkatan yang memerlukan
pemerian.
3. Tanda titik dua dapat dipakai dalam teks drama sesudah kata yang
menunjukkan pelaku dalam percakapan.
4. Tanda titik dua dipakai (i) di antara jili atau nomor dan halaman, (ii) di
antara bab dan ayat dalam kitab suci, (iii) di antara judul dan anak judul
suatu karangan, serta (iv) nama kota dan penerbit buku acuan dalam
karangan.
D. Tanda Hubung (-)
1. Tanda hubung menyambung suku-suku kata dasar yang terpisah oleh
pergantian baris.
2. Tanda hubung menyambung awalan dengan bagian kata di depannya
pada pergantian baris.
101
3. Tanda hubung menyambung unsur-unsur kata ulang.
4. Tanda hubung menyambung huruf kata yang dieja satu-satu dan bagian-
bagian tanggal.
5. Tanda hubung boleh dipakai untuk memperjelas (i) hubungan bagian-
bagian kata atau ungkapan, dan (ii) penghilangan bagian kelompok kata.
6. Tanda hubungan dipakai untuk merangkaikan (i) se- dengan kata
berikutnya yang dimulai dengan huruf kapital, (ii) ke- dengan angka, (iii)
angka dengan –an, dan (iv) singkatan berhuruf kapital dengan imbuhan
atau kata, dan (v) nama jabatan rangkap.
7. Tanda hubung dipakai untuk merangkaian unsur bahasa Indonesia dengan
unsur bahasa asing.
E. Tanda Pisah (–)
1. Tanda pisah membatasi penyisipan kata atau kalimat yang memberi
penjelasan di luar bangun kalimat.
2. Tanda pisah menegaskan adanya keterangan aposisi atau keterangan
yang lain sehingga kalimat menjadi lebih jelas.
3. Tanda pisah dipakai di antara dua bilangan atau tanggal dengan arti
‘sampai’.
F. Tanda Elipsis (...)
1. Tanda elipsis dipakai dalam kalimat yang terputus-putus.
2. Tanda elipsis menunjukkan bahwa dalam suatu kalimat atau naskah ada
bagian yang dihilangkan.
G. Tanda Tanya (?)
1. Tanda tanya dipakai pada akhir kalimat tanya.
2. Tanda tanya dipakai di dalam tanda kurung untuk menyatakan bagian
kalimat yang disangsikan atau kurang dapat dibuktikan kebenarannya.
102
H. Tanda Seru (!)
Tanda seru dipakai sesudah ungkapan atau pertanyaan yang berupa seruan
atau perintah yang menggambarkan kesungguhan, ketidak-percayaan, atau
pun rasa emosi yang kuat.
I. Tanda Kurung ((...))
1. Tanda kurung mengapit tambahan keterangan atau penjelasan.
2. Tanda kurung mengapit keterangan atau penjelasan yang bukan bagian
integral pokok pembicaraan.
3. Tanda kurung mengapit huruf atau kata yang kehadirannya di dalam
teks dapat dihilangkan.
4. Tanda kurung mengapit angka atu huruf yang memerinci satu urutan
keterangan.
J. Tanda Kurung Siku ([...])
1. Tanda kurung siku mengapit huruf, kata, atau kelompok kata sebagai
koreksi atau tambahan pada kalimat atau bagian kalimat yang ditulis
orang lain. Tanda itu menyatakan bahwa kesalahan atau kekurangan itu
memang terdapat di dalam naskah asli.
2. Tanda kurung siku mengapit keterangan dalam kalimat penjelas yang
sudah bertanda kurung.
K. Tanda Petik (“...”)
1. Tanda petik mengapit petikan langsung yang berasal dari pembicaraan
dan naskah atau bahan tertulis lain.
2. Tanda petik mengapit judul syair, karangan, atau bab buku yang dipakai
dalam kalimat.
3. Tanda petik mengapit istilah ilmiah yang kurang dikenal atau kata yang
mempunyai arti khusus.
103
4. Tanda petik penutup mengikuti tanda baca yang mengakhiri petikan
langsung.
5. Tanda baca penutup kalimat atau bagian kalimat ditempatkan di
belakang tanda petik yang mengapit kata atau ungkapan yang dipakai
dengan arti khusus pada ujung kalimat atau bagian kalimat.
L. Tanda Petik Tunggal (‘...’)
1. Tanda petik tunggal mengapit petikan yang tersusun di dalam petikan
lain.
2. Tanda petik tunggal mengapit makna, terjemahan, atau penjelasan kata
ungkapan asing.
M. Tanda Garis Miring
1. Tanda garis miring dipakai di dalam nomor surat dan nomor pada
alamat dan penandaan masa satu tahun yang terbagi dalam dua tahun
takwim.
2. Tanda garis miring dipakai sebagai pengganti kata, dan, atau, atau tiap.
N. Tanda Penyingkat atau Apostrof (’)
104
PENULISAN KARYA TULIS
Dr. Achmad Tolla, M.Pd.
A. Rasional
105
Pada kesempatan ini, penulis akan lebih banyak membahas
prosedur penulisan karya ilmiah dengan alasan bahwa guru-guru
bidang studi telah memberi pengalaman belajar kepada siswa yang
memungkinkan mereka untuk dapat memilih topik-topik yang
relevan dengan persyaratan di atas yang dapat dikembangkan
menjadi sebuah karya tulis ilmiah. Pengungkapan ide dalam kalimat
bahasa Indonesia ragam ilmiah pun penulis yakin guru bidang studi
yang bersangkutan juga telah, sedang, dan akan terus melatih siswa
untuk menggunakan bahasa Indonesia secara formal, termasuk
ragam bahasa ilmiah. Namun, sebagai bahan renungan, berikut ini
dicantumkan tiga kelompok tema atau topik yang diadaptasi dari
“Pedoman Umum Lomba Karya Tulis Mahasiswa” (2002) yang
dapat menjadi dasar untuk memilih tema atau topik yang baik.
1. Bidang Ilmu
a. Pengembangan kesadaran dan sistem hukum nasional
b. Pengembangan menuju masyarakat madani
c. Pembinaan keluarga dalam menghadapi perubahan nilai sosial
d. Peningkatan kualitas kesehatan masyarakat
e. Pengaruh bahasa terhadap perilaku manusia
f. Pemanfaatan dan pembelajaran potensi lingkungan sekitar
2. Bidang Teknologi
a. Pendayagunaan potensi biologi dan pertanian
b. Pendayagunaan teknologi sepadan
106
c. Pendayagunaan potensi mineral
d. Pendayagunaan potensi kelautan
e. Keefektifan pembelajaran bahasa melalui internet
f. Pendayagunaan potensi informasi teknologi
3. Bidang Seni
a. Penerapan seni dalam pemantapan identitas bangsa
b. Seni dan pendidikan untuk hidup bersama
c. Seni dan pluralisme budaya
d. Peranan seni dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat
107
b. Lembar Pengesahan
1) Lembar pengesahan memuat judul, nama dan nomor induk
penulis
2) Lembar pengesahan ditandatangani oleh guru pembimbing
dan
kepala sekolah lengkap dengan stempel jabatan
3) Lembar pengesahan diberi tanggal sesuai dengan tanggal
pengesahan
c. Kata Pengantar Penulis
d. Daftar isi dan daftar lain yang diperlukan, misalya: daftar
gambar,
daftar tabel, dan daftar lampiran
2. Bagian Inti
a. Pendahuluan
Penulis harus memahami cara penulisan bagian inti ini. Apabila
tulisan barulah berupa proposal, maka pendahuluan bukan
merupakan bab, melainkan bagian pertama seperti ini: I.
Pendahuluan (tanpa titik). Pembutiran yang mengikut pendahuluan
ini dapat ditulis dengan dua cara, yaitu: (a) dengan angka Arab: 1.1
dst. (angka satu terakhir tanpa
titik);
108
(b) dengan huruf: A. dst.
Akan tetapi, apabila tulisan sudah merupakan laporan
penelitian atau hasil kajian pustaka atau gabungan keduanya, maka
pendahuluan dan bagian inti selanjutnya ditulis sebagai bab:
BAB I
PENDAHULUAN
(tidak boleh menjarakkan huruf)
Bagian selanjunya ditulis seperti ini.
Bagian atau bab pendahuluan berisi komponen berikut ini.
1) Latar belakang berisi uraian singkat mengenai gagasan
kreatif yang akan dikaji, baik melalui kajian pustaka
maupun penelitian lapangan atau gabungan keduanya.
Gagasan kreatif yang dimaksud dikuatkan dengan uraian
tentang pentingnya gagasan itu dibahas atau diteliti secara
mendalam. Agar lebih meyakinkan pembaca, penulis
serbaiknya menguraikan kondisi riil gagasan itu dan apa
yang diharapkan pada gagasan itu setelah dibahas atau
diteliti.
2) Rumusan masalah dinayatakan secara eksplisit dengan
memilih
salah satu dari tiga model rumusan masalah. Pertama,
rumusan
109
masalah yang dinyatakan dengan kalimat tanya. Kedua,
rumusan
masalah yang dinyatakan dengan deskripsi lengkap mengapa
penulis atau peneliti ingin mengkaji topik itu. Ketiga, rumusan
masalah yang dinyatakan dengan deskripsi dan diperkuat
dengan
kalimat tanya.
3) Tujuan dan mantaat
Tujuan adalah keinginan yang hendak diwujudkan oleh
penulis atau peneliti melalui kajian pustaka atau penelitian
atau gabungan keduanya. Hasil dari keinginan itu diharapkan
berguna bagi pengemabangan ilmu atau sebagai petunjuk
teknis bagi orang yang berkepentingan dalam meningkatkan
atau mengembangkan ilmu yang tersebut.
b. Telaah Pustaka
Istilah yang lazim digunakan adalah telaah pustaka, kajian
pustaka, dan kajian teori. Telaah pustaka umumnya berisi hal
berikut:
1) Uraian yang menunjukkan landasan teori dan konsep-konsep
yang relevan dengan masalah yang dikaji;
2) Uraian mengenai pendapat yang berkaitan dengan masalah
yang dikaji:
110
3) Uraian mengenai pemecahan masalah atau temuan penelitian
yang telah dilakukan oleh orang sebelumnya.
c. Metode Penulisan
Metode penulisan karya ilmiah, baik penelitian lapangan
maupun kajian pustaka harus dilakukan dengan mengikuti prosedur
atau metode tertentu. Khusus penelitian lapangan, ada dua metode
yang salah satunya atau kedua-duanya digunakan sesuai dengan
sifat penelitian. Kedua macam metode itu adalah (1) metode
kualitatif, dan (2) metode kuantitatif. Metode kualitatif bersifat
deskriptif yang jenisnya antara lain: penelitian kasus, penelitian
eksplorasi, penelitian historis, dan penelitian deskriptif yang data-
datanya terdri atas informasi verbal. Adapun penelitian kuantitafif
sesnantiasa ditandai dengan data angka-angka yang
menggambarkan jumlah atau frekuensi tertentu.
Komponen metode penulisan terdiri atas (1) sumber data, (2)
prosedur pengumpulan data/informasi, (3) pengolahan
data/informasi, (4) analisis-sintesis, (5) pengambilan kesimpulan,
dan (6) perumusan saran atau rekomendasi.
Apabila suatu tulisan barulah berupa rancangan atau proposal,
maka sesudah metode penulisan dicantumkan daftar pustaka yang
menjadi rujukan penulis. Semua jenis tulisan atau karya ilmiah
111
harus memiliki daftar pustaka, kecuali makalah refleksi budaya
murni. Hal ini akan dibicarakan dalam makalah yang lain.
d. Bagian Isi/Pembahasan
Pada bagian ini dibahas secara rinci dan tuntas (?) hal berikut ini/.
1) Analisis permasalahan yang didasarkan pada data dan/atau
informasi dengan tetap bersandar pada teori yang dibahas
dalam kajian pustaka untuk untuk menghasilkan alternatif
model pemecahan masalah atau gagasan secara kreatif.
2) Perumusan kesimpulan yang harus konsisten dengan analisis
masalah pada butir 1).
3) Saran yang disampaikan menggambarkan kemungkinan atau
perkiraan pengalihan gagasan atau teknologi.
3. Daftar Pustaka
Bagian paling akhir suatu karya ilmiah adalah daftar pustaka.
Disarankan agar buku-buku atau sumber tertulis lainnya yang
dicantumkan pada daftar pustaka benar-benar relevan dengan
bidang ilmu yang ditulis. Agar prinsip etika ilmiah tetap
dipertahankan, penulis diharapkan secara objektif menuliskan
semua sumber yang memberi inspirasi atau pengetahuan yang
dituangkan ke dalam tulisannya.
Ada dua istilah yang perlu dipahami, yaitu daftar pustaka
urutannya sbb.:
Contoh:
urutannya sbb.:
113
Contoh:
Contoh:
Jakarta:
C. Persyaratan Penulisan
Ketentuan yang harus diindahkan penulis dalam merancang
perwajahan sebagai berikut.
1. Naskah ditulis minimal 20 halaman dan maksimal 35
halaman di luar lampiran. Jumlah halaman yang tidak sesuai
dengan kentuan penyelenggara lomba karya ilmiah dapat
mempengaruhi penilaian.
114
2. Bahasa Indonesia yang digunakan adalah bahasa Indonesia
baku ragam ilmiah dan dengan ejaan baku pula. Bahasa
ragam ilmiah yang diminta harus sederhana, jelas, koheren,
kohesif, mengutamakan kata/istilah yang mudah dipahami,
dan tidak menggunakan singkatan atau akronim, kecuali
singkatan/akronim yang sudah dibakukan di dalam bidang
ilmiah yang dikaji.
D. Pengetikan
1. Tata Letak
a. Karya tulis diketik 1.5 spasi pada kertas berukuran A4
dengan
ukuran huruf 12 dan jenis huruf roman time style.
b. Batas pengetikan:
1) margin kiri 4 cm
2) margin kanan 3 cm
3) batas atas dan bawah masing-masing 3 cm
c. Jarak pengetikan bab, subbab, dan rinciannya:
1) Jarak baris bab dan subbab 3 spasi, subbab dan kalimat
di
bawahnya 2 spasi.
115
2) Judul bab diketik di tengah-tengah ruang tulis kertas
dengan huruf kapital dan dengan jarak 4 cm dari tepi
tanpa digarisbawahi.
3) Judul subbab ditulis mulai dari tepi kiri dan huruf
pertama setiap kata ditulis dengan huruf kapital,
kecuali kata-kata tugas, seperti: yang, dan untuk, bagi,
guna, tetapi, dengan, dan semacamnya.
4) Judul anak subbab ditulis mulai dari tepi kiri dengan
lekuk (indensi) 5 ketukan dan digarisbawahi. Huruf
tertama setiap kata ditulis dengan huruf kapital, kecuali
kata-kata tugas seperti butir 3) di atas.
5) Jika masih ada subjudul dalam tingkatan yang lebih
rendah, ditulis seperti butir 3) dan 4) di atas dan
diakhiri dengan titik; lalu diikuti dengan kalimat
penjelasannya.
2. Penulisan Paragraf
Ada dua macam gaya menulis paragraf, yaitu (1) gaya lurus
(block style), dan (2) gaya lekuk (indented style). Penulisan
paragraf baru dengan gaya lurus diketik sejajar dengan baris di
atasnya dengan jarak 2 spasi (jarak baris dalam paragraf 1.5
spasi). Jadi, dengan cara ini akan tampak batas paragraf
sebelumnya dengan paragraf berikutnya.
116
Jika di dalam paragraf ada kutipan langsung, maka
penulisannya bergantung pada panjang kutipan itu. Kutipan
langsung yang terdiri atas tidak lebih dari 3 baris atau kurang dari
40 kata ditulis sama dengan kalimat lain di dalam paragraf dan
diapit oleh tanda petik dua (“…”). Kutipan langsung yang lebih
dari 3 baris atau lebih dari 40 kata, diketik dengan jarak 1 spasi dan
menjorok ke dalam 3 ketukan tanpa tanda petik.
Contoh kutipan langsung di dalam paragraf:
Sirait (1985:27) mendefinisiokan proposisi sebagai “Proposisi
adalah pernyataan yang dapat dibenarkan atau disangkal
yang terdiri atas tiga bagian, yaitu S-Vk-P. S adalah yang
diberi pembenaran, Vk adalah verba penghubung, dan P
adalah pembenaran.”
Contoh kutipan langsung yang membetuk paragraf sendiri:
Banyak ahli yang telah memberi pengertian tentang humor. Dari
sekian banyak pengertian itu, dalam tulisan ini hanya dikutip satu
definisi yang dikemukakan oleh McDougall (1922) sebagai berikut.
Potensi tertawa dan melucu merupakan bawaan dalam sistem
mekanisme syaraf dan mempunyai fungsi adaptif. Potensi ini
telah
muncul sejak awal kehidupan manusia, sebelum proses
kognitif
yang kompleks terbentuk. Ini berarti humor merupakan
fenomena
117
universal yang mempunyai manfaat.
3. Penomoran Halaman
Ketentuan penulisan nomor halaman sebagai berikut.
a. Nomor halaman bagian awal karya ilmiah yang meliputi:
halaman judul, nama/daftar anggota delompok (kalau ada),
kata pengantar, daftar isi, daftar tabel/gambar, daftar istilah,
dan lasin-lain diketik sebelah kanan bawah dengan angka
rumawi-kecil (i, ii, iii,
dan seterusnya).
b. Nomor halaman bagian inti atau tubuh karya ilmiah sampai
pada daftar lampiran ditulis dengan angka arab dan diketik 3
cm dari tepi kanan dan 1.5 cm dari tepi atas.
c. Nomor halaman pertama setiap bab tidak ditulis, tetapi tetap
diperhitungkan untuk pemberian halaman lembar berikutnya.
118
Format Penilaian Karya Tulis Ilmiah
Nomor peserta : …………………………………
Nama peserta : (Kalau berkelompok, tulis semua namanya!)
Lembaga/Sekolah : SMU Negeri 17 Makassar
No. Kriteria Penilaian Bobot Skor Skor
terbobot
1 Format karya ilmiah:
a. Tata tulis: ukuran kertas, tipografi,
kerapian ketik, perwajahan, jumlah 5
halaman
b. Pengungkapan: sistematika tulisan,
ketepan dan kejelasan paparan,
penggunaan ragam bahasa
2. Kreativitas gagasan:
a. Komprehensif dan keunikan 15
b. Struktur gagasan (gagasan muncul
didukung oleh argumentasi ilmiah)
3. Topik yang dikemukakan:
a. Sifat topik, rumusan judul dan dan
kesesuaian dengan topik, aktualitas 5
b. Kejelasan uraian permasalahan
c. Relevansi topik dengan tema
4. Data dan sumber informasi:
a. Relevansi data dan informasi yang
diacu dengan uraian tulisan 15
b. Keakuratan dan integritas data dan
informasi
c. Kemampuan menghubungkan
berbagai data dan informasi
5. Pembahasan, simpulan, dan tranfer gagasan:
a. Kemampuan menganalisis dan
menyintesis serta merumuskan 20
simpulan
b. Kemungkinan/prediksi transfer
gagasan dan proses adopsi
Keterangan:
a. Skor terbobot total maksimal 5400 60
119
b. Skor setiap bagian adalah 40—90
c. Skor terbobot = bobot x skor
…………………………………
………………………………..
Bacaan
Pedoman Umum Lomba Karya Tulis Ilmiah Mahasiswa. 2002.
Jakarta:
Depdiknas Dirjen Dikti
121
KATA-KATA FUNGSIONAL DALAM BAHASA INDONESIA
A. Pendahuluan
Secara umum, kelas kata bahasa Indonesia dapat dibedakan menjadi: (1)
kata benda (nomina), (2) kata kerja (verba), (3) kata sifat (adjektiva), (4) kata
bilangan (numeralia), (5) kata keterangan (adverbia), dan (6) kata tugas (kata
fungsional). Kelas kata benda, kata kerja, kata sifat, dankata bilangan, dalam
teori semantik, dikenal sebagai kata yang memiliki rujukan atau acuan. Artinya,
setiap kata dari kelas kata ini mempunyai wujud atau yang dianggap wujud
yang dilambangkan dengan huruf dalam tulisan, dan fonem dalam ujaran.
Kelas kata tugas memiliki ciri yang berbeda dengan kelas kata (1)—(4).
Kelas kata tugas tidak memiliki arti leksikal atau arti kata. Dia hanya memiliki
arti gramatikal atau arti tata bahasa. Artinya, kata tugas tidak mempunyai
makna lepas, tetapi senantiasa terkait dengan makna kata lain dalam frase,
klausa atau kalimat. Kata ke, dari, dan, untuk misalnya, walaupun kata ini
sangat produktif dalam kalimat bahasa Indonesia, namun kata-kata itu tidak
dapat digunakan secara lepas. Kata-kata itu barulah dapat diperkirakan
maknanya jika sekurang-kurangnya mendampingi kata yang memiliki rujukan
dalam frase seperti: ke kota, dari sekolah, untuk bekal. Demikianlah sifat
umum kata-kata fungsional.
122
B. Klasifikasi Kata Fungsional
Berdasarkan peranannya dalam frase atau kalimat, kata tugas
(fungsional) dibagi menjadi: (1) kata depan (preposisi), (2) kata hubung
(konjungsi), (3) kata seru (interjeksi), (4) artikel , dan (5) partikel (Alwi, 1999:
323).
1.4 Polimorfemis gabungan kata depan dan yang bukan kata depan
Contoh:
125
Contoh :
Baik..., maupun….
Tidak hanya…, tetapi juga…
Bukan hanya…, malainkan juga…..
Demikian … sehingga….
Sedemikian rupa sehingga….
Apa(kah)…, atau….
Entah…., entah….
Jangankan…., … pun…..
Contoh :
a. biarpun demikian/begitu
sekalipun demikian/begitu
sungguhpun demikian/begitu
walapun demikian/begitu
meskipun demikian/begitu
b. kemudian
sesudah itu
setelah itu
selanjutnya
c. tambahan pula, lagi pula, selain itu
d. sebaliknya
e. sesungguhnya, bahwasanya
f. malah(an), bahkan
g. (akan) tetapi, namun
h. kecuali itu
i. dengan demikian
j. oleh karena itu, oleh sebab itu
k. sebelum itu
Contoh :
126
a. adapun b. alkisah
akan hal arkian
mengenai sebermula
dalam pada itu syahdan
3. Interjeksi
Interjeksi atau kata seru adalah kata tugas yang mengungkapkan rasa
hati pembicara.
Contoh:
cih aduhai
cis amboi
bah alhamdulillah
ih insya Allah
idih syukur
ai ayo nah
lo hai ah
astagfirullah halo eh
masyaallah he oh
duilah ya
astaga aduh
wah hem
4. Artikel
4.1 Artikel yang mengacu ke makna tunggal
Contoh :
Artikel yang mengacu ke makna kelompok adalah para. Karena artikel ini
mengisyaratkan keunggulan, makna nomina yang diiringinya tidak dinyatakan
dalam bentuk kata ulang. Jadi, untuk menyatakan kelompok guru sebagai
kesatuan bentuk dipakai adalah para guru dan bukan *para gu-guru.
ada pula artikel yang sifatnya netral. Artikel si dapat mengacu ke makna
Contoh:
netral/general : si
128
1. Jika dipakai dalam kalimat deklaratif, -kah mengubah kalimat tersebut
menjadi kalimat introgatif.
Contoh:
2. Jika dalam kalimat tanya sudah ada kata tanya seperti apa, di mana,
dan bagaimana, maka –kah bersifat mansuka. Pemakian –kah
menjadikan kalilmatnya lebih formal dan sedikit lebih halus.
Contoh :
3. Jika dalam kalimat tidak ada kata tanya tetapi intonasinya adalah
intonasi interogatif, maka –kah akan memperjelas bahwa kalimat itu
adalah kalimat tanya. Kadang-kadang urutan katanya dibalik.
Contoh:
2. Dengan arti yang sama seperti di atas, pun sering pula dipakai bersama
–lah.
Contoh:
130
Partikel –lah banyak dipakai dalam sastra lama, tetapi tidak banyak
dipakai lagi sekarang.
Contoh:
131
SELUK-BELUK KALIMAT EFEKTIF BAHASA INDONESIA
DAN PENULISAN DAFTAR PUSTAKA
132
Dr. Achmad Tolla, M.Pd.
A. Latar Belakang
Kalimat merupakan kesatuan ujaran yang menyatakan setiap
gagasan, pikiran atau konsep serta perasaan yang dimiliki seseorang.
(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997:4341). Setiap kalimat yang baik
harus memenuhi persyaratan kaidah-kaidah yang berlaku. Kaidah
tersebut meliputi: (1) unsur-unsur penting yang harus dimiliki setiap
kalimat, (2) aturan-aturan tentang Ejaan yang Disempurnakan, dan (3)
cara memilih kata dalam kalimat.
Sebuah kalimat menjadi jelas maknanya jika memiliki paling
kurang subjek dan predikat dan ditulis sesuai dengan aturan Ejaan
yang Disempurnakan, serta kata-kata yang dipergunakan haruslah
tepat. Kalimat yang jelas dan benar tidak akan sulit bagi orang lain
untuk memahaminya. Kalimat yang demikian disebut kalimat efektif.
Menurut Yunus (1996:115), kalimat efektif adalah kalimat yang
mempunyai kemampuan menyampaikan pesan pembicara atau penulis
kepada pendengar atau pembaca. Bila hal ini tercapai, diharapkan
pembaca atau pendengar akan tertarik kepada apa yang disampaikan
oleh penulis atau pembicara.
Agar kalimat yang disampaikan, baik lisan maupun tulisan
dapat memberi informasi kepada pendengar atau pembaca, perlu
diperhatikan beberapa hal yang merupakan ciri-ciri kalimat efektif
berikut ini.
Contoh:
a. Partikel yang
Partikel yang ditempatkan di antara subjek dan predikat.
Contoh:
- Partai yang memilih calon presiden (yang) jujur diharapkan
memperoleh kemenangan dalam pemilihan Presiden
Republik Indonesia periode 2004—2009.
Bandindingkan dengan:
- Partai memilih calon presiden jujur diharapkan memperoleh
kemenangan dalam pemilihan Presiden Republik Indonesia
periode
2004—2009.
b. Partikel -lah
Partikel -lah dapat digunakan untuk menghaluskan nada perintah dan
memberikan ketegasan yang sedikit keras. Selain itu, partikel –lah
dapat diikuti oleh partikel yang ditempatkan antara subjek dan predikat.
Contoh:
- Pergilah sekarang, sebelum hujan turun!
- Dari ceritamu, jelaslah kamu yang bersalah.
- Dialah yang membaca buku ini.
c. Partikel -kah
Partikel –kah mengubah kalimat positif menjadi kalimat
interogatif. Jika dalam kalimat interogatif sudah ada kata tanya
136
seperti apa, di mana, dan bagaimana, maka kata itu menjadikan
kalimat lebih formal dan sedikit lebih halus.
Contoh:
- Diakah yang akan datang? (Dia yang akan
datang.)
- Ke manakah anak-anak pergi? (Ke mana anak-
anak pergi.)
d. Partikel –tah
Parikel –tah dipakai dalam kalimat interogatif, tetapi
penanya sebenarnya tidak mengharapkan jawaban. Ia seolah-olah
hanya bertanya pada diri sendiri karena keheranan atau
kesangsiannya.
Contoh:
- Apatah artinya hidup ini tanpa engkau?
- Siapatah gerangan yang mau menolongku?
e. Partikel pun
Partikel pun dalam bentuk tulisan dipisahkan dari kata di
depannya sebagaimana contoh berikut ini.
(1) Pun dipakai untuk mengeraskan arti kata yang diiringinya.
Contoh:
- Mereka pun akhirnya setuju dengan usul kami.
- Dia pun pergi setelah dimarahi pimpinannya.
- Setelah terjadi kesalahpahaman, dia pun pergi
dengan melambaikan tangannya.
137
(2) Dengan arti yang sama seperti di atas, pun sering pula dipakai
bersama dengan -lah untuk menandakan perbuatan atau proses
mulai berlaku atau terjadi.
Contoh:
- Para anggota yang menolak pun mulailah berpikir
lagi.
- Anggota yang tidak memilih calon ini pun haruslah
menerima keputusan akhir.
Perlu diketahui pula bahwa ada beberapa kata yang ditulis
serangkai
dengan partikel –pun. Contoh:
adapun, andaipun, bagaimanapun, betapapun, biarpun,
begitupun,
beginipun, kendatipun, namunpun, sekalipun, sungguhpun,
walaupun
Contoh:
Contoh:
Contoh:
(1) Jika subjek kalimat aktif adalah kata ganti orang, maka
predikat kalimat pasif tidak menggunakan awalan di-;
diganti dengan kata ganti.
Contoh:
141
sama. Pemakaian kata bersinonim tidak mambuat kalimat itu menjadi
lebih jelas, tetapi justru kalimat menjadi tidak efektif.
Contoh:
(hemat)
Contoh:
142
- Para mahasiswa PPs IAIN dapat mengikuti kuliah
semester ganjil setelah mengikuti martikulasi. (tanpa
pengulangan subjek)
3) Hiponimi
Dalam setiap bahasa ada jenis kata yang memiliki makna bawahan kata
atau ungkapan yang lebih tinggi. Di dalam makna kata tersebut
terkandung makna umum kelompok kata yang bersangkutan.
Contoh:
143
- Banyak para petani-petani sayur yang telah berhasil
dengan baik.
- Banyak para mahasiswa-mahasiswa berdemonstrasi di
depan kantor DPRD Makassar.
Bandingkan dengan:
- Banyak -petani sayur yang telah berhasil dengan baik.
- Para petani sayur telah berhasil dengan baik.
- Petani-petani sayur telah berhasil dengan baik.
144
Tulisan yang mempergunakan pola serta bentuk kalimat yang terus-
menerus sama akan membuat suasana menjadi kaku dan monoton sehingga
akan menimbulkan kebosanan pembaca. Oleh sebab itu, untuk
menghindarkan suasana monoton dan rasa bosan, suatu paragraf dalam
tulisan memerlukan bentuk pola dan jenis kalimat yang bervariasi. Variasi-
variasi kalimat ini harus dari keseluruhan tulisan. Tentang variasi kalimat
ini dapat terjadi pada beberapa bentuk.
1) Cara memulai
Ada beberapa cara memulai kalimat untuk mencapai keefektifan kalimat
antara lain dengan variasi pada awal kalimat. Pada umumnya, kalimat
dapat dimulai dengan subject, predikat, frase dan kata modalitas.
(1) Subjek pada awal kalimat
Orang umumnya mengetahui bahwa memulai kalimat dapat
dilakukan dengan cara meletakkan subjek pada awal kalimat. Hal ini
dapat dilihat pada pola dasar kalimat bahasa Indonesia dengan
senantiasa menempatkan subjek pada awal kalimat. Pola ini
merupakan pola yang umum kalimat bahasa Indonesia.
Contoh:
- Mahasiswa memerlukan pelayanan yang baik agar
cepat selesai.
- Dosen PPs IAIN melayani mahasiswa dengan sangat
bail.
145
Predikat adalah kata yang menerangkan perbuatan atau sifat dari
subjek pelaku (Finoza, 2001:84). Sebuah kalimat dapat diawali
dengan predikat. Kalimat seperti ini di sebut kalimat inversi atau
kalimat susun balik.
Contoh:
- Digiring kami melalui jalan kecil dan tiba di pondok
yang terbuat dari bambu.
- Direbus telur itu sebelum dimakan.
147
Tiga puluh tahun yang lalu, kami para psikolog, yakin bahwa
kasus semacam itu cuma pengecualian, karena kami yakin
kepribadian anak sudah terbentuk sejak dini. Setelah tahun-
tahun pertama kemungkinannya kecil untuk berubah. Namun,
kini kami tahu lebih banyak. Sejarah hidup ribuan anak-anak
membuktikan bahwa drama perkembangan manusia bisa tiba-
tiba berbalik ke arah yang positif setiap saat.
3) Jenis kalimat
Variasi kalimat dapat juga berbentuk penggunaan jenis kalimat tertentu.
Jenis kalimat berita misalnya, dianggap lebih netral dan lugas dalam
menyampaikan pesan penulis. Akan tetapi, tidak berarti bahwa kalimat
tanya dan kalimat perintah diabaikan dalam menyampaikan informasi,
jika diperlukan.
Contoh:
Menghadapi anak-anak nakal, tidak heran kalau orang tua dan gurunya
kehilangan harapan. Akan tetapi, apakah betul anak seperti ini pasti
suram masa depannya? Belum tentu! Buktinya, banyak anak yang nakal
di sekolah menengah, tetapi tumbuh menjadi orang yang sukses.
148
Contoh:
Copntoh:
Contoh:
Hati yang sakit adalah hati yang mengelak dari penciptaannya semula,
yakni untuk mengetahui Allah, mencintai-Nya, rindu bertemu dengan-
Nya, kembali kepada-Nya, dan mengutamakan semuanya itu atas segala
syahwat. Seandainya seorang hamba mengetahui segala sesuatu, tetapi
dua tidak mengetahui Tuhannya, maka seakan-akan dia tidak
mengetahui sesuatu. Seandainya dia mendapatkan semua dunia,
kenikmatan dan syahwatnya, tetapi tidak memiliki cinta kepada Allah
dan rindu kepada-Nya, maka seakan-akan dia tidak mendapatkan
kelezatan, kenikmatan dan penyejuk hati sama sekali.
151
c. Karena kondisi lahannya yang berkadar kapur tinggi sehingga kurang
baik untuk pertanian.
d. Terutama terkonsentrasi pada muara Sungai Jeneberang.
Seharusnya:
c. Daerah itu tidak dapat dikembangkan menjadi daerah pertanian karena
kondisi lahannya berkadar kapur tinggi.
d. Beberapa hari terakhir pengerukan terutama terkonsentrasi pada
muara Sungai Jeneberang.
5. Pernyataan yang berupa frase preposisi:
c. Bagi seorang wartawan, sebagai pedoman penulisan berita.
d. Mengenai jumlah calon anggota DPD yang terindikasi sebagai anggota
partai.
Seharusnya:
c. Kode etik sangat berguna bagi seorang wartawan sebagai pedoman
penulisan
berita.
d. Rapat itu membicarakan mengenai jumlah calon anggota DPD yang
terindikasi sebagai anggota partai.
6. Pernyataan yang dimulai dengan kata hubung setara:
c. Dan unit-unit kecil tersebut lebih muda untuk dipetikemaskan.
d. Atau pada waktu bertutur dengan ragam bahasa formal, tiba-tiba
diselipkannya ragam bahasa informal.
Seharusnya:
c. Unit-unit kecil tersebut lebih mudah dipetikemaskan.
d. (Pada) waktu bertutur dengan ragam bahasa formal, tiba-tiba
diselipkannya ragam bahasa informal.
152
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan. 2002. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta:
Balai Pustaka.
Chaer, Abdul. 1998. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Pt.
Rineka Cipta.
153
KETERAMPILAN BERTANYA
TRANSKRIP UNTUK PELAJARAN SPG KELAS I
156
Sekarang mari kita perhatikan hal lain lagi, yaitu pengaruh gaya atau
gerak benda (guru meletakkan satu balok kayu di atas meja).
Bergerakkah balok ini? … Nani.
S : Tidak.
G : (Menarik balok itu dengan karet gelang sampai bergerak).
Bergerakkah balok ini sekarang? … Warno.
S : Bergerak.
G : Mengapa balok itu bergerak? … Warno.
S : Sebab bapak menariknya.
G : Benar Warno. Siapa dapat mengatakan jawaban Warno ini dengan cara
lain dan gunakan kata gaya? … Eli!
Lampiran 3
1.
Pengungkapan pertanyaan secara
jelas dan singkat
2.
3. Pemberian acuan
4. Pemusatan
5. Pemindahan giliran
Penyebaran:
157
a. pertanyaan ke seluruh kelas
b. pertanyaan ke siswa tertentu
6.
c. menyebarkan respon siswa
7.
Pemberian waktu berpikir
Pemberian tuntunan:
a. pengungkapan pertanyaan dengan
cara lain.
b. mengajukan pertanyaan lain yang
lebih sederhana.
c. mengulangi penjelasan-
penjelasan sebelumnya.
158
1. Apakah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan guru? - terlalu sukar (
)
- terlalu mudah (
)
- cukup (
)
2. Apakah kamu merasa memperoleh waktu berpikir - selalu (
)
yang cukup sebelum kamu diminta menjawab? - sebagian besar (
)
- kadang-kadang (
)
- tidak pernah (
)
3. Apakah kamu merasa bahwa guru tertarik pada - tidak (
)
jawaban yang Anda berikan? - beberapa saja (
)
- ya (
)
4. Selama pelajaran apakah kamu pernah memikirkan - ya (
)
ide-ide yang semula belum pernah kamu pikirkan? - tidak (
)
5. Benarkah beberapa siswa diberi kesempatan - tidak (
)
berbicara terlalu banyak? - beberapa (
)
- ya (
)
6. Kalau guru bertanya apakah kamu mengerti apa - tidak pernah (
)
yang dia maksud? - kadang-kadang (
)
- sebagian besar (
)
- selalu (
)
159
7. Jika seorang menjawab salah apakah guru. - menjawabnya (
)
- melontarkan (
)
pada siswa
lainnya
- mencoba mem- (
)
bantu siswa
itu untuk men-
jawab dengan
benar
- nampak tidak (
)
senang
8. Apakah kamu tahu persis tentang tujuan pelajaran itu? - ya (
)
- tidak (
)
Lampiran 5
2. Urutan Pertanyaan
3. Pertanyaan Pelacak
a. Klarifikasi
b. Pemberian alasan
c. Kesepakatan pandangan
d. Ketepatan
e. Relevan
f. Contoh
g. Jawaban kompleks
161
PENULISAN KARYA ILMIAH
Dr. Achmad Tolla, M.Pd.
162
1. Pendahuluan
2. Makalah ilmiah
Dilihat dari penamaan makalah itu, sasarannya adalah kalangan ilmuwan
dari ilmu terkait. Ini tidaklah berarti bahwa ilmuwan dari bidang ilmu
berbeda atau kalangan awam sekali tertutup kemungkinan untuk membaca
makalah tersebut. Terbuka kemungkinan bagi mereka untuk berkembang
bila ada keinginan meningkatkan kemampuan pemahaman bahasa teknis
yang digunakan.
2
jumlah variabel yang diuji. Makin banyak variabel yang diamati atau diuji,
makin banyak halaman yang diperlukan untuk mendeskripsikan hasil
penelitian. Ringkasan dari laporan penelitian inilah yang menjadi makalah
ilmiah jenis ini dengan sistematika sebagai berikut.
(1) Abstrak
Pada bagian ini dikemukakan ikhtis penelitian yang secara jelas dan
lengkap menguraikan seluruh isi laporan penelitian. Abstrak ditulis
dalam bahasa Indonesia dan/atau bahasa Inggris. Panjang abstrak
tidak lebih dari du halaman dengan jarak satu spasi.
(2) Latar belakang/ rumusan masalah
Pada bagian ini diuraikan latar belakang historis masalah yang diteliti
untuk mengetahui apakah masalah baru ataukah sudah pernah diteliti.
Jika telah diteliti, kemukakan siapa yang meneliti, tahun berapa, dan apa
hasilnya. Kemudian, dirumuskan masalah pokok penelitian secara spesifik
dan tajam dalam kalimat tanya. Selanjutnya, peneliti merumuskan tujuan
penelitian. Tujuan ini harus spesifik dan berkaitan dengan masalah pokok
penelitian, seperti menguji hipotesis, dsb.
(3) Kajian Pustaka
Pada bagian ini diuraikan kajian pustaka secara lebih ringkas,
padat, dan jelas yang menjadi rujukan peneliti.
(4) Metode Penelitian
Komponen pokok yang dikemukakan pada bagian ini adalah prosedur
penelitian yang ditempuh yang meliputi: desin penelitian (deskriptif,
3
eksperimental, pengembangan, pualitatif), prosedur pengmpulan
data, dan analisis data.
(5) Temuan-temuan
Hal penting yang dikemukakan pada bagian ini adalah (1) jawaban
atas pertanyaan dalam rumusan masalah, dan (2) hasil pengujian
hipotesis.
(6) Diskusi
Bagian ini penting karena membandingkan hasil penelitian yang
sekarang dengan hasil penelitian-penelitian terdahulu ditempat lain.
Bagian ini menguraikan akapah temuan-temuan yang sekarang
mendukung atau menguatkan temuan-temuan terdahulu atau malah
kebalikan yang terjadi. Agar lebih meyakinkan pembaca, penulis
diharapkan merujuk pada referensi yang relevan, yaitu laporan hasil
penelitian, kertas kerja yang disajikan dalam simposium/seminar
ilmiah, dan jurnal-jurnal ilmiah.
Berdasarkan temuan itu, penulisan sebaiknya mengajukan saran
untuk menjadi peringatan bagi peneliti berikutnya agar dapat
bekerja lebih cermat.
(7) Daftar Pustaka
Referensi yang dicantumkan hanya yang disebutkan dalam uraian
mulai dari perumusan masalah sampai dengan bagian diskusi. Baik
4
dalam uraian maupun dalam daftar referensi, gelar dan jenjang
kepangkatan akademik tidak dicantumkan.
(1) Pendahuluan
Bagian ini didahului penyajian latar-belakang historis isu yang
dimasalahkan. Isu yang dimaksud mungin sesuatu yang baru, tetapi
mungkin pula isu yang sudah dibahas oleh orang lain. Akan tetapi, yang
terpenting adalah alasan yang rasional dikumukakan penulis sehingga
tertarik membahas isu itu.
5
(2) Pembatasan isu-isu yang dibahas.
Bila isu yang akan dibahas merupakan masalah praktis yang belum
terselesaikan, penulis hendaklah mengemukakan alasan tentang keperluan
pembahasan masalah tersebut. Penulis perlu merumuskan secara tajam
situasi yang mendorongnya sehingga tertarik membahas masalah isu
itu, .Dari uraian masalah tersebut, akan tampak unsur mana yang telah
terpecahkan dan unsur mana yang belum terpecahkan. Apakah pemecahan
yang telah ada itu memuaskan atau belum memuaskan?
(3) Pembahasan
Dalam bagian ini penulis hendaklah melakukan analisis kritis atas apa
yang telah dilakukan oleh penulis-penulis terdahulu mengenai isu yang
dimasalahkan. Analisis kritis ini difokuskan pada telaah teori, proposisi,
metodologi, dan hipotesis-hipotesis yang telah disusun oleh para ahli.
6
dengan mengambil contoh dari orang-orang/negara-negara lain
menyelesaikan masalah praktis serupa yang pernah dihadapi.
Bila isu itu mengenai kesenjangan teori dan praktek, penulis hendaklah
mengemukakan berapa besar kerugian yang ditimbulkan oleh
kesenjangan tersebut. Penulis hendaklah mengemukakan kritik-kritik
atas kebijakan dan keputusan mengadopsi suatu teori untuk
diimplementasikan. Kritik-kritik itu difokuskan pada dari mana
teori-teori tersebut diambil, terlampau umum oleh karena itu tidak
jelas, disusun atas dasar sosio-kultural berbeda, pandangan filosofis
berbeda, tradisi ilmiah berbeda, dst. Kritik-kritik yang ditujukan pada
orang-orang yang mengimplementasikan teori-teori tertentu; seperti:
kurang disiapkan, kurang memahami dan menguasai teori-teori tersebut
dst. Atau karena tradisi budaya yang
bekerja atas perintah atau sesuai dengan yang telah diprogramkan, bila
situasi dan kondisi berubah maka terbentur dan mengalami kegagalan.
Bila isu itu mengenai konflik antara teori-teori, yang harus
dikemukakan oleh penulis ialah posisi tiap teori yang berlawanan itu.
Siapa dan berapa besar pendukung tiap teori.
Penulis harus melakukan analisis kritis mengenai kekuatan dan
kelemahan tiap teori serta mengemukakan teorinya sendiri mengenai
masalah pada mana dua teori yang berlawanan itu dibahas.
Bila isu itu mengenai konflik teoretis berkenaan dengan perbedaan
metodologis, penulis harus membahas karakteristik tiap metodologi,
7
apa kesamaan (jika ada) dan apa perbedaan prinsipil. Selanjutnya
dibahas pula apa kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan tiap
metodologi yang dimasalahkan.
Bila isu itu ialah konflik teoretis berkenaan dengan perebutan bidang
kajian ilmiah, penulis harus mengemukakan mengapa terjadi perebutan
bidang kajian ilmiah antara dua atau lebih disiplin ilmu. Apakah
tuntutan dan pengakuan (claim) tiap disiplin ilmu itu beralasan. Apa
kekuatan dan kelemahan yang ditemukan pada tiap tuntutan dan
pengakuan dari tiap disiplin ilmu yang dibicarakan.
Bila isu itu ialah konflik teoretis berkenaan dengan sesuatu yang
fundamental (menyentuh pandangan, landasan filosofis), penulis
haruslah membahas karakteristik dan hakekat tiap teori. Untuk ini
penulis harus melakukan analisis filosofis tentang landasan mendasar
dari tiap teori. Apa kekuatan dan kelemahan yang ditemukan pada tiap
landasan fundamental itu. Bila ada dari teori-teori telah atau akan
diterapkan di Indonesia, teori mana yang dianjurkan dan mengapa?
Atau penulis menolak kedua teori tersebut, mengapa?
8
konseptual yang mengandung asumsi-asumsi dan dugaan-dugaan yang
diuji dalam praktek.
Berkenaan dengan “kesenjangan teori dan praktek”, berdasarkan
analisis kritis penulis mungkin merekomendasikan bahwa teori tertentu
tidak dapat diadopsi begitu saja, melainkan perlu dilakukan modifikasi
dan diadaptasikan dengan situasi dan kondisi sosio-kultural obyektif di
lapangan. Kemungkinan lain ialah merekomendasikan perubahan sikap
pelaksana, cara mempersepsi sesuatu yang baru, cara berpikir dan cara
bertindak atau suatu perubahan etos kerja. Ini berarti
merekomendasikan perubahan tradisi dan budaya orang-orang yang
akan mengimplementasikan teori-teori tertentu itu. Uraian ini akan lebih
baik disertai dengan contoh-contoh yang telah pernah dilakukan oleh
orang-orang lain dari negara-negara lain dalam hal mengatasi
kesenjangan antara teori dan praktek.
Berkenaan dengan konflik antara teori-teori, penulis menetapkan
posisinya antara dua atau lebih teori yang berlawanan, atau ia menyusun
teori sendiri sebagai tandingan teori-teori yang ada dan telah
“established”. Selanjutnya penulis merekomendasikan tentang
bagaimana menguji teori baru itu secara empiris, atau ia sendiri
melakukan uji empiris berulangkali dan melaporkan hasil-hasil
pengujian.
9
Dari hasil analisis kritis menyangkut isu perbedaan metodologis,
penulis mungkin merekomendasikan mengeluarkan kelemahan-kelemahan
yang ditemukan pada dua metodologi tersebut dan merekomendasikan
integrasi kekuatan-kekuatan mereka. Dengan mengintegrasikan kekuatan-
kekuatan metodologis tersebut, mungkin melalui beberapa modifikasi,
ditemukanlah metodologi baru secara konseptual yang selanjutnya harus
diuji dalam praktek.
Berkenaan dengan perebutan bidang kajian ilmiah, berdasarkan analisis
kritis penulis hendaklah memaparkan saran konseptual untuk
menyelesaikan pertikaian bidang kajian. Misal mengenai bintang-laut
(sea-urchin) yang dapat berkembang biak melalui potongan-potongan
tubuh. Oleh karena itu bintang-laut itu apakah termasuk kajian
botani atau zoologi. Contoh lain yaitu “psikologi pendidikan”
apakah merupakan bagian dari psikologi atau bagian dari pedagogik.
Ketika penulis menetapkan termasuk bidang kajian disiplin ilmu apa, ia
haruslah memberikan argumen-argumen kuat, mengapa ia menyatakan
demikian.
Pemecahan isu konflik teoretis yang mendasar yaitu yang menyangkut
landasan filosofis fundamental, berdasarkan analisis kritis tentang
kekuatan dan kelemahan tiap teori serta analisis kritis tentang landasan
filosofis tiap teori, penulis hendaklah menguraikan kemungkinan-
kemungkinan kegagalan dan bahaya bila teori-teori tersebut diadopsi
begitu saja dan diterapkan di Indonesia. Misal: “Teori ekonomi
10
kapitalis” lawan “teori ekonomi sosialis/marxis”, karena pandangan
hidup mayoritas rakyat Indonesia berbeda dari pandangan hidup
bangsa-bangsa pada mana dua terori tersebut disusun.
(v) Kesimpulan
Pada bagian ini penulis merangkum temuan-temuan dari analisis
rasional dan kritis dan mengemukakan apa yang perlu dilakukan lebih
lanjut.
Catatan :
Makalah (artikel) yang didasarkan pada “books-survey atau library
research” haruslah menampakkan kemampuan analisis kritis atas teori-teori,
pendapat-pendapat dari seseorang, bukan, sekali lagi bukan merupakan
hasil kompilasi.
12
(i) Bagian pendahuluan
Pada bagian ini dikemukakan isu yang dimasalahkan. Perlu
dinyatakan apakah isu itu baru, atau isu lama dan sudah sering
dibincangkan. Apakah terdapat pendapat-pendapat yang berbeda dan
bahkan berlawanan. Apa usaha dari penulis yang sekarang untuk mencari
pemecahan dua atau lebih pandangan yang berbeda dan berlawanan itu.
Untuk ini penulis hendaklah memilah-milah isu tersebut menjadi unsur-
unsur yang saling berkaitan.
(ii) Pembahasan
Pada bagian ini penulis melakukan analisis kritis tiap unsur. Analisis
kritis ini tentu memerlukan pengajian upaya-upaya dan hasil - hasil orang
terdahulu: bagaimana mereka membincangkan isu/masalah tersebut dan
apa pendapat serta kesimpulan mereka. Dalam pembahasan tiap unsur itu,
penulis selain mengemukakan pendapat yang berbeda-beda juga
menyatakan posisinya. Untuk menyatakan posisi itu, penulis
memgemukakan kritik-kritik pada tiap pendapat atau pandangan atau teori
yang dimasalahkan.
(iii) Kesimpulan
Pada bagian ini penulis, atas dasar analisis kritis pada bagian
pembahasan, mengemukakan apa selanjutnya yang perlu dan harus
13
dilakukan. Apa manfaat dari teori-teori yang berbeda dan berlawanan itu
bagi pengembangan pengetahuan ilmiah.
(b) Metodologi
Untuk makalah berdasarkan penelitian empiris, persoalan metodologi
ini penting dijelaskan. Metodologi ini tidak hanya mengenai teknik analisis
data, tetapi mulai dari desain penelitian, populasi dan teknik penetapan
sampel serta unit-unit analisis. Selanjutnya teknik pengumpulan data,
instrumen yang digunakan, teknik pengukuran, kesahihan dan keandalan
instrumen serta teknik analisis statistik yang digunakan.
Untuk makalah berdasarkan hasil kajian pustaka dan refleksi
filosofis, ditekankan pada kemampuan analisis kritis dan rasional. Untuk ini
pemahaman dan penguasaan bahasa teknis dan formal menjadi amat
penting. Selain itu potensi berpikir filosofi, yaitu berpikir yang
mendasar dan sistematis perlu dikembangkan.
(c) Bahasa
Perlu diketahui, meskipun bahasa yang digunakan dalam karya
ilmiah itu berasal dari bahasa resmi sehari-hari, tidaklah berarti
bahasa untuk pengomunikasian pengetahuan itu sama dengan bahasa
resmi sehari-hari. Bahasa resmi sehari-hari lebih menonjolkan bentuk
fonografik, sedangkan bahasa pengetahuan menggunakan bentuk
ideografik, bahasa yang menguakkan substansi dari apa yang
14
dibicarakan dan mempunyai arti yang persis, pasti dan konsisten.
Sehubungan ini penggunaan lambang-lambang menjadi penting dan
suatu keharusan, khususnya untuk menyatakan hubungan-
hubungan dan persamaan-persamaan atau mengemukakan teorem-
teorem. Selanjutnya, tiap terma yang digunakan dalam kalimat
atau perumusan formula, tidak hanya mempunyai arti tetapi
mempunyai fungsi agar keseluruhan kalimat atau formula
mempunyai nilai kebenaran fungsional.
Carnap mengelompokkan bahasa pengetahuan dalam bahasa
kualitatif dan bahasa kuantitatif. Bahasa kualitatif ditandai oleh penggunaan
predikat yang diungkapkan dengan kata-kata, bahasa kuantitatif
menyatakan hasil pengukuran dan penghitungan, diungkapkan dengan
simbol-simbol fungsi dan memiliki nilai-nilai bilangan. Deskripsi obyek
pengetahuan dengan bahasa kualitatif melalui penggunaan dua konsepsi
pengetahuan, yaitu: konsepsi klasifikatif dan konsepsi komparatif.
Deskripsi obyek pengetahuan dengan bahasa kuantitatif, menggunakan
konsepsi kuantitatif, menyajikan hasil-hasil pengukuran.
Carnap juga menegaskan keperluan mengelompokkan bahasa
pengetahuan dalam: (a) terma-terma logis termasuk terma-terma matematik
murni; (b) terma-terma observasional; dan (c) terma-terma teoretis yang
juga disebut konstruk. Mengenai kalimat-kalimat juga terdapat
pengelompokkan yang sama, yaitu: (a) kalimat-kalimat logis yang tidak
mengandung terma-terma observasional atau deskriptif; (b) kalimat-kalimat
15
observasional yang tidak mengandung terma-terma teoretis; dan (c)
kalimat-kalimat teoretis yang dapat merupakan: (i) mengandung baik
terma-terma observasional maupun teoretis; dan (ii) hanya mengandung
terma-terma teoretis.
16
yang digunakan -meskipun melanggar kaidah imbuhan- ialah “mengkaji”,
“pengkaji”, “pengkajian” dan membuat singkatan seperti “semiloka”
pengganti “seminar dan lokakarya”, “Diknas” pengganti “Pendidikan
Nasional dsb. membuktikan betapa besar pengaruh psikologisme. Bahasa
pengetahuan haruslah mencerminkan rasionalitas, bukan emosionalitas
atau
menonjolkan kandungan emotif dan juga bukan karena bahasa itu telah
berterima dalam masyarakat atau digunakan oleh orang banyak. Bahasa
Pengetahuan itu menyajikan ide, konsepsi yang terkandung dalam
informasi dari obyek pengetahuan yang persis, pasti dan konsisten. Bila
bahasa yang digunakan mengandung ambiguitas, terjadilah distorsi dalam
penafsiran dan pemahaman informasi pengetahuan. Keadaan yang demikian
menghambat pengembangan pengetahuan ilmiah.
(d) Referensi
Referensi yang digunakan dalam karya ilmiah ada beberapa macam,
yaitu: naskah asli, naskah yang telah dipublikasikan dalam bentuk artikel,
buku dst, pustaka hasil terjemahan, pustaka hasil saduran, bunga rampai,
kumpulan sinopsis, kumpulan resensi buku, kapita selecta isu-isu dari
ilmuan, filosof, budayawan dsb. Pustaka hasil terjemahan perlu mendapat
perhatian, karena sering terjadi distorsi, apalagi bila terjemahan itu tidak
langsung dari bahasa yang digunakan dalam pustaka asli. Misal: Pustaka
17
asli ditulis dalam bahasa Jerman, diterjemahkan kedalam bahasa Inggeris
dan dari bahasa Inggeris diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia.
Sebagaimana diketahui, banyak terma bahasa Jerman yang
memiliki makna padat dan sukar dicarikan ekuivalensi terma dalam
bahasa lain. Apa yang sering dilakukan oleh penerjemah ialah
mencantumkan terma asli tersebut dan menjelaskan apa yang
dimaksud. Selain itu mutu pustaka terjemahan itu ditentukan pula
oleh kredibilitas penerjemah, selain menguasai bahasa yang
diterjemahkan juga menguasai bidang-bidang ilmu terkait serta
memahami secara mendalam pemikiran penulis pustaka. Hasil
terjemahan yang dapat diandalkan biasanya sebelum diterbitkan
ditelaah dan dikoreksi oleh penulis pustaka asli itu sendiri.
Sering terjadi distorsi dalam penyajian konsepsi pengetahuan, karena
penulis makalah (pustaka) kurang kritis menggunakan pustaka.
Bila pustaka yang ditemukan ialah hasil terjemahan, saduran dsb. penulis
hendaklah menguji ketepatan dan kebenaran konsepsi mengenai sesuatu
dalam pustaka asli. Bila tidak demikian, terjadilah penyajian konsepsi
pengetahuan yang “salah-kaprah” (misleading). Bila hal yang demikian
sering dan terus berlangsung, bukan kemajuan dan perkembangan
pengetahuan ilmiah yang terjadi, melainkan degenerasi pengetahuan ilmiah,
bukan pencerdasan yang dilakukan melainkan pembodohan.
Penggunaan referensi hendaklah secara kritis, bukan hanya mengutip
untuk menunjukkan bahwa penulis telah membaca pustaka tertentu tanpa
18
analisis ketepatan apa yang dikutip atau dirujuk dengan masalah yang
dibicarakan. Bila yang dirujuk itu ialah ide atau konsepsi tertentu
bersumber dari pustaka dalam bahasa Indonesia, perlu diselidiki apakah ide
atau konsepsi tersebut orisinal dari penulis yang bersangkutan, atau ide dan
kosepsi atau teori yang dirujuk itu telah pernah dikemukakan oleh orang
lain. Bila teori tersebut telah pernah dikemukakan oleh orang lain, haruslah
ditelaah pustaka asli dan nyatakan apakah uraian yang dibuat dalam pustaka
bahasa Indonesia itu menyimpang atau tidak dari uraian dalam pustaka asli.
Bila terjadi demikian, penulis makalah haruslah berani mengemukakan
kritik-kritik dan menyatakan kekeliruan yang telah dibuat oleh penulis buku
dalam bahasa Indonesia itu. Jadi referensi bukan hanya untuk dikutip
apalagi dikompilasi, tetapi untuk dianalisis guna menemukan kekeliruan-
kekeliruan yang telah dibuat, dibandingkan dengan teori dari pakar-pakar
lain, selanjutnya penulis menetapkan posisi ia berada. Dengan berbuat
demikian, penulis
(3) Orisinalitas
Meskipun ada yang mengatakan bahwa orisinalitas murni dalam
kegiatan ilmiah sukar ditemukan. Pendapat ini didukung oleh pandangan
19
bahwa kemajuan dan perkembangan pengetahuan ilmiah itu merupakan
kelanjutan dari pengetahuan yang sebelumnya telah ada. Apa yang
dilakukan dalam pengembangan pengetahuan ilmiah itu dalam kenyataan
merupakan modifikasi dari apa yang telah ada, atau suatu teori baru
mengandung pula sejumlah unsur teori lama. Perkembangan pengetahuan
berlangsung evolusioner. Akan tetapi ada pandangan lain, yaitu teori baru
melampaui kemampuan teori lama dalam banyak hal seperti prediksi fakta-
fakta baru, mengubah pandangan lama secara keseluruhan, atau teori baru
itu menggantikan teori yang telah “established”. Contoh-contoh
perkembangan pengetahuan illmiah yang demikian antara lain ialah: teori
Copernicus menggantikan teori dan keyakinan Ptolomeus, penemuan
geometri non-Eucllidus dari Bolyai, Lobachevski dan Riemann kontradiktif
dengan geometri Euclidus, teori relativitas Einstein menggantikan teori
Newton.
Orisinalitas baik sebagai hasil analisis rasional maupun hasil
eksperimen dibuktikan oleh temuan-temuan baru yang menghasilkan teori-
teori baru. Teori-teori baru ini harus mampu menghadapi ujian
eksperimental yang “keras:, untuk membuktikan apakah teori-teori tersebut
dapat menggantikan teori-teori yang telah ada. Berkenaan dengan analisis
rasional dan melakukan eksperimen, kejujuran ilmiah ilmuan menjadi
taruhan. Kejujuran ilmiah bertalian dengan kritik-kritik yang ditujukan pada
sejumlah teori, apakah tiap teori mendapat perlakuan adil, apakah tidak
terjadi manipulasi data atau rekayasa data penelitian, apakah hasil
20
eksperimen yang dilaporkan memang benar-benar dilakukan. Kemampuan
menemukan sesuatu yang baru: pendapat, teori, hukum ataupun tesis
merupakan sumbangan bagi pengembangan pengetahuan ilmiah. Penemuan
sesuatu yang baru itu tidak hanya terbatas pada penelitian empiris melalui
penelitian lapangan dan/atau melakukan eksperimen, tetapi juga terbuka
kemungkinan melalui kajian pustaka. Hasil-hasil penelitian empiris dan
analisis rasional pustaka, bukanlah hanya mengulangi apa yang telah ada
dan telah dipublikasikan, atau mengemukakan sesuatu yang telah
ada dan telah dipublikasikan, atau mengemukakan sesuatu yang telah
diketahui, atau menyajikan hasil analisis statistik sebagai latihan akademik,
tetapi hendaklah menghasilkan pendapat atau teori baru. Untuk mencapai
apa yang diinginkan itu jelas tidak cukup hanya satu kali melakukan
penelitian atau hanya melakukan analisis pustaka yang terbatas.
Pengembangan pengetahuan ilmiah merupakan upaya sinambung, menuntut
dedikasi dan kesungguhan.
22
e. Mengambil ide atau konsepsi dari ilmuan lain guna menguatkan
pendapat atau teori yang dikemukakan.
Mengenai kutipan ini, khususnya kutipan tidak langsung dan
pengambilan ide-ide, perlu diteliti pustaka asli. Kita harus diyakinkan
bahwa tidak terjadi distorsi dalam terjemahan itu. Bila ide dan konsepsi
mengenai sesuatu yang diambil, kita perlu diyakinkan apakah ide dan
konsepsi tersebut murni berasal dari penulis pustaka pada mana ide dan
konsepsi itu diambil, atau ide dan konsepsi yang sama itu telah pernah
dikemukakan oleh ilmuan lain. Untuk ini perlu ditelusuri histori ide dan
konsepsi dalam perkembangan pengetahuan ilmiah, menelaah pustaka asli
yang ditulis oleh ilmuan ilmiah bersangkutan. Dengan cara ini akan
diketahui apakah telah terjadi pengembangan atau malah deviasi dan
distorsi yang terjadi. Hal yang terakhir ini mungkin terjadi, karena penulis
pustaka pada mana ide dan konsepsi tentang sesuatu itu kita ambil, hanya
pernah mendengar ide dan konsepsi bersangkutan tetapi tidak melakukan
kajian lebih lanjut secara sungguh-sungguh.
Tradisi kegiatan ilmiah berkaitan dengan kutipan ini ialah bahwa kita
harus menghormati “hak kekayaan intelektual” dengan meminta izin tertulis
dari penulis bersangkutan dan/atau pemegang “copy-right”. Meskipun
demikian, ada pula pemegang “copy-right” itu membolehkan kutipan
singkat tanpa izin tertulis dengan ketentuan kutipan tersebut untuk
dianalisis dan dikritik, sebagai bagian dari kegiatan pengembangan
23
pengetahuan ilmiah. Dalam hal inilah integritas kesarjanaan ilmuan menjadi
taruhan.
Bila kutipan dalam kenyataan tidak dianalisis dan dikritik dan
dicantumkan dalam karya ilmiah, kutipan itu tanpa izin tertulis dari
pemegang “copy-right”, kutipan yang demikian dinyatakan pelanggaran
atas “hak kekayaan intelektual” atau dikatakan suatu bentuk “pembajakan”.
Bila pengambilan ide dan kosepsi tentang sesuatu tanpa menunjukkan
referensi pustaka yang dibaca, hal yang demikian dapat digolongkan dalam
perbuatan plagiat.
25
6. Kelompok diskusi
Perguruan Tinggi, sejak dulu dinyatakan sebagai pusat
pengembangan pengetahuan ilmiah. Sehubungan dengan itu di Perguruan
Tinggi ada bermacam-macam lembaga penelitian dan kelompok diskusi
rasional. Melakukan penelitian-penelitian dan diskusi-diskusi rasional
menjadi fungsi utama ilmuan, sedangkan mengajar merupakan fungsi
kedua. Bila hal ini tidak mungkin dilakukan karena kondisi-kondisi yang
diperlukan belum tersedia, keadaan yang demikian tidaklah mengabaikan
keperluan melakukan penelitian dan diskusi rasional serta menerbitkan
karya ilmiah. Penelitian itu tidak hanya penelitian lapangan dan melakukan
eksperimen, tetapi termasuk pula kajian pustaka.
Kelompok diksusi tiap disiplin ilmu perlu diadakan. Kelompok ini
tidak hanya melakukan diskusi rasional mengenai hasil-hasil penelitian dan
naskah–naskah yang akan diterbitkan, tetapi mungkin pula mendiskusikan
usulan-usulan penelitian. Melalui diskusi-diskusi rasional yang dilakukan
secara periodik di Perguruan Tinggi, iklim dan kesadaran akan keperluan
mendapatkan dan mengembangkan pengetahuan ilmiah akan dihayati. Perlu
diketahui tugas utama dosen-dosen dalam melaksanakan fungsi
kependidikan mereka bukan hanya menyajikan pengetahuan yang telah ada,
tetapi yang lebih penting ialah menumbuhkan dan mengembangkan
kemampuan berpikir kritis dan rasional, mahasiswa
menanyakan/memasalahkan teori-teori yang mereka dapat dari dosen-dosen
dan dari pustaka-pustaka. Situasi belajar yang demikian, kecuali dosen-
26
dosen juga kritis ketika menelaah pustaka-pustaka, baik untuk keperluan
perkuliahan, melakukan penelitian maupun penulisan karya ilmiah
Melalui kelompok diskusi minat dan kemampuan dosen-dosen
menulis karya-karya ilmiah dikembangkan dan ditingkatkan. Apalagi syarat
yang harus dipenuhi untuk pengusulan dan promosi jenjang kepangkatan
ialah karya-karya ilmiah yang dipublikasikan dalam jurnal-jurnal ilmiah.,
artikel-artikel ilmiah itu haruslah relevan dengan matakuliah yang diajarkan
dan/atau disiplin ilmu yang merupakan bidang kepakaran. Dengan publikasi
karya ilmiah yang berkaitan dengan matakuliah dan disiplin ilmu, yaitu
karya ilmiah yang memuat temuan-temuan baru, baik berupa fakta-fakta
baru maupun interpretasi dan teori-teori baru berarti dosen-dosen berperan
aktif dalam pengembangan pengetahuan ilmiah.
27
tersebut tidaklah berdiri sendiri, karena inspirasi akan
membangkitkan keingin-tahuan dan kemudian keingin-tahuan akan
mengarahkan pada penemuan masalah yang perlu dipecahkan dengan
melakukan penelitian. Hasil-hasil penelitian baik lapangan,
eksperimen maupun kajian pustaka dituliskan dan dipublikasikan
agar kalangan ilmuan mengetahui apa yang telah dilakukan dan
ditemukan dalam kegiatan pengembangan pengetahuan ilmiah.
Sehubungan dengan itu ada beberapa hal yang perlu dilakukan sebelum
memulai menulis karya ilmiah.
28
d. Menetapkan pendekatan: (i) apakah akan melakukan survai
perpustakaan, atau (ii) melakukan penelitian empiris. Bila penelitian
empiris yang dipilih, perlu ditetapkan apakah melakukan penelitian
lapangan atau melakukan eksperimen.
e. Bila memilih survai pustaka, pustaka yang disurvai tidak hanya
publikasi publikasi mutakhir, tetapi juga yang lampau agar diketahui
bagaimana perkembangan dan posisi teori yang dimasalahkan. Dalam
hal ini penulis/peneliti harus melakukan analisis kritis dan rasional.
f. Penelitian dalam bentuk survai-pustaka perlu menyusun proposal
penelitian untuk diajukan pada pihak penyandang dana.
8. Penutup
Makalah ini ditulis dengan maksud untuk didiskusikan. Ada dua hal
yang mendorong penulis menulis makalah ini yaitu: (i) dalam tahun delapan
puluhan penulis membaca buku karangan Karl R. Popper, Conjectures and
Refutations dan beberapa buku beliau, Thomas S. Kuhn, The Structure of
30
Scientific Revolution, L. Laudan, The Problems of Progress, R. Carnap,
An Introduction to the Philosophy of Science, Polanyi, Personal
Knowledge, dan I Lakatos, The Methodology of Scientific Research
Programmes, dan Mathematics, Science and Epistemology; dan (ii)
membaca makalah-makalah yang akan dipublikasikan dalam Jurnal
Ekonomi STEI. Berdasarkan penafsiran penulis dari pustaka yang pernah
dibaca itu khususnya mengenai “pengetahuan ilmiah”, penulis ingin
mendiskusikan “Penulisan Karya Ilmiah”.
Penulis akui, makalah ini belum dapat disebut ilmiah, karena hanya
merupakan pengungkapan kembali bahan-bahan yang dibaca duapuluh
tahun yang lalu. Catatan-catatan bacaan dan banyak buku yang pernah
penulis miliki telah musnah dimakan rayap. Tetapi karena keinginan kuat
untuk menumbuhkan tradisi diskusi rasional, sikap kritis dan obyektif
dalam lingkungan masyarakat belajar di Perguruan Tinggi, penulis
memberanikan diri menyajikan sesuatu yang jelas tidak sempurna. Banyak
kelemahan dan kekeliruan. Kelemahan dan kekeliruan itu karena tulisan ini
merupakan hasil pemikiran yang didasarkan dan dipengaruhi oleh bacaan-
bacaan masa lalu. Oleh karena itu penulis menyarankan agar teman-teman
sejawat menelaah buku-buku yang dicantumkan dalam daftar bacaan.
Daftar Bacaan
31
Carnap, Rudolf, (1966), An Introduction to the Philosophy of Science,
New York: Basic Books
32
Laudan, L., (1977), The Problems of Progress: The Growth of Scientific
Knowledge, Berkeley: University of California Press.
KRISIS INTELEKTUAL
Salah siapa?
Dr. Achmad Tolla, M. Pd.
Tulisan ini bukan tulisan ilmiah. Tulisan ini lebih cocok digolongkan
sebagai refleksi sosiologis yang tampak di depan mata kita setiap saat.
Kita prihatin, tetapi bagaimana menghilangkan keprihatinan itu, kita tidak
tahu. Semua orang, termasuk kita, pandai berbicara tentang kebenaran,
34
keadilan, kejujuran, tetapi hanya sedikit yang bertindak benar pada
dirinya dan pada orang lain; adil pada dirinya dan pada orang lain; serta
jujur pada dirinya dan pada orang lain.
Karena pembicaan kita akan lebih banyak menggosip orang, baiklah lebih
dahulu kita memohon ampun kepada Allah swt. semoga gosip kita
dimaafkan oleh-Nya.
1. Krisis Intelektual
35
a. menggunakan ijazah atau sertifikat orang lain untuk memperoleh
kesempatan bekerja;
b. mengikuti jenjang pendidikan yang tidak setara dengan jenjang
pendidikan terakhir yang dimiliki oleh yang bersangkutan untuk
memperoleh surat tanda tamat belajar;
36
a. pemberian kemudahan kepada calon siswa untuk memasuki jenjang
pendidikan tertentu dengan pembayaran khusus;
b. sistem kekerabatan yang terjadi dalam penerimaan
siswa/mahasiswa;
37
Waktu yang tersedia tidak akan cukup untuk membeberkan tumpukan
kemerosotan moral yang terjadi di negeri kita sekarang ini. Berikut ini
disebutkan beberapa yang paling vatal, yaitu:
B.Bagaimana Selanjutnya?
38
Hakikat pendidikan nasional seperti dikemukakan di atas,
selanjutnya dimaknai sesuai dengan cita-cita pembangunan bangsa
Indonesia, yaitu membangun manusia seutuhnya. Hal ini ditegaskan di
dalam Bab I, Pasal 1 sebagai berikut.
- dunia-akhirat
40
- jasmani-rohani
- materiil-spiritual
- intelektual-emosional
41
42
PENGEMBANGAN SILABUS PENGAJARAN BAHASA
BERBASIS KOMPETENSI
Dr. Achmad Tolla, M. Pd.
A. Pendahuluan
Kompetensi, menurut Hall dan Jones (1979:29) adalah pernyataan yang
menggambarkan penampilan suatu kemampuan tertentu secara bulat yang merupakan
perpaduan antara pengetahuan dan kemampuan yang dapat diamati dan diukur (dalam
Depdiknas, 2002:1). Kemampuan demikian diharapkan dimiliki oleh lulusan
lembaga pendidikan kita agar mereka dapat bersaing dalam memperoleh kesempatan
berpartisipasi dalam pembangaunan, baik secara individu maupuan secara
berkelompok. Akan tetapi, kemampuan itu tidak mudah diraih tanpa penanganan
yang lebih serius dalam bidang manajemen pendidikan dan implikasinya di dalam
proses belajar-mengajar.
Pada hakikatnya, implikasi pengajaran bahasa berbasis kompetensi adalah
pengembangan silabus dan sistem pengujian berbasis kompetensi dasar. Kompetensi
dasar adalah hasil penjabaran dari standar kompetensi, yaitu kemampuan minimal
yang harus dimiliki oleh pembelajar dalam mempelajari bidang ilmu yang kelak
menjadi keahliannya. Dalam bidang pengajaran bahasa Indonesia, kemampuan
minimal dapat dipahami sebagai kompetensi kebahasaan dan keterampilan berbahasa
Indonesia yang diharapkan dimiliki oleh setiap lulusan program pendidikan bahasa
Indonesia atau jurusan linguistik dan /atau kesastraan Indonesia
Pedoman umum pengembangan silabus pengajaran bahasa Indonesia berisi
penjelasan secara umum tentang prosedur dan cara mengembangkan kompetensi
kebahasan dan keterampilan berbahasa di dalam materi pembelajaran, langkah-
langkah untuk menentukan pengalaman belajar pembelajar, alokasi waktu sesuai
dengan bobot kredit matakuliah, sumber bahan, dan sumber pustaka yang digunakan,
baik sebagai buku pegangan maupun sebagai sumber pengayaan. Pedoman umum itu
43
perlu dilengkapi dengan pedoman khusus yang menjelaskan lebih rinci tentang
prosedur dan cara mengembangkan kompetensi dan keterampilan berbahasa menjadi
materi pembelajaran dan uraian urutan penyajiannya, langkah-langkah penentuan
pengalaman belajar, alokasi waktu, dan sumber bahan yang digunakan. Di tingkat
sekolah menengah atas ada delapan bidang studi yang dibuatkan pedoman khusus,
yaitu: Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Ilmu
Sosial Terpadu, dan Pendidikan Kesenian.
Karena bidang studi Bahasa Indonesia di SMA termasuk mata pelajaran yang
diujikan secara nasional, maka calon-calon Sarjana Pendidikan Bahasa Indonesia
dan/atau Sarjana Sastra (Bahasa Indonesia) harus dipersiapkan dengan membekali
mereka pengetahuan tentang kompetensi dasar Bahasa Indonesia yang menjadi target
pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
Kompetensi dasar yang dikembangkan dalam sistem pendidikan nasional
sekarang ini, sesungguhnya berada dalam bingkai kompetensi versi Bloom (1956).
Bloom membagi kompetensi itu ke dalam tiga aspek yang masing-masing memiliki
tingkat yang berbeda sebagai berikut:
1) kompetensi kognitif, dengan subkompetensi: pengetahuan,
pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi;
2) kompetensi afektif, dengan subkompetensi: pemberian respon,
penilaian, apresiasi, dan internalisasi;
3) kompetensi psikomotorik, dengan subkompetensi: keterampilan
gerak awal, semi rutin, dan rutin.
Dalam pengajaran bahasa, orang sering menggunakan paradigma Bloom itu
menjadi pedoman dalam menyusun materi pembelajaran bahasa dan sastra, termasuk
alat penilaiannya. Kompetensi kognitif dijadiakan acuan dalam menyusun materi
pembelajaran komponen kebahasaan dan kesastraan dengan berorientasi
pengetahuan. Kompetensi afektif dijadikan dasar dalam menyusun materi
pembelajaran yang berorientasi sikap bahasa dan sastra. Pengajaran bahasa
menempatkan kompetensi afektif pada semua aspek keterampilan berbahasa
44
(menyimak, berbicara, membaca, dan menulis), tetapi yang utama adalah aspek
menyimak dan berbicara karena kedua aspek ini dimiliki oleh semua umat manusia,
melek huruf atau tidak melek huruf.
Pengajaran sastra, selain teori dan sejarah, berada di dalam lingkup
kompetensi afektif. Untuk kompetensi psikomotor berada pada tataran keterampilan
berbahasa dan aplikasi apresiasi sastra.
B. Pengembangan Silabus
1. Pengertian Silabus
Istilah silabus dapat didefinisikan sebagai “Garis besar, ringkasan, ikhtisar,
atau pokok-pokok isi atau materi pelajaran” (Depdiknas, 2004). Istilah silabus
digunakan untuk menyebut suatu produk pengembangan kurikulum dalam bentuk
penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar yang ingin dicapai dalam suatu
program pendidikan. Penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar ini
selanjutnya akan terurai dalam bentuk pokok-pokok bahasan dan urain materi yang
akan dipalejarai pembelajar untuk mencapai standar kompetensi dan kompetensi
dasar itu.
Dalam pedoman umum mekanisme prosedur pengembangan silabus Bidang
Studi Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMA dan sekolah yang sederajat (2004)
dikemukakan bahwa silabus adalah garis besar, ringkasan, ikhtisar, pokok-pokok isi
materi pelajaran. Dalam kedudukannya sebagai garis besar materi pelajaran, maka
silabus merupakan hasil kegiatan pengembangan desain pembelajaran yang
bermanfaat bagi pengembangan pembelajaran labih lanjut mengenai rencana
pembelajaran (RP), pengelolaan kegiatan belajar-mengajar (PKBM), dan
pengembangan sistem pengujian.
Secara lebih eksplisit dapat dikatakan bahwa penyusunan silabus merupakan
bentuk konkret pengembangan kurikulum yang senantiasa berorientasi kepada
kebutuhan pembelajaran, dalam arti apa yang akan dipelajari pembelajar dan apa
target yang diinginkan untuk dicapai oleh mereka. Bentuk penjabaran kurikulum
45
seperti ini lazim disebut desain instruksional. Kegiatan paling awal dari penyusunan
desain intruksional adalah analisis pengetahuan awal calon pembelajar. Pengetahuan
awal dapat disetarakan dengan standar kompetensi awal yang dikenal dalam studi
pendidikan berbasis kompetensi. Wujud dari pengemabangan kurikulum itu dikenal
degan nama silabus yang juga disebut Pola Dasar Kegiatan Belajar-Mengajar
(PDKBM) atau Garis-Garis Besar Isi Program Pembelajaran (GBIPP).
46
proses belajar-mengajar. Standar kompetensi ini, secara garis besar dibedakan
menjadi standar isi (content standard) dan standar penampilan (performance
stanrd). Standar kompetensi dalam konteks operasional dapat diartikan sebagai:
1) pernyataan tujuan yang menjelaskan apa yang harus dicapai
pembelajar;
2) kemampuan melakukan sesuatu dan spesifikasi skor atau peringkat
dalam pencapaian kompetensi.
3.2 Merumuskan Kompetensi Dasar
Kompetensi dasar pada hakikatnya adalah:
1) penjabaran dari standar kompetensi;
2) pengetahuan, keterampilan, dan sikap minimal yang harus
dikuasai dan dapat didemonstrasikan oleh pembelajar;
3) kompetensi dasar yang digunakan sebagai acuan atau dasar untuk
menentukan materi pembelajaran;
4) untuk keperluan penilaian, kompetensi dasar dikembangkan menjadi
sejumlah indikator untuk menentukan jenis dan bentuk instrumen
penilaian.
3.3 Menentukan Indikator Pencapaian Kegiatan Belajar-Mengajar
Indikator pencapaian kegiatan belajar-mengajar adalah keterampilan yang
diharapkan dimiliki oleh siswa setelah mengikuti proses belajar-mengjar. Indikator
pencapaian dapat diukur dengan menggunakan sejumlah pertanyaan sejauh mana
menguasaan siswa terhadap materi pembelajaran.
3.4 Menentukan Materi Pembelajaran
Ada sejumlah prinsip yang menjadi dasar peretimbangan dalam memilih
materi pembelajaran.
1) Materi adalah pokok-pokok bahasan yang harus dipelajari pembelajar
sebagai sarana pencapaian kompotensi dasar yang akan dinilai dengan
menggunakan alat penilaian yang disusun berdasarkan indikator
pencapaian belajar.
47
2) Urutan materi pembelajaran bersifat prosedural, hierarkis, dan
terpadu.
3) Klasifikasi materi meliputi pengetahuan, sikap, dan keterampilan
(psikomotorik).
4) Jenis materi dapat berupa fakta, konsep, prinsip, dan prosedur.
5) Jika kompetensi dasar dirumuskan dengan kata kerja, maka materi
pembelajaran dirumuskan dengan kata benda atau kata kerja yang
dibendakan.
Hal pokok yang perlu diperhatikan dalam merumuskan materi adalah:
a. jenis materi
b. keluasan cakupan/ ruang lingkup materi
c. kedalaman materi
3.5 Menentukan Pengalaman Belajar Siswa
Pengalaman belajar diperoleh secra bervariasi dari penginderaan dan tindakan
sebagai berikut:
1) 10% dari apa yang didengar;
2) 20% dari apa yang dibaca;
3) 30% dari apa yang dilihat;
4) 50% dari apa yang dilihat dan didengar;
5) 70% dari apa yang dikatakan dan dilakukan;
6) 90% dari apa yang dikatakan dan dilakukan.
Pengembangan pengalaman belajar dapat dilakukan dengan strategi berikut.
a. Pengembangan pemngalaman belajar ranah kompetensi kognitif,
afektif, dan psikomotorik.
a) Kompetensi kognitif terjadi secara berjenjang dengan aktivitas:
menghafal, memahami, menmgaplikasikan, menganalisis,
menyimpuldan menilai.
b) Kompetensi afektif meliputi: pemberian respon, apresiasi,
penilaian, dan internalisasi.
48
c) Kompetensi psikomotorik meliputi: gerakan awal, semi rutin,
dan rutin melalui gerakan latihan intensif dalam tindak
simulasi, menirukan, danmenghafal.
b. Pengembangan kecakapan hidup (life skill)
a) Jenis kecakapan hidup adalah kecakapan diri yang terdiri atas
kesadaran diri (self awarness) dan kecakapan berpikir
(thingking skill).
b) Strategi pembelajaran kecakapan hidup meliputi:
pembelajaran berbasis luas (menyangkut kebutuhan hidup)
dan pembelajaran terpadu.
c. Pengalaman belajar
a) Pengalaman belajar menunjukkan aktivitas belajar yang
dilakukan pembelajar untuk mencapai penguasaan standar
kompetensi dan kemampuan dasar mengenai materi
pembelajaran.
b) Pengalaman belajar dapat dipilih sesuai dengan kompetensi
pembelajar.
c) Tempat, di dalam kelas atau di luar kelas.
d) Pendekatan:
- Mengajar-Belajar (teaching-learning)
- Menumbuhkan rasa diri tidak tahu mau menjadi tahu
- Guru sebagai fasilitator dan pelati
e) Bentuk kata kerja yang digunakan sebagai kata kerja
operasional antara lain:
- mengidentifikasi - menentukan algoritma - menkaji
- mengamati - mengoperasikan - mengkonstruksi
- mendemonstrasikan - membuktikan rumus - menemukan
- mempraktekkan - meragakan - meneliti
- menyimulasikan - mengaplikasikan - mengaplikasikan
49
- menganalisis - membandingkan - menelaah
3.6 Menentukan Alokasi Waktu
1) Alokasi waktu pembelajaran suatu kompetensi dasar tertentu diperhitungkan
berdasarkan analisis dan/atau pengalaman penggunaan jam pembelajaran
untuk mencapai suatu kompetensi dasar di kelas.
2) Kriteri penentuan alokasi waktu yang perlu dipertimbangkan adalah:
(a) kedalaman
(b) kompleksitas
(c) frekuensi penggunaan
(d) banyaknya materi
(e) pentingnya materi
3.7 Menentukan Sumber Bahan/Alat
Hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan sumber belajar/ alat aebagai
berikut:
1) menggunakan bahan rujukan yang relevan dan signifikan sesuai dengan
standar kompetensi yang ditetapkan;
2) sumber utama: buku teks dan kurikulum, jurnal, hasil penelitian, terbitan
berkala, dokumen negara, dan sebagainya;
3) sumber lainnya: referensi/literatur, pakar, buku penunjang.
Agar pemilihan sumber bahan/alat dilakukan dengan tepat, guru hendaknya
melakukan hal berikuit.
(1) Pengadaan dan pemanfaatan sumber belajar dilakukan dengan:
a. mengidentifikasi kebutuhan sumber dan sarana belajar ;
b. menginventarisasi sumber dan alat pendukungnya (di dalam dan di luar
sekolah);
c. menyesuaikan antara kebutuhan sumber dan sarana belajar yang tersedia
(guru dapat melakukan modifikasi seperlunya).
(2) Pemanfaatan sumber dan sarana belajar dengan melakukan kegiatan:
a. mengidentifikasi kebutuhan (kebutuhan pembelajar dan guru);
50
b. mengidentifikasi potensi yang tersedia;
c. mengelompokkan sumber belajar dalam kelompok:
- lingkungan alam sekitar
- perpustakaan
- media cetak
- narasumber
- karyawisata
- media elektronik
- komputer
d. menganalisis relevansi antara ketersediaan sumber belajar dan kebutuhan;
e. menentukan dan memanfaatkan sumber belajar yang tersedia.
3.8 Menentukan Sistem Pengujian.
Dikatakan sistem pengujian karena komponen ini mencakupi menetapan (1)
jenis kompetensi yang akan dinilai, (2) bentuk instrumen penilaian, dan (3)
51
Bentuk instrumen yang lazim digunakan dalam sistem penilaian adalah soal-
soal. Secara umum, bentuk soal terdiri atas (1) soal uraian (soal esai), dan (2)
soal pilihan ganda. Selain itu, dalam pengajaran bahasa dikenal bentuk-bentuk
soal khusus, yaitu: soal cloze, soal integratif, soal doskrit, soal pragmatik/soal
komunikatif, soal terjemahan, dan soal dikte. Bentuk-bentuk soal yang
dikemukakan terakhir ini tidak terdapat pada bidang studi lain.
C. Jenis Silabus
Apa yang telah, sedang, dan akan diajarkan, baik direncanakan dengan baik
maupun tanpa perencanaan pada hakikatnya adalah silabus. Sebuah silabus paling
tidak terdiri atas tujuh komponen, yaitu:
1. daftar lengkap mengenai unsur (a) kata/istilah, struktur, topik, dan (b) proses
penyelenggaraan pengajaran bertupa metode dan tugas-tugas (strategi);
2. urutan bahan yang akan diajarkan (secara klimak atau menurut kebutuhan);
3. memuat tujuan pengajaran yang eksplisit;
4. merupakan pedoman umum penyelenggaran pengajaran;
5. memuat jadual kegiatan belajar-mengajar;
6. menyatakan acuan pendekatan, metode, dan teknik yang digunakan;
7. merekomendasikan materi yang relevan.
Dalam pengajaran bahasa asing atau bahasa kedua, dikenal sepuluh macam
silabus. Setiap macam silabus itu didasarkan pada ciri materi pengajaran yang akan
diberikan. Namun, dalam proses belajar-mengajar, tidak mustahil ada hal yang perlu
dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan pembelajar. Kesepuluh macam silabus itu
direkomendasikan oleh Ur (1996) yang dikemukakan kembali berikut ini.
1) Silabus Tata Bahasa
Silabus jenis ini menempatkan komponen tata bahasa sebagai inti pengajaran
bahasa. Para perancang silabus ini berasumsi bahwa dalam pengajaran bahasa
asing/bahasa kedua, komponen tata bahasa merupakan dasar penguasaan bahasa. Dari
52
penguasaan tata bahasa, pembelajar dapat mengembangkan keterampilannya dalam
aspek menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.
Penguasaan tata bahasa bagi pembelajar bahasa asing/bahasa kedua umumnya
bersifat eksplisit. Hal ini berbeda dengan penutur asli yang memperoleh kompetensi
gramtika secara internalisasi. Itulah sebabnya, kompetensi gramatika penutur asli
bersifat implisit. Kompetensi implisit ini dapat berubah menjadi eksplisit apabila
seseorang sudah mulai belajar bahasa pertamanya dalam konteks pengajaran formal
di sekolah atau melalui pembinaan bahasa secara formal.
Komponen tata bahasa yang menjadi pokok-pokok bahasan silabus jenis ini
adalah komponen sintaksis.dengan pokok-pokok bahasan: frase, struktur frase,
klausa, /struktur klausa, kalimat, dan struktur kalimat. Struktur silabus dengan
pokok-pokok bahasan demikian mengingatkan kita pada struktur silabus yang
dikembangkan dari pendekatan struktur dengan metode audiolingual. Sementara itu,
kurikulum yang dikembangkan sekarang adalah kurikulum yang berdasarkan
pendekatan komunikatif. Dari pendekatan ini kemudian muncul rekayasa berwawasan
kecakapan hidup yang berbasis kompetensi yang berorientasi kepada indikator
keterampilan berbahasa, bukan penguasaan kaidah bahasa. Dengan demikian,
keberadaan silabus tata bahasa penting diketahui sebagai informasi ilmu, tetapi
penerapannya memerlukan adaptasi agar sesuai dengan hakikat pendekatan
komunikatif.
2) Silabus Leksikal
Silabus jenis ini memuat kata, jenis kata, ungkapan, dan kolokasi kata yang
umum atau khusus sesuai dengan kebutuhan pembelajar. Kebutuhan pembelajar
dapat berupa kebutuhan studi lanjut atau berupa kebutuhan komunikasi sehari-hari
untuk menjalankan fungsi keterampilan hidupnya.
3) Silabus Leksikal-Gramatikal
Silabus jenis ini adalah perpaduan dari silabus gramatikal dan silabus leksikal.
Penyajiannya dapat dilakukan secara terpisah dengan mendaftarkan unsur masing-
masing di dalam sebuah daftar dengan tidak melalaikan urutan kesulitan pada setiap
53
unsur. Urutan penyajian materi silabus dapat dimulai dari daftar kata, jenis kata,
idiom, dan kolokasi kata, atau dimulai dari daftar unsur-unsur gramatika.
4) Silabus Situasional
Materi silabus jenis ini adalah data-data bahasa yang digunakan dalam
konteks penggunaan bahasa secara riil. Situasi penggunaan bahasa dapat diprediksi
berdasarkan pengalaman, baik penyusun silabus dan faktor guru maupun faktor
pembelajar. Situasi penggunaan bahasa secara riil misalnya, dapat terjadi di pasar, di
rumah, di kantor, di kantor pos, di jalanan, di ruang tunggu rumah sakit, dan
sebagainya.
5) Silabus Topik/Tema
Silabus jenis ini mirip dengan silabus situasional. Kekhususan silabus ini
terletak pada penggunaan topik-topik materi di dalam silabus yang dikembangkan
secara operasional dalam proses belajar-mengajar. Jenis keterampilan bahasa atau
komponen tata bahasa yang akan diajarkan selalu berada di bawah topik tertentu.
Silabus jenis inilah yang dikembangkan di dalam kurikulum 1994 untuk bidang studi
Bahasa dan Sastra Indonesia di SLTP dan SMU (sekarang kembali menjadi SMP dan
SMA) dimodifikasi menjadi tema-tema.
6) Silabus Nosional
Silabus jenis ini dikembangkan oleh Wilkins (1976). Silabus ini
mengutamakan kata-kata yang bermakna lebih umum, seperti kata waktu, tempat,
warna, manusia, bidang, dan sebagainya. Itulah sebabnya, pengikut Wilkans
menyebut silabus ini sebagai silabus semantik.
7) Silabus Fungsional-Nosional
Siolabus jenis ini adalah gabungan silabus fungsional yang menekankan
fungsi komunikasi bahasa dan silabus nosional yang menekankan makna atau
kebermaknaan bahasa. Dengan demikian, materi silabus ini adalah penggunaan
bahasa secara fungsional dengan menekankan makna. Setiap kalimat yang dijadikan
contoh atau bahan pembelajaran haruslah bermakna, tidak sekedar memenuhi syarat
54
sintaksis yang formal, misalnya, setiap kalimat paling tidak terdiri atas subjek dan
predikat atau yang lebih lengkap.
8) Silabus Gabungan
Silabus gabungan lebih bersifat eklektif, yaitu materi silabus terdiri atas
gabungan berbagai aspek keterampilan bahasa, komponen tata bahasa yang disajikan
di bawah topik-topik, tugas-tugas, fungsi dan makna, serta tata bahasa dan kosakata.
9) Silabus Prosedural
Materi silabus prosedural ditekankan pada tugas-tugas: peta bacaan, materi
eksperimen, dan penulisan cerita. Tugas-tugas ini dikerjakan secara bertahap sesuai
dengan prosedur metodologis. Misalnya, untuk tugas eksperimen, telah direncanakan
prosedurnya, materinya, pretes dan postesnya, dan jadwal pelaksanaannya.
10) Silabus Proses
Silabus jenis ini berbeda dengan silabus-silabus yang telah dibicarakan di atas.
Silabus ini materinya tidak diformat sebagaimana silabus yang lain. Sebelum guru
memulai kegiatan mengajar, mungkin (?) membuat prediksi materi yang akan
diajarkan. Akan tetapi, setelah tiba di kelas, apa yang diprediksi itu berbeda dengan
kebutuhan pembelajar. Pembelajar ingin mempelajari bahasa untuk tujuan khusus,
misalnya, tujuan jurnalistik, tujuan iklan bisis, dan sebagainya.
Menghadapi keadaan demikian, guru dan pembelajar bersama-sama
merencanakan dan menyusun program pembelajaran dengan mengidentifikasi
semua aspek dan komponen kebahasaan yang dibutuhkan pembelajar untuk
menjalankan profesi yang sedang dan/atau akan dilakoni.
Penutup
Silabus dalam pengajaran bahasa memiliki peranan yang sama dengan
metode, bahkan ada yang menyamakannya dengan pendekatan. Pada awal
perkembangannya, pendekatan komunikatif misalnya, semula dikembangkan melalui
silabus yang oleh Wilkins disebut Silabus Nosional. Selanjutnya, silabus ini
berkembang menjadi Silabus Fungsional, kemudian menjadi Silabus Nosional-
55
Fungsional. Ketiga jenis silabus inilah sebagai dasar pengembangan pendekatan
komunikatif.
Penyempurnaan Kurikulum 1994 menjadi Kurikulum Berbasis Kompetensi
yang sekarang ini sedang diterapkan dalam pengajaran bahasa Indonesia, juga
menempatkan silabus sebagai komponen sangat penting. Buktinya, pengembangan
silabus jstru disetarakan dengan sistem penilaian. Padahal, dalam pengajaran bahasa,
sistem penilaian dikembangkan dengan pendekatan tersendiri, misalnya, pendekatan
discrit point, pendekatan integratif, pendekatan objektif, dan pendekatan subjektif.
Atas pertimbangan itulah sehingga tulisan ini diupayakan dan diharapkan
memberi motivasi kepada para dosen, terutama dosen-dosen muda yang belum
memiliki pengalaman yang cukup dalam mengembangkan mata kuliah. Bagi dosen
senior, tulisan ini sekedar sebagi penyegaran karena hal yang dikemukakan sudah
puluhan tahun menjadi pekerjaan rutin.
Bacaan
Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaian. 2002 dan 2004. Jakarta:
Depdiknas.
56