Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Peritonitis merupakan peradangan yang terjadi pada rongga peritonium atau


lapisan membran serosa abdomen (Muttaqin, 2011). Menurut Jutowiyono dan
Kristiyanasari (2012), peritonitis ialah peradangan peritonium, suatu lapisan
endotelial tipis yang kaya akan vaskularisasi dan aliran limpa. Peritonitis masih
merupakan masalah yang besar karena angka mortalitas dan morbilitasnya tinggi.
Manajemen terapi yang tidak adekuat bisa berakibat fatal. Peritonitis merupakan
komplikasi paling berbahaya yang sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ
abdomen (misal: apendiksitis), rupture saluran cerna atau luka tembus abdomen
(Price&Wilson, 2006).

Menurut survei World Health Organization (WHO), angka mortalitas peritonitis


mencapai 5,9 juta per tahun dengan angka kematian 9661 ribu orang meninggal.
Negara tertinggi yang menderita penyakit ini adalah Amerika Serikat dengan
penderita sebanyak 1.661 penderita. Dalam kasus peritonitis yang sering terjadi,
sebagian besar disebabkan karena bakteri atau yang biasa disebut peritonitis bakterial
spontan (Khan, 2009).

Angka kejadian penyakit peritonitis di Amerika pada tahun 2011 diperkirakan


750 ribu pertahun dan akan meningkat bila pasien jatuh dalam keadaan syok. Dalam
setiap jamnya didapatkan 25 pasien mengalami syok dan satu dari tiga pasien syok
berakhir dengan kematian. Angka insiden ini meningkat 91,3% dalam sepuluh tahun
terakhir dan merupakan penyebab terbanyak kematian di ICU diluar penyebab
penyakit peritonitis. Angka insidensi syok masih tetap meningkat selama beberapa
dekade, rata-rata angka mortalitas yang disebabkannya juga cenderung konstan atau
hanya sedikit mengalami penurunan. Kejadian peritonitis tersebut dapat memberikan
dampak yang sangat kompleks bagi tubuh.
Pada tahun 2008 Indonesia mempunyai angka kejadian yang tinggi untuk
peritonitis, sebanyak 7% dari total seluruh penduduk Indonesia atau sekitar 179.000
jiwa (Dpkes RI, 2008). Provinsi Jawa Tengah memiliki angka kejadian peritonitis
sebanyak 5980 kasus, 177 diantaranya meninggal. Kota Semarang merupakan kota
dengan angka kejadian yang paling tinggi diantara kota lainnya di Jawa Tengah, yaitu
sebanyak 970 kasus (Dinkes Jateng, 2009).

Peritonitis merupakan komplikasi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ


abdomen, ruptur saluran cerna, atau luka tembus abdomen. Reaksi awal peritoneum
terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa, kantong-kantong
nanah (abses) terbentuk diantara perlekatan fibrinosa yang membatasi infeksi.
Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap
sehingga menimbulkan obstruksi usus.
Dapat terjadi secara terlokalisasi, difus, atau generalisata. Pada peritonitis lokal
dapat terjadi karena adanya daya tahan tubuh yang kuat serta mekanisme pertahanan
tubuh dengan melokalisir sumber peritonitis dengan omentum dan usus. Pada
peritonitis yang tidak terlokalisir dapat terjadi peritonitis difus, kemudian menjadi
peritonitis generalisata dan terjadi perlengketan organ-organ intra abdominal dan
lapisan peritoneum viseral dan parietal. Timbulnya perlengketan ini menyebabkan
aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik. Timbulnya ileus paralitik
menyebabkan mual, muntah, kembung serta anoreksia sehingga terjadi defisit nutrisi
pada pasien dengan diagnosa medis peritonitis.
Defisit nutrisi adalah asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme. Faktor-faktor penyebab terjadinya defisit nutrisi yaitu ketidakmampuan
menelan makanan, ketidakmampuan mencerna makanan, ketidakmampuan
mengabsorsi nutrient, peningkatan kebutuhan metabolisme, faktor ekonomi (mis.
Finansial tidak mencukupi) dan faktor psikologis (mis. Stress, keengganan untuk
makan). (Tim Pokja DPP PPNI, 2016). Maka dari itu perlu adanya penatalaksanaan
keperawatan yang tepat untuk mengatasi masalah defisit nutrisi, salah satunya yaitu
dengan pemberian makanan enteral pada pasien.
Formula enteral/makanan enteral adalah makanan dalam bentuk cair yang dapat
diberikan secara oral maupun melalui pipa selama saluran pencernaan masih
berfungsi dengan baik (Sobariah, 2005 dalam Khasanah, 2009). Formula enteral
diberikan pada pasien yang tidak bisa makan melalui oral seperti dalam kondisi
penurunan kesadaran, gangguan menelan (disfagia), dan kondisi klinis lainnya atau
pada pasien dengan asupan makan via oral tidak adekuat. Pemberian nutrisi enteral
pada pasien dapat meningkatkan berat badan, menstabilkan fungsi hati/liver,
mengurangi kejadian komplikasi infeksi, jumlah/frekuensi masuk rumah sakit dan
lama hari rawat di rumah sakit (Klek et al, 2014).

Diberikannya makanan enteral pada pasien yang masih dapat makan dan minum
tetapi tidak dapat mencukupi kebutuhan energy dan protein, untuk pengobatan, dan
digunakan untuk mencukupi seluruh kebutuhan zat gizi bila pasien tidak dapat makan
sama sekali sehingga asupan nutrisi pada pasien dapat tercukupi. Makanan enteral
juga dapat mengurangi resiko terjadinya infeksi. Dengan adanya makanan pada
rongga usus, integritas usus tetap terjaga, makanan yang masuk jalur enteral juga
akan menimbulkan distensi pada lambung dan merangsang pengeluaran gastrin dan
kolesistokenin yang berfungsi untuk menstimulasi proses pencernaan. (Rehatta, 2019,
p.1026).

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana efektifitas pemberian makanan enteral dalam memenuhi
kebutuhan nutrisi pada pasien dengan diagnosa medis peritonitis?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum


Mengetahui efektifitas pemberian makanan enteral dalam memenuhi
kebutuhan nutrisi pada pasien dengan diagnosa medis peritonitis.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Menggambarkan konsep pemberian makanan enteral dalam memenuhi
kebutuhan nutrisi pada pasien dengan diagnosa medis peritonitis.
2. Mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi keberhasilan pemberian
makanan enteral sebagai pemenuhan kebutuhan nutrisi pada pasien dengan
diagnosa medis peritonitis.

1.4 Manfaat
1. Untuk pedoman atau acuan dalam memberikan pelayanan kesehatan pada
masyarakat khususnya pada pasien dengan diagnosa medis peritonitis
2. Untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan keperawatan
3. Untuk memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif sesuai dengan
kebutuhan dan kondisi klien.

Anda mungkin juga menyukai