Anda di halaman 1dari 4

Ini Semangatku – Mana Semangatmu

AA Nurjaman

“Semangat kami – Imajinasi kami, realitas kami – kini penjajara kami. Tetapi
keterpenjaraan akibat Covid 19, bukan penghalang bagi keliaran daya khayal kami”.

Ungkapan tersebut menjadi “Motto” dalam pameran karya Adik-adik siswa siswi
TK dan SD di Ruang Anak, Badai Art Studio, yang beralamat di Tegal Kenongo,
Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Di masa pandemi Covid 19, yang
menjadikan semua akses hubungan sosial ditutup rapat-rapat, termasuk institusi
pendidikan. Semua orang menjadi akrab dengan istilah “tinggal di rumah” (stay at
home). Semua keluarga, menata ulang keperluan hidup seefisien mungkin supaya
bisa bertahan sampai covid ini mereda. Adik-adik yang biasanya berangkat sekolah,
belajar dan bermain bersama teman-temannya, kini hanya bisa beraktivitas di
rumah. Tanggung jawab pendidikan Adik-adik untuk sementara, dikembalikan
kepada orang tua mereka. Dan meskipun beberapa waktu belakangan sudah
diberlakukan era new normal, Adik-adik belum diperkenankan masuk sekolah seperti
biasanya.

Persoalan barupun timbul, “Semua orang merasa terpenjara”.

Namun benarkah imajinasi Adik-adik ini terpenjara? Tentu saja tidak. Apabila
Adik-adik sedang bermain, apapun bentuknya, tidak lain mereka sedang
mengejawantahan khayalan- khayalannya. Apabila seseorang di antara mereka
bercerita tentang menunggang kuda, maka ia sesungguhnya sedang menunggang
kuda. Apabila yang lainnya bercerita tentang seorang penyelam di dalam air, maka
perasaannya memang sedang menyelam di dalam air. Adik-adik kita melalui
imajinasinya bisa menjadi pemburu, guru, dokter, pedagang, prajurit perang dan lain
sebagainya. Di antara pengekspresian khayalan itu, ada yang rajin membuat
gambar, senang bercerita, bernyanyi dan lain sebagainya. Dunia akspresi mereka
memang beragam, tetapi dari kesemuanya bertumpu pada satu hal yang paling
penting untuk dibina; “kreativitas”.

Mengenai potensi kreativitas Adik-adik, sebuah organisasi nirlaba, Badai Art


Studio, berinisiasi untuk menyediakan ruang bagi anak-anak usia Taman Kanak-
kanak dan Sekolah Dasar. Badai Art Studio memberi wadah untuk berekspresi,
sesuai kodrat alam Adik-adik. Kali ini yang menjadi fokus kreasi adalah seni gambar
atau lukisan anak.

Ruang Anak – Badai Art Studio mengumpulkan hasil kreasi Adik-adik, selama
mereka tinggal di rumah, untuk dipublikasikan dalam bentuk pameran virtual. Kita
bisa melihat sejumlah karya lukisan adik-adik, antara lain: lukisan-lukisan karya
Badai “Mobil Berkemah” (2020), karya Aynkara “Mobil Merah” (2020), karya Orlin
“Ikan” (2020), karya Naresh “The Good Dinosaur” (2020), karya Hazel “Astronot”,
karya Omar “Rumah Sakit Anti Corona” (2020), karya Letycia “Pelangi” (2020), karya
Nuelle “Rumahku (2020), karya Dito “Lemon Tea (2020) dan “Rumah Sore Hari”
(2020), karya SAB “Holiday 1 dan 2 dan karya Kirana “Ikan di
Laut” (2020). Karya adik-adik ini mencerminkan keliaran imajinasi yang mestinya kita
hargai sebagai langkah awal dalam mengembangkan potensi bakatnya.

Emajinasi Primer Dunia Anak

Dari sejumlah karya yang terpajang bisa ditafsirkan bahwa, seni lukis atau seni
gambar adalah suatu media penafsir pengalaman. Menurut fenomenologi, masa
kanak-kanak adalah masa-masa keliaran imajinasi yang dirasakannya sebagai
kenyataan. Pengalaman anak adalah pengalaman yang belum terefleksi dan belum
tereduksi oleh kepentingan apapun. Edmund Husserl menyebutkan dunia seniman
sama dengan dunia anak-anak yang bisa dikategorikan dunia primer.

Dunia primer adalah dunia yang langsung dialami, dunia hidup bersama yang
konkret sebelum direfleksi, dunia yang bentuknya tak jelas dan sangat kompleks.
Sebuah dunia yang mengatasi kategori Subjek-Objek (Husserl, 1960: 136-137).
Objek dalam lukisan anak-anak bisa berlaku sebagai subjek. Subjek bisa diartikan
sebagai pelaku. Kita bisa melihat bagaimana sebuah gambar mobil bisa berbicara
dengan sopirnya, lukisan kapal bisa berbicara dengan ikan-ikan di laut, lukisan
rumah, pohon, hewan, bunga, kerap kali diajak bercerita oleh sang anak yang
melukiskannya, tak ubahnya seperti temannya sendiri sebagai sesama anak
manusia.

Imajinasi alam anak adalah suatu dasar potensi kratifitas. Imajinasi semacam
ini apabila dibendung akan mengakibatkan kelainan psikologis di masa mendatang
ketika sang anak tumbuh remaja hingga dewasa. Dengan berbekal kesadaran, imaji
anak perlu dikembangkan ke arah kreativitas sesuai dengan potensinya.

Pengembangan Imajinasi – Berperannya Rasio

Selama di sekolah, Adik-adik diajari beragam ilmu pengetahuan yang


menghantarkan mereka kepada kebiasaan berpikir. Tindakan mengajak anak untuk
fokus berpikir sebenarnya mereduksi imajinasi pengalaman sang anak, tanpa
disadari di sisi lain terdapat suatu rasa yang membutuhkan penyaluran guna
memuaskan hasrat imajinasinya. Salah satu media penyalur pengalaman imajinasi
adalah seni. Tetapi potensi seni selama ini kurang mendapat perhatian. Potensi
berkesenian inilah yang menjadi dasar pijakan “Ruang Anak – Badai Studio”
bertindak untuk mewadahi kreativitas Adik-adik, bahwa seni adalah suatu media
yang sangat unik dalam menafsir dan memaknai pengalaman guna
mengembangkan potensi yang ada dalam diri sang anak.

Menurut teori Psikoanalisis, suatu teori ketidaksadaran, terdapat tiga tahapan


perkembangan dalam jiwa manusia. Tahap perkembangan itu disebut id, ego dan
super ego. Id adalah hasrat yang dialami sang anak antara usia 0 – 12 tahun, ego
dikategorikan sebagai perkembangan rasio seorang anak ketika menginjak remaja,
antara 12 – 20 tahun dan super ego adalah perkembangan rasio terhadap nilai-nilai
moral yang menuntunnya pada keseimbangan hidup seseorang pada masa
pendewasaan (Helaluddin dan Syahrul Syawal,
2018: 1-16). Konsep psikoanalisis bisa diterapkan dalam pendidikan yang bermuara
pada penciptaan kreativitas peserta didik. Saat ini kita berada pada era revolusi
teknologi informasi. Pada era ini, setiap manusia dituntut memiliki kreativitas dalam
mengolah imajinasi. Menurut Sigmund Freud, seorang ahli yang merintis teori
psikoanalisis, kreativitas merupakan bagian dari kepribadian yang didorong oleh
kebutuhan hasrat hidup, seperti semangat bermain pada anak-anak dan hasrat cinta
pada orang dewasa. Hasrat hidup inilah yang kemudian disublimasi menjadi
imajinasi (Helaluddin dan Syahrul Syawal, 2018: 1-16).

Karya Adik-adik yang terpajang pada pameran ini tidak lain adalah ungkapan
kembali pengalamannya melalui perasaannya yang paling dalam, yang berbaur
dengan ingatan dan gairah hidupnya. Kita bisa melihat beberapa objek dalam
lukisan mereka, sebagaimana terihat pada karya Dik Hazel “Astronot” yang
menuangkan hasratnya untuk menjadi seorang penjelajah ruang angkasa. Warna
biru langit yang gelap mengutarakan alam luar angkasa, dua orang astronot
berpakaian putih, pesawat luar angkasa yang meluncur di antara planet-planet
adalah dunia mimpi sekaligus hasrat sang anak. Pada karya lainnya, Dik Naresh
melalui lukisannya “The Good Dinosaur” mengkhayalkan tentang seekor dinosaurus
yang menjadi teman bermainnya. Sama halnya dengan Dik Aynkara yang
berkomunikasi dengan kendaraan mobil sebagai teman bermain seperti yang dalam
lukisannya berjudul “Mobil Merah”, demikian pula dengan kirana yang menjadikan
ikan-ikan di dasar laut sebagai temannya sebagaimana terungkap dalam karyanya
“Ikan di Laut”, juga Dik Badai yang mengkhayalkan sebuah mobil sebagai temannya
berkemah melalui karyanya “Mobil Berkmah”

Di sisi lain kita melihat Adik-adik juga ada yang mengungkapkan


kekagumannya kepada fenomena alam, seperti Dik Letycia melalui karyanya
“Pelangi” yang melukiskan setelah turun hujan, biasanya di antara langit dan bumi
muncul tujuh warna pelangi (mejingkuhibiniu) yakni merah, jingga, kuning, hiju, biru,
nila dan ungu, dan Dik Orlin yang mengagumi dunia ikan di bawah laut yang
diungkapkan melalui lukisannya “Ikan”. Sementara Dik Dito mengkhayalkan tentang
situasi di sore hari melalui goresan-goresan murni sang anak dalam karya lukisan
berjudul “Rumah Sore Hari”. Disamping itu kita juga masih terbawa pada imajinasi
kerinduan sang anak pada kebebasan, di mana keadaan sekarang jauh berbeda
dengan sebelumnya, semua orang di dunia ini harus terpenjara dengan tinggal di
rumah, stay at home. Kebosanan tinggal di rumah ini diungkapkan oleh SAB dengan
lukisannya “Holiday Halu” dari kata (halusinasi) yang menggambarkan situasi liburan
di tengah alam yang luas, namun sayang hanya halusinasi belaka. Sedangkan hal
yang cukup kritis dengan keadaan sekarang di masa Covid 19 diungkapkan oleh Dik
Omar dengan lukisannya “Rumah Sakit Anti Corona”.

Ekspresi pengungkapan Adik-adik ini hemat saya perlu dibina secara kontinyu
agar potensi yang terpendam di dasar nalurinya menyeruak ke permukaan dan
tersalurkan melalui daya kreativitas. Pada waktu mendatang, potensi-potensi
kreativitas itu akan berkembang menjadi profesi yang menandai identitas diri sang
anak ketika sudah berubah menjadi orang dewasa. Apakah masing-masing dari
mereka akan menjadi pilot, dokter, ilmuwan, guru dan lain sebagainya.
Patehan Tengah, Kraton, D.I. Yogyakarta, 4 Agustus 2020

Husserl, Edmund. 1960. (David Cairns-pent.). Cartesian Meditations. The Hague:


Martinus Nijhoff.
Helaluddin dan Syahrul Syawal, 2018 “Psikoanalisis Sigmund Freud dan Implikasinya
dalam
Pendidikan”. UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten. 1/1: 1-16.

Anda mungkin juga menyukai