Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN CHRONIC KIDNEY DISEASE


(CKD)

Disusun Oleh:
Oti Novianti

433131490120062

PRODI STUDI PROFESI NERS REGULER


Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Kharisma Karawang

Jalan Pangkal Perjuangan KM 1 (By Pass), Kabupaten Karawang,


Jawa Barat 413116, Indonesia

2020/2021
A. Konsep dasar
1. Pengertian
Penyakit gagal kronis (chronic kidney disease-CKD) adalah masalah kesehatan yang
tumbuh dengan cepat. Diperkirakan 11% pupulasi AS atau 19,2 juta orang mengidap
CKD. The Centers for Disease Control and Prevention di Atlanta baru-baru ini telah
membangun program penyakit ginjal kronis untuk meningkatkan pengawasan dan
program pencegahan CKD pada tingkat federal dan Negara.

Banyaknya penyakit yang dijelaskan pada bab ini dapat mengakibatkan CKD, dan
etiologinya akan berbeda sesuai dengan penyakit. Mengenali jenis penyakut ginjal
dan etiologi mungkin berguna mencegah atau memperlambat perkembangan
penyakit.

Gagal ginjal kronis atau penyakit ginjal tahap akhir merupakan gangguan fungsi
ginjal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan
uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). (Madjid & Suharyanto,
2013, p. 183).
Gagal ginjal kronis merupakan gagal ginjal akut yang sudah berlangsung lama,
sehingga mengakibatkan gangguan yang persisten dan dampak yang bersifat
kontinyu. (Prabowo & Pranata, 2014, hal 197).
Jadi gagal ginjal kronis merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh penurunan
fungsi ginjal yang bersifat progresif. Pasien yang mengalami gagal ginjal kronis
mempunyai lima stadium.

emodialisa atau hemodialisis merupakan terapi cuci darah di luar tubuh. Terapi ini
umumya dilakukan oleh pengidap masalah ginjal yang ginjalnya sudah tak berfungsi
dengan optimal. Pada dasarnya, tubuh mansua memang mampu mencuci darah secara
otomatis, tapi bila terjadi masalah pada ginjal, kondisinya akan lain lagi.
2. Etiologi
Meningkatnya kejadian CKD secara parsial menunjukkan meningkatnya hipertensi
terkair obesitas dan diabetes mellitus pada populasi yang bergizi baik dan menetap.
Oleh karena penyakit kardiovaskular dan diabetes mellitus sering menjadi penyakit
penyerta CKD, maka pengobatan agar agresif terhadap penyakit dan factor risiko
dapat memperlambat perkembangan penyakit dan membatasi morbiditas dan
mortilitas (baca menerjemahkan bukti menjadi praktik mengatur hipertensi pada
klien diabetes untuk memperlambat perkembangan penyakit ginjal).

The National Kidney Foundation (NKF) Kidney Disease Outcome Quality Invitiative
(K/DOQI) menjelaskan CKD sebagai kerusakan ginjal dengan kadar filtrasi
glomerulus (GFR) <60 ml/menit/1,73 m2 selama lebih dari 3 bulan. NKF
mengembangkan system klasifikasi untuk stadium-stadium CKD. Secara tradisional,
klasifikasi jenis penyakit ginjal telah difokuskan pada patologi dan etiologi. System
klasifikasi K/DOQI focus pada GFR, tetapi tetap penting untuk mendiagnosis
penyebab CKD. Dimodifikasi dari National Kidney Foundation : K/DOQI
(Kidney/Dialysis Outcomes Quality Initiative) clinical practice guidelines for cronic
kidney disease: Evaluation, classification and stratification.

Gagal ginjal kronis sering kali menjadi penyakit komplikasi dari penyakit lainya,
sehingga merupakan penyakit sekunder (secondary illness). Penyebab yang sering
adalah diabetes melitus dan hipertensi. Selain itu ada beberapa penyebab lainya dari
gagal ginjal kronis, yaitu: (Prabowo & Pranata, 2014, hal 197)
a. Penyakit glomerular kronis (glomerulonephritis)
b. Infeksi kronis (pylonefritis kronis, tuberculosis)
c. Kelainan kongenital (polikistik ginjal)
d. Penyakit vaskuler (renal nephrosclerosis)
e. Obstruksi saluran kemih (nephrolithiasis)
f. Penyakit kolagen (systemic lupus erythematosus)
g. Obat-obatan nefrotosik (aminoglikosida)
3. Patofisiologis/ pathway
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan
tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-
nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai
reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif
ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak.
Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbul
disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien
menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira
fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian
nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu. ( Barbara C
Long, 1996, 368).

Pada gagal ginjal kronis, fungsi ginjal menurun secara drastis yang berasal dari
nefron. Insifisiensi dari ginjal tersebut sekitar 20% sampai 50% dalam hal GFR. Pada
penurunan fungsi rata-rata 50%, biasanya muncul tanda dan gejala azotemia sedang,
poliuri, nocturia, hipertensi dan sesekali terjadi anemia. Selain itu, selama terjadi
kegagalan fungsi ginjal maka keseimbangan cairan dan elektrolit juga terganggu.
Pada hakikatnya tanda dan gejala gagal ginjal kronis hampir sama dengan gagal
ginjal akut, namun awitan waktunya saja yang membedakan. Perjalanan dari gagal
ginjal kronis membawa dampak yang sistemik terhadap seluruh sistem tubuh dan
sering mengakibatkan komplikasi. (Prabowo & Pranata, 2014).

Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya


diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan
mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka
gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis. (Brunner
& Suddarth, 2001).
Klasifikasi
Gagal ginjal kronik dibagi 3 stadium :
a. Stadium 1 : penurunan cadangan ginjal, pada stadium kadar kreatinin serum
normal dan penderita asimptomatik.
b. Stadium 2 : insufisiensi ginjal, dimana lebihb dari 75 % jaringan telah rusak,
Blood Urea Nitrogen ( BUN ) meningkat, dan kreatinin serum meningkat.
c. Stadium 3 : gagal ginjal stadium akhir atau uremia.

K/DOQI merekomendasikan pembagian CKD berdasarkan stadium dari tingkat


penurunan LFG :
a. Stadium 1 : kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria persisten dan LFG
yang masih normal ( > 90 ml / menit / 1,73 m2
b. Stadium 2 : Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan LFG antara 60-89
mL/menit/1,73 m2
c. Stadium 3 : kelainan ginjal dengan LFG antara 30 -59 mL/menit/1,73m2
d. Stadium 4 : kelainan ginjal dengan LFG antara 15-29mL/menit/1,73m2
e. Stadium5 : kelainan ginjal dengan LFG < 15mL/menit/1,73m2 atau gagal ginjal
terminal.

4. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis CKD sangat bervariasi .banyak orang dengan CKD hanya
memiliki sedikit keluhan. Pada stadium 1, klien biasanya memiliki tekanan darah
normal, tidak ada kelainan dalam tes laboratorium, dan tidak ada manifestasi klinis.
Klien pada stadium 2 umumnya asimtomatik, tetapi mungkin mengalami hipertensi,
dan ada kelainan pada tes laboratorium. Pada stadium 3, klien biasanya masih
asimtomatik tetapi nilai laboratorium menunjukan kelainan di beberapa sistem organ,
dan hipertensi sering ada. Pada staium 4 klien mulai mengalami manifestasi klinis
terkait dengan CKD seperti kelelahan dan nafsu makan yang buruk. Pada stadium 5,
sesak nafas berat menjadi manifestasi klinis penyakit ginjal stadium akhir merupakan
buktinya.

Proteinuria adalah salah satu predictor yang paling kuat akan perkembangan CKD.
Oleh karena GFR menurun, klien mungkin menunjukan tidak hanya proteinuria
tetapi juga hipertensi, berbagai kelainan laboratorium., dan manifestasi yang di
akibatkan oleh organ lain. Kelainan ini termasuk anemia, asidosis metabolic,
dyslipidemia, penyakit tulang, malnutrisi protein-energi, dan neuropati; perubahan
dalam status kesehatan dijelaskan dengan lebih detail di bab36 dalam kaitannya
dengan ESRD.

Tanda dan gejala pada klien gagal ginjal : (Majid & Suharyanto, 2013, hal, 189)
a. Ginjal dan gastrointestinal : Hipotensi, mulut kering, penurunan turgor kulit,
fatique, dan mual.
b. Kardiovaskuler : Hipertensi, aritmia, kardiomyopati, uremic percarditis, effuse
pericardial (kemungkinan bisa terjadi tamponade jantung), gagal jantung, edema
periorbital dan edema perifer.
c. Respiratory system : Edema pulmonal, nyeri pleura, friction rub dan efusi
pleura, crackles, sputum yang kental, uremic pleuritis dan uremic lung, dan
sesak napas.
d. Gastrointestinal : Adanya inflamasi dan ulserasi pada mukosa gastrointestinal
karena stomatitis, ulserasi dan perdarahan gusi, dan kemungkinan juga disertai
parotitis.
e. Integumen : Kulit pucat, kekuning-kuningan, kecoklatan, kering dan ada scalp.
f. Neurologis : Neuropathy perifer, nyeri, gatal pada lengan dan kaki.
g. Endokrin : Infertilitas dan penurunan libido, amenorrhea dan gangguan siklus
menstruasi pada wanita, impoten, penurunan sekresi aldosterone, dan kerusakan
metabolism karbohidrat.
h. Hematopoitiec : Anemia, penurunan waktu hidup sel darah merah,
trombositopenia (dampak dari dialysis), dan kerrusakan platelet.
i. Musculoskeletal : Nyeri, pada sendi dan tulang, demineralisasi tulang, fraktur
pathologis, dan klasifikasi (otak, mata, gusi, sendi, miokard).

5. Klasifikasi
Klasifikasi gagal ginjal kronis di bagi atas 5 tingkatan derajat yang didasarkan pada
LFGdengan ada atau tidaknya kerusakan ginjal. Pada derajat 1-3 biasanya belum
terdapat gejala apapun. Manifestasi klinis datang pada fungsi ginjal yang rendah
yaitu terlihat pada derajat 4 dan 5. (Arora , 2015).
6. Komplikasi
a. Anemia
b. Neuropati perifer
c. Komplikasi kardiopulmoner
d. Komplikasi GI
e. Disfungsi seksual
f. Defek skeletal
g. Parastesia
h. Disfungsi saraf motoric, seperti foot drop dan paralisis flasid
i. Fraktur patologis

Komplikasi dapat di timbulkan dari penyakit gagal ginjal kronis adalah: (Prabowo
& Pranata, 2014, hal 203)

a. Penyakit tulang
Penurunan kadar kalsium (hipokalsemia) secara langsung akan mengakibatkan
dekalsifikasi matriks tulang, sehingga tulang akan menjadi rapuh
(osteoporosis) dan jika berlangsung lama akan menyebabkan fraktur
pathologis.
b. Penyakit kardiovaskuler
Ginjal sebagai kontrol sirkulasi sistemik akan berdampak secara
sistemikberupa hipertensi, kelainan lipid, intoleransi glukosa, dan kelainan
hemodinamik (sering terjadi hipertrofi ventrikel kiri).
c. Anemia
Selain berfungsi dalam sirkulasi, ginjal juga berfungsi dalam rangkaian
hormonal (endokrin). Sekresi eritropoetin yang mengalami defisiensi di ginjal
akan mengakibatkan penurunan hemoglobin.
d. Disfungsi seksual
Dengan gangguan sirkulasi pada ginjal, maka libido sering mengalami
penurunan dan terjadi impotensi pada pria. Pada wanita, dapat terjadi
hiperprolaktinemia.

7. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang pada gagal ginjal kronik menurut Doengoes 1999 adalah:
a. Urine
1) Volume, biasanya kurang dari 400ml/24 jam (oliguria) atau urine tidak ada.
2) Warna, secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh pus, bakteri,
lemak, partikel koloid, fosfat atau urat.
3) Berat jenis urine, kurang dari 1.015 (menetap pada 1.010 menunjukkan
kerusakan ginjal berat)
4) Klirens kreatinin, mungkin menurun.
5) Natrium, lebih besar dari 40 meq/L karena ginjal tidak mampu
mereabsorbsi natrium.
6) Protein, derajat tinggi proteinuria (3-4 +) secara kuat menunjukkan
kerusakan glomerulus.
b. Darah
1) Hitung darah lengkap, Hb menurun pada adanya anemia, Hb biasanya kurang
dari 7-8 gr
2) Sel darah merah, menurun pada defesien eritropotein seperti azotemia.
3) GDA, pH menurun, asidosis metabolic (kurang dari 7,2) terjadi karena
kehilangan kemampuan ginjal untuk mengeksresi hydrogen dan ammonia
atau hasil akhir katabolisme protein, bikarbonat menurun, PaCO2 menurun.
4) Kalium, peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai perpindahan seluler
(asidosis) atau pengeluaran jaringan
5) Magnesium fosfat meningkat
6) Kalsium menurun
7) Protein (khusus albumin), kadar serum menurun dapat menunjukan
kehilangan protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan,
atau sintesa karena kurang asam amino essensial.
8) Osmolaritas serum: lebih besar dari 285 mOsm/kg, sering sama dengan urine.
c. Pemeriksaan radiologi
1) Foto ginjal, ureter dan kandung kemih (kidney, ureter dan blader/KUB):
menunjukan ukuran ginjal, ureter, kandung kemih, dan adanya obstruksi
(batu).
2) Pielogram ginjal: mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi
ekstravaskuler.
3) Sistouretrogram berkemih: menunjukan ukuran kandung kemih, refluks
kedalam ureter dan retensi.
4) Ultrasonografi ginjal: menentukan ukuran ginjal dan adanya masa, kista,
obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
5) Biopsy ginjal: mungkin dilakukan secara endoskopik, untuk menentukan sel
jaringan untuk diagnosis hostologis.
6) Endoscopy ginjal dan nefroskopi: dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal
(keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif).
7) Elektrokardiografi/EKG: mungkin abnormal menunjukan ketidakseimbangan
elektrolit dan asam basa.
8) Foto kaki, tengkorak, kolumnaspinal dan tangan, dapat menunjukan
demineralisasi klasifikasi.
9) Pielogram intravena (IVP), menunjukan keberadaan dan posisi ginjal, ukuran
dan bentuk ginjal.
10) CT scan untuk mendeteksi masa retroperitoneal (seperti penyebaran tumor).
11) Magnetic resonan imaging MRI untuk mendeteksi struktur ginjal, luasnya
lesi infasis ginjal.

8. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan homeostatis
selama mungkin. Seluruh factor yang berperan pada gagal ginjal tahap akhir dan
factor yang dapat dipulihkan (mis obstruksi) diidentifikasi dan ditangani.

Komplikasi potensial gagal ginjal kronis yang memerlukan pendekatan kolaboratif


dalam perawatan mencakup: (1) hyperkalemia akibat penurunan eksresi, asidosis
metabolic, katabolisme, dan masukan diet berlebih; (2) pericarditis, efusi pericardial,
dan tamponade jantung akibat retensi produk sampah uremik dan dialysis yang tidak
adekuat; (3) hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin-
angiotensin-aldoste-ron; (4) anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang
usia sel darah merah, perdarahan gastrointestnal akibat iritasi oleh toksin, dan
kehilangan darah selama hemodialysis, dan (5) penyakit tulang serta klasifikasi
metastatic akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum yang rendah, metabolism
vitamin D abnormal, dan peningkatan kadar aluminium.

Komplikasi dapat dicegah atau dihambat dengan pemberian antihipertensif,


eritropoetin, suplemen besi, agens pengikat fosfat, dan suplemen kalsium. Pasien
juga perlu mendapat penanganan dialysis yang adekuat untuk menurunkan kadar
produk sampah uremik dalam darah.

Tindakan pengobatan pada tahap ini adalah untuk meredakan atau memperlambat
gangguan fungsi ginjal progrsif.
Pengobatan:
a. Pengaturan diet protein, kalium, natrium, dan cairan
Pembatasan protein
Pembatasan protein tidak hanya mengurangi kadar BUN, tetapi serta
mengurangi asupan kalium dan fosfat, serta mengurangi produksi ion hidrogen
yang berasal dari protein. Pembatsan asupan protein telah terbukti menormalkan
kembali kelainan ini dan memperlambat terjadinya gagal ginjal.
b. Diet rendah kalium
Hyperkalemia biasanya merupakan masalah pada gagal ginjal lanjut. Asupan
kalium dikurangi. Diet yang dianjurkan adalah 40-80 mEq/hari. Penggunaan
makanan dan obat-obatan yang tinggi kadar kaliumnya dapat menyebabkan
hyperkalemia.
c. Diet rendah natrium
Diet Na dianjurkan adalah 40-90 mEq/hari (1-2 g Na). asupan natrium yang
terlalu luas dapat mengakibatkan retensi cairan, edema perifer, edema paru,
hipertensi dan gagal jantung kongestif.
d. Pengaturan cairan
Cairan yang diminum penderita gagal ginjal tahap lanjut harus diawasi dengan
teliti. Parameter yang tepat diikuti selain data asupan dan pengeluaran cairan
yang dicatat dengan tepat adalah pengukuran berat badan harian.
e. Pencegahan dan pengobatan komplikasi
f. Hipertensi
1) Hipertensi dapat dikontrol dengan pembatasan natrium dan cairan.
2) Pemberian diuretic: furosemid (Lasix)
g. Hyperkalemia
Hiperkalemia dapat diobati dengan pemberian glukosa dan insulin intravena
yang akan memasukan K⁺ ke dalam sel, atau dengan pemberian kalsium
glukonat 10%.
h. Anemia
Pengobatanya adalah pemberian hormon eritropoeitin yaitu rekombinan
eritropoeitin (r-EPO) selain dengan pemberian vitamin dan asam folat, besi dan
tranfusi darah.
i. Asidosis
Asidosis ginjal biasanya tidak diobati kecuali HCO⁻₃ plasma turun dibawah
angka 15 mEq/L. bila asidosis berat akan dikoreksi dengan pemberian Na
HCO⁻₃ (natrium bikarbonat) parenteral. Koreksi pH darah yang berlebih dapat
mempercepat timbulnya tetani, maka harus dimonitor dengan seksama.
j. Diet rendah fosfat
Diet rendah fosfat dengan pemberian gel dapat mengikat fosfat didalam usus.
Gel yang dapat mengikat fosfat harus di makan Bersama dengan makanan.
k. Pengobatan hiperurisemia
Obat pilihan untuk mengobati hiperurisemia pada penyakit ginjal lanjut adalah
pemberian alopurinol. Obat ini mengurangi kadar asam urat dengan
menghambat biosintesis sebagian asam urat total yang dihasilkan oleh tubuh.
l. Dialisis dan transplatasi
Pengobatan gagal ginjal kronis stadium akhir yaitu dengan dialisis dan
transplantasi ginjal. Dialisis dapat digunakan mempertahankan penderita dalam
keadaan klinis yang optimal sampai tersedia donor ginjal. Dialisi dilakukan
apabila kadar kreatinin serum biasanya diatas 6 mg/100ml pada laki-laki atau 4
ml/100ml pada wanita, dan GFR kurang dari 4 ml/menit. (Majid & Suharyanto,
2013, hal, 189)
B. Asuhan keperawatan
1. Pengkajian
Klien dengan CKD, ambil riwayat menyeluruh yang meliputi obat dan diet baru-baru
ini diresepkan. Cek tekanan darah. Pantau studi urine termasuk kadar mikroalbumin
dan albumin juga kadar kreatinin darah, GFR, jumlah sel darah merah, dan kadar
elektrolit, glukosa, dan lipid untuk perubahan yang mengacu pada gagal ginjal.
Temuan pengkajian fisik yang mengacu pada perkembangan gagal ginjal mungkin
meliputi kelelahan, edema perifer, sesak nafas, suara paru adventif, murmur jantung
atau gallop, memar, hilang ingatan, gangguan GI, gangguan penyembuhan luka, dan
meningkatnya infeksi.

a. Identitas
Tidak ada spesifikasi khusus untuk kejadian gagal ginjal, namun laki-laki sering
memiliki resiko lebih tinggi terkait dengan pekerjaan dan pola hidup sehat. Gagal
ginjal akut, sehingga tidak berdiri sendiri. (Prabowo & pranata, 2014, hal 204)
1) Status kesehatan saat ini
a) Keluhan utama
Keluhan sistemik: sesak napas, edema malaise,pucat, dan uremia atau
demam disertai menggigil akibat infeksi/urosepsia.
Keluhan local: nyeri, keluhan miksi (keluhan iritasi dan keluhan
obstruksi), hematuria, inkontinensia, disfungsi seksual, atau infertitas.
(Muttaqin, 2012, hal 269)
b) Alasan masuk rumah sakit
Karena pasien mengeluhkan atau mengalami keadaan sesak napas, nyeri,
keluhan miksi, hematuria, dan kontinensia. (Muttaqin, 2012, hal 269)
2) Riwayat penyakit sekarang
Pada klien dengan gagal ginjal kronis biasanya terjadi penurunan urine
output, penurunan kesadaran, perubahan pola napas karena komplikasi dari
gangguan sistem ventilasi, fatigue, perubahan fisiologis kulit bau urea pada
napas. Selain itu karena berdampak pada proses metabolism (sekunder karena
intoksikasi), maka akan terjadi anoreksi, nausea dan vomit sehingga beresiko
untuk terjadinya gangguan nutrisi. (Prabowo & Pranata, 2014, hal 203)
3) Riwayat kesehatan dahulu
a) Riwayat penyakit sebelumnya
Gagal ginjal kronik dimulai dengan periode gagal ginjal akut dengan
berbagai penyebab (multikausa). Oleh karena itu, informasi penyakit
terdahulu akan menegaskan untuk menegaskan untuk penegakan masalah.
Kaji riwayat penyakit ISK, payah jantung, penggunaan obat berlebihan
(overdosis) khususnya obat yang bersifat nefrototik, BPH dan lain
sebagainya yang mampu mempengaruhi kerja ginjal. Selain itu, ada
beberapa penyakit yang langsung mempengaruhi/menyebabkan gagal
ginjal yaitu diabetes melitus, hipertensi, batu saluran kemih (urolithiasis).
(Prabowo & Pranata, 2014, hal 203)
b) Riwayat penyakit keluarga
Gagal ginjal kronis bukan penyakit menular dan menurun, sehingga
silsilah keluarga tidak terlalu berdampak pada penyakit ini. Namun,
pencetus sekunder seperti DM dan hipertensi memiliki pengaruh terhadap
kejadian penyakit gagal ginjal kronis, karena penyakit tersebut bersifat
herediter. (Prabowo & Pranata, 2014, hal 203)
c) Riwayat pengobatan
Pasien gagal ginjal kronis minum jamu saat sakit. (Prabowo & Pranata,
2014, hal 203)
b. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
a) Kesadaran
Kesadaran lemah (fatigue). (Prabowo & Pranata, 2014, hal 206)
b) Tanda-tanda vital
Pada pemeriksaan TTV sering didapatkan RR meningkat (tachypnea),
hipertensi/hipotensi sesuai dengan kondisi fluktuatif. (Prabowo & Pranata,
2014, hal 206)
c) Body system
(1) Sistem pernafasan
Pasien mengalami kussmaul, dyspnea, edema paru, pneumonitis.
(Majid & Suharyanto, 2013, hal, 189)
(2) Sistem kardiovaskuler
Adanya hipertensi, retinopati dan ensefalopati hipertensif, beban
sirkulasi berlebih, edema, gagal jantung kongestif, dan disritma.
(Majid & Suharyanto, 2013, hal, 189)
(3) Sistem persyarafan
Penurunan kesadaran terjadi jika telah mengalami hiperkabic dan
sirkulasi cerebral terganggu. Oleh karena itu penurunan kognitif dan
terjadinya disorientasi akan dialami klien gagal ginjal kronis.
(Prabowo & Pranata, 2014, hal 206)
(4) Sistem perkemihan
Dengan gangguan/kegagalan fungsi ginjal secara kompleks (filtrasi,
sekresi, reabsorsi dan ekskresi), maka manifestasi yang paling
menonjol adalah penurunan urine output < 400ml/hari bahkan sampai
pada anuria (tidak adanya urine output). (Prabowo & Pranata, 2014,
p. 207)
(5) Sistem pencernaan
Gangguan sistem pencernaan lebih dikarenakan efek dari penyakit
(stress effect). Sering ditemukan anoreksia, nausea, vomit, dan diare.
(Prabowo & Pranata, 2014, p. 204)
(6) Sistem integument
Pucat, pruritos, kristal uremia, kulit kering, dan memar. (Majid &
Suharyanto, 2013, hal, 189)
(7) Sistem musculoskeletal
Dengan penurunan/kegagalan fungsi skresi pada ginjal maka
berdampak pada proses demineralisasi tulang, sehingga resiko
terjadinya osteoporosis tinggi. (Prabowo & Pranata, 2014, p. 207)
(8) Sistem endokrin
Berhubungan dengan pola seksualitas, klien dengan gagal ginjal
kronis akan mengalami disfungsi seksualitas karena penurunan
hormone reproduksi. Selain itu, jika kondisi gagal ginjal kronis
berhubungan dengan penyakit diabetes melitus, maka aka nada
gangguan dalam skresi insulin yang berdampak pada proses
metabolism. (Prabowo & Pranata, 2014, hal 206)
(9) Sistem reproduksi
Libido hilang, amenore, impotensi dan sterilitas. (Majid &
Suharyanto, 2013, hal, 189)
(10)Sistem pengindraan
Kadar batas pendengaran menunjukan devisit frekuensi tinggi pada
awal penyakit, setelah itu pendengaran secara bertahap memburuk.
Amourosis uremia adalah onset tiba-tiba kebutuhan bilateral, yang
harus dikembalikan dalam waktu beberapa jam sampai beberapa hari.
Mata sering mengandung garam kalsium, yang membuatnya terlihat
seperti iritasi. (Hawks, Black &, 2014, p. 339)
(11)Sistem imun
Protein, sintesis abnormal, hiperglikemia, kebutuhan insulin menurun
lemak, peningkatan kadar trigeliserid. (Majid & Suharyanto, 2013,
hal, 189)

2. Diagnosa keperawatan
Menurut SDKI (2017) diagnosa keperawatan gagal ginjal kronis yang muncul antara
lain: (PPNI, 2017)
a. Defisit nutrisi
b. Nyeri
c. Hipervolemia
d. Resiko ketidakseimbagan cairan
3. Rencana keperawatan
Rencana keperawatan
Defisit Nutrisi

1. Manajemen nutrisi (I.03119, hal 200)


a. Observasi
 Identifikasi status nutrisi
 Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
 Identifikasi makanan yang disukai
 Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrien
 Monitor asupan makanan
 Monitor berat badan
 Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
b. Terapeutik
 Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu
 Fasilitasi menentukan pedoman diet
 Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai
 Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
 Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
 Berikan suplemen makanan, jika perlu
c. Edukasi
 Anjurkan posisi duduk, jika mampu
 Ajarkan diet yang diprogramkan
d. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan (mis. pereda nyeri,
antiemetik), jika perlu
 Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan
jenis nutrient yang dibutuhkan, jika perlu

Manajemen Nyeri
a. Observasi
 Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
nyeri
 Identifikasi skala nyeri
 Identifikasi respons nyeri non verbal
 Identifikasi factor yang memperberat dan memperingan nyeri
 Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
 Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
 Identifikasi pengaruh nyeri terhadap kualitas hidup
 Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
DAFTAR PUSTAKA

Black & Hawks. (2014). Keperawatan Medikal Bedah, ed.8 Jilid 2. Elsevier: Singapura

Burke dkk. (2017). Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Eliminasi. jakarta: EGC.

Hawks, Black &. (2014). Keperawatan Medikal Bedah. Singapura: Elsevier.

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol 3. Jakarta: EGC

Carpenito. 2001. Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan, Diagnosa keperawatan dan
masalah kolaboratif. Jakarta: EGC

Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New
Jersey: Upper Saddle River

Kasuari. 2002. Asuhan Keperawatan Sistem Pencernaan dan Kardiovaskuler Dengan


Pendekatan Patofisiology. Magelang. Poltekes Semarang PSIK Magelang

Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius

Madjid & Suharyanto. (2013). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: TIM.

Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second Edition.
New Jersey: Upper Saddle River

Nanda. 2005. Nursing Diagnoses Definition dan Classification. Philadelpia

Prabowo & Pranata. (2014). Asuhan Keperawatan Sistem Perkemihan. Yogyakarta: Nuha
Medika.

Rab, T. 2008. Agenda Gawat Darurat (Critical Care). Bandung: Penerbit PT Alumni

Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta: Prima
Medika

Sutjahjo. (2015, hal 99). Dasar-dasar Ilmu Penyakit Dalam . Surabaya: Airlangga University.

Udjianti, WJ. 2010. Keperawatan Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba Medika


Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Strandar Diagnosa Keperawatan Indonesia Definisi
dan Indikator Diagnostik. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat
Nasional Indonesia.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Edisi 1.
Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia : Jakarta
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Edisi 1. Dewan
Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia : Jakarta
Wilkinson. (2017). Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai