Anda di halaman 1dari 10

Pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) di Indonesia tampak belum

menunjukkan tanda-tanda penurunan. Bahkan, dalam Juni 2010, tampak terus


terjadi kenaikan orang yang terinfeksi virus ini. Per 10 Juni ada 1.241 orang positif
COVID-19, hingga total jadi 34.316. Untuk pasien sembuh total 12.129 orang dan
meninggal dunia 1.959 orang.

Setelah memberlakukan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB)


selama dua bulan, pemerintah berencana membuat skenario baru dengan
sebutan new normal. Pilihan ini berdasarkan pandangan WHO yang
mengungkapkan, perlu waktu lama menemukan anti virus. Sejurus dengan
pernyataan WHO ini, Presiden Joko Widodo juga, manusia hidup harus
berdampingan dan berdamai dengan virus ini.

New normal memberikan sejumlah keleluasaan kepada publik dengan menjalankan


protokol kesehatan. Dengan membuka kembali aktivitas dan aksesibilitas seperti
tempat ibadah, hiburan, belanja dan liburan diyakini dapat memulihkan
perekonomian baik dalam skala makro dan mikro. Sekaligus mengontrol
penyebaran dengan menjalankan protokol kesehatan.

Baca: Refleksi Pandemi Corona: Virus Menyerang Akibat Manusia Merusak


Lingkungan

Keputusan ini diperkuat dengan regulasi melalui Keputusan Menteri Kesehatan


HK.01.07/MENKES/328/2020 tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian
COVID-19 di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri agar penyebaran Corona tidak
meluas. Diyakini peraturan lain akan keluar di berbagai tempat lain seperti aktivitas
olah raga atau lain-lain.

Respon publik pun beragam. Banyak kalangan berpendapat kebijakan itu tidak pas
mengingat kurva COVID-19 masih belum turun ditambah lagi ancaman gelombang
kedua yang mulai terjadi di berbagai negara. Pemerintah dianggap memilih ekonomi
( baca : uang) daripada nyawa tak ayal muncul persepsi publik tentang herd
immunity. Sebagian publik lain bisa menerim situasi ini mengingat sudah cukup
lama berada dalam situasi isolasi dari dunia luar. Gangguan psikologis omo dikenal
dengan istilah cabin fever.

 
Pembukaan lahan untuk kebun sawit di hutan adat. Masa pandemi ini harus jadi pengingat bagi
pemerintah agar tak boros beri izin yang menghancurkan hutan dan lingkungan, serta berkonflik
dengan warga.   Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

Momentum Hari Lingkungan Sedunia

Tak dapat dipungkiri, pandemi ini membawa berkah bagi lingkungan. Ia memaksa
perilaku manusia menahan diri mengurangi mobilitas dan industrialisasi, sebagai
penyebab tingginya polusi dan kerusakan alam. Para pakar, akademisi dan aktivis
lingkungan sudah mengingatkan jauh sebelum ini, bahwa lingkungan perlu istirahat
dari aktivitas pertumbuhan ekonomi yang cenderung eksploitatif.

Mengutip buku The Limits of Growth (1972) Donella H. Meadows dan kawan-


kawannya, memberikan ilustrasi betapa industrialisasi dan eksploitasi sumberdaya
alam yang berlebihan sangat mengancam keberlangsungan kehidupan.

Dalam konteks lain kemunculan berbagai virus juga karena perilaku manusia dalam
rekayasa genetika yang mengganggu keseimbangan ekosistem alam. Sebut saja flu
burung, flu Spanyol dan terakhir ini COVID-19 berasal dari kelelawar.

Dengan tidak menafikan ancaman kematian akibat COVID-19, virus ini juga
mengubah wajah bumi dan lingkungan hidup atas polusi industri dan mobilitas
publik. Membaiknya kualitas udara dan lingkungan global merupakan dampak tak
terduga.
Industri di berbagai kawasan tidak lagi mengepulkan asap, limbah industri tidak lagi
mengalir ke sungai-sungai. Rutinitas publik berubah statis, mobil terparkir di garasi-
garasi rumah.

Menurut data Kementerian Ekologi dan Lingkungan China, di awal tahun saat warga
diminta di rumah, emisi karbon berkurang 25% . Saat sebagian kota lockdown,
pabrik-pabrik yang menggunakan batubara kurang hingga 40%. Secara tidak
terduga masyarakat China dapat menghirup udara bersih naik 11,4% di 337 kota di
seluruh negeri tirai bambu ini.

Bagaimana dengan Indonesia? Menurut Direktur Komisi Penghapusan Bensin


Timbal Ahmad Safrudin, hampir 28 tahun, baru tahun ini kualitas udara di Jakarta
masuk kategori baik, dengan catatan tak ada laporan kualitas udara di Jakarta
sebelumnya. Hanya pada 1994, ada laporan resmi dari United Nations Environment
Programme (UNEP).

Pada 2019, saat peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang mengambil
tema beat air polution atau tema versi Indonesia “Biru Langit ku, Hijau Bumi ku,”
membeberkan fakta ancaman krisis udara bersih di berbagai kota besar di dunia
termasuk di Indonesia. Tema ini juga mengacu pada peringatan WHO tentang
ancaman polusi udara terhadap kesehatan masyarakat.

Tak dinyana, pandemi COVID-19 telah memberikan dampak positif bagi lingkungan
hidup, terutama di kota besar dan perilaku konsumtif baik industri maupun
masyarakat selama enam bulan terakhir.

 
 

Perilaku baru

Skema new normal meskipun mendapatkan berbagai kritik, harus dimaknai sebagai


upaya bagi semua pihak dalam menjalani kehidupan dan “berdamai” dengan alam.

Perubahan perilaku dan hidup dalam era new normal jadi sebuah keniscayaan.


Dalam pandangan penulis, pemerintah perlu memperluas perspektif new
normal tidak hanya dalam pendekatan kesehatan, sosial dan ekonomi juga memiliki
lingkungan. Berpikir hijau (thinking green) mengutip Andew Dobson dalam
buku Green Political Thought, tidak hanya berperilaku “seperti” tetapi harus
merombak sejumlah kebijakan politik ekonomi dan perilaku publik berinteraksi
dengan lingkungan.

Dalam skema new normal penulis memberikan highlight terhadap kebijakan politik


lingkungan. Pertama, new normal harus diartikan sebagai sebuah perubahan
paradigma pertumbuhan industri berbasis pada energi terbarukan. Mulai
mengurangi ketergantungan terhadap energi kotor seperti batubara dan energi fosil
lain untuk kebutuhan transportasi yang jadi salah satu penyebab utama kualitas
udara buruk di berbagai kota.
Mempertahankan kualitas udara yang sudah bersih selama pandemi akan
mempermudah upaya pemerintah dalam menurunkan emisi karbon sebagai bagian
komitmen terhadap penurunan emisi global.

Pada satu forum internasional Virtual Ministerial Dialogue with Local and Regional
Governments Strengthening Coordination to Implement the Paris Agreement, yang
diselenggarakan Mei ini, Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan,
kembali membuat komitmen penurunan emisi karbon hingga tahun 2030 sebesar
29% dari business as usual (BAU) dengan upaya sendiri, sampai 41% dengan
bantuan internasional.

Sayangnya, pengesahan RUU Mineral dan Batubara di tengah pandemi jadi


penghalang agenda new normal ini.

Kedua, mendorong produktivitas masyarakat dengan pendekatan gotong royong


( saling bantu) pada kelompok yang paling rentan terdampak COVID-19. Gerakan
membeli bahan pokok ke petani atau nelayan tidak hanya mampu menyelesaikan
problem sosial ekonomi kelompok tetapi mengurangi ecological footprint atau jejak
ekologis.

Kembali ke kehidupan lama yang mendorong produktivitas ekonomi berbasis


konsumerisme tidak menunjukkan sikap dan perilaku normal baru dalam tatanan
masyarakat baru.

Inisiatif-inisiatif seperti ini sudah dilakukan berbagai kelompok masyarakat di


berbagai daerah dan perlu dukungan pemerintah terutama sektor UMKM.

Ketiga, perubahan perilaku publik jadi new normal secara terus menerus agar lahir
perilaku baru ramah lingkungan.

Pada 2018, para peneliti Universitas Zurich Ilmu Terapan menemukan, jika orang-
orang tidak mendapat izin untuk mengendari mobil ketika berpergian dan kemudian
dapat akses alat transportasi lain, mereka tidak akan menggunakan kembali ketika
izin pakai mobil dibuka kembali.

Menyitir Richard Thaler dan Cass Sunstein dalam teori Nugde dalam kebijakan


publik, pemerintah secara sederhana, mampu mengubah perilaku warga negara
dan aktor negara lain, tanpa paksaan dan berbiaya rendah. Mengubah perilaku new
normal tidak akan sulit terlaksana dan tidak akan mendapat resistensi publik kalau
menggunakan pendekatan perilaku. Secara otomatis akan mengurangi penyebaran
virus sekaligus meningkatkan kualitas lingkungan hidup.

Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang jatuh pada 5 Juni lalu, biasa diperingati
sebatas simbolis dan aktivitas business as usual. Pada 2020 ini, hendaknya jadi
momentum bagi semua pihak mengubah perilaku dan paradigma baru.
Secara implisit memberikan pesan kepada pemerintah, akan tetap mempertahankan
pendekatan politik ekonomi pasca COVID-19 dengan mengejar kembali keuntungan
atau profit atau memilih “jalan baru” keberlanjutan lingkungan. Pilihan ada pada
pemerintah. Kalau masih terus berperilaku sama dan new normal hanya gimmick,
akhirnya alam akan menemukan kembali cara memulihkan diri.

*Penulis adalah aktivis lingkungan. dan salah satu penulis  buku “Ketimpangan
Pembangunan Indonesia.”  Tulisan ini merupakan opini penulis.

Keterangan foto utama: Langit Jakarta yang bersih dan biru pada  masa pandemi
Corona. Biasanya, langit tak pernah biru, kualitas udara Jakarta pun, dalam per
tahun lebih banyak buruk. Masa pandemi Corona, kualitas udara Jakarta membaik.
Foto: Andreas Harsono
Pembangunan Ekonomi dan Kerusakan
Lingkungan Era New Normal
Juli 13, 2020 
 
Didiet Nugraha 
 
No Comments

Era New Normal yang sudah mulai dirasakan oleh warga Indonesia telah memicu
kesadaran akan perlunya pembangunan ekonomi yang berkelanjutan yang sekaligus
mampu melindungi sumber daya alam dan memenuhi aspek-aspek keadilan sosial
beberapa pegiat lingkungan mengatakan.
“Di dalam setiap pembangunan berkelanjutan dan unsur kebijakan ekonomi itu harus
mengandung unsur-unsur perlindungan sumber daya alam maupun aspek keadilan sosial
lainnya,” ujar Ismid Hadad, Ketua Dewan Pembina Yayasan Kehati pada webinar yang
diselenggarakan oleh Yayasan Madani Berkelanjutan Kamis (9/7).

Ismid mengatakan bahwa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Pemerintah Pusat


maupun Daerah harus merancang program yang searah dengan pelestarian lingkungan. 

“Teman-teman LSM, Pemerintah Pusat dan Daerah, harus mendesain program pelestarian
lingkungan tanpa adanya kompromi kerusakan,” tekan Ismid. “Masalah seperti ini tentu
dapat ditanggulangi dengan rancangan program yang kreatif dimana pembangunan
ekonomi untuk masyarakat berhasil namun kita tetap menjaga kelestarian lingkungan,”
imbuhnya.

Teguh Surya Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan yang berbicara pada
kesempatan yang sama, mengatakan bahwa konstitusi menjamin bahwa setiap setiap
warga negara berhak mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat, namun ciri
pembangunan ekonomi negara tidak mendukung hal ini. 

Kebijakan pengembangan ekonomi seperti dengan mengandalkan  sektor perkebunan


kelapa sawit untuk menopang perekonomian nasional, menurutnya, jelas tidak berhasil
mengangkat kesejahteraan  daerah penghasilnya maupun petaninya. Sebaliknya
pengembangan perkebunan sawit ini banyak menyulap lahan produktif termasuk hutan dan
gambut menjadi perkebunan sawit.

Hal yang sama juga terjadi di Sektor pertambangan. “Bertumpu terhadap pembangunan
ekstraktif akan lebih merugikan perekonomian negara dan menimbulkan ketimpangan
kesejahteraan,” ujar Teguh. 

Rimawan Pradiptyo, Ketua departemen ilmu ekonomi fakultas ekonomika dan bisnis
Universitas Gadjah Mada  menambahkan bahwa Indonesia sudah banyak melakukan
penelitian mengenai lingkungan dan kini sudah saatnya bagi penerapan hasil hasil riset
tersebut.

“Kita tidak perlu menghitung riset ada berapa, saat ini levelnya bukan riset lagi, sudah
banyak yg dilakukan oleh rekan2 terkait riset, sudah ada literature review, lalu diapakan
agar ada perubahan?,” tanya Rimawan. 

Rimawan berpendapat, pemerintah selama ini tidak merancang program lingkungan


keberlanjutan jangka panjang, pemerintah selalu puas dengan program-program sementara
yang hanya berjangka paling lama satu hingga 3 tahun. Rimawan sendiri menyebutkan ia
berencana membuat rencana keberlanjutan lingkungan yang dirancangnya hingga tahun
3025.

“Kita itu terlalu terburu-buru menggunakan program satu tahun, yang namanya reformasi itu
butuh puluhan tahun. Contoh Korea Selatan saja butuh 40 tahun untuk menjadi lebih baik.
Saya membuat rencana keberlanjutan hingga 3025,” ujar Rimawan.
Salah satu sumber kerusakan lingkungan adalah kebakaran hutan dan lahan (karhutla)
yang sudah menjadi bencana tahunan selama lebih dari satu dasawarsa, namun tetap saja
tidak dijadikan pelajaran untuk merubah model pembangunan 

Menurut data yang dikutip MADANI, kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang terjadi
pada akhir tahun 2015 telah menghanguskan lahan seluas 4,5 kali lebih besar dari pulau
Bali dan mengakibatkan kerugian ekonomi sebesar Rp. 221 Triliun, dan pada tahun 2019
Karhutla kembali membakar 1,6 juta hektar hutan dan lahan gambut. 

Emil Salim, pakar ekonomi dan lingkungan Indonesia, menyebutkan bahwa bangsa ini 
tidak bisa hanya terfokus pada pembangunan infrastruktur seperti yang sering
didengungkan oleh pemerintah.  Menurutnya pemerintah harus merubah arah
pembangunan ekonominya dengan memprioritaskan bidang pendidikan dan kualitas
Sumber Daya Manusia (SDM). 

“Ada perubahan yang belum dipahami oleh pemerintah, seolah-olah business as usual dan
tidak menanggapi pentingnya merubah orientasi pada pembangunan ekonomi saja dan
tidak pada human resources, kita harus memprioritaskan di pendidikan dan kualitas SDM
tidak hanya di infrastruktur. Enrichment dan bukan eksploitasi, jangan berhenti di raw
material tapi juga harus berpikir di value added,” ujar Emil. 

Menurut Teguh, kekayaan sumber daya alam Indonesia melimpah namun juga rawan
bencana karena kondisi, serta rentan terhadap krisis iklim. Pengerukan sumber daya alam
yang tidak terkendali oleh pemerintah Indonesia bukanlah pilihan yang sesuai dengan
keberlanjutan lingkungan untuk masa depan Indonesia. 

Teguh mengatakan bahwa baik buruknya kondisi ekonomi dan lingkungan di Indonesia ini
yang akan merasakannya ialah bangsa Indonesia sendiri karenanya tidak ada pilihan selain
berkomitmen untuk Indonesia yang baru

“Madani mengajak kepada semua pihak untuk menyumbangkan ide dan gagasannya agar
pembangunan ekonomi Indonesia dapat berdaulat, berkeadilan dan berkelanjutan,” tutup
Teguh.
Baca lebih banyak tulisan oleh Didiet Nugraha.

Kelapa sawit? Visit The Palm Scribe.

Anda mungkin juga menyukai