Anda di halaman 1dari 3

Matriks Omnibus Law Ciptaker vs UU 13/2003

Isu Pasal UU 13/2003 Omnibus Law Ciptaker Komentar Saran


Pelatihan tenaga kerja Pasal 13 Ayat (1): lembaga pelatihan kerja milik pemerintah Ayat (1): menambahkan lembaga pelatihan kerja Omnibus Law memperluas pihak yang bisa
dan swasta perusahaan memberikan pelatihan dan memastikan
pengwasan Disnaker setempat
Ayat (4): lembaga pelatihan kerja Pemerintah dan
Perusahaan harus mendaftarkan kegiatan ke
Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker).
Pasal 14 Ayat (1): Lembaga pelatihan kerja swasta dapat Ayat (1): Lembaga pelatihan kerja swasta wajib Kedua ayat dalam UU 13/03 di-merge menjadi
berbentuk badan hukum Indonesia atau perorangan memenuhi perizinan berusaha dari Pemerintah 1 ayat dalam Omnibus.
Ayat (2): Lembaga pelatihan kerja swasta wajib Daerah.
memperoleh izin atau mendaftar ke Disnaker
Ayat (2): Lembaga pelatihan kerja swasta dengan Muncul kebingungan apakah kemudian
modal asing izin usahanya diterbitkan oleh Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Perlu klarifikasi ke
Pemerintah Pusat. (Permenaker) No. 5/2015 tentang SOP Kemenaker mengenai: a.
Penerbitan Izin Usaha Pelatihan Kerja melalui Apakah Permenaker
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM, tersebut masih berlaku; b.
sekarang menggunakan Online Single Bagaimana pengaturan
Ayat (3): Perizinan berusaha harus memenuhi Submission/OSS) masih berlaku. Permenaker atas penyedia latihan
standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan ini belum mengatur lembaga pelatihan tenaga tenaga kerja dengan modal
Pemerintah Pusat. kerja dengan modal asing. asing, jika Pasal 14
Omnibus Law tidak
memerintahkan
pembuatan peraturan
turunan baru.
Ayat (4) Ketentuan mengenai perizinan dan DIHAPUS
pendaftaran lembaga diatur dengan Keputusan
menteri
Penempatan Tenaga Pasal 37 Ayat (1): Pelaksana penempatan tenaga kerja adalah: Ayat (2): Pelaksana penempatan tenaga kerja Frasa "berbadan hukum" dihilangkan.
Kerja Disnaker dan lembaga swasta berbadan hukum adalah: Disnaker dan lembaga penempatan
tenaga kerja swasta
Ayat (2): Lembaga penempatan wajib memiliki izin Ayat (2): Lembaga penempatan wajib memenuhi Perlu ditelaah perbedaan "izin tertulis" dengan
tertulis dari Menteri (atau pejabat yang ditunjuk) perizinan berusaha yang diterbitkan Pemerintah "perizinan berusaha" (untuk konteks lembaga
Pusat. penempatan), dilihat gap-nya. Apakah
"perizinan berusaha" yang dimaksud dalam
Omnibus lebih longgar syaratnya.
Ayat (3): Perizinan Berusaha memenuhi norma, Tidak jelas apakah ayat ini memerintahkan Klarifikasi ke Kemenaker.
standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan pembentukan peraturan pelaksana untuk pasal
Pemerintah Pusat ini.
Penggunaan Tenaga Pasal 42 Ayat (1): Setiap pemberi kerja mempekerjakan Ayat (1): Setiap pemberi kerja yang Omnibus menghilangkan syarat izin
Kerja Asing Tenaga Kerja Asing (TKA) wajib memiliki izin tertulis mempekerjakan TKA wajib memiliki rencana mempekerjakan TKA
Menteri penggunaan TKA
Ayat (3): Kewajiban izin tidak berlaku bagi Ayat (3): Kewajiban izin tidak berlaku bagi Pengecualian izin mengerjakan TKA diperluas,
perwakilan negara asing yang menggunakan TKA direksi/komisaris yang memiliki saham, khususnya untuk bidang industri Penanaman
sebagai pegawai diplomatik atau konsuler. pegawai diplomatik, TKA untuk pekerjaan yang Modal Asing.
terhenti (darurat), vokasi, start-up, bisnis,
penelitian
Ayat (4): TKA dapat dipekerjakan dalam hubungan Ayat (4) pada dasarnya sama, tapi ditambahkan
kerja untuk jabatan dan waktu tertentu. frasa "serta memiliki kompetensi sesuai jabatan
yang akan diduduki".
Ayat (5) dipindah menjadi ayat (6) pada Omnibus Ayat (5): TKA dilarang menduduki posisi Ayat (5) Omnibus sebelumya berasal dari
Law. personalia Pasal 46 UU 13/2003
DIHAPUSKAN: TKA yang masa kerjanya habis dan Ayat (6): Dibentuk Peraturan Pemerintah (PP) Tidak ada kejelasan apakah TKA baru bisa Perlu pengawalan ketat
tidak dapat diperpanjang dapat digantikan TKA untuk pengaturan lebih lanjut. menggantikan TKA yang masa kerjanya habis penyusunan PP
lainnya. dan tidak dapat diperpanjang. Kemungkinan
akan diatur dalam PP.
Pasal 43 Rencana penggunaan TKA, rinciannya, dan tata cara DIHAPUSKAN Pasal ini diubah menjadi Pasal 42 ayat (1)
pengesahan rencana tersebut. dalam Omnibus Law, dengan pengaturan yang
sangat minim, dan tidak mewajibkan
pengesahan rencana penggunaan TKA. Ini
sangat melonggarkan perekrutan TKA di
Indonesia.
Pasal 44 Kewajiban pemberi kerja untuk menaati jabatan dan DIHAPUSKAN Pasal ini direduksi menjadi TKA dapat
standar kompetensi yang akan diatur dalam dipekerjakan dengan "kompetensi sesuai
Keputusan Menteri (Kepmen) jabatan yang akan diduduki", ada pada Pasal
42 ayat (4).
Pasal 45 Ayat (1): Pemberi kerja TKA wajib: a. menunjuk WNI Ayat (1): sama, namun ditambahkan: c. Huruf C sebelumnya adalah Pasal 48 UU
sebagai tenaga pendamping TKI; b. melaksanakan memulangkan TKA setelah hubungan kerja 13/2003
pendidikan dan pelatihan kerja bagi WNI yang akan berakhir
mendampingi
Ayat (2): Ketentuan Ayat (1) tidak berlaku bagi TKA Ayat (2): Ketentuan Ayat (1) tidak berlaku bagi Pada dasarnya UU 13/2003 juga sudah
pada posisi direksi/komisaris jabatan tertentu. mengakui posisi TKA sebagai direksi/komisaris,
namun dalam Omnibus Law dibuat lebih tegas
lagi (lihat Pasal 42 ayat (3)
Pasal 46 TKA dilarang menduduki personalia dan jabatan DIHAPUSKAN Pasal 46 masuk ke Pasal 42 ayat (5), namun
tertentu yang akan diputuskan dalam Keputusan dihilangkan "jabatan tertentu" yang akan
Menteri diputuskan dalam Keputusan Menteri.
Sehingga, pengecualian penempatan TKA
hanya dalam jabatan personalia.
Pasal 47 Ayat (3) tentang ketentuan jabatan TKA dalam DIHAPUSKAN Tidak ada kejelasan mengenai posisi dalam
lembaga pendidikan lembaga pendidikan dengan kriteria seperti
apakah yang boleh diisi oleh TKA
Pasal 48 Pemulangan TKA ke daerah asal DIHAPUSKAN Masuk ke Pasal 45 ayat (1) huruf C pada
Omnibus Law
Pasal 49 Ketentuan penggunaan TKA; pendidikan, dan Ketentuan penggunaan TKA diatur dalam PP Meniadakan kewajiban pengaturan pendidikan Perlu pengawalan ketat
pelatihan WNI pendamping TKA diatur dalam dan pelatihan bagi WNI pendamping TKA untuk penyusunan PP
Keppres alih wawasan dan teknologi
Perjanjian Kerja Pasal 56 Ayat (1) perjanjian kerja bisa PKWT dan PKWTT Sama.
Ayat (2) PKWT didasarkan: jangka waktu atau Sama.
selesainya pekerjaan
Ayat (3): Jangka waktu selesainya pekerjaan Selesainya pekerjaan akan kembali ke
tertentu ditentukan berdasarkan perjanjian kerja. kesepakatan kedua belah pihak (perlu diingat
ketimpangan relasi antara Pemberi Kerja
dengan Pekerja)
Ayat (4): PKWT akan diatur dalam PP Menyebabkan kekosongan hukum yang Perlu pengawalan ketat
mungkin berpotensi dilakukan praktik yang penyusunan PP
tidak seimbang antara Pemberi Kerja dengan
Pekerja
Pasal 57 Ayat (2) mengatur tentang PKWT yang tidak dibuat DIHAPUSKAN Tidak ada kejelasan bagaimana dampak PKWT Judicial review
tertulis serta merta menjadi PKWTT tanpa perjanjian tertulis. Jika terjadi, pekerja
(pasti) bisa mengajukan gugatan kepada
Pemberi Kerja karena PKWT melanggar
kewajiban tersebut, namun ini merepotkan.
Pasal 58 Ayat (2) mengatur masa percobaan kerja (probation) Sama, dan ditambahkan frasa "masa kerja tetap Artinya masa probation tetap dihitung sebagai
untuk PKWTT batal demi hukum dihitung" waktu kerja dan harus diberi upah.

Pasal 59 Ayat (1) mengatur tentang kriteria pekerjaan yang Sama, dan ditambakan 1 huruf, yaitu huruf b: Tidak ada kriteria tentang pekerjaan yang
dapat dikontrak PKWT "pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya penyelesaian tidak terlalu lama. Ini sangat
dalam waktu yang tidak terlalu lama" rancu dan bisa potensi abuse.
Ayat (2) mengatur PKWT tidak bisa diterapkan untuk Sama
pekerjaan tetap
Pasal 59

Ayat (3) mengatur PKWT bisa diperpanjang dan Ayat (3) mengatur jika ketentuan ayat (1) dan (2) Ketentuan perubahan demi hukum PKWT Perlu pengawalan ketat
diperbarui tidak terpenuhi maka PKWT serta merta menjadi menjadi PKWTT dalam Omnibus Law jauh penyusunan PP
PKWTT lebih sedikit jika dibandingkan UU 13/2003.
Ayat (4) mengatur batas waktu maksimal PKWT dan Ayat (4) tentang harus diatur lebih lanjut dalam PP. Sementara untuk PKWT sendiri akan diatur
perpanjangannya lebih lanjut dalam PP, yang mana akan
menyebabkan kekosongan hukum dan potensi
Ayat (5) mengatur mekanisme jangka waktu DIHAPUSKAN abuse.
perpanjangan PKWT
Ayat (6) mengatur mekanisme pembaharuan PKWT DIHAPUSKAN
Ayat (7) mengatur jika PKWT tidak memenuhi ayat- DIHAPUSKAN
ayat di atas maka demi hukum menjadi PKWTT
Ayat (8) mengatur pembuatan peraturan turunan DIHAPUSKAN
dalam Kepmen.
Pasal 61 Ayat (1) mengatur tentang berakhirnya pekerjaan sama, ditambahkan 1 huruf yaitu huruf c, Selesainya suatu pekerjaan tertentu sangatlah
"selesainya suatu pekerjaan tertentu" kabur, dan memberikan kelonggaran bagi
Pemberi Kerja untuk memutuskan pekerjaan
tertentu "sudah selesai" maka berakhirlah
perjanjian kerja
Ayat (2), (3), (4), dan (5) sama
Pasal 61 A BELUM ADA Ayat (1) tentang pengusaha wajib memberikan Tidak ada penjelasan apa yang dimaksud
uang kompensasi bagi buruh yang PKWT-nya kompensasi, komponennya, dan dasar
berakhir karena berakhirnya perjanjian atau penghitungannya
selesainya suatu pekerjaan
Ayat (2) tentang kompensasi sesuai masa kerja
Ayat (3) tentang harus diatur lebih lanjut dalam PP
Outsourcing Pasal 64 Perusahaan bisa melakukan outsourcing DIHAPUSKAN Penghapusan 2 pasal ini sangat berbahaya
Pasal 65 Mengatur syarat-syarat pelaksanaan outsourcing, DIHAPUSKAN karena tidak memberikan jaring pengaman
jenis pekerjaan yang bisa di-outsource, perlindungan yang jelas bagi pekerja outsourcing.
pekerja outsource, hubungan kerja, perjanjian kerja
tertulis, situasi di mana demi hukum hubungan kerja
antara perusahaan penyewa outsource dengan
pekerja outsourcing
Pasal 66 Ayat (1) mengatur tentang pekerja outsourcing tidak Ayat (1): Hubungan kerja antara perusahaan "alih Istilah "perusahaan penyedia jasa
boleh dipekerjakan untuk kegiatan yang berhubungan daya" (outsourcing) dengan pekerja didasarkan pekerja/buruh" berganti menjadi "perusahaan
langsung dengan produksi pada PKWT atau PKWTT tertulis. alih daya". Pasal 64 dan Pasal 65 yang
dihapuskan tidak dimasukkan kembali (padahal
ini syarat dasar outsourcing). Omnibus Law
langsung mengatur hubungan kerja pekerja
outsourcing dengan perusahaannya.

Dalam Pasal 66 UU 13/2003 juga disyaratkan


dalam perjanjian outsourcing harus termuat
pasal-pasal dalam UU tersebut, namun hal ini
dihilangkan dalam Omnibus.
Ayat (2) mengatur tentang syarat jasa outsourcing Ayat (2): Perlindungan pekerja, upah, Ayat ini asalnya dari ayat (2) pada UU 13/2003
yang mencakup: hubungan kerja antara pekerja kesejahteraan, perselisihan yang ditimbulkan yang diambil parsial, hanya berkaitan dengan
dengan perusahaan outsourcing, perjanjan sesuai dengan UU ini dan jadi tanggung jawab upah, kesejahteraan, dll.
PKWT/PKWTT, perlindungan buruh, perjanjian perusahaan outsourcing.
perusahaan penyedia outsourcing dengan
perusahaan yang menggunakan jasanya.
Ayat (3) mengatur tentang perusahaan outsourcing Ayat (3): Apabila terjadi pergantian perusahaan
wajib berbadan hukum dan berizin outsourcing, maka perjanjian kerja harus
mensyaratkan pengalihan perlindungan hak
pekerja.
Ayat (4) mengatur bahwa jika ayat-ayat di atas tidak Ayat (4): Perusahaan outsourcing berbadan hukum Tidak mengatur bagaimana jika syarat-syarat
terpenuhi maka demi hukum status hubungan kerja dan memenuhi izin usaha (yang sudah sangat minim) dalam Omnibus
beralih ke pekerja dengan perusahaan penyewa jasa Law berkaitan dengan outsourcing tidak
outsourcing terpenuhi. Dalam UU 13/2003 jelas
konsekuensi hukumnya.
Ayat (5): Perizinan berusaha memenuhi norma, Idem seperti komentar serupa: tidak jelas,
standar, prosedur, dan kriteria Pemerintah apakah memerintahkan aturan pelaksana atau
tidak.
Ayat (6): Diatur lebih lanjut dalam PP Harus dikawal.
Waktu Kerja Pasal 77 Ayat (1), (2), (3) sama
BELUM ADA Ayat (4): Pelaksanaan jam kerja diatur dalam Menekankan kesepakatan kedua belah pihak
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama
Ayat (5): Diatur lebih lanjut dalam PP Harus dikawal.
Pasal 78 Ayat (1) huruf b: waktu kerja lembur paling banyak 3 Ayat (1) huruf b: waktu kerja lembur paling lama 4 Penambahan waktu kerja lembur
jam dalam 1 hari atau 14 jam dalam 1 minggu jam dalam 1 haru dan 18 jam dalam 1 minggu
Ayat (4): Diatur lebih lanjut dalam PP Harus dikawal.
Pasal 79 Ayat (2): waktu istirahat dan cuti (yang wajib Ayat (2): waktu istirahat (yang wajib diberikan) Ketentuan istirahat mingguan dikurangi
diberikan) meliputi: meliputi: opsinya, dan huruf c masuk ke ayat (3).
a. istirahat antara jam kerja, min. 30 menit setelah a. istirahat antar jam kerja, min. 30 menit setelah 4
kerja 4 jam terus-menerus jam kerja terus menerus
b. istirahat mingguan, 1 hari untuk 6 hari kerja dalam b. istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja
1 minggu atau 2 hari untuk 5 hari kerja dalam 1 dalam 1 minggu.
minggu
c. cuti tahunan, min. 12 hari kerja setelah bekerja 12
bulan terus-menerus
d. istirahat panjang min. 2 bulan dilaksanakan pada
tahun ke-7 dan ke-8 masing-maisng 1 bulan bagi
pekerja yang sudah kerja 6 tahun, tapi setelahnya
pekerja tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya
dalam 2 tahun berjalan dst.
Ayat (3): pelaksanaan istirahat tahunan diatur dalam Ayat (3) sama dengan Ayat (2) huruf c UU 13/2003
perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama
Ayat (4): hak istirahat panjang berlaku bagi pekerjaan Ayat (4): cuti tahunan diatur dalam perjanjian kerja, Pelaksanaan cuti tahunan diatur kembali dalam
perusahaan tertentu peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja perjanjian kerja.
bersama
Ayat (5): perusahaan tertentu diatur lebih lanjut dalam Ayat (5): perusahaan tertentu dapat memberikan Istirahat panjang tidak lagi kewajiban. Jangka
Keputusan Menteri istirahat panjang, yang diatur dalam perjanjian waktunya juga terserah kesepakatan atau
kerja, peraturan perusahaan, dan perjanjian peraturan perusahaan. Ini pengurangan hak
kerja bersama. cuti pekerja. Di sini juga diatur secara rinci
bagaimana istirahat panjang bisa diberikan,
berbeda dengan ketentuan UU 13/2003.
Pengupahan Ayat (3): kebijakan pengupahan yang melindungi Ayat (3): kebijakan pengupahan sebagaimana Bandingkan langsung item yang hilang.
pekerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dimaksud pada ayat (2) meliputi: Struktur upah "yang proprosional" dihilangkan
meliputi: a. upah minimum frasa proporsionalnya.
a. upah minimum b. struktur dan skala upah
b. upah kerja lembur c. upah kerja lembur
c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan d. upah tidak masuk kerja dan/atau tidak
d. upah tidak masuk kerja karena melakukan melakukan pekerjaan karena alasan tertentu
kegiatan lain di luar pekerjaannya e. bentuk dan cara pembayaran upah
e. upah karena menjalankan hak waktu istirahat f. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah
f. bentuk dan cara pembayaran upah g. upah sebagai dasar perhitungan atau
g. denda dan potongan upah pembayaran hak dan kewajiban lainnya
h. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah
i. struktur dan skala pengupahan yang proporsional
j. upah untuk membayar pesangon
k. upah untuk perhitungan pajak penghasilan
Ayat (4): Pemerintah menetapkan upah minimum Ayat (4): Diatur lebih lanjut dalam PP Mengubah prinsip penetapan upah minimum
berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan dan mengatribuskan kebijakan pengupahan
memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan langsung ke PP.
ekonomi

Anda mungkin juga menyukai