Artikel Penelitian
disusun oleh
TIA SOFA RAHMADANTI
22030114120024
2
Pengembangan Formula Enteral Penyakit Hati Berbasis Tepung Kedelai dan Tepung Susu
Kambing
ABSTRAK
Latar Belakang: Sirosis hati berkaitan dengan kejadian malnutrisi akibat tidak menerima zat gizi
yang cukup melalui makanan secara oral. Terapi diet enteral berbasis tepung kedelai dan tepung
susu kambing bermanfaat sebagai alternatif formula untuk sirosis hati. Tepung kedelai dan tepung
susu kambing memiliki kandungan Branched-Chain Amino Acids (BCAA) dan Medium-chain
Triglyceride (MCT) tinggi yang berguna untuk pasien sirosis hati.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 3 taraf perlakuan yaitu variasi
perbandingan tepung kedelai dan tepung susu kambing dengan P1 (45:55), P2 (50:50), P3 (55: 45).
Analisis nilai viskositas, kadar lemak, karbohidrat, dan kandungan energi diuji dengan One Way
Anova dilanjutkan uji Tukey, sedangkan analisis kadar protein, daya cerna protein, dan densitas
energi menggunakan Kruskal-Wallis dilanjutkan uji Mann-Whitney. Analisis organoleptik
menggunakan Friedman dilanjutkan uji Wilcoxon.
Hasil: Terdapat pengaruh yang signifikan perbandingan tepung kedelai dan tepung susu kambing
terhadap kadar lemak, karbohidrat, kandungan energi, viskositas (p=0,000), protein (p=0,007) dan
densitas energi (p=0,013). Sedangkan tidak terdapat pengaruh pada daya cerna protein (p=0,116).
Selain itu, terdapat perbedaan terhadap tingkat penerimaan/organoleptik pada semua aspek yaitu
warna (p=0,046), aroma (p=0,000), rasa (p=0,009) dan tekstur (p=0,002).
Simpulan: Formula terpilih adalah formula P1 karena nilai viskositas, kadar lemak, kandungan
energi, densitas energi yang memenuhi syarat, daya cerna protein yang paling tinggi dan dari segi
organoleptik paling disukai.
Kata Kunci: Sirosis Hati, Formula Enteral, Tepung Kedelai, Tepung Susu Kambing
1
Program Studi Ilmu Gizi, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro, Semarang
3
Enteral Formula for Liver Disease Based on Soybean Flour and Goat Milk Flour
ABSTRACT
Background: Cirrhosis hepatic was related to the incidence of malnutrition due to not receiving
adequate nutrients through food orally. Diet therapy through enteral feeding based on soybean
flour and goat milk flour play role an alternative formula for cirrhosis hepatic. Soybean flour and
goat milk flour contain high Branched-Chain Amino Acids (BCAA) and Medium-chain
Triglyceride (MCT) which are useful for patients with cirrhosis hepatic.
Methods: This was an experimental study using formula with ratio between soybean flour and
goat milk flour was P1 (45:55), P2 (50:50), P3 (55: 45). Viscosity, fat, carbohydrate content, and
energy density were analyzed by using One Way Anova followed by Tukey test while protein
content, protein digestibility, and energy density were analyzed by using Kruskal Wallis followed
by Mann Whitney test. Organoleptic properties were analyzed by using Friedman followed by
Wilcoxon test.
Results: Ratio of soybean flour and goat milk flour could affect the level of fat, carbohydrate,
energy, viscosity (p=0,000), protein (p=0,007) and energy density (p=0,013) while could not affect
the level of protein digestibility (p=0,116). Furthermore, the ratio could affect the organoleptic
properties include color (p=0,046), aroma (p=0,000), taste (p=0,009) and texture (p=0,002).
Conclusion: The selected formula is P1 because a level of viscosity, fat, energy content, energy
density that meet predetermined requirements, highest protein digestibility, and the most preferred
organoleptic parameters.
Keyword: Cirrhosis hepatic, Enteral Formula, Soybean Flour, Goat Milk Flour
1
Nutrition Science Departerment, Medical Faculty of Diponegoro University, Semarang
4
PENDAHULUAN
Sirosis hati merupakan salah satu penyebab utama beban kesehatan di dunia
dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. 1 Kematian karena sirosis hati
secara global meningkat dari 1,54 % pada tahun 1980 menjadi 1,95 % pada tahun
2010.2,3 Tingginya angka kematian berkaitan dengan kejadian malnutrisi yang
kerap dijumpai pada pasien sirosis hati yaitu sebanyak 50-90%.4,5 Bahkan pasien
sirosis dengan malnutrisi dapat meningkatkan kejadian komplikasi dan angka
kematian sebesar 71,3% dan 41,4% dibandingkan pasien tidak malnutrisi sebesar
38,2% dan 18,2%.6 Malnutrisi terjadi karena beberapa faktor, diantaranya asupan
kurang, gangguan absorpsi dan hipermetabolik.4,7,8 Guna mencegah keparahan
malnutrisi akibat tidak menerima zat gizi yang cukup melalui makanan secara
oral, penggunaan makanan enteral dapat dipertimbangkan.9,10
Formula enteral penyakit hati di Indonesia pada umumnya dalam bentuk
formula enteral komersial, dimana harganya relatif mahal sehingga memperbesar
biaya perawatan pasien. Saat ini formula enteral rumah sakit (FERS) sudah
banyak dikembangkan namun umur simpannya yang relatif pendek karena bahan
cair.11 Inovasi formula yang lebih tahan lama dengan harga yang lebih murah
sangat diperlukan yaitu melalui FERS berbasis padat. Pembuatan FERS perlu
mempertimbangkan viskositas supaya dapat melewati pipa sonde.12
Persyaratan diet hati menurut European Society for Clinical Nutrition and
Metabolism (ESPEN) adalah diberikan energi 35-40 kkal/kgBB/hari, protein 1-1,5
g/kgBB/hari tanpa ensefalopati hepatikum atau 0,6-0,8 g/kgBB/hari dengan
ensefalopati hepatikum, karbohidrat 45-65%, dan lemak 25-30%. 5,13,14 Protein
diutamakan dari protein nabati & produk susu karena lebih mudah ditoleransi
serta rendah Aromatic Amino Acids dan amonia daripada protein ikan & daging.
Protein nabati mengandung serat yang dapat mempercepat pengeluaran amonia
melalui feses dan mengandung Branched-Chain Amino Acids (BCAA) tinggi.7,9
Pada penyakit hati, kemampuan hati untuk menerima protein dan
kemampuan deaminasi menurun sehingga terjadi penurunan BCAA dan
peningkatan AAA. BCAA terutama leusin mengatur sintesis albumin yang dapat
meningkatkan kadar serum albumin dan status gizi. 15 BCAA juga dimetabolisme
1
tidak bergantung pada fungsi hati dan terjadi terutama di otot. Sedangkan
metabolisme AAA bergantung pada fungsi hati dan terjadi terutama di hati. 10
BCAA dan AAA bersaing dengan prekusor serotonin yaitu triptofan sehingga
penurunan BCAA meningkatkan penyerapan triptofan di otak. Penyerapan
triptofan yang lebih besar menyebabkan ketidakseimbangan sintesis
neurotransmiter di otak, sehingga terjadi gangguan kesadaran yang merupakan
karakteristik ensefalopati hepatik.5
Diet penyakit hati selain dilihat dari segi kuantitas (tinggi BCAA) juga
harus memperhatikan nilai gizi protein dari segi kualitas/mutu. Kualitas protein
dapat ditentukan oleh daya cerna yang didefinisikan sebagai efektivitas absorpsi
protein oleh tubuh.16 Salah satu bahan makanan sumber protein nabati yang tinggi
BCAA dan daya cerna protein adalah kedelai. Produk yang mengandung kedelai
umumnya bergizi tinggi dan mengandung protein yang mudah dicerna. WHO
telah menetapkan bahwa jika dikonsumsi sesuai anjuran protein harian, kedelai
mengandung jumlah asam amino esensial yang cukup dan dapat disejajarkan
dengan protein hewani.17 Kedelai dapat dimodifikasi dalam bentuk tepung karena
kandungan protein yang lebih tinggi dari produk segarnya, menghilangkan cita
rasa langu, meningkatkan daya cerna dan meningkatkan keawetan.18
Lemak juga dibutuhkan untuk sumber kalori dan keperluan metabolisme
pasien sirosis. Malabsorpsi lemak merupakan salah satu gangguan yang terjadi
pada pasien sirosis akibat defisiensi asam empedu sehingga mengganggu absorpsi
asam lemak rantai panjang.5 Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian lemak
dalam bentuk Medium-chain Triglyceride (MCT). Salah satu bahan makanan
yaitu susu kambing mengandung MCT tinggi sekitar 35% dibandingkan susu sapi
17%.19,20 Susu kambing mempunyai kelebihan dibandingkan susu sapi yaitu
kandungan lemak yang mudah dicerna, protein lebih mudah larut dan diserap, dan
rendah memicu alergi.19,21–23 Rata-rata komposisi asam amino pada susu kambing
menunjukkan 6 dari 10 asam amino lebih tinggi daripada susu sapi terutama 2
BCAA yaitu isoleusin lebih tinggi 4% dan valin 9%.20,21
Selain memperhatikan dari segi kandungan gizi dan daya cernanya, produk
formula enteral juga harus memperhatikan penerimaan serta kesukaan konsumen
2
terhadap warna, rasa, aroma dan tekstur melalui pengujian secara organoleptik.
Uji organoleptik memiliki relevansi yang tinggi dengan mutu produk karena
berhubungan langsung dengan selera konsumen.24–26
Berdasarkan kelebihan tepung kedelai dan tepung susu kambing maka
peneliti tertarik untuk mengkaji mengenai viskositas, kandungan zat gizi, daya
cerna protein dan organoleptik formula enteral penyakit hati berbasis tepung
kedelai dan tepung susu kambing dengan nama “Hepatogomax”.
METODE
Penelitian yang dilakukan termasuk dalam bidang gizi dan pangan serta
merupakan penelitian eksperimental menggunakan 3 taraf perlakuan, yaitu variasi
perbandingan tepung kedelai dan tepung susu kambing. Penelitian dilaksanakan
bulan Juli-Agustus 2018 di Laboratorium Terpadu Universitas Diponegoro untuk
uji kandungan zat gizi dan viskositas, Laboratorium Analisa CV Chem-Mix
Pratama Yogyakarta untuk uji daya cerna protein, dan di lingkungan Ilmu Gizi
Universitas Diponegoro untuk uji organoleptik.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tepung kedelai “Kusuka
Ubiku”, tepung susu kambing “Skygoat”, virgin coconut oil (VCO) “Al Afiat”,
maltodekstrin, dan gula pasir yang dihaluskan. Penelitian ini terbagi atas
penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan
untuk mengetahui kandungan zat gizi yang terdapat dalam tepung kedelai.
Sebelum melakukan penelitian utama, dilakukan penentuan taraf perlakuan
dengan melakukan estimasi perhitungan terhadap bahan yang digunakan
berdasarkan persyaratan diet hati dengan memasukkan pada program di microsoft
office excel. Persyaratan diet penyakit hati menurut European Society for Clinical
Nutrition and Metabolism (ESPEN) adalah energi 35-40 kkal/kgBB/hari, protein
1-1,5 g/kgBB/hari tanpa ensefalopati hepatikum atau 0,6-0,8 g/kgBB/hari dengan
ensefalopati hepatikum, karbohidrat 45-65%, dan lemak 25-30%. Formulasi
bahan dapat dilihat pada Tabel 1 dengan perbandingan tepung kedelai dan tepung
susu kambing yaitu P1 (45:55), P2 (50:50), P3 (55:45).
3
Tabel 1. Formulasi Makanan Enteral Penyakit Hati Modifikasi
P1 P2 P3
Bahan penyusun
(45:55) (50:50) (55:45)
Tepung kedelai (g) 63 70 77
Tepung susu kambing (g) 77 70 63
Virgin coconut oil (g) 7 7 7
Gula pasir halus (g) 45 45 45
Maltodekstrin (g) 70 70 70
Total (g) 262 262 262
4
data yang tidak terdistribusi normal (kadar protein, daya cerna protein dan
densitas energi) dianalisis dengan uji Kruskal-Wallis dan uji lanjut Mann-Whitney
untuk mengetahui beda nyata antar perlakuan. Sedangkan data organoleptik
dianalisis menggunakan uji beda non parametrik Friedman dengan uji lanjut
Wilcoxon.
HASIL PENELITIAN
Viskositas
Hasil analisis nilai viskositas formula enteral Hepatogomax dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2. Viskositas formula enteral Hepatogomax
Formula Enteral Viskositas
(Tp.kedelai : Tp.susu kambing) (cp)
P1 (45:55) 1,45±0,025c
P2 (50:50) 1,74±0,028b
P3 (55:45) 1,93±0,039a
p=0,000*
Keterangan:Angka yang diikuti dengan huruf superscript berbeda (a,b,c) menunjukkan beda nyata
Analisis data dengan uji One Way Anova dilanjutkan uji Tukey
menunjukkan perbandingan tepung kedelai dan tepung susu kambing berpengaruh
signifikan terhadap viskositas semua formula enteral Hepatogomax. Nilai
viskositas tertinggi terdapat pada formula enteral P3 yaitu 1,93±0,028 dengan
perbandingan tepung kedelai dan tepung susu kambing 55:45.
5
Hasil uji statistik menunjukkan terdapat pengaruh signifikan perbandingan
tepung kedelai dan tepung susu kambing terhadap kadar lemak, protein,
karbohidrat, kandungan energi, dan densitas energi sedangkan daya cerna protein
tidak berpengaruh signifikan. Analisis lebih lanjut dengan uji Tukey menunjukkan
kadar lemak ketiga formula enteral berbeda secara signifikan. Kadar protein
ketiga formula enteral juga berbeda signifikan berdasarkan uji lanjut Mann-
Whitney. Analisis lebih lanjut dengan uji Tukey menunjukkan kadar karbohidrat
dan kandungan energi formula P1 berbeda signifikan dengan formula lainnya.
Densitas energi formula P1 juga berbeda signifikan dengan formula lainnya
berdasarkan uji lanjut Mann-Whitney.
Formula enteral P1 dengan perbandingan tepung kedelai dan tepung susu
kambing 45:55 memiliki kadar lemak, kadar karbohidrat, kandungan energi,
densitas energi dan daya cerna protein tertinggi namun kadar protein terendah.
Sedangkan formula enteral P3 dengan perbandingan tepung kedelai dan tepung
susu kambing 55:45 memiliki kadar lemak, kadar karbohidrat, kandungan energi,
densitas energi dan daya cerna protein terendah namun kadar protein tertinggi.
Berdasarkan persyaratan zat gizi makanan enteral penyakit hati menurut
European Society for Clinical Nutrition and Metabolism (ESPEN), kandungan
energi; densitas energi; dan kadar lemak pada ketiga formula percobaan telah
memenuhi syarat, sedangkan untuk kadar karbohidrat pada ketiga formula telah
melebihi syarat. Kadar protein formula P1 dan P2 sudah memenuhi syarat
sedangkan formula P3 telah melebihi syarat untuk pasien penyakit hati dengan
ensefalopati hepatikum. Namun berdasarkan persyaratan kadar protein untuk
pasien penyakit hati tanpa ensefalopati hepatikum, ketiga formula percobaan
memiliki kadar protein masih dibawah persyaratan.
Organoleptik
Hasil analisis organoleptik tingkat kesukaan formula enteral Hepatogomax
dapat dilihat pada Tabel 4. Parameter organoleptik yang dinilai adalah warna,
aroma, rasa, dan tekstur.
6
Tabel 4. Rerata hasil analisis uji organoleptik formula enteral Hepatogomax
Formula Enteral
(Tp.kedelai : Warna Aroma Rasa Tekstur
Tp.susu kambing)
Keterangan:Angka yang diikuti dengan huruf superscript berbeda (a,b,c) menunjukkan beda nyata
*Pengujian dengan Friedman.
PEMBAHASAN
Viskositas
Viskositas adalah suatu cara yang digunakan untuk menunjukkan berapa
daya dari aliran yang diberikan oleh suatu cairan.12 Peningkatan viskositas
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain penurunan suhu, peningkatan
kandungan protein, ukuran lemak yang besar, tingginya konsentrasi larutan,
peningkatan tekanan dan berat molekul terlarut.27–29
Viskositas ketiga formula enteral Hepatogomax berkisar antara 1,45-1,93
cp. Standar viskositas untuk formula enteral berdasarkan American Dietetic
Association adalah 1-50 cP, dimana ketiga formula enteral Hepatogomax telah
7
memenuhi syarat.30 Peningkatan perbandingan tepung kedelai cenderung membuat
viskositas formula enteral Hepatogomax semakin meningkat.
Faktor yang mempengaruhi viskositas formula enteral Hepatogomax adalah
kandungan dan keadaan protein serta ukuran lemak susu kambing. Fraksi protein
pada bahan yang berbeda mempengaruhi pembentukan gel (gelasi). Protein dapat
membentuk gel dengan adanya asam, pemanasan, atau aktivitas enzim.
Mekanisme gelasi pada formula enteral Hepatogomax terjadi akibat proses
pemanasan pada saat penyeduhan dengan air panas dimana molekul protein akan
saling berinteraksi satu dengan lainnya sehingga terbentuk formasi gel.
Protein kedelai sebagian besar (85-95%) terdiri dari globulin. Globulin
merupakan protein yang tidak larut air dan mudah terkoagulasi karena pemanasan.
Oleh karena itu, semakin tinggi komposisi tepung kedelai menyebabkan viskositas
formula enteral Hepatogomax semakin tinggi.28,29,31 Peningkatan kadar protein
juga menyebabkan meningkatnya nilai viskositas dimana pada formula enteral P3
yang mengandung kadar protein paling tinggi (9,66%) diantara formula lainnya
juga memiliki nilai viskositas yang paling tinggi yaitu 1,93 cp.
Selain itu susu kambing juga berpengaruh terhadap nilai viskositas karena
ukuran globula lemaknya yang lebih kecil yaitu sebesar 2 μm dibandingkan
dengan susu sapi sekitar 2,5-3,5 μm. Ukuran partikel globula lemak yang kecil
menyebabkan susu kambing lebih homogen dan lebih terlarut sehingga semakin
tinggi komposisi tepung susu kambing maka viskositasnya menjadi rendah.21,23
8
menyediakan sumber energi yang cepat dan tidak disimpan sebagai lemak tubuh.33
Hal ini disebabkan karena molekul MCT lebih kecil daripada LCT (long chain
triacylglicerols) yang dapat memfasilitasi aksi lipase pankreas sehingga akan
terhidrolisis lebih cepat dan lebih sempurna daripada lemak lainnya.34 Susu
kambing juga mengandung MCT yang tinggi 2 kali lipat lebih banyak sekitar 35%
dibandingkan susu sapi 17%.19,20 Pemberian lemak dalam bentuk MCT berperan
untuk mengatasi gangguan malabsorpsi lemak pada pasien sirosis hati.5
Formula enteral Hepatogomax pada ketiga perbandingan memiliki kadar
lemak berkisar antara 25-27% dimana ketiga formula telah memenuhi persyaratan
diet penyakit hati menurut European Society for Clinical Nutrition and
Metabolism (ESPEN) yaitu 25-30% dari total energi. 13 Kadar lemak tertinggi
terdapat pada formula enteral P1 dengan perbandingan tepung susu kambing yang
lebih banyak. Hal ini disebabkan karena kadar lemak tepung susu kambing lebih
tinggi dari pada tepung kedelai. Setiap seratus gram tepung susu kambing dan
tepung kedelai masing-masing mengandung 25 g dan 19,43 g lemak.
Kadar Protein
Kebutuhan protein menurut European Society for Clinical Nutrition and
Metabolism (ESPEN) adalah 0,6-0,8 g/kgBB/hari (6-9,142%) dengan ensefalopati
hepatikum atau 1-1,5 g/kgBB/hari (10-17,14%) tanpa ensefalopati hepatikum. 5
Pembatasan protein tidak direkomendasikan pada pasien sirosis hati karena dapat
menyebabkan peningkatan katabolisme protein yang dapat memperburuk
komplikasi ensefalopati hepatik karena pelepasan amonia (hasil sampingan dari
katabolisme protein yang bersifat toksik untuk tubuh).5,9 Asupan protein
diutamakan dari protein nabati dan produk susu karena lebih mudah ditoleransi,
rendah Aromatic Amino Acid (AAA) dan amonia, tinggi Branched-Chain Amino
Acids (BCAA) daripada protein ikan dan daging.7,9
Branched-Chain Amino Acids (BCAA) adalah asam amino esensial untuk
sintesis protein, protein turnover, dan regulasi metabolisme energi. BCAA terdiri
dari asam amino leusin, isoleusin, dan valin sedangkan AAA terdiri dari asam
amino triptofan, fenilalanin, dan tirosin. Amonia dan AAA secara normal
9
dimetabolisme dan/atau didetoksifikasi oleh hati. Pada pasien dengan penyakit
hati lanjut, AAA terakumulasi sebagai hasil dari gangguan fungsi hepatosit.
Pasien sirosis mempunyai rasio BCAA:AAA yang rendah. BCAA menurun
karena diambil oleh sel otot skeletal sebagai substrat energi atau degradasi
amonia. AAA meningkat karena gangguan kapasitas hepatosit pada deaminasi.5
Kadar protein ketiga formula enteral Hepatogomax berkisar antara 6,70-
9,66% dimana kadar protein formula P1 dan P2 telah memenuhi syarat untuk
pasien penyakit hati dengan ensefalopati hepatikum sedangkan formula P3
melebihi syarat. Namun berdasarkan persyaratan untuk pasien penyakit hati tanpa
ensefalopati hepatikum, ketiga formula percobaan memiliki kadar protein dibawah
persyaratan. Meningkatnya kadar protein seiring dengan meningkatnya
perbandingan tepung kedelai, hal tersebut disebabkan kadar protein tepung
kedelai (36,5g/100g) lebih tinggi dibandingkan tepung susu kambing (5g/100g).
Kadar Karbohidrat
Karbohidrat merupakan senyawa organik yang terbentuk dari atom karbon,
oksigen dan hidrogen. Karbohidrat telah menjadi sumber energi utama untuk
metabolisme pada manusia, jumlah energi yang dapat dihasilkan oleh 1 gram
karbohidrat adalah 4 kkal. Selain sebagai sumber energi, karbohidrat juga
berfungsi sebagai cadangan makanan dan pemberi rasa manis pada makanan.35
Sumber karbohidrat formula enteral Hepatogomax berasal dari gula,
maltodekstrin, tepung susu kambing dan tepung kedelai.
Persentase karbohidrat ketiga formula enteral Hepatogomax berkisar antara
65,29-65,97%. Persyaratan untuk kadar karbohidrat menurut European Society
for Clinical Nutrition and Metabolism (ESPEN) adalah 45-65%, dimana kadar
karbohidrat yang dihasilkan oleh ketiga formula enteral Hepatogomax telah
melebihi persyaratan.13 Perbedaan kadar karbohidrat pada masing-masing formula
disebabkan kadar karbohidrat pada tepung susu kambing lebih tinggi (40g/100g)
dibandingkan tepung kedelai (37,8g/100g). Formula P1 memiliki perbandingan
tepung susu kambing yang lebih banyak dibandingkan tepung kedelai sehingga
10
formula P1 mengandung kadar karbohidrat paling tinggi dibandingkan formula
lainnya.
Asupan karbohidrat yang cukup berguna untuk membantu mencegah
hipoglikemia karena gangguan sintesis glikogen dan penyimpanan glikogen yang
terbatas dihati akibat sirosis hati. Asupan karbohidrat yang berlebih
mengakibatkan peningkatan CO2 yang dapat menimbulkan sesak nafas.5
11
asam-asam amino sehingga dapat diserap oleh tubuh, sedangkan apabila daya
cerna protein rendah maka protein sulit dihidrolisis menjadi asam amino sehingga
jumlah asam amino yang dapat diserap tubuh rendah karena sebagian besar akan
dibuang melalui feses.16 Daya cerna protein pada suatu bahan pangan dipengaruhi
oleh adanya senyawa antigizi (asam fitat, tanin, hemaglutinin, protease inhibitor),
proses pengolahan (denaturasi protein, reaksi maillard), dan reaksi antara protein
dengan senyawa lain (polifenol, karbohidrat, lemak, serat).38–40
Umumnya protein hewani (daging, ikan, susu, telur) merupakan protein
yang bernilai gizi tinggi, kecuali gelatin. Sedangkan protein nabati daya cernanya
lebih rendah dan kekurangan salah satu/lebih asam amino esensial. Contoh protein
serealia (beras, terigu) kekurangan asam amino lisin, sedangkan protein kacang-
kacangan (kedelai) kekurangan asam amino belerang (metionin).37
Daya cerna protein ketiga formula enteral Hepatogomax berkisar antara
45,90-53,44%. Formula P1 memiliki daya cerna protein tertinggi sebesar 53,44%
dengan jumlah tepung kedelai yang sedikit dibandingkan tepung susu kambing.
Hal ini menunjukkan adanya penurunan daya cerna protein formula enteral seiring
peningkatan tepung kedelai. Protein yang masuk ke dalam tubuh tidak seluruhnya
dapat dicerna. Protein hewani yaitu susu kambing dapat dihidrolisis hampir
sempurna menjadi asam-asam amino, sedangkan protein nabati yaitu tepung
kedelai umumnya tidak sempurna dicerna karena protein dilindungi oleh
pelindung selulosa dan polisakarida.41 Menurut WHO, daya cerna protein susu dan
tepung kedelai pada manusia masing-masing adalah 95% dan 86%.42
Penurunan daya cerna protein formula enteral Hepatogomax yang seiring
dengan peningkatan jumlah tepung kedelai disebabkan karena adanya senyawa
antigizi dan serat pangan. Telah diketahui bahwa paling sedikitnya ada 5-6 macam
inhibitor protease pada kedelai. Protease inhibitor adalah senyawa yang dapat
menghambat aktivitas enzim proteolitik, enzim yang diperlukan untuk mencerna
protein dalam lambung. Kandungan hemaglutinin, tanin, asam fitat yang terdapat
pada kedelai juga menyebabkan rendahnya daya cerna protein. Asam fitat dapat
mengikat protein dan mineral tertentu seperti Mg, Ca, dan Na sehingga tidak
dapat diserap dan dimanfaatkan oleh tubuh sehingga daya cernanya menurun.39
12
Protein juga dapat berikatan kuat dengan makromolekul lainnya seperti
ikatan dengan polisakarida dan serat pangan sehingga menurunkan kecernaan
protein. Serat pangan yang terkandung dalam tepung kedelai dapat mempengaruhi
aktivitas enzim-enzim protease. Apabila serat pangan berikatan dengan protein,
enzim protease akan sulit untuk melakukan penetrasi untuk memutus ikatan
peptidanya. Hal ini menyebabkan protein tersebut tidak dapat tercerna dengan
baik sehingga nilai cerna proteinnya menurun dan absorpsi asam amino menjadi
kurang efisien.40
Organoleptik
Parameter Warna
Adapun pada parameter warna, formula enteral P1 memiliki warna yang
paling disukai dengan skor tertinggi sebesar 4,12±0,72 dibandingkan dua formula
lainnya. Karakteristik formula enteral Hepatogomax yang dihasilkan berwarna
putih agak kecoklatan seiring dengan bertambahnya perbandingan tepung kedelai.
Hal ini menunjukkan perbandingan tepung kedelai yang lebih sedikit dapat
meningkatkan penerimaan dalam hal warna formula enteral.
Panelis lebih menyukai warna formula enteral yang lebih putih
(perbandingan tepung kedelai yang lebih sedikit). Warna putih pada formula
enteral Hepatogomax berasal dari tepung susu kambing yang memiliki
karakteristik warna lebih putih dari susu sapi karena susu kambing tidak
mengandung karoten yang menyebabkan warna agak kekuningan. 43 Warna
kecoklatan berasal dari karakteristik tepung kedelai yang mengalami pencoklatan
(browning) akibat proses pengeringan. Proses penyeduhan menggunakan air
panas juga menyebabkan warna formula enteral menjadi kecoklatan karena terjadi
reaksi Maillard yang merupakan reaksi antara gugus karbonil (gula pereduksi)
dengan gugus amino (asam amino, peptida dan protein) apabila keduanya
dipanaskan atau tersimpan dalam waktu yang relatif lama. Dalam produk susu,
proses tersebut dimulai dari kondensasi laktosa dengan residu asam amino bebas
lisin dalam protein susu (laktosilasi).44
13
Parameter Aroma
Hasil nilai organoleptik menunjukan bahwa formula P1 memiliki aroma
yang paling disukai dengan skor tertinggi sebesar 3,80±0,70 dibandingkan kedua
formula lainnya dimana formula P1 dengan perbandingan tepung kedelai lebih
sedikit. Tepung susu kambing dalam jumlah yang lebih banyak dapat mengurangi
aroma langu tepung kedelai sehingga aroma yang dihasilkan lebih disukai panelis.
Aroma langu dari kedelai dihasilkan oleh adanya enzim lipoksidase pada
kedelai. Enzim lipoksidase akan menghidrolisis atau menguraikan lemak kedelai
menjadi senyawa-senyawa penyebab bau langu yang mengandung gugus karbonil
yang bersifat volatil, seperti heksanal dan heksanol. Senyawa-senyawa tersebut
dalam konsentrasi rendah sudah dapat menyebabkan bau langu (beany flavour).31
Sedangkan susu kambing yang dipakai tidak menghasilkan aroma khas kambing
karena menggunakan susu bubuk bukan susu segar. Pengolahan susu segar
menjadi susu bubuk merupakan salah satu cara untuk mengurangi/menghilangkan
aroma khas dari susu kambing.45 Aroma langu dapat diatasi dengan penambahan
vanili. Menurut Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan tahun
2016, batas maksimum penggunaan perisa vanili adalah 5 mg/100 ml.46
Parameter Rasa
Formula enteral P1 memiliki skor tertinggi sebesar 3,80±0,96 dibandingkan
dua formula lainnya. Hal ini menunjukkan perbandingan tepung susu kambing
yang lebih banyak dapat meningkatkan penerimaan dalam hal rasa formula.
Sedangkan semakin banyaknya perbandingan tepung kedelai mengurangi tingkat
kesukaan rasa dari formula enteral, hal ini disebabkan tepung kedelai masih
menghasilkan sedikit rasa pahit karena mengandung senyawa-senyawa glikosida
seperti soyasaponin dan sapogenol dalam biji kedelai. 31 Tepung susu kambing
yang digunakan merupakan susu bubuk dengan gula yang menambahkan rasa
manis pada formula enteral sehingga perbandingan tepung susu kambing yang
lebih banyak dapat mengurangi rasa pahit dari kedelai. Penambahan gula pasir
pada formula enteral Hepatogomax juga meningkatkan rasa manis. Selain
berkontribusi memberikan rasa manis, gula juga merupakan sumber karbohidrat
14
sederhana karena mudah larut dalam air dan dapat langsung diserap oleh tubuh
untuk diubah menjadi energi.47
Parameter Tekstur
Adapun parameter tekstur, formula enteral P1 memiliki tekstur yang paling
disukai dengan skor tertinggi sebesar 3,96±0,67 dibandingkan dua formula
lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur
berbanding terbalik dengan semakin banyaknya tepung kedelai yang ditambahkan.
Tepung kedelai menghasilkan formula enteral dengan tekstur sedikit berpasir
karena adanya kandungan serat dalam kedelai.
KESIMPULAN
15
kandungan energi, densitas energi yang memenuhi syarat, daya cerna protein yang
paling tinggi, dan dari segi organoleptik paling disukai.
SARAN
Apabila formula enteral Hepatogomax diberikan secara oral, maka aroma
langu dapat diatasi dengan menambahkan perisa vanili. Guna meningkatkan daya
cerna protein adalah dengan menghilangkan kulit ari kedelai sebelum pembuatan
tepung kedelai yang bertujuan untuk mengurangi kandungan serat kedelai.
Pengujian daya simpan disarankan untuk mengetahui batas aman konsumsi
formula enteral. Perlu pengujian asam amino terutama Branched-Chain Amino
Acids (BCAA) untuk mengetahui kadar asam amino formula enteral yang dibuat.
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Kalaitzakis E. Gastrointestinal dysfunction in liver cirrhosis. World J
Gastroenterol. 2014;20(40):14686–95.
2. Mokdad AA, Lopez AD, Shahraz S, Lozano R, Mokdad AH, Stanaway J,
et al. Liver cirrhosis mortality in 187 countries between 1980 and 2010: A
systematic analysis. BMC Med. 2014;12(145):1–24.
3. EASL The Home of Hepatology. Fast facts about liver disease. In: The
International Liver Congress. Barcelona; 2016.
4. Bavdekar A, Bhave S, Pandit A. Nutrition management in chronic liver
disease. Indian J Pediatr. 2002;69(5):427–31.
5. Cheung K, Lee SS, Raman M. Prevalence and mechanisms of malnutrition
in patients with advanced liver disease, and nutrition management
strategies. Clin Gastroenterol Hepatol. 2012;10(2):117–25.
6. Maharshi S, Sharma BC, Srivastava S. Malnutrition in cirrhosis increases
morbidity and mortality. J Gastroenterol Hepatol. 2015;30:1507–13.
7. Bemeur C, Desjardins P, Butterworth RF. Role of nutrition in the
management of hepatic encephalopathy in end-stage liver failure. J Nutr
Metab. 2010;1–12.
8. Purnak T, Yilmaz Y. Liver disease and malnutrition. Best Pract Res Clin
Gastroenterol. 2013;27:619–29.
9. Silva M, Gomes S, Peixoto A, Torres-Ramalho P, Cardoso H, Azevedo R,
et al. Nutrition in chronic liver disease. GE Port J Gastroenterol. 2015;1–9.
10. Plauth M, Muller-Nothmann. A guide for patients with liver diseases
including guidlines for nutrition. 8th ed. Freiburg: Falk Foundation; 2006.
1-70 p.
11. Hapsari HTP. Pengendalian mutu dalam proses pembuatan makanan
enteral di rumah sakit dustira cimahi. Institut Pertanian Bogor; 2012.
12. Huda N. Formulasi makanan cair alternatif berbasis tepung ikan lele
(Clarias gariepinus) sebagai sumber protein. Institut Pertanian Bogor; 2014.
13. Plauth M, Cabre E, Riggio O, Assis-Camilo M, Pirlich M, Kondrup J, et al.
ESPEN guidelines on enteral nutrition: Liver disease. Clin Nutr.
2006;25:285–94.
14. Gokturk HS, Selcuk H. Importance of malnutrition in patients with
cirrhosis. Turk J Gastroenterol. 2015;26:291–6.
15. Eghtesa S, Poustchi H, Malekzadeh R. Malnutrition in liver cirrhosis: The
influence of protein and sodium. Middle East J Dig Dis. 2013;5(2):65–75.
16. Saputra D. Penentuan daya cerna protein in vitro ikan bawal (Colossoma
macropomum) pada umur panen berbeda. ComTech. 2014;5(2):1127–33.
17. eBookPangan. Karakteristik kedelai sebagai bahan pangan fungsional
[Internet]. Jakarta: eBookPangan; 2006. 1-28 p. Available from:
eBookPangan.com
18. Astawan M, Hazmi K. Karakteristik fisikokimia tepung kecambah kedelai.
Pangan. 2016;25(2):105–12.
19. G G, A M, A W, H K. Review on goat milk composition and its nutritive
value. J Nutr Heal Sci. 2016;3(4):1–10.
20. Haenlein GFW. Goat milk in human nutrition. Small Rumin Res.
17
2004;51:155–63.
21. Yangilar F. As a potentially functional food : goats’ milk and products. J
Food Nutr Res. 2013;1(4):68–81.
22. Mwenze PM. Functional properties of goats’ milk : A review. Res J Agric
Environ Manag. 2015;4(9):343–9.
23. Zenebe T, Ahmed N, Kabeta T, Kebede G. Review on medicinal and
nutritional values of goat milk. Acad J Nutr. 2014;3(3):30–9.
24. Ayustaningwarno F. Teknologi pangan teori praktis dan aplikasi. 1st ed.
Yogyakarta: Graha Ilmu; 2014. 1-8 p.
25. eBookPangan. Pengujian organoleptik (evaluasi sensori) dalam industri
pangan [Internet]. Jakarta: eBookPangan; 2006. 1-41 p. Available from:
eBookPangan.com
26. Agusman. Modul penanganan mutu fisis (organoleptik). Semarang:
Program Studi Teknologi Pangan Universitas Muhammadiyah Semarang;
2013. 1-26 p.
27. Santoso EB. Pengaruh penambahan berbagai jenis dan konsentrasi susu
terhadap sifat sensoris dan sifat fisikokimia puree labu kuning. Universitas
Sebelas Maret; 2013.
28. Bourne M, Santoso EB. Food texture and viscosity: concept and
measurement. Second Edi. 2013. 78-81 p.
29. Lumbantoruan P, Yulianti E. Pengaruh suhu terhadap viskositas minyak
pelumas. Sainmatika. 2016;13(2):26–34.
30. National Dysphagia Diet Task Force, American Dietetic Association.
Viscosity level for oral and enteral feedings. In: National dysphagia
diet:Standardization for optimal care. Chicago: American Dietetic
Association; 2002.
31. P SS. Teknologi Pengolahan Kedelai (Teori dan Praktik). [Malang]:
Universitas Widyagama; 2005.
32. Hamad A, Ma’ruf A. Produksi lecithin dari vegetable oils menggunakan
proses acid degumming. In: Prosiding Senatek 2015 Fakultas Teknik,
Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Purwokerto: Universitas
Muhammadiyah Purwokerto; 2015. p. 111–5.
33. Apri N. Profil medium chain fatty acids (MCFA) minyak kelapa (Virgin
Coconut Oil/VCO, minyak simplah, pliek U, klentik, dan kopra)
dibandingkan dengan minyak sawit. Sagu. 2013;12(2):23–31.
34. Oopik V, Timpmann S, Medijainen L, Lemberg H. Effects of daily
medium-chain triglyceride ingestion on energy metabolism and endurance
performance capacity in well-trained runners. Nutr Res. 2001;21:1125–35.
35. Gropper SS, Smith JL, Groff JL. Advanced nutrition and human
metabolism. Fifth edit. USA: Wadsworth Cengange Learning; 2009. 63-99
p.
36. Krenitsky J. Nutrition for patients with hepatic failure. Pract Gastroenterol.
2003;23–42.
37. Muchtadi D. Nutrifikasi Protein. In: Nutrifikasi Pangan. 1st ed. Tangerang
Selatan: Universitas Terbuka; 2008. p. 1.1-1.4.
38. Duodu KG, Taylor JR., Belton PS, Hamaker BR. Factors affecting
18
sorghum protein digestibility. J Cereal Sci. 2003;38:117–31.
39. Gilani GS, Xiao CW, Cockell KA. Impact of antinutritional factors in food
proteins on the digestibility of protein and the bioavailability of amino
acids and on protein quality. Br J Nutr. 2012;108:S315–S332.
40. Kanaka DA, Ayustaningwarno F. Nilai cerna protein in-vitro biskuit
dengan substitusi kecambah kedelai (Glycine max (L.) Merril) dan pisang
(Musa paradisiaca sp.) sebagai makanan sehat untuk anak sekolah dasar. J
Nutr Coll. 2015;4(2):141–6.
41. Budiman. Kandungan nutrisi dan daya cerna protein secara in vitro snack
ekstruksi berbahan grits jagung yang disubstitusi dengan tepung putih telur
sebagai sumber protein. Institut Pertanian Bogor; 2008.
42. World Health Organization. Protein quality evaluation. In: WHO technical
report series : Protein and amino acid requirements in human nutrition.
Geneva: FAO/WHO/UNU Expert Consultation; 2007. p. 93–101.
43. Atmiyati. Potensi susu kambing sebagai obat dan sumber protein hewani
untuk meningkatkan gizi petani. In: Temu Teknis Fungsional Non Peneliti.
Bogor: Balai Penelitian Ternak; 2001. p. 13–7.
44. Tehrany EA, Sonneveld K. Packaging and the shelf life of milk powders.
In: Robertson GL, editor. Food packaging and shelf life : A pratical guide.
1st Editio. Boca Raton: CRC Press; 2009. p. 127–37.
45. Astawan M, Wrediyati T, Miskiyah. Pengembangan susu bubuk dan yogurt
berbasis susu kambing sebagai pangan fungsional pencegah diare. Jakarta;
2009.
46. BPOM. Peraturan kepala badan pengawas obat dan makanan nomor 22
tahun 2016 tentang persyaratan penggunaan bahan tambahan pangan perisa.
Jakarta; 2016.
47. Darwin P. Menikmati gula tanpa rasa takut. Yogyakarta: Sinar Ilmu; 2014.
19
LAMPIRAN
20
Lampiran 2. Rekapitulasi Data Nilai Kandungan Zat Gizi/Gram
kadar lemak (%) kadar protein (%) kadar abu (%) kadar air (%) kadar KH (%)
P1A 13,56 7,46 1,33 3,60 74,05
13,59 7,40 1,47 3,07 74,47
P1B 13,67 7,59 1,89 3,44 73,41
13,64 7,61 1,25 3,63 73,87
P2A 12,69 9,59 1,63 3,81 72,27
12,70 9,53 1,40 4,00 72,37
P2B 12,72 9,65 1,67 4,04 71,93
` 12,74 9,69 1,41 3,96 72,20
P3A 12,27 10,45 1,38 4,30 71,60
12,32 10,54 1,00 3,77 72,37
P3B 12,19 10,73 1,76 3,62 71,70
12,16 10,76 1,20 4,55 71,33
21
P3A 47,37 1,901
47,00 1,893
P3B 44,67 1,960
44,56 1,971
22
Lampiran 6. Analisis Statistik Data Viskositas
1. Uji Normalitas
Tests of Normality
Formula Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Enteral Statistic df Sig. Statistic Df Sig.
Viskositas P1 .215 4 . .952 4 .727
P2 .234 4 . .918 4 .525
P3 .276 4 . .841 4 .197
a. Lilliefors Significance Correction
Diperoleh signifikansi nilai viskositas pada ketiga sampel >0,05, sehingga data yang ada
terdistribusi normal.
2. Uji Varians
Test of Homogeneity of Variances
Viskositas
Levene Statistic df1 df2 Sig.
3.712 2 9 .067
Diperoleh signifikansi pada uji varians >0,05, sehingga data yang ada memiliki varians data
yang sama maka menggunakan uji One Way Anova.
ANOVA
Viskositas Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups .471 2 .236 230.193 .000
Within Groups .009 9 .001
Total .481 11
Pada tabel test statistic terlihat bahwa hasil uji signifikansi ANOVA menunjukkan sig <
0,05 sehingga ketiga sampel memberikan perbedaan yang bermakna terhadap nilai viskositas.
Koefisien keragaman =
√ RKD x 100 %
Y
√ 0,001
= x 100 % = 1,85 %
1,70708
(KK< 5% maka menggunakan uji Tukey untuk menilai manakah sampel yang memiliki
nilai viskositas yang berbeda dan yang sama dari satu sampel dengan sampel yang lain.)
23
4. Post Hoc (Tukey)
Multiple Comparisons
Dependent Variable:Viskositas
95% Confidence
Mean Interval
(I) Formula (J) Formula
Difference Std. Error Sig.
Enteral Enteral Lower Upper
(I-J)
Bound Bound
Tukey HSD P1 P2 -.291500* .022628 .000 -.35468 -.22832
*
P3 -.482000 .022628 .000 -.54518 -.41882
*
P2 P1 .291500 .022628 .000 .22832 .35468
*
P3 -.190500 .022628 .000 -.25368 -.12732
*
P3 P1 .482000 .022628 .000 .41882 .54518
*
P2 .190500 .022628 .000 .12732 .25368
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Viskositas
Subset for alpha = 0.05
Formula Enteral N
1 2 3
a
Tukey HSD P1 4 1.44925
P2 4 1.74075
P3 4 1.93125
Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000.
Pada tabel multiple comparison terlihat adanya perbedaan yang bermakna pada semua
formula terhadap nilai viskositas dimana masing-masing formula memiliki nilai signifikansi <0,05.
Diperoleh signifikansi nilai kadar lemak pada semua sampel >0,05 sehingga data yang ada
terdistribusi normal.
2. Uji Varians
Levene Statistic df1 df2 Sig.
Kadar Lemak per 1000 ml (%) 2.009 2 9 .190
24
Diperoleh signifikansi pada uji varians >0,05, sehingga data yang ada memiliki varians data
yang sama maka menggunakan uji One Way Anova.
ANOVA
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Kadar Lemak Between Groups 10.564 2 5.282 482.011 .000
per 1000 ml (%) Within Groups .099 9 .011
Total 10.663 11
Pada tabel test statistic terlihat bahwa hasil uji signifikansi ANOVA menunjukkan sig <
0,05 sehingga ketiga sampel memberikan perbedaan yang bermakna terhadap nilai kadar lemak
maka dilanjutkan dengan uji Tukey.
25
Kadar Lemak per 1000 ml (%)
Formula Subset for alpha = 0.05 Kesimpulan : Pada tabel multiple
N
Enteral 1 2 3 comparison terlihat adanya perbedaan
Tukey P3 4 25.0525 yang bermakna pada semua formula
HSDa P2 enteral terhadap kadar lemak dimana
4 25.9075 masing-masing formula enteral
P1 4 27.3275 memiliki nilai signifikansi <0,05.
Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000.
2. Uji Varians
Levene Statistic df1 df2 Sig.
Kadar Protein per 1000 ml (%) 9.904 2 9 .005
Diperoleh signifikansi pada uji varians <0,05, sehingga data yang ada memiliki varians data
berbeda maka menggunakan uji Kruskal-Wallis.
3. Uji Kruskal-Wallis
Descriptives
Kadar protein per 1000 ml (%)
Std. 95% Confidence Interval for Mean
N Mean Std. Error Min Max
Deviation Lower Bound Upper Bound
P1 4 6.7050 .10344 .05172 6.5404 6.8696 6.58 6.79
P2 4 8.7100 .06325 .03162 8.6094 8.8106 8.63 8.77
P3 4 9.6625 .16070 .08035 9.4068 9.9182 9.52 9.83
26
Formula Mean Test Statisticsa,b
N
Enteral Rank
Kadar Protein per 1000 ml (%)
Kadar P1 4 2.50
Chi-Square 9.881
Protein per P2 4 6.50 df 2
1000 ml (%)
P3 4 10.50 Asymp. Sig. .007
Total 12 a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Formula Enteral
Pada tabel test statistic terlihat bahwa hasil uji signifikansi menunjukkan sig < 0.05
sehingga ketiga sampel formula enteral memberikan perbedaan yang bermakna terhadap kadar
protein maka dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney.
Pada tabel test statistic terlihat adanya perbedaan yang bermakna pada semua formula
enteral dengan signifikansi <0,05.
Diperoleh signifikansi nilai karbohidrat pada semua sampel >0,05 sehingga data yang ada
terdistribusi normal.
2. Uji Varians
Test of Homogeneity of Variances
Levene Statistic df1 df2 Sig.
Kadar Karbohidrat per 1000 ml (%) 4.120 2 9 .054
Diperoleh signifikansi pada uji varians >0,05, sehingga data yang ada memiliki varians data
yang sama maka menggunakan uji One Way Anova.
28
Std.
Lower Bound Upper Bound
Deviation
P1 4 65.9675 .23796 .11898 65.5889 66.3461 65.69 66.22
P2 4 65.3850 .11358 .05679 65.2043 65.5657 65.27 65.51
P3 4 65.2875 .10275 .05138 65.1240 65.4510 65.17 65.42
Total 12 65.5467 .34666 .10007 65.3264 65.7669 65.17 66.22
ANOVA
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Kadar KH per Between Groups 1.082 2 .541 20.259 .000
1000 ml (%) Within Groups .240 9 .027
Total 1.322 11
Pada tabel test statistic terlihat bahwa hasil uji signifikansi ANOVA menunjukkan sig <
0,05 sehingga ketiga sampel memberikan perbedaan yang bermakna terhadap nilai kadar
karbohidrat maka dilanjutkan dengan uji Tukey.
29
Kadar Karbohidrat per 1000 ml (%)
Tukey P3
4 65.2875
HSDa
P2
4 65.3850
P1
4 65.9675
Sig.
.687 1.000
Diperoleh signifikansi nilai kandungan energi pada semua sampel >0,05 sehingga data yang
ada terdistribusi normal.
2. Uji Varians
Test of Homogeneity of Variances
Levene Statistic df1 df2 Sig.
Kandungan Energi per 1000 ml (kkal) 1.653 2 9 .245
Diperoleh signifikansi pada uji varians >0,05, sehingga data yang ada memiliki varians data
yang sama maka menggunakan uji One Way Anova.
30
Descriptives
Kadar kandungan energi per 1000 ml (%)
Std. 95% Confidence Interval for Mean
N Mean Std. Error Min Max
Deviation Lower Bound Upper Bound
P1 4 1.1748E3 3.04325 1.52162 1169.9625 1179.6475 1171.20 1178.48
P2 4 1.1571E3 1.63436 .81718 1154.4894 1159.6906 1154.80 1158.61
P3 4 1.1517E3 5.39660 2.69830 1143.1503 1160.3247 1147.02 1159.39
Total 12 1.1612E3 10.82621 3.12526 1154.3322 1168.0895 1147.02 1178.48
ANOVA
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Kandungan Between Groups 1166.107 2 583.053 42.604 .000
Energi per 1000 Within Groups 123.167 9 13.685
ml (kkal)
Total 1289.274 11
Pada tabel test statistic terlihat bahwa hasil uji signifikansi ANOVA menunjukkan bahwa
sig < 0,05 sehingga ketiga sampel memberikan perbedaan yang bermakna terhadap nilai
kandungan energi maka dilanjutkan dengan uji Tukey.
31
Lampiran 11. Analisis Statistik Data Densitas Energi
1. Uji Normalitas
Tests of Normality
Formula Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Enteral Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Densitas Energi P1 .307 4 . .729 4 .024
P2 .441 4 . .630 4 .001
P3 .441 4 . .630 4 .001
a. Lilliefors Significance Correction
Diperoleh signifikansi nilai densitas energi pada semua sampel <0,05 sehingga data yang
ada tidak terdistribusi normal maka menggunakan uji Kruskal-Wallis.
2. Uji Kruskal-Wallis
Descriptives
Kadar densitas energi (kkal/ml)
Std. 95% Confidence Interval for Mean
N Mean Std. Error Min Max
Deviation Lower Bound Upper Bound
P1 4 1.1750 .00577 .00289 1.1658 1.1842 1.17 1.18
P2 4 1.1575 .00500 .00250 1.1495 1.1655 1.15 1.16
P3 4 1.1525 .00500 .00250 1.1445 1.1605 1.15 1.16
Pada tabel test statistic terlihat bahwa hasil uji signifikansi menunjukkan sig < 0.05
sehingga ketiga sampel formula enteral memberikan perbedaan yang bermakna terhadap densitas
energi maka dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney.
32
Formula P1 dan P3 Test Statisticsb
Ranks Densitas Energi
Formula Mean Sum of Mann-Whitney U .000
N
Enteral Rank Ranks Wilcoxon W 10.000
Densitas P1 4 6.50 26.00 Z -2.397
Energi P3 4 2.50 10.00 Asymp. Sig. (2-tailed) .017
Total 8 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .029a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Formula Enteral
Test Statisticsb
Formula P2 dan P3
Ranks Densitas Energi
Formula Mean Sum of Mann-Whitney U 4.000
N
Enteral Rank Ranks Wilcoxon W 14.000
Densitas P2 4 5.50 22.00 Z -1.323
Energi P3 4 3.50 14.00 Asymp. Sig. (2-tailed) .186
Total 8 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .343a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Formula Enteral
Pada tabel test statistic terlihat adanya perbedaan yang bermakna pada formula enteral P1
dan P2, P1 dan P3 dengan signifikansi <0,05. Namun, tidak terdapat perbedaan yang bermakna
pada formula enteral P2 dan P3 terhadap nilai densitas energi dengan signifikansi >0,05.
33
Lampiran 12. Analisis Statistik Data Daya Cerna Protein
1. Uji Normalitas
Tests of Normality
Formula Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Enteral Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Daya Cerna P1 .301 4 . .766 4 .053
Protein P2 .305 4 . .740 4 .031
P3 .295 4 . .805 4 .111
a. Lilliefors Significance Correction
Diperoleh signifikansi nilai daya cerna protein pada kedua sampel (P1 dan P3) >0,05
namun sampel P2 <0,05 sehingga data yang ada tidak terdistribusi normal maka menggunakan uji
Kruskal-Wallis.
2. Uji Kruskal-Wallis
Descriptives
Kadar daya cerna protein per 1000 ml (%)
Std. 95% Confidence Interval for Mean
N Mean Std. Error Min Max
Deviation Lower Bound Upper Bound
P1 4 53.4400 4.03444 2.01722 47.0203 59.8597 49.87 57.15
P2 4 47.1200 5.95886 2.97943 37.6381 56.6019 41.86 52.31
P3 4 45.9000 1.49213 .74607 43.5257 48.2743 44.56 47.37
Pada tabel test statistic terlihat bahwa hasil uji signifikansi menunjukkan sig > 0.05
sehingga daya cerna protein ketiga sampel formula enteral tidak ada perbedaan yang bermakna
maka tidak dilakukan uji lanjut.
34
Lampiran 13. Analisis Statistik Data Uji Organoleptik
Uji Normalitas
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Warna_P1 .246 25 .000 .809 25 .000
Warna_P2 .354 25 .000 .780 25 .000
Warna_P3 .367 25 .000 .704 25 .000
Aroma_P1 .251 25 .000 .799 25 .000
Aroma_P2 .289 25 .000 .837 25 .001
Aroma_P3 .310 25 .000 .824 25 .001
Rasa_P1 .263 25 .000 .863 25 .003
Rasa_P2 .223 25 .002 .865 25 .003
Rasa_P3 .239 25 .001 .827 25 .001
Tekstur_P1 .284 25 .000 .801 25 .000
Tekstur_P2 .240 25 .001 .813 25 .000
Tekstur_P3 .275 25 .000 .785 25 .000
a. Lilliefors Significance Correction
Warna, aroma, rasa, tekstur formula enteral : Diperoleh signifikansi warna, aroma, rasa,
tekstur pada ketiga kelompok >0,05, sehingga data yang ada tidak terdistribusi normal.
1. Warna
Uji Friedman
Descriptive Statistic
N Mean Std.Deviation Minimum Maximum
Warna_P1 25 4.12 .726 3 5
Warna_P2 25 3.64 .538 2 5
Warna_P3 25 3.56 .768 3 5
Pada tabel test statistic terlihat bahwa besaran nilai asymp. sig. = 0.046 (sig <0.05)
sehingga ketiga warna formula enteral memberikan respon yang berbeda dari setiap panelis. Dari
hasil rangking diketahui bahwa warna formula enteral P1 mendapatkan respon yang paling tinggi,
disusul warna formula enteral P2 dan kemudian P3.
35
Uji Wilcoxon
Test Statisticsb
Warna_P1 - Warna_P2 Warna_P1 - Warna_P3 Warna_P2 - Warna_P3
Z -2.311a -2.456a -.663a
Asymp. Sig. (2-tailed) .021 .014 .507
a. Based on negative ranks.
b. Wilcoxon Signed Ranks Test
Pada tabel test statistic terlihat adanya perbedaan yang bermakna pada warna formula
enteral P1 dan P2 dengan asymp.sig. 0,021 serta pada warna formula enteral P1 dan P3 dengan
asymp.sig. 0.014. Namun, tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada warna formula enteral
P2 dan P3 dengan signifikansi >0,05.
2. Aroma
Uji Friedman
Descriptive Statistic
N Mean Std.Deviation Minimum Maximum
Aroma_P1 25 3.80 .707 3 5
Aroma_P2 25 2.60 .816 1 4
Aroma_P3 25 2.52 .770 1 4
Aroma_P3
1.58
Pada tabel test statistic terlihat bahwa besaran nilai asymp. sig. = 0.000 (sig <0.05)
sehingga ketiga aroma formula enteral memberikan respon yang berbeda dari setiap panelis. Dari
hasil rangking diketahui bahwa aroma formula enteral P1 mendapatkan respon yang paling tinggi,
disusul aroma formula enteral P2 dan kemudian P3.
Uji Wilcoxon
Test Statisticsb
Aroma_P1 - Aroma_P2 Aroma_P1 - Aroma_P3 Aroma_P2 - Aroma_P3
Z -3.804a -3.777a -.372a
Asymp. Sig. (2-tailed) .000 .000 .710
a. Based on negative ranks.
b. Wilcoxon Signed Ranks Test
36
Pada tabel test statistic terlihat adanya perbedaan yang bermakna pada aroma formula
enteral P1 dan P2 dengan asymp.sig. 0,000 serta pada aroma formula enteral P1 dan P3 dengan
asymp.sig. 0.000. Namun, tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada aroma formula enteral
P2 dan P3 dengan signifikansi >0,05.
3. Rasa
Uji Friedman
Descriptive Statistic
N Mean Std.Deviation Minimum Maximum
Rasa_P1 25 3.80 .957 2 5
Rasa_P2 25 3.24 .970 2 5
Rasa_P3 25 3.12 2 5
Pada tabel test statistic terlihat bahwa besaran nilai asymp. sig. = 0.009 (sig <0.05)
sehingga ketiga rasa formula enteral memberikan respon yang berbeda dari setiap panelis. Dari
hasil rangking diketahui bahwa rasa formula enteral P1 mendapatkan respon yang paling tinggi,
disusul rasa formula enteral P2 dan kemudian P3.
Uji Wilcoxon
Test Statisticsb
Rasa_P1 - Rasa_P2 Rasa_P1 - Rasa_P3 Rasa_P2 - Rasa_P3
a a
Z -2.102 -2.534 -.442a
Asymp. Sig. (2-tailed) .036 .011 .659
a. Based on negative ranks.
b. Wilcoxon Signed Ranks Test
Pada tabel test statistic terlihat adanya perbedaan yang bermakna pada rasa formula enteral
P1 dan P2 dengan asymp.sig. 0,036 serta pada rasa formula enteral P1 dan P3 dengan asymp.sig.
0.011. Namun, tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada rasa formula enteral P2 dan P3
dengan signifikansi >0,05.
4. Tekstur
Uji Friedman
37
Descriptive Statistic
N Mean Std.Deviation Minimum Maximum
Tekstur_P1 25 3.96 .676 3 5
Tekstur_P2 25 3.52 .823 1 5
Tekstur_P3 25 3.24 .779 2 4
Ranks
Test Statisticsa
Mean Rank
N 25
Tekstur_P1 2.42
Chi-Square 12.237
Tekstur_P2 1.90
df 2
Tekstur_P3 1.68
Asymp. Sig. .002
a. Friedman Test
Pada tabel test statistic terlihat bahwa besaran nilai asymp. sig. = 0.002 (sig <0.05)
sehingga ketiga tekstur formula enteral memberikan respon yang berbeda dari setiap panelis. Dari
hasil rangking diketahui bahwa tekstur formula enteral P1 mendapatkan respon yang paling tinggi,
disusul tekstur formula enteral P2 dan kemudian P3.
Uji Wilcoxon
Test Statisticsb
Tekstur P1 -Tekstur_P2 Tekstur P1-Tekstur_P3 Tekstur P -Tekstur_P3
Z -1.869a -2.867a -1.347a
Asymp. Sig. (2-tailed) .062 .004 .178
a. Based on negative ranks.
b. Wilcoxon Signed Ranks Test
Pada tabel test statistic terlihat adanya perbedaan yang bermakna pada warna formula
enteral P1 dan P3 dengan asymp.sig. 0,062. Namun, tidak terdapat perbedaan yang bermakna
pada warna formula enteral P1 dan P2 serta P2 dan P3 dengan signifikansi >0,05.
38
Lampiran 14. Prosedur Uji Viskositas
Cara Kerja :
1. Memasukkan 10 ml sampel kedalam viskosimeter oswald yang sudah diketahui berat jenisnya.
2. Hisap dengan bola peghisap sampau tanda batas a.
3. Lepaskan bola penghisap, lalu catat waktu yang diperlukan dari a sampai b.
Rumus :
ρ sampel x t sampel
Viskositas dinamik : μ= x 10-2 poise
ρ air x t air
Ket : 1 poise = 1 gr/cm.s
39
Lampiran 15. Prosedur Uji Kandungan Zat Gizi
40
dijadikan sebagai metode resmi yang diakui oleh AOAC. Penetapan kadar protein dengan
metode Kjeldahl dibagi menjadi tiga tahap yaitu tahap penghancuran/dekstruksi (digestion),
destilasi, dan titrasi.
Pereaksi
1. Asam sulfat pekat, berat jenis 1.84
2. Air raksa oksida (HgO)
3. Kalium sulfat (K2SO4)
4. Larutan natrium hidroksida – Natrium tiosulfat (larutkan 60 gram NaOH dan 5 gram
Na2S2O3.5H2O) dalam air dan encerkan sampai 100 ml)
5. Larutan jenuh Asam Borat (H3BO3)
6. Larutan Asam Klorida (HCl) 0,02 N
7. Batu didih
8. Air Destilata
9. Indikator MM-MB (campuran 2 bagian 0,2% metilen red dalam etaaol dan 1 bagian 0,2%
metilen blue dalam etanol)
10. Indikator phenolftalein 1% (1 gram phenolftalein dalam 100 ml etanol)
Peralatan
1. Pemanas Kjeldahl lengkap yang dihubungkan dengan penghisap uap melalui aspirator
dalam ruang asam
2. Labu Kjeldahl berukuran 30 ml
3. Alat destilasi lengkap
4. Buret 50 ml
5. Labu takar 100 ml, 1000 ml
6. Pipet ukur 2 ml, 5 ml, 10 ml
7. Erlenmeyer 100 ml, 250 ml
8. Gelas beaker 250 ml
9. Neraca analitik
10. Pengaduk magnetik
11. Pipet tetes
Prosedur Kerja
Tahap Dekstruksi
1. Timbang sejumlah sampel (100-250 mg) ke dalam labu Kjeldahl
2. Tambahkan 1.0 ± 0.1 gram K2SO4, 4.0 ± 10 mg HgO dan 2 ± 0.1 ml H2SO4
3. Tambahkan 203 butir batu didih. Didihkan sampel selama 1-1,5 jam dengan kenaikan suhu
secara bertahap sampai cairan menjadi jernih dan dinginkan.
Tahap Destilasi
41
4. Tambahkan sejumlah kecil aquades secara perlahan lewat dinding labu dan goyang pelan
agar kristal yang terbentuk larut kembali
5. Pindahkan isi labu ke dalam alat destilasi dan bilas 5-6 kali dengan 1-2 ml aquades
6. Pindahkan air cucian ke labu destilasi dan tambahkan 8-10 ml larutan 60% NaOH – 5%
Na2S2O3
7. Letakkan erlenmeyer 250 ml yang berisi 5 ml larutan H 3NO3 dan 2-4 tetes indikator metilen
red-metilen blue dibawah kondensor. Ujung kondensor harus terendam di bawah larutan
H3BO3
8. Lakukan destilasi sehingga diperoleh sekitar 15 ml destilat
Tahap Titrasi
9. Standarisasi Larutan HCl 0,02 N
10. Pipet 25 ml larutan HCl 0,02 N ke dalam erlenmeyer 250 ml, lalu tambahkan 2-3 tetes
indikator fenolftalein 1%
11. Titrasi larutan HCl 0,02 N dengan NaOH 0,02 N yang telah di standarisasi
12. Catat volume NaOH yang diperlukan untuk titrasi hingga warna larutan berubah menjadi
merah muda
13. Hitung normalitas larutan HCl dengan menggunakan rumus :
( ml NaOH ) (N NaOH)
N HCl =
ml HCl
14. Titrasi destilat dengan HCl 0,02 N standar
15. Encerkan destilat dalam erlenmeyer hingga kira-kira 50 ml
16. Titrasi dengan HC 0,02 N terstandar sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu
17. Catat volume HCl 0,02 N terstandar yang diperlukan untuk titrasi
Penetapan Blanko
18. Dengan prosedur yang sama seperti pada sampel, lakukan analisis untuk blanko (tanpa
sampel)
19. Catat volume HCl 0,02 N standar yang digunakan untuk titrasi blanko
Perhitungan
( ml HCl sampel−ml HCl blanko ) x N HCl x 14.007
%N = ×100 %
mg sampel
% Protein = % N x faktor konversi
Gunakan faktor konversi pada Tabel 5 untuk menentukan kadar protein dari sampel. Bila
sampel yang dianalisis tidak tercakup dalam tabel, gunakan faktor konversi 6,25.
Tabel 5. Faktor konversi untuk mengkonversi persen nitrogen menjadi protein
X Faktor konversi F
Jenis Pangan
(% N dalam protein) (100/X)
42
Daging 16,00 6,25
43
E. Penentuan Kadar Air dengan Metode Oven
Penetapan kadar air merupakan cara untuk mengukur banyaknya air yang terdapat
didalam suatu bahan pangan. Metode pengeringan dengan metode oven ini berprinsip pada
pengukuran kehilangan berat akibat menguapnya air dari bahan yang dikeringkan pada suhu
sekitar 100˚C. Metode ini digunakan untuk seluruh bahan pangan, kecuali jika produk tersebut
mengandung komponen-komponen yang mudah menguap atau jika produk tersebut akan
mengalami deproporsi pada pemanasan 100˚C.
Bahan dan Alat
1. Oven dengan kisaran suhu 100˚C-102˚C
2. Cawan
3. Desikator
4. Penjepit cawan
5. Timbangan analitik
Prosedur Kerja
1. Cawan kosong dan tutupnya dikeringkan dalam oven selama 10 menit kemudian
didinginkan dalam desikator selama 10 menit selanjutnya ditimbang. (Wo gram)
2. Timbang kira-kira 5 gram sampel dalam cawan tersebut, sampel disebarkan merata (W1
gram)
3. Tempat cawan beserta isi dan tutupnya di dalam oven selama 6 jam. Hindarkan kontak
antara cawan dengan dinding oven.
4. Angkat cawan beserta isi dan didinginkan dalam desikator kemudian timbang (W2 gram)
5. Keringkan kembali dalam oven dan timbang sampai diperoleh bobot tetap.
Perhitungan
W 1−(W 2−W 0)
Kadar Air (% Wet basis) = ×100 %
W1
W 1−(W 2−W 0)
Kadar Air (% Dry basis) = ×100 %
(W 2−w 0)
(W 2−W 0)
Total Solid (%) = ×100 %
W1
44
4. Saring atau centrifuge larutan lalu tambahkan 5 ml TCA 5%. Diamkan selama 1 jam lalu ambil
5 ml filtrate untuk di analisa kadar proteinnya.
45