Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kurang Energi Protein (KEP) adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan
oleh rendahnya konsumsi energi protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak
memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG). Anak disebut KEP apabila berat badannya
kurang dari 80% indeks berat badan untuk baku standar WHO-NCHS. Secara umum
KEP terbagi menjadi 2 bagian diantaranya, KEP ringan yang sering disebut dengan
istilah gizi kurang dan KEP berat yang sering disebut dengan istilah gizi buruk yang
termasuk di dalamnya adalah marasmus, kwashiorkor (sering juga diistilahkan dengan
busung lapar), dan marasmik-kwashiorkor (Depkes, 2011).
Gizi kurang adalah gangguan kesehatan akibat kekurangan atau
ketidakseimbangan gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan, aktivitas berfikir, dan
semua hal yang berhubungan dengan kehidupan. Kekurangan zat gizi bersifat ringan
sampai dengan berat. Gizi kurang banyak terjadi pada anak usia kurang dari 5 tahun
(Afriyanto, 2010).
Secara nasional, prevalensi berat badan kurang pada tahun 2013 adalah
(19,6%), terdiri dari (5,7%) gizi buruk dan (13,9%) gizi kurang. Prevalensi gizi
kurang meningkat sebesar (0,9%) dari tahun 2007 ke 2013. Data yang sama
menunjukkan anak yang tergolong gizi kurang dengan kategori kurus di antaranya
sebesar (6,0%) dan anak yang memiliki kategori sangat kurus dan sangat pendek
sebesar (17,1%). Bila dilakukan konversi ke dalam jumlah absolutnya, jumlah balita
di Indonesia tahun 2013 adalah sebesar 23.708.844, sehingga jumlah balita gizi buruk
dan kurang sebesar 4.646.933 balita. Keadaan ini berpengaruh kepada masih
tingginya angka kematian bayi (Riskesdas, 2013).
Menurut hasil pemantauan status gizi tahun 2015 di Jawa barat, hasil
prevalensi gizi kurang terhadap berat badan kurang di Kabupaten Bekasi yaitu
sejumlah (16,56%) dan kota Bekasi (16%) mendekati rata-rata prevalensi gizi kurang
di Jawa barat yaitu sebesar (16,87%).
Menurut World Health Organization    (WHO) lebih dari 50% kematian bayi
dan anak terkait dengan gizi kurang dan gizi buruk, oleh karena itu masalah gizi
1
perlu ditangani secara cepat dan tepat. Pada anak gizi buruk makanan pemulihan gizi
diberikan selama masa pemulihan sesuai dengan fasenya yaitu fase stabilisasi,
transisi dan rehabilitasi. Makanan pemulihan pada gizi buruk berupa F75, F100,
Resomal dan makanan therapeutic yang terdiri dari minyak, susu, tepung, gula,
kacang-kacangan dan sumber hewani (Permenkes, 2014).
Menurut (Depkes, 2011) salah satu cara untuk menanggulangi masalah gizi
kurang adalah dengan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) pemulihan, pemberian
formula, dan makanan lokal. Nilai gizi formula anak KEP per 1000 ml terdiri dari
energi, protein, laktosa, kalium, natrium, magnesium, dan seng. Selain itu dapat
ditambah dengan pemberian suplemen gizi seperti kapsul Vitamin A, Tablet Tambah
Darah, Mineral Mix, dan Taburia guna membantu memenuhi kebutuhan zat gizinya.
Faktor yang harus diperhatikan dalam pemberian makanan pada anak yaitu
umur, aktivitas fisik, keadaan sakit, dan jenis kelamin. Pada anak-anak meskipun
metabolisme sama dengan orang dewasa tetapi mereka lebih aktif perkembangan
tubuhnya, sehingga memerlukan tambahan ekstra zat gizi untuk pertumbuhannya.
Adapun faktor penyebab anak tidak mau makan yakni adanya penyakit infeksi, anak
yang terlalu aktif sehingga menyebabkan malas untuk makan. Syarat-syarat
kebutuhan untuk KEP yaitu energi 250-438 kkal, protein 11,5 - 16 g, Protein Score >
65, dan Net Dietary Protein Energy (NDPE) > 9 serta pemberian suplementasi
vitamin dan mineral secara bertahap (Adriani dan Wirjatmadi, 2012).
Dalam upaya mempercepat penanganan masalah gizi kurang di Indonesia, selain
diversifikasi pangan yang dilandasi inovasi, juga pengembangan formula makanan
tambahan dengan standar gizi serta mampu meningkatkan imunitas balita dan
teknologi pengolahan yang mempertimbangkan keunggulan sumber daya pangan
lokal. Makanan anak-anak yang ideal harus mengandung jumlah yang cukup sesuai
keperluan sehari-hari (Soenardi, dalam Soekirman, 2006).
Bahan Makanan Campuran (BMC) fungsional merupakan makanan yang
mampu memberikan efek menguntungkan bagi kesehatan disamping efek nutrisi
yang secara prinsip dimiliki oleh makanan. Sejak pertengahan tahun 1980-an, Jepang
telah menetapkan makanan fungsional yang mempunyai tiga fungsi, yakni (1)
sebagai sumber zat gizi, (2) sebagai pemberi cita rasa dan aroma, dan (3) fungsi yang
berkaitan dengan aspek fisiologis seperti meredam zat berbahaya, regulator fungsi
badan dan kondisi fisik, mencegah penyakit, meningkatkan kesehatan, serta

2
mempercepat pemulihan (Silalahi, 2006, Winarti, 2010).
BMC dapat    dikatakan sebagai suplemen bagi tubuh manusia dalam
memenuhi kebutuhan gizinya. Bahan makanan campuran merupakan perpaduan
bahan makanan yang secara tunggal dapat memenuhi kebutuhan anak dalam hal
kecukupan gizi pada umumnya    (Winarno, 2002). Bahan makanan campuran sudah
dikenal sejak tahun 1950, di Guatemala berhasil mengembangkan campuran jagung
dan tepung biji kapas yang dihasilkan oleh masyarakat setempat, hal ini dilakukan
untuk mencegah ketergantungan terhadap susu dan meningkatkan kondisi balita saat
itu. Di Amerika serikat, BMC yang sudah dikembangkan adalah Corn-Soy-Milk
(CSM) atau tepung jagung-kedelai-susu.
BMC yang berbasis tepung kacang hijau ini, dapat digunakan sebagai bahan
baku untuk produk KEP karena mengandung protein yang tinggi yakni 22,9%,    dan
sebagai sumber protein nabati yang berkualitas baik serta sumber vitamin dan
mineral. Susu skim juga dapat digunakan sebagai bahan campuran untuk makanan
formula penderita KEP karena merupakan sumber protein hewani. Bahan campuran
lainnya yaitu tepung pisang dan tepung beras merah sebagai sumber karbohidrat,
sumber vitamin dan mineral. Tepung pisang mengandung enzim amilase yang dapat
membantu dalam penyerapan zat gizi dalam tubuh sedangkan menurut (Tripoli dkk,
2005) minyak zaitun banyak digunakan dalam bidang kesehatan karena kandungan
asam lemak tak jenuhnya yang tinggi, khususnya asam lemak tak jenuh dengan ikatan
rangkap tunggal yang di dalamnya terdapat asam oleat (Omega 9) dan juga asam
linoleat (Omega 6) dengan kadar 65-85%. Berdasarkan penjelasan diatas maka
makanan formula dibuat sesuai dengan kebutuhan zat gizi dan memanfaatkan
kandungan gizi yang terdapat pada tepung kacang hijau dengan tambahan pangan
lainnya seperti tepung beras merah, susu skim, tepung pisang, gula, dan minyak
zaitun.
Penelitian bahan makanan campuran berbasis tepung kacang hijau, tepung
beras merah, susu skim, tepung pisang, gula dan minyak zaitun ini sangat penting,
karena selain kandungan    dan protein yang tinggi, dapat juga digunakan untuk
memenuhi kebutuhan gizi pada balita gizi kurang yang diharapkan dapat
dikembangkan sebagai bahan makanan    potensial, dan dijadikan formula terstandar
yang akan digunakan untuk program penanggulangan gizi kurang dan program
diversifikasi pangan yang berbasis bahan makanan lokal.

3
1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaiman perbandingan nilai gizi energi dan protein di antara bahan makanan
campuran berbasis tepung kacang hijau tersebut ?

2. Bagaimanakah daya terima atau kesan    hedonik para ibu balita selaku panelis
terhadap bahan makanan campuran tersebut?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum
Untuk mendapatkan bahan makanan campuran berbasis tepung kacang hijau
yang memiliki nilai dan protein yang tinggi.

2. Tujuan Khusus
a. Menentukan formula BMC yang menghasilkan nilai dan protein tinggi.
b. Menghitung nilai zat gizi makanan formula terpilih.
c. Untuk mengetahui sifat fisik    dan organoleptik (daya terima) pada
formula terpilih

1.4 Manfaat Penelitian     

Bagi peneliti:

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan keterampilan


peneliti mengenai pembuatan formula BMC yang memiliki mutu protein tinggi.

Bagi institusi:
Manfaat penelitian ini bagi institusi meliputi: menambah referensi
penelitian di fakultas kesehatan dan ilmu gizi di Universitas MH Thamrin tentang
bahan makanan campuran dan menambah informasi mengenai
penganekaragaman bahan pangan lokal yang memiliki potensi peningkatan status
gizi balita dan sebagai penelitian pendahuluan untuk dapat dikembangkan

4
menjadi formula terstandar yang akan digunakan untuk program penanggulangan
gizi kurang.
Bagi pemerintah:
Sebagai bahan pertimbangan dan alternatif dalam pembuatan produk
formula BMC yang tinggi dan protein bagi balita gizi kurang. Membantu
pemerintah dalam peningkatan status gizi balita dengan pemanfaatan pangan
lokal.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup materi dibatasi pada hal-hal mengenai :

1. Formula BMC yang terdiri dari tepung kacang hijau, tepung beras merah,
tepung pisang, susu skim dan gula diformulasikan terlebih dahulu sesuai
standar Protein Advisory Group ( PAG) dan WHO yang hasil akhirnya dalam
bentuk tepung. Pada saat akan disajikan, formula BMC tersebut dimasak
terlebih dahulu dengan 200 ml air dan minyak zaitun diatas api kecil hingga
matang selama kurang lebih 15 menit. Formula siap disajikan kepada panelis.

2. Formula BMC di ujikan kepada 60 orang panelis tidak terlatih. Panelis yang
terpilih dalam penelitian ini adalah ibu balita sebanyak 60 orang. Uji daya
terima makanan formula meliputi pada aspek rasa, aroma, warna, dan
konsistensi.

Anda mungkin juga menyukai