Anda di halaman 1dari 4

Dalam rangka memenuhi pangan yang kaya gizi terutama untuk golongan rawan seperti balita, ibu

hamil, dirancanglah suatu makanan dari berbagai jenis bahan makanan yang dikenal dengan Bahan
Makanan Campuran (BMC). BMC dapat disebut sebagai makanan sapihan bagi bayi atau makanan
tambahan untuk melengkapi kekurangan protein dan kalori pada keluarga dan golongan rawan gizi
yang umumnya dibuat dalam bentuk bubuk (Winarno, 2004).

Bahan Makanan Campuran (BMC) dapat digunakan sebagai bahan makanan tambahan
selain makanan utama yang dikonsumsi sehari-hari agar kecukupan zat gizi yang dianjurkan dapat
terpenuhi (Hermana, 1976). Agar kekurangan zat gizi dalam makanan utama dapat dipenuhi, BMC
harus diberikan dalam jumlah dan komposisi zat gizi yang telah diperhitungkan. Penyusunan
komposisi zat gizi BMC disesuaikan dengan kebutuhan zat gizi yang akan diberi BMC.
Penggunaan BTP untuk menambah aroma, rasa seperti garam, gula, dan pemanis harus
diminimalkan serendah mungkin dan harus sesuai peraturan yang berlaku (Suharti, 1991).

Dalam menyusun BMC, semakin banyak bahan yang digunakan semakin baik nilai
gizinya. Hermana (1976) menyebutkan beberapa pertimbangan dasar yang perlu diperhatikan
dalam penyusunan BMC yaitu jenis keadaan gizi kurang yang akan ditanggulangi, golongan rawan
yang akan diberi BMC, kemungkinan untuk memproduksi dan mendistribusikan BMC,
kemungkinan penerimaan konsumen terhadap BMC itu yang meliputi cita rasa, kesesuaian dengan
pola dan kebiasaan makan.

Dalam penyusunan BMC diperlukan informasi kandungan gizi dari bahan baku segar dan
tepung yang digunakan. Untuk melihat kadar zat gizi bahan baku (per 100 gram) dan tepung dapat
menggunakan TKPI (Widowati dkk, 1999). Hal yang perlu diperhatikan dalam formula BMC per
porsinya adalah jumlah energi, protein, lemak, skor kimia (chemical score) dan asam amino
pembatas (SAA) (Widiana dan Sofiyatin, 2013). Jumlah energi pada BMC yang diberikan untuk
anak usia 1-2 tahun sebaiknya 360 kalori setiap pemberian BMC (PAG, 1973). Lemak sebaiknya
menyumbang 25% dari total energi produk BMC dan kadar asam linoleat tidak boleh kurang dari
1% lemak (PAG, 1973). Penambahan lemak dapat diabaikan apabila biaya dan teknologi tidak
memungkinkan. Selain itu juga harus memperhatikan pola kecukupan asam amino menurut
kelompok umur yang telah ditetapkan oleh FAO/WHO/UNU (Suharti, 1991). Untuk memenuhi
kecukupan asam amino dapat diatur komposisi bahan-bahan utama maupun ditambahkan bahan-
bahan lain. Berdasarkan Protein Advisory Group (1973), kebutuhan protein bagi anak yang telah
disapih minimal 15% dari total energi, Net Protein Utilization (NPU) tidak kurang dari 60
(sebaiknya 65), Protein Efficiency Ratio (PER) tidak kurang dari 2,1 (sebaiknya di atas 2,3), dan
PER untuk kasein sebaiknya 2,5. Sedangkan untuk anak usia sekolah, kebutuhan zat gizi dalam
BMC yakni protein ≥ 16%, energi ≥ 360 kalori, dan NdpE% 8 (Hermana, 1976 dalam Widowati,
1999).

Kelompok Umur Lisin AAS (mg/gr protein) Treonin Triptofan


Bayi (0-1 tahun) 66 42 43 17
Anak pra sekolah (2-5 tahun) 58 44 34 11
Anak sekolah/remaja (6-12 tahun) 44 22 28 9
Orang tua/dewasa (>20 tahun) 16 17 9 5
Ibu laktasi 32 21 19 9
Tabel 1. Pola Kecukupan Asam Amino Esensial Menurut Kelompok Umur
(FAO/WHO/UNU/1985)

Hambatan yang sering ditemukan saat penyusunan formula BMC adalah kurangnya
kesesuaian kandungan energi, protein, dan lemak dibandingkan dengan batas minimalnya. Oleh
karena itu, formula BMC yang didapatkan saat tahap penyusunan perlu dihitung dan dipastikan
lagi mutu gizinya apakah sudah benar-benar optimal (Suharti, 1991). Persyaratan mutu gizi yang
harus dipenuhi yaitu protein score (PS) dan net dietary protein energy percent (NdpE%) dengan
batas minimal masing-masing adalah 65 dan 7,5 (Suharti, 1991). Hanya formula yang optimal dan
memenuhi persyaratan yang dapat dibuat menjadi produk BMC. Nilai PS diperoleh dari
perbandingan antara kadar asam amino per gram protein sedangkan nilai NdPE% diperoleh dari
PS dan PE% (Protein Energy %) (PAG, 1973).
Dimana PS* merupakan nilai PS yang terendah. Asam amino yang mempunyai nilai
protein score terendah merupakan asam amino pembatas (Suharti, 1991)

File Suplementasi_Pangan

Efisiensi penggunaan protein atau mutu gizi suatu protein dapat ditingkatkan dengan cara
menambahkan kepada protein yang kekurangan (defisiensi), sejumlah kecil protein lain yang
kaya akan asam amino yang kadarnya rendah dalam protein yang defisien tersebut. Metode yang
biasanya digunakan adalah dengan cara menambahkan kepada suatu protein defisien yang
jumlahnya ditingkatkan secara bertahap. Kemudian masing-masing campuran dievaluasi nilai
gizinya (nilai PER)

(Widowati dkk, 1999)

DAFTAR PUSTAKA

Widiada, I Gde Narda dan Sofiyatin, Reni. 2013. PENGARUH PERBANDINGAN


MOCAF,VCO DAN KECAMBAH KACANG KEDELAI TERHADAP SIFAT
ORGANOLEPTIK DAN DAYA TERIMA BISKUIT BMC PADA ANAK GIZI KURANG
USIA 12-24 BULAN. Media Gizi Pangan, Vol 15 (1): pp 70 – 76
Almatsier, S (2009). Prinsip Dasar Ilmu Gizi, Cetakan ke- 4, Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.

Suharti.Optimasi Penyusunan Formula Bahan Makanan Campuran (BMC) Untuk Anak Balita
dengan Bahan Dasar Tepung Ubi Kayu.Gizi Masyarakat dan Sumberdaya
Keluarga.IPB.1991
Hermana. 1976. Bahan Makanan Campuran untuk Golongan Rawan. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Gizi. Bogor.
Hermana. 1985. Pengolahan Kedelai Menjadi Berbagai Bahan Makanan. Dalam Somaatmadja, M.
Ismunadji, Sumarno, M. Syam, S.O. Manurung, dan Yuswadi (Eds.), Kedelai.
Puslitbangtan. Bogor.
Widowati, S., Rochmadi, A. F., Kustiyah, L., Slamet, D.S., Darmadjati, D.S. 1999. Pengolahan
Bahan Makanan Campuran (BMC) sebagai Pengisi Makanan Jajanan untuk Anak
Sekolah Dasar. Agritech, Vol 19 (1): pp 25 – 28

Anda mungkin juga menyukai