Anda di halaman 1dari 2

Daya cerna protein menunjukan jumlah protein yang dapat dihidrolisis secara sempurna

menjadi asam-asam aminonya oleh enzim pencernaan sehingga dapat diserap oleh tubuh
dengan baik (Saputra 2014). Daya cerna protein tinggi menunjukkan protein dapat terhidrolisis
dengan baik menjadi asam-asam amino sehingga jumlah asam amino yang dapat diserap dan
digunakan oleh tubuh tinggi (Muchtadi 2010). Ada dua faktor yang mempengaruhi daya cerna
protein, yaitu faktor eksogenous dan endogenous. Faktor eksogenous merupakan faktor yang
berkaitan dengan interaksi protein dengan senyawa lain dalam bahan pangan, seperti interaksi
protein dengan senyawa polifenol, fitat, karbohidrat, lemak, dan protease inhibitor. Faktor
endogenous merupakan faktor yang berkaitan dengan bentuk atau struktur protein dalam bahan
pangan (Guo et al. 2007).

Praktikum ini mengukur daya cerna protein dari 3 sampel yaitu tepung tempe, tepung
kedelai dan isolat soy protein (ISP). Penentuan daya cerna protein dilakukan dengan metode in
vitro, dimana sampel yang telah diberi enzim pencerna protein (tripsin, kimotripsin,
pankreatin) diinkubasi agar proteinnya terhidrolisis, kemudian diukur pH dan absorbansinya.
Pengukuran absorbansi protein dilakukan dengan metode Bradford pada panjang gelombang
595 nm. pH dapat dijadikan parameter daya cerna protein karena proses hidrolisis protein oleh
enzim akan melepaskan ion H+ sehingga menurunkan pH larutan sampel. Semakin rendah pH
larutan sampel maka semakin banyak protein yang terhidrolisis menjadi asam amino sehingga
daya cerna protein semakin tinggi. Absorbansi dapat dijadikan parameter daya cerna protein
karena keberadaan asam amino hasil hidrolisis dapat mengubah warna larutan yang diberi
reagen Bradford menjadi semakin biru. Semakin besar perubahan absorbansi maka semakin
banyak protein yang terhidrolisis sehingga daya cerna protein semakin tinggi.

Tabel 1 menunjukkan perubahan pH larutan sampel. Hasil praktikum menunjukkan


tepung tempe mengalami perubahan pH paling besar (0.49), diikuti ISP (0.35), kemudian
tepung kedelai (0.26). Hal ini menunjukkan sampel yang memiliki daya cerna protein paling
tinggi adalah tepung tempe, diikuti ISP kemudian tepung kedelai.

Tabel 2 menunjukkan data absorbansi sampel. Hasil praktikum menunjukkan tepung


tempe mengalami rata-rata perubahan absorbansi paling besar (0.0603), diikuti tepung kedelai
(0.0340) kemudian ISP (0.0258) . Hal ini menunjukkan sampel yang memiliki daya cerna
protein paling tinggi adalah tepung tempe, diikuti tepung kedelai kemudian ISP.

Menurut (Kurniawan Et al. 2011), sampel yang memiliki daya cerna paling tinggi
seharusnya adalah ISP, karena ISP mempunyai kemurnian protein yang tinggi dibanding dua
sampel lainnya. Struktur protein ISP juga tidak terlalu kompleks dan tidak mengandung
senyawa antinutrisi. Tepung tempe lebih mudah dicerna dibanding tepung kedelai karena
protein di tepung tempe telah mengalami fermentasi sehingga lebih mudah dihidrolisis oleh
enzim proteolitik dalam sistem pencernaan. Tepung kedelai paling sulit dicerna karena
memiliki kandungan antinutrisi yaitu asam fitat. Asam fitat dapat bereaksi dengan protein
membentuk senyawa kompleks sehingga menghambat kecepatan hidrolisis protein oleh enzim
proteolitik dalam sistem pencernaan (Utama 2016). Pada praktikum ini terjadi kesalahan pada
analisa sampel ISP, sehingga data yang didapat menunjukkan daya cerna protein ISP paling
rendah. Kesalahan mungkin terjadi karena adanya kontaminan yang mempengaruhi
absorbansi, atau kuvet yang kotor sehingga absorbansi yang terukur tidak benar.

Dafpus:

Guo X, Yao H, Chen Z. 2007. Effect of heat, rutin and disulfide bond reduction, on in vitro
pepsin digestibility of Chinese tartary buckwheat protein fractions. Food Chemistry. 102
(1): 118 – 122.

Kurniawan SK, Faridah DN, Andarwulan N. 2011. Daya cerna protein in vitro dua puluh
minuman bubuk komersial berbasis kedelai di Indonesia [Skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.

Muchtadi D. 2010. Teknik Evaluasi Nilai Gizi Protein. Bandung (ID): CV Alfabeta.

Saputra D. 2014. Penentuan daya cerna protein in vitro ikan bawal (Colossoma macropomum)
pada umur panen berbeda. ComTech. 5 (2): 1127-1133.

Utama AN. 2016. Substitusi isolat rotein kedelai pada daging analog kacang merah (Phaseolus
vulgaris L.) [skripsi]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro.

Anda mungkin juga menyukai