Anda di halaman 1dari 5

TUGAS HUKUM INTERNASIONAL

Analisis Modul Kuliah 6


Negara dan Pengakuan

Dosen Pengampu : 
Prof. H. Atip Latipulhayat, S.H., LL.M., Ph.D 
 Chloryne Trie Isana Dewi, S.H., LL.M.

Kelas E / Kelompok 12
Bonita Chika Angelica             110110190332
Ervanda Fairuz 110110190333
Nizda Azzima Fauzianti           110110190334
Muhammad Aldi Aqila 110110190335
Robby Fajar Imani N 110110190336

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2020
Problem Task

Negara Federasi Alcore tengah menghadapi krisis yang cukup serius. Salah satu negara
bagiannya, yaitu Negara Bagian Bhama bermaksud memisahkan diri dan membentuk negara baru
karena banyak mendapatkan tekanan dan ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah pusat
Alcore. Pemerintah Negara Bagian Bhama yang didukung secara penuh oleh seluruh masyarakatnya
(Bhamians) memproklamirkan kemerdekaan dan pemisahan diri dari Negara Federasi Alcore serta
menamakan negaranya sebagai Negara Republik Bhama. Pemerintah pusat Negara Federasi Alcore
kemudian mengerahkan serangan militer untuk mengendalikan situasi dan bermaksud
mengembalikan kedaulatan secara penuh di wilayah Negara Bagian Bhama. Sebanyak 45 Negara
memutuskan untuk memberi pengakuan terhadap Negara Republik Bhama dan mendesak Majelis
Umum PBB untuk mengeluarkan resolusi yang mengutuk tindakan penyerangan Negara Federasi
Alcore yang dianggap melanggar ketentuan hukum internasional dan hak menentukan nasib sendiri
(right to self-determination) yang dimiliki oleh Bhamians. Berbekal dukungan dan pengakuan terkait
kemerdekaannya, Negara Republik Bhama mempersiapkan diri untuk menjadi negara anggota PBB.
Sementara itu, Negara Federasi Alcore, yang merupakan salah satu negara anggota tetap Dewan
Keamanan PBB, menyatakan akan memberikan veto apabila Negara Republik Bhama mengajukan
diri menjadi negara anggota PBB.

1. Apakah proklamasi kemerdekaan yang dilakukan oleh Pemerintah Negara Bagian Bhama
dapat dibenarkan berdasarkan hukum internasional?

Mengacu kepada kasus, dimana Negara Bagian Bhama bermaksud memisahkan diri dan
membentuk negara baru karena banyak mendapatkan tekanan dan ketidakadilan yang dilakukan
oleh pemerintah pusat Alcore, merupakan suatu implementasi dari hak untuk menentukan nasib
sendiri. Tidak hanya itu, Pemerintah Negara Bagian Bhama didukung secara penuh oleh seluruh
masyarakatnya (Bhamians) yang dimana ini menunjukkan sikap demokratis. Ditambah, dengan
adanya pengakuan dari berbagai negara lain, Negara Republik Bhama juga sudah mempersiapkan
diri untuk menjadi bagian dari dunia internasional dengan berniat untuk menjadi negara anggota
PBB. Lalu apakah kemerdekaan ini dapat dianggap benar oleh Hukum Internasional ?

Hukum Internasional mengakui kemerdekaan suatu negara dengan memperhatikan


beberapa prinsip umum, sebagaimana yang dinyatakan oleh E.C. Guidelines on the Recognition of
New States in Eastern Europe and in the Soviet Union. Yaitu :

 Dilaksanakan berdasarkan prinsip “self-determination”.


 Dilaksanakan berdasarkan “normal standards of international practice and
the political realities in each case”.
 Negara yang bersangkutan dibentuk secara demokratis.
 Negara yang bersangkutan menerima kewajiban internasional yang relevan.
 Negara yang bersangkutan memiliki itikad baik untuk melaksanakan
negosiasi dan proses yang damai.

Berdasarkan prinsip - prinsip umum di atas, dapat dilihat bahwa Negara Republik Bhama
berhak untuk diakui kemerdekaannya, karena sudah memenuhi beberapa prinsip tersebut. Maka
dengan demikian proklamasi yang dilakukan Negara Bagian Bhama dapat dianggap benar dalam
Hukum Internasional.

2. Apakah right to self-determination dapat dijadikan dasar terbentuknya suatu negara


berdasarkan hukum internasional?
Hak untuk menentukan nasib sendiri (self-determination) dikodifikasikan atau diberlakukan
sejak tahun 1950 dan termuat di dalam Piagam PBB Pasal 1 ayat (2). Meskipun Piagam PBB hanya
memberikan sedikit pengaturan tentang hak ini, akan tetapi Piagam PBB telah memberikan
beberapa doktrin mengenai hak penentuan nasib sendiri. Tidak hanya itu, The United Nation
Covenant on Human Rights dan Declaration on the Granting of Independence to Colonial Countries
and Peoples 1960 juga mengatur mengenai hak self determination ini. Suatu bukti bahwa Hukum
Internasional mengakui hak ini yaitu, pada saat International Court Justice (ICJ) menangani kasus
Timor Timur dan menyatakan bahwa “The principle of self determination has been recognized by the
United Nation Charter and in the jurisprudence of the Court … [and] is one of the essential principles
of contemporary international law”.1 Dengan diakuinya hak tersebut oleh Hukum Internasional,
maka dapat disimpulkan bahwa hak menentukan nasib sendiri dapat dijadikan sebagai salah satu
dasar terbentuknya suatu negara.

3. Apakah pengakuan yang diberikan negara-negara lain merupakan syarat terbentuknya


suatu negara berdasarkan hukum internasional?
Dalam literatur-literatur hukum Internasional terdapat dua teori yang terkenal tentang
pengakuan,yaitu:

1. Teori Konstitutif Dalam teori konstitutif ini dikemukakan bahwa di mata hukum
internasional, suatu negara lahir jika Negara tersebut telah diakui oleh Negara lainnya. Hal
ini mengartikan bahwa hanya dengan pengakuanlah suatu Negara baru  itu dapat diterima
sebagai anggota masyarakat internasional dan dapat memperoleh status sebagai subjek
hukum internasional. Ada dua alasan yang melatar belakangi teori ini. Pertama, jika kata
sepakat yang menjadi dasar berlakunya hukum internasional, maka tidak ada Negara atau
pemerintah yang diperlakukan sebagai subjek hukum internasional  tanpa  adanya
kesepakatan dari negara yang ada terlebih dahulu. Alasan kedua, yaitu bahwa suatu  negara 
atau pemerintah  yang  tidak  diakui  tidak mempunyai status hukum sepanjang  negara 
atau  pemerintah itu berhubungan dengan Negara-negara yang tidak mengakui. 2

2. Teori Deklaratif Dalam  teori  ini  pengakuan  tidak  menciptakan suatu negara karena
lahirnya suatu negara, karena suatu negara  lahir  atau  ada  berdasarkan  situasi-
situasi/fakta murni. Kemampuan tersebut secara hukum ditentukan oleh  usaha-usahanya 
serta keadaan-keadaan yang nyata dan tidak perlu menunggu untuk   dapat diakui oleh
negara lain. Suatu negara ketika lahir langsung menjadi anggota masyarakat internasional
dan pengakuan hanya merupakan pengukuhan dari  kelahiran tersebut, maka menurut teori
ini pengakuan tidak menciptakan suatu negara, dan pengakuan bukan merupakan syarat
lahirnya suatu negara baru.

Dalam  perkembangan  di  lingkungan  hukum  internasional   kecenderungan   praktek


Negara-negara lebih mengarah kepada teori deklaratif. Contohnya  adalah  penolakan pengakuan
oleh Negara-negara Barat sampai tahun 1973 atas  pembentukan Republik Demokrasi Jerman  yang 
dianggap  merupakan  pelanggaran  Uni Soviet terhadap kewajiban-kewajiban yang tercantum dalam
perjanjian- perjanjian yang  telah  dibuat  dengan Negara- negara  sekutu  sesudah  perang.
Pengakuan dalam hukum internasional merupakan persoalan yang cukup rumit karena sekaligus
melibatkan masalah hukum dan masalah politik. Dalam masalah pengakuan, unsur-unsur politik dan
hukum sulit untuk dipisahkan secara jelas, karena pemberian dan penolakan pengakuan oleh suatu
Negara sering dipengaruhi oleh pertimbangan politik, sedangkan akibatnya mempunyai ikatan
hukum.3  Hal ini senada dengan apa yang dinyatakan oleh O’Connel “Recognition  is  a political act

1
Case Concerning East Timor, ICJ Reports 1995
2
Boer  Mauna, Hukum  Internasional  :  Pengertian, Peranan,  dan  Fungsi  Dalam  Era  Dinamika Global, PT Alumni, Bandung, 2003
3
Boer  Mauna, op.cit hal 59
with legal consequences”.4 Pengakuan terhadap Negara baru lebih  sering dan lebih banyak
didasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan politik subjektif dari pihak dari pihak yang ingin
memberikan pengakuan. Suatu Negara atau  kelompok Negara mengakui atau tidak mengakui suatu
Negara lain semata-mata  didasarkan atas pertimbangan politik dari Negara atau kelompok Negara
yang bersangkutan. Mengenai hal tersebut, Amerika Serikat menunjukan  sikap  yang jelas dengan
menyatakan ”In the view  of United States, International does not require  a  state to recognize
another entity as a state; it is a matter for judgment of each state whether an entity merits
recognitions as a state”.5 Sebagai pribadi internasional   yang membutuhkan hubungan dengan
Negara lainmsubjek hukum internasional   lainya, negara baru itu membutuhkan pengakuan dari
negara-negara lain karena dengan  pengakuan  tersebut,  negara baru   itu   dapat   mulai  
mengadakan hubungan yang akan melahirkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban internasional yang
harus dilaksanakan dalam pergaulan internasional. Itulah yang disebut jalan tengah untuk  
menjembatani antara teori deklaratif dan konstitutif. 6
Pengakuan menimbulkan akibat-akibat atau konsekuensi hukum yang menyangkut hak-
hak, kekuasaan-kekuasaan dan privilege-privelege dari negara atau pemerintah yang diakui baik
menurut hukum internasional maupun menurut hukum nasional negara yang memberikan
Pengakuan. Adapun masalah yang harus diperhatikan apabila masalah pengakuan timbul karena
pengujian, meskipun sifatnya  insindental, oleh pengadilan-pengadilan Nasional, dengan persoalan-
persoalan pembuktian dan penafsiran. Dalam hal ini penting dipertimbangkan batas-batas antara
hukum internasional dan hukum nasional. Pengakuan memberikan kepada negara  atau  pemeritah 
yang  diakui suatu status baik  menurut hukum internasional maupun hukum nasional. 7 Dalam
Hukum Internasional, kesatuan politik (negara atau pemerintah) yang diakui, menjadi anggota
penuhdari masyarakat internasional.    Dengan kata lain negara atau pemerintah baru itu dapat
menjadi subjek hukum internasional, setelah diakui oleh negara  lain.  Oleh  karena  itu  antara lain 
ia  dapat  mengadakan hubungan diplomatic dengan Negara yang mengakuinya, dapat   menutup
atau menandatangani perjanjian internasional dan sebagainya. Dengan    demikian Sejak adanya
pengakuan  dari  negara-negara  lain, negara  atau  pemerintah  baru yang bersangkutan  diwajibkan 
memenuhi kewajiban internasionalnya. Lahirnya  sebuah  negara  baru  di  dunia  ini, sebenarnya
tidak lepas dari pengamatan PBB. Sesudah tahun 1945 terdapat banyak negara-negara baru setelah
membebaskan diri dari kekuasaan kolonial, selama waktu tersebut 140  negara  baru  telah  lahir dan
semuanya menjadi anggota PBB.  Syarat - syarat  negara  yang  dapat  diakui oleh  PBB hanya  bahwa 
negara baru  tersebut  harus cinta  damai  (peace loving),  menerima kewajiban yang terdapat di
dalam piagam, mampu dan bersedia melaksanakan kewajiban dan ditetapkan oleh Majelis Umum
atas rekomendasi Dewan Keamanan PBB. Maka dari itu pengakuan kedaulatan kepada suatu Negara
oleh Negara lain menjadi salah satu syarat berdirinya sebuah Negara. Hal ini masih erat kaitannya
dengan tiga poin sebelumnya yaitu kepemilikan terhadap wilayah, memilik rakyat dan tentunya
pemerintahan. Adanya pengakuan dari Negara lain berarti tiga komponen di atas sudah diakui
eksistensinya.

4
O’Connel, International Law for Students, Steven & Sons, London 1971, hal 49
5
 Gerhard Von Glahn, Law Among Nations, 4th.  ed.  Mac  Millan  Publishing  Inc,  New York 1981, hal 93
6
Setyo Widagdo, Masalah-Masalah Hukum Internasional Publik, Bayu Media Publishing, Malang 2008, hal 226
7
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta 2004, hal 192
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai