Full PDF
Full PDF
SKRIPSI
Oleh:
Grace Felicyta Kartika
NIM : 06 8114 154
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2010
PENGARUH PENINGKATAN KONSENTRASI CARBOPOL 940
SEBAGAI BAHAN PENGENTAL TERHADAP
VISKOSITAS DAN KETAHANAN BUSA SEDIAAN SHAMPOO
SKRIPSI
Oleh:
Grace Felicyta Kartika
NIM : 06 8114 154
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2010
ii
iii
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
v
vi
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) pada Fakultas
penulis telah mendapat banyak bantuan dari berbagai pihak berupa doa, dorongan,
semangat, bimbingan, kritik, dan saran. Oleh karena itu pada kesempatan ini
1. Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta
2. Dewi Setyaningsih, M.Sc., Apt. selaku dosen Pembimbing Skripsi atas segala
3. Rini Dwiastuti, S. Farm, M.Sc., Apt. selaku dosen penguji yang telah
meluangkan waktu untuk menguji serta memberi kritik dan saran yang
membangun.
4. Agatha Budi Susiana L., M.Si., Apt. selaku dosen penguji yang telah
perkuliahan.
vii
5. P. Sunu Hardiyanta, S.J., Ign. Y. Kristio Budiasmoro, M.Si., dan A. Tri
penyusunan proposal.
6. Segenap dosen Fakultas Farmasi Sanata Dharma atas segala bimbingan dan
7. Pak Musrifin, Mas Agung, Mas Iswandi, Mas Ottok, Mas Parlan, Mas Bimo
10. Wiwit, Irene, Rani, Chicha, Intan, terimakasih atas kebersamaan, semangat,
ujian. Serta Lina, Dani, Rico, teman-temanku satu laboratorium, dan Yos, Lia,
bantuannya.
11. Yoki, Shasha, Anton, Astina, Win, Rani, Aan, Uthie, Chicha, Iwan, Yakob,
persahabatannya.
12. Lita, Yemi, Rere, Nancy, sahabat-sahabatku dan teman-temanku kos Muria,
13. Teman-teman FST 2006, teman-teman kelas C 2006, dan semua teman-teman
viii
14. Segenap karyawan dan laboran yang telah membantu selama perkuliahan
15. Semua pihak dan teman-teman yang telah membantu yang tidak dapat penulis
sebutkan satu-persatu.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam skripsi ini oleh
karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan penulis. Oleh sebab itu penulis
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak. Akhir kata,
Penulis
ix
x
INTISARI
xi
ABSTRACT
xii
DAFTAR ISI
INTISARI ................................................................................................. xi
xiii
A. Shampoo ........................................................................................... 6
B. Surfaktan ........................................................................................... 9
C. Carbopol ............................................................................................ 12
D. Viskositas .......................................................................................... 13
E. Busa .................................................................................................. 15
3. Stabilitas busa.............................................................................. 16
G. Hipotesis ........................................................................................... 22
xiv
E. Tata Cara Penelitian ............................................................................ 25
B. Saran .................................................................................................... 44
LAMPIRAN ............................................................................................. 49
xv
DAFTAR TABEL
Tabel III. Hasil uji Repeated Anova ketahanan busa menit ke-5, 10,
Tabel IV. Hasil pengukuran ketahanan busa dan hasil uji korelasi
xvi
DAFTAR GAMBAR
shampoo ................................................................................... 34
dan 30 ...................................................................................... 36
shampoo ................................................................................... 40
15 dan 30 .................................................................................. 42
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 5. Dokumentasi........................................................................ 61
xviii
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
merupakan produk utama dalam kosmetik perawatan rambut (Limbani, 2009). Ini
berarti formulasi shampoo yang baik sangat diperlukan. Shampoo sendiri adalah
sediaan kosmetik berwujud cair, gel, emulsi, ataupun aerosol yang mengandung
lemak, dan minyak dari rambut, serta membuat rambut berkilau dan mudah diatur
(Young, 1972).
adalah viskositas dan sifat alir sediaan. Karena selain mempengaruhi efisiensi
untuk digunakan, dalam arti mudah dituang namun tidak mudah mengalir tumpah
dari tangan. Selain itu viskositas juga berpengaruh terhadap karakteristik busa,
2004). Sehingga dari situ dapat diketahui bahwa bahan pengental (thickening
1
2
Di samping itu busa dari shampoo juga merupakan hal yang sangat
penting. Hal ini karena busa menjaga shampoo tetap berada pada rambut,
menyatu sehingga menyebabkan kusut (Mitsui, 1997). Sifat busa (foaming) dari
shampoo terutama ditentukan oleh surfaktan. Busa (foam) sendiri ialah suatu
dispersi koloid di mana gas terdispersi dalam fase kontinyu yang berupa cairan
(Schramm, 2005).
menentukan apakah sediaan shampoo tersebut dapat diterima oleh konsumen atau
tidak. Suatu sediaan shampoo harus mampu menghasilkan busa dalam jumlah
cukup dan stabil (Limbani, 2009). Namun busa sebenarnya tergolong sulit untuk
dikendalikan, karena mudah hilang akibat aliran cairan (drainage) dan pecahnya
lapisan film (film rupture) pada busa itu sendiri (Joseph, 1997).
viskositas sediaan (Schramm, 2005). Maka dari itu dapat diartikan bahwa selain
befungsi sebagai pengatur viskositas, bahan pengental secara tidak langsung juga
industri kosmetik, seperti natrium klorida, gum, derivat selulosa, dan carbomer
(Fonseca, 2005). Namun yang paling sering digunakan adalah elektrolit seperti
natrium klorida, karena tidak mahal dan efektif (Klein, 2004). Sehingga
3
NaCl dalam jumlah yang cukup diperlukan pula untuk memperoleh viskositas
yang sesuai.
Selain itu Evren (2007) juga menguji mengenai viskositas dan busa dari 30
macam sediaan shampoo yang semuanya mengandung SLES, betaine, dan NaCl.
shampoo dengan campuran betaine dan SLES akan meningkat seiring dengan
pengetahuan penulis penelitian ini belum pernah dilakukan. Carbopol 940 dipilih
sebagai pengental tinggi. Selain itu efisiensinya sebagai pengental sangat baik,
karena pada kadar rendah sudah memiliki viskositas yang relatif tinggi (Allen,
2002 dan De Lathauwer, 2004). Carbopol juga digunakan secara luas di dunia
B. Perumusan Masalah
C. Keaslian Penelitian
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
2. Manfaat metodologis
3. Manfaat praktis
E. Tujuan Penelitian
viskositas shampoo.
sediaan shampoo.
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Shampoo
1. Karakteristik shampoo
Shampoo adalah sediaan kosmetik dalam bentuk cair, gel, emulsi, ataupun
memiliki kemampuan untuk membersihkan kotoran dari rambut dan kulit kepala
tanpa menghilangkan terlalu banyak sebum (Mitsui, 1997). Selain berguna untuk
menghilangkan kotoran, shampoo juga membuat rambut tetap berkilau dan mudah
kotoran dengan permukaan rambut dan kulit kepala. Bagian polar dari surfaktan
akan berinteraksi dengan air pada rambut dan kulit kepala, sedangkan bagian non
polar akan berinteraksi dengan kotoran yang biasanya berupa lemak. Surfaktan-
6
7
surfaktan tersebut akan menyusun diri membentuk micel dengan kotoran terjebak
di bagian dalamnya. Bagian luar micel yang merupakan gugus polar mudah
berinteraksi dengan air, sehingga saat pembilasan micel tersebut akan terbawa
oleh air dan kotoran juga akan ikut terbawa (Mitsui, 1997 dan Rieger, 2000).
3. Formulasi shampoo
2000).
senyawa berlemak seperti lanolin dan mineral oil, polipeptida, dan resin
sabun Ca dan Mg pada rambut saat pencucian dengan air sadah. Umumnya
2000).
5,5-6,5. Umumnya digunakan asam sitrat, asam laktat, atau asam fosfat
(Fonseca, 2005).
Selain itu shampoo juga dapat dicampur dengan zat aktif tertentu jika
2005).
B. Surfaktan
1. Karakteristik surfaktan
Surfaktan (surface active agent) adalah suatu senyawa yang jika pada
ataupun antarmuka (interface) dari suatu sistem dan mampu menurunkan energi
menggambarkan suatu batas di antara dua fase yang tidak saling campur,
sedangkan istilah permukaan juga menggambarkan sistem dua fase namun salah
10
satu fasenya adalah gas atau udara. Energi bebas antarmuka atau yang disebut
juga tegangan antarmuka adalah jumlah energi minimal yang dibutuhkan untuk
membuat sistem tetap dalam dua fase yang tidak bercampur, sehingga terbentuk
batas antarmuka di antara dua fase tersebut. Begitu juga untuk istilah tegangan
muka yang menggambarkan energi bebas antarmuka per unit area dari perbatasan
(lipofilik). Struktur ini memungkinkan surfaktan untuk kontak dengan zat polar
seperti air sekaligus kontak dengan zat nonpolar yang tidak campur dengan air.
Sehingga surfaktan disebut sebagai senyawa amfifil. Bagian polar dari surfaktan
sering disebut sebagai kepala, sedangkan bagian nonpolar yang berupa rantai
2. Jenis-jenis surfaktan
RN+(CH3)2CH2CH2SO3- (sulfobetaine).
sulfat dan sifatnya anionik. Alkil sulfat merupakan ester organik dari asam sulfat
sifat sebagai pembentuk busa yang baik. SLS memiliki 12 atom karbon dan
merupakan surfaktan yang paling sering digunakan dan cukup baik ditoleransi
oleh kulit. SLS biasa dikombinasi dengan surfaktan lain supaya lebih kompatibel
dengan kulit dan busanya lebih stabil (Barel, 2009). SLS umumnya diperoleh
dalam bentuk serbuk putih atau atau pasta. Sifatnya sukar larut dalam air dingin
Sehingga dapat dibuat larutan SLS yang sangat jenuh pada suhu 35-400C (Rieger,
2000).
4. Cocoamidopropyl betaine
surfaktan ini tidak pernah ada dalam bentuk anionik tunggal. Alkil betaine selalu
karena surfaktan ini juga memiliki gugus bermuatan negatif dalam kondisi pH
netral dan basa, maka sering dianggap sebagai surfaktan amfoter. Memang
2009). Selain itu betaine juga merupakan surfaktan yang lembut, daya busanya
tidak dipengaruhi oleh pH, dan sifatnya kompatibel dengan surfaktan anionik,
surfaktan anionik (Barel, 2009). Hal tersebut terbukti dari penelitian Teglia dan
mirip dengan wheat protein ketika ditambahkan ke larutan SLS. Baik wheat
Sehingga betaine tepat untuk produk-produk seperti shampoo dan sabun cair.
C. Carbopol
menyilang (crosslinked) dengan alil sukrosa atau alil pentaeritritol. Secara teoritis
digunakan dalam formulasi sediaan farmasetik cair dan semi padat sebagai
tinggi, mengandung lembab maksimum 2%, dan memiliki pKa 6,0±0,5. pH untuk
dispersi Carbopol 0,5% dalam air berkisar antara 2,7-3,5. Ada bermacam-macam
resin Carbopol dengan viskositas 0-80.000 cps. Viskositas Carbopol sendiri juga
boleh ada hanyalah 3%, karena jika lebih dari itu maka akan terbentuk massa yang
kejernihan yang cukup baik. Netralisasi yang berlebihan akan membuat suasana
menjadi sangat basa sehingga viskositas Carbopol justru menurun dan tidak dapat
1000 kali dalam air dan membentuk gel pada pH 4,5-11. Hal ini bisa terjadi
karena gugus karboksilat pada senyawa ini akan terionisasi saat ada penambahan
basa. Sehingga polimer ini menjadi bermuatan negatif dan akan terjadi saling
Carbopol 940 adalah tipe yang paling efisien di antara semua Carbopol
yang lain, di mana viskositasnya sangat tinggi yaitu 40.000-60.000 cps (pada
kadar 0,5% dengan pH 7,5) dan penampilannya sangat jernih (Allen, 2002).
D. Viskositas
Viskositas adalah tahanan dari suatu cairan untuk mengalir. Viskositas ()
Dari persamaan itu dapat diketahui bahwa peningkatan gaya geser (shear stress)
akan menaikkan kecepatan geser (shear rate). Namun hal ini hanya berlaku untuk
senyawa dengan tipe Newtonian seperti air, alkohol, gliserin, dan larutan sejati.
Sedangkan untuk sediaan seperti emulsi, suspensi, dispersi, dan larutan polimer
kecepatan geser. Sifat ini disebut juga shear thinning (Martin, 1983). Sifat alir
pseudoplastis ini paling banyak ditunjukkan oleh dispersi hidrokoloid dalam air
larutan, molekul-molekul dengan BM besar dan struktur panjang seperti itu akan
bergerak. Dengan adanya gaya geser maka molekul akan terbebas dan menyusun
diri secara searah untuk kemudian mengalir. Dengan kata lain molekul akan
15
memiliki lebih sedikit tahanan untuk mengalir dan air yang terjebak juga akan
thixotropi. Yaitu pada saat didiamkan penampakan sistem berupa sediaan yang
kaku seperti gel. Namun saat diberi gaya geser struktur ini akan pecah sehingga
menjadi sistem yang lebih encer seperti larutan atau solution. Saat gaya geser
dihilangkan maka sistem akan mulai menyusun diri lagi ke bentuk semula. Namun
proses ini tidak instan (Martin, 1983). Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan
gel-sol-gel recovery ini dapat bervariasi mulai dari hitungan menit sampai hari
E. Busa
1. Karakteristik busa
Busa (foam) adalah suatu sistem dispersi yang terdiri atas gelembung gas
yang dibungkus oleh lapisan cairan. Karena adanya perbedaaan densitas yang
signifikan antara gelembung dan medium cairan, maka sistem akan memisah
16
menjadi dua lapisan dengan cepat di mana gelembung akan naik ke atas. Ketika
gelembung gas terbentuk di bawah permukaan cairan, maka gelembung itu akan
langsung pecah saat ada aliran cairan (drainage) akibat gaya gravitasi atau gaya
tarik ke bawah. Maka dari itu suatu cairan murni tidak akan berbusa kecuali diberi
gas/cairan dan terbentuk gelembung gas yang terbungkus oleh lapisan film atau
disebut busa. Busa ini akan cenderung naik ke permukaan karena berat jenis gas
lebih kecil daripada air. Namun pada permukaan cairan juga terdapat surfaktan
yang duduk pada lapisan batas air dan udara. Sehingga busa yang terbentuk tidak
bisa lepas keluar ke udara, melainkan tetap tertahan pada batas permukaan cairan.
mendekat, sehingga akhirnya dapat kontak satu sama lain atau bahkan saling
3. Stabilitas busa
tersebut meliputi ukuran gelembung, kandungan cairan, dan total volume busa.
“Waktu hidup” busa (foam lifetime) merupakan ukuran paling sederhana untuk
(thinning) lapisan film dan koalesen. Thinning terjadi karena busa cenderung naik
ke atas namun sekaligus ditarik ke bawah karena adanya aliran cairan (drainage)
akibat gaya gravitasi. Karena ditarik dari 2 arah maka film busa menipis sehingga
lebih mudah pecah (rupture). Di samping itu, ukuran busa yang bervariasi
menyebabkan adanya gradien tekanan gas. Akibatnya dapat terjadi difusi gas, di
mana busa-busa kecil akan bergabung menjadi busa yang lebih besar (koalesen).
Ukuran busa yang semakin besar berarti tegangan permukaan semakin besar,
(Tadros, 2005). Di samping itu polimer yang mengelilingi busa akan menciptakan
(Schramm, 2005). Selain itu stabilitas busa juga dapat didukung oleh peningkatan
macam surfaktan sehingga didapat film surfaktan yang rapat dan tidak mudah
ini relatif sulit, karena pembentukan dan hilangnya busa tidak selalu seragam.
Namun demikian ini adalah metode yang banyak digunakan. Pada metode ini
gas dengan kecepatan konstan dialirkan ke dalam larutan yang akan diuji
Gambar 4. Ilustrasi alat uji stabilitas busa secara dinamis (Schramm, 2005)
c. Mengukur kecepatan hilangnya busa pada suatu kolom (uji statis) seperti pada
gambar 5. Metode yang biasa digunakan adalah uji busa Ross-Miles. Pada
metode ini busa dibentuk lewat penetesan larutan uji (misalnya larutan
19
surfaktan) menggunakan pipet pada jarak tertentu ke dalam wadah lain yang
berisi larutan yang sama. Kemudian dilakukan pengukuran volume busa yang
Gambar 5. Ilustrasi alat uji stabilitas busa secara statis (Schramm, 2005)
Selain itu ada pula prosedur metode-metode lain yang telah dilakukan oleh
elektris. Lalu didiamkan 5 menit dan diamati tinggi busanya (Edoga, 2009).
20
dan diaduk dengan magnetic stirrer. Kemudian dituang ke gelas ukur, digojok
20 kali dengan kecepatan konstan, dan diamati volume busanya pada menit
volume cairan dalam wadah bagian atas tetap konstan lewat pemompaan
kembali larutan yang telah diteteskan. Kemudian diukur tinggi busa setelah
larutan mengalir selama 1 menit dan diamati perubahan tinggi busa selama
dimasukkan ke dalam gelas ukur 100 ml. Kemudian busa dibentuk lewat
selama 10 detik. Lalu diukur volume busa yang terbentuk pada menit ke-0, ke-
syringe tersebut selama waktu tertentu. Lalu diukur tinggi busa yang terbentuk
2003).
digojok dengan tangan 20 kali hingga terbentuk busa. Lalu diukur tinggi
busanya dan perubahan tinggi busa selama waktu tertentu (Kim, 1997).
21
Kemudian gelas ukur tersebut diputar balik selama 10 kali dengan kecepatan 2
detik per putaran. Busa yang terbentuk diukur dalam satuan mm pada menit
Dari semua metode tersebut sebenarnya tidak ada yang benar-benar tepat,
karena semuanya memberikan hasil dengan variasi yang besar. Walaupun terdapat
namun tetap saja tidak ada metode baku yang seragam untuk mengukur busa. Hal
ini karena adanya difusi dan kemungkinan terjadinya perubahan distribusi ukuran
F. Landasan Teori
Untuk mendapatkan sediaan shampoo yang baik, maka salah satu hal yang
perlu diperhatikan adalah viskositas dan ketahanan busanya. Karena kedua hal
surfaktan saja tidak cukup untuk memberikan busa yang stabil. Karena busa
sebenarnya bersifat tidak stabil secara termodinamik dan mudah pecah atau hilang
22
karena berbagai faktor. Faktor tersebut antara lain adalah koalesen dan penipisan
(thinning) pada lapisan film akibat kecepatan aliran cairan (drainage). Salah satu
cara untuk mencegah thinning pada busa adalah dengan meningkatkan viskositas
dari sediaan. Tujuannya agar kecepatan drainage menurun sehingga film busa
tidak cepat pecah. Salah satu bahan yang dapat meningkatkan viskositas adalah
polimer. Di samping itu polimer juga akan menghalangi busa untuk saling
pengental. Jenis Carbopol yang memiliki viskositas dan kejernihan paling baik
Carbopol 940 berpengaruh terhadap viskositas dan ketahanan busa. Dari situ
G. Hipotesis
METODOLOGI PENELITIAN
B. Variabel Penelitian
940.
busa shampoo.
3. Variabel pengacau terkendali dalam penelitian ini adalah alat dan bahan
4. Variabel pengacau tak terkendali dalam penelitian ini adalah jumlah gas
C. Definisi Operasional
1. Shampoo adalah sediaan setengah cair yang tersusun atas dua macam
surfaktan, pengental, air, serta bahan aditif lain yang meliputi pengatur pH dan
pengawet, dan dibuat sesuai prosedur pembuatan shampoo pada penelitian ini.
23
24
shampoo, dengan konsentrasi 0,1%; 0,3%; 0,5%; 0,7%; dan 0,9% b/b.
4. Ketahanan busa adalah kemampuan busa untuk bertahan atau tidak hilang
selama 5 menit setelah divortex. Nilainya didapat dari selisih tinggi busa pada
menit ke-0 setelah divortex dengan tinggi busa pada menit ke-5 setelah
Cenco, thermometer, stirrer paddle, pH meter merk Hanna, vortex dari Fakultas
hidroksida (Asia Lab), asam sitrat (Asia Lab), nipagin (Asia Lab), natrium klorida
1. Pembuatan shampoo
Formula:
beaker gelas. Pasang ke alat pengaduk beserta stirrer paddle, lalu nyalakan
dengan kecepatan tinggi (800 rpm). Masukkan Carbopol 940 sedikit demi sedikit.
20%b/v secukupnya hingga pH 7,0 dan aduk dengan kecepatan 100 rpm.
lauryl sulphate dalam beaker gelas hingga 500C. Masukkan nipagin dan aduk
hingga larut.
26
Carbopol dan aduk dengan kecepatan 150 rpm selama 5 menit. Tambahkan
cocamidopropyl betaine dan asam sitrat 50%b/v secukupnya hingga pH 6,0 lalu
dibagi 3 ke wadah yang berbeda untuk disimpan selama 2 hari, 15 hari, dan 30
ke dalam wadah dan dipasang pada viscotester. Nyalakan alat dan lihat
lewat dinding ke tabung reaksi berskala ukuran 25 ml yang telah ditempeli dengan
kertas milimeter blok. Tutup bagian atas tabung reaksi dan vortex dengan
kecepatan maksimal selama 2 menit. Catat tinggi busa pada menit ke-0 dan menit
F. Analisis Hasil
Hasil yang didapat diuji statistik menggunakan program SPSS 16.0 dengan
uji Normality, uji Correlation, dan General Linear Model. Kemudian dibuat kurva
27
hubungan antara konsentrasi Carbopol 940 dan viskositas, serta kurva hubungan
primer, surfaktan sekunder, dan bahan aditif lainnya. Surfaktan merupakan bahan
utama karena bertanggung jawab atas sifat detergensi dan pembersihan rambut.
Larutan surfaktan akan membasahi baik kotoran maupun rambut lewat penurunan
tegangan muka. Kemudian kotoran maupun minyak pada rambut akan terdispersi
pada larutan surfaktan tersebut dan menjadi mudah dibilas oleh air (Rieger, 2000).
yang banyak digunakan dalam sediaan shampoo yang beredar di pasaran, yaitu
yang memiliki karakteristik sebagai pembentuk busa yang baik, memiliki daya
pembersih yang tinggi, dan stabil pada air sadah. Sifatnya sebagai pembentuk
busa dan pembersih yang baik dapat terlihat dari nilai HLB SLS yang tinggi, yaitu
pembersih yang baik bila memiliki nilai HLB di atas 12, karena berarti surfaktan
terbilas oleh air. SLS bersifat sukar larut dalam air dingin, namun kelarutannya
meningkat seiring dengan kenaikan suhu (Mitsui, 1997 dan Rieger, 2000). Maka
28
29
melarutkan SLS yang berbentuk serbuk. Di samping itu penambahan CAB di sini
bertujuan supaya busa yang dihasilkan oleh SLS lebih stabil dan sekaligus untuk
mengurangi sifat iritatif dari SLS. CAB sendiri merupakan jenis surfaktan
amfoter, namun karena pH shampoo di sini asam maka CAB akan cenderung
Carbopol 940 merupakan tipe Carbopol yang memiliki penampilan paling jernih
dan viskositas paling tinggi, yaitu 40.000-60.000 cps (pada kadar 0,5% dengan pH
7,5) (Allen, 2002). Carbopol 940 mampu bekerja menaikkan viskositas sediaan
karena dapat mengembang dalam air sehingga membentuk suatu sistem gel yang
kaku. Di mana struktur Carbopol yang semula berbentuk coiled akan menjadi
perlu ditambahkan suatu basa. Di sini bahan yang digunakan adalah NaOH, di
mana 1 g Carbopol dapat dinetralisasi oleh kurang lebih 0,4 g NaOH (Rowe,
2009). Untuk netralisasi Carbopol 940 di sini dipilih NaOH, karena dari hasil
menggunakan trietanolamin.
persamaan reaksi (1). Gugus COONa yang merupakan garam akan terdisosiasi
dalam air menjadi COO- dan Na+ sesuai persamaan reaksi (2).
Karena sama-sama bermuatan negatif, maka antar gugus-gugus COO- ini akan
terjadi saling tolak-menolak. Selain itu NaOH juga akan menyebabkan putusnya
telah berinteraksi dengan air ini akan membentuk suatu struktur jaringan koloidal
3 dimensi atau yang sering disebut house of card, sehingga terbentuk suatu sistem
yang kental dan bersifat viskoelastis (Osborne, 1990). Viskoelastis berarti sediaan
tersebut memiliki sifat viscous seperti cairan dan elastis seperti padatan (Martin,
1983). Jadi saat ada gaya geser maka sediaan tersebut akan memiliki tahanan
untuk mengalir, namun akan mulur seiring dengan meningkatnya gaya atau stress
SLS, CAB, Carbopol 940, dan air ini viskositasnya sangat tinggi sehingga sukar
dituang. Maka perlu ditambahkan suatu viscosity modifier lain yang sifatnya
(NaCl). NaCl yang merupakan garam akan terdisosiasi sempurna saat berada
dalam air menjadi Na+ dan Cl-. Karena kekuatan disosiasi NaCl lebih besar
daripada COONa, maka reaksi akan bergeser sehingga terbentuk molekul COONa
lagi. Karena ion-ion Na+ menutupi sebagian gugus COO- pada Carbopol, maka
sekitar 5-6. pH shampoo yang terlalu asam akan merusak ikatan hidrogen dan
jembatan garam pada struktur rambut. Sebaliknya pH lebih dari 8,5 akan merusak
ikatan disulfida dan pH lebih dari 12 akan merusak ikatan hidrogen dan jembatan
garam pula. Bila ketiga ikatan tersebut hilang maka rambut akan menjadi kasar
dan kemudian rusak (Corcoran, 1997). Karena pH awal sediaan shampoo yang
dibuat sekitar 7, maka ditambahkan asam sitrat sampai dicapai pH yang sesuai.
penambahan asam maka ion-ion H+ dapat berinteraksi lagi dengan COO- menjadi
Namun dalam hal ini untuk mencapai viskositas shampoo yang memadai atau
dari itu penambahan asam sitrat di sini tidak diperuntukkan sebagai viscosity
modifier.
Selain itu bahan lain yang perlu ditambahkan adalah pengawet. Hal ini
tumbuh jamur dan bakteri. Pengawet yang dipilih di sini adalah nipagin. Karena
nipagin mampu bekerja efektif pada rentang pH yang lebar, memiliki aktivitas
32
antimikroba spektrum luas, dan sangat efisien melawan kapang maupun jamur
(Rowe, 2009). Selain itu berdasarkan Anonim (1999) dinyatakan bahwa nipagin
ataupun nipasol merupakan pengawet yang sesuai bagi sediaan gel, karena tidak
paling tinggi dalam air dibanding jenis paraben yang lain (Anonim, 1979).
mungkin terdapat dalam air. Karena ion-ion tersebut dapat menutup muatan
negatif pada Carbopol sehingga viskositas menjadi lebih sulit dikendalikan. Selain
itu pada proses pencampuran sebaiknya dilakukan pengadukan perlahan. Hal ini
supaya tidak banyak udara yang masuk dan terjebak sehingga mengakibatkan
30 hari setelah pembuatan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah terjadi
Carbopol 940 dan viskositas. Dipilih uji Pearson karena data yang diperoleh
memiliki distribusi normal. Jika data memiliki distribusi tidak normal maka
digunakan uji korelasi Spearman. Selain itu uji Pearson memang bertujuan untuk
menghitung kekuatan hubungan antara dua variabel (De Muth, 1999). Uji regresi
33
linier tidak digunakan di sini karena tidak dikehendaki suatu persamaan linier
yang berfungsi untuk memprediksi nilai variabel tergantung dari nilai variabel
bebas ataupun sebaliknya. Jadi dengan uji Pearson sudah cukup untuk mengetahui
Kekuatan hubungan tersebut dinyatakan dengan nilai r seperti terlihat pada tabel I.
Tabel I. Hasil pengukuran viskositas dan hasil uji korelasi Pearson antara konsentrasi
Carbopol 940 dengan viskositas shampoo
Konsentrasi Rata-rata viskositas (cps)
Carbopol
2 hari 15 hari 30 hari
(%b/b)
0,1 4033,33 ± 1504,44 5000,00 ± 2022,37 5500,00 ± 2179,45
0,3 5066,67 ± 1113,55 6433,33 ±1601,04 6833,33 ± 1527,53
0,5 6033,33 ± 1761,63 7300,00 ± 854,40 8000,00 ± 1322,88
0,7 6433,33 ± 1365,04 8466,67 ± 642,91 9000,00 ± 1322,88
0,9 7166,67 ± 1154,70 9500,00 ± 1000,00 10100,00 ± 793,73
r 0,988 0,998 0,999
p 0,002 0,000 0,000
Apabila nilai r yang diperoleh berada di antara 0,80 – 1,000 maka berarti
terdapat korelasi yang kuat antara variabel yang diuji. Selain itu nilai p < 0,05
(Dahlan, 2009). Dari hasil perhitungan diperoleh adanya korelasi yang kuat
antara konsentrasi Carbopol 940 dengan viskositas sediaan shampoo. Hasil juga
Selain itu dari data di tabel I terlihat pula bahwa SD yang diperoleh sangat
besar. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh rentang viskositas Carbopol 940
yang lebar pada konsentrasi yang sama. Hal tersebut ditunjukan dari pernyataan
bahwa pada kadar 0,5% dengan pH 7,5 Carbopol memiliki viskositas 40.000-
60.000 cps (Allen, 2002). Rentang viskositas yang cukup lebar ini kemungkinan
besar, karena dengan konsentrasi Carbopol yang sama viskositas yang diperoleh
belum tentu sama persis. Rentang viskositas yang lebar ini disebabkan karena
pengental saja. Namun juga dari interaksi yang terjadi antara bahan pengental atau
2008).
5000.00
4600.00
4500.00
r = 0,999 4500.00
4000.00
3500.00
3500.00 r = 0,998
Viskositas (cps)
3466.67
3000.00 3133.34
2500.00
2500.00
2300.00 2400.00 r = 0,988
2000.00 2000.00
1433.33
1500.00 1333.33
1000.00 1033.34
500.00
0.00 0.00
0.1 0.3 0.5 0.7 0.9
Konsentrasi Carbopol (%b/b)
Keterangan: nilai viskositas pada kurva merupakan selisih terhadap nilai viskositas
shampoo dengan konsentrasi Carbopol 0,1%b/b.
ke-2, ke-15, dan ke-30 dengan uji Repeated Anova. Tujuannya adalah untuk
melihat kestabilan viskositas dari sediaan shampoo yang dibuat. Uji Repeated
Anova dipilih karena kelompok data yang akan diuji memiliki distribusi normal
dan merupakan hasil pengukuran secara berkelanjutan dari kelompok awal yang
pada hari ke-2, ke-15, dan ke-30 sehingga diperoleh 3 kelompok data. Apabila
data berupa kelompok yang berbeda sejak awal maka digunakan uji One Way
Anova. Hasil uji Repeated Anova untuk masing-masing sediaan shampoo tertera
pada tabel II. Hasil yang diperoleh dinyatakan dalam nilai p yang merupakan nilai
signifikansi perbedaan.
Dari tabel II terlihat bahwa nilai p > 0,05. Maka berarti tidak ada
perbedaan viskositas shampoo pada hari ke-2, ke-15, dan ke-30. Jadi walaupun
terdapat perubahan viskositas shampoo pada hari ke-15 dan ke-30, namun
Hal tersebut digambarkan pada kurva seperti yang terlihat pada gambar 8.
Tampak bahwa garis kurva cenderung mendatar dengan nilai slope berkisar antara
733,34 sampai dengan 1466,67. Nilai anti tan dari slope ini menunjukkan
36
kemiringan garis adalah antara 89,920 - 89,960. Sudut kemiringan ini hampir
mendekati 900. Berarti garis tersebut mendekati lurus dan artinya viskositas dari
hari ke-2, ke-15, sampai ke-30 hanya mengalami sedikit perubahan, yaitu semakin
meningkat.
karena adanya hidrasi berkelanjutan dari polimernya yaitu Carbopol 940. Hal ini
seperti yang disebutkan oleh Liebermann (1996), bahwa salah satu faktor
penyebab pasti dari peningkatan viskositas. Maka dari itu sedikit perubahan
12000
y = 1466.67x + 5988.89
10000
Viskositas Shampoo (cps)
y = 1283.34x + 5400.00
8000
y = 983.33x + 5144.44
6000
y = 883.33x + 4344.45
y = 733.34x + 3377.8
4000
2000
0
2 Hari 15 30
prosedur pengukuran busa sabun oleh Edoga (2009). Metode tersebut dilakukan
dengan cara mengaduk larutan sabun dengan sangat kuat, kemudian didiamkan 5
menit dan diamati tinggi busanya. Metode ini juga mirip dengan prosedur dari
Evren (2007), yaitu dengan melarutkan 0,5 gram shampoo dalam 50 ml aquadest
pada suhu 400, dimasukkan ke tabung berskala, digojok 20 kali dengan kecepatan
konstan, dan diukur volume busanya pada menit ke-0 dan ke-5. Namun Amaral
(2008) melakukan uji stabilitas busa dengan mengamati volume busa setelah 60
dan 120 menit setelah pengadukan. Maka untuk mengetahui apakah ada
perbedaan nilai ketahanan busa bila diukur pada waktu pengamatan yang berbeda,
dilakukan pengukuran ketahanan busa pada menit ke 5, 10, 30, 60, 90, dan 120
penemuan sumber dan pustaka tersebut, maka pengukuran ini hanya dilakukan
Repeated Anova dengan alasan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada
halaman 32. Yaitu karena data berasal dari kelompok awal yang sama namun
ketahanan busanya 6 kali pada menit ke-5, 10, 30, 60, 90, dan 120 sehingga
diperoleh 6 kelompok data. Hasil uji dinyatakan dengan nilai p yang merupakan
Konsentrasi p
Carbopol (%b/b) Hari ke-15 Hari ke-30
0,1 0,101 0,422
0,3 0,048 0,272
0,5 0,125 0,187
0,7 0,173 0,142
0,9 0,258 0,132
Dari data di tabel III terlihat bahwa nilai p yang diperoleh hampir
semuanya lebih besar dari 0,05. Kecuali nilai p pada konsentrasi Carbopol
0,3%b/b hari ke-15, ditemukan bahwa nilai ketahanan busa berbeda pada menit
ke-10. Nilai p > 0,05 menunjukkan tidak adanya perbedaan antara ketahanan busa
sediaan shampoo pada menit ke-5, 10, 30, 60, 90, dan 120. Berarti dalam
penelitian ini tidak diperlukan pengamatan hingga 120 menit untuk mengukur
busa yang dilakukan di sini digunakan parameter tinggi busa. Karena dalam
penelitian ini alat yang digunakan, yaitu tabung reaksi, hanya memiliki skala
volume dengan interval 0,2 ml. Karena dirasa kurang sensitif, maka digunakan
kertas milimeter yang memiliki skala tinggi dengan interval 0,1 cm.
940 dengan ketahanan busa. Kekuatan hubungan antara konsentrasi Carbopol 940
dan ketahanan busa shampoo dinyatakan dengan nilai r seperti pada tabel IV.
39
Tabel IV. Hasil pengukuran ketahanan busa dan hasil uji korelasi Pearson
antara konsentrasi Carbopol 940 dengan ketahanan busa shampoo
Konsentrasi Rata-rata Ketahanan busa (cm)
Carbopol
(%b/b) 2 hari 15 hari 30 hari
0,1 0,72 ± 0,10 0,72 ± 0,33 1,00 ± 0,10
0,3 0,60 ± 0,13 0,77 ± 0,06 1,05 ± 0,18
0,5 0,60 ± 0,18 1,02 ± 0,03 1,27 ± 0,31
0,7 0,57 ± 0,08 0,95 ± 0,23 1,12 ± 0,24
0,9 0,88 ± 0,25 0,93 ± 0,23 1,20 ± 0,10
r 0,356 0,016 0,679
p 0,556 0,980 0,207
Dari tabel IV terlihat bahwa nilai r ketahanan busa pada hari ke-2 berada
di antara 0,20 – 0,399. Sesuai dengan Dahlan (2009) hal ini menunjukkan adanya
korelasi yang lemah antara konsentrasi Carbopol 940 dengan ketahanan busa
sediaan shampoo yang dibuat. Di samping itu nilai r pada hari ke-15 berada di
antara 0,00 – 0,199, di mana menurut Dahlan (2009) hal ini menunjukkan adanya
korelasi yang sangat lemah di antara variabel yang diukur. Tetapi nilai r pada hari
ke-30 berada di antara 0,60 – 0,799. Ini berarti terdapat korelasi yang kuat antara
semua nilai p yang diperoleh lebih besar dari 0,05. Ini mengindikasikan tidak
940 tidak diikuti dengan peningkatan ketahanan busa secara linier. Melainkan
40
justru terjadi fluktuasi nilai ketahanan busa. Hal ini kemungkinan disebabkan
hilangnya busa juga bervariasi. Misalnya jika lebih banyak terbentuk busa dengan
ukuran besar, maka busa tersebut akan lebih cepat hilang dan ini berarti ketahanan
busa menurun. Untuk mengatasi hal ini bisa dengan menggunakan metode yang
relatif lebih akurat dan sensitif, misalnya dengan metode Ross-Miles seperti telah
dijelaskan pada halaman 18-19. Namun karena keterbatasan alat pada penelitian
0.35
0.30
0.30 r = 0,679
0.27 0.23
0.25
0.21
0.20
Ketahanan Busa (cm)
0.20
0.16
0.15
r = 0,016 0.12
0.10
0.05
0.05
r = 0,356
0.05
0.00 0.00
0.1 0.3 0.5 0.7 0.9
-0.05
-0.10
-0.12 -0.12
-0.15 -0.15
-0.20
Konsentrasi Carbopol (%b/b)
Keterangan: nilai ketahanan busa pada kurva merupakan selisih terhadap nilai ketahanan
busa shampoo dengan konsentrasi Carbopol 0,1%b/b.
Gambar 9. Kurva hubungan konsentrasi Carbopol 940 dan ketahanan busa shampoo
dan 30 hari setelah pembuatan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah terjadi
41
hasil pengukuran pada hari ke-2, ke-15, dan ke-30 maka dilakukan uji
Dari tabel V terlihat bahwa semua nilai p > 0,05. Maka berarti tidak
terdapat perbedaan ketahanan busa shampoo pada hari ke-2, 15, dan 30. Jadi
walaupun terdapat perubahan ketahanan busa shampoo dari hari ke-15 dan ke-30,
namun perubahan itu masih dapat diabaikan dan ketahanan busanya dianggap
sama. Perubahan ketahanan busa yang terjadi terlihat seperti pada gambar 10.
slope 0,14 sampai dengan 0,34. Nilai slope ini memiliki makna bahwa kemiringan
garis adalah antara 7,970 – 18,780. Sudut kemiringan ini sangat tajam. Ini berarti
dapat dianggap bahwa perubahan ketahanan busa dari hari ke hari hanya
1.4
y = 0.34x + 0.29
K etahanan B usa S ham poo (cm ) 1.2
y = 0.16x + 0.68
y = 0.28x + 0.33
y = 0.23x + 0.30
1
y = 0.14x + 0.53
0.8
0.6
0.4
0.2
0
2 Hari 15 30
carbopol 0,1%b/b carbopol 0,3%b/b carbopol 0,5%b/b
carbopol 0,7%b/b carbopol 0,9%b/b Linear (carbopol 0,1%b/b)
Linear (carbopol 0,3%b/b) Linear (carbopol 0,5%b/b) Linear (carbopol 0,7%b/b)
Linear (carbopol 0,9%b/b)
Gambar 10. Kurva perubahan ketahanan busa shampoo pada hari 2, 15 dan 30
Menurut Tadros (2005) salah satu faktor penyebab hilangnya busa adalah
pada lapisan film busa. Untuk memperlambat drainage, maka viskositas bulk dari
konsentrasi Carbopol 940 yang merupakan polimer akan diiringi oleh peningkatan
penelitian ini hubungan antara viskositas dengan ketahanan busa belum bisa
ditentukan.
terlihat bahwa garis kurva sama-sama semakin naik seiring dengan pertambahan
signifikan secara statistik. Maka dari situ dapat ditarik perkiraan adanya suatu
ketahanan busa.
BAB V
A. Kesimpulan
shampoo.
B. Saran
ketahanan busa agar diperoleh hasil yang lebih akurat dan sensitif.
44
45
DAFTAR PUSTAKA
Amaral, M. H., das Neves, J., Oliveira, A. Z., dan Bahia M. F., 2008, Foamability
of Detergent Solutions Prepared with Different Types of Surfactants and
Water, Journal of Surfactant and Detergent No. 11, 276
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia IV, 158, 372, 551, 713, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta
Attwood, D., Alexander, T.F., 2008, Fast Track: Physical Pharmacy, 84,
Pharmaceutical Press, London
Aulton, M.E., 1988, Pharmaceutics The Science of Dosage Form Design, 2nd
edition., 26-29, Churchill Livingstone, London
Barel, A.O., Paye, M., dan Maibach, H.I., 2009, Handbook of Cosmetic Science
and Technology, 3rd edition, 462, 771, 777, Informa Healthcare USA, Inc.,
New York
Corcoran, F., dan Akona, K., 1997, The pH of Hair Shampoos: A Topical High
School Experiment, Journal of Chemical Education, 54
Dahlan, M. S., 2009, Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan, 111, 157,
Salemba Medika, Jakarta
De Lathauwer, G., De Rycke, D., Duynslager, A., Tanghe, S., dan Oudt, C., 2004,
Thickening Of Foaming Cosmetic Formulations, Proceeding of the 6th
World Surfactant Congress CESIO, Berlin Germany
Edoga, M. O., 2009, Comparison of Various Fatty Acid Sources for Making Soft
Soap (Part 1): Qualitative Analysis, Journal of Engineering and Applied
Sciences Vol.4 No. 2, 110-112
Evren, S., Gedik, G., Colbourn, E., dan Türkoglu, M., 2007, Artificial Neural
Network Modeling and Optimization of Shampoo Formulations, Marmara
University, Istanbul
Exerowa, D., dan Kruglyakov, P.M., 1998, Foam and Foam Films: Theory,
Experiment, Application, 1-3, 494, Elsevier, Netherlands
Fonseca, S., 2005, Basics of Compounding for Hair Care – Part 1: Medicated
Shampoos, International Journal of Pharmaceutical Compounding Vol. 9
No. 2, 140
Guertechin, L.O., 2009, Surfactants: Classification, in Barel, A.O., Paye, M., dan
Maibach, H.I., (Eds.), Handbook of Cosmetic Science and Technology, 3rd
edition, 462, 771, 777, Informa Healthcare USA, Inc., New York
Karsheva, M., Georgieva, S., dan Birov, G., 2005, Flow Behaviour Of Two
Industrially Made Shampoos, Journal of the University of Chemical
Technology and Metallurgy, 323-328
Karsheva, M., Georgieva, S., dan Handjieva, S., 2007, The Choice of the
Thickener - A Way to Improve the Cosmetics Sensory Properties, Journal
of the University of Chemical Technology and Metallurgy, 187
Kim, Y.H., dan Kim, C.U., 1997, Mechanism of Aqueous Foam Stability and
Antifoaming Action, Journal of Ind. & Eng. Chemistry Vol.3 No.2, 140
Klein, K., 2004, Shampoo Formulation: The Basic, Cosmetic and Toiletries
Magazine, 11
Leidetrier, H., Jenny, K., dan Maczkiewitz, U., 1995, Rheology of Toiletry
Products – Physical Properties and Sensory Assesment, Th.Goldschmidt
AGD-45116 Essen, Germany
Limbani, M., Dabhi, M.R., Raval, M.K., dan Sheth, N.R., 2009, Clear Shampoo:
an Important Formulation Aspect with Consideration of the Toxicity of
Commonly Used Shampoo Ingredients, Saurashtra University, India
Lunkenheimer, K., dan Malysa, K., 2003, Simple and Generally Applicable
Method of Determination and Evaluation of Foam Properties, Journal of
Surfactants and Detergents Vol. 6 No. 1, 69
Martin, A., Swarbrick, J., dan Cammarata, A., 1983, Physical Pharmacy, 3rd
edition, 524-526, Lea & Febiger, Philadelphia
Osborne, D. W., dan Amann, A. H., 1990, Topical Drug Delivery Formulations,
volume 42, 381, 384, Marcel Dekker Inc., New York
Piispanen, P.A., Persson, M., Claesson, P., dan Norin, T., 2004, Surface
Properties of Surfactants Derived from Natural Products. Part 2:
Structure/Property Relationships—Foaming, Dispersion, and Wetting,
Journal of Surfactants and Detergents Vol. 7 No. 2, 162
Pinazo, A.P., Infante, M.R., dan Frances, E.I., 2001, Relation of Foam Stability to
Solution and Surface Properties of Gemini Cationic Surfactants Derived
from Arginine, Colloids Surf. A, 70
Rieger, M.M., 2000, Harry’s Cosmetology 8th ed, 431-432, 446-448, Chemical
Publishing Co. Inc., New York
Rosen, M.J., 2004, Surfactants and Interfacial Phenomena, 3rd edition, 1-3, John
Wiley & Sons, Inc., New Jersey
Rowe, R.C., Sheskey, P.J., dan Quinn, M.E., 2009, Handbook of Pharmaceutical
Excipient,s 6th edition, 110, 327, 441-442, Pharmaceutical Press and
American Pharmacists Association, United Kingdom
Teglia A., dan Secchi G., 1994, New Protein Ingredients for Skin Detergency:
Native Wheat Protein-Surfactant Complexes, International Journal of
Cosmetics Science, 235–246
48
Young, A., 1972, Practical Cosmetic Science, 95, Mills and Boon Limited,
London
49
LAMPIRAN
Hipotesis 1
H1 : data normal
Ho : data tidak normal
Ho ditolak bila nilai p > 0.05
Hipotesis 2
H1 : data normal
Ho : data tidak normal
Ho ditolak bila nilai rasio skewness di antara -2 s/d 2
Hipotesis
H1 : viskositas sediaan shampoo pada hari 2, 15, dan 30 berbeda
Ho : viskositas sediaan shampoo pada hari 2, 15, dan 30 tidak berbeda
Ho ditolak bila nilai p < 0.05
Nilai p > 0.05 Ho diterima, berarti viskositas sediaan shampoo pada hari 2, 15,
dan 30 tidak berbeda
53
Hipotesis 1
H1 : data normal
Ho : data tidak normal
Ho ditolak bila nilai p > 0.05
Hipotesis 2
H1 : data normal
Ho : data tidak normal
Ho ditolak bila nilai rasio skewness di antara -2 s/d 2
Hipotesis
H1 : ketahanan busa sediaan shampoo pada hari 2, 15, dan 30 berbeda
Ho : ketahanan busa sediaan shampoo pada hari 2, 15, dan 30 tidak berbeda
Ho ditolak bila nilai p < 0.05
Nilai p > 0.05 Ho diterima, berarti ketahanan busa sediaan shampoo pada hari
2, 15, dan 30 tidak berbeda
57
Hipotesis 1
H1 : data normal
Ho : data tidak normal
Ho ditolak bila nilai p > 0.05
Hipotesis 2
H1 : data normal
Ho : data tidak normal
Ho ditolak bila nilai rasio skewness di antara -2 s/d 2
Hipotesis
H1 : ketahanan busa sediaan shampoo pada menit ke 5, 10, 30, 60, 90, dan 120
berbeda
Ho : ketahanan busa sediaan shampoo pada menit ke 5, 10, 30, 60, 90, dan 120
tidak berbeda
Ho ditolak bila nilai p < 0.05
Konsentrasi p
Carbopol (%b/b)
0.1 0.101
0.3 0.048
0.5 0.125
0.7 0.173
0.9 0.258
Nilai p > 0.05 Ho diterima, berarti ketahanan busa sediaan shampoo pada
menit ke 5, 10, 30, 60, 90, dan 120 tidak berbeda
59
Hipotesis
H1 : ketahanan busa sediaan shampoo pada menit ke 5, 10, 30, 60, 90, dan 120
berbeda
Ho : ketahanan busa sediaan shampoo pada menit ke 5, 10, 30, 60, 90, dan 120
tidak berbeda
Ho ditolak bila nilai p < 0.05
Konsentrasi p
Carbopol (%b/b)
0.1 0.422
0.3 0.272
0.5 0.187
0.7 0.142
0.9 0.132
Nilai p > 0.05 Ho diterima, berarti ketahanan busa sediaan shampoo pada
menit ke 5, 10, 30, 60, 90, dan 120 tidak berbeda
60
Konsentrasi pH
Replikasi
Carbopol
ke- 2 hari 15 hari 30 hari
(%b/b)
0.1 5.4 5.4 5.4
0.3 5.6 5.6 5.6
1 0.5 5.4 5.4 5.4
0.7 5.4 5.4 5.4
0.9 5.4 5.4 5.4
0.1 5.6 5.6 5.6
0.3 5.8 5.8 5.8
2 0.5 5.6 5.6 5.6
0.7 5.6 5.6 5.6
0.9 5.6 5.6 5.6
0.1 5.7 5.7 5.7
0.3 5.9 5.9 5.9
3 0.5 5.5 5.5 5.5
0.7 5.5 5.5 5.5
0.9 5.5 5.5 5.5
61
Lampiran 5. Dokumentasi
Stirrer paddle
Stirrer paddle (untuk pencampuran shampoo)
(untuk pencampuran shampoo)
Vortex
(untuk uji ketahanan busa)
64
BIOGRAFI PENULIS
Salatiga pada tahun 1994 – 2000, SMP Kristen 2 Salatiga pada tahun 2000 –
2003, dan SMA Negeri 1 Salatiga pada tahun 2003 – 2006. Kemudian penulis
Formulasi dan Teknologi Sediaan Solid serta Farmasetika Dasar. Selain itu
penulis juga terlibat dalam kegiatan Campus Ministry dan Jaringan Mahasiswa