Anda di halaman 1dari 8

NAMA : NURUL AULIA SARAGI

NIM : 2173510019

CERITA RAKYAT “KISARAN NAGA”

Bukit Katarina adalah nama sebuah bukit kecil di kawasan Kelurahan Sei
Renggas, Kec. Kisaran Barat, Kab. Asahan, Sumatera Utara. Lokasi ini tidak jauh
dari RS. Ibu Kartini, dan berada di dalam areal HGU PT. Bakrie Sumatera
Plantations (BPS) di tepi Sungai Silau. Oleh sebab itu, dibukit ini terdadapat
tanaman pohon karet perkebunan milik PT. BPS.
Nama bukit Katarina itu sendiri menurut cerita dari mulut kemulut diambil
dari nama RS. Ibu Kartini yang dulunya sering disebut dengan nama RS.
Katarina. Konon, untuk pertama kalinya dokter di RS itu bernama Dokter
Chatherine yang ditugaskan dari negeri Belanda.
Jika dilihat sepintas, bukit Katerina merupakan gundukan tanah biasa yang
tingginya mencapai kurang lebih 50 meter. Tempat ini sepertinya tidak terdapat
hal-hal yang aneh atau luar biasa.Bahkan, ketika terjadi gempa Nias, Sumatera
Utara pada malam hari, sekitar pukul 23.00 wib, beberapa tahun yang lalu,
terdengar pula isu tsunami di wilayah Asahan. Tak ayal, bukit Katerina menjadi
tujuan masyarakat Kisaran dan sekitarnya sebagai tempat mengungsi. Sehingga
bukit tersebut penuh sesak dengan warga masyarakat. Padahal isyu tsunami hanya
isapan jempol, yang sengaja dihembuskan untuk menciptakan suasana keruh
dengan maksud agar masyarakat dilanda kepanikan.
Memang, tidak banyak yang tahu bahwa ternyata bukit Katerina
menyimpan misteri yang hingga saat ini belum terpecahkan. Bagi seorang yang
memiliki kemampuan spiritual linuwih, atau yang memiliki indera keenam, pasti
akan meresakan sesuatu yang berbeda bila melawati temoat ini.
Menurut kisah yang sudah ada sejak turun-temurun, pada sekitar abad
XVII, bukit Katerina adalah tempat bertempurnya panglima perang kerajaan Cina
dengan Raja Maria Pane ke-7 dari Buntu Pane Asahan, bernama Datuk Daurung.
Kemudian setelah bertarung adu kesaktian, tidak ada yang kalah dan menang,
maka masing-masing mengeluarkan aji pamungkas, yaitu menjelma menajdi
seekor ular naga dan ikan dundung. Keduanya lalu terjun ke sungai Silau.
Mereka bertempur dengan mengandalkan kesaktian masing-masing. Akan
tetapi, ular naga jelmaan Panglima Perang Cina dapat dipukul jatuh, tertusuk sanai
(patil) dari ikan dundung jelmaan Datuk Daurung. Naga itu meraung-raung
menahan sakit dan menggelepar, yang akhirnya terkulai hanyut dan terkapar di
hilir sungai Silau tidak seberapa jauh dari bukit itu.
Setelah ratusan tahun kemudian, menurut cerita secara turun temurun dan
sudah menjadi semacam legenda di masyarakat, ular naga jelmaan Panglima
Perang Cina siuman dari pingsannya yang cukup lama. Diiringi hujan lebat, petir
sambung menyambung sehingga terjadilah banjir besar.
Kemudian ular naga tersebut berkisar-kisar (berenang-renang) dan
menghanyutkan diri menelusuri Sungai Silau sampa sungai Asahan di kota
Tanjung Balai). Selanjutnya menuju ke Selat Malaka. Perkampungan di kawasan
tempat naga berkisar tersebut akhirnya disebut dengan nama Kampung Kisaran
Naga. Sekarang menjadi Kelurahan Kisaran Naga dan kota yang berada di dekat
sungai Silau disebut dengan nama Kisaran, sebagai ibukota Kabupaten Asahan.
Memang, hingga saat ini tidak ada yang mengetahui secara pasti, kapan
perkampungan itu mulai disebut dengan nama Kisaran Naga, demikian juga nama
Kisaran.
Kembali ke bukit Katerina, Tim Jelajah Misteri mendapat penjelasan dari
Sukino, seorang buruh kebun Tanah Raja yang pernah menjalani rawat inap
selama 14 hari di RS, Ibu Kartini pada tahun 1971. Sukini berkisah. Saat itu,
kebetulan malam Jum’at. Dia bermimpi didatangi seorang laki-laki gagah perkasa
berpakaian seragam kebesaran Cina. Kemudian diajak masuk ke istana di bawah
bukit Katerina.
Bibir Sukino berdecak kagum karena istana tersebut sangat indah,
diterangi lampu-lampu gemerlapan, dengan hiasan istana bertatahkan ratna mutu
manikam.
Kepada Misteri, Sukino menceritakan. Dirinya disambut cukup hormat oleh
punggawa dan dayang-dayang istana. Kemudian dipersilahkan duduk di atas
permadani lembut. Distu talah tersedia pula bermacam ragam makanan yang
tampaknya cukup lezat dan mengundang selera makan.
“Selama berada di istana gaib di bawah Bukit Katerina, rasanya saya tidak
ingin pulang karena suasana di ruangan itu sangat indah dan nyaman. Apalagi
didampingi wanita-wanita muda belia yang cantik rupawan,” cerita Sukirno.
Namun, ketika akan mengambil makanan yang terhidang, tiba-tiba seperti ada
kekuatan gaib yang menarik tubuhnya ke luar dari istana. Di saat itulah, dia
terbangun dan yang ada hanya ruangan rumah sakit yang sepi. Hanya ditemani
beberapa orang pasien lain yang tertidur pulas.
Jam dinding menunjukkan 03.15 wib. Sukirno merasa bersyukur tidak
sempat menyantap makanan di istana itu. “Jika tidak, mungkin saya akan terus
berada di bawah bukit Katerina menjadi budak dedemit yang tidak lain adalah
makhluk halus penjaga Gua Bukit itu,” tambahnya mengenang mimpi 36 tahun
silam itu.
April lalu, Misteri bersama Adi Sunarto coba menelusuri lebih jauh
kemisteriusan gua di bukit Katerina itu, dengan maksud untuk mengetahui sejauh
mana keangkerannya. Di perapatan Simpang Kartini, persisnya persimpangan
jalan Lintas Sumatera menuju kota Pematang Siantar, kami berhenti makan di
sebuah warung kecil. Tak lama kemudian, datang seorang lelaki tua yang kami
taksir berusia hampir 80-an, singgah di warung yang sama. Bahkan kami diajak
mampir ke rumahnya.
Tawaran kakek Samudi, demikian kami memanggilnya, untuk mampir,
tentu tidak kami sia-siakan. “Mungkin dari kakek tua itu kita mendapat informasi
tentang misteri Bukit Katerina,” ujar Adi Sunarto. Kakek Samudi mengendarai
sepeda bututnya, sementara kami mengendarai sepeda motor menuju rumahnya.
“Bila sudah lihat rumah kecil berdinding papan, atap nipah dan di depannya ada
pohon bunga kenanga, di sebelah kiri jalan, itulah rumah saya,” kata kakek
Samudi sambil mengayuh sepedanya.
Sudah tentu kami melaju lebih dahulu meninggalkan kakek tua itu. Akan
tetapi, kami tak habis pikir, setelah kami melihat sebuah rumah tua dan sederhana
seperti dijelaskan kakek Samudi, ternyata orang tua itu sudah menunggu di depan
pintu. Sepeda bututnya disandarkan di sebuah tunggul pohon kelapa di samping
rumahnya.
Misteri dan Adi Sunarto hampir tidak percaya apakah yang ada di depan pintu
adalah benar kakek tua itu adanya. Adi Sunarto membelokkan motornya ke rumah
tua itu. Dan benar, yang sudah menanti kedatangan kami di depan pintu adalah
kakek Samudi.
Misteri bertanya dalam hati, ilmu apa yang digunakan kakek tua itu hingga
dapat mendahului kendaraan yang kami naiki? Sementara kami sendiri tidak
melihat kapan dia mendahului kami. “Silahkan masuk ke gubuk saya!” Ajak
kakek Samudi mempersilakan. Masih dengan rasa heran bercampur takjub, kami
masuk ke rumah sangat sederhana berukuran 5x7 meter, dinding papan yang
sudah lapuk, lantai tanah dan atap nipah itu
Di ruang tamu yang kecil dan sempit, ada sepasang kursi rotan yang reot,
di depannya terdapat sebuah meja terbuat dari papan yang sudah mulai dimakan
rayap. Kami memandangi beberap foto kusam terpajang di dinding.
Ketika kami tengah asyik melihat foto sepasang pengantin sedang duduk di
pelaminan, kakek Samudi tiba-tiba berujar, “Itu gambar kami sewaktu jadi
pengantin.” Tanpa peduli pada keterkejutan kami, dia lalu duduk sambil
meletakkan tiga gelas air putih.
Untuk menutupi keterkejutan kami, Adi Sunarto memuji foto kakek
Samudi sewaktu masih muda. “Dulu waktu mudanya, kakek ganteng juga ya?”
Kata sahabat Misteri itu. Orang tua yang disebut dengan nama Samudi hanya
tersenyum sambil mempersilahkan kami minum.
Hampir satu jam kami berbincang-bincang dengan kakek Samudi sekitar
cerita Bukit Katerina. Dari kakek itu, kami mendapat keterangan bahwa bukit itu
pernah dijadikan tempat pemujaan orang-orang Cina dengan membangun
tapekong dipuncaknya, karena memang dianggap keramat dan memiliki daya
magis cukup kuat.
Menurut kakek Samudi, di bawah bukit itu terdapat gua di dalam air berbentuk
bangunan kuno. Tapi kakek tua ini tidak dapat menjelaskan tahun berapa gua itu
mulai ada. “Yang pasti goa itu sudah lama ada di sana!” Katanya. “Apa kakek
sudah pernah masuk ke gua itu?” Tanya Misteri.
Kakek Samudi mengerutkan keningnya yang keriput, lalu menjawab;
“Saya pernah melakukan tapa brata di dalam gua itu, Nak, selama 40 hari,”
ujarnya. Kakek tua yang mengaku datang dari Jawa Timur ke Sumatera Utara
sebagai kuli kontrak itu, juga menceritakan bahwa pernah terjadi seorang laki-laki
mati terbunuh di bukit itu. Tapi tidak diketahui siapa pembunuhnya. Laki-laki
yang terbunuh dengan sangat mengenaskan. Kepalaya dipenggal hingga terpisah
dari badannya.
Mendengar cerita kakek Samudi tentang orangmati terbunuh itu, Misteri
teringat ketika suatu malam dibulan Suro tahun 2005, seorang penjual bandrek
jatuh pingsan di samping gerobak jualannya. Setelah sadar, dia menceritakan
bahwa dia telah didatangi oleh orang yang ingin membeli bandreknya, akan tetapi
alangkah terkejutnya karena di keremangan malam itu, dia hanya melihat orang
itu hanya kepalanya saja tanpa badan.
Menjelang maghrib, kami baru keluar dari rumah gubuk kakek Samudi.
Sebelum kami pamit, kakek tua itu berkata, “Kalau kalian mau menengok gua
tadi, besok kalian bisa datang lagi supaya dapat melihat dari dekat. Tapi kalian
tidak bisa masuk ke dalam gua itu tanpa saya. Karena gua itu cukup angker,”
ujarnya. Keesokan harinya, seperti yang dijanjikan kakek Samudi, kami kembali
berangkat ke rumah si kakek tua. Jujur saja, kami sangat tertantang dengan
pengakuannya yang katanya sanggup menunjukkan gua di bawah bukit Katerina
itu.
Akan tetapi, keanehan menimpa kami. Ketika tiba di kelurahan Sei
Renggas, kami seperti orang kebingungan. Bagaimana tidak? Rumah kakek
Samudi yang kemarin kami kunjungi tidak ada lagi di pertapakannya. “Mungkin
kita tersesat!” Kata Adi. “Tak mungkin! Karena jelas sekali ini rumahnya,
ditandai ada tunggul pohon kelapa di depan rumahnya,” jawab Misteri.
Akhirnya kami memutuskan untuk menanyakan kepada penduduk yang
tinggal tidak jauh dari tempat kami mampir kemarin. Kami semakin bingung,
karena menurut penjelasan salah seorang penduduk, selama ini tidak ada rumah di
kawasan itu dan tak ada seorang kakek bernama Samudi. Jadi, siapa sebenarnya
kakek itu? Sungguh mengherankan!
Dengan perasan kecewa bercampur heran, kami kembali dan memutuskan
untuk mencari tahu tentang keberadaan Bukit Katerina yang masih mengandung
misteri. Menjelang Dzuhur, kami sudah berada di bukit itu. Biarlah tak dapat
masuk ke gua kaerna kakek Samudi tidak ada, asalkan bisa mengambil gambar
mulut gua itu.
Adi Sunarto sudah standby denga kameranya menjepret Bukit Katerina dari jalan
Lintas Kisaran-Pematang Siantar. Lalu kami turun sedikit melihat bibir sungai
Silau untuk melihat gua di bawah bukit itu.
Akan tetapi, mulut gua itu tidak dapat kami lihat dengan jelas, karena bibir
gua dari seberang sungai (dari Desa Tanjung Alam). Perjalanan dari Bukit
Katerina ke Desa Tanjung Alam memakan waktu sekitar 20 menit. Di Dusun II
Desa Tanjung Alam, kami bertemu dengan Hartono yang dapat menunjukkan
tempat yang strategis untuk dapat mengambil foto mulut gua dibawa bukit
Katerina itu, karena lebar sungai hanya sekitar 30 meter saja.
Selain mengambil foto, terjadi peristiwa yang cukup aneh. Dalam keadaan
antara sadar dengan tidak, kawasan di sekeliling tempat kami berdiri seketika
berubah menjadi gelap. Kemudian perasaan kami digandeng oleh seorang laki-
laki misterius berjalan di atas air sungai dan dalam tempo cukup singkat, kami
telah sampai di mulut gua di bawah Bukit Katerina.
Misteri dan teman tak habis pikir, mengapa kami bisa berjalan di atas air
seperti layaknya berjalan di atas tanah? Setibanya di pintu gua, orang tua misterius
itu membawa kami masuk ke dalam gua yang gelap dan dingin. Lelaki tua itu
segera menyalakan obor yang diambil dari dinding gua. Cahayanya menyinari
ruang di dalam gua itu. Kami sangat terperanjat, ketika dari sinar obor itu kami
lihat wajah lelaki tua misterius itu ternyata adalah kakek Samudi.
Tanpa berkata-kata sedikitpun, kakek Samudi membawa kami
mengelilingi gua yang dingin itu. Di sudut gua, kami melihat ada dua sinar bulat
berwarna kuning keemasan. Bau harum menusuk hidung. Kakek Samudi yang
berjalan di depan segera duduk bersila di hadapan sinar tersebut dan tanpa
diperintah, kami mengikuti gerakan kakek tua misterius itu.
Ternyata sinar tersebut adalah sepasang mata dari sosok makhluk
bermahkota yang duduk di atas altar batu. Tampaknya seperti kepala seekor ular
besar. Rasa takut mulai timbul menyusul bulu roma kami yang berdiri tegak.
Kakek Samudi mulai buka bicara, “Ampun Paduka, dua orang ini adalah cucu
hamba yang ingin mengetahui keberadaan gua ini. Mohonlah Paduka dapat
memaafkan kelancangan mereka.” Entah mengapa, kakek Samdi menyabut
makhluk itu dengan panggilan paduka. “Ya, aku tahu sejak kemarin ada orang
ingin tahu tentang gua ini. Tapi maksudnya baik,” jawab makhluk itu dengan
suara berat menggetarkan ruangan gua. Bahkan, kelelawar hitam yang
bergelantungan didinging gua berhamburan keluar, sambil bersuara gemuruh
memekakkan telinga.
“Apa yang kalian cari?” Makhluk aneh itu bertanya kepada kami. Adi
Sunarto memandangi Misteri sejenak, kemudian memandangi wajah kakek
Samudi. “Ampun, Paduka! Mereka berdua tidak mencari atau menginginkan
sesuatu. Cucu hamba ini hanya ingin memastikan bahwa di bawah bukit ini
memang benar ada sebuah gua, jadi mereka meminta hamba untuk membawa
mereka kemari,” jawab kakek Samudi.
Gua di dalam air, di bawah bukit itu terasa semakin mencekam. Udara semakin
dingin menusuk sumsum.
Makhluk aneh itu kembali bersuara. “Baiklah, akan tetapi jika ingin datang
lagi, kalian harus membawa sesaji satu ekor ayam jantan berbulu wulung (hitam
mulus), ari-ari dari bayi laki-laki yang lahir hari Jum’at Kliwon dan bunga macan
kerah. Ayam dan ari-ari, kalian cemplungkan ke air sungai Silau dan ketika itu
kalian akan sampai ke mulut gua ini. Kemudian taburkan bunga macan kerah ke
pintu gua dan dayang-dayangku akan mempersilhakan kalian masuk.” Ujarnya
panjang lebar.
Tak lama kemudian, sinar mata makhluk itu meredup dan padam. Gua
kembali menjadi gelap. Kakek Samudi memberi hormat, lalu berdiri dan berjalan
menuju mulut goa. Kami mengikutinya dari belakang. Anehnya, kami tidak sadar
kapan kakek Samudi membawa kami keluar gua dan menyeberangi sungai seperti
tadi, saat kami pergi.
Yang pasti, tiba-tiba saja kami sudah berada di seberang sungai, tempat
kami tadi mengambil foto mulut gua itu. Bahkan yang tak kalah aneh, kakek
Samudi pun tak ada bersama kami lagi. Dalam kebingungan, kami mengingat-
ingat pesan makhluk aneh tadi. Kalau ayam jago wulung dan kembang macan
kerah amat mudah kami peroleh. Akan tetap tentang ari-ari jabang bayi laki-laki
yang lahir pada hari Jum’at Kliwon, disamping sangat sulit juga tidak mungkin
kami bisa mencarinya.
Matahari telah condong ke barat, sebab tanda hari sudah sore. Kami pun
bergegas pulang dengan membawa pengalaman spiritual yang tak mungkin bisa
kami peroleh lagi di tempat lainnya. Namun, ada sedikit penyesalan, mengapa
kami tidak menanyakan kepada kakek Samudi siapa atau makhluk apa yang
bersemayam di dalam gua di bawah bukit itu? Misteri juga terlupa tidak
menanyakan siapa sebenarnya kakek tua misterius yang mengaku bernama
Samudi itu? Hingga kini, gua di Bukit Katerina dan kakek Samudi tetap menjadi
misteri yang entah kapan dapat terungkap.

Anda mungkin juga menyukai