Anda di halaman 1dari 11

TEORI ATRIBUSI

A. Pendahuluan
Manusia adalah makhluk sosial, dan dalam kehidupan sehari-hari kita ada
banyak interaksi dengan dan pengaruh dari orang lain. 1 Kehidupan sosial itu
merupakan kompleks yang mengandung banyak informasi yang kadang tidak
jelas keterkaitannya satu sama lain. Untuk menyederhanakan proses pengolahan
informasi dan membuat komunikasi sosial lebih efisien, kita kemudian membuat
skema sosial dan membuat kategorisasi. Dengan proses tersebut, kita berharap
dapat memahami dan mempunyai kendali terhadap lingkungan sosial dengan
lebih baik. Selain itu, sebenarnya terdapat proses lain, yaitu upaya kita
memahami faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya suatu kejadian atau
sering disebut causal attribution. Kita selalu berusaha tahu tentang motivasi di
balik perilaku-perilaku, faktor-faktor yang mendorong suatu perilaku muncul, dan
mengambil kesimpulan mengenai karakteristik dari orang-orang yang ada di balik
perilaku tersebut. Proses ini, dalam psikologi sosial disebut atribusi sosial. 2
Dalam makalah ini, penulis akan menguraikan tentang teori-teori atribusi sosial.

B. Pembahasan
Atribusi adalah kesimpulan atau inferensi yang diambil orang tentang apa
yang menjadi penyebab suatu kejadian dan perilaku diri maupun orang lain.
Atribusi penting untuk dipelajari dalam psikologi sosial karena hal ini dapat
menerangkan kepada kita bagaimana orang menjelaskan suatu perilaku. Dengan
mempelajari atribusi, kita juga bisa melihat bias-bias yang terjadi ketika
seseorang menjelaskan perilaku orang lain, yang kemudian, pada gilirannya,
mempengaruhi perilaku mereka sendiri.
Penelitian tentang atribusi di Amerika Serikat terpusat pada beberapa isu.
Salah satunya terpusat pada tipe atau jenis atribusi yang dibuat orang, terutama
dalam kaitannya dengan sumber atau lokus atribusi kausalitas mereka. Salah
satu konsep populer dalam penelitian atribusi, sebagai contoh, adalah adanya

1
David Matsumoto, Pengantar Psikologi Lintas Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),
hlm. 227.
2
Agus Abdul Rahman, Psikologi Sosial: Integrasi Pengetahuan Wahyu dan Pengetahuan
Empirik, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), hlm. 102.

1
pembedaan antara atribusi internal dan eksternal. Atribusi internal adalah atribusi
yang memandang bahwa penyebab perilaku ada dalam diri pelakunya; atribusi
eksternal adalah atribusi yang memandang penyebab perilaku berada di luar diri
seseorang.3
Supaya bisa memahami dengan baik bagaimana proses atribusi sosial itu
dilakukan, ada tiga teori atribusi4, yaitu:
1. Theory of Naive Psychology
Menurut Heider, kita secara alamiah dapat mengetahui hubungan
sebab akibat antara beberapa informasi. Kita selalu menarik makna dari
kejadian-kejadian yang ada di sekitar kita dan menggunakannya untuk
memahami dunia sosial. Oleh karena itu, untuk memahami dunia sosial
dengan baik, kita bisa meminta bantuan common sense psychology atau
Neive Psychology.
Dengan menggunakan common sense, kita membuat kesimpulan-
kesimpulan seperti:
a. Waktu antara dua peristiwa berpengaruh pada apakah suatu hubungan
sebab-akibat dapat disimpulkan atau tidak. Dua peristiwa yang terjadi
dalam waktu yang berdekatan lebih berpotensi disimpulkan mempunyai
hubungan sebab akibat daripada dua peristiwa yang terjadi dalam waktu
yang berjauhan.
b. Urutan antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya juga berpengaruh
pada penentuan peristiwa mana yang diduga sebagai akibat. Peristiwa
yang terjadi duluan berpotensi dianggap sebagai penyebab, sedangkan
peristiwa yang terjadi kemudian berpotensi dianggap akibat.
c. Kesamaan antara dua peristiwa berpengaruh pada apakah suatu
hubungan sebab-akibat dapat diketahui atau tidak. Dua peristiwa yang
memiliki kesamaan berpotensi disimpulkan mempunyai hubungan sebab
akibat daripada dua peristiwa yang tidak memiliki kesamaan.
d. Suatu peristiwa seringkali dianggap sebagai akibat dari penyebab tunggal.
Akibatnya, kita seringkali overestimate terhadap pengaruh satu faktor
penyebab terhadap suatu peristiwa dan mengabaikan faktor-faktor
penyebab lain yang berpotensi berpengaruh.
3
David Matsumoto, Pengantar Psikologi Lintas Budaya, ……, hlm. 229-230.
4
Agus Abdul Rahman, Psikologi Sosial: Integrasi Pengetahuan Wahyu dan Pengetahuan
Empirik, hlm. 109-113.

2
2. Corespondent Inference Theory
Teori corespondent inference dikemukakan oleh Edward E. Jones dan
Keith Davis pada tahun 1965. Teori ini adalah sistematisasi dari teori Heider.
Teori ini menjelaskan proses yang digunakan orang-orang di dalam
melakukan atribusi internal terutama ketika perilaku yang diamatinya tidak
mudah dipahami. Teori ini dinamai correspondent inference theory karena
berpandangan bahwa kita mempunyai kecenderungan untuk menyimpulkan
perilaku orang lain disebabkan oleh karakteristik internal atau keyakinan yang
dimilikinya. Asumsi dasar dari teori correspondent inference adalah bahwa
perilaku merupakan sesuatu yang mempunyai makna. Dengan menganalisis
perilaku, kita bisa mendapatkan penjelasan disposisional atau karakteristik
internal dari pelaku. Asumsi yang lain adalah bahwa kita memiliki
kecenderungan yang sangat kuat untuk menyimpulkan karakteristik orang lain
berdasarkan perilaku yang ditampakkannya. Berdasarkan asumsi tersebut,
maka analisis informasi mengenai suatu perilaku menjadi sangat penting dan
dapat dimanfaatkan untuk mengetahui karakteristik internal dan pelaku.
Berikut adalah tiga faktor yang harus diperhatikan ketika
mengatribusikan suatu perilaku dikarenakan faktor disposisional atau internal.
a. Non-common effect. Kita cenderung memilih perilaku yang lumrah dan
mengandung konsekuensi yang sifatnya umum. Ketika seseorang
melakukan suatu tindakan yang mengandung risiko yang tidak biasa maka
kita bisa mengatribusikan perilaku itu diduga dikarenakan faktor
disposisional atau internal. Artinya orang tersebut memang memiliki niat
untuk melakukan perilaku tersebut dan perilaku tersebut muncul karena
karakteristik internal orang tersebut.
b. Low-social desirability. Kita mempunyai kecenderungan untuk melakukan
perilaku-perilaku yang secara sosial diharapkan. Ketika ada orang yang
melakukan tindakan-tindakan yang secara sosial diharapkan, maka kita
tidak bisa mengatribusikan perilaku orang tersebut karen faktor
disposisional ataupun internal. Sebab, perilaku tersebut boleh saja karena
keinginan untuk konform terhadap harapan-harapan masyarakat.
Sebaliknya, orang yang menunjukkan perilaku yang bertentangan dengan

3
harapan masyarakat, maka perilaku itu bisa diduga karena faktor
disposisional atau internal.
c. Hedonic relevance atau personalism. Kita mempunyai kecenderungan
melakukan tindakan-tindakan yang menguntungkan bagi diri kita sendiri.
Perilaku yang relevansi hedoniknya tinggi cenderung dikarenakan faktor
internal, sebaliknya perilaku yang dapat merugikan diri sendiri cenderung
dikarenakan faktor eksternal.

Jadi, menurut teori ini, suatu perilaku dapat diatribusikan karena faktor
internal jika perilaku tidak umum, rendah niai harapan sosialnya, dan memiliki
relevansi hedonik yang tinggi.

3. Covariation Theory
Covariation theory dikemukakan oleh Harold Kelley pada tahun 1967.
Berbeda dengan correspondent inference yang menjelaskan penyebab
internal dari suatu perilaku, covariation theory menjelaskan penyebab
eksternal atau situasional dari perilaku. Asumsi dasar dari teori covariation
theory adalah bahwa dua kejadian bisa dikatakan memiliki hubungan sebab
akibat jika di antara keduanya covary satu sama lain atau jika yang satu
berubah, maka yang satunya lagi pun akan berubah.
Teori ini mengemukakan tiga faktor yang dapat digunakan sebagai
petunjuk dalam melakukan atribusi. Ketiga faktor tersebut penting di dalam
menentukan kovariasi, dan perbedaan kombinasi dari ketiga faktor tersebut
akan menyebabkan atribusi kausalitas yang berbeda. Ketiga faktor tersebut
adalah:
a. Konsensus, yaitu apakah respons-respons seseorang terhadap suatu
stimulus tertentu sama dengan respons orang lain terhadap stimulus
tersebut.
b. Konsistensi, yaitu apakah respons seseorang terhadap suatu stimulus
tertentu sama di setiap waktu dan tempat.
c. Daya beda, yaitu sejauh mana seorang memberikan respons yang
berbeda terhadap suatu stimulus tertentu dengan terhadap stimulus
lainnya.
Menurut teori ini, suatu perilaku dapat diatribusikan karena faktor
internal yang sifatnya stabil jika dimensi konsensus dan daya beda rendah,

4
sedangkan dimensi konsistensi tinggi. Sebaliknya, atribusi situasional dapat
dilakukan jika semua dimensi tinggi.
Sarlito W. Sarwono5 menggambarkan atribusi eksternal menjadi tiga
bagian, yaitu proses atribusi, ketergantungan informasi, dan atribusi dan
persuasi. Berikut penjelasannya:
a. Proses atribusi
Teori ini dikembangkan oleh Kelly (1967). Atrribusi didefinisikan oleh
Kelly sebagai proses mempersepsikan sifat-sifat dispositional (yang sudah
ada) pada satuan-satuan (entities) di dalam suatu lingkungan
(environment).
Kelly membenarkan teori Heider bahwa proses atribusi adalah proses
persepsi dan bahwa atribusi bisa ditujukan kepada orang atau lingkungan.
Contoh: X senang menonton acara Omong-omong di TV, maka ada dua
kemungkinan: ia bisa menyatakan bahwa acara itulah yang memang
menyenangkan (atribusi eksternal) atau bisa menyatakan bahwa
dirinyalah yang sedang dalam keadaan senang, sehingga ia menyukai
program TV tersebut (internal). Faktor-faktor yang menyebabkan orang
lebih cenderung ke atribusi eksternal atau atribusi internal inilah yang
menjadikan pusat perhatian teori Kelly.
Menurut Kelly, ada 4 kriteria yang menyebabkan orang lebih
cenderung kepada atribusi eksternal daripada atribusi internal. Keempat
kriteria itu adalah:
1) Distinksi atau diferensiasi. Dalam contoh di atas, X menyukai acara
Omong-omong yang sedang ditontonnya itu, tetapi kurang menyukai
acara-acara TV yang lain.
2) Konsistensi dalam waktu; X akan menyukai acara itu lagi kalau ia
menontonnya kembali di lain waktu.
3) Konsistensi dalam acara; X akan tetap menyukai acara itu, tidak hanya
kalau ia menonton di rumah, tetapi juga kalau menonton di rumah,
tetapi juga kalau ia menontonnya di rumah teman, atau menontonnya
melalui pesawat TV hitam putih, padahal biasanya menonton TV
berwarna.

5
Sarlito Wirawan Sarwono, Teori-teori Psikologi Sosial, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2001), hlm. 179-182.

5
4) Konsensus: ternyata bukan X saja yang menyukai acara itu, tetapi
orang-orang lainpun menyukai acara Omong-omong.

Kalau keempat syarat ini dipenuhi, maka akan terjadi atribusi


eksternal. Tapi kalau tidak, maka kesenangan menonton acara TV
tersebut akan dinyatakan sebagai akibat dari keadaan diri Wati sendiri
(atribusi internal).

b. Ketergantungan Informasi
Jika suatu atribusi memenuhi keempat kriteria tersebut (atribusi
eksternal) maka orang akan merasa yakin pada diri, cepat membuat
keputusan dan mampu bertindak dengan mantap. Tetapi kalau salah satu
atau beberapa kriteria tidak terpenuhi, maka ia jadi tidak yakin dan ragu-
ragu bertindak. Hal ini menyebabkan Kelley pada teorinya tentang tingkat
informasi (information level).
Tingkat informasi menyangkut pengetahuan seseorang tentang
kenyataan-kenyataan yang terjadi di lingkungan di sekitarnya. Jika tingkat
informasi seseorang tinggi, maka orang akan mampu membuat atribusi
yang distinktif (lain dari yang lain), tetapi mantap (tidak sering berubah-
ubah).
Selanjutnya, Kelley menyatakan bahwa tigkat informasi seseorang
merupakan dasar untuk menganalisa ketergantungan informasi dari orang
tersebut. Kelley beranggapan bahwa setiap orang (misalnya A) selalu
membutuhkan orang lain (misalnya B) untuk memperoleh informasi-
informasi yang diperlukannya. Jika B bisa meningkatkan informasi-
informasi yang diperlukannya. Jika B bisa meningkatkan informasi yang
dimiliki A ke tingkat yang lebih tinggi dari orang-orang lain, maka A akan
mempunyai ketergantungan informasi pada B.
Ketergantungan informasi bisa berkaitan dengan hal-hal yang sudah
nyata (aktual) atau baru merupakan kemungkinan (potensial) dan bisa
menyangkut pengalaman atau harapan. Harapan dan kemungkinan
menyangkut masa depan, sedangkan pengalaman dan kenyataan
menyangkut masa ini dan masa lalu. Jika ketergantungan informasi itu
menyangkut masa yang akan datang, maka A akan mencari B untuk
bertanya, untuk meningkatkan tingkat informasinya.

6
Umumnya setiap orang akan mencari informasi jika tigkat informasinya
menurun sampai bawah ambang yang dapat dipertahankannya.
Kecenderungan untuk mencari informasi inilah yang mendorong orang
untuk berinteraksi dengan orang lain yang diharapkan dapat memberi
informasi.
c. Atribusi dan persuasi
Konsep-konsep tersebut di atas digunakan oleh Kelley untuk
menjelaskan mudahnya orang dipengaruhi pendapatnya (persuasi),
penolakan terhadap persuasi dan akibat dari persuasi. Ia mempunyai
hipotesa bahwa makin sering terjadi perubahan atribusi pada seseorang di
waktu yang lampau, makin mudah orang tersebut dipengaruhi oleh
lingkungan sosialnya. Atribusi akan tidak mantap (tidak stabil) jika orang
yang bersangkutan kurang mendapat dukungan sosial, kurang
mempunyai informasi di waktu yang lalu, pandangan-pandangan sering
tidak dibenarkan dan/atau sering mendapatkan pengalaman yang
menurunkan kepercayaan dirinya.
Dalam hubungan ini orang lain (B) bisa membantu meningkatkan
pengetahuan orang tersebut (A) melalui dua cara yaitu: meningkatkan
konsistensi atau meningkatkan konsensus dalam kaitan dengan atribusi
dari A. cara yang pertama disebut pendidikan dan terutama menggunakan
pendekatan rasional, sedangkan cara yang kedua disebut persuasi yang
hasilnya lebih banyak tergantung pada penilaian A terhadap B.

Bias atribusi

Ada beberapa kesalahan atau bias yang dialami individu ketika melakukan
atribusi, diantaranya6:

1. Bias Korespondensi
Jones adalah ahli yang menjelaskan tentang bias korespondensi yang
merupakan kecenderungan untuk mengurai sumber perilaku orang lain
(koresponsensi) dari disposisi (kepribadian) yang ada, bahkan ketika
penyebab situasionalnya terbukti ada. Bias korespondensi sering disebut
sebagai kesalahan atribusi fundamental karena secara umum terjadi pada

6
Hadi Suyono, Pengantar Psikologi Sosial 1, (Yogyakarta: D&H, 2008), hlm. 72-74.

7
banyak orang. Secara praktikal, bias korespondensi dapat dikatakan
seseorang cenderung mempersepsikan tindakan orang lain, “dia memang
orangnya begitu”, daripada mencari faktor-faktor penyebab eksternal.
2. Efek Aktor dan Pengamat
Jones dan Nisbet menjelaskan efek aktor dan pengamat berkaitan
dengan kecenderungan untuk mengatribusi perilaku yang disebabkan oleh
faktor situasional, sementara perilaku orang lain disebabkan faktor disposisi
(internal).
3. Bias Mengutamakan Diri Sendiri
Bias mengutamakan diri sendiri merupakan kecenderungan untuk
mengatribusi kesuksesan pada faktor internal (contohnya sifat-sifat atau
karakteristiknya), tetapi mengatribusi kegagalan pada faktor eksternal
(peluang) dan tingkat kesulitan tugas.

Temuan-temuan Lintas Budaya tentang Atribusi

Penelitian lintas budaya tentang atribusi sangat penting, terutama untuk


meningkatkan pemahaman kita mengenai interaksi interkultural. Konsekuensi
dari kekeliruan-kekeliruan atribusi bisa amat parah. Ketepatan dalam
menafsirkan penyebab perilaku, terutama yang berkaitan dengan niat dan
maksud baik, adalah hal yang amat penting dalam keberhasilan interaksi sosial
macam apapun juga. Tak terkecuali interaksi interkultural. Sebagai contoh,
seseorang mungkin terburu mengatribusikan perilaku orang lain pada niat buruk
atau perasaan negatif, padahal sebenarnya perilaku tersebut berakar pada
dinamika kultural yang memang mendorong dan melanggengkannya. Kalau ini
terjadi, hubungan pun bisa sangat memburuk. Kita perlu mempertimbangkan
pengaruh faktor-faktor kultural dalam membuat atribusi atas perilaku orang lain
maupun kita sendiri. Dengan begitu, kita telah mengambil satu langkah penting
dalam memperbaiki pemahaman dan hubungan interkultural.

Ada banyak contoh yang menggambarkan bagaimana orang dari berbagai


budaya berbeda dengan orang Amerika dalam atribusi mereka. Misalnya,
beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa bias menguntungkan diri yang
ditemui di kalangan siswa Amerika tidak selalu ada pada siswa-siswa di budaya-
budaya lain. Sebagai contoh, Hou dan Salili (1991) meminta siswa-siswa

8
menengah pertama dan atas di Hong Kong untuk mengurutkan nilai penting dan
makna dan 13 faktor penyebab spesifik prestasi akademik. Usaha, ketertarikan,
dan kemampuan selalu ditempatkan sebagai faktor penyebab yang paling
penting, baik untuk keberhasilan maupun kegagalan. Pun demikian dengan
Moghdam, Ditto, dan Taylor (1990) menunjukkan bahwa perempuan India
cenderung mengatribusikan keberhasilan dan kegagalan pada sebab-sebab
internal.

Penelitian lintas budaya lain, Kashima dan Triandis, misalnya,


menunjukkan bahwa orang Jepang menggunakan gaya atribusi yang jauh lebih
berorientasi kelompok dan kolektif, dalam kaitannya dengan tugas-tugas
perhatian dan daya ingat. Tak seperti orang Amerika, subjek-subjek Jepang ini
lebih sering mengatribusikan kegagalan pada dirinya sendiri, dan keberhasilan
lebih pada hal di luar diri. Kashima dan Triandis menafsirkan bahwa temuan
temuan ini mengungkap perbedaan kultural antara Amerika dan Jepang dalam
hal sejauh mana anggota masing-masing budaya mengambil tanggung jawab.

Duda dan Allison (1989), berdasarkan penelitian lintas budaya,


menguraikan sebuah kerangka untuk meneropong keterbatasan teori-teori
atribusi. Mereka melihat bahwa teori-teori itu terbatas aplikasi lintas budayanya
karena adanya etnosentrisme dalam tiga isu penting. Yang pertama adalah
tentang dampak budaya pada apa yang didefinisikan sebagai keberhasilan dan
kegagalan. Bagaimana orang Amerika memandang keberhasilan dan kegagalan
seringkali berbeda dnegan pendangan orang dari budaya lain. Isu yang kedua
terkait dengan perbedaan kultural dalam makna elemen-elemen spesifik dari
teori-teori atribusi (usaha, pekerjaan, keberuntungan, dan seterusnya).
Perbedaan makna dari elemen-elemen tersebut membawa implikasi yang
berbeda bagi makna atribusi yang dikaitkan dengannya. Terakhir, isu isu yang
ketiga berhubungan dengan keterbatasan dalam penggunaan dimensi bipolar
dalam penelitian. Perbedaan kultural dalam dimendi yang penting dalam
memahami dan memprediksi atribusi bisa mengarah pada dugaan-dugaan yang
berbeda dalam gaya-gaya atribusi.

Penelitian lintas budaya tentang atribusi sejauh ini belum menghasilkan


gambaran yang jelas dan konsisten tentang ssifat atribusi atau proses-proses

9
atribusional pada semua budaya dan ras. Tapi pesannya sampai saat ini amat
jelas: Orang dari kebudayaan yang berbeda memang punya gaya atribusional
yang berbeda, dan perbedaan-perbedaan ini berakar jauh dalam latar belakang
kultural dan pengasuhan. Ada cukup banyak penelitian yang mempertanyakan
daya penerapan lintas budaya dari berbagai konsep populer tentang atribusi
yang terbukti benar di Amerika. Bias menguntungkan diri, atribusi-atribusi
defensif, dan kesalahan atribusi mendasar tidak muncul dalam cara yang sama,
atau dengan makna yang sama, di budaya lain. 7

7
David Matsumoto, Pengantar Psikologi Lintas Budaya, ……, hlm. 232-236.

10
DAFTAR PUSTAKA

Matsumoto, David. Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,


2008.
Rahman, Agus Abdul. Psikologi Sosial: Integrasi Pengetahuan Wahyu dan
Pengetahuan Empirik. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013.
Sarwono, Sarlito Wirawan. Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2001.
Suyono,Hadi. Pengantar Psikologi Sosial 1. Yogyakarta: D&H, 2008.

11

Anda mungkin juga menyukai