Anda di halaman 1dari 8

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/318116513

BEBERAPA MIKROBA PATOGENIK PENYEBAB FOODBORNE DISEASE DAN


UPAYA UNTUK MENURUNKAN PREVALENSI FOODBORNE DISEASE DI
INDONESIA Mikroba dalam Foodborne Disease dan Pencegahannya

Working Paper · July 2016

CITATION READS

1 11,051

2 authors:

Annida Nizlah Nadiya Ilma Asharina


University of Indonesia Bandung Institute of Technology
1 PUBLICATION   1 CITATION    2 PUBLICATIONS   2 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Ilma Asharina on 03 July 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


BEBERAPA MIKROBA PATOGENIK PENYEBAB FOODBORNE
DISEASE DAN UPAYA UNTUK MENURUNKAN PREVALENSI
FOODBORNE DISEASE DI INDONESIA
Mikroba dalam Foodborne Disease dan Pencegahannya

Annida Nizlah Nadiya dan Ilma Asharina


Institut Teknologi Bandung

“Satu dari 10 orang di dunia mengalami keracunan makanan setiap


[11]
tahun,” . WHO telah memerkirakan bahwa 600 juta penduduk dunia mengalami
keracunan setiap tahunnya, dan sebanyak 420.000 orang di antaranya meninggal,
termasuk 125.000 anak usia di bawah 5 tahun[11]. Namun, tak ada manusia yang
dapat hidup tanpa makanan dan minuman. Makanan dan minuman tersebut
diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan manusia sebagai makhluk
hidup. Oleh karena itu, satu langkah yang bisa kita lakukan adalah mengupayakan
pencegahan keracunan makanan (foodborne disease).
Pada dasarnya, tumbuhan dan hewan yang kita makan memiliki
kemampuan untuk mencegah pertumbuhan mikroba. Namun seiring kematian
tumbuhan dan hewan tersebut, kemampuan antimikrobanya pun akan lenyap
sehingga mikroba seperti bakteri, virus, fungi dan parasit mampu mengontaminasi
makanan tersebut. Ketika mikroba berada dalam bahan pangan, atau
mengeluarkan toksin ke dalam bahan pangan, dan bila bahan pangan tersebut
diolah dengan cara yang tidak tepat, maka dapat menimbulkan foodborne
disease[6].
Foodborne disease merupakan penyakit yang timbul akibat kontaminasi
makanan oleh mikroba maupun zat kimia berbahaya. Seperti yang kita ketahui,
mikroba memiliki faktor virulensi yang memungkinkan dirinya mampu
menginfeksi manusia. Oleh karena itu, foodborne disease oleh mikroba lebih
dapat berakibat fatal. Bakteri dan fungi merupakan mikroorganisme yang paling
sering dijumpai sebagai penyebab utama foodborne disease. Pada negara-negara
berkembang seperti Indonesia yang sarana dan prasarana dalam upaya
pencegahannya masih belum memadai, kasus foodborne disease akibat mikroba
telah dilaporkan sebanyak lebih dari 150 juta kasus[8]. Bahaya dari foodborne
disease dapat kita lihat dari manifestasi kliniknya. Beberapa di antaranya yang
paling umum adalah diare, mual-mual dan muntah. Namun, perlu digarisbawahi
bahwa diare akibat keracunan oleh mikroba ini dapat berujung pada kematian jika
tidak ditangani dengan tepat. Berdasarkan deklarasi pada konferensi Internasional
Alma-Ata tahun 1978, setiap tahun di negara berkembang, terdapat sekitar 150
juta kasus diare yang 30% dari angka tersebut disebabkan oleh kontaminasi
mikroba sehingga mengakibatkan sekitar 3 juta anak meninggal [8]. World Health

1
Organization (WHO) juga pernah melaporkan bahwa diare akibat foodborne
disease merupakan penyebab utama penyakit dan kematian di negara berkembang
dan kurang berkembang, yang diperkirakan mencapai 1,9 juta orang per tahun[5].
Selain diare, terdapat berbagai macam gejala spesifik yang muncul pada
penderita berdasarkan mikroba yang tertelan. Pada foodborne disease yang
berkelanjutan, bahkan penderita dapat mengalami hepatitis, asites, serta kerusakan
otak dan saraf. Semua tanda dan gejala klinik tersebut sangat bergantung dari
mikroba yang terbawa oleh makanan. Keberadaan mikroba yang terbawa oleh
makanan bergantung pada kesesuaian habitat dan lamanya kontak antara makanan
dengan mikroba penyebab foodborne disease. Beberapa faktor yang dapat
meningkatkan risiko terjadinya kerusakan makanan dan memicu munculnya
perkembangan mikroba dalam makanan adalah adanya nutrisi bakteri pada
makanan, pH dan suhu optimum bakteri, rendahnya senyawa antimikroba,
perbedaan kondisi suhu antara produksi dan konsumsi, waktu penyimpanan yang
terlalu lama, serta proses pengolahan bahan pangan yang tidak higienis.
Makanan yang belum matang ataupun sudah matang dapat menjadi
medium yang mendukung pertumbuhan mikroba. Selain itu, berbagai produk
makanan seringkali menjadi tempat bersarangnya toksin dari bakteri dan fungi.
Tidak seperti bakteri dan fungi, virus tidak dapat bereplikasi dalam makanan
sehingga makanan hanya berperan sebagai pembawa virus. Foodborne disease
oleh virus umumnya disebabkan karena adanya transmisi virus dari tangan
maupun alat masak dan alat makan. Sementara parasit yang umum dijumpai pada
makanan adalah jenis cacing dan protozoa. Bakteri patogen yang sering
ditemukan pada penderita foodborne disease di negara berkembang seperti
Indonesia di antaranya E. coli (15-20%), Shigella sp.(5-15%), Salmonella sp. (1-
5%), Vibrio colerae (5-10%), Campylobacter jejuni (15-20%). Terdapat juga
parasit cacing seperti Fasciola hepatica dan protozoa seperti Giardia lamblia,
Entamoeba histolytica, serta berbagai virus rota (15-20%)[8].
Campylobacter jejuni adalah bakteri Gram negatif yang sangat produktif
tumbuh di lingkungan dengan suhu 42-45⁰C[1]. Menariknya, bakteri ini
merupakan penyebab utama diare pada anak, melebihi diare akibat Salmonella sp.
C. jejuni biasa ditemukan pada daging sapi dan ayam yang belum matang serta
susu yang disimpan terlalu lama. Seseorang yang terinfeksi C. jejuni akan
mengalami demam, malaise, nyeri perut, dan diare yang dapat disertai darah.
Namun seperti bakteri pada umumnya, C. jejuni akan mati pada proses pemanasan
atau pasteurisasi sehingga foodborne akibat C. jejuni dapat ditangani dengan
pemanasan makanan yang cukup atau pasteurisasi.
Bakteri penyebab foodborne disease lainnya yang cukup marak
diberitakan adalah E.coli. Bakteri Gram negatif ini sebenarnya merupakan salah
satu mikroflora dalam saluran pencernaan manusia yang tumbuh optimum pada
suhu 37⁰C [1]. Artinya bakteri tersebut memang berkembang secara alami pada
usus manusia. Namun E. coli bersifat patogen oportunistik oleh karena itulah

2
kasus diare yang disebabkan oleh E.coli hanya terjadi saat pertahanan tubuh
seseorang sedang melemah atau karena jumlah bakteri E. coli pada tubuh
melebihi batas normal.
Contoh kasus pada tahun 2012 silam, terjadi keracunan masal akibat
makanan yang mengandung E. coli, Salmonella sp., dan Staphylococcus sp. di
Klaten, Jawa Timur[4]. Kasus tersebut mengakibatkan sebanyak 101 orang warga
mengalami keracunan dengan 61 orang di antaranya dirawat inap di rumah sakit.
Setelah dilakukan pengecekan terhadap makanan, alat masak dan bahan baku
makanan oleh Laboratorium Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) kota
Semarang, terbukti bahwa semua alat dan bahan mengandung bakteri yang
jumlahnya melebihi batas normal. Padahal dengan pemanasan bahan makanan
yang cukup serta pencucian alat masak yang benar, ketiga bakteri tersebut dapat
dihambat perkembangannya. Dari kasus ini dapat kita simpulkan bahwa persiapan
dan pengolahan makanan mampu memegang peranan yang sangat penting dalam
pencegahan foodborne disease.
Foodborne disease akibat virus ditandai dengan gastroenteritis.
Gastroenteritis merupakan inflamasi pada usus atau lambung akibat virus.
Gastroenteritis memiliki manifestasi klinik diare air, mual, muntah dan kadang
demam hingga menimbulkan dehidrasi, lelah, lemas, kulit kering, dan mata yang
menjadi cekung. Rotavirus merupakan virus famili Rutaviridae yang menyerang
dan memasuki sel enterosit yang matang pada ujung vili usus kecil. Virus ini
menyebabkan perubahan pada struktur dari mukosa usus kecil, berupa
pemendekkan vili[2]. Rotavirus menempel dan masuk dalam sel epitel tanpa
kematian sel yang dapat menimbulkan diare. Sel epitel yang dimasuki oleh virus
akan mensintesis dan mensekresikan senyawa yang menimbulkan respon imun
dari penderita dalam bentuk perubahan morfologi dan fungsi sel epitel.
Selain mikroba, senyawa kimia juga berperan dalam kejadian foodborne
disease. Tidak hanya senyawa kimia sintetis, namun senyawa kimia yang
dihasilkan oleh tumbuhan atau fungi pun dapat meracuni orang yang
mengonsumsinya. Salah satu senyawa kimia berbahaya yang dihasilkan oleh fungi
adalah aflatoksin. Aflatoksin merupakan salah satu jenis dari mikotoksin yang
dihasilkan oleh fungi spesies Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus[3] [7].
Aspergillus flavus menghasilkan aflatoksin B1 and B2 dan asam siklopiazonat
sedangkan Aspergillus parasiticus menghasilkan aflatoksin B1, B2, G1 dan G2.
Aflatoksin bersifat toksik dan merupakan substansi yang sangat karsinogenik[3].
Setelah masuk kedalam tubuh, aflatoksin dapat dimetabolisme oleh hati menjadi
senyawa reaktif atau mengalami dihidroksilasi menjadi senyawa yang kurang
berbahaya (AflatoksinM1v). Tetapi jika paparan aflatoksin berlangsung beberapa
minggu hingga beberapa bulan maka akan muncul gejala disfungsi hati seperti
nyeri ulu hati, jaundice dan jika diperiksa lebih lanjut, akan didapati abnormalitas
nilai enzim hati seperti SGOT dan SGPT. Komoditas utama yang dikontaminasi
oleh aflatoksin adalah singkong, cabai, jagung, kacang, beras, dan gandum.

3
Produk transformasi aflatoksin terkadang ditemukan di telur, produk susu, dan
daging karena hewan memakan padi-padian yang terkontaminasi.
Adapun parasit cacing kelas Trematoda yakni Fasciola hepatica dapat
mengontaminasi makanan. Telur cacing F. hepatica dari feses hospes definitif
(hewan ternak), di lingkungan berair akan matang dan berkembang menjadi
mirasidium. Mirasidium menginvasi tubuh hospes intermediet (siput) untuk
berkembang menjadi serkaria, keluar dari tubuh siput dan menjadi metaserkaria[9].
Metaserkaria akan beredar pada berbagai tanaman, atau rumput-rumputan yang
dimakan hewan ternak. Metaserkaria yang menempel pada tanaman atau sayuran
yang dimakan mentah, atau hati hewan ternak yang dimasak tidak matang, akan
berpenetrasi ke dalam dinding saluran pencernaan dan semakin lama akan
mencapai hati lalu memakan sel hati dan menyebabkan anemia berat.
Dengan mengetahui penyebab dan bahaya dari foodborne disease, maka
berikut adalah beberapa langkah umum untuk mengurangi risiko terjadinya
foodborne disease, diantaranya:
1. Peningkatan sanitasi
Sayur dan buah yang baru dipetik atau baru dibeli dapat dipastikan
membawa sejumlah mikroba patogen. Oleh karena itu, pastikan sayuran dan buah-
buahan yang akan dikonsumsi telah dicuci dengan air mengalir. Air yang
digunakan harus terjamin kebersihannya karena mikroba juga dapat terbawa dari
air yang digunakan untuk mencuci makanan[10]. Tidak lupa memastikan
kebersihan tangan sebelum kontak dengan makanan atau minuman.
2. Pemanasan makanan mentah
Tujuan pemanasan atau pemasakan bahan makanan hingga benar-benar
matang adalah agar sel vegetatif dan spora mikroba patogen dan pembusuk dapat
terbunuh. Dengan pemanasan, toksin yang terdapat pada bahan makanan yang
sensitif terhadap panas juga akan rusak sehingga selain mencegah foodborne
disease, pemanasan juga berguna untuk meningkatkan waktu simpan.
3. Kondisi penyimpanan yang tepat
Mikroba patogen dapat berkembang biak dengan baik di suhu ruangan.
Oleh karena itu, menjaga makanan pada suhu dibawah 5oC atau diatas 60oC akan
menyebabkan melambatnya bahkan terhentinya pertumbuhan mikroba patogen
tersebut. Untuk skala industri, terdapat metode Modified Atmosphere Packaging
yang dilakukan dengan menyimpan makanan dalam wadah dengan konsentrasi
CO2 lebih dari 10%. CO2 efektif mengurangi pembusukan buah oleh fungi dengan
mekanisme inhibitor kompetitif terhadap kerja gas etilen.
Selain itu, saat hendak disimpan, beberapa faktor intrinsik yang
memengaruhi pertumbuhan mikroba dalam makanan seperti aktifitas air, dan pH
harus diperhatikan.
Aktivitas air (Aw) menunjukkan jumlah air di dalam makanan yang dapat
digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya. Mikroba mempunyai kebutuhan
Aw minimal yang berbeda-beda untuk pertumbuhannya. Di bawah Aw minimal

4
tersebut mikroba tidak dapat tumbuh atau berkembang biak. Oleh karena itu salah
satu cara untuk mengawetkan makanan adalah dengan menurunkan Aw bahan
tersebut. Reduksi Aw bertujuan mencegah perkecambahan spora mikroba,
mencegah produksi toksin dari kapang dan bakteri toksigenik. Sebagai contoh,
nilai minimal Aw untuk bakteri Gram negatif adalah 0,97[1] maka makanan yang
diindikasikan mengandung bakteri Gram negatif harus memiliki Aw yang lebih
rendah dari 0,97. Prinsip reduksi Aw adalah dehidrasi, penghilangan air dengan
kristalisasi dan penambahan zat terlarut.
Modifikasi pH diperlukan untuk mencegah tumbuhnya berbagai mikroba.
Secara umum, pH untuk pertumbuhan bakteri, ragi, dan fungi berfilamen secara
berturut-turut adalah 6.0-8.0, 4.5-6.0, dan 3.5-4.0, dengan pengecualian untuk
jenis bakteri laktobasilus dan bakteri asam asetat tumbuh optimum pada pH 5.0
dan 6.0[1]. Penurunan pH merupakan salah satu prinsip pengawetan pangan untuk
mencegah pertumbuhan mikroba. Prinsip ini dilakukan dengan cara
menambahkan asam ke dalam makanan seperti dalam pembuatan acar atau asinan.
Cara lain adalah dengan fermentasi.
4. Pemberantasan hospes intermediet
Foodborne disease akibat parasit bergantung pada adanya hospes
definitif, intermediet, dan reservoir. Cara pencegahan yang dapat dilakukan
diantaranya dengan pengontrolan hospes intermediate (siput) dengan moluskisida.
Sehingga parasit tidak memiliki media untuk tumbuh dan menginfeksi manusia.
5. Penyuluhan dan edukasi terhadap masyarakat
Pihak pemerintah seperti Dinas Kesehatan maupun LSM terkait dapat
mengadakan penyuluhan. Dalam UU RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
pasal 17 ayat 1 menyebutkan bahwa pemerintah bertanggungjawab atas
ketersediaan akses terhadap informasi, edukasi dan fasilitas pelayanan kesehatan
untuk meningkatkan dan memelihara derajat kesehatan setinggi-tingginya.
Penyuluhan dapat difokuskan pada daerah-daerah yang prevalensi foodborne
disease-nya terbilang tinggi.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa beberapa mikroba


patogenik dapat menginfeksi tubuh dengan bertransmisi melalui pangan yang
dikonsumsi oleh manusia. Di Indonesia, mikroba patogenik tersebut antara lain
Campylobacter jejuni, Salmonella sp., Escherichia coli, Rotavirus, Aspergillus
flavus penghasil aflatoksin, dan parasit Fasciola hepatica. Bahan pangan yang
terkontaminasi mikroba atau toksin mikroba tersebut dapat menimbulkan
manifestasi klinik seperti mual, muntah, nyeri perut, diare, dehidrasi, hingga
kematian. Maka, sangat penting untuk melakukan peningkatan sanitasi,
memanaskan makanan mentah, menyimpan bahan pangan atau makanan dengan
cara dan kondisi yang tepat, memberantas hospes intermediet bagi parasit, serta
diadakannya penyuluhan dari pemerintah untuk masyarakat, agar prevalensi
foodborne disease menurun dan derajat kesehatan masyarakat dapat meningkat.

5
DAFTAR PUSTAKA

[1]
Adams, Martin R. dan Moss, Maurice. 2008. Food Microbiology Third Edition.
Cambridge: Royal Society of Chemistry Publishing. Halaman 1-3, 20-21, 25-26,
194, 198, 216, 238, 275-276, 300.
[2]
Albert, M. J., Soenarto Y., dan Bishop R. F. 1982. Epidemiology of Rotavirus
Diarrhea in Yogyakarta, Indonesia, as Revealed by Electrophoresis of Genome
RNA. Journal of Clinical Microbiology. 16(4):731.
[3]
Hudler, George W. 1998. Magical Mushrooms, Mischievous Molds: The
Remarkable Story of the Fungus Kingdom and Its Impact on Human Affairs. New
Jersey: Princeton University Press. Halaman 85.
[4]
Purnama, Angga. 2012. Kasus Keracunan Massal di Bayat Makanan
Mengandung Bakteri. [Online]
http://edisicetak.joglosemar.co/berita/kasus-keracunan-massal-di-bayat-makanan-
mengandung-bakteri-107301.html diakses pada 19 Juli 2016 pukul 14.18 WIB.
[5]
Referensi Industri dan Teknologi Pangan Indonesia. 2008. Ancaman Patogen
Pada Pangan Asal Hewan. [Online]
http://www.foodreview.co.id/login/preview.php? view&id=55639 diakses pada 16
Juli 2016 pukul 20.16 WIB.
[6]
United States Department of Agriculture Food Safety and Inspection Service.
2011. Foodborne Illness: What Consumers Need to Know. [Online]
http://www.fsis.usda.gov/wps/wcm/connect/602fab29-2afd-4037-a75d-593b4b
7b57d2/Foodborne_Illness_What_Consumers_Need_to_Know.pdf?MOD=AJPE
RES diakses pada 14 Juli 2016 pukul 08.17 WIB.
[7]
Wannop, C. C. 1961. The Histopathology of Turkey “X” Disease in Great
Britain. Journal of the World Veterinary Poultry Association. 5 (4): 371.
[8]
Widyastuti, Palupi (ed). 2002. Penyakit Bawaan Makanan: Fokus Pendidikan
Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG. Halaman 2, 4.
[9]
World Health Organization. 2012. Foodborne Trematode Infections. [Online]
http://www.who.int/foodborne_trematode_infections/fascioliasis/en/ diakses pada
17 Juli 2016 pukul 13.01 WIB.
[10]
World Health Organization. 2014. Lima Kunci Untuk Keamanan Pangan.
[Online]
http://www.searo.who.int/entity/foodsafety/poster-bahasa.pdf?ua=1 diakses pada
19 Juli 2016 pukul 11.32 WIB.

6
[11]
World Health Organization. 2015. Food Safety: Key Facts. [Online]
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs399/en/ diakses pada 19 Juli 2016
pukul 16.14 WIB.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai