Anda di halaman 1dari 16

A DISPENSATIONAL THEOLOGY

Chapter 1 : Pengenalan
Oleh :
Febriana Maurizki Dewanti / Program Studi Teknik Elektro / Konsentrasi Multimedia
Broadcasting / Sekolah Tinggi Teknik Malang

Renungan
“Ia telah ada di dalam dunia dan dunia dijadikan oleh-Nya, tetapi dunia tidak mengenal-
Nya” (Yoh 1:10)

Terkadang orang lebih tertarik kepada sains; bagaimana manusia tercipta, bagaimana
tanaman tumbuh, tetapi tidak tertarik akan Sang Penciptanya. Pemandangan yang indah kita
kagumi, namun apakah kita mengucap syukur kepada Sang Pelukisnya setiap kali
memandang karya-Nya?
Melalui chapter ini, kita diajak untuk mengenal lebih dalam tentang apa kehendak Tuhan
bagi ciptaan-Nya. Mempelajari teologi adalah salah satu cara untuk mengenal Tuhan. Bukan
berarti Alkitab tidak cukup untuk dijadikan pegangan iman. Bukan berarti kita diselamatkan
oleh pengetahuan kita akan Tuhan. Melalui teologi, kita akan belajar lebih mendalam tentang
Tuhan, karya-karya-Nya, serta kehendak-Nya, yang telah Ia wahyukan melalui orang-orang
pilihan-Nya dengan menyusun Alkitab selama puluhan abad. Betapa sedihnya Tuhan bila Ia
tidak dikenal baik, padahal telah banyak yang Ia perbuat dan korbankan dalam kasih demi
ciptaan-Nya. Tidak ada yang lebih berharga daripada memahami orang yang mencintai kita,
dan dengan begitu kita dapat membalas cintanya.
Tuhan, beri aku hati yang mau mengenal-Mu. Bukan hanya mengenal, tetapi memahami serta
mencintai-Mu. Curahi aku dengan Roh-Mu, kiranya rahmat-Mu mampu menembus
kegelapan akal budiku. Ku mohon ini dengan perantaraan Kristus, Tuhan kami, kini dan
sepanjang masa. Amin

1
2

I. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Manusia terlahir tanpa pengetahuan yang menyertainya. Segala yang
manusia ingin ketahui harus melewati berbagai proses pembelajaran.
Penelitian mulai dikembangkan untuk mencari tahu seluk beluk dunia, hingga
terciptanya berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Namun terkadang manusia
lupa, bukan hanya ilmu pengetahuan saja yang perlu dipelajari, melainkan juga
sosok di balik terciptanya segala ilmu pengetahuan dan sumbernya, yaitu
Tuhan. Manusia berasal dari Tuhan, tetapi apakah manusia mengetahui siapa
itu Tuhan? Kenalkah ia pada Sang Penciptanya? Mengapa Ia disebut Tuhan?
Pahamkah ia mengapa ia diciptakan, bersama dengan alam semesta dan
makhluk hidup lainnya?
Ilmu teologi akan mengantarkan manusia memahami Penciptanya. Apa
yang Ia inginkan, tujuan-tujuan-Nya, semua yang Ia telah kerjakan untuk
dunia akan terungkap dengan mempelajari teologi. Teologi dalam arti luas
adalah studi, bukan hanya tentang Tuhan, tetapi juga tentang semua karya-
Nya. Tuhan yang menciptakan manusia, ingin menyampaikan kehendak-Nya
kepada ciptaan-Nya lewat berbagai macam cara yang memungkinkan. Alkitab
Ia turunkan, berisi wahyu-wahyu tentang diri-Nya dan maksud-maksud-Nya.
Wahyu Allah harusnya menjadi bak nafas kehidupan bagi iman Kristiani.
Kemudian setelah mempelajari Alkitab dan sabda-sabda-Nya, beberapa
orang mungkin mulai mempertanyakan, mengapa Tuhan dahulu
menyelamatkan manusia atas persembahan mereka, sedangkan di zaman
sekarang kurban bakaran bahkan dikecam oleh semua keyakinan? Mengapa
para murid dahulu diutus mewartakan Injil hanya kepada orang yang
menyimpang, namun di lain waktu Yesus memerintahkan untuk
mewartakannya ke seluruh dunia? Keduanya nampak bertentangan bila dilihat
dengan mata telanjang. Namun dengan kacamata teologi, apa yang nampak
saling timpang akan dapat dipahami.
Pengetahuan akan Tuhan yang tidak mendalam dapat membawa seseorang
kepada pemahaman yang salah kaprah, akhirnya kehendak Tuhan tidak
tersampaikan dengan benar di pikiran manusia. Mengutip ayat Alkitab dan
pergi ke gereja saja tidak cukup, apalagi bila hati dan pikiran tidak mengarah
kepada Ia yang menubuatkan dan Ia yang perlu disembah dan dikasihi.
Memang benar bahwa manusia diselamatkan oleh iman, dan itu berarti
manusia perlu pengetahuan mengenai apa yang ia imani, serta pengetahuan
akan dosa dan konsekuensinya, sehingga manusia dapat mengusahakan
keselamatan.
Maka dari itu, perlu bagi orang percaya untuk mengenal dan mempelajari
apa yang ia yakini; siapa yang ia yakini, bagaimana keyakinannya, dan
mengapa harus meyakini hal tersebut. Chapter pertama ini akan membawa kita
kepada pengenalan awal akan definisi teologi, teologi dispensasi, sistem-
sistem teologi yang berkembang hingga saat ini, dan mengapa perlu
mempelajarinya.

2. Rumusan Masalah
Chapter ini memiliki rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa itu teologi dispensasi?
2. Apa kaitan antara dispensasionalisasi dengan teologi?
3. Mengapa harus mempelajari teologi?
3

4. Apa saja sumber dan pembagian teologi?


5. Bagaimana teologi-teologi kontemporer berkembang?

3. Tujuan
Setelah mempelajari chapter ini, diharapkan pembaca dapat memahami:
1. Arti dan maksud dari teologi dispensasi
2. Kaitan antara dispensasionalisasi dengan teologi
3. Alasan mempelajari teologi
4. Sumber-sumber dan pembagian teologi
5. Perkembangan macam-macam teologi kontemporer

II. Pembahasan
1. Prolog – Pengenalan akan Teologi Dispensasional
Arti Kata
Salah satu kamus mendefinisikan dispensasi dalam ranah teologi sebagai
salah satu dari banyak aturan, yang mana dalam periode waktu yang berbeda,
Tuhan mengungkapkan pikiran dan keinginan-Nya kepada manusia. Ini
berarti, dalam periode waktu yang berbeda, Tuhan mengungkapkan pikiran
dan keinginan-Nya kepada manusia melalui cara dan hukum yang bervariasi di
tiap periodenya. Mempelajari Alkitab secara dispensasional akan
menghasilkan catatan tentang perbedaan terhadap beberapa macam sistem dan
prinsip yang Tuhan terapkan dalam memerintah manusia.
Kata “dispensasi” berasal dari bahasa Latin, oikonomia. Kata ini
merupakan gabungan dari oikos (rumah) dan nemo (untuk menyebarkan
makanan atau hukum). Kamus Latin-Inggris mengartikan “The management of
a household or family, husbandry, thrift” (pengelolaan rumah tangga atau
keluarga, peternakan, penghematan). Kata “penghematan” berasal dari
pengelolaan rumah tangga yang bijak, dan ini terefleksikan dalam kata
“ekonomi”, yang merupakan transliterasi dari oikonomia.
Oikonomos adalah pengelola rumah tangga, dan selalu diterjemahan
sebagai “pelayan/pengurus”. Kata pelayan sendiri beberapa kali disebutkan
dalam Alkitab (bdk. Luk 12:42; 16:1, 3, 8; Rm 16:23; 1 Kor 4:1, 2; Gal 4:2;
Tit 1:7; 1 Ptr 4:10). Sedangkan oikonomia diterjemahkan sebagai penatalayan
(bdk. Luk 16:2, 3, 4; 1 Kor 9:17; Ef 1:10; 3:2, 9; Kol 1:25; 1 Tim 1:4). Bentuk
kata kerjanya muncul hanya sekali pada Luk 16:2.
Dr. C. I. Scofield mendefinisikan dispensasi sebagai “periode waktu di
mana manusia diuji sehubungan dengan beberapa wahyu khusus tentang
kehendak Allah.” Dr. L. Berkhof berpendapat bahwa Dr. Scofield
mendeskripsikannya secara tidak alkitabiah. Ia setuju dengan pernyataan itu,
kecuali di satu poin yakni pengujian; tidak pernah menunjukkan waktu
pengujian atau waktu masa percobaan. Namun ada benarnya seperti dikatakan
oleh Paulus, seorang pelayan harus setia (1 Kor 4:2) dan kesetiaan itu harus
terus dipelihara dan akan diuji oleh majikannya (Luk 12:42-48).
Ryrie memberikan penjelasan singkat tentang dispensasi:
Dispensasi adalah ekonomi yang dapat dibedakan dalam menjalankan
tujuan Allah. Dispensasi adalah ekonomi di mata Tuhan, tanggung
jawab di mata manusia, dan berkaitan dengan wahyu yang
berkelanjutan.
4

Chafer setuju dengan Scofield yang menekankan elemen waktu di


dalamnya, berkata:
Sebagai pengukuran waktu, dispensasi adalah periode yang
diidentifikasi oleh hubungannya dengan beberapa tujuan khusus tuhan -
tujuan yang harus dicapai dalam periode itu.

Jumlah Dispensasi
Studi mengungkapkan bahwa seluruh sejarah penebusan terpecah menjadi
dua hingga dua belas dispensasi yang berbeda. Para dispensasionalis
mengikuti Scofield dengan mengakui tujuh dispensasi. Berkhof yang seorang
teolog perjanjian mengatakan hanya ada dua dispensasi, yakni Perjanjian
Lama dan Perjanjian Baru, kedua dispensasi itu kemudian dibagi lagi menjadi
beberapa periode waktu dalam naungan wahyu anugerah. Sedangkan Hodge,
teolog perjanjian yang lain, mengatakan ada empat dispensasi.
Beberapa orang menyebut diri mereka non-dispensasionalis atau anti-
dispensasionalis, mengatakan bahwa sedikitnya orang yang setuju adalah bukti
bahwa doktrin ini salah. Padahal sedikitnya persetujuan harusnya membawa
kita belajar lebih giat lagi untuk membuktikan. Tidak ada yang tahu
kebenarannya kecuali Tuhan sendiri. Orang yang tidak berimanlah yang
menyebut diri mereka anti sesuatu yang terdapat dalam Alkitab, hanya karena
ingin menghindari kontroversi atas perbedaan yang ada.

Perbedaan Sistem-sistem Dispensasionalisme


Dalam teologi perjanjian, doktrin menyebutkan ada dua perjanjian yang
Tuhan buat dengan manusia. Perjanjian kerja (The Covenant of Works), dibuat
antara Tuhan dan Adam ketika Ia menciptakannya, yang mana Adam memiliki
kesempatan untuk mendapatkan kehidupan kekal melalui perbuatan-perbuatan
baiknya. Kemudian Adam merusak perjanjian itu, sehingga ia dan segala
keturunannya tidak akan mendapatkan kehidupan kekal melalui perbuatan-
perbuatan baik. Kemudian Tuhan membuat perjanjian anugerah (The
Covenant of Grace) dengan Adam dan keturunannya, yang menjadikan dari
Adam hingga dunia berakhir adalah hasil dari perjanjian anugerah ini.
Scofield merasa ada cukup jaminan untuk membedakan tujuh cara Tuhan
berurusan dengan manusia yang berurutan. Tujuan dari ketujuh dispensasi ini
adalah untuk membuktikan ketidakberdayaan manusia dalam menyelamatkan
diri mereka sendiri. Tuhan menempatkan manusia dalam pengaturan yang
dapat dibayangkan: dalam Kemurnian di Eden (Innocence in Eden), Hati
Nurani hingga Air Bah (Conscience until the flood), Pemerintahan Manusia
hingga Abraham (Human Government until Abraham), Perjanjian hingga
Musa (Promise until Moses), Hukum hingga Kedatangan Kristus (Law until
Christ), Anugerah hingga Kedatangan Kedua Kristus (Grace until the Second
Coming of Christ), dan Pemerintahan Pribadi Kristus di bumi di Kerajaan
Seribu Tahun (the personal reign of Christ on earth in the Millennial
Kingdom).
Kritik dilontarkan pada skema dispensasi di atas, karena dianggap
prinsipnya menghilang atau hancur di akhir periode tiap waktu. Padahal Hati
Nurani tidak berhenti setelah datangnya Air Bah, Pemerintahan Manusia tidak
berhenti setelah adanya Abraham. Fakta-fakta ini menunjukkan kepada kita
bahwa dispensasi ini saling terkait, sehingga banyak prinsip baru yang
5

dimasukkan ke dispensasi sebelumnya, dan mereka terus berlaku hingga yang


berikutnya tercipta.
Skema Scofield juga dikenal sebagai skema Kisah Para Rasul 2, karena
skema tersebut membawa dispensasi saat ini berada pada hari Pentakosta.
Adalah lebih penting bagi kita untuk mengetahui dispensasi saat ini
dibandingkan dispensasi masa lalu yang telah terjadi. Oleh karena itu, penting
untuk mengetahui kapan dispensasi ini dimulai, serta alasan untuk
mengklasifikasikan periode waktunya. Banyak dispensasionalis yang percaya
bahwa dispensasi berawal dari peristiwa Pentakosta, bukannya saat
pembuangan bangsa Israel. Kemudian mereka terbagi menjadi dua kelompok,
yang satu percaya bahwa dispensasi baru dimulai dengan pertobatan atau
pelayanan Rasul Paulus, baik dalam Kisah Para Rasul 9 atau 13, dan kelompok
lain percaya dispensasi dimulai dengan Paulus setelah Kisah Para Rasul 28.
Adanya sedikit perbedaan antara Kisah Para Rasul 9 dan 13 membuatnya
dipandang sama atau satu kesatuan. Teolog yang memegang Kisah Para Rasul
2 kerap kali dianggap sebagai ultra-dispensasionalis.

Posisi Dispensasional Buku Ini


Buku ini memegang posisi awal dispensasi pada Paulus sebelum ia
menulis surat pertamanya. Mengapa dispensasi tidak berawal dari Kisah Para
Rasul 2?
1. Semua yang terjadi saat Pentakosta adalah pemenuhan nubuat
Perjanjian Lama. (Kis 2:16; 3:24 lih. Ef 3:5, 9; Kol 1:25, 26)
2. Tubuh Kristus dari dispensasi ini, adalah tubuh gabungan antara
orang Yahudi dan orang bukan Yahudi, tetapi pelayanan Pentakosta
dan untuk sekitar tujuh atau delapan tahun sesudahnya hanya untuk
orang Yahudi saja. (Ef 3: 6 lih. Kis 2:14, 22; 3:12, 25, 26; 4: 8; 5:31;
11:19)
3. Alkitab menyatakan bahwa Pentakosta mengantarkan pada hari-hari
terakhir Israel. (Kis 2:17)
4. Tawaran nyata pertama kerajaan diberikan kepada Israel setelah hari
5. Pentakosta. (Kis 3: 19-21)
6. Paulus mengajarkan bahwa karena Israel disingkirkan maka
rekonsiliasi dikirim kepada bangsa-bangsa lain, yang menandai awal
dispensasi ini. (Rom 11:11, 12, 15)
Dan mengapa dispensasi tidak berawal atau bermula dari Kisah Para
Rasul 28?
1. Fakta bahwa Israel telah jatuh jelas dinyatakan sebelum penutupan
Kisah Para Rasul. Faktanya, hal itu dinyatakan dalam surat Paulus
yang paling awal (1 Tes 2:16).
2. Tubuh Kristus dari dispensasi ini secara pasti dibahas dalam surat-
surat Paulus yang ditulis selama periode Kisah Para Rasul (1 Kor
12:13, 27; Rom 12: 5).
3. Misteri juga diungkapkan dalam surat-surat Paulus sebelumnya (1
Kor 2: 7; 15:51; Rom 16:25).
4. Paulus berada di penjara dalam Kisah Para Rasul 28 karena
memberitakan misteri (Ef 6:19, 20).
5. Injil kasih karunia Allah yang merupakan pesan dispensasi kasih
karunia Allah adalah pokok dari pemberitaan Paulus dalam Kisah
Para Rasul 20:24, dan ia sama sekali belum memulai pelayanan itu.
6

6. Ada pekerjaan baik dimulai pada orang percaya Filipi dalam Kisah
Para Rasul 16, dan setelah Kisah Para Rasul 28 orang percaya yang
sama ini melakukan pekerjaan baik yang sama dalam diri mereka
sendiri (Flp 1: 5, 6).
7. Hanya ada satu Tubuh Kristus, menurut Efesus 4: 4, tetapi jika Tubuh
1 Korintus 12:13 adalah Tubuh yang berbeda maka ada dua tubuh.
8. Baik surat-surat pra-penjara maupun surat-surat Paulus:
(1) Hubungkan satu Tubuh dengan Satu Roh dan Satu Pembaptisan
(Efesus 4: 4, 5 lih. 1 Korintus 12:13).
(2) Ajarkan bahwa Satu Tubuh ini terdiri dari orang-orang Yahudi
dan bukan Yahudi yang percaya (Efesus 2:16 lih. 1 Korintus 12:13).
(3) Ajarkan rekonsiliasi orang percaya Yahudi dan bukan Yahudi
berdasarkan Salib (Efesus 2: 14-16 lih. 2 Korintus 5: 14-21).
(4) Kaitkan pesan dengan tujuan Allah yang Dia maksudkan sebelum
zaman (Efesus 1: 3, 4, 9 lih. 1 Korintus 2: 7).
Perlu dicatat bahwa dispensasi Kemurnian, Hati Nurani, Pemerintahan
Manusia, Perjanjian, Hukum, dan Kerajaan semua terkait erat dengan tujuan
yang dinyatakan Allah untuk mendirikan kerajaan di bumi ini; sedangkan
dispensasi Anugerah saat ini terkait dengan tujuan-Nya bagi Tubuh Kristus di
surga. Dengan demikian akan terlihat bahwa perbedaan utama antara
dispensasionalisme buku ini dan bahwa sistem Scofield yang berlaku umum
adalah waktu dimulainya dispensasi ini dan membuang Israel.

2. Relasi antara Dispensasionalisme dengan Teologi


Teologi dalam arti luas adalah studi, bukan hanya tentang Tuhan, tetapi
juga tentang semua karya-Nya. Karya Tuhan biasanya dianggap karena
mempengaruhi manusia dan hubungannya dengan Tuhan. Jika Tuhan
berurusan dengan manusia melalui cara yang berbeda dalam berbagai zaman
sejarah manusia, maka akan tampak bahwa perbedaan-perbedaan ini sangat
penting dalam merumuskan teologi yang benar. Untuk menghubungkan antara
dispensasionalisme dan teologi, harus ditunjukkan bahwa Allah memang
berurusan dengan manusia melalui cara yang berbeda dalam setiap periode
sejarah manusia.
Cara-cara yang berbeda yang Tuhan tunjukkan di setiap periode zaman
bukan berarti seperti Tuhan memberikan cara yang berbeda kepada Nuh dan
Musa untuk terselamatkan. Kekeliruan pemahaman seperti ini banyak dialami
oleh penentang teologi dispensasional. Dr. Berkhof menyimpulkan bahwa
manusia gagal mendapat kehidupan kekal karena gagal pada percobaan
pertama, tetapi karena Tuhan maha pengampun, manusia selalu diberikan
kesempatan kedua, sehingga manusia selalu berada dalam masa percobaan
selama hidupnya.
Ryrie mengutip salah satu dispensasionalis yang menentang pemahaman
keliru tersebut: “Keselamatan selalu, seperti sekarang, semata-mata merupakan
anugerah Allah atas iman. Pencobaan-pencobaan dalam setiap dispensasi
berfungsi untuk menunjukkan ketidakberdayaan total manusia, untuk
membawanya kepada iman, bahwa ia dapat diselamatkan oleh rahmat melalui
iman saja”
Sebenarnya teolog perjanjianlah yang mengajarkan bahwa ada dua cara
keselamatan. Diajarkan bahwa Tuhan membuat Perjanjian Karya dengan
Adam sebelum dia jatuh, di mana Adam dapat memperoleh kehidupan kekal
7

dengan perbuatannya sendiri. Setelah Adam jatuh, menjadi mustahil baginya


untuk memperoleh kehidupan kekal melalui perbuatan, dan karenanya Allah
kemudian membuat Perjanjian Kasih Karunia dengan Adam dan kita
diberitahu bahwa setiap orang sejak hari itu hingga saat ini telah diselamatkan
dengan memercayai pesan Injil yang sama.
Teologi dispensasional tidak mengajarkan bahwa Tuhan memiliki cara
yang berbeda-beda untuk menyelamatkan manusia di setiap dispensasi. Tentu
juga Tuhan tidak pernah bereksperimen atas pencobaan untuk melihat apakah
manusia dapat menyelamatkan dirinya sendiri. Yang benar adalah manusia
dalam berbagai periode waktu telah dipanggil untuk menyatakan imannya
melalui cara yang berbeda. Tuhan tidak memberitahu Habel, Nuh, Abram,
Musa, atau Daud, untuk mempercayai Injil yang sama yang Paulus beritakan
kepada orang-orang Filipi di dalam penjara (percayalah kepada Yesus dan
kamu akan diselamatkan). Tapi semua nabi tersebut percaya akan pesan Tuhan
dan mereka terselamatkan atas kepercayaan/iman mereka.
Kita harus mengakui bahwa dahulu manusia diselamatkan atas korban
bakaran mereka. Tetapi apakah sekarang juga seperti itu? Jika sekarang
manusia diselamatkan atas iman mereka, lalu apakah gunanya korban bakaran
di zaman dahulu? Dan apakah manusia masih dapat selamat dengan tidak
menyerahkan korban bakaran – yang berarti melanggar hukum Taurat?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan memandang Alkitab
secara dispensasional. Semua hal yang disebutkan di atas terjadi pada satu
waktu yang mana merupakan program Tuhan untuk manusia-Nya.
Dr. Chafer memberikan kesimpulan atas hal ini dengan kaitannya
dispensasionalisme dengan teologi:
Program Tuhan sama pentingnya bagi teolog seperti blueprint bagi
pembangun atau bagan bagi pelaut. Tanpa pengetahuan itu, para
pengkhotbah akan hanyut tanpa tujuan dalam doktrin dan gagal dalam
upaya besar untuk menyelaraskan dan memanfaatkan Alkitab. Tidak
diragukan lagi, orang yang berpikiran spiritual yang tidak mengetahui
program ilahi, dapat membedakan kebenaran spiritual yang terisolasi.

3. Mengapa Teologi?
Beberapa orang mungkin bertanya: mengapa harus mempelajari teologi?
Bukankah mengerti Alkitab saja sudah cukup untu menjadi pengarah hidup?
Bukankah teologi adalah ide buatan manusia, sedangkan Alkitab merupakan
wahyu dari Allah?
1. Pertama-tama, teologi bukanlah pengganti Alkitab. Teologi Kristiani
yang sejati harus dibangun atas dasar pengajaran Alkitab. Teologi
dalam lingkup sempit adalah pengajaran tentang Tuhan, dalam
lingkup luas adalah pengajaran tentang Tuhan dan relasi yang ada
antara Tuhan dan ciptaan-Nya. Teologi dapat dikatakan sebagai
pengajaran Alkitab yang disusun secara sistematis.
2. Alkitab bukan sebuah ensiklopedia. Alkitab terdiri dari banyak materi
yang perlu disusun agar dapat mengetahui arti sebenarnya dari
kacamata Tuhan. Materi-materi ini dinubuatkan berturut-turut selama
kurang lebih lima belas abad, maka dari itu perlu untuk
mempelajarinya lagi dan lagi untuk memastikan seluruhnya. Dengan
menyusun, mengelompokkan, dan mengambil kesimpulan dari
materi-materi tersebut, pengetahuan kita akan bertambah.
8

3. Pengetahuan yang setengah-setengah dapat menjadi hal yang


berbahaya. Seseorang yang memegang nubuat Alkitab berarti sedang
berurusan dengan Tuhan. Pengetahuan yang sedikit dapat membawa
seseorang kepada kerugian abadi.
4. Penubuatan Alkitab yang berkarakter periodik atau dispensasi
menghasilkan materi-materi yang tampak bertentangan, maka
dibutuhkan pengajaran yang tersusun. Seperti di satu waktu, Kristus
menyuruh murid pergi berdua-dua untuk mengajar umat Israel yang
tersesat, di satu waktu mereka diberitahu untuk pergi ke seluruh
makhluk dalam pewartaan mereka tanpa membeda-bedakan. Nubuat
yang tampak kontradiktif dapat diselesaikan dengan interpretasi
menggunakan teologi dispensasi.
5. Karakter keselamatan yang progresif atau berkembang seiring waktu,
membuat kita untuk mempelajarinya secara sistematis. Dalam
Perjanjian Lama menekankan kesatuan Tuhan (Ul 6:4). Kemudian
Perjanjian Baru menyadari ada tiga pribadi Tuhan: sebagai Bapa,
Putra, dan Roh Kudus. Pernyataan ini tidak kontradiktif, melainkan
Perjanjian Baru adalah wahyu yang lebih lengkap.
6. Tuhan seperti membuat pikiran manusia tidak akan beristirahat
sebelum ia menyusun fakta-fakta ilmu pengetahuan. Secara tidak
sadar, orang yang membaca dan mencoba memahami Alkitab
berulang kali telah membentuk suatu teologi yang baru.
7. Alkitab mendorong kita untuk mempelajari kebenaran secara
sistematis dan menyeluruh (bdk. Kis 17:11; Yoh 5:39; 1 Kor 2:13)
8. Nubuat Alkitab mengajak kita untuk berdiri di atas kebenaran. Orang
yang tidak paham betul tentang doktrin akan wahyu Tuhan akan
mudah terjerumus dalam berhala. Seseorang harus paham
kepercayaannya dan mengapa ia percaya itu, bukan hanya dengan
mengutip ayat Alkitab saja.

Bantahan Terhadap Teologi


Thiessen mengutip Orr:
Setiap orang harus menyadari bahwa pada saat ini ada prasangka besar
terhadap doktrin - atau, seperti yang sering disebut "dogma" - dalam
agama; ketidakpercayaan dan ketidaksukaan terhadap pemikiran jernih
dan sistematis tentang hal-hal ilahi. Orang lebih suka hidup dalam
keabu-abuan dan ketidakjelasan dalam hal ini. Mereka ingin pemikiran
mereka tidak terbatas, dapat berubah seiring waktu, terus mengadopsi
hal-hal baru dan kemudian meninggalkan yang lama.
Bantahan utama dari seperempat orang adalah bahwa apa yang disebut
pengetahuan tentang Tuhan adalah murni subjektif, dan karena itu ia relatif
dan kurang dalam otoritas. Alkitab ditolak sebagai wahyu yang otoritatif, dan
dengan demikian diklaim bahwa tidak ada dasar nyata untuk teologi. Dari
seperempat lainnya muncul bantahan bahwa teologi adalah teoretis,
intelektual, dan formal, daripada inspirasional, devosional, dan praktis. Paulus
telah berkata, “sebab hukum yang tertulis mematikan, tetapi Roh
menghidupkan” (2 Kor 3:6). Apa yang dimaksud dengan hukum tertulis ialah
pengajaran doktrinal. Doktrin mungkin diajarkan secara tidak spiritual, tetapi
itu bukan berarti salah doktrin, melainkan pengajarnya. Di satu sisi, pengaruh
emosional juga dapat membawa ke fanatisme. Strong mengatakan bahwa
9

ketidaktahuan adalah ibu dari takhayul, bukan pengabdian. Apa pun yang
mengaku sebagai doktrin Alkitabiah yang tidak spiritual dan praktis adalah
salah atau itu merupakan induksi fakta yang sangat tidak lengkap.
Tuhan tidak mentolerir ketidakpedulian. Karena tidak peduli akan doktrin
yang skriptural, banyak orang salah mengartikan emosionalisme sebagai
spiritualisme, aktivitas keagamaan sebagai pelayanan. Meskipun kita tidak
diselamatkan karena pengetahuan, kita perlu memiliki pengetahuan akan dosa
dan konsekuensinya agar kita dapat mengusahakan keselamatan
Memang seorang Kristen harus terus menjaga kehidupan rohaninya agar
tidak mati. Tetapi harus diyakini juga bahwa kunci hidupnya kehidupan rohani
ada pada pembelajaran doktrin dan pemahaman akan firman Allah yang benar.

4. Sumber dan Pembagian Teologi


Sumber
Pengetahuan manusia berakar dari empat sumber utama: intuisi, tradisi,
ilmu pengetahuan, dan wahyu. Teologi memakai keempat sumber tersebut,
yang utama adalah wahyu; sebagai sumber yang otoritatif.
1. Intuisi: Intuisi bisa disebut pengetahuan langsung. Bukan berarti
sejak lahir manusia telah dibekali ilmu yang ia sudah tahu bahkan
sebelum mengalaminya. Tetapi intuisi adalah semacam pengetahuan
yang harus diasumsikan atau dibayangkan dahulu untuk
memungkinkan observasi.
Strong mengklasifikasikan sumber pertama di bawah tiga kepala :
(1) intuisi hubungan, sebagai ruang dan waktu; (2) intuisi prinsip,
asas, sebab, sebab akhir, kebenaran; dan (3) intuisi Wujud, Kekuatan,
Alasan, Kesempurnaan, Kepribadian yang absolut, sebagai Tuhan.
"Kami berpendapat bahwa, seperti pada kesempatan indera
menyadarinya (a) materi yang diperluas, (b) suksesi, (c) kualitas, (d)
perubahan, (e) urutan, (f) tindakan, masing-masing, pikiran
menyadari (a) ruang, (b) waktu, (c) substansi, (d) penyebab, (e)
desain, (f) kewajiban. Sehingga saat kita mengakui keterbatasan kita;
ketergantungan kita, pikiran kita langsung mengetahui bahwa ada
sesuatu yang di atas kita. Keberadaannya Tak Terbatas dan Absolut,
sempurna, dan kepada itulah kita bergantung dan mempertanggung
jawabkan segalanya.”
2. Tradisi: Dalam konteks ini, tradisi adalah segala pengetahuan yang
telah diturunkan kepada kita, yang mana kita sendiri belum pernah
mengalaminya. Wahyu Alkitab juga termasuk sebuah tradisi. Hampir
segala informasi yang telah kita terima sekarang diturunkan dengan
cara tradisi, tinggal kita menerimanya atau tidak tergantung pada
kekuatan bukti yang menyertai.
3. Ilmu Pengetahuan: Ilmu pengetahuan berarti tidak hanya ilmu yang
berasal dari berbagai disiplin ilmu, tetapi juga semua pengetahuan
berdasarkan pengalaman. Pengetahuan pertama adalah pengalaman,
pengetahun kedua adalah tradisi.
4. Wahyu: Wahyu berarti perlakuan istimewa dari Tuhan agar manusia
tahu kebenaran yang tidak dapat mereka cari tahu. Contohnya,
manusia ada bukan untuk mengeksplorasi alam raya. Yang manusia
bisa lakukan adalah berspekulasi bagaimana alam raya terbentuk.
Dengan begitu manusia tidak pernah yakin apakah jawabannya itu
10

pasti benar. Alkitab dimaksudkan untuk mengungkap (melalui


wahyu) bagaimana Tuhan membentuk alam raya dari awal. Walaupun
pengetahuan berdasarkan pengalaman adalah tipe yang meyakinkan,
tetapi wahyulah yang menjamin kebenaran absolut. Perlu diingat
bahwa meskipun Alkitab menyajikan kebenaran absolut, pengertian
dan pemahaman kita tidak sempurna.
Segala pengetahuan yang berasal dari tradisi dan pengalaman bersifat
relatif, terbatas, dan tidak pasti. Ilmu pengetahuan selalu mengalami
perkembangan. Bahkan intuisi kita tidak selalu dapat diandalkan.
Kita percaya, jika Tuhan ingin mengungkapkan kebenaran-Nya kepada
manusia, Ia pasti memakai cara yang benar supaya manusia bisa mengerti
terlepas dari keterbatasannya. Sehingga manusia dapat memiliki pengetahuan
yang obyektif dan dapat diandalkan.

Definisi dan Pembagian Teologi


Teologi (Yunani: theologia), dapat dikatakan sebagai ‘Pengetahuan akan
Tuhan’. Dalam lingkup Kristiani, berarti tentang ilmu kebenaran religi/agama
yang terungkap secara Ilahi. Temanya adalah Keberadaan dan Sifat Allah dan
Ciptaan-Nya dan seluruh kompleks dispensasi Ilahi dari Kejatuhan Adam ke
Penebusan melalui Kristus dan mediasinya kepada manusia oleh Gereja-Nya,
termasuk apa yang disebut kebenaran alamiah Allah, jiwa, Hukum moral, dll.,
yang dapat diakses hanya dengan alasan. Tujuannya adalah penyelidikan isi
keyakinan melalui akal yang diterangi oleh iman (tides quaerens intellectum)
dan promosi pemahamannya yang lebih dalam. Teologi Katolik yang berbeda
dengan Protestan mengakui otoritas atau keberadaan tradisi, ucapan-ucapan
yang dianggap pengikat, sedangkan teologi Protestan – sejauh itu konservatif –
dibatasi hanya oleh wahyu Alkitab. Akan tetapi, para teolog Protestan Liberal
mengakui tidak ada wahyu kecuali sejauh itu ditegaskan oleh hati nurani dan
akal sehat orang percaya. Dalam perjalanan waktu teologi telah berkembang
menjadi beberapa cabang, di antaranya teologi dogmatis, historis, dan praktis.
Namun, metode klasifikasi sub-disiplin ilmu berfluktuasi dalam sistem
teologis yang berbeda.
1. Teologi Alkitabiah: Strong mengatakan: “Teologi Alkitabiah
bertujuan untuk mengatur dan mengklasifikasikan fakta-fakta wahyu,
membatasi diri pada Alkitab untuk materinya, dan memperlakukan
doktrin hanya sejauh itu dikembangkan pada akhir zaman kerasulan.”
Ryrie menyatakan: “Teologi Alkitabiah adalah cabang ilmu teologis
yang berurusan secara sistematis dengan kemajuan pewahyuan diri
Allah yang dikondisikan secara historis, sebagaimana disimpan dalam
Alkitab.” Lebih lanjut ia menjelaskan sebagai “kombinasi sebagian
sejarah, sebagian penafsiran, sebagian kritis, sebagian teologis yang
berkaitan dengan alasan mengapa sesuatu ditulis serta dengan apa
yang ditulis.” Lindsay berkomentar: “Pentingnya teologi Alkitabiah
terletak pada cara ia mengarahkan, mengoreksi dan membuahkan
semua teologi moral dan dogmatis dengan membawanya ke sumber
kebenaran yang asli. Semangatnya adalah salah satu penyelidikan
sejarah yang tidak memihak”
Kaehler mengatakan ini: “Teologi Alkitabiah, atau penyajian yang
teratur dari isi doktrinal Alkitab, adalah cabang ilmu teologi yang
relatif modern. Secara umum istilah ini tidak terlalu banyak
11

mengungkapkan konstruksi teologi yang alkitabiah dalam arti khusus


sebagai metode berurusan dengan masalah Alkitab yang merupakan
pertengahan antara penafsiran dan dogmatika” Dia mengatakan
bahwa pada awalnya, tujuannya adalah menjadikan Alkitab satu-
satunya sumber doktrin Kristen dengan membiarkannya berbicara
sendiri. Tetapi pemeliharaan satu sisi dari metode historis dan
religius-historis di tangan para teolog liberal menghasilkan apa yang
ia sebut ’pengorbanan diri dari disiplin’. Karena itu ia melanjutkan
dengan mengatakan: “Bukan tugas teologi Alkitabiah untuk
mengkritik teologi akan Alkitab, dan untuk menghakiminya dengan
ukuran kemungkinan pemahaman yang asli untuk diperoleh secara
ilmiah, tetapi untuk menunjukkan sebenarnya apa isi Alkitab, dan
pada saat yang sama untuk melihat berbagai bentuk di mana konten
ini ditawarkan.”
2. Teologi Dogmatis: Teologi dogmatis sering diidentikkan dengan
teologi sistematis, padahal sebenarnya ini berkaitan dengan
pengaturan dan pembelaan doktrin-doktrin dari suatu badan gereja
atau denominasi. Dalam teologi Yunani, dogma dan diktrin memiliki
arti yang sama. Kata ‘dogma’ digunakan lima kali dalam Perjanjian
Baru dan diterjemahkan sebagai dekrit dan tata cara ((lih. Luk 2:1;
Kis 16:4; 17:7; Ef 2:15; Kol 2:14). Dogma berasal dari kata dokeo:
opini. Dogma tidak hanya berbicara tentang pendapat, tetapi juga
tentang penilaian atau keputusan ini dan itu adalah benar atau
mengikat.
Strong menyatakan perbedaan yang kuat antara teologi dogmatis dan
sistematis: “Teologi dogmatis, dalam penggunaannya yang ketat,
mensistemasikan doktrin-doktrin yang diungkapkan dalam lambang-
lambang gereja (pengakuan, pengakuan iman, pasal-pasal iman),
berlandaskan Alkitab. Sedangkan teologi sistematis berawal dari
Alkitab, bukan dari lambang. Ia bertanya dulu, apa kebenaran dari
firman yang diwahyukan Allah. Kata dogmatis lebih disukai daripada
sistematis yang sudah banyak digunakan, karena lebih spesifik dan
menunjuk obyek penelitian yang sebenarnya dengan ketelitian yang
lebih baik, dan kata ‘sistematis’ memberikan kesan bahwa hanya
teologi sistematis saja yang memperlakukan materi pengajaran dalam
urutan yang logis, padahal belum tentu.”
Ia melanjutkan, “dogma adalah doktrin yang secara resmi ditetapkan
oleh Gereja dan dinyatakan untuk berdasar pada otoritas ilahi. Opini
personal bukan merupakan dogma Kristiani.”
3. Teologi Sistematis: Strong menyatakan: “Teologi sistematis
mengambil materi yang disediakan oleh teologi Alkitabiah dan
Sejarah, dan dengan materi ini berusaha membangun menjadi
keseluruhan yang organik dan konsisten semua pengetahuan kita
tentang Allah dan hubungan antara Allah dan alam semesta, baik
yang berasal dari alam atau dari Alkitab.”
Chafer mengajukan definisi ini: "Teologi sistematis dapat
didefinisikan sebagai pengumpulan, pengaturan ilmiah, perbandingan,
pameran, dan pembelaan semua fakta dari setiap sumber mengenai
Tuhan dan karya-karya-Nya."
12

4. Teologi Sejarah: disiplin ini setara dengan sejarah doktrin Kristiani.


Doktrin ini menelusuri perkembangan doktrin Kristiani dari zaman
kerasulan hingga saat ini
5. Teologi Praktis: cabang teologi ini berurusan dengan disiplin-
disiplin yang berkaitan dengan persiapan manusia untuk mewartakan
pesan teologi dan artinya dengan metode-metode tertentu.

5. Teologi Kontemporer
Hordern telah mendeskripsikan teologi kontemporer seperti ini:
Jika seorang awam atau pendeta paroki yang tidak berpengalaman
mengikuti diskusi teologis modern, ia mungkin percaya bahwa ia telah
memasuki wilayah 'Alice in Wonderland. Dia akan menemukan para
teolog dengan serius bertanya apakah 'Kristus yang karikmatik' (yaitu,
Kristus yang diberitakan oleh Gereja) adalah sama dengan Yesus
sejarah. Dia akan mendengar beberapa orang berargumen bahwa iman
Kristen tidak tertarik pada Yesus yang historis. Dia akan mendengar
bahwa iman tidak akan tertolong atau terhalangi oleh pengetahuan
tentang Yesus yang historis.
Beberapa hal lainnya juga akan terdengar, mulai dari demitologisasi
Alkitab hingga ateisme Kristen dan Tuhan sudah mati. Pembahasan tentang
teologi kontemporer akan menghabiskan banyak volume, dalam bab ini akan
dibahas hanya untuk memperkenalkan beberapa tren dalam teologi
kontemporer yang terlepas dari teologi ortodoks. Kita mendengar banyak cara
pendekatan terhadap Alkitab: Historisisme, Analisis Sastra, Bentuk Kritik,
Relativisme Historis, dll. Banyak label telah diberikan kepada sistem teologi
modern: Modernisme, Liberalisme, Neo-ortodoksi, Neo-liberalisme,
Bultmannisme, Teologi Krisis, Barthianisme, Neo-evangelikalisme,
Konservatisme, Fundamentalisme, dll. Banyak pengajar juga yang perlu
dikenal ketika mempelajari teologi kontemporer, seperti Friedrich
Schleiermacher, Soren Kierkegaard, Martin Heidegger, Rudolf Bultmann,
Harvey Cox, dll, yang mana bukan termasuk teolog konservatif.

Perbedaan Mendasar
Ada banyak perbedaan atas macam-macam teologi yang ada sekarang dan
akan sulit untuk menemukan definisi singkat untuk membedakan mereka.
Tetapi yang paling mendasar ada pada posisi Alkitab dan bagaimana mereka
memperlakukannya. Mereka yang melihat Alkitab secara Protestan ortodoks
tradisional menganggap wahyu Tuhan tidak dapat salah. Yang lain; yang
menolak Alkitab sebagai inspirasi verbal, membuat teologi berdasarkan
sumber lain selain wahyu Ilahi.
Apa yang menyebabkan para teolog banyak yang meninggalkan Alkitab
sebagai sumber dari Ilahi? Karena mereka lebih memandang sains dan alam.
Segala hal dikaitkan sebagai fenomena alam, bukannya ada campur tangan
Tuhan di dalamnya. Jika sampai suatu waktu mungkin manusia akan berpikir
bahwa dia adalah Tuhan, seperti situasi dalam 2 Tesalonika 2:2, 4. Manusia
akan merasa tidak ilmiah untuk percaya pada Tuhan; pribadi yang luar biasa
dan memiliki kendali atas alam.

Kritik Sejarah
13

Dalam zaman ilmiah ini, Alkitab telah dikenai beberapa jenis kritik
dengan tujuan yang jelas pada awalnya untuk menyangkal otoritas dan
historisitas dari berbagai buku kanon. Salah satu upaya yang memiliki dampak
buruk pada kepercayaan banyak orang adalah apa yang disebut Kritik Historis.
Harus dipahami bahwa kata ‘kritik’, seperti yang digunakan dalam konteks ini,
tidak berarti menemukan kesalahan, tetapi lebih untuk menerapkan prinsip
atau aturan untuk menilai karakter suatu karya sastra.
Kritik Rendah atau Tekstual berkaitan dengan pemeriksaan semua naskah
kuno yang masih ada dari Alkitab dan melalui perbandingannya untuk sampai
pada teks yang sedekat mungkin dengan aslinya. Kritik Tinggi sampai pada
teks yang tepat didahulukan, diikuti oleh kritik yang meneliti isi Alkitab
dengan merujuk pada komposisi, kepengarangan, tanggal, dan nilai historis
sebagaimana dinilai oleh bukti internal. Harus dipahami bahwa kedua jenis
kritik ini baik bila dilakukan dengan benar. Orr berkata, kritik salah ketika
digunakan secara sembarangan, atau di bawah pengaruh beberapa teori
dominan atau prasangka. Penyebab utama kesalahan dalam penerapannya pada
catatan wahyu supernatural adalah asumsi bahwa tidak ada supernatural yang
dapat terjadi.

Bultmannisme
Salah satu sistem teologis radikal zaman sekarang adalah dari Rudolf
Bultmann, yang terkenal dengan prinsipnya untuk menyaring mitos dari
Alkitab. Dia mengklaim, peristiwa supernatural seperti kebangkitan Kristus
adalah mitos. Mitos dia maksudkan sebagai penggunaan perumpamaan untuk
menggambarkan hal ‘dunia lain’ dengan bahasa dunia sekarang, hal Ilahi
dengan hal manusia. Dia mengklaim bahwa kebangkitan bukanlah sejarah
(peristiwa yang pernah terjadi di suatu tempat dan waktu). Tetapi teolog yang
memakai cara kritik sejarah tidak memaknai ‘sejarah’ dalam arti sebenarnya.
Sejarah bukan hanya apa yang ditulis sejarawan dalam sebuah buku. Beberapa
tulisan mungkin mengandung legenda atau mitos, maka ini harus disaring.
Sekarang para kritikus telah memperlakukan Alkitab sama halnya dengan
buku sejarah; seperti murni buatan manusia. Sebelum Alkitab dianggap
sebagai buku sejarah, legenda dan mitos harus disaring dahulu dengan cara
melihat kesinambungan historis, serta mempelajari analoginya.
Kritikus berargumen bahwa tubuh Kristus yang telah mati tidak dapat
bangkit kembali, karenanya, kisah kebangkitan harus disingkirkan dari
Alkitab. Tetapi menurut Bultmann, mitos kebangkitan telah digunakan dalam
Alkitab untuk mengekspresikan ‘dunia lain’ dalam istilah ‘dunia ini’. Dia
mengatakan bahwa kebangkitan Kristus terjadi di kerygma, yaitu ketika Injil
diberitakan, Yesus hadir atau hidup. Butlmann berkata segala yang tidak
ilmiah harus segera disingkirkan sebelum manusia zaman sekarang
menerimanya. Tetapi jika segala hal yang tidak masuk akal disingkirkan, maka
Alkitab tidak menyisakan apa-apa.
Kritikus yang berargumen demikian sama saja menganut slogan atheis
lama: fakta bahwa mukjizat tidak terjadi di zaman sekarang adalah bukti
bahwa mukjizat tidak pernah terjadi dulu. Cara menjawab argumen ini adalah
dengan metode dispensasional. Anderson berkata, mukjizat fisik tidak terjadi
di zaman sekarang, sebagian besar didasarkan pada karakter dispensasi dari
hubungan Allah dengan bangsa Israel. Seperti yang dikemukakan Petrus dalam
14

2 Petrus 3:4, pada akhir zaman orang akan dengan sadar menolak, bersikap
acuh atas campur tangan Tuhan dalam peradaban manusia.

Eksistensialisme
Doktrin filosofis lain yang mewarnai teologi modern adalah doktrin
Eksistensialisme. Soren Kierkegaard terkenal sebagai bapak teologi ini.
Doktrin ini dikenal sebagai eksistensialisme karena kekhawatiran yang radikal
terhadap individu yang ada, daripada esensi universal. Kierkegaard
menanyakan hal seperti, “apa tujuan hidup manusia? Apakah yang manusia
dapat lakukan atas keberadaannya? Apakah mungkin untuk mendasarkan
kebahagiaan kepada pengetahuan sejarah?”
Dahulu Socrates mengungkapkan suatu paradoks yang mana meskipun
manusia belajar, dia tidak dapat sepenuhnya mempelajari apapun. Dia berkata
bahwa belajar adalah mengingat kembali yang telah ada dalam diri manusia.
Kierkegaard menanggapi paradoks ini dengan menyatakan memang benar
bahwa sebelum memperoleh pengetahuan, manusia tidak memiliki cara untuk
mengenali kebenaran ketika dia bertemu dengannya. Tetapi jika dia benar-
benar mempelajari sesuatu, sesuatu pasti telah terjadi padanya yang
membuatnya berbeda dari sebelumnya.
Alih-alih pengetahuan yang datang melalui ingatan, ia menjelaskannya
sebagai momen pencerahan, semacam transformasi ajaib. Dan apa pun
penyebab pencerahan ini, Kierkegaard memanggilnya Tuhan. Filosofinya
adalah salah satu dari skeptisisme dan ketidakpastian. Manusia sendiri tidak
tahu apa-apa. Pengalaman yang masuk akal dan informasi historis terus
berubah dan manusia tidak dapat mengatakan apakah informasi ini benar.
Manusia terperangkap dalam kesulitan yang mengerikan: ia tidak
memiliki pengetahuan nyata, namun ia perlu tahu arti keberadaan manusia.
Kierkegaard mengatakan bahwa dia dapat memutuskan untuk tetap berada
dalam kegelapan, atau dia dapat percaya secara membuta bahwa ada Tuhan
yang akan memberi kita pencerahan, jika kita menginginkannya. Tetapi tidak
ada cara untuk mengetahui apa yang harus dipercaya; tidak ada bukti untuk
iman: yang bisa dilakukan seseorang hanyalah percaya pada iman saja.
Ada beberapa filsuf yang telah menerima eksistensialisme Kierkegaard
tetapi menolak solusinya sebagai tindakan kepercayaan.

Neo-orthodoksi
Neo-ortodoksi didasarkan pada premis eksistensial, Karl Barth muncul
pada akhr Perang Dunia II dengan sistem teologi ini. Dia menentang semua
teologi dan ilmu pengetahuan alam sebagai memberikan wahyu tentang
Tuhan. Alkitab baginya bukanlah wahyu yang obyektif: itu adalah buku
manusiawi yang dapat salah, tetapi ia dapat menjadi firman Tuhan dalam
perjumpaan eksistensial antara manusia dengan Tuhan. Pandangannya juga
disebut "Teologi Krisis," karena ia berpendapat bahwa semua institusi manusia
pasti dikacaukan oleh kontradiksi mereka sendiri, dan bahwa krisis yang
dihasilkan dari kekuatan ini membuat manusia putus asa dengan usahanya
sendiri, dan dapat menyebabkan dia beralih ke wahyu dan rahmat ilahi dalam
iman.
Neo-ortodoksi, bersama dengan Bultmannianisme, menerima temuan para
kritikus liberal yang destruktif, sejauh menyangkut Alkitab. Ryrie mengutip
Brunner, seorang teolog neoorthodox Swiss, “Ortodoksi menjadi tidak
15

mungkin bagi siapa pun yang tahu tentang sains. Ini saya sebut
keberuntungan”. Ryrie juga mengutip dari Hendry, untuk menunjukkan bahwa
Neo-ortodoksi berpikir itu dapat menggabungkan pandangan liberalisme dan
ortodoksi ke dalam sistem sintetis dari ortodoksi baru.

Itu semua membawa kita kembali kepada tesis awal: perbedaan mendasar
mereka adalah sikap tehadap Alkitab. Liberalisme atau Modernisme, melalui
kritik destruktif, telah menjadikan Alkitab sebagai buku manusiawi yang
dipenuhi kesalahan dan kontradiksi. Pandangan Ortodoks tentang iman adalah
kepercayaan didasarkan pada fakta yang otoritatif. Jika peristiwa yang dicatat
dalam Alkitab tidak benar-benar terjadi, maka tidak ada dasar untuk iman.
Pandangan Neo-ortodoksi tentang iman tampaknya, seperti yang diungkapkan
oleh Kierkegaard, percaya pada iman saja tanpa bukti untuk mendukungnya.

III. Penutup
1. Kesimpulan
Chapter pertama dari buku “A Dispensational Theology” membawa kita
masuk kepada pemahaman awal tentang teologi dan salah satu sistemnya,
teologi dispensasional. Teologi mempelajari tidak hanya tentang Tuhan, tetapi
juga hubungan-Nya dengan seluruh ciptaan. Teologi dispensasional
mengajarkan tentang perbedaan cara-cara Tuhan berurusan dengan manusia
dalam periode waktu tertentu. Alkitab yang sifat pewahyuannya periodik atau
progresif perlu dipahami secara dispensasional, agar kontradiksi yang tampak
dapat dipahami dengan tepat.
Beberapa alasan mengapa perlu mempelajari teologi dikemukakan. Salah
satu alasannya adalah karena pengetahuan yang setengah-setengah akan Tuhan
dapat menjerumuskan seseorang ke dalam pemahaman religius yang salah.
Mempelajari teologi juga sebaiknya tidak ditelan mentah-mentah, karena ada
beberapa teologi modern saat ini yang salah kaprah dalam prinsip-prinsipnya
dan cara menyikapi Alkitab. Chapter pertama telah memberikan penjelasan
awal yang singkat namun menyeluruh, sehingga kita dapat masuk ke chapter
selanjutnya dan mempelajari teologi dispensasional lebih dalam lagi.

2. Tanggapan
Melalui chapter pengenalan ini, penulis mengerti tentang apa itu teologi
dispensasional secara singkat, bagaimana sistemnya, dan mengapa Alkitab
perlu dibongkar menggunakan metode dispensasi. Chapter ini sepertinya –
secara tidak sengaja – akan menjawab pertanyaan yang telah lama penulis
kubur karena tidak adanya waktu untuk mencari tahu: mengapa pada zaman
dahulu orang mempersembahkan kurban bakaran kepada Tuhan, dan
diselamatkan berkat kurban tersebut, namun sekarang persembahan kurban
bakaran termasuk dalam penyembahan berhala. Penulis sebelumnya tidak
mengetahui bahwa banyak sekali sistem teologi yang berkembang hingga
sekarang, dan dengan membaca chapter pertama ini, penulis paham beberapa
diantaranya, termasuk teologi komtemporer yang memiliki prinsip dan
penyikapan Alkitab yang dianggap keliru.
16

DAFTAR PUSTAKA

Baker, Charles F. 1971. A Dispensational Theology. Michigan: Grace Publication

Anda mungkin juga menyukai