A.Latar Belakang
Matematika merupakan cabang ilmu yang mempelajari hal-hal yang bersifat abstrak,
menekankan proses deduktif yang memerlukan penalaran logis dan aksiomatik yang mungkin
diawali dari proses induktif, yang meliputi penyusunan konjektur, model matematika, analogi
dan atau generalisasi berdasarkan pengamatan terhadap sejumlah data. Karakteristik lain dari
matematika adalah merupakan ilmu terstruktur dan sistematis. Dalam arti bagian-bagian
matematika tersusun secara hierarkis dan terjalin dalam hubungan fungsional yang erat dan sifat
keteraturan yang indah, yang akan membantu menghasilkan model matematis yang diperlukan
dalam pemecahan masalah di berbagai cabang ilmu pengetahuan dan masalah kehidupan sehari-
hari. Oleh karena itu, ada ungkapan “mathematics as a human activity”, yang maksudnya dalam
kegiatan hidupnya setiap orang akan terlibat dalam matematika, baik dalam bentuk sederhana
dan bersifat rutin, dan mungkin dalam bentuknya yang sangat kompleks. (Sumarmo, 2006)
Walaupun matematika sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari, penyelesaian terhadap
soal aplikasi matematika masih sering sulit dilakukan. Padahal jika merujuk pada kurikulum
standar yang telah dikembangkan oleh NCTM (National Council Of Teachers Mathematics,
USA), maka kompetensi yang dikembangkan dalam pelajaran matematika meliputi kemamuan
dalam materi matematika dan kemampuan doing math. Kemampuan dalam materi matematika
disesuaikan dengan materi atau topik yang dibahas di kelas sesuai dengan jenjang kelas atau
sekolahnya, Sedangkan kemampuan doing math meliputi matematika sebagau pemecahan
masalah (mathematic as problem solving), matematika sebagai komunikasi (mathematics as
communication), matematika sebagai penalaran (mathematics as reasoning) dan koneksi-koneksi
matematika (mathematical connections).
B. Pengertian Problem Solving
Istilah problem solving sering digunakan dalam berbagai bidang ilmu dan memiliki
pengertian yang berbeda-beda pula. Tetapi problem solving dalam matematika memiliki
kekhasan tersendiri. Secara garis besar terdapat tiga macam interpretasi istilah problem
solving dalam pembelajaran matematika, yaitu (1) problem solving sebagai tujuan (as a goal),
(2) problem solving sebagai proses (as a process), dan (3) problem solving sebagai keterampilan
dasar (as a basic skill). (Sumardyono, 2010)
1. Problem solving sebagai tujuan (problem solving as a goal)
Para pendidik, matematikawan, dan pihak yang menaruh perhatian pada pendidikan
matematika seringkali menetapkan problem solving sebagai salah satu tujuan pembelajaran
matematika. Bila problem solving ditetapkan atau dianggap sebagai tujuan pengajaran maka ia
tidak tergantung pada soal atau masalah yang khusus, prosedur, atau metode, dan juga isi
matematika. Anggapan yang penting dalam hal ini adalah bahwa pembelajaran tentang
bagaimana menyelesaikan masalah (solve problems) merupakan “alasan utama” (primary
reason) belajar matematika.
Salah satu tujuan pembelajaran matematika dalam KTSP yang tercantum dalam standar
isi adalah agar peserta didik memiliki kemampuan memecahkan masalah yang meliputi
kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan
menafsirkan solusi yang diperoleh. Pendekatan pemecahan masalah merupakan fokus dalam
pembelajaran matematika yang mencakup masalah tertutup dengan solusi tunggal, masalah
terbuka dengan solusi tidak tunggal, dan masalah dengan berbagai penyelesaian.
2. Problem solving sebagai proses (problem solving as a process)
Pengertian lain tentang problem solving adalah sebagai sebuah proses yang dinamis.
Dalam aspek ini, problem solving dapat diartikan sebagai proses mengaplikasikan segala
pengetahuan yang dimiliki pada situasi yang baru dan tidak biasa. Dalam interpretasi ini, yang
perlu diperhatikan adalah metode, prosedur, strategi dan heuristik yang digunakan siswa dalam
menyelesaikan suatu masalah.
Masalah proses ini sangat penting dalam belajar matematika dan yang demikian ini sering
menjadi fokus dalam kurikulum matematika. Sebenarnya, bagaimana seseorang melakukan
proses problem solving dan bagaimana seseorang mengajarkannya tidak sepenuhnya dapat
dimengerti. Tetapi usaha untuk membuat dan menguji beberapa teori tentang pemrosesan
informasi atau proses problem solving telah banyak dilakukan. Dan semua ini memberikan
beberapa prinsip dasar atau petunjuk dalam belajar problem solvingdan aplikasi dalam
pengajaran.
Beberapa prinsip dasar atau karakteristik pembelajaran menggunakan pendekatan
Problem Soving adalah sebagai berikut :
a. Adanya interaksi antar siswa dan interaksi guru dan siswa.
b. Adanya dialog matematis dan konsensus antar siswa.
c. Guru menyediakan informasi yang cukup mengenai masalah, dan siswa mengklarifikasi,
menginterpretasi, dan mencoba mengkonstruksi penyelesaiannya.
d. Guru menerima jawaban ya-tidak bukan untuk mengevaluasi.
e. Guru membimbing, melatih dan menanyakan dengan pertanyaan-pertanyaan berwawasan dan
berbagi dalam proses pemecahan masalah.
f. Sebaiknya guru mengetahui kapan campur tangan dan kapan mundur membiarkan siswa
menggunakan caranya sendiri.
g. Karakteristik lanjutan adalah bahwa pendekatan problem solving dapat menggiatkan siswa
untuk melakukan generalisasi aturan dan konsep, sebuah proses sentral dalam matematika.
a. Adanya suatu pola berpikir yang disebut logika. Dalam hal ini dikatakan bahwa kegiatan
penalaran merupakan suatu proses berpikir logis. Berpikir logis ini diartikan sebagai berpikir
menurut suatu pola tertentu atau menurut logika tertentu.
b. Proses berpikirnya bersifat analisis. Penalaran merupakan suatu kegiatan yang mengandalkan
diri pada suatu analisis, dalam rangka bepikir yang dipergunakan untuk analisis tersebut adalah
logika penalaran yang bersangkutan.
a. Validasi yaitu menerapkan dan menguji suatu pernyataan pada kasus-kasus khusus tertentu.
b. Konjektur yaitu membuat dugaan yang berdasarkan penalaran logika ataupun fakta.
c. Deduksi yaitu mencari dan membuktikan akibat-akibat yang diimplikasikan oleh suatu
pernyataan.
d. Justifikasi yaitu membuktikan suatu pernyataan dengan didasarkan pada definisi, teorema
ataupun lemma yang sudah dibuktikan sebelumnya.
Indikator kemampuan penalaran matematis yang dikemukakan oleh TIM PPPG Matematika
(dalam Damayanti, 2012) adalah sebagai berikut:
a. Mengajukan dugaan
c. Menarik kesimpulan, menyusun bukti, memberikan alasan atau bukti terhadap kebenaran
solusi
f. Menentukan pola atau sifat dari gejala matematis untuk membuat generalisasi.
Secara garis besar penalaran terbagi menjadi dua, yaitu penalaran deduktif dan penalaran
induktif. Dapat dilihat dalam gambar dibawah ini.
1. Penalaran deduktif
Penalaran deduktif merupakan penarikan kesimpulan dari hal yang umum menuju hal yang
khusus berdasarkan fakta-fakta yang ada. Menurut Sumarmo dan Hendriana (2014) penalaran
deduktif adalah penarikan kesimpulan berdasarkan aturan yang disepakati. Nilai kebenaran
dalam penalaran deduktif bersifat mutlak benar atau salah dan tidak kedua-duanya bersama-
sama. Penalaran deduktif dapat tergolong tingkat rendah atau tingkat tinggi. Beberapa kegiatan
yang tergolong pada penalaran deduktif adalah sebagai berikut:
a) Melaksanakan perhitungan berdasarkan aturan atau rumus tertentu
b) Menarik kesimpulan logis berdasarkan aturan inferensi berdasarkan proporsi yang sesuai,
berdasarkan peluang, korelasi antara dua variabel, menetapkan kombinasi beberapa variabel
c) Menyusun pembuktian langsung, pembuktian tak langsung dan pembuktian dengan induksi
matematika
Penalaran deduktif menjamin kesimpulan yang benar jika premis dari argumennya benar,dan
argumennya valid (logis). Adapun jenis-jenis penalaran deduktif yaitu modus ponens, modus
tollens, dan silogisme.
2. Penalaran induktif
Penalaran induktif merupakan suatu proses berpikir dengan mengambil suatu kesimpulan yang
bersifat umum atau membuat suatu pernyataan baru dari kasus-kasus yang khusus. Sumarmo dan
Hendriana (2014) mengemukakan beberapa kegiatan yang tergolong penalaran induktif yaitu
sebagai berikut
1. Transduktif yaitu menarik kesimpulan dari suatu kasus atau sifat khusus yang satu diterapkan
pada kasus yang khusus lainnya
3. Generalisasi yaitu penarikan kesimpulan umum berdasarkan sejumlah data yang teramati.
5. Memberi penjelasan terhadap model, fakta, sifat, hubungan, atau pola yang ada.
6. Menggunakan pola hubungan untuk menganalisis situasi dan menyusun konjektur
Penalaran induktif terdiri dari tiga jenis, yaitu generalisasi, analogi, dan sebab–akibat. Penalaran
induktif yang penulis kaji dalam penelitian ini adalah generalisasi, analogi dan kausal.
Pembuktian ( Reasoning)
NCTM (2000) mengatakan bahwa pembuktian matematis merupakan suatu cara formal
mengekspresikan penalaran dan pembenaran. Pembuktian melibatkan pembenaran dugaan
matematis menjadi benar dalam rangka dugaan tersebut dapat berlaku, menggunakan
penalaran yang valid secara logis (Bieda, 2013). Pembuktian menurut Dhebora (2003) lebih
mengacu pada menguji kredibilitas suatu asumsi dari pada menetapkan kebenaran dari suatu
pernyataan. Sedangkan menurut Almeida (dalam Knapp, 2005) pembuktian melibatkan
proses menguji kebenaran, menjelaskan, mengkomunikasikan, mempengaruhi, dan
membangun pengetahuan atau kejadian baru dalam bentuk aksioma. Oleh karena itu, pembuktian
merupakan proses menguji dugaan/klaim/kesimpulan sehingga dugaan/klaim/kesimpulan
tersebut terbukti kebenarannya.
Penalaran dan pembuktian tidak dapat diajarkan dalam satu unit terpisah (NCTM, 2000).
Halini berarti bahwa dalam mengajarkan pembuktian juga harus diajarkan penalaran. Sehingga
masalah melibatkan penalaran sebagai penguat hasilnya, selain itu dibutuhkan berbagai
strategi untuk memecahkan masalah, diantaranya adalah membuat tabel, gambar, atau
Pengembangan penalaran dan pembuktian pada tingkat pengalaman yang sesuai harus
menjadi bagian terpenting dalam pembelajaran matematika untuk siswa di segala usia
(Stacey, 2009). Hal ini berarti penalaran dan pembuktian bisa diajarkan kepada siswa di
semua tingkat pendidikan. Standar penalaran dan pembuktian untuk pembelajaran di kelas
play group sampai di sekolah menengah atas (SMA) yang tercantum dalam NCTM (2000)
1. Mengenali penalaran dan pembuktian sebagai bagian dasar matematika (kode RP1)
4. Memilih dan menggunakan berbagai macam penalaran dan metode pembuktian (RP4)
Disposisi Matematis
Menurut Karlimah (2010:10) belajar matematika tidak hanya mengembangkan
aspek kognitif melainkan juga perlu untuk mengembangkan aspek afektif
diantaranya adalah memiliki rasa ingin tahu, perhatian, refleksi atas cara berfikir
dan percaya diri serta sikap ulet dalam memecahkan masalah yang diberikan.
Sikap-sikap tersebut dinamakan dengan disposisi. Ada beberapa pengertian dari
disposisi itu sendiri, diantaranya yaitu menurut Ritchhart (Yunarti, 2013:23) yang
mendefinisikan disposisi sebagai “perkawinan” antara kesadaran, motivasi,
inklinasi, dan kemampuan atau pengetahuan yang diamati. Sementara itu, Gavriel
Salomon (Yunarti, 2011:36) mendefinisikan disposisi sebagai kumpulan sikapsikap
pilihan dengan kemampuan yang memungkinkan sikap-sikap pilihan tadi
muncul dengan cara tertentu. Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat dikatakan
bahwa disposisi merupakan kecenderungan seseorang untuk bersikap yang
memungkinkan sikap tersebut muncul dengan cara tertentu. Kecenderungankecenderungan
tersebut membentuk pola perilaku dan karakter seseorang yang
melekat dengan sendirinya secara alami.
Menurut Maxwell (2001), disposisi terdiri dari (1) inclination
(kecenderungan), yaitu bagaimana sikap siswa terhadap tugas-tugas; (2) merefleksikan
performance dan penalaran mereka sendiri; (6) menilai
aplikasi matematika ke situasi lain yang timbul dalam matematika dan
pengalaman sehari-hari; (7) penghargaan (appreciation) peran matematika
dalam kultur dan nilai, baik matematika sebagai alat, maupun matematika
sebagai bahasa.
Sedangkan menurut (Syaban, 2008:33) untuk mengukur disposisi matematis
siswa indikator yang digunakan adalah sebagai berikut :
(1) Menunjukkan gairah/antusias dalam belajar matematika.
(2) Menunjukkan perhatian yang serius dalam belajar matematika.
(3) Menunjukkan kegigihan dalam menghadapi permasalahan.
(4) Menunjukkan rasa percaya diri dalam belajar dan menyelesaikan masalah.
(5) Menunjukkan rasa ingin tahu yang tinggi.
(6) Menujukkan kemampuan untuk berbagi dengan orang lain.
Menurut NCTM (2000), disposisi matematis mencakup beberapa komponen
sebagai berikut.
(1) Percaya diri dalam menggunakan matematika untuk menyelesaikan
masalah, mengomunikasikan ide-ide matematis, dan memberikan
argumentasi.
(2) Berpikir fleksibel dalam mengeksplorasi ide-ide matematis dan mencoba
metode alternatif dalam menyelesaikan masalah.
(3) Gigih dalam mengerjakan tugas matematika.
(4) Berminat, memiliki keingintahuan (curiosity), dan memiliki daya cipta
(inventiveness) dalam aktivitas bermatematika. (5) Memonitor dan merefleksi pemikiran dan
kinerja.
(6) Menghargai aplikasi matematika pada disiplin ilmu lain atau dalam
kehidupan sehari-hari.
(7) Mengapresiasi peran matematika sebagai alat dan sebagai bahasa
Disposisi matematis siswa dikatakan baik jika siswa tersebut menyukai
masalah-masalah yang merupakan tantangan serta melibatkan dirinya secara
langsung dalam menemukan atau menyelesaikan masalah. Selain itu siswa
merasakan dirinya mengalami proses belajar saat menyelesaikan tantangan
tersebut. Dalam prosesnya siswa merasakan munculnya kepercayaan diri,
pengharapan dan kesadaran untuk melihat kembali hasil berpikirnya.
Berdasarkan definisi dan pertimbangan subjek penelitian maka indikator
kemampuan disposisi matematis yang menjadi fokus penelitian ini adalah (1)
percaya diri, (2) keingintahuan, (3) fleksibel, (4) bertekad kuat.
(1) percaya diri
Menurut Hasan
(Iswidharmanjaya, 2004) menyatakan percaya diri adalah percaya akan
kemampuan sendiri yang memadai dan menyadari kemampuan yang dimiliki,
serta dapat memanfaatkan secara tepat.
Menurut Ignoffo (1999), terdapat beberapa karakteristik yang menggambarkan
individu yang memiliki percaya diri yaitu :
a. Memiliki cara pandang yang positif terhadap diri.
b. Yakin dengan kemampuan yang dimiliki.
c. Melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dipikirkan.
d. Berpikir positif dalam kehidupan.
e. Bertindak mandiri dalam mengambil keputusan.
f. Memiliki potensi dan kemampuan.
Menurut Lauster (Fasikhah, 1994), terdapat beberapa karakteristik untuk menilai
percaya diri dalam diri individu, diantaranya:
a. Percaya kepada kemampuan sendiri
Suatu keyakinan atas diri sendiri terhadap segala fenomena yang terjadi yang
berhubungan dengan kemampuan individu untuk mengevaluasi serta mengatasi
fenomena yang terjadi tersebut.
b. Bertindak mandiri dalam mengambil keputusan
Dapat bertindak dalam mengambil keputusan terhadap apa yang dilakukan secara
mandiri tanpa adanya keterlibatan orang lain. Selain itu, mempunyai kemampuan
untuk meyakini tindakan yang diambilnya tersebut.
(2) Keingintahuan
Nasoetion (Hadi dan Permata, 2010:3) berpendapat rasa ingin tahu adalah suatu
dorongan atau hasrat untuk lebih mengerti suatu hal yang sebelumnya kurang atau
tidak kita ketahui, sedangkan Sulistyowati (2012 : 74) berpendapat ingin tahu
adalah sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih
mendalam dan meluas dari apa yang dipelajarinya, dilihat. Menurut Wardhani
(2008:232) terdapat empat indiktor keingintahuan sering mengajukan pertanyaan,
melakukan penyelidikan, antusias atau semangat dalam belajar, banyak
membaca atau mencari sumber lain.
(3) Fleksibel
Fleksibel atau Keterbukaan merupakan perwujudan dari sikap jujur, rendah hati,
adil, mau menerima pendapat, kritik dari orang lain. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, fleksibel (keterbukaan) adalah hal terbuka, perasaan toleransi dan hatihati
serta merupakan landasan untuk berkomunikasi. Sifat fleksibel ditunjukkan
dengan kerjasama atau berbagi pengetahuan, menghargai pendapat yang berbeda,
berusaha mencari solusi atau strategi lain.
(4) Bertekad kuat
Sifat bertekad kuat ditunjukkan dengan sikap gigih , menurut KBBI gigih adalah
keteguhan memegang pendapat (atau mempertahankan pendirian dan sebagainya);
keuletan (dalam berusaha). Menurut Wardhani (2008:232). tekun serta bersungguh-sungguh
dalam pelajaran matematika serta dalam menghadapi
masalah dan tugas matematika, seperti mengerjakan latihan dan pr.