Anda di halaman 1dari 13

A.

Identitas Artikel 1
Judul Artikel : Curriculum Development: Content, Contexts, and Language Learning in
Estonia
Sumber : European Journal of Curriculum Studies, Vol. 1 No. 1, Tahun 2014
Penulis : Urve Laanements dan Katrin Kalamees-Ruubel
Afiliasi : Academic Music and Theatre and Tallinn University, Estonia

Rangkuman Artikel
Proses globalisasi dan pengaruh lingkungan sosial politik yang baru telah
menciptakan konteks baru bagi pembelajaran sebagai sebuah masalah baru. Desain
kurikulum dan penyeleksian konten adalah isu kritis untuk sistem pendidikan di seluruh
dunia. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor
yang mempengaruhi pembelajaran bahasa dengan menganalisis dokumen sejarah, termasuk
di dalamnya semua silabus yang didasarkan pada kurikulum nasional di Estonia. Metode
yang digunakan adalah analisis dokumen (berupa kurikulum nasional Estonia tahun 1917—
2011, kebijakan pendidikan, kebijakan bahasa, dan dokumen strategi pendidikan), survei
semi terstruktur pada para guru, dan intervieu.
Bagaimanakah sebuah konteks dapat mempengaruhi pengembangan kurikulum?
Istilah konteks dipahami sebagai situasi dalam kejadian yang terjadi atau keadaan sesuatu
yang harus dipertimbangkan. Situasi politik dengan fluktuasi konstannya mempengaruhi
perkembangan social khususnya aspek pendidikan. Popkewitz (1988) merekomendasikan
pemahaman sebuah kurikulum sebagai teks refleksi struktur sosial dan politik. Di samping
itu, kurikulum juga dimaknai sebagai teks institusional dan teks biografi/autobiagrafi dari
konteks waktu.
Apa yang dapat kita pelajari dari case ini? Pertama, perkembangan sejarah dan
hukum yang berkaitan dengan bahasa dan pembelajaran bahasa. Di Estonia, ada beberapa
kebijakan yang berkaitan dengan bahasa dan pendidikan bahasa yang diberlakukan di
negara tersebut. Kedua, dokumen strategi dan penelitian yang berhubungan dengan
pembelajaran bahasa. Pada poin ini, dijabarkan adanya The Estonian Language and Ethnic
Culture 1999—2003. Action plan ini membicarakan tentang bagaimana bahasa dan budaya
dari jutaan grup etnik dapat bertahan dari gempuran dan tekanan budaya massa dan
hegemoni bahasa Inggris.
Ketiga, poin yang dianalisis dalam penelitian ini adalah perode perubahan kurikulum,
silabus bahasa, dan Hiden Curriculum. Sejak periode kemerdekaan, telah terjadi beberapa
kali perubahan kurikulum yang lebih bersifat humanis, bernilai demokratis, dan bernilai
kebebasan. Terkait dengan konten kurikulum, tidak disebutkan pembelajaran struktur
bahasa dan sastra pada silabus pembelajaran bahasa asing. Berdasarkan silabus bahasa
Estonia, struktur bahasa merupakan mata pelajaran yang wajib ditempuh di semua level
pendidikan. Terakhir, opini guru terhadap silabus bahasa pada kurikulum nasional
merupakan komponen yang dianalisis dalam studi ini. Projek penelitian terhadap opini
guru ini dilaksanakan dalam kurun waktu tahun 2010—2011 yang difokuskan pada
pemahaman mereka terhadap silabus pada kurikulum nasional di Estonia. Hasil
penenlitian ini mengindikasikan adanya ketidakpastian terhadap kurikulum nasional di
Estonia. Ada sekitar 38% guru yang kritis terhadap konten pada kurikulum nasional
tersebut. Bahkan ada sekitar 55% yang menyatakan kekecewaannya terhadap tidak
terjadinya integrasi antara pelajaran
bahasa dengan seni.

Komentar dan Saran


Pengembangan kurikulum memang tidak dapat dilepaskan dari konteksnya. Kalau di
Indonesia, banyak wacana yang bergulir berkaitan dengan pengembangan kurikulum
didasarkan pada pemberlakuan MEA sedangkan di Estonia juga tidak jauh berbeda.
Pengembangan kurikulum juga diwarnai dengan pengaruh keanggotaan negara tersebut
pada organisasi ekonomi tingkat Eropa. Di samping konteks, pengembangan kurikulum
juga harus memperhatikan konten dan muatan sejarah, politik, dan dinamika lainnya.
Artikel ini
membahas tentang penelitian yang menganalisis tentang pengembangan kurikulum nasional
di Estonia.
Bila dicermati, kondisi di Estonia hampir sama dengan di Indonesia terkait dengan
pemberlakuan kurikulum pendidikan bahasa. Ada beberapa kebijakan pemerintah dalam
mengatur kurikulum bahasa, baik bahasa nasional Indonesia maupun bahasa asing, seperti
bahasa Inggris, arab, Mandarin, dan lain-lain. Adanya Surat Keputusan Dikti Nomor 43
Tahun 2006 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembanagn Kepribadian
(MPK) di Perguruan Tinggi merupakan kebijakan hukum dalam menagtur pengajaran
bahasa. Di sisi lain, kehadiran Badan Bahasa dan Lembaga Bahasa (di bawah naungan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) di seluruh Indonesia merupakan kebijakan
pemerintah dalam upaya pemertahanan budaya dan bahasa Indonesia. Sedangkan untuk
pembelajaran bahasa asing, juga diatur dengan peraturan berbeda baik untuk pendidikan
dasar maupun pendidikan menengah.

B. Identitas Artikel 2
Judul Artikel : Curriculum Development: Teacher Involvement in Curriculum Development
Sumber : Journal of Education and Practice, Vol. 7, No. 9, Tahun 2016.
Penulis : Merfat Ayesh Alsubaie
Afiliasi : Departement of Educational Leadership, Research and Technology
Western Michigan

Ringkasan Artikel
Tujuan program Pendidikan yang sukses dan pengembangan kurikulum harus
mempertemukan antara kebutuhan dan demands budaya, sosial, dan ekspektasi dari
populasi pengguna yang terjadi pada masa kini. Oleh karena itu, pengembangan kurikulum
dan proses pembaruan secara kontinyu harus selalu dalam revieu, revisi, dan perubahan
secara konstan. Pengembangan kurikulum merupakan kegiatan yang menantang, oleh
karena itu keterlibatan semua stakeholder, khususnya individu yang terlibat langsung,
merupakan bagian vital dan pengembangan dan revisi kurikulum yang sukses.
Sudah tidak dapat diragukan lagi, salah satu orang penting dalam proses implementasi
kurikulum adalah para guru. Dengan pengetahuan, pengalaman, dan kompetensi yang
dimiliki oleh para guru merupakan pusat untuk upaya pengembangan kurikulum. Jika
sebelumnya guru diposisikan untuk berupaya mengetahui dan memahami kurikulum maka
sudah seharusnya para guru dilibatkan dalam pengembangan kurikulum. Sebagai contoh,
pendapat dan ide-ide guru harus digabungkan dalam pengembangan kurikulum. Di sisi lain,
tim pengembangan kurikulum harus mempertimbangkan guru sebagai bagian dari
lingkungan yang mempengaruhi kurikulum.
Berbagai studi menyatakan bahwa tingkat keterlibatan guru sebagai pusat
pengembangan kurikulum menunjukkanpencapaian yang efektif dalam pembaruan
kurikulum. Oleh karena itu, guru merupakan faktor penting dalam kesusksesan
pengembangan kurikulum termasuk dalam langkah implikasi dan evaluasi. Studi lain
menyatakan bahwa ada kebutuhan bagi keterlibatan guru dalam tim pengembangan
kurikulum dan para ahli dalam menyusun material, buku teks, dan konten. Keterlibatan
guru dalam proses pengembangan kurikulum sangat penting artinya untuk meluruskan
konten kurikulum denagn kebutuhan siswa di kelas.

Komentar dan Saran


Artikel ini membahas tentang faktor penting yang mungkin selama ini dilupakan oleh
Negara Saudi Arabia dalam mengembangkan kurikulumnya. Hal ini sebenarnya tidak jauh
berbeda dengan kondisi yang terjadi di Indonesia. Guru sebagai salah satu elemen penting
dalam pendidikan jarang atau bahkan tidak pernah dilibatkan dalam proses penyusunan dan
pengembangan kurikulum. Selama ini, proses pengembangan kurikulum dirancang oleh tim
yang terdiri atas para ahli yang terkadang jarang bersentuhan langsung dengan kondisi
terkini di lapangan. Misalkan, tim yang dibentuk oleh pemerintah dalam merumuskan
kurikulum baru beranggotakan para ahli dan pakar pendidikan (profesor dan doktor) yang
hampir semuanya bergelut di pendidikan tinggi. Artinya, pelaku di lapangan (guru)
seahrusnya turut ambil bagian dalam proses perumusan kurikulum baru.
Keterlibatan guru dalam pengembangan kurikulum ini dapat dilakukan dengan
memberikan sumbangsih pemikiran dan pengalaman mereka dalam menentukan konten,
buku teks, dan bahan-bahan pembelajarannya. Apabila guru tidak dilibatkan, maka efeknya
dapat dilihat pada kondisi di Indonesia saat ini. Banyak orang tua dan pengamat pendidikan
yang menilai bahwa materi/konten pembelajaran anak-anak SD yang terlalu tinggi. Hal ini
tentu akan berefek pada perkembangan psikologis para peserta didik. Ada satu hal yang
menjadi kekurangan dalam artikel ini. Keterlibatan guru dalam pengembangan kurikulum
hanya dibedah dalam kegiatan pemilihan konten, materi ajar, dan buku teks saja. Harusnya
ada keterlibatan lain yang digali dan diungkap agar kurikulum yang dikembangkan lebih
efektif dan efisien. Dengan demikian, guru sebagai pelaksana kurikulum di lapangan akan
merasa nyaman dalam mengaplikasikannya.

C. Identitas Artikel 3

Judul Artikel : Pengembangan Kurikulum Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing


Sumber : Jurnal Deiksis, Vol. 3, No. 1, Tahun 2016
Penulis : Jimat Susilo
Afiliasi : FKIP Uswaganti Cirebon

Ringkasan Artikel
Perkembangan program pembelajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing (BIPA)
menunjukkan trend yang meningkat. Menurut data dari Depdiknas pada tahun 2013, jumlah
Lembaga di luar negeri yang menjalankan program BIPA sekitar 219 lembaga di 48 negara.
Untuk dalam negeri sendiri juga mengalami perkembangan yang signifikan. Beberapa
kampus dan lembaga swasta di kota-kota besar banyak menjalankan program ini. Di sisi
lain, ada hal yang patut menjadi perhatian bagi lembaga pelaksana program BIPA ini, yaitu
kurikulum. Selama ini, kurikulum yang digunakan dalam program ini masih dikembangkan
sendiri oleh tiap-tiap institusi. Mayoritas kurikulumnya dikembangkan dengan analisis
kebutuhan yang didasarkan pada latar belakang institusinya.
Pada dasarnya, sebuah kurikulum harus dikembangkan dengan tetap
mempertimbangkan beberapa prinsip. Beberapa prinsip tersebut adalah prinsip relevansi,
efektivitas, efisiensi, kesinambungan, dan fleksibilitas. Penekanan utama pada
pemgembangan kurikulum BIPA adalah aspek keterampilan yang didasarkan pada
penggunaan bahasa dalam tahap pemula. Mengingat bahwa BIPA merupakan program
yang didesain secara khusus maka proses penyusunan juga harus melalui analisis
kebutuhan secara khusus. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa penutur asing tidak
akan mempelajari bahasa Indonesia secara keseluruhan.
Pengembangan kurikulum BIPA harus mempertimbangkan beberapa hal yang
berkaitan dengan tujuan, ruang lingkup bahan/sumber, dan sistem evaluasi. Dalam hal yang
berkaitan dengan tujuan, rumusan tujuan kurikulumnya adalah (1) dapat memahami fungsi
bahasa Indonesia sebagai lambing identitas nasional dan jati diri bangsa, (2) memahami
komponen-komponen linguistic seperti ejan, fonologi, sintaksis, dan semantik, (3) mampu
menggunakan ragam bahasa dalam berkomunikasi secara reseptif dan produktif, dan (4)
mampu memahami budaya Indonesia untuk mendukung keterampilan berbahasanya.
Terkait dengan sistem evaluasi, kurikulum BIPA harus memuat beberapa hal, yaitu evaluasi
berdasarkan waktu pelaksanaan, materi, bentuk, dan cara. Evaluasi berdasarkan waktu
pelaksanaan dapat dilakukan dengan harian, mingguan tengah program dan akhir program
sedangkan evaluasi berdasarkan materi dapat dilakukan dengan mempertimbangkan materi
kebahasaan dan keterampilan. Pelaksanaan evaluasi berdasarkan bentuk dapat
menggunakan bentuk tes atau nontes. Terakhir, evaluasi berdasarkan cara dapat dilakukan
dengan mempertimbangkan cara-cara seperti lisan, tertulis, dan presentasi projek.

Komentar dan Saran


Pemilihan topik tentang pembelajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing (BIPA)
merupakan kelebihan artikel ini. Artinya, isu ini memang mengandung unsur kekinian
walau konsep dan pelaksanaan BIPA ini sudah cukup lama berlangsung. Apalagi jika
dikaitkan dengan pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), pembahasan
tentang bahasa Indonesia yang memiliki peluang besar menjadi bahasa pengantar di
ASEAN tentu menarik untuk dibahas. Era keterbukaan dalam bidang ekonomi tentu akan
memberikan dampak ke semua aspek termasuk bahasa. Berkaitan dengan tingginya minat
warga negara lain dalam mempelajari bahasa Indonesia tentu akan sangat menarik jika
dibahas tentang kurikulumnya. Hal yang menjadi pembahasan dalam artikel terlalu
umum dan belum menyentuh kondidi praktik dalam pengembangan kurikulum BIPA.
Satu poin yang dibahas dalam artikel
ini hanyalah berkaitan dengan urgensi analisis kebutuhan dalam penyusunan kurikulum.
Akan lebih baik lagi jika pembahasan artikel ini menyoroti hal-hal yang bersifat praktik di
lapangan yang terjadi selama ini. Sebagai contoh, perlu tidaknya pembelajaran bahasa non-
akademik diperkenalkan kepada para penutur asing petrlu juga dibahas dalam
pengembangan kurikulum ini. Hal ini penting karena kesulitan bagi penutur asing rata-rata
terjadi pada kondidi seperti ini. Mereka mempelajari bahasa yang bersifat formal, namun
saat praktik di lapangan justru penggunan bahasa tak baku yang terjadi.

D. Identitas Artikel 4
Judul Artikel : Pendekatan Humanistik dalam Pengembangan Kurikulum Pendidikan
Agama
Islam
Sumber : POTENSIA: Jurnal Kependidikan Islam, Vol. 3, No. 1, Tahun 2017
Penulis : Suprihatin
Afiliasi : STAI Ahsanta Jambi

Ringkasan Artikel
Pendekatan humanis merupakah salah satu pendekatan dalam mengembangkan
kurikulum, selain pendekatan subjek akademis, teknologis, dan rekonstruksi sosial.
Pendekatan ini digunakan bertujuan untuk mewujudkan pendidikan sebagai upaya dalam
memanusiakan manusia. Konsep ini merupakan konsep dari aliran pendidikan pribadi atau
personalized education dengan tokohnya John Dewey (pendidikan progresif) dan J.J.
Roasseau. Konsep ini meyakini bahwa setiap manusia memiliki potensi, kemauan, dan
kekuatan yang terus berkembang.
Kurikulum humanistik memiliki indikator yang memposisikan siswa-siswa sebagai
subjek pendidikan yang bebas dan mendapatkan posisi yang sepantasnya. Inti kurikulum ini
adalah mensinergikan antara aspek afektik dan kognitif. Dengan perpaduan kedua aspek
tersebut diyakini akan menumbuhkan sistem pembelajaran yang santai, permisif, dan akrab.
Pendekatan humanis dalam pendidikan Islam dapat dilakukan dengan pengembangan
tema-tema pendidikan agama Islam berupa masalah-masalah aktual yang banyak mendapat
perhatian publik. Hal lain yang dapat diterapkan dalam pendekatan ini adalah model
pembelajaran sejarah Islam dengan tujuan untuk menggali sejarah dan kebudayaan Islam.
Dalam kondisi ini, diharapkan siswa dapat menginternalisasi dan tergerak untuk meneladani
dan mewujudkan dalam perbuatan sehingga melahirkan sikap terbuka dan toleran.
Pengembangan kurikulum dengan pendekatan humanistik memiliki beberapa prinsip,
yaitu: (1) berpusat pada siswa, (2) mengembangkan kreativitas siswa, (3) menciptakan
kondisi menyenangkan dan menantang, (4) mengembangkan beragam kemampuan dan
bermuatan nilai, dan (5) menyediakan pengalaman belajar yang beragam. Di samping
beberapa prinsip tersebut, ada beberapa karakter dalam pendekatan humanis. Karakter-
karakter tersebut mencakup: (1) adanya hubungan yang harmonis antara guru dan siswa, (2)
adanya integritas antara aspek kognitif dan aspek emosional, (3) adanya totalitas secara
holistik yang memberikan pengalaman secara menyeluruh, dan (4) model evaluasi yang
tidak menekankan pada kriteria pencapaian.

Komentar dan Saran


Kegagalan dan stagnasi pendidikan di Indonesia diyakini oleh beberapa pakar
disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah ketidakcocokkan kurikulum yang
diterapkan. Memang kita menyadari bahwa tidak ada satu kurikulum pun yang sempurna.
Artinya, kurikulum pendidikan harus selalu berubah dalam menyesuaikan diri dengan
kemajuan zaman. Paradigma Pendidikan saat ini memang cenderung ke arah humanis.
Pendidikan diharapkan menjadi sebuah wadah yang memposisikan peserta didik sebagai
subjek utama di dalamnya. Dengan demikian, peserta didik harus diperlakukan secara
manusia tanpa adanya tekanan, ketakutan, dan bentuk intimidasi lainnya.
Dalam beberapa artikel, banyak pengamat dan pakar pendidikan justru menilai
pardigma pendidikan saat ini menjadikan peserta didik sebagai subjek yang dimanjakan.
Kasus kekerasan siswa dan orang tua terhadap guru disinyalir karena siswa terlalu
dibebaskan. Di satu sisi, pengembanagn kurikulum dengan pendekatan humanis
memberikan susana yang baik dalam proses pendidikan. Namun, pengembangan kurikulum
yang hanya menekankan pada satu pendekatan saja akan pincang. Idealnya kurikulum tetap
harus menekankan semua pendekatan yang ada agar proses pendidikan menjadi lebih baik.
Pendidikan tidak hanya diartikan sebagai upaya membekali siswa dengan keterampilan dan
pengetahuan tetapi juga membekali siswa dengan berbagai kecerdasan lain. Kecerdasan
yang
dimaksud adalah keterampilan dalam menguasai teknologi dan kecerdasan sosial. Dengan
kecerdasan sosial, diharapkan tidak ada lagi kasus-kasus kekerasan dalam pendidikan. Hal
ini didasari pada kenyataan bahwa kehidupan sosial mengajarkan kepada setiap individu
untuk peka dan menghormati individu lain.

E. Identitas Artikel 5
Judul Artikel : Pengembangan Kurikulum Pendidikan Dasar Indonesia dalam Globalisasi
Ekonomi ASEAN
Sumber : Jurnal Al-Qodiri, Vol. 11 No. 2, Tahun 2016
Penulis : Zainal Arifin
Afiliasi : Pascasarjana Universitas Negeri Malang (UM)

Ringkasan Artikel
Salah satu dampak globalisasi yang terjadi dewasa ini adalah arus pasar bebas dunia
yang melanda seluruh kawasan. Salah satu efek dari pasar bebas tersebut akan menggiring
beberapa negara dalam satu kawasan untuk bersama-sama menghadapi kondisi tersebut.
Salah satunya adalah bentuk regionalisme negara-negara di Asia Tenggara untuk
membentuk Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Kondisi ini tentu mendorong sejumlah
warga negara di ASEAN untuk menawarkan pola pembelajaran terbaik. Salah satunya
dengan mengimplementasikan sebuah kurikulum yang adaptif sebagai salah satu komponen
dalam pendidikan.
Selama ini, Indonesia telah beberapa kali mengganti kurikulum pendidikannya.
Perubahan itu merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial
budaya, ekonomi, dan iptek. Menurut Badan Nasional Standar Pendidikan (BNSP) ada
beberapa kompetensi yang harus dicapai dalam sebuah kurikulum yang termaktub dalam
21st Century Partnership Learning Framework, yaitu: (1) kemampuan berpikir kritis dan
pemecahan masalah, (2) kemampuan berkomunikasi dan kerja sama, (3) kemampuan
mencipta dan membaharui, (4) literasi teknologi informasi dan komunikasi, (5) kemampuan
belajar kontekstual, dan (6) kemampuan informasi dan literasi media.
Menurut penulis, pengembangan kurikulum harus berkaitan dengan fokus isi atau
substansi kurikulum. Dalam konteks ini, ada beberapa pendekatan yang harus diperhatikan,
yaitu: (1) subject academic curriculum (kaitannya dengan bahan ajar dari disiplin ilmu), (2)
humanistic curriculum (penekanan pada keutuhan pribadi, kerikulum berdasarkan minat
dan kebutuhan siswa), (3) technological/ competence based curriculum (penekanan
penguasaan kompetensi), dan (4) social reconstruction curriculum (kurikulum yang
memfokuskan pada permasalahan sosial/belajar kelompok). Dalam kaitannya dengan
masyarakat ekonomi ASEAN, pengembangan kurikulum perlu memperhatikan beberapa
sektor, yaitu (1) filosofis pendidikan nasional (Pancasila dan UUD 1945), (2) kompetensi
guru profesional, (3) kurikulum 2013, (4) konsepsi tugas dan fungsi pendidikan dasar, (5)
standar nasional pendidikan dasar, dan (6) globalisasi-MEA 2015.

Komentar dan Saran


Masalah Pendidikan merupakan masalah yang yang pelik, apalagi jika dikaitkan
dengan kurikulum. Kurikulum merupakan elemen penting dalam pendidikan yang mau
tidak mau harus berubah dari waktu ke waktu. Bagaimanapun juga, konteks dan peristiwa
akan mempengaruhi terjadinya proses reformasi dan pembaruan kurikulum. Perubahan
kurikulum di Indonesia hingga saat ini merupakan salah satu langkah dalam merespons
dinamika perubahan tersebut. Dalam konteks Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA),
kurikulum juga harus segera merespons tuntutan pasar agar output atau keluaran sekolah
dapat bersaing di dalamnya.
Hasil uraian dari artikel ini telah menyimpulkan bahwa kurikulum pendidikan dasar
di Indonesia sudah siap dengan pemberlakuan MEA di Kawasan Asia Tenggara. Hal ini
didasari pada kurikulum yang selama ini dijalankan telah memperkenalkan tentang
karakteristik masyarakat di Asia Tenggara. Di samping itu juga, kurikulum kita telah
menerapkan pendidikan dengan berbasis kompetensi. Dengan bekal kompetensi yang
dimiliki, diharapkan lulusan pendidikan di Indonesia mampu bersaing baik dalam bidang
jasa, investasi, kesehatan, dan lain-lain. Hal lain yang perlu diperhatikan juga adalah
passion dan minat siswa yang beragam. Hal ini perlu juga diakomodir dalam
pengembangan kurikulum. Dengan kata lain, MEA jangan hanya dianggap sebagai medan
persaingan produk yang berbau pasar ekonomi semata tetapi harus dimaknai secara meluas.
Kurikulum pendidikan seharusnya juga memuat pembelajaran yang mewadahi kemampuan
bakat.
Artinya, Indonesia tidak hanya produktif dalam produk dan tenaga kerja tetapi juga
produktif dalam karya, seperti film, budaya, musik, sastra, dan lain-lain. Produk-produk
semacam inilah yang menghantarkan Korea Selatan menjadi negara yang hebat di samping
kekuatan produk teknologinya.

11
View publication stats

Anda mungkin juga menyukai