Berbagai macam bentuk kosmologi ada di dalam tradisi intelektual baik di
Barat maupun di dunia Islam. Secara bahasa kosmologi terdiri dari dua kata yaitu, kosmos dan logos. Kosmos berarti keteraturan sementara logos berarti ilmu. Sehingga, kosmologi merupakan ilmu tentang keteraturan. Adapun secara istilah, kosmologi tergantung bagaimana masing-masing disiplin ilmu mencoba memberikan definisinya. Disiplin ilmu filsafat, kosmologi adalah bagian dari pembahasan ontologi. Para filsuf klasik seperti al-Farabi, Ibn Sina hingga Ikhwan al-Shafa memberikan definisi kosmologi ialah, kajian tentang alam semesta, khususnya tentang penciptaan alam semesta untuk menjawab pertanyaan tentang hubungan Yang satu dengan yang banyak. Teori penciptaan menurut para filsuf dikenal dengan emanasi. Kalau kawan- kawan filsafat sering mengistilahkannya sebagai akal-akalan ontologis, karena nanti ada lagi akal-akalan epistemologis. Saya tidak mau membahas ini secara panjang lebar tentang ini. Tapi ini satu bentuk kosmologi dalam tradisi intelektual Islam. lantas kosmologi Islam yang mana yang akan kita jadikan sebagai kacamata untuk melihat cinta dan spiritualitas perempuan dalam keluarga? Kosmologi Islam di sini merujuk pada kosmologi Islamnya William Chittick. Buku ini sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Musa Kazhim dengan judul aslinya Science of the Cosmos, Science of the Soul: The Pertinence of Islamic Cosmology in the Modern World. Ada struktur penting kosmologi yang bisa dilihat dalam karya Chittick ini. Setidaknya, dengan mengetahui tujuannya yaitu, untuk merespon kosmologi saintifik Barat, Chittick memberikan satu formulasi baru kosmologi yaitu, kosmologi yang tidak hanya membahas metafisika saja, tidak juga kosmologi yang hanya terjebak pada hal-hal yang saintifik saja, melainkan kosmologi yang memberikan titik temu antara yang saintifik dan yang filosofis, yang empiris dan yang metafisik. Pada prinsipnya, kosmologi Islam William Chittick ingin menjelaskan tentang hubungan antara Alam – Jiwa – Tuhan. Kalau di Barat hanya ada hubungan antara Alam dengan manusia (antroposentris), sementara dalam kosmologi Islam terjadi hubungan antara alam, jiwa dan Tuhan (antropokosmik). Hubungan ini senantiasa berkesinambungan, senantiasa berlangsung tanpa terputus sesaat baik di dalam pikiran manusia maupun dalam realitas kehidupan. Terdapat dua arah hubungan alam, jiwa dan Tuhan. Arah pertama ialah, arah dari Tuhan ke alam. Pada arah ini jiwa mengalami kehadiran Tuhan pada dirinya, inilah yang disebut dengan transendensi, sementara itu arah yang lain ialah, dari alam ke Tuhan, maka fungsi jiwa di sini memaknai Tuhan (imanensi). Arah pertama ini bisa juga dikatakan sebagai proses emanasi atau pancaran di mana Tuhan hadir pada jiwa manusia pada proses ini kehadiran Tuhan itu sama bagi setiap manusia apapun kemudian agama yang dianutnya, apapun warna kulitnya, apapun kebangsaannya. Sementara itu, arah yang kedua ini jiwa kita mencari pemaknaan tentang Tuhan dari alam semesta. Tentu pemaknaan yang dimaksud dalam kosmologi Islam ini bukan pemaknaan yang hanya terjebak pada hal-hal empiris saintifik, tetapi menyingkap yang di balik hal-hal yang empirik ini. Inilah kosmologi Islam William Chittick yang membangun sebuah titik temu antara yang saintifik, filsafat dan sufistik.
Perempuan sebagai Entitas Fisik dan Kualitas Alam
Sebelum masuk pada pembahasan perempuan sebagai IBU RUMAH CINTA, maka perlu didudukkan terlebih dahulu bagaimana kosmologi Islam melihat perempuan? Dalam kosmologi Islam, perempuan tidak hanya dilihat sebagai sebuah entitas fisik yaitu, makhluk yang memiliki vagina. Perempuan dalam arti fisik berkaitan dengan salah satu jenis kelamin, sementara perempuan dalam arti alam dikaitkan dengan sifat pengasih dan kelembutan di alam ini. Sachiko Murata dalam karyanya The Tao of Islam juga menjelaskan bahwa perempuan dikaitkan dengan dua hal yaitu, dikaitkan dengan manusia sebagai entitas fisik dan jenis kelamin tertentu, smentara jika dikaitkan dengan alam, ia sebagai sebuah kualitas intrinsik yang disebut kualitas feminin. Adapun kualitas intrinsik alam ini bisa saja dimiliki oleh laki-laki maupun perempuan. Kualitas ini berada pada jiwa manusia. oleh karena itu, kosmologi tidak hanya meninjau manusia dari fisiknya belaka, melainkan dari spiritualitasnya karena itu berkaitan dengan jiwa manusia baik laki-laki maupun perempuan. Perkawinan antara pendekatan Kosmologi Islam dengan perempuan sebagai objek kajiannya inilah yang kemudian kita sebut sebagai pendekatan baru yaitu, KOSMOLOGI PEREMPUAN. Cinta dan Hasrat dalam Perspektif Kosmologi Perempuan Ada beberapa tema yang dibahas dalam kosmologi perempuan seperti, perkawinan makrokosmos dan mikro kosmos, ayah dan ibu, pena dan lembaran, cinta timbal balik, rindu timbal balik dan salah satu pembahasan yang bukan saja menarik, tetapi juga penting dalam kajian kosmologi perempuan ialah tentang cinta dan hasrat. Sebenarnya pembahasan ini masuk pada bab dalam buku The Tao of Islam dalam bab Cinta Timbal Balik. Seperti halnya yang telah dibahas dalam pembahasan kosmologi Islam di atas, bahwa ada dua arah hubungan antara alam, jiwa dan Tuhan. Dua arah ini kita permudah dengan bahasa vertikal dan horizontal. Dari sisi vertikal, (disini kita menggunakan analogi adam dan hawa) Cinta itu berasal dari Tuhan kemudian turun ke jiwa menjadi hasratNya (rasa suka pada Adam) dan hasrat itu mencari cinta ke alam (dalam hal ini hawa). Dengan demikian, eksistensi hasrat Adam secara vertikal adalah hasratNya. Namun hasratnya ada tidak bisa begitu saja menemukan cinta, melainkan dia harus turun pada wilayah horizontal, ke fisik. Karena cinta dan hasrat adalah dua hal yang berbeda. Ini dari sisi vertikal. Adam harus turun ke hawa karena hasratnya ingin mencari cinta. Kalau pada sisi horizontal, cinta timbal balik itu bagi laki-laki dan perempuan itu tidak selalu niscaya sifatnya. Bisa saja timbal balik atau bertepuk sebelah tangan. Karena di horizontal, alam ini, baik adam maupun hawa memiliki hasrat dan cinta. Jika kita lihat bahwa sumbernya hasrat pada diri Adam ialah, hasratnya Tuhan yang turun dari cintaNya, maka sifatnya hasrat itu suci. Hasrat seksualitas pada diri manusia itu pada hakikatnya suci. Namun, bagaimana dia tetap menjadi suci pada aktualitasnya, ia membutuhkan pengelolaan yang baik. Misalnya, dengan melakukan pernikahan. Melakukan hubungan seksual dalam bingkai pernikahan yang sesungguhnya. Hasrat ini di alam memiliki berbagai bentuknya. Ada hasrat dalam bentuk pengetahuan, kekuasaan, material, seksual. Hasrat tidak boleh berhenti pada hasrat, dia harus melampaui hasrat dan mencari cinta yang hakiki. Dalam kosmologi perempuan, hasrat seksualitas itu suci tapi dia harus melampaui seksualitas itu sendiri hingga ia menemui cintanya pada diri perempuan. Cinta dan Spiritualitas Perempuan dalam Keluarga Seperti yang sudah disinggung di atas bahwa, perempuan merupakan IBU RUMAH CINTA dalam setiap keluarga. Ibu dengan segala kualitas jiwanya, ia menjadikan dirinya sentral dalam terbentuknya sebuah kerja peradaban di rumah. Peran seorang ibu di rumah melebihi peran sebagai seorang Asisten Rumah Tangga yang hanya mengurusi urusan dapur, kasur dan sumur. Dalam fiqh Islam, tidak ada ketentuan wajib mengurusi pekerjaan rumah tangga bagi satu jenis kelaminpun. Sebuah keluarga tercipta dari bangunan cinta awal laki-laki dan perempuan. Ketika perempuan mengucapkan “Zawajtuka Nafsi” itu artinya perempuan sedang memberikan segenap cintanya kepada laki-laki dan ketika laki-laki menjawab “Qabiltu” maka ia siap menerima cintanya perempuan serta segala konsekuensi tanggungjawabnya yang merupakan bukti dari bagaimana laki-laki merawat cinta tersebut. Namun, jika hasrat sepasang manusia tersebut tidak bisa terkelola dengan baik, maka hasratnya tidak akan menemukan kembali cintanya bahkan akan tergelincir pada hal-hal yang metaforis dalam istilah kaum sufi. Dengan pijakan cinta inilah dua insan dalam keluarga, rumah tangga berangkat bersama-sama menapaki jalan spiritual. Dengan kata lain, keluarga adalah suluk terpanjang di mana laki-laki harus terus menjaga dan merawat cinta perempuan sehingga perempuan dapat menyingkapkan dirinya pada laki-laki untuk kemudian bersama-sama menapaki jalan spiritual menuju Tuhan. Sedikit mengutip dari Ustad A.M. Safwan bahwa “Perempuan adalah Jiwa dari keluarga dan keluarga adalah spritualitas dari masyarakat”.
Abraham Maslow, dari hierarki kebutuhan hingga pemenuhan diri: Sebuah perjalanan dalam psikologi humanistik melalui hierarki kebutuhan, motivasi, dan pencapaian potensi manusia sepenuhnya