Anda di halaman 1dari 92

95.

Lesi oral dan pertimbangan tatalaksana dental terkait kondisi dan penyakit sistemik :

A. Kelainan Endokrin

1. Diabetes Melitus

 Definisi
Diabetes melitus merupakan penyakit metabolisme yang dikarakteristikan
dengan tingginya kadar gula dalam darah (hiperglikemia) dan ketidakmampuan untuk
memproduksi dan atau menggunakan insulin. American Association Diabetes
mengkatagorikan penyakit ini menjadi 4 tipe yaitu tipe 1, tipe 2, gestational dan tipe
lain (Little dkk, 2013).

Tipe Diabetes Penyebab


Tipe 1 Akibat dari destruksi sel beta , biasanya mengakibatkan defisiensi insulin
absolut

 Melalui proses imulogi : terdapatnya sel islet atau antibodi insulin


yang mengidentifikasikan adanya proses autoimun, yang
mengakibatkan destruksi sel beta
 Idiopatik

Tipe 2 Resisten insulin dengan defisiensi relatif insulin/ gangguan sekresi insulin
dengan resistensi insulin
Gestational Berbagai tingkat toleransi glukosa yang abnormal selama masa kehamilan
Tipe lain Defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit
eksokrin pankres, endokrinopati, karena obat dan zat kimia, infeksi, sebab
imunologi yang jarang, sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM

Tabel 1. Tipe diabetes beserta penyebabnya

Adapun kriteria diagnosis diabetes melitus meliputi (Little dkk, 2013):

 Kadar glukosa plasma puasa > 126 mg/dL (7.0 mmol/L). Puasa diartikan
pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam, atau
 Gejala diabetes melitus dan glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dL (11,1
mmol/L). Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada
suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir, atau
 Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO > 200 mg/dL (11,1 mmol/L). Tes
toleransi glukosa oral (TTGO) yang dilakukan dengan standar WHO,
menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang
dilarutkan ke dalam air, atau
 Pemeriksaan HbA1c (>6.5%)

 Gambaran klinis
Gambaran klinis pada rongga mulut pada pasien diabetes tidak terkontrol meliputi
xerostomia, infeksi bakteri, virus dan jamur (candidiasis), penyembuhan luka yang
lambat, meningkatnya insiden dan risiko karies, gingivitis dan penyakit periodontal,
abses periapikal dan sensasi terbakar pada mulut. Kondisi hiperglikemia pada pasien
menyebabkan meningkatnya jumlah urine yang artinya akan jumlah cairan yang
keluar dari mulut dan sekresi saliva menyebabkan mulut menjadi kering. Kondisi
diabetes menyebabkan meningkatnya respon inflamasi serta terhambatnya
penyembuhan luka sehingga meningkatkan risiko periodontitis. Infeksi jamur seperti
candidiasis , mucormycosis juga ditemukan pada penderita diabetes yang tidak
terkontrol. Pada pasien diabetes tipe 1 , lebih sering terjadi lesi oral seperti
candidiasis, traumatic ulcers dan lichen planus, hal ini disebabkan oleh penurunan
sistem imun. Diabetes neuropati menyebabkan gejala seperti sensasi kebas, sakit dan
terbakar pada mulut (Little dkk, 2013): .

Gambar. Candidiasis rongga mulut pada pasien diabetes (Litte, 2013)


 Etiologi
Diabetes Tipe 1 disebabkan karena faktor genetik, autoimun dan lingkungan.
Pada kasus diabetes tipe 1, ditemukan sebanyak 85%-90% autantibodi yang melawan
sel beta. Kerusakan sel beta dimodulasi oleh sel T. Sekitar 10%-15% kasus diabetes
tipe 1 merupakan idiopatik. Diabetes tipe 2 disebabkan oleh faktor genetik,
lingkungan dan penuaan. Obesitas dan kurangnya aktivitas fisik merupakan faktor
lingkungan yang utama penyebab diabetes tipe 2. Diabetes gestasioanal muncul 5%-
7% pada wanita hamil selama kehamilan. Obesitas selama kehamilan merupakan
faktor risiko dari diabetes gestasional. Setelah melahirkan kandungan gula darah ibu
biasanya kembali normal, namun memiliki risiko diabetes melitus dalam 5 sampai 10
tahun kedepan. Diabetes tipe lain dapat diebabkan oleh karena defek genetik fungsi
sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankres, endokrinopati, karena
obat dan zat kimia, infeksi, sebab imunologi yang jarang, sindrom genetik lain yang
berkaitan dengan diabetes (Little dkk, 2013).

 Tatalaksana dental

Dokter gigi harus dapat mengidentifikasi pasien dengan benar melalui


anamnesa serta pemeriksaan klinis kepada pasien. Pasien yang datang untuk
perawatan gigi yang tidak memiliki penyakit diabetes melitus namun memiliki gejala
seperti polidipsi, poliuri, polifagia, penurunan berat badan secara drastis, dan merasa
selalu kelelahan, harus segera dirujuk ke dokter umum untuk diagnosis dan perawatan
lebih lanjut. Selain itu dalam pemeriksaan ektra oral maupun intra oral apabila
dicuragai adanya manifestasi klinis diabates (mulut kering, infeksi kulit yang
berulang, pengelihatan kabur, terdapat rasa kesemutan, penyakit periodontal yang
progresif dan abses periodontal yang multiple) harus dirujuk ke dokter. Perlu
diperhatikan pula, pasien yang berusia di atas 40 tahun, obesitas, memiliki keluarga
dengan riwayat diabetes, melahirkan satu atau lebih bayi dengan berat badan diatas
normal dan mempunyai riwayat keguguran memiliki risiko yang tinggi untuk
terjangkit penyakit diabetes (Little dkk, 2013).
Pasien yang memiliki penyakit diabetes, harus dilakukan anamnesa lebih
dalam dalam menyangkut tipe medikasi, dokter yang merawat, keparahan penyakit
serta pengontrolannya. Selain itu perlu ditanyakan kepada pasien tipe diabetes pasien
(tipe 1, tipe 2 atau yang lain), serta komplikasi atau penyakit sistemik lainnya. Tanda
vital juga digunakan sebagai dasar untuk kontrol dan manajemen penyakit diabetes,
maka harus ditetap ditegakan sebelum perawatan gigi. Pasien diabetes dengan gula
darah terkontrol dan telah menerima terapi dengan baik tanpa adanya komplikasi
serius seperti penyakit ginjal, hipertensi, penyakit arteri koroner dapat melakukan
perawatan gigi sesuai yang diindikasikan. Namun apabila disertai komplikasi serius,
harus dirujuk terlebih dahulu kepada dokter yang merawat (Little dkk, 2013).
Hal lain yang menjadi kunci dalam pertimbangan perawatan gigi pada pasien
DM meliputi tindakan mengurangi stres, setting perawatan, modifikasi diet,membuat
jadwal kunjungan, serta penanganan emergensi. Epinefrin endogen dan kortisol dapat
meningkatkan stres. Hormon ini akan meningkatkan kadar glukosa darah dan
mempengaruhi kontrol glukosa. Oleh karena itu mengurangi stres dan mengontrol
rasa nyeri sangat penting dalam merawat pasien DM. Kadar epinefrin 1:100.000
dalam obat anestesi lokal tidak memberikan efek yang bermakna terhadap kadar
glukosa. Jika pasien merasa cemas, maka diberikan sedasi. (Vitria, 2011).
Tujuan utama pada tatalaksana dental pasien dengan diabetes yang dirawat
dengan terapi insulin untuk mencegah terjadinya syok insulin. Syok insulin
disebabkan oleh tingginya kadar insulin dalam darah sehingga menyebabkan rekasi
hipoglikemik. Pasien diabetes yang diterapi dengan insulin harus menjaga pola
dietnya. Apabila pasien gagal menjaga pola dietnya seperti melewatkan waktu
makannya, tetapi tetap melakukan injeksi insulin secara teratur maka akan terjadi
syok insulin. Reaksi syok insulin ada tiga tingakatan. Tingkat rendah merupakan
reaksi yang paling sering terjadi, ditandai dengan kelaparan, lemah, bergetar,
takikardi, muka pucat dan berkeringat. Biasanya muncul sebelum makan, selama
olahraga, dan apabila menunda makan. Tingkat sedang, perilaku pasien biasanya tidak
kooperatif dan memberontak. Rasa amarah pasien yang memuncak dapat melukai
orang-orang disekitarnya. Tingkat ketiga ditandai dengan kehilangan kesadaran
pasien. Untuk mencegah terjadinya syok insulin, pasien disarankan untuk makan
sebelum appointment, appointment pasien diatur pada pagi hari. Persiapkan
makanan/minuman manis di tempat praktik seperti jus jeruk dan kue manis untuk
diberikan kepada pasien pada saat pasien menunjukan gejala syok insulin. Pasien
dengan diabetes tipe 1 yang diterapi dengan insulin dosis tinggi , biasanya mengalami
periode ekstrim hipoglikemia dan hipoglikemia (brittle diabetes). Sebaiknya
dilakukan konsultasi terlebih dahulu ke dokter yang merawatnya sebelum perawatan
gigi. Pasien diabetes yang sudah lama tidak kontrol ke dokter yang merawatnya, dan
sering memiliki gejala syok insulin, mengindikasikan kondisi pasien tidak stabil.
Pasien ini harus dikonsultasikan terlebih ke dokter yang merawatnya untuk
pemeriksaan lebih lanjut (Little dkk, 2013).

2. Disfungsi Kelenjar Adrenal

 Definisi
Kelenjar adrenal merupakan kelenjar endrokrin yang berukuran kecil terletak
bilataeral di atas ginjal. Kelenjar adrenal memiliki bagian luar yang disebut korteks,
dan bagian dalam disebut medula. Medula andrenal berfungsi sebagai ganglion
simpatetik dan menyekresikan catecholamines, yang merupakan epinephrine primer.
Sedangkan korteks kelenjar adrenal mengandung tiga zona, yaitu zona glomerulosa,
fasciculata dan reticularis. Pada bagian korteks mengasilkan 3 kelas adrenal steroid
yaitu glucocorticoids, mineralocorticoid dan androgen. Predominan hormon pada
zona glomelurus adalah aldosteron, yang merupakan mineralocorticoid. Pada zona
fasciculata menyekresikan predominan hormon yaitu kortisol, yang merupakan
glokortikoid (Little dkk, 2013).
Disfungsi kelenjar adrenal dapat menyebabkan produksi produk adrenal
berlebihan (hiperadrenalisme) dan produksi produk adrenal yang kurang
(hipoadrenalisme atau insufisiensi adrenal). Hiperadrenalisme disebabkan oleh sekresi
yang berlebihan dari kortisol adrenal, mineralokortikoid, androgen, atau estrogen atau
kombinasinya. Tipe paling umum dari hiperadrenalisme adalah sekresi glucocorticoid
yang berlebihan, kondisi ini disebut sindrom Cushing. Insufisiensi adrenal dibagi
menjadi 2 katagori yaitu primer dan sekunder. Insufisiensi adrenal primer disebut juga
penyakit Addison, dikarakteristikan sebagai destruksi korteks adrenal yang
meyebabkan defisiensi hormon adrenocortikal (Little dkk, 2013).
Gambar. Ilustrasi kelenjar adrenal serta hormon yang disekresi (Little dkk, 2013).

 Gambaran Klinis
Hiperadrenalisme yang paling umum terjadi adalah produksi glucocorticoid
yang berlebih, sehingga akan berkembang menjadi Sindrom Cushing. Secara klinis
penderita Sindrom Cushing mengalami penambahan berat badan, wajah lebar dan dan
bulat, hipertensi, jerawat (Gambar). Pasien hiperadrenalisme yang mengonsumsi obat
steroid jangka panjang angkan meningkatkan risiko insomnia, peptic ulceration,
pembentukan katarak, glukoma, dan penyembuhan luka yang lambat (Little dkk,
2013).
Gejala insufisiensi adrenal primer (penyakit Addison) menghasilkan gejala
yang berkaitan dengan defisiensi aldosteron dan kortisol, yaitu merasa lemah, lelah,
nyeri perut, hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa. Selain itu, dapat juga terjadi
hipotensi, anorexia, ingin makan garam, hipoglikemia dan penurunan berat badan.
Insufisiensi adrenal primer dapat berkembang menjadi krisis adrenal apabila pasien
merasa stres. Krisis adrenal merupakan kondisi yang dapat mengancam nyawa.
Insufisiensi adrenal sekunder biasanya tidak menyebabkan gejala (Little dkk, 2013).
Pada adrenal insufisiensi primer, sangat umum dijumpai berupa pigmentasi
makular berwarna kecoklatan yang berbatas tidak jelas. Pasien dengan adrenal
insufisiensi primer dan hiperdrenalisme dapat berisiko mengalami terhambatnya
penyembuhan luka dan infeksi oral. Pada adrenal insufisiensi sekunder tidak
menimbulkan gejala (Little dkk, 2013).

Gambar. Pasien dengan penyakit Addison, tampak pigmenasi kecoklatan pada


bibir dan mukosa rongga mulut (Little dkk, 2013).

 Etiologi
Hiperadrenalisme disebabkan oleh sekresi yang berlebihan dari kortisol
adrenal, mineralokortikoid, androgen, atau estrogen atau kombinasinya. Tipe paling
umum dari hiperadrenalisme adalah sekresi glucocorticoid yang berlebihan (Little
dkk, 2013).
Insufisiensi adrenal primer disebabkan destruksi korteks adrenal, biasanya
karena penyakit autoimun, penyakit infeksi kronis (tuberkulosis, HIV,
sitomegalovirus, jamur) atau karena keganasan. Kondisi ini juga disebabkan dari
perdarahan, sepsis, adrenalektomi, obat-obatan, dan mutasi genetik. Insufisiensi
adrenal sekunder disebabkan oleh lesi pada kelenjar hipotalamus atau pituitari
(tumor), obat-obatan (desferrioxamine dalam pengobatan thalasemia) atau penyakit
kritis (terbakar, trauma, infeksi sistemik), dan yang paling umum adalah akibat terapi
glukokortikoid eksogen dan defisiensi ACTH (karena proses autoimun) (Little dkk,
2013).

 Tatalaksana Dental
Penatalaksanaan dental terkait disfungsi kelenjar adrenal harus memerhatikan
tingkat keparahan dari penyakit. Apabila terdapat gejala disfungsi kelenjar adrenal,
pasien harus dirujuk ke dokter terlebih dahulu. Pasien dengan hiperadrenalisime yang
mengonsumsi kortikosteroid jangka panjang dapat meningkatkan risiko penyakit
hipertensi, diabetes, luka yang lama sembuh, osteoporosis dan penyakit peptic ulser.
Untuk meminimalkan risiko, perlu dilakukan pemeriksaan tekanan darah sebelum
dilakukan tindakan perawatan gigi dan pemeriksaan gula darah sebelum tindakan
invasif. Perlu juga dilakukan tindakan kontrol setelah perawatan untuk memeriksa
penyembuhan luka. Oleh karena pasien ini memiliki risiko penyaktit peptic ulser,
hindari pemberian obat-obatan NSAID (Little dkk, 2013).
Pemeriksaan risiko untuk insufisiensi adrenal primer dan sekunder dilakukan
melalui riwayat medis dan pemeriksaan fisik. Riwayat tuberkulosis, histoplasmosis
atau infeksi HIV meningkatkan risiko terjadinya insufisiensi adrenal, sehingga infeksi
opurtunistik dapat menyerang kelenjar adrenal. Perlu diperhatikan bahwa pasien
dengan insufisiensi adrenal terutama insufisiensi adrenal primer mempunyai risiko
mengalami krisis adrenal apabila pasien tidak mengonsumsi obat glukokortikoidnya
sebelum prosedur bedah yang memakan waktu panjang (lebih dari 1 jam). Sehingga
diperlukan pemberian obat kortikosteroid tambahan sebelum prosedur bedah atau saat
manajemen infeksi dental. Selain itu, perlu juga dilakukan konsultasi ke dokter yang
merawat sebelum dilakukan pembedahan untuk menghentikan konsumsi obat-obatan
yang memproduksi kortikosteroid inhibitor (ketoconazole metyaprone,
aminogluthethimide). Konsumsi obat tersebut harus dihentikan setidaknya 24 jam
sebelum prosedur pembedahan. Prosedur dental selain pembedahan, tidak perlu
dilakukan pemberian obat kortikosteroid tambahan karena tidak menstimulasi
produksi kortisol (hormon yang membantu tubuh menghadapi stres) yang tinggi jika
dibandingakan dengan prosedur pembedahan. Untuk meminimalkan risiko terjadinya
krisis adrenal, prosedur pembedahan sebaiknya dilakukan pada pagi hari, ketika
hormon kortisol berada pada level tertinggi. Perlu dilakukan manajemen stres yang
baik karena rasa takut dan kecemasan dan meningkatkan kebutuhan horman kortisol.
Inhalasi oxide oxygen dan sedasi benzodiazepine dapat meminimalkan stres dan
menyebabkan penurunan kebutuhan hormon kortisol. Terjadinya perdarahan saat
prosedur bedah, meningkatkan terjadinya risiko hipotensi, sehingga diperlukan
metode yang baik saat pembedahan untuk meminimalkan perdarahan dan diperlukan
pemeriksaan tekanan darah sebelum pasien dipulangkan. Tekanan darah dibawah
100/60mmHg mengindikasikan terjadinya hipotensi. Tidak ada pertimbangan khusus
untuk penggunaan antibiotik. Penggunaan anesestesi lokal dengan vasokonstriktor
masih dapat ditoleransi, dan diperlukan anestesi lokal yang bersifat long acting
(bupivacaine) untuk memperoleh kontrol nyeri yang lebih lama (Little dkk, 2013).
B. Kelainan Kardiovaskular

1. Hipertensi

 Definisi
Hipertensi adalah gangguan sistem peredaran darah yang menyebabkan kenaikan tekanan
darah di atas normal, yaitu ≥140/90 mmHg. Peningkatan tekanan darah mengakibatkan
penurunan usia harapan hidup seseorang dan peningkatan risiko penyakit jantung koroner, stroke
dan gagal jantung. Hipertensi merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah stroke dan
tuberkulosis, yakni mencapai 6,7% dari angka kematian pada semua kelompok umur di Indonesia
(Alamsyah dan Nagara, 2015). Klasifikasi hipetensi menurut JNC 7 dapat dilihat pada tabel di
bawah.

Tabel hipertensi berdasarkan JNC 7

 Gambaran Klinis

Hipertensi biasanya asimtomatik, sampai terjadi kerusakan organ tertentu.


Fase hipertensi yang berbahaya biasa ditandai oleh nyeri kepala dan hilangnya
penglihatan. Pada rongga mulut lesi oral yang muncul tidak berhubungan langsung
dengan penyakit hipertensi itu sendiri. Xerostomia atau mulut kering merupakan
keadaan rongga mulut yang paling banyak dikeluhkan. Keadaan ini umumnya
berhubungan dengan berkurangnya aliran saliva, namun adakalanya jumlah atau
aliran saliva normal tetapi seseorang tetap mengeluh mulutnya kering. Xerostomia
bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan gejala dari berbagai kondisi medis.
Banyak faktor yang menyebabkan xerostomia, salah satunya adalah obat – obat anti
hipertensi seperti Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitor (ACEI), thiazide diuretik,
loop diuretik, clonidine (Villa dkk, 2015). Reaksi likenoid terkadang terlihat pada
pasien hipertensi sebagai manifestasi sekunder akibat penggunaan obat anti hipertensi.
Obat yang paling umum menyebabkan efek samping ini adalah obat ACE-Inhibitor
terutama kaptopril (Little, 2013). Gingival enlargement (pembesaran gingiva) juga
salah satu temuan klinis yang paling umum pada penderita dengan hipertensi yang
menggunakan obat anti-hipertensi terutama calcium channel blockers seperti
amlodipine, dan nifedipin yang bekerja dengan memperlambat gerakan kalsium ke
dalam sel jantung dan dinding pembuluh darah, yang membuat lebih mudah bagi
jantung untuk memompa dan memperlebar pembuluh darah (Popescu dkk, 2015).

Gambar. Pembesaran gingiva pada pasien yang mengonsumsi calcium


channel blocker (Little, 2013)

 Etiologi
Sekitar 90% pasien hipertensi tidak dapat diidentifikasi penyabab sakitnya, hal
ini disebut hipertensi primer (essential). Sedangkan 10% pasien merupakan hipertesi
sekunder yaitu penyebab hipertensinya dapat diketahui. Daftar penyebab hipertensi
sekunder dapat dilihat pada tabel di bawah. Gaya hidup dapat berperang penting
dalam keparahan dan kecepatan hipertensi, obesitas, konsumsi alkohol berlebihan,
konsumsi makanan bersodium merupakan faktor penting yang dapat menyebabkan
hipertensi (Little, 2013).
 Tatalaksana Dental
Tatalaksana dental pada pasien dengan hipertensi harus memerhatikan
beberapa hal sebagi berikut : identifikasi penyakit, monitoring, manajemen stres dan
kecemasan, pencegahan interaksi obat, dan manajemen efek samping obat. Tugas
utama seorang dokter gigi adalah untuk mengidentifikasi pasien dengan hipertensi,
baik yang telah terdiagnosis maupun yang belum terdiagnosis. Perlu diketahui data
riwayat medis seperti diagnosis hipertensi, bagaiama pengobatannya, identifikasi obat
anti hipertensinya, gejala dan tanda hipertensi dan level stabilitas penyakit. Hal ini
tentunya sangat penting untuk diketahui guna penyusunan rencana perawatan. Saat
berkunjung ke dokter gigi, pasien dengan hipertensi harus melakukan pemeriksaan
tekanan darah secara rutin baik bagi pasien baru maupun pasien rawat jalan. Pasien
yang belum terdiagnoasa hipertensi namun memiliki tekanan darah di atas normal
disarankan untuk datang ke dokter spesialis, karena dokter gigi tidak boleh membuat
diagnosis hipertensi dan sebaiknya menginformasikan kepada pasien bahwa tekanan
darahnya di atas normal dan harus dievaluasi lebih dalam oleh dokter spesialis. Selain
itu hal penting yang harus diketahui, pasien dengan hipertensi selama melakukan
perawatan dapat mengalami kenaikan tekanan darah secara tiba-tiba, hal ini
berpotensi menyebabkan stroke atau gagal jantung. Peningkatan tekanan darah secara
tiba-tiba disebabkan pelepasan endogeneous cathecolamines dalam merespon stres
dan kecemasan dari injeksi exogeneous cathecolamines dalam bentuk vasoconstrictor
pada anestesi lokal atau dari absrospsi vasokonstriktor retraction cord (Little, 2013).
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah interaksi obat antara obat hipertensi
yang dikonsumsi pasien dan obat-obatan yang digunakan oleh dokter gigi dan efek
obat hipertensi pada rongga mulut. Manejemen stres sangat penting dilakukan untuk
pasien hipertensi untuk mengurangi peluang pelepasan endogenous catecholamines
selama perawatan gigi. Appointments yang lama dan melelahkan sebaiknya dihindari.
Sebaiknya appointment diatur pada pagi hari dengan waktu yang singkat. Apabila
pasien merasa cemas dan ketakutan selama perawatan, sebaiknya perawatan ditunda
dulu dan dijadwalkan ulang (Little, 2013).
Selain itu, perlu diperhatikan pula penggunaan obat-obatan selama perawatan
gigi. Hindari penggunaan antibiotik erythromycin dan clarithomycin pada pasien yang
mengkonusmsi obat calcium channel blockers sebagai antihipertensi karena
kombinasinya dapat menyebabkan hipotensi. Hindari pula penggunaan jangka
panjang antinyeri NSAIDs karena dapat menganggu efektifitas obat-obatan
antihipertensi. Penggunaan obat anastesi lokal juga perlu diperhatikan. Anestesi lokal
dosis rendah dengan 1:100.000 atau 1 :200.00 ephinephrine (1 atau 2 karpul),
memiliki lebih sedikit risiko klinis apabila digunakan pada pasien dengan hipertensi
terkontrol. Pada pasien hipertensi tidak terkontrol penggunaan epinephrine untuk
anestesi lokal harus didiskusikan terlebih dahulu kepada dokter umum atau dokter
spesialis (Little, 2013).
Xerostomia sering diobati dengan obat parasympathomimetic seperti
pilocarpine atau cevimeline. Meminum banyak air putih, mengurangi konsumsi kopi,
dan menghindari pemakaian obat kumur yang mengandung alkohol juga di
rekomendasikan untuk mengobati atau menghindari xerostomia. Penggantian obat
antihipertensi pada pasien, dapat mengobati atau menghilangkan pembesaran gingiva
dan reaksi likenoid. Namun sebelumnya harus didiskusikan terlebih dahulu dengan
dokter yang merawat (Popescu, 2015).

2. Penyakit Jantung Iskemik

 Definisi
Penyakit jantung iskemik sering juga disebut sebagai penyakit jantung koroner
merupakan penyempitan lumen pada satu atau lebih pembuluh darah arteri koroner
yang mengganggu aliran darah ke otot jantung, sehingga menimbulkan nyeri dada
(angina pectoris) dan kematian otot jantung (myocardial infarction) (Little , 2013).

 Gambaran Klinis

Angina pectoris digambarkan sebagai sensasi nyeri, berat, menekan dan sesak
pada dada bagian tengah. Area yang tidak nyaman biasanya menjalar dari lengan
kanan atau kiri ke leher dan rahang . Nyeri berlangsung singkat, sekitar 5 sampai 15
menit apabila rangsangan dihentikan. Pada angina yang stabil rasa nyeri selalu
konsisten dan dipicu oleh aktivitas fisik seperti berjalan atau menaiki tangga tapi
dapat pula muncul akibat stres. Nyeri dapat menghilang apabila aktivitas fisik
dihentikan dan pemberian nitrogliserin. Angina yang tidak stabil (unstable angina)
didefiniskan sebagai rasa yang nyeri yang tidak memiliki pola, intesitas dan frekuensi
nyeri meningkat setiap kali kejadian berulang dan dapat muncul tanpa adanya
aktivitas fisik ataupun saat beristirahat. Nyeri tidak dapat menghilang dengan
pemberian nitrogliserin. Pasien dengan angina yang stabil memiliki prognosis yang
baik, sedangkan pasien dengan angina yang tidak stabil memiliki prognosis yang lebih
buruk dan lebih sering berkembang menjadi serangan jantung akut dalam waktu yang
singkat. Pasien dengan serangan jantung akut (acute myocardial infarction) memiliki
gejala berupa nyeri dada hebat yang berlangsung lebih dari 15 menit dan memiliki
pola dan lokasi yang sama dengan angina pectoris yang stabil. Pasien dengan
serangan jantung akut harus segera dirawat di rumah sakit dan harus mendapatkan
penanganan gawat darurat segera. Nyeri pada serangan jantung disebabkan
ketidakseimbangan antara pasokan oksigen dan kebutuhan oksigen pada otot.
Aterosklerosis yang menyebabkan penyempitan arteri koroner merupakan penyebab
penting terjadinya ketidakseimbangan ini (Little, 2013). Lesi oral pada pasien
penyakit jantung iskemik terjadi akibat penggunaan obat-obatan dalam terapi pasien.
Contohnya seperti golongan beta bloker, akan menyebabkan terjadinya reasi likenoid
dan xerostomia. Nifedipin yang merupakan golongan kalsium antagois sering
menyebabkan hiperplasia gingiva, kelainan ini akan timbul setalah 1-3 bulan
pemakaian (Yumanta, 2008).

 Etiologi
Penyebab utama dari penyakit jantung iskemik (angina pectoris dan
myocardial infarction) adalah terjadinya arterosklerosis. Arteroskeloris adalah
penebalan dinding arteri yang disebabkan oleh akumulasi plak. Kondisi ini
menyebabkan penyempitan lumen arteri sehingga berkurangnya aliran darah dan
suplai oksigen. Penyebab aterosklerosis jantung masih belum diketahui secara pasti,
namun beberapa peneliti berpendapat bahwa penyakit ini disebabkan oleh berbagai
macam faktor risiko, seperti jenis kelamin, usia, riwayat keluarga, hiperlipidemia,
hipertensi, merokok, kurang olahraga, obesitas, resistensi insulin, diabetes melitus,
stres dan depresi (Little, 2013).

 Tatalaksana Dental
Sebelum melakukan perawatan, dokter gigi perlu mengetahui terlebih dahulu
tipe penyakit jantung yang diderita pasien melalui anamnesa yang baik terkait adanya
gangguan jantung dan nyeri dada dan obat-obatan penyakit jantung yang dikonsumsi.
Jawaban pasien memungkinkan dokter gigi untuk menggambarkan dan menilai
tingkat keparahan penyakit. Pasien yang mengalami angina dan serangan jantung
kurang dari 30 hari merupakan kondisi yang tidak stabil untuk melakukan perawatan
gigi. Jika pasien mengakatakan jarang mengalami gejala angina dan jarang
memerlukan nitrogliserin, maka pasien dapat digolongkan sebagai angina stabil.
Keparahan penyakit pasien juga dapat diketahui melalui konsumsi obat. Misalnya
semakin banyak obat yang dikonsumsi, penyakit semakin parah. Apabila dokter gigi
ragu dalam menentukan jenis penyakit jantung siskemik pasien, dapat didiskusikan
dengan dokter yang merawat (Little, 2013).
Pasien dengan angina yang stabil secara umum dapat menerima semua
perawatan dental karena memiliki risiko yang rendah untuk terjadinya komplikasi
selama perawatan. Tetapi tindakan pencegahan terhadap penyakit perlu dilakukan
untuk mengindari terjadinya serangan angina selama perawatan dental. Sebagai
tindakan pencegahan, pasien diminta membawa nitroglliserinnya sendiri ketika
perawatan dental dan diletakan pada tempat yang mudah terjangkau. Appointment
sebaiknya dijadwalkan pada pagi hari dengan waktu yang singkat, kursi gigi diatur
semisupin dan lakukan mengecekan ulang tanda vital. Penanganan stres dan rasa
cemas, dapat dilakukan dengan pemberian sedasi kepada pasien seperti diazepam 2-5
mg pada malam hari sebelum perawatan dan satu jam sebelum perawatan. Untuk
anestesi lokal, dapat diberikan dengan vasokonstriktor dengan dosis maksimum
ephineprine sebanyak 0,036 mg ( 2 cartriges mengandung 1:100.000 epinephrine)
serta hindari pula penggunaan retraction cord yang mengandung epinephrine. Hindari
menggunakan antinyeri yang mengandung NSAID. Persiapkan oxigen untuk kondisi
emergency (Little, 2013).
Pada pasien dengan gejala angina tidak stabil atau memiliki riwayat serangan
jantung selama 30 hari terakhir, perawatan dental sebaiknya ditunda terlebih dahulu.
Namun apabila sangat diperlukan, pasien harus dikonsulkan kepada dokter spesialis
yang merawat, dan perawatan gigi harus dilakukan di rumah sakit gigi. Utamakan
tindakan untuk menghilangkan nyeri, kontrol infeksi dan perdarahan (Little, 2013).

c. Kelainan Gastrointestinal

1. Gastrophageal reflux disease (GERD)

 Definisi
Gastrophageal reflux disease (GERD) merupakan salah satu penyakit yang
paling sering terjadi pada saluran pencernaan bagian atas. GERD merupakan penyakit
yang umum dijumpai pada usia dewasa, baik perempuan maupun laki-laki. Prevalensi
GERD di Amerika Serikat yaitu sebanyak 40% (Burket, 2015).
 Gambaran Klinis
Gejala klinis GERD berupa dada terasa terbakar, regurgitasi (kenaikan
material dari faring atau esofagus), kesulitan menelan, nyeri pada retrostenal (Burket,
2015). Xerostomia dapat muncul pada pasien GERD oleh karena efek samping obat-
obatan untuk perawatan GERD. Obat-obatan proton pump inhibitors merupakan
obat utama yang digunakan untuk terapi GERD, dan dapat menyebabkan xerostomia.
Selain itu juga, mukositis juga dapat terjadi pada penderita GERD, oleh karena
mukosa berkontak pada material asam. Pada umumnya terjadi eritema pada palatum
dan uvula, disertai keluhan sensasi terbakar. Selain itu manifestasi lain dapat muncul
berupa korosi gigi, halitosis, gingivitis, periodontitis dan gigi sensitif (Vassallo,
2017).
Gambar. Korosi gigi pada pasien GERD (Ranjitkar dkk, 2011).

 Etiologi
GERD disebabkan oleh naiknya kandungan gas dan asam dari lambung ke
atas esofagus. Adapun beberapa kondisi yang dapat meningkatkan risiko terjadinya
GERD yaitu obesitas, beberapa makanan seperti coklat, daun mint, makanan yang
digoreng dan berlemak, kopi, minuman yang mengandung alkohol, hernia hiatal,
kehamilan, merokok, asma, diabetes, dan skeloderma (Vassallo, 2017).

 Tatalaksana Dental
Pasien dengan GERD biasanya mengeluhkan mulut terasa asam atau pahit ,
gigi sensitif terhadap rangsangan panas atau dingin, gigi korosi, dan terdapat pulpitis.
Gigi yang sensitif terhadap sangsangan termal disebabkan oleh korosi pada
permukaan gigi, yang diakibatkan oleh gas dan atau material asam yang naik dari
perut saat regurgitasi. Obat kumur dengan berbahan dasar baking soda dapat
meredakan rasa asam atau pahit di mulut. Aplikasi fluoride topikal dianjurkan pada
gigi yang sensitif terhadap termal. Pada gigi yang mengalami korosi, dapat dilakukan
restorasi gigi serta lesi oral yang lain dapat dihilangkan dengan terapi medis GERD
(Vassallo, 2017).

2. Penyakit Crohn’s (Crohn’s disease)

 Definisi
Penyakit Crohn’s merupakan inflamasi yang terjadi pada usus bessar maupun
usus kecil. Inflamasi meliputi lapisan-lapisal pada saluran usus. Penyakit Crohn’s
dapat terjadi pada segala jenjang usia baik pada laki-laki mapun perempuan, namun
Penyakit Crohn’s sebagian besar terjadi pada wanita umur 20-39 tahun (Burket,
2015).

 Gambaran Klinis
Gejala klinis penyakit ini berupa nyeri pada perut, demam, muntah, perut
terasa kram, diare, merasa lemas, kehilangan berat badan dan terjadi pertumbuhan
yang terhambat pada anak-anak. Granuloma muncul pada 50% pasien (Vassallo,
2017).
Pada pasien memiliki penyakit Crohn’s, timbulnya lesi pada rongga mulut
berkisar 0,5-20%. Sebagian basar lesi oral muncul pada pasien dengan penyakit
pencernaan yang aktif. Reccurent aphthous ulcers merupakan lesi oral yang paling
sering dijumpai pada pasien dengan penyakit Crohn’s. Lesi oral yang muncul pada
penderita penyakit Crohn’s diklasifikasikan berdasarkan perubahan granuloma
berdasarkan histopatologinya, yaitu spesifik dan non spesifik (Vassalo, 2017).
Adapun lesi oral spesifk yang muncul pada pasien penyakit Crohn’s meliputi
lesi indurated tag-like, permukaan Cobblestone, pembengkakan pada bibir dengan
vertikal fissure serta mukogingivitis. Lesi indurated tag-like digambarkan sebagai
lipatan putih yang digambarkan sebagai lipatan mukosa, lipatan epitel. Biasanya
ditemukan pada vestibulum labial dan regio retromolar. Permukaan Cobblestone
digambarkan sebagai mukosa bukal yang bengkak dan berfissure dengan kerutan dan
penampilan hiperplastik pada mukosa. Mukosa ini padat dan ditemukan pada mukosa
bukal dan palatum. Lesi ini dapat terasa sakit dan menyebabkan kesulitan saat makan.
Perawatan lesi ini berupa kostikosteroid topikal dan sistemik. Adapun lesi Oral yang
non spesifk yang muncul pada pasien penyakit Crohn’s meliputi apthous ulcers atau
aphtous stomatitis, angular cheilitis, candidiasis, glossistis, linchen planus,
limfadenopati submandibular yang persisten, dan halitosis (Vassalo, 2017).
Gambar. Cobblestone (Vassalo, 2017).

Gambar. Apthous Ulcers (Vassalo, 2017).

 Etiologi
Etiologi penyakit ini dikaitkan dengan reaksi autoimun. Bakteri pada saluran
pencernaan memicu terjadinya reaksi autoimun, kemudian berkembang menjadi
penyakit Crohn’s yang menyebabkan inflamasi kronis dan ulserasi mukosa. Beberapa
faktor lain yang menjadi penyebab penyakit Crohn’s adalah genetik (saudara kandung
atau orang tua memiliki Penyakit Crohn’s), stres, diet (tinggi lemak) dan merokok
(Vassallo, 2017).

 Tatalaksana Dental
Kunjungan ke dokter gigi secara rutin sangat penting dilakukan untuk
memonitor kesehatan mulut dan mencegah kerusakan pada jaringan keras dan lunak
rongga mulut. Lakukan screening, diagnosis, dan terapi pada inflamasi atau
granuloma oral. Hindari penggunaan NSAID, direkomendasikan menggunakan
paracetamol (Franch dkk, 2010). Gunakan obat kumur atau eskpektorat dengan bahan
dasar sodium bikarbonat ( setengah sendok makan baking soda dilarutkan pda 8 ons
air hangat). Terapi steroid topikal dengan fluocinade 0,05%, desoximetasone dan
triamcinolone dapat diaplikasikan secara topikal pada lesi 4 kali sehari. Apabila lesi
tersebar dan mencapai area orofaring maka dapat menggunakan dexamethasone elixir
0,5 mg/ 5 mL untuk obat kumur. Pasien juga perlu diedukasi untuk menghindari
penggunaan topikal steroid lebih dari 2 minggu karena dapat menyebabkan atropi
mukosa dan candidiasis serta meningkatkan risiko penyerapan sistemik) (Burket,
2015) (Vassallo, 2017).

3. Penyakit Hati

 Definisi
Hati adalah salah satu kelenjar pencernaan yang sangat penting dalam sintesis
protein, fungsi katabolik dan aktivitasi detoksifikasi dalam tubuh. Hati merupakan
organ penting dalam eksresi pigmen heme dan berperan dalam respon imunitas.
Selain itu hati juga berperan dalam metabolisme makanan, contohnya memproses
glokoneogenesis (Vassalo, 2017). Adapun fungsi hati dapat disajikan pada tabel
berikut :

Tabel. Fungsi Hati

Fungsi hati
1. Metabolisme atau detoksifikasi

 Metabolisme produk dari pencernaan


 Regulasi glukosa
 Tempat penyimpanan vitamin yang larut dalam lemak (A,D, E dan K)
 Metabolisme obat-obatan
Beberapa obat-obatan yang digunakan dalam kedokteran gigi (anestesi
lokal, antinyeri, obat sedasi, antibiotik dan antijamur) serta etanol
 Pemecahan bilirubin

2. Sintesis dan sekresi

 Komponen dari faktor pembekuan darah


 Sintesis kolesterol dan triglliserida
 Produksi asam empedu
 Protein lainnya dan hormon
3. Penyimpanan dan filtrasi darah

 Berperan sebagai tempat penyimpanan darah


 Mengandung sel –sel fagosit
 Bagian dari sistem retikuloendotelial

 Gambaran Klinis
Secara umum, gejala penyakit hati ditandai dengan jaundice (kulit dan mata
menjadi berwarna kuning oleh karena kelebihan bilirubin dalam darah), hipertensi
portal (terjadi akibat peningkatan tahanan terhadap sirkulasi aliran darah pada hati),
asites (merupakan akumulasi cairan yang berlebihan pada perut oleh karena tekanan
yang tinggi dalam saluran darah pada hati dan tingkat albumin yang rendah),
enselofati hepatik (merupakan sindrom neuropsikiatri dengan beragam manifestasi,
mencakup perubahan perilaku, gangguan intelektual, serta penurunan kesadaran tanpa
adanya kelainan di otak yang mendasarinya), splenomegali (pembesaran limfa),
abnormalias darah (leukopenia dan trombositopenia serta gangguan pembekuan
darah), urin yang berwarna gelap dan nyeri abdominal (biasanya disebabkan karena
pembesaran ukuran hati) (Vassalo, 2017).
Adapun lesi oral yang dapat terjadi pada seseorang dengan penyakit hati
adalah oral candidiasis atau angular cheilitis (disebabkan karena terapi imunitas
setelah transplantasi hati untuk mencegah penolakan organ), atrhopic glossitis
(disebabkan oleh karena anemia dari malabsorbsi vitamin B12 dan zat besi), petechiae
disebabkan karena trombositopenia, dan lichen planus (berhubungan dengan infeksi
hepatitis C) (Vassalo, 2017).

Gambar. Linchen planus pada pasien hepatitis C (Vassalo, 2017).


 Etiologi
Beberapa penyakit hati yang umum ditemui adalah viral hepatitis, alcholic
liver disease, nonalcoholic fatty liver disease, (NAFLD), sirosis hati, hepatocellular
carsinoma (Vassalo, 2017).
Hampir semua kasus hepatitis virus akut disebabkan oleh salah satu dari lima
jenis virus yaitu: virus hepatitis A (HAV), virus hepatitis B (HBV), virus hepatitis C
(HCV), virus hepatitis D (HDV) dan virus hepatitis E (HEV). Jenis virus lain yang
ditularkan pascatransfusi seperti virus hepatitis G dan virus TT telah dapat
diidentifikasi akan tetapi tidak menyebabkan hepatitis. Semua jenis hepatitis virus
yang menyerang manusia merupakan virus RNA kecuali virus hepatitis B, yang
merupakan virus DNA (Vassalo, 2017).
Hepatitis A dan E menyebar melalui rute fecal-oral yang berkaitan dengan
kondisi sanitasi yang buruk, salah satu contohnya adalah konsumsi makanan yang
terkontaminasi. Hepatitis B, hepatitis C, dan hepatitis D merupakan serum hepatitis
yakni ditularkan dari orang ke orang melalui darah (penerima produk darah, pasien
hemodialisa atau terpapar darah) atau bisa juga melalui paparan saat hubungan
sesksual. Hepatitis ini dapat berkembang menjadi infeksi kronis, sirosis dan
hepatocellular carcinoma. Hepatitis B dan C berisiko untuk tersebar pada bidang
kedokteran gigi, namun hepatitis B jauh lebih berisiko dan prevalensi penyebarannya
di bidang kedokteran gigi lebih tinggi dari hepatitis C. Hal ini disebabkan virus
hepatitis B cenderung resisten terhadap disinfektan dibandingkan virus hepatitis C
yang sangat rentan terhadap disinfektan. Sedangkan hepatitis D hanya bisa muncul
apabila terdapat infeksi virus hepatitis B sebelumnya (adanya HbsAg). Saliva juga
dapat mengandung antigen hepatitis B, C dan D, sehingga virus juga dapat ditularkan
melalui saliva. Saliva yang tercampur dengan darah ketika terciprat selama prosedur
dental, dapat mengenai mata dan sangat membahayakan dokter gigi. Staff dental yang
merupakan karier atau terkana hepatitis dalam masa inkubasi, dapat pula menularkan
ke pasien. (Cawson, 2017)
Alcoholic liver disease ( penyakit hati alkoholik) adalah kondisi penyakit hati
yang dapat ditemui pada peminum alkohol berat. (Burket, 2015). Sedangkan NAFLD
adalah sekelompok penyakit yang ditandai dengan adanya lemak hati dan merupakan
penyebab utama dari sirosis kriptogenik (sirosis yang tidak diketahui asalnya).
NAFLD berkaitan kuat dengan obesitas dan sindrom metabolik lainnya dan
diperkirakan lebih dari 70% orang dengan obesitas memiliki NAFLD. (Vassallo,
2017)
Istilah sirosis hati dicetuskan oleh Laennec tahun 1819 yang berasal dari kata
Khirros yang berarti warna kuning orange. Sirosis hati adalah suatu penyakit dimana
sirkulasi mikro, anatomi pembuluh darah besar dan seluruh system arsitektur hati
mengalami perubahan menjadi tidak teratur dan terjadi jaringan ikat (fibrosis)
disekitar parenkim hati yang mengalami regenerasi (Burket, 2015)
Kanker pada hati yang banyak terjadi yaitu hepatocellular carcinoma (HCC)
yang merupakan komplikasi dari hepatis kronis yang serius terutama karena virus
hepatitis B, C dan hemochromatosis (Depkes RI,2007).

 Tatalaksana Dental
Salah satu hal yang paling penting untuk diperhatikan sebagai penyedia
layanan kesehatan adalah keselamatan dan kemanan diri. Dokter gigi harus selalu
mengikuti standar pencegahan penularan penyakit seperti penggunaan gown, masker,
google, dan gloves. Banyak kasus hepatitis B dan C asimtomatik dan tidak terdeteksi,
sehingga dokter gigi harus selalu waspada. Vaksinasi untuk virus hepatitis B harus
dilakukan pada setaf dental untuk mencegah terinfeksi virus hepatitis B. Sebelum
prosedur bedah, pasien dengan penyakit hati harus dievaluasi secara hati-hati
menyangkut kemampuan dalam hemostasis, termasuk tes jumlah trombosit dan INR
(index Normalized Ratio). Trombosit harus diatas 50,000 dan INR dibawah 2.0
sampai 3,5. Prosedur dental lainnya selain pembedahan dapat dilakukan walaupun
INR dibawah 4,0 dan jumlah trombosit lebih rendah. Agen hemostatik sepeti matriks
kolagen atau absorbable gelatin sponge harus digunakan setelah prosedur ekstraksi
untuk memperoleh hemostatik.
Perlu diperhatikan pula saat meresepkan obat-obatan yang dimetabolisme di
hati untuk pasien dengan penyakit liver yang parah, karena salah satu fungsi hati
adalah metabolisme obat-obatan. Batas maksimum penggunaan anestesi lokal
lidocaine dan mepivacaine, yaitu 300mg, prilocaine sampai 400mg, sedangkan
articaine aman digunakan karena dimetabolisme di plasma. Penggunaan antinyeri
NSAID harus sangat dipertimbangkan karena dapat meingkatkan risiko perdarahan
pada saluran pencernaan, selain itu acetominophen harus digunakan dengan batas
maksimal kurang dari 3,2 gram per hari, penggunaan obat sedative benzodiapine
harus dikurangi dosisnya dan penggunaan antibiotik metronidazole harus dihindari
karena dapat berinteraksi dengan alkohol serta pada saat kemungkinan pasien sering
mengonsumsi alkohol, metronidazole dimetabolisme di hati, obat-obatan beta lactam
(penicillin, ampicillin, cephalexin, cefazolin, ceftriaxone) aman untuk digunakan dan
clindamycin, aminoglycosides, tetracycline dimetabolisme di hati, sehingga
penggunaannya harus sangat diperhatikan ( Vassallo, 2017)

D. Kelaianan Genitourinaria

1. Penyakit Ginjal Kronis

 Definisi
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah suatu gangguan pada ginjal ditandai
dengan abnormalitas struktur ataupun fungsi ginjal yang berlangsung lebih dari 3
bulan. PGK ditandai dengan satu atau lebih tanda kerusakan ginjal yaitu albuminuria,
abnormalitas sedimen urin, elektrolit, histologi, struktur ginjal, ataupun adanya
riwayat transplantasi ginjal, juga disertai penurunan laju filtrasi glomerulus (Little,
2013). Berdasarkan National Kidney Foundation, penyakit ginjal kronis
diklasifikasikan menjadi 5 tingkatan berdasarkan glomerular filtrartion rate (GFR)
yakni :
o Stage 1 : ditandai dengan GFR mengalami penurunan sangat ringan atau GFR
normal dengan beberapa tingkat kerusakan ginjal. Stadium ini biasanya
asimtomatik, dengan penurunan fungsi ginjal yang ringan (10-20%).
o Stage 2 : ditandai dengan GFR mengalami penurunan ringan.
o Stage 3 : ditandai dengan GFR mengalami penurunan yang sedang dengan
kehilangan fungsi ginjal sebanyak 50% atau lebih.
o Stage 4 : ditandai dengan GFR mengalami penurunan yang parah.
o Stage 5 (end stage renal disease ) : ditandai dengan gagal ginjal, sebanyak
75% nefron kehilangan fungsi. Penjelasan lebih lengkap dapat dilihat pada
tabel dibawah.
Tabel. Klasifikasi penyakit ginjal kronis

 Gambaran Klinis
Pasien dengan penyakit ginjal kronis biasanya sangat jarang menunjukan
gejala sampai penyakit berkembang menjadi stage 3. Pada stage 3 pasien merasa
tidak enak bedan, sakit kepala, lemas, mual, kehilangan nafsu makan dan kehilangan
berat badan. Pasien juga dapat mengalami anemia, kram kaki, insomnia dan nokturia
(buang air kecil pada malam hari). Anemia menyebabkan kulit dan membran mukosa
menjadi pucat, lethargy dan pusing. Pasien dengan gagal ginjal pada umumnya akan
mengalami nyeri pada tulang, anorexia, mual dan muntah. Pasien juga menunjukan
gejala keterlambatan mental atau depresi, selain itu juga terdapat tanda-tanda
neuropati perifer dan hiperaktif pada otot (Little, 2013).
Pasien dengan end stage renal disease sering menunjukan gejala mukosa yang
berwarna pucat oleh karena kondisi anemia. Aliran saliva juga berkurang, sehingga
menimbulkan xerostomia dan infeksi kelenjar parotis. Infeksi candidiasis lebih umum
terjadi apabila berkurangnya aliran saliva. Pasien juga sering mengeluhkan rasa mulut
seperti besi oleh karena komposisi saliva yang berubah, yaitu kandungan urea yang
tinggi saliva . Gingivitis dan penyakit periodontal juga umum ditemui pada pasien
penyakit gagal ginjal stage 3 atau lebih tinggi (Little, 2013). Uremic stomatitis dapat
terlihat pada pasien penyakit ginjal kronis oleh karena andanya kenaikan tingkat urea
dan sisa nitrogen dalam aliran darah. Secara klinis tampak sebagai plak berwarna
putih yang tersebar pada mukosa bukal, dasar mulut dan lidah. Pasien juga
mengeluhkan nyeri, rasa yang tidak enak, sensasi terbakar pada lesi dan dokter gigi
biasanya mendeteksi aroma amonia atau aroma urin pada nafas pasien. Lesi ini juga
menyerupai seperti hairy leukoplakia (Kurravati dkk, 2016). Kecenderungan
terjadinya perdarahan menyebabkan terdapatnya petechiae dan ekimosis pada mukosa
labial, palatum mole, dan margin lidah. Terjadi pula peningkatan frekuensi oral lesi
lainnya seperti linchen planus, hairy tongue, hairy leukoplakia dan granuloma
piogenik pada pasien penyakit ginjal kronis. Tampilan klinis lesi ini juga sama dengan
tampilan lesi yang terjadi pada seseorang dengan fungsi ginjal yang normal . Selain
itu terjadi pula perubahan pada gigi. Enamel hiploplasia sering terjadi pada end stage
renal disease (ESRD). Korosi pada gigi juga sering terlihat oleh karena terkena asam
dari muntahan pasien. Tulang pada rahang juga mengalami perubahan, yang paling
sering terjadi yaitu kehilangan lamina dura, demineralisasi tulang, lesi radiolusen
yang terlokalisir pada tulang (central giant cell granuloma, atau disebut brown tumor
dan pelebaran trabekula (Little, 2013).

Gambar. Candidiasis pada pasien end stage renal disease (Little, 2013)
Gambar. Uremic stomatitis (Kurravati dkk, 2016)

Gambar. Petechiae pada palatal pasien end stage renal disease (Little, 2013).

 Etiologi
Penyakit ginjal kronis disebabkan oleh kondisi yang merusak nefron.
Penyabab utama dari penyakit ginjal kronis adalah diabetes mellitus (37%), hipertensi
(24%), glumeronefrisitis kronis (16%), dan polycystic kidney disease (4.5%). Faktor
lainnya adalah systemic lupus erythematosus, neoplasma, penyakit urologi, dan
acquired immunodeficiency syndrome (AIDS). Faktor herediter dan lingkungan
seperti amyloidosis, penyakit kongenital, hiperlipidemia, immunoglobulin,
nephropathy, paparan terhadap silica juga berperan dalam penyakit ini (Little, 2013).

 Tatalaksana Dental
Pada saat anamnesa pasien perlu ditanyakan apakah pasien memiliki penyakit
ginjal kronis atau tidak. Apabila pasien memiliki penyakit ginjal kronis stage 4 atau
stage 5, perlu dirujuk ke dokter spesialis sebelum melakukan prosedur perawatan gigi,
begitu pula pada pasien yang termasuk mimiliki risiko tinggi penyakit ginjal kronis
(diabetes dan hipetensi) perlu dipastikan apakah pasien memiliki penyakit ginjal
kronis atau tidak. Pada pasien yang memiliki penyakit ginjal kronis stage 1 sampai
stage 3, dapat dilakukan prosedur perawatan gigi sebagaimana mestinya apabila
penyakit terkontrol dengan baik dan telah menerima terapi medis yang sesuai.
Tindakan pemeriksaan tekanan darah harus selalu dilakukan sebelum prosedur
perawatan gigi. Oleh karena pasien penyakit ginjal kronis bepotensi mengalami
perdarahan, pasien perlu melakukan pemeriksaan terkait gangguan perdarahan,
jumlah trombosit apabila pasien direncanakan menerima perawatan invasif. Level
hematokrit dan hemoglobin juga harus dievaluasi untuk mengetahui status anemia.
Apabila ada nilai yang abnormal, segara rujuk ke dokter yang merawat. Apabila
prosedur infasif diperlukan pada pasien penyakit ginjal kronis diatas stage 3, dokter
gigi harus merujuk ke dokter yang merawat terlebih dahulu, untuk
mempertimbangkan keperluan antibiotik pada pasien.
Obat antikoagulan yang digunakan oleh pasien juga harus dievaluasi dengan
seksama, apakah pasien menggunakan antikoagulan golongan coumarin (warfarin)
atau heparin natrium. Karena Efek antikoagulan heparin yang digunakan selama
hemodialisis tidak akan menghasilkan efek sisa, umumnya hanya 3-4 jam terakhir
pasca pemberian. Perawatan gigi akan lebih aman jika dilakukan 1 hari setelah
hemodialisis, tidak ada risiko perdarahan yang berkepanjangan, kondisi metabolik
asam-basa dan kadar elektrolit yang abnormal telah diatasi (Vitria, 2011).
Pada pasien gagal ginjal kronis yang progresif mungkin disamping
memerlukan tindakan hemodialisis juga memerlukan tindakan transplantasi ginjal.
Perawatan gigi pada pasien ini sebaiknya dilakukan sebelum transplantasi, karena
komplikasi utama pada pasien transplantasi ginjal adalah infeksi akibat pemakaian
obat-obat imunosupresan seperti kortikosteroid. Oleh karena itu, penting bagi pasien
yang membutuhkan transplantasi ginjal, dilakukan evaluasi lebih dahulu oleh seorang
dokter gigi yang berpengalaman sebelum pembedahan, untuk menentukan kondisi
kesehatan gigi dan mulut, sehingga tidak menjadi fokal infeksi setelah transplantasi.
Gigi-gigi dengan kerusakan yang telah mencapai bifurkasi, abses periodontal, gigi
dengan karies yang luas dan dalam, kalkulus baik supra maupun sub gingiva serta
adanya gigi impaksi yang membutuhkan prosedur pembedahan merupakan indikasi
untuk dilakukan ekstraksi atau odontektomi. Penting pula dilakukan pemeriksaan
foto panoramik untuk melihat dan mengevaluasi kerusakan gigi dan tulang alveolar
yang terjadi (Vitria, 2011).

Penyesuaian jumlah dosis obat juga perlu diperhatikan, tergantung fungsi


ginjal. Konsumsi dosis kortikosteroid dalam jumlah besar (10 mg prednisolon atau
lebih), yang juga sering diresepkan untuk terapi ESRD, dapat menyebabkan
insufisiensi adrenal. Hal penting yang harus diperhatikan pada pasien ESRD adalah
adanya efek toksik pada ginjal dan efek samping lainnya berkaitan dengan terapi obat-
obatan di bidang kedokteran gigi. Apabila pasien memiliki GFR<60, perlu dilakukan
penyesuaian dosis obat yang dimetabolisme oleh ginjal. Hindari obat-obatan yang
dimetabolisme oleh ginjal serta memberikan efek toksik pada ginjal (walaupun
dimetabolisme di hati) seperti aminoglycoside, tetracylcline, acetominophen,
acyclovir, aspirin dan NSAID lainnya. Acetaminophen merupakan obat yang
memberikan efek toksik pada ginjal, walaupun dimetabolisme di hati, karena dapat
menyebabkan tubulus ginjal nekrosis. Penjelasan lebih lengkap mengenai modifikasi
obat dapat dilihat pada gambar berikut.
2. Penyakit Menular Seksual

 Definisi
Menurut National Institute of Allergy and Infectious Diseases, Penyakit/Infeksi
Menular Seksual (PMS atau IMS) adalah penyakit infeksi yang ditransmisikan dari orang
yang terinfeksi ke orang yang belum terinfeksi melalui kontak seksual. Penyebab dari
PMS dapat berupa bakteri, virus, dan parasit (Liana, 2018). Penyakit menular seksual
memiliki dampak yang penting dalam praktik kedokteran gigi oleh karena PMS dapat
ditularkan melalui kontak intim sehingga dapat menimbulkan manifestasi oral. Beberapa
PMS bahkan bisa ditularkan dengan kontak langsung melalui lesi, darah, saliva dan oleh
karena banyak pasien PMS tidak menimbulkan gejala maka sebagai dokter gigi harus
selalu waspada dan menjalankan prosedur standar keselamatan diri. Selain itu patogenesis
PMS dapat menyebabkan pasien resisten antibiotik, sehingga perlu diketahui penanganan
atau terapi yang tepat. Beberapa jenis PMS tidak dapat disembuhkan namun dapat dicegah
(Little, 2013). Adapun PMS yang akan dibahas pada sub bab ini adalah gonore, sifilis dan
infeksi HPV.
1. Gonore
o Definisi
Gonore adalah salah satu penyakit menular seksual yang sudah
tersebar luas di seluruh dunia. Gonore disebabkan oleh bakteri Neisseria
gonorrhoeae. Pasien yang terinfeksi N. Gonorrhoeae juga dapat terinfeksi
oleh Chlamydia trachomatis. Gonore sebagaian besar ditularkan saat kontak
seksual, baik itu genital- genital, oral-genital atau anus – genital. Tempat
utama infeksi adalah organ genitalia, saluran anal dan faring.Gonore dapat
muncul pada segala tingkatan usia, dan paling sering terjadi pada remaja atau
dewasa muda yang aktif secara seksual. Pada laki-laki gejala biasanya muncul
setelah masa inkubasi 2-5 hari (Little, 2013).
o Gambaran Klinis
Gejala klinis utama dari gonore adalah terdapatnya uretral
mukopurulen (putih, kunih atau hijau), sensasi terbakar saat buang air kecil.
Kemerahan dan bengkak pada meatus juga dapat muncul. Pada perempuan
sebagian besar kasus merupakan asimtomatik. Infeksi simtomatik memiliki
gejala nyeri saat buang air kecil dan sensasi terbakar saat buang air kecil.
Nyeri abdominal juga dapat muncul (Little, 2013)
Lesi oral pada pasien gonore biasanya jarang terjadi, tidak spesifik dan
bervariasi, ulserasi berada pada kondisi akut sampai parah dilapisi
psudomembran atau eritema yang berbatas tidak jelas. Lesi oral dari gonore
menyerupai lesi erythema multiforme, bula atau erosive lichen planus atau
herpetic gingivostomatitis dan nekrosis pada interdental, lingual edema,
jaraingan edema yang rentan mengalami perdarahan, vesikula, dan
psudomembran yang dapat dikerok dan dan berdarah saat dikerok. Lesi
biasanya berkembang sejak 1 minggu kontak dari penderita gonore. Apabila
terdapat keterlibatan orofaring, maka pasien mengeluhkan tenggorokan terasa
sakit, mukosa kemerahan dan muncul pustul yang kecil serta sensasi terbakar.
Gejala lainnya berupa peningkatan aliran saliva, demam, limfadenopati
submandibular. Apabila terdapat keterlibatan tonsil, maka tonsil akan
mengalami pembasaran dan pembengkakan, dengan atau tanpa eksudat
berwarna kuning. Pasien kemungkinan asimtomatik atau dengan gejala fungsi
oral yang terbatas (makan, minum dan berbicara) tergantung dari darajat
pembengkakan. Diagnosis dari lesi oral harus disertai dengan pewarnaan
gram. Tahap awal perawatan adalah memastikan pasien sudah dalam
pengobatan dokter dan menerima terapi antibiotik yang tepat (Little, 2013).

Gambar. Eritema pada orofaring (Little, 2017)

o Etiologi
Gonore disebabkan oleh bakteri N. Gonorrhoeae, yaitu bakteri gram
negatif intracellular diplococcus. Bakteri ini merupakan bakteri aerobik dan
bisa mereplikasi dengan mudah pada area lembab dan hangat dan memerlukan
temperatur spesifik dan pH yang optimal untuk tumbuh. Bakteri ini dengan
mudah berkembang menjadi resisten terhadap antibiotik (penicillin,
tetracycline dan quinolones) (Little, 2013).

2. Sifilis
o Definisi
Sifilis adalah penyakit seksual yang menular seksual yang disebabkan
oleh spirochete bakteri Treponema pallidum (Regezi dkk, 2012). Terdapat
peningkatan prevalensi kasus sifilis baik pada negara maju maupun
berkembang. Sebagian besar kasus sifilis berkaitan dengan HIV dan seks
bebas. Penyakit sifilis dilaporkan memiliki jumlah yang signifikan pada laki-
laki homoseksual dan memiliki risiko transmisi yang tinggi pada aktivitas
seksual yang tidak terprokteksi (Greenberg dkk, 2008). Manifestasi sistemik
berhubungan dengan fase dari penyakit sifilis
o Gambaran Klinis
Manifestasi dari sifilis diklasifikasikan berdasarkan stadium dari penyakit,
setiap stadium memiliki tanda dan gejala yang spesifik.
o Sifilis primer
Treponema pallidum dapat masuk ke tubuh melalui berbagai kerusakan
pada kulit atau melalui tetesan mikrospkopik pada permukaan mukosa
saluran kelamin. Setelah terpapar sifilis, terdapat waktu inkubasi dalam
rentang 10 sampai 90 hari (rerata 21 hari). Kemudian, akan timbul
chancre atau ulser (lesi primer) pada tempat masuknya spirochetes. Pasien
sudah dapat menularkan penyakitnya bahkan sebelum munculnya lesi.
Lesi yang muncul berupa papula kecil yang kemudian akan membesar dan
membentuk permukaan erosi atau ulserasi, biasanya diselubungi lapisan
berwarna kuning. Lesi ini biasanya tidak sakit. Bersamaan dengan
pembesaran lesi, akan terjadi limfadenopati. Organ genital, mulut (bibir
dan lidah), jari, puting susu dan anus merupakan tempat utama dari
chancres. Chancres rongga mulut pada sifilis dan mucous patches
biasanya tidak sakit, kecuali lesi ini merupakan lesi sekunder. Kedua lesi
ini sangat infeksius. Chancre bermula sebagai papula bulat yang erosi
menjadi ulser dengan permukaan yang rata dan berwarna keabuan.
Ukurannya dapat bervaiasi, dari 2 smpai 3 mm. Terdapat pula
limfadenopati yang muncul unilateral. Mocous patch oral dikarakteristikan
terdapat sedikit peninggian pada permukaannya, papula yang asimtomatik
dengan permukaan ulserasi atau mengkilap. Area yang terkena meliputi
bibir, mukosa labial atau bukal. Baik chancre atau mucous patch akan
sembuh sendiri tanpa atau dengan pengobatan antibiotik. Gumma juga
dapat muncul dengan gejala tidak nyeri, tidak infeksius. Selain itu
interstitial glossitis juga dapat muncul akibat kelainan otot lidah,
merupakan pertanda adanya lesi premalignant.Apabila chancre tersebut
tidak mendapatkan perawatan, maka akan mereda dalam waktu 3 sampai
6 minggu dan kemudian berkembangan menjadi stadium sekunder(Little,
2013).

o Secondary Syphilis.
Pada stadium sekunder, manifestasi sifilis sudah menyebar secara
sistemik. Manifetasi muncul 6-8 minggu setelah eksposur awal. Chancre
yang timbul kemungkinan belum sembuh secara sempurna saat memasuki
stadium sekunder. Gejala dari sifilis sekunder adalah demam, tudak enak
badan, limfadenopati general dan kerontokan rambut. Manifestasi oral
pada sifilis sekunder adalah faringitis, muncul lesi berupa papula, erosi
eritema atau berwarrna keabuan (mucous patch), erosi ireguler dan
pembesaran kelenjar parotis. Lesi yang timbul pada kuit atau mukosa
sangat infeksius. Tanpa perawatan, stadium sekunder dapat berakhir , dan
memasuki stadium laten (Little, 2013).
o Sifilis Laten.
Pada stadium ini, tidak terdapat manifestasi klinis dari penyakit sifilis.
Stadium laten awal berlangsung selama kurang dari 1 tahun dan stadium
laten akhir berlangsung lebih dari 1 tahun. Pada beberapa kasus, pasien
yang tidak dirawat akan mamasuki fase tersier (Regezi, 2012).
o Sifilis tersier.
Sifilis tersier muncul 1/3 dari pasien yang tidak terawat, sebagian besar
bertahun tahun setelah onset penyakit. Stadium ini merupakan stadium
destrukstif yang melibatkan mukokutan, tulang dan organ dalam. Lebih
dari 80% manifestasi sifilis menyerang saluran peradaran darah yaitu
berupa eneurima (pembengkakan) aorta. Selain itu manifetasi Sifilis tersier
adalah pembentukan gumma. Lesi nodular terlokalisir ini dapat mengenai
kulit, membran mukosa, tulang, jaringan saraf dan organ dalam. Gumma
merupakan lesi granuloma yang mengalami peradangan, tidak infeksius
namun destruktif. Lesi oral sifilis tersier meliputi interstitial glossitis dan
gumma. Interstitial glossitis harus dipertimbangkan sebagai kondisi
premalignant. Lidah terlihat berlobul dan berfissure dengan papila yang
atrofi. Selain itu juga dapat timbul leukoplakia. Gumma rongga mulut
sering terlihat pada palatum dan lidah. Tampilan gumma berupa masa
padat dengan nekrosis pada bagian tengah. Gumma dipalatal juga
kemungkinan perforasi ke dalam kavitas nasal dan sinus maksilaris (Little,
2013).
o .Congenital Syphilis.
Sifilis juga dapat terjadi pada bayi yang baru lahir apabila ibu
terinfeksi bakteri selama mengandung. Penyakit ditularkan setelah 16
minggu kehamilan karena selama sebelum masa ini, plasenta akan
mencegah penularan bakteri. Manifetasi klasik dari congenital sifilis pada
rongga mulut adalah Hutchinson’s incisors and mulberry molars (Little,
2013).

Gambar. Papular rash pada pasien sifilis sekunder

Gambar. Lesi pada sifilis sekunder berupa mucous patch pada bibir
Gambar.Hutchinson’s teeth pada kongenital sifilis

Gambar. Chancre tongue pada pasien sifilis

o Etiologi
Sifilis disebabkan oleh bakteri treponema pallidum. Penyakit ini
sebagian besar ditularkan melalui hubungan seksual, termasuk kontak oral–
genital and rectal–genital. Selain itu, penulan penyakit dapa pula melalui
ciuman, transfusi darah atau jarum yang terinfeksi. Penyebaran secara tidak
langsung mungkin saja terjadi namun sangat jarang, karena bakteri ini hanya
hidup dalam jangka waktu pendek diluar tubuh manusia. Treponema pallidum
mudah dimusnahkan oleh panas, pengeringan, disinfektan dan sabun (Little,
2013).
3. Infeksi Human Papilloma Virus
o Definisi
Human papilloma virus (HPV) adalah virus DNA rantai ganda yang
tidak berselubung, menginfeksi dan bereplika dalam sel epitelial. Lebih dari
100 tipe genotip dari HPV yang telah teridentifikasi dan lebih dari 40 tipe
yang diketahui tertular melalui aktivitas seksual dan menginfeksi epitel
genital. Setiap subtipe HPV memiliki tempat infeksi tersendiri. Subtipe HPV
diklasifikasikan sebagai risiko rendah, risiko menengah dan risiko tinggi. HPV
tipe risiko rendah (HPV-6, -11) menghasilkan lesi proliferatif jinak dari strutur
mukokutan. HPV tipe risiko menengah merupakan onkogenik yaitu
menyebabkan sel menjadi onkogen. HPV tipe risiko tinggi berhubungan
dengan displasia dan karsinoma dari uterin dan saluran anal dan tempat
mukosa lainnya. Daftar lesi yang berhubungan dengan infeksi HPV dapat
dilihat pada gambar dibawah (Little, 2013).

o Gambaran Klinis
Manifetasi HPV yang paling umum terjadi adalah kutil pada kelamin
atau kondiloma akuminatum. HPV tipe 6 dan 11 merupakan subtipe yang
paling banyak berhubungan dengan kondiloma akuminatum. Kondilumata
tampak sebagai lesi yang kecil, lembut, bentuknya iregular sehingga
menyerupai kepala bunga kol dan tidak dasarnya melekat pada permukaan
yang terinfeksi, serta peninggian pada tepinya . Warnanya bervariasi, dari
merah muda sampai keabuan. Lesi ini lebih sering multiple dan rekuren serta
dapat bergabung sehingga terbetuk lesi yang besar. Sebagian kondilomata
asimtomatik namun pasien juga dapat mengeluhkan rasa nyeri, gatal atau
keluar darah oleh karena terjadinya trauma. Kondilomata dapat muncul pada
vagina, anus , mulut, faring dan laring seta muncul setelah berminggu-minggu
atau beberapa bulan setelah onset infeksi. Kondilomata akuminata yang
muncul di mulut, biasanya terdapat pada ventral lidah, gingiva, mukosa labila
dan palatum. Penularan terjadi pada saat kontak langsung dengan anal, genital
atau mulut yang terinfeksi. (Little, 2013).

Gambar. Kondilomata akuminata pada bibir

o Etiologi
HPV genital dan ditularkan melalui mukosa, kulit ke kulit atau oleh
kontak secara langsung saat aktivitas seksual atau pada janin yang lahir
melalui saluran yang terinfeksi atau melalui autoinokulasi. Lesi genital
biasanya muncul setelah periode inkubasi yaitu 3 minggu sampai 8 bulan
(Little, 2013).

 Tatalaksana Dental

Pasien yang memiliki riwayat PMS harus diperiksa dengan hati-hati, karena
pasien tersebut berisiko terkana PMS lainnya atau berisko kambuhnya PMS. Perlu
diperhatikan secara khusus apabila terdapatnya lesi oral, serta pasien ditanya
mengenai gejala urogenitalnya. Pasien dengan riwayat sifilis dan gonore ditanyakan
mengenai riwayat terapi antibiotik yang diberikan. Pasien dengan riawayat sifilis
harus menerima STS secara berkala selama 1 tahun untuk memonitor perubahan hasil
dari positif hingga negatif (Little, 2013).
Pasien dengan tanda dan gejala atau lesi oral yang mangacu pada PMS atau
memiliki lesi oral atau faring namun tidak diketahui penyebabbnya, diperlukan
pemerikaan lanjutan. Apabila pasien berusia 15-29 tahun, memiliki risiko tinggi
terkena PMS seperti lajang, tingkat ekonomi rendah dan tinggal di area perkotaan,
maka patut dicurigai pasien memiliki PMS. Pasien yang memiliki lesi yang tidak
diketahui penyebabnya perlu ditanyakan aktivitas seksualnya dan perlu dirujuk ke
layanan kesehatan (Little, 2013).
Pasien gonore tanpa manifestasi oral tidak menyababkan penularan penyakit
selama perawatan gigi. Pasien gonore tanpa manifestasi oral dapat menjalani
perawatan gigi seperti biasa selama terapi antibiotik yang diberikan oleh dokter yang
merawatnya. Namun pasien dengan manifestasi oral dapat menularkan penyakit ke
dokter gigi, seperti contohnya penularan melalui lesi (Little, 2013).
Lesi oral pada sifilis primer dan sekunder sangat infeksius, seperti halnya pada
darah pasien dan saliva. Walaupun pasien sudah dalam pengobatan sifilis, masih tetap
dapat menularkan pada orang lain, kecuali tes serologi menyatakan hasil negatif. Pada
pasien yang memiliki lesi oral dari sifilis, sebaiknya lesi tersebut dirawat terlebih
dahulu, sebelum melakukan perawatan dental lainnya. Pada pasien yang tidak
memiliki lesi oral, perawatan gigi dapat dilakukan sebagaimana mestinya dengan
menerapkan standar kemanan dan kontrol infeksi (Little, 2013)..
Walaupun dengan adanya kondilomata akuminata genital tidak memengaruhi
manajemen dental, namun apabila terdapat lesi oral dokter gigi harus tetap
menerapkan standar keselamatan dan kontrol infeksi selama prosedur perawatan gigi,
karena lesi oral tersebut sangat infeksius. Apabila pasien memiliki lesi oral, dokter
gigi harus merujuk ke dokter spesialis untuk pemeriksaan pada bagian genitalnya.
Biopsi eksisi atau pemberian antivirus disarankan utuk pengobatan lesi oral HPV
(Little, 2013).

E. Kelainan Hematologi

1. Kelainan Sel Darah Merah

 Definisi
Kelaninan sel darah merah merupakan bagian besar dari anemia. Hal ini
penting untuk diketahui dokter gigi karena dokter gigi berperan mendeteksi anemia
melalui anamnesa, pemeriksaan klinis dan pemeriksan laboratorium. Identifikasi
adanya penyakit anemia secara signifikan berpengaruh kepada risiko morbiditas dan
mortalitas, karena anemia pada umumnya muncul sebagai kondisi yang mendasari
suatu penyakit sehingga perlu diperhatikan dan mendapatkan perawatan medis.
Anemia didefinisikan sebagai berkurangnya kepasitas darah untuk mengangkut
oksigen, biasanya berkaitan dengan berkurangnya jumlah sel darah merah atau
abnormalitas Hb yang terkandung dalam sel darah merah. Anemia bukanlah suatu
penyakit namun merupakan gejala yang kompleks yang disebabkan beberapa kasus
seperti penurunan produksi sel darah merah (defisiensi zat besi, pernicious anemia,
dan defisiensi asam folate), kehilangan darah dan peningkatan jumlah destruksi sel
darah merah (hypersplenism, autoimmune destruction) (Little, 3013).

 Etiologi
Anemia disebabkan oleh beberapa kasus (tabel). Beberapa diantaranya yaitu
kelainan genetik yang menyebabkan kelainan sel darah merah akibat destruksi
(hemolisis), kelainan nutrisi sehingga membatasi produksi sel darah merah, kelainan
yang dimediasi oleh imun sehingga menyerang sel darah merah, gangguan perdarahan
sehingga menyebabkan kehilangan sel darah merah, penyakit kronis (rheumatoid
arthritis), infeksi dan penyakit dari sumsum tulang belakang. Gambar dibawah
menunjukan penyebab anemia yang paling umum ditemukan pada praktik medis
(Little, 2013).
o Anemia Defisiensi Zat Besi
o Definisi
Merupakan kondisi rendahnya zat besi dalam darah yang
mengakibatkan malfungsi dari molekul hemoglobin serta kemampuannya
dalam mengikat membawa oksigen. Penyebab dari Anemia defisiensi zat besi
adalah konsumsi makanan yang tidak bergizi atau meningkatknya kebetuhan
zat besi, contohnya pada saat hamil. Absorsi zat pada saluran pencernaan
berkurang, contohnya saat ada infeksi bakteri Helicobacter pylori, serta
kehilangan darah, contohnya pada saat menstruasi dan adanya perdarahan
pada saluran pencernaan (McCord, 2017).
o Gambaran klinis
Gejala klisnya meliputi nafas pendek, kulit dan mukosa berwarna
pucat, denyut jantung meningkat, alopecia (kerontokan rambut). Pada rongga
mulut meliputi predisposisi mengalami candidiasis dan angular cheilitis,
Aphthous-like ulcers serta atrofi pada mukosa lidah (McCord, 2017).

Gambar. Glossitis atrofi dan angular cheilitis oleh karena defisiensi


besi (McCord, 2017)..
o Anemia pernisiosa (Pernicious anemia)
o Definisi
Terjadinya anemia pernisiosa akibat dari defisiensi vitamin B12
(cobalamin). Ini disebabkan oleh karena adanya defisiensi produksi faktor
intrinsik yaitu substansi yang disekresi oleh sel parietal di dalam perut yang
penting dalam absorbsi vitamin B12. Oleh karena terjadinya defisiensi
vitamin B12, menyebabkan produksi sel darah merah berkurang dan
menyebabkan pembesaran abnormal pada sel darah merah (McCord, 2017).
o Gambaran Klinis
Gejala dari anemia pernisiosa meliputi gejala klasik anemia yaitu nafas
pendek, kulit dan mukosa berwarna pucat, lemas dan denyut jantung
meningkat. Selain itu ditemukan pula gejala perubahan terkait fungsi saraf
yaitu parastesia dan kebas pada ekstrimitas. Hilang ingatan, depresi dan
demensia juga gejala lainnya yang ditemukan. Pada rongga mulut, tampak
lidah mengalami atrofi, serta erythematous candidiasis pada mukosa (McCord,
2017).

Gambar. A. Erythematous candidiasis, B glositis atrofi (McCord,


2017).

o Anemia sickle cell


o Definisi
Anemia ini merupakan turunan dari bentuk anemia hemolitik.
Anemia ini berkaitan dengan mutasi pada gen b-globin yang menyebabkan
rantai hemoglobin S menjadi abnormal. Rantai hemoglobin S rentan
mengalami agregasi dan polimerisasi, sehingga dapat menyebabkan lisis
pada sel darah merah (McCord, 2017)..
o Gambaran Klinis
Gejala klinis meliputi nyeri, iskemia oleh karena krisis sickle cell,
sebagian besar terjadi pada tulang, paru-paru, hati , otak dan limfa. Tidak
ada manifestasi yang spesifik pada intraoral, namun sering ditemui
pengurangan pola tulang trabekular pada foto rontgen panoramik
(McCord, 2017).
Gambar. pengurangan pola tulang trabekular

 Tatalaksana Dental
Dokter gigi harus melakukan anamnesa yang baik untuk indentifikasi anemia.
Perlu ditanyakan kepada pasien mengenai pola makan, malnutrisi, konsumsi alkohol,
penggunaan obat-obatan antiflamasi nonsteroud, kehilagan darah saat menstrual,
kehamilan, hipotiroid, penyakit kuning dan gangguan perdarahan.selain itu juga perlu
faktor risiko herediter terkait anemia hemolitik (Little, 2013).
Dokter gigi juga perlu mengidentifikasi gejala pada pasien anemia yang ingin
melakukan perawatan dental. Pasien yang memiliki gejala klasik anemia harus dirujuk
ke dokter untuk penanganan lebih lanjut. Pasien dengan anemia sickle cell akan
sangat berbahaya jika penyakit tidak terdeteksi sebelum dimulainya perawatan gigi.
Penundaan perawatan gigi diperlukan pada pasien yang memiliki anemia akibat
penyakit lain yang mendasarinya. Pasien dengan anemia yang parah serta anemia
sickle cell perlu ditunda perawatannya. Prosedur bedah pada pasien anemia sickle cell
sebaiknya dihindari (Little, 2013).
Pemeriksaan keparahan anemia pada pasien dengan anemia sangat penting
dilakukan untuk mencegah komplikasi. Pertama dokter gigi harus memastikan bahwa
pasien dalam kondisi baik dan sudah kontrol ke dokter yang merawatnya secara rutin
karena pada sebagian besar kasus, anemia berkaitan dengan penyakit kronis. Untuk
meminimalisir risiko komplikasi tingkat Hb harus di atas 11 g/dL dengan tanpa
gejala. Pasien dengan nafas pendek dan tingkat Hb kurang dari 11 g/dL, tekanan
darah tidak normal, ini menyatakan bahwa pasien dalam kondisi tidak stabil, dan
perawatan gigi harus ditunda sampai kondisi pasien mencapai stabil (Little, 2013).
Pasien dengan sickle cell, perlu dilakukan perawatan gigi dalam waktu yang
singkat (untuk mengurangi stres). Sebelum prosedur bedah, pasien harus dirujuk
terlebih dahulu ke dokter. Penggunaan anestesi masih dapat digunakan pada prosedur
bedah namun perlu dibatasi penggunaan ephineprine (dosis maksimal 1:100,000 )
serta perlu dihindari penggunaan prilocaine. Hindari penggunaan anestesi lokal
dengan ephinephrine pada perawatan gigi non bedah. Penggunaan antinyeri
acetominophen direkomendasikan pada pasien ini. Profilaksis antibiotik
direkomdasikan sebelum perawatan bedah. Pasien dengan anemia sickle cell rentan
mengalami hipoksia, infeksi dan dehidrasi (Little, 2013).

Gambar. Tangan pasien tampak lebih pucat dari dokter gigi

2. Kelainan Sel Darah Putih

 Definisi dan Etiologi


Kelainan sel darah putih pada pasien sangat memengaruhi keputusan klinis
serta penanganan yang spesifik, karena sel darah putih berperan sebagai perlindungan
utama melawan mikroba yang infeksius dan penting dalam respon imun. Klasifikasi
kelainan sel darah putih beserta etiologinya disajikan pada gambar berikut. Dampak
dari kelaian sel darah putih meliputi terhambatnya penyembuhan, terjadinya infeksi
atau uslerasi mukosa (Little, 2013).

Gambar. Klasifikasi Sel Darah Putih

o Non-Hodgkin Lymphoma
o Definisi

Non-Hodgkin lymphoma dapat berasal dari sel B, sel T atau sel


natural killer, namun lebih umum berasal dari sel B. Kondisi
imunodefisiensi dan infeksi virus tertentu termasuk Epstein-Barr virus
meningkatkan risiko pertumbuhan limfoma di rongga mulut (McCord,
2017).

 Gambaran Klinis
Manifestasi klinisnya yakni pembesaran nodus limfa lebih dari
2 minggu, demam dan penurunan berat badan. Non-Hodgkin
Lymphoma dapat bermanifestasi di luar nodus limfa (di mulut) yakni
pembengkakan diffuse yang teraba keras pada mokusa rongga mulut
dengan atau tanpa ulserasi (McCord, 2017).

Gambar. Pembengkakan mukosa bukal dan labial sebagai manifestasi NHL pada rongga
mulut (McCord, 2017).

Gambar. Pembengkakan pada palatal (McCord, 2017).

o Leukemia
 Definisi

Leukemia merupakan kanker sel darah putih yang berdampak


pada sumsum tulang dan sirkulasi darah. Leukemia dapat berasal dari
limfoid dan myelogen, dan secara klinis dikelompokan menjadi 4 jenis
yaitu acute myelogenous leukemia (AML), chronic myelogenous
leukemia (CML), acute lymphoblastic leukemia (ALL), and chronic
lymphoblastic leukemia (CLL) (McCord, 2017).

 Gambaran Klinis
Gejala klinis secara umum meliputi, kulit berwarna pucat,
lemah, lelah akibat anemia, demam dan sangat mudah terserang infeksi
oleh karena neutropenia, ekimosis, epitaksis, perdarahan gingiva secara
spontan oleh karena trombositopenia serta organomegali dan
limfadenopati. Pada rongga mulut, dapat terjadi ulser terkait
neutropenia, perdarahan gingiva secara spontan, petechial hemorrhages
pada palatum, gingival enlargement (pada leukemia myelomonitik)
atau myeloid sarcoma serta infeksi opurtunistik (McCord, 2017)..
 Etiologi
Etiologinya berkaitan dengan radiasi, beberapa bahan kimia
(benzene), infeksi dari virus tertentu ( Epstein-Barr virus [EBV],
human lymphotropic virus [HTLV]-1). Merokok dan terkena paparan
elektromagnetik juga dapat menjadi faktor risiko (McCord, 2017).
 Tatalaksana Dental
Dokter gigi harus dapat mendetesi adanya kelainan sel darah merah melalui
anamnesis, pemeriksaan klinis, pemeriksaan laboratorium dan apabila diperlukan
prosedur invasif, sebaiknya di rujuk terlebih dahulu ke dokter spesialis. Pasien yang
memiliki penyakit sel darah merah yang mengancam jiwa yang masih dalam
perawatan medis sebaiknya perawatan gigi dilakukan setelah mendapatkan rujukan
dari dokter yang merawat (Little, 2013).
o Identifikasi kelainan sel darah putih dan pertimbangan medis
Anamnesa yang baik berkaitan dengan kelainan sel darah putih harus
ditegakan kepada semua pasien saat ingin melakukan perawatan gigi. Hal ini
sangat penting dilakukan karena pasien dengan leukemia dan limfoma
berisiko mengalami penyakit katastropik apabila tidak dideteksi sejak awal.
Pasien leukemia yang tidak didiagnosa dengan benar akan menyebabkan
masalah perdarahan yang serius setelah prosedur bedah, dan mengalami
permasalahan saat penyembuhan luka serta sangat rentan mengalami infeksi
pascabedah. Oleh karena itu sangat penting bagi dokter gigi menganamnesa
dan melakukan pemeriksaan klinis dengan benar (Little, 2013).
Beberapa pertanyaan yang spesifik terkait kelainan darah meliputi,
kehilangan berat badan, demam, pembengkakan atau pembesaran kelenjar
limfa dan kecenderungan perdarahan. Kemudian dilakukan pemeriksaan
intraoral maupun ektraoral meliputi orofaring, kepala dan kelenjar limfa
servikal dan supraklavikular. Dokter gigi harus menyadari bahwa pembesaran
kelenjar supraklavikular dapat mengarah ke keganasan (Little, 2013).
Pasien yang menunjukan gejala klasik leukemia harus segera dirujuk
ke dokter. Pasien yang menunjukkan gejala atau tanda yang mengarah kepada
leukemia harus melalukan tes laboratorium terlebih dahulu atau biopsi
jaringan lunak. Tes laboratorium yang dilakukan meliputi total dan perbedaan
jumlah sel darah putih, smear untuk morfologi sel, Hb atau hematokrit dan
jumlah platelet (Little, 2013).
o Modifikasi rencana perawatan
Rencana perawatan gigi pada pasien dengan kelaiann sel darah putih
memerlukan pertimbangan pada fase terapi medis, yakni meliputi (Little,
2013) :
1. Evaluasi sebelum terapi
Dokter gigi harus mengetahui diagnosis spesifik, keparahan penyakit,
tipe terapi yang diberikan kepada pasien dari dokter yang merawatnya. Hal
tersebut sangat penting untuk diketahui karena berkaitan dengan rencana
perawatan gigi. Contohnya untuk pasien yang hanya menerima perawatan
paliatif, tidak dianjurkan untuk menerima perawatan restorasi dan prosedur
prostodontik yang memerlukan waktu berbulan-bulan untuk penyelesaian
perawatan.
Apabila pasien leukemia yang baru didiagnosis, dokter gigi harus
terlibat sejak dini pada tahap rencana perawatan dari kanker. Pemeriksaan
pretreatment meliputi pemeriksaan ekstraoral dan intraoral, panoramik dan
pemeriksaan tes darah bertujuan untuk meminimalisir dan mengeliminasi
penyakit pada rongga mulut sebelum dimulainya kemoterapi. Perawatan
sebelum terapi kanker meliputi pembersihan plak, restorasi karies, apabila
terdapat pulpitis, disarankan menjalani perawatan saluran akar atau ekstraksi
sebelum dimulai perawatan kemoterapi. Selain itu diperlukan tindakan untuk
menjaga kesehatan rongga mulut yaitu aplikasi topikal fluoride, mengedukasi
pola makan nonkariogenik, mengeliminasi penyakit periodontal dan
mengeliminasi sumber luka pada mukosa. Apabila ditemukan poket lebih dari
5 mm, terdapat inflamasi periapikal, serta gigi impaksi, disarankan untuk
melakukan pencabutan gigi. Penjadwalan ekstraksi pasien sebaiknya
dilakukan 3 minggu sebelum dimulainya kemoterapi atau radioterapi. Namun
apabila jumlah platelet kurang dari 50,000/μL sebaiknya jamgan dilakukan
prosedur invasif. Sebagai catatan bahwa kemoterapi menyebabkan
neutropenik, sehingga sebaiknya perawatan gigi dilakukan sebelum
kemoterapi. Sebelum prosedur infasif harus diberikan profilaksis antibiotik
terlebih dahulu. Profilaksis antibiotik disarankan apabila sel darah putih
kurang dari 200 atau neutrofil kurang dari 500. Profilaksis antibiotik yang
disarankan adalan penicillin VK 2g diberikan 1 jam sebelum prosedur terapi
invasif.
2. Perwatan gigi selama terapi medis
Pasien yang sedang menjalani perawatan kemoterapi dan radioterapi
rentan mengalami komplikasi pada rongga mulut, seperti mukositis,
neutropenia, infeksi, perdarahan dan gangguan pertumbuhan serta
perkembangan.
o Mukositis.
Mukosa mulut dan saluran pencernaan akan terpengaruh secara
cepat oleh terapi kanker, karena agen sitottoksi dari kemoterapi akan
merusak sel epitel yang bereplikasi dengan cepat. Pasien dengan
mukositis biasanya dimulai 7 sampai 10 hari setelah kemoterapi awal.
Pasien yang berusia muda lebih rentan terkena mukositis pada tempat
yang tidak berkeratin (ventral lidah, bibir, mukosa bukal, dasar mulut).
Mukosa yang terkena akan menjadi berwarna kemerahan dan lebih
lunak serta terdapat ulser. Kesehatan rongga mulut harus tetap dijaga
untuk meminimalkan komplikasi. Obat kumur tanpa mengandung
alkohol disarankan untuk menjaga kebersihan ulser. Lauran
antihistamin (benzydamine) yang memiliki efek anestesi lokal efektif
untuk menyembuhkan lesi, selain itu juga dapat digunakan gel orabase
untuk melindungi permukaan lesi dari iritasi. Obat kumur yang
mengandung antiseptik dan antibiotik (clorhexidine) juga disaraknkan
untuk penyembuhan lesi oral dan pencehan infeksi oral.
o Neutropenia and Infeksi.
Pasien dapat terjangkit neutropenia akibat dari terapi medis
(kemoterapi atau obat-obatan). Pasien yang memiliki neutropenia tidak
memiliki respon perlindungan terhadap mikroba di rongga mulut.
Pasien dengan neutropenia pada umumnya mengalami inflamasi
gingiva dan ulserasi mukosa. Terapi periodontal meliputi edukasi
mengenai kesehatan rongga mulut, scaling dan terapi antimikroba
dapat mengurangi efek dari penyakit. Infeksi yang terjadi pada rongga
mulut terjadi oleh karena adanya kondisi neutropenia. Bakteri yang
menginfeksi meliputi Pseudomonas, Klebsiella, Proteus, Escherichia
coli, or Enterobacter. Pada umunya infeksi ini bermanifestasi sebagai
ulser. Infeksi oputunistik (bakteri, jamur dan virus) juga umum terjadi
pada pasien leukemia yang menjalani terapi, karena leukosit yang
ganas tidak tumbuh dengan sempurna dan kemoterapi menyebabkan
kondisi immunocompromised. Infeksi opurtunistik yang paling sering
terjadi adalah candidiasis pseudomembran. Apabila komplikasi ini
muncul, pasien harus diobati dengan obat-obatan antifungal.
o Perdarahan
Pada pasien leukemia perdarahan ringan atau berat pada area
submukosa juga dapat ditemukan. Lesi ini terbentuk akibat trauma
(contohnya menggigit lidah) dan berhubungan dengan trombositopenia.
Selain itu juga pada pasien ini dapat ditemikan perdarahan spontan dan
parah pada gingiva dan gingival enlargement yang mengindikasikan
kesehatan mulut yang buruk atau berhubungan dengan trombositopenia.
Sehingga dokter gigi harus berusaha meningkatkan kesehatan rongga
mulut pasien. Letakan spons gelatin dengan trombin atau kolagen
microfibrillar pada area perdarahan.
.
o Pertumbuhan dan perkembangan
Kemoterapi selama masa kanak-kanak dapat memengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan gigi dan tulang wajah. Gangguan
pertumbuhan pada rahang akan menyebabkan micrognathia, retrognathia,
atau maloklusi. Gangguan pertumbuhan gigi berupa akar menjadi lebih
kecil dan membulat, dilaserasi, ruang pulpa melebar, mikrodonsia dan
hipodonsia.
3. Manajemen pasca terapi
Pasien dengan kelainan sel darah merah yang sedang menjalani masa
penyembuhan, dapat melakukan perawatan gigi yang diindikasikan . Apabila
diperlukan prosedur invasif (scaling) dan bedah, pastikan bahwa pasien sudah
melakukan kontrol dengan baik dan perlu dilakukan pemeriksaan jumlah
platelet . apabila jumlah platelet rendah , prosedur sebaiknya ditunda terlebih
dahulu sampai mendapatkan rujukan dari dokter yang merawat. Apabila
jumlah platelet normal, maka prosedur invasif dapat dilakukan. (Little, 2013)

Gambar. A. Perdarahan dan ekomosis pada lidah, B. Gingival leukemia pada pasien acute
myeloid leukemia (Little, 2013)

f. Kelaianan Respiratorius

1. Tuberkulosis

 Definisi

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh


bakteri TB (Mycobacterium Tuberculosis), dan dapat juga disebabkan oleh susu sapi
yang terinfeksi oleh bakteri Mycobacterium bovis ataupun jenis Mycobacteria
lainnya. Sebagian besar kuman TB menyerang paru-paru, tetapi dapat juga mengenai
organ tubuh lainnya. Penyakit ini merupakan masalah kesehatan yang cukup besar di
negara-negara berkembang (Sativa, 2016). 

 Gambaran Klinis
Gejala TB pada orang dewasa umumnya penderita mengalami batuk dan
berdahak terus-menerus selama 3 minggu atau lebih, batuk darah atau pernah batuk
darah. Adapun gejala-gejala lain dari TB pada orang dewasa adalah sesak nafas dan
nyeri dada, badan lemah, nafsu makan dan berat badan menurun, rasa kurang enak
badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan, demam meriang
lebih dari satu bulan. pucat, suara serak dan kehilangan kontrol pitch suara, sakit
kepala, dan nyeri otot. Prevalensi oral TB yaitu kurang dari 1% pada kasus TB paru.
Oral TB biasanya terlihat pada kasus TB paru. Tempat terjadinya lesi biasanya di
gingiva, mucobuccal fold, inflamasi yang berdekatan dengan lokasi ekstraksi gigi, dan
kadang dikaitkan dengan pembesaran cervical lymph nodes. Manifestasi TB pada
rongga mulut yaitu ulser, pembesaran gingiva, tuberkulosis lympadenitis,
tuberkuloma, osteomyelitis, tuberkulosis sialadenitis. Dari beberapa manifestasi
tersebut, ulser merupakan manifestasi oral yang paling sering ditemui pada pasien
TB. Ulser dapat berupa lesi tunggal ataupun multipel, Terdapat indurasi,
kadang nyeri, sensasi terbakar, ireguler, tidak berbatas jelas, dan terdapat granulasi
pada dasar lesi. Terdapat di dorsum lidah, gingiva, dasar mulut, mukosa bukal.
Diagnosis banding ulser ini meliputi, RAU (Recurrent Apthous Ulseration), traumativ
ulser, syphilitic ulser dan keganasan termasuk squamous cell carcinoma primer,
limfoma. Oleh karena itu biopsi atau pemeriksaan histopatologi sangat penting. Jika
histopatologis berbentuk granulomatosa, diagnosis banding adalah sarkoid, Crohn’s
disease, reaksi benda asing, sifilis tersier, dan sindrom Mellkersson-Rosenthal.
Diperlukan juga pemeriksaan sputum untuk mencari Mycobacterium tuberculosis dan
pemeriksaan radiologi (Sativa, 2016).
Gambar. Ulser pada lidah penderita TB

 Etiologi

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan


oleh Mycobacterium tuberculosis, yang sebagian besar (80%) menyerang paru-
paru. Mycobacterium tuberculosis termasuk basil gram positif, berbentuk batang,
dinding selnya mengandung komplek lipida-glikolipida serta lilin (wax) yang sulit
ditembus zat kimia. Sumber penularan adalah penderita TB positif pada waktu batuk
atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan
dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar
selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam
saluran pernafasan. Sebesar 90% dari kasus, pintu masuk bakteri penyebab TB yaitu
saluran pernafasan. Oleh karena itu, TB paru merupakan jenis TB yang paling
dominan. Jalur lainnya yang dapat menjadi tempat masuknya bakteri penyebab TB
seperti, sistem pencernaan, kulit, tonsil, mata dan lainnya yang mungkin memiliki
kontak langsung dengan bakteri penyebab TB (Sativa, 2016). 

 Tatalaksana Dental
Prakatisi dokter gigi sangat berpotensi tertular infeksi dari pasien. Dokter gigi
harus menanyakan secara detail riwayat TB pasien untuk menentukan penyakit aktif
yang sedang dalam perawatan, penyakit aktif tanpa perawatan atau sebelumnya
memiliki penyakit namun saat ini sudah sembuh. Pada pasien yang memiliki penyakit
aktif dan tanpa perawatan, merupakan pasien yang sangat berisiko bagi dokter gigi.
Oleh karena itu pasien dengan TB aktif, sebaiknya dilakukan penundaan terhadap
semua perawatan dental yang tidak emergency sampai pasien sembuh atau tidak lagi
infeksius. Apabila harus dilakukan perawatan emergency, dokter gigi harus
menerapkan perlindungan ekstra untuk mencegah penularan penyakit. Dokter gigi
sangat berisiko tertular TB, penularannya dapat melalui cipratan, aerosol ataupun
darah yang terinfeksi.Oleh karena disinfeksi dan sterilisasi instrumen harus
deterapkan sesuai prosedur. Selain itu dokter gigi harus menggunakan alat proteksi
diri (eye shields, face masks, headcaps, gloves and surgical gowns) serta menjaga
kebersihan diri. Masker bedah standar tidak melindungindari penularan penyakit,
sehingga harus menggunakan masker khusus (Jain dan Jain, 2014).
Saat ini, rangakaian perawatan yang paling efektif adalah kombinasi dari 4
obat (isoniazid, rifampicin, p, pyrazynamide, dan ethambutol) dikonsumsi setiap hari
selama 2 bulan pertama kemudian diberikan konsumsi obat isoniazid dan rifampicin
selama 4 bulan selanjutnya (Jain dan Jain).

G. Penyakit Autoimun
Penyakit autoimun adalah penyakit yang dapat mengenai mukosa oral dan kulit atau
organ lain, akibat kesalahan tubuh dalam mengenali sel diri sendiri (self). Sistem kekebalan
yang seharusnya berfungsi sebagai pelindung tubuh mengalami kelainan sehingga tidak
dapatmembedakan antara benda asing yang harus dimusnahkan dengan jaringan tubuh sendiri
yang bermanfaat untuk kelangsungan hidup. Penyebab penyakit autoimun belum diketahui
secara pasti, namun perjalanan penyakit ini dapat akut atau kronis dan terdapat masa remisi
atau eksaserbasi yang disertai dengan perubahan level autoantibodi dalam tubuh. Lesi oral
biasa ditemukan pada penderita penyakit autoimun sebagai manifestasi penyakit atau efek
samping pengobatan. Penyakit autoimun yang dapat bermanifestasi pada rongga mulut di
antaranya adalah Lupus erythematosus, Pemfigus, dan Lichen planus, Pemfigoid (Wahyuni
dkk, 2016). Pada sub bab ini akan dibahas lebih dalam mengenai lupus eritematosus sistemik
dan Pemfigus.

1. Lupus Eritematosus Sistemik (LES)

 Definisi
Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit yang dihubungkan dengan
hiperaktivitas sistem imun tubuh dan dikarakteristikan dengan munculnya sejumlah
autoantibodi. Lupus eritematosus sistemik merupakan gangguan autoimun yang
menyerang multisistem dengan spektrum luas meliputi hampir semua organ dan
jaringan. Pada tahun 1846 dokter Ferdinand von Hebra memperkenalkan metafora
kupu-kupu untuk menggambarkan ruam malar pada wajah pada penderita lupus
eritematosus sistemik (Wahyuni dkk, 2016).

 Gambaran Klinis
Pada awal perjalanannya, penyakit ini ditandai dengan gejala klinis yang tidak
spesifik, antara lain lemah, kelelahan yang sangat, lesu berkepanjangan, panas,
demam, mual, nafsu makan menurun, dan berat badan turun. Gejala awal yang tidak
khas ini mirip dengan beberapa penyakit yang lain , maka dari itu lupus dijuluki
sebagai penyakit peniru. Julukan lainnya adalah si penyakit seribu wajah. Adapun
gejala pada kulit yang sering ditemukan yakni terdapat ruam kupu – kupu (Butterfly
rash) di kedua pipi dan hidung pada hampir 70% kasus. Selain itu biasanya penderita
Systemic Lupus Erythematosus akan sangat sensitif terhadap paparan sinar matahari
pagi yang mengandung sinar ultra violet atau pada pemakaian lampu ultra violet.
Gejala lainnya yakni bercak kemerahan berbentuk bulat pada bagian kulit yang
ditandai adanya jaringan parut yang lebih tinggi dari permukaan kulit sekitarnya serta
pada rongga mulut sering dijumpai terjadinya ulser (Roviati, 2012).
Lesi oral yang ditemukan lebih dari 40% penderita LES dapat membantu
penegakan diagnosa awal penyakit ini. Berbagai lesi oral termasuk ulserasi, agular
cheilitis, xerostomia dan glossitis dapat terjadi pada pasien LES (Lelyana, 2015) Lesi
oral yang merupakan gambaran klasik dari LES di antaranya adalah lesi oral discoid.
Lesi oral discoid mirip dengan lesi discoid pada kulit yaitu terdapat gambaran striae
berwarna putih yang memancar dari pusat lesi dan berwarna kemerahan (brush
border). Predileksi lesi intra oral LES ditemukan pada mukosa bukal, gusi dan
mukosa labial serta daerah kemerahan yang terlokalisir terutama di daerah palatum
(Wahyuni dkk, 2016).

Gambar. Butterfly rash pada pasien SLE


Gambar. Ulserasi pada pasien SLE (Little, 2013).

 Etiologi
Etiologi LES tidak diketahui secara pasti, namun kompleks imun, infeksi,
faktor lingkungan dan endokrin diduga memainkan peran penting. Faktor lingkungan
yang dapat memicu LES adalah sinar ultraviolet, demethlating drugs dan endegenous
virus (Wahyuni dkk, 2016).

 Tatalaksana Dental
Pada umumnya ulserasi oral LES terjadi saat periode remisi lupus. Lesi dapat
diobati dengan kortikosteroid topikal atau suntikan steroid intralesi. Lesi oral yang
meninbulkan keluhan dapat diterapi seperti pada oral lichen planus. Tahap pertama
terapi dapat menggunakan obat kumur antiseptik yang dikombinasikan dengan
aplikasi topikal kortikosteroid seperti hydrocotisone hemicuccinate pellets (2,5 mg)
atau betamethasone sodium phosphate (0,5 mg) di sekitar lesi 2-4 kali sehari. Sediaan
topikal kortikosteroid lainnya seperti spray, obat kumur, krim dan ointments
menunjukan hasil yang baik pada beberapa pasien. Obat antimalaria seperti
hydoxychloroqine dan dapsone juga telah berhasil digunakan untuk terapi lesi
intraoral pada lupus. Pada kasus yang berat seperti ulserasi yang luas, eritem dan rasa
sakit, terapi steroid jangka pendek dapat menghilangkan keluhan. (Lelyana, 2015)

2. Pemfigus Vulgaris

 Definisi
Pemfigus adalah penyakit autoimun yang meliputi mukosa dan kulit, ditandai
dengan pembentukan bula intraepidermal. Selain itu pemfigus juga dikenal sebagai
penyakit kulit kronis yang serius, ditandai oleh adanya vesikal dan bula. Penyakit ini
terbukti merupakan mekanisme autoimun karena antibodi interseluler ditemukan
dalam epitel kulit dan mukosa mulut. Pemfigus vulgaris merupakan jenis yang paling
berat dapat menyebabkan kematian apabila tidak ditangani dengan baik. Pemfigus
vulgaris awalnya sering ditemukan pada usia lanjut namunsaat ini ditemukan juga
pada anak-anak dan usia remaja (Tarmidi dan Noegroho, 2001).
 Gambaran Klinis
Sebanyak 80%-90% pasien pemfigus vulgarus mengalami lesi oral selama
proses penyakitnya dan 50%-60% menunjukan bahwa mulut merupakan tempat lesi
pertama kali timbul. Lesi oral yang timbul berupa bula dengan dasar tanpa
peradangan dan mudah pecah, meinggalkan ulserasi yang tidak khas sehingga
menimbulkan kesulitan dalam menentukan prognosis. Apabila terjadi luka akibat
pecahnya bula dan vesikel, biasanya penderita mengeluh sakit yang hebat dan rasa
terbakar pada gusi, rasa perih ditenggorokan sehingga menyulitkan prosses
mengunyah dan menelan. Paling umum lesi timbul pada mukosa bukal, palatum mole,
bibir, dasar mulut, orofaring, lidah dan gingiva. Ulserasi dapat sembuh tanpa
pembentukan jaringan parut, kadang penyembuhan diikuti dengan hiperkeratosis.
Terlibatnya gingiva dapat menyebabkan gingivitis dekuamatif dengan keluhan rasa
sakit dan terbakar pada gusi yang menyebabkan bau mulut (Tarmidi dan Noegroho,
2001).
Lesi yang erosif pada palatum durum yang meluas ke orofaring (Rai dkk,
2015)

 Etiologi
Etiologi pemfigus vulgaris masih belum dapat dipastikan secara jelas. Faktor
genetik merupakan faktor disposisi yang kuat untuk terjadinya pemfigus vulgaris.
Pemfigus sering dihubungkan dengan penyakit-penyakit seperti hodgkin, kaposim
sarkoma neoplasma seperti limfoma serta penyakit imun lainnya seperti reumatoid
athritis (Tarmidi dan Noegroho, 2001)..
 Tatalaksana Dental
Lesi – lesi yang terbuka akibat pecahnya bula biasanya meinimbulkan rasa
terbakar dan rasa sakit yang hebat, sehingga sangat mengganggu penderita. Lesi di
dalam rongga mulut menyebabkan rasa sakit pada saat berbicara, mengunyah dan
menelan. Oleh karena itu diperlukan terapi lokal untuk mengatasi rasa sakit dan
ketidaknyamanan di mulut. Pemberian obat topikal yang bersifat penunjang, dapat
membantu pengobatan secara sistemik tetapi bukan pengganti kortikosteroid sistemik.
Obat-obatan yang diberikan secara topikal adalah :
o Triamcinolone acetanide (kenalog in orabase atau in orahesive), dapat
digunakan untuk mengontrol dan menekan erosi mulut.
o Nuporal lozenges atau 5% xylocaine ointment, dylclonine hydrochloride
(dycolone), benzocaine in orabase, dapat menghillangkan rsa sakit (anestetik
topikal)
o Selain itu hindari obat kumur yang mengiritasi dan antiseptik topikal kuat dan
bahan-bahan kaustik sepeti fenol, perak nitrat, camfon dan seng klorida.
Jika lesi melibatkan gingiva maka perlu dilakukan pemeliharaan kesehatan
rongga mulut untuk mengurangi plak. Tetapi harus dilakukan secara hati-hati dan
hindari tekanan pada jaringan karena penderita epitelium pemfigus vulgaris sangat
rapuh dan tekanan yang berlebihan dapat menimbulkan erosi (Tarmidi dan Noegroho,
2001).

h. Penyakit imunodefisiensi
Faktor imun sendiri menjadi faktor predisposisi tiap infeksi yang terjadi. Jika
imunitas seseorang menurun, infeksi akan semakin parah. Penderita HIV/AIDS
memiliki manifestasi oral yang sangat banyak seiring dengan buruknya sistem imun
penderita HIV/AIDS. Tipe lesi oral pada pasien dengan infeksi HIV disebabkan oleh
jamur, virus, infeksi bakteri (Neville dkk, 2002.
1. Pindborg menyatakan infeksi pada mulut karena HIV paling umum disebabkan oleh
jamur Candida albicans (Donald dkk, 2004).
a. Lesi pseudomembran ditandai dengan adanya plak berwarna putih krim atau
kuning yang dapat dihilangkan dengan mudah dari mukosa, meninggalkan lesi
merah dan perdarahan pada permukaan. Lokasi yang paling umum untuk lesi
ini adalah palatum, mukosa bukal dan labial serta dorsum pada lidah.
b. Lesi hiperplastik ditandai dengan adanya plak putih yang tidak mudah
dihilangkan, terutama berlokasi di mukosa bukal
c. Lesi erythematous (atrophic) ditandai dengan tampilan berwarna merah,
berlokasi di palatum dan dorsum lidah. Lesi mungkin terlihat sebagai area
bernoda (spotty) pada mukosa bukal.
d. Angular cheilitis ditandai dengan radiasi fisur dimulai dari kommisura mulut
dan sering diasosiasikan dengan plak putih yang kecil.
Perawatan infeksi C. albicans dapat melalui sistemik atau topikal. Terapi topikal
dengan menggunakan obat kumur nystatin (100.000 U, 3-5 kali sehari) atau troches
clotrimazole; perawatan dilakukan selama 1-2 minggu. Terapi sistemik dengan
ketoconazole (Nizoral) 200-400 mg sehari atau fluconazole (intravena) digunakan saat
infeksi candida menjadi sistemik (Donald dkk, 2004).

Gambar : Infeksi karena jamur


2. Infeksi HIV menyebabkan disfungsi imun sehingga virus lain dapat menginfeksi
rongga mulut. Virus yang sering menginfeksi rongga mulut yaitu virus herpes,
cytomegalovirus serta virus Epstein-Bar (Liliane dkk, 2005).
a. Herpes simpleks virus (HSV) tidak umum terkena pada pasien anak, dapat
menghasilkan episode ulserasi rekuren yang sangat sakit. Lesi secara intraoral
terlihat di palatum dan kadang di lidah, lesi ini terlihat sebagai vesikel yang
kemudian pecah menjadi ulkus. Lesi herpes diobati dengan acyclovir oral
(Zovirax). Acyclovir diberikan secara intravena (750 mg/mm2 dibagi dalam
dosis 3 kali sehari sampai lesi hilang) pada pasien dengan lesi oropharyngeal
yang berat sehingga tidak mampu menelan.

Gambar : Herpes Simplex


b. Oral hairy leukoplakia (HL) jarang terkena pada pasien anak, merupakan lesi
putih yang tidak dapat dihilangkan dan berlokasi pada margin lateral lidah.
Permukaan mungkin halus, berombak atau berlipat. HL hanya dapat
ditemukan pada pasien HIV yang terinfeksi virus Epstein-Barr. Pengobatan
diberikan acyclovir dengan dosis tinggi, tetapi lesi biasanya rekuren.

Gambar : Oral hairy leukoplakia (HL)


3. Infeksi karena bakteri Treponema vicentii, Fusobacterium nucleatum, dan
Actinobacillus actinomycetemcomitans menyebabkan HIV necrotizinggingivitis
maupun HIV periodontitis umum terkena pada pasien dewasa, tapi tidak biasa
ditemukan pada pasien anak (Donald dkk, 2004).
a. HIV necrotizing gingivitis merupakan lesi pada gingiva terutama bagian
anterior disertai perdarahan waktu menggosok gigi, rasa sakit dan halitosis.
Papila interdental dan tepi gingiva akan tampak berwarna merah, bengkak,
atau kuning keabu-abuan karena nekrosis.

Gambar: HIV necrotizing gingivitis


b. Infeksi HIV periodontitis merupakan penyakit periodontal yang berlangsung
secara progresif dan terjadinya kerusakan tulang, penyakit ini merupakan
indikator awal yang dapat ditemukan pada infeksi HIV. Perawatan dilakukan
dengan kuretase yang agresif, pemberian obat kumur Peridex (0,12%
chlorhexidine digluconat) tiga kali sehari dan juga pemberian antibiotik.

h. Penyakit Imunodefisiensi

Sekitar 95% penderita HIV/AIDS mengalami manifestasi pad rongga mulut


dan lebih sering merupakan tanda awal infeksi HIV. Adapun beberapa kelainan
atau infeksi yang terjadi adalah infeksi jamur candida (oral candidiasis) berupa
oral thrush, acute atrophic andidiasis, chronic hyperplastic candidiasis dan
stomatitis angularis. Infeksi karena virus golongan herpes paling sering dijumpai
pada penderita HIV/AIDS, kondisi yang terlihat berupa stomatitis herpetiformis,
herpes zoster, hairy leukoplakia, cytomegalovirus. Infeksi karena bakteri dapat
berupa HIV necrotizing gingivitis maupun HIV periodontitis. Kelainan lain yang
dapat timbul di dalam rongga mulut penderita HIV/AIDS antara lain SAR terutama
tipe mayor, ulkus nekrotik yang meluas sampai ke fausia, xerostomia, pembesaran
kelenjar parotis, idiophatic thrombocytopenia purpura, palsi wajah, limfadenopati
submandibula dan hiperpigmentasi melanotic. Penanganan dan pengobatan yang
dapat dilakukan dengan tujuan untuk membantu memperbaiki daya tahan tubuh,
meningkatkan kualitas hidup bagi mereka yang diketahui terserang HIV/AIDS,
koneling tentang infeksi HIV, gaya hidup dan infeksivitas, pemeriksaan klinis
secara rutin dan status laboratorium tentang jumlah CD4 dan kadar antigen HIV,
pencegahan terhadap infeksi opurtunistik, terapi antiretroviral dan deteksi dini serta
pengobatan yang tepat dari infeksi opurtunistik dan neoplasma yang ada (Harlina,
2011).

Manifestasi HIV/AIDS pada rongga mulut:

1. Candidiasis oral

Definisi candidiasis oral

Kandidiasis oral merupakan salah satu infeksi fungal yang mengenai mukosa. Seringkali
merupakan gejala awal dari infeksi HIV. Faktor utama etiologi kandidiasis oral adalah jamur
Candida albicans, meskipun spesies lain dari Candida dapat terlibat. Prevalensi yang
dilaporkan bervariasi secara luas, sampai setinggi 72% pada anak-anak dan 94% pada orang
dewasa. Kandidiasis oral yang dapat dibedakan menjadi 4 (empat) bentuk, yaitu:
pseudomembranosis eritematus (atropik), hiperplastik, dan keilitis angularis
(Ramayanti,2018).

Terapi candidiasis oral

Terapi kandidosis oral pada penderita HIV positif terdiri atas pemberian obat-obat topikal,
seperti nystatin atau amphotericin B, walaupun obat-obat tersebut kurang efektif dan gejala
dapat kambuh lagi. Selain itu, dapat pula dilakukan terapi sistemik dengan ketoconazole,
fluconazole atau itraconazole. Penggunaan obat-obat sistemik tersebut sangat efektif tetapi
terjadi kekebalan diantara beberapa strain kandida perlu diwaspadai (Ramayanti,2018).
Gambar. Pseudomembranous candidias pada penderita AIDS (Ramayanti,2018).

2. Oral hairy leukoplakia (OHL)

Definisi Oral hairy leukoplakia (OHL)

Oral hairy leukoplakia (OHL) lebih umum terjadi pada orang dewasa yang terinfeksi HIV
daripada anak yang terinfeksi HIV. Prevalensi OHL pada orang dewasa adalah sekitar 20%
-25%, meningkat dengan CD4 + menurun jumlah limfosit, sedangkan pada anak
prevalensinya sekitar 2% -3%. Kehadiran OHL adalah tanda imunosupresi berat. OHL
merupakan lesi putih, tidak berbatas jelas, berkerut, menonjol pada tepi lateral lidah dan
berkaitan dengan virus Epstein Barr dan infeksi HIV. Lesi awal tampak sebagai plak vertikal,
putih,besar, pada tepi lateral lidah, dan umumnya bilateral. Lesi-lesi tersebut dapat menutup
permukaan lateral dan dorsal lidah, meluas ke mukosa pipi dan palatum. Lesi tersebut tanpa
gejala dan tidak dapat dihapus, serta mengganggu estetik (Ramayanti,2018).

Terapi Oral hairy leukoplakia (OHL)

OHL biasanya tidak memerlukan pengobatan apapun, tetapi dalam kasus yang parah
dianjurkan untuk memberikan antiviral sistemik. Ketika OHL dikaitkan dengan kandidiasis
oral, manajemen terapi kandidiasis oral diperlukan (Ramayanti,2018).
Gambar. Oral Hairy Leukoplakia pada penderita AIDS (Ramayanti,2018).

i. Penyakit Degeneratif

 Definisi

Penyakit degeneratif merupakan suatu kondisi dimana kesehatan organ


maupun jaringan terkait terus menurun seiring berjalannya waktu akibat adanya
perubahan pada sel-sel tubuh yang memengaruhi fungsi organ secara menyeluruh.
Penyebab penyakit degeneratif yang paling umum adalah adanya proses penuaan yang
mengakibatkan fungsi jaringan dan organ tubuh mengalami penurunan. Beberapa
contoh penyakit degeneratif yang kerap terjadi pada lansia adalah penyakit jantung,
osteoporosis, diabetes militus, hipertensi, kanker, dan lain-lain (Nur'aeny dkk, 2016).

 Gambaran Klinis

Proses penuaan juga mengakibatkan keadaan gigi geligi pada lansia


mengalami perubahan, seperti gigi karies, gigi goyang bahkan kehilangan gigi. Selain
gigi geligi, beberapa kondisi yang dijumpai pada mukosa mulut lansia seperti SAR,
traumatic ulcer, angular cheilitis, xerostomia, coated tongue, lichen planus,
desquamative gingivitis. Secara klinis mukosa mulut juga tampak lebih pucat, tipis
dan kering. Proses penyembuhan menjadi lebih lambat, dan mukosa mulut lebih
mudah mengalami iritasi terhadap tekanan maupun gesekan. Hal ini disebabkan
akibat berkurangnya aliran saliva pada lansia (Nur'aeny dkk, 2016; Neville dkk,
2006).
Gambar. Cronic desquamative gingivitis akibat kondisi
degeneratif (Glick dkk, 2015)

 Etiologi

Pada lansia, lapisan epitel yang menutupi mukosa mulut cenderung mengalami
penipisan akibat berkurangnya keratinisasi dan berkurangnya pembuluh darah kapiler
maupun suplay darah. Gangguan sistemik seperti efek dari konsumsi obat-obatan juga
dapat menimbulkan lesi pada rongga mulut. Gangguan yang terjadi mungkin tidak
menimbulkan kematian tetapi berpengaruh pada kualitas hidup lansia (Nur'aeny dkk,
2016).

 Penatalaksanaan Dental

Rencana perawatan untuk penyakit degenerative pada lansia perlu


mendapatkan perhatian lebih seperti disarankan untuk selalu menjaga kesehatan
rongga mulut, memperhatikan pemilihan jenis makanan yang mudah dikunyah dan
dicerna oleh lansia, pemeriksaan rutin dari dokter gigi termasuk denture yang dipakai
sehingga kualitas kesehatan tubuh dan rongga mulut menjadi lebih baik. Perawatan
pada pasien lansia di dokter gigi dilakukan senyaman mungkin dengan mengatur
posisi pasien lansia pada dental chair, dan waktu kunjungan juga perlu diperhatikan
agar tidak terlalu lama (Nur'aeny dkk, 2016).

J. Kehamilan

 Definisi

Lesi oral pada saat kehamilan dapat terjadi akibat emesis yang terjadi pada
trimester pertama kehamilan. Epulis gravidarum merupakan lesi oral yang paling
sering terjadi pada ibu hamil. Nama lain epilis gravidarum adalah pregnancy tumor,
granuloma gravidarum dan pyogenic granuloma. Lesi ini merupakan suatu reaksi
jaringan granulasi terhadap rangsangan yang berulang-ulang, berhubungan dengan
peningkatan hormone pada wanita hamil. Lesi ini sering terjadi pada wanita sekitar
75% saat masa subur, terutama saat kehamilan. Lesi ini merupakan sebuah hiperplasi
karena peradangan dari gingiva yang tidak hanya menimpa wanita hamil, tetapi juga
pada wanita selama pubertas, menopause dan selama menggunakan kontrasepsi oral.
(Nasution, 2017; Hasan, 2006)

 Gambaran Klinis

Gambaran klinis epulis gravidarum berupa suatu pertumbuhan jaringan lunak,


berwarna merah, permukaan halus, mudah berdarah dan tidak sakit. Pertumbuhannya
cepat, berbatas tegas, ukuran diameter bervariasi, timbul pada trimester pertama
kehamilan dan tumbuh terus menyertai peningkatan sirkulasi progesterone. Lesi dapat
melekat erat pada mukosa yang dikenal sebagai sessile, atau bisa melekat pada
mukosa dengan tangkainya yang dikenal sebagai pedunculated. Lokasi lesi biasanya
berasal dari papilla interdental atau tepi gingiva, lebih sering terdapat pada maksila
disbanding mandibular. (Hasan, 2006)

Gambar 18. Epulis Gravidarum

 Etiologi
Pada kehamilan biasanya terdapat perubahan hormone yang meyebabkan
masalah gusi dan periodontal. Epulis Gravidarum merupakan reaksi jaringan
granulomatik yang berhubungan dengan peningkatan hormone estrogen dan
progesterone pada wanita hamil. Peningkatan hormone ini akan memacu mukosa
mulut untuk memberi respon berlebihan terhadap trauma ringan. Biasanya dijumpai
pada wanita hamil yang menerita morning sickness karena hormonal, dapat
menyebabkan kebersihan mulut yang buruk sehingga menghasilkan akumulasi plak
dan kalkulus, dan menstimulasi pembentukan granuloma piogenik. (Hasan, 2006)

 Tatalaksana

Penanganan epulis gravidarum tergantung pada keparahan gejala lesi tersebut.


Jika lesi kecil, tidak ada rasa sakit dan tidak berdarah, maka perawatan yang diberikan
adalah observasi klinis dan control rutin. Perawatan oral hygiene dan kunjungan
secara regular saat kehamilan harus direkomendasikan. Pembedahan dilakukan saat
kehamilan jika perdarahan atau nyeri pada lesi menghalangi rutinitas menyikat gigi
atau saat melakukan aktivitas sehari-hari, atau setelah melahirkan lesi tersebut tidak
mengecil. Eksisi lesi dan menghilangkan faktor penyebab atau iritan harus dilakukan,
karena rekurensi berhubungan dengan eliminasi yang kurnag adekuat dari faktor iritan
atau eksisi lesi yang tidak menyeluruh. Eksisi dan perawatan jaringan periodontal
secara menyeluruh dilakukan selama trimester kedua. (Hasan, 2006)

K. Geriatri

 Definisi

Pasien geriatri adalah pasien usia lanjut berusia lebih dari 60 tahun yang
mengalami proses penurunan fungsi tubuh (penuaan/degeneratif), penanganan pasien
lansia biasanya sangat berbeda dan secara signifikan lebih rumit jika dibandingkan
dengan perawatan pada pasien usia muda atau produktif, hal ini berkaitan dengan
fungsi tubuh yang menurun, sistem imun menurun, dan beberapa memiliki kelainan
sistemik sehingga sering kali terjadi komplikasi. Beberapa pilihan perawatan tidak
dianjurkan pada pasien usia lanjut, maka dari itu kualitas hidup perlu dijaga, salah
satu usahanya dengan menjaga kesehatan tubuh termasuk kesehatan rongga mulut
(Glick,2015). Kondisi gigi pada lansia dapat mengalami perubahan, diantaranya gigi
karies, gigi goyang sampai kehilangan gigi. Kondisi mukosa mulut lansia juga dapat
mengalami suatu kelainan. Lesi oral yang paling umum pada orang tua yaitu
inflammatory lesions, kandidiasis, angular cheilitis, vesiculobullous disease seperti
pemfigoid, pemfigus, herpes kemudian traumatic ulcer, lichen planus dan reaksi
lichenoid, trigeminal neuralgia sampai berkembang lesi premalignan serta keganasan
(Glick,2015; Nur'aeny dkk, 2016).

 Gambaran klinis

Gambaran klinis oral mengalami perubahan seiring waktu, termasuk trauma


mukosa, penyakit mukosa, kebiasaan oral, dan hipofungsi kelenjar ludah dapat
mengubah penampilan klinis dan karakter jaringan mulut pada orang yang lebih tua
(Glick,dkk.,2915). Tampilan klinis mukosa pada lansia cenderung terlihat lebih pucat,
tipis dan kering akibat aliran saliva pada rongga mulut mulai berkurang, hal ini
mempengaruhi proses penyembuhan lesi rongga mulut menjadi lebih lambat, mukosa
mulut lebih mudah mengalami iritasi terhadap tekanan dan gesekan (Nur'aeny dkk,
2016). Adapun beberapa gambaran klinis lesi oral yang paling sering dijumpai pada
lansia yaitu sebagai berikut:

- Inflammatory Lesion
Lesi inflamasi yang umum terjadi yaitu hyperplasia papiler. Hiperplasi papiler
biasanya pada orang dengan gigi tiruan rahang atas yang longgar. Gambaran klinis
hiperplasi papiler yaitu lesi berupa nodul multiple, polipoid dan papiler, biasanya
ditemukan pada palatum durum tampak seperti batu bulat (cobblestone).
Hiperplasi papiler sering kali disertai kandidiasis. Selain itu reaksi inflamasi
akibat penggunaan gigi tiruan yaitu epulis fissurata. Epulis fissurata merupakan
lesi yang tampak sebagai hiperplastik, jaringan berlebihan diarea vestibulum.
Jaringan granulasi hiperplastik ini mengelilingi gigitiruan dan dapat menimbulkan
nyeri, perdarahan, dan ulserasi (Glick,2015).
Gambar. Inflamasi hiperplasia papiler pada kasus ini terlihat (pada tanda panah)
inflamasi pada tepat dibawah framework (Gual,dkk.,2016).

- Kandidiasis
Pasien geriatrik lebih rentan terkena penyakit yang disebabkan oleh jamur yang
disebut dengan kandidiasis. Infeksi ini sering ditemukan pada mukosa bukal,
lidah, dan palatum lunak (Langlais, 2009). Kandidiasis pseudomembran
merupakan lesi oral yang paling sering ditemukan. Secara klinis kandidiasis
pseudomembran ini muncul dengan tampilan berupa plak berwarna putih atau
putih kekuningan yang mudah digores kemudian muncul area berwarna
kemerahan. Lesi ini biasanya luas dan melibatkan lebih dari satu bagian pada
rongga mulut seperti mukosa bukal, palatum, lidah, gingiva, dan dasar mulut
(Rajendran, 2012). Pasien biasanya mengeluh nyeri, rasa terbakar, dan perubahan
sensasi pengecapan (Glick,2015). Selain itu kandidiasis atropik juga sering terjadi
pada pasien dengan gigi tiruan. Tampilan klinis lesi ini adalah adanya kemerahan
difus biasanya pada area mukosa dibawah penggunaan gigi palsu, serta umumnya
mukosa relatif kering dengan keluhan yang serupa dengan kandidiasis
pseudomembran (Hakim, 2015).

Gambar. A B Kandidiasis
oral (A) kandidiasis

pseudomembran (B) kandidiasis atropik pada pasien pengguna gigi tiruan


sebagian (Langlais, 2009).

- Keilitis Angular
Keilitis angular sering dikaitkan dengan pengguna denture atau gigi tiruan dan
mengakibatkan keluarnya saliva keluar rongga mulut yaitu pada sudut mulut.
Umumnya ditandai dengan adanya eritema, permukaan yang mengeras dan
adanya retakan (Lamont, 2010; Langlais, 2009). Keilitis angular merupakan
kondisi erosif kronis yang menyakitkan (Langlais, 2009).

Gambar. Keilitis angular (Rajendran, 2012)

- Vesiculobullous Disease
Lesi vesikobulosis atau Vesiculobullous Disease merupakan lesi dengan tampilan
klinis berupa vesikel dan bulla. Vesikel adalah suatu benjolan berisi cairan,
berbatas jelas dalam epidermis yang kurang dari 1cm diameternya, dinding
vesikel sangat tipis dan dapat pecah karena terjadi suatu ulkus atau scar,
tampilan vesikel umumnya terjadi pada infeksi virus seperti herpes simpleks,
herpes zoster, dan cacar. Sedangkan bulla merupakan vesikel yang diameternya
lebih dari 1 cm, kondisi ini terjadi akibat penumpukan cairan pada epidermis-
dermis. Bulla umumnya ditemukan sebagai tampilan klinis lesi pemphigus,
pemfigoid, luka bakar dan epidermolisis bullosa (Febri,2013) Lesi vesikobulosa
yang sering terjadi pada orang tua yaitu pemphigus vulgaris, pemfigoid membran
mukosa, dan lesi yang berhubungan dengan virus herpes. Pemphigus vulgaris
adalah kelainan vesikobulosa, kelainan autoimun yang serius serta berpotensi
mengancam jiwa, biasanya terjadi pada orang tua dengan usia sekitar 50 sampai
60 tahun. Pemfigoid membran mukosa merupakan kelainan imunologis yang
sering menyerang wanita lanjut usia. Penggunaan gigi tiruan lepasan jangka
panjang dapat memperburuk lesi mukosa oral ini (Glick,2015). Selain itu herpes
pada Vesiculobullous Disease dirongga mulut yaitu herpes labialis rekuren, herpes
zoster, jika lesi tereaktivasi melalui salah satu percabangan nervous trigeminus
akan menimbulkan ulserasi vesikobulosa dan pasien usia lanjut biasanya
merasakan nyeri yang signifikan pada rongga mulutnya (Glick,2015).
Gambar. Lesi pemphigus vulgaris oral (Habif, 2010)

- Traumatic ulcer
Traumatic ulcer merupakan salah satu kelainan rongga mulut yang berbentuk
ulkus yang ditandai dengan kehilangan lapisan epitel sampai melebihi membran
basalis. Lesi ini memiliki gambaran khas berupa ulkus tnggal dengan batas yang
tidak teratur, tampak sedikit cekung, tidak ada indurasi, jika dipalpasi terasa lunak
dan sakit. Pada bagian tengah ulkus biasanya berwarna kuning kelabu, dengan
batas yang tegas dan adanya membran fibrinopurulen. Sedangkan pada daerah
perifer lesi pada awalnya terdapat daerah eritematus, kemudian perlahan-lahan
warnanya menjadi lebih muda karena proses keratinisasi (Ernawati 2016).

Gambar. Traumatic ulcer pada mukosa labial (Glick,2015).

- Lichen planus
Lichen planus adalah penyakit dermatologi kronik jinak pada epithelial skuamosa
berlapis yang mempengaruhi kulit, mukosa mulut, dan genital. Lesi memiliki pola
karakteristik garis interkoneksi putih tipis yang disebut dengan “striae” yang
menyerupai pola tanaman lichen seperti tumbuh pada batu dan pohon (Matilla dan
Syrjanen, 2010). Lichen merupakan salah satu lesi rongga mulut yang dapat
terjadi pada pasien geriatri yang muncul karena adanya lichenoid reaction. Dalam
mendiagnosa lesi ini, perlu dilakukan pemeriksaan histopatologis. Lichenoid
reaction dapat disebabkan oleh dental material obat antiinflamasi non-steroid, dan
gangguan sistemik lainnya seperti hipertensi dan diabetes, dapat terjadi dari
manifestasi dari reaksi terhadap obat yang digunakan, penggunaan obat dan
vaksin seperti obat antidiabetes, obat antirematik (terutama NSAID), obat
antihipertensi seperti beta-blocker, tiazida dan diuretik, dan antimalarial seperti
quinacrine (Ghom, 2010). Pasien dengan gingivitis deskuamatif harus
diperhatikan karena memiliki kondisi gingiva yang buruk sehingga dapat berefek
pada kebersihan rongga mulut, inflamasi pada rongga mulut yang parah dan dapat
membuat lingkaran inflamasi sehingga oral hygiene buruk (Glick,dkk., 2015).

Gambar. lichen planus pada mukosa bukal (Glick,2015)

- Salivary glands
Saliva memiliki fungsi penting dalam menjaga kesehatan rongga mulut. Adanya
perubahan kualitas dan kuantitas saliva dapat menyebabkan karies gigi, infeksi
mukosa di rongga mulut, terganggunya indera perasa, disfungsi bicara, penurunan
gizi, dan kesulitan saat mengunyah, menelan serta sulitnya gigi palsu beretensi
(Glick, 2015). Hiposalivasi merupakan menurunnya aliran saliva akibat disfungsi
kelenjar saliva. Gejala klinis dari hiposalivasi yaitu bibir kering, mukosa bukal
kering, tidak terdapat produksi saliva dari kelenjar parotid pada saat palpasi, dan
tingginya angka DMF. Xerostomia merupakan kondisi subjetif dari pasien yang
mengeluhkan keringnya rongga mulut dan hal ini dapat disebabkan karena
menurunnya produksi saliva (Glick, 2015).
- Trigeminal neuralgia
Neuralgia trigeminal atau Tic Douloreux merupakan sindrom nyeri wajah yang
dapat terjadi secara berulang dan bersifat kronik. Nyeri umumnya bersifat
unilateral mengikuti distribusi sensorik dari nervus kranialis V (nervus
trigeminus) dan sering diikuti oleh spasme wajah atau fenomena tic (kontraksi
spasmodik berulang dari otot) pada wajah. Penyebab neuralgia trigeminal bersifat
multifaktorial. Kebanyakan kasus bersifat idiopatik. Gejala yang sering
dikeluhkan adalah nyeri wajah unilateral, spontan, menusuk, dan seperti tersengat
listrik pada daerah yang dipersyarafi oleh cabang nervus trigeminus. Nyeri
bersifat progresif dalam beberapa detik sehingga menimbulkan ekspresi kesakitan
pada pasien, lalu menghilang. Nyeri tidak pernah menjalar dari satu sisi ke sisi
lain tapi dapat dirasakan bilateral dan banyak ditemukan pada kasus multiple
sclerosiss. Pada 60% kasus trigeminal neuralgia terdapat area pencetus yang dapat
berada disekitar hidung dan mulut dan selalu berada disana sehingga pasien dapat
menunjuk area tersebut dan akan menghindari area tersebut. Pemeriksaan fisik
umumnya tidak menunjukan penemuan apapun, kecuali dilakukan setelah nyeri
muncul. Setelah nyeri muncul dapat terjadi penurunan fungsi sensorik pada daerah
nyeri. Pemeriksaan fisik yang dilakukan harus mencangkup pemeriksaan telinga,
mulut, gigi, dan temporomandibular joint untuk menyingkirkan penyebab nyeri
wajah lainnya (Gunawan dkk, 2018).
- Oral cancer
Oral cancer merupakan penyakit yang paling banyak terjadi pada pasien geriatri.
Oral cancer pada pasien lansia dapat terjadi pada lidah, bibir, mukosa bukal, floor
of the mouth, dan posterior oropharynx. Sekitar 90% oral cancer merupakan
squamous cell carcinoma. Lesi ini tampak seperti massa eksofitik, demarkasi dan
ulseratif yang buruk, eritroplakia, atau leukoplakia yang dapat bermetastasis ke
kelenjar getah bening disekitarnya sebelum mellibatkan organ lainnya (Glick,
2015).

Gambar. Tampilan klinis oral cancer pada lidah (Glick,2015).

 Etiologi

Menurunnya respon imunologis semakin meningkatkan kerentanan mereka


terhadap infeksi dan trauma mukosa mulut. Peningkatan insiden gangguan oral dan
sistemik pada pasien yang lebih tua seiring dengan meningkatnya penggunaan obat-
obatan juga dapat menyebabkan gangguan mukosa mulut. Baik perubahan penuaan
normal dan faktor patologis dapat berkontribusi pada patologi oral (Glick,2015).
Etiologi beberapa penyakit yang sering dijumpai pada lansia yaitu:
- Lesi inflamasi
Lesi yang sering terjadi pada orang tua akibat penggunaan gigi tiruan yang tidak
sesuai, longgar maupun terlalu cekat (Glick,2015)
- Kandidiasis
Kandidiasis oral merupakan infeksi opurtunistik tertinggi di dunia yang
disebabkan oleh yeast-like fungus yaitu Candida albicans (Shafer, 2012).
Candida merupakan salah satu flora normal dalam tubuh khususnya rongga mulut,
namun dapat berubah menjadi pathogen sehingga disebut pathogen opurtunistik
yaitu menimbulkan penyakit dalam rongga mulut. Infeksi opurtunistik ini sering
terjadi akibat adanya kelainan sistemik, daya tahan tubuh menurun, mulut kering
akibat penyakit ataupun penggunaan obat – obatan terus-menerus, dan
penggunaan protesa atau gigi tiruan (Glick, 2015).
- Keilitis angular
Infeksi ini disebabkan oleh jamur C. Albicans serta peran dari Staphylococcus
aureus, kemudian kebiasaan menjilat bibir (lip-licking), dan aliran saliva yang
tinggi (Langlais, 2009). Selain itu pada pasien geriatric juga disebabkan oleh
kekurangan nutrisi, biasanya defisiensi vitamin B serta zat besi (Glick, 2015).
- Vesiculobullous Disease
Lesi yang banyak terjadi pada pasien geriatri ini sangat berkaitan dengan kelainan
autoimun dan virus yang menyerang rongga mulut khususnya HSV-1 (herpes
simplex-1) (Glick,2015).
- Traumatic ulcer pada mukosa rongga mulut sering dijumpai pada pasien geriatri.
Traumatic ulcer lebih banyak terjadi pada mukosa labial serta bukal dan
diakibatkan karena lip dan cheek biting, kebiasaan tertentu, penurunan fungsi
motorik, pressure necrosis, buruknya menjaga kebersihan rongga mulut, gigi
patah, restorasi buruk yang menyebabkan iritasi, dan protesa yang longgar
(Glick,2015).
- Lichen planus muncul karena adanya lichenoid reaction. Etiologi lichen planus
belum diketahui secara pasti, tetapi terdapat beberapa bukti yang menunjukkan
bahwa terdapat kelainan imunologi dengan limfosit T yang tertarik ke antigen
dalam ephitelium, baik sel CD4 dan subset sel CD8-T banyak yang ditemukan
tersebar pada interfase jaringan ikat-epitel dari jaringan yang nekrosis.
Keradangan kronis ini akan menyebabkan perubahan epitel, jumlah deposit
fibrinogen yang sangat kuat banyak di membran dasar, dan terjadi kerusakan
lapisan dasar epithelium yang bersangkutan (Mignogna dkk, 2010).
- Oral cancer. Tingkat kejadian oral cancer semakin tinggi seiring dengan
perjalanan usia. Faktor resiko yang menyebabkan penyakit ini selain usia yaitu
tembakau dan alkohol.
- Salivary glands
Seiring bertambahnya usia, kelenjar saliva akan mengalami perubahan histologis.
Komponen sekretori kelenjar yaitu jaringan fibrous dan adiposa mengakibatkan
fungsi kelenjar yang menurun dalam memproduksi saliva. Perubahan kuantitas
dan kualitas saliva tidak hanya karena proses pertambahan usia, tetapi juga karena
kebiasaan buruk, efek dari medikasi, penyakit sistemik dan radiasi terapetik di
kepala dan leher. Dalam manajemen perawatan hipofungsi kelanjar saliva dan
bibir kering diperlukan kedisiplinan dan komunikasi yang baik dari kolaborasi
beberapa praktisi serta pasien dan walinya (Glick, 2015).

 Tatalaksana Dental

Penggunaan obat pada orang dewasa yang lebih tua bisa rumit. Setiap orang
berbeda, dan semua pasien geriatri mungkin tidak memiliki derajat kerusakan yang
sama, sehingga pendekatan individual sangat penting. Evaluasi obat dalam populasi
geriatri sangat penting untuk memastikan bahwa obat digunakan dengan tepat dan
aman. Banyak pasien geriatrik kemungkinan menggunakan banyak obat, banyak di
antaranya dapat mempersulit pemberian perawatan mulut. Oleh karena itu, sangat
penting bagi para profesional perawatan kesehatan mulut untuk mengevaluasi obat-
obatan pasien, farmakokinetik dan farmakodinamik mereka, reaksi merugikan
mereka, dan komplikasinya sebagai bagian dari evaluasi oral / medis komprehensif
pasien geriatri. Selain itu, kantor gigi dapat berfungsi sebagai lokasi untuk pengobatan
kepatuhan dan rekonsiliasi (Glick,2015). Rencana perawatan untuk masing – masing
kelainan mukosa oral pada pasien geriatric yaitu sebagai berikut:

- Lesi inflamasi

Penanganan kasus inflamasi akibat penggunaan gigi tiruan yang tidak


sesuai dapat dengan cara menghentikan penggunaan gigi tiruan sementara
bersamaan dengan terapi antijamur pada kasus yang disertai kandidiasis. Pada
beberapa kasus dapat dipertimbangkan operasi pengangkatan jaringan hiperplastik
namun tidak mengabaikan kondisi umum tubuh pasien jika ingin melakukan
operasi pada lansia. Selain itu juga dapat diindikasikan untuk pembuatan protesa
baru yang sesuai dengan kondisi rongga mulut pasien sehingga tidak longgar dan
menimbulkan inflamasi jaringan (Glick,2015).
- Kandidiasis
Rencana perawatan dimulai dari penegakan diagnosis yang tepat dari
pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang yaitu dengan swab mukosa. Jika
dipastikan infeksi jamur maka dapat diberikan terapi antijamur topikal dan
sistemik. Antijamur dapat menggunakan triazole antifungal terdiri dari
itraconazole, voriconazole, dan posaconazole. Atau dapat juga ketoconazole
namun penelitian menemukan resistensi jamur terhadap ketoconazole tinggi,
muncul beberapa kekhawatiran terhadap interaksi obat khususnya pada lansia
dengan konsumsi berbagai obat-obatan dan dapat menimbulkan
hepatoksisitas(Glick,2015).
- Keilitis angular
Perawatan pada pasien keilitis angular yaitu dengan terapi antijamur serta
dapat dikombinasikan dengan krim steroid yang dioleskan pada area yang
terinfeksi (Glick,2015). Contoh obat yang dapat diberikan yaitu clotrimazole,
nystatin sebagai antijamur serta clioquinol-hydrocortisone krim steroid
(Ganda,2008).
- Vesiculobullous Disease
Pada pasien geriatri dengan Vesiculobullous Disease rencana
perawatannya sama dengan pasien muda pada umumnya yaitu pemberian topical
agent dan sistemik. Namun harus diperhatikan obat-obat lainnya yang telah
dikonsumsi berkaitan dengan kelainan sistemik yang dimilliki pasien. Pada
penderita Vesiculobullous Disease dengan lesi herpes rekuren dapat diterapi
dengan krim topikal serta terapi antivirus sistemik, pada kasus tertentu terapi
antivirus sistemik profilaksis dapat disarankan (Glick,2015).
- Traumatic ulcer

Pada umumnya traumatic ulcer merupakan luka minor dan hanya


membutuhkan obat topikal untuk mengurangi rasa nyeri. Topical agents yang
dapat digunakan yaitu Orabase-B dengan benzocaine, Zilactin, atau Soothen-seal.
Apabila lesi sangat nyeri, pemberian sodium bikarbonat dalam bentuk antiseptic
mouthwash seperti chlorhexidine atau pemberian analgesik benzidamin dapat
dianjurkan. Untuk merawat lesi ini diperlukan identifikasi etiologi penyebab
munculnya lesi sehingga dapat dirawat sesuai etiologi lesi. Apabila setelah dua
minggu tidak terdapat perubahan, maka dapat dilakukan insisi biopsi untuk
pemeriksaan histopatologi (Ernawati, 2016)(Glick, 2015).

- Lichen planus
Apabila lesi Asimptomatik, tidak ada perawatan dan dilakukan
pemeriksaan berkala (1 sampai 2 kali per tahun) terjadi pada lichen planus.
Apabila lesi Simptomatik dapat diberikan kortikosteroid topikal, kortikosteroid
oral, pemeriksaan biopsi dan histologi disarankan. Apabila terdapat candidiasis
dilakukan smear dan diberikan terapi antifungi, terjadi pada lichen planus oral
bentuk eritema dan useratif. Kortikosteroid topikal berupa Triamcinolone
acetonide, dioleskan dengan kapas pada lesi sampai terbentuk lapisan tipis 2-3
kali sehari, tergantung tingkat keparahan. Salah satu kortikosteroid topikal yang
lebih kuat misalnya fluocinonide, betametason, gel clobetasol yang dioleskan
beberapa kali per hari ke area yang paling bergejala biasanya cukup untuk
merangsang penyembuhan dalam jangka 1 atau 2 minggu. Kortikosteroid oral
berupa prednisone atau prednisolon 20-40 mg/hari merupakan perawatan lichen
planus. Penggantian bahan restorasi seperti amalgam dan emas yang berdekatan
dengan lesi oral harus diganti dengan bahan lain karena dapat menghasilkan reaksi
lichenoid atau memperburuk lesi lichen planus. Hentikan konsumsi tembakau dan
alkohol, serta menjaga kebersihan mulut juga sangat penting untuk dilakukan
(Palefsky dkk, 2002) (Glick 2015).
- Oral cancer
Dokter gigi sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan oral cancer
setiap skrining pasien. Tindakan pencegahan yang tepat dapat dilakukan dengan
meminimalisir faktor resiko terjadinya oral cancer seperti paparan sinar matahari,
asupan alkohol yang berlebih, dan penggunaan tembakau. Lesi Oral Cancer yang
kecil dapat diobati dengan pembedahan saja, pengobatan dengan radiasi ditunda
bila terjadi kekambuhan. Lesi yang besar biasanya diobati dengan pembedahan
dan diikuti dengan radiasi serta diseksi pada leher yang efektif atau bersifat
profilaksis yang sering dihubungkan dengan pilosofi primer bedah. Dosis radiasi
yang diperlukan untuk pengobatan Oral Cancer yang berhasil terentang antara
4000 sampai 7000 rads. Dosis radiasi yang dapat mematikan tumor memberikan
efek samping sementara termasuk ulserasi mukosa, nyeri, disgeusia, kandidiasis,
dermatitis, alopesia, dan eritema kulit. Sementara efek samping yang permanen
adalah xerostomia dengan karies servikal tipe radiasi, telangiektasia kulit, atrofi
mukosa mulut dan kulit, alopesia permanen, dan osteoradio nekrosis (Glick, 2015)
(Kusumadewi 2017).
- Salivary glands
Perawatan yang dapat dilakukan dimulai dengan menyingkirkan faktor-
faktor yang menjadi etiologi hipofungsi kelenjar saliva seperti kebiasaan buruk
bernafas melalui mulut serta merokok. Apabila penyebab hipofungsi kelenjar
saliva adalah penyakit sistemik, maka kondisi tersebut sebaiknya dirawat terlebih
dahulu, apabila dsebabkan oleh medikasi yang digunakan dalam menjalani suatu
perawatan, maka medikai dapat diganti dengan efek yang sama dari golongan
yang berbeda untuk mencegah hipofungsi kelenjar saliva. Apabila disebabkan
karena adanya gangguan psikis, maka dapat dirujuk ke psikiater untuk merawat
penyebabnya. Terapi radiasi kepala dan leher telah dipastikan dapat menyebabkan
hipofungsi kelenjar saliva, sehingga untuk mencegah hal tersebut dapat
melakukan embagian dosis menggunakan radioprotektor WR-2721 atau dengan
menstimulasi kelenjar saliva dengan pilokarpin sebelum terapi radiasi (Glick
2015).
- Trigeminal neuralgia
1. Non medikamentosa (Gunawan dkk, 2018)
a) Melakukan edukasi pasien untuk menghindari manuver yang memicu rasa
nyeri, edukasi mengenai perjalanan penyakit juga mengenai efek samping
obat terutama antikonvulsan yang dapat menyebabkan ataksia, sedasi, dan
memengaruhi fungsi hati.
b) Bedah (misal: microvascular decompression). Terdapat beberapa metode
bedah, seperti microvascular decompression. Microvascular decompression
merupakan metode yang sering digunakan. Microvascular decompression
biasa dilakukan pada pasien yang usianya lebih muda dan lebih sehat.
c) Radiasi (misal: gamma-knife surgery)
2. Medikamentosa (Gunawan dkk, 2018)
Farmakoterapi harus dimulai paling dulu sebelum terapi invasif lainnya.
Karbamazepine (100-600 mg/hari) adalah obat pilihan dalam mengatasi
neuralgia trigeminal, sementara lamotigrine dan baclofen merupakan obat lini
kedua. Penggunaan obat tunggal dapat memberikan remisi, namun jika terjadi
rekurensi, penggunaan 2-3 obat dapat dipertimbangkan.

L. Kelainan Neuralgia

Kelainan neurologis merupakan kelainan yang umum terjadi dipopulasi dengan


prevalensi 3-5%. Beberapa penyakit yang mempengaruhi sistem saraf memiliki signifikansi
klinis dalam praktik kedokteran gigi. Penyakit-penyakit ini dapat bervariasi dalam tingkat
keparahan dan konsekuensinya (buku wulan). Adapun beberapa penyakit neuralgia yang
paling umum dan berdampak pada region orofasial antara lain stroke, penyakit parkinson,
penyaki Alzheimer, epilepsy dan multipel sklerosis (MS) (buku wulan). Tanda-tanda dan
gejala serta komplikasi penyakit ini memiliki dampak yang signifikan pada kesehatan mulut
serta pertimbangan perawatan gigi (Burket dan Greenberg, 2008).

Komplikasi yang dapat terjadi selama perawatan gigi seperti stroke, infark miokard
(MI), perdarahan hebat, hilang kesadaran, dan infeksi. Peristiwa ini terbukti serius atau fatal.
Dokter gigi harus dapat mendeteksi pasien dengan kelainan neurologis, berdasarkan pada
riwayat dan temuan klinis, dapat merujuk pasien untuk penegakan diagnosis dan
perawatannya, dan bekerja sama dengan praktisi kesehatan lain untuk mengembangkan
rencana perawatan gigi yang efektif dan aman bagi pasien (buku wulan).

1. Stroke
 Definisi

Stroke adalah istilah umum yang digunakan untuk mengacu kepada kejadian
cerebrovascular / CVA yang merupakan kejadian neurlogis serius dan bahkan fatal
oleh interupsi tiba-tiba dari darah yang mengandung oksigen ke otak. Cidera iskemik
yang terkait menyebabkan nekrosis pada jaringan otak, yang mungkin akan fatal jika
dampaknya besar. Walaupum pada stroke yang tidak fatal, pasien sering dilemahkan
dalam fungsi gerak, bicara atau kognisi dalam beberapa tingkat (Little, 2018).
 Gambaran Klinis
Selama perkembangan menjadi stroke, pasien bicara yang tidak jelas, lemah
otot atau kesulitan menelan. Setelah strokre, dapat terjadi kesulitan atau hilangnya
kemampuan bicara, paralisis unilateral dari otot orofasial, dan kehilangan stimuli
sensori dari jaringan oral. Lidah dapat menjadi lemah, dengan lipatan multiple dan
mungkin menyimpang ekstrusi. Disfagia merupakan gambaran yang sering terjadi
bersama dengan kesulitan mengolah cairan dan padatan. Pasien dengan kerusakan
otak bagian kanan mungkin akan mengabaikan sisi kiri. Sehingga makanan dan debris
mungkin akan terakumulasi disekitar gigi, dibawah lidah atau di alveolar folds. Selain
itu kondisi lainnya seperti karies, penyakit periodontal, dan halitosis sering terjadi
karena pasien yang kesulitan membersihkan rongga mulut atau gigi tiruan dengan satu
tangan sehingga membutuhkan asisten untuk menjaga oral hygiene (Little, 2018).
 Tatalaksana Dental
Manajemen pasien stroke atau pasien dengan riwayat stroke diantaranya
adalah melakukan perawatan di pagi hari untuk mengurangi kecemasan dan stress.
Bantuan asisten saat berpindah ke kursi gigi juga diperlukan. Operator harus bergerak
secara perlahan dan harus berbicara jelas dengan masker yang dibuka sambal menatap
pasien. Tekanan darah juga harus dimonitoring. Penggunaan anestesi yang digunakan
harus dengan jumlah yang bijak. Sekiranya dengan lokal anestesi epineprin 1:100.000
atu 1:200.000 dalam 4ml atau kurang (Little, 2018).
Modifikasi teknis mungkin dibutuhkan untuk pasien dengan deficit fisik
residual yang memiliki kesulitan dalam menjaga oral hygine yang adekuat. Untuk
pasien seperti ini, gigi tiruan tetap lebih disarankan daripada gigi tiruan lepasan
karena dikaitkan dengan kesulitan saat pemasangan dan pelepasan gigi tiruan. Seluruh
restorasi harus diletakkan dengan pertimbangan kebersihan. Untuk menjaga oral
hygiene dapat difasilitasi dengan penggunaan sikat gigi elektrik dengan pegangan
yang besar. Dianjurkan juga untuk melakukan aplikasi fluoride rutin dan penggunaan
chlorhexidine (Little, 2018).

2. Penyakit Parkinson
 Definisi

Penyakit Parkinson adalah gangguan neurodegenerative yang progresif dari


neuron yang menghasilkan dopamine. Kehilangan dari neuron-neuron ini
mengakibatkan gangguan motoric seperti tremor istirahat, gangguan kontrol otot dan
kekauan otot, pergerakan, bradykinesia dan ketidakstabilan postural. Penyakit ini
kronis dan progresif dan tidak dapat disembuhkan (Little, 2018).
 Gambaran Klinis

Penyakit Parkinson dihubungkan dengan mata terbelalak, air liur berlebih dan
berliur dan menurunnya frekuensi berkedip dan menelan. Kekauan otot membuat
gerakan otot berulang dan membuat pemeliharaan oral hygiene menjadi sulit. Akibat
penggunaan obat sering menghasilkan xerostomia, mual dan tardive dyskinesia.
Apabila pasien mengalami xerostomia, memungkinkan untuk mengalami disfagia dan
retensi gigi tiruan yang buruk (Little, 2018).
 Etiologi

Penyakit Parkinson disebabkan oleh kematian dan penipisan dari neuron


dopaminergik yang diproduksi pada substansia nigra dan dilepaskan pada caudate
nucleus dan putamen. Etiologi dari Parkinson dipercaya merupakan kombinasi
variable faktor genetic dan lingkungan yang kurang dipahami. Penyebab lainnya
termasuk stroke, tumor otak dan cedera kepala yang merusak sel pada jalur
nigrostriatal. Paparan mangan pada penambang dan tukang las, merkuri dan carbon
disulfida dapat bersifat neurotoksik, memberikan peningkatan gejala pada Parkinson.
Selain itu, obat neuroleptic mungkin menyebabkan gejala parkinsonian dan kekakuan.
Penyakit Parkinson dikatakan disebabkan oleh lingkungan dan faktor genetic yang
memicu kegagalan pada pergantian protein yang dimediasi oleh proteasome pada
neuron yang lemah menyebabkan akumulasi protein toksik yang menyebabkan
degenerasi dan kehilangan neuron berpigmen, utamanya yang berasal dari substansia
nigra dan lesi destruksi pada sirkuit ke sistem limbik, sistem motoric dan pusat-pusat
yang mengatur fungsi otonom (Little, 2018).
 Tatalaksana Dental

Karena defek otot dan tremor yang dapat mengakibatkan oral hygiene yang
buruk, dokter gigi harus menilai kemampuan pasien untuk membersihkan rongga
mulutnya dengan demonstrasi. Untuk pasien yang tidak mampu mendapatkan
perawatan yang adekuat, solusi alternative yang bisa diberikan adalah dengan
memperkenalkan sikat gigi collis curve, sikat gigi mekanis dan obat kumur
chlorhexidine.Untuk mengurangi kemungkinan pasien jatuh dari kursi gigi, pasien
harus diasistensi dan setelah selesai perawatan, kursi harus digerakan perlahan. Untuk
pasien dengan kondisi xerotomia, dapat menggunakan saliva artifisial untuk
mengurangi gejala. Pengaplikasian topical fluoride harus dipertimbangkan untuk
pasien dengan xerotomia untuk mencegah karies (Little, 2018).
3. Penyakit Demensia dan Alzheimer
 Definisi
Demensia adalah sindroma, biasanya kronis dan progrsif alamiah dimana
terdapat kemunduran fungsi kognitif. Gangguan ini merusak kemampuan individu
untuk memproses pikiran yang akibatnya menganggu fungsi sehari-hari dan
mengakibatkan hilangnya kemandirian. Demensia terdiri dari penurunan lambat,
progresif, kronis dalam kemampuan intelektual yang mencakup penurunan ingatan,
pemikiran dan pertimbangan abstrak. Utamanya, penyakit ini adalah penyakit
penuaan dimana lebih dari 40% kasus terjadi pada usia 85 tahun dan 1% kasus pada
usia 60 tahun (Little, 2018).
 Gambaran Klinis
Pasien dengan Alzheimer sedang dan parah mungkin tidak memiliki minat
dalam merawat diri dan mungkin kurang kemampuan untuk melakukan hal itu. Oleh
karena itu, oral hygiene mereka buruk dan masalah gigi meningkat. Kebanyakan obat
yang digunakan untuk mengobati ganguuan kejiawaan berkontribusi untuk
meningkatkan masalah gigi seperti xerostomia. Pasien dengan penyakit Alzheimer
memiliki insidensi tinggi dari mulut kering, lesi mukosa, kandidiasis, plak dan
kalkulus, penyakit periodontal dan karies. Pasien sering mengalami cedera mulut
akibat jatuh dan ulser pada lidah, pipi dan mukosa alveolar akibat dari kecelakaan
garpu atau sendok atau saat mastikasi, atrisi dan abrasi gigi, kehilangan gigi dan
migrasi gigi. Pada pasien edentulous dengan demensia mungkin bisa salah
meletakkan atau menghilangkan gigi tiruan dan bahkan bisa salah meletakkan gigi
tiruan seperti gigi tiruan rahang atas dipakai dirahang bawah dan sebaliknya (Little,
2018).

 Etiologi
Penyebab demensia yang paling umum adalah penyakit Alzheimer, demensia
vascular dan demensia yang diakibatkan oleh penyakit Parkinson. Penyebab lainnya
termasuk ensefalopati hati, gangguan asam-basa dan elektrolit, hipoglikemia, trauma
kepala, penyakit tiroid, uremia, AIDS dan obat-obatan. Penyebab Alzheimer tidak
diketahui namun tampaknya melibatkan hilangnya neuron kolinergik. Faktor-faktor
yang tidak dikenal memicu deposisi plak beta-amiloid yang memicu respom
inflamatori, kerusakan oksidatif, cedera neuritis progresif dan hilangnya neuron-
neuron kortikal yang mengakibatkan kadar neurotransmitter yang penting untuk
pembelajaran dan ingatan menurun. Faktor resiko pada Alzheimer yaitu usia dan
riwayat demensia keluarga (Little, 2018).

 Tatalaksana Dental

Manajemen gigi untuk pasien dengan penyakit ringan sampai sedang


umumnya agar dapat menerima perawatan gigi secara rutin. Seiring progress
penyakitnya, antipsikotik, antidepresan dan ansiolotok sering digunakan untuk
memanajemen gangguan perilaku dimana obat-obatan ini berkontribusi terhadap
xerostomia dengan peningkatan resiko untuk karies gigi. Manajemen terbaik untuk
pasien dengan Alhzeimer adalah dengan pengertian dan pendekatan empati. Operator
beserta staff harus berkomunikasi dengan perilaku positif mengenai perawatan gigi
yang akan dilakukan kepada pasien maupun anggota keluarga pasien. Pasien
Alzheimer harus diberikan program preventif agresif, termasuk kontrol 3 bulan
berkala, screening gigi, aplikasi topical fluoride, edukasi kebersihan rongga mulut dan
penyesuaian protesa (Little, 2018).

Pasien dengan demensia ringan, kesehatan oral harus segera direstorasi karena
progresif alami dari penyakit ini. Pasien dengan demensia sedang mungkin tidak
dapat menerima perawatan gigi seperti saat tahap awal penyakit, maka dari itu
perawatan yang dilakukan yaitu mempertahankan status dental dan meminimalkan
kerusakan. Pasien dengan demensia lanjut seringkali merasa cemas dan tidak
kooperatif dan sangat sulit untuk dirawat. Pasien seperti ini paling baik dimanajemen
dengan perawatan singkat dan prosedur yang tidak kompleks. Pada kasus lanjut,
penggunaan gigi tiruan lepasan tidak disarankan karena dapat berbahaya dari
menciderai diri sendiri (Little, 2018).

4. Epilepsi
 Definisi
Epilepsi merupakan kelainan atau sindrom yang merujuk pada sekelompok
gangguan ditandai dengan perubahan paroxysmal kronis dan berulang (kejang),
perubahan kesadaran, atau gerakan tidak sadar yang disebabkan oleh aktivitas listrik
abnormal di otak (Little dkk., 2018).
 Etiologi
Berdasarkan etiologi, epilepsy dibagi menjadi 2 golongan yaitu:
− Epilepsi primer / idiopatik epilepsy
Adalah epilepsy yang penyebabnya tidak diketahui secara pasti.
− Epilepsi sekunder / acquired epilepsy
Adalah epilepsy yang terjadi akibat adanya anomali metabolik, genetik, dan
struktural. Gangguan metabolic yang berhubungan dengan epilepsy adalah
ketidakseimbangan elektrolit, asidosis, hiperglikemia, hipoglikemia, dan hipoksia
pada pasien sepsis, hipertensi, lupus dan DM. Penyebab lain adalah malformasi
vascular serebral, tumor otak, trauma kepala, trauma kelahiran dan infeksi bayi
selama kehamilan, penyakit radang dan penyakit menular (Mehmet dkk., 2012).

 Gambaran Klinis
− Gingival overgrowth/hiperplasia
Gingival overgrowth merupakan komplikasi pada rongga mulut yang paling
sering terjadi pasa pasien epilepsi. Kelainan ini terjadi sebagai efek samping dari
obat anti epilepsi. Obat anti epilepsy yang berpengaruh terhadap gingival
hyperplasia adalah phenytoin dengan insiden rata-rata 42%. Kecenderungan lebih
sering terjadi pasa anak-anak dibandingkan dewasa. Gingival labial rahang atas
dan bawah merupakan permukaan yang paling sering terkena (Little dkk., 2018).
Kelainan biasanya terlihat dalam 2-18 bulan setelah memulai pengobatan.
Phenytoin mengubah jalur molekul yang mengontrol degradasi kolagen oleh
fibroblast sehingga terjadi akumulasi kolagen yang memicu pertumbuhan gingiva
berlebih (Burket dan Greenberg, 2008).
Gambar. Pembesaran gingiva diinduksi oleh phenytoin (Little dkk.,2018)
Rencana perawatan : dianjurkan menjaga kebersihan rongga mulut menggunakan
obat kumur chlorhexidine untuk meminimalkan peradangan gingiva dan
mencegah pertumbuhan berlebih . Pasien rutin ke dokter gigi untuk memantau
kondisi gingiva. Pembedahan jaringan gingiva diperlukan jika terjadi
pertumbuhan gingiva berlebih yang signifikan. Setelah koreksi, pasien harus
meningkatkan kesadaran akan kebersihan rongga mulut untuk menjaga
oralhygiene baik (Burket dan Greenberg, 2008) (Little dkk.,2018).
− Stomatitis Aphtosa recurrent dan Sindrom steven johnson
merupakan salah satu kelainan yang jarang muncul pada pasien dengan epilepsy
sebagai efek samping dari penggunaan obat antiepilepsi seperti phenytoin,
valproic acid, lamotrigine, phenobarbital, and carbamazepine (Little dkk.,2018).
Masalah dermatologi dapat muncul pada pasien yang mengkonsumsi obat anti
epilepsi yaitu terjadinya ruam. Antara 5%-7% dari pasien yang menggunakan
fenitoin dan 5% - 17% menggunakan karbamazepin mengalami ruam. Obat anti
epilepsi jenis lamotrigin diketahui memiliki resiko tinggi yang dapat
menyebabkan ruam pada anak-anak yaitu 18.2%. Sebagian besar obat anti
epilepsi menimbulkan ruam yang tidak berbahaya, tetapi ada yang menyebabkan
ruam yang serius, seperti terjadinya sindrom Steven-Johnson. Keadaan sindrom
Steven-Johnson merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus
yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium
serta mata dengan keadaaan umum bervariasi dari ringan hingga berat. Penyebab
umum sindrom ini berkaitan dengan respon imun tubuh terhadap obat anti
epilepsy (Aragon dan Burneo, 2007)
Gambar. Stomatitis Aftosa Reccurent pada anak penderita epilepsy (Cameron
dkk., 2005)
− Xerostomia
Xerostomia merupakan efek samping penggunaan obat anti epilepsy terutama
carbamazepine (Mehmet dkk., 2012) Ketika flow saliva menurun, maka kapasitas
buffer saliva akan menurun. Hal ini menyebabkan suasana rongga mulut rentan
terhadap pengasaman dan memicu perubahan flora normal (ketidakseimbangan
ekologis) yang berkontribusi terhadap peningkatan jumlah mikroorganisme seperti
candida albicans dan Streptococcus mutans (Escobar dan Saavendra, 2018). Hal
inilah yang menyebabkan peningkatan karies gigi dan candidiasis oral pada pasien
epilepsi.
Rencana Perawatan : Penggunaan topikal fluoride pada pasien epilepsy dengan
resiko tinggi karies. Peresepan obat antifungal apabila terjadi perkembangan
candidiasis rongga mulut (Burket dan Greenberg, 2008).
− Laserasi lidah
Pasien dengan kejang yang tidak terkontrol sering datang dengan tanda-tanda
intraoral berupa trauma seperti gigi retak, dan laserasi ada jaringan lunak (Little
dkk.,2018). Insiden menggigit lidah pada pasien dengan epilepsy terjadi paling
sering pada anak dengan prevalensi 56%. Paling sering terjadi pada lateral lidah,
sedangkan pada kasus kejang psikogenik lebih sering menggigit pada lidah dan
bibir (Ghafoor dkk., 2014).
Gambar . Laserasi pada dorsum lidah (Arfandi dkk., 2019).

Gambar post treatment (Arfandi dkk., 2019).


Tata-laksana pada perawatan laserasi lidah adalah dilakukan local anestesi (pada
pasien anak yang tidak kooperatif biasanya dilakukan general anesthesia),
debridement luka dengan larutan NaCl 0,9%, kemudian dilakukan suturing pada
otot lidah dengan horizontal mattress suture dan mengunakan teknik simple
interrupted pada superficial. Kemudia pasien diberikan medikasi berupa
amoxicillin 3x180mg, paracetamol 3x180mg, dan edukasi kepada orang tua untuk
menjaga kebersihan area bekas luka (Arfandi dkk., 2019).

Gambar. Bilateral tongue-bite (Gupta, 2014).

 Tatalaksana Dental
− Mengevaluasi dan mengidentifikasi kelainan yang diderita pasien berdasarkan
riwayat medis dan berdiskusi dengan orang tua atau anggota keluarga pasien.
Setelah pasien epilepsy teridentifikasi, dokter gogi harus menganalisa jenis
kejang, penyebab, penggunaan obat, kualitas dari kontrol kejang, frekuensi
kejang dan faktor pencetus (Little dkk.,2018)
− Sebelum memulai perawatan sangat dianjurkan untuk dokter gigi melakukan
pendekatan kepada pasien bertujuan untuk mengurangi rasa takut atau stres.
Stres merupakan salah satu faktor pencetus terpenting yang dapat
menyebabkan bangkitan epilepsi. Stres harus diminimalkan sebelum memulai
perawatan. Hal ini dapat dilakukan dengan tehnik komunikasi verbal dan non
verbal yang baik (Aragon dan Burneo, 2007)
− Serangan bangkitan epilepsi dapat kambuh secara mendadak pada saat
dilakukan perawatan gigi dan mulut, maka penanggulangan yang dapat dokter
gigi lakukan yaitu menghentikan perawatan, mengeluarkan instrumen dari
mulut pasien, mengatur dental chair pada posisi terlentang, melonggarkan
pakaian pasien yang ketat, memantau pasien untuk memastikan jalan napas
tidak terhalang, tidak menahan tubuh pasien, serta tidak memasukkan jari
kedalam mulut pasien karena beresiko tergigit. Pemberian obat diperlukan
pada pasien dengan kekambuhan kejang yang berlangsung lebih dari 3 menit
dan berulang, jika kejang berlangsung lama dan berlanjut meskipun sudah
diberi obat, pasien harus dibawa ke rumah sakit (Little dkk.,2018)

5. Multiple Sklerosis
 Definisi

Multipel sklerosis merupakan penyakit yang dimediasi oleh autoimun yang


paling umum terjadi pada sistem saraf (Little dkk.,2018). Multipel sklerosis (MS)
merupakan penyakit inflamasi kronis yang mengenai system saraf pusat (Gallud dkk.,
2015). Multipel sklerosis ditandai dengan adanya demielinasi kronis dan terus
menerus dari corticospinal tract di otak maupun di sumsum tulang belakang. Sistem
saraf tepi tidak terpengaruh.
 Etiologi

Penyebab multiple sklerosis belum diketahui secara pasti. Namun beberapa


menyakini penyakit ini dipicu oleh adanya infeksi. Dalam beberapa penelitian
disebutkan bahwa terdapat hubungan antara beberapa mikroba (seperti virus rabies,
virus campak, virus herpes, dan Chlamydia pneumonia) dengan multiple sklerosis.
Pada pasien dengan multipel sklerosis diidentifikasi dngan adanya human herpes virus
type 6 (HHV-6) didaerah demielinisasi system saraf pusat. Namun tidak semua orang
yang terinfeksi HHV-6 mengalami multiple sklerosis. Faktor predisposisi lain yang
berkaitan adalah faktor lingkungan, genetik dan imunitas. Multiple sklerosis lebih
sering terjadi pada kembar monozigot dengan tingkat kesesuaian 30% (Little
dkk.,2018) (Gallud dkk., 2015).

 Gambaran Klinis

Multipel sklerosis merupakan penyakit yang bersifat destruktif yang


mempengaruhi rongga mulut dan area maksilofasial secara kompleks (Lassemi dkk.,
2014). Manifestasi pada rongga mulut dan wajah yang paling sering ditemukan oleh
dokter gigi antara lain:
− Trigeminal neuralgia
Trigeminal neuralgia merupakan nyeri yang tiba-tiba, biasanya unilateral, tajam,
hebat, singkat, dan berulang yang berdistribusi pada satu atau lebih cabang dari
saraf trigeminal atau saraf kranial kelima (Zakrzewska, 2014).
− Paresthesia dan Disestesia
Merupakan gangguan sensorik berupa rasa kesemutan , rasa geli seperti tertusuk-
tusuk jarum dan peniti. Kondisi ini dialami oleh 21-55% pasien multiple sklerosis
(Estiasari, 2014). Disestesia merupakan rasa tidak nyaman yang abnormal, terjadi
baik secara spontan (tanpa stimulus) maupun dengan stimulus. Keluhan
disestesia berupa rasa seperti terbakar yang berat dan rasa gatal (Kirby, 2013).

Gambar. Gangguan sensorik dysethesia pada komisura bibir (Gallud dkk., 2015).
− Disartria
Merupakan gangguan gerakan motorik dalam artikulasi / scanning speech.
Akibatnya pasien dengan multipel sklerosis memiliki ciri berbicara lambat dan
tidak teratur dengan pemisahan suku kata yang tidak teratur (Little dkk.,2018)
− Xerostomia
Merupakan gejala klinis akibat efek samping penggunaan obat untuk mengatasi
gejala multipel sklerosis seperti obat anticonvulsant, muscle relaxant,
antikolinergik, dan antidepressant. Obat-obatan yang menyebabkan pengurangan
saliva meningkatkan risiko penyakit mulut, seperti karies gigi, penyakit
periodontal dan infeksi jamur candida (Cockburn dkk., 2017).

Gambar. Candidiasis oral pada pasien dengan multipel sklerosis (Scardina dkk.,
2007).

 Tatalaksana Dental

Dokter gigi memainkan peran penting dalam mengarahkan pasien dengan


temuan klinis yang menunjukkan gangguan multipel sklerosis ke penyedia layanan
kesehatan yang tepat untuk diagnosis pasti. Adanya keluhan nyeri wajah abnormal
seperti trigeminal neuralgia, mati rasa ekstremitas, gangguan penglihatan, atau
kelemahan otot mengharuskan dilakukannya pemeriksaan neuromuskuler. Penyakit
multipel sklerosis dicurigai jika onsetnya progresif, biasanya pasien berusia antara 20
dan 35 tahun, dan dengan ciri khas kelelahan pada siang hari. Dengan kecurigaan
demikian, pasien dapat dirujuk ke ahli saraf untuk menegakkan diagnosis dan
perawatan.

Pasien yang mengalami gejala multipel sklerosis tidak dapat menerima


perawatan gigi. Dalam kondisi darurat, penting mempertimbangkan obat yang
dikonsumsi pasien. Pada prosedur bedah diperlukan pemberian kortikosteroid yang
bersifat imunosupresif dengan peningkatan dosis. Dokter gigi harus berkonsultasi
dengan dokter pasien sebelum perawatan gigi darurat dilakukan.

Waktu optimal untuk perawatan adalah selama periode remisi. Rencana


perawatan harus mempertimbangkan efek obat dalam manajemen multipel sklerosis
terhadap kesehatan rongga mulut. Salah satu efek obat kolinergik adalah xerostomia
sehingga perlu pertimbangan untuk menggunakan artificial saliva atau pemberian
pilocarpine untuk meningkatkan merangsang aliran saliva. Umumnya pasien dengan
multipel sklerosis mengalami kelelahan pada siang hari, sehingga sebaiknya
dilakukan perawatan saat pagi hari (Little dkk.,2018).

Anda mungkin juga menyukai