Anda di halaman 1dari 22

STEP 7

1. DEFINISI THANATOLOGY
Tanatologi adalah suatu istilah yang muncul pada abad ke 19 dan berasal dari Bahasa
Yunani Thanatos; kematian dan Logos; ilmu. Tanatologi adalah ilmu yang mempelajari
segala aspek yang berkaitan dengan mati; meliputi definisi, cara-cara melakukan diagnosis,
perubahan-perubahan yang terjadi setelah mati dan kegunaannya
 Jenis Kematian
 Mati somatis (mati klinis) ialah suatu keadaan dimana oleh karena sesuatu sebab terjadi
gangguan pada ketiga sistem utama tersebut yang bersifat menetap. Pada kejadian mati
somatis ini secara klinis tidak ditemukan adanya refleks, elektro ensefalografi (EEG)
mendatar, nadi tidak teraba, denyut jantung tidak terdengar, tidak ada gerak pernapasan
dan suara napas tidak terdengar saat auskultasi.
 Mati suri (apparent death) ialah suatu keadaan yang mirip dengan kematian somatis,
akan tetapi gangguan yang terdapat pada ketiga sistem bersifat sementara. Kasus seperti
ini sering ditemukan pada kasus keracunan obat tidur, tersengat aliran listrik dan.
 Mati seluler (mati molekuler) ialah suatu kematian organ atau jaringan tubuh yang
timbul beberapa saat setelah kematian somatis. Daya tahan hidup masing-masing organ
atau jaringan berbeda-beda, sehingga terjadinya kematian seluler pada tiap organ tidak
bersamaan.
 Mati serebral ialah suatu kematian akibat kerusakan kedua hemisfer otak yang
irreversible kecuali batang otak dan serebelum, sedangkan kedua sistem lainnya yaitu
sistem pernapasan dan kardiovaskuler masih berfungsi dengan bantuan alat.
 Mati otak (mati batang otak) ialah kematian dimana bila telah terjadi kerusakan seluruh
isi neuronal intrakranial yang irreversible, termasuk batang otak dan serebelum. Dengan
diketahuinya mati otak (mati batang otak) maka dapat dikatakan seseorang secara
keseluruhan tidak dapat dinyatakan hidup lagi, sehingga alat bantu dapat dihentikan.

2. KEGUNAAN THANOTOLOGI
Kepentingan mempelajari tanatologi adalah untuk menetapkan :
a. Waktu kematian
b. Sebab kematian pasti
Contoh : keracunan CO akan terdapat kulit merah terang (terjadi perubahan warna
kulit)
c. Cara kematian (homocide, suicide, accident)
d. Transplantasi (donor organ)
Syarat:
- Ada izin dari korban/ keluarganya
- Sudah meninggal

3. TANDA TANDA KEMATIAN


Untuk mendiagnosa perubahan cepat dari kematian digunakan beberapa alat antara lain
stetoskop, lampu senter, palu reflek, EEG, dan ECG. Prinsipnya adalah mendeteksi traktus
respiratorius dan denyut jantung.
Beberapa tes yang dapat digunakan adalah :
a. Tes kardiovaskuler.
- Magnus test.
Karena jantung berhenti maka sirkulasi juga berhenti. Caranya dengan
mengikat/menutup ujung jari korban dengan karet, lalu dilepaskan, maka tidak
tampak adanya perubahan warna dari pucat menjadi merah.
- Diaphonos test.
Caranya dengan menyinari ibu jari korban dengan lampu senter dan tidak terlihat ada
sirkulasi (warna merah terang).
- Fluorescin test.
Caranya dengan menyuntikkan zat warna fluorescin maka zat warna fluorescin akan
terlokalisir di tempat suntikan karena tidak ada aliran darah.
- Tes lilin.
Bagian tubuh korban ditetesi lilin cair maka tidak akan terjadi vasodilatasi (hiperemi)
sebagai reaksi terhadap rangsang panas karena sirkulasi tidak ada.
- EKG dan Stetoskop.
b. Tes pernafasan.
 Kaca.
Tidak tampak uap air ketika kaca diletakkan di depan hidung atau mulut korban.
 Bulu-bulu halus.
Tidak terdapat reaksi bersin/ geli ketika bulu-bulu halus diletakkan di depan hidung
korban.
 Winslow test
Dilakukan pada orang yang pernafasannya agonal (tinggal satu-satu nafasnya) dengan
cara menempatkan cermin di dada korban dan disinari dengan lampu senter. Bila
bernafas maka sinar lampu senter akan ikut bergerak dengan syarat pemeriksa tidak
boleh bergerak. Atau bisa menggunakan baskom berisi air yang akan bergerak bila
ada pergerakan di dada.
 Stetoskop.
c. Tes Saraf
 Memeriksa reflex : reflex kornea
 EEG

Kriteria tradisional kematian somatic berdasarkan konsep “permanent cessation of heart


beating and respiration is death”, dikatakan berhenti permanen (permanent cessation) jika
fungsi jantung dan paru terhenti sekitar 10 menit. Terakhir konsep diagnostic kematian
berdasarkan “brain stem death is death”. Secara teoritis kematian sudah bias ditegakkan
jika jantung dan paru berhenti selama 10 menit, dan sel-sel otak akan mengalami
kerusakkan ireversibel jika tidak mendapat suplai oksigen selama 10 menit. Dan pada
prakteknya di Indonesia dilakukan pengamatan selama 2 jam, karena terdapat berbagai
kesalahan teknis dalam menentukan terhentinya system sirkulasi dan pernafasan tersebut.
Maka dari itu setelah diamati 2 jam dan jika tidak juga ada tanda-tanda kehidupan, barulah
yang bersangkutan dinyatakan mati.
5
Tanda-tanda kematian tidak pasti:
1. Hilangnya semua respon terhadap sekitar (respon terhadap komando/perintah,
taktil, dan sebagainya).
2. Tidak ada reflek pupil, kornea, menelan, batuk, vestibulo-okularis.
3. Pernafasan berhenti, dinilai selama lebih dari 10 menit (inspeksi, palpasi,
auskultasi).
4. Terhentinya sirkulasi, diniai selama 15 menit, nadi karotis tidak teraba.
5. Kulit pucat, tetapi bukan merupakan tanda yang dapat dipercaya, karena mungkin
terjadi spasme agonal sehingga wajah tampak kebiruan.
6. Tonus otot menghilang dan relaksasi. Relaksasi dari otot-otot wajah menyebabkan
kulit menimbul sehingga kadang-kadang membuat orang menjadi tampak lebih
muda. Kelemasan otot sesaat setelah kematian disebut relaksasi primer. Hal ini
mengakibatkan pendataran daerah-daerah yang tertekan, misalnya daerah belikat
dan bokong pada mayat yang terlentang.
7. Pembuluh darah retina mengalami segmentasi beberapa menit setelah kematian.
Segmen-segmen tersebut bergerak kea rah tepi retina dan menetap.
8. Pengeringan kornea menimbulkan kekeruhan dalam waktu 10 menit yang masih dapat
dihilangkan dengan meneteskan air.

4. PERUBAHAN SETELAH KEMATIAN

Ada 2 fase perubahan post mortem yaitu fase cepat (early) dan fase lambat (late).
Perubahan cepat (early) :
- Tidak adanya gerakan.
- Jantung tidak berdenyut (henti jantung).
- Paru-paru tidak bergerak (henti nafas).
- Kulit dingin dan turgornya menurun.
- Mata tidak ada reflek pupil dan tidak bergerak.
- Suhu tubuh sama dengan suhu lingkungan lebam mayat (post mortal lividity).
- Lebam mayat.
Perubahan lambat (late) ;
- Kaku mayat (post mortal rigidity).
- Pembusukan (decomposition).
- Penyabunan (adipocere).
- Mummifikasi.
 Perubahan Mata
Perubahan mata setelah kematian dapat berupa :
- Hilangnya refleks kornea, refleks konjungtiva, dan refleks cahaya.
- Kornea menjadi pucat / opaque / keruh.
- Kelopak mata biasanya tertutup setelah kematian karena kekakuan primer dari otot tetapi
kekakuan otot biasanya sukar untuk membuat mata menutup menjadi lengkap sehingga
akan tampak sklera, sel debris, mukus dan debu dalam beberapa jam kematian, menjadi
merah kecoklatan dan kemudian menjadi hitam (Taches Noire De La Sclerotique).
Kecepatan kekeruhan dipengaruhi oleh :
 Waktu kematian keadaan matanya menutup atau membuka (bila menutup maka
kekeruhan lambat terjadi, tapi bila membuka, maka kekeruhan akan cepat terjadi
akibat kontak dengan luar).
 Kelembapan udara (bila lembab maka kekeruhan lambat, bila kering / angin
kencang maka kekeruhan cepat terjadi).
 Keadaan korban sebelum mati (bila sakit mata maka kekeruhan akan cepat
terjadi).
 Faktor – faktor penyebab kematian lainnya seperti :
 Apoplaxia (perdarahan karena hipertensi) akan tampak kornea terang
karena terjadi perdarahan retina.
 Keracunan sianida dan CO maka kekeruhan akan cepat terjadi.
 Kematian kurang dari 1 jam, otot – otot mata masih hidup sehingga bisa
ditetesi atropin akan terjadi midriasis pupil.
- Tekanan intraokuler tidak ada. Tekanan intraokuler menurun dengan cepat setelah
kematian tergantung dari tekanan darah arteri. Bola mata menjadi lunak dan cenderung
untuk masuk ke dalam fossa orbital. Kekakuan bola mata dapat dengan mudah
ditentukan dengan perabaan. Bila jantung berhenti berdetak, tekanan menurun sekitar
setengah sampai satu jam setelah kematian dan menjadi nol setelah 2 jam setelah
kematian.
- Kadar kalium yang tinggi karena cairan bola mata keluar (jumlah kalium yang keluar
berhubungan dengan waktu kematian).
- Kedudukan pupil. Walaupun iris berespon terhadap kimia beberapa jam setelah
kematian, refleks cahaya menghilang segera saat nukleus batang otak mengalami
iskemik. Iris mengandung jaringan otot yang banyak sehingga kehilangan tonus dengan
cepat dan iris biasanya relaksasi.
- Perubahan pembuluh darah retina melalui pemeriksaan ophtalmoskop retina akan dapat
menentukan satu tanda pasti kematian awal. Setelah mati, aliran darah pembuluh darah
retina menjadi segmen seiring dengan tekanan darah yang hilang menyebabkan aliran
darah terbagi menjadi beberapa segmen.
 Perubahan Kulit
Perubahan yang terjadi pada kulit setelah kematian dapat berupa :
- Kulit menjadi pucat. Karena sirkulasi darah berhenti setelah kematian, darah merembes
keluar dari pembuluh darah kecil sehingga kulit tampak pucat. Kulit menjadi pucat,
bewarna putih abu dan kehilangan elastisitasnya.
Pada kasus kematian berhubungan dengan spasme agonal dan terdapatnya sumbatan
pada pembuluh darah balik karena tekanan pada leher atau karena asfiksia traumatic,
wajah tetap berwarna merah kebiruan selama beberapa saat setelah kematian. Warna
kekuningan pada kulit karena menderita sakit kuning, warna pink kemerahan karena
keracunan HCN atau CO biasanya tetap ada selama beberapa saat setelah kematian.
- Elastisitas (turgor) kulit menurun sampai menghilang.
Sehingga bisa menetapkan apakah luka pada tubuh korban didapat intravital atau post
mortem, yaitu :
 Luka pada intravital akan berbekas dengan ukuran lebih kecil daripada ukuran
senjata, dermis berwarna merah, antara epidermis dan dermis masih ada
perekatnya.
 Luka post mortem membekas dengan ukuran lebih besar daripada ukuran
senjata, bahkan menganga, dermis pucat, epidermis lebih mudah mengelupas.
- Pada kasus tenggelam, kulit tangan keriput (washer woman hand).
 Jika terjadi pada ujung jari saja maka kematian 4 jam yang lalu.
 Jika terjadi pada telapak tangan dan seluruh jari maka kematian 24 jam yang
lalu.
 Jari tangan yang sudah terlepas digunakan untuk sidik jari.

 Penurunan Suhu Tubuh (Algor Mortis / Post Mortem Cooling)


Penurunan suhu mayat atau algor mortis akan terjadi setelah kematian dan berlanjut
sampai tercapai keadaan dimana suhu mayat sama dengan suhu lingkungan. Berdasarkan
penelitian, kurva penurunan suhu mayat akan berbentuk kurva sigmoid, dimana pada jam –
jam penurunan suhu akan berlangsung lambat, demikian pula bila suhu tubuh mayat telah
mendekati suhu tubuh lingkungan.
Bila telah dicapai suatu keadaan yang dikenal sebagai temperatur gradient, yaitu suatu
keadaan dimana telah terdapat perbedaan suhu yang bertahap di antara lapisan – lapisan yang
menyusun tubuh, maka penyaluran panas dari bagian dalam tubuh ke permukaan dapat
berjalan dengan lancar.
Kini penentuan suhu rektal kerap kali sangat berguna dalam investigasi kematian yang
mencurigakan, kecuali dimana tampak luar mengindikasikan bahwa tubuh sudah didinginkan
oleh suhu sekitarnya.
Hal ini juga harus dititikberatkan bahwa kegunaan dari perkiraan temperatur ini menetap
pada iklim dengan suhu dingin dan menengah dimana tubuh kehilangan panasnya secara
lama sebagaimana halnya keseimbangan pada temperatur lingkungan, sedangkan pada daerah
tropis, penurunan suhu tubuh post mortem dapat minimal atau bahkan tidak ada pada iklim
yang sangat panas sekali, mayat mungkin dapat menghangat setelah mati.
Saat mati, setelah waktu yang tidak lama, tubuh mulai kehilangan panasnya. Temperatur
lazim pada tubuh dewasa sehat adalah antara 98,4 derajat Fahrenheit, atau saat dipastikan
melalui mulut adalah sekitar 99 derajat Fahrenheit, dan pada axilla sekitar 97 derajat
fahrenheit. Temperatur juga dapat menunjukkan variasi waktu yang berbeda selama tiap
harinya. Temperatur akan lebih rendah pada pagi hari dan akan lebih tinggi pada sore hari.
Latihan akan meningkatkan temperatur tubuh namun ini akan menurun menjadi normal
dalam setengah jam kemudian.
Faktor yang mempengaruhi penurunan suhu mayat :
- Temperatur dari tubuh saat mati.

Dalam beberapa kasus, seperti kematian karena asfiksia, emboli lemak dan air, heat
stroke, beberapa infeksi, reaksi obat, perdarahan cerebral, atau saat tubuh ditinggalkan
berada di dekat api atau saat tubuh berada dalam bak mandi hangat, maka temperatur
akan meningkat. Sebaliknya penyakit degenerasi seperti cholera, gagal jantung
kongestif, paparan terhadap suhu dingin, perdarahan banyak, maka temperatur akan
menurun.
- Perbedaan temperatur tubuh dan lingkungan.

Pada daerah dingin, penurunan suhu paling sedikit 1,5 derajat Fahrenheit per jam dan
pada daerah tropis, penurunan suhu paling sedikit 0,75 derajat Fahrenheit per jam.
Selain itu, didalam air, kehilangan suhu melalui konduksi dan konveksi. Pada kasus
udara, kehilangan suhu dapat melalui konduksi (saat bagian dari badan bersentuhan
dengan tanah atau suatu material), konveksi (evaporasi dari cairan tubuh) dan
sebagian radiasi. Pada kasus yang dikubur, penurunan hanya melalui konduksi.
Disamping itu, penguburan pada tanah berbatu kering akan mempertahankan panas
tubuh lebih lama dibanding terkena udara dan tubuh yang dilempar ke timbunan
sampah atau comberan, suhunya akan lebih cepat turun sedikit dibanding dibiarkan di
udara terbuka. Flora normal atau belatung dapat meningkatkan temperatur tubuh.
- Keadaan fisik tubuh serta adanya pakaian atau penutup mayat.

Tebalnya jaringan lemak dan jaringan otot serta ketebalan pakaian yang menutupi
tubuh mayat akan mempengaruhi kecepatan penurunan suhu.
Konduksi dan konveksi secara signifikan diturunkan oleh adanya pakaian. Pakaian
yang terbuat dari sutera, wol, atau serat sintetik berperan dalam menurunkan suhu.
Pakaian basah akan mempercepat pendinginan karena terdapat uptake panas untuk
evaporasi.
- Ukuran tubuh.
Anak – anak dan orang dewasa dengan badan kecil akan mengalami pendinginan yang
lebih cepat daripada orang dewasa yang berukuran lebih besar. Jumlah dari lemak
subkutan dan lemak preperitoneal berperan dalam menentukan cepat lambatnya
proses pendinginan. Tubuh seorang yang kurus akan lebih cepat mendingin karena
luas permukaan tubuhnya yang kecil dan kurangnya lemak.
- Aliran udara dan kelembapan.

Udara disekitar tubuh bertindak sebagai medium pemindah suhu. Dalam beberapa
kondisi, udara hangat biasanya menyelimuti permukaan tubuh dengan demikian akan
memblok perubahan temperatur. Pergerakan udara pada permukaan tubuh membawa
udara dingin yang mempunyai kontak langsung pada tubuh yang mendorong
hilangnya panas. Udara yang lembab akan mengalirkan panas lebih cepat dibanding
yang kering.
- Post mortem caloricity.

Adalah kondisi dimana terjadi peningkatan temperatur tubuh sesudah mati sebagai
pengganti akibat pendinginan tubuh tersebut. Walaupun proses glikogenolisis post
mortem yang berlangsung pada kebanyakan tubuh sesudah mati, dapat memproduksi
kira – kira 140 kalori yang akan meningkatkan suhu tubuh temperatur 2 derajat
celcius.
Rumus perkiraan saat kematian berdasarkan penurunan suhu mayat pada suhu
lingkungan sebesar 70 derajat Fahrenheit (21 derajat celcius), adalah sebagai berikut :
Saat Kematian = 98,6 o F – Suhu Rektal
1,5
Secara umum 1,5 o F / 1 o C per jam, teori lain : 0,8 o F per jam. 1,5 o F / 1 o C per jam 6
jam pertama, 1 o F jam 6 kedua, 0,6 o F per jam 6 jam ketiga, setelah 12 jam mencapai
suhu sama dengan suhu lingkungan (untuk kulit). Sedangkan untuk organ – organ
dalam : 24 jam baru bias sama dengan suhu lingkungan. Bila tenggelam / dalam air : 6
jam sudah mencapai suhu lingkungan.
 Lebam Mayat (Livor Mortis / Post Mortem Hypostasis)
Lebam mayat atau livor mortis adalah salah satu tanda postmortem yang cukup jelas.
Biasanya disebut juga post mortem hypostasis, post mortem lividity, post mortem staining,
sugillations, vibices, dan lain – lain. Kata hypostasis itu sendiri mengandung arti kongesti
pasif dari sebuah organ atau bagian tubuh.
Lebam terjadi sebagai akibat pengumpulan darah dalam pembuluh – pembuluh darah kecil,
kapiler, dan venula, pada bagian tubuh yang terendah. Dengan adanya penghentian dari
sirkulasi darah saat kematian, darah mengikuti hukum gravitasi. Kumpulan darah ini bertahan
sesuai pada area terendah pada tubuh, memberi perubahan warna keunguan atau merah
keunguan terhadap area tersebut. Darah tetap cair karena adanya aktivitas fibrinolisin yang
berasal endotel pembuluh darah.
Timbulnya livor mortis mulai terlihat dalam 30 menit setelah kematian somatis atau segera
setelah kematian yang timbul sebagai bercak keunguan. Bercak kecil ini akan semakin
bertambah intens dan secara berangsur – angsur akan bergabung selama beberapa jam
kedepan untuk membentuk area yang lebih besar dengan perubahan warna merah keunguan.
Kejadian ini akan lengkap dalam 6 -12 jam. Sehingga setelah melewati waktu tersebut, tidak
akan memberikan hilangnya lebam mayat pada penekanan. Sebaliknya, pembentukan livor
mortis ini akan menjadi lambat jika terdapat anemia, kehilangan darah akut, dan lain – lain.
Besarnya lebam mayat bergantung pada jumlah dan keenceran dari darah. Darah akan
mengalami koagulasi spontan pada semua kasus sudden death dimana otopsi dilakukan antara
1 jam. Koagulasi spontan ini mungkin akan hilang paling cepat 1,5 jam setelah mati. Tidak
adanya fibrinogen pada darah post mortem akan menyebabkan tidak terjadinya koagulasi
spontan. Fibrinolisin didapatkan dari darah post mortem hanya bertindak pada fibrin, bukan
pada fibrinogen. Fibrinolisin bertindak dengan mengikatkan dirinya pada bekuan yang baru
dibentuk dan kemudian akan lepas menjadi cairan bersama bekuan yang hancur. Fibrinolisin
dibentuk oleh sel endotel dalam pembuluh darah.
Distribusi lebam mayat bergantung pada posisi mayat setelah kematian. Dengan posisi
berbaring terlentang, maka lebam akan jelas pada bagian posterior bergantung pada areanya
seperti daerah lumbal, posterior abdomen, bagian belakang leher, permukaan ekstensor dari
anggota tubuh atas, dan permukaan fleksor dari anggota tubuh bawah. Area – area ini disebut
juga areas of contact flattening. Dalam kasus gantung diri, lebam akan terjadi pada daerah
tungkai bawah, genitalia, bagian distal tangan dan lengan. Jika penggantungan ini lama,
akumulasi dari darah akan membentuk tekanan yang cukup untuk menyebabkan ruptur
kapiler subkutan dan membentuk perdarahan petekiae pada kulit. Dalam kasus tenggelam,
lebam biasa ditemukan pada wajah, bagian atas dada, tangan, lengan bawah, kaki dan tungkai
bawah karena pada saat tubuh mengambang, bagian perut lebih ringan karena akumulasi gas
yang cukup banyak kuat dibanding melawan kepala atau bahu yang lebih berat. Ekstremitas
badan akan menggantung secara pasif. Jika tubuh mengalami perubahan posisi karena adanya
perubahan aliran air, maka lebam tidak akan terbentuk.
Lebam mayat lama kelamaan akan terfiksasi oleh karena adanya kaku mayat. Pertama – tama
karena ketidakmampuan darah untuk mengalir pada pembuluh darah menyebabkan darah
berada dalam posisi tubuh terendah dalam beberapa jam setelah kematian. Kemudian saat
darah sudah mulai terkumpul pada bagian – bagian tubuh, seiring terjadi kaku mayat.
Sehingga hal ini menghambat darah kembali atau melalui pembuluh darahnya karena
terfiksasi akibat adanya kontraksi otot yang menekan pembuluh darah. Selain itu dikarenakan
bertimbunnya sel – sel darah dalam jumlah cukupbanyak sehingga sulit berpindah lagi.
Biasanya lebam mayat berwarna merah keunguan. Warna ini bergantung pada tingkat
oksigenisasi sekitar beberapa saat setelah kematian. Perubahan warna lainnya dapat
mencakup:
- Cherry pink atau merah bata (cherry red) terdapat pada keracunan oleh
carbonmonoksida atau hydrocyanic acid.
- Coklat kebiruan atau coklat kehitaman terdapat pada keracunan kalium chlorate,
potassium bichromate atau nitrobenzen, aniline, dan lain – lain.
- Coklat tua terdapat pada keracunan fosfor.
- Tubuh mayat yang sudah didinginkan atau tenggelam maka lebam akan berada
didekat tempat yang bersuhu rendah, akan menunjukkan bercak pink muda
kemungkinan terjadi karena adanya retensi dari oxyhemoglobin pada jaringan.
- Keracunan sianida akan memberikan warna lebam merah terang, karena kadar oksi
hemoglobin (HbO2) yang tinggi.

Dibawah ini merupakan contoh gambar letak lebam mayat pada beberapa kasus,

diantaranya:

a. Kasus keracunan CO

Gambar Keracunan CO memberikan gambaran lebam mayat yang berwarna kemerahan.

Warna merah ini juga mucul pada keracunan cyanide dan suhu dingin.

b. Kasus penggantungan
Gambar Pada kasus penggantungan, konsentrasi livor mortis

bergantung pada ekstremitas.

Gambar . Tampak warna keunguan pada bagian belakang ekstremitas bawah.

 Kaku Mayat (Rigor Mortis / Post Mortem Stiffening)


Disebut juga cadaveric rigidity. Kaku mayat atau rigor mortis adalah kekakuan yang terjadi
pada otot yang kadang – kadang disertai dengan sedikit pemendekkan serabut otot, yang
terjadi setelah periode pelemasan / relaksasi primer.
Kaku mayat mulai terdapat sekitar 2 jam post mortal dan mencapai puncaknya setelah 10 –
12 jam post mortal, keadaan ini akan menetap selama 24 jam, dan setelah 24 jam kaku mayat
mulai menghilang sesuai dengan urutan terjadinya, yaitu dimulai dari otot – otot wajah, leher,
lengan, dada, perut, dan tungkai.
Kekakuan pertama ditemukan pada otot – otot kecil, bukan karena itu terjadi pertama kali
disana, melainkan karena adanya sendi yang tidak luas, seperti contohnya tulang rahang yang
lebih mudah diimobilisasi.
Kelenturan otot setelah kematian masih dipertahankan karena metabolisme tingkat seluler
masih berjalan berupa pemecahan cadangan glikogen otot yang menghasilkan energi. Energi
ini digunakan untuk memecah ADP menjadi ATP. Selama masih terdapat ATP maka serabut
aktin dan miosin tetap lentur. Bila cadangan glikogen dalam otot habis, maka energi tidak
terbentuk lagi, aktin dan miosin menggumpal dan otot menjadi kaku. Faktor – faktor yang
mempercepat terjadinya kaku mayat adalah aktifitas fisik sebelum mati, suhu tubuh yang
tinggi, bentuk tubuh yang kurus dengan otot – otot kecil dan suhu lingkungan yang tinggi.
Kaku mayat dibuktikan dengan memeriksa persendian. Kaku mayat mulai tampak kira – kira
2 jam setelah mati klinis, dimulai dari bagian luar tubuh (otot – otot kecil) ke arah dalam
(sentripetal). Teori lama menyebutkan bahwa kaku mayat ini menjalar kraniokaudal. Setelah
mati klinis 12 jam, kaku mayat menjadi lengkap, dipertahankan selama 12 jam dan kemudian
menghilang dalam urutan yang sama. Kaku mayat umumnya tidak disertai pemendekan
serabut otot, tetapi jika sebelum terjadi kaku mayat otot berada dalam posisi teregang, maka
saat kaku mayat terbentuk akan terjadi pemendekan otot.
Proses terjadinya kaku mayat dapat melalui beberapa fase :
- Fase pertama

Sesudah kematian somatik, otot masih dalam bentuk yang normal. Tubuh yang mati
akan mampu menggunakan ATP yang sudah tersedia dan ATP tersebut diresintesa
dari cadangan glikogen. Terbentuknya kaku mayat yang cepat adalah saat dimana
cadangan glikogen dihabiskan oleh latihan yang kuat sebelum mati, seperti mati saat
terjadi serangan epilepsi atau spasme akibat tetanus, tersengat listrik, atau keracunan
strychnine.
- Fase kedua

Saat ATP dalam otot berada dibawah ambang normal, kaku akan dibentuk saat
konsentrasi ATP turun menjadi 85%, dan kaku mayat akan lengkap jika berada
dibawah 15%.
- Fase ketiga

Kekakuan menjadi lengkap dan irreversible.


- Fase keempat

Disebut juga fase resolusi. Saat dimana kekakuan hilang dan otot menjadi lemas.
Salah satu pendapat terjadinya hal ini dikarenakan proses denaturasi dari enzim pada
otot.
Metode yang sering digunakan untuk mengetahui ada tidaknya rigor mortis adalah dengan
melakukan fleksi atau ekstensi pada persendian tersebut. Beberapa subyek, biasanya bayi,
orang sakit, atau orang tua, dapat memberikan kekakuan yang kurang dapat dinilai,
kebanyakan dikarenakan lemahnya otot mereka.
Kaku menyebar ke seluruh otot dalam beberapa kondisi dapat mencapai nilai maksimum
antara 6 – 12 jam. Kondisi ini tidak berubah sampai massa otot mulai menjalani autolisis,
dimana akan melemas berangsur – angsur kembali seperti periode perubahan awal post –
mortem. Kekakuan mayat lengkap dapat terjadi antara 18 – 36 jam.
 Faktor yang mempengaruhi kecepatan terjadinya rigor mortis
Kondisi rata – rata yang sering dialami pada rigor mortis : 1,3
- Jika tubuh mayat terasa hangat dan tidak kaku, maka orang itu sudah mati tidak sampai 3
jam.
- Jika tubuh mayat terasa hangat dan kaku, maka orang itu sudah mati 3 – 8 jam lamanya.
- Jika tubuh mayat terasa dingin dan kaku, maka orang itu sudah mati 8 – 36 jam lamanya.
- Jika tubuh mayat terasa dingin dan tidak kaku, maka orang itu sudah mati lebih dari 36
jam.
 Faktor yang mempengaruhi onset dan durasi kaku mayat
- Temperatur

Nysten (1811) mengatakan bahwa kekakuan bertahan lama di dalam dingin, udara
lembab dibanding udara kering. Hal ini menyebabkan kenapa onset kekakuan berjalan
lambat dan durasinya berjalan lama pada negara dingin atau cuaca dingin sedangkan
onsetnya cepat dan durasi cepat pada cuaca panas. Hal ini dikarenakan perusakan
ATP lebih cepat pada cuaca panas. 1,3
- Kondisi fisiologis sebelum mati

Berdasarkan observasi, tubuh seseorang yang kurus atau mati karena penyakit akan
melalui proses yang cepat menuju kekakuan, dimana biasanya dengan durasi yang
cepat. Pada kasus orang yang meninggal karena septicemia, kaku mayat terlihat lebih
dini sejak 3 setengah menit pertama dan hilang pada 15 menit sampai 1 jam, saat
pembusukan dimulai. Pada kematian karena asfiksia, perdarahan hebat, apoplexy,
pneumonia, dan penyakit saraf dengan paralisis otot, maka onset akan lebih lama. 1,3
- Kondisi otot sebelum mati

Onset akan berjalan lambat dan durasi berjalan lama pada kasus dimana otot dalam
kondisi sehat sebelum kondisi mati. Onset akan berjalan cepat jika otot berada dalam
kondisi kelelahan. Pada orang yang mati saat lari, kaku akan terbentuk dengan cepat
pada daerah kaki sebelum menuju ke daerah lainnya.
- Pengaruh sistem saraf pusat
Pada saat stres, kaku mayat terjadi karena perubahan kimia yang terjadi pada otot
setelah kematian sebagai bentuk dari aktifitas selular dan enzimatik. 1,3
- Umur

Kaku biasanya tidak terjadi pada janin yang tidak lebih dari 7 bulan, tapi masih bisa
ditemukan pada bayi yang cukup bulan. Kaku bisa timbul dan menghilang dengan
sangat dini. 1,3
Bentuk - Bentuk dari Kekakuan yang Menyerupai Rigor Mortis
a. Heat Stiffening

Protein pada otot akan terkoagulasi pada temperatur diatas 149 derajat Fahrenheit atau 65
derajat celcius. Paparan panas yang kuat seperti terbakar, terekspos listrik tegangan tinggi,
terendam air panas, kekakuan terbentuk lebih kuat dibanding rigor mortis biasa. Pada otopsi,
otot dapat tampak menciut dan tampak karbonisasi ke permukaan. Dibawahnya terdapat
daerah pink kecoklatan (“cooked meat”), dan jika proses tidak berlanjut sampai bagian
bawahnya, tampak otot merah normal. Pugilistic attitude pada tubuh yang terbakar,
disebabkan karena besarnya daerah otot fleksor dibanding otot ekstensor, yang mana terjadi
pemaksaan daerah anggota badan ke dalam posisi fleksi dan tulang belakang ke dalam posisi
opisthotonus.Heat stiffening ini tidak dapat dipatahkan dengan menggerakan ke arah sikap
ekstensi seperti halnya pada rigor mortis, dan akan menetap sampai timbulnya pembusukan.3,4
b. Cold Stiffening

Penurunan temperatur pada mayat dibawah 3,5 derajat celcius atau 40 derajat Fahrenheit
akan menghasilkan memadatnya lemak subkutan dan otot. Saat tubuh dibawa untuk
dihangatkan, akan timbul true rigor mortis. Pada lingkungan bersuhu dingin ekstrim, cairan
tubuh juga akan membeku termasuk persendian, sehingga bila sendi ditekuk akan terdengar
bunyi pecahnya es dalam rongga sendi. Pada temperatur yang ekstrim, otot akan mengalami
kekakuan yang palsu. Pada udara yang sangat dingin, saat panas tubuh hilang, otot dapat
mengeras karena cairan tubuh menjadi beku dan memadat, seperti pada daging yang
disimpan pada freezer.
Membedakan orang mati karena kedinginan dengan orang yang telah mati sebelum
kedinginan : 3,4
 Bila orang mati di kutub -> kematian terjadi karena kedinginan. Dingin
membuat suhu tubuhnya menjadi kaku, belum terjadi rigor mortis / kaku
mayat. Sehingga apabila nanti dihangatkan, tubuh mayat akan lemas dan
kemudian terjadi rigor mortis (kaku mayat).
 Bila orang yang mati duluan, kemudian dibuang ditempat yang dingin ->
tubuh mayat yang dibuang akan tetap kaku karena udara dingin, tetapi setelah
dihangatkan tubuh mayat akan tetap lemas. Tidak akan terjadi rigor mortis.
c. Cadaveric Spasm

Cadaveric spasm terjadi pada kematian yang disebabkan jika seseorang berada ditengah
aktifitas fisik atau emosi yang kuat, yang kemudian menuntun pada kekakuan post – mortem
instan yang sedikit kurang dapat dipahami. Hal ini harus diawali dengan aktifitas saraf
motorik, tetapi beberapa alasan mengatakan terdapat kegagalan relaksasi normal. Fenomena
biasanya terjadi hanya pada 1 daerah otot, contohnya otot fleksor tangan, dibanding seluruh
tubuh. sesungguhnya merupakan kaku mayat yang timbul dengan intensitas sangat kuat tanpa
didahului oleh relaksasi primer. Penyebabnya adakah akibat habisnya cadangan glikogen dan
ATP yang bersifat setempat pada saat mati klinis karena kelelahan atau emosi yang hebat
sesaat sebelum meninggal.4
Keuntungannya, kebanyakan penyidik dapat mengetahui saat seseorang diduga mati
dibunuh atau bunuh diri saat melihat tangannya yang menggenggam senjata. Jika menemukan
korban yang tenggelam, atau jatuh dari ketinggian, hal ini memiliki nilai yang memastikan
bahwa orang tersebut masih hidup saat dia jatuh, dengan demikian hal ini membedakan pada
korban post – mortem yang dibuang
Pembusukan (Decomposition, Putrefaction)
Merupakan tahap akhir pemutusan jaringan tubuh mengakibatkan hancurnya komponen
tubuh organik kompleks menjadi sederhana. Pembusukan merupakan perubahan lebih lanjut
dari mati seluler. Kedua proses ini mengakibatkan dekomposisi seperti di bawah ini :1,3
a. Autolisis.
Merupakan proses melunaknya jaringan bahkan pada keadaan steril yang
diakibatkan oleh kerja enzim digestif yang dikeluarkan sel setelah kematian dan
dapat dihindari dengan membekukan jaringan. Perubahan autolisis awal dapat
diketahui pada organ parenkim dan kelenjar. Pelunakan dan ruptur perut dan ujung
akhir esofagus dapat terjadi karena adanya asam lambung pada bayi baru lahir
setelah kematian. Pada dewasa juga dapat terlihat. 1,3
b. Proses Pembusukan Bakteri.
Merupakan proses dominan pada proses pembusukan dengan adanya
mikroorganisme, baik aerobik maupun anaerobik. Bakteri pada umumnya terdapat
dalam tubuh, akan memasuki jaringan setelah kematian. Kebanyakan bakteri
terdapat pada usus, terutama Clostridium welchii. Bakteri lainnya dapat ditemukan
pada saluran nafas dan luka terbuka. Pada kasus kematian akibat penyakit infeksi,
pembusukan berlangsung lebih cepat. Karena darah merupakan media yang sangat
baik untuk perkembangan bakteri maka organ yang mendapat banyak suplai darah
dan dekat dengan sumber bakteri akan terdapat lebih banyak bakteri dan mengalami
pembusukan terlebih dahulu. 1,3
Bakteri menghasilkan berbagai macam enzim yang berperan pada karbohidrat,
protein, dan lemak, dan hancurnya jaringan. Salah satu enzim yang paling penting
adalah lecithin yang dihasilkan oleh Clostridium welchii, yang menghidrolisis
lecithin yang terdapat pada seluruh membran sel termasuk sel darah dan berperan
pada pembentukan hemolisis pada darah post mortem. Enzim ini juga berperan
dalam hidrolisis post mortem dan hidrogenasi lemak tubuh. 1,3
Aktifitas pembusukan berlangsung optimal pada suhu antara 70 sampai 100 derajat
Fahrenheit dan berkurang pada suhu dibawah 70 derajat Fahrenheit. Oleh sebab itu,
penyebaran awal pembusukan ditentukan oleh dua faktor yaitu sebab kematian dan
lama waktu saat suhu tubuh berada dibawah 70 derajat Fahrenheit. 1,3
c. Perubahan Warna.
Pembusukan diikuti dengan hilangnya kaku mayat, tetapi pada suhu yang sangat
tinggi dan kelembapan tinggi, maka pembusukan terjadi sebelum kaku mayat hilang.
Tanda awal pembusukan adalah tampak adanya warna hijau pada kulit dan dinding
perut depan, biasanya terletak pada sebelah kanan fossa iliaca, dimana daerah
tersebut merupakan daerah colon yang mengandung banyak bakteri dan cairan.
Warna ini terbentuk karena perubahan hemoglobin menjadi sulpmethaemoglobin
karena masuknya H2S dari usus ke jaringan. Warna ini biasanya muncul antara 12 –
18 jam pada keadaan panas dan 1 – 2 hari pada keadaan dingin dan lebih tampak
pada kulit cerah. 1,3
Warna hijau ini akan menyebar ke seluruh dinding perut dan alat kelamin luar,
menyebar ke dada, leher, wajah, lengan, dan kaki. Rangkaian ini disebabkan karena
luasnya distribusi cairan atau darah pada berbagai organ tubuh. 1,3
Pada saat yang sama, bakteri yang sebagian besar berasal dari usus, masuk ke
pembuluh darah. Darah didalam pembuluh akan dihemolisis sehingga akan mewarna
pembuluh darah dan jaringan penujang, memberikan gambaran marbled appearence.
Warna ini akan tetap ada sekitar 36 – 48 jam setelah kematian dan tampak jelas pada
vena superficial perut, bahu dan leher. 1,3
d. Pembentukan Gas Pembusukan.
Pada saat perubahan warna pada perut, tubuh mulai membentuk gas yang terdiri dari
campuran gas tergantung dari waktu kematian dan lingkungan. Gas ini akan
terkumpul pada usus dalam 12 – 24 jam setelah kematian dan mengakibatkan perut
membengkak. Dari 24 – 48 jam setelah kematian, gas terkumpul dalam jaringan,
cavitas sehingga tampak mengubah bentuk dan membengkak. Jaringan subkutan
menjadi emphysematous, dada, skrotum, dan penis, menjadi teregang. Mata dapat
keluar dari kantungnya, lidah terjulur diantara gigi dan bibir menjadi bengkak.
Cairan berbusa atau mukus berwarna kemerahan dapat keluar dari mulut dan hidung.
Perut menjadi sangat teregang dan isi perut dapat keluar dari mulut. Sphincter
relaksasi dan urine serta feses dapat keluar. Anus dan uterus prolaps setelah 2 – 3
hari. 1,3
Gas terkumpul diantara dermis dan epidermis membentuk lepuh. Lepuh tersebuh
dapat mengandung cairan berwarna merah, keluar dari pembuluh darah karena
tekanan dari gas. Biasanya lepuh terbentuk lebih dahulu dibawah permukaan,
dimana jaringan mengandung banyak cairan karena oedema hipostatik. Epidermis
menjadi longgar menghasilkan kantong berisi cairan bening atau merah muda
disebut skin slippage yang terlihat pada hari 2 – 3. 1,3
Antara 3 – 7 hari setelah kematian, peningkatan tekanan gas pembusukan
dihubungkan dengan perubahan pada jaringan lunak yang akan membuat perut
menjadi lunak. Gigi dapat dicabut dengan mudah atau keropos. Kulit pada tangan
dan kaki dapat menjadi “glove and stocking”. Rambut dan kuku menjadi longgar dan
mudah dicabut. 1,3
5 – 10 hari setelah kematian, pembusukan bersifat tetap. Jaringan lunak menjadi
masa semisolid berwarna hitam yang tebal yang dapat dipisahkan dari tulang dan
terlepas. Kartilogi dan ligament menjadi lunak. 1,3
e. Skeletonisasi.
Skeletonisasi berlangsung tergantung faktor intrinsik dan ekstrinsik dan lingkungan
dari mayat tersebut, apakah terdapat di udara, air, atau terkubur. Pada umumnya
tubuh yang terkena udara mengalami skeletonisasi sekitar 2 – 4 minggu tetapi dapat
berlangsung lebih cepat bila terdapat binatang seperti semut dan lalat, dapat pula
lebih lama bila tubuh terlindungi contohnya terlindung daun dan disimpan dalam
semak. 1,3
Dekomposisi berbeda pada setiap tubuh, lingkungan dan dari bagian tubuh yang satu
dengan yang lain. Terkadang, satu bagian tubuh telah mengalami mumifikasi
sedangkan bagian tubuh lainnya menunjukkan pembusukan. Adanya binatang akan
menghancurkan jaringan luna dalam waktu yang singkat dan dalam waktu 24 jam
akan terjadi skeletonisasi. 1,3
f. Pembusukan Organ Dalam.
Perubahan warna muncul pada jaringan dan organ dalam tubuh walaupun prosesnya
lebih lama dari yang dipermukaan. Jika organ lebih lunak dan banyak vascular maka
akan membusuk lebih cepat. Warna merah kecoklatan pada bagian dalam aorta dan
pembuluh darah lain muncul pada perubahan awal. Adanya hemolisis dan difusi
darah akan mewarnai sekeliling jaringan atau organ dan merubah warna organ
tersebut menjadi hitam. Organ menjadi lunak ,berminyak, empuk dan kemudian
menjadi masa semiliquid. 1,3
 Adipocere
Dikenal juga sebagai “grave wax” atau adiposera. Adiposera berasal dari bahasa latin,
adipo untuk lemak dan cera untuk lilin) berwarna utih kelabu setelah meninggal dikarenakan
dekomposisi lemak yang dikarenakan hidrolisis dan hidrogenasi dan lemak (sel lemak) yang
terkumpul di jaringan subkutan yang menyebabkan terbentuknya lechitinase, suatu enzim
yang dihasilkan oleh Clostridium welchii, yang berpengaruh terhadap jaringan lemak.
Dengan demikian akan terbentuk asam – asam lemak bebas (asam palmitat, stearat, oleat), ph
tubuh menjadi rendah dan ini akan menghambat bakteri untuk pembusukan dengan demikian
proses pembusukan oleh bakteri akan terhenti. Tubuh yang mengalami adiposera akan
tampak berwarna putih – kelabu, perabaan licin dengan bau yang khas, yaitu campuran bau
tanah, keju, amoniak, manis, tengik, mudah mencair, larut dalam alkohol, panas, eter, dan
tidak mudah terbakar, bila terbakar mengeluarkan nyala kuning dan meleleh pada suhu 200
derajat Fahrenheit. 1,3
Faktor – faktor yang mempermudah terbentuknya adiposera adalah :
- Kelembapan.
- Lemak tubuh.
Sedangkan yang menghambat adalah air yang mengalir.
Proses pertama saponifikasi terlihat pada lemak subkutan yang berada pada dagu, buah dada,
bokong, dan perut, ini dikarenakan karena area tersebut mempunyai lemak lebih banyak.
Namun proses saponifikasi dapat terjadi di semua bagian tubuh yamg terdapat lemak. Otot
menjadi dehidrasi dan menjadi sangat tipis, berwarna keabu – abuan. Organ – organ dalam
dan paru – paru konsistensinya menjadi seperti perkamen. Secara histologis, makroskopis
organ masih dapat dikenali. Walaupun secara mikroskopis sulit untuk dikenali. 1,3
Walaupun dekomposisi lemak dimulai setelah meninggal, namun seringnya pembentukan
saponifikasi bervariasi dari dua minggu atau dua bulan tergantung faktor – faktor yang
mendukung seperti temperatur, pembalseman, kondisi penguburan, dan barang – barang
sekitar jenazah. Keuntungan adanya adiposera ini : 1,3
- Tubuh korban akan mudah dikenali dan tetap bertahan untuk waktu yang sangat
lama sekali sampai ratusan tahun.
- Dapat pula untuk mengetahui sebab – sebab kematian jangka waktu dekat seperti
kecelakaan, namun dapat juga digunakan untuk waktu yang lama.
- Tempat untuk pembuangan tubuh dapat diketahui.
- Tanda – tanda positif dari kematian dapat diketahui dari kematian sampai beberapa
minggu atau mungkin beberapa bulan.
Lemak tubuh pada waktu meninggal mengandung hanya sekitar 0,5% dari asam lemak bebas
namun sekitar empat minggu setelah kematian dapat meningkat sampai 20% dan setelah 12
minggu dapat meningkat menjadi 70% bahkan lebih. Pada saat ini adiposera dapat terlihat
dengan jelas berwarna putih keabuan menggantikan jaringan lunak. Pada awal saponifikasi,
dimana belum terlalu jelas terlihat pemeriksaan dapat dengan menggunakan analisa asam
palmitat. 1,3
Adiposera dapat diketemukan bercampur dengan dekomposisi yang lain tergantung dari letak
tubuh dan lingkungan yang bervarias, maka salah satu tubuh dapat menjadi saponifikasi di
bagian tubuh yang lain dapat menjadi mumifikasi atau pembusukan.1
Gambar Adipocere
 Mumifikasi
Perubahan – perubahan yang terjadi pada tubuh akibat dekomposisi dapat dihambat dan
digantikan dengan mumifkasi. Mumifikasi secara harafiah menggambarkan proses
pembentukan “mumi”, sebuah kata yang diambil dari bahasa Persia “mum” yang berarti lilin.
Kata ini diambil dari catatan sejarah Yunan kuni yang menggambarkan bangsa Persia, dalam
penghormatan terhadap bangsawannya, mengawetkan mereka dengan lilin. Mayat yang
mengalami mumifikasi akan tampak kering, berwarna coklat, kadang disertai bercak warna
putih, hijau atau hitam, dengan kulit yang tampak tertarik terutama pada tonjolan tulang,
seperti pada pipi, dagu, tepi iga, dan panggul. Organ dalam umumnya mengalami
dekomposisi menjadi jaringan padat berwarna coklat kehitaman. Sekali mayat mengalami
proses mumifikasi, maka kondisinya tidak akan berubah, kecuali bila diserang oleh
serangga.1,3
Mumifikasi adalah proses yang menginhibisi proses pembusukan alami yang memiliki
karakteristik dimana jaringan yang mengalami dehidrasi menjadi kering, berwarna gelap, dan
mengerut. Pengeringan akan menyebabkan tubuh lebih kecil dan ringan. Dilihat dari sudut
forensik, mumifikasi memberikan keuntungan dalam bertahannya bentuk tubuh, terutama
kulit dan beberapa organ dalam, bentuk wajah secara kasar masih dapat diindentifikasi secara
visual. Mumifikasi juga dapat mempreservasi bukti terjadinya jejas yang menunjukkan
kemungkinan sebab kematian. 1,3
Karena sifat dari jaringan tubuh yang termumifikasi cenderung keras dan rapuh, maka
untuk dapat memeriksanya potongan kecil jaringan direndam dalam sodium karbonat atau
campuran alkohol, formalin dan sodium carbonate. Pada proses mumifikasi tubuh yang lebih
lengkap, maka untuk dapat melakukan pemeriksaan dalam, mayat harus direndam dalam
glycerin 15% selama beberapa saat. 1,3
Kepentingan forensik yang tak kalah penting pada mumifikasi adalah identifikasi.
Walau terjadi pengerutan namun struktur wajah, rambut, dan beberapa kekhususan pada
tubuh seperti tato dapat bertahan sampai bertahun – tahun. Terperliharanya sebagian dari
anatomi dan topografi jenasah pada proses mumifikasi memungkinkan pemeriksaan radiologi
yang lebih teliti. Dengan pemeriksaan radiologi, jejas- jejas yang mungkin terlewatkan dalam
pemeriksaan mayat dan bedah mayat dapat ditunjukkan dengan jelas dan dieksplorasi
kembali lewat pemeriksaan bedah jenasah. Pemeriksaan CT scan pada mumi juga dapat
mengungkapkan jejas pada lokasi yang sulit dijangkau, bahkan dengan pemeriksaan bedah
mayat. 1,3
Proses mumifikasi juga memungkinkan dilakukannya pemeriksaan DNA, baha pada
jenasah yang berusia ratusan atau ribuan tahun. Laposan kulit luar yang miskin akan inti sel
mungkin tidak cukup baik diambil sebagai sampel, namun tulang, akar rambut, organ dalam
dan sisa cairan tubuh yang mengering pada mumi dapat digunakan untuk pemeriksaan DNA.
Yang harus diingat dalam pemanfaatan mumi untuk kepentingan forensik bahwa pada
mumifikasi terjadi pengerutan kulit yang dapat menimbulkan artefak pada kulit yang
menyerupai luka / jejas terutama pada daerah pubis, daerah disekiter leber, dan axilla. 1,3

Gambar Mumifikasi
DAFTAR PUSTAKA
1. Tim Penulis Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: FKUI; 1997.
2. Apuranto Hariadi, Hoediyanto. Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal. BAgian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas
Kedokteran Universita Airlangga, Surabaya. 2007
3. Idries AM, Tjipto,artono AL. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses
Penyidikan. Jakarta: Sagung Seto; 2013
4. Dahlan S. Ilmu Kedokteran Forensik: Pedoman Bagi Dokter dan Penegak Hukum.
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 2007.

Anda mungkin juga menyukai