Anda di halaman 1dari 4

Anak Lahir di Atas Fitrah

Saya ingin memperoleh perincian dan keterangan serta apa perbedaan kedua hadits ini. Hadits
yang mulia menyatakan:

‫ص َرانِِه‬
ِّ َ‫سانِِه أ َْو ُين‬‫ج‬ِّ ‫م‬‫ي‬ ‫َو‬
‫أ‬ ِِ‫ فَأَبواهُ يه ِّو َدان‬،‫ُك ُّل مولُو ٍد يولَ ُد َعلَى ال ِْفطْر ِة‬
‫ه‬
َ َُ ْ َُ ََ َ ُْ ْ َْ
 

“Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya
Yahudi, Majusi, atau Nasrani.”

Hadits lain berbunyi:

‫ب ِر ْزقُهُ َو َع َملُهُ َو َش ِق ٌّي أ َْو َس ِع ْي ٌد‬


ُ َ‫يُ ْكت‬
 

“(Untuk janin yang ditiupkan ruhnya padanya, Allah subhanahu wata’ala perintahkan kepada
malaikat penjaga janin agar) janin tersebut dicatat rezekinya, amalnya, dan apakah ia orang yang
sengsara ataukah orang yang berbahagia.”

Jawab:
Pertama:

Hadits,

‫ فَ أ ََب َواهُ ُي َه ِّو َدانِ ِه أ َْو‬،ُ‫س انُه‬ِ‫ حتَّى يع ِرب َع ْن ه ل‬،‫ُك ُّل مولُ و ٍد يولَ ُد َعلَى ال ِْفطْ ر ِة‬
َ ُ َ ُْ َ َ ُْ ْ َْ
‫سانِِه‬ ِِ ِّ َ‫ين‬
َ ‫ص َرانه أ َْو يُ َم ِّج‬ ُ
“Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah hingga ia fasih (berbicara). Kedua orang
tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”

Hadits ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan ath-Thabarani dalam al-Mu’jamul Kabir. Al-Imam
Muslim rahimahullah meriwayatkan dengan lafaz,
‫سانِِه‬ ِِ ِّ َ‫ فَأَبواهُ يه ِّو َدانِِه أَو ين‬،‫ان تَلِ ُدهُ أ ُُّمهُ َعلَى ال ِْفطْر ِة‬
ٍ ‫ُك ُّل إِنْس‬
َ ‫ص َرانه أ َْو يُ َم ِّج‬ ُ ْ َُ ََ َ َ
“Setiap manusia dilahirkan oleh ibunya di atas fitrah. Kedua orang tuanya yang menjadikannya
Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”

Adapun al-Imam al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dengan lafaz,

‫ َك َمثَ ِل‬،‫س انِِه‬ ِِ ِّ َ‫ فَ أَبواهُ يه ِّو َدانِ ِه أَو ين‬،‫ُك ُّل مولُ و ٍد يولَ ُد َعلَى ال ِْفطْر ِة‬
َ ‫ص َرانه أ َْو يُ َم ِّج‬ ُ ْ َُ ََ َ ُْ ْ َْ
‫اء؟‬ ‫ع‬ ‫د‬ْ ‫ج‬ ‫ن‬ ِ ‫ هل َترى فِيها‬،َ‫الْب ِهيم ِة َت ْنتِج الْب ِهيمة‬
‫م‬
َ َ َ ْ َْ َ ْ َ َْ َ ُ َْ َ
“Setiap anak dilahirkan di atas fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi,
Nasrani, atau Majusi. Sebagaimana permisalan hewan yang dilahirkan oleh hewan, apakah
kalian melihat pada anaknya ada yang terpotong telinganya?[1]” 

Makna hadits di atas adalah manusia difitrahkan (memiliki sifat pembawaan sejak lahir) dengan
kuat di atas Islam. Akan tetapi, tentu harus ada pembelajaran Islam dengan perbuatan/tindakan.
Siapa yang Allah subhanahu wata’ala takdirkan termasuk golongan orang-orang yang
berbahagia, niscaya Allah subhanahu wata’ala akan menyiapkan untuknya orang yang akan
mengajarinya jalan petunjuk sehingga dia siap untuk berbuat (kebaikan).

Sebaliknya, siapa yang Allah subhanahu wata’ala ingin menghinakannya dan mencelakakannya,


Allah subhanahu wata’ala menjadikan sebab yang akan mengubahnya dari fitrahnya dan
membengkokkan kelurusannya. Hal ini sebagaimana keterangan dalam hadits tersebut tentang
pengaruh yang dilakukan oleh kedua orang tua terhadap anaknya yang menjadikan si anak
beragama Yahudi, Nasrani, atau Majusi.

Kedua:

Dalam Shahihain dari Abdullah ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menceritakan kepada kami, dan beliau adalah
orang yang benar lagi dibenarkan. Beliau bersabda, “Sesungguhnya salah seorang dari kalian
dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama empat puluh hari sebagai setetes
mani/nuthfah. Kemudian nuthfah tersebut menjadi segumpal darah selama empat puluh hari,
kemudian menjadi segumpal daging selama empat puluh hari. Lalu diutuslah malaikat kepada
janin tersebut dan diitiupkanlah ruh kepadanya. Malaikat lalu diperintah untuk menulis empat
perkara: ditulis rezeki si janin, ajalnya, amalnya, dan apakah ia orang yang sengsara ataukah
orang yang berbahagia.

Demi Allah yang tidak ada sembahan yang benar selain-Nya, sungguh salah seorang dari kalian
melakukan amalan penduduk surga hingga tidak ada jarak antara dia dan surga kecuali
sehasta. Namun, catatannya telah mendahuluinya (bahwa dia bukanlah penduduk surga) lalu ia
berbuat dengan perbuatan penduduk neraka. Ia pun masuk neraka.

Ada pula salah seorang dari kalian melakukan perbuatan penduduk neraka hingga tidak ada
jarak antara dia dan neraka kecuali tinggal sehasta. Namun, catatannya telah mendahuluinya
(bahwa dia bukanlah penduduk neraka, tetapi penduduk surga). Akhirnya, ia beramal dengan
amalan penduduk surga lalu ia pun masuk surga.”

Kesengsaraan dan kebahagiaan yang telah dicatat tersebut adalah penulisan asali (sejak dahulu,
sebelum makhluk diciptakan) dengan tinjauan ilmu Allah subhanahu wata’ala yang asali[2] dan
akhir amalan[3] seorang hamba sesuai dengan ilmu Allah subhanahu wata’ala yang asali.

Ketiga:

Melihat pertanyaan (yang seolah-olah menganggap kedua hadits di atas bertentangan), dengan
merenungkan makna hadits yang pertama dan kedua akan jelas bahwa keduanya tidak
bertentangan.

Sebab, manusia terfitrah dengan kuat di atas kebaikan. Jika dalam ilmu Allah subhanahu
wata’ala, ia termasuk golongan orang-orang yang berbahagia dan kebahagiaan inilah yang
ditetapkan pada akhir hidupnya, Allah subhanahu wa ta’ala akan menyiapkan orang yang akan
menunjukinya kepada jalan kebaikan.

Namun, jika dalam ilmu Allah subhanahu wata’ala ia termasuk golongan orang-orang yang
celaka, Allah subhanahu wata’ala akan menggiring untuknya orang yang akan memalingkannya
dari jalan kebaikan dan menyertainya pada jalan kejelekan. Orang itu mendorongnya di atas
kejelekan dan terus-menerus mendampinginya hingga ditutup umurnya di atas kejelekan.

Sungguh, banyak nas menyebutkan adanya penulisan takdir yang telah terdahulu yang berisi
ketentuan golongan yang berbahagia dan yang sengsara.

Di dalam Shahihain dari Ali radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau
bersabda,

“Tidak ada satu jiwa pun kecuali Allah subhanahu wata’ala telah menetapkan tempatnya di
surga atau di neraka dan telah dicatat baginya kesengsaraan atau kebahagiaannya.”

Seseorang berkata, “Wahai Rasulullah, apakah tidak sebaiknya kita pasrah saja dengan apa
yang telah ditulis untuk kita dan tidak perlu beramal?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Beramallah kalian! Sebab, setiap orang
akan dimudahkan menuju apa yang dia diciptakan untuknya. Golongan yang berbahagia akan
dimudahkan untuk melakukan amalan orang-orang yang berbahagia. Adapun golongan yang
celaka akan dimudahkan untuk melakukan amalan orang-orang yang celaka.”

 
Baca juga:

Meraih Kebahagiaan Hakiki

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca ayat,

٦ ‫ق بِ ۡٱل ُح ۡسنَ ٰى‬ َ ‫ َو‬٥ ‫فَأ َ َّما َم ۡن أَ ۡعطَ ٰى َوٱتَّقَ ٰى‬


َ ‫ص َّد‬
“Adapun orang-orang yang suka memberi lagi bertakwa. Dia juga membenarkan surga/pahala
yang baik…” (al-Lail: 5—6)

Hadits ini menunjukkan bahwa kebahagiaan dan kecelakaan telah tercatat dalam kitab/catatan
takdir. Diperolehnya kebahagiaan dan kesengsaraan itu sesuai dengan amalan. Setiap orang akan
dimudahkan melakukan amalan yang telah ditentukan/diciptakan untuknya, yang hal itu
merupakan sebab kebahagiaan dan kesengsaraannya. Wabillahi at-taufiq. (Fatwa no. 6334, 3/525
—527)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

[1] Anaknya lahir dalam keadaan telinganya tidak cacat, namun pemiliknyalah yang kemudian
memotong telinganya. (-pen.)

[2] Allah subhanahu wata’ala sudah mengetahui dan menetapkan bahwa si hamba termasuk


orang yang bahagia dengan beroleh surga atau termasuk orang yang celaka dengan masuk
neraka, jauh sebelum si hamba diciptakan, bahkan sebelum semua makhluk diciptakan. (-pen.)

[3]  Apakah dia sengsarakah atau bahagia.

Anda mungkin juga menyukai