Anda di halaman 1dari 33

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Trauma Tumpul Hepar

2.1.1. Definisi Trauma Tumpul Hepar

Trauma adalah sebuah mekanisme yang disengaja ataupun tidak disengaja

sehingga menyebabkan luka atau cedera pada bagian tubuh. Jika trauma yang

didapat cukup berat akan mengakibatkan kerusakan anatomi maupun fisiologi

organ tubuh yang terkena. Trauma dapat menyebabkan gangguan fisiologi sehingga

terjadi gangguan metabolisme, kelainan imunologi, dan gangguan faal berbagai

organ. Penderita trauma berat dapat mengalami kegagalan fungsi membran sel,

gangguan integritas endotel, dan dapat pula terjadi koagulasi intravaskular

menyeluruh (Wim de Jong, Sjamsuhidajat, 2005).

Trauma tumpul abdomen adalah cedera atau perlukaan pada abdomen tanpa

penetrasi ke dalam rongga peritoneum, dapat diakibatkan oleh pukulan, benturan,

ledakan, deselarasi (perlambatan), atau kompresi. Trauma tumpul kadang tidak

memberikan kelainan yang jelas pada permukaan tubuh tetapi dapat mengakibatkan

kontusi atau laserasi jaringan atau organ di bawahnya. Benturan pada trauma

tumpul abdomen dapat menimbulkan cedera pada organ berongga berupa perforasi

atau pada organ padat berupa perdarahan (Salomone, 2010).

Berdasarkan pengertian diatas maka trauma tumpul hepar adalah cedera

atau perlukaan organ hepar pada abdomen tanpa penetrasi ke dalam rongga

7
8

peritoneum, dapat diakibatkan oleh pukulan, benturan, ledakan, deselarasi

(perlambatan), atau kompresi.

2.1.2. Epidemiologi Trauma Tumpul Hepar

Trauma tumpul kadang tidak menimbulkan kelainan yang jelas pada

permukaan tubuh, tetapi dapat mengakibatkan cedera berupa kerusakan daerah

organ sekitar, patah tulang iga, cedera perlambatan (deselerasi), cedera kompresi,

peningkatan mendadak tekanan darah, pecahnya viskus berongga, kontusi atau

laserasi jaringan maupun organ dibawahnya. Mekanisme terjadinya trauma pada

trauma tumpul hepar disebabkan adanya deselerasi cepat dan adanya organ-organ

yang tidak mempunyai kelenturan (non complient organ) seperti hati.

Trauma tumpul abdomen lebih sering terjadi pada kasus gawat darurat

akibat kecelakaan lalulintas, jatuh olahraga, kecelakaan kerja atau perkelahian. Dari

kejadian trauma tumpul abdomen, 20% memerlukan laparotomi. Kejadian trauma

tumpul abdomen dengan velositas tinggi sering menimbulkan kerusakan organ

multiple, seperti organ padat hepar, lien, ginjal dibandingkan dengan organ

berongga (Wim de jong, Sjamsuhidajat R: 2005).

Organ yang paling sering terkena adalah limpa yaitu sekitar 40-55% kasus

karena limpa merupakan organ yang paling rapuh. Hati (35-45%) dan usus halus

(5-10%) menduduki peringkat selanjutnya akibat trauma. Kejadian trauma tumpul

pada ginjal sekitar 80-90% biasanya disertai trauma berat dengan cedera organ lain

(Charlotte: 2007, George and Clive, 2008).

Hepar sebagai organ solid atau padat dengan kejadian cedera tertinggi pada

kasus trauma abdomen. Setidaknya 15-20% trauma abdomen termasuk cedera pada
9

hati. 80-90% cedera hepar merupakan trauma tumpul. Pada 2013, sebuah penelitian

dengan menggunakan ultrasonografi untuk mengevaluasi trauma intraperitoneal

memperlihatkan bahwa hepar paling sering cedera dan usia muda lebih rentan

mengalami cedera hepar dan pankreas.

2.1.3. Penyebab Trauma Tumpul Hepar

Cedera deselerasi sering terjadi pada kecelakaan lalu lintas karena setelah

tabrakan badan masih melaju dan tertahan suatu benda keras sedangkan bagian

tubuh yang relatif tidak terpancang bergerak terus dan mengakibatkan robekan pada

organ tersebut (Wim de Jong, Sjamsuhidajat, 2005).

Menurut Udeani, 2005 mekanisme terjadinya trauma pada trauma tumpul

disebabkan adanya deselerasi cepat dan adanya organ-organ yang tidak mempunyai

kelenturan (noncomplient) organ seperti hati, limpa, pankreas, dan ginjal.

Kerusakan intra abdominal sekunder untuk kekuatan tumpul pada abdomen secara

umum dapat dijelaskan dengan 3 mekanisme, yaitu:

1. Saat pengurangan kecepatan menyebabkan perbedaan gerak di antara struktur.

Akibatnya, terjadi tenaga potong dan menyebabkan robeknya organ berongga,

organ padat, organ viseral dan pembuluh darah, khususnya pada ujung organ

yang terkena. Contoh pada aorta distal yang mengenai tulang torakal dan

mengurangi yang lebih cepat dari pada pergerakan arkus aorta. Akibatnya, gaya

potong pada aorta dapat menyebabkan ruptur. Situasi yang sama dapat terjadi

pada pembuluh darah ginjal dan pada cervicothoracic junction.


10

2. Isi intra-abdominal hancur di antara dinding abdomen anterior dan columna

vertebra atau tulang toraks posterior. Hal ini dapat menyebabkan remuk,

biasanya organ padat (spleen, hati, ginjal) terancam.

3. Gaya kompresi eksternal yang menyebabkan peningkatan tekanan intra-

abdomen yang tiba-tiba dan mencapai puncaknya pada ruptur organ berongga.

Pengetahuan komprehensif mengenai anatomi hepar sangat penting dalam

manajemen trauma pada hepar, pemahaman tentang perlekatan ligament, parenkim,

vaskular intraparenkim dan ekstraparenkim hepar merupakan kunci efektivitas

untuk kontrol dan repair cedera hepar. Anatomi fungsional dari hepar terbagi

menjadi segmen untuk kepentingan reseksi. Tahun 1953, Couinaud membagi

segmen hepar berdasarkan distribusi vena hepatika dan pedikel glisoni. Dapat

dilihat pada gambar dibawah ini.


11

Gambar 2.1 Pembagian segmen hepar

Sebagian besar trauma hepar juga mengenai segmen hepar VI,VII, dan VIII.

Tipe trauma ini dipercaya merupakan akibat dari kompresi terhadap tulang costa,

tulang belakang atau dinding posterior abdomen. Adanya trauma tumpul langsung

pada daerah kanan atas abdomen atau di daerah kanan bawah dari tulang costa,

umumnya mengakibatkan pecahan bentuk stellata pada permukaan superior dari

lobus kanan.

2.1.4. Klasifikasi Trauma Tumpul Hepar

Trauma tumpul abdomen dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis organ

yang cedera dapat dibagi dua:

1. Pada organ padat seperti hepar dan limpa dengan gejala utama perdarahan

2. Pada organ berongga seperti usus dan saluran empedu dengan gejala utama

adalah peritonitis

Derajat cedera pada hepar dapat dinilai dengan criteria dari AAST

(Association for the Surgery of Trauma) yaitu menggunakan OIS (Organ Injury

Scale). Dengan adanya kriteria tersebut dapat membantu dalam mengambil


12

keputusan untuk penatalaksanaan trauma hepar. Secara garis besar manajemennya

didasarkan atas status kardoivaskular pasien tersebut apakah memerlukan

manajemen operatif atau non operatif. Gambaran CT scan dan jumlah darah yang

terdapat dalam rongga abdomen dapat dijadikan acuan menentukan derajat

keparahan dari trauma hepar.

Menurut klasifikasi oleh asosiasi bedah trauma Amerika (AAST) tahun

1994 maka cedera hepar dapat dibagi menjadi beberapa tingkatan seperti tabel di

bawah

2.1.5. Gejala Klinis Trauma Tumpu Hepar

Mekanisme peristiwa trauma sangat penting dalam menentukan

kemungkinan cedera organ intra abdomen. Semua informasi harus diperoleh dari

saksi mata kejadian trauma, termasuk mekanisme cedera, tinggi jatuh, kerusakan

interior dan eksterior kendaraan dalam kecelakaan kendaraan bermotor, kematian


13

lainnya di lokasi kecelakaan, tanda vital, kesadaran, adanya perdarahan eksternal,

jenis senjata, dan seterusnya (wim de jong, Sjamsuhidajat R: 2005).

Pemeriksaan abdomen harus dilakukan dengan cara yang teliti dan

sistematis dengan urutan : inspeksi, auskultasi, perkusi dan palpasi. Penemuannya,

positif atau negatif , harus direkam dengan teliti dalam catatan medis. Pada saat

kedatangan ke rumah sakit, mekanisme dan pemeriksaan fisik biasanya akurat

dalam menentukan cedera intra-abdomen pada pasien dengan kesadaran yang

terjaga dan responsif, meskipun terdapat keterbatasan pemeriksaan fisik. Banyak

pasien dengan perdarahan intra-abdomen yang moderat datang dalam kondisi

hemodinamik yang terkompensasi dan tidak memiliki tanda-tanda peritoneal

1. Inspeksi

Penderita harus ditelanjangi. Kemudian periksa perut depan dan belakang,

dan juga bagian bawah dada dan perineum, harus diperiksa untuk goresan, robekan,

luka, benda asing yang tertancap serta status hamil. Penderita dapat diposisikan

dengan hati–hati untuk mempermudah pemeriksaan lengkap.

2. Auskultasi

Melalui auskultasi ditentukan apakah bising usus ada atau tidak. Darah

intraperitoneum yang bebas atau kebocoran (ekstravasasi) abdomen dapat

menyebabkan ileus, mengakibatkan hilangnya bunyi usus. Cedera pada struktur

berdekatan seperti tulang iga, tulang belakang, panggul juga dapat menyebabkan

ileus meskipun tidak ada cedera di abdomen dalam, sehingga tidak adanya bunyi

usus bukan berarti pasti ada cedera intra-abdominal.


14

3. Perkusi

Manuver ini menyebabkan pergerakan peritoneum, dan dapat menunjukkan

adanya peritonitis yang masih meragukan. Perkusi juga dapat menunjukan bunyi

timpani akibat dilatasi lambung akut di kuadran atas atau bunyi redup bila ada

hemoperitoneum.

4. Palpasi

Kecenderungan untuk menggerakan dinding abdomen (voluntary guarding)

dapat menyulitkan pemeriksaan abdomen. Sebaliknya defans muscular

(involuntary guarding) adalah tanda yang handal dari iritasi peritoneum. Tujuan

palpasi adalah mendapatkan adanya dan menentukan tempat dari nyeri tekan

superfisial, nyeri tekan dalam atau nyeri lepas. Nyeri lepas terjadi ketika tangan

yang menyentuh perut dilepaskan tiba–tiba, dan biasanya menandakan peritonitis

yang timbul akibat adanya darah atau isi usus.

2.1.6. Diagnosis Trauma Tumpul Hepar

Diagnosa trauma tumpul hepar didasarkan pada hasil pemeriksaan fisik

dan pemeriksaan penunjang

1. Foto Polos Abdomen

Pada penderita dengan hemodinamik normal maka pemeriksaan foto polos

abdomen dalam keadaan terlentang dan berdiri (sambil melindungi tulang

punggung) mungkin berguna untuk mengetahui udara ekstraluminal di

retroperitoneum atau udara bebas di bawah diafragma, yang keduanya

memerlukan laparotomi segera. Hilangnya bayangan pinggang (psoas shadow)

juga menandakan adanya cedera retroperitoneum. Bila foto tegak dikontra-


15

indikasikan karena nyeri atau patah tulang punggung, dapat digunakan foto

samping sambil tidur (left lateral decubitus) untuk mengetahui udara bebas

intraperitoneal (Rose, 2004).

2. Ultrasonografi (USG)

Ultrasonografi (USG) merupakan pencitraan pilihan, utamanya untuk

mendeteksi cedera pada organ dan cairan bebas di rongga abdomen (Kozar,

2009). Cairan pada abdomen tampak sebagai sinyal anechoic.

Gambar 2.2 Penampakan normal ruang hepatorenal (Rose, 2004)


16

Gambar 2.3 Tampak cairan bebas pada ruang hepatorenal (Rose, 2004)

Indikasi dan peranan FAST pada trauma tumpul abdomen adalah pasien

stabil dengan kecurigaan klinis tinggi terhadap cedera torakoabdominal

1. Mekanisme cedera yang signifikan, nyeri abdomen, jejas pada abdomen,

hematuria makroskopis, hipotensi transien yang tidak dapat dijelaskan, temuan

klinis yang rancu akibat intoksikasi atau cedera lain

2. Jika FAST positif seringkali pemeriksaan lain tidak diperlukan dan intervensi

segera dapat dikerjakan.

USG memiliki sensitifitas dan spesifitas lebih rendah untuk mendeteksi cedera

parenkim dibandingkan untuk mendeteksi carian bebas. Cedera organ solid tanpa

hemoperitoneum lebih sukar untuk dideteksi (Rose, 2004)


17

Gambar 2.4 algoritma pemeriksaan FAST (Rose, 2004)

3. CT SCAN abdomen

CT scan memiliki sensitifitas dan spesifitas yang tinggi untuk mendeteksi

cedera hepar. Penampakan pada CT terhadap trauma tumpul hepar antara lain

laserasi, hematoma subkapsular dan intraparenkim, perdarahan aktif dan cedera

vaskuler. Hematoma intraparenkim dapat dengan mudah dibedakan pada CT Scan

dengan kontras. Cairan intraperitoneal bebas umum ditemukan pada CT Scan

pasien dengan trauma tumpul abdomen. Sejumlah kecil hemoperitoneum awalnya

berkumpul pada kompartemen dekat dengan lokasi perdarahan dan semakin besar

mengalir ke kantong Morison hingga cavum Douglas. Deteksi perdarahan aktif


18

pada CT lebih penting sebagai prediktor kuat kegagalan terapi non operatif (Wong,

2005).

Gambar 2.5. Laserasi hepar.Terdapat hipodensitas linear multipel (Wurmb, 2009)

4. Pemeriksaan Laboratorium

Peran pemeriksaan darah laboratorium memiliki peran yang kecil dalam

penegakan diagnosis trauma hepar. Namun perannya penting dalam pengawasan

khususnya untuk manajemen non operatif. Pemeriksaan darah lengkap meliputi

hemoglobin dan hematokrit memiliki nilai dalam tatalaksana trauma hepar.

Kehilangan darah ekstensif pada trauma hepar tampak pada kadar hemoglobin

pasien. Ini memerlukan penanganan segera meliputi damage control dan resusitasi

dengan transfusi. Pada kasus trauma hepar mayor, kadar trombosit juga dapat

menurun tajam, membuat ahli bedah harus lebih awas terhadap bahaya koagulopati

dan tantangan dalam melakukan resusitasi bedah. Beberapa penelitian

menunjukkan peran pemeriksaan kimia darah utamanya kadar enzim hati sebagai

gambaran kerusakan hati akut akibat trauma. Namun kadar yang ditunjukkan

seringkali tidak selaras dengan kerusakan yang terjadi dan dipengaruhi oleh
19

komorbiditas yang mungkin telah dimiliki pasien sebelum trauma terjadi. Selain itu

yang perlu diperiksa pada kondisi trauma adalah faal hemostasis pasien yang

menunjukkan koagulopati yang mungkin telah terjadi (Tan, 2009).

Lebih banyak peran pemeriksaan darah pada pengawasan tatalaksana non

operatif. Pada kasus ini sebaiknya diperiksa darah lengkap serial sehingga tampak

perubahan hemoglobin dari waktu ke waktu, memprediksi apakah terdapat

perdarahan yang terus berlanjut.

2.1.7. Penatalaksanaan Trauma Tumpul Hepar

Diagnosis dan penanganan yang tepat dari trauma tumpul hepar merupakan

unsur terpenting dalam mengurangi kematian akibat trauma abdomen. Pada pasien

trauma penilaian abdomen merupakan salah satu bagian yang menarik. Penilaian

sirkulasi saat survei awal harus mencakup deteksi dini dari kemungkinan adanya

perdarahan yang tersembunyi di dalam abdomen dan pelvis pada pasien trauma

tumpul. Trauma tajam pada dada diantara puting dan perineum harus dianggap

potensial menyebabkan cedera intra-abdominal. Pada penilaian abdomen, prioritas

maupun metode yang terbaik sangat ditentukan oleh mekanisme trauma, berat dan

lokasi trauma maupun status hemodinamik penderita (Peitzman et al., 2008;

Salomone, 2010; Umboh et al., 2016).

Untuk dua mekanisme yang berbeda yaitu trauma tajam (penetrans) dan

trauma tumpul (non penetrans) terdapat pendekatan diagnostik yang berbeda.

Adanya luka penetrasi saja sudah menarik perhatian akan besarnya kemungkinan

terjadi trauma pada organ intra abdominal, sedangkan pada trauma tumpul biasanya

terjadi multisistem trauma yang menyebabkan diagnosis lebih sulit ditegakkan.


20

Agar hasil pemeriksaan baik, selain pemeriksaan fisik diperlukan alat bantu

diagnostik. Alat bantu utama yang ada saat ini ialah Diagnostic Peritoneal Lavage

(DPL), Computed Tomography (CT), Ultrasonography (USG), atau Diagnostic

Laparoscopy (DL).

Secara garis besar manajemennya didasarkan atas status kardoivaskular

pasien tersebut apakah memerlukan manajemen operatif atau non operatif.

Gambaran CT scan dan jumlah darah yang terdapat dalam rongga abdomen dapat

dijadikan acuan menentukan derajat keparahan dari trauma hepar. (Williams NS,

2008 ; Isenhour, 2007)

Penatalaksanaan Non-Operatif

Pasien dengan trauma tumpul hepar yang stabil secara hemodinamik tanpa

adanya indikasi lain untuk operasi lebih baik ditangani secara konservatif (80%

pada dewasa, 97% pada anak-anak). Beberapa kriteria klasik untuk penatalaksan

non operatif adalah: Hemodinamik stabil setelah resusitasi, Status mental normal

dan tidak ada indikasi lain untuk laparotomi. Pasien yang ditangani secara non

operatif harus dipantau secara cermat di lingkungan gawat darurat. Monitoring

klinis untuk vital sign dan abdomen, pemeriksaan hematokrit serial dan

pemeriksaan CT/USG akan menentukan penatalaksanaan. Setelah 48 jam, dapat

dipindahkan ke ruang intermediate care unit dan dapat mulai diet oral tetapi masih

harus istrahat ditempat tidur sampai 5 hari. Embolisasi angiografi juga dimasukkan

ke dalam protokol penanganan non operatif trauma hepar, pada beberapa situasi

dalam upaya menurunkan kebutuhan transfusi darah dan jumlah operasi. Jika

pemeriksaan hematokrit serial (setelah resusitasi) normal pasien dapat dipulangkan


21

dengan pembatasan aktifitas. Aktifitas fisik ditingkatkan secara perlahan sampai 6-

8 minggu. Waktu untuk penyembuhan perlukaan hepar berdasarkan bukti CT-Scan

antara 18-88 hari dengan rata-rata 57 hari. (Williams NS, 2008)

Gambar 2.6 .Alogaritma manajemen non operatif trauma tumpul hepar

(Mattox,7th)

Komplikasi penanganan non operatif dari trauma hepar dapat berupa

komplikasi perdarahan hepar, masalah bilier, abdominal kompartmen syndrome

dan infeksi. Beberapa komplikasi pada trauma hepar adalah:(Mattox ,7th)


22

a. Kebocoran bilier

Biloma atau kebocoran bilier terjadi 3-20% kasus pada trauma hepar dengan

manajemen non operatif. Biloma dilokalisir menggunakan Hepatobiliary

hydroxy iminodiacetic acid (HIDA) scan dan MRCP.

b. Abses

Abses perihepatik dapat membuat pasien mengalami tanda tanda sepsis,

abnormal fungsi hati atau intoleransi makanan. Abses dikarenakan

pengumpulan dari bilier dapat ditatalaksanai dengan drainase dengan guiding

CT scan.

c. Perdarahan

Dalam review nya tahun 1994 Gates menyebutkan pada pasien trauma hepar

yang ditatalaksanai dengan non operatif manajemen 0-14% mengalami

perdarahan yang tertunda.

d. Devaskularisasi

Hambatan aliran vaskular terhadap segmen hepar setelah mengalami trauma

atau post angioembolisasi dapat terjadi nekrosis pada segmen hepar.

Konsekuensinya dapat terjadi peningkatan serum liver transaminase,

koagulopati, kebocoran bilier, nyeri perut, intoleransi makanan, respiratori

compromise, gagal ginjal dan sepsis. Banyak studi menyebutkan bahwa

jaringan hepar yang nekrosis harus direseksi sebelum komplikasi muncul.

Devaskularisasi dapat dilihat dengan CT scan.


23

e. Hemobilia

Dapat muncul setelah trauma hepar, ditandai dengan trias nyeri pada kuadran

kanan atas, jaundice dan perdarahan saluran cerna atas.

f. SIRS

Penanganan nonoperatif pasien dengan inadekuat drainase bilier dan darah

dapat memicu terjadinya respon inflamasi sistemik. Artikel terbaru dari

Franklin et al menyebutkan evakuasi bilier dan darah yang ada diperitoneum

setelah 3-5 hari post trauma dapat mengurangi risiko respon inflamasi sitemik.

g. Komplikasi yang tidak biasa

Hematom subkapsular yang besar dapat meningkatkan tekanan intraparenkim

sehingga mampu menyebabkan hipertensi portal segmental dan hepatofugal

flow.

Penatalaksaan Operatif

Prinsip fundamental yang diperlukan di dalam penatalaksanaan operatif

pada trauma hati adalah:

1. Kontrol perdarahan yang adekuat

2. Pembersihan seluruh jaringan hati yang mati (devitalized liver)

3. Drainase yang adekuat dari lapangan operasi

Tehnik Untuk Kontrol Perdarahan Temporer/Sementara Dilakukan untuk

dua alasan;

1. Memberikan waktu kepada ahli anestesi untuk mengembalikan volume sirkulasi

sebelum kehilangan darah lebih lanjut terjadi.


24

2. Memberikan waktu kepada ahli bedah untuk memperbaiki trauma lain terlebih

dahulu apabila trauma tersebut lebih membutuhkan tindakan segera dibandingkan

dengan trauma hati tersebut.

Tehnik yang paling berguna dalam mengontrol perdarahan sementara adalah

kompresi Manual, pembalutan perihepatik (perihepatic packing), dan parasat

pringle.

Gambar 2.7. Kompresi manual pada cedera hepar

Kompresi manual secara periodik dengan tambahan bantalan laparotomi

(Laparatomy pads) berguna dalam penatalaksanaan trauma hati kompleks dalam

menyediakan waktu untuk resusitasi. Bantalan tambahan (Packing) dapat

ditempatkan diantara hati dan diafragma dan diantara hati dengan dinding dada

sampai perdarahan telah terkontrol. 10 hingga 15 bantalan dibutuhkan untuk

mengontrol perdarahan yang berasal dari lobus kanan. Pembalutan tidaklah berguna

pada trauma lobus kiri, karena ketika abdomen dibuka, dinding dada dan abdomen

depan tidaklah cukup menutup lobus kiri hati untuk menciptakan tekanan yang
25

adekuat. Perdarahan dari lobus kiri hati ini dapat dikontrol dengan memisahkan

ligamentum triangular kiri dan ligamentum coronarius kemudian menekan lobus

tersebut diantara kedua tangan.

Parasat Pringle ( Pringle Manuver) sering kali digunakan untuk membantu

pembalutan /packing dalam mengontrol perdarahan sementara. Prasat Pringle

adalah suatu tehnik untuk menciptakan oklusi sementara vena porta dan arteri

hepatika yang dilakukan dengan menekan ligamentum gastrohepatik (portal triad).

Penekanan ini dapat dilakukan dengan jari atau dengan menggunakan klem

vaskuler atraumatik.

Tehnik ini merupakan tehnik yang sangat membantu dalam mengevaluasi

trauma hati grade IV dan V. Portal triad diklem dan direalese setiap 15-20 menit

selama 5 menit untuk memberikan perfusi hepatik secara intermitten. Bukti terbaru,

dengan memberikan oklusi total sekitar satu jam tidak memberikan kerusakan

iskemik pada hepar. Abdomen kemudian ditutup, dan pasien dipindahkan ke ICU

untuk resusitasi dan koreksi kekacauan metabolik. Dalam 24 jam, pasien kemudian

dikembalikan ke ruang operasi untuk pengangkatan packing hepar. Tindakan ini

diindikasikan untuk trauma grade IV- V dan pasien dengan trauma yang tidak

terlalu parah tetapi menderita koagulopati yang disebabkan oleh trauma yang

menyertai.
26

Gambar 2.8. Parasat Pringle ( Pringle Manuver)

Tehnik yang dapat digunakan sebagai terapi definitif pada trauma hati

berkisar dari kompresi manual hingga transplantasi hati. Laserasi parenkim hati

grade 1 atau 2 dapat secara umum diatasi dengan kompresi manual. Apabila dengan

tehnik ini tidak berhasil, seringkali trauma seperti ini diatasi dengan tindakan

hemostatik topikal. Tindakan yang paling sederhana adalah dengan

elektrokauterisasi, yang seringkali dapat mengatasi perdarahan dari pembuluh

darah kecil yang dekat dengan permukaan hati. Untuk laserasi grade II dan IV yang

memerlukan tindakan repair dilakukan dengan cara menjahit parenkim hati hal ini

ditujukan untuk mengatasi perdarahan persisten akibat laserasi dengan kedalaman

kurang dari 3 cm. Bersama dengan hepatotomi dan ligasi selektif, tindakan ini juga

merupakan alternatif yang cocok pada laserasi yang lebih dalam jika pasien tidak

dapat mentoleransi perdarahan lebih lanjut. Material yang diperlukan adalah catgut

chromic atau vicryl 0 atau 2.0 dan jarum kurva ujung tumpul. Untuk laserasi yang

dangkal jahitan terus menerus sederhana (simple continuous suture) dapat

digunakan untuk mendekatkan tepi luka. Untuk laserasi yang dalam , jahitan matras
27

horizontal terputus (interrupted horizontal mattres suture) dapat ditempatkan

secara pararel pada tepi luka. Ketika mengikat jahitan, satu yang harus dipastikan

bahwa ketegangan yang adekuat telah tercapai apabila perdarahan telah berhenti.

Gambar 2.9 Hepatotomi dengan ligasi selektif untuk control perdarahan yang
dalam. a) Finger fracture, b) pemisahan pembuluh darah atau
duktus, c) memperbaiki kerusakan pada pembuluh darah.

Tindakan tambahan dalam penjahitan parenkimal atau hepatotomi adalah

penggunaan omentum untuk mengisi defek luas pada hati sekaligus sebagai

penopang jahitan. Alasan penggunaan omentum ini adalah bahwa omentum

menyediakan sumber makrofag yang unggul dan mengisi ruang mati potensial

dengan jaringan hidup, mengurangi terbentuknya absces, dan sebagai tampon bagi

perdarahan.
28

Gambar 2.10 Mobilisasi omentum untuk packing hepar

Ligasi arteri hepatik mungkin cocok untuk pasien dengan perdarahan arteri

dari dalam organ hati. Meskipun demikian tindakan ini hanya sedikit berperan pada

keseluruhan penatalaksanaan trauma hati. Hal ini disebabkan karena tindakan ini

tidak menghentikan perdarahan yang berasal dari sistem vena potra dan vena

hepatika. Peranan primer tindakan ini adalah dalam penatalaksanaan trauma lobus

yang dalam ketika penggunaan parasat pringle berhasil dalam menghentikan

perdarahan arteri.

Debridemen reseksi diindikasikan pada parenkim hati bagian perifer yang

mati (nonviable). Jumlah dari jaringan yang dibuang tidaklah melebihi 25%

keseluruhan organ hati. Alternatif akhir untuk pasien dengan trauma unilobar yang

luas adalah reseksi hepar anatomis. Dalam keadaan elektif, lobektomi anatomis

dapat dilakukan dengan hasil yang sangat memuaskan. Reseksi anatomik pada

trauma dibatasi pada lobektomi kanan, lobektomi kiri, dan segmentektomi lateral

kiri. Jenis dan luasnya reseksi biasanya ditentukan dari sifat trauma. Untuk

melakukan reseksi hepar, hepar harus dimobilisasi terlebih dahulu dengan

memotong perlekatan ligamentumnya. Jika kerusakan parenkim yang masif terjadi


29

akibat trauma hepar atau pada mereka yang memerlukan reseksi hepar total, maka

transplantasi hati dapat mejadi pilihan penatalaksanaan selanjutnya.

Komplikasi manajemen operatif trauma hepar:

a. Perdarahan

Perdarahan postoperative sering terjadi, dapat dinilai dengan penurunan

nilai hematokrit secara serial, peningkatan distensi abdomen dan

peningkatan episode hipotensi serta takikardi.

b. Abdominal Compartment Syndrome (ACS)

Pada pasien yang menggunakan packing hepar dan pemberian cairan

resusitasi yang terus menerus dapat terjadi ACS. Packing hepar juga

dapat menyebabkan emboli paru akibat stasis vena dari penekanan

infrahepatik vena cava.

c. Hemobilia

Insiden hemobilia pasca operatif manajemen adalah 0,3-1,2%.

d. Bilhemia

Terjadi ketika cairan empedu larut dalam aliran darah dibawa langsung

ke jantung kanan. Manajemen kasus ini adalah dengan melakukan

hemihepatektomi kiri.

e. Fistula Bilier

Akibat penanganan operatif duktus bilier dapat cedera.

f. Nekrosis hepatik
30

2.1.8. Efek Pembedahan Laparotomi Terhadap Metabolism Tubuh

Penderita trauma yang mendapatkan resusitasi yang tepat maka penggunaan

energi didalam tubuh akan digunakan untuk mempertahankan fungsi organ vital

dan membantu perbaikan jaringan yang mengalami kerusakan. Pemulihan ini dapat

dimanifestasikan dari terlibatnya bebagai fungsi tubuh seperti peningkatan laju

metabolisme, konsumsi oksigen serta stimulasi imunitas tubuh (Lin et al., 2009).

Beberapa peneliti menyebut pada kasus trauma yang akut dalam terjadi

penurunan kadar hemoglobin. Bedah laparotomi merupakan tindakan operasi pada

daerah abdomen, bedah laparotomi merupakan teknik sayatan yang dilakukan pada

daerah abdomen yang dapat dilakukan pada bedah digestif dan kandungan

2.2. Hemoglobin

Hemoglobin adalah protein yang kaya akan zat besi. Memiliki afinitas (daya

gabung) terhadap oksigen dan dengan oksigen itu membentuk oxihemoglobin di

dalam sel darah merah. Dengan melalui fungsi ini maka oksigen dibawa dari paru-

paru ke jaringan-jaringan (Evelyn, 2009). Hemoglobin merupakan senyawa

pembawa oksigen pada sel darah merah. Hemoglobin dapat diukur secara kimia dan

jumlah Hb/100 ml darah dapat digunakan sebagai indeks kapasitas pembawa

oksigen pada darah.

Hemoglobin adalah kompleks protein-pigmen yang mengandung zat besi.

Kompleks tersebut berwarna merah dan terdapat didalam eritrosit. Sebuah molekul

hemoglobin memiliki empat gugus haeme yang mengandung besi fero dan empat

rantai globin. Hemoglobin adalah suatu senyawa protein dengan Fe yang


31

dinamakan conjugated protein. Sebagai intinya Fe dan dengan rangka

protoperphyrin dan globin (tetra phirin) menyebabkan warna darah merah karena

Fe ini.

Kadar hemoglobin ialah ukuran pigmen respiratorik dalam butiran-butiran

darah merah (Costill, 1998). Jumlah hemoglobin dalam darah normal adalah kira-

kira 15 gram setiap 100 ml darah dan jumlah ini biasanya disebut “100 persen”

(Evelyn, 2009). Batas normal nilai hemoglobin untuk seseorang sukar ditentukan

karena kadar hemoglobin bervariasi diantara setiap suku bangsa. Namun WHO

telah menetapkan batas kadar hemoglobin normal berdasarkan umur dan jenis

kelamin (WHO dalam Arisman, 2002).

2.2.1. Struktur Hemoglobin

Pada pusat molekul terdiri dari cincin heterosiklik yang dikenal dengan

porfirin yang menahan satu atom besi, atom besi ini merupakan situs/lokal ikatan

oksigen. Porfirin yang mengandung besi disebut heme. Nama hemoglobin

merupakan gabungan dari heme dan globin, globin sebagai istilah generik untuk

protein globular. Ada beberapa protein mengandung heme dan hemoglobin adalah

yang paling dikenal dan banyak dipelajari.

Pada manusia dewasa, hemoglobin berupa tetramer (mengandung 4 submit

protein), yang terdiri dari dari masing-masing dua sub unit alfa dan beta yang terikat

secara non kovalen. Sub unitnya mirip secara struktural dan berukuran hampir

sama. Tiap sub unit memiliki berat molekul kurang lebih 16.000 Dalton, sehingga

berat molekul total tetramernya menjadi 64.000 Dalton. Tiap sub unit hemoglobin
32

mengandung satu heme, sehingga secara keseluruhan hemoglobin memiliki

kapasitas empat molekul oksigen (Wikipedia, 2007).

Gambar 2.11 Struktur Hemoglobin

2.2.2. Fungsi Hemoglobin

Hemoglobin di dalam darah membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh

jaringan tubuh dan membawa kembali karbondioksida dari seluruh sel ke paru-paru

untuk dikeluarkan dari tubuh. Mioglobin berperan sebagai reservoir oksigen :

menerima, menyimpan dan melepas oksigen di dalam sel-sel otot. Sebanyak kurang

lebih 80% besi tubuh berada di dalam hemoglobin (Sunita, 2001).

Menurut Depkes RI adapun guna hemoglobin antara lain :

1. Mengatur pertukaran oksigen dengan karbondioksida di dalam jaringan-

jaringan tubuh.

2. Mengambil oksigen dari paru-paru kemudian dibawa ke seluruh jaringan-

jaringan tubuh untuk dipakai sebagai bahan bakar.


33

3. Membawa karbondioksida dari jaringan-jaringan tubuh sebagai hasil

metabolisme ke paru-paru untuk di buang, untuk mengetahui apakah

seseorang itu kekurangan darah atau tidak, dapat diketahui dengan

pengukuran kadar hemoglobin. Penurunan kadar hemoglobin dari normal

berarti kekurangan darah yang disebut anemia (Widayanti, 2008).

Nilai Normal Nilai normal Hemoglobin ditentukan dari kadar Hemoglobin

itu sendiri. Kadar Hemoglobin adalah ukuran pigmen respiratorik dalam butiran-

butiran darah merah. Jumlah Hemoglobin dalam darah normal kira-kira 15 gram

setiap 100 ml darah dan jumlah ini biasanya disebut “100 persen”. Berdasarkan

skala AV Hoffbrand, nilai normal Hemoglobin untuk pria dewasa adalah 13,5-17,5

gr/dl, sedangkan untuk wanita dewasa nilainya 11,5-15,5 gr/dl. Berbeda dengan AV

Hoffbrand, WHO juga mengeluarkan klasifikasi kadr Hemoglobin namun dengan

disertai penentuan derajat keparahan anemia.

Klasifikasi kadar Hemoglobin menurut WHO 2014

Subjek Nilai Anemia

Normal

(gr/dl) Ringan Sedang Berat

Anak-anak, 6-59 bulan ≥ 11,0 10,0-10,9 7,0-9,9 < 7,0

Anak-anak, 5-11 tahun ≥ 11,5 11,0-11,4 8,0-10,9 < 8,0

Anak-anak, 12-14 tahun ≥ 12,0 11,0-11,9 8,0-10,9 < 8,0

Pria dewasa ≥ 13,0 11,0-12,9 8,0-10,9 < 8,0

Wanita dewasa tdk hamil ≥ 12,0 11,0-11,9 8,0-10,9 < 8,0

Wanita dewasa hamil ≥ 11,0 10,0-10,9 7,0-9,9 < 7,0


34

2.2.3. Mekanisme Terjadinya Syok pada Trauma

Kebocoran kapiler merupakan penyebab utama terjadinya syok

hipovolemik. Ketika pasien dalam fase inflamasi, kebocoran kapiler ini akan

meningkat beberapa kali lipat. Laju kebocoran kapiler (TransCapillary Escape

Rate) meningkat signifikan setelah operasi bypass kardiopulmonal sehingga diduga

bahwa respon inflamasi terhadap pembedahan merupakan faktor yang signifikan

menyebabkan kebocoran dalam kapiler (Ballmer, 2014).

Pembedahan abdomen adalah tindakan operasi yang melibatkan rongga

abdomen yang dapat dilakukan dengan pembedahan terbuka. Pembedahan

abdomen meliputi pembedahan pada berbagai organ abdomen yaitu hepar, kandung

empedu, duodenum, usus halus dan usus besar, dinding abdomen untuk

memperbaiki hernia umbilikalis, femoralis dan inguinalis, appendiks, dan pankreas

(Sjamsuhidajat, 2010). Trauma mayor termasuk pembedahan biasanya diikuti oleh

reaksi inflamasi sistemik yang memungkinkan terjadinya mobilisasi cairan ke

interstitial dan intravascular (Alberti et al., 2017).

2.2.4. Mekanisme Terjadinya Penurunan Hemoglobin

Setiap keadaan yang menyebabkan penurunan transportasi sejumlah

oksigen ke jaringan biasanya akan meningkatkan kecepatan sel darah merah.

Eritrosit merupakan salah satu komponen sel yang terdapat dalam darah dengan

fungsi utama sebagai pengangkut hemoglobin yang akan membawa oksigen dari

paru-paru ke jaringan. Ketika jaringan mengalami hipoksia akibat gagalnya

pengiriman oksigen ke jaringan, maka organ-organ pembentuk darah secara

otomatis akan memroduksi sejumlah besar eritrosit tambahan (Guyton, 2007).


35

2.2.5. Pemeriksaan Hemoglobin

Terdapat beberapa metode pemeriksaan kadar hemoglobin yang umum

digunakan, diantaranya adalah metode cyanmethemoglobin dan hemocue. Metode

cyanmethemoglobin adalah metode pengambilan darah dari pembuluh darah vena.

Sedangkan pada metode hemocue darah diambil dari pembuluh kapiler.

Hemoglobin sangat baik ditentukan menggunakan darah vena yang diantikoagulasi

menggunakan etilendiamin tetraacetic acid (EDTA).

Penggunaan darah kapiler dari telinga, tumit, atau ujung jari bisa digunakan,

namun akan memberikan hasil yang kurang tepat, karena cairan intestinal akan

mengencerkan sampel darah kapiler, sehingga hasil pengukuran kadar Hb yang

diperoleh dari metode hemocue cenderung lebih besar (Gibson 2005). Metode

cyanmethemoglobin adalah metode yang direkomendasikan oleh International

Committee for Standardization in Hematology (ICSH) dan dianggap paling teliti

berdasarkan anjuran WHO (Gibson 2005).

2.2.6. Status Gizi dan pembedahan

Braz et al dalam Sugiartati (2016) menyatakan status gizi merupakan faktor

yang sangat penting dalam penanganan seluruh jenis bedah. Konsep status gizi

dalam bedah terbangun secara gradual melalui seluruh periode nutrisi mencakup

aspek pre-operatif dan post-operatif. Banyak penelitian menunjukkan kondisi pre-

operatif dengan status gizi yang baik membantu mencegah terjadinya komplikasi

pasca operasi termasuk infeksi.

Pada pasien bedah, buruknya status gizi sebelum operasi berhubungan

dengan komplikasi post operasi, meningkatnya morbiditas dan mortalitas (Cinda et


36

al., 2003). Outcome yang buruk juga ditemukan pada pasien laparotomi yang

masuk ke rumah sakit dengan status gizi kurang (Sugiartati, 2016).

2.2.7. Faktor Pembekuan Darah

Prothrombinase complek mengkonversi protrombin menjadi trombin dalam

proses pembekuan darah. Thrombin mengubah fibrinogen menjadi fibrin, yang

akan menstabilkan bekuan dan menginduksi aktivasi agregasi platelet. P2Y12

reseptor platelet memediasi stabilisasi agregasi trombin-terinduksi atau platelet–

terinduksi. Efek dari konsentrasi yang berbeda atau fungsi dari komponen terkait

koagulasi ini (trombin, fibrinogen atau trombosit) pada kehilangan darah pasca

operasi telah banyak dilakukan studi.

Bosch et al (2013) menggunakan automated thrombography dikalibrasi

untuk menampilkan titik di mana darah mulai menggumpal dan jumlah trombin

yang membentuk inclotting plasma dari sampel darah yang diambil prebypass,

sebelum administrasi heparin. Nilai-nilai yang lebih rendah dari jumlah maksimum

trombin yang terbentuk (peak trombin), area dibawah kurva lebih rendah mewakili

generasi trombin dari waktu ke waktu (potensi trombin endogen) dan jumlah

platelet independen yang rendah berkorelasi dengan selang drainase dada pasca

operasi. Selama proses koagulasi, Karlsson et al (2008) menunjukkan bahwa

konsentrasi fibrinogen pra operasi yang lebih rendah merupakan satu-satunya faktor

independen terkait perdarahan post operasi, meskipun semua pasien telah memiliki

kadar fibrinogen preoperative di atas batas normal (Bosch et al., 2013; Karlsson et

al., 2008)
37

Karlsson et al (2008) menyimpulkan bahwa konsentrasi fibrinogen dapat

digunakan sebagai biomarker untuk mengidentifikasi pasien dengan peningkatan

risiko pendarahan berat setelah pembedahan. Sistem koagulasi darah adalah

keseimbangan dari empat proses fisiologis. Dua dari proses tersebut menyebabkan

terjadinya pembekuan, yaitu prokoagulant dan antifibrinolytic sistem, sedangkan

dua lainnya menyebabkan perdarahan, yaitu antikoagulan dan aktivitas fibrinolitik.

Perdarahan dan gangguan koagulasi paska trauma merupakan masalah

penting dalam penatalaksanaan trauma. Inflamasi paska trauma dan koagulasi

saling terkait (Gambar 2.4)

Gambar 2.12 Siklus Koagulopati berakibat Inflamasi (Esmon, 2011)).

Koagulopati akut pada trauma didefinisikan sebagai nilai INR ≥ 1,2. Pada

trauma, nilai INR ≥1,2 menunjukkan suatu keadaan klinis yang berhubungan erat

dengan resiko yang signifikan terjadinya kematian dan kebutuhan transfusi. Faktor-

faktor koagulasi dapat mengaktifkan sistem kekebalan tubuh. Saat terjadi

pembentukan fibrin, maka bakteri akan terjebak dan dapat mengakibatkan


38

penurunan penyebaran bakteri (Degen, 2007). Trombosit mengikat neutrofil,

kemudian menginduksi pembentukan DNA ekstraseluler antimikroba. Faktor-

faktor VIIa, trombin, dan faktor Xa meningkatkan respon inflamasi (Engelmann,

2013 ; Christians, 2013)

Pada hemostasis sekunder, beberapa faktor koagulasi, yang diproduksi di

hati, yang diatur oleh vitamin K, mengambil bagian dalam koagulasi dengan

mempercepat kaskade koagulasi (Achneck et al., 2010). Jalur kaskade koagulasi

darah terbagi menjadi dua bagian, jalur intrinsik dan ekstrinsik, tergantung pada

elemen yang memicu kaskade. Jalur ekstrinsik, yang dimulai akibat respon trauma

jaringan dan di mana faktor jaringan, yang terletak di permukaan platelet, pada

permukaan sel-sel endotel yang rusak dan subendothel, terpapar pada faktor VII

membentuk fibrin, dan dianggap sebagai jalur utama. Jalur intrinsik kurang terlibat

dalam proses koagulasi in vivo tapi menjadi penting ketika kaskade koagulasi

diaktifkan melalui kontak darah dengan permukaan artifisial, seperti sirkuit pintas

jantung paru. Akhir kaskade koagulasi serupa pada kedua jalur, dan karena itu

dikenal sebagai jalur yang umum. Di jalur umum, trombin dihasilkan dari

prothrombin dengan bantuan faktor Xa, yang pada gilirannya memungkinkan

pembentukan fibrin dari fibrinogen. Helai fibrin membentuk struktur polietilena,

yang menangkap trombosit lebih banyak dan sel lain, meningkatkan perkembangan

gumpalan darah matur dan stabil. Selain itu, trombin memiliki berbagai fungsi lain

di dalam kaskade koagulasi melalui beberapa peran aktivasi umpan balik (Achneck

et al., 2010).
39

Reaksi dari jalur ekstrinsik dan aktivasi faktor X oleh faktor jaringan VIIA

dan selanjutnya thrombin, berlangsung terutama pada permukaan trombosit.

Trombin lanjut mengaktifkan trombosit, yang berfungsi sebagai permukaan untuk

kaskade dari faktor XI dan menyebabkan aktivasi faktor X dan produksi lebih lanjut

dari trombin. (Achneck et al., 2010). Reaksi ini memerlukan permukaan

prokoagulan, yang disediakan oleh trombosit dengan fosfolipid bermuatan negatif,

phosphatidylserine (PS), pada leaflet luar membran mereka. permukaan PS-

mengekspresikan dapat secara dramatis meningkatkan efisiensi reaksi dengan

berkonsentrasi dan colocalizing faktor koagulasi dan mencegah mereka dari

membasuh dalam darah (Du et al., 2014).

Anda mungkin juga menyukai